seri buku brr - buku 12 - kelembagaan

Upload: nur-ul

Post on 19-Jul-2015

160 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

KELEMBAGAANMeletakkan Fondasi Penata KelolaBADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NAD–NIAS (BRR NAD–NIAS) 16 April 2005 ‑ 16 April 2009Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62‑651‑636666 Fax. +62‑651‑637777 www.e‑aceh‑nias.org know.brr.go.id Pengarah Penggagas Editor Editor Bahasa PenulisKantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias, Indonesia, 22815 Telp. +62‑639‑22848 Fax. +62‑639‑22035Kantor Perwa

TRANSCRIPT

KELEMBAGAANMeletakkan Fondasi Penata Kelola

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NADNIAS (BRR NADNIAS) 16 April 2005 16 April 2009

Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62651636666 Fax. +62651637777 www.eacehnias.org know.brr.go.id Pengarah Penggagas Editor Editor Bahasa Penulis

Kantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias, Indonesia, 22815 Telp. +6263922848 Fax. +6263922035

Kantor Perwakilan Jakarta Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru Jakarta Selatan Indonesia, 12110 Telp. +62217254750 Fax. +62217221570

: Kuntoro Mangkusubroto : Iqbal Faraby Saifullah Abdulgani : Cendrawati Suhartono (Koordinator) Margaret Agusta (Kepala) : Suhardi Soedjono : Saifullah Abdulgani

Fotografi Desain Grafis

: Arif Ariadi Bodi Chandra : Bobby Haryanto (Kepala) Edi Wahyono Priscilla Astrini

Penyelaras Akhir : Aichida UlAflaha Ricky Sugiarto (Kepala)

Alih bahasa ke Inggris Editor Editor Bahasa Penerjemah : Linda Hollands : Margaret Agusta : T. Sima Gunawan Narottama Notosusanto

Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF) melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project

ISBN 9786028199438

Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005. Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porakporanda kini ramai kembali seiring dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang selamat meski telah kehilangan hampir segalanya. Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan Nias. Berdasarkan hal tersebut, melalui halamanhalaman yang ada di dalam buku ini, BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang menyatukan dunia.

Saya bangga, kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran dengan negaranegara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upayaupaya serupa, baik di dalam maupun di luar negeri.Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009 tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learned di Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009

Bertempat di halaman Kantor Gubernur Provinsi NAD di Banda Aceh, pada 4 Desember 2006, Pejabat Gubernur saat itu, Dr. Ir. Mustafa Abubakar, M. Si., menerima secara simbolis bantuan operasional pemerintahan untuk tingkat provinsi hingga desa. Bantuan dari Satker BRR Peningkatan Penataan Kapasitas Kelembagaan NADNias itu antara lain mencakup pula kendaraan roda dua. Foto: Oni Imelva

Daftar IsiPendahuluan Bagian 1. Pemerintahan di Antara Konflik dan BencanaTsunami Datang, Wali Kota Hilang Corengmoreng Wajah Aceh

viii 11 5

Bagian 2. Mengurai Mandat, Menyusun RencanaMengurai Mandat Kelembagaan Berpilar Tiga Bersama Mitra Pasti Bisa Antara Koordinator dan Eksekutor Koordinasi Selepas Pesta Demokrasi

1112 17 19 20

Bagian 3. Mendongkrak Kinerja Usai Bencana

Penguatan Kelembagaan Pemerintah Daerah Penguatan Kelembagaan Hukum Penguatan Kapasitas Keamanan, Ketertiban, dan Ketahanan Masyarakat (K3M) Waspada Terlambat, SPADA Terhambat Suplemen Birokrasi Bermerek Asistensi Satuan Kerja Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan Program Legislasi Aceh Membangun Daulat Lembaga Adat Hukum Acara di Negeri Syariah Menjaring Pejabat Gaya Calang Sentuhan Teknologi Informasi di Gedung Dewan Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Melatih Lidah Menuju Inggris Wawasan Luas untuk Para Jurnalis

23

24 28 32 36 46 49 52 53 56 56 59 60 61 62

Bagian 4. Menggagas Terobosan Menuai Hikmah

45

Bagian 5. Menyodorkan Tongkat Estafet Pembangunan Catatan Daftar Singkatan

65 70 71

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

viii

PendahuluanSELAMA tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, SangSaka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga dunia tercengang, pilu. Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa jiwa dan saranaprasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib terseret ombak. Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah jinak selama lebih dari seribu tahun. Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600an kilometer patahan dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda. Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat.

Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulaupulau sekitarnya hingga 6 kilometer ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000an orang mendadak berstatus tunakarya. Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195 rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya. Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecilmenengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah. Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue. Dunia semakin tercengang. Tangantangan dari segala penjuru dunia terulur untuk membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar. Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handaitaulan dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik. Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan daerah pada masa depan. Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan AcehNias yang dilandaskan pada

Pendahuluan

ix

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun AcehNias secara lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional. Pemulihan AcehNias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap program pemulihan. Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya dan teladan bagi kerja sama internasional. Bank Dunia juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat kepemimpinan efektif dari Pemerintah. Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia, tak terkecuali dalam hal kebijakan dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR, telah menggugah kepercayaan para donor, baik individu maupun lembaga, serta komunitas internasional. Tanpa kerja sama masyarakat internasional, kondisi Aceh dan Nias yang porakporanda itu mustahil berbalik menjadi lebih baik seperti saat ini. Guna mengabadikan capaian kerja kemanusiaan tersebut, BRR menyusun Seri Buku BRR. Kelimabelas buku yang terkandung di dalamnya memerikan proses, tantangan, kendala, solusi, keberhasilan, dan pelajaran yang dituai pada sepanjang pelaksanaan program pemulihan AcehNias. Upaya menerbitkannya diikhtiarkan untuk menangkap dan melestarikan inti pengalaman yang ada serta mengajukan diri sebagai salah satu referensi bagi program penanganan dan penanggulangan bencana di seluruh dunia. Buku Meletakkan Fondasi Penata Kelola ini mengetengahkan upayaupaya yang ditempuh untuk membangun dan memperkokoh fundamen pelayanan masyarakat, yaitu aparatur pemerintah daerah (Pemda), yang pada awal bencana sempat lumpuh total. Sejumlah dukungan pengimplementasiannya, tak terkecuali dari pihak donor, dicurahkan segera. Belakangan, sehubungan dengan pemantauan proses transisi serta pengelolaan aset Pemulihan pascaBRR, kemampuan aparatur berserta kelembagaannya yang kuat, mutlak dibutuhkan. Pada sisi lain, dengan kapasitas fiskal daerah yang semakin menguat, marak tuntutan dari masyarakat agar Pemda, kapasitasnya semakin siap, mandiri, dan berintegritas tinggi. Oleh karena itu, sudah barang tentu, penguatan kelembagaan dan aparatur Pemda menjadi sebuah fundamen pokok bagi, dan di sepanjang, laju kesinambungan pembangunan di Aceh dan Nias.

x

Capaian 4 TahunRehabilitasi dan Rekonstruksi635.384 127.720orang kehilangan tempat tinggal orang meninggal dan 93.285 orang hilang usaha kecil menengah (UKM) lumpuh

104.500 155.182 195.726

tenaga kerja dilatih UKM menerima bantuan

rumah rusak atau hancur hektare lahan pertanian hancur guru meninggal kapal nelayan hancur

139.195 140.304 73.869 69.979

rumah permanen dibangun hektare lahan pertanian direhabilitasi guru dilatih kapal nelayan dibangun atau dibagikan sarana ibadah dibangun atau diperbaiki kilometer jalan dibangun sekolah dibangun sarana kesehatan dibangun bangunan pemerintah dibangun jembatan dibangun pelabuhan dibangun bandara atau airstrip dibangun

1.927 39.663

13.828 7.109

sarana ibadah rusak kilometer jalan rusak sekolah rusak

1.089 3.781

2.618 3.696

3.415 1.759

sarana kesehatan rusak bangunan pemerintah rusak jembatan rusak pelabuhan rusak bandara atau airstrip rusak

517 1.115

669 996

119 363 22 23

8 13

Pemerintahan di Antara Konflik dan BencanaTsunami Datang, Wali Kota Hilang

BUMI terguncang keras pada 26 Desember 2004. Namun gempa tak membuat

Penjabat (Pj.) Wali Kota Banda Aceh Syarifuddin Latief beranjak dari Lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Ia masih setia menunggu acara penyerahan piala bagi pemenang Lomba Lari Maraton 10 Kilometer yang digelar Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sedianya dialah yang akan menyerahkan langsung piala itu kepada para pemenang. Syarifuddin tak ambil pusing ketika beberapa atlet berbalik arah dan mengabaikan rute yang ditentukan. Satu hal yang belum diaseperti juga yang lainsadari, gempa itu adalah awal dari sebuah tragedi besar yang menguras air mata dunia. Syarifuddin baru terkesiap setelah melihat ribuan orang berlarian tak terkendali dari arah Pantai Ulee Lheue. Mereka berteriak, Air laut naik, air laut naik, air laut naik! sambil menunjuk ke langit bagian barat Kota Banda Aceh. Syarifuddin menoleh dan melihat ombak setinggi pohon kelapa bergulunggulung ke arahnya. Dia berlari sekuat tenaga. Tetapi, nahas, gelombang yang kecepatannya mencapai 300 kilometer per jam itu lebih sigap menyergap dan memintal tubuhnya. Kisah selanjutnya, orang nomor satu di jajaran pemerintahan Kota Banda Aceh ini hilang terbenam lumpur dan puing tsunami.

Puingpuing sisa bangunan Gedung Keuangan Negara di Banda Aceh sedang dibersihkan, 17 Agustus 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Pemerintahan di Antara Konflik dan Bencana

1

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

Pada hari ke10 setelah bencana, Pelaksana Tugas (Plt.) Gubernur NAD Azwar Abubakar menggelar apel perdana di halaman Kantor Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi NAD. Apel terpusat yang semestinya menjadi apel akbar itu hanya dihadiri 20 persen pegawai negeri sipil (PNS). Padahal di Setda NAD saja tercatat ada 7.110 PNS. Semua yang hadir terenyak. Apalagi tidak ada berita tentang nasib para pegawai yang tidak muncul di apel perdana pascabencana. Semua kepala menyimpan tanya: apakah mereka tewas, hilang, atau mengalami trauma berat sehingga tak menampakkan diri? Lebih miris lagi, menurut Detiknews, 4 Januari 2005, sebanyak 21 bupati/wali kota juga tidak diketahui kabar beritanya. Belakangan tersiar kabar, ternyata korban gelombang dahsyat itu bukan hanya Wali Kota Banda Aceh. Nasib serupa juga menimpa Bupati Nagan Raya, Bupati Aceh Barat, serta sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi NAD dan anggota DPRD kabupaten/kota di NAD. Di lingkungan Setda Provinsi NAD, ada tiga pejabat eselon II yang meninggal, 31 orang eselon III, dan 125 pejabat eselon IV. Jumlah aparatur pemerintah yang tewas pada Minggu kelabu itu mencapai 2.992 orang, sementara 2.274 orang dilaporkan hilang. Di kabupaten/kota, korban aparatur negara terbanyak berada di daerahdaerah yang terkena hantaman langsung gelombang tsunami, seperti Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Besar, dan Kota Banda Aceh. Selain pegawai Pemerintah Daerah (Pemda), aparatur pemerintah di sejumlah instansi vertikal seperti Badan Pertanahan Nasional, Kejaksaan Agung, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tak luput dari serbuan tsunami.

2

Tabel 1.1. Korban Aparatur Pemerintah Daerah dan Instansi Vertikal di NAD yang Hilang atau Meninggal

Instansi/Daerah Polri TNI Kejaksaan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Aceh Jaya Kabupaten Aceh Barat Kabupaten Aceh BesarKota Banda Aceh

Hilang 952 302 105 40 29 32 396639

Meninggal 170 63

323 237 9891.080

Sumber: Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi 2005

Hilangnya jajaran pemimpin daerah dan ribuan aparatur Pemda menyebabkan koordinasi penanganan pascabencana di masa awal sangat sulit. Aparatur pemerintah yang selamat tentu saja masih banyak, tetapi mereka berada dalam kondisi tak berdaya sama sekali. Banyak PNS bersama keluarganya terpaksa hidup di tendatenda darurat dan mengalami trauma berat akibat kehilangan sanak keluarga, tempat tinggal, dan seluruh harta benda. Akibatnya, boleh dikatakan, tak ada yang menangani pelayanan publik. Aceh mendadak jadi negeri antahberantah bersimbah lumpur dengan banyak bangunan hancur dan jasad berserakan di antara isak tangis para korban yang selamat. Kondisi mengenaskan itu dengan sangat cepat disikapi Pemerintah Pusat. Harus ada yang mengatur pemerintahan agar Aceh tidak menjadi wilayah tak bertuan, kata Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri (Depdagri) Siti Nurbaya, selaku Ketua Tim Pengendali Pusat Depdagri untuk Bencana Aceh, seperti dikutip Detiknews, 4 Januari 2005. Pemerintah Pusat lantas mengerahkan 74 pejabat eselon IIV Depdagri, 307 pegawai, dan 352 nindya praja ke Aceh untuk memutar kembali roda birokrasi. Mereka ditugasi di kantor gubernur, DPRD, kabupaten/kota, kecamatan, dan desadesa, agar masyarakat dapat terlayani.

Kesibukan seharihari di kantor sementara Pemda Kabupaten Aceh Jaya di Calang, 5 Maret 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Pemerintahan di Antara Konflik dan Bencana

3

Tabel 1.2. Sarana dan Prasarana Pemerintahan yang Rusak Akibat Tsunami 26 Desember 2004

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

No.

Sarana dan Prasarana

Jenis

Jumlah (Unit) 4 72 23 450 6 38

A. Bidang Pemerintahan 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Rumah Dinas Kepala Daerah Kantor Dinas/Badan Kantor Camat Kantor Desa/Lurah Kantor Jaksa Rumah Dinas Jaksa Kendaraan Jaksa Kendaraan Jaksa Kantor Depkum Rutan/Lapas Rumah Dinas Depkum Barak Depkum Kendaraan Depkum Kendaraan Depkum Kantor Pengadilan PN/PTUN Mahkamah Syariah Kendaraan Mahkamah Syariah Kendaraan Mahkamah Syariah Rumah Dinas Pengadilan Kendaraan Pengadilan Kendaraan Pengadilan Roda 2 Roda 4 Roda 2 Roda 4 Roda 2 Roda 4 Roda 2 Roda 4

B . Bidang Hukum

38 15 3 8 59 19 8 10 18 12 6 33 18 178 25 33

4

Sumber: Renaksi Kelembagaan dan Pengembangan SDM

Penyebaran aparatur tersebut sangat tepat, karena 50 persen kecamatan lumpuh dan batasbatas administrasi pedesaan sudah tak tampak lagi. Mereka terpaksa bekerja di tempat darurat, seperti rumah penduduk dan sekolah, atau dengan cara menggelar tendatenda darurat, agar masyarakat yang membutuhkan bantuan dapat segera terlayani meski dalam kondisi minimal.

Dalam tiga bulan pertama masa tanggap darurat, pelayanan publik dari Pemda praktis lumpuh. Ketika Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara (BRR) resmi berdiri pada 16 April 2005, kondisi stagnasi pelayanan pemerintahan masih sangat terasa. Pemerintahan daerah dikendalikan sepenuhnya oleh Plt. Gubernur NAD Azwar Abubakar. Sedangkan Gubernur NAD Abdullah Puteh sedang mendekam di hotel prodeo Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, karena kasus korupsi. BRR lantas mengambil alih koordinasi dan mulai membenahi kembali semua lini pemerintahan. BRR berkoordinasi dengan Plt. Gubernur NAD untuk menata kembali pemerintahan berdasarkan Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Upaya pemulihan pun dilakukan dengan mengangkat pegawai baru di lingkungan Pemda untuk mengisi kekosongan aparatur yang meninggal atau hilang; mengganti peralatan kantor, sarana, dan prasarana yang lenyap; membenahi administrasi kependudukan warga masyarakat; serta mulai menyusun rencana untuk membangun kembali lembagalembaga pemerintahan daerah dan kantorkantor instansi vertikal yang hancur.

Corengmoreng Wajah AcehSebenarnya, tsunami telah melambungkan persoalan kronis bidang kelembagaan daerah ke permukaan sehingga menjadi benderang. Akar permasalahan kelembagaan dan sistem pelayanan publik di Aceh sesungguhnya telah tersemai sejak 30 tahun silam lantaran konflik bersenjata yang berkepanjangan. Sepanjang riwayat konflik di Aceh, sejumlah kantor pemerintah dibakar oleh mereka yang bertikai. Pertikaian politik antara TNI, selaku representasi Pemerintah Pusat, dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) juga menewaskan sejumlah PNS. Selain itu, gerakan politik sipil yang terseret ke arus pusaran konflik tersebut kerap mengeluarkan seruan mogok kerja di instansi pemerintah. Akibatnya, pelayanan publik sering terganggu dan sistem pemerintahan di Aceh timbultenggelam sejak lima tahun sebelum tsunami.

Bagian 1. Pemerintahan di Antara Konflik dan Bencana

Tsunami tidak hanya menjemput ajal ribuan pegawai, tetapi juga menghancurkan semua bangunan di sepanjang 800 kilometer garis pantai Aceh. Kondisi paling parah dialami Kabupaten Aceh Jaya, dengan tingkat kerusakan mencapai 85 persen, kemudian disusul Kabupaten Aceh Besar (80%), Banda Aceh (75%), dan Kabupaten Aceh Barat (60%). Tak kurang dari 940 unit bangunan kantor dan 238 unit kendaraan berbagai dinas atau lembaga vertikal bidang kelembagaan, hukum, serta keamanan, ketertiban, dan ketahanan masyarakat musnah tersapu tsunami.

5

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

Tingkat kemiskinan di Aceh sebelum dilanda tsunami mencapai 28,4 persen dari total jumlah penduduk sebanyak 4 juta orang. Angka kemiskinan ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan angka kemiskinan ratarata nasional, yang mencapai angka 16,69 persen menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2008. Sementara itu, Bappenas menggolongkan 16 kabupaten di Aceh sebagai daerah tertinggalkecuali Kota Madya Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, dan Kota Madya Langsa. Angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh, sebesar 69, berada di bawah IPM nasional, yang mencapai 69,6. IPM terendah tercatat di pesisir barat dan bagian tengah, yaitu Kabupaten Simeulue (65,2), Gayo Lues (66,1), Nagan Raya (66,3), Aceh Singkil (66,5), Aceh Jaya (66,8), Aceh Barat Daya (66,9), dan Bener Meriah (67,4). Wilayah Aceh bagian tengah menjadi kurang makmur dibandingkan dengan daerah pesisir utara karena keterisolasian kawasan itu dari berbagai jaringan akses dengan dunia luar.

6

Grafik 1.1. Tingkat Kemiskinan Aceh dan Provinsi Lain di Indonesia40 35 30 25 20 15 10 5

Prov. Sulawesi Utara

Prov. Maluku Utara

Prov. Sultengg.

Prov. Gorontalo

Prov. Bengkulu

Prov. Sulsel

Prov. Jambi

Prov. Riau

Prov. NTT

Prov. Sumsel

Prov. Jawa Timur

Prov. Sumbar

Prov. maluku

Prov. Bangka Belitung

Prov. Lampung

Prov. Jawa Tengah

Prov. Jawa Barat

Prov. Sulteng

Sumber: Tim APEAWorld Bank, 2007

Prov. Kalteng

Prov. Jakarta

Prov. Papua

Rata-Rata

Prov. Banten

Prov. Kalbar

Prov. Sumut

Prov. Kaltim

Prov. Kalsel

Prov. BALI

Prov. NAD

Prov. NTB

DIY

Peta kemiskinan di Aceh berubah menjadi lebih buruk pascatsunami. Sebelumnya, Aceh tercatat sebagai daerah dengan penduduk miskin terbanyak di Indonesia setelah Provinsi Gorontalo, Maluku, dan Papua. Tsunami mendongkrak jumlah penduduk miskin sekitar tujuh persen dan menjadikan Aceh hanya unggul satu tingkat di atas Provinsi Papua. Grafik 1.1 memperlihatkan, tanpa bencana pun, tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh jauh di bawah ratarata nasional. Kondisi masyarakat Aceh sebelum ditimpa bencana kontradiktif dengan penerimaan daerah NAD yang jauh di atas ratarata nasional. Pada 2004, Aceh memiliki sumber dana penerimaan daerah yang relatif melimpah dibandingkan dengan daerahdaerah lain di Indonesia. Grafik 1.2 menggambarkan penerimaan daerah Aceh berada pada urutan ketiga terbesar, setelah Kalimantan Timur dan Provinsi Papua. Tampak ketimpangan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Di satu sisi Aceh memiliki sumber penerimaan daerah nomor tiga terbesar di Indonesia, tetapi di sisi lain Aceh berada di urutan keempat daerah termiskin di negeri ini. Situasi konflik menjadi alasan paling relevan dan masuk akal sebagai kambing hitam ketimpangan itu. Tetapi fakta lain menunjukkan, ada yang salah dalam praktik pengelolaan pemerintahan di Aceh.

Gedung Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh Barat, 5 Maret 2008, tampak berdiri megah dan siap dioperasikan. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Pemerintahan di Antara Konflik dan Bencana

7

Grafik 1.2. Penerimaan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota (2004)

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

4 Juta Rupiah 3 2 1 Provinsi Aceh Kab/Kota

Kaltim

Kalsel

Bengkulu

Sumut

Jambi

Gorontalo

Lampung

Kalteng

Sulsel

NAD

Sumsel

Jateng

Papua

Sumbar

Bangka Belitung

DI Yogyakarta

Maluku

Sulteng

8

Sumber: Tim APEAWorld Bank, 2007

Anggaran daerah yang melimpah lebih banyak dipakai buat belanja operasional aparatur pemerintah daripada untuk pembiayaan pembangunan bagi kepentingan pelayanan publik. Bila dilihat kecenderungan pada grafik 1.3, pembiayaan operasional aparatur pemerintah terus meningkat sejak 2001, sementara belanja pembangunan infrastruktur menurun sejak tahun sebelumnya. Bahkan biaya pelayanan kesehatan dan kesejahteraan sosial tak pernah mencapai 20 persen dari anggaran yang dimiliki setelah dipangkas pada tahun 2000. Pembiayaan sektor pendidikan sempat naik pada 2001, tetapi melorot lagi dan menjadi landai pada tahuntahun selanjutnya. Tata kelola pemerintahan dengan pola besar pasak daripada tiang itulah yang tampaknya juga membuat tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh sangat rendah. Analisis makro seperti ini kemudian memicu kesadaran bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi bidang kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) yang dilakukan BRR tidak hanya sekadar membangun kembali bangunan yang hancur, memperbaiki kantor yang rusak, dan melengkapinya dengan peralatan kerja. Penguatan kapasitas kelembagaan harus dilaksanakan secara menyeluruh. Yang sangat penting adalah merekonstruksi paradigma dan kemampuan aparatur Pemda dengan berbagai program pemberdayaan (capacity building). Programprogram pemberdayaan harus diberikan ke berbagai unsur yang terkait dengan pembangunan daerah, yaitu anggota DPRDsekarang dikenal sebagai Dewan

Banten

Sulut

Jabar

BALI

NTT

Jatim

Riau

NTB

60

50

40

30

20

10

1999

2000Aparat Pemerintah Infrastruktur

2001

2002Lain-lain

2003

2004

2005

Pendidikan dan Kebudayaan

Kesehatan dan Kesejahteraan SosialSumber: Tim APEAWorld Bank, 2007

Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)pejabat daerah, dan aparatur pemerintah di tingkat operasional pembangunan. Tak ketinggalan pula, kapasitas aparat penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, sangat penting ditingkatkan. BRR berangan, saat tugas empat tahunnya selesai, proses perencanaan pembangunan daerah bisa menjadi lebih baik, sidangsidang persetujuan di dewan lebih lancar, pelaksanaan pembangunan tepat sasaran, dan pertanggungjawaban anggaran pembangunan memenuhi standar akuntabilitas keuangan negara. Tujuan idealnya: membangun sistem kelembagaan dan aparatur pemerintah daerah yang profesional, transparan, dan akuntabel, serta memenuhi standar tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dan tanggung jawab yang tidak mudah ini diemban Kedeputian Bidang Kelembagaan dan Pengembangan SDM.

Bagian 1. Pemerintahan di Antara Konflik dan Bencana

Grafik 1.3. Tren Pembiayaan Pembangunan Provinsi dan Kabupaten/ Kota di Nanggroe Aceh Darussalam

9

Mengurai Mandat, Menyusun RencanaSEBAGAI institusi pemerintah, BRR memainkan dua peran penting, yakni sebagaikoordinator dan sebagai pelaksana pembangunan kembali wilayah dan kehidupan di NADNias pascabencana. BRR juga mengoordinasi bantuan kemanusiaan dari berbagai donor, komunitas internasional, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta melaksanakan pembangunan multisektor dengan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Salah satu tugas penting BRR adalah meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan pengembangan SDM. Secara de jure, apa yang perlu dilakukan BRR di sektor kelembagaan dan pengembangan SDM telah ditulis rinci dalam Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Lingkup kerja dan tugastugas Kedeputian Bidang Kelembagaan dan Pengembangan SDM pun secara terpisah dijabarkan dalam Rencana Induk tersebut pada Buku Rinci VI (Sistem Kelembagaan Daerah), Buku Rinci IX (Hukum), dan Buku Rinci X (Keamanan, Ketertiban, dan Ketahanan Masyarakat).Pertemuan pertama BRR dengan Pemda Aceh di Banda Aceh dilangsungkan pada 20 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Mengurai Mandat, Menyusun Rencana

11

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

Gambar 2.1. Irisan Mandat Kedeputian Bidang Kelembagaan dan Pengembangan SDM di Antara Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha, dan Kedeputian Bidang Agama, Ssosial, dan, Budaya, dan Kedeputian Pendidikan, Kesehatan, dan Peran Perempuan

Deputi Bidang Ekonomi dan Usaha Deputi Bidang Kelembagaan dan pengembangan SDM

DUNIA USAHA

MASYARAKAT

Deputi Bidang Agama, Sosial dan Kebudayaan Deputi Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Peran Perempuan

PEMERINTAHANPerpres Nomor 76 Tahun 2006 Pasal 10 Deputi Bidang Kelembagaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia mempunyai tugas membantu Kepala Badan Pelaksana dalam kegiatan Rehabiliotasi dan Rekonstruksi di Bidang Kelebagaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

12

REHABILITASIGap Filling Memfungsikan kembali

REKONSTRUKSI (BUILD BACK BETTER)Eksekutif - Sarana/ Prasarana - Regulasi - Organisasi/ SDM Legislatif - Sarana/ Prasarana - Regulasi - Organisasi/ SDM Judiciary - Sarana/ Prasarana - Regulasi - Organisasi/ SDM

Pengelolaan Kesinambungan

2005

2006

2009Sumber: Renaksi Kelembagaan 20052008

Mengurai Mandat Kelembagaan Berpilar TigaNamun Rencana Induk dan Buku Rinci tersebut tidak bisa diperlakukan bak resep masakan yang tinggal digelar di atas meja dapur dan langkahlangkahnya diikuti secara berurutan. Pasalnya, karena terdesak kebutuhan akan panduan pemulihan Aceh dan Nias, Buku Rinci yang merupakan penjabaran Rencana Induk disusun Bappenas dalam waktu sangat singkat di masa tanggap darurat berdasarkan hasil analisis data rapid assessment yang dilakukan Bank Dunia. Dalam perkembangannya, ternyata Buku Rinci tersebut belum mencakup seluruh kebutuhan pemulihan lembaga pemerintah pascabencana. Lebih dari itu, kemudian terjadi dinamika sosial politik pascakonflik dan pengesahan UndangUndang Nomor

Selain itu, dinamika organisasi di lingkungan internal BRR sangat progresif, sesuai dengan tuntutan medan tugas rehabilitasi dan rekonstruksi. Penguatan kapasitas kelembagaan dan pengembangan SDM tidak saja dilaksanakan oleh Kedeputian Bidang Kelembagaan dan Pengembangan SDM, tetapi juga oleh kedeputian bidang lain. Alhasil, diperlukan irisanirisan kegiatan yang tegas untuk saling melengkapi dan menghindari terjadinya tumpangtindih. Gambar 2.1 menunjukkan irisan kegiatan kelembagaan di antara ketiga kedeputian lain. Ditambah lagi, peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah dan pengembangan SDM di NAD tidak bisa dilakukan secara parsial, tetapi harus secara komprehensif, yang meliputi penguatan kelembagaan, penguatan organisasi, dan penguatan SDM yang mencakup pengetahuan, praktik, sikap, dan budaya. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut, mandat Rencana Induk di bidang kelembagaan diurai kembali dengan penekanan pada tiga pilar utama, yaitu penguatan kelembagaan daerah, penguatan kelembagaan hukum, serta penguatan kapasitas keamanan, ketertiban, dan ketahanan masyarakat. Setiap pilar memiliki sasaran pemulihan masingmasing seperti tampak pada Gambar 2.2.

1. Memperkuat pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik 2. Mengembangkan ruang publik yang dinamis dengan melibatkan semua stakeholder dalam proses pembangunan 3. Membangun dan memulikhkan kembali infrastruktur pemerintahan

Penguatan Kelembagaan Hukum1. Mewujudkan jaminan kepastian, perlindungan penegakan hukum dan HAM 2. Menyediakan sarana dan prasarana hukum 3. Menetapkan payung hukum bagi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan memperhatikan pengarustamaan kesetaraan jender

Penguatan Keamanan, Ketertiban, dan Ketahanan Masyarakat1. Kepercayaan dan Kebersamaan 2. Ketahanan masyarakat 3. Perdamaian Menyeluruh

Sumber: Renaksi Kelembagaan 20052008

Bagian 2. Mengurai Mandat, Menyusun Rencana

11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Undangundang ini mengubah banyak hal tentang struktur pemerintahan lokal dan memunculkan pemimpinpemimpin baru di Aceh dari jalur nonpartisan.

Gambar 2.2. Tiga Pilar Sasaran Pemulihan Kelembagaan dan Pengembangan SDM

Penguatan Kelem bagaan Da erah

13

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

14

Kantor Desa Baitussalam, Aceh Besar, 10 Oktober 2006, segera setelah dibangun, langsung dimanfaatkan sebagai ruang pelatihan peningkatan kapasitas warga nelayan setempat. Foto: Ira Damayanti

Penguatan Kelembagaan DaerahPemulihan tidak hanya dilakukan pada lembagalembaga pemerintahan daerah, tetapi juga pada lembaga agama, adat, dan sosial. Tujuannya untuk memperkuat Pemda dalam pemberian pelayanan publik yang lebih efektif, akuntabel, dan transparan. Juga untuk mengembangkan dan mengefektifkan ruang publik dalam proses perencanaan, pembentukan kebijakan, pembuatan keputusan, monitoring, dan evaluasi, serta membangun dan memulihkan kembali prasarana pendukung proses pelayanan publik. Untuk mencapai tujuan itu, pemulihan kelembagaan daerah dilakukan di hampir semua lini pemerintahan, dari administrasi pemerintahan, interaksi antarlembaga seperti pemerintahan, agama, adat, dan sosial, struktur organisasi Pemda, pembangunan sarana dan prasarana, sampai sistem pemantauan dan penegakan hukum. Sasaran pemulihan lembaga pemerintahan jangka pendek adalah memulihkan pemerintahan untuk pelayanan umum darurat, sedangkan sasaran jangka menengah ialah peningkatan kapasitas pemerintahan serta percepatan pengadaan sarana dan prasarana pemerintahan yang permanen. Di bidang agama, adat, dan sosial, dilakukan peningkatan kapasitas dan peran serta kelembagaan dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan di tingkat meukim. Meukim adalah sebutan untuk satu wilayah kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai

batasbatas tertentu, perangkat dan simbolsimbol adat, hakhak pemilikan dan penguasaan atas suatu sumber daya dan prasarana, serta tatanan sosial khusus lokal. Kebijakan di tingkat meukim kian penting dilaksanakan setelah UUPA digulirkan. Aturan hukum ini memberikan ruang kekuasaan satu tingkat di bawah kecamatan kepada seorang kepala meukim yang membawahkan beberapa gampongkonsep desa yang digunakan di Aceh. Pengakuan hukum terhadap struktur pemerintahan di tingkat meukim dan gampong mengharuskan BRR memfasilitasi pembangunan sarana dan prasarana kelembagaan sesuai dengan kebutuhan pelayanan publik di tingkat tersebut. Selain itu, perlu ditingkatkan kerja sama antardaerah, penataan legislasi tentang desentralisasi dan otonomi daerah, penataan administrasi kependudukan, pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial, pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial, penyempurnaan dan penguatan kelembagaan demokratis, pengelolaan pertanahan, serta pengelolaan SDM aparatur pemerintah.Bagian 2. Mengurai Mandat, Menyusun Rencana

15

Penguatan Kelembagaan HukumPemulihan kelembagaan hukum terutama berfokus pada penjaminan kepastian, perlindungan, dan penegakan hukum di NADNias. Salah satu strategi terpenting pemulihan hukum dilakukan dengan membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) untuk 10 bidang pemulihan yang sesuai dalam Rencana Induk. Alasan di balik pembentukan Perppu adalah tsunami telah melenyapkan buktibukti hak kepemilikan atas suatu barang, maka perlu pemberian kembali hak perdata dan penerbitan kembali alat bukti hak. Pemulihan hak yang terkait dengan hukum publik antara lain pemberian kembali dokumen identitas, pemberian status hukum Baitul Maal sebagai subyek hukum khusus bagi Provinsi NAD, pemberdayaan lembaga adat sebagai instrumen alternatif arbitrase, penambahan dan peningkatan mutu SDM, pembentukan posko penyuluhan, konsultasi, dan bantuan hukum terpadu, plus perbaikan serta pembangunan sarana dan prasarana hukum. Sekilas, kegiatankegiatan tersebut tampak berlebihan untuk dijadikan program penanggulangan bencana dan tidak lazim dilakukan dalam penanganan bencana di berbagai belahan dunia. Namun persoalan menjadi lain ketika dipahami bahwa bencana 26 Desember 2004 bagi masyarakat Aceh hanyalah antiklimaks dari lara konflik bersenjata selama 30 tahun terakhir. BRR tidak bisa menutup diri terhadap fakta sosial politik di Aceh sebelum terjadi bencana. Rehabilitasi dan rekonstruksi NAD merupakan bagian tak terpisahkan dari agendaagenda politik lokal setelah perjanjian damai antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Di samping itu, UUPA sebagai produk politik pascaperjanjian damai turut mewarnai programprogram rehabilitasi dan rekonstruksi. BRR memiliki tanggung jawab moral menjaga komitmen pemerintah tentang pemberlakuan hukum syariat Islam di Aceh, sesuai dengan kesepakatan damai dalam UUPA.

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

Penguatan Kapasitas Keamanan, Ketertiban, dan Ketahanan MasyarakatKetika tsunami terjadi, TNIPolri masih berhadapan dengan GAM dengan senjata terkokang. Senjata kedua pihak menyalak sekitar 165 kali dalam periode 26 Desember 2004 sampai 19 Februari 2005. Di tengahtengah kedua kubu yang berseteru itu, terjepit masyarakat yang kian tak berdaya. Pascabencana, TNIPolri harus mengemban tugas ganda. Sembari tetap mengendalikan keamanan dan melindungi masyarakat, di saat yang sama TNIPolri menjadi tenaga yang paling siap dimobilisasi dalam menangani kondisi darurat. Selain menelan korban jiwa, bencana merusak sejumlah infrastruktur TNI, Polri, kejaksaan, Departemen Komunikasi dan Informatika, serta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sarana, prasarana, dan peralatan militer banyak yang hancur. Di lingkungan kepolisian, selain sarana dan prasarana kantor, gudang senjata dan hanggar helikopter ikut terbawa arus tsunami. BRR NADNias selaku pemegang mandat rehabilitasi dan rekonstruksi harus mengembalikan semua itu dalam kurun 20052008. Tidak mudah membangun kembali Nanggroe Aceh Darussalam pascatsunami. Yang harus ditangani bukan sekadar kerusakan fisik, tetapi juga kondisi sosial dan politik berbagai komponen masyarakat di dalamnya. Pemulihan bidang keamanan, ketertiban, dan ketahanan masyarakat (K3M) bertujuan membangun kematangan dan kedewasaan masyarakat secara sosial politik dalam kerangka demokrasi, serta membangun rasa aman dan tertib bersama seluruh komponen masyarakat. Untuk menjamin keamanan dan ketertiban, dilakukan refungsionalisasi lembagalembaga keamanan dan ketertiban, pemantapan pengamanan terpadu, pengamanan proses pembangunan, terutama pemulihan sarana, prasarana, dan aktivitas sosial ekonomi, serta peningkatan keamanan dan ketertiban masyarakat di daerahdaerah rawan. Selain itu, peningkatan ketahanan masyarakat sipil dilakukan dengan meningkatkan kesadaran dan kemampuan mereka dalam menyelesaikan masalah sosial, merestrukturisasi lembagalembaga sosial, ekonomi, dan pemerintahan, memantapkan sistem komunikasi massa dan informasi, serta membangun karakter kebangsaan yang mandiri dan berkualitas agar masyarakat memiliki kesadaran dan saling percaya dalam membangun kembali wilayahnya secara berkelanjutan. Strategi jangka pendek penguatan K3M dilakukan melalui pembangunan fondasi kebersamaan dan kepercayaan masyarakat dalam menanggulangi dampak bencana alam dan dampak konflik. Sedangkan strategi jangka menengah dilakukan dengan memantapkan rasa kebersamaan dan kepercayaan serta membangun ketahanan masyarakat melalui pembangunan karakter kebangsaan, pemberdayaan masyarakat, dan pemantapan otonomi khusus Provinsi NAD.

16

Bersama Mitra Pasti BisaKedeputian Bidang Kelembagaan dan Pengembangan SDM bertekad memikul mandat pemulihan yang menjadi tanggung jawabnya dengan sebaikbaiknya. Dalam semangat itu, dinamika perubahan yang terjadi dalam organisasi BRR dicermati sebagai langkah yang perlu untuk mencapai tujuan organisasi. Selama periode April 2005April 2006, ada empat direktorat yang mengusung mandat bidang kelembagaan, yaitu Direktorat Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah, Direktorat Peningkatan Kapasitas Kelembagaan NonPemerintah, Direktorat Pemberdayaan Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Direktorat Peningkatan Kapasitas K3M. Memasuki periode April 2006April 2007, terjadi pengembangan organisasi BRR. Menyusul kemudian dilakukan reposisi internal dalam Kedeputian Kelembagaan dan Pengembangan SDM. Perampingan BRR kembali terjadi pada periode April 2008Desember 2008. Pada periode itu, Kedeputian Kelembagaan dan Pengembangan SDM menjadi Staf Ahli Kepala Badan Pelaksana. Memasuki tahun 2009, Kedeputian Kelembagaan dan Pengembangan SDM kembali direposisikan untuk menyiapkan laporan masa pengakhiran tugas BRR.

Gerbang berarsitektur khas Aceh melatardepani Markas Kepolisian Daerah NAD, Banda Aceh, 9 Juli 2008, yang kini telah beroperasi penuh. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Mengurai Mandat, Menyusun Rencana

17

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

18

Konferensi Penguatan Kelembagaan Pemerintah Daerah Aceh digelar di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 13 Desember 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Memang, BRR bukanlah lembaga super yang mampu melaksanakan semuanya sendiri secara sempurna. Apalagi kalau sudah menyangkut dana rehabilitasi dan rekonstruksi. Kemampuan Pemerintah Indonesia untuk mendanai pemulihan AcehNias pascabencana sangat terbatas. Diperkirakan kebutuhan anggaran mencapai US$ 7,1 miliar, sementara Pemerintah hanya punya sekitar Rp 21 triliun. Defisit anggaran itu ditutup dengan berbagai upaya menggalang bantuan para donor, mitra dari LSM, dan komunitas internasional. Hasilnya mencengangkan! Dari komitmen bantuan semua pelaku rekonstruksi sebesar US$ 7,2 miliar, 93 persen telah direalisasi dan digunakan untuk membangun kembali AcehNias menjadi lebih baik. Tercatat setidaknya 291 lembaga donor dari dalam dan luar negeri menyalurkan bantuan melalui 215 lembaga mitra pemulihan di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan SDM. Total komitmen bantuan sekitar US$ 310.089.049. Hingga akhir Desember 2008, komitmen yang telah cair mencapai US$ 262.357.598. Sisanya akan dilanjutkan realisasinya hingga 2012 dalam jalinan kerja sama dengan Pemda dan kementerian/lembaga (K/L). Selain dengan para mitra internasional dan LSM, BRR menjalin koordinasi intensif dengan berbagai instansi pemerintah terkait. Untuk penguatan kelembagaan pemerintah daerah, BRR bekerja sama dengan Pemda, Depdagri, Departemen Pekerjaan Umum, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Badan Kepegawaian Negara, Bappenas, Lembaga Administrasi Negara, dan Badan Pertanahan Nasional.

Antara Koordinator dan EksekutorMeskipun BRR dapat menjalankan dua peran secara simultan, sebagai koordinator rehabilitasi dan rekonstruksi sekaligus sebagai eksekutor langsung di lapangan, Kepala Badan Pelaksana BRR awalnya cenderung mengambil peran koordinasi saja, mengingat institusi ini hanya badan ad hoc dan akan mengakhiri masa baktinya pada 16 April 2009. Akibatnya, Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BRR untuk Tahun Anggaran 2005 langsung diserahkan ke Pemda dan K/L pada 18 Juli 2005 atau empat hari setelah DIPA tersebut mendapat pengesahan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta. Selanjutnya, Pemda dan K/L membentuk Satuan Kerja (Satker). Dari 101 Satker yang dibentuk pada 2005, di lingkungan BRR hanya ada dua Satker untuk menunjang operasional bidang sekretariat, keuangan, serta komunikasi dan informasi. Satker selebihnya berada di bawah naungan Pemda dan K/L. Pendelegasian eksekusi program seperti ini juga bertujuan menjadikan kegiatankegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi sebagai medium pembelajaran langsung bagi para aparatur Pemda. Namun, yang terjadi, proses rehabilitasi dan rekonstruksi bergerak sangat lamban. Dalam proses pembentukan Satker, misalnya, ada lembaga daerah yang membutuhkan waktu hingga dua setengah bulan, sementara interval waktu kerja Tahun Anggaran 2005 hanya tersedia lima setengah bulan terhitung sejak DIPA disahkan. Penyebab lambannya proses kemajuan rehabilitasi dan rekonstruksi ketika para Satker berada di bawah Pemda, antara lain, secara psikologis para pegawai Pemda masih dalam kondisi trauma pascabencana, sehingga belum bisa berkonsentrasi penuh terhadap pekerjaan mereka. Selain itu, Pemda memiliki beban anggaran pembangunan yang mesti dilaksanakan bersamaan. SDM berkualitas di kebanyakan dinas sudah diangkat sebagai Satker untuk mengelola anggaran Pemda. Sedangkan Satker BRR diambil dari sisa SDM Pemda yang ada. Pengalaman mereka mengelola anggaran pembangunan belum pernah mencapai angka triliunan rupiah. Banyak aparat menganggap kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi sebagai tugas dan tanggung jawab BRR, sehingga tidak memberikan perhatian serius. Contohnya, pejabat baru Pemda acap tidak memperoleh informasi yang benar dari pejabat sebelumnya tentang kegiatankegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang berada dalam tanggung jawabnya. Alhasil, ada saja yang berkomentar miring tentang koordinasi yang dilakukan BRR.

Bagian 2. Mengurai Mandat, Menyusun Rencana

Sedangkan untuk penguatan kelembagaan hukum, BRR didukung Pemda, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mahkamah Syariah NAD, Pengadilan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri. Lalu, untuk penguatan kapasitas K3M, BRR ditunjang oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan serta Departemen Komunikasi dan Informatika.

19

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

20

Kepala Bapel BRR, Kuntoro Mangkusubroto, menyimak aspirasi seorang camat di tengah acara musyawarah perdana dengan sejumlah kepala desa atau geuchik di Masjid Baiturrahim, Ulee Lheue, Banda Aceh, 20 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Kondisi tersebut tak layak dipertahankan, apalagi BRR mulai menuai kritik tajam karena dipandang lamban dalam merespons kebutuhan para korban bencana. Kritik itu mulai mengemuka dalam diskusi publik yang digelar di Masjid Baiturrahim, Ulee Lheue, Banda Aceh, pada 1 Oktober 2005. Disarankan agar Satker menjadi bagian Badan Pelaksana BRR. Maka BRR pun menyelami peran eksekusi terhadap programprogram pemulihan, tak terkecuali di bidang kelembagaan dan pengembangan SDM.

Koordinasi Selepas Pesta DemokrasiKoordinasi termasuk komponen penting dalam manajemen, tak terkecuali pada manajemen penanganan bencana. Namun koordinasi menjadi sesuatu yang tidak mudah diterapkan ketika mitra kerja utama BRR, yaitu Pemda, mengalami proses transisi terusmenerus selama proses rehabilitasi dan rekonstruksi berlangsung. Ketika BRR mulai berkiprah, seyogianya Gubernur NAD adalah Abdullah Puteh. Tetapi, karena ia tersandung kasus korupsi, posisinya diisi Plt. Gubernur NAD Azwar Abubakar, yang memegang pucuk pimpinan sampai 25 November 2005. Menyusul penandatanganan nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan pemimpin GAM di Helsinki, Finlandia, pada

BRR, yang sedang bergiat membangun kembali di tengah pusaran politik yang sangat dinamis tersebut, tentu saja tidak bisa melepaskan diri dari kemeriahan pesta demokrasi itu. Keterlibatan BRR bersifat apolitis, hanya sebatas mendukung terlaksananya pilkada damai, yang antara lain diwujudkan melalui percepatan proses pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) agar masyarakat dapat menggunakan hak pilih mereka. Kegiatankegiatan BRR seputar pilkada ini tak terpisahkan dari tugasnya menguatkan kapasitas Pemda. Pilkada yang berlangsung damai ini melahirkan duet pemimpin NAD, yakni Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar. Setelah Gubernur NAD yang baru dilantik, proses pemilihan bupati/wali kota berlangsung maraton, hampir sepanjang 2006. Proses ini sangat melelahkan, menguras energi dan pemikiran semua komponen yang terlibat, termasuk aparatur Pemda. Hal ini membawa konsekuensi tersendiri bagi proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Setelah pesta demokrasi usai, BRR menghadapi masalah baru menyangkut koordinasi. Mekanisme koordinasi antara BRR dan Pemda menjadi penuh warna. Pasalnya, pergantian kepala daerah selalu diikuti rotasi pejabat daerah dengan alasan penyegaran. Komitmenkomitmen yang telah disepakati dalam koordinasi dengan pejabatpejabat sebelumnya di berbagai instansi daerah sering mentah kembali. Koordinasi harus dimulai lagi dari awal dengan pejabat baru. Tak jarang pejabat daerah sama sekali tidak mengakui komitmen yang telah dibuat pejabat sebelumnya, sehingga timbul sejumlah persoalan teknis. Contohnya pemilihan lokasi sejumlah kantor camat dan kantor meukim. Beberapa Satker Kelembagaan BRR setuju pembangunan kantor camat atau meukim di lokasi yang belum punya jalan akses yang layak, karena ada komitmen jalan tembus akan dianggarkan dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kenyataannya, pejabat yang melanjutkan kepemimpinan daerah tersebut mengabaikan komitmen itu. Alhasil, ada kantor camat atau kantor meukim di tengah rawa sehingga tidak bisa difungsikan. Konsekuensinya, BRR harus membangun jalan masuk supaya kantor yang ada dapat berfungsi optimal. Koordinasi ternyata mudah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan. Namun, melalui berbagai strategi pendekatan dan komunikasi, BRR mampu mengembalikan kondisi sejumlah kelembagaan daerah ke kondisi seperti sebelum bencana. Bahkan beberapa instansi tertentu dibangun kembali dengan kondisi lebih baik, seperti gedung Markas Kepolisian Daerah di Lingke, Banda Aceh, dan Gedung Keuangan Negara di Jalan Tgk Chik Di Tiro, Banda Aceh.

Bagian 2. Mengurai Mandat, Menyusun Rencana

15 Agustus 2005, dan lahirnya UUPA, pesta demokrasi pascatsunami tak bisa dihindari. Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak digelar di seluruh NAD dan para kandidat dipilih langsung oleh masyarakat. Tongkat kekuasaan di Provinsi NAD beralih ke Pj. Gubernur NAD Mustafa Abubakar, yang diutus Pemerintah Pusat untuk memimpin Aceh.

21

Mendongkrak Kinerja Usai Bencanalembaga pemerintah dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu sasaran program rehabilitasi dan rekonstruksi yang dicanangkan BRR. Menyadari keberadaannya sebagai lembaga negara yang bersifat ad hoc, dalam melaksanakan mandat di bidang kelembagaan, BRR berpatokan pada skala prioritas menghadapi sejuta peluang rehabilitasi dan rekonstruksi kelembagaan. Pada tahun pertama kehadirannya, BRR belum menyentuh penuh aspek nonfisik kelembagaan di Provinsi NAD. Semua program masih terpusat pada rehabilitasi fisik, sesuai dengan kebijakan jangka pendek Pemda dalam situasi tanggap darurat. Pemulihan kelembagaan diwujudkan melalui pembangunan kembali atau rehabilitasi gedunggedung pemerintahan yang rusak akibat bencana, pengadaan dan penggantian sarana dan perlengkapan kerja, serta pelatihan dasar bagi aparat instansi pemerintah sehingga dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat setempat. Pembangunan kembali prasarana dan sarana lembaga pemerintahan tentu dapat langsung dirasakan manfaatnya. Hal itu berbeda dengan programprogram pengembangan kapasitas dan profesionalitas SDM yang bersifat nonfisik, yang dampaknya baru terasa seiring dengan berjalannya waktu. Tantangan lain dalam melaksanakan programprogram penguatan kelembagaan dan pengembangan SDM adalah beratnya medan yang dihadapi pascabencana dan konflik

PENGUATAN

Pelatihan dan sosialisasi manajemen antikorupsi dibekalkan bagi para pegawai di lingkungan Pemda Aceh, Banda Aceh, 28 Juni 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Mendongkrak Kinerja Usai Bencana

23

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

internal. Untuk itu, BRR menjalin kerja sama dengan berbagai pihak terkait, seperti institusi Pemerintah Pusat, para donor, dan LSM yang antusias melakukan kegiatan kemanusiaan. Programprogram pemulihan dan penguatan kapasitas kelembagaan serta pengembangan SDM bersifat komprehensif dan terpadu, dilakukan pada semua tingkat kelembagaan. Meski tidak semua terkena dampak langsung bencana, perlu penataan ulang kelembagaan sesuai dengan semangat membangun kembali menjadi lebih baik dan menjawab kebutuhan masyarakat. Tiga fokus strategi yang ditetapkan BRR dalam bidang kelembagaan dan pengembangan SDM sepanjang 20052006 adalah penguatan kelembagaan pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan, penguatan institusi hukum dalam rangka penegakan hukum yang lebih baik, serta peningkatan partisipasi publik dan peran masyarakat dalam menciptakan keamanan, ketertiban, dan ketahanan. Pada 2007, ketiga fokus strategi itu masih dilanjutkan dengan titik berat pada penguatan institusi Pemda, pembangunan fisik gedung, penyediaan perangkat kerja, dukungan penyusunan sistem dan prosedur organisasi Pemda, serta penambahan kualitas dan kuantitas program peningkatan kapasitas aparatur Pemda dan kelompok masyarakat. Secara umum, programprogram kelembagaan dan pengembangan SDM mengacu pada sasaran dan tujuan Rencana Induk. Tujuan utamanya adalah memulihkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah, serta menciptakan kondisi kondusif bagi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi secara keseluruhan. Semua program didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kecuali program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), atau dikenal sebagai program Support for Poor and Disadvantaged Areas (SPADA), yang diterapkan pada 17 kabupaten/kota dan menggunakan dana hibah. Total realisasi dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang kelembagaan dan pengembangan SDM per Desember 2008 Rp 1,2 triliun atau 64 persen dari perkiraan kebutuhan dana yang tercantum dalam Rencana Induk tahun 2005. Minimnya dana yang terserap itu disebabkan oleh efisiensi ketat pada pospos anggaran yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Sedangkan untuk program SPADA sampai tahun 2008, telah dilaksanakan 302 paket kegiatan dengan dana sekitar Rp 61,9 miliar.

24

Penguatan Kelembagaan Pemerintah DaerahPenataan kembali kelembagaan pemerintah daerah berkiblat pada pemulihan pelayanan kepada masyarakat, yang diawali dengan pembangunan atau rehabilitasi kembali gedunggedung pemerintahan yang rusak, pengadaan dan penggantian perangkat kerja, serta pelatihan dasar bagi aparat instansi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas dan profesionalisme aparatur pemerintah.

Tabel 3.1. Program dan Kegiatan Kelembagaan Menurut Rencana Induk BRR Bidang Kelembagaan

Program

KegiatanBagian 3. Mendongkrak Kinerja Usai Bencana

Melakukan penataan dan penyediaan aparatur Pemda, legislatif, pemimpin, dan aparatur Pusat Meningkatkan kemampuan aparatur Pemda dan anggota legislatif dalam proses penyusunan rencana daerah dan pengelolaan keuangan daerah Meningkatkan kemampuan aparatur dalam menghadapi bencana alam dan bencana buatan, melalui pelatihanpelatihan teknis manajerial dan pengembangan sistem deteksi dini Memperbaiki sistem administrasi pemerintahan daerah yang responsif terhadap perubahanperubahan yang tidak terduga (bencana alam dan bencana buatan) Memperbaiki dan menata struktur kelembagaan yang proporsional dan prosedur kerja sesuai dengan tugas pokok, fungsi, wewenang, dan tanggung jawab, untuk memenuhi standar pelayanan minimum Menciptakan dan meningkatkan koordinasi serta kerja sama antartingkat pemerintahan Merehabilitasi prasarana Pemda yang permanen berdasarkan master plan dan rencana teknis (detail engineering design) Penyediaan sarana dan prasarana lembaga pemerintahan secara permanen Menyediakan sarana kerja Pemda dan perangkat mitigasi bencana untuk mendukung pelayanan publik Memfasilitasi dan mendukung ketersediaan sarana dan prasarana trauma center, sistem kehumasan Pemda, dan forum komunikasi

Peningkatan kapasitas pemerintahan daerah

25

Harus diakui, kegiatan pembangunan kembali sarana dan prasarana lembaga pemerintah dapat langsung dirasakan dan digunakan hasilnya. Sebaliknya, program penguatan kapasitas dan profesionalitas SDM dan aparatur pemerintah yang bersifat

Pembangunan Sarana dan Prasarana Lembaga Pemerintah DaerahSampai 2008, tercatat 900an unit bangunan dari berbagai instansi Pemda telah atau sedang dibangun. Fungsi pelayanan publik jelas sangat bergantung pada keberadaan sarana dan prasarana pelayanan. Karena itu, perbaikan gedunggedung pemerintahan menjadi prioritas utama dalam penguatan kelembagaan pemerintah daerah. Melalui pembangunan dan rehabilitasi gedung pemerintahan tersebut, diharapkan terjadi perbaikan pelayanan Pemda yang lumpuh setelah bencana alam. Salah satu pembangunan yang cukup penting adalah Gedung Keuangan Negara Banda Aceh, yang dimulai pada Tahun Anggaran 2006 dan selesai pada 2008. Di tahap awal, Kedeputian Kelembagaan dan Pengembangan SDM mengucurkan anggaran Rp 10,2 miliar lebih. Pembangunan diteruskan pada 2007 dengan anggaran Rp 24,3 miliar dan diselesaikan

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

26

Tampak depan Gedung Keuangan Negara di Banda Aceh setelah usai dibangun kembali, Banda Aceh, 26 Juni 2008. Foto: BRR/Chaedeer MSA

dengan anggaran 2008 sebesar Rp 6,2 miliar. Bangunan berlantai tiga senilai Rp 40,7 miliar itu akhirnya diresmikan pengoperasiannya oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 24 April 2008. Kini Gedung Keuangan Negara menopang kelancaran seluruh transaksi keuangan berbagai proyek pemerintahan di Aceh.

Penataan Organisasi dan Aparatur Pemerintah DaerahPenataan dan pengelolaan lembaga serta SDMnya dilakukan dengan menyusun berbagai dokumen penataan organisasi dan aparatur yang diperlukan. Hasilnya adalah 384 dokumen yang sangat penting sebagai landasan utama praktik tata kelola pemerintahan daerah yang baik (good governance) di Aceh dan pengembangan kapasitas aparatur terkait. Selain itu, sampai akhir 2008, telah selesai disusun dokumen untuk sembilan kabupaten/kota di Aceh. Dokumen tersebut diharapkan bisa mendukung terciptanya sistem pemerintahan yang mampu melayani kebutuhan masyarakat secara profesional, efektif, dan efisien dengan birokrasi yang sederhana. Pembuatan dokumen penataan organisasi dan aparatur menjadi salah satu rangkaian panjang upaya perbaikan organisasi Pemda, yang mencakup dokumen rencana penataan organisasi, dokumen rencana pengelolaan dan pemberdayaan kepegawaian, dokumen

rencana penyusunan sistem informasi kepegawaian, dan dokumen perencanaan media center Pemda. Program penguatan kelembagaan pemerintah daerah yang lain adalah peningkatan kapasitas SDM aparatur pemerintah. Peningkatan kapasitas ini penting mengingat banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) hilang atau meninggal ketika bencana melanda. Salah satu efek yang paling terasa adalah trauma dan kehilangan kepercayaan diri yang menghinggapi ribuan PNS di Aceh. Serangkaian pelatihan dan bimbingan teknis, termasuk pelatihan Emotional Spiritual Quotient (ESQ), diselenggarakan. Hingga akhir 2008, tercatat sebanyak 26 paket SDM aparatur pemerintahan daerah telah mendapat pelatihan dan bimbingan teknis, dari pelatihan mitigasi bencana, pelatihan perlindungan masyarakat, pengembangan kapasitas aparatur gampong dan kecamatan, bimbingan dokumentasi arsip, hingga pembekalan pelatihan ESQ.

384 dokumen penataan organisasi pemerintah 73 dokumen batas administratif wilayah kabupaten/ kota 900 modul bimbingan teknis 5.000 lebih dokumen dan modul penting lain untuk penataan organisasi dan administrasi organisasi

Bagian 3. Mendongkrak Kinerja Usai Bencana

Hasil Penataan Organisasi dan Aparatur Pemerintah Daerah

27

Penyediaan Perangkat dan Perlengkapan KerjaKELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

Penyediaan perangkat dan perlengkapan kerja juga menjadi program penting. Sebanyak 256 unit radio komunikasi yang didukung 26 sarana utama telah disediakan untuk pemerintah provinsi dan tujuh pemerintah kabupaten/kota. Adanya jaringan radio komunikasi ini, selain digunakan untuk operasional seharihari, mendukung peningkatan kemampuan pemerintah dalam usaha mitigasi bencana. Di masa depan diharapkan Pemda dan masyarakat Aceh dapat lebih siaga terhadap bencana. Perangkat kerja lain yang cukup penting dan telah disediakan BRR adalah perangkat komputer dan mesin cetak dokumen administrasi warga seperti Kartu tanda Penduduk (KTP) dan kartu keluarga. Perangkat ini langsung dipakai untuk menyediakan 1,18 juta lembar KTP dan 970 ribu kartu keluarga untuk warga di 21 kabupaten/ Tsunami telah membawa korban jiwa di kalangan aparatur kota di Aceh. Penyediaan dokumen administrasi kependudukan ini sangat berguna bagi masyarakat Aceh yang kehilangan dokumen identitas dan administrasi akibat bencana atau untuk mengganti KTP Merah Putih yang disahkan sebagai identitas warga selama masa darurat militer akibat konflik internal di Aceh. KTP dan kartu keluarga ini bisa dipakai warga Aceh untuk berbagai keperluan, antara lain menggunakan hak pilih pada pelaksanaan pilkada provinsi dan kabupaten/kota. Proses pembuatan dokumen administrasi kependudukan dilanjutkan oleh dinas Pemda yang terkait.

28

Patah Tumbuh Hilang Berganti

pemerintah. Berkurangnya jumlah dan kualitas sumber daya aparatur pemerintah mengakibatkan turunnya kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Mau tak mau, Pemda harus merekrut sejumlah PNS baru. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000, Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan (Diklat Prajab) bagi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) merupakan prasyarat pengangkatannya menjadi PNS. Diklat Prajab harus diikuti dan CPNS dinyatakan lulus selambatlambatnya dua tahun setelah diangkat. Merujuk pada peraturan tersebut, Badan Diklat Provinsi NAD harus menyelenggarakan Diklat Prajab kepada 1.584 orang CPNS. Sedangkan anggaran yang tersedia di Badan Diklat Provinsi NAD dari APBD Tahun Anggaran 2006 hanya untuk 134 orang CPNS. Kondisi ini mendorong BRR memberikan bantuan untuk penyelenggaraan Diklat Prajab bagi 7 angkatan CPNS Golongan III dan 11 angkatan CPNS Golongan I dan II. Mereka akan menggantikan para kolega yang meninggal saat tsunami. Bukan tanpa alasan BRR mendukung Diklat Prajab. Badan Diklat Provinsi NAD dan para peserta Diklat Prajab merupakan lembaga dan SDM Pemda Aceh yang perlu diberdayakan. Selain itu, BRR ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk memasyarakatkan program good governance serta membuka wawasan dan paradigma baru aparatur Pemda Aceh sesuai dengan UUPA. Program Diklat Prajab membekali CPNS dengan pengetahuan dasar tentang sistem penyelenggaraan pemerintahan negara, bidang tugas, dan budaya organisasi, serta kemampuan melaksanakan tugas dan peran sebagai abdi masyarakat. Diklat Prajab yang dilaksanakan BRR bekerja sama dengan Badan Diklat Provinsi NAD ini diikuti 1.434 orang CPNS. Mereka berasal dari jajaran pemerintahan Provinsi NAD formasi tahun 2006 yang belum memperoleh alokasi anggaran Diklat Prajab Badan Diklat NAD pada Tahun Anggaran 2006.

Penguatan Kelembagaan HukumDampak langsung dari bencana gempa dan tsunami adalah munculnya sejumlah permasalahan hukum, yang dapat dipetakan menjadi lima bagian besar. Bencana juga berdampak pada segi fisik, seperti kerusakan gedung lembaga

mendatangi kantor kelurahan untuk mengganti KTP Merah Putih dengan KTP biasa sejak 8 Maret 2006. Pemandangan ini terlihat di kantor Desa Sukadamai, Kecamatan Lueng Bata. Di sini, sejak pagi tadi, seribuan warga antre untuk mengganti KTP hasil produk penguasa militer dulu dengan KTP biasa.

WARGA Kota Banda Aceh ramairamai

Siti Habsah, 38 tahun, warga Desa Sukadamai, mengaku sangat senang dengan adanya penggantian KTP ini. Sebab, dengan KTP biasa, warga Aceh bisa lebih bebas dan tidak dibedabedakan lagi dengan warga lain. Lebih enak KTP biasa, seperti sebelum perang. Kalau KTP Merah Putih, kita seolah warga yang berbeda, dan jika ke luar daerah juga ditanyai macammacam. KTP Merah Putih seolah membedakan warga Aceh dengan warga lain di Indonesia, kata Siti Habsah kepada wartawan, Selasa (21/3). Siti Habsah mengatakan, tidak ada pungutan biaya saat membuat kartu identitas ini. Kami hanya disuruh membawa KTP yang lama dan kartu keluarga serta difoto. Tak ada bayar, kata dia. Kepala Subdinas Mobilitas dan Kependudukan Dinas Mobilitas Penduduk dan Transmigrasi Kota Banda Aceh, Cut Husna, 50 tahun, mengatakan, penggantian KTP di Banda Aceh sudah dimulai pada 8 Maret lalu dan dijadwalkan akan selesai pada 31 Maret nanti. Jumlah warga Banda Aceh yang akan mendapat KTP baru mencapai 143.000 jiwa. Jumlah tersebut bisa bertambah karena perpindahan penduduk terus terjadi. Ada kecenderungan terjadi pertambahan penduduk di Banda Aceh dari berbagai kawasan lain yang terkena tsunami, kata dia.

Pembuatan KTP juga dimaksudkan bagi anggota GAM yang belum mempunyai KTP dan korban tsunami yang kehilangan kartu identitas. Mereka hanya diminta membawa kartu keluarga. Kalau tidak punya, bisa lapor ke kepala desa setempat, ujarnya. Kebijakan KTP Merah Putih dikeluarkan Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Aceh Mayjen Endang Suwarya pada awal pemberlakuan status darurat militer, Mei 2003. KTP Merah Putih itu, menurut PDMD, untuk memisahkan warga dengan anggota GAM. Kebijakan ini direncanakan hanya berlalu selama status darurat militer. Kendati menuai kritik dari aktivis pemerhati hak asasi manusia, pemerintah sipil tidak kunjung mencabut kebijakan KTP Merah Putih ini, hingga sekarang. Kebijakan ini juga dinilai melanggar hak asasi manusia karena mendiskriminasi masyarakat Aceh. Saat Aceh masih dalam status darurat (militer dan sipil), banyak warga Aceh yang tidak memiliki KTP Merah Putih harus berurusan dengan aparat TNI/Polri. Tak sedikit di antara mereka yang dituduh sebagai anggota GAM. Penggantian KTP baru dilakukan setelah Pemerintah Indonesia dan GAM meneken kesepakatan damai di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Namun prosesnya baru dilaksanakan awal Maret ini. Dalam MoU Helsinki disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia harus memberikan kartu identitas baru untuk menggantikan KTP Merah Putih kepada penduduk Aceh sebelum pelaksanaan pilkada atau paling lambat pertengahan April.Sumber: Aceh.com, 21 Maret 2006

Bagian 3. Mendongkrak Kinerja Usai Bencana

Warga Ramairamai Ganti KTP Merah Putih

29

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

30

Warga Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, tampak antusias menyambut pembuatan KTP Nasional, 19 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

penegak hukum dan dokumentasi hukum. Fasilitasfasilitas fisik ini harus dibangun kembali, agar pelayanan masyarakat bisa segera diberlakukan demi menjaga ketertiban umum. Struktur kelembagaan masyarakat Aceh berbeda dengan daerahdaerah lain di Indonesia, terutama pada tingkat akar rumput. Di Aceh, terdapat kelembagaan meukim yang berperan penting dan strategis. Meukim memiliki akar sejarah panjang, sama panjangnya dengan sejarah pertumbuhan peradaban Aceh. Mengabaikan penguatan kelembagaan meukim akan memunculkan ketimpangan, lantaran lembaga ini merupakan ujung tombak pelayanan pemerintahan daerah paling bawah. Penguatan meukim sebagai lembaga masyarakat dapat dikembangkan secara bertahap menjadi lebih terorganisasi dan lebih mandiri. Upaya ini dilakukan dengan memberdayakan imeum meukim atau kepala meukim dalam meningkatkan fungsi meukim sebagai kesatuan masyarakat, menata lembagalembaga kelengkapan meukim serta mengefektifkan peran dan fungsi Majelis Musyawarah Meukim dan Rapat Adat Meukim, serta mengelola harta kekayaan dan pendapatan untuk kepentingan masyarakat. Tak disangkal, sepanjang 20052008, penguatan kelembagaan hukum lebih menitikberatkan pada pembangunan kembali gedung perkantoran dan fasilitas

Sejumlah Masalah Hukum Pascabencana1. 2. 3. 4. 5. Keluarga yang meliputi masalah waris, perkawinan, perceraian, hak pengasuhan anak, dan hakhak kebendaan. Sumber daya manusia. Sarana dan prasarana. Akses masyarakat untuk memperoleh informasi atau bantuan hukum.Menurut Buku Rinci Rencana Induk, Lampiran IX

Tabel 3.2. Program dan Kegiatan Pemulihan Kelembagaan Menurut Rencana Induk BRR Bidang Hukum

Program

Kegiatan

Memulihkan dan memberikan hakhak keperdataan serta penerbitan kembali alat bukti haknya Memulihkan hakhak yang berkaitan dengan hukum publik Memberikan kembali dokumen identitas Memberikan status hukum Baitul Maal sebagai subyek hukum Provinsi NAD Memberdayakan lembaga adat sebagai instrumen penyelesaian sengketa di luar pengadilan Merehabilitasi dan membangun kembali sarana dan prasarana pengadilan dan kejaksaan serta sarana pendukung lain Memobilisasi tenaga hakim dan tenaga peradilan lain serta jaksa dari daerah lain

Jaminan kepastian, perlindungan, serta penegakan hukum dan hak asasi manusia

Revitalisasi fungsi dan tugas pelayanan hukum

Bagian 3. Mendongkrak Kinerja Usai Bencana

Pertanahan dan tata ruang yang sangat rumit serta memiliki komponenkomponen kelembagaan dan substansi yang berbeda.

31

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

Pembangunan Sarana dan Prasarana Kelembagaan Hukum Hingga Akhir 2008 10 unit kantor Pengadilan Negeri 7 unit kantor Kejaksaan Negeri 20 unit rumah dinas Kejaksaan Negeri 1 unit gedung Kejaksaan Tinggi Aceh 3 unit lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan 2 unit kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia 2 unit kantor Wilayah Imigrasi 1 unit Balai Pemasyarakatan 289 unit perangkat kantor

hukum yang rusak, seperti gedung Kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mahkamah Syariah, dan lembaga pemasyarakatan. Ketiadaan sarana dan prasarana hukum pascabencana di Aceh membuat banyak kasus hukum tidak bisa dilanjutkan dan diputuskan. Kondisi ini dapat mengakibatkan masyarakat kehilangan kepercayaan. Padahal kepercayaan masyarakat merupakan salah satu syarat mendasar bagi keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. BRR memberikan dukungan pula terhadap Mahkamah Syariah, yang merupakan lembaga istimewa di Aceh, sebagai bagian dari penerapan legal formal syariat Islam secara menyeluruh. Mahkamah Syariah memegang peran cukup dominan dalam penegakan ketertiban masyarakat di Aceh. Bentuk dukungan BRR antara lain menyediakan 20 unit bangunan Mahkamah Syariah, 23 unit rumah dinas untuk para hakim Mahkamah Syariah, serta 70 unit kendaraan roda dua dan roda empat.

32

Sementara itu, untuk meningkatkan kualitas kerja dan pelayanan hukum Mahkamah Syariah, BRR juga telah mendukung dirancangnya jaringan teknologi informasi di mahkamah tersebut. Jaringan teknologi informasi ini terbukti mendorong terciptanya transparansi peradilan dan kemudahan akses informasi bagi masyarakat pencari keadilansesuatu yang sebelumnya langka di segala lingkup bidang pemerintahan di Aceh. Hal penting lain yang dilakukan dalam pembangunan kualitas layanan bidang hukum adalah inisiasi lahirnya Pusat Klinik Hukum. Pusat Klinik Hukum ini diharapkan menjadi pusat pembinaan dan pelatihan untuk aparatur penegak hukum serta ajang konsultasi bagi berbagai permasalahan hukum yang terjadi di Aceh.

Penguatan Kapasitas Keamanan, Ketertiban, dan Ketahanan Masyarakat (K3M)Penguatan bidang ini merupakan bagian dari upaya mengobati dan mengembalikan rasa percaya diri masyarakat, yang lenyap seiring dengan konflik internal serta bencana gempa dan tsunami. Strategi membangun kembali Aceh harus diletakkan dalam

kerangka menjaga perdamaian dengan cara bermartabat, bukan sekadar pembangunan infrastruktur fisik yang hancur. Maka, meski banyak penderitaan dipikul akibat bencana alam 2004, momentum ini dapat dipandang sebagai peluang membangun kebersamaan dan kepercayaan seluruh masyarakat Aceh untuk menata kembali kehidupan mereka dalam suasana damai. BRR mendukung penguatan kapasitas K3M dengan melakukan beberapa kegiatan, di antaranya rehabilitasi gedung sarana dan prasarana lembaga keamanan dan ketertiban seperti Kepolisian, TNI, dan Departemen Pertahanan, melaksanakan pengamanan terpadu di daerah penampungan sementara para penyintas, serta meningkatkan ketahanan masyarakat melalui serangkaian program pemberdayaan dan pembukaan ruang partisipasi dan komunikasi lintas pemangku kepentingan. Di masa awal pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, salah satu langkah penting yang dilakukan adalah memastikan tingkat keamanan yang kondusif. Penciptaan rasa aman ini perlu untuk menjamin kelancaran dan stabilitas pelaksanaan pemulihan kembali Aceh. Kondisi keamanan di Aceh yang masih sangat rawan di bulanbulan awal setelah terjadi bencana alam sempat membuat banyak donor internasional dan LSM ragu dan waswas untuk melakukan misi kemanusiaan di sana. Gencatan senjata memegang peran

Beginilah pemandangan seharihari kala sore tiba di Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Nagan Raya, 6 Maret 2008, yang telah dilengkapi sarana penunjang seperti lapangan olah raga. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Mendongkrak Kinerja Usai Bencana

33

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

sangat mendasar. Selain itu, Pemerintah Pusat membuat kebijakan memobilisasi aparat Kepolisian dan TNI dalam jumlah besar untuk menjaga keamanan dan ketertiban di Aceh dari berbagai tindak kriminal. Ketika terjadi kesepakatan damai antara RI dan GAM melalui MoU Helsinki, program mobilisasi aparat Kepolisian dan TNI dipertimbangkan kembali. Secara berangsur, jumlah aparat Kepolisian dan TNI di Aceh dikurangi. Kondisi keamanan di Aceh pascaperjanjian damai ternyata cukup kondusif, sehingga para pelaku rehabilitasi dan rekonstruksi bisa melaksanakan pekerjaan mereka dengan baik dan lancar.

Pembangunan Sarana dan Prasarana Lembaga K3MSalah satu program penting untuk penciptaan keamanan dan ketertiban di Aceh adalah memfungsikan kembali lembagalembaga keamanan dan ketertiban. BRR turut melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap berbagai fasilitas, perangkat dan perlengkapan, serta alat komunikasi di bidang K3M. Hingga 2008, sebanyak 801 gedung perkantoran, perumahan, dan berbagai bangunan pendukung lain telah dibangun BRR untuk lembaga keamanan. Di samping itu, BRR memberikan dukungan perangkat militer dan kepolisian, yang meliputi 613 unit senjata berbagai tipe, 19.694 butir amunisi, serta 24.769 unit perangkat lain seperti angkutan, perangkat listrik, dan alat komunikasi. Sedangkan penciptaan ketahanan masyarakat dilakukan melalui kerja sama dengan instansi terkait, yaitu instansi komunikasi dan informasi, instansi politik dan hukum, serta Departemen Dalam Negeri.

34

Penguatan Kapasitas Keamanan, Ketertiban, dan Ketahanan Masyarakat Pemberdayaan advokasi sipil Restrukturisasi dan reorientasi lembaga kemasyarakatan Pengelolaan aktivitas kemanusiaan Pembangunan karakter kebangsaan dan kemandirian Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan Pemantapan otonomi khusus Pengembangan kerangka kerja insentif

Pembangunan Sarana dan Prasarana Lembaga KomunikasiSemua jaringan komunikasi melalui TVRI dan RRI rusak akibat bencana alam. Menanggapi kondisi seperti itu, Bappenas memasukkan pembangunan kembali sarana dan prasarana komunikasi di Aceh sebagai salah satu mandat penting dalam Rencana Induk BRR. Hingga akhir 2008, tercatat tiga stasiun transmisi TVRI dan dua stasiun RRI dapat dibangun BRR di Banda Aceh dan Lhokseumawe. Pembangunan kembali sarana dan prasarana komunikasi tersebut berhasil menghidupkan media komunikasi dan aspirasi

Program

KegiatanMemfasilitasi peran masyarakat sipil dalam membantu peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam menyelesaikan persoalan sosial kemasyarakatan Melakukan restrukturisasi dan reorientasi lembaga masyarakat, ekonomi, dan pemerintahan, serta memantapkan sistem komunikasi massa dan informasi Melakukan pengelolaan dampak bencana berupa kegiatan kemanusiaan, peningkatan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat, refungsionalisasi pemerintahan, termasuk lembaga keamanan, dukungan rehabilitasi, dan dukungan rekonstruksi dengan pendekatan sosiokultural

Penciptaan kematangan dan kedewasaan sosial politik masyarakat Aceh

Membangun karakter dan kebangsaan (nation and character building) yang mandiri dan berkualitas, agar masyarakat memiliki kesadaran dan saling percaya dalam membangun kembali Aceh dan membela bangsa Melaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan pemberdayaan masyarakat dalam segala bidang pembangunan di Aceh Memantapkan otonomi khusus Provinsi NAD sehingga masyarakat Aceh mampu melakukan pembangunan berkelanjutan, melanjutkan pemantapan rasa cinta tanah air Mengembangkan incentive framework yang menyeluruh untuk para pemangku kepentingan dalam rangka mencapai perdamaian yang abadi dan tuntas Melaksanakan refungsionalisasi lembagalembaga keamanan dan ketertiban Melaksanakan pengamanan terpadu terhadap daerahdaerah pengungsian

Penciptaan rasa aman dan tertib masyarakat Aceh

Memantapkan keamanan dengan pengamanan terpadu terhadap daerahdaerah yang kondisi keamanan dan ketertibannya relatif kondusif Meningkatkan keamanan dan ketertiban masyarakat di daerahdaerah yang rawan

Bagian 3. Mendongkrak Kinerja Usai Bencana

Tabel 3.3. Program dan Kegiatan Pemulihan Kelembagaan Menurut Rencana Induk BRR Bidang K3M

35

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

36

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, menyampaikan arahan pada pembukaan acara Sosialisasi Pengembangan Program P2DTK/ SPADA Provinsi NAD di Banda Aceh, 14 Juni 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

antara Pemerintah dan masyarakat. Berbagai rencana dan sasaran pembangunan bisa disampaikan Pemerintah kepada masyarakat, termasuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang sedang bergulir. Penciptaan kematangan dan kedewasaan sosial politik masyarakat Aceh diupayakan dengan menghidupkan berbagai ruang diskusi dan komunikasi publik. Ruang tersebut menjadi media antara pengambil kebijakan (Pemerintah) dan komponen masyarakat. Sebanyak 180 paket dialog melalui program interaktif di TVRI Aceh dan di RRI Aceh telah ditayangkan; begitu juga 34.528 brosur, leaflet, spanduk, poster, dan baliho telah disebar dalam upaya memasyarakatkan berbagai program pemerintah menyangkut pembangunan dan perdamaian. Caracara seperti itu diharapkan bisa menjadi sarana untuk lebih memberdayakan masyarakat, sehingga masyarakat cukup kuat untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai proses pembangunan.

Waspada Terlambat, SPADA TerhambatProgram Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) atau Support for Poor and Disadvantaged Areas (SPADA) merupakan satusatunya program Kedeputian Kelembagaan dan Pengembangan SDM yang dibiayai dana hibah (grant) luar negeri.

Pembangunan di Aceh dan Kepulauan Nias yang masih jauh tertinggal dibandingkan dengan daerahdaerah lain di Indonesia telah mendorong MDF mengubah dana loan SPADA menjadi dana grant. BRR juga berkontribusi menyediakan dana pendamping, sehingga program ini dapat dijalankan di 17 kabupaten di Aceh dan 2 kabupaten di Kepulauan Nias. Bagi BRR, SPADA menjadi salah satu paket kegiatan yang didanai bersama (cofinancing) dengan MDF melalui Bank Dunia. Program SPADA BRR diklasifikasikan dalam Program Peningkatan Kapasitas SDM Aparatur Pemerintah Daerah dan ditempatkan di Kedeputian Kelembagaan dan Pengembangan SDM, agar serumpun dengan programprogram lain di kedeputian ini. Pada dasarnya, roh program SPADA adalah pembelajaran dan pemberdayaan aparatur pemerintahan dan masyarakat daerah tertinggal (kabupaten). Meskipun ada kegiatanGambar 3.1. Struktur Organisasi SPADA

Tim Koordinasi Nasional Sekretariat Nasional PMU BAPPENAS PIU BRR PIU KPDT SATKER KPDT KM NAS

PUSAT

Prov.

Tim Koordinasi Provinsi

SATKER BRR

KM PROV

Kab.

Sekretariat Kabupaten

Tim Koordinasi Kabupaten

PPK KAB Tim Ad-hoc TPK UPKD

KM KAB

Keterangan: Pembinaan Bantuan Teknis Koordinasi

Bagian 3. Mendongkrak Kinerja Usai Bencana

Program SPADA Nasional dikelola sepenuhnya oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), seperti di Provinsi Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Program ini dibiayai dengan dana pinjaman (loan) Multi Donor Fund (MDF) melalui Bank Dunia. Program serupa di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara, dijalankan KPDT bersama BRR NADNias, sesuai dengan komitmen Pemerintah RI bahwa BRR satusatunya badan koordinasi program rehabilitasi dan rekonstruksi AcehNias pascagempa dan tsunami.

37

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

38

Gedung Mahkamah Syariah yang baru di Takengon, Aceh Tengah, 23 Desember 2008, kini siap difungsikan. Foto: BRR/Arif Ariadi

pembangunan fisik di dalamnya, hal itu masih dalam koridor peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan dalam merencanakan dan menjalankan program pembangunan berbasis komunitas. Dalam prosedur pelaksanaan SPADA NAD dan Kepulauan Nias, wewenang setiap partisipan yang terlibat di dalamnya sudah diatur rinci. Project Implementing Unit (PIU) KPDT bertanggung jawab terhadap kualitas program dalam proses perencanaan dan penyediaan instrumen lapangan, seperti technical assistant, procurement specialist, dan management finance specialist. Sedangkan PIU BRR bertanggung jawab terhadap pengendalian pelaksanaan subproyek serta mengangkat Kepala Satuan Kerja (Satker) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di kabupaten. PPK bertugas meneruskan usul pendanaan kegiatan ke Satker provinsi untuk pencairan anggaran melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Khusus (KPPNK). Struktur organisasi yang ditampilkan di sini memperjelas rentang kendali dan garis koordinasi SPADA BRR.

Pemberdayaan Pemda dan Masyarakat KabupatenProgram SPADA memiliki sasaran di bidang kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Idealnya, di akhir program, masyarakat mampu merencanakan dan melaksanakan

SPADA diawali dengan sosialisasi formal dan informal tentang program. Sosialisasi formal di tingkat pusat dilakukan Tim Koordinasi Nasional, di tingkat provinsi oleh Tim Koordinasi Provinsi (Bappeda NAD), dan di kabupaten oleh Bappeda kabupaten. Sosialisasi di setiap tingkatan harus melibatkan DPR/DPRA, wartawan, LSM, akademisi, dan pelaku program, termasuk instansi pemerintah terkait. Setelah sosialisasi, proses perencanaan pun digelar. Perencanaan diawali dengan identifikasi potensi, masalah, dan gagasan, dilanjutkan dengan kajian teknis kabupaten. Bila langkah ini dianggap memadai, dilanjutkan dengan desain kegiatan, rekomendasi pelaksana, dan verifikasi desain oleh Konsultan Manajemen Kabupaten (KMKab) sebelum diusulkan untuk didanai. Setiap tahap perencanaan selalu dilakukan dengan musyawarah, mulai di tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten. Proses ini dilakukan unsur Pemda dan masyarakat di bawah koordinasi Bappeda kabupaten dengan bimbingan teknis KMKab. Forum musyawarah itulah yang berhak membuat keputusan terhadap kegiatan SPADA. Ada kalanya suatu keputusan baru diperoleh setelah berkalikali musyawarah digelar. Dalam beberapa kasus, musyawarah berlangsung hangat di awal tetapi kehilangan gairah seiring dengan perjalanan waktu. Warga mengaku, kegiatan seharihariannya terganggu dan terpaksa mengikuti musyawarah sekadar untuk memenuhi undangan kepala desa atau camat setempat. Kekecewaan mereka biasanya memuncak jika mengetahui kegiatankegiatan di desa mereka ternyata tidak menjadi prioritas. Memasuki tahap pelaksanaan program, Satker SPADA BRR memproses pencairan dana bantuan melalui KPPNK untuk disalurkan ke rekening Unit Pelaksana Kegiatan Dinas (UPKD), yang terdiri atas unsur dinas kesehatan, dinas pendidikan, dan dinas pekerjaan umum. Secara umum ada dua bentuk kegiatan yang dilaksanakan, yaitu kegiatan swakelola dan kegiatan kontraktual. Anggaran SPADA dialokasikan sebagai Dana Operasional Kegiatan (DOK) untuk proses musyawarah perencanaan dan musyawarah pendanaan. Sedangkan Dana Alokasi Kabupaten (DAK) disalurkan UPKDUPKD untuk membiayai pelaksanaan kegiatan swakelola serta kegiatan pihak ketiga atau kontraktual hasil musyawarah perencanaan dan musyawarah pendanaan. Sumber dana program SPADA berasal dari MDF yang dialokasikan melalui APBN, juga dari APBD provinsi dan APBD kabupaten. Anggaran daerah ini disebut dana Pendamping Administrasi Program (PAP). PAP digunakan untuk operasional Tim Koordinasi (sekretariat) pada tahap sosialisasi, peningkatan kapasitas, proses perencanaan, monitoring, dan supervisi.

Bagian 3. Mendongkrak Kinerja Usai Bencana

pembangunan yang partisipatif, transparan, dan akuntabel sesuai dengan kebutuhan mereka bersama dengan Pemda. Dengan segala kerumitan pelaksanaannya, keterlibatan masyarakat menjadi keharusan pada program ini.

39

Gambar 3.2. Skema Pengelolaan Program SPADA

KELEMBAGAAN: Meletakkan Fondasi Penata Kelola

M-Kab Workshop/ Sosialisasi

M-Kab (Pemeringkatan Kab)

Desain & RAB

M-Kab ( Pendanaan Kab)

Pencairan & Pendanaan

M-Kab ( Pertanggungjawaban)

Sosialisasi/ Konsultasi dalam MAD

Kab

Forum Swasta MAD (Kec. Non P2DTK)

Pengadaan/ Pelelangan Pencairan Dana dan Pelaksanaan

Kajian Teknis Kabupaten

(Sosialisasi)

MD

Desain & RAB

(Pendanaan Kecamatan)

MAD

(Pertanggungjawaban)

MD/MAD

40

Kec

Kajian Teknis Kecamatan

(Pemeringkatan)

MAD

Musyawarah Pemuda

Pembentukan TPK

(Sosialisasi)

MD

(Penetapan Kebutuhan)

MD

Sosialisasi/ Konsultasi dalam MD

Desa

Identi kasi Masalah dan Kebutuhan

Alokasi dana PAP, yang disyaratkan minimal 0,5 persen dari alokasi dana program ini, tidak sama jumlahnya di setiap kabupaten, tergantung populasi penduduknya. Penggunaan masingmasing anggaran ini sesuai dengan peraturan dan mekanisme pemakaiannya. Dari skema pengelolaan program SPADA, terlihat mekanisme yang begitu rumit (Gambar 3.2). Selama SPADA BRR berjalan sejak 2005, banyak lontaran kekecewaan terdengar dari masyarakat. Mereka menipu saja. Untuk proyek kecil SPADA diajak rapat berulang kali, sementara proyek bernilai miliaran rupiah dilaksanakan diamdiam, begitu sindiran pedas seorang peserta musyawarah kabupaten di Pidie, pertengahan 2008. Mereka juga kecewa terhadap kelambatan kemajuan pelaksanaan pembangunan di lapangan. Gambar 3.3 menunjukkan pergerakan realisasi SPADA 2007 (Siklus I) yang dimulai dari sosialisasi sampai pencairan DAK tahap pertama dan sudah melampaui dua periode tahun anggaran serta diluncurkan menjadi DIPA 2008. Realisasi anggaran perencanaan (DOK) mencapai 96 persen dari pagu DIPA 2007 yang bernilai Rp 2 miliar, sementara pencairan DAK Siklus I hingga akhir Desember 2008 baru Rp 41 miliar dari pagu Rp 48 miliar. Realisasi Tahun Anggaran 2008 (Siklus II) hanya Rp 20,7 miliar dari pagu Rp 95 miliar. Anggaran Siklus II mulai ditahan pencairannya sejak turun kebijakan soft closing dan cut off program SPADA pada 22 Oktober 2008. Kebijakan itu segera diambil BRR setelah mencermati analisis situasi dari berbagai sisi.

Gambar 3.3. Skema Pergerakan SPADA BRR NADNias

Pengadaan Konsultan 1 Juli-12 Sept 2006 Tahun Anggaran 2006 Setting Kelembagaan

Regulasi

Musyawarah Perencanaan Mei 2007-Maret 2008 Tahun Anggaran 2007

Pelaksanaan Kegiatan April 2008-Desember 2008 Tahun Anggaran 2008 Soft Closed Program Okt 2008

2009Kesinambungan oleh KPDT

- Grant Agreement - Perdirjen Anggaran

BRR NAD-Nias Cut O BRR-KPDT 31 Des 2008

Ketika itu, delapan KMKab di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur serta seorang Konsultan Manajemen Provinsi (KMProv) mengundurkan diri. Fenomena ini menimbulkan kekosongan konsultan di sejumlah kabupaten. Hengkangnya para konsultan ini disebabkan oleh tidak adanya ikatan kontrak kerja yang legal dari KPDT. Perusahaan yang digandeng KPDT untuk membiayai operasional para konsultan tidak mampu menyalurkan dana dengan lancar dan tepat waktu. Alhasil, gaji para konsultan tersendat, kantor habis masa kontraknya, dan perangkat kerja terpaksa diboyong ke rumah. Biaya telepon, faksimile, dan Internet menunggak. Kondisi ini membuat KMKab lumpuh dan berdampak negatif pada penyelesaian kegiatan di lapangan. Penyelesaian 85 paket swakelola dan 77 paket kontraktual masih di bawah 50 persen dari 302 paket yang menyebar di 17 kabupaten. Padahal sisa waktu hingga tahun anggaran berakhir hanya tinggal kurang dari dua bulan lagi kala itu. Bila kegiatan Siklus II diteruskan, para pelaku, yaitu Satker, PPK, UPKD, dan konsultan, tidak berfokus menuntaskan proyekproyek yang sedang dikerjakan, dan semua terancam terbengkalai. Risiko ini akan minimal bila Siklus II ditahan pelaksanaannya untuk diteruskan KPDT pada Tahun Anggaran 2009. Selain itu, Satker SPADA harus mempertanggungjawabkan realisasi anggaran DOKyang sempat disorot Bank Duniadan DAK secara transparan dan akuntabel. BRR lantas memotivasi Satker dan PPK di semua kabupaten supa