seri buku brr - buku 11 - pendidikan kesehatan dan peran pe

Upload: nur-ul

Post on 19-Jul-2015

267 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

1

PENDIDIKAN KESEHATAN PERAN PEREMPUANMenyiapkan Generasi Bermutu

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NADNIAS (BRR NADNIAS) 16 April 2005 16 April 2009

Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62651636666 Fax. +62651637777 www.eacehnias.org know.brr.go.id Pengarah Penggagas Editor

Kantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias, Indonesia, 22815 Telp. +6263922848 Fax. +6263922035

Kantor Perwakilan Jakarta Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru Jakarta Selatan Indonesia, 12110 Telp. +62217254750 Fax. +62217221570

: Kuntoro Mangkusubroto : Bima Haria Wibisana Cut Cayarani Bitai : Agus S Riyanto Cendrawati Suhartono (Koordinator) Margaret Agusta (Kepala) : Suhardi Soedjono : Arabiyani Abubakar Eva Fitrina Ita Fatia Nadia Jamaluddin Idris Juniawan Priyono Langit Wahyu L. Nur Aisyah Usman Syafiq Hasyim Warqah Helmi : Margaret Agusta : Linda Hollands : Tjandra Kerton

Fotografi Desain Grafis

: Arif Ariadi Bodi Chandra : Bobby Haryanto (Kepala) Eko Punto Pambudi

Editor Bahasa Penulis

Penyelaras Akhir : Intan Kencana Dewi Maggy Horhoruw Ricky Sugiarto (Kepala) Rudiyanto Vika Octavia

Alih bahasa ke Inggris Editor Editor Bahasa Penerjemah

Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF) melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project

ISBN 9786028199421

Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005. Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porakporanda kini ramai kembali seiring dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang selamat meski telah kehilangan hampir segalanya. Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan Nias. Berdasarkan hal tersebut, melalui halamanhalaman yang ada di dalam buku ini, BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang menyatukan dunia.

Saya bangga, kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran dengan negaranegara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upayaupaya serupa, baik di dalam maupun di luar negeri.Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009 tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learned di Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009

Proses belajarmengajar di SMP Negeri 1 Calang, Aceh Jaya, 5 Agustus 2006. Per akhir masa tugas BRR di 16 April 2009, dari 3.415 unit gedung sekolah di Aceh dan Nias yang rusak/hancur, telah diperbaiki/dibangun sebanyak 1.759 unit. Meski sekilas seolah belum memenuhi sasaran, sekolahsekolah baru tersebut dibangun dengan kapasitas kelas yang lebih besar sehingga akumulasi jumlah kelas yang dibangun justru lebih dari dua kali lipat yang ada sebelumnya. Foto: BRR/Arif Ariadi

Daftar isiPendahuluan Bagian 1. Dari Konflik ke BencanaTsunami Melumat Segalanya Kesigapan di Masa Tanggap Darurat Menata Ulang Pendidikan di Aceh Membedah Kebutuhan Pelayanan Kesehatan Memperkokoh Kiprah Para Inong

viii 16 9

Bagian 2. Membuka Ruang Bagi Pembaruan

1919 23 25

Bagian 3. Meraih MimpiMimpi Rehabilitasi dan RekonstruksiMemutar Kembali Roda Pendidikan Merombak dan Meningkatkan Pelayanan Kesehatan Mengukuhkan Peran Perempuan Aceh

31

31 44 57

Bagian 4. Fajar Merekah di Serambi Mekkah Catatan Daftar Singkatan

73 78 79

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

Pendahuluantiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, Sang Saka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga dunia tercengang, pilu. Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa jiwa dan saranaprasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib terseret ombak. Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah jinak selama lebih dari seribu tahun. Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600an kilometer patahan dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda. Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat.

viii

SELAMA

Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulaupulau sekitarnya hingga 6 kilometer ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000an orang mendadak berstatus tunakarya. Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195 rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya. Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecilmenengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah. Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue. Dunia semakin tercengang. Tangantangan dari segala penjuru dunia terulur untuk membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar. Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handaitaulan dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik. Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan daerah pada masa depan. Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan AcehNias yang dilandaskan pada

Pendahuluan

ix

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun AcehNias secara lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional. Pemulihan AcehNias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap program pemulihan. Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya dan teladan bagi kerja sama internasional. Bank Dunia juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat kepemimpinan efektif dari Pemerintah. Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia, tak terkecuali dalam hal kebijakan dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR, telah menggugah kepercayaan para donor, baik individu maupun lembaga, serta komunitas internasional. Tanpa kerja sama masyarakat internasional, kondisi Aceh dan Nias yang porakporanda itu mustahil berbalik menjadi lebih baik seperti saat ini. Guna mengabadikan capaian kerja kemanusiaan tersebut, BRR menyusun Seri Buku BRR. Kelima belas buku yang terkandung di dalamnya memerikan proses, tantangan, kendala, solusi, keberhasilan, dan pelajaran yang dituai pada sepanjang pelaksanaan program pemulihan AcehNias. Upaya menerbitkannya diikhtiarkan untuk menangkap dan melestarikan inti pengalaman yang ada serta mengajukan diri sebagai salah satu referensi bagi program penanganan dan penanggulangan bencana di seluruh dunia. Untuk lebih mendesakkan artipentingnya, buku bertajuk Menyiapkan Generasi Bermutu ini menceritakan bagaimana bidang pendidikan, kesehatan, dan peran perempuan telah menjadi simpul penting sebagai penjamin perkembangan masyarakat ke arah yang berkesinambungan dan bermartabat. Dengan tujuan menciptakan generasi masa depan yang berkualitas, penanganan pemulihan sektor ini menjadi kebutuhan dasar, sehingga terbentuk generasi muda yang akan menjadi motor penggerak utama masyarakatnya.

x

Capaian 4 TahunRehabilitasi dan Rekonstruksi635.384 127.720orang kehilangan tempat tinggal orang meninggal dan 93.285 orang hilang usaha kecil menengah (UKM) lumpuh

104.500 155.182 195.726

tenaga kerja dilatih UKM menerima bantuan

rumah rusak atau hancur hektare lahan pertanian hancur guru meninggal kapal nelayan hancur

139.195 140.304 73.869 69.979

rumah permanen dibangun hektare lahan pertanian direhabilitasi guru dilatih kapal nelayan dibangun atau dibagikan sarana ibadah dibangun atau diperbaiki kilometer jalan dibangun sekolah dibangun sarana kesehatan dibangun bangunan pemerintah dibangun jembatan dibangun pelabuhan dibangun bandara atau airstrip dibangun

1.927 39.663

13.828 7.109

sarana ibadah rusak kilometer jalan rusak sekolah rusak

1.089 3.781

2.618 3.696

3.415 1.759

sarana kesehatan rusak bangunan pemerintah rusak jembatan rusak pelabuhan rusak bandara atau airstrip rusak

517 1.115

669 996

119 363 22 23

8 13

Dari Konflik ke Bencanategas dan lugas, Kalau terjadi kontak senjata, jangan panik! Bila ada yang mencurigakan, langsung tiarap! Demi keselamatan jiwa, siapa pun yang mendapat perintah ini akan segera tunduk dan patuh. Namun perintah Andi Gunawan, sersan militer di Batalyon 112, Alue Peunyaring, Meulaboh, ini tidak ditujukan kepada anak buahnya. Perintah tersebut ia lontarkan kepada para siswa dan guru sekolah di sana. Tak lazim, memang. Namun beginilah Aceh, ranah yang identik dengan perjuangan sekaligus penderitaan akibat konflik senjata dalam tiga dekade terakhir. Demi keselamatan jiwa para siswa dan guru di sekolahsekolah, perintah seperti di atas kerap dilontarkan para komandan militer di daerah. Ngerilah kami. Hampir tiap hari selalu diancam pihakpihak yang bertikai, ucap seorang ibu yang pernah menjadi guru di daerah Aceh Singkil, lirih. Kasus penembakan terhadap guru dan mahasiswa memang kerap terjadi. Dalam konflik bersenjata 19982003, sekitar 40 guru dan sembilan siswa tewas tertembak. Pendidikan di Aceh semakin buram ketika terjadi penembakan atas Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) ArRaniry Prof. Dr. Safwan Idris, M.A., pada September 2000, dan Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Prof. Dr. Dayan Dawood, setahun berikutnya. Konflik bersenjata juga mengakibatkan dampak traumatis yang mendalam. Banyak pelajar kehilangan citacita akibat dirampas untuk menjadi tentara anak. Ironisnya,Sejumlah siswa memasuki sekolah darurat di Krueng Raya, Aceh Besar, 31 Agustus 2005. Foto: BRR/Bodi CH

PERINTAHNYA

Bagian 1. Dari Konflik ke Bencana

1

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

sebelum tsunami, murid di Aceh bahkan telah akrab dengan sekolah darurat alias sekolah tenda dari bahan terpal sebagai pengganti ruang kelas yang dibakar. Data Dinas Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mencatat, dari 5.745 bangunan sekolah yang ada, sekitar 1.410 di antaranya dibakar sejak 1998 hingga 2003. Kondisi tersebut bertolak belakang dengan kejayaan pendidikan Aceh sebelum masa konflik bersenjata. Berabadabad sebelum masa penjajahan dan kemerdekaan Republik Indonesia, pendidikan di Aceh sudah sangat maju. Melalui sistem pendidikan berbasis agama Islam, lembagalembaga pendidikan seperti dayah mampu melahirkan cendekiawan yang disegani di Asia Tenggara. Sejak Islam menapak di Aceh pada 800 M hingga 1903, tak ada lembaga pendidikan selain dayah.1 Dayah atau pesantren menjadi lembaga pendidikan bagi rakyat Aceh di masa lalu dan menghasilkan lulusan berkualitas. Alumni dayah menduduki posisi penting di Aceh: raja, menteri, panglima militer, ulama, ahli perkapalan, ahli pertanian, ahli kedokteran, dan lainnya.Tabel 1.1. Infrastruktur Pendidikan, Sumber Daya Manusia, dan Siswa yang Hilang Selama Konflik 19982003

2

Keterangan Sekolah Laboratorium Rumah guru Perpustakaan Siswa Guru

Konflik I (19981999) 601 162 89 520

Konflik II (20022003) 547 158 63 301

Total 1148 320 152 821

Pemikiran para ulama Aceh telah memengaruhi pemikiran Islam di Asia Tenggara dan membuat Aceh dijuluki Serambi Mekkah. Dari sinilah lahir beberapa pemikir besar, seperti Abd urRauf asSing kili, Hamzah Fansuri, Syams udDin AsSu matrani, dan Nur udDin arRaniri.

Semboyan masyarakat Aceh adat bak Po 5 4 9 Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak 15 25 40 Laksamana (adat bersumber dari Sultan, Sumber: Dinas Pendidikan Provinsi hukum dari Ulama, qanun dari Putri Pahang, Nanggroe Aceh Darussalam dan kebiasaan dari Laksamana) mencer minkan semangat hidup yang dapat diartikulasikan ke dalam perspektif modern sebagai pendorong kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berpemerintahan yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun, harus diakui, pembangunan pendidikan di Aceh belum sepenuhnya mengacu pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat. Meskipun Qanun Nomor 23 Tahun 2002 memberikan fondasi hukum agar sistem pendidikan di Aceh berlandaskan ajaran Islam dan nilainilai sosiokultural masyarakat Aceh, dalam praktik belum sepenuhnya terlaksana.

Pasang Surut Pendidikan di Serambi Mekkahmulai tersiar pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa alam, yang dikenal sebagai Sultan Iskandar Muda (16071636). Saat itu, Kesultanan aceh menjadi pusat pendidikan. Mahasiswa dan pengajar datang dari berbagai penjuru dunia, seperti Kesultanan Turki, Iran, dan India.

KeMajUan pendidikan di aceh

Peran ulama sebatas mengajarkan agama di dayahdayah. Meski membawa kemunduran dalam sejarah pendidikan di aceh, perlu dicatat, pendidikan kolonial berperan pula dalam melahirkan pejuangpejuang yang berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya, di awal pembentukan Provinsi Daerah Istimewa aceh, tepatnya tahun 1957, para pemimpin aceh, seperti Gubernur ali Hasjmy, Penguasa Perang Letkol H. Syamaun Gaharu, dan Mayor T. Hamzah Bendahara, serta cendekiawan, ulama, dan para politisi lain sepakat untuk meletakkan dasar pembangunan pendidikan di aceh. Pada 2 September 1959, Presiden Soekarno meresmikan Kota Pelajar Mahasiswa (Kopelma) Darussalam yang diiringi pembukaan selubung Tugu Darussalam. Kini tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Daerah nanggroe aceh Darussalam dan diperingati setiap tahun. Babak baru pendidikan aceh semasa konflik dimulai ketika Pemerintah menerbitkan UndangUndang nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa aceh sebagai Provinsi nanggroe aceh Darussalam. jika sebelumnya masalah pendidikan merupakan kewenangan penuh Pemerintah Pusat, dengan undangundang ini masyarakat aceh diberi kewenangan khusus mengelola pendidikan sendiri. Landasan hukum tersebut mendorong masyarakat aceh menghidupkan kembali kekhasannya yang bersumber pada pandangan hidup, karakteristik sosial, dan kemasyarakatan yang berlandaskan ajaran Islam.

Bukti kemegahan kerajaan aceh Darussalam jameun dilee juga dapat disimak dari pengakuan seorang warga Prancis, Beaulieu, yang berkunjung ke aceh pada abad ke17. Katanya, waktu itu masyarakat aceh telah mengenal huruf. Bahkan, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, di aceh telah berdiri sebuah institusi pendidikan tinggi yang bernama jamiah Baiturrahman. Pendidikan tinggi ini berada di Masjid Baiturrahman, masjid terbesar kebanggaan rakyat aceh. Menariknya, jamiah telah menggabungkan ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama. ada 17 fakultas (daar) di jamiah Baiturrahman kala itu. Kemerosotan pendidikan aceh mulai terjadi ketika pemerintah kolonial Belanda mendarat di aceh pada 26 Maret 1873. Gamponggampong dihancurkan, bergudanggudang kitab dibakar. namun upaya itu gagal mematikan semangat juang masyarakat aceh, sampai kemudian Snouck Hurgronje, cendekiawan Belanda, merekomendasikan pembatasan pendidikan di aceh untuk mengurangi pengaruh ulama. Sekolahsekolah umum lantas didirikan tanpa muatan agama, sementara dayah hanya boleh mengajarkan agama tanpa mengajarkan ilmu pemerintahan dan pelajaran lain.

Bagian 1. Dari Konflik ke Bencana

3

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

Selain itu, amendemen UndangUndang Dasar 1945 dan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengamanahkan agar dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan pendidikan dasar tanpa memungut biaya, masih terganjal di Aceh. Ditambah rendahnya kualitas pendidikan lantaran belum meratanya sebaran pendidik, keterbatasan jumlah mereka, dan tingkat kesejahteraan mereka yang masih belum memadai, semuanya berbuntut pada kurang lancarnya proses belajarmengajar. Trauma mendalam akibat konflik internal tidak hanya terjadi di dunia pendidikan. Warga Aceh banyak yang mengungsi dan hidup jauh dari sehat selama konflik bersenjata berlangsung. Hingga pertengahan Juni 2003, diperkirakan jumlah pengungsi mencapai 100.000 lebih. Mereka tersebar di 85 titik pengungsian di Kabupaten Bireuen, Aceh Utara, Aceh Selatan, Aceh Timur, Aceh Besar, dan Pidie. Kebanyakan tempat pengungsian tidak memiliki tim medis. Akibatnya, warga pengungsi harus ke puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, ungkap seorang dokter jaga puskesmas yang ditempatkan di Kecamatan Bireuen. Namun puskesmas berjarak lumayan jauh dari tempat pengungsian. Apalagi masyarakat takut keluar dari tempat pengungsian untuk mendatangi puskesmas. Begitu pula sebaliknya. Para petugas kesehatan tidak bisa menjangkau tempattempat terpencil karena alasan keselamatan paramedis. Alhasil, penduduk yang tinggal di pedesaan harus berjalan kaki sejauh 15 kilometer untuk mencapai pos kesehatan terdekat. Kondisi ini membuat Pemerintah dan Pemerintah Daerah lebih berkonsentrasi melayani kesehatan bagi korban konflik ketimbang membangun sistem dan sarana kesehatan. Bayangkan saja, sebelum tsunami, provinsi berpenduduk lima juta jiwa ini hanya memiliki 32 rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta, ditambah empat unit laboratorium kesehatan. Jumlah puskesmas pun sangat terbatas, hanya 259 unit, meskipun kantor dinas kesehatan tersebar di hampir semua kabupaten. Memang ada puskesmas pembantu, pos pelayanan terpadu (posyandu), dan pondok bersalin desa (polindes), tetapi berbagai fasilitas kesehatan tersebut masih belum bisa menjangkau seluruh Aceh. Akibat minimnya akses masyarakat terhadap layanan kesehatan, hampir seperempat penduduk Aceh mengalami masalah kesehatan. Jumlah ini lebih tinggi daripada rerata nasional. Sejak 1999, angka ini cenderung meningkat terus. Pada 1999, separuh lebih penduduk Aceh tidak memiliki akses pada air bersih, sementara sepertiga dari total keluarga di Aceh tidak memiliki sanitasi. Pada 2002, masih banyak anak berusia di bawah lima tahun (balita) di Aceh yang mengidap kekurangan gizi. Angkanya jauh lebih besar ketimbang angka nasional, yang tercatat 25,8 persen.

4

Kejayaan Perempuan Aceh Masa Lampauakan sempurna bila telah mampu menjadi ibu dan istri yang baik bagi anak dan suaminya. Demikian pula di aceh. Perempuan sebagai ibu yang bertugas mendidik anak telah terpatri dalam budaya aceh secara turuntemurun. Secara budaya, perempuan aceh masih ditempatkan sebagai makhluk kedua. Perempuan masih dibatasi dalam ranah domestik, karena secara mental dan fisik perempuan dianggap lebih lemah dibanding kaum lakilaki. namun, sejarah mencatat, perempuan pernah menduduki posisi penting dan turut menentukan kemajuan Kerajaan Melayu aceh. ada beberapa nama pemimpin perempuan yang menjadi raja, yakni Ratu nihrasyiah Rawangsa Khadiyu di Samudra Pasai (14001427) serta empat sultanah yang menjadi raja di Kerajaan aceh pascaRaja Iskandar Muda. empat sultanah yang pernah berkuasa di aceh merupakan bukti perempuan aceh pernah memimpin secara politik. Ratu pertama, Sultanah Safiatuddin, bergelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiat udDin Taj ulalam Syah johan Berdaulat Dzil ulallahi fi alalam binti almarhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota alam Syah, yang kerap dipanggil Ratu Safiat udDin, selama kurun waktu 35 tahun, terhitung sejak 1641 hingga 1675, membentuk barisan perempuan pengawal istana yang turut berperang dalam Perang Malaka pada 1639, dan meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawanpahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan.Bagian 1. Dari Konflik ke Bencana

DI dalam budaya Melayu, perempuan

Sejak masa kepemimpinan Ratu aceh kedua, Ratu nurul alam naqiat udDin (16751678), sampai era kepemimpinan Ratu Zakiat udDin sebagai Ratu aceh ketiga (16781688), aceh menghadapi tantangan lebih berat, baik dalam menghadapi ancaman dari kolonial (Belanda, Inggris, dan Portugis) maupun menghadapi konflik internal yang terjadi. Pemberontakan terhadap kerajaan berlanjut pada kepemimpinan Ratu Kamalat Syah (16881699) sebagai Ratu aceh keempat. Ulama Wujudiyah dengan lantang menolak kepemimpinan ratu, yang dikatakan telah menyalahi kodrat perempuan. Para ulama Wujudiyah berpandangan bahwa hukum Islam tidak membolehkan perempuan menjadi pemimpin bagi lakilaki. Hal ini mengakibatkan terjadinya perebutan kekuasaan. Posisi perempuan akhirnya dikalahkan hukum agama berdasarkan tafsir para ulama yang melarang perempuan memasuki ranah publik, termasuk ranah politik. Meskipun kepemimpinan empat sultanah berakhir, itu bukan berarti perempuan aceh tidak lagi tampil sebagai sosok pahlawan bagi negerinya. Kita mengenal beberapa tokoh, seperti Tjoet nja Dhien, Tjoet Meutia, Laksamana Keumalahayati, dan Pocut Baren, yang turut berjuang bagi Tanah Rencong. Kehadiran mereka sebagai pahlawan sangat diakui dan dibanggakan masyarakat aceh.

5

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

6

Belajar membaca kitab kuning di Yayasan Pendidikan Islam Sulthan Malikush Shaleh, Gedhong, Lhokseumawe, 29 November 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Kondisi serupa tak jauh berbeda dengan peran perempuan di Aceh. Sejarah mencatat kehebatan peran perempuan dalam perjuangan melawan penjajahan. Namun, seiring dengan waktu, kemasyhuran kaum perempuan tinggal catatan sejarah. Fenomena ini akibat peran perempuan tidak mendapat dukungan secara sosial, budaya, dan politik. Tragisnya, konflik berkepanjangan juga telah menghancurkan semua harapan dan mimpi perempuan dan anakanak Aceh yang berada dalam situasi sulit dan terpinggirkan. Peran perempuan Aceh berubah tatkala pecah konflik bersenjata. Perempuan harus menjadi kepala keluarga, menjalankan peran kaum lelaki, menjadi korban konflik, serta harus bertanggung jawab meneruskan pekerjaan bertani dan berkebun. Data Komisi Nasional Perempuan Indonesia mencatat, akibat konflik 19892005, terdapat 103 kasus pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan, dalam bentuk pemerkosaan, penyiksaan, pelecehan seksual, dan bentuk kekerasan lain. Selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir, kedudukan perempuan Aceh mengalami masa kelam dan meninggalkan luka. Kepedihan itu bertambah dalam ketika tsunami mengempas ke pesisir Aceh, menerabas ke daratan.

Tsunami Melumat SegalanyaGempa bumi dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 benarbenar menghancurkan pendidikan di Aceh. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlah lembaga pendidikan formal yang rusak sekitar 1.755 unit, terdiri atas sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi. Sedangkan jumlah lembaga pendidikan nonformal, seperti lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD), pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), lembaga kursus, madrasah diniyah, dan taman pendidikan AlQuran (TPA), yang rusak diperkirakan mencapai 2.206 unit. Kerusakan tidak hanya terjadi pada bangunan, tapi juga pada peralatan dan perabotnya. Materi pengajaran dan peralatan pendidikan, seperti buku pelajaran, buku perpustakaan, dan alat peraga pendidikan, tak luput dari terkaman bencana. Tsunami juga menyeret banyak siswa dan pengajar Aceh. Jumlah pendidik dan tenaga kependidikan yang meninggal mencapai 2.500 orang, sedangkan siswa sekolah dan mahasiswa yang meninggal sekitar 40.900 orang. Dari jumlah guru yang meninggal atau hilang, terdapat 450 orang tenaga pendidik yang pernah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan perguruan tinggi dan pusat pelatihan di Indonesia atau di luar negeri dengan dana Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

Tabel 1.2. Dampak Gempa Bumi dan Tsunami terhadap Lembaga Pendidikan di Provinsi NAD

Lembaga Pendidikan TK/ Raudhatul atfhal (Ra) SD/ Madrasah Ibtidaiyah (MI) SMP/MTsn SMa/SMK/Ma PT/PTa SLB Lembaga PaUD PKBM Lembaga Kursus Madrasah Diniyah Pondok Pesantren/Dayah TPa SKB BPKB MPD

Jumlah keseluruhan 820 4.428 976 528 Tidak Tercatat 8 Tidak Tercatat Tidak Tercatat Tidak Tercatat 201 877 Tidak Tercatat Tidak Tercatat Tidak Tercatat Tidak Tercatat

Jumlah yang rusak akibat bencana 115 261 175 18 5 17 44 9 59 174 1.871 10 1 4 Bagian 1. Dari Konflik ke Bencana 1.012

7

Sumber: Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Bidang Agama, Sosbud, dan SDM (2005) Tabel 1.3. Dampak Gempa Bumi dan Tsunami terhadap Fasilitas Kesehatan di Provinsi NAD

Fasilitas Kesehatan Rumah Sakit Puskesmas Puskesmas Pembantu Polindes Kantor Dinas Kesehatan Laboratorium Kesehatan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Balai Besar POM

Hancur 32 259 830 2.283 21 4 3 3

Rusak 9 64 174 700 5 1 3 1

Runtuhnya pendidikan di Aceh semakin lengkap karena sekitar 3.000 orang guru dan pegawai pendidikan kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Diperkirakan pula sebanyak 46.000 siswa mengungsi, sementara kegiatan belajar hampir 150.000 siswa dari berbagai tingkatan terganggu.

Sumber: Rencana Strategis Bidang Kesehatan BRR (2006), Rencana Induk Bidang Pendidikan dan Kesehatan (2005)

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

Seakan tak cukup penderitaan menimpa, gempa dan terjangan ombak tsunami juga menggerus prasarana dan sarana kesehatan di Aceh. Sebanyak tujuh unit rumah sakit pemerintah dan dua unit rumah sakit swasta rusak parah, sementara 234 unit puskesmas dan puskesmas pembantu hancur. Sarana kesehatan yang rusak adalah Rumah Sakit Umum (RSU) Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, RS Jiwa Banda Aceh, RS Fakinah Banda Aceh, RS Cut Nyak Dhien Meulaboh, RS Lhokseumawe, RS Sigli, RS Calang, dan RS Meuraxa.2 Adapun sarana penunjang kesehatan lain, seperti Balai Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) di Banda Aceh, tidak dapat berfungsi optimal karena mengalami kerusakan fisik dan peralatan. Kantor Dinas Kesehatan Provinsi NAD dan Kantor Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh juga mengalami kerusakan. Kondisi fisik dan peralatan Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh ceh Barat rusak total, sedangkan Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue rusak sedang. Gudang farmasi dan gudang vaksin di Provinsi NAD, Kota Banda Aceh, dan Aceh Jaya rusak berat, termasuk berbagai alat yang berguna untuk memastikan keawetan obat, seperti cold chain, kulkas, dan cold box. Sedangkan gudang farmasi di Kabupaten Simeulue mengalami kerusakan ringan. Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Banda Aceh juga mengalami kerusakan total pada dua unit kantor operasionalnya, sementara KKP Kota Lhokseumawe mengalami kerusakan ringan. Kerusakan terjadi pula pada institusi pendidikan kesehatan seperti Politeknik Kesehatan milik Departemen Kesehatan, yang mengalami kerusakan total, termasuk laboratorium dan perpustakaannya. Program Studi Keperawatan di Meulaboh juga mengalami kerusakan fisik hampir 80 persen, sementara peralatan pendukung kegiatan belajarnya rusak berat. Selain memorakporandakan sarana dan prasarana kesehatan, tsunami menghilangkan banyak tenaga kesehatan. Hingga Maret 2005, jumlah korban di bidang kesehatan tercatat 245 orang meninggal dan 413 orang hilang, sementara 16 pegawai Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) meninggal atau hilang. Kondisi yang memprihatinkan tersebut membuat Departemen Kesehatan mengirimkan tim asistensi untuk rekonstruksi infrastruktur sistem kesehatan di Aceh. Tim asistensi ini bertugas kuranglebih tiga bulan. Di samping data kerusakan fasilitas pendidikan dan kesehatan, terselip fakta yang sulit dimungkiri. Menurut World Vision, lembaga dunia di bidang pembangunan dan penyuluhan khusus masalah anak, keluarga, dan komunitas dalam mengentaskan rakyat miskin, diperkirakan 60 persen korban meninggal akibat tsunami adalah perempuan. Temuan ini tak jauh berbeda dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa di wilayahwilayah yang terkena dampak tsunami, jumlah penduduk perempuan justru lebih sedikit daripada lakilaki.

8

Kesigapan di Masa Tanggap DaruratTiga bulan pertama, penanganan kesehatan korban bencana memang menjadi prioritas utama. Banyak masalah kesehatan harus segera ditangani dengan memberikan pelayanan kesehatan statis dan bergerak di 726 lokasi pengungsian yang tersebar di 21 kabupaten/kota di Provinsi NAD. Bidang kesehatan dalam masa tanggap darurat seharusnya menjadi garda depan, tetapi justru dijumpai kendala di awal masa pemulihan lantaran banyak tenaga kesehatan yang jadi korban dan banyak sarana kesehatan yang rusak. Untunglah tenaga relawan medis dari seluruh penjuru dunia membanjiri Tanah Rencong. Bisa dikatakan, inilah mobilisasi tenaga medis terbesar di dunia. Sebulan setelah bencana, jumlah total relawan medis yang datang membantu Aceh mencapai 3.298 orang. Mereka terdiri atas dokter spesialis, dokter umum, perawat, tenaga kesehatan lingkungan, ahli gizi, bidan, tenaga farmasi, dan tenaga kesehatan masyarakat. Hampir 800 orang di antaranya adalah relawan medis asing dari 27 negara, seperti Australia, Singapura, Taiwan, Jepang, Malaysia, Prancis, Jerman, Brunei Darussalam, dan Spanyol. Para relawan medis lantas membangun rumah sakit lapangan, yang banyak berasal dari uluran tangan internasional, terutama dari korps kesehatan dan korps zeni militer negara asing. Mereka datang tidak membawa senjata, tetapi membawa perlengkapan kesehatan atau alatalat penanggulangan bencana. Korps Kesehatan Jerman, misalnya, yang terdiri atas sekitar 150 relawan, bekerja sama dengan pasukan Australia membuat rumah sakit darurat di halaman depan RSU Zainoel Abidin. Jerman juga mengirimkan kapal perang FGS Berlin, yang biasa dimanfaatkan untuk mengobati anggota pasukan mereka yang membutuhkan perawatan serius. Sementara itu, Rusia turut andil membangun rumah sakit lengkap di lapangan sepak bola Sekolah Calon Tamtama Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat di Mata Ie, Ketapang Dua, Banda Aceh. Dibutuhkan 12 kali penerbangan untuk mengirim peralatan dan logistik perakitan rumah sakit yang dilengkapi 150 personel dokter, paramedis, dan tim pendukungnya itu. Ini rumah sakit terlengkap. Semua fasilitas ada, dari bedah mata hingga perawatan gigi. Kami sangat bersyukur bisa membantu di sini, kata Atase Pertahanan Rusia Kapten (AL) Vitaly Geraschenko.

Bagian 1. Dari Konflik ke Bencana

Bagi kaum perempuan Aceh yang luput dari bencana, irama hidup tak lagi sama. Kehilangan suami, anak, dan sanak keluarga telah menjadi awal derita bagi mereka. Kematian atau cacat yang dialami kaum pria pencari nafkah memaksa kaum perempuan menerima dwiperan sekaligus: sebagai pengurus utama keluarga dan pencari nafkah keluarga. Kondisi semakin runyam ketika mereka susah mencari pekerjaan yang layak dalam situasi pascabencana lantaran kurang keterampilan dan pengalaman kerja.

9

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

10

Prioritas BRR di Bidang Kesehatan dalam Masa Tanggap Darurat Menyelamatkan para korban bencana yang masih hidup dengan menyediakan pelayanan kesehatan darurat dan pelayanan kesehatan bagi korban yang mengalami trauma. Memulihkan sistem kesehatan dengan strategi memobilisasi tenaga kesehatan yang ada, baik tenaga dari daerahdaerah lain di Indonesia maupun para relawan yang datang ke aceh. Mencegah penyebaran wabah penyakit dengan melakukan penilaian kebutuhan cepat, imunisasi campak bagi para anak balita, penyediaan air bersih, dan penyemprotan disinfektan. Mencegah kekurangan gizi pada anak balita, ibu hamil dan menyusui, serta siswa sekolah dasar/ madrasah ibtidaiyah dengan pemberian paket pertolongan gizi. Bagian 1. Dari Konflik ke Bencana

11

Brunei Darussalam pun membantu memperkuat pelayanan rumah sakit lapangan Calang yang sudah dibangun Korps Marinir TNI Angkatan Laut beberapa waktu sebelumnya. Sedangkan pasukan militer Prancis membuat rumah sakit lapangan di Meulaboh, sementara Korps Kesehatan Prancis didukung dua kapal perang yang menyediakan bantuan yang dibutuhkan mereka. Tentara Pakistan membuat rumah sakit lapangan di Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Tak ketinggalan Singapura mengirim korps kesehatan untuk mengobati warga Banda Aceh dan personel pasukan tempur yang mengoperasikan berbagai pesawat helikopter mereka yang bermarkas di Pangkalan Udara Polonia dan Bandara Cut Nyak Dhien Meulaboh. Sedangkan Jepang, selain membangun klinik, mendirikan rumah sakit darurat di daerah Lam Ara dengan tendatenda. Setiap hari sedikitnya 150 warga datang untuk mendapatkan pengobatan darurat. Berbeda dengan negaranegara lain yang lebih berfokus pada penyediaan air bersih dan pelayanan kesehatan, Korea Selatan memilih berkeliling ke tempattempat pengungsian di Banda Aceh selama dua minggu untuk menyemprotkan asap antiserangga. Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya penyakit malaria, demam berdarah, dan tifus. Selain bantuan dari dunia internasional, bantuan dalam negeri pun mengalir. Bantuan itu berupa pelayanan rawat inap dan rawat jalan di sejumlah rumah sakit yang masih berfungsi, seperti RSU Zainoel Abidin, RS Siti Fakinah, RS Harapan Bunda, RS Sigli, RS Kesdam, dan RS Langsa. Relawan medis dari Makassar menjadikan RSU Zainoel Abidin sebagai pusat pelayanan kesehatan di Aceh pada masa tanggap darurat meskipun dengan sarana sangat terbatas. Bantuan kemanusiaan mengalir lintas agama. Sebuah gereja, misalnya, memberikan bantuan kemanusiaan bagi masyarakat Aceh dengan menyediakan 50 sepeda motor bagi petugas medis Dinas Kesehatan agar memudahkan mobilitas mereka dalam membantu para korban bencana di Aceh.3 Di masa tanggap darurat, Pemerintah juga mengevakuasi korban tsunami ke Medan sesuai dengan kebutuhan. Para korban selamat yang membutuhkan pelayanan kesehatan dievakuasi dengan pesawat Hercules, helikopter, kapal laut, ataupun bus untuk transportasi darat. Dua pekan setelah tsunami, hampir 2.000 pasien dewasa dan anakanak dirawat di berbagai rumah sakit di Medan, seperti RSU Pirngadi, RS Haji Adam Malik, RS Kesdam, RS TNI Lantamal Belawan, dan RS Haji. Selama masa tanggap darurat, masalah kesehatan lain mulai merebak, seperti tempattempat pengungsian yang kurang memenuhi standar kesehatan serta pasokan air bersih dan sarana mandicucikakus (MCK) yang jumlahnya tak memadai. Para pengungsi juga kekurangan bahan makanan serta mengalami penurunan gizi akibat minimnya persediaan dan tidak meratanya distribusi bahan makanan ke berbagai lokasi pengungsian.Bagian 1. Dari Konflik ke Bencana

13

Sampah sisa sapuan tsunami masih berserakan di kantor sementara Bappeda, Calang, Aceh Jaya, 7 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

14

Pemeriksaan kesehatan bagi korban tsunami di barak penyintas di Lhok Nga, Aceh Besar, 30 Agustus 2005. Foto: BRR/Bodi CH

Alhasil, risiko kekurangan gizi, sakit, dan kematian meningkat. Hal ini terutama dialami anak balita, ibu hamil, dan manusia usia lanjut. Kondisi lingkungan yang buruk diikuti dengan kekurangan gizi dapat menimbulkan sejumlah penyakit menular, seperti campak, diare, malaria, dan infeksi saluran pernapasan akut. Tim relawan bekerja keras melakukan kegiatan penanganan kesehatan lingkungan, pelaksanaan imunisasi, serta penanganan diare dan kolera. Berkat kesigapan penanganan di masa tanggap darurat, wabah penyakit urung terjadi. Namun, karena belum mahir bekerja di kawasan bencana, penanganan kesehatan pasien yang dilakukan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) kurang sempurna. Kurangnya koordinasi juga sempat mewarnai penanganan kesehatan. Beberapa tenaga medis asing, misalnya, kurang paham sebaran wilayah yang terkena tsunami, sehingga banyak yang hanya beroperasi di Kota Banda Aceh. Akibatnya, terjadi penumpukan relawan pada satu lokasi, sehingga kurang efektif. Seiring dengan waktu, koordinasi dilakukan secara nonformal di antara relawan medis. Mereka membagi peran masingmasing ke wilayah yang belum tersentuh. Mereka juga mulai membuat perencanaan rumah sakit lapangan dan rumah sakit rujukan untuk tindakan lanjut jika diperlukan.

Kelompok Pengungsi dengan Kesehatan Rawan 1. jumlah pengungsi 2. jumlah balita 3. jumlah ibu nifas 4. jumlah ibu hamil 5. Hamil dengan risiko tinggi 6. Balita gizi buruk 7. Balita gizi kurang 8. jumlah keluarga miskin 479.561 jiwa 555.307 jiwa (13,3%) 115.333 jiwa (2,7%) 50.262 jiwa (43,58%) 23.878 jiwa (4,3%) 126.054 jiwa (22,7%) 60% Bagian 1. Dari Konflik ke Bencana 111.061 jiwa (2,6%)

15

Masalah kesehatan 1. angka kematian kasar per 1.000 penduduk 2. angka kematian ibu per 100.000 Kelahiran Hidup 3. angka kematian bayi per 1.000 Kelahiran Hidup 4. Umur harapan hidup 7,5 373 41,44 67,8 tahun

Masalah lingkungan dan perilaku kesehatan Proporsi masyarakat yang mengunakan air bersih Proporsi masyarakat yang mengunakan lantai tanah Proporsi keluarga yang mempunyai kebiasaan merokok Proporsi pemeriksaan kehamilan ke dukun Proporsi tempat melakukan persalinan di rumah Proporsi penolong persalinan ke dukun Proporsi pemberian air Susu Ibu (aSI) sampai 2 tahun Proporsi Pemberian aSI eksklusif Proporsi peserta Keluarga Berencana Tingkat kepuasan pelayanan kesehatan rawat jalan Tingkat kepuasan pelayanan kesehatan rawat inap 67,0 % 10,2 % 82,4 % 10,2 % 73,6 % 21,2 % 2,7 % 18,8 % 60 % 82,9 % 72,9 %Sumber: Rencana Strategis Bidang Kesehatan BRR (2006) data Tahun 2004

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

Hal yang sama dilakukan di bidang pendidikan. Di masa tanggap darurat, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyelenggarakan pendidikan darurat dengan cara menyediakan tendatenda dan sekolahsekolah darurat. Bidang pendidikan di masa tanggap darurat diharapkan bisa menyediakan fasilitas pendidikan di wilayah hunian sementara, seperti ruang kelas, buku pelajaran, peralatan pendidikan, serta prasarana penyediaan air bersih dan sanitasi. Sedikitnya 10 LSM asing dan dalam negeri berkoordinasi dengan Depdiknas mendirikan sejumlah sekolah darurat di seluruh lokasi pengungsian dengan menampung sekitar 1.500 murid. Untuk menutupi kekurangan tenaga pengajar yang hilang atau meninggal, Pemerintah mendatangkan 1.500 guru dari Direktorat Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas bekerja selama tiga bulan, sedangkan 500 guru dari Direktorat Pendidikan Kejuruan Depdiknas dan 3.000 guru dari United Nations Childrens Fund (UNICEF) membantu pelaksanaan kegiatan belajarmengajar hingga enam bulan pascabencana.4 Mekanisme perekrutan tenaga pengajar yang diterjunkan ke daerahdaerah bencana antara lain pengiriman tenaga relawan dengan pembekalan training of trainer (TOT) selama dua pekan, guru kontrak melalui pelatihan selama dua minggu, dan mahasiswa calon guruseperti yang dilakukan Fakultas Tarbiyah IAIN ArRaniry dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unsyiah. Mekanisme pertama dan kedua lebih banyak didanai LSM, sedangkan mekanisme ketiga dibiayai BRR sebesar Rp 600 juta. Semua tenaga pengajar yang diterjunkan ke wilayah bencana dibekali kemampuan melakukan konsultasi dan penyembuhan trauma. Rapat maraton digelar setiap Jumat di kantor Dinas Pendidikan Provinsi NAD untuk melahirkan berbagai program penanganan pemulihan pendidikan di masa tanggap darurat. Hasilnya, pendidikan jangka pendek (16 bulan) diadakan di ruang belajar dan ruang pendukung guna melayani sekitar 70.000 anak sekolah (SD, SMP, SMA) di 95 titik pengungsian. Mereka ditampung di sekolah tenda yang berkapasitas 40 orang per kelas. Sekolah tenda ini memakai konsep terpadu yang mencakup tenda untuk ruang kelas, tenda ruang pendukung, tenda untuk tempat tinggal sementara guru, serta unit sanitasi dan air bersih. Sekolah tenda juga harus dekat dengan lokasi pengungsian, agar orang tua yang masih dihantui trauma kehilangan anggota keluarga tidak merasa dipisahkan dari anakanaknya. Konsep tersebut ternyata tak mudah diterapkan di lapangan. Persyaratan pendirian sekolah darurat yang aman, tertib, dan sehat tidak selaras dengan pola hidup pengungsi yang jauh dari kaidah hidup sehat. Selepas masa tanggap darurat, sebanyak 295 unit sekolah darurat didirikan BRR bersama para mitra pemulihannya. Sebanyak 49 unit di antaranya dibangun BRR pada Tahun Anggaran 2006. Sisanya, 246 unit sekolah, dibangun para mitra pemulihan BRR.

16

Pembangunan sekolahsekolah darurat ini diadakan untuk proses belajarmengajar sementara, sambil menunggu selesainya pembangunan sekolahsekolah permanen.5 Selaras dengan itu, dilakukan pembersihan fasilitas pendidikan agar dapat difungsikan kembali, perekrutan pendidik dan tenaga kependidikan lain yang bersifat sementara, termasuk pemberdayaan para relawan, penyediaan buku dan peralatan pendidikan lain, serta bimbingan dan konseling untuk membantu korban menghilangkan trauma akibat bencana. Semua penanganan di masa tanggap darurat tersebut berupaya mengembalikan napas kehidupan rakyat Aceh, terutama dalam mengenyam pendidikan dan mendapat pelayanan kesehatan yang layak. Seiring dengan berlalunya masa tanggap darurat selama tiga bulan pascabencana, BRR selaku pemegang mandat rehabilitasi dan rekonstruksi AcehNias menggulirkan programprogram lebih terarah untuk memulihkan kembali bidang pendidikan, kesehatan, dan peran perempuan.

Hampir 3 bulan pascatsunami suasana belajarmengajar di sekolah tenda SMPN 1 Sampoineit, Lhok Kruet, Aceh Jaya, 18 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Dari Konflik ke Bencana

17

Membuka Ruang Bagi Pembaruanbingkai membangun kembali menjadi lebih baik, berbagai program rehabilitasi dan rekonstruksi yang dicanangkan BRR berusaha menciptakan fondasi yang kokoh tempat kualitas hidup dan integritas ditumbuhkan. Salah satu fondasi itu meliputi bidang pendidikan, kesehatan, dan peran perempuan; ketiganya berkaitan. Pada sebagian besar masyarakat Indonesia, tak terkecuali Aceh, urusan pendidikan dan kesehatan di lingkup komunitas terkecil, yakni keluarga, banyak ditopang oleh peran kaum ibu karena sang suami sebagai tulang punggung pencari nafkah keluarga sering berada di luar rumah. Berdasarkan pertimbangan itu, BRR menyusun programprogram pemerataan pelayanan pendidikan dan peningkatan derajat kesehatan yang dijalankan secara simultan dengan kegiatan peningkatan kualitas peran perempuan.

DALAM

Menata Ulang Pendidikan di AcehTujuan rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang pendidikan adalah membuka kesempatan luas kepada masyarakat Aceh untuk memperoleh pelayanan pendidikan dan pembelajaran sepanjang hayat, serta mengembangkan sistem pendidikan Islami dalam kerangka sistem pendidikan nasional.Tatapan penuh harapan dari dua siswa SD Negeri 23 Banda Aceh, 19 Februari 2009. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Membuka Ruang Bagi Pembaruan

19

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

Sasaran Rehabilitasi dan Rekonstruksi Bidang Pendidikan di Aceh1. 2. 3. 4. 5. 6. Semua penduduk usia sekolah dapat kembali memperoleh pelayanan pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan Seluruh sarana dan prasarana pendidikan di wilayah bencana dapat berfungsi kembali Terpenuhinya kebutuhan akan pendidik dan staf pendidikan dalam jumlah dan kualitas memadai Tersedianya kurikulum pendidikan yang relevan dengan kebutuhan pembangunan daerah dan pelaksanaan syariah Islam Berfungsinya kembali manajemen pelayanan pendidikan yang didukung ketersediaan anggaran pendidikan yang memadai dan berkelanjutan Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan

20

1. 2. 3.

Penduduk aceh yang berusia 7 (tujuh) tahun sampai 15 (lima belas) tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Pemerintah, Pemerintah aceh, dan pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan dana untuk membiayai pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah aceh dan pemerintah kabupaten/kota menyediakan pelayanan pendidikan khusus bagi penduduk aceh yang berada di daerah terpencil atau terbelakang. Pemerintah aceh dan pemerintah kabupaten/kota menyediakan pelayanan pendidikan khusus bagi penduduk aceh yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial, serta yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

4.

SD SMP SMA S UNIVERSITA ACEH

S SD SMM UNIVA P ERSIT A

S

Bagian 2. Membuka Ruang Bagi Pembaruan

Kewajiban Pemerintah Aceh dalam Pendidikan menurut UndangUndang tentang Pemerintahan Aceh

21

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

Program Pendidikan Bernuansa Islamiaceh menjadikan ajaran Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan di aceh jauh sebelum sistem pendidikan kolonial dan sistem pendidikan nasional diberlakukan. Sistem pendidikan yang bernafaskan ajaran Islam semakin menguat setelah aceh diberi status keistimewaan dalam bidang agama, pendidikan, dan peradatan oleh pemerintah pusat sejak 1957.Keistimewaan tersebut menjadi kesatuan dalam upaya mewujudkan kembali masyarakat aceh yang Islami. namun, meski punya keistimewaan tersendiri, pengembangan pendidikan di aceh tetap mengacu pada UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional dan Qanun no. 23 tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pendidikan di nanggroe aceh Darussalam. Inti Qanun ini adalah pendidikan di aceh merupakan pendidikan berdasarkan alQuran dan alHadits, falsafah Pancasila, UUD 1945, dan Kebudayaan aceh. Semua unsur tersebut diharapkan mengkristal dalam proses belajar mengajar pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan di aceh. Ketika BRR melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi bidang pendidikan di aceh, Pemerintah Daerah pun terlibat dalam penyusunan strategi pendidikan. Sinergi dan koordinasi ini menghasilkan strategi pembangunan pendidikan aceh yang tertulis dalam Rencana Pembangunan jangka Menengah Daerah (RPjMD) 20072012. empat aspek yang tercakup di dalamnya yakni pemerataan dan perluasan akses; peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing; peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik; serta penerapan sistem pendidikan bernuansa Islami.

MaSyaRaKaT

Sapuan gelombang tsunami telah membuat 1.775 unit sekolah23,3 persen jumlah sekolah di Acehrusak ringan, sedang, berat, dan hancur. Sebanyak 2.500 guru meninggal atau hilang terbawa arus air. Mencermati kondisi yang demikian, BRR memfokuskan pemulihan kembali bidang pendidikan di Aceh sepanjang 20052006 pada upaya rehabilitasi dan rekonstruksi sarana pendidikan yang rusak. Setelah sebagian besar prasarana dan sarana pendidikan dibenahi, diupayakan perluasan pemerataan dan keterjangkauan pelayanan pendidikan bagi semua penduduk usia sekolah, terutama penyelenggaraan wajib belajar pendidikan dasar selama sembilan tahun. Fokus program pendidikan pada 2007 diarahkan pada dukungan pendidikan seperti pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang meliputi pelatihan guru dan tenaga teknis, pemberian beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa, serta bimbingan siswa untuk menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN). Penelitian dan pengembangan bidang pendidikan demi peningkatan mutu pendidikan serta pengadaan sarana pendidikan seperti buku pelajaran, perangkat komputer, perlengkapan sekolah, dan peralatan laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dilaksanakan hingga akhir 2007.

22

Memasuki 2008, program dalam Rencana Induk yang belum terealisasi, seperti PAUD dan sekolah kejuruan, diharapkan dapat terlaksana. Sedangkan pada 2009, prioritas bidang pendidikan ditekankan pada biaya operasional sekolahsekolah binaan21 sekolah menengah pertama dan 21 sekolah menengah atasdi samping kebutuhan beasiswa dan tenaga pengelola laboratorium IPA. Secara umum rehabilitasi dan rekonstruksi bidang pendidikan dilakukan dengan prinsip utama berpusat pada masyarakat (peoplecentered). Upaya menyediakan kembali pelayanan pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan harus responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan kebutuhan para peserta didik. Selain itu, prinsip pembangunan pendidikan harus berpijak pada kebijakan nasional dan daerah guna menjamin pengembangan berkelanjutan dan harus merespons kondisi darurat.

sekolah di nanggroe aceh Darussalam masih minim fasilitas, termasuk laboratorium. Hal itu disampaikan para guru SMP dan SMa seProvinsi naD dalam acara pelatihan tenaga laboratorium, Minggu (26/11), di Fakultas MIPa Unsyiah. Seorang guru fisika di Man 3 Rukoh, Syarifah Qadriyah, mengatakan tsunami telah menghancurkan laboratorium serta alatalat peraga. Kondisi itu membuat siswa tidak lagi tertarik dengan mata pelajaran yang diajarkannya. Sebenarnya anakanak antusias kalau melihat alat peraga, tapi sayang pascatsunami belum ada alat peraga baru untuk sekolah, karena dari pihak sekolah pun tidak ada anggaran membeli alat praktik itu, ungkap Syarifah. Sementara itu, peserta pelatihan lainnya, abidah dari SMa 1 Lhokseumawe, mengatakan bahwa sekolah tempatnya mengajar saat ini kekurangan gelas ukur sebagai alat praktik. Padahal semua praktik ilmu fisika menggunakan gelas ukur. Dan sekarang telah ada gelas ukur digital, sedangkan kami tidak tahu bagaimana bentuk dan cara kerjanya, bagaimana kami bisa menerangkan kepada siswa, katanya setengah bertanya. Panitia pelaksana pelatihan, Surya Lubis, M.Si., mengatakan, banyak sekolah di naD yang belum memiliki laboratorium. Dan banyak pula sekolah yang punya fasilitas tapi tidak memiliki SDM yang baik dalam mengelola laboratorium sekolah. Salah satu pokok masalahnya adalah sampai saat ini tidak ada tenaga lab khusus yang diangkat menjadi PnS (pegawai negeri sipil), sedangkan guru sudah terlalu sibuk mengajar, kata Surya, yang didampingi Ketua Bidang Fisika Fakultas MIPa Unsyiah, Fauzi, M.Si. Pelatihan tenaga laboratorium guru bidang fisika, kimia, dan biologi yang diikuti 113 orang guru SMa dan SMP sederajat dari seluruh naD ini rencananya diikuti dengan pengadaan alat peraga di sekolahnya masingmasing yang didonasi oleh asian Development Bank melalui Satker Program Pendidikan dan Pengembangan Keterampilan BRR naDnias.Sumber: Serambi Indonesia, 27 November 2006

Penyediaan pelayanan pendidikan hendaknya dapat menjamin peluang yang sama bagi semua kelompok masyarakat untuk mengakses pendidikan, tanpa diskriminasi, termasuk tidak adanya batasan usia bagi anakanak yang sudah putus sekolah untuk melanjutkan sekolah kembali, serta adanya perhatian lebih besar pada anakanak yang kurang beruntung dan kelompok rentan.

Membedah Kebutuhan Pelayanan KesehatanRencana strategis bidang kesehatan BRR tahun 20052009 disusun berdasarkan kebijakan dan strategi serta uraian rinci bidang kesehatan dari cetak biru Rehabilitasi dan Rekonstruksi BRR NADNias. Di masa tanggap darurat, bidang kesehatan menjadi tumpuan utama pemulihan kembali dari bencana.

Selanjutnya, di masa rehabilitasi dan rekonstruksi pada 2006, selain merekonstruksi dan merevitalisasi semua sarana yang rusak dan hancur, BRR memfokuskan programprogramnya di bidang kesehatan pada pengembangan SDM di setiap kabupaten/kota. Ditetapkan pula pembagian peran antara LSM, Departemen Kesehatan, dan Pemerintah Daerah (Pemda), sehingga pelayanan di bidang kesehatan lebih terarah dan meminimalkan tumpangtindih.

Bagian 2. Membuka Ruang Bagi Pembaruan

Rehabilitasi dan rekonstruksi bidang pendidikan juga mengacu pada pengalaman dan contoh yang baik dalam penanganan pendidikan pascabencana yang terjadi sebelumnya, baik di daerah setempat maupun di daerah lain. Akuntabilitas dan transparansi merupakan prinsip yang harus dipegang untuk menjamin efisiensi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang pendidikan dengan biaya yang dapat dipertanggungjawabkan, tanpa harus mengeluarkan biaya yang tidak perlu.

Sekolah di NAD Minim FasilitasRaTaRaTa

23

Memasuki tahun 2007, dilakukan perbaikan berbagai sarana pelayanan kesehatan, sehingga dapat memenuhi standar pelayanan yang sehat dan berkualitas. Suatu model pelayanan publik dalam bentuk standardisasi mutu pelayanan kesehatan yang akan diterapkan di puskesmas dan rumah sakit seAceh pun telah disiapkan, lengkap dengan manajemen sistem informasinya. Pada 2008, model pelayanan publik tersebut akan diterapkan, sehingga di akhir tahun beberapa puskesmas dan rumah sakit diharapkan telah menggenggam ISO mutu pelayanan publik. Sementara itu, pada 2009, perhatian BRR lebih difokuskan pada pemeliharaan dan pengembangan kemampuan SDM Pemda demi kesinambungan programprogram di bidang kesehatan, agar akses pelayanan kesehatan yang lebih baik dapat terimbangi dengan kualitas pelayanan yang memadai.

Visi BRR di Bidang KesehatanTerwujudnya kesinambungan pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas dan lebih dekat dengan masyarakat dengan meletakkan fondasi yang kokoh bagi pelayanan kesehatan yang lebih bermutu, terjangkau, dan berkesinambungan.Bagian 2. Membuka Ruang Bagi Pembaruan

Misi BRR di Bidang Kesehatan Mengembangkan kesinambungan pelayanan kesehatan yang lebih efektif, efisien, dan berkualitas. Mengoordinasi rehabilitasi dan rekonstruksi serta pengadaan kembali sarana dan prasarana fasilitas kesehatan masyarakat yang rusak dengan membangun kembali menjadi lebih baik. Mengembangkan contoh baik yang disesuaikan dengan kondisi lokal untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Memperkuat sumber daya kesehatan yang terampil untuk memenuhi kebutuhan sekarang dan mendatang. Meningkatkan kemitraan dengan semua pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pelaksanaan bidang kesehatan. Memperkuat manajemen sistem kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas.

25

Memperkokoh Kiprah Para Inong

Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup bersih dan Rehabilitasi dan rekonstruksi sehat. pemberdayaan perempuan dan Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga, perlindungan anak bertujuan membangun dan masyarakat beserta lingkungannya. kembali kelembagaan pemberdayaan perempuan, mengaktifkan peran perempuan dalam pemulihan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Aceh, serta meningkatkan perlindungan terhadap kaum perempuan dan anak.

Strategi yang ditempuh adalah mengembalikan fungsi kelembagaan peranan perempuan, termasuk penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin dan kelompok umur serta penguatan jejaring kerja sama lintas program dan sektor dalam perlindungan

Pelayanan kesehatan bagi warga di Puskesmas Kuta Blang, Bireuen, 24 Desember 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

perempuan dan anak, serta melakukan pengarusutamaan gender pada seluruh kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan di masa tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Terkait dengan dwiperan perempuan pascabencana sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah, BRR merasa perlu menginisiasi programprogram khusus untuk memfasilitasi peran perempuan secara aktif. Di samping itu, penting pula mempromosikan kewirausahaan dan melengkapi kaum perempuan dengan keterampilan kejuruan dan manajemen usaha, agar mereka terbantu dalam memperoleh kemudahan akses pasar dan lembaga keuangan.

26

ProgramProgam Penguatan Peran Perempuan yang Dicanangkan BRR Membentuk Pusat Pelayanan Terpadu untuk Perempuan dan anak; dengan sasaran menghidupkan kembali konsep budaya aceh terhadap peran perempuan dalam masyarakat, dengan menyediakan ruang khusus bagi kaum perempuan melalui Women Crisis Center (WCC) dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2). Dua unit tersebut mencakup penguatan kaum perempuan dan penyediaan ruang publik khusus perempuan. Membentuk kelompok perempuan pengusaha yang disebut Peningkatan Produktivitas ekonomi Perempuan (PPeP) sebagai upaya mendorong peningkatan kesadaran yang lebih besar terhadap berbagai keberhasilan kaum perempuan dalam peranperan nondomestiknya serta kontribusi para perempuan pengusaha dalam pemulihan kembali aceh. Memberikan pelatihanpelatihan bagi para penggerak perempuan. Kelompok ini dipandang perlu ditingkatkan kapasitas dan peran sertanya, mengingat posisi mereka yang berada di garis terdepan perubahan dan kemajuan kaum perempuan. Memberikan perlindungan dan pendampingan hukum bagi kaum perempuan. Memfasilitasi pembangunan taman wisata anak, melakukan identifikasi dan reunifikasi anak korban tsunami dengan keluarganya, menyusun pedoman pola asuh anak, dan menyelaraskan konvensi hak anak dengan hukum syariah di aceh. Menggelar sejumlah seminar yang membuka wawasan tentang gender serta program Keluarga Sejahtera di berbagai universitas dan di kantor pemerintah kabupaten/kota.

Pusat industri kerajinan Samahani, Aceh Besar, 30 Oktober 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

Peran Kaum Perempuan Terkesan Terpinggirkankehidupan seharihari belum maksimal. Perempuan minim diberi kesempatan mengambil peran dalam setiap kebijakan dan terkesan terpinggirkan dari kaum lakilaki. Padahal fungsi perempuan dan lakilaki dalam hal tertentu sama. Demikian mengemuka dalam workshop pendidikan damai di Wisma Kuta Karang Baru yang digagas The aceh Institute, Minggu (12/11). Workshop yang bekerja sama dengan BRR selama dua hari itu menghadirkan pembicara H.M. akmal, M.a., Taufik abdullah, S.ag. M.a, Dr. nazamuddin, Prof. Dr. Syahrizal, Dr. Humam Hamid, dan Dr. asna Husin, M.a. Peserta guru SD/MI/ SMP/MTs dan SMa/Ma dari aceh Utara, Lhokseumawe, dan aceh Timur. asna Husin, yang mengusung tema konsep damai dalam perspektif gender, memaparkan konsep Islam terhadap kaum perempuan. Fungsi kekhalifahan yang terkandung dalam alQuran menurut asna saat ini diartikan secara sempit. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman sempit, gap (jurang pemisah) antara prinsip Islam normatif dan realitas objektif, adat dan budaya, serta kodrat. Padahal, ujar dosen IaIn arRaniry ini, hak dan kewajiban lakilaki dan perempuan sama, yaitu sebagai hamba allah SWT, individu, anggota keluarga, dan

PeRan perempuan dalam tatanan

masyarakat. Konsep ajaran Islam sangat agung dan mulia. namun implementasi dalam tatanan kehidupan sangat menyedihkan dan cenderung dilupakan

28

KonflikSementara itu, satu hari sebelumnya, Taufik abdullah, yang mengusung tema Dari Konflik Tsunami Membangun Perdamaian aceh: Transformasi Melalui Peran Lembaga Sosial, menyatakan, semua sudah dapat merasakan nikmatnya hidup damai. Semua pihak harus senantiasa optimistis mentransformasikan konflik. ancaman akan kembalinya konflik seperti sediakala tidak tertutup kemungkinan lebih tajam dari sebelumnya. Sebab, transformasi pada dasarnya hanya memindahkan konflik kekerasan ke konflik politik dengan cara nonkekerasan. Mewujudkan perdamaian aceh tidak semudah membalik telapak tangan, katanya.Sumber: Serambi Indonesia, 13 November 2006.

Setelah kelembagaan serta pengarusutamaan gender dan anak beranjak menguat, pada 2007 program pembangunan fisik lebih digalakkan dan dibarengi dengan kelanjutan programprogram nonfisik. Gedung Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan untuk 13 kabupaten/kota dibangun di Aceh. Kemampuan kelembagaan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Dinas dan Mahkamah Syariah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) I, serta Biro dan Bagian Pemberdayaan Perempuan di 21 kabupaten/kota seAceh ditingkatkan, antara lain dengan menyediakan beasiswa, pelatihan, dan kursus singkat. Tak mudah mengedepankan isu gender dan pemberdayaan perempuan di Aceh. Maka, guna memastikan programprogram BRR berjalan, dibentuklah Sektor Peran Perempuan dan Anak, yang bertujuan mengelola berbagai program yang ditujukan kepada kaum perempuan melalui pendekatan lintas sektoral di seluruh program rehabilitasi dan rekonstruksi. Awalnya sektor tersebut berada di bawah Kedeputian Agama, Sosial, dan Budaya dengan pertimbangan pemberdayaan perempuan lebih terkait pada isuisu keagamaan, sosial, dan budaya. Namun, pada 20052006, Sektor Perempuan dan Anak ditingkatkan kapasitasnya menjadi Direktorat Perempuan dan Anak, yang menyusun programprogram tahunan untuk pemberdayaan perempuan dan anak. Kegiatankegiatan yang dilaksanakan Direktorat Perempuan dan Anak dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak melalui berbagai program pemberdayaan perempuan, sehingga kaum perempuan Aceh yang sebelumnya terpinggirkan dapat terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi.

Bagian 2. Membuka Ruang Bagi Pembaruan

Pada 20052006, program pemberdayaan kaum perempuan lebih diarahkan pada penguatan kelembagaan serta pengarusutamaan gender dan anak. Masalah kesetaraan gender menjadi isu yang semakin mengemuka di BRR, sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) yang diikuti dengan Pedoman PUG dalam Pembangunan Nasional.

29

Meraih MimpiMimpi Rehabilitasi dan Rekonstruksimembersit di wajah Hasna. Siswa kelas II Sekolah Dasar Muhammadiyah 1 Banda Aceh itu kini bisa bermain bulu tangkis atau petak umpet bersama temantemannya di sekolah. Ia pun rajin berkunjung ke perpustakaan sekolah. Saya membaca banyak buku di sana. Saya tidak punya buku di rumah, tutur siswi berusia tujuh tahun ini. Kegembiraan Hasna juga dirasakan ribuan siswa lain di Aceh. Mereka kini bisa bersekolah lagi dengan gedung yang jauh lebih bagus dan fasilitas belajar yang lebih lengkap. Inilah berkah di balik musibah. Mimpimimpi masyarakat Aceh yang tak terbayangkan bakal terwujud dalam hitungan tahun kini mulai terengkuh satu demi satu. Berbagai capaian, terobosan, dan tantangan di bidang pendidikan, kesehatan, dan peran perempuan selama kurun empat tahun masa bakti BRR menggugah kesadaran bahwa masih ada potensipotensi yang dapat dikembangkan. Tonggaktonggak capaian dan terobosan ini dapat menjadi pijakan awal melesatkan mimpimimpi rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi kenyataan.

KECERIAAN

Memutar Kembali Roda PendidikanGedung Sekolah dan Perpustakaan Umum BermunculanSampai akhir 2008, hasil rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan menunjukkan bahwa BRR dan para mitra pemulihannya sudah membangun 1.759 unit gedung sekolah baru dari tingkat taman kanakkanak hingga perguruan tinggi. Gedunggedung sekolah baru di seluruh kawasan bencana di Aceh tentu dibangun dengan fasilitas yang lebih komplet. Sebelum bencana, banyak sekolah dasar (SD) hanya punya tiga ruang kelas, tapi kini SDSD di Aceh memiliki enam ruang kelas, ruang guru

Kegiatan belajar di sekolah unggulan bilingual Fatih yang dibangun dengan bantuan pemerintah Turki, Banda Aceh, 29 Oktober 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Meraih MimpiMimpi Rehabilitasi dan Rekonstruksi

31

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

dan kepala sekolah, serta rumah penjaga sekolah, bahkan ada yang dilengkapi ruang pertemuan. Tak hanya menyentuh bangunan fisik dan perabot sekolah, rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang pendidikan juga merambah ke berbagai sarana kelengkapan di bidang pendidikan, seperti perpustakaan sekolah serta laboratorium IPA dan komputer. Sebanyak 36 gedung laboratorium sains dan komputer berikut peralatannya telah dibangun BRR di sejumlah sekolah baru tersebut. Delapan gedung perpustakaan umum berikut isinya yang habis tersapu tsunami tak luput dari perhatian BRR. Kehadiran perpustakaan umum sebagai lumbung literatur ilmu pengetahuan menjadi alasan utama pembangunan kembali perpustakaan di kabupaten/ kota, sekaligus pengadaan bukubukunya. Sejak sarana perpustakaan umum dibangun kembali, tampak minat baca pada anakanak meningkat dengan ratarata kunjungan 15 anak per hari.

32

Mendongkrak Kompetensi dan Meratakan Penyebaran GuruSetelah sekolahsekolah memiliki laboratorium IPA yang memadai, giliran kapasitas para pendidik yang perlu ditingkatkan. BRR menggelar program peningkatan kompetensi guruguru IPA dalam mengelola dan memanfaatkan laboratorium serta peningkatan kecerdasan para guru di bidang matematika. Program tersebut berjalan selama dua tahun dan mendapat respons cukup baik, yang terlihat dari banyaknya peserta program ini. Selain peningkatan kompetensi guru, ketersediaan pengajar yang berbobot sangat diperlukan. Sebelum tsunami melanda, telah banyak guru yang pindah ke luar Aceh dengan alasan keamanan. Kondisi ini bertambah parah setelah tsunami menggulung Aceh. Sebanyak 2.500 guru di Aceh meninggal atau dinyatakan hilang akibat empasan gelombang air itu. Dari jumlah guru yang selamat, penyebarannya tidak merata. Persentase penempatan guru sekolah menengah atas (SMA) di kota, misalnya, mencapai 83 persen. Jumlah ini tak sebanding dengan tenaga guru yang ada di sekolah di desadesa, yang hanya 17,12 persen. Ketimpangan penyebaran guru ini juga dipengaruhi oleh kualitas para mahasiswa dan lulusan lembaga pendidikan guru. Ambil contoh di Unsyiah. Tingkat persaingan mahasiswa baru yang masuk ke Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unsyiah sangat rendah dibandingkan dengan mahasiswa yang masuk ke Fakultas Kedokteran, Teknik Sipil, Akuntansi, dan Keperawatan. Banyak orang masih melihat profesi guru sebagai pekerjaan kelas dua, ujar seorang guru dari Gayo Lues. Memang tak mudah mengisi kekurangan guru dan penyebarannya dalam waktu cepat. Dinas Pendidikan Aceh lantas berhitung. Hasilnya, Aceh membutuhkan 12.000 tenaga pengajar di semua tingkat pendidikan pascatsunami. Untuk membantu memenuhi

kebutuhan tersebut, BRR meluncurkan program peningkatan kualitas mahasiswa baru yang masuk ke FKIP. Program ini juga membuka kesempatan bagi para mahasiswa dari daerahdaerah terpencil untuk dididik menjadi calon guru di daerahnya. Program ini diprioritaskan bagi daerahdaerah terpencil sesuai dengan urutan: Aceh Singkil, Simeulue, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Tamiang, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Bireuen, Pidie, Aceh Besar, dan Banda Aceh. Jika terdapat dua mahasiswa yang memiliki kemampuan akademik dan berasal dari kabupaten/kota yang sama, mahasiswa yang bertempat tinggal lebih jauh dari ibu kota kabupaten diprioritaskan masuk ke FKIP. Masalah lain yang menyangkut sumber daya guru ini adalah tak banyak sarjana di luar program studi kependidikan yang berminat menjadi guru. Atau sebaliknya: sejumlah sarjana di luar program studi kependidikan telah mengabdikan diri sebagai guru tetapi belum punya kompetensi profesional keguruan. BRR lantas menggelar program sertifikasi kompetensi guru berupa ijazah akta IV. Ijazah ini bisa didapatkan setelah pendidik yang tidak berlatar FKIP mengikuti perkuliahan tambahan sebagai tenaga pendidik selama enam bulan atau satu semester.

Tujuan Program Sertifikasi Kompetensi Guru Membekali calon guru agar menguasai landasan kependidikan. Membekali calon guru dengan kecakapan merancang, mengelola, dan mengevaluasi proses pembelajaran. Membekali kemampuan metodologi pengajaran dan melatih kemampuan dasar mengajar.

Bagian 3. Meraih MimpiMimpi Rehabilitasi dan Rekonstruksi

33

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

Berjuang Demi AnakAnakmembentang luas di hadapan pantai Calang menjadi tempat Dina astita (35 tahun) mengadu. Guru SMP negeri Calang ini kehilangan tiga buah hatinya saat tsunami menghantam. engkau kemana kan anakanakku? air matanya berurai, batinnya menjerit. Langit yang merambat kelam dijelang magrib hanya membisu ditingkahi deburan ombak, menyadarkan Dina akan suratan takdir. Tsunami telah melumat ahmanda (7 tahun), aldius (6), dan alkautsar (5), bersama Maisaroh, pengasuh yang telah dianggap bagian dari keluarganya. azan subuh belum lagi berkumandang saat Dina dan suaminya, Usman ahmady (55 tahun), sudah duduk di jok mobil Kijang yang akan membawa mereka ke Banda aceh. Hari itu, Minggu, 26 Desem ber 2004, kakak Dina akan melangsung kan ijab kabul di Masjid Raya Baiturrah man, Banda aceh. Kami pikir, cuma sebentar, tak usahlah bawa anakanak. Lagi pula, besoknya anakanak ada ulangan. Kami berangkat pagi, siang sudah kembali, kenang perempuan kelahiran Lamno, aceh jaya, itu. Dina sudah sampai di kawasan Simpang Lima ketika gempa hebat terjadi. Tak sanggup berdiri ataupun duduk lantaran guncangan gempa, mereka tertelungkup di aspal jalan. Usman, Kepala Dinas Kimpras wil (Permukiman dan Prasarana Wilayah) Kabupaten aceh jaya, berusaha menel epon ke rumah. yang terdengar nada sibuk. Mereka bergegas melanjutkan perjalanan ke rumah mempelai di Lhong Raya, Banda aceh. Karena khawatir terjadi gempa susulan, acara di masjid dibatalkan. Ketika mereka hendak kembali ke rumah yang empunya hajat, ratusan orang berlarian ke arah mereka. air naik, air naik, riuh teriakan terdengar. Semua lari ke tempat lebih tinggi di belakang mereka, bukit Lampeu nerut, Lambaro, Banda aceh.

SaMUDRa Indonesia yang

Setengah jam berlalu. Rombongan polisi datang, memberitahukan keadaan sudah aman. Tanda tanya besar bergelayut dalam benak Dina dan Usman, Bagaimana anakanak? Bagaimana Calang? Dalam perjalanan, mereka menyaksikan begitu banyak kerusakan. Baru menempuh sekitar dua kilometer, laju kendaraan tertahan. Pohonpohon besar mengha langi. Suasana seperti kiamat. Tak ada sinyal telepon, tak ada siaran radio. Mau tak mau, mereka kembali ke Banda aceh. Hari ketiga setelah tsunami, muncul secercah harapan. Terbetik kabar, sekitar 300 orang di Calang sempat lari ke bukit. Hati Dina berbunga, semoga ketiga anaknya termasuk dalam bilangan itu. Tetapi tak ada transportasi ke Calang. Harihari kami lalui berdua. Siangmalam hanya jalanjalan. Sudah seperti orang gila, kata Usman. Mereka lalu bergabung ke posko pengungsi di kawasan Lambaro, tempat warga Calang berkumpul. Pada malam hari ke20, datang berita, ada kapal yang mau berangkat ke Calang. Saat itu juga, Usman, Dina, dan beberapa orang lain bergegas ke Pelabuhan Lampulo. Bagai mimpi, di tengah kegela pan malam, 20 orang dilamun ombak. Pagi berikutnya, rombongan mencapai pantai. Mereka menelusuri jalan ke rumah dinas permanen yang ditempati sejak 2003, berdekatan dengan rumah bupati dan pejabat lain. yang tersisa hanya fondasi rumah dan sebuah pelat nomor sepeda motor milik Usman. Dengan hati galau, pasangan suamiistri ini mendaki bukit Carak, di balik Kota Calang. Tendatenda pengungsi marak. Lelah berkeliling mencari buah hati mereka, Dina dan Usman singgah di rumah sakit darurat yang dikelola German emergency Doctor (GeD), berjarak 1,5 kilometer dari tenda pengungsian. Menyadari kesulitan komunikasi antara para dokter jerman dan korbankorban, yang kebanyakan tidak bisa berbahasa

34

Indonesia, mereka tampil sebagai penerjemah. Belakangan, mereka turun tangan membersihkan dan mengobati lukaluka, serta membersihkan rumah sakit. Mereka menampik honor Rp 2 juta per bulan yang ditawarkan koordinator GeD. Kami melakukannya dengan sukarela untuk membantu masyarakat kami, tanggap Usman. Satu bulan mereka berkecimpung di rumah sakit. Suatu kali, dalam pertemuan koordinasi, Dina mengusulkan perlunya didirikan sekolah. Marinir Indonesia sudah membuka sekolah darurat di sana, tetapi, anakanak hanya bernyanyi, menggambar, dan bermain. Padahal Ujian akhir nasional (Uan) sudah dekat. Kalau mereka tidak ikut saat itu, harus menunggu setahun, kata perempuan lulusan Sastra Inggris IaIn arRaniry, Banda aceh, itu. Semua pihak sepakat. Sementara marinir membangun sekolah tenda tingkat SD, SMP, dan SMa, Dina mengumpulkan guru yang tersisa, mendata semua anak di Calang, dan menyambangi posko semua LSM untuk menggalang bantuan. Saya tak peduli seperti pengemis. Batin saya mengatakan, saya harus berbuat sesuatu demi anakanak ini, ujarnya. Dalam waktu singkat, sekolah yang diimpikan mulai beroperasi. awalnya hanya ada sekitar 100 siswa dari berbagai tingkatan yang dijadikan satu kelas. Tiga hari berselang, SD dibuat 6 kelas di 6 tenda dengan 2 guru, sedangkan SMP 3 kelas dengan 3 guru, dan SMa 3 kelas dengan 2 guru. Lambatlaun, anakanak dari pesantrenpesantren di sekitar Calang ikut bergabung. jumlahnya mencapai 800 orang. Para guru sempat kewalahan. Untunglah beberapa anggota marinir dan LSM ikut membantu menjadi guru. Ketika Menteri Sosial, Bachtiar Cham syah berkunjung ke Calang, Dina men emuinya. Saya katakan, anakanak kami

mampu ikut Uan, saya akan mempersiap kan mereka. Beliau berjanji akan menyam paikan hal itu ke Menteri Pendidikan, kisah Dina, yang sebelum bencana menjadi guru bantu bidang studi bahasa Inggris di SMP negeri Calang. Telanjur menyanggupi anakanak didiknya ikut Uan, Dina kembali mengetuk hati para petinggi LSM untuk membantu menyediakan bukubuku materi pelajaran sesuai dengan kurikulum Departemen Pendidikan nasional. Belakangan, keadaan berbalik. Malah kalangan LSM yang mendatangi salah satu penyandang gelar The World Most Influential People 2005 versi majalah Time asia untuk aksi sosialnya ini. Kini, sekolah permanentiga SD, dua SMP, dan dua SMatelah rampung. Dina kembali berdiri di muka kelas, membagi kan ilmu bahasa Inggris. Pernah, seorang siswa menangis tersedusedu mengenang kedua orangtuanya yang telah tiada. Meng hadapi situasi seperti itu, hati Dina ikut teriris. Saya juga ingat ketiga anak saya. Tetapi, di depan murid, saya berusaha tidak memperlihatkan air mata. Saya harus tegar, ujarnya. Perjuangan gigih Dina membuahkan penghargaan Guru Berdedikasi Tinggi dari Pemerintah Indonesia pada Hari Pendidikan nasional 2005. Berbarengan dengan itu, tercapai pula impian lamanya menjadi pegawai negeri sipil.Sumber: Reportase BRR, September 2006

Bagian 3. Meraih MimpiMimpi Rehabilitasi dan Rekonstruksi

35

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

Tujuan Pembentukan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Memotivasi guru untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam merencanakan, melaksanakan, dan membuat evaluasi program pembelajaran, sehingga terbentuk keyakinan diri sebagai guru profesional. Meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan kegiatan belajarmengajar, agar dapat menunjang usaha peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan. Mendiskusikan berbagai masalah yang dihadapi guru dalam melaksanakan tugas seharihari dan mencari solusinya sesuai dengan karakteristik mata pelajaran masingmasing, guru, kondisi sekolah, dan lingkungan. Membantu guru memperoleh informasi yang berkaitan dengan kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi, kurikulum, metodologi, dan sistem pengujian yang sesuai dengan mata pelajaran masingmasing. Saling membagi informasi dan pengalaman dari hasil lokakarya, simposium, seminar, pendidikan dan pelatihan, serta kegiatan profesional dengan membahasnya bersamasama. Membuat guru mampu menjabarkan dan merumuskan agenda reformasi sekolah, sehingga berproses pada reorientasi pembelajaran yang efektif.

Program sertifikasi kompetensi guru ini patut dilaksanakan karena dalam proses belajarmengajar diperlukan unsur kompetensi didaktik atau asasasas pengajaran. Satu guru dapat memberikan pengaruh terhadap 40 siswa yang mereka ajar. Bayangkan, berapa banyak siswa yang bisa jadi lebih pandai karena didikan guruguru yang cerdas, kata seorang pengajar di program sertifikasi. Program ini terselenggara untuk dua angkatan selama periode 20062007 dan menghasilkan 100 lulusan untuk mengisi kekosongan guru sekolah menengah kejuruan (SMK), terutama di daerahdaerah yang terkena bencana.

36

Mewadahi GuruGuru ProfesionalJangan lupa tugas kalian, ya, ujar Ilham Swandaru di depan kelas saat mengakhiri pengajarannya. Suaranya terdengar lantang di hadapan sejumlah murid. Sepintas, kalimat itu lazim dikatakan para guru. Namun kali ini agak berbeda lantaran yang menjadi muridmuridnya adalah sesama koleganyapara guru sekolah dari seluruh Provinsi NAD. Simulasi praktik mengajar atau microteaching ini merupakan bagian dari program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), sebuah forum profesional guru mata pelajaran yang ada di suatu wilayah kabupaten, kota, atau kecamatan. Pesertanya mencakup guruguru setingkat sekolah menengah pertama (SMP) atau SMA, baik negeri maupun swasta. Status gurugurunya pun beraneka ragam, ada yang pegawai negeri sipil, guru tetap, ataupun guru tidak tetap atau honorer.

Program MGMP merupakan satu program rehabilitasi dan rekonstruksi BRR di bidang pendidikan. Sebagai organisasi nonstruktural yang bersifat mandiri, MGMP berasaskan kekeluargaan dan tidak punya hubungan hierarkis dengan lembaga lain. Inti program yang biasa digelar seminggu atau sebulan sekali ini adalah menyelenggarakan pelatihan dengan materi dari mereka untuk mereka.

Selain diskusi kelompok terfokus (focus group discussion), diselenggarakan juga program pelatihan. Bagi para guru di Aceh, kegiatan MGMP difokuskan pada pelatihan delapan mata pelajaran inti, termasuk yang akan diujikan dalam Ujian Nasional, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, fisika, biologi, kimia, sosiologi, dan ekonomi. Melalui pelatihan ini, diharapkan tingkat kelulusan SMP dan SMA di Aceh yang pada 2005 mencapai 60 persen dan 80 persen dapat dipertahankan pada tahun berikutnya.

Fasilitas pendidikan modern di sekolah unggulan bilingual Fatih dengan bantuan dari pemerintah Turki, 29 Oktober 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Memberi Bekal Ujian NasionalKetika tsunami melanda daratan Aceh, UAN bagi para siswa SMA tinggal beberapa bulan di muka. Bagaimana anakanak Aceh dapat menyiapkan diri dengan baik di tengah kegalauan situasi pascabencana dan kehilangan harta benda bahkan orangorang yang mereka sayangi? Inilah salah satu pekerjaan rumah cukup berat yang tercantum dalam program rehabilitasi dan rekonstruksi BRR. Berbagai upaya ditempuh untuk meningkatkan angka kelulusan siswa Aceh. Salah satunya dengan mengupayakan bimbingan belajar praUAN di semua tingkat SMA (madrasah aliyah, SMK, SPK, dan MAK). Kelaskelas tambahan dibuka untuk membekali

Bagian 3. Meraih MimpiMimpi Rehabilitasi dan Rekonstruksi

37

PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN PERAN PEREMPUAN: Menyiapkan Generasi Bermutu

siswa di 491 SMA menjelang UAN. Jumlah siswa yang mengikuti kelas tambahan ini mencapai 53.711 orang.6 Upaya memotivasi semangat belajar para siswa ini membawa hasil cukup menggembirakan. Pada 2006/2007, nilai UAN siswa SMA jurusan IPA pada mata pelajaran bahasa Inggris dan matematika meningkat 0,7 persen dan 3,7 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan nilai UAN siswa SMA jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris juga menunjukkan peningkatan sebesar 6,3 persen dan 3 persen. Di tingkat madrasah aliyah, nilai yang diperoleh para siswa jurusan IPA untuk mata pelajaran matematika bahkan lebih besar, yaitu meningkat 13,2 persen. Sedangkan nilai siswa jurusan IPS pada mata pelajaran bahasa Inggris dan ekonomi naik sebesar 2,6 persen dan 4,9 persen. Bencana bukan lagi halangan bagi para siswa untuk berprestasi. Sekarang justru saatnya bagi anakanak Aceh untuk menunjukkan kemampuan mereka berprestasi, membangun Aceh, dan meraih masa depan lebih cerah, tutur seorang guru optimistis.

38

Menyemai Sekolah UnggulanBRR juga mengembangkan program sekolah unggulan, yakni SMP Unggul berstandar nasional, di setiap kabupaten/kota. Program ini sejalan dengan program Dinas Pendidikan NAD, Depdiknas, dan UndangUndang Pendidikan Nasional. Program pengembangan sekolah unggulan ini diawali BRR dengan melengkapi fasilitas sekolah untuk memenuhi persyaratan sekolah berstandar nasional. Sekolah unggulan yang digagas adalah sekolah dengan fasilitas asrama. Daerahdaerah dengan akses ke kota kabupaten yang sangat terbatas dijadikan tempat penerapan sekolah unggulan berasrama, di antaranya SMP Unggul di Kabupaten Simeulue, Singkil, dan Gayo Lues. Menurut Imas, salah satu penanggung jawab kurikulum, sekolah dengan suasana boarding (asrama) lebih mendukung ke arah pembinaan karakter dan akademis yang masif. Selama 24 jam, siswa mendapat bimbingan dari para pendidik. Dengan pengelolaan jadwal kegiatan yang optimal dan relatif ketat, siswa diarahkan untuk selalu terlibat dalam kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Sepintas, tak terlihat perbedaan mencolok antara sekolah unggulan dan sekolah biasa. Proses kegiatan belajarmengajar berjalan biasa. Hanya, bila ditelisik lebih dalam, sekolah unggulan memiliki prasyarat sangat memadai dalam menyokong kegiatan belajarmengajar, tidak hanya dari sisi kompetensi tenaga pengajarnya, tetapi juga dari sisi prasarananya, seperti laboratorium IPA, matematika, dan bahasa. BRR juga memberikan beasiswa bagi para siswa terbaik di SMP Unggul. Sebanyak 35 siswa baru SMP Unggul yang mulai bergabung di sekolah itu pada 2007 mengantongi beasiswa.

Kepala Sekolah Ikut MagangJika sarana dan prasarana sekolah sudah diperbarui, sosok yang memainkan peran penting dalam pengelolaan sekolah perlu pula ditingkatkan kapasitasnya. BRR meluncurkan program memagangkan para kepala sekolah SMP dan SMA di Aceh selama

Mendiknas Resmikan Fatih Bilingual Schoolsebuah sekolah menengah tingkat SMP dan SMa yang dikelola Pasiad Turki, Selasa (26/12), bersamaan dengan mengenang dua tahun bencana tsunami aceh, diresmikan oleh Menteri Pendidikan nasional Prof. Dr. Bambang Sudibyo. Sekolah yang dibangun Pemerintah Turki dan Pasiad yang terletak di Lamlagang itu merupakan salah satu sekolah terlengkap dan terbaik yang ada di Banda aceh saat ini. Selain memiliki delapan laboratorium, sekolah ini dilengkapi fasilitas kolam renang dan gedung bioskop untuk siswa. Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan, pendirian Fatih Bilingual School merupakan bentuk kepedulian masyarakat internasional untuk membantu peserta didik yang menjadi korban bencana alam gempa bumi dan tsunami yang melanda aceh pada 26 Desember 2004. Lebih jauh, Mendiknas mengatakan keberadaan Pasiad di Indonesia dalam dekade terakhir telah memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di Tanah air, khususnya pembangunan sekolah bertaraf internasional di bidang pendidikan dasar dan menengah. Menurut menteri, upayaupaya yang telah dilakukan tidak hanya menunjang pilar kebijakan pemerataan pelayanan pendidikan, tetapi juga pilar peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan. Saya menyambut baik inisiatif yang diambil oleh Pasiad untuk membantu Pemerintah Indonesia dalam membangun pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan di Provinsi

FaTIH Bilingual School, Banda aceh,

naD. Dalam jangka panjang, inisiatif ini tidak hanya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, tetapi juga kualitas persahabatan Pemerintah dan masyarakat Indonesia dengan Turki, ujar Bambang Sudibyo. Dikatakan, sebagai upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia, proses pendidikan tidak boleh berhenti karena adanya kendala seperti bencana alam atau konflik. Karena itu, katanya, Pemerintah berupaya segera mengambil tindakan untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan walaupun bersifat darurat, untuk menjamin bahwa setiap peserta didik korban bencana tsunami segera bisa belajar dan bangkit kembali. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat nur Wahid mengharapkan, dengan keberadaan sekolah unggul bantuan Pasiad tersebut, dunia pendidikan aceh akan bangkit kembali. Saya yakin itu, karena saya sudah melihat, sekolah yang dibangun Pasiad di berbagai negara sangat berkualitas dan bermutu tinggi. namun, untuk aceh, saya berharap pengelola, siswa, masyarakat, dan Pemerintah bisa bekerja sama secara maksimal untuk kemajuan pendidikan generasi aceh ke depan, ujarnya. Sekolah baru yang dibangun berlantai dua itu memiliki 24 ruang kelas, laboratorium untuk komputer dan Internet, fisika, kimia, biologi, musik, bahasa, serta seni dan menggambar, gedung olahraga, ruangan rapat, aula, bioskop untuk 120 orang, fasilitas asrama, dan juga kolam renang. Sistem pembelajaran di sekolah tersebut menggunakan dua bahasa. Salah satunya bahasa Inggris.Sumber: Serambi Indonesia, 27 Desember 2006

Bagian 3. Meraih MimpiMimpi Rehabilitasi dan Rekonstruksi

39

sebulan ke sekolahsekolah terbaik di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang yang menjadi rujukan. Dengan cara ini, kepala sekolah dapat belajar langsung tentang metode pengelolaan sekolah. Program magang kepala sekolah ini terdiri atas beberapa komponen, yaitu tenaga ahli yang bertugas menyeleksi dan menentukan tempat magang, kepala sekolah sebagai peserta magang, tenaga pendamping, pamong sekolah tempat magang, dan pembimbing di sekolah tempat magang. Selepas magang, para kepala sekolah tersebut diharapkan mampu memberikan arahan kepada stafnya agar berani membuat terobosan metode mengajar sehingga berbagai kendala yang dijumpai seharihari bisa ditangani secara arif dan mampu menggulirkan roda penyelenggaraan pendidikan di sekolahnya.

Melatih Pendidik Melek KomputerDunia internasional turut membantu memulihkan pendidikan di kawasan bencana. Simpati dunia, selain diwujudkan dengan memberikan bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam bentuk fisik dan sumber daya manusia, juga dalam bentuk bantuan peningkatan information and communication technology (ICT) berupa pelatihan penggunaan komputer bagi para guru. Guna meluaskan wawasan guruguru dalam bidang ICT dan memanfaatkan bantuan perangkat ICT yang disumbangkan dunia internasional untuk kepentingan pendidikan dan pembelajaran, BRR menggelar pelatihan penggunaan komputer bagi para guru. Melalui pelatihan ini diharapkan akan tercipta komunitas pendidik dan pelajar berbasis teknologi informasi. Pelatihan yang digelar selama dua hari ini memberikan gambaran kepada para peserta tentang betapa asyiknya berselancar di Internet guna mencari dan menggali berbagai informasi yang pas untuk materi pengajaran. Selain itu, disampaikan materi dasar tentang tata cara membuat email, mengelola mailing list, dan membuat blog. Para peserta mengaku sangat senang mengikuti pelatihan ini, meskipun sebagian besar di antaranya sudah memahami dan sudah dapat mengaplikasikan materi yang disampai kan. Perkembangan teknologi informasi sangat membantu tugastugas kami, karena secara langsung kami dapat mengembangkan ideide dalam merumuskan bahan pengajaran melalui media Internet, urai salah seorang ibu guru yang mengikuti pelatihan ini.

Memacu Pengembangan Pusat Penelitian TerpaduSelama masa rehabilitasi dan rekonstruksi, BRR memberikan bantuan untuk pendidikan teknologi antara lain melalu