seri buku brr - buku 5 - nias

Upload: nur-ul

Post on 19-Jul-2015

436 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

NIASMembangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NADNIAS (BRR NADNIAS) 16 April 2005 16 April 2009

Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62651636666 Fax. +62651637777 www.eacehnias.org know.brr.go.id Pengarah Penggagas Editor Editor Bahasa Penulis

Kantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias, Indonesia, 22815 Telp. +6263922848 Fax. +6263922035

Kantor Perwakilan Jakarta Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru Jakarta Selatan Indonesia, 12110 Telp. +62217254750 Fax. +62217221570

: Kuntoro Mangkusubroto : William P. Sabandar : Cendrawati Suhartono (Koordinator) Margaret Agusta (Kepala) : Suhardi Soedjono : Emanuel Migo Heracles Lang Jupiter Galo Nirarta Samadhi

Fotografi Desain Grafis

: Arif Ariadi Bodi Chandra : Bobby Haryanto (Kepala) Edi Wahyono Erwin Santoso Surya Mediana

Penyelaras Akhir : Hanief Arie Ricky Sugiarto (Kepala) Rudiyanto Vika Octavia

Alih bahasa ke Inggris Editor Editor Bahasa Penerjemah : Harumi Supit : Margaret Agusta : Oei Eng Goan Nana Nathalia Andrea Lucman

Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF) melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project

ISBN 9786028199360

Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005. Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porakporanda kini ramai kembali seiring dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang selamat meski telah kehilangan hampir segalanya. Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan Nias. Berdasarkan hal tersebut, melalui halamanhalaman yang ada di dalam buku ini, BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang menyatukan dunia.

Saya bangga, kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran dengan negaranegara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upayaupaya serupa, baik di dalam maupun di luar negeri.Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009 tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learned di Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009

Kantor Bupati Nias di Fodo, Gunungsitoli, yang arsitekturnya mengadopsi bentuk rumah tradisional Nias itu, pada 15 November 2008, tampak telah kokoh berdiri. Pemulihan prasarana fisik yang dimaksudkan untuk memperkuat institusi Pemda di Kepulauan Nias, kini, sudah berhasil dibangun semua. Mengingat kesegeraan kebutuhan pelayanan publik, banyak bangunan telah dimanfaatkan, jauh sebelum proses serahterima aset secara resmi dilangsungkan. Foto: BRR/Bodi CH

Daftar IsiPendahuluan Bagian 1. Lompatan Kepulauan yang BergoyangNias The Dancing Islands dengan Budaya Megalitikum Kemiskinan yang Telah Lama Diderita Amukan Alam Bertubitubi Membuka Wilayah Udara untuk Pertolongan Pertama: Tanggap Darurat Tergesagesa Masuk ke Cetak Biru Struktur Lentur Penjawab Tantangan Menjadi Koordinator Plus Implementor Menyederhanakan OrganisasiPelaksana Proyek APBN Memuluskan Transisi dari Tanggap Darurat Melawan Korupsi Demi Membangun Kepercayaan Masyarakat 2 4 5 16 18

x 1

Bagian 2. Antara Kepercayaan, Otonomi, dan Agenda Lokal

21

22 27 28 32 36 50 53 55 57 65 70 76 88 97

Bagian 3. Membangun Hampir Tanpa Rencana Induk

Rencana Induk: Antara Ada dan Tiada Memberikan Arah Pembangunan Kembali Mengembangkan Strategi Khusus di Lapangan TonggakTonggak Pencapaian Membangun Kembali Menjadi Lebih Baik Melalui Partisipasi Masyarakat Lonjakan Angka Kebutuhan Rumah Mengembangkan Kerja Sama Berbagai Lembaga Ketika Masyarakat Mengambil Alih Pembangunan Perumahan Kesinambungan Pembangunan Perumahan

49

Bagian 4. Tantangan Melibatkan Masyarakat dalam Rekonstruksi

69

Bagian 5. Membangun Infrastruktur Mulai dari TransportasiTantangan Membangun Infrastruktur Nias Mengembangkan Prasarana dan Sarana Transportasi Terpadu

101102 105

Bagian 6. Langkah Panjang Menuju Ekonomi ProduktifUji Coba Program Ekonomi Mengubah Hutan Karet Menjadi Perkebunan Karet

117 127

118 121 128 141 142 156 157 158 162 172 174 179

Bagian 7. Memperkuat Kelembagaan dan Sumber Daya ManusiaMenuju Pelayanan Kesehatan Mandiri Melindungi Masyarakat dan Lingkungan dari Obatobatan Rusak Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah dan Pendidikan Peningkatan Kapasitas Pemerintah Kabupaten Pengembangan Ekonomi Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Pengurangan Risiko Bencana Kelanjutan Rekonstruksi di Tingkat Kecamatan Manajemen Tata Kelola Pemerintahan Manajemen Program Pembangunan Manajemen Risiko Bencana

Bagian 8. Transisi Menuju Pembangunan Berkelanjutan

153

Bagian 9. Warisan BRR dari Tano Niha

171

Catatan Daftar Singkatan

182 185

NIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

x

PendahuluanSELAMA tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, SangSaka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga dunia tercengang, pilu. Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa jiwa dan saranaprasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib terseret ombak. Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah jinak selama lebih dari seribu tahun. Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600an kilometer patahan dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda. Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat.

Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulaupulau sekitarnya hingga 6 kilometer ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000an orang mendadak berstatus tunakarya. Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195 rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya. Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecilmenengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah. Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue. Dunia semakin tercengang. Tangantangan dari segala penjuru dunia terulur untuk membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar. Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handaitaulan dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik. Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan daerah pada masa depan. Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan AcehNias yang dilandaskan pada

xi

NIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun AcehNias secara lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional. Pemulihan AcehNias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap program pemulihan. Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya dan teladan bagi kerja sama internasional. Bank Dunia juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat kepemimpinan efektif dari Pemerintah. Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia, tak terkecuali dalam hal kebijakan dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR, telah menggugah kepercayaan para donor, baik individu maupun lembaga, serta komunitas internasional. Tanpa kerja sama masyarakat internasional, kondisi Aceh dan Nias yang porakporanda itu mustahil berbalik menjadi lebih baik seperti saat ini. Guna mengabadikan capaian kerja kemanusiaan tersebut, BRR menyusun Seri Buku BRR. Kelima belas buku yang terkandung di dalamnya memerikan proses, tantangan, kendala, solusi, keberhasilan, dan pelajaran yang dituai pada sepanjang pelaksanaan program pemulihan AcehNias. Upaya menerbitkannya diikhtiarkan untuk menangkap dan melestarikan inti pengalaman yang ada serta mengajukan diri sebagai salah satu referensi bagi program penanganan dan penanggulangan bencana di seluruh dunia. Khususnya bagi Nias, perjalanannya bukan hanya sekadar memulihkan pada keadaan prabencana, melainkan juga meletakkan fondasi pembangunan berkesinambungan yang lebih baik. Mengingat karakter geografis Kepulauan Nias yang rawan gempa, fondasi itu ditatakan secara holistik dalam berbagai bidang pembangunan fisik maupun nonfisik dengan mempertimbangkan aspek siaga bencana. Satu hal yang pasti, Pemulihan Nias, terutama sekali diikhtiarkan untuk menghelanya dari tubir keterabaian, dan kemudian menceburkannya ke dalam turbulensi pembangunan yang percepatannya dinaikkan sekian derajat lebih tinggi ketimbang pembangunan biasa. Perlunya, agar ketertinggalan yang dialami selama ini bisa dikejar, sehingga Tano Niha dapat berdiri sejajar dengan saudarasaudaranya di Sumatera daratan yang sudah terlebih dahulu mengenyam manisnya buah pembangunan semesta. Melalui buku berjudul Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui ini, likuliku mengenai tantangan, kendala, kegagalan, maupun keberhasilan menuju Nias yang lebih baik, dibeberkan.

xii

Capaian 4 TahunRehabilitasi dan Rekonstruksi635.384 127.720orang kehilangan tempat tinggal orang meninggal dan 93.285 orang hilang usaha kecil menengah (UKM) lumpuh

104.500 155.182 195.726

tenaga kerja dilatih UKM menerima bantuan

xiii

rumah rusak atau hancur hektare lahan pertanian hancur guru meninggal kapal nelayan hancur

139.195 140.304 73.869 69.979

rumah permanen dibangun hektare lahan pertanian direhabilitasi guru dilatih kapal nelayan dibangun atau dibagikan sarana ibadah dibangun atau diperbaiki kilometer jalan dibangun sekolah dibangun sarana kesehatan dibangun bangunan pemerintah dibangun jembatan dibangun pelabuhan dibangun bandara atau airstrip dibangun

1.927 39.663

13.828 7.109

sarana ibadah rusak kilometer jalan rusak sekolah rusak

1.089 3.781

2.618 3.696

3.415 1.759

sarana kesehatan rusak bangunan pemerintah rusak jembatan rusak pelabuhan rusak bandara atau airstrip rusak

517 1.115

669 996

119 363 22 23

8 13

Lompatan Kepulauan yang BergoyangNias, gugusan 131 pulau dengan luas keseluruhan 5.625 kilometer persegi, merupakan wilayah terluar dan berada di bagian paling barat Indonesia pada posisi 1030 derajat Lintang Utara dan 9798 derajat Bujur Timur. Pulau paling terkenal sekaligus terbesar dan terbanyak penduduknya adalah Pulau Nias, dengan luas 5.449,7 kilometer persegi.1 Pulaupulau besar lain yang berpenghuni adalah Pulau Tanah Bala (seluas 36,97 km2), Pulau Tanah Masa (21,16 km2), Pulau Tello (18 km2), dan Pulau Pini (24,36 km2). Dari ratusan lebih pulau, hanya sekitar 20 pulau yang berpenghuni. Nias masuk kategori 6 untuk wilayah di dunia yang sangat rentan terhadap gempa. Sejarah mencatat, kepulauan ini senantiasa bergoyang dilanda gempa bumi. Tak aneh kalau tempat ini dijuluki The Dancing Islands. Sebelum terjadi bencana tsunami dan gempa bumi, Nias masuk wilayah termiskin di Indonesia. Masyarakat Nias sering kali menyalahkan orang daratan Sumatera Utara sebagai penyebab keterpurukan mereka. Mereka berteriak, kue pembangunan tidak pernah terbagi rata di antara kotakota yang ada di dalam provinsi induknya tersebut. Bencana tsunami 26 Desember 2004, disusul gempa bumi 28 Maret 2005, membawa Nias ke titik nadir pembangunan. Kemiskinan dan keterisolasian berbaur dengan bencana. Peristiwa alam yang tak terduga itu membuka mata pemerintah dan dunia internasional untuk memberikan pertolongan kepada Nias yang tidak berdaya.

KEPULAUAN

Pulaupulau Batu, Kabupaten Nias Selatan, merupakan gugusan kepulauan yang memiliki taman laut indah dan menjadi tujuan wisata nusantara. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 1. Lompatan Kepulauan yang Bergoyang

1

NIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

Nias menggeliat, bangkit, dan berubah. Perhatian pemerintah dan dunia internasional dalam kurun waktu tidak lebih dari empat tahun telah mengalirkan darah ke nadi Nias. Lompatan besar terjadi, menempatkan Nias di jalan setapak yang tepat untuk mengatasi ketertinggalannya selama ini.

MALAYSIAKuala Lumpur

Nias The Dancing Islands dengan Budaya MegalitikumKepulauan Nias merupakan salah satu dari barisan pulau di barat Pulau Sumatera. Pulaupulau itu terbentuk sebagai hasil tumbukan antara lempeng benua Eurasia dan lempeng Hindia, dengan batas tumbukan lempeng (jalur subduksi) berada di pantai barat barisan pulau tersebut. Tumbukan antara dua lempeng itu juga membentuk patahan besar (megathrust) sepanjang pantai barat yang menjalur dari Enggano ke Mentawai, Nias, Simeulue, Andaman/Nikobar (India), Arakan Yoma (Myanmar), dan berlanjut ke jalur megathrust Himalaya. Jalurjalur patahan ini menjadi tempat pelepasan energi dari dalam bumi dan selanjutnya menjadi jalur gempa. Pembentukan Pulau Nias terjadi 10.000 tahun silam. Sebelumnya, pulau ini berada di bawah permukaan laut pada kedalaman 50200 meter. Bukti terangkatnya Pulau Nias terlihat dari adanya batu gamping terumbu, terutama di sepanjang pantai timur Nias serta di bagian utara Kecamatan Lahewa dan di Kecamatan Alasa. Pergerakan lempeng Hindia dengan kecepatan ratarata 60 milimeter per tahun telah menggerakkan Pulau Nias secara mendatar dengan kecepatan 23 sentimeter per tahun serta pergerakan vertikal 810 sentimeter per tahun sampai saat ini. Tumbukan tersebut juga menyebabkan Pulau Nias bergerak ke arah Pulau Sumatera dengan kecepatan ratarata 4 sentimeter per tahun.

mm

/th

52

Sumatera

Singapura

2

Patahan IndoAustralia

INDONESIAJakarta

Patahan di Pulau NiasPatahan yang dapat dilihat pada peta geologi Pulau Nias menunjukkan, secara geologis, patahan tersebut bersifat purba dan bukan patahan yang aktif. Menurut Karig et al. (1979) dan SamuelsonHarbury (1999), patahan di permukaan Pulau Nias tidak lagi berhubungan dengan patahan subduksi utama, sehingga patahan subduksi lempeng IndoAustralia dan Asia Tenggara tidak akan secara langsung ditransmisikan kepada patahan permukaan tersebut. Patahan utama yang saat ini aktif diperkirakan adalah zona subduksi yang terletak 2024 kilometer di bawah Pulau Nias, Patahan Besar Sumatera, investigator fracture zone di selatan Nias, dan Patahan Mentawai. Walaupun Nias terangkat dan miring setelah gempa 28 Maret 2005, patahan yang terjadi pada gempa besar tersebut berada pada zona subduksi berkilokilometer dari Nias dan kecil kemungkinannya dapat mencapai permukaan bumi Nias. Tidak terdapat patahan permukaan setelah gempa pada 2005 tersebut. Patahan lama Nias mungkin mengalami gerakan penyesuaian sekunder (dalam rentang milimeter sampai sentimeter) yang terjadi sebagai akibat tectonic uplift yang tidak masuk kategori patahan primer yang disebabkan oleh gempa.

60 mm /th

Gambar 1.1. Sebaran Titik Rawan di Kabupaten Nias (KSFAP, 2008)

Dilihat dari aspek geologinya, yakni dari evolusi tektonik yang berlangsung, Pulau Nias berada pada posisi tektonik labil dengan dataran yang berpotensi besar untuk selalu bergoyang karena dilanda gempa bumi. Tsunami dapat terjadi di pantai utara, timur, dan barat, sedangkan bencana alam lain yang sering terjadi adalah tanah longsor dan banjir. Selain itu, hasil survei geofisika menunjukkan Nias berada pada jalur anomali negatif suatu kondisi yang disebabkan oleh perbedaan berat jenis (masa rapat) batuan antara Pulau Nias dan Pulau Sumatera. Karena berat jenis batuan di Pulau Nias jauh lebih kecil dibandingkan dengan berat jenis batuan di Pulau Sumatera, untuk menyeimbangkan gaya berat bumi antara Pulau Nias dan Pulau Sumatera, secara alamiah Pulau Nias akan mengangkat dirinya. Proses pengangkatan tersebut menyebabkan guncanganguncangan gempa dengan kekuatan getaran yang dapat atau tidak dapat dirasakan manusia. Satu hal yang membuat nama Nias tetap berkibar adalah kebudayaannya. Kebudayaan Nias sangat kaya dan unik. Yang paling terkenal adalah tradisi lompat batu, meskipun sesungguhnya kebudayaan Nias lebih luas dari sekadar tradisi lompat batu. Di mata pemerhati dan peneliti, kebudayaan Nias laksana the living megalithic culture.

Bagian 1. Lompatan Kepulauan yang Bergoyang

3

Kemiskinan yang Telah Lama DideritaNIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

Kemiskinan dan bencana alam tentu merupakan dua hal yang berbeda. Namun, bagi masyarakat di Kepulauan Nias, kedua hal tersebut adalah paduan serasi yang membuat Nias tampil dalam wajah aslinya, seperti belum tersentuh peradaban modern. Gempa bumi dahsyat 28 Maret 2005 membuka mata dunia terhadap Nias. Tapi sebenarnya kemiskinan telah menjadi kawan seharihari 712.000 penduduk wilayah ini suatu bencana yang telah lama diderita masyarakat. Di antara kabupaten/kota di Indonesia, Kabupaten Nias dan Nias Selatan berada pada kelompok 10 persen teratas dengan tingkat kemiskinan tertinggi. Menurut Badan Pusat Statistik, pada 2004 diperkirakan sekitar 226.000 penduduk Kepulauan Nias hidup di bawah garis kemiskinan. Walau tingkat kemiskinan di Indonesia berkurang secara signifikan sejak tahun 2000, tingkat kemiskinan di Kepulauan Nias tetap tinggi, mencapai sekitar 31 persen sejak 2002. Ditinjau dari sisi produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita, pada 2005, PDRB Kabupaten Nias hanya sebesar Rp 5,1 juta dan Kabupaten Nias Selatan sebesar Rp 4,9 juta. Angkaangka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan PDRB ratarata Provinsi Sumatera Utara, yang mencapai Rp 11,1 juta. Pertumbuhan ekonomi ratarata di kedua kabupaten itu adalah 6 persen pada 2000, tapi berkontraksi menjadi 3,4 persen setelah bencana gempa bumi pada 2005. Walau semua kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara memiliki pendapatan asli daerah (PAD) per kapita di bawah ratarata nasional, PAD per kapita Nias Selatan berada pada posisi terendah di provinsi, yakni Rp 3.343 atau 40 kali lebih kecil dibandingkan dengan PAD per kapita Kota Medan, yang mencapai Rp 128.310. Rendahnya PDRB dan PAD per kapita serta tingginya tingkat kemiskinan berjalan seiring dengan rendahnya indeks perkembangan manusia, seperti tingkat melek huruf. Pada 2005, tingkat melek huruf di Kabupaten Nias 85,8 persen, sementara di Kabupaten Nias Selatan lebih rendah lagi, hanya 62,5 persen. Indikator kesehatan pun mengenaskan. Di Kabupaten Nias, angka kematian bayi mencapai 56 per 1.000 bayi, sedangkan di kabupaten Nias Selatan mencapai 42 per 1.000 bayi. Bandingkan dengan ratarata angka kematian bayi di tingkat nasional pada 2006, yakni 35 per 1.000 bayi. Rendahnya indikator kesehatan juga dapat dilihat dari minimnya fasilitas kesehatan dan kurangnya tenaga medis. Hanya ada tujuh dokter yang melayani 290.000 penduduk Kabupaten Nias Selatan. Dokter yang ada umumnya hanya berada di ibu kota kabupaten, yaitu di Gunungsitoli dan Teluk Dalam. Akses masyarakat terhadap infrastruktur dasar, seperti air bersih, sanitasi, dan listrik, di Kepulauan Nias senantiasa tertinggal dibandingkan dengan ratarata Provinsi Sumatera Utara dan Indonesia. Jaringan jalan provinsi sebagai jalan utama, jalan kabupaten yang

4

menghubungkan antarwilayah kecamatan, serta jalanjalan di wilayah pedesaan sangat terbatas dan sebagian besar hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki. Ruas jalan tersebut hampir 80 persen dalam kondisi tidak terpelihara dan rusak berat. Masyarakat Nias dan Nias Selatan telah lama miskin dan terbelakang sebelum datang bencana yang menambah kepedihan.

Seperti yang ditinggali anakanak dan ibunya di pingiran Kota Gunungsitoli ini, rumahrumah kayu beralaskan tanah menghiasi kepulauan Nias. Foto: BRR/Bodi CH

Amukan Alam BertubitubiHanya sedikit orang yang tahu, tsunami dahsyat yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam juga menjadi bencana di Kepulauan Nias. Empasan gelombang air laut ganas pada 26 Desember 2004 menyebabkan kawasan perkampungan padat di wilayah Sirombu dan kawasan pantai Mandrehe ditinggalkan para penghuninya, hingga sekarang. Ribuan penduduk Pulau Hinako, di sebelah barat Sirombu, lari meninggalkan kampung halaman mereka dan menjadi pengungsi di Tetesua, ibu kota Kecamatan Sirombu. Ketika dampak bencana tsunami belum teratasi, menjelang tengah malam pada 28 Maret 2005, bumi Nias digetarkan gempa berkekuatan 8,2 skala Richter. Saat itu sebagian besar penduduk tengah tidur nyenyak. Gedung perkantoran, pusat pertokoan, dan perumahan penduduk di Kota Gunungsitoli roboh dalam sekejap.

Bagian 1. Lompatan Kepulauan yang Bergoyang

5

NIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

6

Pelabuhan Lahewa, Kabupaten Nias merupakan salah satu wilayah yang terimbas tsunami. 26 Desember 2004. Foto: BRR/Bodi CH

Isak tangis dan jeritan minta tolong membahana di seluruh pelosok kota. Khawatir terjadi amukan gelombang tsunami seperti di Aceh, puluhan ribu warga berhamburan dalam kegelapan malam menuju kawasan perbukitan di sekitar kota. Embusan kabar burung bahwa Nias akan tenggelam membuat warga kota mengungsi selama seminggu di pegunungan, sementara belasan ribu warga lebih memilih segera angkat kaki dari Nias menuju daratan Sumatera. Kota Gunungsitoli di Pulau Nias, yang menjadi pusat bisnis dan pintu keluarmasuk semua komoditas perdagangan untuk menghidupi masyarakat di seluruh Kepulauan Nias, mendadak lumpuh. Jika tidak ada bantuan dari berbagai organisasi internasional yang berbondongbondong menyerbu Nias untuk memberikan pertolongan, tentu 850 korban meninggal akan membusuk dalam timbunan puingpuing dan ribuan korban selamat yang masih terkurung di balik reruntuhan tidak akan mendapat pertolongan. Guncangan hebat akibat gempa bumi ini menyebabkan terjadi perubahan struktur tanah di Pulau Nias. Patahan lama yang ada di bagian tengah pulau tidak terpengaruh gempa dahsyat tersebut, tapi ujung utara (Lahewa), selatan (Teluk Dalam), dan barat (Sirombu) terangkat. Beberapa kampung di tepi pantai dengan ribuan penduduk, seperti di Kecamatan Bawolato, Nias bagian timur, tenggelam karena mengalami penurunan.

Bencana alam menjelang akhir Maret 2005 semakin memperparah kondisi infrastruktur dan sarana yang sebelumnya telah terbengkalai. Selama masa tanggap darurat, kegiatan evakuasi para korban, pemberian bantuan medis, dan pemasokan logistik sangat sulit dilakukan. Korban gempa bumi umumnya tidak dapat dijangkau kendaraan darat. Distribusi makanan hanya dapat dilakukan melalui helikopter dari udara. Banyak korban yang masih hidup akhirnya meninggal karena tidak segera mendapat pertolongan. Hanya mereka yang dapat dievakuasi ke Medan atau Sibolga, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, yang bisa keluar dari bencana dengan selamat. Amukan alam yang datang bertubitubi di bumi Nias ini membuat struktur kehidupan dan perekonomian masyarakat setempat semakin terpuruk. Data kerusakan berdasarkan pendataan Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Satkorlak PBP) Sumatera Utara, World Bank, International Organization for Migration (IOM), dan BRR pada halaman berikut. Data kerusakan tersebut kemudian dituangkan World Bank dalam Tabel Nilai Kerusakan dengan nilai kerusakan keseluruhan mencapai US$ 372 juta atau setara dengan Rp 3,724 triliun. Meskipun nilai kerusakan diperkirakan hanya Rp 3,724 triliun, sebenarnya nilai riil dampak bencana terhadap masyarakat jauh lebih luas. Dampak psikis, sosial, dan ekonomi ini memerlukan rentetan panjang pemulihan, agar roda kehidupan masyarakat dapat bergulir mulus, lebih baik dari keadaan semula. Maka, berdasarkan penghitungan ulang oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan BRR bersama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Nias dan Nias Selatan dalam menyusun Rencana Aksi Rekonstruksi Nias 20072009, nilai kerusakan meningkat mencapai Rp 6,012 triliun, seperti tampak pada Tabel 1.1. Penghitungan ulang ini dilakukan berdasarkan dua pertimbangan utama. Pertama, pembangunan kembali terhadap dampak bencana yang menimpa wilayah Kepulauan Nias didasarkan pada prinsip membangun kembali menjadi lebih baik dengan mempertimbangkan upaya mengentaskan masyarakat miskin dan membuka keterisolasian wilayah. Kedua, pembangunan kembali secara lebih baik di wilayah Kepulauan Nias yang rawan gempa bumi ini perlu sekaligus menerapkan prinsip kesiagaan terhadap bencana.

Bagian 1. Lompatan Kepulauan yang Bergoyang

Daerah wisata kebudayaan dengan kampung adat terkenal seperti Bawomataluo di Nias Selatan sulit mendapatkan pengunjung. Kerusakan pada struktur tanah juga mengurangi kekuatan gulungan gelombang indah di Pantai Sorake, Teluk Dalam, membuat para turis enggan singgah di pantai yang sebelumnya terkenal untuk kegiatan selancar ini.

7

Ketika Nias Luluh LantakWarga MasyarakatNIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

966 orang meninggal (850 di antaranya meninggal pada saat gempa 28 Maret 2005) 11.579 orang lukaluka 70.000 lebih orang kehilangan tempat tinggal 1.030 keluarga (5.094 orang) dita mpung di tenda penampungan Sekitar 1.500 orang mengungsi dari Kepulauan Hinako ke Pulau Nias 761 bangunan kantor pemerintah rusak sebagian atau seluruhnya

Pendidikan

723 dari 879 sekolah rusak atau hancur 3.500 ruang kelas rusak atau hancur 2 rumah sakit rusak 173 puskesmas pembantu rusak sebagian dan rusak total 170 klinik ibu dan anak rusak 90% mata pencarian terganggu, terutama nelayan dan petani 20% penurunan perekonomian 219 pasar, toko, dan kios rusak

Kesehatan

Mata Pencarian

Layanan Masyarakat

8

Perikanan

Tempat Ibadah

1.419 rumah ibadah rusak ringan, rusak sebagian, atau rusak total 8 rumah hancur 15 rumah rusak berat 2 pelabuhan mengering akibat terangkatnya pulau tersebut set inggi 2 meter 2 pelabuhan kecil mengering 1 bangunan sekolah hancur 10 ruang kelas rusak

Pertanian

Kepulauan Hinako

Pengairan dan Sanitasi

Hampir seluruh jaringan distri busi air di semua kecamatan dan ibu kota kabupaten rusak PDAM Tirtanadi hanya mampu melayani 20% penduduk Gu nungsitoli dengan kualitas air yang buruk Jaringan irigasi rusak parah, sehingga berdampak nyata terhadap 90% perekonomian penduduk Hambatan terhadap akses air tanah dalam

Penurunan sampai 70% hasil pertanian di tingkat daerah Meningkatnya hargaharga hasil pertanian Berkurangnya daya jual beras Turunnya harga beras karena mengalirnya beras impor Kenaikan biaya sewa atau harga bagi hasil Menurunnya harga cokelat di kawasan yang baru saja mengem bangkan sektor ini

Bagian 1. Lompatan Kepulauan yang Bergoyang

Kerusakan parah pada de sadesa nelayan dan kerusakan perahu nelayan Ketidakstabilan pasar dalam jangka pendek dan kenaikan harga di pasar Kerusakan di pelabuhanpelabu han dagang Penurunan 2050% tangkapan ikan

Perumahan

16.161 rumah hancur 29.184 rumah rusak parah 34.009 rumah rusak ringan 2 desa di Kecamatan Bawolato, Nias bagian timur, tenggelam

Infrastruktur

800 km jalan kabupaten tidak dapat dilalui 266 km jalan provinsi tidak dapat dilalui 403 jembatan tidak dapat dilalui 12 pelabuhan besar dan kecil hancur

9

940'0"E KOTA SABANG P. Weh BANDA ACEH

960'0"E

980'0"E

1000'0"E

NIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

ACEH BESAR Lamno KOTA LHOKSEUMAWE BIREUEN ACEH UTARA BENER MERIAH D. Laut Tawar ACEH TIMUR ACEH TENGAH KOTA LANGSA ACEH TAMIANGSelat Malaka

PIDIE ACEH JAYA

Calang ACEH BARAT0 KM

40'0"N

NAGAN RAYA Meulaboh

40

GAYO LUES ACEH BARAT DAYA ACEH SELATAN Tapaktuan ACEH TENGGARA0 KM

MEDAN

1010 0SIMEULUE

20

KM

D. TobaKM

50

ACEH SINGKIL Pulau Banyak SUMMATERA UTARA

20'0"N

SKALA 1:2,700,000 Pada ukuran A30 15 30 60 Kilometers

NIAS90

RIAU

Samudera Indonesia

NIAS SELATAN

00'0"

SUMMATERA BARAT

940'0"E

960'0"E

980'0"E

1000'0"E

PETA PUSAT GEMPA BUMI 28 MARET TAHUN 2005LEGENDAPusat Gempa Batas Provinsi Batas Kabupaten Laut

KETERANGANSumber peta : data BPS, Peta Rupabumi Bakosurtanal skala 50.000, Geospasial perumahan, Pemetaan Aset. Datum WGS 1984, proyeksi UTM. Peta dibuat pada bulan Januari 2009 oleh Tim Teknis Buku Peta BRR

No. I

Sektor dan Subsektor Perumahan 1. Perumahan 2. Prasarana Lingkungan

Dampak Bencana (juta rupiah) Kerusakan 1.990.912 1.450.000 540.912 2.580.401 1.630.000 258.066 213.651 312.184 52.500 34.000 80.000 809.767 515.992 221.100 72.675 296.920 280.432 16.488 334.400 276.400 58.000 6.012.401 % 33,11% 42,92% 13,47% 4,94% 5,56% 100% Pemerintah 2.580.401 1.630.000 258.066 213.651 312.184 52.500 34.000 80.000 737.092 515.992 221.100 334.400 276.400 58.000 3.651.893

Kepemilikan % 0.00% Swasta 1.990.912 1.450.000 70,66% 20,18% 0% 9,16% 60,74% 540.912 72.675 72,675 296.920 280.432 16.488 2.360.508 0% 39,26% % 84,34% 0% 3,08% 12,58%

II

Infrastruktur 1 Transportasi Darat 2. Energi 3. Pos dan Telekomunikasi 4. Air dan Sanitasi 5. Infrastruktur Pertanian 6. Pintu Air 7. Transportasi Udara 8. Transportasi Laut

III

Sosial 1. Pendidikan 2. Kesehatan 3. Agama

IV

Ekonomi 1. Pertanian 2. Perdagangan

V

Lintas Sektor 1. Tata Pemerintahan 2. Ketertiban dan Keamanan TOTAL

Bagian 1. Lompatan Kepulauan yang Bergoyang

Tabel 1.1. Nilai Kerusakan Akibat Gempa 28 Maret 2005 di Kepulauan Nias

11

Kehancuran Kota Gunungsitoli akibat gempa 28 Maret 2005. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 1. Lompatan Kepulauan yang Bergoyang

13

NIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

Bantuan Internasional Penanganan Tanggap Daruratmenewaskan hampir 1.000 orang terjadi menjelang tengah malam pada Senin, 28 Maret 2005. Di tengah isak tangis dan teriakan minta tolong nyaris dari seluruh pelosok Kota Gunungsitoli, sebagian besar warga kota yang selamat justru lari dalam kegelapan malam menuju perbukitan karena takut adanya tsunami. Hal yang sama terjadi di Teluk Dalam, ibu kota Kabupaten Nias Selatan. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian wilayah Nias telah mengalami tsunami pada 26 Desember 2004. Keesokan harinya, situasi benarbenar kalut. Korbankorban manusia yang tewas masih terbenam di balik reruntuhan dan korban yang terjebak reruntuhan belum mendapat pertolongan. Selain tidak ada alat berat yang memadai untuk mengangkat reruntuhan bangunan, warga masyarakat masih ragu turun ke kota dan perkampungan untuk memberikan pertolongan. Di tengah situasi kalut tersebut, beberapa organisasi internasional datang tepat pada waktunya. Pada hari kedua, atau tepatnya Selasa, 29 Maret 2005, tercatat tiga organisasi kemanusiaan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) dan satu nongovernmental organization (NGO) internasional tiba di Nias. Keempat lembaga tersebut adalah United Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA), United Nations Childrens Fund (UNICEF), United Nations World Food Programme (UNWFP), dan International Organization for Migration (IOM). Sementara itu, di beberapa daerah, terutama di kawasan bagian barat Pulau Nias, yaitu daerah Sirombu dan Mandrehe, telah ada beberapa organisasi kemanusiaan yang membantu korban tsunami, seperti Surf Aid International dan ZerotoOne Foundation.

GEMPA bumi Nias yang

14

Tanpa persiapan berarti, UNOCHA membuka kantor darurat hari Selasa itu juga untuk mengoordinasi pemberian bantuan. Kantor di depan pendapa kantor Bupati Nias inilah yang menjadi pusat koordinasi dan informasi bagi sekitar 70 lembaga internasional dan 50an lembaga nasional yang berbondongbondong ke Nias untuk memberikan bantuan darurat kemanusiaan beberapa hari setelahnya. Lapangan Merdeka, yang berada persis di depan pendapa kantor Bupati Nias, disulap menjadi pusat pelayanan kesehatan yang sekaligus berfungsi sebagai tempat menginap bagi pekerja kemanusiaan. Kapal US Mercy, yang juga memberikan bantuan pelayanan kesehatan, berlabuh di pantai dekat Lapangan Merdeka, Kota Gunungsitoli. Yenita Fiftin Ndruru, gadis asal Nias yang mengalami peristiwa ini, menuturkan, satu minggu setelah kejadian gempa, masyarakat Kota Gunungsitoli masih ragu turun dari gunung. Mayatmayat di balik reruntuhan baru bisa seluruhnya dikeluarkan tiga minggu setelah gempa karena tidak ada backhoe atau alat berat lain yang bisa dipakai untuk mengangkat reruntuhan gedung pertokoan di Kota Gunungsitoli. Masyarakat hanya menggunakan peralatan sederhana, seperti martil, sekop, dan cangkul. Untung, banyak NGO cepat datang ke Nias memberikan pertolongan. Kalau tidak, situasi Nias mungkin akan lebih buruk lagi. Apotek Holy Farma milik keluarga kami adalah satusatunya apotek yang masih dapat melayani pembeli di Kota Gunungsitoli, Apotek lain telah runtuh oleh gempa. Karena kasihan kepada banyak korban luka dan sakit pascagempa yang membutuhkan obatobatan, kami terpaksa turun dari gunung untuk membuka apotek. Waktu itu, berbagai NGO yang memberikan pelayanan

kesehatan berlangganan dengan kami, tutur Yeni Ndruru. Gubernur Sumatera Utara saat itu, Rizal Nurdin (almarhum), dan pemimpin Satkorlak Sumatera Utara termasuk di antara mereka yang sejak awal tiba di Nias. Begitu mendengar ada gempa besar di Nias, Rizal Nurdin langsung terbang ke Nias keesokan harinya. Bersama Wakil Bupati Nias saat itu, Agus Mendrofa, mereka mengoordinasi pemberian bantuan makanan dan obatobatan bersama organisasi PBB yang biasa bertugas mengoordinasi penanganan bantuan kemanusiaan, UNOCHA. Penanganan tanggap darurat pascabencana di Nias tergolong besar karena melibatkan sekitar 140 lembaga nasional dan internasional. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sendiri belum pernah berpengalaman mengoordinasi skala bantuan demikian besar. Karena itu, peran UNOCHA sangat penting sebagai jangkar koordinasi dan komunikasi selama proses pemberian bantuan pada masa tanggap darurat, ujar Field Officer UNOCHA, Sonya Syafitri, yang sudah berada di Nias tiga hari setelah kejadian bencana. Sonya menuturkan, korban bencana yang terdapat di hampir seluruh Pulau Nias membutuhkan pertolongan. Tantangan terbesar dalam proses pertolongan ini adalah sulitnya transportasi. Jalan dan jembatan banyak yang putus sehingga tidak dapat dilalui kendaraan. Misalnya, bantuan ke Teluk Dalam, Nias Selatan, sulit dikirimkan karena mobil tidak dapat menembus jalan dan jembatan yang putus di beberapa titik. Helikopter milik UNWFP dan Angkatan Bersenjata Australia dapat membantu mengatasi hambatan jalan darat yang buruk. Sayangnya, dalam operasi

kemanusiaan tersebut, sebuah helikopter milik Angkatan Bersenjata Australia jatuh di daerah Amandraya, Nias Selatan, dan menewaskan empat relawan tentara Angkatan Bersenjata Australia. Dalam rangka pengembangan koordinasi, UNOCHA menetapkan Kelompok Kerja Sektoral, yang terdiri atas Kelompok Kerja Sektor Kesehatan, Penanganan Pengungsi (IDPs), Logistik, Bantuan Makanan dan Bukan Makanan, serta Air Minum dan Sanitasi. Setiap hari diadakan rapat koordinasi Kelompok Kerja Sektoral dan Pertemuan Koordinasi Umum untuk melakukan koordinasi lintas sektoral, yang dipimpin bersama oleh Satkorlak, UNOCHA, dan Pemerintah Kabupaten Nias. Bencana gempa bumi Nias memang hanya dikategorikan sebagai bencana lokal oleh pemerintah Indonesia. Tapi bantuan kemanusiaan mengalir dari berbagai negara dan organisasi internasional. Meski banyak organisasi kemanusiaan internasional tidak dapat melanjutkan misi mereka di Nias pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi, peran mereka sangat berarti bagi para korban bencana di daerah Nias yang terpencil dan terlupakan.

Bagian 1. Lompatan Kepulauan yang Bergoyang

15

NIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

16

Suasana base camp pekerja rekonstruksi di sekitar halaman kantor bupati di Gunungsitoli, 13 April 2005. Foto: Dokumentasi BRR

Membuka Wilayah Udara untuk Pertolongan Pertama: Tanggap DaruratTelepon di kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berdering menjelang tengah malam. Gubernur Sumatera Utara waktu itu, Tengku Rizal Nurdin, melaporkan adanya gempa bumi di Nias dengan kekuatan cukup besar, dan ada korban jiwa meski belum dapat dipastikan jumlahnya. Pukul tiga dini hari, T.B. Silalahi, penasihat khusus Presiden, berkeras meminta ajudan membangunkan Presiden, setelah ia mendapat informasi dari Wakil Bupati Nias dan memantau berita dari stasiun TV Amerika Serikat, CNN. Silalahi melaporkan situasi yang lebih parah akibat bencana dan meminta izin Presiden untuk melakukan langkahlangkah tanggap darurat, antara lain mengizinkan beberapa helikopter pemerintah Singapura memasuki wilayah Nias dan memberikan pertolongan pertama bagi para korban. Presiden meminta Silalahi berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri dan lembagalembaga lain yang terkait. Saya segera memfasilitasi helikopter pemerintah Singapura, PBB, dan LSM Samaritan Purse yang telah bersiaga di Sibolga agar dapat masuk Nias, tutur Silalahi. Bantuan inilah yang mengawali proses penanganan tanggap darurat secara besarbesaran dengan melibatkan berbagai pihak, baik lokal, regional, nasional, maupun internasional.

Pusat penanganan bantuan darurat ditempatkan di Lapangan Pelita, sebagai satusatunya lokasi yang dapat didarati helikopter. Sementara itu, pendapa kantor Bupati Nias menjadi pusat informasi dan pengendalian penanganan tanggap darurat. Di sini, UNOCHA bersama Satkorlak PBP Sumatera Utara dan Tentara Nasional Indonesia mengoordinasi bantuan darurat yang melibatkan sekitar 70 lembaga kemanusiaan internasional dan puluhan lembaga kemanusiaan nasional. Pemberian bantuan darurat di Kepulauan Nias oleh berbagai negara dan organisasi kemanusiaan dapat direspons dengan cepat karena saat itu kebanyakan perwakilan negara dan organisasi kemanusiaan sedang berada di Banda Aceh untuk membantu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang porakporanda dilanda tsunami tiga bulan sebelumnya. Walaupun Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengumumkan bencana gempa bumi di wilayah Kepulauan Nias hanya gempa lokal serta menyatakan lingkup koordinasi dan penanganannya di Sumatera Utara saja, simpati nasional dan dunia telah mengalir deras ke Nias. Pemerintah pusat juga merespons dengan tindakan cepat koordinasi tanggap darurat, melampaui mekanisme formal bencana lokal lazimnya. Setelah gempa utama yang mengejutkan, masih terjadi puluhan gempa susulan yang dapat dirasakan warga Kepulauan Nias, yang semakin mengukuhkan betapa kepulauan ini rawan gempa bumi.

Suasana penampungan sementara pengungsi di pendapa masjid di pusat Kota Gunungsitoli 6 April 2005. Foto: Dokumentasi BRR

Bagian 1. Lompatan Kepulauan yang Bergoyang

17

Tergesagesa Masuk ke Cetak BiruNIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

Belum sebulan masa tanggap darurat bergulir di Kepulauan Nias, pemerintah pusat membentuk badan khusus untuk menangani rehabilitasi dan rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias (BRR NADNias). Salah satu mandat BRR NADNias adalah membangun kembali Kepulauan Nias pascagempa 28 Maret 2005. Wilayah Kepulauan Nias dimasukkan ke dalam kerangka penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi di saatsaat terakhir, sebelum Presiden menerbitkan Peraturan Presiden tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi serta mengesahkan pembentukan lembaga BRR NADNias. Penyertaan Nias dalam skenario pemulihan tentu saja menjadi berkah bagi masyarakat Nias. Ketergesaan memasukkan wilayah Kepulauan Nias di bawah payung BRR NADNias menyebabkan perencanaan pembangunan kembali wilayah ini tidak dijabarkan dengan baik dalam Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi AcehNias. Tidak tersedia cukup referensi pula bagi BRR NADNias untuk membentuk organisasi BRR Perwakilan Nias serta menentukan para profesional yang dapat diandalkan memimpin kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di salah satu kawasan termiskin di Indonesia itu. Ketidakjelasan penyusunan organisasi, ditambah terisolasinya wilayah Nias, menyulitkan upaya penelusuran orang cakap yang pantas memimpin perwakilan BRR NADNias di Nias. Lebih dari dua bulan saya mencaricari siapa yang cocok memimpin Nias. Sampai akhirnya saya bertemu dengan Willy, ungkap Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Badan Pelaksana BRR NADNias, mengenang saat ia menjatuhkan pilihan pada William P. Sabandar. Berbekal kepercayaan tersebut, William P. Sabandar, yang akrab disapa Willy, bertolak ke Nias, kawasan yang belum pernah dijajakinya, pada 10 Juni 2005. Tanpa sepotong pedoman apa pun, baik dalam penyusunan organisasi maupun rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi, ia harus cepat mendefinisikan sendiri tanggung jawabnya serta merumuskan langkahlangkah konkret.

18

Pemerintah Dinilai Lamban, 150.000 Pengungsi Nias Butuh Kepastian Masa Depan

Medan, Kompas Pemerintah dinilai lamban dalam melaksanakan rehabilitasi Nias pascabencana sehingga nasib 150.000 pengungsi hingga kini belum pasti. Mereka terpaksa harus hidup di tendatenda darurat, sementara harga sejumlah hasil pertanian rakyat pun masih sangat rendah karena terkendala sulitnya transportasi. Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Kebijakan Efendi Panjaitan kepada pers di Medan, Rabu (8/6). Jika memang pemerintah tidak sanggup memfasilitasi pembangunan kembali rumah korban bencana di Nias, sebaiknya hal itu segera diumumkan secara resmi agar bisa mendorong masyarakat berinisiatif membangun kembali rumahnya secara bertahap. Hingga kini sedikitnya 150.000 pengungsi di Nias masih tinggal di tendatenda darurat tanpa kepastian masa depan, katanya. Saat Kompas ke Nias akhir bulan lalu, para pengungsi memang masih tinggal di tenda tenda darurat karena mereka takut gempa susulan bakal memorakporandakan rumah rumah mereka yang memang sudah kritis. Sejumlah pengungsi yang ditemui juga mengaku kebingungan dengan masa depan mereka karena pemerintah tidak pernah memberikan sosialisasi tentang rancangan Nias pascabencana.Kompas: Kamis, 9 Juni 2005

Proses rehabilitasi dan rekonstruksi Kepulauan Nias tidak mungkin dimulai tanpa menuntaskan berbagai pekerjaan rumah yang tersisa selama masa tanggap darurat. Maka upaya koordinasi penanganan yang bersifat darurat pun digalakkan lagi, padahal di saat bersamaan berbagai organisasi nasional dan internasional telah mulai meninggalkan Nias atau tengah mempersiapkan diri masuk ke kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi menjelang usainya masa tanggap darurat. Selain mengatur berbagai lembaga nasional dan internasional yang akan memulai kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, BRR Perwakilan Nias harus mengoordinasi pelaksanaan anggaran APBN (onbudget) untuk kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi Kepulauan Nias dengan dana sebesar Rp 412,5 miliar. Ketika kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi akan dimulai, kondisi Nias yang miskin dan terbelakang segera terasa sebagai hambatan besar. Belum lagi kebutuhan material rekonstruksi yang seluruhnya harus didatangkan dari luar Nias, ditambah masalah transportasi dari dan ke Nias yang kurang memadai. Pengorganisasian masyarakat tidak mudah dilakukan karena masyarakat setempat telah lama terbagi dalam berbagai kelompok kecil menurut ikatan klan dan keluarga. Mereka juga tidak biasa terlibat memutuskan dan melaksanakan kegiatan publik. Kelembagaan pemerintahan daerah sangat lemah dan tidak memiliki kredibilitas di mata masyarakat, sementara lembaga adat dan gereja setempat telah direduksi perannya sedemikian rupa sehingga sulit menggerakkan kepemimpinan dan kesatuan masyarakat. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik masyarakat yang seperti itu menimbulkan tantangan besar dan sulit dalam proses pembangunan kembali Nias. Bagaimana BRR Perwakilan Nias menjawab tantangantantangan tersebut? Upaya apa saja yang dikembangkan dan pelajaran apa yang dipetik dari kegamangan serta pencarian solusi terhadap berbagai masalah rehabilitasi dan rekonstruksi yang muncul? Buku ini memberikan jawaban atas pertanyaanpertanyaan itu, mengalir bersama kenangan dan pembelajaran yang tertoreh di hati dan benak masyarakat Nias serta mereka semua yang berperan serta membangun kembali Kepulauan Nias menjadi lebih baik.

Bagian 1. Lompatan Kepulauan yang Bergoyang

Walau Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengumumkan masa tanggap darurat berakhir pada 28 Juni 2005, kenyataannya, menjelang akhir masa itu, kondisi Nias belum banyak berubah. Di sanasini puing bangunan berserakan. Para pengungsi masih tinggal di berbagai tenda penampungan sementara dengan kondisi memprihatinkan.

19

Antara Kepercayaan, Otonomi, dan Agenda LokalBRR di Nias dibangun dari nol, tanpa pedoman, tanpa model. Belum ada contoh di negara mana pun di dunia, sebuah badan adhoc dibentuk pemerintah untuk menangani bencana alam seperti gempa bumi dahsyat pada 28 Maret 2005 ini. Satusatunya rujukan adalah organisasi induknya, BRR NADNias, yang sudah dibentuk dua bulan sebelumnya dan berkedudukan di Banda Aceh. Sebagai kantor perwakilan BRR NADNias, BRR Perwakilan Nias tetap menginduk ke organisasi intinya. Namun penanganan bencana alam yang berbeda serta situasi sosial dan politik masyarakat yang tidak sama menimbulkan kebutuhan organisasi yang berlainan pula. Maka mereplikasi struktur BRR NAD belum tentu merupakan jawaban tepat bagi kebutuhan penanganan bencana di Nias. Peran dan fungsi BRR Perwakilan Nias berkembang sesuai dengan kebutuhan dalam menjawab tantangan di lapangan. Perkembangan ini berlangsung cepat dan dinamis berkaitan dengan perubahan manajemen organisasi dalam merajut kerja sama dengan pemerintah daerah dan mitra pemulihan serta menjalin komunikasi yang baik dan efektif dengan masyarakat.

ORGANISASI

Hasil pembangunan tahap 1 Rumah Sakit Gunungsitoli yang merupakan rumah sakit rujukan bagi penduduk Kepulauan Nias. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 2. Antara Kepercayaan, Otonomi, dan Agenda Lokal

21

Struktur Lentur Penjawab TantanganNIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

BRR NADNias memulai misinya di Kepulauan Nias segera setelah Kepala Badan Pelaksana BRR NADNias menunjuk Kepala BRR Perwakilan Nias pada awal Juni 2005: Saya serahkan Nias kepada Anda. Silakan kembangkan organisasi Anda, pilih staf Anda sendiri, dan atur kegiatankegiatan Anda sendiri. Saya hanya mengukur kinerja Anda dari kemajuan yang Anda buat dari hari ke hari. Saya Kepala BRR Aceh dan Nias. Tetapi, untuk urusan Nias, Anda yang menginstruksikan saya! demikian penggalan ucapan Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Badan Pelaksana BRR NADNias, kepada William P. Sabandar, Kepala BRR Perwakilan Nias, menjelang keberangkatannya ke Nias. Rapat koordinasi umum pertama yang melibatkan BRR selaku koordinator kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Nias berlangsung pada 10 Juni 2005 pagi di ruang pertemuan pendapa kantor Bupati Nias, yang dihadiri perwakilan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pemerintah daerah. Melalui pertemuan tersebut, William P. Sabandar memperkenalkan diri sebagai Kepala Perwakilan BRR NADNias di Nias, sekaligus mengambil alih proses koordinasi dari United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA). Melampaui gambaran bencana yang dapat dibayangkan, Kepulauan Nias ternyata sangat miskin dan terbelakang. Sebagian besar masyarakatnya masih hidup secara tradisional di pedesaan. Banyak wilayah kecamatan dan desa terisolasi satu sama lain, sehingga jarang terjadi interaksi secara terbuka dan intensif di antara sesama warga Nias ataupun dengan orang luar. Tanpa perangkat organisasi dan dukungan data yang memadai, Kepala BRR Perwakilan Nias harus cepat melakukan pengamatan dan penilaian sendiri ke berbagai wilayah yang terkena bencana. Sambil memberikan pertolongan kepada para korban bencana yang menjerit kelaparan dan terserang penyakit di berbagai tenda pengungsian, ia juga harus segera menyusun rencana dan program rehabilitasi dan rekonstruksi untuk Tahun Anggaran 2005, padahal Tahun Anggaran APBN 2005 sudah berjalan setengah tahun. Sejak pertama kali saya datang ke sini, saya perhatikan koordinasi akan jadi masalah utama. Banyak sekali pemangku kepentingan yang harus

22

Tanggung Jawab dan Fungsi Mulamula BRR Perwakilan NiasKedudukan Perwakilan Nias adalah sebagai tenaga khusus Kepala Badan Pelaksana BRR NADNias dengan tugas pokok membantu Kepala Badan Pelaksana dalam melaksanakan kegiatan di wilayah Kepulauan Nias. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Melaksanakan komunikasi secara teratur dengan masyarakat lokal dan pemerintah daerah setempat Menyampaikan masukan masyarakat dalam proses persetujuan proyekproyek Badan Pelaksana Melaksanakan fasilitasi implementasi proyek dan penyelesaian masalah Menyediakan laporan perkembangan Kepulauan Nias secara rutin Menyusun, melaksanakan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan rencana kerja Perwakilan Nias Melaksanakan fasilitasi Badan Pelaksana dengan berbagai pihak lain dalam melakukan kegiatan di Kepulauan Nias.

Sumber: Peraturan Kepala Bapel BRR NADNias Nomor 01/ PER/BPBRR/VII/2005

dikoordinasi untuk menangani situasi darurat yang masih berlangsung dan menyiapkan transisi yang mulus dari situasi darurat ke tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, ungkap Willy dalam laporan dwimingguan pertamanya kepada Kepala Badan Pelaksana BRR NADNias. Kenyataannya, proses pembangunan kembali Nias pascabencana tak dapat langsung berjalan cepat sesuai dengan harapan masyarakat penerima manfaat. Kondisi institusi sosial dan lembaga pemerintahan tidak cukup kuat mendukung kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Walaupun institusi adat dan agama Kristenagama mayoritas yang dianut masyarakat Niassangat berperan dalam kehidupan masyarakat, organisasi dan kepemimpinannya bisa dikatakan rapuh. Lembaga keagamaan dan institusi sosial lain telah lama terkotakkotak dalam berbagai kelompok kecil yang berkonflik. Pemukapemuka masyarakat pun terpecah lantaran kungkungan kepentingan kelompok dan keluarga. Selama ini, pemerintah menjadi pemangku kepentingan tunggal, berjalan sendiri melaksanakan pembangunan, tanpa keterlibatan dan kontrol masyarakat. Seringkali lembaga pemerintahan tak mampu menjembatani kebutuhankebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi, bahkan memunculkan berbagai hambatan.

Staf BRR Kantor Pewakilan Nias melakukan tugas lapangan ke Lahewa, Kabupaten Nias. Mereka harus membenahi sendiri jembatan yang akan dilaluinya, September 2005. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 2. Antara Kepercayaan, Otonomi, dan Agenda Lokal

23

NIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

24

Hingga dua bulan pertama di bumi Nias, hanya ada tiga personel dalam tubuh BRR setempat. Belum ada alamat kantor yang pasti ataupun kelengkapan sekretariat untuk melaksanakan misi rehabilitasi dan rekonstruksi. Kantor sementara disatukan dengan UNOCHA, yang beroperasi di bawah tenda di pendapa kantor Bupati Nias. Atas bantuan HELP eV, sebuah LSM dari Jerman, kantor BRR Perwakilan Nias lantas dialihkan ke kantor LSM itu, ditambah pinjaman satu unit mobil 4WD sebagai kendaraan operasional. Perkembangan dalam proses pembentukan struktur organisasi dimulai pada awal Agustus 2005 dengan empat anggota staf baru. Kepala BRR Perwakilan Nias saat itu telah memiliki enam personel yang menjadi cikalbakal terbentuknya struktur organisasi BRR Perwakilan Nias. Kantor pun kemudian pindah ke sebuah rumah kontrakan di Jalan Diponegoro Nomor 439, Gunungsitoli, yang sekaligus berfungsi sebagai rumah tinggal. Struktur organisasi BRR Perwakilan Nias secara resmi diajukan kepada Kepala Badan Pelaksana BRR NADNias pada awal September 2005, dengan tambahan Kepala Satuan Kerja (Satker) Sekretariat. Pada akhir November 2005, terjadi lagi perubahan struktur organisasi BRR Perwakilan Nias. Perubahan struktur kali ini tidak hanya berupa penambahan beberapa bidang penanganan koordinasi, tapi juga pembentukan suatu unit yang lebih operasional, yaitu Kepala Operasi Percepatan Perumahan dan Permukiman.

Kesimpulan Kepala BRR Perwakilan Nias di tiga hari pertamanya di Nias1. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi akan dirasa tidak adil jika hanya memulihkan akibatakibat bencana alam, tanpa menangani kemiskinan dan keterbelakangan wilayah. 2. Transportasi merupakan sektor yang membutuhkan penanganan serius dan menyeluruh. 3. Masyarakat setempat perlu dilibatkan dalam proses membangun kembali daerah mereka.

Dalam perkembangan selanjutnya, unit tersebut menjelma menjadi Satuan Kerja Sementara Perumahan dan Permukiman BRR Perwakilan Nias, yang bertanggung jawab melaksanakan pembangunan kembali perumahan penduduk di Nias dan Nias Selatan. Manajer Perumahan BRR Perwakilan Nias pun merangkap sebagai Kepala Satker Perumahan dan Permukiman. Penambahan unit operasional di bidang perumahan ini mengalihkan fungsi organisasi BRR Perwakilan Nias dari koordinator semata menjadi koordinator sekaligus pelaksana atau implementor rehabilitasi dan rekonstruksi. Perubahan struktur organisasi di BRR Perwakilan Nias ini belakangan mendorong terjadinya perubahan struktur organisasi BRR NADNias secara keseluruhan. Adanya pergeseran pendekatan keorganisasian itu membuat organisasi BRR Perwakilan Nias kian semarak dengan penambahan beberapa unit baru dan bergabungnya kalangan profesional untuk mengisi unitunit baru tersebut. Perkembangan ini memperkuat kapasitas organisasi dalam koordinasi, pelaksanaan, serta pengendalian kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.

Aktivitas para pekerja dalam pembangunan Perumnas Dahana, Kota Gunungsitoli, Maret 2006. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 2. Antara Kepercayaan, Otonomi, dan Agenda Lokal

25

NIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

Penyempurnaan organisasi BRR Perwakilan Nias antara lain dilakukan melalui pembentukan unit Pusat Informasi Publik atau Public Information Center pada Februari 2006, sebagai bagian dari operasi informasi dan komunikasi publik, serta pembentukan Direktorat Perencanaan dan Pengendalian pada Juni 2006. Bersamaan dengan bergulirnya waktu, terbit kebijakan regionalisasi di lingkungan BRR NADNias. Maka, pada Januari 2007, secara formal dibentuk dua kantor distrik, masingmasing di Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan.2 Munculnya peran distrik di Nias dan Nias Selatan mengimbas pada perubahan pendekatan program rehabilitasi dan rekonstruksi. Pada 2005 dan 2006, program pembangunan kembali disatukan untuk Nias dan Nias Selatan, tapi sejak 2007 Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dipisahkan untuk wilayah Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan. Selanjutnya, setiap kantor distrik membentuk struktur organisasi sendiri, sesuai dengan bidang penanganan operasional di tingkat distrik. Dinamika perubahan struktur organisasi BRR Perwakilan Nias ini merupakan respons cepat terhadap kebutuhan dan tantangan yang senantiasa berubah seiring dengan perkembangan. Kelenturan organisasi ini tercipta dari dialektika yang intensif dengan lingkungannya.

26

Tiga Kelompok Kegiatan Penting Organisasi BRR Perwakilan Nias Menjelang Akhir Masa Tugas 2009PENUNTASAN TEMUAN. Untuk memastikan agar pada akhir masa tugasnya BRR memperoleh predikat Wajar Tanpa Perkecualian, penuntasan temuan perlu dilaksanakan secara lebih intensif. Untuk itu, dibutuhkan sumber daya manusia yang bertanggung jawab terhadap urusan penuntasan temuan, baik di lini manajemen, pelaksana proyek, maupun Unit Pengawasan Internal yang terkait langsung dengan masalah temuan. UNIT PENGELOLAAN ASET. Untuk menjamin agar semua aset hasil pelaksanaan program rekonstruksi dan aset operasional diserahterimakan dengan baik, perlu sumber daya manusia di lini manajemen dan pelaksana proyek dalam urusan pengelolaan aset. KELANJUTAN REKONSTRUKSI. Untuk menjamin agar proyekproyek reguler tahun berjalan dapat terlaksana dengan baik serta kesiapan kelanjutan rekonstruksi pada Tahun Anggaran 2009 dan pengakhiran masa tugas berjalan lancar, dibutuhkan sumber daya manusia dalam urusan kelanjutan rekonstruksi.

SA A K H I R T U G A S B

MA

RR

Berkaca pada regionalisasi yang dilakukan di Nias, BRR NAD menerapkan kebijakan serupa, yakni suatu pendekatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang responsif terhadap kebutuhan lokal, yang berangkat dari pembelajaran bahwa kegiatan pemulihan bencana perlu dikendalikan secara lokal dan tidak berjarak dengan tempat operasi kegiatan pemulihan dilaksanakan. Menjelang akhir masa tugas BRR pada April 2009, organisasi BRR Perwakilan Nias kembali melakukan restrukturisasi, agar dapat lebih efektif menjawab kebutuhan pengakhiran tugas, yang tentu berbeda dari tantangan organisasi pada periode rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam kerangka kebutuhan pengakhiran tugas itulah lalu dikembangkan posisiposisi wakil, yaitu Wakil Kepala Regional, Wakil Kepala Perencanaan dan Pengendalian, serta Wakil Kepala Distrik. Ketiga wakil tersebut melaksanakan tugas utama posisi yang mereka wakili, sedangkan kepala masingmasing berkonsentrasi pada tiga kelompok kegiatan penting organisasi menjelang akhir masa tugas.

Menjadi Koordinator Plus ImplementorPada 2005, yang dikategorikan sebagai staf BRR adalah mereka yang berada pada struktur Bapel BRR NADNias, tidak termasuk pejabat dan staf Satker yang merupakan pelaksana proyek dari pemerintah daerah dan departemen/dinas pemerintahan terkait. Dalam hal ini, organisasi BRR Perwakilan Nias berperan sebagai Bapel, sedangkan organisasi pelaksana proyek, yang dalam kerangka pelaksanaan proyek pemerintahan disebut Satker, merupakan unit terpisah dari organisasi BRR Perwakilan Nias. Lima bulan setelah usainya masa tanggap darurat, pada November tahun yang sama, terlihat bahwa kegiatankegiatan signifikan untuk memulihkan kondisi fisik, sosial, dan ekonomi Nias belum menuai hasil memadai. Peran BRR Perwakilan Nias yang hanya sebagai koordinator menyulitkan upaya percepatan. Sementara itu, banyak Satker masih berkutat dengan masalah tarikmenarik kepentingan dan proses birokrasi kelengkapan organisasi. Kegamangan mencuat. Kondisi yang sulit di lapangan berpadu dengan latar kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat setempat. Ketidaksiapan birokrasi pemerintah daerah merespons kebutuhan pembangunan dan lemahnya political will untuk memajukan Nias menambah berat tantangan yang dihadapi. Kenyataan tersebut memaksa BRR Perwakilan Nias bersikap proaktif, masuk lebih jauh ke fungsi implementasi kegiatan. Tidak mungkin berpangku tangan, tetap menjadi koordinator, sementara gerak pelaksanaan di lapangan berjalan lamban. Secara bertahap peran BRR Perwakilan Nias bergeser menjadi koordinator dan implementor.

Bagian 2. Antara Kepercayaan, Otonomi, dan Agenda Lokal

27

NIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

Sektor perumahan menjadi sektor yang pertama kali diambil alih BRR Perwakilan Nias dari Satker Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, sejak November 2005. Seharusnya ada 1.100 unit rumah yang dibangun pada Tahun Anggaran 2005, tapi hingga tutup tahun itu belum ada satu pun rumah yang terealisasi. Pengambilalihan pelaksanaan pekerjaan oleh BRR Perwakilan Nias berhasil mempercepat pembangunan kembali rumah masyarakat. Dalam waktu hanya enam bulan, tepatnya pada Juni 2006, 1.062 dari 1.100 rumah di Nias telah didirikan oleh Satker Perumahan BRR. Kecepatan pembangunan fisik dapat dipacu, tapi masalah lain muncul. Upaya menjawab segera kebutuhan 1.030 keluarga atau 5.094 orang yang kehilangan rumah dan masih tinggal di 41 tenda pengungsian berdampak pada rendahnya kualitas rumah. Selain itu, banyak bantuan rumah salah alamat karena tak ada basis data yang akurat hanya mengandalkan data kerusakan rumah dari Satkorlak yang berkoordinasi dengan aparat pemerintah daerah. Protes sengit berhamburan. Dengan otonomi yang dimiliki, BRR Perwakilan Nias mengubah kebijakan pendekatan rehabilitasi dan rekonstruksi, antara lain mencanangkan tahun 2006 sebagai tahun kualitas. Pada tahun yang sama, BRR Perwakilan Nias juga mulai mengubah kebijakan pendekatan pembangunan rumah dari pendekatan konvensional melalui kontraktor menjadi partisipasi aktif masyarakat, yang berawal dari proyek percontohan pembangunan permukiman di Kecamatan Gido dan Sitolu Ori, Kabupaten Nias, serta di Kecamatan Lolowau, Kabupaten Nias Selatan.

28

Menyederhanakan Organisasi Pelaksana Proyek APBNOrganisasi BRR Perwakilan Nias dilengkapi organisasi pelaksana proyek alias Satuan Kerja Sementara atau Satker dan Pejabat Pembuat Komitmen. Organisasi pelaksana proyek ini bertanggung jawab melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan sumber dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Organisasi pelaksana proyek BRR Perwakilan Nias memiliki sejarah unik dalam merealisasi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah Kepulauan Nias. Sempat timbul frustrasi pada BRR lantaran sulitnya memulai kegiatan pemulihan karena ketidaksiapan organisasi pelaksana, padahal dana tersedia dan para korban menjerit membutuhkan pertolongan dengan segera. Ketika memulai kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, BRR Perwakilan Nias mengelola dana onbudget melalui DIPA APBN Tahun Anggaran 2005 sebesar Rp 412,5 miliar. Dana tersebut dimanfaatkan pada 20 sektor pelaksanaan kegiatan dengan Satker masingmasing, yang antara lain meliputi bidang infrastruktur, seperti jalan dan

jembatan, kelistrikan, irigasi, serta pengamanan pantai dan sungai; bidang kesehatan; bidang pendidikan; bidang sosial budaya; bidang perumahan, dan satu Satker khusus kesekretariatan BRR Perwakilan Nias. Sebagai pengguna anggaran, sesuai dengan kebijakan organisasi BRR NADNias waktu itu, BRR tidak punya kewenangan melaksanakan dan/atau mengendalikan kegiatan pembangunan secara langsung. BRR hanya menjalankan fungsi manajemen dan penjaminan mutu. Tanggung jawab pelaksanaan pembangunan diserahkan kepada kementerian, lembaga, atau pemerintah daerah sesuai dengan mekanisme normal pelaksanaan proyek Pemerintah Indonesia. Struktur organisasi pelaksana proyek seperti ini membuat BRR serba susah. BRR menjadi pemegang mandat yang bertanggung jawab terhadap penanganan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi sekaligus pengguna anggaran, tapi dalam merealisasinya sangat bergantung pada kementerian, lembaga, atau pemerintah daerah. Di satu sisi, korbankorban bencana membutuhkan pertolongan cepat, tapi di sisi lain, karena pola pelaksanaan proyek melalui proses birokrasi, gerak BRR menjadi lambat. Kredibilitas BRR sebagai penanggung jawab seluruh kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dipertaruhkan ketika publik dan media masa mulai menghakimi BRR sebagai organisasi yang lamban merespons kebutuhan mendesak para korban bencana.

Berkat rekonstruksi, ruas jalan dari Kabupaten Nias menuju Kabupaten Nias Selatan mengalami peningkatan spesifikasi dan kualitas yang signifikan, September 2006. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 2. Antara Kepercayaan, Otonomi, dan Agenda Lokal

29

NIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

Saat mulai memasuki tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pada 2005, pembentukan Satker di Nias mengalami masalah yang jauh lebih sulit dari sekadar hambatan birokrasi yang umumnya terjadi. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara seakan enggan mengutus putraputra terbaiknya untuk memimpin proyek pembangunan di Nias. Selain itu, musibah jatuhnya pesawat Mandala Airlines di Medan, Sumatera Utara, pada Oktober 2005 tidak hanya menyisakan duka mendalam lantaran meninggalnya ratusan orang, termasuk Gubernur Sumatera Utara, Tengku Rizal Nurdin, tapi juga berdampak terkatungkatungnya nasib pembentukan 12 Satker dari Provinsi Sumatera Utara. Butuh waktu lebih dari tiga bulan, persisnya pada 14 September 2005, surat keputusan (SK) pembentukan Satker ditandatangani pejabat gubernur yang baru. Dalam kurun waktu itu, praktis proyek rehabilitasi dan rekonstruksi terhenti. Setelah SK turun, tidak otomatis semua Satker langsung terbang ke Nias. Satker Perumahan Gambar 2.1. Struktur Manajemen Pelaksanaan dan Organisasi Proyek 2007 bahkan tidak pernah menginjakkan kaki di Nias hingga akhirnya diganti.KEPALA BAPEL BRR NAD Nias

30

DEPUTI SEKTOR

DEPUTI KEPALA OPERASI

DEPUTI SEKTOR

KEPALA DISTRIK NIAS

KEPALA PERWAKILAN NIAS

KEPALA DISTRIK NIAS SELATAN

KPA PERUMAHAN DAN INFRASTRUKTUR NIAS

KPA PENGEMBANGAN EKONOMI SDM DAN KELEMBAGAAN NIAS

KPA PERUMAHAN DAN INFRASTRUKTUR NIAS SELATAN

KPA PENGEMBANGAN EKONOMI, SDM DAN KELEMBAGAAN NIAS SELATAN

PPK Perumahan Nias PPK Pertanahan PPK Perencanaan dan pengawasan jalan PPK Jalan Propinsi Sumut PPK Jalan Kabupaten Nias PPK Transportasi udara dan telkom PPK Transportasi laut dan darat PPK Kelistrikan PPK Pengendalian banjir dan pengamanan pantai Nias PPK Irigasi Nias PPK PLP dan air minum Nias PPK KRRP Kecamatan Rekontruksi dan rehabilitasi program PPK ETESP/ADB Irigasi

PPK Koperasi, UKM dan perdagangan PPK Pertanian dan perkebunan Nias PPK Kelautan dan perikanan Nias PPK Pendidikan Nias PPK Kesehatan Nias PPK ETESP/ADB kesehatan PPK SARPRAS pemerintah Nias PPK Agama Nias PPK Sosial dan Budaya Nias

PPK Perumahan Nias Selatan PPK ETESP/ADB Perumahan Nias Selatan PPK Jalan Kabupaten Nias Selatan PPK Pengedalian banjir dan pengamanan panatai Nias Selatan PPK Irigasi Nias Selatan PPK PLP dan Air Minum Nias Selatan

PPK Koperasi , UKM dan perdagangan Nias Selatan PPK Pertanian dan perkebunan Nias Selatan PPK Kelautan dan perikanan Nias Selatan PPK Pendidikan Nias Selatan PPK Kesehatan Nias Selatan PPK ETSP WATSAN PPK SARSPRAS Pemerintah Nias Selatan PPK Agama Nias Selatan PPK Sosial dan Budaya Nias Selatan

Lokasi Nias yang terpencil menimbulkan keraguan mendalam bagi para pemimpin proyek yang berpengalaman untuk menjawab tantangan melaksanakan tugas sebagai personel Satker. Kebiasaan mengelola proyek pembangunan Nias dari Medan, jauh sebelum bencana terjadi, tidak mudah diubah. Alhasil, proyekproyek rehabilitasi dan rekonstruksi seperti berjalan di tempat. Sampai akhir November 2005, baru sekitar lima persen dana APBN yang dialokasikan untuk Nias dapat diserap. Satker Perumahan adalah salah satu contoh sulitnya menggerakkan pelaksana proyek ke Nias. Setidaknya dua Kepala Satker Perumahan pernah ditugasi di Nias tanpa dapat memulai kegiatan, karena struktur Satker tidak pernah lengkap. Pembangunan rumah, yang masuk agenda penting rehabilitasi dan rekonstruksi,

jadi terkatungkatung pada proses birokrasi pemerintah, sampai akhirnya kendali pelaksanaan proyek pembangunan rumah diambil alih pejabat BRR Perwakilan Nias pada November 2005. Birokrasi pelaksanaan proyek yang dijalankan secara normal meski dalam situasi tidak normal pascabencana, ditambah daya cengkeram pengendalian BRR yang masih lemah, berdampak langsung pada rendahnya penyerapan DIPA pada Tahun Anggaran 2005 dan tidak tercapainya standar kualitas pembangunan kembali yang diharapkan sesuai dengan misi BRR. Belajar dari pengalaman tersebut, terjadi perubahan strategi organisasi pada Tahun Anggaran 2006. BRR menetapkan struktur organisasi yang berorientasi pada perannya sebagai koordinator sekaligus pelaksana kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Beberapa pejabat BRR yang secara organisasi berperan sebagai pengendali sekaligus menjabat Kepala Satker pelaksana proyek. Selaras dengan pencanangan tahun 2006 sebagai tahun kualitas oleh Kepala BRR Perwakilan Nias, kapasitas pengendalian diperkukuh melalui pembentukan unit manajerial Penjaminan Kualitas, sementara kapasitas organisasi dibentengi dengan Satuan AntiKorupsi. Pengawasan melekat di BRR pun ditegakkan, yang dilembagakan lewat pembentukan Unit Pengawasan Internal di lingkungan BRR Perwakilan Nias. Selain itu, organisasi Satker disederhanakan dari 20 menjadi 17. Para Kepala Satker ditetapkan langsung lewat SK Kepala Bapel BRR NADNias berdasarkan usulan Kepala BRR Perwakilan Nias. Mereka merealisasi pembangunan kembali Nias dengan dana APBN yang meningkat lebih dari dua kali lipat, menjadi Rp 1,2 triliun, pada Tahun Anggaran 2006 dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala BRR Perwakilan Nias. Penerapan kebijakan regionalisasi BRR pada 2007 membuahkan otonomi lebih luas bagi BRR Perwakilan Nias dalam menetapkan strategi pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Organisasi pelaksana proyek BRR di Nias pun mengalami perubahan lagi dengan menyederhanakan belasan Satker menjadi empat Kuasa Pengguna Anggaran Struktur manajemen pelaksanaan juga mengalami perubahan. Pendekatan sektoral yang sebelumnya dipegang para Deputi Sektor, yang dalam beberapa kasus memperlambat respons terhadap kebutuhankebutuhan lokal Nias dan Nias Selatan, ditinggalkan. Struktur manajemen pelaksanaan yang baru menempatkan Kepala BRR Distrik Nias dan Nias Selatan sebagai pengendali operasional atau pelaksana sekaligus atasan langsung para Kuasa Pengguna Anggaran. Organisasi pelaksana proyek yang mulai diterapkan pada 2007 ini makin dimantapkan tahun berikutnya. Masih terjadi beberapa perubahan, dengan perubahan terpenting: pemrograman dan pengendalian pelaksanaan kegiatan tidak lagi mengacu ke Deputi Sektor, tapi langsung ditangani di tingkat regional oleh BRR Perwakilan Nias.

Bagian 2. Antara Kepercayaan, Otonomi, dan Agenda Lokal

31

NIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

Pada 2008 kembali dilakukan penyempurnaan organisasi pelaksana proyek. Pendekatan pelaksanaan program rehabilitasi dan rekonstruksi yang dipisahkan di masingmasing distrik atau kabupaten, serta penyederhanaan organisasi Satker menjadi empat Kuasa Pengguna Anggaran3 dua di Nias dan dua lagi di Nias Selatan memungkinkan proses pengendalian pelaksanaan lebih sederhana dan efektif merespons kebutuhan lokal di setiap distrik. Sementara itu, pendekatan program dan pengendalian di tingkat regional serta koordinasi pelaksanaan langsung ke distrik telah menciptakan koordinasi yang lebih intensif dengan pemerintah kabupaten.

Memuluskan Transisi dari Tanggap DaruratKetika masa tanggap darurat diumumkan berakhir dalam kurun waktu tiga bulan setelah bencana, kenyataannya kondisi masyarakat Nias yang tertimpa bencana masih mengenaskan. BRR Perwakilan Nias lalu menetapkan masa transisi selama enam bulan hingga Desember 2005, sebelum beralih ke masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Di masa transisi ini, berbagai organisasi yang telah terjun ke Nias saat tanggap darurat diminta tetap berkomitmen membantu para pengungsi dan mendukung upayaupaya transisi menuju proses pembangunan kembali. Pada akhir 2005, BRR Perwakilan Nias menginisiasi pertemuan tingkat tinggi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) rehabilitasi dan rekonstruksi Nias. Pertemuan dengan nama Nias Islands Stakeholders Meeting (NISM) ini adalah upaya untuk mengoordinasi kegiatan pemulihan Nias yang melibatkan berbagai negara dan lembaga serta meningkatkan profil Nias, yang saat itu kurang mendapat perhatian. Adanya forum khusus para pemangku kepentingan ini membuat Nias naik daun. Daerah yang sebelumnya nyaris tidak diperhitungkan ini menjadi sorotan pemerintah Indonesia dan dunia internasional.

32

Koordinasi Masa Transisi Lewat Kelompok Kerja SektoralDi masa transisi, antara selesainya penanganan tanggap darurat dan kesiapan melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi, BRR Perwakilan Nias berupaya membantu sekitar 12.000 keluarga yang belum mendapat bantuan memadai, sementara masih ada 1.030 keluarga yang menjadi pengungsi di tendatenda darurat tanpa air bersih, sanitasi, layanan kesehatan, dan pendidikan yang layak. Mengikuti pola koordinasi yang telah dilaksanakan pada masa tanggap darurat, BRR Perwakilan Nias kemudian menetapkan lima Kelompok Kerja Sektoral (Sectoral Working Group), yang meliputi Kelompok Kerja Sektor Perumahan, Kelompok Kerja Sektor Kesehatan, Kelompok Kerja Sektor Air dan Sanitasi, Kelompok Kerja Sektor Pendidikan, dan Kelompok Kerja Lintas Sektor.

Menurut data Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Satkorlak PBP) Sumatera Utara, kebutuhan pembangunan rumah di Nias mencapai 16.161 unit, sementara perbaikan rumah yang rusak berat dan ringan mencapai 63.193 unit. Sampai Januari 2006, baru 5.686 unit rumah yang telah dikomitmenkan pembangunannya oleh 14 organisasi. Tentu saja jumlah ini masih sangat jauh dari yang dibutuhkan. Masalah utama yang dihadapi Kelompok Kerja Sektor Perumahan saat itu tidak hanya mengenai jumlah komitmen bantuan pembangunan rumah, tapi juga bagaimana menyediakan kayu, semen, dan besi. Material tersebut harus didatangkan dari luar Nias. Masalah lain yang tak kalah penting adalah bagaimana mengembangkan rancangan ukuran rumah, supaya tidak menimbulkan kecemburuan sosial dan membuka peluang bagi masyarakat untuk memilihmilih tipe rumah yang diinginkan. Untuk menjaga kelestarian dan ketahanan lingkungan di wilayah Kepulauan Nias, BRR Perwakilan Nias meminta berbagai organisasi menghindari penggunaan kayu dari Nias. Alhasil, pilihan satusatunya adalah mendatangkan kayu legal dari luar Nias sekitar 39.000 meter kubik untuk seluruh kebutuhan pembangunan rumah. Pada pertengahan Agustus 2005, United Nations High Commission for Refugees (UNHCR) bersedia mendatangkan kayu legal dari luar Nias. Kayukayu disumbangkan gratis ke semua pelaku rekonstruksi yang berkomitmen membangun perumahan.

Sebelum pindah ke rumah permanen, warga menempati rumah sementara (temporary shelter) di Kabupaten Nias Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 2. Antara Kepercayaan, Otonomi, dan Agenda Lokal

33

NIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

34

Pertemuan Nias Islands Stakeholders Meeting (NISM) ke4 di Kota Medan, Sumatera Utara, Mei 2008. Foto: BRR/Bodi CH

Sedangkan untuk mengurangi kecemburuan sosial dan peluang masyarakat memilihmilih tipe rumah, ditetapkan bahwa semua rumah yang dibangun berukuran 36 meter persegi. Di bidang kesehatan, BRR Perwakilan Nias meminta World Health Organization (WHO), yang kala itu telah meninggalkan Nias, untuk tetap memimpin Kelompok Kerja Sektor Kesehatan. Selain memberikan layanan kesehatan kepada para pengungsi, kelompok kerja ini berhasil merancang proses revitalisasi Rumah Sakit Umum Gunungsitoli dengan melakukan studi dan merancang rencana induk pembangunan rumah sakit tersebut atas bantuan MercyMalaysia. Pada Kelompok Kerja Sektor Air dan Sanitasi, Oxfam dan UNICEF mengoordinasi pengadaan pasokan air melalui mobilmobil tangki air dan pengadaan penampungan air minum di berbagai lokasi pengungsian serta pengadaan jamban dan pembuatan WC umum. Kelompok Kerja Sektor Pendidikan, di bawah UNICEF, memberikan bantuan penanganan pendidikan berupa bukubuku dan perlengkapan sekolah lainnya. Di samping itu, diadakan kampanye tentang pentingnya pendidikan bagi anakanak di pengungsian serta anakanak yang bersekolah di berbagai tenda darurat di seluruh Nias.

Sementara itu, Kelompok Kerja Lintas Sektor, yang dipimpin BRR Perwakilan Nias, menyelenggarakan Pertemuan Koordinasi Umum secara berkala untuk membahas dan menyelesaikan berbagai masalah lintas sektor, seperti transportasi, keamanan, dan logistik yang menghambat pemberian bantuan kepada para korban bencana.

Nias Islands Stakeholders Meeting (NISM)Pertemuan Para Pemangku Kepentingan Kepulauan Nias atau NISM merupakan pertemuan tahunan berbagai lembaga nasional dan internasional khusus bagi Kepulauan Nias, yang diprakarsai BRR Perwakilan Nias. Pertemuan ini diilhami oleh pelaksanaan Coordination Forum for Aceh and Nias pertama yang dilaksanakan pada Oktober 2005. NISM telah empat kali digelar sejak akhir 2005. Keberhasilan menyelenggarakan pertemuan pertama para pemangku kepentingan Kepulauan Nias pada 6 Desember 2005 di Jakarta ini menjadi tonggak awal semakin meningkatnya perhatian para donor, pemerintah Indonesia, dan masyarakat internasional terhadap dampak bencana dan aneka masalah yang dihadapi dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah Kepulauan Nias. Di forum ini, BRR Perwakilan Nias menyampaikan berbagai tantangan dan peluang dalam mendukung rehabilitasi dan rekonstruksi di Nias. Sebulan kemudian, NISM 2 digelar di Gunungsitoli pada 1617 Januari 2006, meskipun dengan akomodasi yang minim, dari ruang pertemuan yang kurang memadai, tempat penginapan yang terbatas, hingga jadwal penerbangan dari Medan yang tak menentu lantaran cuaca buruk. Berbagai keterbatasan ini semakin membuka mata semua peserta terhadap segunung tantangan di Nias seperti telah disampaikan pada NISM 1. Dalam pertemuan kedua ini dihasilkan rencana aksi (action plan) 2006 untuk samasama mengatasi berbagai tantangan dalam proses pemulihan Nias. Salah satu rencana tindakan yang digulirkan adalah pemberian otonomi lebih luas kepada BRR Perwakilan Nias, sehingga menghasilkan manfaat seperti memperpendek jalur dan proses pengambilan keputusan, membuat BRR lebih dekat dengan masyarakat dan lebih sensitif dalam memenuhi kebutuhankebutuhan lokal, serta membawa lingkup koordinasi yang otonom di wilayah Kepulauan Nias. Forum NISM 3 dilaksanakan pada 8 Maret 2007, di tengah evaluasi paruh waktu rehabilitasi dan rekonstruksi Nias. Tujuan pertemuan kali ini mengevaluasi kinerja pelaksanaan pembangunan kembali Nias yang telah berjalan dua tahun serta menetapkan target dan rencana kerja baru sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi di lapangan. Dalam NISM 3 ini ditegaskan empat pilar dan sepuluh program utama sebagai landasan dan arah rekonstruksi Nias. NISM 4 berlangsung di Medan, Sumatera Utara, pada 15 Mei 2008. Dalam pertemuan ini ditekankan pentingnya persiapan pengakhiran masa tugas BRR dan peran pemerintah daerah dalam proses pembangunan selanjutnya.

Bagian 2. Antara Kepercayaan, Otonomi, dan Agenda Lokal

35

NIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

Guna mendukung kesinambungan proses pembangunan, beberapa aspek perlu diperhatikan, seperti kesepakatan tentang lembaga yang melakukan penanganan selama masa transisi, penerapan strategi pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction) dalam kebijakan dan program pemerintah daerah, serta kejelasan alokasi anggaran dari pemerintah pusat pada 2009 dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.

Melawan Korupsi Demi Membangun Kepercayaan MasyarakatMasyarakat Nias yang telah lama menderita kemiskinan dan keterbelakangan menaruh harapan sangat besar terhadap BRR Perwakilan Nias. Ekspektasi masyarakat ini melampaui tugas dan fungsi BRR sebagai perangkat pemerintah pusat untuk memimpin rehabilitasi dan rekonstruksi Nias pascabencana. Bagi masyarakat Nias, BRR laksana dewa penyelamat yang tidak hanya memulihkan Nias dari dampak bencana, tapi sekaligus mengangkat mereka dari kemiskinan dan keterbelakangan. Lebih dari itu, kehadiran BRR sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat dipandang mayoritas masyarakat Nias sebagai saluran penegakan keadilan, yang selama ini sulit mereka dapatkan. BRR menjadi tumpuan harapan masyarakat untuk mengatasi berbagai masalah, seperti pengelolaan yang kurang tepat dan ketidakadilan, karena pembangunan dikendalikan pemerintah tanpa menyertakan masyarakat. Namun harapan setinggi gunung ini mulai luntur saat awal rehabilitasi dan rekonstruksi. BRR bergerak lamban menjawab kebutuhan para korban bencana, terutama yang masih tinggal di tendatenda pengungsian. BRR mulai dinilai masyarakat seperti lembaga pemerintahan yang lazim mereka kenal, yang akan bertindak tidak adil juga terhadap masyarakat. BRR Perwakilan Nias kemudian melakukan berbagai terobosan, antara lain berdialog terbuka dengan masyarakat untuk menyerap aspirasi mereka hingga di pelosokpelosok desa, memasyarakatkan kebijakan dan program melalui media massa, serta menerima pengaduan masyarakat secara tertulis ataupun lisan dan memberikan respons cepat atas pertanyaan dan protes yang diajukan. Untuk meningkatkan transparansi dan upaya antikorupsi, BRR Perwakilan Nias membentuk Unit Pengawasan Internal dan meminta Satuan AntiKorupsi BRR NADNias menempatkan stafnya di Nias. Pada 18 Oktober 2006, BRR Perwakilan Nias dalam lokakarya dengan media mengumumkan pemberhentian dua manajer dari jabatannya dan pendaftarhitaman lima kontraktor. Pengumuman yang disampaikan secara terbuka ke media massa ini memicu terjadinya demonstrasi saat konferensi pers di Medan, Sumatera Utara, lalu beberapa kali demonstrasi lagi di Gunungsitoli. Aspirasi yang disampaikan dalam demonstrasi itu malah mempersoalkan kemampuan BRR melakukan penegakan integritas.

36

Hingga berakhir masa baktinya di Nias, BRR Perwakilan Nias telah memberikan sanksi kepada 11 anggota staf yang melakukan pelanggaran Pakta Integritas serta mendaftarhitamkan (blacklist) 87 kontraktor yang melanggar kontrak dan melakukan berbagai bentuk korupsi. Jumlah dana rehabilitasi dan rekonstruksi Nias yang diselamatkan mencapai Rp 26.051.557.199. Selain itu, BRR Perwakilan Nias berkeras tidak mau membayar puluhan paket proyek penunjukan langsung di Nias Selatan yang tidak sesuai dengan ketentuan, yang nilai kontraknya menurut Satuan AntiKorupsi BRR NADNias mencapai Rp 31,26 miliar lebih, sebelum ada proses hukum yang sah untuk menjadi landasan hukum pembayarannya. Rangkaian sikap tegas BRR Perwakilan Nias tersebut mendapat perlawanan dalam berbagai bentuk, seperti demonstrasi massa, kampanye negatif melalui media massa, proses hukum di pengadilan, dan bahkan ancaman penganiayaan fisik. Meskipun mendapat berbagai tantangan dan risiko, pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang bersih dan profesional tetap ditegakkan. Dengan keteguhan sikap tersebut, pesan mengenai rehabilitasi dan rekonstruksi yang bersih dan profesional secara konsisten disampaikan ke masyarakat. Terobosanterobosan itu perlahanlahan menumbuhkan kembali kepercayaan dan harapan masyarakat terhadap BRR. Kepercayaan ini selanjutnya dikembangkan melalui pelibatan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Melalui program pembangunan rumah berbasis masyarakat, BRR Perwakilan Nias memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun rumah mereka. Masyarakat merespons sangat baik program ini. Ikatan saling percaya ini berlanjut dengan program pembangunan sarana dan prasarana desa, berupa pembangunan jembatan, jalan, dan proyek air minum, yang direncanakan dan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat. Masyarakat Nias, yang secara sosial terpolarisasi dalam berbagai kelompok dan ikatan keluarga yang bertentangan, plus kepemimpinan sosial yang lemah, ternyata dapat bersatu padu membangun jalan dan jembatan secara mandiri. Modal sosial ini tumbuh di atas kepercayaan terhadap proses pembangunan yang jujur dan partisipatif.

Bermitra dengan Pemerintah DaerahSesuai dengan peraturan pemerintah, BRR sebagai perencana dan pelaksana kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi diberi mandat untuk mengorganisasi dan mengoordinasi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pihak lain yang terkait. Di sisi lain, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pihak lain yang terkait diwajibkan memberikan dukungan secara penuh kepada BRR. Dalam melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi, rujukan utama BRR NADNias adalah Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi NADNias 20052009 (blueprint), yang disahkan bersamaan dengan pembentukan BRR NADNias. Sayangnya, proses

Bagian 2. Antara Kepercayaan, Otonomi, dan Agenda Lokal

37

NIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

38

Seorang pekerja menyusun kayu bantuan UNHCR di Pelabuhan Gunungsitoli, Kabupaten Nias, Maret 2006. Demi menjaga kelestarian lingkungan dan menghindari penebangan hutan liar, BRR melarang penggunaan kayu lokal untuk program rekonstruksi. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 2. Antara Kepercayaan, Otonomi, dan Agenda Lokal

39

NIAS: Membangun Melalui Jalan yang Jarang Dilalui

penyusunan program kegiatan rekonstruksi wilayah Kepulauan Nias pada rencana induk tersebut dilaksanakan tergesagesa, sehingga penyerapan berbagai aspirasi sangat terbatas. Rencana induk itu tidak mempertimbangkan faktorfaktor penanganan bencana gempa bumi serta kurang mempertimbangkan latar belakang sosial dan ekonomi Nias yang berbeda dari Aceh. Selain itu, timbul kesulitan saat merencanakan rehabilitasi dan rekonstruksi di Nias karena tidak tersedianya data yang memadai dan dapat diandalkan. Berbagai organisasi dan pemerintah daerah memiliki data korban bencana yang beraneka ragam.4 Situasi ini semakin sulit lantaran kapasitas dan kelembagaan pemerintah daerah tidak siap mendukung kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. BRR Perwakilan Nias akhirnya menetapkan program berdasarkan prioritasprioritas di lapangan, yang diselaraskan dengan rencana induk. Strategi rehabilitasi dan rekonstruksi ini kemudian dirumuskan dalam 4 Pilar Strategis dengan 10 Program Utama Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nias, seperti yang terangkum dalam hasil NISM 3. Sebagai lembaga baru dalam tatanan pemerintahan Indonesia yang hadir di Kepulauan Nias yang terisolasi pada Juni 2005, BRR Perwakilan Nias sangat sibuk melaksanakan mandatnya. Sementara itu, pemerintah daerah belum berpengalaman melakukan dan mengoordinasi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan dana besar dan melibatkan banyak negara donor serta organisasi internasional. Keinginan besar BRR Perwakilan Nias untuk melibatkan diri dan mengembangkan kapasitas kelembagaan pemerintahan cenderung mendapat penolakan.

40

Fungsi Sekretariat Bersama1. Fungsi Koordinasi: Mengatur pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Fungsi Perencanaan: Mendukung kerja sama dalam penyusunan program dan anggaran belanja rehabilitasi dan rekonstruksi. Fungsi Informasi Publik: Mendukung usaha rehabilitasi dan rekonstruksi Nias dalam penyampaian data dan informasi yang akurat kepada para pemangku kepentingan dan publik. 2.

Agar dapat lebih bekerja sama dan memberdayakan pemerintah daerah, BRR Perwakilan Nias menginisiasi pembentukan Sekretariat Bersama seperti tercantum dalam salah satu butir rencana tindakan hasil NISM 2. Namun Sekretariat Bersama ini tidak cepat berfungsi seperti yang diharapkan. Meskipun Sekretariat Bersama berlokasi di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan dipimpin Kepala Bappeda, diskusi dan penetapan organisasi ini tersendatsendat karena kurangnya minat pemerintah daerah untuk membahas kerangka organisasi Se