seri buku brr - buku 6b - studi kasus - tambahan

Upload: nur-ul

Post on 19-Jul-2015

189 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

STUDI KASUS

Prakata

i

STUDI KASUSManik-Manik Terserak

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NADNIAS (BRR NADNIAS) 16 April 2005 - 16 April 2009

Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62-651-636666 Fax. +62-651-637777 www.e-aceh-nias.org know.brr.go.id Pengarah Penyusun Editor

Kantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias , Indonesia, 22815 Telp. +62-639-22848 Fax. +62-639-22035

Kantor Perwakilan Jakarta Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru Jakarta Selatan Indonesia, 12110 Telp. +62-21-7254750 Fax. +62-21-7221570

: Kuntoro Mangkusubroto : John Paterson Ratna Pawitra Trihadji : Cendrawati Suhartono (Koordinator) Harumi Supit Linda Hollands Margaret Agusta (Kepala) Melinda Hewitt Tim Tsunami Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Tim Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesian (LIPI)

Editor Bahasa Fotografi Desain Grafis

: Linda Hollands Margaret Agusta : Arif Ariadi Bodi Chandra : Amel Santoso Bobby Haryanto (Kepala) Priscilla Astrini Surya Mediana Wasito

Penyelaras Akhir : Aichida UlAflaha Ricky Sugiarto (Kepala)

Alih bahasa ke Indonesia Editor : Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo Ratna Pawitra Trihadji Zuhaira Mahar Editor Bahasa Penerjemah : Ihsan Abdul Salam Suhardi Soedjono : Bianca Timmerman Harry Bhaskara Prima Rusdi

Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF) melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project

Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005. Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porakporanda kini ramai kembali seiring dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang selamat meski telah kehilangan hampir segalanya. Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan Nias. Berdasarkan hal tersebut, melalui halamanhalaman yang ada di dalam buku ini, BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang menyatukan dunia.

Saya bangga, kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran dengan negaranegara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upayaupaya serupa, baik di dalam maupun di luar negeri.Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009 tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learned di Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009

Dalam periode tanggap darurat maupun rekonstruksi, truk M6 milik Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) memainkan peran sangat penting dalam mendistribusikan logistik ke daerah terpencil maupun yang sulit dijangkau. Foto: BRR/Arif Ariadi

Daftar IsiPendahuluan Prologue Bagian 1. Perumahan dan PermukimanAsian Development Bank (ADB) Asian Development Bank (ADB)

x xv 12 7

Rumah Tradisional Nias dalam Proses Transisi Membangun Kembali Masyarakat Melalui Pembangunan Rumah

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)

Mempercepat Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh melalui Pemetaan Tanah Masyarakat dan Perencanaan Tata Ruang Desa 13 Rekonstruksi dan Rehabilitasi Perumahan dan Pemukiman di Aceh - Program RRHS Dua Tahun Pemulihan Permukiman selama di Aceh dan Nias 17 24 32

Yayasan Masyarakat Makmur Mitra Adil (Mamamia)

United Nations-Human Settlements Programme (UN-HABITAT) World Vision Indonesia

Transitional Living Centers (TLC): Solusi Hunian dalam Situasi Darurat

Bagian 2. Infrastruktur, Pemeliharaan, dan LingkunganGesellschaft fr Technische Zusammenarbeit (GTZ) Pemerintah Jepang

3940 45

Rekonstruksi Cepat dan Minimalisasi Dampak Lingkungan Jalan Pantai Barat dan Perencanaan Proyek

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)

Partisipasi dan Kontribusi Masyarakat Menghasilkan Pekerjaan Publik yang Berkualitas: Pengalaman Berbagai Proyek Prasarana Masyarakat di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Barat, dan Aceh Jaya 47 Menciptakan Aceh yang Lebih Aman Melalui Pengurangan Risiko Bencana pada Pembangunan Memelihara Pembangunan lewat Peningkatan Risiko Bencana Aceh 50 Program Pengelolaan Limbah Pemulihan Tsunami SDN 51: Sekolah Baru yang Membawa Perubahan Pembentukan Kelompok Kerja Program WASH 55 62 69

United Nations Development Program (UNDP)

United Nations Development Program (UNDP) United Nations Childrens Fund (UNICEF) United Nations Childrens Fund (UNICEF)

Bagian 3. Ekonomi dan UsahaForum Bangun Aceh (FBA) Humanistisch Instituut voor Ontwikkelingssamenwerking (Hivos) STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

75

Mewujudkan Pembangunan Masyarakat yang Berkesinambungan Melalui Kredit Mikro 76 Merajut Kesinambungan Kehidupan Melalui Pengembangan Teknologi Terapan Pedesaan Institut JINGKI, Lhokseumawe 82 Memperkuat Kaum Miskin Melalui Lembaga Kredit Mikro Berbasis Kelompok 86

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)

Bagian 4. Pendidikan, Kesehatan dan Pemberdayaan PerempuanAustralia-Indonesia Partnership (AIP) Communities and Education Program in Aceh (CEPA)

9192 95

Penerapan PAKEM

Australia-Indonesia Partnership (AIP) Communities and Education Program in Aceh (CEPA)

viii

Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Manajemen Pendidikan pada Masa Pascakonflik

Australia-Indonesia Partnership (AIP) Communities and Education Program in Aceh (CEPA) Gesellschaft fr Technische Zusammenarbeit (GTZ) Pemerintah Jepang Pemerintah Jepang

Pelaksanaan AIP-CEPA melalui Pendekatan Peka-Konflik dalam Kondisi Pascakonflik 100 Belajar Sepanjang Hayat: Kode Etik Peningkat Mutu Pendidikan Sekolah Kejuruan di Aceh 103 109 112

RSU Gunungsitoli dan Koordinasi Proyek Bantuan Layanan Kesehatan Darurat oleh Jepang

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)

Suara Masyarakat Sebagai Dasar Perbaikan Mutu Layanan Kesehatan: Studi Kasus Pusat Kesehatan Masyarakat di Meureubo 114 Laporan CTAS tentang Program Keterlibatan Partisipasi Anak-Anak dalam Perencanaan Pengembangan Sekolah Menciptakan Masyarkat Peduli Pendidikan Anak (MPPA) Meningkatkan Kualitas Pendidikan 119 129 133

PLAN International Save the Children

United Nations Childrens Fund (UNICEF)

United Nations Childrens Fund (UNICEF)

Program WASH di Sekolah Kerja Sama dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten 139

Bagian 5. Pembangunan SosialPemerintah Jepang

145146

Proyek Jaring Pemberdayaan Masyarakat Mandiri di Aceh

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)

Membangun Solidaritas Kaum Perempuan untuk Membuat Perubahan pada Pemerintahan Desa: Kasus Forum Perempuan Dewan Desa di Aceh Barat 152 Pemerintahan Peka-Gender, serta Penguatan Hak-hak Perempuan dan Aksesnya Terhadap Keadilan di Aceh Membangun Perdamaian Berlatar Belakang Pascatsunami Penyuluhan pada Masa Pemulihan: Pengalaman Aceh 156Pendahuluan

United Nations Development Fund for Women (UNIFEM)

United Nations Office of the Recovery Coordinator (UNORC) for Aceh and Nias World Vision Indonesia

163 169

Bagian 6. Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya ManusiaCanada Aceh Local Government Assistance Program (CALGAP)

177

Pengembangan Layanan Pemerintah melalui Pendekatan Proyek Percontohan: Proyek Pembuatan Pupuk Kompos di Kota Banda Aceh 178 Memperbaiki Hubungan Antar-Pemerintah 188 194

ix

Canada Aceh Local Government Assistance Program (CALGAP) Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA) Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)

Mendekat ke Masyarakat: Layanan Satu Pintu pada Tingkat Kecamatan

Pembaharuan Berbasis Komputer: Layanan yang Lebih Andal dan Bermutu di Kantor Kecamatan 199 Penguatan Administratur Daerah melalui Kompetensi Teknis dan Koordinasi untuk Pemulihan dan Pembangunan Berkesinambungan: Pengalaman KRF 203

United Nations Office of the Recovery Coordinator (UNORC) for Aceh and Nias

Bagian 7. Pendanaan, Operasi dan PengawasanAsian Development Bank (ADB) United Nations-Human Settlements Programme (UN-HABITAT) Multi Donor Fund (MDF)

213

Pengamanan Terdesentralisasi: Penyaringan, Tinjauan, dan Pengawasan atas Subproyek 214 Pemantauan Pemulihan Permukiman: Tinjauan Akhir Menjamin Kualitas Pekerjaan Rekonstruksi 220 241

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

x

Pendahuluantiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, Sang Saka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga dunia tercengang, pilu. Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa jiwa dan saranaprasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib terseret ombak. Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah jinak selama lebih dari seribu tahun. Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600an kilometer patahan dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda. Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat.

SELAMA

Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulaupulau sekitarnya hingga 6 kilometer ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000an orang mendadak berstatus tunakarya. Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195 rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya. Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecilmenengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah. Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue. Dunia semakin tercengang. Tangantangan dari segala penjuru dunia terulur untuk membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar. Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handaitaulan dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik. Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan daerah pada masa depan. Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan AcehNias yang dilandaskan pada

Pendahuluan

xi

partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun AcehNias secara lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional. Pemulihan AcehNias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap program pemulihan. Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya dan teladan bagi kerja sama internasional. Bank Dunia juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat kepemimpinan efektif dari Pemerintah. Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia, tak terkecuali dalam hal kebijakan dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR, telah menggugah kepercayaan para donor, baik individu maupun lembaga, serta komunitas internasional. Tanpa kerja sama masyarakat internasional, kondisi Aceh dan Nias yang porakporanda itu mustahil berbalik menjadi lebih baik seperti saat ini. Guna mengabadikan capaian kerja kemanusiaan tersebut, BRR menyusun Seri Buku BRR. Kelimabelas buku yang terkandung di dalamnya memerikan proses, tantangan, kendala, solusi, keberhasilan, dan pelajaran yang dituai pada sepanjang pelaksanaan program pemulihan AcehNias. Upaya menerbitkannya diikhtiarkan untuk menangkap dan melestarikan inti pengalaman yang ada serta mengajukan diri sebagai salah satu referensi bagi program penanganan dan penanggulangan bencana di seluruh dunia. Terlebih lagi di medan Pemulihan, muncul banyak sekali kasus khas yang, karena potensi kemanfaatan dan kandungan hikmahajarnya, menunggu untuk dipelajari lebih dalam dan disebarluaskan. Kasus demi kasus, laksana manikmanik kalung yang terserakterburai dari ikatannya. Manikmanik itu perlu dipunguti dan, meski tidak harus seperti kalung dalam wujudnya semula (tergantung kebutuhan), penting untuk dirangkai kembali. Penyusunan antologi studi kasus ini, dengan demikian, setidaknya bisa dibaca sebagai tawaran untuk memunguti manikmanik tersebut dan kemudian merangkainya. Memuat 90 studi kasus (50 dibukukan dan sisanya tersimpan di kepingcakram Seri Buku BRR), buku ManikManik Terserak ini menguak fenomenafenomena khas dan menarik di lapangan selama, serta bersangkutpaut dengan, pekerjaan Pemulihan AcehNias.

Capaian 4 TahunRehabilitasi dan Rekonstruksi635.384 127.720orang kehilangan tempat tinggal orang meninggal dan 93.285 orang hilang usaha kecil menengah (UKM) lumpuh

104.500 155.182 195.726

tenaga kerja dilatih UKM menerima bantuan

xiii

rumah rusak atau hancur hektare lahan pertanian hancur guru meninggal kapal nelayan hancur

139.195 140.304 73.869 69.979

rumah permanen dibangun hektare lahan pertanian direhabilitasi guru dilatih kapal nelayan dibangun atau dibagikan sarana ibadah dibangun atau diperbaiki kilometer jalan dibangun sekolah dibangun sarana kesehatan dibangun bangunan pemerintah dibangun jembatan dibangun pelabuhan dibangun bandara atau airstrip dibangun

1.927 39.663

13.828 7.109

sarana ibadah rusak kilometer jalan rusak sekolah rusak

1.089 3.781

2.618 3.696

3.415 1.759

sarana kesehatan rusak bangunan pemerintah rusak jembatan rusak pelabuhan rusak bandara atau airstrip rusak

517 1.115

669 996

119 363 22 23

8 13

Prakataadalah suatu tragedi. Pemulihan adalah kemenangan. Jarak di antara keduanya menyediakan suatu ruang bagaikan laboratorium untuk memahami faktor faktor yang saling terkait dan memengaruhi, baik fisik maupun sosial. Tsunami Aceh 2004, dan gempa Nias 2005, menguakkan pintu kesempatan bagi semua organisasi, baik pemerintah maupun nonpemerintah, untuk menganalisis segala yang ada di balik terenggutnya kehidupan manusia dan bangunan fisik yang tiada terbayangkan sebelumnya. Lebih lanjut, dan yang telah umum terjadi, program rehabilitasi dan rekonstruksi membuahkan evaluasi terhadap kebijakan dan praktikterkait dengan implementasi dan pencapaian bantuan kemanusiaanyang telah berjalan. Proses pembelajaran, evaluasi, serta buah pengetahuan yang dipetik itulah yang dicoba diabadikan dalam berlembarlembar kumpulan studi kasus ini. Ambil batu, lalu lemparkan ke arah mana pun, itulah tanggapan Kepala Badan Pelaksana BRR Kuntoro Mangkusubroto saat pertama menginjak Aceh dan ditanya mengenai rencana pemulihan yang akan ia laksanakan. Di titik mana pun batu itu jatuh, dari situlah kita mulai (bekerja)! ujarnya saat pertama kali menyaksikan tingkat kehancuran yang ada. Begitu luluhlantaknya, hingga bisa dikatakan, kapan pun, apa pun, di mana pun, atau dari siapa pun bantuan diulurkan tentu merupakan dukungan yang bermakna. Pada kondisi semacam itulah salah satu program pemulihan kemanusiaan terbesar menjejakkan langkah perdananya. Juga di dalam konteks inilah lembaga

BENCANA

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka Forum Koordinasi untuk Aceh dan Nias ke4 (CFAN 4) di Jakarta, 13 Februari 2009. Forum ini merupakan perhelatan akbar BRR bersama ratusan Mitra Pemulihan yang terakhir sebelum BRR menyelesaikan mandat 4 tahunnya. Presiden secara khusus menegaskan bahwa tujuan besar CFAN 4 adalah konsolidasi hikmah ajar para pelaku pemulihan untuk disebarkan ke seluruh penjuru dunia demi kemanusiaan. Foto : BRR/Arif Ariadi

Prakata

xv

lembaga kemanusiaan sedunia mulai mengaplikasikan pengetahuan dan pengalaman mereka ke dalam suatu kerja sama membangun kembali AcehNias menjadi lebih baik dan lebih sentosa. Empat tahun berlalu sudah. Lebih dari US$ 7,2 miliar telah dimanfaatkan oleh 1.000an badan organisasi serta ribuan pekerja kemanusiaan nasional dan internasional. Kehidupan masyarakat AcehNias pun telah kembali berputar. Kendati memori kelabu masih terendap, modal berupa capaian bergelimang keberhasilan telah memperkokoh masyarakat dengan harapan dan, secara konkret, pemahaman yang lebih memadai mengenai mitigasi bencana serta pembangunan berbasis masyarakat. Senapas dengannya, hal tersebut juga telah membekali sejumlah lembaga dengan pemahaman yang lebih mumpuni. Pemahaman itu terkait dengan kompleksitas membangun masyarakat seutuhnya, sejak perencanaan desa (village planning) hingga pemantapan struktur pendukung sosial dan administratif. Guna mengabadikan semua itu, kumpulan studi kasus ini memercikkan sekilas gambaran mengenai pengalaman, tantangan, dan pembelajaran yang dihadapi lembagalembaga beserta penerima manfaat bantuan mereka. Studi ini disiapkan oleh lembaga partisipan dan BRR. Kendati tak semua lembaga berkesempatan terlibat, studi ini dirasa cukup merepresentasikan luasnya jangkauan lembaga yang telah turut ambil bagian melalui pelbagai cara, dengan memanfaatkan berbagai keahlian, di segenap medan pemulihan. Kumpulan studi kasus ini juga menjangkau keluasan rentang pelbagai pengalaman, tantangan, serta pembelajaran dari segenap lembaga yang terlibat dalam sebuah program pemulihan kemanusiaan terbesar yang pernah ada. Tujuan untuk mempersembahkan catatan mengenai tantangan dan capaian yang ada dalam bentuk studi kasus ini didasarkan pada pemahaman tertentu. Pemahaman itu adalah bahwa kisahkisah dari lapangandisiapkan oleh lembaga setempatdipandang mampu menyediakan suatu landasan bagi para pembaca untuk menganalisis, mengembangkan, ataupun sekadar menyerap berbagai keluaran dari banyak dan beragamnya proyek. Lebihlebih, ini merupakan suatu kesempatan untuk menggali hikmah ajar yang ada demi memastikan agar jika sewaktuwaktu bencana serupa terjadi, lembagalembaga beserta penerima manfaatnya dapat menyiagakan diri lebih siap lagi. Demi memudahkan pembacaan, koleksi studi kasus ini telah dibagi ke dalam tujuh sektorkendati, pada beberapa tempat, studi kasus individual juga termasuk lintas sektor. Agar suatu struktur dapat digariskan pada 90 studi kasus yang disajikan, sektor sektor tersebut telah dipilah dalam juduljudul bab. Mengingat terbatasnya halaman buku yang ada, diputuskan hanya 50 studi kasus yang dicetak. Sisanya dilampirkan ke dalam CD Seri Buku BRR. Menelusuri likuliku studi kasus yang diimplementasikan organisasiorganisasi pemerintah dan nonpemerintah sedunia ini, sungguh, kompleksitas kerja kemanusiaan dalam skala sebesar itu jelas terlihat. Kebutuhan para penerima manfaat bisa jadi berbeda

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

xvi

tajam, bergantung pada faktor lingkungan, sosial, budaya, serta dampak bencana yang dirasakan. Bertolak dari hal itulah kumpulan studi kasus ini disajikan, yakni sebagai suatu penggambaran yang langka (nirsunting) mengenai implementasi dan penyaluran bantuan kemanusiaan.

Prakata

xvii

xviiiSTUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Perumahan dan PermukimanREKoNSTRUKSI perumahan dan permukiman telah menjadi batu tumpuan bagi program pemulihan. Selain capaian dalam sektor ini, pembangunan rumah dan perencanaan tata ruang untuk masyarakat merupakan suatu tantangan terbesar bagi semua pelaku pemulihan. Total terdapat 15 studi kasus dalam sektor ini9 tercetak dan sisanya di dalam CD Seri Buku BRR. Studistudi ini menyodorkan sudut pandang yang penting tentang tantangan dan capaian yang terkait dengan pengadaan, rekonstruksi berbasis masyarakat, serta isu standardisasi tipe rumah.

Rumahrumah di Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, terlihat telah terbangun sejalan dengan beroperasinya kembali tambaktambak, 3 April 2009. Dari 139.195 unit rumah yang harus direkonstruksi sesuai sasaran Perpres 47/2008, kini telah berhasil dibangun 140.304 unit. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

1

Asian Development Bank (ADB)STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

2

Rumah Tradisional Nias dalam Proses Transisi

GEMPA bumi di Nias tidak hanya merusak prasarana publik tetapi juga warisanbudaya dalam bentuk rumahrumah tradisional. Rumahrumah tradisional dibangun berdasarkan struktur bangunan tradisional yang berlaku di masyarakat dan pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Karena tidak ada lembaga lain yang berminat memberikan bantuan untuk pembangunan kembali rumahrumah tradisional Nias, Asian Development Bank (ADB) memutuskan memberikan dana bantuan bagi proses rekonstruksi dan rehabilitasi, baik untuk rumahrumah konvensional maupun rumahrumah tradisional di Nias Selatan. Dua proyek yang direalisasikan adalah Proyek Nias 1 pada 2007 dan Proyek Nias 2 pada 2008. Proses rekonstruksi dan rehabilitasi Proyek Nias 1 dilakukan di empat desa: Bawogosali, Hilimondregeraya, Hilinamoniha, dan Bawoganowo. Sejumlah 54 rumah tradisional dibangun kembali di Bawogosali (14) dan Hilimondregeraya (40), sementara 188 rumah tradisional diperbaiki di Bawogosali (44), Hilimondregeraya (44), Hilinamoniha (20), dan Bawoganowo (80). Setelah melihat hasil dari rekonstruksi dan rehabilitasi, terutama di Bawogosali dan Hilimondregeraya, BRR meminta ADB untuk memberikan dukungan lebih besar agar dapat merehabilitasi rumahrumah tradisional di desadesa lain. Pada 2008, Proyek Nias 2 dimulai, di tahap ini sejumlah 197 rumah tradisional di tujuh desa yang direhabilitasi, yaitu di Hilisimaetano, Botohilitano, Hilimozaua, Lahusa Fau, onohondro, Hilinawalo Mazingo, dan Hilizoroilawa.

Proyek ini dilakukan berdasarkan kontrak yang berbasis masyarakat di mana para penerima manfaat membangun sendiri rumahrumah mereka. Sementara mereka dimungkinkan membuat perubahan, termasuk membangun rumah yang lebih besar dibandingkan dengan rancangan dan kontrak semula, para penerima dana bantuan sepakat menanggung biaya tambahan dengan dana pribadi mereka. ADB dan masingmasing komunitas membentuk sebuah KSMP secara demokratis yang terdiri dari seorang ketua, sekretaris, dan bendahara. Setiap KSMP terdiri dari enam hingga sepuluh penerima manfaat. Para KSMP memainkan peran penting dalam penyebarluasan informasi, koordinasi, serta pengelolaan dan pemberian motivasi para anggota. Pelatihan untuk ketua, sekretaris, dan bendahara mencakup materi pelatihan yang terdiri dari perkenalan pada apa yang dimaksud dengan kontrak berbasis masyarakat, pencairan dan pengelolaan dana, pemantauan kemajuan serta mekanismenya. Tujuan pelatihan adalah: (1) mengembangkan kemampuan KSMP untuk mengkoordinasikan serta memotivasikan anggota mereka untuk memainkan peran aktif dalam proses implementasi; (2) memberikan informasi secara langsung mengenai program perumahan Proyek Bantuan Darurat Gempa (the Earthquake and Emergency Support Project), terutama soal rehabilitasi rumahrumah tradisional melalui kontrak berbasis masyarakat; (3) memperkenalkan peran serta tanggungjawab KSMP dan mendukung pembentukan tim di antara para penerima manfaat; (4) memperkenalkan tehnik rehabilitasi serta metodemetodenya. Para Pakar Rumah Tradisional memberikan arahan penerapan dan pemantauan; (5) mengembangkan kemampuan dalam manajemen keuangan. Prioritas utama diberikan pada konstruksi bagian yang lebih rendah pada rumah, yang diistilahkan sebagai batu ehomo, ehomo, ndriwa, siloto, dan lalihowo. Prioritas kedua diberikan pada komponen lantai dari rumah, disebut sikholi, folano, balobalo, dan fafagahe bato. Prioritas ketiga diberikan pada bagian tengah dari rumah, lagolago, ima laso, dan ama laso. Prioritas terakhir adalah atap. Karena persediaan daun palem untuk atap tradisional menjadi serba terbatas pasca gempa, maka digunakan lembaran besi (galvanized iron, GI) yang dianggap sebagai alternatif yang termudah dan termurah. Setiap kontrak diberi nilai Rp 54 juta yang dicairkan BRR melalui Kantor Perbendaharan Pusat kepada setiap KSMP dalam dua tahap pembayaran. Tahap pertama bagi pelunasan 55 persen nilai kontrak, yang kedua untuk pelunasan 45 persen dari kontrak. KSMP menarik dana melalui rekening Bank Rakyat Indonesia. Pendaftaran pencairan kedua dikirimkan kepada petugas untuk verifikasi (Pejabat Pembuat Komitmen, PPK) dengan

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

ADB membentuk kelompok pengamat untuk mempelajari desain arsitektur rumah tradisional Nias berdasarkan riset kepustakaan, pengamatan lapangan, dan diskusi dengan narasumber. Arahan teknis disusun untuk digunakan para fasilitator, Community Development Groups (Kelompok Swadaya Masyarakat Perumahan, KSMP), dan para penerima manfaat.

3

laporan kemajuan bagi tiap rumah dan KSMP serta foto proyek. Pembayaran pertama diteruskan kepada para penerima manfaat di kantor proyek pelaksana yang berlokasi di Teluk Dalam guna memastikan dana bantuan ini tersalurkan dengan baik serta bebas manipulasi maupun korupsi.STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Para kepala desa diundang untuk menyaksikan proses ini, dan semua kegiatan difasilitasi oleh kelompok distribusi, yang menyediakan rincian prosedur dan mekanisme distributor kepada para penerima manfaat, informasi tentang kontrak berbasis komunitas, dan tanggung jawab para penerima manfaat sebagai pelaku utama dalam implementasi kontrak tersebut. Dalam proses ini, konsultan pelaksaanan proyek (project implementation consultant, PIC) bertindak sebagai fasilitator dalam mengarahkan para penerima manfaat melalui proses pencatatan pembayaran anggaran dan aliran dana serta menegakkan akuntabilitas dengan cara mendistribusikan semua data ke para penerima manfaat.

4

Pengembangan dan PelaksanaanLangkahlangkah yang diambil ADB untuk membantu proses rekonstruksi dan rehabilitasi rumahrumah tradisional mendapat sambutan hangat dari para warga yang kemudian membangun rumahrumah mereka sesuai gaya tradisional. Hanya sedikit dari penerima manfaat yang memutuskan membangun rumahrumah konvensional daripada rumah tradisional. Dalam Proyek Nias 2 di tujuh desa, 274 rumah tradisional direncanakan direhabilitasi, namun setelah berkonsultasi dengan Kepala Perwakilan BRR di Nias Selatan serta penasihat perumahan ADB, diputuskan prioritas akan diberikan pada 197 rumah terpilih. Keputusan untuk mengurangi jumlah rumah dilakukan berdasarkan pertimbangan BRR Nias Selatan bahwa hanya 200 rumah yang bisa dituntaskan sebelum akhir alokasi dana DIPA 2008 yang jatuh pada 18 Desember 2008. Keputusan untuk merehabilitasi hanya 197 rumah tradisional menimbulkan sejumlah keluhan, terutama dari para kepala desa dan komunitas yang rumahrumah serta desa desanya telah diverifikasi oleh BRR dan PIC untuk direhabilitasi. Meski demikian, program ini tidak mampu mengakomodasi rehabilitasi dan rekonstruksi 383 rumah di delapan desa landaan bencana. Dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi rumahrumah tradisional, diputuskan untuk membentuk subkelompok Ahli/Spesialis Rumah Tradisional untuk menyediakan arahan teknis bagi rehabilitasi rumahrumah tradisional. Tetapi, satu penduduk tidak puas dengan keputusan ini dan mengakibatkan terjadinya insiden di Teluk Dalam, ibu kota Kabupaten Nias Selatan. Seorang konsultan dari badan bantuan yang terlibat di dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi rumahrumah tradisional diserang kepala desa dan pengikutnya yang menuduh konsultan tersebut berbuat kesalahan sehingga menyebabkan kesalahan konstruksi. Kontrak semula antara BRR dan KSMP mencakup biaya pembuatan atap senilai Rp 12 juta. Sesuai anjuran dari konsultan, perubahan dilakukan pada rancangan atap

Untuk mengatasi masalah ini, PIC45 mengadakan pertemuan dengan konsultan utama, PPK, KSMP, dan Komite Percepatan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Desa (KP4D) dan para kepala desa dan mengkomunikasikan hasil kepada para penerima manfaat. Masalah ini tetap juga tidak selesai dengan tuntas. Belakangan, diadakan pertemuan masyarakat di empat desa untuk mendiskusikan masalah ini secara langsung dengan penerima manfaat, yang menghasilkan kesepakatan para penerima manfaat untuk menutupi kekurangan biaya tambahan sendiri.

Hikmah AjarSepanjang pelaksanaan di lapangan, masalah utama terletak pada kurangnya tukang kayu yang terampil, ketersediaan kayu berkualitas, dan kurangnya motivasi sejumlah penerima manfaat serta hujan terus menerus di Nias. Sepanjang proses rehabilitasi rumahrumah tradisional Nias, terlihat bahwa penerapan kontrak berbasis masyarakat merupakan pendekatan yang tepat bagi implementasi proses karena memberi manfaat bagi masyarakat, seperti (1) kualitas rumahrumah tradisional membaik karena dibuat sendiri oleh pemiliknya; (2) komunitas dapat belajar untuk mengelola diri mereka sendiri; (3) komunitas dapat belajar mempersiapkan rencana kerja yang sistematis; (4) pendekatan ini menjadi salah satu cara yang demokratis untuk mencari solusi dan berkompromi; (5) pendekatan ini meningkatkan kemampuan komunitas mengerjakan pekerjaan konstruksi; (6) pendekatan ini juga meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dana secara bertanggung jawab; (7) pendekatan seperti ini juga membangun kebanggaan masyarakat terhadap rumah rumah tradisional dan desa mereka. Kontrak berbasis masyarakat memberikan kesempatan bagi para penerima manfaat untuk mengambil peran penting sepanjang pelaksanaan. Poinpoin di atas hanya bisa dicapai melalui pemberdayaan secara bertahap. Pelatihan ADB bagi KSMP dan fasilitator terbukti berhasil. Para penduduk desa adalah petanipetani tradisional berpenghasilan rendah yang belajar untuk bisa mengelola beragam pekerjaan mereka selama pelaksanaan program.

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

untuk menjaga karakter tradisional dari struktur bangunan Nias. Akibatnya, beban kerja bertambah dan biaya meningkat menjadi Rp 16 juta. Perubahan kontrak harus dilakukan guna menutupi penambahan biaya atap dengan cara mengurangi aspekaspek yang semula direncanakan dibuat setelah atap selesai. Kontrak baru senilai Rp 6 juta dibuat untuk menutup aspekaspek yang dikurangi tersebut. Alhasil, nilai total kontrak meningkat dari Rp 54 juta menjadi Rp 60 juta. Namun sebagian penerima manfaat menolak mengeluarkan uang untuk biaya tambahan atap karena adanya salah persepsi bahwa akan ada tambahan bantuan biaya yang mereka terima untuk menanggung aspekaspek lain yang mereka perlukan untuk membangun rumah.

5

Untuk melakukan programprogram serupa, maka perlu untuk menyediakan waktu lebih panjang untuk pemberdayaan masyarakat, sebelum melakukan kerja lapangan atau proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Penerima manfaat rehabilitasi rumahrumah tradisional di tujuh desa di Nias menyadari manfaat program ini, sehingga antusiasme dan motivasi mereka pun meningkat. Kunci keberhasilan program terletak pada sinergi antara berbagai partisipan, tetapi sering kali tantangan terbesar justru datang dari kaum elit, termasuk kepala desa serta tokohtokoh yang menyalahgunakan kekuasaan mereka, dengan memanipulasi posisi dan fasilitas untuk mengambil uang dari masyarakat. Penyebaran dana secara langsung kepada penerima manfaat melalui kontrak berbasis masyarakat, mengurangi kesempatan praktik yang tidak jujur serta mendorong penduduk memainkan peran aktif. Selain itu cara ini mendorong masyarakat untuk belajar cara mengatasi masalah dengan terarah dan sistematis, sehingga mampu memberdayakan masyarakat untuk menghadapi tantangan di masa mendatang. Banyak penerima manfaat mengeluhkan jumlah dana bantuan yang tidak mencukupi, mereka beralasan rumahrumah mereka mengalami kerusakan yang lebih berat sehingga sejumlah komponen perlu diganti dan memakan biaya lebih tinggi. Dalam kontrak awal dijelaskan, ada empat bagian utama rumah tradisional yang mendapatkan prioritas penggantian. Penjelasan ini dipahami dan perlahanlahan diterima oleh para pengaju keberatan. Dalam membentuk KSMP, PIC bisa mendampingi KSMP dan jika memungkinkan ia dapat mengatur perolehan bahan bangunan dalam jumlah besar, sehingga mendapatkan harga lebih murah daripada harga pasar. Kelompok ini mendampingi mereka dalam mencari bahan bangunan yang murah tapi berkualitas, sesuai persyaratan teknis. Namun demikian, banyak hal perlu ditinjau kembali. Misalnya, rumahrumah tradisional dibangun menurut strata masyarakat dengan ukuran serta bentuk yang ditentukan oleh status sosial pemiliknya. Karena itu, para fasilitator, konsultan, kepala desa harus menyetujui model rumahrumah yang akan direhabilitasi atau dibangun kembali. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah kesalahpahaman antara konsultan dan masyarakat, yang bisa meledak menjadi pertikaian fisik, seperti terjadi di Teluk Dalam, Nias Selatan. Kedua, kriteria seleksi rumahrumah tradisional yang didanai untuk rehabilitasi dan rekonstruksi harus sesuai dan jelas demi menghindari keluhan serta perasaan iri di kalangan warga. Ketiga, saat konstruksi mengalami perubahan, baik dari segi materi yang dipakai atau ada fungsi maupun bagian rumah yang berubah, maka semua perubahan tersebut harus dibicarakan guna mengantisipasi dampaknya terhadap keotentikan rumah tradisional dan penyaluran dana.

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

6

Asian Development Bank (ADB)

Membangun Kembali Masyarakat Melalui Pembangunan Rumah

Pendahuluanhibah antara Asian Development Bank (ADB) dan Pemerintah Indonesia untuk Earthquake and Tsunami Emergency Support Project (ETESP), menyebutkan tujuan proyek tersebut adalah membantu pembangunan kembali kawasankawasan di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Provinsi Sumatera Utara, termasuk Pulau Nias, setelah terjadinya gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004, dan untuk mendukung kebangkitan kembali kawasan tersebut guna memenuhi target Tujuan Pembangunan Millenium (MDG). Komponen perumahan mencakup rekonstruksi rumahrumah yang hancur dan pemulihan rumahrumah yang rusak, serta pengadaan sistem air dan sanitasi. Skala kerusakan yang disebabkan tsunami dan gempa di Aceh dan Nias sangat besar, sehingga pemahaman serta pengalaman yang ada tidak mencukupi untuk mengatasinya. Jelaslah, pengalaman yang dibutuhkan untuk mengatasi kerusakan pascatsunami bisa dikatakan tidak ada. Masalah tersulit untuk diatasi adalah hilangnya informasi yang teraba dan tidak teraba, termasuk ingatan mereka yang selamat serta tempattempat penting Untuk mengatasi hal ini, ADB pertamatama mengirim tim yang terdiri dari para ahli nasional dan internasional yang berpengalaman, termasuk mereka yang pernah terlibat dalam pembangunan kembali kawasan Calang, ibu kota Aceh Jaya, untuk merumuskan terms of reference (ToR) bagi para konsultan guna diterapkan saat mendampingi ADB.

PERJANJIAN

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

7

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Kelompok ini ditugaskan mengunjungi sebanyak mungkin lokasi potensial untuk pendampingan, serta bertemu para pejabat pemerintah pusat dari Departemen Tenaga Kerja dan Bappenas, juga menjumpai pejabat pemerintah daerah. Sebagian besar lokasi yang ditawarkan kepada tim ini sudah diambil donor lain atau pihak yang tak bisa disebutkan. Dari yang sudah diambil donor lain, banyak yang lalu disiasiakan. Di tengah kebingungan ini, ADB memutuskan mendampingi dua desa saja, yaitu, Gampong Pande dan Lamdingin, keduanya di Banda Aceh. Di tahap selanjutnya, ADB juga mendampingi desadesa lain serta desa relokasi, sementara di Nias, ADB membantu pembangunan kembali rumah rumah tradisional yang rusak parah akibat gempa pada Maret 2005. Gampong Pande, dulunya ibu kota Aceh, berada di Kecamatan Kutaraja. Penduduk setempat percaya, penguasa Aceh berasal dari desa ini, pemakaman para leluhur masih dirawat penduduk. Proses perencanaan membangun kembali, yang memakan waktu panjang, membuahkan hubungan akrab antara tim perencana ADB dan para tetua di Gampong (lihat peta), akibatnya penduduk serta petinggi Gampong hanya mau menerima dampingan dari ADB. Rekonstruksi yang melibatkan pembangunan 153 rumah itu ditunjang pembangunan jalan raya juga sarana pengairan, kantor desa, pusat kegiatan masyarakat (meuligoe), dan gedung pertemuan perempuan (balee inong). Gedung pertemuan perempuan ini merupakan donasi dari Perancis, sahabat Indonesia. Rekonstruksi Gampong Pande tuntas dalam waktu sekitar satu tahun dan sesuai prinsipprinsip rekonstruksi yang telah digariskan.

8

Pengembangan dan PelaksanaanMengingat tujuan proyek untuk mengembalikan kebutuhan mendasar atas perumahan bagi setiap rumah tangga yang kediamannya hancur atau rusak akibat gempa bumi/ tsunami serta memastikan kondisi hidup yang aman bagi penduduk, rancangan rumah dan kriteria seleksi bagi para penerimanya dipertimbangkan dengan saksama. Sebuah rumah tangga baru layak menerima dana untuk rekonstruksi atau perbaikan bila calon penerima menempati kediaman yang hancur/rusak itu saat terjadinya gempa bumi/ tsunami. ADB juga bekerja keras memastikan, ikatan antara masyarakat bisa dibangun kembali. Jumlah rumah yang dibangun di setiap desa disesuaikan menurut rencana desa yang dibuat sebelum konstruksi. Di bawah ETESP, perempuan sepenuhnya berhak memperoleh sarana/fasilitas rehabilitasi. Para janda adalah penerima bantuan bagi pembangunan/rehabilitasi rumah yang dimiliki suami mereka. Para yatim piatu dari pasangan yang tewas akan berbagi sebagai penerima bersama, dana bantuan bagi rumah yang dimiliki orangtua mereka. Semua upaya ditempuh demi memastikan para janda dan anakanak mewarisi tanah yang dimiliki suami atau orang tua mereka sejauh cara yang dimungkinkan hukum. Bila hal ini tidak mungkin, para janda dan anakanak berhak menerima bangunan rehabilitasi berdasarkan kebijakan bagi penduduk penyewa rumah saat terjadinya tsunami.

Bagian belakang rumah diperluas dengan menggunakan materi dari hunian sementara Foto: Dokumentasi ADB

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

9

Dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi, sejumlah prinsip pelaksanaan rekonstruksi perlu diperhatikan: Fokus pada masyarakat sebagai penerima manfaat dan melibatkan mereka di dalam proses rekonstruksi. Rumahrumah yang dibangun harus tahan gempa dalam skala tinggi seperti yang terjadi di Aceh dan Nias. Konstruksi harus memperhitungkan standar nasional yang ada. Materi yang digunakan, cara membangun, dan cara bermukim yang ramah lingkungan. Peka terhadap isu gender dan isu keluarga yang tidak lengkap. Menulis persetujuan bersama mengenai kepemilikan tanah, lokasi, dan luas area. Menghindari area yang rentan bencana alam serta mematuhi Rencana Tata Ruang yang sudah disetujui. Menggunakan sumber daya setempat, baik benda maupun tenaga kerja. Melibatkan masyarakat di dalam perencanaan dan desain, sehingga mereka bisa mengatasi kebutuhan konstruksi serta perbaikannya di masa mendatang. Kontraktor membangun rumah yang bisa dikembangkan lebih lanjut oleh para penduduk, didukung semaksimal mungkin dengan arahan konsultan pelaksana proyek. Rumahrumah dirancang bergaya rumah tradisional Aceh dengan sistem desain terbuka dan semi tuntas. Penerima rumah tersebut harus termotivasi melengkapinya dengan memodifikasi dan mengembangkannya. Cara ini memungkinkan pemilik memenuhi keinginannya, seperti menghubungkan dua atau lebih rumah antarsaudara kandung, atau orangtua dan anak, serta memutuskan bagaimana rumah mereka terlihat. Singkatnya, hampir semua dari 153 rumah memiliki karakter pribadi: tidak ada dua rumah yang serupa. Setelah semua rumah dibangun, komunitas desa kembali dibentuk. Di desadesa lain, di Aceh, juga di Nias, ADB bekerja sama dengan donor lain seperti UNHABITAT. Pemulihan Gampong Pande memerlukan ketekunan dan kesabaran, agar proses rekonstruksi bisa memulihkan keadaan semirip mungkin dengan kondisi aslinya. Masyarakat sangat aktif menyediakan informasi dan mendiskusikan dampak ikutan di tahap persiapan meski tidak ada peta atau indikasi mengenai lokasi tempattempat ketika sebelum terjadi bencana. Informasi diperoleh dari fotofoto satelit yang diberikan Uni Eropa. Dengan dukungan kuat dari masyarakat, rencana desa selesai dan disetujui

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

10

Rumah tradisional Nias setelah rehabilitasi Photo: Dokumentasi ADB

Pengalaman di Nias juga serupa, perbedaanya adalah masyarakat di Nias masih terintegrasi. Namun demikian, rencana desa masih perlu disiapkan, sebuah tipe rumah baru dirancang dan sebuah manual untuk pemulihan rumahrumah tradisional dikembangkan bersama. Melalui pengembangan hubungan kerja yang akrab, sejumlah rumah nontradisional yang hancur oleh gempa berhasil dibangun kembali dengan model tradisional serta sedikit modifikasi, sehingga bagian dalam bisa lebih efektif digunakan.

Jalan Utama Gampong Pande. Foto: Dokumentasi ADB

AnalisisSelama hampir empat tahun menerapkan rekonstruksi dan rehabilitasi perumahan di sejumlah tempat di Aceh, termasuk Sabang dan Nias, sejumlah pembelajaran berharga patut disimak. 1. Meski tak mudah mencapainya, sangat penting melibatkan masyarakat setempat sedini mungkin. Semakin lama jangka waktu dari pascabencana, semakin sulit melibatkan masyarakat. Ketulusan masyarakat dan konsultan harus diungkapkan sejelas mungkin agar terbina saling pengertian. 2. Pendekatan rehabilitasi dan rekonstruksi harus berdasarkan pada pelayanan terhadap penyintas dan pembangunan kembali masyarakat, bukan sekadar upaya memenuhi target berdasarkan jumlah rumah yang akan dibangun. ADB memastikan seluruh penyintas, yang berhak memperoleh bantuan, akan mendapatkannya. 3. Perencanaan dan desain harus memungkinkan masyarakat melakukan pengembangan lebih lanjut dan oleh mereka sendiri. Cara ini akan menghasilkan lingkungan unik bagi konteks lokal dan menghasilkan yang terbaik serta sesuai kebutuhan dan harapan komunitas. Salah satu hambatan yang dihadapi adalah birokrasi yang lamban. Hal ini juga ditambah dengan kualitas kerja sebagian besar kontraktor yang buruk dan tidak memenuhi standar ADB. Kurang baiknya manajemen kerja rekonstruksi juga mengurangi kualitas hasil akhir yang diantisipasi ADB dan para penerima manfaat. Model kontrak komunitas seperti yang digunakan pada rehabilitasi dan rekonstruksi di Nias menghasilkan kualitas lebih baik dengan biaya lebih efektif. Model ini tidak bisa digunakan di Aceh, karena sedikit dari penerima manfaat yang menetap di daerah asalnya setelah terjadi bencana.

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

tetua desa. Periode pascarekonstruksi tidak hanya memperlihatkan pembangunan lebih lanjut dari rumah rumah yang sudah direkonstruksi, tetapi juga pohon pohon serta bungabunga yang ditanam. Tiga makam leluhur, yang merupakan situs penting bersejarah bagi Aceh, juga direstorasi.

11

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Rekonstruksi rumahrumah yang hancur telah mencapai tahap final. Beberapa organisasi lokal dan internasional serta LSM telah membantu dengan segala cara yang mereka mampu dan keberhasilan tercapai dengan cara menggabungkan prakarsa lokal, seperti rekonstruksi di Calang, yang rusak total dan bisa berfungsi kembali dalam waktu dua bulan. Bantuan ADB diharapkan bisa mempercepat pemulihan dan pembangunan di area lebih besar dan skala lebih besar pula, serta membantu membangun kembali kehidupan masyarakat, permukiman, dan komunitas. ADB membangun lebih dari 6.000 rumah dan memulihkan lebih dari 1.000 rumah di Aceh dan Nias. Dari jumlah itu, 1.300 bangunan yang berlokasi di bagian selatan Nias, dengan sepertiga dari jumlah tersebut merupakan bangunan bertipe tradisional. ADB membangun kembali rumahrumah tradisional, karena warisan budaya ini bisa punah sama sekali bila tidak direstorasi. Rekonstruksi juga memasukkan tempattempat unik milik publik (ewali) yang masih menampilkan elemen kebudayaan batu besar (megalitikum).

12

Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA)

Mempercepat Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh melalui Pemetaan Tanah Masyarakat dan Perencanaan Tata Ruang DesaPENGAKUAN atas kepemilikan tanah di beberapa daerah di Aceh dihadapkanpada permasalahan akibat tsunami 26 Desember 2004. Tsunami melenyapkan catatancatatan kepemilikan tanah masyarakat, juga orangorang yang dapat bersaksi terhadap pengakuan secara tradisional maupun undangundang perihal kepemilikan tanah seseorang. Program Pemetaan Tanah Masyarakat (community land mapping, CLM) dan Perencanaan Tata Ruang Desa (village spatial planning, VSP) dari LoGICA membantu masyarakat untuk memperoleh data penting tentang batasbatas tanah segera pascatsunami, membangun kembali dengan cepat rumahrumah dan berbagai infrastruktur publik penting lainnya. Studi kasus ini menunjukkan, sangat mungkin untuk bekerja sama dengan para penyintas untuk membantu mereka memulai proses membangun kembali hidup mereka dari awal.

Latar Belakang InisiatifSelain menjadi penyebab kematian 126.741 orang, tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 juga menghancurkan berbagai infrastruktur penting seperti rumah rumah, sekolah, kantor pemerintahan, dan tempattempat lain yang menyediakan layanan masyarakat.

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

13

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

14

Banda Aceh, 4 bulan setelah tsunami, 2 April 2005 Foto: Dokumentasi LOGICA

Lihat foto di di bawah ini. Kota Banda Aceh hancur akibat tsunami 2004 dan bayangkan apa saja yang diperlukan untuk membangun kembali rumah Anda di area seperti ini, di mana batasbatas tanah tak jelas lagi. Bagaimana Anda akan memulai? Para penyintas harus membangun kembali hidup mereka di lingkungan yang hancur ini, sambil menanggung beban mental dan kelelahan fisik yang luar biasa akibat kehilangan anggota keluarga, harta benda, rumah, dan kota mereka. Program CLM dirancang untuk menyediakan data awal dasar tentang batasbatas tanah masyarakat. VSP menyediakan data infrastruktur dasar bagi penduduk desa dan donor untuk memulai pengembangan.

PeristiwaPeristiwa PentingBerdasarkan tuntutan masyarakat segera pascatsunami, LoGICA memfasilitasi sejumlah pertemuan dengan para penyintas untuk mengidentifikasi kebutuhan paling mendesak. Kelanjutan pertemuanpertemuan ini, identifikasi batas tanah, dan rencana ruang desa ditentukan sebagai dua prioritas utama oleh masyarakat. LoGICA memilih menangani kedua persoalan ini, dimulai dengan para CLM. LoGICA melatih para penduduk pada di desadesa landaan tsunami untuk memetakan tempat tinggal dan batasbatas tanah, menyelesaikan kepemilikan berbasis konsesus, dan

Untuk produkproduk CLM ini, sejumlah VSP dikembangkan, membantu tiap desa dalam perencanaan penggunaan tanah masyarakat, infrastruktur, dan kebutuhan sumber lain. Para VSP juga membantu badanbadan eksternal, seperti pemerintahan kabupaten dan kecamatan, LSM, donor, dan para konsultan mereka dengan menyediakan informasi format standar (dikeluarkan melalui konsultasi masyarakat dan mewakili persoalan perencanaan tata ruang masyarakat) untuk menilai lingkungan tata ruang tiap desa dengan mudah dan cepat. Semua produk pemetaan ini dialihkan ke desa, tingkat kecamatan dan kabupaten yang disediakan bagi para pendonor perumahan dan kontraktor yang terkait untuk tujuan VSP dan rekonstruksi. LoGICA bekerja sama dengan masyarakat untuk menyelesaikan sejumlah CLM di 400 desa di seluruh kabupaten di Aceh, dengan 88.718 bidang tanah yang telah dipetakan dan lebih dari 200 VSP dihasilkan. Lebih dari 3.200 penduduk desa dilibatkan dalam proses CLM dan kurang lebih 1.050 penduduk berpartisipasi dalam proses VSP. Setidaknya 30% tenaga kerja sukarela CLM adalah perempuan. VSP telah dimanfaatkan lebih dari 270 badan pemerintahan (dari berbagai tingkat pemerintahan) serta LSM lokal dan internasional yang bekerja untuk rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh.

Tantangan Dimulai dari nol, dengan nol untuk memulai. Pada awalnya, sangat sulit mengatur pertemuan masyarakat sementara mereka masih bergumul secara fisik dan mental untuk membangun kembali hidup mereka setelah tsunami. Dalam lingkungan ini, tidak mudah meyakinkan masyarakat bahwa mereka harus bangkit dan membangun kembali kehidupan mereka. Kita belajar, sangat penting mendengarkan masyarakat dan mengembangkan program berdasarkan kebutuhan utama mereka, proses yang efektif sekaligus dapat menciptakan rasa kepemilikan akan program bantuan di antara para penerima manfaat. Kurangnya pengetuahuan lokal dan para ahli. Program seperti CLM dan VSP tidak pernah dilaksanakan di Aceh sebelumnya. Kemudian, terbukti sulit menemukan fasilitator masyarakat yang terlatih dengan baik di Aceh dalam bidang ini untuk melatih masyarakat. Kita harus memanfaatkan sumber yang ada sebaik mungkin untuk melatih para pembuat peta dan perencana tanah sebelum mereka mulai bekerja dengan masyarakat. LoGICA memutuskan merekrut para lulusan Aceh dan

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

a menandai bidang tanah individual. Semua ini dilakukan menurut panduan pemerintah dan hasilnya diterima masyarakat. Kesepakatan kepemilikan yang bebasis masyarakat diwajibkan sebelum rekonstruksi rumah dapat dimulai. Proses yang konsultatif memberikan hasil pada produkproduk CLM, seperti petapeta desa, daftar kepemilikan tanah, dan kesepakatan batas tanah.

15

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

para dosen senior dari Jurusan Arsitektur Universitas Syiah Kuala dan melatih mereka dengan teknik yang sesuai. Hal ini juga memiliki dampak positif dalam membangun kapasitas penduduk setempat terkait hal ini. Memanfaatkan SDM lokal juga berguna untuk memecahkan berbagai tantangan di lapangan, khususnya berkenaan dengan isuisu peka budaya.

Hikmah Ajar Membangun hubungan baik dengan masyarakat. Program CLM dan VSP melibatkan masyarakat melalui berbagai pertemuan dan mendorong anggota masyarakat bekerja dalam kelompokkelompok kecil untuk membuat pemetaan dan rencana kerja. Hubungan baik dengan masyarakat juga diperkuat melalui tim LoGICA yang tinggal di tengah masyarakat yang bekerja bersama mereka. Memperoleh kepercayaan. Keterlibatan masyarakat dalam programprogram LoGICA menjadi faktor penting efektivitas dan efisiensi berbagai prakarsa CLM dan VSP. Bekerja sama dengan masyarakat, para pemimpinnya, serta otoritas daerah penting bagi semua pihak/pemangku kepentingan untuk memperoleh rasa kepemilikan dari program tersebut. Keterlibatan masyarakat. Kesinambungan program, produksi, dan hasilnya sangat bergantung pada tingkat keterlibatan masyarakat dan rasa kepemilikannya. Mengoptimalkan pengetahuan lokal dan masyarakat sebagai sumber. Pada situasi bencana, ketika bagian logistik dan infrastruktur berkompromi secara drastis dan para penyintas mengalami trauma, menggunakan atau mengoptimalkan masyarakat dan mengembangkan sumber lokal, seperti pengetahuan budaya lokal dan sejarah kepemilikan tanah, dapat mempercepat proses pemulihan dan sering kali lebih efisien daripada mendatangkan sumbersumber dari luar daerah/provinsi/negara daerah bencana. Pendekatan belajar dengan melakukan. Sangat bijak untuk tidak terlalu ambisius dalam memulai program. LoGICA memulai CLM hanya di 12 desa dalam sebuah kecamatan, kemudian, telah berhasil, bergerak perlahan untuk menggandakan program tersebut di hampir 400 desa di 10 kabupaten di Aceh. Pendekatan ini memberikan kesempatan bagi para pegawai LoGICA dan pemimpin masyarakat yang terlibat dalam program untuk belajar dengan melakukan, mencoba metodologi dan membentuknya agar sesuai dengan proyek.

16

Yayasan Masyarakat Makmur Mitra Adil (Mamamia)

Rekonstruksi dan Rehabilitasi Perumahan dan Pemukiman di Aceh Program RRHS

YAYASAN Mamamia didirikan pada 4 Januari 2003 di Banda Aceh untukmendukung masyarakat miskin di NAD, terutama di area pedesaan. Mamamia atau Masyarakat Makmur Mitra Adil bersama dengan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Klat Limbang melaksanakan kegiatannya yang pertama di empat desa di kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar pada awal 2003. Proyek Montasik ini bergerak di bidang yang berhubungan dengan produksi serta pemasaran cabai. Mamamia beruntung karena telah berhasil membina saling pengertian dengan masyarakat Aceh sebelum peristiwa tsunami. Hal ini membantu Mamamia mengambil langkah cepat serta tepat ketika tsunami terjadi pada 26 Desember 2004. Pada Mei 2005, perwakilan tingkat tinggi dari Bank Pembangunan Jerman, KfW mengunjungi kantor pusat Mamamia di Seungko Mulat, kecamatan Lhoong untuk memperoleh pemahaman dari penerapan strategi rekonstruksi Mamamia di program PRRL (Program Rekonstruksi Rumah Lhoong). Perwakilan bank KfW berada di Aceh untuk mengkaji situasi dengan tujuan memperkenalkan dan melaksanakan sejumlah intervensi melalui dana bantuan pemerintah Jerman yang disalurkan lewat KfW. Salah satu bentuk intervensi yang diambil berhubungan dengan rekonstruksi dan rehabilitasi perumahan di Aceh, sebuah proyek yang diperkirakan akan menyerap alokasi dana sebesar 41 juta Euro.

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

17

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Mamamia didekati sebuah Firma Konsultan Jerman, GITEC Consult GmbH pada Juli 2005. GITEC mengajak Mamamia bersamasama mengikuti tender KfWRRHS Aceh dengan syarat GITEC sebagai pihak yang memimpin, Mamamia bertindak sebagai pihak yang menerapkan proses rekonstruksi perumahan dengan menggunakan model pemberdayaan yang dibuatnya, sementara GITEC akan menjadi penyelia kegiatan kegiatan Mamamia baik teknis maupun finansial. Sebagai pihak yang memimpin, GITEC akan menangani seluruh perjanjian dengan KfW, BRR beserta institusi terkait, termasuk, proses pelaporan. Setelah program Rehabilitation and Reconstruction of Housing and Settlements (RRHS) dipercayakan kepada GITEC, perjanjian dibuat antara GITEC dan Mamamia pada 1 oktober 2005 dengan konsesi GITEC dapat menerapkan alternatif model rekonstruksi guna memastikan tercapainya target bila model yang dibuat Mamamia tidak mampu menelurkan hasil dalam waktu cepat. Sesuai perjanjian, Mamamia mengelola keuangannya sendiri serta akan dibiayai dengan mata uang euro secara langsung melalui kantor pusat GITEC di Jerman. Mamamia setuju untuk melapor kepada manajer umum RRHSAceh di Banda Aceh. Anggaran kegiatankegiatan MamamiaRRHS didasarkan pada rincian serta Bills of Quantities (BoQ) yang disetujui dan terungkap dari bahan bangunan yang diperlukan untuk membangun rumah dari tipe tertentu atau fasilitas lain pada harga satuan per jenis materi yang sudah disetujui. Di pihaknya, GITEC akan mengawasi hargaharga pasar untuk memastikan harga satuan per unit sesuai dengan harga di pasar saat itu. Harga satu rumah atau fasilitas lain termasuk harga total di dalam BoQ dengan tambahan 15 persen untuk menutup biaya pengiriman serta layanan dan pasokan oleh Mamamia kepada penerima manfaat serta pelaksanaan fasilitasfasilitas dan layanan yang diperlukan, dan berlaku baik di kantor pusat Mamamia maupun tempat pusat kegiatannya di Aceh. Layananlayanan termasuk biaya identifikasi yang meluas, latihan latihan pengujian yang berkaitan dengan setiap calon potensial penerima manfaat, dan desa di mana calon potensial itu tinggal, juga lingkungan kecamatan/kabupaten.

18

Sejumlah Karakteristik yang Relevan dalam Pendekatan Mamamia:1. Seluruh program dilaksanakan penduduk Aceh dari kawasan pedesaan. 2. Programprogram yang lebih besar dikoordinasikan dan diawasi dari tempat pusat kegiatan masingmasing di kawasan bersangkutan. Programprogram lebih kecil atau porsi program yang lebih besar di kawasan terpencil dikoordinasikan serta diawasi dari sebuah posko kesehatan di kawasan tersebut. 3. Setiap program bertujuan membantu desa terkait untuk mengatasi satu masalah yang spesifik, dengan mempertimbangkan rekonstruksi sebuah desa perlu

dilaksanakan dengan cara mendukung kondisi terciptanya masyarakat desa yang harmonis dengan sebaik mungkin. 4. Masyarakat adalah mitra Mamamia dari fase identifikasi hingga tuntasnya sebuah program di desa tertentu. Kemitraan ini dibentuk di pertemuanpertemuan desa dan melalui pelaksanaan pengambilan keputusan di forum di masa penerapan. 5. Setiap program dilaksanakan dengan cara yang bisa memberdayakan setiap penerima untuk membangun atau mengembangkan fasilitas yang diperlukan olehnya seperti rumah, kebun, atau taman. Hal ini diresmikan di dalam sebuah Kontrak Pemberian Bantuan antara Mamamia (atas nama setiap program yang spesifik) dan penerima manfaat. Di bawah kontrak ini, penerima manfaat berperan baik selaku pembangun/ pemborong fasilitas yang diperlukannya. Para penerima manfaat juga bisa menerima bantuan secara kolektif, misalnya sebagai desa yang akan membangun sebuah pusat kesehatan. 6. Surat Kepemilikan Tanah (SKT) yang dibuat sesuai Hukum Adat adalah bukti hukum yang dianggap cukup untuk memberikan izin kepada penerima manfaat, agar bisa memulai membangun di atas tanah tersebut.

Implementasi Program RRHS AcehJumlah RumahMenurut perjanjian antara GITEC dan Mamamia, jumlah rumah yang harus dibangun Mamamia awalnya untuk sementara ditargetkan mencapai 5.000 unit. Setelah GITEC, KfW, dan GTZ mengidentifikasi jumlah kabupaten, kecamatan, dan desa bagi program RRHSAceh pada JuliAgustus 2005, Mamamia diundang meliput kebutuhan rekonstruksi di sejumlah lokasi terpilih di Banda Aceh dan Aceh Besar serta Kabupaten Bireuen. Mamamia diundang membangun sebanyak 3.463 rumah di kawasan tersebut. Meski demikian, sejumlah penyesuaian tetap dilakukan. Sebelum akhir 2008, jumlah total rumah yang dibangun RRHSMamamia mencapai 4.513 di 51 desa.

Dua Jenis RumahDi bawah program RRHS, Mamamia membangun dua jenis rumah: rumah kalsi plank dan rumah jenis hollow block. Rumahrumah tipe kalsi plank memiliki dimensi dan tata letak yang sama dengan rumah kalsi plank di Lhoong (42 m2, termasuk sebuah kamar mandi berukuran 6 m2). Namun begitu, sejumlah fitur diubah dan/atau ditambahkan misalnya: beranda kecil, lapisan atap yang lebih tebal, jangkar dari baja yang menghubungkan antara fondasi rumah, dan balok kayu vertikal. Rumah hollow block dirancang GITEC di akhir 2005, dan memiliki dimensi serupa dengan rumah kalsi plank. Namun, dindingdindingnya dibuat dari batu bata selebar 15 sentimeter dengan dua lubang di dalamnya. Palangpalang baja diletakkan di dalam lubanglubang pada jarak yang sama dan lubanglubang itu diisi dengan adonan semen

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

19

dan pasir setelah palangpalang diletakkan satu di atas yang lainnya, menghasilkan konstruksi yang kuat. Jumlah terakhir, rumahrumah kalsi plank mencapai jumlah 2.574 unit; dan rumah hollow block sejumlah 1.939 unit, mencapai jumlah total 4.513 unit.

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Ukuran-Ukuran TambahanAir: GITEC melaksanakan sistem pasokan air lebih besar, sementara Mamamia mengerjakan sumursumur dangkal. Sejumlah 919 sumur dangkal dibangun. Di sejumlah kawasan, sumur dangkal tidak dimungkinkan mengingat kondisi air yang payau atau alasan lain. Dalam kasuskasus semacam itu, unit penampungan air dibuat (atas permintaan penerima manfaat yang memerlukan) dengan menghubungkan talang air ke atap dan menyalurkan air hujan ke dalam bak terbuat dari tangki poli berkapasitas 1.100 liter. Bak ini diletakkan di atas penyangga di samping rumah. Unit penampungan air yang dibuat berjumlah 421. 170 di Bireuen dan 251 di kawasan Lamnoo. Sanitasi: Rumahrumah RRHS dilengkapi sebuah kamar mandi. Mamamia juga membangun 3.820 unit jamban tidak jauh dari rumahrumah tersebut. GITEC meneruskan pembangunan sejumlah 592 unit jamban dengan sejumlah kontraktor: di Baitussalam (367) dan Lamnoo (225). Jalan-jalan Raya: GITEC memercayakan pembangunan jalan raya dan pekerjaan terkait kepada sejumlah kontraktor. Mamamia membangun 3,9 km jalan raya di/antar desadesa di Bireuen. Di Bener Meriah, Mamamia bekerja sama dengan penduduk desa memperbaiki sekitar 7 km jalan raya menuju situssitus bangunan.

20

Studi Kasus Singkat: Pusat Kegiatan di BireuenLaporan Pengujian Mamamia tentang desadesa yang direkomendasikan di Kabupaten Bireuen selesai pada 28 September 2005. Pembangunan base camp atau pusat kegiatan di Kecamatan Jeunieb dimulai pada November 2005. Tim Pusat kegiatan ditempatkan di tenda. Fasilitas yang ada di tempattempat sewaan digunakan untuk kantor dan fasilitas penyimpanan, karena itu, bangunan untuk fasilitas tambahan dibatasi menjadi dapur dengan area bersantap, sebuah balai, dan sedikit tempat perlengkapan. Alhasil, kelompok pusat kegiatan dengan cepat bisa segera beroperasi penuh. Pertemuanpertemuan berkala dengan desadesa sasaran lalu dikelola oleh tim pusat kegiatan. Di antara rangkaian pertemuan ini, salah satu yang paling penting diadakan di akhir November 2005. Pada kesempatan itu, 550 orang dikumpulkan di tempat pusat kegiatan, termasuk para kepala desa dari seluruh desa sasaran. Sepanjang pertemuan, disepakati untuk segera memulai, rumahrumah yang akan dibangun di Bireuen, adalah

jenis rumah kalsi plank, akan memiliki beranda depan. Biaya pembangunan gedung per bangunan juga ditentukan. Yang terpenting, sebagian besar hadirin dari desadesa sasaran melemparkan isu rekonstruksi dari desadesa mereka dengan cara yang mendukung terbentuknya masyarakat desa yang harmonis. Permintaan ini mengimplikasikan tidak hanya rumah bata akan dipertimbangkan dalam rekonstruksi tapi juga gubukgubuk kecil yang terbuat dari kayu bagi penduduk miskin di desadesa ini. Sebagian besar penduduk miskin menolak mengungsi ke barak dan memperbaiki rumahrumah kayu mereka. Mamamia berjanji mempertimbangkan masalah ini dalam kaitan hubungan kerja sama Mamamia dengan GITEC dan KfW. Beberapa minggu kemudian, disepakati permintaan penduduk desa akan ditanggapi dengan memasukkan kebutuhan tempat tinggal bagi penduduk miskin. Hal ini menjadi karakteristik penting program di Bireuen. Langkah ini memberikan kontribusi terhadap keberhasilan program Bireuen RRHSAceh yang berlangsung tanpa ada masalah sosial yang signifikan. Di awal November 2005, tim identifikasi dari pusat kegiatan memeriksa daftar calon penerima manfaat yang dibuat desadesa sasaran dan BRR, dan membandingkannya dengan angkaangka yang tertera di dalam Memo Kesepakatan (MoU) yang diresmikan antara JuliAgustus 2006. Setiap penerima manfaat dinilai, untuk memastikan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dimiliki orang yang bersangkutan sesuai persyaratan. Kontrak Pemberian bantuan diproses pada Desember 2005 dan pekerjaan konstruksi dimulai pada awal Januari 2006. Sejak saat itu, kecepatan rekonstruksi RRHS di Bireuen meningkat stabil, hingga mencapai hasil akhir dalam arti sama dengan jumlah rumah (pemasangan lima sama dengan satu rumah) dari 151,8 pada Juni 2006; 207,8 pada Juli 2006; dan 266 pada Agustus 2006. Pada Juni 2006, Kecamatan Peudada dan Pandrah ditambahkan ke empat kecamatan di Bireuen. Pada 2007, satu desa di Kecamatan Kuala ditambahkan juga ke program RRHS. Perluasan bantuan ke kecamatan dan desa tambahan tersebut muncul karena ada permintaan dari kecamatan dan desadesa itu sendiri. Ketika Program RRHSAceh di Bireuen ditutup dengan upacara penutupan di Kecamatan Peudada pada 26 Agustus 2007, angka rumahrumah yang dibangun, sejumlah 2.420 diabadikan di atas sebuah batu monumen dan diresmikan pada acara itu. Batu itu memperlihatkan jumlah rumah yang dibangun di setiap kecamatan dan setiap desa. Papanpapan ditempatkan di setiap sisi dari batu monumen itu dan memperlihatkan fotofoto setiap penerima manfaat, berdiri di depan rumahrumah mereka sambil memegang sertifikat tuntasnya rumah masingmasing. Rumahrumah di Bireuen dibangun dari Januari 2006 hingga Agustus 2007, selama periode 20 bulan, tidak termasuk periode identifikasi/pengujian yang berlangsung selama enam bulan. Dengan terselesaikannya 2.420 rumah dalam waktu 20 bulan berarti ratarata 121 rumah berhasil dibangun setiap bulan.

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

21

Hikmah AjarSTUDI KASUS: Manik-manik Terserak

1. Baik jumlah rumah dan kecepatan konstruksi, memperlihatkan efisiensi dan penerapan lancar program RRHSAceh di Kecamatan Bireuen. Hasil yang dilaporkan tercapai melalui penerapan strategi pemberdayaan yang dibuat Mamamia di dalam rekonstruksi di desadesa landaan tsunami. Strategi ini diterapkan untuk pertama kali di Lhoong dan tempat ini menjadi lapangan pelatihan bagi staf dan personel Mamamia. Bireuen memperlihatkan potensi pendekatan ini sebagai alat strategis bagi rekonstruksi di kawasan pedesaan. 2. Salah satu hasil strategi pemberdayaan adalah adanya rasa saling memiliki dari para penerima manfaat. Hal ini bisa disimpulkan dari penelitian hunian rumah yang dilakukan GITEC antara Desember 2007 dan April 2008. Dua hasil signifikan antara lain: (c) Setelah selesainya Program Bireuen, tingkat hunian rumah ratarata mencapai 98 persen dengan 20 dari 31 desa masingmasing mencapai angka 100 persen, (d) Pada April 2008, 751 penerima manfaat di Bireuen telah melaksanakan pengembangan/modifikasi rumahrumah mereka. Hal ini mewakili 31 persen dari rumahrumah yang sudah dibangun. 5. Harga per satuan rumah tipe kalsi plank di Bireuen adalah Rp 52.900.000/unit, atau 4.465,87 euro per rumah (pada nilai tukar ratarata sepanjang seluruh operasi 1 euro = Rp 11.845,40) Harga ini termasuk tambahan 15 persen untuk biaya pengiriman barang dan jasa. Harga ini dipertahankan dari awal hingga akhir putaran konstruksi di Bireuen, dimungkinkan dengan adanya jumlah yang layak serta senantiasa tepat waktu dari donor melalui GITEC kepada Mamamia dalan penerapan Kesepakatan Dana Disposisi (Disposition Fund Arrangement) yang disepakati antara pemerintah Jerman dan Indonesia. Hal ini memastikan keberlangsungan kegiatankegiatan pembangunan gedung/rumah. Sebagai tambahan, hal ini juga memungkinkan materimateri bangunan yang dibutuhkan dalam jumlah besar dan memiliki kecenderungan perubahan harga dibeli pada tahap awal serta disimpan di pusat kegiatan dan karenanya terhindar dari tekanan inflasi. 6. Respon sebagian masyarakat di Bireuen bisa dilihat dari fakta: pusat kegiatan Mamamia di Bireuen menerima lebih dari dari 5.000 permohonan bantuan, terutama dari Kecamatan Peusangan.

22

Kesimpulan Utama dan UsulanBagian 1. Perumahan dan Pemukiman

1. Strategi Pemberdayaan yang diterapkan Mamamia memperlihatkan potensi besar dari pendekatan ini sebaga alat strategis, baik untuk rekonstruksi dan untuk skema pembangunan tanah milik perorangan di pedesaan di NAD. 2. Kerja sama antara Mamamia dan para donornya berlangsung positif dan konstruktif. Dalam hubungannya dengan Program RRHS, perlu digarisbawahi bahwa Disposition Fund Arrangement antara pemerintah Indonesia dan Jerman serta pelaksanaannya oleh pejabat KfW dan BRR serta konsultan pelaksana GITEC Consult GmbH, telah memfasilitasi Mamamia secara luar biasa dalam melaksanakan tugastugasnya di bawah RRHS.

Dua hal yang tampak jelas:1. Dana cair dalam jumlah cukup besar yang diperlukan untuk memastikan lancarnya pasokan materi dan jasa tanpa interupsi kepada para penerima manfaat selalu diterima dalam jumlah yang layak serta tepat waktu. 2. Harga per jenis rumah dan per kawasan yang dibantu relatif stabil.

23

United Nations-Human Settlements Programme (UN-HABITAT)STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

24

Dua Tahun Pemulihan Permukiman selama di Aceh dan Nias

DALAM konteks pascabencana, kebijakan perencanaan tergantung padakenyataan di lapangan di mana pembuat keputusannya adalah para penyintas yang berada di bawah kondisi tertekan akibat bencana. Pemulihan dan rekonstruksi pascatsunami di Aceh dan Nias mencerminkan sulitnya mengupayakan pemulihan. Hal ini disebabkan hubungan yang sulit antara keadaan nyata di lapangan yang terbentur dengan permasalahan dan disfungsi format yang digunakan para perencana. Secara terus menerus dan sistematis para penyintas memunculkan perilaku yang berbeda dengan apa yang diperkirakan para perencana. Bagi mereka yang selamat, yang penting adalah pemulihan, bukan perencanaan kembali. Selama dua tahun pascatsunami, kapasitas perencanaan kelembagaan dilakukan dalam kelompokkelompok kerja ad hoc dan di sejumlah program pemulihan melalui tugastugas berskala kecil di tingkat kecamatan. Di akhir Desember 2006, sekitar 60.000 rumah di Aceh dan Nias telah selesai atau hampir selesai dibangun. Sekitar 20.000 rumah tengah dibangun dan sisanya dengan jumlah yang kirakira sama belum mulai dikerjakan. Masih ada banyak orang yang meminta dukungan pembangunan rumahkebanyakan dari mereka tidak punya tanah, dan banyak pula yang menjadi pengungsi karena konflik maupun kemiskinan. Permukiman dan pembangunan prasarana lain berjalan lambat. Sementara Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk AcehNias (BRR) sudah mulai menjalankan serah terima dan menerapkan kebijakan desentralisasi, pejabat setempat masih merasa terpinggirkan.

Meskipun para profesional sering kali bermaksud baik dengan menekankan pentingnya prinsip partisipatoris dan proses konsultatif, mereka sering kali gagal menerapkan prinsip dan proses tersebut. Alasan yang sering muncul antara lain: Ternyata program tidak dikendalikan oleh kebutuhan masyarakat, melain kan oleh tawaran yang disediakan dari lembaga donor, dan hal ini membuat masyarakat merasa tidak bisa mengendalikan arah pemulihan. Para profesional memiliki sedikit pemahaman tentang halhal yang mendorong perilaku masyarakat pada konteks pascabencana dalam membuat keputusankeputusan mereka. Para profesional hanya melihat konteks bencana dan hanya sedikit pemahaman tentang dimensi konflik serta dampaknya terhadap pemerintahan. Para profesional hanya melibatkan penduduk untuk berpartisipasi dalam isuisu mikro dan justru mengabaikan hak mereka untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam skala lebih besar.Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

25

Lebih Banyak atau Lebih Sedikit Jumlah Rumah?Setelah dua tahun, tampak jelas bahwa daftar penerima manfaat yang tidak akurat bisa menyebabkan terjadinya distribusi tidak merata, atau membuat sebagian penyintas tidak terdata sistem. BRR kemudian melakukan pendaftaran penerima manfaat dan menghasilkan 30.000 penerima manfaat tambahan termasuk mereka yang mengajukan permintaan bantuan bagi perbaikan dan atas lahan yang menghilang ke dalam laut, atau bagi mereka yang kehilangan tanah sewaan. Angka kebutuhan yang berfluktuasi ini menyebabkan munculnya sederetan faktor baru. Ada keluargakeluarga baru yang terbentuk akibat pernikahan atau justru terpisah karena kematian. Masyarakat juga berpindah, baik dari tempat pengungsian ke desa asal mereka, atau dari satu tempat ke tempat lain demi mencari pekerjaan. Akibatnya proses penelusuran keberadaan mereka untuk mendapatkan angka total yang pasti menjadi semakin sulit. Selain itu, ada juga sebagian orang yang punya lebih dari satu rumah yang rusak di lokasi berbeda. Cara penghitungan jumlah rumah yang perlu dibangun kembali pun bervariasi, tergantung pada tujuan rekonstruksi, mulai dari memastikan agar mereka yang selamat mendapatkan permukiman, atau untuk memulihkan modal tidak bergerak (properti, rumah, dan tanah) milik penduduk. Tentu saja, organisasi yang memiliki kepentingan dalam membangun rumah dan masyarakat yang berkepentingan memulihkan modal tak bergerak samasama berpotensi menambah panjang daftar calon penerima manfaat. Hikmah ajar dari Pidie, sebuah kabupaten di pesisir pantai barat Aceh, di mana para penyintas dari desa yang sama ditampung di barak yang sama, dan ada sejumlah LSM

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

di tempat itu saling berkoordinasi sejak awal sehingga dapat menghindari tumpang tindih. Di Calang, sebuah program AusAID, LoGICA, membantu kantor regional BRR mengembangkan database yang akurat. Tampak bahwa angka yang akurat hanya bisa diperoleh dari lapangan, dari satu desa ke desa yang lain, dengan namanama yang jelas berikut alamat. Pejabat setempat harus terlibat dalam menentukan apakah bantuan pembangunan rumah diprioritaskan hanya untuk para penyintas atau apakah perlu ada kebijakan bantuan rumah yang lebih komprehensif.

Permukiman Sementara dan Perumahan Permanen: Menuju Perumahan BertahapDua tahun setelah tsunami, sebagian besar energi dicurahkan mepberdebatkan permukiman permanen versus sementara. Pada bulan pertama, pemerintah memusatkan perhatian pada pembangunan barak atau tempat tinggal a la tentara. Ketika mempertimbangkan pro dan kontra soal permukiman sementara berbentuk barak ini, argumen yang mengemuka tidak hanya soal sifat barak yang serba sementara, tetapi juga bahwa cara ini membuat penyintas tidak bisa berkemah di atas tanah mereka sendiri, di desa asal mereka. Barak menjadi jawaban pemerintah guna mencegah penyintas kembali ke areaarea pesisir yang berbahaya. Setahun setelah tsunami, sekitar 20.000 permukiman sementara senilai lebih dari US$100 juta didirikan International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC). International organization for Migration (IoM) juga sudah membangun ribuan permukiman sementara. Model tempat tinggal dari IFRC bisa dibongkarpasang, sementara yang dibuat IoM cenderung rusak saat dibongkar. Sebagian dari permukiman sementara ini dibangun di lokasilokasi tidak layak, misalnya di pinggir serta kanal sungai di Banda Aceh, yang bisa menyebabkan masalah lingkungan karena bisa berkembang menjadi permukiman kumuh. Bangunanbangunan tersebut bisa dianggap sebagai tempat permukiman sementara. Namun, dari sudut pandang teknis dan lingkungan, baja tahan karat serta kayu bukan materi sementara. Lebih jauh lagi, metode bongkar pasang memungkinkan materi untuk digunakan kembali, sehingga menciptakan rumahrumah permanen sekaligus bisa berpindah tempat. Tempat permukiman jenis ini terbukti cocok untuk daerahdaerah terisolasi di mana terdapat keterbatasan logistik, prasarana, dan tenaga kerja ahli. Di desa desa di pantai barat, bangunanbangunan sementara ini mulai menjadi rumahrumah permanen, di mana terdapat lokasi memadai untuk mendirikan rumahrumah permanen. Dan pada saat penduduk tidak berniat membongkar atau memindahkan rumahrumah tersebut dalam waktu dekat, mereka memperbaiki rumahrumah tersebut dengan memperluasnya dan menambahkan perabot.

26

Rekonstruksi Berbasis MasyarakatSudah menjadi kesepakatan umum, rekonstruksi berbasis masyarakat bisa merespon kebutuhan segera lebih cepat, memberikan hasil lebih baik dan memuaskan dibandingkan dengan metode rekonstruksi lain dan mampu mencapai pemulihan lebih awal. Cara ini juga memperkuat solidaritas di antara anggota masyarakat yang menciptakan modal sosial, memungkinkan perempuan ambil bagian dalam proses rekonstruksi, memperkuat lembaga setempat, melakukan perencanaan yang baik dengan hasil lebih baik, kerentangan terhadap bencana pun bisa dibatasi, dan pemantauan yang baik dilakukan sehingga mencapai akuntabilitas yang transparan. Namun, perlu ada definisi standar atas isitilah partisipasi dan berbasis masyarakat. Dalam beberapa kasus terdapat wilayah yang dibangun menggunakan pendekatan berbasis masyarakat berada di sekeliling proyek yang dibangun tidak dengan pendekatan serupa. Pendekatan berbasis masyarakat butuh waktu lama di awal, yang akan diimbangi dengan meningkatnya kecepatan dan kepuasan di tahap akhir. Sebagian kegagalan dalam pendekatan berbasis masyarakat ini disebabkan adanya penundaan di awal proyek, sehingga waktu untuk proses keterlibatan (partisipatoris) menjadi terbatas. Dalam beberapa kasus, sekali pun ada niat baik untuk mewujudkan aspirasi masyarakat, tampak jelas bahwa kapasitas menerapkan pendekatan berbasis masyarakat memang terbatas. Jumlah fasilitator masyarakat yang terbatas menunjukkan perlunya melatih fasilitator dalam waktu segera, dan perlunya kebijakan pemerintah yang mendukung, mengatur, dan mendukung pelatihan tersebut. Partisipasi juga bisa dikhususkan pada aspek dan tahap dan/atau aspek proses rekonstruksi yang berbeda, pengorganisasian, perencanaan rumah, desa, permukiman dan kota, pengadaan barang dan jasa, konstruksi, evaluasi dan lainlain. Untuk tujuan ini, sebuah matriks dikembangkan guna menggabungkan tingkattingkat partisipasi dan kegiatankegiatan partisipatif spesifik di tiap tahap dan aspek rekonstruksi.

Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

Apabila permukiman sementara IFRC ini diwujudkan lebih awal di desadesa asal para penyintas, maka semua rumah permanen tentu bisa selesai lebih awal. Pembangunan permukiman sementara di desa asal memungkinkan adanya alokasi waktu untuk melakukan perencanaan yang sesuai dan memfasilitasi proses partisipatif. Lebih baik lagi apabila permukiman sementara tersebut diintegrasikan pada pembangunan rumah permanen. Adanya pendekatan bertahap seperti ini dapat memperkuat masyarakat untuk membuat keputusan tentang tahapan dan proses pembangunan kembali. Meski demikian, mereka tetap perlu mendapatkan pendampingan teknis yang baik. Upaya pembangunan juga bervariasi tergantung pada ketersediaan material.

27

Menuju Rekonstruksi yang BerkesinambunganSTUDI KASUS: Manik-manik Terserak

Pada 2005, UNHABITAT mengeluarkan kebijakan Pemulihan dan Rekonstruksi yang Berkelanjutan di saat pascakonflik, bencana alam maupun akibat perbuatan manusia. Kebijakan ini menyimpulkan, bencana bisa membuka peluang untuk pembangunan berkelanjutan, namun bantuan dan rekonstruksi yang berkelanjutan mensyaratkan agar upaya rehabilitasi terintegrasi dengan strategi pembangunan jangka panjang. Secara spesifik, pemulihan dan rekonstruksi yang berkelanjutan mensyaratkan keterkaitan permanen antara tanggap darurat dan rekonstruksi di satu sisi, dan pembangunan secara bertahap serta perkembangan kapasitas pemerintah setempat di sisi lain, di mana pemerintah setempat berperan sebagai mitra aktif dalam proses tersebut. Upaya pemulihan ini juga mensyaratkan pembangunan aktivitas ekonomi yang produktif, pembangunan rekonstruksi dengan basis yang luas dan rekonstruksi serta strategi permukiman jangka panjang, perlindungan atas tanah dan hakhak kepemilikan dari populasi yang terkena dampak bencana dan pengembangan solusi jangka panjang atas tanah dan penyelesaian atas konflik kepemilikan, pengurangan tingkat kerentanan dan pengelolaan bencana, perlindungan atas kepemilikan, hak yang setara bagi perempuan, serta penciptaan kemitraan dan aliansi strategis di semua tingkatan. Apakah rekonstruksi Aceh dan Nias memenuhi syaratsyarat di atas? Tanpa adanya komitmen dan visi menyeluruh serta Rencana Induk, ada pertanyaan apakah rekonstruksi ini akan memberikan kontribusi pada keberlanjutan jangka panjang secara menyeluruh? Apabila komitmen untuk menetapkan visi menyeluruh dan Rencana Induk tertunda tunda, maka semakin sulit mewujudkan upaya rekonstruksi yang berkesinambungan. Penting sekali bagi semua pelaku untuk fokus pada visi serta melakukan revisi dan perbaikan apabila perlu. Analisis dampak lingkungan, ekonomi dan sosiokultural hanya bisa dilakukan dan dievaluasi apabila visi keseluruhan berhasil ditetapkan. Pendekatan partisipatif di semua sektor, tidak hanya dalam pembangunan rumah, tapi juga dalam pemulihan dan pembangunan ekonomi lokal, jelas merupakan satusatunya harapan bagi terbentuknya modal sosial yang berkelanjutan. Karena itu, dorongan dan perbaikan dengan standar minimum yang dirumuskan dengan jelas tentang praktik berbasis masyarakat yang partisipatif menjadi suatu keharusan.

28

Perencanaan dan Koordinasi Meninjau Kembali Peran LSMAda lebih dari 100 organisasi yang membangun rumah kembali bersama masyarakat. Mereka masuk membawa dana bantuan memadai dan diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat sementara masyarakat menyadari bahwa programprogram besar cenderung gagal di wilayah konflik. Masyarakat Aceh dan Nias secara intuitif paham, operasi yang dilakukan aktor berskala kecil dan lincah yang tidak mencolok justru lebih

bisa dipercaya dibandingkan organisasiorganisasi besar yang serba birokratis. Karena alasan inilah, 100 organisasi terjun ke wilayah pembangunan rumah, bagi sebagian organisasiorganisasi tersebut, ini merupakan kesempatan pertama mereka.Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

Hampir semua organisasi bersepakat menerapkan beberapa petunjuk rekonstruksi sederhana untuk pemetaan tanah, perencanaan desa, dan rekonstruksi. Banyak di antaranya mengajukan rancangan rumah mereka kepada Departemen Pekerjaan Umum setempat untuk memperoleh persetujuan. Akan tetapi, setelah disetujui, ada sejumlah tugas rumit menanti, yaitu mendapatkan material, pekerja, serta mandor yang terampil. Tidak hanya itu, organisasiorganisasi itu harus mengembangkan proses yang memadai untuk mendapatkan persetujuan masyarakat dan persetujuan dari kantor pusat mereka. Sejumlah organisasi, terutama yang berskala kecil, mulai membangun tanpa konsep menyeluruh yang jelas. Tak heran bila mereka acap kali gagal. Dalam beberapa kasus, mereka kemudian mengundurkan diri, atau menghentikan programprogramnya. Yang lain menunda membangun sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Dalam beberapa kasus, sejumlah organisasi membangun begitu banyak rumah berkualitas dan akhirnya mengakui kesalahan mereka yang harus dibayar mahal. Program pemantauan oleh UNHABITAT dengan Universitas Syiah Kuala dirancang untuk memberikan umpan balik segera kepada organisasiorganisasi mengenai keberhasilan dan kegagalan mereka dalam membangun, serta aspirasi dan kepuasan para penerima manfaat. Program ini berhasil mengidentifikasi sejumlah masalah meski tidak selalu berhasil mencegah kesalahan sejak awal. Sektor kebijakan dan program dukungan UNHABITAT membuka ruang sebesar besarnya bagi keterlibatan sejumlah LSM dalam rekonstruksi perumahan di Aceh. organisasiorganisasi ini menciptakan sederetan kegiatan, yang tidak akan bisa dilakukan para perencana logistik yang cenderung banyak pertimbangan. Pengalaman mereka mengenai pembangunan perumahan terus bertambah dan mereka berhasil mendirikan lebih banyak rumah bagi masyarakat Aceh dari apa yang mungkin dicapai lewat perencanaan yang hatihati. Setelah terkena konflik bersenjata berkepanjangan, organisasiorganisasi ini mendorong pemberdayaan di kalangan masyarakat sejak awal. Mereka menerima bahwa masyarakat kembali ke desadesa yang terkena dampak tsunami dan acap kali tanpa sengaja menyebabkan terjadinya permukiman kembali masyarakat berskala besar di sejumlah lokasi dengan tingkat keamanan hunian yang tidak pasti dan wilayah yang belum terbukti aman dari gempa bumi rawa, wilayah berlumpur, dan kawasankawasan yang dengan cepat jadi padat dan bisa diperoleh dengan harga murah oleh pejabat setempat. BRR dan UNHABITAT menyusun panduan sederhana untuk disetujui bersama oleh organisasiorganisasi tersebut tentang pemetaan lahan, indikator harga, kesetaraan hak serta pilihan bagi penyewa dan penghuni, serta permukiman kembali yang diberdayakan oleh masyarakat. Lebih jauh lagi, dengan brosur mengenai hakhak permuahan dan bukletbuklet dalam bentuk kartun (komik) mengenai konstruksi rumah yang baik, UN

29

STUDI KASUS: Manik-manik Terserak

HABITAT dan para mitranya menjangkau para penerima manfaat, mengomunikasikan hak dan kewajiban mereka. Programprogram distribusi makanan dan organisasi sipil yang sebelumnya hanya mengerjakan isuisu konflik, menjadi perantara untuk menjangkau masyarakat di lokasilokasi terpencil. UNHABITAT juga menunjuk lembaga riset Indonesia untuk melakukan survei terkait permukiman serta pemulihan kawasan perkotaan bermasalah. Di tahuntahun mendatang, tampaknya sisa anggaran LSM akan digunakan untuk membuka peluang kerja yang bertujuan mengentaskan kemiskinan. Setelah mandat BRR berakhir, pemulihan permukiman perlu mencakup pembangunan dan menjangkau seluruh anggota masyarakat, termasuk mereka yang tidak kehilangan tempat tinggal.

30

Merencanakan Saat MembangunSetelah hampir dua tahun melakukan pembangunan dan perencanaan berkelanjutan, tuntutan akan perencanaan berbasis pada komitmen, terutama pada tingkatan koordinasi makro, perkotaan dan regional semakin meningkat. Apa yang dianggap benar bagi perencanaan secara umum juga benar bagi perencanaan tata ruang. Di masa itu, tidak ada satu pun pendekatan perencanaan tata ruang yang diadopsi atau dikoordinasikan. organisasi yang berbedabeda membuat rencana sejauh yang dianggap perlu bagi program mereka. Pemerintah setempat kurang tanggap terhadap isu ini. Pembentukan prasarana yang lebih besar masih berada di dalam proses persiapan, termasuk kawasan laut sepanjang garis pantai Banda Aceh dan segmen jalan sepanjang pantai barat dari Banda Aceh ke Meulaboh. Para insinyur, yang ditunjuk membuat perencanaan makro bagi prasarana di Banda Aceh dan Aceh Besar tengah melakukan pengerjaan teknis mikro di Kabupaten Meuraxa. Tahun 2006, Aceh dibangun kembali dari satu rumah ke rumah yang lain. Dua tahun berikutnya, rekonstrusksi Aceh berlanjut dari satu tempat ke yang lain, dari satu jalan raya ke jalan raya lain.

Dari Perencanaan Tindakan ke Perencanaan SpasialDalam bulanbulan pertama pascatsunami, sejumlah organisasi terpanggil untuk memperbesar kebutuhan perencanaan bagi kawasankawasan permukiman yang rusak parah atau kawasan permukiman kembali. Sejumlah desa dan lingkungan tidak memiliki kemungkinan terhadap risiko tsunami berikut. UNHABITAT dan sejumlah organisasi berpengalaman lain mencoba membatasi perencanaan desa ke arah pengembangan kecil prasarana dasar, termasuk jalur penyelamatan dan fasilitas lain. UNHABITAT membantu masyarakat dengan memfasilitasi pengembangan perencanaan desa mereka sendiri. Hal ini merupakan bagian dari proses Rencana Aksi Masyarakat yang terjadi sebelum masyarakat membuat kontrak atau membangun rumah.

Hikmah AjarPada akhirnya, disimpulkan: Penilaian kebutuhan harus melibatkan masyarakat dan lembaga setempat; Permukiman sementara harus disiapkan sejak awal dan memungkinkan penyintas kembali ke rumahrumah mereka; Pembangunan perumahan yang didorong masyarakat harus melibatkan semua pihak dan lebih baik dari sebelumnya; Pemulihan berkelanjutan membutuhkan masyarakat untuk memegang kendali sejak awal; Demi menjaga keberlanjutan, bantuan sebaiknya tidak dikelola dalam sektorsektor program yang terpisahpisah; LSM berperan kunci dalam menggerakkan Sumber Daya Manusia (SDM) dan dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat di wilayahwilayah konflik; Para perencana harus memahami bahwa di dalam situasi pascabencana, membangun lebih penting daripada merencanakan; Perencanaan dan perencanaan tata ruang khususnya bisa digunakan sebagai alat pemulihan menuju pembangunan kembali dan perbaikan ke arah kepemerintahan yang konsultatif.Bagian 1. Perumahan dan Pemukiman

31

Dalam manajemen krisis, ada pemahaman bahwa setiap kegagalan dan kesalahan yang terjadi sebelum bencana akan terulang di