buku seri iptek 2

68
2 IP K IP K KEHUTANAN KEHUTANAN ISBN 978-979-8452-44-4

Upload: bambang-hermiyanto

Post on 07-Dec-2015

77 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

Materi Pertanian

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Seri Iptek 2

2 IP KIP KKEHUTANANKEHUTANAN

ISBN 978-979-8452-44-4

Page 2: Buku Seri Iptek 2

20 SERI 2 IPTEK KEHUTANAN

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

ISBN: 978 - 979 - 8452 - 44 - 4

Penerbit:BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANANKementerian Kehutanan Republik Indonesia

Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lantai XIJl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta 10270Telp. (021) 5734333; Fax. (021) 5720189

Penyunting:Sub Bagian Data dan InformasiBagian Evaluasi, Diseminasi dan PerpustakaanSekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan KehutananBadan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Desain Grafis dan Tata Letak:Dyah Puspasari, S.Hut, M.SiBudi Hidayat, S.Kom

20 Seri 1 IPTEK KehutananCetakan ke-1, Tahun 2011

Page 3: Buku Seri Iptek 2

Sebagai salah satu upaya mewujudkan komitmen untuk meningkatkan kemanfaatan dan penerapan hasil litbang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan secara berkala telah melakukan diseminasi hasil-hasil IPTEK kehutanan kepada para pengguna di berbagai tingkatan.

Target diseminasi hasil litbang tersebut adalah tercapainya 60% paket IPTEK kehutanan diadopsi atau dimanfaatkan pengguna, yaitu minimal 60% dari IPTEK dasar dan terapan yang dihasilkan dapat dimanfaatkan atau diadopsi oleh pengguna, baik pembuat kebijakan di lingkup Kementerian Kehutanan (opsi kebijakan), dunia usaha/industri dan masyarakat (paket teknologi dan produk), komunitas ilmiah (publikasi dalam jurnal ilmiah) serta pihak lain yang memanfaatkan hasil litbang.

Dalam rangka mewujudkan hal di atas, dukungan semua pihak untuk menyebarluaskan hasil litbang kepada masyarakat menjadi hal strategis yang harus terus dilakukan. Untuk mendukung proses tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan menerbitkan Seri IPTEK Kehutanan secara berkala.

Seri 2 IPTEK Kehutanan ini memuat 20 hasil litbang kehutanan yang informatif dan aplikatif untuk disebarluaskan kepada pengguna. Seri IPTEK ini menyajikan informasi awal yang nantinya akan dituangkan dalam petunjuk teknis atau format lain yang lebih detil dan lebih komprehensif.

Semoga seri IPTEK ini menjadi jembatan untuk mentransformasi hasil litbang menjadi pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat bagi pengguna sehingga dapat berkontribusi positip dalam pembangunan kehutanan.

Desember 2011Kepala Badan

Dr. Ir. Tachrir Fathoni, M.Sc.

KATA PENGANTAR

Page 4: Buku Seri Iptek 2

DAFTAR ISI

Konservasi dan Perlindungan Hutan

Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor

Sidik Cepat Degradasi Sub DAS

Menyelamatkan Monyet Belanda dari KalimantanBiologi Konservasi Bekantan

Penyiapan Lahan Tanpa Bakar

Jelutung Rawa untuk Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut

9

13

1

11

5

Pengendalian Penyakit Karat Tumor pada Sengon

Pengendalian Hama pada Tanaman Penghasil Gaharu

Diagnosis Penyakit Tanaman Hutan

Pengendalian Hama Kutu Lilin pada Pinus

Pestisida Nabati untuk Pengendalian Hama dan Penyakit

19

23

15

21

17

Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Hutan

Page 5: Buku Seri Iptek 2

Penanganan Benih

Teknik Penanganan Benih Rekalsitran

Teknik Penanganan Benih Ortodok 25

27

Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia

Atlas Rotan Indonesia

Atlas Kayu Indonesia

Xylarium Bogoriense 1915

Herbarium Wanariset

39

43

35

41

37

Sumber Informasi Benih, Kayu, Jenis Pohon dan Rotan

Sidik Cepat Pemilihan Jenis Pohon Hutan Rakyat 29

Sistem Paku Berpori (SIMPORI) untuk Inokulasi Gaharu

Hibrid BS-08 dan BS-09 Bibit Ulat Sutera Berkualitas 33

31

IPTEK Inovatif

Para Inovator 47

Alamat Unit Kerja 49

Page 6: Buku Seri Iptek 2

Para Inovator

47

Ir. Paimin, [email protected]

51

M. [email protected]

9

Illa Anggraeni [email protected]

19 2115

Ragil [email protected]

17

Dony [email protected]

13

[email protected]

23

[email protected] Kurniaty

25

Naning [email protected]

25 27

25

Dida Syamsuwida

2725

[email protected] Neo Endra [email protected]

15 19 21

Page 7: Buku Seri Iptek 2

48

Lincah [email protected]

33

[email protected]

37

PenelitiPustekolah

&Puskonser

Peneliti Pustekolah dan [email protected], [email protected]

39

Sri [email protected]

41

Budiman [email protected]

29

Sentot [email protected]

31

Peneliti BPTPTH [email protected]

35

PenelitiBPTPTH Bogor

Mien [email protected]

33

Ari [email protected]

11

Kade [email protected]

43

Page 8: Buku Seri Iptek 2

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan KehutananJalan Gunung Batu No. 5, Po.Box. 272, Bogor 16110, Telp. 0251 - 8633944, Fax. 0251 - 8634924www.puspijak.org, [email protected], [email protected]

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, YogyakartaJalan Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Yogyakarta 55582, Telp. 0274 - 895954, Fax. 0274 – 896080

www.biotifor.or.id, [email protected], [email protected]

Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, SamarindaJalan A. Wahid Syahrani No. 68, Sempaja, Po. Box. 1206, Samarinda, Kalimantan Timur, Telp. 0541 - 206364, Fax. 0541 - 742298

www.diptero.or.id, [email protected]

Balai Penelitian Kehutanan, Aek NauliJalan Raya Parapat Km. 10,5 Sibaganding, Parapat , Sumatera Utara 21174, Telp. 0625 - 41659, Fax. 0625 – 41659

http://bpk-aeknauli.litbang. dephut.go.id, [email protected], [email protected]

1

2

3

4

5

6

7

8

949

Unit Kerja Lingkup Badan Litbang Kehutanan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan RehabilitasiJalan Gunung Batu No. 5, Po. Box. 165, Bogor 16610, Telp. 0251- 8633234, 520067, Fax. 0251 - 8638111www.p3kr.com , [email protected], [email protected]

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas HutanJalan Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp. 0251 - 8631238, Fax. 0251 – 7520005www.forplan.or.id, [email protected], [email protected]

Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil HutanJalan Gunung Batu No. 5, Po. Box. 182, Bogor 16610, Telp. 0251 - 8633378 Fax.0251 - 8633413www.pustekolah.org, [email protected], [email protected]

Balai Penelitian Kehutanan, PalembangJalan Kol. H. Burlian Km. 6,5 Kotak Pos 179, Punti Kayu, Palembang, Telp. 0711 - 414864, Fax. 0711 - 414864

www.bpk-palembang.org, [email protected], [email protected]

Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan, KuokJalan Raya Bangkinang Kuok Km. 9, Bangkinang, Riau 28294 Telp. 0762 - 7000121 Fax. 0762 – 7000122

http://www.balithut-kuok.org, [email protected]

Page 9: Buku Seri Iptek 2

10

11

12

13

14

15

16

17

18

1950

Balai Penelitian Kehutanan, BanjarbaruJalan Ahmad Yani Km. 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan 70721, Telp. 0511 - 4707872, Fax. 0511 - 4707872www.foreibanjarbaru.or.id, [email protected]

Balai Penelitian Kehutanan, KupangJalan Untung Surapati No. 7. PO. Box. 69, Kupang, NTT 85115, Telp. 0380 - 823357, 831068, Fax. 0380 - 831068

www.foristkupang.org, [email protected]

Balai Penelitian Kehutanan, MakassarJalan Perintis Kemerdekaan Km. 16,5 Makassar 90243, Telp. 0411 - 554049, Fax. 0411 - 554058www.balithutmakassar.org, [email protected], [email protected]

Balai Penelitian Kehutanan, ManadoJalan Raya Adipura Kel. Kima Atas, Po. Box 1390, Kec. Mapanget, Manado 95119, Telp. 0431 - 3666683, Fax. 0431 - 3666683www.bpkmanado.or.id, [email protected], [email protected]

Balai Penelitian Kehutanan, ManokwariJalan Inamberi, Pasir Putih, Manokwari, Papua Barat 98131, Telp. 0986 - 213437, 213440, Fax. 0986 - 213441, 213447www.balithutmanokwari.com, [email protected], [email protected]

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, CiamisJalan Raya Ciamis - Banjar Km. 4, Ds. Pamalayan, Ciamis, Jawa Barat 46201, Telp. 0265 - 771352, Fax. 0265 - 775866

www.bptaciamis.dephut.go.id, [email protected], [email protected]

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, SoloJalan Jend. A. Yani Pabelan Kotak Pos 295, Surakarta 57012 Telp. 0271 – 716709 Fax. 0271 - 716959

www.bpk-solo.litbang.dephut.go.id, [email protected], [email protected]

Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, BogorJalan Raya Ciheuleut Po. Box. 105, Bogor 16001, Telp. 0251 - 8327768, 8380065, Fax. 0251 - 8327768

http://bptpbogor.litbang.dephut.go.id, [email protected]

Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu, MataramJalan Dharma Bhakti No. 7 Po.Box. 1054, Ds. Langko Kec. Lingsar, Lombok Barat, NTB 83371, Telp. 0370 - 6573874, Fax. 0370 - 6573871

www.balithut-mataram.org, [email protected]

Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam, SambojaJalan Sukarno Hatta Km.38, Samboja, Po. Box 578, Balikpapan 76112, Telp. 0542 – 7217663, Fax. 0542 – 7217665www.balitek-ksda.or.id, [email protected], [email protected]

Page 10: Buku Seri Iptek 2

grae daD st i a Sp ue bC Dki Ad SiS

Lohn

ag

n

s

a

o

T

r

nad rijnaB isagitiM

kin

keT

1ga

nn

u H

d

u

ni

t

lr

a

e

n

P nad isavresno

K

Page 11: Buku Seri Iptek 2

bila ith ae siR Hk uu tt an nu Ra aw wa aR Gg an mut bu ul teJ

n Ma ok nt ya em t a Bl ee ly an ne daM dari Ka

lima

ntan

Page 12: Buku Seri Iptek 2

1

Sidik Cepat Degradasi Sub DAS

ola pengelolaan sumberdaya alam Pvegetasi, tanah dan air yang eksploitatif dan ekspansif telah menurunkan daya dukung daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia. Bencana banjir, erosi, sedimentasi, kekeringan dan tanah longsor yang sering terjadi adalah buktinya. Sejauh ini, dinamika kondisi potensi dan tingkat kerentanan/ degradasi DAS belum dideteksi secara dini dan periodik, sehingga bencana sering terjadi tanpa sempat diantisipasi. Kondisi tersebut menunjukkan masih lemahnya sistem pengelolaan DAS.

Sidik cepat degradasi sub DAS menyajikan metode yang dapat menginformasikan potensi dan tingkat kerentanan/degradasi suatu Sub DAS. Metode ini memungkinkan pihak pengelola sub DAS menyusun rencana, monitoring dan evaluasi pengelolaan sub DAS secara komprehensif meliputi aspek biofisik dan sosial ekonomi.

Sidik cepat degradasi sub DAS digunakan untuk memperoleh gambaran spesifik sub DAS yang dicirikan oleh parameter keadaan morfometri, topografi, tanah, geologi, vegetasi penggunaan lahan, hidrologi dan manusia. Parameter-parameter tersebut disusun dalam formula karakteristik yang memberikan informasi kinerja sub DAS berupa tingkat kerentanan/ permasalahan dan potensinya.

Sistem karakterisasi sub DAS dapat digunakan sebagai alat penyidikan secara cepat terhadap degradasi sub DAS, baik letak/tempat, penyebab, ataupun tingkat degradasinya.

Kondisi lahan kritisFoto: Paimin

Kondisi DAS pasca banjir longsor di JemberFoto: Paimin

D e s k r i p s i

1

Page 13: Buku Seri Iptek 2

grae daD st i a Sp ue bC Dki Ad SiS

Lohn

ag

n

s

a

o

T

r

nad rijnaB isagitiM

kin

keT

1ga

nn

u H

d

u

ni

t

lr

a

e

n

P nad isavresno

K

Page 14: Buku Seri Iptek 2

bila ith ae siR Hk uu tt an nu Ra aw wa aR Gg an mut bu ul teJ

n Ma ok nt ya em t a Bl ee ly an ne daM dari Ka

lima

ntan

Page 15: Buku Seri Iptek 2

Sistem karakterisasi

Karakteristik sub DAS disusun berdasarkan faktor alami (statis) dan faktor manajemen DAS (dinamis). Faktor alami seperti iklim, morfometri, geologi, tanah dll membentuk karakteristik dasar DAS. Faktor manajemen yaitu intervensi manusia berupa pengelolaan sumberdaya alam dalam DAS, terutama masukan teknologi akan membentuk karakteristik aktual DAS (Gambar 1 dan 3).

Potensi dan degradasi Sub DAS, diukur dari aspek/komponen: (1) banjir dan daerah rawan banjir, (2) kekeringan, (3) kekritisan lahan, (4) tanah longsor, dan (5) sosial ekonomi. Setiap parameter dalam komponen/aspek diberi bobot berdasarkan pertimbangan besarnya peran dalam aspek tersebut. Penghitungan nilai setiap aspek/komponen karakteristik Sub DAS dilakukan dengan cara menjumlahkan seluruh hasil kali dari skor dan bobot pada setiap parameter dibagi 100.

Penilaian degradasi

Masing-masing parameter penyusun setiap aspek/komponen tersebut selanjutnya diklasifikasi dalam 5 (lima) besaran yang dinyatakan dalam ketegori tinggi, agak tinggi, sedang, agak rendah, dan rendah terhadap komponen yang dilihat. Nilai kategori tinggi menunjukkan kondisi Sub DAS rentan terhadap degradasi, sedangkan nilai kategori rendah menunjukkan potensi (Tabel 1). Untuk mengetahui sumber penyebab degradasi pada setiap aspek/komponen karakteristik Sub DAS dilakukan dengan menelusuri parameter yang memiliki nilai/skor tinggi, sehingga rekomendasi penanganannya akan disesuaikan dengan tingkat masalah yang dihadapi.

Gambar 1. Faktor dasar rumusan karakterisasi sub DAS

Kategori Nilai Tingkat Kerentanan/Degradasi

Tinggi >4,3 Sangat rentan/terdegradasi

Agak Tinggi 3,5 – 4,2 Rentan/terdegradasi

Sedang 2,6 – 3,4 Agak rentan/terdegradasi

Agak Rendah 1,7 – 2,5 Sedikit rentan/terdegradasi

Rendah < 1,7 Tidak rentan/terdegradasi

Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerentanan/degradasi sub DAS

Sumber: Paimin, dkk (2010).

Aplikasi

2

Page 16: Buku Seri Iptek 2

Gambar 2. Proses penyidikan degradasi sub DAS

Bagaimana mengembangkan metode tersebut menjadi dasar dalam menyusun sistem perencanaan dan monev pengelolaan DAS yang selaras dengan sistem perencanaan pembangunan daerah maupun skala operasional. Formulasi karakterisasi DAS yang dibangun akan berbeda untuk setiap tingkatan hirarki pengelolaan DAS sesuai dengan strukturnya yakni tingkat nasional, DAS, dan sub DAS.

Tantangan

Aplikasi (lanjutan)

Inovator :Unit Kerja : Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

(BPTKPDAS) SoloE-mail : [email protected], [email protected] : Koleksi PaiminInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Paimin, Sukresno (alm.) dan Purwanto

Keterangan

Teknik penyidikan

Penyidikan degradasi sub DAS dimulai dengan menganalisis paramater kondisi luaran (output) sistem pengelolaan sub DAS yakni hidrologi dan produksi, karena merupakan indikasi awal kesehatan/degradasi suatu sub DAS. Analisis selanjutnya dilakukan terhadap kondisi biofisik, sosial, ekonomi, teknologi dan kelembagaan, untuk mengetahui (1) jenis penyakit/degradasi, (2) faktor penyebab degradasi, dan (3) tempat (sumber) terjadinya degradasi (Gambar 2).

Data dan informasi parameter penyusun karakteristik sub DAS dapat diperoleh dari data dan peta yang tersedia serta survei lapangan. Perangkat sistem informasi geografis (Geographic Information Systems/GIS) bisa digunakan untuk memudahkan pekerjaan penyusunan satuan peta (lahan). Parameter dalam satuan peta ini dikoreksi pada kegiatan survei lapang.

Informasi detil terdapat dalam buku Sidik Cepat Degradasi Sub DAS (2010) yang diterbitkan oleh BPTKPDAS Solo.

3

Page 17: Buku Seri Iptek 2

Kondisi pasca bencana banjir dan tanah longsor di LangkatFoto: Paimin

Kondisi pasca bencana banjir dan tanah longsor di WasiorFoto: Paimin

Kondisi pasca bencana banjir dan tanah longsor di WasiorFoto: Paimin

Gambar 3. Faktor-faktor karakteristik DAS tersusun dalam sistem DAS

Faktor Yang Mempengaruhi Karakter DAS

Faktor Relatif Sulit Dikelola (Statis)

Faktor Relatif Mudah Dikelola (Dinamis)

HUJAN (Masukan)

MORFO METRI

GEO LOGI

VEGE TASI

KESUBURAN TANAH

RELIEF MIKRO

MANUSIASosial

Ekonomi

IPTEK

Kelembagaan

(Masukan)

TANAH RELIEF MAKRO PENGGUNAAN

LAHAN - HUTAN

- NON HUTAN

PRODUKSI, LIMPASAN, SEDIMEN TANAH LONGSOR, JASA (Luaran)

DAS = PROSESOR

4

Page 18: Buku Seri Iptek 2

encana banjir dan tanah longsor Bmasih sering terjadi di Indonesia dengan beragam luas daerah tangkapan air (DTA) dan waktu. Pandangan kurang benar sering digunakan dasar justifikasi bahwa timbulnya bencana banjir dan tanah longsor sebagai akibat penebangan hutan. Oleh karena itu pandangan terhadap tanah longsor dan banjir perlu ditelaah secara kasus per kasus berdasarkan hasil analisis sebab-akibat yang faktual dan rasional.

Identifikasi karakteristik daerah banjir dan tanah longsor merupakan dasar untuk melakukan diagnosis faktor utama yang menyebabkan kerawanan banjir dan tanah longsor, sehingga kemudian dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menyusun rencana tindak teknik

Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor

Tanah longsor dekat pemukimanFoto: Paimin

D e s k r i p s i

Banjir di daerah pemukimanFoto: Paimin

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana melalui pembangunan fisik serta peningkatan kesadaran dan kemampuan menghadapi bencana. Teknik mitigasi banjir dan tanah longsor adalah bagian dari sistem pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Acuan utama yang digunakan dalam penyusunan teknik ini adalah 'Sidik Cepat Degradasi Sub DAS'.

Teknik mitigasi banjir dan tanah longsor ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan para pihak dalam melakukan pengendalian daerah rawan bencana banjir dan tanah longsor. Beberapa peristiwa yang belakangan terjadi menunjukkan bahwa kejadian banjir bandang merupakan proses kombinasi (multi-proses) dari tanah longsor dan banjir. Pemahaman tersebut akan menuntun para pihak dalam mewaspadai ancaman bencana secara dini serta mampu melakukan tindakan pencegahan, pengurangan kemungkinan kerugian dan pengendalian secara cepat dan tepat.

5

2

Page 19: Buku Seri Iptek 2

Gambar 1. Diagram alir identifikasi kerawanan banjir

Gambar 2. Diagram alir identifikasi kerawanan tanah longsor

Aplikasi

Tindakan yang perlu dilakukan untuk mitigasi banjir dan tanah longsor mencakup identifikasi daerah rawan bencana, teknik pengendalian dan teknik peringatan dini. Semua tindakan tidak mungkin dilakukan sepihak dari atas (top down) ataupun dari bawah (bottom up) tetapi merupakan tindakan terpadu dari atas dan dari bawah. Kewaspadaan masyarakat penghuni wilayah rawan bencana sangat diperlukan, dan pengembangan keberdayaan masyarakat dalam mitigasi bencana alam harus selalu dilakukan secara nyata setiap saat.

Identifikasi daerah rawan bencana

Identifikasi tingkat kerawanan banjir dipilah antara identifikasi daerah rawan terkena banjir (kebanjiran) dan daerah pemasok/potensi air banjir (Gambar 1). Hal ini penting untuk memudahkan cara identifikasi sumber bencana secara sistematis sehingga diperoleh teknik pengendalian yang efektif dan efisien. Melalui identifikasi di atas, dapat dianalisis hubungan sebab-akibat kejadian banjir di wilayah tersebut.

Identifikasi daerah yang rentan tanah longsor dilakukan secara skematis seperti Gambar 2. Berdasar hasil identifikasi diperoleh sintesis sebagai berikut:a. Tingkat kerentanan/kerawanan lahan terhadap longsorb. Tingkat ancaman tanah longsor terhadap penduduk/pemukiman dan

penyumbatan palung sungaic. Penggunaan lahan di daerah rawan bencana tanah longsor – berkaitan dengan tanggung jawab pemangkunyad. Usulan kegiatan pengendalian tanah longsor yang sesuai

6

Page 20: Buku Seri Iptek 2

Identifikasi daerah yang kemungkinan terjadi multi-proses tanah longsor dan banjir adalah sama seperti mengidentifikasi kerawanan bencana sebelumnya, hanya kedua identifikasi tersebut disatukan pada satuan sistem sungai dalam DTA.

Teknik pengendalian banjir

Teknik pengendalian banjir harus dilakukan secara komprehensip pada daerah yang rawan terkena banjir dan daerah pemasok air banjir. Prinsip dasar pengendalian daerah kebanjiran secara teknis dilakukan dengan meningkatkan dimensi palung sungai sehingga aliran air yang lewat tidak melimpah keluar dari palung sungai.

Sedangkan teknik pengendalian banjir di DTA bertumpu pada prinsip penurunan koefisien limpasan (C) melalui teknik konservasi tanah dan air (KTA). Teknik KTA yang digunakan yakni: (1) upaya meningkatkan resapan air hujan yang masuk ke dalam tanah, (2) dan mengendalikan limpasan air permukaan pada pola aliran yang aman. Bentuk teknik yang diaplikasikan dapat berupa teknik sipil, vegetatif, kimiawi, maupun kombinasi dari ketiganya, sesuai dengan jenis penggunaan lahan dan karakteristik tapak (site) setempat.

Semua upaya tersebut sangat terkait dengan kemampuan tanah/lahan dalam mengendalikan air hujan untuk bisa masuk ke dalam bumi, termasuk vegetasi/hutan yang ada di atasnya. Jenis tanaman hutan yang sama dimana yang satu tumbuh di atas lapisan tanah tebal dan satunya lagi di atas lapisan tanah tipis, akan memiliki dampak yang berbeda dalam mengendalikan limpasan air permukaan atau banjir.

Teknik pengendalian tanah longsor

Teknik pengendalian tanah longsor terdiri atas metode vegetatif dan teknik sipil. Arahan teknik pengendalian tanah longsor akan berbeda-beda untuk berbagai tingkatan kelongsoran dan penggunaan lahan (Tabel 1.).

Tingkat Longsor Penggunaan Lahan

Hutan Tegal Sawah Pemukiman

Belum longsor Vegetatif Vegetatif Teknik Sipil Tek.Sipil & Vegetatif

Retakan/rekahan Tek.Sipil & Vegetatif

Tek.Sipil & Vegetatif

Teknik Sipil Tek.Sipil & Vegetatif

Longsor Tek.Sipil & Vegetatif

Tek.Sipil & Vegetatif

Tek.Sipil & Vegetatif

Tek.Sipil & Vegetatif

Tabel 1. Arahan teknik penanggulangan bencana tanah longsor pada berbagai penggunaan lahan dan tingkatan proses longsor

Sumber: Paimin, dkk (2010).

Aplikasi (lanjutan)

7

Page 21: Buku Seri Iptek 2

Pendekatan pengendalian tanah longsor berbeda dengan pengendalian erosi permukaan, bahkan bertolak belakang. Pada pengendalian tanah longsor diupayakan agar air tidak terlalu banyak masuk ke dalam tanah yang bisa memenuhi ruang antara lapisan kedap air dan lapisan tanah. Pada pengendalian erosi permukaan air hujan diupayakan masuk ke dalam tanah sebanyak mungkin sehingga energi pengikisan dan pengangkutan partikel tanah oleh limpasan permukaan dapat diminimalkan. Dengan demikian tindakan mitigasi tanah longsor harus lebih hati-hati apabila pada tempat yang sama juga mengalami degradasi akibat erosi permukaan (rill and interrill erosion).

Teknik Peringatan Dini

Untuk mengurangi kerugian, baik material maupun jiwa, akibat bencana banjir dan tanah longsor diperlukan tindakan kewaspadaan masyarakat atas ancaman bencana tersebut. Dengan telah teridentifikasinya daerah rawan bencana, maka gejala alam yang ada dapat dimanfaatkan sebagai peringatan dini bagi masyarakat yang diperkirakan akan terkena musibah.

Informasi detil terdapat dalam buku Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor (2009) yang diterbitkan oleh Tropenbos International Indonesia Programme.

Aplikasi (lanjutan)

Inovator : Paimin, Sukresno (alm.) dan Irfan Budi PramonoUnit Kerja : Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

(BPTKPDAS) SoloE-mail : [email protected] dan [email protected] : Koleksi PaiminInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Keterangan

Bagaimana agar masyarakat dan para pihak secara dini dapat melakukan identifikasi wilayah rawan bancana banjir dan tanah longsor, tindakan preventif (pencegahan), pengurangan kemungkinan kerugian akibat bencana, dan persiapan dalam melakukan respon darurat, sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing.

Perlu disadari bahwa teknik mitigasi banjir dan tanah longsor tidak paralel, bahkan bisa bertentangan, sehingga dalam pemilihan jenis teknik pengendalian harus dengan pertimbangan seksama. Teknik pengendaliannya akan lebih rumit apabila lahan yang mengalami degradasi oleh erosi (pendorong banjir) berada bersama dalam satuan lahan dengan lahan yang rawan terjadi longsor.

Tantangan

Daerah Terkena Banjir Bandang Multi-Proses Banjir dan Tanah Longsor (banyak ditemui endapan butir tanah kasar)

Foto: Paimin

8

Page 22: Buku Seri Iptek 2

egradasi hutan lahan basah sebagai habitat Dbekantan serta perburuan

liar, telah menurunkan populasi bekantan sampai 90% dalam 20 tahun terakhir.

Berdasarkan data IUCN Red Data Book of Endangered Species (2008) status konservasi bekantan adalah Endangered dan berdasarkan CITES, bekantan dikelompokkan dalam Appendix I.

Sebagai salah satu keanekaragam hayati hutan tropis Indonesia, bekantan perlu diselamatkan. Rehabilitasi dan restorasi habitat, konservasi eksitu dan peningkatan kepedulian masyarakat adalah program konservasi yang harus dilakukan.

Menyelamatkan Monyet Belanda dari KalimantanBiologi Konservasi Bekantan

Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) atau yang sering juga disebut sebagai Monyet Belanda adalah satwa endemik Kalimantan. Bekantan adalah jenis satwa dengan klasifikasi, ordo Primata, famili Cercophitecidae, dan sub-famili Colobinae. Bekantan hidup dalam habitat terbatas pada hutan bakau, hutan di sekitar sungai dan habitat rawa gambut yang sebagian telah terdegradasi oleh berbagai aktivitas manusia.

Untuk mengatasi permasalah habitat dan penurunan populasi bekantan, program-program konservasi yang harus dilakukan adalah:1. Inventarisasi sebaran, habitat, dan populasi bekantan2. Rehabilitasi dan restorasi habitat yang potensial bagi pengembangan populasi bekantan3. Pengembangan tingkat kepedulian masyarakat dalam

melakukan konservasi sempadan sungai dan satwa4. Pengaturan penggunaan sungai sebagai alat transportasi, pencegahan masuknya limbah ke sungai, dan restorasi hutan sempadan sungai habitat bekantan5. Pengembangan konservasi eksitu6. Pengembangan wisata alam dengan objek bekantan sebagai upaya peningkatan nilai ekonomi bagi masyarakat lokal serta konservasi sungai dan7. Peningkatan peran kelembagaan pengelolaan kawasan hutan yang terkait dengan pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan

D e s k r i p s i

Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.)Foto: Tri Atmoko

9

3

Page 23: Buku Seri Iptek 2

Aplikasi

Data sebaran populasi sangat diperlukan untuk menentukan status konservasi dan program prioritas penyelamatannya. Inventarisasi sebaran populasi juga terkait dengan program rehabilitasi, restorasi dan pemanfaatan kawasan sebagai objek wisata alam.

Program rehabilitasi atau restorasi diarahkan pada pengayaan jenis jenis tumbuhan pakan yang mengandung mineral dan protein tinggi. Pembinaan habitat ini diarahkan agar sub populasi yang berkelompok dalam kawasan tersebut dapat mencapai angka populasi minimum (250 individu). Program ini dapat dikombinasikan dengan pengembangan agrowisata, terutama jika rehabilitasi sempadan sungai dikombinasikan dengan tanaman buah-buahan.

Upaya konservasi eksitu dengan penangkaran telah dilakukan oleh kebun binatang dan Taman Safari Indonesia (TSI). Indikasi keberhasilan sudah ditunjukkan dengan lahirnya anak bekantan di penangkaran tersebut.

Pemanfaatan kawasan hutan tepi sungai harus diatur di areal minimal selebar 500 m dari tepi sungai agar tidak menggangu habitat bekantan. Selain itu, lalu lintas transportasi di sungai tersebut juga harus diatur agar tidak terjadi kebisingan tinggi yang dapat menimbulkan stress pada bekantan, terutama di sungai kecil.

Informasi detil terdapat pada buku Biologi Konservasi Bekantan (2009) yang diterbitkan oleh Puskonser.

Penulis : M. BismarkUnit Kerja : Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser)E-mail : [email protected], [email protected], [email protected] : Tri Atmoko dan Bina Swasta SitepuInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Keterangan

Menyelamatkan bekantan sangat tergantung pada kondisi habitat yang merupakan sumber pakannya. Mengingat bahwa pakan bekantan banyak tersimpan di hutan bakau, maka penyelematan bakau akan sekaligus dapat menyelamatkan bekantan. Dalam program pelestarian bekantan, diperlukan informasi perilaku dan faktor lingkungan habitat yang mendukung terhadap kebutuhan pakan dan keamanan dari perburuan.

Tantangan

Sekelompok bekantan di atas pohonFoto: Bina Swasta Sitepu

10

Page 24: Buku Seri Iptek 2

Penyiapan Lahan Tanpa Bakar

Foto: Sentot

Penyiapan lahan untuk penanaman pada dasarnya adalah kegiatan pembersihan lapangan dan pengendalian kesuburan tanah agar tercipta kondisi lahan yang optimal untuk keperluan penanaman. Cara penyiapan lahan untuk hutan tanaman ditentukan terutama oleh jenis vegetasi awal dan persyaratan tumbuh jenis yang akan ditanam.

Secara umum kegiatan penyiapan lahan tanpa pembakaran dapat dikelompokkan ke dalam persiapan, penebasan dan penebangan, pembersihan lahan, pengolahan lahan, konservasi lahan dan pencegahan kebakaran. Penyiapan lahan dapat dibedakan antara lahan skala perusahaan dan lahan untuk perladangan.

Eboni (Diospyros celebica Bakh.)

egiatan penyiapan lahan untuk penanaman tanaman hutan, pertanian K

atau perkebunan biasanya dilakukan dengan cara pembakaran karena mudah, murah dan cepat.

Cara tersebut menimbulkan banyak kerugian, antara lain minimnya ketersediaan unsur hara dari limbah hutan. Pembakaran lahan juga menimbulkan resiko kebakaran hutan dan pencemaran udara karena asap pembakaran.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman hutan lebih baik pada lahan yang disiapkan tanpa pembakaran. Oleh karena itu, teknik penyiapan lahan yang ramah lingkungan, yakni dengan tanpa bakar sangat diperlukan agar tercipta kondisi lahan yang optimal untuk penanaman dan pertumbuhan tegakan.

D e s k r i p s i

Pembersihan lahan secara mekanis dan pembersihan jalur secara manual)Foto: Hendromono

11

4

Page 25: Buku Seri Iptek 2

Penyiapan lahan

Untuk skala perusahaan dengan luas ribuan hektar, penyiapan lahan dilakukan secara mekanis (Gambar 1). Sedangkan untuk perladangan masyarakat dilakukan secara manual, karena lahan yang diolah biasanya tidak luas (kurang dari 5 hektar).

Penyiapan lahan untuk perladangan dimulai dengan pembuatan batas ladang yang dilanjutkan dengan penebasan, penebangan dan pembersihan lahan.

Pemanfaatan limbah

Limbah hasil penyiapan lahan tanpa bakar mempunyai berbagai potensi untuk dimanfaatkan. Limbah kayu dapat dimanfaatkan untuk bahan baku kayu gergajian, kayu lapis , kayu pulp dan anggelan. Tunggak dan akar kayu dapat dimanfaatkan untuk meubel atau bahan dekorasi. Limbah hutan lainnya yang ditinggal di lapangan dapat dimanfaatkan untuk pembuatan arang, kompos, arang-kompos, dan mulsa sebagai pupuk organik tanaman.

Informasi detil terdapat dalam buku saku Penyiapan Lahan Tanpa Bakar yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (2007).

Aplikasi

Penyusun : Hendromono (alm), Ari Wibowo, D. Martono, Erdy Santoso, Djarwanto, Hendro Prahasto, M. Kudeng Sallata, Rufii’e, Suharyanto, Sulistyo A. Siran, Ika Heriansyah

Unit Kerja : Badan Penelitian dan Pengembangan KehutananE-mail : [email protected], [email protected] : Koleksi Hendromono (alm)

Keterangan

Peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengelola lahan hutan dengan teknik yang ramah lingkungan harus ditingkatkan. Selain itu perlu dikembangkan pola pemanfaatan limbah hasil penyiapan lahan untuk meningkatkan kesuburan lahan dan nilai ekonomi limbah bagi masyarakat.

Tantangan

Gambar 1. Skema penyiapan lahan tanpa bakar

Persiapan

Penebasan &

penebangan

Pembersihan lahan

Pengolahan lahan

Konservasi lahan dan pencegahan

kebakaran

Pemilihan jenis tanaman pokok Penataan batas blok, batas petak Pembukaan jaringan jalan Penyiapan sarana dan prasarana

Dilakukan pada musin kemarau Penebasan semak/pohon kecil Penebangan pohon besar Pengeluaran kayu Tunggak dibongkar atau dibusukkan

Pembersihan manual, mekanis, kimiawi Bersih total, bersih jalur, cemplong Limbah dikumpulkan dalam jalur Limbah dilumatkan untuk mulsa

Pembajakan akhir musim kemarau Penggaruan 2 minggu setelah pembajakan

Pemasangan anggelan, trucuk dll. Pembuatan guludan dll. Pengadaan sarpras pencegahan kebakaran Pembuatan sekat bakar Penyiapan regu pemadam kebakaran

12

Page 26: Buku Seri Iptek 2

Jelutung Rawa untuk Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut

ahan basah khususnya lahan Lgambut

merupakan sumberdaya yang harus dikelola dengan bijaksana karena potensinya yang luas. Oleh karena itu, upaya mempertahankan ekosistem gambut yang masih tersisa dan memperbaiki ekosistem yang rusak harus dilakukan secara terus menerus. Salah satunya melalui rehabilitasi hutan dan lahan gambut melalui kegiatan revegetasi menggunakan jenis jelutung rawa (Dyera polyphylla (Miq.) v. Steenis).

D e s k r i p s i

13

Penanaman jelutung sistem guludanFoto: Koleksi BPK Banjarbaru

Jelutung rawa merupakan jenis

pohon endemik. Di dunia hanya terdapat di dua negara, yakni Indonesia dan Malaysia. Jenis pohon ini di Indonesia hanya terdapat di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan.

Jelutung tergolong jenis emergent (menjulang) pada hutan primer, memiliki bentuk batang yang bagus, tumbuh cepat dan sangat sesuai untuk regenerasi hutan. Jenis ini sangat membutuhkan

cahaya dan pembukaan tajuk akan mendukung pertumbuhannya.

Jelutung rawa memiliki daya adaptasi yang baik dan teruji pada lahan gambut, sehingga sesuai digunakan sebagai tanaman untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi. Selain itu, pertumbuhannya relatif cepat dan dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan yang minimal, serta mempunyai hasil ganda (getah dan kayu). Kayunya untuk baku industri pensil, sedangkan getahnya sebagai bahan baku industri permen karet.

Pertimbangan pemilihan jenis ini, juga didasari oleh kemudahan dalam memasarkan produknya (getahnya) dan aspek silvikulturnya mulai dari teknik perbanyakan (generatif dan vegetatif), teknik persemaian, teknik penanaman sampai dengan teknik pemeliharaan telah diketahui.

(Dyera polyphylla (Miq.) v. Steenis)

5

Page 27: Buku Seri Iptek 2

Pembuatan bibit berkualitasPrinsipnya jelutung rawa dapat diperbanyak baik secara generatif maupun vegetatif. Umumnya jelutung rawa berbuah dua kali setahun pada bulan Mei-Juni dan Januari-Februari. Buah yang telah masak harus diunduh sebelum pecah dan menyebarkan bijinya.

Proses pengecambahan biji dilakukan dengan merendam biji dalam air dingin selama semalam, kemudian ditiriskan dan diletakkan dalam wadah yang lembab. Biji akan mulai berkecambah pada hari ke-11 dan akan mencapai 80% berkecambah selama 10–14 hari.

Kecambah selanjutnya dipindahkan ke polybag dan diletakkan di rumah kaca/sungkup plastik. Kurang lebih 1 bulan bibit sudah dapat dipindahkan ke areal naungan. Pada umur 4-5 bulan, bibit sudah mulai dapat dipindahkan ke areal terbuka untuk proses aklimatisasi .

Persiapan lahan dan penanamanPermasalahan genangan dapat dipecahkan dengan membuat pengaturan tata air mikro yang tertutup (tinggi muka air diturunkan tetapi airnya tidak dibuang keluar dari areal).

14

Aplikasi

Inovator : Dony Rachmanadi, Tri Wira YuwatiUnit Kerja : Balai Penelitian Kehutanan BanjarbaruE-mail : [email protected] : Koleksi BPK BanjarbaruInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Keterangan

Untuk pengembangan Jelutung rawa secara luas diperlukan pertimbangan yang matang dari berbagai aspek, yaitu aspek karakteristik lahan, karakteristik jenis, kesesuaian jenis dan faktor-faktor pembatasnya untuk penanaman di lapangan.

Tantangan

Selain itu juga dilakukan pembuatan guludan secara parsial pada tapak-tapak yang tergenang.

Selanjutnya dilakukan pemadatan pada titik tanam untuk meningatkan daya ikat tanah terhadap perakaran. Kegiatan ini juga dilengkapi dengan menambahkan bahan-bahan pembenah tanah (amelioran) berupa arang sekam, arang kayu, dan zeolit yang diarahkan untuk menyerap unsur-unsur beracun yang terdapat di tanah.

Semua kegiatan tersebut menunjukkan hasil yang positif yang diceminkan dari menurunnya variasi pertumbuhan tanaman (30-40%) dan meningkatnya daya hidup tanaman di lapangan (mencapai 70-80%).

Pemeliharaan tanamanTanaman jelutung memerlukan pembebasan dari gulma pencekik maksimal setiap 3 bulan dan dilakukan secara terus menerus karena gulma pencekik ini ternyata masih dapat merobohkan tanaman yang telah berumur 5 tahun.

Page 28: Buku Seri Iptek 2

Kar ati tk Ta uy mn oe rP pn aa dil aa Sd en ne gg on neP

nghe aP sin l a Gam ha an ra uT adap a

ma

H n ail a dnegneP

2

Pen yn aa kd ita Tam na aH mn aai nl a Hd un te ag nn eP

Page 29: Buku Seri Iptek 2

Kua tum a LiH l inn a pil aa dd an Pe ig nn ue sP

tukn Pu ei nt ga eb na dN aa lid ai nsi t Hs ae mP

a

Page 30: Buku Seri Iptek 2

alah satu masalah yang dihadapi dalam Spengembangan sengon saat ini adalah wabah penyakit karat tumor (gall rust). Penyebab penyakit karat tumor pada sengon ialah jenis fungi Uromycladium tepperianum (Sacc.) McAlpine. Pada tanaman muda, penyakit ini dapat menyebabkan kematian. Gejala serangan pada sengon berupa hiperplasia (pembengkakan/pertumbuhan lebih) pada bagian tanaman (daun, cabang, dan batang) yang terserang. Bagian yang bengkak akan berubah menjadi bintil-bintil kecil atau disebut tumor (gall).

Pada tanaman siap panen, penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kualitas kayu sehingga harga jual kayu sengon dapat menurun. Pengelolaan penyakit secara terpadu perlu dilakukan sesegera mungkin. Pencegahan penyakit berbasis ekologi dapat dilakukan melalui penerapan teknik silvikultur yang tepat. Pengendalian dilakukan dengan perpaduan teknik mekanik (pemangkasan tumor sebelum perlakuan) dan pemberian formula campuran belerang-kapur-garam.

Pengendalian Penyakit Karat Tumor pada Sengon

Hampir seluruh areal tanaman sengon terutama di Pulau Jawa terserang penyakit karat tumor dan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Serangan penyakit ini telah mencapai tingkat epidemik dan belum dapat teratasi. Kondisi ini, akan berdampak pada ketersediaan dan kesinambungan bahan baku untuk industri kayu berbasis sengon.

Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan teknik berbasis ekologi. Teknik ini

dilakukan melalui penggunaan varietas yang resisten atau toleran terhadap patogen dan tindakan silvikultur yang tepat. Tindakan silvikultur meliputi penerapan persemaian yang sehat, pola tanaman multikultur dan pemeliharaan tanaman (pemupukan dan penjarangan).

Teknik pengendalian yang sudah dilakukan adalah teknik pengendalian terpadu. Teknik ini mencakup perpaduan teknik mekanik (pemangkasan tumor sebelum perlakuan) dan pemberian formula campuran belerang-kapur-garam dengan komposisi tertentu untuk menghambat pertumbuhan karat tumor pada sengon. Teknik pengendalian tersebut terbukti efektif sampai 96% untuk menghambat pertumbuhan karat tumor pada sengon.

Gall pucukFoto: Illa Anggraeni

D e s k r i p s i

15

6

Page 31: Buku Seri Iptek 2

Upaya pencegahan dan pengendalian dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan yaitu:1. Tahap praepidemi, dengan cara promotif meliputi sosialisasi/diseminasi cara pencegahan kepada petani sengon, serta preventif dengan

menghindari tanaman monokultur. Tindakan preventif meliputi kegiatan silvikultur berupa pengaturan jarak tanam, pemupukan yangtepat, pemangkasan, pengendalian gulma secara selektif, menggunakan pola tanam multikultur.

2. Tahap epidemi, dengan cara eradikasi (tebang pohon yang berpenyakit), isolasi (penjarangan pohon), terapi (pengobatan larutanbelerang, kapur dan garam) dengan komposisi kapur:belerang (1:1), belerang:garam (10:1) dan kapur:garam (10:1) yang dicampur air.Bagian tanaman yang terserang dibersihkan dari tumornya kemudian disemprot /dioles larutan tersebut.

3. Tahap pasca epidemi, dengan cara rehabilitasi tanaman dan pemuliaan pohon (benih dan bibit unggul tahan penyakit).

Informasi lebih detil terdapat dalam buku Penyakit Karat Tumor pada Sengon (2011) yang diterbitkan oleh Pusprohut.

Gejala gall pada ranting pohonFoto: Illa Anggraeni

Gall tua pada batang pohonFoto: Illa Anggraeni

Aplikasi

Sengon merupakan tanaman yang masih menjadi primadona bagi petani hutan rakyat, yang didukung oleh semakin banyaknya industri pengolahan kayu sengon. Hal ini membutuhkan dukungan IPTEK untuk mendukung keberhasilan budidaya dan menghasilkan kayu berkualitas, diantaranya pencegahan dan pengendalian serangan penyakit.

Tantangan

Gall tua pada batang pohonFoto: Illa Anggraeni

Pencegahan penyakit karat tumor dengan cara memotong rantingFoto: Illa Anggraeni

Pencegahan Foto: Illa Anggraeni

penyakit karat tumor dengan cara pemangkasan

Keterangan

Inovator : Illa Anggraeni dan Neo Endra Lelana Unit Kerja : Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan (Pusprohut)E-mail : [email protected] dan [email protected] : Koleksi Illa AnggraeniInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Terapi terhadap pohon yang berpenyakitFoto: Illa Anggraeni

16

Page 32: Buku Seri Iptek 2

Pengendalian Hama padaTanaman Penghasil Gaharu

alah satu kendala yang dihadapi dalam budidaya pohon penghasil gaharu melalui penanaman secara monokultur S

adalah rentannya jenis tersebut terhadap serangan hama.

Serangan hama ulat daun (Heortia vitessoides Moore) meningkat tajam dari tahun ke tahun. Serangan tesebut menghambat pertumbuhan tanaman dan bahkan menimbulkan kematian apabila tidak ditanggulangi dengan baik. Untuk mengatasi serangan hama tersebut, harus diterapkan strategi pengendalian yang tepat baik jangka pendek, menengah dan jangka panjang.

Hama daun yang menyerang pohon penghasil gaharu adalah ulat daun jenis Heortia vitessoides Moore. Ulat tersebut berwarna hijau sedikit kekuning-kuningan di bagian

kepala dan ekor. Warna hitam yang membentuk garis terlihat terbentang dari ujung kepala sampai ekor.

Akibat serangan ini, daun pohon penghasil gaharu menjadi rusak, pohon menjadi meranggas, bahkan mati. Dari hasil pengamatan di lapangan, tingkat serangan hama ulat daun di Hutan Penelitian Carita pada 2008 mencapai 100% dengan intensitas serangan daun bervariasi dari 20-100%.

Pada serangan tingkat awal, terlihat permukaan daun yang muda dimakan oleh larva instar pertama. Pada stadia lebih lanjut, ulat-ulat tersebut menyerang daun-daun hingga ke pucuk pohon sehingga menyebabkan tanaman menjadi gundul.

D e s k r i p s i

Ulat daun Heortia vitessoides MooreFoto: Koleksi Puskonser

17

7

Foto: Koleksi PuskonserIntensitas serangan Heortia vitessoides Moore di KHDTK Carita (Banten) pada Oktober 2008

Page 33: Buku Seri Iptek 2

Pengendalian jangka pendek1.Secara mekanis, pengendalian yang sangat sederhana dengan cara mengambil ulat atau telur yang ada di tanaman

tersebut, khususnya pada persemaian atau bibit yang baru dua tahun. Usaha pencegahan juga dapat dilakukan dengan pemangkasan ranting-ranting bagian bawah pohon agar tidak dihinggapi ngengat pembawa telur ulat.

2.Secara kimiawi, pengendalian ini dilakukan dengan penyemprotan insektisida kontak, sistemik atau dengan insektisida yang berbahan aktif mikroorganisme, seperti Beauveria bassiana atau Bacillus thuringiensis. Teknik ini dikombinasikan dengan pupuk daun seperti gandasil, growmore untuk merangsang tumbuhnya tunas-tunas baru.

Pengendalian jangka menengahPengendalian secara biologi dengan cara menyebarkan semut rangrang (Oecophylla smaradigna) pada pohon penghasil gaharu dalam jumlah yang memadai sehingga mampu untuk memakan telur dan ulat dan ulat daun (Gambar 1).

Pengendalian jangka panjang1.Menggunakan musuh alami, dengan bantuan parasit atau predator dari ulat daun Heortia vitessoides Moore.2.Menggunakan teknik silvikultur, untuk mencegah agar serangan hama ulat daun tidak meluas dan berlangsung cepat. Penanaman

pohon penghasil gaharu dilakukan dengan teknik mencampur dengan tanaman lain, misalnya: tanaman pertanian ( jagung, singkong, cabai, kacang panjang, pisang dan lain-lain) atau tanaman hutan/perkebunan (karet, durian, kelapa sawit, coklat, pohon meranti, jati, pulai, sengon, mimba dll).

Informasi detil terdapat dalam buku Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (2011) yang diterbitkan Puskonser.

Aplikasi

Foto: Titi Kalima dan Jasni

Keterangan

Inovator : Kelompok Peneliti MikrobiologiUnit Kerja: Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser)E-mail : [email protected], [email protected] Gambar : Koleksi PuskonserInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Pusat Litbang

Keterangan

Tingginya minat masyarakat untuk menanam gaharu harus diimbangi dengan dukungan IPTEK yang baik sehingga tercipta kondisi yang sehat bagi pengembangan gaharu. Untuk itu dalam pengusahaannya diperlukan dukungan inovasi ilmu dan teknologi secara terus menerus.

Tantangan

Gambar 1. Semut rangrang (Oecophylla smaradigna) yang memakan ulat daun

Foto: Koleksi Puskonser

18

Page 34: Buku Seri Iptek 2

Diagnosis Penyakit Tanaman Hutan

Foto: Sentot

Diagnosis penyakit tanaman adalah proses mengidentifikasi suatu penyakit tanaman melalui gejala atau tanda yang khas, termasuk faktor lain yang berhubungan dengan proses penyakit tersebut.

Penyakit hutan adalah adanya kerusakan proses fisiologi yang disebabkan oleh tekanan/gangguan yang terus menerus dari penyebab utama (biotis/abiotis). Gangguan ini mengakibatkan aktivitas sel/jaringan menjadi abnormal, yang diekspresikan dalam bentuk patologi yang khas disebut gejala.

Gejala tersebut memberikan petunjuk apakah tanaman sehat atau sakit. Gejala penyakit tanaman dibagi atas tiga tipe utama, yakni gejala nekrotik, hipoplastik dan hiperplastik.

erangan penyakit adalah salah satu

resiko yang dihadapi hutan tanaman. SPenyakit ini dapat menyebabkan kegagalan

tanaman yang berujung pada kerugian finansial

yang besar.

Informasi mengenai karakteristik penyakit

tanaman hutan sangat dibutuhkan untuk

mencegah dan menanggulangi penyakit

tersebut secara dini.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, disarikan

informasi gejala 15 jenis penyakit pada 21 jenis

pohon tanaman hutan dalam buku ‘Diagnosis

Penyakit Tanaman Hutan’.

Dengan diagnosis penyakit yang cepat dan

tepat, dapat dilakukan teknik pengendalian

yang sesuai, sehingga kerusakan yang lebih

berat dapat dicegah.

D e s k r i p s i

Gejala penyakit embun tepung pada daun akasiaFoto: Illa Anggraeni

Gejala penyakit antraknosa pada daun nyatohFoto: Illa Anggraeni

19

8

Page 35: Buku Seri Iptek 2

Agar diagnosis akurat diperlukan pembuktian dengan menggunakan metode Postulat Koch sebagai berikut:1.Patogen yang diduga harus selalu berasosiasi pada tanaman sakit2.Patogen harus dapat diisolasi dan ditumbuhkan sebagai biakan murni3.Biakan murni tersebut jika diinokulasikan ke tanaman sehat, harus menghasilkan gejala dan tanda

penyakit yang sama4.Bila penyebab penyakit direisolasi dari tanaman yang diinokulasi tersebut, akan dihasilkan biakan murni

yang sama dengan penyebab yang diisolasi dari tanaman sakit yang didiagnosa.

Informasi detil terdapat dalam buku Diagnosis Penyakit Tanaman Hutan (2011) yang diterbitkan Pusprohut.

Aplikasi

Penyusun : Illa Anggraeni dan Neo Endra LelanaUnit Kerja : Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan (Pusprohut)E-mail : [email protected] dan [email protected] Gambar : Koleksi Illa AnggraeniInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Keterangan

Dari hasil diagnosis, dapat dikembangkan metode pengendalian penyakit yang efektif. Metode yang dikembangkan harus memperhatikan dampak terhadap lingkungan dan makhluk hidup lainnya.

Tantangan

Bercak, layu, gosong, mati pucuk, dan rebah semai adalah beberapa ciri gejala nekrotik, yang terjadi akibat kerusakan atau kematian pada sel tanaman.

Gejala hipoplastik ditunjukkan dengan ciri tanaman kerdil, terhambatnya pertumbuhan pada bagian tertentu, menguning, pertumbuhan yang cepat karena kekurangan cahaya, dan daun tampak terpusar membentuk satu karangan. Gejala ini disebabkan oleh terhambat/terhentinya pertumbuhan sel.

Sedangkan ciri mengkriting, gall/tumor, kudis dan perubahan warna (selain menguning) adalah gejala hiperplastik, yang disebabkan oleh pertumbuhan sel yang lebih dari biasanya.

Deskripsi (lanjutan)

Gejala penyakit karat daun pada jatiFoto: Illa Anggraeni

Gejala penyakit bercak daun pada jabonFoto: Illa Anggraeni

Gejala penyakit bercak daun pada tusamFoto: Illa Anggraeni

20

Page 36: Buku Seri Iptek 2

Pengendalian Hama Kutu Lilin pada Pinus

ondisi hutan tanaman yang monokultur sangat beresiko Kmendapat serangan hama dan

penyakit. Jenis serangga Pineus boerneri atau kutu lilin adalah salah satu hama yang menyerang hutan tanaman Pinus merkusii.

Saat ini serangan hama kutu lilin pada pinus telah menyebar di sebagian besar tegakan pinus di Jawa. Hama ini menyerang pinus di semua kelas umur, mulai tanaman muda sampai dengan tanaman akhir daur.

Pohon yang diserang mengalami penurunan produksi getah dan di beberapa wilayah menyebabkan kematian pohon dalam skala luas.

Kondisi tersebut tentunya sangat merugikan, karena pohon pinus sangat potensial baik getah dan kayunya. Teknik pencegahan dan pengendalian yang efektif sangat diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.

D e s k r i p s i

Pinus yang terserang Pineus boerneriFoto: S.E. Intari dan Illa Anggraeni

Pineus boerneri adalah jenis serangga dari famili Adelgidae dan ordo Hemiptera yang dikenal dengan nama kutu lilin. Serangga ini hidup di daerah tropis dan subtropis.

Pada umumnya kutu lilin tubuhnya lunak, berukuran kecil (±1 mm), hidup dan bereproduksi di pangkal pucuk bagian luar pohon. Kutu ini mengeluarkan lilin putih dari lubang

yang terdapat di bagian dorsal (belakang). Kutu lilin dapat memproduksi telur secara parthenogenesis (berkembang biak tanpa perkawinan), sehingga populasi kutu ini cepat sekali berlipat ganda.

Tanda-tanda adanya serangan kutu lilin dapat dilihat berupa adanya bintik-bintik putih atau lapisan putih menempel pada ketiak daun di pucuk-pucuk ranting pinus. Lapisan putih ini merupakan benang-benang lilin yang dikeluarkan kutu, dan merupakan tempat berlindung kutu. Pucuk yang terserang daunnya menguning, kemudian daun dan pucuk menjadi rontok dan kering. Pada tegakan (pohon besar), indikasi serangan dapat diamati secara okuler dengan perubahan warna dan kelebatan tajuk pohon.

Tajuk pohon yang sehat berwarna hijau dan segar, sedangkan tajuk pohon pinus yang sakit (terserang) berwarna hijau kusam, kekuningan. Tajuk pohon yang terserang juga berubah menjadi tipis akibat daun-daun yang rontok.

21

9

Page 37: Buku Seri Iptek 2

Aplikasi

Penyusun : Illa Anggraeni, Neo Endra Lelana dan Wida DarwiatiUnit Kerja : Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan (Pusprohut)E-mail : [email protected], [email protected] dan

[email protected] Gambar : Koleksi Illa Anggraeni dan S.E. IntariInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Keterangan

Pinus adalah salah satu jenis pohon hutan penghasil kayu dan getah andalan yang potensial terutama di Jawa dan Sumatera. Hal ini membutuhkan dukungan IPTEK untuk mendukung keberhasilan budidaya dan menghasilkan produk berkualitas, diantaranya pencegahan dan pengendalian serangan hama.

Tantangan

Deskripsi (lanjutan)

Kondisi pohon pinus yang terserang kutu lilinFoto: Illa Anggraeni

Populasi serangga meningkat pada musim kemarau terutama jika kelembaban pada siang hari dibawah 75% dan berlangsung terus selama 3 – 4 bulan dengan curah hujan kurang dari 10 hari/bulan.

Pada tanaman pinus muda, pengendalian hama kutu lilin sebaiknya dilakukan pada waktu serangan hama masih ringan agar tanaman dapat dipulihkan dengan cepat. Pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan pestisida hayati berbahan aktif Bacillus thuringiensis (4 gram/liter air) yang dicampur dengan cuka kayu (40 cc/liter air). Perbandingan pestisida hayati B. thuringiensis : cuka kayu bila dicampur dengan air 10 liter adalah 20% : 80% atau 8 gram B. thuringiensis + 320 cc cuka kayu. Perlakuan diulang setiap 1-2 bulan sekali dengan cara semprot.Upaya lain yang dapat diterapkan antara lain:1. Melakukan survei dan monitoring untuk mengetahui penyebaran dan dampak

serangan hama kutu lilin dari waktu ke waktu secara detil, sehingga langkah pengendalian dapat diambil secara tepat.

2. Menerapkan teknik silvikultur dengan menggunakan jenis-jenis spesies alternatif, pemilihan tapak yang tidak cocok bagi hama kutu lilin, penjarangan tegakan yang terserang untuk meningkatkan kesehatan (vigoritas) pohon, penanaman lebih dari satu jenis spesies pada suatu lokasi pertanaman (tanaman campuran).

3. Pengendalian secara biologi, dilakukan dengan cara mengintroduksi musuh alami hama kutu lilin.

Informasi detil mengenai hama-hama tanaman kehutanan lainnya terdapat dalam buku Sintesa Hasil Penelitian Hama, Penyakit dan Gulma Hutan Tanaman (2010) yang diterbitkan oleh Pusprohut.

22

Page 38: Buku Seri Iptek 2

Pestisida Nabati untuk Pengendalian Hama dan Penyakit

Pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Menurut FAO (1988) dan US EPA (2002), pestisida nabati dimasukkan dalam kelompok pestisida biokimia karena mengandung biotoksin. Pestisida biokimia adalah bahan yang terjadi secara alami dapat mengendalikan hama dengan mekanisme non toksik.

Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 2400 jenis tanaman yang termasuk dalam 235 famili yang berpotensi sebagai penghasil pestisida nabati. Namun sampai saat ini pemanfaatannya sebagai pestisida nabati belum dilakukan secara maksimal.

Beberapa famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae, Rutaceae dan Zingiberaceae. Namun tidak tertutup kemungkinan untuk ditemukannya famili tumbuhan yang baru atau jenis tumbuhan baru yang termasuk dalam famili tersebut.

23

D e s k r i p s i

anyak dampak negatif yang timbul akibat penggunaan insektisida kimia B

sintetik yang kurang bijaksana. Resistensi, ledakan hama sekunder, terbunuhnya organisme yang berguna, pencemaran lingkungan dan beresiko terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya adalah beberapa masalah yang ditimbulkan.

Oleh karena itu diperlukan alternatif cara pengendalian hama dan penyakit tanaman, yang selain efektif juga mampu meminimalisasi dampak negatif akibat penggunaan insektisida kimia. Salah satunya adalah penggunaan pestisida nabati/botani.

Pemanfaatan agens pengendali hayati atau biopestisida termasuk pestisida nabati sebagai komponen utama dalam sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sudah merupakan kebijakan nasional yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1995.

Akar tubaFoto: Asmaliyah

SitawarFoto: Asmaliyah

SicerekFoto: Asmaliyah

10

Page 39: Buku Seri Iptek 2

Beberapa keuntungan/kelebihan penggunaan pestisida nabati :1.Mempunyai cara kerja yang unik (tidak meracuni/non toksik)2.Mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan.

Selain itu relatif aman bagi manusia dan hewan peliharaan karena residunya mudah hilang

3.Penggunaannya dalam jumlah (dosis) yang kecil atau rendah4.Mudah diperoleh di alam dan relatif lebih mudah pembuatannya.

Dari kegiatan penelitian Badan Litbang Kehutanan di Palembang, diperoleh hasil:1.Ditemukan sekitar 174 jenis tumbuhan yang diduga kuat sangat

potensial sebagai sumber penghasil pestisida nabati2.Dari 174 jenis tersebut, 14 jenis sudah diuji potensinya sebagai

insektisida nabati dalam skala laboratorium dengan menggunakan pelarut air, yaitu: belimbing wuluh (Averrhoa bilimbii), nango (Canangium odoratum), tukas (Caryota mitis), sicerek (Clausena axcavata Burm F), sitawar (Costus spiralis), serai (Andropogon nardus), puar (Nicolaia atropurpurea), edang selasih (Litsea sp.), akar tuba (Derris elliptica), legundi (Vitex trifolia), tubo seluang, rumput kumpeh (Ischaemum intermedium),rumput senyeluang (Commelina nudiflora),

Deskripsi (lanjutan)

sirsak (Annona muricata) dan srikaya (Annona squamosa).

Hasil uji coba 14 jenis tersebut, semuanya dapat menyebabkan kematian ulat Spodoptera litura dengan persentase kematian bervariasi antara 32–98%. Dua jenis lainnya, yaitu daun sirsak (Annona muricata) dan daun srikaya (A. squamosa) dengan pelarut metanol juga dapat menyebabkan kematian ulat kupu kuning (Eurema sp.) masing-masing rata-rata sebesar 70% dan 80%.

3.Satu jenis tumbuhan, yaitu puar/honje (N. atropurpurea) sudah diuji aktivitas biologinya dalam skala laboratorium. Hasilnya menunjukkan ekstrak dengan pelarut etil asetat paling tinggi aktivitas biologinya terhadap ulat S. Litura. Kondisi ini menyebabkan kematian ulat, memperpanjang lama perkembangan ulat, menghambat aktivitas makan dan menurunkan laju pertumbuhan serta menurunkan berat pupa yang diaplikasikan secara kontak.

4.Dua jenis diantaranya yaitu tukas (Caryota mitis) dan sicerek (Clausena axcavata Burm F) sudah dianalisis kandungan bahan aktifnya yang diduga berperan sebagai insektisida, yaitu dari golongan á-ß Organoklorin.

Inovator : Asmaliyah, Sri Utami, dan Etik Ernawati HadiUnit Kerja : Balai Penelitian Kehutanan PalembangE-mail : [email protected] : Koleksi AsmaliyahInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Keterangan

Penelitian dan pemanfaatan biopestisida, khususnya pestisida nabati umumnya masih terbatas pada skala laboratorium dan persemaian. Namun peluang pemanfaatan biopestisida dalam pengendalian hama dan penyakit cukup menjanjika karena beberapa keunggulan yang dimilikinya.

Tantangan

24

Page 40: Buku Seri Iptek 2

3

ihneB nanagnaneP

Page 41: Buku Seri Iptek 2

nana Bg en na ihn e RP e kki an lsk ie trT an

Page 42: Buku Seri Iptek 2

Teknik Penanganan Benih Ortodok

Foto: Sentot

Benih ortodok adalah benih yang dapat dikeringkan sampai kadar air rendah (2,5%) dan disimpan pada suhu dan kelembaban penyimpanan yang rendah tanpa menurunkan viabilitas (kemampuan berkecambah) benih secara nyata.

Secara umum benih ortodok memiliki ciri kulit biji keras, ukuran biji biasanya kecil hingga sedang, kadar air biji segar sebelum masak fisiologis 15-30%, kadar air saat masak fisiologis menurun hingga 6-10%. Benih jenis ini banyak ditemukan di daerah arid dan semi arid, serta merupakan jenis pioner di daerah iklim tropik basah dan sedang.

Benih ortodok biasanya memiliki sifat dormansi, yakni keadaan dimana benih tidak dapat berkecambah walau sudah berada dalam kondisi lingkungan (kelembaban, suhu dan cahaya) yang optimal. Kondisi ini memungkinkan benih dapat disimpan beberapa tahun.

Eboni (Diospyros celebica Bakh.)

penanganan benih adalah proses penting yang harus dilakukan dengan P

baik agar menghasilkan benih bermutu. Benih bermutu merupakan syarat awal untuk menghasilkan tanaman semai yang kuat hingga ke penanaman di lapangan dan akhirnya tegakan pohon yang berkualitas.

Dalam terminologi penanganan benih ada 2 kelompok utama berdasarkan potensi fisiologisnya yaitu benih rekalsitran dan ortodok.

Penanganan kedua jenis benih tersebut berbeda. Oleh sebab itu informasi mengenai teknik penanganan benih sangat diperlukan bagi para praktisi/pengguna benih tanaman hutan.

Benih Acacia crassicarpaFoto: Koleksi BPTPTH Bogor

Benih Eucalyptus pellitaFoto: Koleksi BPTPTH Bogor

D e s k r i p s i

25

11

Page 43: Buku Seri Iptek 2

Penanganan benih ortodok mencakup 3 aspek, yaitu 1) aspek produksi: tegakan benih, musim buah, potensi produksi benih, pengumpulan, ekstraksi dan sortasi; 2) aspek pengujian: kemurnian, kadar air, perlakuan pendahuluan, uji fisiologis dan biokimia, penyakit benih dan berat 1000 butir benih; 3) aspek penyimpanan: kadar air kritis, kondisi ruang simpan dan periode simpan. Pembiakan vegetatif dan pembibitan juga merupakan bagian dari penanganan benih.

Untuk tujuan penyimpanan jangka menengah dan panjang, kadar air benih yang disarankan adalah 4-8%. Secara alami penurunan kadar air dapat dilakukan dengan cara menempatkan benih pada ruang terbuka yang memiliki kelembaban udara sekitar 15-20% dalam waktu yang lama, sehingga tercapai keseimbangan antara kadar air benih dengan kelembaban udara. Namun, pengeringan di udara terbuka sangat tergantung pada kondisi iklim setempat.

Informasi detil terdapat pada buku Teknik Penanganan Benih Ortodok (2003) yang diterbitkan oleh Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, yang memuat teknik penanganan benih 5 jenis pohon yakni merbau, kayu kuku, tisuk, pelita dan krasikarpa.

Aplikasi

Penyusun : Dida Syamsuwida, Rina Kurniaty, Naning Yuniarti, Zaenal Abidin, Hasan RoyaniUnit Kerja : Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH) BogorE-mail : [email protected] dan [email protected] Gambar : Koleksi BPTPTH BogorInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Keterangan

Penelitian mengenai penanganan benih ortodok sudah banyak dilakukan, namun belum seluruh informasi disajikan secara komprehensif. Oleh karena itu perlu segera diterbitkan pedoman penanganan benih ortodok yang memuat lebih banyak jenis benih.

Tantangan

Jenis pohon yang benihnya termasuk benih ortodok antara lain merbau (Intsia bijuga), kayu kuku (Pericopsis mooniana), tisuk (Hibiscus macrophyllus), pelita (Eucalyptus pellita), krasikarpa (Acacia crassicarpa), ampupu (Eucalyptus urophylla S.T.Blake), asam jawa (Tamarindus indica L.), bungur (Langersstroemia speciosa (l.) Pers.), dan masih banyak lagi.

Deskripsi (lanjutan)

Benih TisukFoto: Koleksi BPTPTH Bogor

Benih Intsia bijuga Foto: Koleksi BPTPTH Bogor

26

Page 44: Buku Seri Iptek 2

Teknik Penanganan Benih Rekalsitran

utan alam tropis Indonesia memiliki kekayaan jenis Hpohon yang tinggi. Namun

banyak jenis diantaranya mengalami penurunan populasi di alam. Upaya penyelamatan jenis tersebut dalam bentuk perbaikan hutan alam dan penanaman di hutan tanaman seringkali terkendala oleh sifat benih yang rekalsitran.

Benih rekalsitran ini diketahui memiliki keterbatasan yaitu cepat menurunnya viabilitas benih sejalan dengan menurunnya kadar air dan kecepatan kerusakan sel akibat pengeringan dan temperatur rendah.

Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dalam menangani benih rekalsitran baik penyimpanan dan transportasi sampai ke tempat penanaman.

Benih rekalsitran adalah benih yang cepat rusak (viabilitas menurun) apabila diturunkan kadar airnya, dan tidak tahan disimpan pada suhu dan kelembaban rendah. Penurunan kadar air pada biji tipe ini akan berakibat penurunan viabilitas biji hingga kematian.

Beberapa jenis pohon yang memiliki sifat benih rekalsitran, diantaranya adalah meranti (Shorea selanica), gaharu (Aquilaria malaccensis), damar (Agathis sp.), Kemenyan (Styrax benzoin), Mimba (Azadirachta indica), Bakau (Rhizophora apiculata), dan Nyamplung (Calophyllum inophyllum).

Semai Agathis sp siap sapihFoto: Koleksi BPTPTH Bogor

D e s k r i p s i

27

Pohon dan buah Agathis lorantifolia sp.Foto: Kiki Kiswanto

12

Page 45: Buku Seri Iptek 2

Aplikasi

Penyusun : Naning Yuniarti, Dida Syamsuwida, Aam Aminah, Evayusvita Rustam, Ateng R. HidayatUnit Kerja : Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH) BogorE-mail : [email protected] dan [email protected] Gambar : Koleksi BPTPTH BogorInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Keterangan

Penelitian mengenai penanganan benih rekalsitran sudah banyak dilakukan, namun belum seluruh informasi disajikan secara komprehensif. Oleh karena itu perlu segera diterbitkan pedoman penanganan benih rekalsitran.

Tantangan

Penyimpanan benih

Benih rekalsitran dapat disimpan dalam bentuk semai. Benih segar yang dikumpulkan, segera disemaikan dalam polybag, kemudian dibiarkan tumbuh sehingga mencapai tinggi tertentu dan disimpan dengan memberi bahan pengatur pertumbuhan atau memanipulasi kondisi ruang simpan untuk menghambat pertumbuhan selama penyimpanan. Setelah penyimpanan, dilakukan pengujian di lapangan terhadap kualitas semai yang meliputi daya tumbuh dan daya hidupnya.

Manipulasi faktor lingkungan dengan mengurangi intensitas cahaya (650 lux) dan suhu (25 °C) terhadap kondisi tempat simpan dikombinasikan dengan pemberian paklobutrazol 250 ppm dapat mengurangi kecepatan pertumbuhan semai damar hingga 29% selama penyimpanan 6 bulan dengan persentase tumbuh 97 - 99%.

Transportasi benih

Benih rekalsitran sebaiknya dikemas dalam wadah yang terbuat dari bahan kedap air namun tidak kedap udara. Pengemasan harus mampu melindungi benih dari kerusakan baik faktor mekanis maupun lingkungan. Faktor lingkungan seperti kelembaban dan suhu kemasan selama pengiriman perlu diatur sesuai kebutuhan benih rekalsitran. Kelembaban dan suhu yang tidak terlalu tinggi baik untuk benih rekalsitran. Penambahan media yang lembab seperti serbuk sabut kelapa atau serbuk gergaji olahan dapat membantu menjaga kelembaban dan melindungi benih dari benturan selama pengiriman.

Teknik pengemasan benih rekalsitran jenis damar yang terbaik dengan memasukkan benih ke dalam besek dengan media serbuk sabut kelapa yang dimasukkan ke dalam kantong kain blacu. Sedangkan alat transportasi yang terbaik untuk transportasi benih damar adalah mobil bak terbuka. Dengan perlakuan perlakuan ini dapat menghasilkan nilai daya berkecambah sebesar 77,67%, kecepatan berkecambah 7,8%/hari, dan kadar air benih 43,40%.

28

Page 46: Buku Seri Iptek 2

eniJ s Pn oa hhi oli n m He uP tt aa np Re aC kk yi adi tS

4

fitavonI KETPI

Page 47: Buku Seri Iptek 2

rpe oB r i u (Sk Ia MP POme Rt Is )i uS ntu

k In

ok

ulasi G

aharu

09 - BS ibB itn Ua ld at8 0 S- uS teB rd ai r (i BH ombyx

mo

ri L.) B

erkualitas

Page 48: Buku Seri Iptek 2

Sidik Cepat Pemilihan Jenis Pohon Hutan Rakyat

eberapa faktor yang bisa meningkatkan pendapatan petani hutan diantaranya adalah B

penguasaan informasi pasar dan peningkatan produktivitas hutan rakyat. Peningkatan produktivitas hutan rakyat bisa ditempuh melalui penggunaan jenis unggul dan pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi tempat tumbuh. Petani biasanya kurang memperhatikan faktor pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan kondisi tempat tumbuhnya. Oleh karena itu, ketersediaan informasi kesesuaian jenis pohon dengan kondisi tempat tumbuh sangat dibutuhkan petani.

Panduan pemilihan jenis yang ada saat ini masih menggunakan petunjuk teknis dengan variabel yang sangat detil. Kelemahan format semacam itu adalah informasi yang terkandung tidak mudah dipahami oleh pengguna yang mayoritas adalah petani. Sidik cepat pemilihan jenis pohon hutan rakyat ini menyajikan variabel yang sangat sederhana dan umum dijumpai sehingga diharapkan lebih mudah dipahami petani.

Kondisi DAS pasca banjir longsor di JemberFoto: Paimin

D e s k r i p s i

Sidik Cepat Pemilihan Jenis Pohon Hutan Rakyat merupakan alat bantu bagi petani hutan untuk memilih jenis pohon yang sesuai dengan kondisi tempat tumbuh.

Alat ini menyajikan variabel yang sederhana dan umum dijumpai. Alat ini juga disertai

petunjuk operasional sehingga petani dapat menggunakannya dengan mudah. Pemilihan jenis pohon dilakukan berdasarkan variabel:1. Daur yang diinginkan (daur pendek/10 tahun atau daur panjang/lebih

dari 10 tahun)2. Jenis hasil hutan yang diharapkan (kayu atau non-kayu)3. Kondisi tanah (berlempung, berpasir, berkapur) 4.Altitude/ketinggian dari muka laut (dataran rendah/dibawah 500 m

dpl, dataran tinggi/diatas 500 m dpl)

Sidik cepatFoto: Budiman

29

13

Page 49: Buku Seri Iptek 2

Sidik cepat ini terdiri dari dua lapis bidang datar berbentuk lingkaran. Lapisan dasar berbahan frontlite bersifat statis memuat informasi jenis pohon berdasarkan variable daur, jenis hasil hutan, kondisi tanah, dan altitude

Lapisan depan berbahan acrylic bersifat bisa diputar pada porosnya dilengkapi bidang irisan (jendela baca) untuk membaca variabel dan jenis pohon terpilih (Gambar 1).

Setelah petani mengetahui kondisi tanah dan ketinggian dari laut, serta telah menentukan hasil yang ingin diperoleh dan daur yang ingin diterapkan, maka dengan memutar lapisan depan dan menempatkan jendela baca pada variable yang sesuai, diperoleh informasi pilihan jenis pohon (Gambar 2).

Alat ini juga telah dibuat prototipenya untuk dibagikan ke petani (Gambar 3). Pada tahun 2010 saat gelar Teknologi Tepat Guna XI di Yogyakarta, sebanyak 100 (seratus) sidik cepat ini telah dibagikan ke 20 (dua puluh) unit pilot Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna (Posyantek) yang ada di 8 (delapan) provinsi di Indonesia.

Inovator : Budiman AchmadUnit Kerja : Balai Penelitian Teknologi Agroforestry (BPTA) CiamisE-mail : [email protected] : Koleksi BudimanInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Keterangan

Hutan rakyat saat ini terus berkembang dan menjadi salah satu sumber ekonomi penduduk yang tinggal di Pulau Jawa. Pemilihan jenis yang tepat menjadi salah satu unsur penting untuk mendukung keberhasilan hutan rakyat. Aspek teknis, sosial dan ekonomis harus diperhitungkan dengan baik agar dapat meminimalkan resiko.

Tantangan

Aplikasi

Gambar 1. Pemasangan lapisan depan dan bersifat bisa diputar

Foto: Budiman

Gambar 2. Penampang keseluruhan alat dilengkapi dengan petunjuk

Foto: Budiman

Gambar 3. Prototipe alat dalam ukuran folio yang dibagikan kepada petani

Foto: Budiman

30

Page 50: Buku Seri Iptek 2

Sistem Paku Berpori (SIMPORI) untuk Inokulasi Gaharu

aharu adalah sejenis gumpalan padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum yang Gterdapat pada bagian kayu atau akar tanaman pohon

inang (misalnya: Aquilaria sp.) yang telah mengalami proses perubahan fisika dan kimia akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu tidak semua pohon penghasil gaharu mengandung gaharu.

Kondisi ini yang mendasari penelitian rekayasa pembentukan gaharu melalui teknik inokulasi. Dengan teknologi inokulasi, produksi gaharu dapat direncanakan dan dipercepat melalui induksi jamur pembentuk gaharu pada pohon penghasil gaharu. Hal ini akan mendukung proses produksi gaharu dalam skala industri, sehingga tidak tergantung pada gaharu alam yang saat ini semakin langka.

Berbagai teknik inokulasi telah dicobakan untuk mendapatkan gaharu secara cepat dan berkualitas, salah satunya dengan Sistem Paku Berpori (Simpori). Sistem ini sedang diujicobakan pada pohon gaharu budidaya berdiameter 12-15 cm di Pulau Lombok. Simpori bekerja dengan prinsip sederhana, praktis dan tanpa listrik kualitas gaharu yang dihasilkan cenderung seragam dan berkualitas baik. Pohon gaharu pun diperlakukan dengan lebih baik.

D e s k r i p s i

Teknologi Sistem Paku Berpori (Simpori) ini merupakan salah satu inovasi terbaik tahun 2011 yang masuk dalam buku 103 Inovasi Indonesia Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia.

Simpori berupa paku yang berlubang ditengah dan mempunyai lubang-lubang kecil (pori) dipermukaannya agar isolat patogen/jamur dapat meresap ke dalam jaringan kayu. Paku tersebut

berbahan sejenis stainless steel (anti karat). Ukuran panjang paku 12 cm, diameter lubang tengah 5 mm dan 10 mm dan diameter pori 2 mm.

Alat ini selain mudah digunakan, juga lebih praktis dan murah karena tidak memerlukan listrik. Alat ini juga dilengkapi dengan alat pencabut paku sehingga paku tersebut dapat dipakai berulang-ulang. Alat pencabut paku ini dibuat dari bahan anti karat, dengan panjang 30 mm, berat 1 kg dan diameter sebesar 15 cm. Alat ini digerakkan secara manual dengan sistem ulir dan mampu mencabut paku tanpa tanpa merusak paku dan batang pohonnya.

Foto: Sentot

Paku berpori yang sudah ditancapkan di pohonFoto: Sentot

31

14

Page 51: Buku Seri Iptek 2

Teknik ini dapat digunakan dengan mudah oleh petani gaharu dan masyarakat umum lainnya. Pohon yang dapat diinokulasi adalah pohon sehat berdiameter ± 15 cm dengan pola melingkar (Gambar 2).

Paku berpori ditancapkan ke batang pohon gaharu menggunakan palu sedalam sepertiga diameter batang dengan sudut 10-15°. Setelah menancap sempurna, inokulan gaharu dimasukkan melalui lubang tengah paku menggunakan pipet sesuai dosis yang diinginkan yakni 1 cc, 3 cc atau 5 cc (Gambar 3). Inokulan yang digunakan adalah inokulan produksi Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser).

Paku dapat dicabut setelah proses inokulasi dianggap telah bekerja dengan baik. Paku yang telah dicabut dapat digunakan kembali pada pohon lainnya secara berulang-ulang.

Hasil penelitian menunjukkan indikasi pembentukan gubal gaharu relatif cepat dengan Simpori. Dalam kurun waktu 5 bulan setelah inokulasi dilakukan, diperoleh gubal gaharu dengan panjang rata-rata sebesar 11,57 cm dan lebar rata-rata sebesar 4,69 cm dari tiga lokasi penelitian. (Gambar 4 dan 5).

Aplikasi

Inovator : Sentot AdisasmukoUnit Kerja : Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPTHHBK) MataramE-mail : [email protected] : Koleksi SentotStatus IPTEK : Masuk dalam Buku 103 Inovasi Indonesia dari Business Inovation

Center (BIC), dan sedang proses pengajuan Paten.

Keterangan

Inovasi teknologi inokulasi dengan Simpori sampai saat ini masih terus dikembangkan dalam rangka penyempurnaan alat serta hasil pembentukan gubal gaharu yang lebih optimal baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Teknologi inokulasi Simpori juga mempunyai potensi komersialisasi yang cukup besar, yaitu produksi Simpori dalam skala besar (pabrik). Hasilnya dipasarkan untuk memenuhi permintaan pembudidaya pohon gaharu baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Tantangan

Keterangan Gambar:Gambar 1. Alat pencabut paku berporiGambar 2. Pola inokulasi sistem ringGambar 3. Pemasukan inokulan melalui paku berpori Gambar 4. Pembentukan gubal gaharu hasil Simpori dosis 3 cc pada 5 bulan setelah

inokulasi di Lombok TimurGambar 5. Pembentukan gubal gaharu hasil Simpori dosis 5 cc

pada 5 bulan setelah inokulasi di Lombok Timur

10 cm Permukaan tanah

40 cm

10 cm

Foto: Sentot

Gambar 1. Gambar 2.

Foto: Sentot

Gambar 3.

Foto: Sentot

Gambar 4.

Foto: Sentot

Gambar 5.

32

Page 52: Buku Seri Iptek 2

Hibrid BS-08 dan BS-09Bibit Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Berkualitas

eberhasilan usaha pemeliharaan ulat sutera K

tergantung kepada beberapa faktor yaitu pakan, bibit ulat, kondisi tempat pemeliharaan dan sistem pemeliharaan.

Kualitas bibit merupakan aspek penting dalam industri persuteraan alam, mengingat kegagalan produksi banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas bibit.

Selain bibit, aspek yang tak kalah pentingnya adalah kokon. Penentuan harga kokon didasarkan kepada kualitas yang meliputi bobot, rasio kulit dan rasio kokon cacat. Bobot kokon dan rasio kokon cacat dipengaruhi oleh cara pemeliharaan ulat, sementara rasio kulit kokon dipengaruhi oleh jenis bibit ulat.

Rasio kulit kokon merupakan faktor yang penting karena berhubungan erat dengan hasil benang sutera. Varietas ulat yang baik mempunyai rasio kulit kokon 22-25%.

Rasio kulit kokon dari ulat sutera hibrid BS-08 dan BS-09 hasil penelitian Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) lebih baik dari bibit niagawi C-301 yang beredar di Indonesia. Hal ini berdampak langsung pada panjang serat dan persentase serat yang dihasilkan.

BS-08 dan BS-09 telah dilepas oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 8 Oktober 2004 dengan surat keputusan Nomor: SK.369/Menhut-VIII/2004. Sebagai tindaklanjutnya, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan akan melakukan bimbingan, pemantauan dan penilaian dalam pengembangan bibit ulat sutera hibrid BS-08 dan BS-09.

33

D e s k r i p s i

Ulat sutra ras JepangFoto: Mien Kaomini

Kepompong ulat sutra BS-09Foto: Lincah Andadari

15

Page 53: Buku Seri Iptek 2

Inovator : Mien Kaomini dan Lincah AndadariUnit Kerja : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan RehabilitasiE-mail : [email protected], [email protected] : Koleksi Puskonser

Keterangan

Bibit ulat sutera hibrid BS-08 dan BS-09 cenderung rentan terhadap penyakit, sehingga memerlukan pemeliharaan yang intensif. Untuk mengatasi masalah itu, sedang dilakukan penelitian untuk mendapatkan hibrid yang ulatnya lebih kuat sehingga dapat dipelihara pada kondisi yang kurang optimum.

Tantangan

Bibit Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Hibrid BS-081. Macam persilangan :806 x 8052. Voltinisme :bivoltin3. Asal bibit :betina ras Cina dan jantan ras Jepang

(keduanya merupakan koleksi galur induk di bank plasma, Bogor, sejak tahun 1999)

4. Corak ulat :bintik5. Warna kokon :putih6. Bentuk kokon : lonjong7. Karakteristik : rasio kulit kokon tinggi8. Kualitas telur :daya tetas tinggi, diatas 90%9. Kualitas kokon :kokon normal : 90 - 96%

rasio kulit kokon : 22 - 25%10. Kualitas serat :panjang serat : 1000 - 1250 m persentase serat : 17-20%

ketebalan : 3,2 - 3,6 d

Deskripsi (lanjutan)

Bibit Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Hibrid BS-091. Macam persilangan :807 x 808 2. Voltinisme :bivoltin3. Asal bibit :betina ras Jepang dan jantan ras Cina

(keduanya merupakan koleksi galur induk di bank plasma, Bogor, sejak tahun 1999)

4. Corak ulat :bintik5. Warna kokon :putih6. Bentuk kokon : lonjong7. Karakteristik :kualitas kokon dan serat baik8. Kualitas telur :daya tetas tinggi, diatas 90%9. Kualitas kokon :kokon normal : 90 - 96% bobot kokon : 1,9 - 2,3 gr.

rasio kulit kokon : 21 - 23%10. Kualitas serat :panjang serat : 1000 - 1200 m persentase serat : 16 - 19%

ketebalan : 3,0 - 3,3d

34

Page 54: Buku Seri Iptek 2

5

ayK u , , h Ji en ne isB i Ps oa homr no f d

n aI nr Re

ob

tm au nS

n a Int do oR n s ea sl it aA

od nn eI sin aatuH nama

naT hi

ne

B s al tA

Page 55: Buku Seri Iptek 2

goro ieB nsm eu i 1r 9a 1l 5y X

risea tnaW muirabreH

Page 56: Buku Seri Iptek 2

Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia

Badan Litbang Kehutanan telah menerbitkan risalah benih 139 jenis tanaman hutan yang dimuat dalam 6 jilid buku Atlas Benih. Jenis yang disajikan adalah berbagai jenis tanaman hutan yang berpotensi dan menjanjikan bagi kesejahteraan masyarakat.

Risalah benih ini menyajikan informasi sebaran tumbuh; musim buah; pengumpulan, ekstraksi, penyimpanan dan perkecambahan benih; pencegahan hama dan penyakit; serta persemaian. Atlas benih ini dapat memandu masyarakat, khususnya pengguna benih dalam menangani benih sampai ke persemaian serta memilih jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi lahan yang ada.

D e s k r i p s i

enih tanaman hutan adalah sarana produksi utama dalam B

rehabilitasi hutan, sehingga merupakan unsur strategis dalam pembangunan hutan. Kualitas benih yang ditanam akan menentukan kualitas hutan di masa depan.

Salah satu kendala yang dihadapi adalah masih lemahnya sistem informasi perbenihan, sehingga diperlukan informasi yang bebas dan terbuka bagi para pengguna benih. Oleh karena itu, keberadaan atlas benih ini sangat bermanfaat bagi pengguna untuk memperoleh informasi perbenihan berbagai jenis tanaman hutan.

Benih nyamplung yang sudah skarifikasiFoto: Rina Kurniaty dkkTeknik pengunduhan buah nyamplungBuah nyamplung jatuhan

Buah nyamplung yang sudah masak

Buah nyamplung yang belum masak

35

16

Page 57: Buku Seri Iptek 2

Gambar 1. Habitat pohon nyamplung

Penyusunan atlas ini berdasarkan data hasil penelitian, baik yang dilaksanakan Badan Litbang Kehutanan maupun hasil penelitian pihak terkait yang kemudian dilakukan pengkajian secara komprehensif.

Jilid I menyajikan risalah 23 jenis tanaman hutan cepat tumbuh dan lambat tumbuh yang populer dalam pengembangan hutan tanaman, namun memiliki potensi kegunaan kayu yang besar dan menjanjikan bagi kesejahteraan masyarakat. Jilid II terdiri dari 26 jenis tanaman hutan yang merupakan kelanjutan dari jilid I.

Jenis andalan setempat/yang unggul, jenis serba guna dan jenis pohon kehidupan yang terkait erat dengan program hutan rakyat, disajikan dalam atlas jilid III. Khusus jenis andalan setempat/yang unggul di Jawa Barat, disajikan dalam atlas jilid V. Sedangkan atlas jilid IV merupakan edisi khusus yang memuat risalah benih 25 jenis tanaman hutan rakyat.

Pada atlas jilid VI, disajkan informasi mengenai teknik pembiakan vegetatif dari 15 jenis pohon hutan, yang meliputi stek, cangkok, okulasi dan kultur jaringan yang telah diteliti dan dipraktekkan dilapangan.

Informasi detil terdapat dalam buku Atlas Benih Jilid I s/d VI yang diterbitkan oleh Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor

Penyusun : Peneliti BPTPTH Bogor Unit Kerja : Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH) BogorE-mail : [email protected] dan [email protected] : Koleksi Rina KurniatyInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Keterangan

Gerakan menanam 1 milyar pohon yang dicanangkan Kementerian Kehutanan perlu dukungan benih berkualitas. Salah satu dukungan IPTEK yang harus diberikan adalah penyediaan informasi tentang benih tanaman hutan, baik informasi sumber benih, kualitas dan teknologi perbenihannya.

Tantangan

Deskripsi (lanjutan)

36

Page 58: Buku Seri Iptek 2

Atlas Rotan Indonesia

Foto: Sentot

Badan Litbang Kehutanan telah menerbitkan risalah 21 jenis rotan dalam 2 jilid buku Atlas Rotan Indonesia. Risalah yang disajikan mencakup nama jenis, daerah persebaran, habitus, struktur anatomi, komponen kimia, sifat fisis-mekanis, pelengkungan, ketahanan terhadap bubuk, pemanfaatan dan silvikultur.

Pemilihan jenis rotan yang dimuat dalam atlas ini didasarkan pada jenis rotan yang batangnya telah digunakan di Indonesia, baik yang diperjualbelikan dalam skala besar untuk keperluan industri maupun yang digunakan secara lokal oleh para pengrajin.

Infomasi risalah diperoleh dari berbagai pustaka dan laporan-laporan terkini yang belum dipublikasikan, baik dari internal Badan Litbang Kehutanan, LIPI dan beberapa perguruan tinggi.

otan merupakan hasil hutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi setelah kayu. Indonesia merupakan R

salah satu negara penghasil rotan terbesar di dunia. Sebanyak 8 dari 13 marga rotan yang ada di dunia terdapat di Indonesia, dengan jumlah jenis mencapai sekitar 312 jenis.

Penelitian mengenai rotan telah dilakukan oleh banyak lembaga penelitian, perguruan tinggi dan beberapa industri di Indonesia maupun manca negara. Penelitian tersebut meliputi penelitian tentang botani, silvikultur, struktur anatomi, fisis mekanis, komponen kimia, ketahanan terhadap bubuk dan pengolahan serta aspek ekonomi perdagangan.

Namun demikian, informasi hasil penelitian tersebut masih terpencar pada banyak publikasi dengan aspek yang berbeda-beda sehingga sulit untuk dipelajari secara menyeluruh. Oleh karena itu disusunlah atlas rotan yang berisi informasi yang komprehensif tentang jenis-jenis rotan, sifat dasar serta kegunaannya sehingga dapat digunakan oleh para pengguna sebagai informasi dasar dalam pengelolaan rotan.

D e s k r i p s i

Habitus dan batang Calamus heteroideus Blume (Rotan Cacing) Foto: Titi Kalima dan Jasni

37

17

Page 59: Buku Seri Iptek 2

Setiap istilah teknis dalam atlas ini dijelaskan dalam daftar singkatan yang terdapat pada bagian akhir buku. Untuk lebih memahami jenis-jenis rotan dalam buku ini, setiap jenis rotan dilengkapi dengan foto batang dan foto anatomi batang, serta gambar bagian dari tumbuhan terkait.

Jilid I menyajikan risalah 10 jenis rotan yaitu: 1. Calamus manan Miq. (Rotan Manau); 2. Calamus inops Becc. (Rotan Tohiti); 3. Calamus zollingeri Becc. (Rotan Batang); 4. Calamus scipionum Loureiro. ( Rotan Semambu); 5. Calamus ornatus BL. (Rotan Seuti); 6. Calamus burckianus Becc. (Howe Balubuk); 7. Korthalsia jughunii Bl. (Howe Sampang); 8. Plectocomia elongata Bl. (Bubuai); 9. Calamus tumidus Furtado. (Rotan Manau Tikus); dan 10. Daemonorop robusta Warb. (Rotan Susu).

Jilid II menyajikan risalah 11 jenis rotan yaitu: 1. Korthalsia laciniosa Griffith ex Martius (Rotan Cabang); 2. Calamus heteroideus Blume (Rotan Cacing); 3. Demonorops draco (Wildenow) Blume (Rotan Jernang); 4. Daemonorops crinita Blume ( Rotan Lacak); 5. Calamus ornatus var. celebicus Beccari (Rotan Lambang); 6. Daemonorops hystrix (Griffith) Martius (Rotan Marucam); 7. Daemonorops sabut Beccari (Howe Sampang); 8. Daemonorops sabut Beccari (Rotan Sabut); 9. Daemonorops melanochaetes Blume (Rotan Seel); dan 10. Calamus caesius Blume (Rotan Sega). 11. Daemonorops oblonga Blume (Rotan Teretes)

Informasi detil terdapat dalam buku Atlas Rotan Indonesia Jilid I dan II yang diterbitkan oleh Pustekolah. Pada 2012 akan diterbitkan Atlas Rotan Indonesia Jilid III.

Gambar 1. Habitus dan batang Calamus ornatus var. celebicus Beccari (Rotan Lambang)

Penyusun: Jasni, Ratih Damayanti, Titi KalimaUnit Kerja: Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan

(Pustekolah) dan Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser)E-mail : [email protected], [email protected], [email protected] : Titi Kalima, Jasni, JohanisInfo detil : www.pustekolah.org/publikasi

Keterangan

Sebagai salah satu negara penghasil rotan terbesar di dunia, masih banyak kekayaan jenis rotan Indonesia yang belum digali dan didokumentasikan informasinya. Dari sekitar 312 jenis rotan yang tumbuh di Indonesia, baru 21 jenis yang disusun risalahnya, 51 jenis yang telah dimanfaatkan dan hanya 5 jenis yang secara elit diperdagangkan, yaitu manau, batang, sega, tohiti dan irit. Untuk memenuhi kebutuhan rotan yang semakin menipis, jenis-jenis lainnya perlu dipelajari dan disusun risalahnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan praktis.

Tantangan

Gambar 2. Batang, pelepah daun dan buah Daemonorops hystrix (Griffith) Martius (Rotan Marucam)

A B C

Gambar 3. A = kolar berduri pada pelepah daun segar, B = kolar berduri pada pelepah daun kering dan C = buah

Daemonorops sabut Beccari (Rotan Sabut)

Foto: Titi Kalima dan Jasni

Foto: Jasni dan Johanis P. MogeaFoto: Jasni dan Johanis P. Mogea

Foto: Johanis P. Mogea

Deskripsi (lanjutan)

38

Page 60: Buku Seri Iptek 2

Atlas Kayu Indonesia

Foto: Sentot

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah menerbitkan risalah 92 kelompok jenis kayu dalam 3 jilid buku Atlas Kayu Indonesia.

Risalah yang disajikan antara lain meliputi nama kayu, daerah penyebaran, habitus, morfologi, ciri umum, struktur, sifat fisis, kimia dan mekanis, keawetan, pengeringan, pengerjaan, kegunaan dan silvikultur.

Risalah ini memuat jenis-jenis kayu perdagangan baik yang terkenal maupun kurang dikenal. Infomasi risalah ini terutama berasal dari hasil pengamatan, survei dan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) dan Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser). Selain itu digunakan juga data hasil penelitian dari negara lain seperti Malaysia dan Filipina.

ebih dari 4000 jenis pohon terdapat di Indonesia, 400 jenis diantaranya L

mempunyai potensi sebagai kayu perdagangan.

Penelitian mengenai kayu telah banyak dilakukan. Namun, informasi hasil penelitian tersebut masih terpencar di banyak publikasi dengan aspek yang berbeda-beda, sehingga sulit untuk dipelajari secara menyeluruh.

Atlas kayu ini disusun untuk memberikan informasi komprehensif tentang risalah berbagai jenis kayu. Atlas ini dapat digunakan oleh para pengguna baik kalangan ilmiah, pemerintah, swasta dan praktisi.

D e s k r i p s i

Eboni (Diospyros celebica Bakh.)Foto: Buku Atlas Kayu Indonesia Jilid I

39

18

Page 61: Buku Seri Iptek 2

Atlas ini dilengkapi dengan halaman index, daftar singkatan dan daftar satuan ukuran yang digunakan, sehingga memudahkan pengguna. Atlas ini juga dilengkapi dengan foto daun, kayu lapis, kulit batang dan penampang batang, untuk memudahkan pengguna mempelajari jenis-jenis kayu tersebut.

Atlas jilid I menyajikan risalah 30 kelompok jenis kayu perdagangan yang meliputi 134 jenis botanis. Jilid II menyajikan risalah 32 kelompok jenis kayu yang mencakup 45 jenis botanis, sedangkan jilid III menampilkan risalah 30 jenis kayu.

Informasi detil terdapat dalam buku Atlas Kayu Indonesia Jilid I s/d III yang diterbitkan oleh Pustekolah. Pada 2012 akan diterbitkan Atlas Kayu Indonesia Jilid IV yang akan menyajikan jenis kayu perdagangan lainnya.

Penyusun : Peneliti Pustekolah dan PuskonserUnit Kerja : Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) dan

Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser)E-mail : [email protected] dan [email protected] Gambar : Koleksi Pustekolah dan PuskonserInfo detil : www.pustekolah.org/publikasi

Keterangan

Sebagai negara ketiga pemilik hutan tropis terluas di dunia, masih banyak kekayaan jenis kayu Indonesia yang belum digali dan didokumentasikan informasinya. Dari sekitar 4000 jenis kayu yang ada di Indonesia, baru 92 kelompok jenis (179 jenis botanis) yang disusun risalahnya. Dalam rangka mendukung pengelolaan hutan lestari, jenis kayu lainnya harus dipelajari dan disusun risalahnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan praktis. Untuk itu dalam pengusahaannya diperlukan dukungan inovasi ilmu dan teknologi secara terus menerus.

Tantangan

Deskripsi (lanjutan)

Merbau (Intsia palembanica Miq.)Foto: Buku Atlas Kayu Indonesia Jilid II

40

Page 62: Buku Seri Iptek 2

Xylarium Bogoriense 1915

dentifikasi kayu merupakan langkah awal yang sangat penting dalam Iproses pengolahan dan pemanfaatan

kayu yang rasional. Pengetahuan identifikasi kayu sangat penting untuk mengetahui jenis-jenis kayu yang akan diperdagangkan, termasuk untuk menentukan nilai kayu tersebut.

Identifikasi jenis kayu merupakan salah satu layanan yang disediakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan melalui Xylarium Bogoriense 1915, Laboratorium Anatomi Tumbuhan Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah).

Rak koleksi kayuFoto: Sekretariat Badan Litbang Kehutanan

Xylarium adalah satuan kerja yang bertugas mengumpulkan dan menyimpan contoh kayu dari berbagai jenis pohon. Koleksi contoh kayu yang dimiliki dikumpulkan dari hutan di seluruh Indonesia.

Xylarium berfungsi sebagai: 1. Sarana penunjang penelitian ciri anatomi dan taksonomi tumbuhan berkayu;2. Bahan rujukan identifikasi contoh kayu tidak dikenal;3. Sumber informasi nama setempat dan nama ilmiah kayu;4. Sumber informasi keanekaragaman jenis kayu di suatu wilayah5. Sumber informasi wilayah persebaran jenis-jenis kayu tertentu.

Xylarium juga berfungsi menunjang bidang forensik dengan meneliti dan mengidentifikasi jenis fosil kayu. Hal ini sangat menunjang penanganan perkara dimana kayu sebagai barang bukti, serta menunjang penelitian arkeologi dan paleobotani.

Pengambilan foto makro contoh kayuFoto: Sekretariat Badan Litbang Kehutanan

Koleksi contoh kayuFoto: Sekretariat Badan Litbang Kehutanan

D e s k r i p s i

41

19

Page 63: Buku Seri Iptek 2

Aplikasi

Penanggung Jawab : Sri Ruliaty SutardiPenyusun : Kelompok Biologi dan Pengawetan Hasil Hutan Unit Kerja : Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) E-mail : [email protected], [email protected] : Koleksi Sekretariat Badan Litbang Kehutanan dan TutianaInfo detil : http://www.pustekolah.org/index.php/page/27/apa-itu-xylarium

Keterangan

Menambah jumlah koleksi dan meningkatkan kualitas ketepatan dan kecepatan identifikasi jenis adalah upaya yang terus diupayakan untuk meningkatkan layanan pada pengguna.

Tantangan

Deskripsi (lanjutan)

Saat ini, Xylarium Bogoriense 1915, berada di peringkat ke-3 dunia dengan jumlah koleksi 34.301 sampel kayu yang tergabung dalam 110 suku, 675 marga dan 3667 spesies. Xylarium terlengkap dunia dimiliki oleh Forest Product Laboratory, USDA,USA dengan koleksinya mencapai 100.000 sampel. Peringkat ke- 2, ditempati the Royal Museum of Central Africa di Tervuren, Belgia, koleksinya mencapai 57.165 sampel.

Xylarium Bogoriense 1915 Pustekolah Bogor juga telah terdaftar pada Index Xylariorum, Institutional Wood Collections of the World pada Tahun 1988, dengan kode alamat BZFw, dan telah terdaftar pula di Index Herbariorum Indonesianum pada Tahun 2006.

Identifikasi kayu dilakukan dengan membandingkan ciri-ciri kayu yang belum diketahui jenisnya dengan kayu yang telah diketahui jenis dan nama botanisnya. Proses identifikasi di Pustekolah telah dibantu dengan menggunakan komputer yang memungkinkan sistem identifikasi kayu dapat dilakukan secara lebih cepat dan akurat. Dengan tetap melakukan prosedur-prosedur standar seperti pembuatan dan pengamatan preparat sayat kayu menggunakan mikroskop.Setelah itu, hasil yang diperoleh diverifikasi dengan:1. Membandingkan contoh yang sedang diidentifikasi dengan contoh kayu otentik yang ada di dalam koleksi; dan2. Membandingkan hasil yang diperoleh dengan deskripsi jenis yang bersangkutan dalam literatur hasil penelitian anatomi kayu.

Pengamatan ciri mikro kayuFoto: Tutiana

42

Page 64: Buku Seri Iptek 2

Herbarium Wanariset

erbarium Wanariset yang berkedudukan di Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam H(BPTKSDA) Samboja merupakan salah satu herbarium

yang dimiliki Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Sejak tahun 1994, herbarium ini secara internasional telah terakreditasi dan terdaftar dalam Index Herbarium dengan akronim WAN.

Herbarium Wanariset dibangun pada tahun 1989 atas prakarsa dan dukungan dana dari Rijksherbarium Leiden (sekarang National Herbarium Nederland), melalui proyek kerjasama antara Departemen Kehutanan RI dengan Tropenbos Foundation, Belanda.

Herbarium adalah koleksi referensi suatu jenis tumbuhan yang dapat merepresentasikan yang meliputi, daun, bunga, dan buah, juga dilengkapi data pelengkap utama meliputi karakter tumbuhan, sebaran, habitat, ekologi, lokasi, ketinggian tempat dan titik koordinat, serta kegunaannya.

Fungsi herbarium secara umum antara lain sebagai pusat referensi utama untuk identifikasi tumbuhan, sebagai lembaga dokumentasi karena merupakan koleksi yang mempunyai nilai sejarah, dan sebagai pusat penyimpanan data.

Jumlah koleksi (spesimen) tumbuhan yang tersimpan di Herbarium Wanariset sampai Desember 2011 adalah 18.774 nomor dengan jenis yang terditerminasi sebanyak 3.741 jenis. Spesimen koleksi meliputi jenis pohon, perdu, tumbuhan merambat, terna, epifit, pakis-pakisan dan tumbuhan parasit.

D e s k r i p s i

43

Herbarium WanarisetFoto: Koleksi BPTKSDA

20

Page 65: Buku Seri Iptek 2

Pembuatan herbarium di awali dengan kegiatan eksplorasi, yakni menjelajahi hutan untuk mengumpulkan spesimen tumbuhan dalam bentuk herbarium lengkap. Spesimen tumbuhan yang telah dikumpulkan mendapat perlakukan pengeringan, pensortiran, pengeplakan (mounting), penggambaran spesimen, pengelolaan database, penyimpanan dan pemeliharaan (Gambar 1).

Aplikasi

Penanggung Jawab : Kade SidiyasaUnit Kerja : Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (BPTKSDA) di Samboja E-mail : [email protected] Gambar : Koleksi BPTKSDA Info detil : http://www.balitek-ksda.or.id/

Keterangan

Menambah jumlah koleksi dan meningkatkan kualitas ketepatan dan kecepatan identifikasi jenis adalah upaya yang terus diupayakan untuk meningkatkan layanan pada pengguna.

Tantangan

Herbarium Wanariset berfungsi untuk:1. Menyiapkan koleksi herbarium tumbuhan sebagai data otentik

kegiatan penelitian di bidang botani, ekologi, taksonomi tumbuhan dan etnobotani.

2. Memberikan pelayanan identifikasi tumbuhan kepada pihak yang memerlukan.

3. Menyiapkan tenaga pelatih pengenalan tumbuhan dan memberikan advis tentang herbarium kepada instansi dan perguruan tinggi.

4. Sebagai sarana pendidikan bagi siswa dan mahasiswa.

Deskripsi (lanjutan)

Rak koleksiFoto: Deny Adiputra

Identifikasi jenis dengan mikroskop Foto: Deny Adiputra

44

Page 66: Buku Seri Iptek 2

45

EksplorasiEplorasi yaitu kegiatan menjelajahi areal hutan untuk mengumpulkan

spesimen tumbuhan dalam bentuk herbarium lengkap

Penanganan SpesimenPengeringan spesimen herbarium dan data basing

Foto: K. Sidiyasa

1 2

3

45

6

Pengeringan Spesimen

Pengeringan Spesimen

Mounting/Pengeplakan

Pengambaran Spesimen

PengelolaanDatabase

Foto: Denn

y

PemeliharaanHerbarium

Penyimpanan Herbarium

Foto: K. Sidiyasa dan Denny

Gambar 1. Kegiatan pembuatan Herbarium

Page 67: Buku Seri Iptek 2

EksplorasiPengeringan

BRAHMS

Sortasi Mounting Penyimpanan Deep Freezer

Bogor dan Herbarium lain

1a

1b

2a

2b

3

4

5

6 7

Keterangan:

1a, 2a, 3, 6 = proses penangan spesimen1b = memasukan data lapangan2b = cetak label4 = pengiriman spesimen5 = memasukan bar code dan assesment number7 = pemeliharaan

= memeriksa spesimen

Pelayanan Publikn Memberikan pelayanan identifikasi tumbuhan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.n Menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati flora Indonesia terutama wilayah

Kalimantan.n Melakukan pendampingan kegiatan penelitian kepada mahasiswa baik dari dalam maupun luar negeri.n Menyimpan spesimen tumbuhan dari obyek penelitian yang dilakukan pihak lain.n Menyiapkan tenaga pengenalan pohon dan taksonomi tumbuhan.n Memberikan bimbingan dan penjelasan tentang herbarium kepada berbagai instansi dan perguruan tinggi.n Sarana praktek, pelatihan dan pendidikan bagi siswa dan mahasiswa.

46

Page 68: Buku Seri Iptek 2

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANANKementerian Kehutanan Republik Indonesia

Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lt. 11 Jl. Gatot Subroto - Jakarta 10270

Telepon: 021-5734333, Fax: 021-5720189

E-mail: [email protected]

Website: www.forda-mof.org