s k r i p s i -...
TRANSCRIPT
i
IMPLEMENTASI KONSEP HUMANISME (MANOOTNIYOM) DALAM
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(Studi Kasus Di Seangprathip Wittaya Mulniti School
Tahun Ajaran 2014/2015)
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Dalam Ilmu Tarbiyah
OLEH
WIGA SERLIATI LATRI
NIM: 111 11 103
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016
ii
iii
iv
v
vi
vii
MOTTO
ال يكلف الله ن فسا إال وسعها لا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Al-
Baqoroh: 286)
Bondo Bahu Pikir Lek Perlu Sak Nyawane Pisan
(K.H. Ahmad Sahal)
Berjasalah tapi jangan minta jasa, Hidup sekali Hiduplah yang berarti
(K.H Imam Zarkasyi)
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi yang sederhana ini kupersembahkan untuk:
1. Ayah dan ibu tercinta, Bapak Miftah dan Ibu Siti Sualiyanti, yang telah
mengorbankan segala-galanya, selalu memberikan yang terbaik, juga tak
henti-hentinya untuk mendoakan dan memberikan motivasi, mencurahkan
perhatian dan kasih sayang kepada penulis.
2. Seluruh keluargaku, yang tak henti-hentinya dalam mendoakan,
mendukung, memotivasi, dan memberikan doa-doanya kepada penulis
dalam menuntut ilmu, sehingga penulis bisa menyelesaikan study S.1 ini.
3. Seseorang yang selalu setia dan menyayangiku, terima kasih atas semangat
dan motivasinya dalam pembuatan skripsi ini.
4. Teman-temanku, Titik Isniatus Sholikhah, Risa Suryani, Wahyu Fajar
Setiyawan, yang telah berjuang bersama di negeri tetangga, Pattani
Thailand Selatan, dan telah banyak membantu penulis untuk
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5. Sahabat-sahabatku seperjuangan; Puji Nur Hastutik, yang banyak
memberiku semangat setiap tahunnya dalam perkuliahan.
6. Tak ketinggalan pula teman-teman kos “Pink Kost”; Rossi Dewi Riana
dan Aris Latifah yang selalu kasih semangat kepada penulis.
7. Sahabatku yang berada di Mapala Mitapasa dan LPM Dinamika, yang baik
hati yang selalu membantu penulis dalam hal dan kondisi apapun, semoga
ketulusanmu akan mendapat balasan dari Yang Maha Kuasa, sahabatku
yang berada di Sekolah Saengprathip Wittaya Mulniti, Nongchik, Pattani,
Kak Chung dan Yunita Saputri yang selalu menemaniku dalam penulisan
skripsi tiap malam, yang telah menemani penulis menyelesaikan skripsi
ini dan yang telah sangat banyak membantu penulis dalam segala hal. dan
selalu menemani penulis dalam belajar kehidupan di negara lain.
ix
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, berkat taufiq,
hidayah dan kebesaran-Nya yang selalu ditunjukkan-Nya, maka penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul "Implementasi
Konsep Pendidikan Humanisme (Manootniyom) Dalam Pembelajaran PAI”
(Studi Kasus di Seangprathip Wittaya Mulniti School, Nongchik, Pattani,
Thailand Selatan) ini, disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Tarbiyah Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak, sehingga usaha ini dapat terselesaikan. Untuk itu
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Rahmad Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Salatiga, yang telah
merestui penyelesaian skripsi ini.
3. Siti Rukhayati, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI).
4. Dr. Mukti Ali, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing, yang telah berkenan
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya di tengah-tengah kesibukan beliau,
untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini,
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Bapak/Ibu kepala dan petugas perpustakaan yang telah memberikan izin dan
pelayanan perpustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
x
xi
ABSTRAK
Latri, Wiga Serliati. NIM 111 11 103. 2015. Implementasi Konsep Humanisme
(Manootniyom) Dalam Pembelajaran PAI (Studi Kasus di Seangprathip
Wittaya Mulniti School, Pattani Thailand Selatan). Pembimbing: Dr.Mukti
Ali, M.Hum.
Kata kunci: Humanisme (Manootniyom) dan Pendidikan Agama Islam
Konsep humanisme (Manootniyom) religius merupakan sebuah konsep
keagamaan yang menempatkan manusia sebagai manusia, serta upaya humanisasi
ilmu-ilmu dengan tetap memperhatikan tanggung jawab hablum minallah dan
hablum minannas. Yang jika konsep ini diimplementasikan dalam praktek dunia
pendidik Islam akan berfokus pada akal sehat (common sense), individualisme
(menuju kemandirian), tanggung jawab (responsible), pengetahuan yang tinggi
(first for knowledge), menghargai orang lain (pluralisme), kontektualisme
(hubungan kalimat), lebih mementingkan fungsi dari simbol, serta keseimbangan
antara reward dan punishment.
Penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab rumusan masalah, yaitu: 1)
bagaimana implementasi konsep humanisme dalam pembelajaran PAI?, 2) faktor
penghambat apa saja dalam penerapan konsep humanisme dalam pembelajaran
PAI?, dan 3) bagaimana upaya penyelesaian faktor penghambat penerapan konsep
humanisme dalam pembelajaran PAI? Jenis dan pendekatan penelitian yang
digunakan adalah jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi
kasus. Kemudian yang menjadi sampel dalam penelitian ini yaitu guru mata
pelajaran PAI. Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam penelitian
ini yaitu teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Selanjutnya data yang
telah dikumpulkan dianalisis menggunakan metode triangulasi.
Hasil dari penelitian ini yaitu: 1) Implementasi konsep humanisme
dalam pembelajaran PAI yaitu melalui proses pembelajaran PAI dengan
memberikan suatu permasalahan yang disesuaikan dengan standar kompetensi,
dan kompetensi dasar yang dipadukan dengan materi serta metode yang telah
disesuaikan, serta mengaitkan materi-materi pembelajaran PAI tersebut dengan
kehidupan nyata yang ada di sekitar kehidupan dari peserta didik. 2) Faktor
penghambat dalam penerapan konsep humanisme yaitu minimnya pemahaman
guru PAI akan konsep humanisme dalam proses pembelajaran, keterbatasan
sarana dan prasarana sebagai media pendukung penerapan konsep humanisme
dalam proses pembelajaran PAI, dan kurangnya partisipasi wali murid dalam
proses pembelajaran, khususnya pembelajaran PAI. 3) Upaya penyelesaian faktor
penghambat penerapan konsep humanisme dalam pembelajaran Pendidikan
Agama Islam, yaitu mengikutkan guru PAI ke berbagai kegiatan serta
mengadakan pertemuan dengan wali murid secara berkala dan rutin.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN BERLOGO ............................................................................ ii
HALAMAN DEKLARASI ......................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................. iv
HALAMAN NOTA PEMBIMBING .......................................................... v
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... vi
MOTTO ...................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ....................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ................................................................................ ix
ABSTRAK .................................................................................................. xi
DAFTAR ISI ............................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ............................................................ 12
D. Manfaat Hasil Penelitian ................................................ 13
E. Definisi Operasional ....................................................... 13
F. Metode Penelitian ........................................................... 17
G. Teknik Analisa Data ....................................................... 21
H. Sistematika Pembahasan ................................................. 23
xiii
BAB II KAJIAN TEORI
A. Konsep tentang Humanisme ........................................... 25
1. Latar Belakang Humanisme ................................... 25
2. Definisi Humanisme ............................................... 29
3. Tujuan Konsep Humanisme ................................... 41
4. Humanisme dalam proses dan dalam dasar
pendidikan Islam ...................................................... 50
B. Konsep Tentang Pendidikan Agama Islam ........................ 61
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam ....................... 61
2. Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan Agama
Islam ........................................................................ 66
3. Kedudukan dan Fungsi Pendidikan Agama Islam ... 69
4. Tujuan Pendidikan Agama Islam............................. 71
5. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam .............. 74
6. Karakteristik Materi Pelajaran Pendidikan Agama
Islam ........................................................................ 74
7. Komponen-Komponen Pembelajaran PAI .............. 76
8. Pendekatan Strategi Pembelajaran PAI ...................... 82
C. Implementasi Konsep Humanisme dalam
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ......................... 84
BAB III GAMBARAN UMUM SEANGPRATHIP WITTAYA
MULNITI SCHOOL DAN IMPLEMENTASI
PENDIDIKAN HUMANIS PADA PEMBELAJARAN
PAI
A. Gambaran Objek Penelitian ............................................. 100
xiv
1. Lokasi Penelitian Gambaran Umum Letak
Geografis.................................................................. 100
2. Sejarah Singkat Berdirinya ...................................... 100
3. Identitas Sekolah ...................................................... 103
4. Visi, Misi dan Tujuan .............................................. 103
5. Struktur Organisasi ................................................. 105
6. Sistem Pembelajaran ............................................... 107
7. Kurikulum ............................................................... 108
8. Jumlah Guru, Siswa dan Karyawan ......................... 111
9. Sarana dan Prasarana ............................................... 116
B. Penyajian Data ................................................................. 117
1. Konsep Pendidikan Humanis Pada Pembelajaran
PAI diSeangprathip Wittaya Mulniti School ........... 117
2. Implementasi Pendidikan Humanis Pada
PembelajaranPAI Terhadap Para Santri Di
Seangprathip Wittaya Mulniti School ..................... 143
BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN HUMANIS
PADA PEMBELAJARAN PAI STUDI KASUS DI
SEANGPRATHIP WITTAYA MULNITI SCHOOL
A. Analisis Konsep Pendidikan Humanis Pada
Pembelajaran PAI Studi Kasus di Seangprathip
Wittaya Mulniti School ................................................... 158
B. Analisis terhadap Pendidikan Agama Islam di
Seangprathip Wittaya Mulniti School. ........................... 159
xv
C. Analisis Implementasi Pendidikan Humanis Pada
Pembelajaran PAI Terhadap Pelajar di Seangprathip
Wittaya Mulniti School ................................................... 165
D. Manfaat Pendidikan Humanis pada Pembelajaran PAI
di Seangprathip Wittaya Mulniti School ........................ 175
E. Faktor-Faktor Penghambat dalam Implementasi
Konsep Humanisme dalam Pembelajaran PAI di
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik
Pattani ............................................................................. 179
F. Upaya Penyelesaian dalam Implementasi Konsep
Humanisme dalam Pembelajaran PAI di Seangprathip
Pulohpuyo Nongchik Pattani .......................................... 181
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 185
B. Saran ............................................................................... 187
C. Penutup ........................................................................... 190
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Daftar Kondisi Guru Agama Sekolah Seangprathip
beserta Hissoh (jam mengajar tiap minggu) Tahun 2558 ...... 109
Tabel 2 Daftar Kondisi Guru Umum Sekolah Saengprathip beserta
Hissoh (jam mengajar tiap minggu) Tahun 2558 .................. 110
Tabel 3 Daftar Kondisi Guru Agama Sekolah Seangprathip Tahun
2558 ....................................................................................... 111
Tabel 4 Daftar Kondisi Guru Umum (Akademik) Sekolah Tahun
2558 ....................................................................................... 112
Tabel 5 Daftar jumlah siswa-siswi sekolah Seangprathip tahun
ajaran 2558 ............................................................................. 114
Tabel 6 Daftar Guru Wali Kelas Sekolah Seangprathip Thahun
2558 ....................................................................................... 115
Tabel 7 Daftar nama-nama karyawan sekolah Seangprathip 2558 ..... 115
Tabel 8 Sarana dan Prasarana Sekolah Seangprathip tahun 2558 ...... 116
xvii
DAFTAR BAGAN
Bagan I Struktur Organisasi ................................................................ 105
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Surat Pembimbingan dan Asisten Pembimbingan Skripsi
Lampiran 3 Surat Ijin Penelitian
Lampiran 4 Surat Keterangan Penelitian (balasan)
Lampiran 5 Pedoman wawancara
Lampiran 6 Hasil wawancara
Lampiran 7 Dokumentasi
Lampiran 8 Pernyataan Publikasi Skripsi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai salah satu aktivitas kehidupan manusia, pendidikan juga
bermuara pada pencapaian tujuan tertentu yang diyakini sebagai sesuatu yang
paling ideal. Dalam rangka mencapai suatu yang ideal tersebut dilakukan
usaha secara bertahap dan sistematis. Persepsi umum tentang tujuan
pendidikan adalah “kematangan, yang meliputi kematangan lahir dan batin,
jasmani dan ruhani. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan sedangkan
kegiatan yang dilakukan tahap demi tahap. Seperangkat kegiatan tersebut
dapat berupa latihan, pembiasaan dalam institusi keluarga, lembaga
pendidikan dan juga dalam masyarakat” (Baharuddin & Moh Makin, 2007:
170).
Dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada bab II tentang dasar, fungsi dan tujuan
Pendidikan Nasional pasal 3 (2006:68) disebutkan bahwa:
“Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan ruhani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta
bertanggung jawab, kemasyarakatan dan kebangsaan.”
Berdasarkan Undang-Undang Sisdiknas di atas, maka salah satu ciri
manusia yang berkualitas adalah mereka yang tangguh iman dan takwanya,
memiliki akhlak mulia, sikap kreatif dan inovatif, serta bertanggung jawab
2
dalam segala hal. Pemerintah dalam mewujudkan cita-cita tersebut maka
haruslah mampu meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. Pemerintah
tidak akan dapat mewujudkan semua itu jika dalam peningkatan mutu dan
kualitas pendidikan mengalami berbagai hambatan. Adapun salah satu
hambatan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan antara lain
adalah ketidakseimbangan dalam pengembangan pendidikan umum dan
pendidikan agama. Pada dasarnya dalam penyelenggaraan pendidikan
hendaknya pendidikan umum dan pendidikan agama diselenggarakan secara
seimbang, tidak dikenal adanya dikotomi pendidikan.
Pendidikan umum dan pendidikan agama merupakan dua hal yang
harus dikuasai oleh setiap manusia agar mampu menghadapi berbagai
tantangan di era globalisasi. Dalam penyelenggaraan pendidikan hendaknya
mampu melaksanakan proses pembelajaran yang mampu memberikan
kesadaran kepada peserta didik untuk mau dan mampu belajar (learning
knowor learning to learn). Materi pembelajaran hendaknya dapat
memberikan suatu pelajaran alternatif kepada peserta didiknya (learning to
do) dan mampu memberikan motifasi untuk hidup dalam era sekarang dan
memiliki orientasi hidup ke masa depan (learning to be). Pembelajaran tidak
cukup hanya diberi dalam bentuk keterampilan untuk dirinya sendiri, tetapi
juga keterampilan untuk hidup bertetangga, bermasyarakat, tidak ada
perbedaan diantaranya (learning to live together).
Keempat pilar pembelajaran di atas harus dikembangkan baik dalam
proses pendidikan umum maupun pendidikan agama. Jika hambatan dalam
3
proses peningkatan mutu dan kualitas pendidikan dapat dipecahkan atau
terselesaikan dengan baik, maka pendidikan akan mampu mewujudkan
tujuannya yaitu terciptanya sumber manusia yang berkualitas yang menguasai
IPTEK dan IMTAQ.
Pendidikan keagamaan merupakan salah satu bahan kajian dalam semua
kurikulum pada semua jenjang pendidikan dari TK, SD, SMP, SMA dan
Perguruan Tinggi. Pendidikan agama merupakan salah satu mata pelajaran
wajib diikuti oleh peserta didik seperti halnya pendidikan kewarganegaraan
dan yang lainnya.
Dalam perkembangan pendidikan agama Islam seringkali berhadapan
dengan berbagai problematika, diketahui bahwa sebagai sebuah sistem,
pendidikan agama Islam mengandung berbagai komponen yang antara satu
dan yang lainnya saling berkaitan. Komponen pendidikan tersebut meliputi :
landasan, tujuan, kurikulum, kompetensi dan profesionalisme guru, pola
hubungan guru dan murid, metodologi pembelajaran, sarana prasarana,
evaluasi, pembiayaan dan lain sebagainya. Berbagai komponen yang terdapat
dalam sistem pendidikan seringkali berjalan apa adanya secara konvensional,
tanpa adanya inovasi menuju hal yang lebih baru sesuai dengan
perkembangan zaman.
Akibat permasalahan tersebut mutu dan kualitas Pendidikan Agama
Islam semakin rendah, tujuan dan visi misi Pendidikan Agama Islam tidak
berhasil dicapai dengan baik. Tujuan Pendidikan Agama Islam seringkali
diarahkan untuk menghasilkan manusia-manusia yang hanya menguasai ilmu
4
tentang Islam saja. Namun sebenarnya tujuan Pendidikan Agama Islam
sangatlah luas cakupannya. Dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama
Islam, penguasaan metodologi pembelajaran merupakan hal yang paling
penting bagi seorang guru, karena metodologi yang baik akan mampu
mewujudkan tujuan pembelajaran. Sanjaya (2006:80) menyatakan bahwa:
“Tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Islam tidak hanya sekedar
menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik. Namun
pembelajaran Pendidikan Agama Islam bertujuan mengarahkan peserta
didik agar memiliki kualitas iman, takwa dan akhlak mulia. Oleh sebab
itu dalam pembelajaran, seorang guru hendaknya tidak hanya
membangun aspek kognitif peserta didik namun aspek efektif dan
psikomotor peserta didik harus dikembangkan”.
Menurut Dr. Zakiyah Drajat dalam bukunya yang berjudul “Ilmu
Pendidikan Islam” (1996: 30-31) bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri dari
beberapa tujuan yang meliputi : tujuan umum, tujuan akhir, tujuan sementara
dan tujuan operasional. Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai
dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara
lain. Tujuan ini meliputi aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah
laku, penampilan, kebiasaan, dan pandangan. Apabila penyelenggaraan
pendidikan Islam mampu mencapai tujuan umum ini, maka terwujudlah
bentuk insan kamil dengan pola taqwa. Tujuan akhir dari pendidikan Islam
dapat dipahami dalam firman Allah.
يا ي ها ال يي آ ا اا ا الله ا ااه وال اي إال و ن آسل ن Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benartakwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu
matimelainkan dalam keadaan beragama Islam”. (Q.S. Ali Imran,
3: 102).
5
Adapun tujuan sementara dari pendidikan Islam adalah tujuan yang
akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang
direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Sedangkan tujuan
operasional dari pendidikan Islam adalah tujuan instruksional umum dan
tujuan instruksional khusus (TIU dan TIK), yang pada saat ini disebut standar
kompetensi dan kompetensi dasar. Secara ideal betapa beratnya beban yang
harus diemban dalam penyelenggaraan pendidikan Islam harus mampu
mencapai tujuan tersebut di atas, yang intinya pendidikan Islam harus mampu
memberikan bekal kepada peserta didik untuk melaksanakan tugasnya di
muka bumi sebagai kholifah dalam rangka beribadah kepada Allah.
Jadi dalam proses pembelajaran seorang pendidik selain memberikan
pengetahuan dan penguasaan ilmu yang setinggi-tingginya yaitu secara
kognitif, seorang pendidik juga memberikan pengetahuan secara afektif dan
psikomotor kepada peserta didik, sehingga dapat membentuk kepribadian,
serta peradaban bangsa dan mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.
Untuk itu, harus diadakan rekonstruksi konsep pendidikan Islam yang
berangkat dan berorientasi pada potensi dasar manusia secara lebih sistematik
dan realistik sebab bagaimanapun sederhananya suatu proses pendidikan,
ultimate goal-nya haruslah diarahkan pada tujuan yang mulia, yakni membuat
manusia benar-benar menjadi manusia dengan melaksanakan proses
6
pendidikan yang memanusiakan manusia. Untuk mengoptimalkan serta
mengaktualkan potensi dasar kemanusiaan itu menjadi inti kegiatan Tarbiyah
Islamiyah. Untuk mencari serta menemukan paradigma baru, pendidikan
Islam yang humanistik, pekerjaan paling awalnya adalah menelaah manusia
itu sendiri baru kemudian menelaah konstelasi pendidikan Islam agar bisa
menemukan hubungan keduanya. Menurut Mas‟ud (2002:193), menyatakan
bahwa:
“Konsep humanisme merupakan sebuah konsep keagamaan yang
menempatkan manusia sebagai manusia, serta upaya humanisasi ilmu-
ilmu dengan tetap memperhatikan tanggung jawab hablum minallahdan
hablum minannas. Yang jika konsep ini diimplementasikan dalam
praktek dunia pendidik Islam akan berfokus pada akal sehat
(commonsense), individualisme (menuju kemandirian), tanggung jawab
(responsible), pengetahuan yang tinggi (first for knowledge),
menghargai orang lain (pluralisme), kontektualisme (hubungan
kalimat), lebih mementingkan fungsi dari simbol, serta keseimbangan
antara reward dan punishment”.
Seharusnya, dalam praktek pendidikan agama Islam, pembumian nilai
Islam rahmatan lilalamin (rahmat bagi seluruh alam) secara kualitatif
mendesak harus segera dilakukan. Karena jika tidak, dikhawatirkan
pendidikan agama Islam yang sudah dilakukan selama ini akan terjebak pada
pendidikan agama Islam yang eksklusif dan berorientasi pada pembinaan
kesalehan ritual individual yang tidak memberikan dampak positif terhadap
sosial. Jika hal ini terjadi, pendidikan agama Islam di Pattani selama ini
diindikasikan akan gagal (Yusdani, 28-11-2008). Indikasi kegagalan
pendidikan agama di Pattani adalah bahwa Pattani merupakan wilayah
dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di Thailand Selatan. Di
7
wilayah ini telah terdapat ratusan masjid dan ribuan mushala yang bertebaran
di setiap penjuru desa maupun kota.
Pada setiap bulan Ramadan tempat-tempat ibadah tersebut ramai
dihadiri oleh kaum muslimin untuk mengikuti salat tarawih, tadarrus
(membaca Al-Qur‟an) bersama-sama dan berbagai macam salat sunnah qiyam
al lail. Pada akhir bulan Ramadan mereka juga berbondong-bondong dan
serentak membayar kewajiban zakat. Pada musim haji, setiap tahun jumlah
kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji selalu bertambah, walaupun
negara kita sedang mengalami krisis multidimensional.
Menurut Hujair AH & Sanaky (2003:230) Di satu pihak, ibadah
individual-ritual seperti salat, puasa, zakat, haji, membaca al-Qur-an, berzikir,
dakwah dan sejenisnya bergemuruh di mana-mana, tetapi di pihak lain
praktek dan realitas kehidupan ternyata tidak merefleksikan makna kesalehan
sosial yang berarti. Inilah yang menjadi tugas bagi pendidikan agama Islam
dan harus segera dicari solusinya. Fenomena yang menggejala tersebut, dapat
dijadikan indikasi bahwa pendidikan agama di Indonesia telah gagal.
Kegagalan pendidikan agama ini disebabkan, pertama, pendidikan agama di
Pattani selama ini masih berorientasi pada hal-hal yang bersifat simbolik,
ritualistik, dan legal formalistik. Kedua, dalam teori, dipahami pendidikan
yang baik harus menggarap tiga ranah kemanusiaan, yakni ranah kognitif
(intelektual), ranah afektif (emosional), dan ranah psikomotorik. Tak ada
proses pendidikan yang dianggap sempurna jika meninggalkan salah satu di
antara ketiga ranah tersebut. Kegiatan pendidikan agama Islam di Pattani
8
selama ini cenderung bertumpu pada penggarapan ranah kognitif (intelektual)
atau dengan kata lain hanya pada wacana, atau hingga ranah emosional.
Kemudian tantangan pendidikan agama Islam sekarang ini yang perlu
dicarikan alternatif jalan keluarnya adalah persoalan metode. Mengingat
dalam proses pendidikan, metode memiliki kedudukan yang sangat signifikan
untuk mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Bahkan metode sebagai
seni dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik dianggap lebih
signifikan dibanding dengan materi itu sendiri (Ismail, 2008:2).
Sesungguhnya esensi dari pendidikan agama Islam terletak pada
kemampuannya untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa dan dapat tampil sebagai kholifatullah fil
ardh,dan esensi ini menjadi acuan terhadap metode pembelajaran untuk
mencapai tujuan yang maksimal.
Dalam proses pembelajaran seorang pendidik selain memberikan
pengetahuan dan penguasaan ilmu yang setinggi-tingginya yaitu secara
kognitif, seorang pendidik juga memberikan pengetahuan secara afektif dan
psikomotor kepada peserta didik, sehingga dapat membantuk kepribadian,
serta peradaban bangsa dan mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokrasi serta bertanggung jawab. Akan tetapi dalam proses
pembentukan watak kepribadian serta menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang MahaEsa, berakhlak mulia dan berpengetahuan
9
yang tinggi, serta mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuannya dalam
kehidupan masyarakat.
Dalam hal ini posisi peserta didik dalam proses pembelajaran bukan
hanya sebagai obyek pembelajaran yang pasif, yang hanya menunggu
pemberian dari seorang guru. Akan tetapi dalam proses pembelajaran ini,
peserta didik dituntut untuk lebihaktif, kreatif dan lebih bertanggung jawab
sesuai firman Allah di sana telahdijelaskan dalam Q.S. Al-Ruum, 30: 30.
ها ال ا بديل لل الله ذلك يي يفا فطرة الله الت فطر ال اس علي فأق وجهك للديي ال ي ولكي ر ال اس ال ي عل ن الد
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurutfitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yanglurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. (Q.S. Al-Ruum,30: 30).
Potensi dasar (fitrah) manusia yang terkandung dalam ayat tesebut
merupakan salah satu predikat utama manusia sebagai makhluk pedagogik,
yang dimana makhluk pedagogik merupakan makhluk Allah SWT yang sejak
lahir sudah membawa potensi. Mereka dapat dididik sekaligus mendidik dan
manusia dikaruniai oleh Allah SWT dengan potensi dasar yang dapat
dikembangkan. Menurut Saleh Al-Jufri yang tertulis di buku Moh. Makin (2007: 10),
bahwasannya potensi dasar (fitrah) manusia merupakan tabiat yang asli, yang
perlu dikembangkan agar manusia menjadi baikserta tetap menduduki
kedudukan sebagai makhluk Allah yang mulia, dan dalam mengembangkan
potensi dasar ini, harus melalui proses pendidikan. Yang dimana dalam
10
proses pendidikan tersebut mengandung serangkaian perbuatan guru dan
siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi
edukatif untuk mencapai tujuan pendidikan. Selama ini metodologi pembelajaran agama Islam yang diterapkan
masih mempertahankan cara-cara lama (tradisional) seperti ceramah,
menghafal, yang masih tampak kering dengan daya kritis siswa. Cara-cara
seperti itu diakui telah membuat siswa menjadi bosan, jenuh, dan kurang
bersemangat dalam belajar agama. Indikasinya adalah timbul rasa`tidak
simpati siswa terhadap guru agama, dan lama kelamaan akan timbul sikap
acuh tak acuh terhadap agamanya sendiri. Kalau kondisinya sudah demikian,
sangat sulit mengharapkan siswa sadar dan mau mengamalkan ajaran agama.
Oleh karena itu, kita harus mulai melaksanakan strategi pendidikan
agama Islam dengan menggunakan metode penyampaian yang
menyenangkan dan tidak mengekang serta tidak melupakan “belajar berfikir”
pada peserta didik, agar materi yang disampaikan pun dapat mengenai
sasaran. Selain itu, materi-materi yang disampaikan kepada peserta didik juga
tidak boleh keluar dari koridor nilai-nilai agama Islam yang menjadi tujuan
dari agama itu sendiri (Ismail, 2008:4)
Menurut Ma‟arif (2006: 129), maka dari itu sudah saatnya kita harus
membongkar model pendidikan agama Islam yang masih mengikuti “gaya
lama” yang hanya menuntut peserta didik untuk “selalu patuh” dan tidak
memberikan kebebasan untuk bersikap kritis dan rasional menuju kepada
pendidikan agama Islam yang mencerdaskan, memerdekakan, dan
11
memanusiakan, sehingga pendidikan agama Islam yang humanis akan
terwujud.
Dengan demikian pendidikan humanistik religius bermaksud
membentuk insan manusia yang memiliki komitment humaniter sejati yaitu
insan manusia memiliki kesadaran, kebebasan dan tanggung jawab sebagai
insan manusia yang individual. Namun tidak terangkat dari kebenaran-
kebenaran faktualnya bahwa dirinya hidup di tengah masyarakat, dengan
demikian ia memiliki tanggung jawab moral kepada lingkungannya berupa
keterpanggilannya untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan
masyarakat.
Berangkat dari uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk menyusun
penelitian yang berjudul “Implementasi Konsep Humanisme
(Manootniyom) Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Studi
Kasus di Seangprathip Wittaya Mulniti School Pattani Thailand Selatan
Tahun Ajaran 2014/2015)”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah berisi penegasan mengenai pertanyaan-pertanyaan
yang hendak dicarikan jawabannya melalui penelitian. Di dalamnya tercakup
keseluruhan ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi
dan pembatasan masalah (Maslikhah, 2013: 302).
Dari latar belakang yang di uraikan di atas dapat diketahui bahwa pada
masa modern ini, dunia pendidikan masih dihadapkan kepada beberapa
problem pendidikan. Di antaranya dari segi degradasi terhadap nilai-nilai
12
kemanusiaan. Oleh karena itu yang menjadi pokok dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana implementasi konsep pendidikan humanisme (Manootniyom)
dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Seangprathip Wittaya
Mulniti School Pattani, Thailand Selatan?
2. Faktor penghambat apa saja dalam penerapan konsep humanisme
(Manootniyom) dalam Pembelajaran pendidikan agama Islam di
Seangprathip Wittaya Mulniti School Pattani Thailand Selatan?
3. Bagaimana upaya penyelesaian faktor penghambat penerapan konsep
humanisme (Manooniyom) dalam pembelajaran pendidikan Islam di
Seangprathip Wittaya Mulniti School Pattani Thailand Selatan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan pernyataan sasaran yang ingin dicapai
dalam penelitian. Isi dan rumusan tujuan penelitian mengacu pada rumusan
masalah. Perbedaannya terletak pada bentuk keilmuannya dalam rumusan
masalah, kalimatnya berbentuk pertanyaan, maka dalam tujuan penelitian
berbentuk kalimat pernyataan (STAIN Salatiga, 2008:16).
Kemudian tujuan yang hendak penulis deskripsikan dalam penelitian
ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui implementasi konsep humanisme (Manootniyom)
dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Seangprathip Wittaya
Mulniti School, Pattani Thailand Selatan tahun ajaran 2014/2015.
13
2. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam penerapan konsep
humanisme (Manootniyom) dalam pembelajaran Pendidikan Agama
Islam di Seangpratip Wittaya Mulniti School, Pattani Thailand Selatan
tahun ajaran 2014/2015.
3. Untuk mengetahui upaya penyelesaian faktor penghambat penerapan
konsep humanisme (Manootniyom) dalam pembelajaran Pendidikan
Agama Islam di Seangprathip Wittaya Mulniti School, Pattani Thailand
Selatan tahun ajaran 2014/2015.
D. Manfaat Hasil Penelitian
Setiap pengkajian suatu ilmu diharapkan mampu memberikan
informasi-informasi baru yang diambil manfaatnya. Manfaat bagi yang
mengkaji maupun bagi khalayak umum yang membaca serta mempelajari
kajian tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang
bermanfaat dalam bidang pendidikan dan pembelajaran, khususnya
pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan diharapkan dapat dijadikan
sebagai masukan untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan
masalah ini.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
pondok tempat penulis mengadakan penelitian dalam mengatasi
14
permasalahan pembelajaran Pendidikan Agama Islamdan bagi guru PAI
di Yayasan Seangprathip Wittaya Mulniti School dapat memberikan
bahan masukan dan sumbangan pikiran bagi guru tentang konsep
pendidikan dalam pembelajaran Pendidikan AgamaIslam.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari pengertian dan penafsiran judul di atas, serta
membatasai ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini, maka perlu
dijelaskan beberapa pengertian yang terkandung, yaitu:
1. Implementasi
Implementasi berasal dari kata: implementation yang berarti suatu
pelaksanaan atau penyelenggaraan (Echols, 1992: 313). Jadi arti dari
implementasi di sini adalah mengaplikasikan sebuah teori ke dalam
realita, sehingga akan menghasilkan manfaat dari teori tersebut serta
dapat mengembangkannya menjadi lebih sempurna. Jadi, implementasi
merupakan aplikasi atau penerapan yang berasal dari teori, berangkat dari
teori kemudian diterapkan pada lapangan, sehingga dari permasalahan
yang akan menghasilkan sebuah kesimpulan realistis. Jadi implementasi
dalam skripsi ini adalah pelaksanaan dari konsep pendidikan humanis di
lapangan, yang dalam hal ini penulis melakukan penelitian tentang
pendidikan humanis pada pembelajaran PAI terhadap siswa-siswi di
Seangprathip.
15
2. Pendidikan
Menurut Purwadaminta (2006: 291), Dalam Kamus Bahasa
Indonesia, pendidikan berasal dari kata “didik” yang berarti memelihara,
materi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran, sehingga
pendidikan berarti proses mengubah sikap dan tingkah laku seseorang
atau kelompok orang, dengan usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan proses; cara; perbuatan; mendidik. Yang
dimaksud Ahmadi (1992: 28) dengan pendidikan di sini adalah tindakan
yang dilakukan secara sadar dengan tujuan memelihara dan
mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya insani) menuju
terbentuknya manusia seutuhnya. Dengan demikian, dapat penulis
simpulkan bahwa pendidikan adalah usaha seseorang yang sistematis,
terarah yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan dasar menuju perubahan tingkah laku dan kedewasaan anak
didik, baik diselenggarakan secara formal maupun nonformal
3. Humanis
Humanis berasal dari kata human (Inggris) yang berarti
manusiawi. Menurut Budiona (2005: 228) dalam Kamus Ilmiah Populer
Internasional, menyebutkan bahwa human berarti mengenai manusia,
cara manusia. Sedangkan humanis berarti seseorang yang human,
penganut ajaran humanisme. Humanisme adalah suatu doktrin yang
menekan kepentingan kemanusiaan.
16
Humanisme adalah keyakinan bahwa manusia mempunyai
martabat yang sama, yang beradab dan adil, dan sebagai kesediaan untuk
solider, senasib, sepenanggungan tanpa perbedaan (Shofan, 2004: 142).
Kaitannya dengan hal tersebut, penulis ingin mempergunakan nilai-nilai
humanisme dalam pembelajaran agama Islam yang selama ini masih
terkesan jarang digunakan dalam dunia pendidikan kita. Dalam
pendidikan kita lebih banyak melihat bagaimana manusia hanya
dijadikan sebagai seseorang yang tidak tahuapa-apa, sedangkan dalam
Islam sendiri diajarkan bagaimana manusia harus menghormati hak
orang lain termasuk dalam pendidikan.
4. Pembelajaran PAI
Dimyati & Mudjiono (1997: 157), Pembelajaran adalah proses
yang diselenggarakan oleh guru untuk pembelajaran siswa dalam belajar
bagaimana memperoleh dan memproses pengetahuan, ketrampilan, dan
sikap. Pemaparan Pendidikan Agama Islam menurut Ahmadi (1992: 30)
adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk
mengenal, memahami, menghayati sehingga mengimani, bertaqwa dan
berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran Islam dari sumber utamanya
kitab suci Al-Qur'an dan Al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, latihan serta penggunaan pengalaman, dibarengi tuntutan
untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan
kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan
persatuan nasional.
17
Menurut Tafsir (2004: 5), Pembelajaran Agama Islam adalah
upaya membuat peserta didik dapat belajar, butuh belajar, terdorong
belajar dan tertarik untuk menerus mempelajari agama Islam baik untuk
kepentingan mengetahui bagaimana cara beragama yang benar, maupun
mempelajari Islam sebagai pengetahuan. Jadi pembelajaran PAI yang
dimaksud penulis dalam skripsi ini adalah usaha berupa bimbingan dan
asuhan dengan sadar terhadap seseorang, baik perkembangan jasmani
maupun rohani berdasarkan ajaran-ajaran Islam, agar kelak setelah
memperoleh pembelajaran PAI, siswa-siswi tersebut dapat memahami
dan mengamalkan ajaran agama Islam, serta terbentuknya kepribadian
muslim yang memiliki sikap dan perbuatan berdasarkan nilai-nilai Islam
serta sebagai way of life.
5. Yayasan Attarbiyyah Addiniyyah Seangprathip Wittaya Mulniti School
Yayasan Attarbiyyah Addiniyyah Nat Kudum Pattani merupakan
sebuah yayasan atau lembaga sekolah yang mencetak pendidik agama Islam
di daerah Nat Kudum, Pattani. Yayasan ini berdiri pada tahun 1945 M/1366.
Didirikan oleh syaekh Ibrahim Nik Heng (Ibrahim bin Abdurrahman) dan
putranya yaitu Ismail bin Ibrahim bin Abdurrahman.
Dalam yayasan ini bertujuan untuk menegakkan kembali syiar
kebaikan Islam dan mencegah dengan kemungkaran. Karena setiap sebaik-
baik umat adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Dan menyebarkan
dakwah keIslaman yang berdasarkan madzhab-madzhab bathil. Tujuan
utama sekolah ini yaitu mencetak kader-kader pendidik yang kelak
dibutuhkan untuk masa depan.
18
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Moleong menyatakan (1993: 3), Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang dimaksud
penelitian kualitatif adalah proses penelitian yang menghasilkan data
deduktif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati. Adapun pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif adalah
pendekatan penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala,
peristiwa, kejadian yang terjadi pada saat sekarang (Ibrahim, 1980: 64).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi,
gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, akurat, mengenai
faktor- faktor, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.
2. Jenis Data
Data adalah suatu hal yang diperoleh di lapangan ketika melakukan
penelitian dan belum diolah atau dengan pengertian lain suatu hal yang
dianggap atau diketahui. Data menurut jenisnya dibagi menjadi dua :
a. Data kualitatif
Yaitu data yang disajikan dalam bentuk kata verbal, bukan dalam
bentuk angka-angka inilah yang menjadi data primer (utama) dalam
penelitian ini.
19
b. Data kuantitatif
Yaitu data yang berbentuk angka statistik dalam penelitian ini data
statistik hanya bersifat data pelengkap, dikarenakan penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif.
3. Sumber Data
Menurut sumber data dalam penelitian ini, data dibedakan
menjadi dua macam, yaitu :
a. Sumber data primer
Yaitu data yang diperoleh peneliti secara mentah dari sumber data
dan masih memerlukan analisis lebih lanjut (Subagyo, 2004: 87)
.Jenis data primer dalam penelitian ini diperoleh secara langsung dari
sumber data melalui wawancara, observasi atau dengan cara lainnya.
b. Data sekunder
Jenis data yang diperoleh atau berasal dari bahan-bahan
kepustakaan (Arikunto, 2004: 107). Data ini berupa dokumen, buku,
majalah, jurnal, dan yang lainnya yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yakni membicarakan tentang
bagaimana cara peneliti mengumpulkan data. Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan beberapa metode dalam mengumpulkan data,
sebagai berikut :
20
a. Metode observasi
Yaitu cara pengumpulan data melalui pengamatan dan pencatatan
dengan sistematik tentang fenomena-fenomena yang diselidiki, baik
secara langsung maupun tidak langsung (Hadi, 2001: 136). Menurut
Marshall (1990) menyatakan bahwa metode observasi adalah
“Trough observasion the researcher learn about behavior and the
meaning attached to those behavior”. Melalui observasi, peneliti
belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut. Adapun
observasi yang dilakukan peneliti termasuk dalam jenis observasi
partisipatif, yaitu peneliti terlibat langsung dengan kegiatan sehari-
hari orang yang sedang diamati atau digunakan sebagai sumber data
penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan
apa yang dikerjakan oleh sumber data.
b. Metode wawancara (interview)
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat
dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Dalam hal ini
penulis melakukan wawancara dengan pihak terkait.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis interview bebas
terpimpin dan instrumen yang digunakan dalam interview ini adalah
pedoman wawancara. Interview dalam penelitian ini, peneliti
lakukan baik secara formal maupun secara nonformal.
21
Interview secara formal peneliti lakukan dengan cara peneliti
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada kepala sekolah, guru dan
bagian tata usaha. Sedangkan interview nonformal peneliti lakukan
sesama peneliti melakukan penelitian bertanya melalui berbagai
pihak dari pegawai, guru-guru dan siswa-siswi. Adapun wawancara
yang dilakukan dalam penelitian ini, meliputi :
1) Wawancara kepala sekolah tentang sejarah, profil, visi dan misi
Seangprathip Wittaya Mulniti School, keadaan guru, karyawan,
siswa, sarana dan prasarana.
2) Wawancara dengan waka kurikulum tentang pengembangan
kurikulum dan tentang pelaksanaan pembelajaran PAI dengan
konsep humanisme religius.
3) Wawancara dengan guru PAI tentang proses pembelajaran PAI
dengan menggunakan konsep humanisme religius.
4) Wawancara kepada tata usaha tentang keadaan siswa dan guru
Seangprathip Wittaya Mulniti School, Nongchik, Pattani.
c. Metode dokumentasi
Yakni mengumpulkan data-data melalui pengamatan dan
pencatatan dengan sistematik tentang fenomena-fenomena yang
diselidiki, baik secara langsung maupun tidak langsung (Sugiyono,
2007: 308).
22
G. Teknik Analisa Data
Analisa data menurut Moleong (1993: 30) adalah proses
pengorganisasian dan mengurutkan data kedalam pola atau kategori dan
uraian satuan dasar sehingga lebih mudah untuk dibaca dan
diinterprestasikan. Analisis data bertujuan untuk menelaah data secara
sistematika yang diperoleh dari berbagai tehnik pengumpulan data yang
antara lain; observasi, metode wawancara, dan dokumentasi. Setelah data
terkumpul tahap selanjutnya adalah data diklasifikasikan sesuai dengan
kerangka penelitian kualitatif deskriptif yang berupaya menggambarkan
kondisi latar belakang penelitian secara menyeluruh dan data tersebut ditarik
suatu temuan penelitian.
Dalam penelitian kualitatif dikenal dengan dua strategi analisis data
yang sering digunakan bersama-sama atau terpisah, strategi analisis data yang
sering digunakan bersama-sama atau terpisah, strategi tersebut yaitu analisis
deskriptif kualitatif dan analisis verifikasi kualitatif (Buangin, 2003: 83).
Adapun dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah
analisis deskriptif ini berupa kata-kata atau paragraf yang dinyatakan dalam
bentuk narasi yang bersifat deskriptif mengenai peristiwa-peristiwa nyata
yang terjadi dalam lokasi penelitian.
Dalam analisis data penelitian ini penulis memberikan gambaran
secara menyeluruh tentang pembelajaran PAI yang ada di Seangprathip
Wittaya Mulniti School Nongchik, Pattani. Adapun langkah-langkah teknik
analisis deskriptif kualitatif dalam penelitian ini, peneliti berpijak pada
23
pendapatnya Miles, Hubermen dan Yin yang ditulis oleh Suprayogo (2001:
197) dalam bukunya yang berjudul metodologi penelitian sosial agama antara
lain :
1. Pengumpulan data kegiatan analisis data selama pengumpulan data
dimulai setelah peneliti memahami fenomena-fenomena yang sedang
diteliti dan setelah mengumpulkan data yang dapat dianalisis.
2. Reduksi data yaitu, proses pemilihan pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, tranformasi data kasar yang muncul dari
catatan lapangan. Data yang diperoleh dari lapangan ditulis dalam bentuk
uraian atau laporan terinci, data tersebut dalam bentuk laporan perlu
direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal
yang penting dan dicari tema atau polanya. Data yang direduksi
memberikan gambaran yang lebih jelas tentang hasil pengamatan juga
mempermudah peneliti mencari kembali data yang diperoleh jika
diperlukan.
3. Display data yaitu, rakitan kalimat yang disusun secara logis dan
sistematis atau menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun yang
memberikan kemungkinan ketika dibaca akan mudah dipahami tentang
berbagai hal yang terjadi dan memungkinkan peneliti untuk membuat
analisis atau tindakan lain berdasarkan pemahamannya tersebut.
4. Penarikan kesimpulan atau verifikasi yaitu suatu upaya untuk berusaha
mencari kesimpulan dari permasalahan yang diteliti, dari data penelitian
24
yang sudah dianalisis dapat diambil kesimpulan serta menverifikasi data
tersebut dengan cara menelusuri kembali data yang telah diperoleh.
H. Sistematika Pembahasan
Dalam sistematika pembahasan ini penulis mengungkapkan isi
pembahasan skripsi secara negatif, sistematis dan logis mulai dari bab
pertama sampai dengan bab terakhir, dengan tujuan agar penelitian ini dapat
dipahami secara utuh dan berkesinambungan. Adapun sistematika
pembahasan penelitian ini sebagai berikut.
Bab I, merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
Bab II, merupakan bab yang membahas tentang kajian teoritis yang
memaparkan tentang konsep humanisme religius ditinjau secara umum
tentang pendekatannya secara filosofis, dan tentang pembelajaran Pendidikan
Agama Islam.
Bab III, merupakan bab yang memaparkan hasil penelitian lapangan
yang meliputi gambaran umum tentang objek penelitian, penyajian data
tentang implementasi, konsep humanisme dalam pembelajaran Pendidikan
Agama Islam di Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik, Pattani dan
analisa data.
Bab IV, merupakan bab yang membahas tentang analisis implementasi
pendidikan humanis pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam di
Seangprathip Wittaya Mulniti School.
25
Bab V, merupakan bab penutup yang berisi simpulan dan saran dari
hasil penelitian.
Daftar pustaka
Lampiran
26
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Konsep tentang Humanisme
1. Latar Belakang Humanisme
Arti istilah “humanisme” lebih mudah dipahami kalau ditinjau dari
sisi historis dan sisi aliran-aliran di dalam filsafat. Dari sisi pertama,
humanisme berarti suatu gerakan intelektual dan kesusastraan yang
pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 Masehi. Pada
gerakan ini bisa dikatakan sebagai motor penggerak kebudayaan modern.
Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan,
pada prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan renaisans abad ke-14
sampai ke-16 M. Gerakan yang berawal di Italia ini kemudian menyebar
ke segenap penjuru Eropa, dimaksudkan untuk membangunkan umat
manusia dari tidur panjang abad pertengahan, yaitu dikuasai oleh dogma-
dogma agamis gerejani. Abad pertengahan adalah abad dimana otonomi
kreativitas, kemerdekaan berpikir manusia dibelenggu oleh kekuasaan
gereja. Abad ini sering disebut “abad kegelapan” karena cahaya akal budi
manusia tertutup kabut dogma-dogma gereja. Kuasa manusia dipatahkan
oleh pandangan gereja yang menganggap bahwa hidup manusia telah
digariskan oleh kekuatan-kekuatan Ilahi, dan akal budi manusia tidak akan
pernah sampai pada misteri dari kekuatan-kekuatan itu. Pikiran-pikiran
manusia yang menyimpang dari dogma-dogma tersebut adalah pikiran-
pikiran sesat dan karenanya harus dicegah dan dikendalikan.
27
Dalam zaman seperti itulah, gerakan humanisme muncul. Gerakan
kaum humanis ini bertujuan untuk melepaskan diri dari belenggu dari
kekuasaan gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang
mengikat, melalui pendidikan liberal, mereka mengajarkan bahwa manusia
pada prinsipnya adalah makhluk bebas dan berkuasa penuh atas
eksistensinya sendiri dan masa depannya. Istilah “humanisme” sendiri
berasal dari kata Latin “humanitas” (pendidikan manusia) dan dalam
bahasa Yunani disebut paideia, yaitu pendidikan yang didukung oleh
manusia-manusia yang hendak menempatkan seni liberal sebagai materi
atau sarana utamanya. Karena alasan seni liberal inilah yang menjadi
sarana terpenting dalam dunia pendidikan pada waktu itu (retorika,
sejarah, etika dan politik) adalah kenyataan bahwa hanya dengan seni
liberal, manusia akan tergugah untuk menjadi manusia, menjadi makhluk
bebas yang tidak terkungkung oleh kekuatan-kekuatan dari luar dirinya
(Zainal Abidin, 2006: 41).
Seperti apa yang diungkapkan oleh Paulo Friere, seorang pakar
pendidikan dari Brazil, telah berhasil melihat fenomena pendidikan dalam
karyanya yang terkenal “Pendidikan Kaum Tertindas”. Menurut Friere
bahwasannya pendidikan yang dimulai dengan kepentingan egoistis kaum
penindas dan menjadikan kaum tertindas sebagai objek humanitarianisme,
mereka justru memprahaturkan dan menjelmakan penindas itu sendiri.
(Friere, 1991: 26).
28
Dari sisi yang kedua, humanisme sering diartikan sebagai paham di
dalam filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia menempati posisi yang sentral dan
penting, baik dalam perancangan teoritis-filsafat maupun dalam praktis
hidup sehari-hari. Dalam arti ini manusia dipandang sebagai ukuran bagi
setiap penilaian dan refrensi utama dari setiap kejadian di alam semesta
ini. Salah satu asumsi yang melandasi pandangan filsafat ini adalah bahwa
manusia padaprinsipnya merupakan pusat dari realitas. Berbeda dengan
pandangan filsafat yang berkembang pada abad pertengahan, pada
humanis berpegang teguh pada pendirian, bahwa manusia pada hakikatnya
bukan sebagai viator mund i(peziarah di muka bumi), melainkan sebagai
vaber mundi (pekerja ataupencipta dunianya). Oleh sebab itu segala
ukuran penilaian dan referensi akhir dari semua kejadian manusiawi
dikembalikan lagi kepada manusia itu sendiri, bukan kepada kekuatan-
kekuatan di luar manusia (kekuatan Tuhan atau kekuatan alam misalnya).
Secara garis besar dua sisi dari humanisme tersebut
mendeskripsikan hubungannya dengan humanisasi yang berlangsung di
dalam ilmu-ilmu yang wujud kongkretnya tampak pada ilmu-ilmu sosial
humanistik. Dalam kerangka operasionalnya, pendidikan Islam, juga
pendidikan jenis lain pada umumnya, seringkali hanya menjadi suatu
kegiatan menabung.
Friere (1991: 50) mengatakan dalam bukunya Pendidikan Kaum
Tertindas, para murid menjadi celengan dan guru menjadi penabungnya.
29
Dan yang terjadi bukanlah proses komunikasi, akan tetapi guru
menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang
diterima dan dituangkan dengan patuh oleh para muridnya. Aktivitas
pendidikan hanya sekedar sebuah mekanisme otomatik dan lebih bersifat
formalistik belaka. Pada pola pendidikan semacam ini nilai kreativitas dan
progresivitas individu menjadi sangat terpasung.
Dalam konsep pendidikan gaya bank demikian, pengetahuan
adalah sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap
dirinya lebih berpengetahuan, kepada mereka yang diangap tidak memiliki
pengetahuan. “Education is transfer a certain knowledge from teachers
totheir students” dalam kata lain bahwasannya pendidikan hanyalah
memindahkan ilmu dari otak (yang satu) ke otak yang lain. Untuk itu
dengan adanya konsep humanisme, kebebasan berfikir merupakan tema
terpenting dari pendidikan humanis. Akan tetapi kebebasan yang
dimaksudkan bukan kebebasan yang absolut, atau kebebasan sebagaian
antitesis dari deferminisme abad pertengahan. Kebebasan yang mereka
perjuangkan adalah kebebasan yang berkarakter manusiawi, kebebasan
manusia dalam batas-batas alam, sejarah dan masyarakat.
Dengan demikian, bahwa humanisme dalam arti yang kedua yang
telah dijelaskan di atas merupakan salah satu paham di dalam aliran-aliran
filsafat yang hendak menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia serta
menjadikan manusia sebagai ukuran dari segenap penilaian, kejadian dan
gejala di atas muka bumi ini. Dengan kata lain, manusia merupakan pusat
30
kontrol dari realitas. Realitas manusia adalah hak milik manusia sehingga
setiap kejadian, gejala dan penilaian apapun harus dikaitkan dengan
keberadaan, kepentingan atau kebutuhan manusia.
Abidin (2001: 42) memaparkan, manusia adalah pusat realitas,
sehingga segala sesuatu yang terdapat di dalam realitas harus
dikembalikan lagi pada manusia. Dengan demikian tidak dapat dibenarkan
adanya penilaian atau interpretasi tentang kejadian atau gejala manusiawi
yang menempatkan manusia sebagai entitas-entitas marjinal atau
pinggiran.
2. Definisi Humanisme
Humanis berasal dari kata Human (Echols, 1998: 326) (Inggris)
yang berarti manusiawi. Menurut Budiona, dalam Kamus Ilmiah Populer
Internasional, menyebutkan bahwa Human berarti mengenai manusia, cara
manusia, sedangkan humanis sendiri berarti seorang yang human,
penganut ajaran huminisme. Sedangkan Budiono (2005: 228)
memaparkan, humanisme sendiri adalah suatu doktrin yang menekankan
kepentingan kemanusiaan dan ideal (humanisme di zaman Renaissan
didasarkan atas peradaban Yunani purba. Sedangkan humanisme modern
menempatkan manusia secara eksklusif). Sedangkan dalam kamus besar
Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa human: bersifat manusiawi, (seperti
manusia yang dibedakan dengan binatang, jin, dan malaikat)
berperikemanusiaan, baik budi, budi luhur dan sebagainya.
31
Humanis adalah orang yang mendambakan dan memperjuangkan
terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik berdasarkan asas-asas
kemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama umat manusia (1), penganut
paham yang menganggap manusia sebagai obyek terpenting (2), penganut
paham humanisme (3) (KBBI, 1994: 361).
Dari sana dapat ditarik bahwa pendidikan humanis adalah proses
pendidikan penganut aliran humanisme, yang berarti proses pendidikan
yang menempatkan seseorang sebagai salah satu objek terpenting dalam
pendidikan. Namun, kata obyek di sini bukan berarti sebagai penderita,
melainkan menempatkan manusia sebagai salah satu subyek (pelaku) yang
sebenarnya dalam pendidikan itu sendiri. Hal itu seperti yang dicita-
citakan oleh Freire bahwa manusia adalah pelaku dalam pendidikan.
Pendidikan humanis berarti pendidikan yang didalamnya selalu
mengutamakan kepentingan manusia sebagai seseorang yang senantiasa
harus mendapatkan segala haknya sebagai manusia yang merdeka. Hak
yang dimaksud adalah hak untuk dihargai sebagai manusia yang
mempunyai potensi, hak untuk dihormati, hak untuk diperlakukan sebagai
manusia yang merdeka.
Dari uraian di atas jelas bahwa sesungguhnya manusia memegang
peranan penting dalam kehidupannya. Dalam hal itu, manusia merupakan
pemegang kebebasannya dalam melakukan sesuatu yang terbaik bagi
dirinya saat ini, dan juga bagi masa depannya yang akan datang. Sehingga
bisa dikatakan bahwa kedudukan manusia dalam dunia ini sangatlah
32
tinggi, karena dibekali dengan potensi-potensi kebebasan dalam
melakukan hal terbaik bagi dirinya.
Manusia merupakan makhluk yang multidimensi bukan saja karena
manusia sebagai subyek yang secara teologis memiliki potensi untuk
mengembangkan pola kehidupan,
يعا آ ه إن ف ذلكآليات ل م وسخر لك آا ف الس اوات وآا ف األرض ج ي فكرون
Artinya:“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Q.S.
Al-Jatsiyah, 45: 13)
Tetapi juga sekaligus menjadi obyek dalam keseluruhan macam
dan bentuk aktivitas dan kreativitasnya. Dengan demikian, bentuk dan
sistem aspek-aspek kehidupan senantiasa harus dikonstruksi di atas
konsepsi manusia itu sendiri, sehingga diskursus mengenai ma nusia
menjadi menarik tidak saja karena keunikan makhluk, akan tetapi juga
karena kompleksitas daya yang memilikinya sangat luar biasa.
Bagi sebagian orang, pendidikan seringkali dicerna sebagai suatu
kegiatan pengisian otak dengan pengetahuan-pengetahuan tertentu tersebut
diyakini akan menghasilkan keterampilan-keterampilan tertentu pula
seseorang akan dikatakan berpendidikan apabila dia memiliki potensi
kognitif yang dikontrol oleh institusi-institusi yang menyelenggarakannya.
Seorang guru profesional memiliki kemampuan kognisi dari lembaga
dimana dia melakukan proses belajar (pendidikan). Seorang dokter,
33
tentara, bankir, bahkan seorang pelukis memperoleh kemampuan dari
institusi pendidikannya masing-masing. Itulah kesan yang sering muncul
dari kebanyakan kaum awam saat mereka berbicara mengenai pendidikan.
Proses pemikiran yang demikian dapat mempengaruhi minat dan
motivasi, baik secara internal maupun eksternal, untuk memiliki kesadaran
berpendidikan. Bagi mereka yang terlalu berpegang pada doktrin ini
apabila tidak memiliki kemampuan untuk memasuki lembaga-lembaga
pendidikan tertentu maka pintu pendidikan sudah tertutup selamanya bagi
mereka padahal pendidikan bukan hanya sekedar proses transformasi
pengetahuan saja.
Pendidikan adalah suatu proses penyampaian nilai dengan lingkup
yang sangat luas. Pendidikan adalah bagaimana manusia dapat
melaksanakan hidup dan kehidupan. Oleh karena itu, sejalan dengan ini,
Prof. Lodge pernah mengatakan bahwa hidup adalah pendidikan dan
pendidikan adalah hidup itu sendiri (Tim Dosen IKIP Malang, 1988: 5).
Manusia sebagai makhluk multidimensional yang memiliki potensi dasar
yang bisa dikembangkan, sehingga manusia dinamakan makhluk
pedagogik. Makhluk pedagogik adalah makhluk yang dapat dididik
sekaligus makhluk yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan
aktivitas pendidikan.
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadisnya yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah: “Tidak seorangpun
dilahirkan kecuali mempunyai fitrah, maka kedua orangtuanya yang
34
menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”. (HR. Muslim).(Syeikh
Manshur Ali Nashif, 1961 M – 1381 H: 36)
Hadist di atas memberikan penjelasan bahwa seorang manusia lahir
dalam keadaan fitrah, yakni dibekali naluri keagamaan tauhid. Tidak
seorangpun bayi yang lahir ke dunia membawa dosa asal. Fitrah manusia
merupakan potensi dasar yang baik yang perlu diasah dan dikembangkan.
Kegiatan mengasah dan mengembangkan fitrah melalui proses
transformasi nilai itu berlangsung dari generasi tua kepada generasi yang
lebih muda.
Dalam terminologi yang praktis, hal itu dinamakan pendidikan
dalam makna yang luas. Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan dari memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur”
(Q.S. Al-Nahl, 16: 78).
Dalam pernyataan Al-Qur‟an di atas, dapat dibingkai sebuah
pengertian bahwa manusia dilahirkan dengan membawa potensi yang bisa
dikembangkan (fitrah) seperti dalam hadist yang telah dijelaskan di atas
yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah di muka “dan manusia
dilahirkan dengan tidak membawa pengetahuan apapun”. Namun
demikian, manusia dibekali alat untuk mencapai pengetahuan seperti indra
pendengaran, penglihatan, dan hati (Makin, 2007: 105-107).
35
Menurut filsafat humanisme Syari‟ati (1992: 59) bahwasannya,
beliau mengartikan humanisme sebagai aliran filsafat yang menyatakan
bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan
kesempurnaan manusia. Humanisme memandang manusia sebagai
makhluk yang mulia, dan prinsip-prinsip yang didasarkannya didasarkan
atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok yang bisa membentuk
species manusia.
Pendidikan yang di dalamnya mengandung unsur manusia, baik
sebagai pelaku atau objek, dengan demikian tidak terpisahkan dari
orientasi humanistik. Sejauhmana humanisme itu berperan dalam
pendidikan, adalah tergantung dari persepsi para pendidik itu sendiri
tentang manusia (human). Ada sebagian para ahli mengatakan
bahwasannya watak manusia itu “berkembang” sesuai dengan
perkembangan pribadi dan lingkungan yang melingkupinya. Hal itulah
yang mengindikasikan bahwa sifat dan pembawaan, termasuk di
didalamnya watak dan insting pada anak-anak itu berbeda-beda. Karena
itu dapat dikatakan bahwa kewajiban seorang pendidik bila hendak
memilihkan bidang pekerjaan buat seorang anak, meneliti terlebih dahulu
sifat-sifatnya dan menguji kepintarannya kemudian dipilihkan jurusan
pekerjaan yang sesuai. Perbedaan sifat pembawaan, watak dan insting
manusia tidak dapat dipisahkan dari pengaruh lingkungannya. Dengan
pengaruh itu seluruh kondisi batin di atas dapat berkembang, bisa menjadi
baik, bisa pula sebaliknya, menjadi buruk. Sabda Rasulullah :“Lingkungan
36
mempengaruhi hidup manusia mempunyai dampak atau pengaruh
didalam kehidupan dan perjalanannya dan berpengaruh di dalam
akhlaknya maka jika ada kebaikan yang dapat memotifasi maka
dampaknya akan baik, dan jika ada kejelekan atau kesesatan tidak akan
ditemukan perbuatan yang dapat memotivasi dan dampaknya akan
buruk”.
Dengan demikian, lingkungan dimana manusia itu berada
berpengaruh besar bagi hidup dan perkembangan kehidupannya, mampu
membentuk watak, kebiasaan, dan kecenderungan-kecenderungannya. Jika
lingkungannya baik, dapat memotivasi untuk mendatangkan pengaruh
yang baik, sebaliknya, jika lingkungannya buruk, tak seorang (ulama‟) pun
mampu membendung atau membantu akses buruknya. Sebenarnya
manusia itu lahir dalam keadaan fitrah yaitu pembawaan asal untuk siap
menerima agama Islam. Kemudian lingkungannya mempengaruhinya
untuk menjadi baik atau buruk. Untuk mengendalikan dan mengarahkan
pengaruh tersebut, pendidikan berperan aktif.
Menurut pendapat Al-Ghazali bahwasannya sejak kecil anak itu
dapat menerima pengaruh baik atau buruk dari lingkungannya. Padahal di
usia tersebut, anak tidak mampu membedakan antara baik dan buruk.
Pendidikan orang tua, sebagai pihak pertama yang berinteraksi dengan
anak, akan mampu mengendalikan dan mengarahkan pengaruh misieu.
Nabi Muhammad SAW bersabda : “Tiap anak dilahirkan dalam keadaan
37
fitrah kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi
Yahudi, Nasrani atau Majusi”.(Assegaf dan Suyadi, 2008: 38-40)
Dari uraian di atas bahwasannya watak manusia itu berkembang.
Yang membedakan adalah konsep fitrah itu sendiri. Fitrah adalah
pembawaan manusia yang tetap. Semua orang yang dilahirkan dengan
pembawaan asal berupa fitrah tersebut, seumur hidupnya manusia
memilikinya tidak ada perubahan dalam fitrah Allah yang dikaruniakan
kepada hambanya.
Oleh karena itu usaha-usaha pendidikan (tarbiyah) bagi manusia
menjadi suatu kebutuhan pokok guna menunjang pelaksanaan amanat
yang dilimpahkan Allah kepadanya. Ini merupakan kebutuhan manusia
terhadap pendidikan yang bersifat individual. Kalau diamati keadaan bayi
pada saat dilahirkan, dapat disaksikan bahwa mereka dalam keadaan
yang sangat lemah, tidak berdaya. Hampir semua hidupnya tergantung
pada orang tuanya. Mereka sangat memerlukan pertolongan dan bantuan
orang tuanya dalam segala hal.
Demikian pula, jika dia tidak diberi bimbingan atau pengetahuan,
baik jasmaniah maupun ruhaniah berupa pendidikan intelek, susila, sosial
agama, dan sebagainya. Maka anak tersebut tidak akan dapat berbuat
sesuatu secara maksimal. Dari sini jelaslah bahwa manusia dalam rangka
melaksanakan tugas kehidupannya sangat membutuhkan apa yang
disebut pendidikan, dengan demikian pendidikan menjadi kebutuhan
pokok bagi manusia. Jadi manusia memerlukan pendidikan. Filsafat
38
humanisme menurut George R. Knight, bahwasannya humanisme
merupakan perkembangan dari progresivisme. Fokus perhatian
humanisme adalah kepada manusia (human). Aspek manusia inilah yang
mesti ada dalam pendidikan. Artinya, humanisme merupakan refleksi
timbal balik antara kepentingan individu dengan masyarakat. Karenanya
pendidikan harus diselenggarakan dengan memusatkan perhatian
keduanya. Kemudian, mengingat masyarakat itu selalu berkembang dan
berubah, nilai-nilai yang dianggap baik dan buruk bagi individu juga
mengalami perkembangan dan perubahan. Bila nilai-nilai tendensi dan
input dipandang baik oleh masyarakat, maka nilai- nilai tendensi dan
input dipandang sebagai sifat-sifat manusia yang baik pula. Sehubungan
dengan itu John Dewey mengatakan:
“Setiap tendens dan impuls yang ada pada manusia tiadalah
mempunyai suatu arti apa-apa. Jadi tiadalah berakibat baik ataupun
buruk terhadap masyarakat. Tendens atau input ini baru mempunyai
arti bila ia memberikan akibat di dalam keadaan tertentu. Ia hanya
dapat memberikan akibat itu bila ia dipengaruhi ataupun dipaksakan
oleh faktor-faktor luar, yaitu faktor-faktor dari kebudayaan. Bila
akibat ini yaitu sesuatu hasil perbanyakan antara tendens tadi dengan
faktor-faktor luar dianggap baik oleh masyarakat, maka tendens tadi
orang pandang sebagai sifat-sifat manusia yang baik. Bila akibat itu
dianggap merugikan masyarakat maka tendens tadipun dianggap
sebagai suatu sifat manusia yang buruk”(Assegaf dan Suyadi, 2008:
54-55).
Jadi ukuran baik dan buruk, sebagaimana dapat disimpulkan
bahwasannya hasil perbuatan manusia dan masyarakat. Jelas hal ini
mengacu pada sosio-antroposentris. Meskipun demikian, diakuinya
bahwa disamping sifat-sifat manusia itu mengalami perkembangan dan
perubahan, ada beberapa faktor dimana sifat manusia itu mengalami
39
perkembangan dan perubahan. Ada beberapa faktor dimana sifat manusia
itu tetap tidak berubah. Tetapi karena akibat-akibat yang ditimbulkannya
dibawah pengaruh-pengaruh dan tekanan-tekanan elemen kebudayaan,
kemudian juga mempengaruhi kembali setiap elemen-elemen dari sifat
manusia itu, maka bentuk dan susunannya juga senantiasa berubah-ubah.
Perkaitan dengan sifat-sifat manusia itu mengalami perkembangan dan
perubahan-perubahan. Ada beberapa faktor dimana sifat-sifat manusia
akan mengalami perubahan karena adanya pengaruh dan tekanan dari
elemen kebudayaan. Oleh karena itu pendidikan Islam sebagai suatu
sistem sekaligus proses bermaksud membina, mengembangkan, dan
mengarahkan potensi dasar insaniah (jasmaniah-ruhaniah). Berdasarkan
nilai- nilai normatif (ajaran) Islam. Karena Islam sendiri memandang
manusia sebagai suatu kesatuan integral antara jasmaniah dan ruhaniah,
pendidikan Islam pada hakikatnya ingin mengembangkan dan
mengarahkan kedua dimensi tersebut secara seimbang.
Manusia tercipta dalam keadaan yang belum selesai. Keberadaan-
keberadaan jiwa dan raga, jasmaniah dan ruhaniah, masing-masing akan
terus mengalami perubahan (evolusi), yang mengalami perubahan secara
perlahan dan bertahap. Perubahan tersebut dalam terminologi psikologi
perkembangan (developmental psychologi) disebut pertumbuhan dan
perkembangan.
Pertumbuhan berkaitan erat dengan perubahan secara fisiologis
sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik dan mekarnya
40
segala daya dari dalam yang berlangsung secara wajar pada diri anak
(Affifudin dkk, 1988: 53).Sedangkan perkembangan merupakan suatu
perubahan psikofisis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi
psikis dan fisis. Pada diri anak yang ditunjang oleh faktor lingkungan dan
proses belajar.
Dari pemahaman tersebut, yang perlu dicari adalah akan seperti
apa eksistensi manusia dalam suatu proses kependidikan Islam, pada
hakekatnya merupakan usaha untuk membantu mengembangkan kedua
unsur (jasmaniah dan ruhaniah) secara seimbang dan harmonis menuju
tujuan kematangan menurut ajaran Islam. Berhubung pendidikan
merupakan bagian dari hidup, maka tujuan hidup manusia pada dasarnya
merupakan tujuan pendidikan itu sendiri. Jadi, dalam menciptakan
kondisi pendidikan yang bertujuan sakral-transendental, yakni
memanusiakan manusia, secara filosofis perlu melihat tujuan hidup
manusia, terlebih melalui paradigma Qur‟ani.
Dalam Al-Qur‟an disebutkan, bahwa tujuan hidup manusia
diantaranya adalah untuk menyembah Allah,
وآا ل ااي واان إال لي عبدون Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Al-Dzariyat, 51: 56)
Beribadah supaya menjadi orang yang takwa,
يا ي ها ال اس اعبدوا ر ك ال ل ك وال يي آي ق بلك لعلك ا ن Artinya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.”
(Q.S. Al-Baqarah, 2: 21)
41
Dan menjalankan agama yang lurus,
يي فاء وي ي ا الصالة وي ؤا ا الز اة وآا آروا إال لي عبدوا الله ملصني له الد وذلك يي ال ي
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus.” (Q.S. Al-Bayyinah, 98: 5)
Lebih transparan lagi, Al-Qur‟an menjelaskan tentang tujuan hidup
manusia dalam ayat berikut ini :
ن يا و سي ا ار اآل رة وال ا نصيبك آي الد وا غ في ا ااك الله الد سي الله إليك وال ا بغ الفسا ف األرض إن الله ال ال فسديي
Artinya:“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bagianmu dari „kenikmatan‟ duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di „muka‟
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan”. (Q.S. Al-Qashash, 28: 77).
Itulah tujuan hidup manusia dalam perspektif Islam yang sekaligus
menjadi tujuan ideal pendidikan Islam. Secara lebih detail, dapat
dideskripsikan bahwa tujuan hidup manusia adalah mencari kebahagiaan
duniawi-ukhrowi dengan mempertajam kesalehan sosial lewat amr
(perintah) berbuat baik kepada orang lain, dan mengembangkan sense of
belonging (rasa ikut memiliki) melalui larangan berbuat kerusakan dalam
bentuk apapun. Dengan demikian berangkat dari pemahaman seperti
itulah proses pendidikan Islam yang benar-benar memanusiakan manusia
akan terwujud. Hal ini memberi pengertian bahwa 2 kepentingan
manusia (duniawi-ukhrowi, jasmani-ruhani) harus dianggap dan dipenuhi
42
melalui proses kependidikan Islam. Lalu proses pendidikan yang
bagaimana yang dinamakan proses pendidikan yang memanusiakan
manusia? Proses pendidikan yang dimaksud adalah proses membimbing,
mengembangkan, dan mengarahkan potensi dasar manusia baik jasmani
maupun rohani secara seimbang dengan menghormati nilai-nilai
humanistik yang lain.
Kegiatan pendidikan dilakukan untuk mengisi otak dengan
berbagai pengetahuan yang bersifat kognitif, dan juga mengisi hati agar
bisa memperteguh potensi manusia (peserta didik) untuk menjadi
mandiri. Proses pendidikan yang hanya mementingkan salah satu dari
dua dimensi tersebut merupakan proses pendidikan yang angkuh dan itu
tidak sesuai dengan nilai-nilai humanistik. Proses pendidikan dengan
pemberian pengetahuan dapat berbentuk penyampaian materi pelajaran di
kelas, sekolah atau dimanapun. Pengisian hati bisa berupa pendidikan
yang bermuatan normatif religius dengan memberikan kebebasan yang
proporsional sebagai upaya ekselerasi (pencapaian pematangan
humanisasi).
I. Tujuan Konsep Humanisme
Humanisme religius adalah sebuah konsep keagamaan yang
memanusiakan manusia, serta upaya humanisasi ilmu-ilmu dengan tetap
memperhatikan tanggungjawab hablum minallah dan hablum minannas.
Konsep ini jika diimplementasikan dalam praktek dunia pendidikan
Islamakan berfokus pada akal sehat (common sense), menuju
43
kemandirian (individualisme), tanggung jawab (responsibility),
pengetahuan yang tinggi (thirs for knowledge), menghargai masyarakat
(pluralisme), kontektualisme, yang lebih mementingkan fungsi daripada
simbol, dan keseimbangan antara reward dan punisment (Mas‟ud, 2002:
193).
a. Akal sehat (common sense)
Manusia adalah makhluk yang mulia, makhluk yang berbudaya.
Manusia adalah makhluk pedagogik dan juga sebagai kholifah Allah di
muka bumi. Dalam memanfaatkan akal sehat secara proporsional, dalam
Islam, al-alim lebih utama dari al-‟abid, yang notabene dibedakan dari
akal sehatnya. Dalam firman Allah dijelaskan bahwasannya orang-orang
yang berilmu ditinggikan derajatnya oleh Allah dengan beberapa
tingkatan.
ي رف الله ال يي آ ا آ ك وال يي وا ا العل رجات والله ا ا ع ل وب ري Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat.” (Q.S. Al- Mujadilah:
11).
Dalam ayat lain dijelaskan betapa pentingnya akal sehat dan
pendengaran. Oleh karena itu rugilah mereka yang tidak mengembangkan
kemampuan akal sehat dan pendengarannya sehingga dalam ayat itu
dikategorikan sebagai ashab al-sya‟ir (Mas‟ud, 2002: 159). Dengan
demikian jelaslah sudah di dalam konsep pendidikan humanisme religius
sangat ditekankan, karena dengan demikian dalam proses pembelajaran
ruang berfikir bagi peserta didik sangatlah luas untuk menganalisis hal-hal
44
yang ada di sekitarnya (peserta didik/pendidik). Artinya hal-hal yang
berhubugan dengan daya fikir sangat diminati baik oleh guru ataupun oleh
peserta didik (murid).
b. Individualisme (kemandirian)
Pengembangan individu menjadi individu yang saleh, “insan kamil”
dengan berbagai keterampilan dan kemampuan serta mandiri adalah
sasaran utama pendidikan Islam. Mas‟ud (2002: 158) menyatakan,
individualisme dalam konsep Barat yang diwakili dalam sebuah syair
dalam bahasa Arab yang cukup populer yaitu : “Sesungguhnya seorang
pemuda adalah mengandalkan diri sendiri, bukanlah seorang yang
membanggakan ayahnya”.
Self-reliance atau kemandirian adalah tujuan utama dalam konsep
individualisme. Dalam Islam, individualisme bukanlah sebuah larangan.
Jika penekanannya pada kemandirian dan tanggung jawab pribadi, justru
menjadi seruan dalam Islam. Dalam surat Yasin disebutkan bahwasannya:
“Pada hari itu (kiamat) Allah akan menutup mulut mereka, dan berbicara
tangan mereka, kakinya akan menjadi saksi terhadap apa yang telah
mereka lakukan” (Q.S. 36: 35).
Bahwasannya semua anggota badan manusia akan dimintai
pertanggung jawabannya di depan sang pencipta, tentunya harus
ditafsirkan sebagai tugas pendidikan dalam mengembangkan tanggun
jawab, pribadi, sosial dan keagamaan individu (Mas‟ud, 2002: 114).
45
Individualisme dalam Islam memang harus dikembangkan melalui pada
ajaran dasar kesalehan.
Kesalehan yang berangkat dari kesalehan pribadi kemudian
berkembang pada kesalehan sosial dan lingkungan. Dalam firman Allah:
“Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, telah dijelaskan disana
mengandung nuansa responsibility(tanggung jawab). Oleh karena itu
berangkat dari tanggung jawab dan tugas mulia individu.
Dalam konsep individualisme Islam adalah pribadi yang beriman dan
bertakwa, dinamis, progresif, serta tanggap terhadap lingkungan,
perubahan dan perkembangan. Dengan demikian dalam konsep pendidikan
humanisme bermaksud membentuk insan manusia yang memiliki
komitmen. Humaniter sejati yaitu insan manusia yang memiliki kesadaran,
kebebasan, beriman dan bertakwa, dinamis, progresif serta tanggung jawab
terhadap lingkungan perubahan dan perkembangannya.
c. Pengetahuan yang tinggi (thirs for knowledge)
Islam adalah agama yang dengan jelas menempatkan ilmu pengetahuan
dalam posisi khusus. Allah akan mengangkat mereka yang beriman dan
yang berillmu diantara manusia pada posisi mulia.
Firman Allah Q.S. Al-Mujadalah : 11.
ي رف الله ال يي آ ا آ ك وال يي وا ا العل رجات والله ا ا ع ل ن ب ري Artinya“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Bahwasannya disana telah dijelaskan, Allah SWT menjanjikan kepada
orang-orang yang berilmu, derajat yang lebih tinggi dengan beberapa
46
tingkatan. Berangkat dari konseptual bahwasannya manusia merupakan
makhluk pedagogik, makhluk yang sejak lahir membawa potensi dapat
dididik sekaligus mendidik. Oleh karena itu potensi dasar (fitrah) yang
insaniah, perlu dikembangkan serta sosialisasi dalam nilai-nilai
keterampilan.
Selain itu konsep humanisme religius manusia memang merupakan
makhluk “curious” yang senantiasa ingin tahu. Rasa ingin tahu itu perlu
diolah dan diterapkan dalam kebaikan.
d. Pendidikan pluralisme (menghargai orang lain)
Menurut Mas‟ud (2002: 167), sebagaimana yang telah dipahami
bersama, Islam sangat menghargai dan menghormati keberagaman dan
kebhinekaan. Salah satuajaran Islam akan musnalah jika kalian seragam.
Artinya dalam konsep pendidikan humanisme menghargai dan
menghormati adanya perbedaan yang ada di sekitarnya baik dari segi
sosial, ekonomi, budaya dan keagamaannya dengan tujuan ketika dalam
proses pembelajaran tercipta lingkungan yang kondusif, damai serta
mengajarkan kepada peserta didik untuk selalu menghargai pendapat orang
lain.
e. Kontektualisme lebih mementingkan fungsi dari pada simbol
Dalam realitas, sering dijumpai orang yang memiliki kualifikasi
keilmuan yang bagus. Namun tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi
berbagai problematika kehidupan yang dihadapinya. Disisi lain, juga
melihat ada orang yang kualitas keilmuannya tidak begitu menakjubkan
47
tetapi dalam riil kehidupannya mereka begitu tangkas menjawab
permasalahan hidupnya. Untuk itu dalam konsek kontektualisme yang
dimaksud dalam konsep humanisme religius ini merupakan konsep belajar
yang membantu seorang guru dalam mengaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupannya nyata sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Hasil belajar atau prestasi belajar peserta didik tidak hanya
dilihat dari tampilan kualitatif, melainkan lebih dilihat dari sisi kualitas
penguasaan dan aplikasinya dalam kehidupan yang nyata. Dengan adanya
konsep yang seperti itu, hasil pembelajaran bukan sekedar wacana
melangit, akan tetapi merupakan halyang harus membumi dan lebih
bermakna bagi peserta didik (siswa).
Dalam proses pembelajaran ini berlangsung secara alamiah (natural),
berupa kegiatan bekerja dan mengalami. Bukan hanya sebuah transfer
pengetahuan dari guru ke peserta didik (siswa).
Dalam kontek yang demikian, menurut Baharudin & Makin (2007: 210)
peserta didik perlu memahami apa sesungguhnya makna belajar itu bagi
peserta didik, serta dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya.
Sehubungan dengan hal ini, peserta didik perlu memiliki komprehensif
mengenai tiga konsep yaitu : how to know (bagaimana mengetahui, how to
do (bagaimana mengerjakan atau melaksanakan), dan how to be
(bagaimana menjadi dirinya).
48
Dengan demikian dalam konsep humanisme merupakan sebuah strategi
pembelajaran yang menghendaki keterkaitan antara pengetahuan dan
kehidupan nyata. Maka hal itu akan mempermudah peserta didik untuk
membuat sebuah formulasi atau batasan-batasan mengenai pengetahuan
yang dipelajari. Hal ini sangat relevan dengan prinsip pendekatan
kontektual yaitu : student learn best by antiviety contructing their own
understanding.
f. Keseimbangan antara reward dan punishment
Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal adanya “hadiah” orang
yang bekerja untuk orang lain hadiahnya adalah upah atau gaji, orang yang
menyelesaikan suatu program sekolah hadiahnya adalah ijazah, membuat
prestasi dalam satu bidang olah raga hadiahnya adalah medali atau uang.
tepuk tangan memberi salam pada dasarnya adalah suatu hadiah juga.
Pemberian hadiah tersebut secara psikologis akan berpengaruh terhadap
tingkah laku seseorang yang menerimanya.
Demikian juga dengan hukuman (punishment) yang diberikan
seseorang karena telah mencuri, menyontek, tidak mengerjakan tugas,
datang terlambat, menipu dan lain-lain yang pada dasarnya juga akan
berpengaruh terhadap tingkah laku orang yang menerima hukuman. Baik
pemberian hadiah maupun pemberian hukuman merupakan respon
seseorang kepada orang lain karena perbuatannya. Hanya saja dalam
pemberian hadiah (reward) merupakan respon yang positif, sedangkan
pada pemberian hukuman merupakan respon yang negatif.
49
Namun kedua respon tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin
mengubah tingkah laku seseorang (anak didik). Respon positif bertujuan
agar tingkah laku yang sudah baik (bekerja, belajar, berprestasi,dan
memberi) itu frekuensinya akan berulang atau bertambah. Sedangkan
respon negatif (punisment) bertujuan agar tingkah laku yang kurang itu
frekuensinya berkurang atau hilang pemberian respon yang demikian
dalam proses interaksi edukatif disebut “pemberian penguatan”.
Oleh karena itu dalam konsep pendidikan humanisme keseimbangan
antara punishment dan reward harus ditetapkan dalam proses belajar
mengajar. Karena hal tersebut akan membantu sekali dalam meningkatkan
hasil belajar siswa. Dengan kata lain, pengubahan tingkah laku siswa
(behavior modification) dapat dilakukan dengan pemberian penguatan.
Sedangkan tujuan dari pendidikan humanis adalah terciptanya satu
proses dan pola pendidikan yang senantiasa menempatkan manusia
sebagai manusia. Yaitu manusia yang memiliki segala potensi yang
dimilikinya, baik potensi yang berupa fisik, psikis, maupun spiritual, yang
perlu untuk mendapatkan bimbingan. Kemudian yang perlu menjadi
catatan adalah bahwa masing-masing potensi yang dimiliki oleh manusia
itu berbeda satu dengan yang lainnya. Dan semuanya itu perlu sikap arif
dalam memahami, dan saling menghormati serta selalu menempatkan
manusia yang bersangkutan sesuai dengan tempatnya masing-masing
adalah cara paling tepat untuk mewujudkan pendidikan humanis. (M.
Arifin, 2000: 133)
50
Menurut Ali Ashraf, model pendidikan dengan model pendidikan
dengan tekanan pada transfer ilmu dan keahlian daripada pembangunan
moralitas akan memunculkan sikap individualis dan enggan menerima hal-
hal non observasional dan sikap menjauhi nilai-nilai ilahiyah yang
bernuansa kemanusiaan. Akibat model pendidikan ini akan menghasilkan
manusia mekanis yang mengabaikan penghargaan kemanusiaan.
Kenyataan ini akan menyebabkan kearifan, kecerdasan, spiritual, dan
kesadaran manusia terhadap lingkungan sosial dan alamnya menjadi gagal.
Untuk itu pendidikan harus mampu mengantarkan manusia menuju
kesempurnaan dan kelengkapan nilai kemanusiaan dalam arti yang
sesungguhnya sebagai suatusi sistem pemanusiaan manusia yang unik,
mandiri, dan kreatif. (Prayudi, Paradigma Pendidikan Islam”
http://www.education network.blogspot.com//03/paradigma-pendidikan-
Islam-humanis.html. tanggal 22 Agustus 2015).
Dalam hal ini Mas‟ud (2002: 134) memaparkan, tujuan akhir
pendidikan adalah proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar
sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini meniscayakan adanya
kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan terutama
peserta didik untuk mengembangkan diri dari potensi yang dimilikinya
secara maksimal (Bahridjamarah, 2005: 155). Apa yang menjadi tujuan di
atas, seakan semakin mengukuhkan bahwa pendidikan yang berlandaskan
nilai-nilai humanis harus senantiasa dijalankan dan dikembangkan dalam
dunia pendidikan saat ini. Dan hal itu pula yang sebenarnya tertuang dalam
51
ajaran Islam yaitu dalam al-Qur‟an dan Hadist. Kedua sumber pendidikan
Islam inilah yang sebenarnya terdapat ajaran untuk senantiasa memiliki
dan melaksanakan nilai-nilai humanisme dalam menjalani hidup dan
kehidupan ini, begitu pula dalam dunia pendidikan.
J. Humanisme dalam proses dan dalam dasar pendidikan Islam
Pendidikan adalah tindakan yang dilakukan secara sadar dengan
tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah secara potensi (sumber
daya insani) menuju terbentuknya manusia seutuhnya (Ahmadi, 2005:
28). Dewey mendefinisikan pendidikan sebagai berikut: “education is
thus as fostering, a nurturing, a cultivating, process”. (Pendidikan adalah
memelihara, menjaga, memperbaiki melalui sebuah proses). Menurut
Mc. Donald dalam Education Psychology, pendidikan diuartikan sebagai
“process or activity, which is directed at producing desirable changes in
the behavior of human being (Pendidikan adalah proses atau aktifitas
yang berlangsung untuk menghasilkan perubahan yang diperlukan pada
tingkah laku manusia).
Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa pendidikan adalah
usaha seseorang yang sistematis, terarah, yang bertujuan untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasar menuju perubahan
tingkah laku dan kedewasaan anak didik, baik diselenggarakan secara
formal maupun non formal. Sedangkan dalam kamus Echols, (1998: 362)
humanis berasal dari kata Human (Inggris) yang berarti manusiawi.
Menurut Budiona, dalam Kamus Ilmiah Populer Internasional,
52
menyebutkan bahwa Human berarti mengenai manusia, cara manusia,
sedangkan humanis sendiri berarti seorang yang human, penganut ajaran
huminisme. Sedangkan humanisme sendiri dalam pernyataan Budiono,
(2005: 228) adalah suatu doktrin yang menekankan kepentingan
kemanusiaan dan ideal (humanisme di zaman Renaissan didasarkan atas
peradaban Yunani purba. Sedangkan humanisme modern menempatkan
manusia secara eksklusif).
Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa
human: bersifat manusiawi, (seperti manusia yang dibedakan dengan
binatang, jin, dan malaikat) berperi kemanusiaan, baik budi, budi luhur
dsb. Humanis adalah orang yang mendambakan dan memperjuangkan
terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik berdasarkan asas-asas
kemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama umat manusia (1), penganut
paham yang menganggap manusia sebagai obyek terpenting (2),
penganut paham humanisme (3).
Dari sana dapat ditarik bahwa pendidikan humanis adalah proses
pendidikan penganut aliran humanisme, yang berarti proses pendidikan
yang menempatkan seseorang sebagai salah satu objek terpenting dalam
pendidikan. Namun, kata obyek di sini bukan berarti sebagai penderita,
melainkan menempatkan manusia sebagai salah satu subyek (pelaku)
yang sebenarnya dalam pendidikan itu sendiri. Hal itu seperti yang
dicitacitakan oleh Freire bahwa manusia adalah pelaku dalam
pendidikan.
53
Pendidikan humanis berarti pendidikan yang didalamnya selalu
mengutamakan kepentingan manusia sebagai seseorang yang senantiasa
harus mendapatkan segala haknya sebagai manusia yang merdeka. Hak
yang dimaksud adalah hak untuk dihargai sebagai manusia yang
mempunyai potensi, hak untuk dihormati, hak untuk diperlakukan
sebagai manusia yang merdeka.
Dari uraian di atas jelas bahwa sesungguhnya manusia memegang
peranan penting dalam kehidupannya. Dalam hal itu, manusia merupakan
pemegang kebebasannya dalam melakukan sesuatu yang terbaik bagi
dirinya saat ini, dan juga bagi masa depannya yang akan datang.
Sehingga bisa dikatakan bahwa kedudukan manusia dalam dunia ini
sangatlah tinggi, karena dibekali dengan potensi-potensi kebebasan
dalam melakukan hal terbaik bagi dirinya.
Dalam hal ini jelas sekali bahwa yang melandasi dan mendasari
adanya pendidikan humanis adalah adanya kesamaan kedudukan
manusia. Ini berarti bahwa manusia satu dengan yang lain adalah sama,
tidak ada yang sempurna, semua individu memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Lebih-lebih dalam Islam di ajarkan bahwa
kedudukan manusia adalah sama yang membedakan hanyalah derajat
ketaqwaannya saja. Sebagaimana tersebut dalam al-Qur'an surat al-
Hujarat ayat: 13)
يا ي ها ال اس إنا ل ا آي ذ ر و ن ى وجعل ا شع ا وق بائل ل عارف ا إن رآك ع د الله ا ا إن الله علي ري ب ري
54
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari
laki-laki dan perempuan dan telah menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu sekalian
disisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kamu,
sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha melihat”. (QS.
Al- Hujuraat: 13).
Dengan melihat gambaran ayat di atas semakin jelas bahwa,
manusia diciptakan di dunia ini untuk saling mengenal. Mengenal di sini
bukan hanya sebatas tahu nama, tetapi lebih dari itu, harus saling
mengerti hak, dan kewajiban serta tanggung jawab masing-masing untuk
hidup di dunia ini. Di samping itu, manusia juga dituntut untuk saling
menghargai, menghormati dan saling tolong-menolong antar sesamanya.
Untuk itulah dalam kehidupan ini manusia dituntut untuk saling
melengkapi antara satu dengan yang lain. Karena bagaimana pun juga
manusia itu tidak ada yang sempurna, hanya dengan saling
melengkapilah manusia itu dapat menjadikan suatu kekurangan yang
dimiliki satu orang dapat ditutupi dengan kelebihan saudaranya, dan
sebaliknya juga begitu. Karena itulah diperintahkan kepada manusia agar
satu dengan yang lain saling mengisi dan saling memahami serta saling
melengkapi. Dan yang tak kalah pentingnya dalam kehidupan ini harus
saling membantu satu dengan yang lainnya. Dari sinilah tampak jelas
bahwa nilai-nilai humanisme dalam kehidupan ini sangat ditekankan
untuk selalu dimiliki oleh setiap orang.
55
Sedangkan perintah yang bermuatan untuk saling menghargai dan
menghormati antar sesama, hal itu juga tercermin dalam QS. Al- Hujarat
ayat 10.
ا ال ؤآ ن إ ةري فأ ل ا ني يك واا ا الله لعلك ا ر ن إ Artinya:“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara maka
pergaulilah dengan baik di antara saudaramu, dan bertaqwalah
kepada Allah supaya kamu termasuk orangorang yang
mendapatkan kasih sayang” (QS. Al-Hujarat: 10).
Kalau ditarik dalam frame pendidikan, maka ayat-ayat di atas
mengandung satu proses pendidikan humanis yang sangat mulia sekali.
Di sana dijelaskan bukan hanya umat Islam saja yang dituntut untuk
saling mengenal, menghormati, menghargai, saling membantu serta
saling tolong-menolong, tetapi lebih dari itu seluruh umat manusia
dianjurkan untuk melakukan ajaran tersebut.
Uhbiyati (1998: 29) memaparkan humanisme adalah kumpulan
nilai-nilai Ilahi dalam diri manusia yang merupakan warisan budaya dan
moral keagamaan. Bentuk moral yang terlibat dalam keagamaan
menunjukkan penekanan tentang keadilan masyarakat. Islam
menampakkan diri sebagai satu kesatuan sosial yang seimbang, yang di
dalamnya seorang individu tidak hanya merupakan tujuan, akan tetapi
juga merupakan satu bagian dari masyarakat yang membentuk kesatuan
yang koheren (Amaldo, 2001: 231). Manusia adalah wakil Allah di dunia
ini juga orang-orang kepercayaan- Nya. Ini berarti bahwa manusia
bertanggung jawab tidak hanya atas nasib hidupnya sendiri, akan tetapi
juga mempunyai tugas perutusan. Untuk memenuhi tujuan Ilahi bagi
56
dunia sebagai wakil dan orang-orang kepercayaan Allah, semua orang
tidak hanya sama derajat (secara formal), bahkan mereka bersaudara
mempunyai kodrat yang sama. Islam memandang dengan bersungguh-
sungguh baik kodrat jasmani maupun kodrat rohani pribadi manusia.
Karena kodratnya yang rangkap itu, pribadi adalah pengada yang
dialektik dan dinamis. Islam adalah agama realistis dan mencintai alam,
kekuatan, keindahan, kekayaan, kemajuan dan kepenuhan segala
kebutuhan manusia.
Pendidikan sebagai proses yang didasarkan pada nilai-nilai Islam
secara benar dan proporsional seharusnya meletakkan kebebasan manusia
sebagai dasar pijakan operasionalnya sekaligus sebagai tujuan dari
pendidikan itu sendiri (Khan, 2002: 1). Dalam kehidupan sosial
kemanusiaan, pendidikan bukan hanya satu upaya yang melahirkan
proses pembelajaran yang bermaksud manusia menjadi sosok potensial
secara intelektual (intelected oriented) melalui proses tranfer of
knowledge yang kental. Tetapi proses tersebut juga bermuara pada upaya
pembentukan masyarakat bermasyarakat yang berwatak, beretika dan
berestetika melalui transfer of values yang terkandung di dalamnya.
Muatan upaya yang dibawa dalam proses pendewasaan manusia
(pendidikan) seperti yang dimaksud di atas, merupakan proses yang
terpadu dan komprehensif (Usa &Widjan, 1999: 9).
Melalui pendidikan ini, warisan budaya ilmu pengetahuan dan nilai
atau norma suatu kelompok sosial tertentu bisa dipertahankan dan
57
keberlangsungan hidup mereka bisa dijamin, singkatnya pendidikan
memberikan arti bagi keberadaan suatu kebudayaan dan membantunya
mempertahankan pandangan dunia (worldview) yang dimilikinya.
Berdasarkan di atas, proses pendidikan memiliki potensi yang kuat
dalam mengakselerasikan kebebasan, maka pendidikan harus mampu
merangsang manusia (peserta didik) untuk berfikir mandiri dalam rangka
menciptakan gagasan otentik, orisinil, sehingga tidak gampang
terpengaruhi oleh berbagai tekanan dari pihak manapun. Proses
pendidikan yang dipaksakan tergantung kepada keputusan pihak lain
berarti telah menempatkan manusia pada posisi yang terserabut dari akar
kemanusiaannya dan tidak mengembangkan kesadaran kritisnya.
Sikap kritis di atas tidak dapat tumbuh dalam suasana belajar yang
bersifat finalistis yang menempatkan pendidikan sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan mengenai Islam. Dengan demikian pengajaran
Islam harus dijalankan dalam suasana biologis, antara pendidik, peserta
didik dan lingkungan serta ajaran Islam itu sendiri.
Untuk memperoleh posisi ideal pendidikan Islam sebagaimana
dikemukakan di atas dan sesuai dengan fungsi Islami dan esensi manusia
perlu dikembangkan suatu pendekatan baru. Pendekatan pelaksanaan
pendidikan Islam haruslah meliputi:
1. Pendekatan proses
2. Dijalankan melalui bentuk aktifitas dialogis sebagai fungsi prinsip
liberatif
58
3. Dikembangkan dengan penalaran fenomenologis dan reduksionis
4. Percaya pada peserta didik
Dengan pendekatan ini diharapkan akan mampu mengembangkan
kesadaran diri atas fitrah hanifnya serta kemampuan intelektual yang
kontemplatif dan daya kritis terhadap fenomena kehidupan dengan
demikian akan terintegrasi kebutuhan imanensi dan transendensi
manusia.
Selanjutnya untuk memenuhi fungsi pengajaran dan pendidikan al-
Islam sebagaimana telah dijelaskan, proses belajar mengajar Al- Islam
harus dijalankan dengan memperlakukan peserta didik sebagai individu
dalam keterkaitannya dengan fungsinya sebagaimana anggota komunitas
sosial. Persoalan di atas membutuhkan suatu dasar pijakan yang kuat,
jelas dan tepat mengenai peserta didik, lingkungan sosialnya, dan alam
tempat mereka hidup dan berkembang. Dengan demikian, maka
pengalaman serta pengetahuan yang selama ini telah dimiliki masing-
masing peserta didik harus benar-benar difungsikan.
Dalam pendidikan Islam sendiri nilai humanisme tampaknya
sedikit mulai luntur, namun semua itu bukan berarti dalam pendidikan
Islam tidak ada proses humanisasi. Yang dimaksud di sini adalah, masih
ada sebagian dalam proses pendidikan Islam yang kurang mencerminkan
proses humanisasi, semisal menempatkan peserta didik sebagai seorang
yang kurang tahu, dan pendidik adalah yang paling tahu. Dan hal itu
59
hingga kini masih langgeng dijalankan dalam pendidikan Islam, terutama
pendidikan Islam yang masih bercirikan tradisional.
Hakekat dan ruh pendidikan pada dasarnya merupakan proses
memanusiakan manusia, dan proses tersebut yang terbaik adalah melalui
media pendidikan. Pendidikan hakekatnya adalah proses memanusiakan
manusia. Paulo Freire mendefinisikan pendidikan sebagai upaya
pembebasan manusia dari segala ketertindasan. Itulah hakekat
pendidikan secara sederhana. Logika sederhananya adalah seseorang
yang semula tidak tahu terhadap sesuatu kemudian melalui proses
pendidikan atau pembelajaran akhirnya menjadi tahu. Dari definisi Freire
pendidikan pada hakekatnya adalah membebaskan manusia dari segala
bentuk ketertindasan, dari rezim yang membelenggu dan membodohkan
serta dari ketidaktahuan (Adim, 2006: 67).
Dengan demikian, humanisasi harus senantiasa ditegakkan dalam
segala aspek pendidikan, baik dari segi tujuan, kurikulum, pendidik,
proses pembelajaran semua harus mencerminkan humanisasi. Dan hal itu
mutlak untuk dilakukan, agar apa yang menjadi hakekat dan tujuan dari
pendidikan sendiri tercapai. Yang menjadi titik tekan adalah dengan
adanya paradigma humanis dalam pendidikan akan tercipta masyarakat
tanpa kelas, sebagaimana yang ada dalam ajaran Islam sendiri melalui al-
Qur‟an dan Hadist yang memandang bahwa manusia adalah sama yang
membedakan hanyalah derajat ketaqwaannya saja dihadapan Tuhan.
60
Untuk itulah pendidikan harus senantiasa diarahkan untuk
mewujudkan cita-cita luhur tersebut. Dalam situasi yang semacam ini,
pendidikan bukan lagi sarana melakukan dehumanisasi melainkan media
humanisasi murni. Dehumanisasi, meskipun merupakan sebuah fakta
sejarah yang kongkrit, bukanlah takdir yang turun dari langit, tetapi
akibat dari tatanan yang tidak adil yang melahirkan kekerasan dari tangan
para penindas, yang pada gilirannya mendehumanisasikan kaum tertindas
(Smith,2001: 1). Pendidikan yang humanis adalah praktik pendidikan
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan mampu
mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kelengkapan nilai
kemansiaan dalam arti yang sesungguhnya sebagai suatu sistem
pemanusiawian manusia yang unik, mandiri, dan kreatif.
Tujuan akhir pendidikan adalah proses pembentukan diri peserta
didik untuk mengembangkan potensi insaniah. Hal ini meniscayakan
adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dari dunia pendidikan
terutama peserta didik untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya
secara maksimal. Karena sesungguhnya pendidikan humanis memandang
manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai segala potensi yang
harus dikembangkan secara optimal. Pendidikan Islam yang humanis
adalah pendidikan yang mampu memperkenalkan aspirasinya yang tinggi
kepada manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan bebas serta
dalam batas-batas eksistensinya yang hakiki, dan juga sebagai
kholifatullah. Dengan demikian pendidikan Islam humanis bermaksud
61
membentuk manusia yang memiliki komitmen humaniter sejati, yaitu
manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab
secara individu di hadapan Tuhan, serta mempunyai tanggung jawab
sosial sebagai kholifatullah fil ard yang memiliki tanggung jawab moral
kepada lingkungannya untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan
masyarakat.
Dalam proses pelaksanaannya pendidikan humanis memandang
anak didik sebagai subjek yang terpenting dalam pendidikan itu sendiri.
artinya peserta didik dipandang sebagai individu yang memiliki
kemampuan dan potensi untuk dikembangkan melalui proses pendidikan
yang memanusiakan manusia. Proses pendidikan dalam hal ini bukan
merupakan transfer ilmu pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik,
dan pendidik dianggap seperti botol kosong yang harus diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan.
Dan pendidikan yang menganggap peserta sebagai manusia yang
tidak tahu dan menafikan ranah potensi yang dimilikinya bukanlah
merupakan pendidikan yang humanis. Dalam hal ini proses pendidikan
hanyalah sebagai rutinitas untuk menstranfer ilmu pengetahuan dan
menafikan potensi peserta didik. Akibatnya pendidikan hanya akan
mencetak manusia-manusia yang akan menjadi budak dari teknologi
yang mengesampingkan pembangunan moralitas yang akan
memunculkan sikap individualistis.
Pendidikan yang mencerminkan proses dehumanisasi, walaupun
secara umum tujuannya adalah untuk memberikan dan transformasi ilmu
62
dari pendidik ke peserta didik. Namun, hal itu justru akan membawa
dampak pada semakin lemahnya kemampuan dari peserta didik sendiri,
dan akan membuat peserta didik menjadi seorang yang hanya menanti,
dan tidak mandiri. Oleh sebab itu, maka dengan menggunakan konsep
humanisasi proses pendidikan akan berjalan secara seimbang. Di mana
antara pendidik dan peserta didik mempunyai peran dan kedudukan yang
sama yaitu sebagai subyek pendidikan.
Dalam pendidikan Islam sendiri hal itu tentunya merupakan salah
satu tujuan yang hendak dicapai. Karena semua pendidikan termasuk di
dalamnya pendidikan Islam menginginkan tercapainya tujuan pendidikan
yaitu terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil). Walaupun dalam
realitasnya tidak ada manusia sempurna, namun dengan adanya
pendidikan yang berlandaskan pada nilai-nilai humanisme tersebut paling
tidak sudah mencerminkan satu bentuk pendidikan yang baik, walaupun
masih jauh dari kesempurnaan. Karena pada dasarnya pendidikan adalah
proses, maka humanisasi dalam pendidikan Islam akan senantiasa
berjalan dan mencari sesuatu yang lebih baru dan lebih baik dalam
rangka mengembalikan fitrah manusia sebagai makhluk yang mulia.
A. Konsep Tentang Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Sebelum membahas pengertian pendidikan agama Islam, kita ketahui
bahwa Pendidikan Agama Islam terdiri dan tiga kata, yaitu “pendidikan”,
63
“agama”, dan “Islam”. Para pakar pendidikan memberikan pengertian kata
“pendidikan” dengan bermacam-macam pengertian, diantaranya adalah:
a. Menurut Ki Hajar Dewantara kata “pendidikan” mempunyai arti sesuatu
yang menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka
sebagai manusia dan sebagai warga negara dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi- tingginya.
b. Prof. H. M. Arifin mengemukakan bahwa pendidikan adalah usaha orang
dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian
serta kemampuan dasar anak didik di dalam pendidikan formal maupun
informal.
c. Prof. Langeveld, memberikan pengertian kata “pendidikan” adalah suatu
bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum
dewasa untuk mencapai kedewasaan. (Syuaeb Kurdi, Abdul Aziz,2006: 3)
d. Ahli pendidikan barat Mortimer J. Adler mengartikan pendidikan adalah
proses dengan semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang
diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan
dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik
dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain dan dirinya
sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik (Arifin,
1009: 12).
e. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pada bab I tentang ketentuan umun Pasal I ayat (1)
disebutkanbahwa:
64
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.
Dari beberapa pengertian tentang pendidikan di atas dapat penulis
simpulkan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan seseorang
untuk membimbing dan mengembangkan potensi dan kepribadian serta
kemampuan dasar peserta didik untuk menuju kedewasaan, berkepribadian
luhur, berakhlak mulia dan mempunyai kecerdasaan berpikir yang tinggi
melalui bimbingan dan latihan.
Adapun pengertian tentang kata “agama”, secara khusus diidentikkan
dengan istilah “ad-din”. Dalam tunturan orang Arab secara etimologis kata
ad-din digunakan untuk menunjukkan lebih dari satu makna, diantaranya
adalah: Pertama mengandung makna kekuasaan, otoritas, hukum, dan
perintah. Makna kedua yaitu, ketaatan, peribadatan, pengabdian, dan
ketundukan kepada kekuasaan dan dominasi tertentu. Ketiga, mengandung
makna hukum, undang-undang, jalan, mazhab, agama, tradisi dan taklid. Dan
terakhir mengandung makna balasan, imbalan, pemenuhan, dan perhitungan
(An Nahiawi, 1983: 22-23).
Menurut Harun Nasution, istilah agama berasal dan kata Sankrit. Salah
satu pendapat mengatakan bahwa kata “agama” tersusun dari dua kata
yaitu“a” yang artinya tidak, dan “gam” yang artinya pergi, jadi tidak pergi,
tetap ditempat, diwarisi turun-temurun. Di lain pendapat ada yang
mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci dan terakhir kata
65
“agama” diartikan tuntunan (Kurdi dan Aziz, 2006: 4) Lebih spesifik lagi kata
“agama” diartikan oleh Reville sebagai penentuan kehidupan manusia sesuai
dengan ikatan antara jiwa yang ghaib, yang didominasi oleh dirinya sendiri
dan dunia diketahui oleh manusia dan kepada-Nyalah dia merasa sangat
terikat.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka kata “agama” menurut
Kuntowijoyo bahwa agama disebut juga sebagai pemahaman ketuhanan.
Pemahaman ini didasarkan atas dua sudut pandang, yaitu: Ketuhanan dalam
arti teoritik, yaitu pengetahuan tentang yang tertinggi yang menimbulkan
persembahan, dan pemahaman ketuhanaan secara eksistensial, yaitu Tuhan
dihayati sebagai tujuan akhir yang melahirkan aktualisasi (Kurdi, 2006: 5).
Secara terminologi kata Islam mengandung pengertian tunduk dan berserah
diri kepada Allah secara lahir maupun batin dalam melaksanakan penintah-
penintahNya dan menjahui larangan-laranganNya. Sebagaimana dipertegas
dalam Al-Qur‟an surat Ali Imron ayat 83 yang herbunyi:
غ ن وله سل آي ف الس اوات واألرض ط عا و رها وإليه ر يي الله ي ب ف غي ي رجع ن
Artinya: “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah,
padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di
langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya
kepada Allahlah mereka dikembalikan”.
Dari ketiga uraian pengertian kata di atas, maka jika dirangkaikan ketiga
pengertian tersebut yaitu pengertian Pendidikan Agama Islam adalah sebagai
berikut:
66
a. Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat, pendidikan agama Islam adalah usaha
yang berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah
selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama
Islam serta menjadikan sebagi pandangan hidup. Pendidikan Agama Islam
adalah pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan Islam. Pendidikan
agama Islam adalah pendidikan melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu
berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah
selesai dan pendidikannya Ia dapat memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara
menyeluruh serta menjadikan ajaran agama Islam sebagai suatu pandangan
hidupnya demi keselamatan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.
b. Ahmad D. Marimba, pendidikan agama Islam adalah suatu bimbingan baik
jasmani maupun rohani yang berdasarkan hukum-hukum agama Islam
menuju kepada terbentukan kepribadian utama menurut ukuran dalam
Islam.
c. Menurut Arifin, pendidikan agama Islam adalah usaha orang dewasa
muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing
pertumbuhan serta perkembangan fitrah anak didik melalui ajaran Islam
kearah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangan (Kurdi, 2006: 6-7).
d. Dalam kurikulum berbasis kompetensi secara formal pengertian
pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati,
hingga mengimani ajaran agama Islam. bertakwa dan berakhlak mulia
67
dalam mengamalkan ajaran agama Islam dan sumber utamanya kitab suci
Al-Qur‟an dan al-hadist, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan,
serta penggunaan pengalaman dibarengi dengan tuntunan untuk
menghormati penganut agama lain dalam masyarakat hingga terwujudnya
kesatuan dan persatuan bangsa (Majid, 2004: 130).
Dari beberapa pengertian Pendidikan Agama Islam di atas, dapat penulis
ambil kesimpulan bahwa pada hakikatnya pendidikan agama Islam adalah
usaha seseorang untuk membimbing dan melatih peserta didik untuk
menyiapkan peserta didik agar mampu memahami dan mengamalkan ajaran-
ajaran yang terkandung dalam agama Islam dan agar peserta didik menjadi
manusia yang bertaqwa dan berakhlak mulia serta berkepribadian Iuhur dan
berwatak sesuai dengan ajaran agama Islam.
2. Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah mempunyai dasar
yang kuat. Adapun dasar-dasar tersebut dapat ditinjau dan beberapa segi
yaitu:
a. Dasar Yuridis atau Hukum
Dasar-dasar yuridis pelaksanaan Pendidikan Agama Islam adalah
berdasarkan perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat dijadikan
pegangan dalam penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam di sekolah
ataupun di lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Adapun secara terperinci
dasar yuridis tersebut terdiri dan tiga macam, yaitu:
1) Dasar Ideal
68
Dasar ideal pelaksanaan pendidikan agama Islam yaitu dasar dari
falsafah negara Pancasila, yaitu sila pertama dari Pancasila Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dasar ini mengandung pengertian bahwa seluruh warga
bangsa Indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau harus
beragama.
2) Dasar Struktural atau Konstitusional.
Dasar konstitusional adalah dasar pelaksanaan agama Islam yang
diambil dari Undang-Undang Dasar 1945 dalam bab Xl pasal 29 ayat I dan
2, yang berbunyi: 1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-
masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Dalam
dasar ini mengandung pengertian bahwa tiap-tiap warga negara harus
memeluk agama dan tidak ada paksaan dalam memilih agama, dan orang
atheis dilarang untuk hidup di Negara Indonesia.
3) Dasar Operasional.
Yang dimaksud dengan dasar operasional pelaksanaan pendidikan
agama Islam yaitu dasar yang secara langsung mengatur pelaksanaan
Pendidikan Agama Islam di sekolah. Dasar ini terdapat dalam Tap MPR
No. IV/MPR/1 973 yang kemudian dikokohkan dalam Tap MPR
No.IV/MPRJI978. Ketetapan MPR No. IIJMPR/MPRJ I993 tentang GB1-
IN yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan
agama secara langsung dimaksudkan dalam kurikulum sekolah-sekolah
formal, mulai dan sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
69
b. Dasar Religius
Yang dimaksud dengan dasar religius adalah dasar-dasar yang
bersumber dan ajaran Islam yang tertera dalam Al-Qur‟an maupun hadis.
Dalam Al-Qur‟an banyak terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang
pelaksanaan pendidikan agania merupakan perintah dari Tuhan dan
merupakan ibadah melaksanakannya. Adapun ayat-ayat tersebut antara
lain sebagal berikut:
ا ع إل سبيل ر ك الك وال عظ الس وجا ل الت هي سي إن ر ك ه عل ي ل عي سبيله وه عل ال ه ديي
Artinya:“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara sang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang Iebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dan jalan-Nya dan dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An
Nahl: 125).
ه ن عي ال كر و ولئك ويأآرون ال عروف وي ول كي آ ك آ ري يدع ن إل ال ه ال فل ن
Artinya:“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan
mencegah dan yang munkar: merekalah orang-orang yang
beruntung.” (Q.S. Ali lmron: 104).
ها آالئك ري يا ي ها ال يي آ ا ق ا ن فسك و هليك نارا وق ها ال اس والجارة علي الالري شدا ري ال ي عص ن الله آا آره وي فعل ن آا ي ؤآرون
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dan api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu: penjaganyn malaika-tmalaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim:6).
70
Selain ayat-ayat tersebut di atas, dalam sebuah hadist juga
disebutkan dasar-dasar pelaksanaan pendidikan agama, yang artinya antara
lain sebagai berikut: Sampaikanlah ajaranku kepada orang lain walaupun
hanya sedikit. (HR. Bukhori). Setiap anak dilahirkan itu telah membawa
fitrah beragama, maka keduaorang tuanyalah yang menjadikan anak
tersebut beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR. Baihaqi).
c. Dasar Psikologis.
Dasar psikologis yaitu dasar yang berhubungan dengan aspek
kejiwaan kehidupan bermasyarakat. Dalam hidupnya manusia selalu
memerlukan pegangan hidup yang disebut agama. Manusia merasakan
bahwa dalam jiwanya terdapat suatu perasaan yang mengakui adanya zat
Yang Maha Kuasa. Dialah tempat berlindung dan tempat memohon
pertolongan. Oleh karena itu ma nusia senantiasa mendekatkan dirinya
kepada Tuhan. Adapun cara mereka mengabdi kepada tuhan mereka
dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan agama yang mereka anut
(Zuhairini, 1993: 18-22).
3. Kedudukan dan Fungsi Pendidikan Agama Islam
Dalam rumusan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dalam penjelasan UUSPN mengenai pendidikan agama
dijelaskan bahwa pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta
didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta berakhlak mulia. Penamaan bidang studi ini dengan “Pendidikan
Agama Islam”, bukan dengan “pelajaran agama Islam” dikarenakan adanya
71
perbedaan tuntutan terhadap pelajaran dibandingkan dengan pelajaran
lainnya. Bidang studi ini diajarkan tidak hanya bertujuan agar peserta didik
mengetahui materi agama Islam, akan tetapi peserta didik dituntut untuk
dapat mengamalkan materi-materi tersebut dalam kehidupan sehari-harinya
dalam rangka beribadah kepada Tuhan.
Dengan demikian, Kurdi & Aziz (2006: 9) menjelaskan bahwa
kedudukan pendidikan agama Islam sebagai mata pelajaran yang diajarkan di
sekolah umum. SMA khususnya adalah segala upaya penyampaian ilmu
pengetahuan agama Islam tidak hanya untuk dipahami dan dihayati, akan
tetapi juga memerlukan implementasi materi tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Pendidikan agama Islam yang kedudukannya sebagai mata
pelajaran wajib diikuti seluruh siswa yang beragama Islam pada semua satuan
jenis dan jenjang sekolah.
Sebagai suatu kegiatan yang terencana, Pendidikan Agama Islam
memiliki fungsi. Adapun fungsi dan kurikulum pendidikan agama Islam
untuk sekolah atau madrasah sebagai berikut:
a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta
didik kepada Allah yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga.
Pada dasarnya penanaman keimanan dan ketaqwaan pada peserta didik
sudah dimulai dan Iingkungan keluarga dan sekolah hanya berfungsi untuk
menumbuhkembangkan lebih lanjut dalam peserta didik melalui
bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketaqwaan
72
tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat
perkembangannya.
b. Penanaman nilai sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
c. Penyesuaian mental, yaitu untuk inenyesuaikan din dengan lingkungan,
baik Iingkunngan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah
lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.
d. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, keku-rangan-
kekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinannya,
pemahamannya dan pengamalan ajaran dalam kehidupan sehari- hari.
e. Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dan lingkungannya
atau dan budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat
perkembangannya menuju manusia yang seutuhnya.
f. Pengajaran, yaitu pengajaran tentang ilmu pengetahuan keaganiaan secara
umum, sistem dan fungsionalnya.
g. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat
khusus di bidang agama Islam, agar bakat tersebut dapat berkembang
secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi
orang lain. (Majid &Andaryani, 2004: 130)
4. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Secara umum tujuan dan pendidikan Islam menurut Al-Attas adalah
terwujudnya manusia yang baik. Menurut Marimba tujuan pendidikan Islam
adalah terbentuknya orang yang berkepribadian yang baik (Tafsir, 1992:
73
46).Sedangkan menurut (Sutrisno 2005: 11) tujuan dan pendidikan agama
Islam adalah untuk menumbuhkan, menanamkan, dan meningkatkan
keimanan melalui pembinaan dan pemupukan pengetahuan, penghayatan,
pengalaman peserta didik tentang ajaran agama Islam sehingga menjadi
manusia muslim yang terus berkembang dalam keimanan, ketaqwaan kepada
Allah serta berakhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari dan juga untuk
melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Menurut penulis pada
hakikatnya ketiga tujuan tensebut adalah sania, yang pada intinya pendidikan
Islam bertujuan untuk mewujudkan manusia yang sempurna yang mampu
merealisasikan tujuan hidupnya yaitu untuk beribadah kepada Allah.
Adapun tujuan dan Pendidikan Agama Islam yang diselenggarakan di
sekolah atau madrasah dalam kurikulum PAl 2015 disebutkan yaitu bertujuan
untuk menumbuh kembangkan dan pemupukan pengetahuan, penghayatan,
pengalanian peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia
muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya,
berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi (Majid & Andaryani, 2004: 134-135).Dalam
kurikulum KTSP SMA/MA tujuan pendidikan agama Islam tidak jauh
berbeda dengan yang tujuan yang tertera dalam kurikulum 1994 yaitu
menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan
pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan serta
pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia
muslim yang terus berkembang keimanannya dan ketaqwannya kepada Allah.
74
mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia
yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur,
adil, etis, berdisiplin, bertoleransi, menjaga keharmonisan secara personal dan
sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah
(Depdiknas, 2008: 11). Dari tujuan pendidikan agama Islam tersebut di atas
dapat ditarik beberapa dimensi yang akan ditingkatkan dan diinginkan oleh
kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam baik di lembaga formal atau
non formal yaitu:
a. Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agam Islam,
b. Dimensi pemahaman atau penalaran serta keilmuan peserta didik terhadap
ajaran agama Islam,
c. Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik
dalam menjalankan ajaran agama Islam,
d. Dimensi pengamalannya, maksudnya yaitu bagaimana ajaran Islam yang
telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasikan oleh peserta
didik mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk
menggerakkan, mengamalkan, dan mentaati ajaran agama dan nilai-nilai
dalam kehidupan pribadi sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah serta mengaktualisasikan ajaran agama Islam yang telah
dipelajari dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Depdiknas, 2008: 78 ).
Apabila beberapa dimensi diatas telah tercapai dikembangkan dan
tercapai oleh peserta didik, maka kegiatan pembelajaran PAI mampu
75
mewujudkan peserta didik yang berkepribadian muslim yang bertaqwa
kepada Allah dan berakhlak mulia.
5. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas maka ruang lingkup
materi pendidikan agama Islam sesuai dengan kurikulum 1994 yaitu meliputi
tujuh unsur pokok, yaitu Al-Qur‟an Hadist, keimanan, syariah, ibadah,
muamalah, akhlak, dan tarikh yang menekankan pada perkembangan politik.
Sedangkan pada kurikulum 1999 hingga sekarang ruang lingkup
pendidikan agama Islam meliputi lima unsur pokok, yaitu: Al-Qur‟ an,
keimanan atau aqidah, akhlak, fiqih dan tarikh. Ruang lingkup Pendidikan
Agama Islam menekankan pada keseimbangan, keselarasan, dan keserasian
antara hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama
manusia, hubungan manusia dengan din sendiri, dan hubungan manusia
dengan alam sekitar (Kurdi dan Aziz, 2006: 13)
6. Karakteristik Materi Pelajaran Pendidikan Agama Islam
Setiap mata pelajaran memiliki karakteristik tertentu yang dapat
membedakan dengan mata pelajaran yang lainnya Adapun karakteristik mata
pelajaran pendidikan agama Islam adalah sebagai berikut:
a. Secara umum Pendidikan Agama Islam merupakan mata pelajaran yang
dikembangkan dan ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam agama Islam.
Ajaran-ajaran dasar tersebut terdapat dalam al-Quran dan al-Hadis. Untuk
kepentingan pendidikan, dengan melalui proses ijtihad maka
76
dikembangkan materi Pendidikan Agama Islam pada tingkat yang lebih
rinci.
b. Prinsip-prinsip dasar Pendidikan agama Islam tertuang dalam tiga
kerangka dasar ajaran Islam, yaitu akidah, syariah,dan akhlak. Akidah
merupakan penjabaran dan konsep iman, syariah merupakan penjabaran
dan konsep Islam, dan akhiak merupakan penjabanan dan konsep ihsan.
Dan ketiga prinsip dasar itulah berkembang berbagai kajian keIslaman.
termasuk kajian yang terkait dengan ilmu dan teknologi serta seni dan
budaya.
c. Mata pelajaran Pendidikan agama Islam tidak hanya mengantarkan peserta
didik untuk menguasai berbagai ajaran Islam, tetapi yang terpenting adalah
bagaimana peserta didik dapat mengamalkan ajaran-ajaran itu dalam
kehidupan sehari-hari. Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam
menekankan keutuhan dan keterpaduan antara ranah kognitif, psikomotor,
dan afektifnya.
d. Tujuan diberikannya mata pelajaran Pendidikan agama Islam adalah untuk
membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam dan berakhlakul karimah.
Oleh karena itu semua mata pelajaran hendaknya seiring dan sejalan
dengan tujuan yang ingin dicapai oleh mata pelajaran Pendidikan Agama
Islam.
e. Tujuan akhir dan mata pelajaran Pendidikan agama Islam adalah
terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak mulia. Tujuan inilah
77
yang sebenarnya merupakan misi utama diutusnya Nabi Muhammad
SAW. Dengan demikian. Pendidikan akhlak adalah jiwa dan pendidikan
agama Islam. Mencapai akhlak yang karimah (mulia) adalah tujuan
sebenamya dan pendidikan. Sejalan dengan tujuan ini maka semua mata
pelajaran atau bidang studi yang diajarkan kepada peserta didik haruslah
mengandung muatan pendidikan akhlak dan setiap guru haruslah
memperhatikan akhlak atau tingkah laku pesenta didiknya (Depdiknas,
2008: 15).
7. Komponen-Komponen Pembelajaran PAI
Pembelajaran PAI mempunyai beberapa komponen yang berkaitan
erat satu sama lain, di antaranya yaitu :
a. Guru
Sebagai salah satu komponen dalam pembelajaran PAI, seorang guru
memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi kualitas pendidikan,
sehingga mereka dituntut untuk meningkatkan kreativitasnya guna
merealisasikan tujuan dari pembelajaran PAI, yaitu berusaha melahirkan
siswa yang beriman, berilmu, dan beramal saleh (Zuhairini, 1993: 166).
Sebagai pengemban amanah pembelajaran PAI, guru memiliki peran
dalam sebuah proses pembelajaran, yaitu:
1) Peran sebagai pembimbing. Sebagai seorang pembimbing akan
tercermin dalam perilakunya sehari-hari, sehingga guru haruslah benar-
benar memiliki pribadi yang saleh dan mampu memperlakukan para
siswa dengan menghormati dan menyayangi.
78
2) Peran sebagai model (uswah). Peran guru sebagai model (uswah) sangat
mempengaruhi pembentukan akhlak bagi para siswa, karena segala
tingkah laku dan gerak gerik seorang guru akan dapat ditiru oleh anak
didiknya.
3) Peran sebagai penasihat. Sebagai penasihat, guru sudah seharusnya
memberikan nasihat secara ikhlas demi para siswa di masa yang akan
datang (Zuhairini, 1993: 93-95).
b. Siswa
Sesuai dengan model pembelajaran KBK, dari teaching menjadi
learning, maka siswa tidak lagi menjadi obyek dalam pembelajaran, akan
tetapi sebagai subyek dalam pembalajaran yang dianggap memiliki potensi
untuk belajar secara aktif, sehingga proses pembelajaran dapat
berlangsung secara dua arah dan dapat mengembangkan potensi yang
dimiliki oleh siswa. Siswa juga merupakan salah satu indikator
terwujudnya sekolah yang berkualitas. Hal ini sangat ditentukan oleh
karakteristik siswa, baik input, proses maupun output dan outcome siswa
(Zuhairini,1993: 59). Siswa juga merupakan subyek yang akan mencapai
tujuan pembelajaran dalam bentuk hasil belajar.
c. Media
Kata media, berasal dari bahasa latin medius yang secara harfiah
berarti “tengah”, perantara atau pengantar. Dalam bahasa Arab, media
adalah perantara ( وسائل ) atau pengantar psan dari pengirim kepada
penerima pesan. Pengertian media secara khusus dalam proses belajar
79
mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis atau
elektronis untuk menangkap, memproses dan menyusun kembali informasi
visual atau verbal (Azhar Arsyad, 2003: 3).
Secara khusus, media pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah
alat, metode, teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan
komunikasi dan interaksi antara guru dengan siswa dalam proses
pembelajaran PAI di sekolah. Sedangkan secara umum, media
pembelajaran PAI diartikan sebagai sarana atau pasarana PAI yang
digunakan untuk membantu tercapainya tujuan pembelajaran PAI. Berikut
ini beberapa manfaat media dalam pembelajaran, yaitu: 1) Pengajaran akan
lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi
belajar; 2) Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga siswa
dapat memahami dengan jelas; 3) Metode mengajar akan lebih bervariasi,
sehingga siswa tidak mudah menjadi bosan; 4) Siswa dapat lebih banyak
melakukan kegiatan belajar; 5) Memberikan pengalaman nyata bagi siswa;
6) Menumbuhkan pemikiran yang teratur dan kontinyu, terutama melalui
gambar hidup (Arsyad, 2003: 25-26).
d. Materi
Materi menurut Arief, (2002: 109) adalah isi pembelajaran yang
berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan pembelajaran bersamaan
dengan prosedur didaktis yang digunakan oleh guru. Materi pembelajaran
hendaknya disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku saat ini, yaitu
kurikulum berbasis kompotensi. Dalam pembelajaran PAI, materi yang
80
diajarkan terdiri dari tiga inti ajaran pokok, yang meliputi aqidah
(keimanan), syariah (keislaman) dan akhlak (ihsan). Dari ketiga ajaran
pokok ini, kemudian diajabarkan dalam bentuk rukun iman, rukun Islam,
dan akhlak. Kemudian, lahirlah ilmu tauhid, ilmu fiqih, dan ilmu akhlak.
(Aziz &Andaryani, 2004: 77)
e. Metode
Secara etimologi, istilah metode berasal dari bahasa Yunani,
metodos. Kata ini terdiri dari dua suku kata, yaitu metha yang artinya
melalui dan hodos yang berarti jalan atau cara. Pengertian metode secara
terminologi menurut beberapa ahli, yaitu: Zuhairini, mendevinisikan
bahwa metode adalah segala usaha yang sistematis dan pragmatis untuk
mencapai tujuan dengan melalui berbagai aktivitas, baik di dalam kelas
maupun di luar kelas dalam lingkungan sekolah (Zuhairini, 1983: 80).
Jadi metode adalah suatu jalan atau cara yang ditempuh oleh guru
agar tercapai suatu tujuan. Berikut ini, beberapa metode mengajar, yaitu:
Metode ceramah, metode diskusi, metode tanya jawab, metode demontrasi
dan eksperimen, metode resitasi, metode kerja kelompok, metode sosio-
drama dan bermain peran, metode karya wisata, metode drill dan metode
sistem regu.
Masing-masing metode tersebut memiliki keunggulan dan
kelemahan, maka sebaiknya dalam kegiatan belajar mengajar digunakan
lebih dari satu metode. Abdul Majid dan Dian Andayani dalam bukunya
81
Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi menambahkan beberapa
metode yang digunakan dalam pembelajaran PAI, yaitu :
1) Metode antisipatif, yaitu sebuah cara mengantisipasi permasalahan
anak didik yang langsung muncul di kalangan mereka;
2) Metode dialog kreatif, yaitu salah satu cara untuk melibatkan siswa
secara langsung berdialog dengan guru tentang suatu permasalahan
yang sedang dihadapi;
3) Metode studi kasus, yaitu metode mengangkat suatu contoh
permasalahan untuk dijadikan rujukan atau teladan sebagai solusi
alternatif yang bisa diambil;
4) Metode pelatihan, yaitu cara pelibatan fisik dan mental untuk
melakukan serangkaian latihan beribadah;
5) Metode merenung, Metode ini melatih anak didik untuk memikirkan
permasalahan yang mereka miliki;
6) Metode lawatan, Metode ini merupakan cara lawatan ke daerah-daerah
dalam rangka meningkatkan rasa ukhuwah sesama muslim;
7) Metode kontemplasi, Metode ini melatih siswa untuk merenungkan
kembali peristiwa-peristiwa di masa lalu sehingga membuahkan sifat
sabar pada diri anak didik;
8) Metode taubat, Metode ini merupakan cara agar siswa menyesali diri
atas perbuatan perbuatan yang telah mereka lakukan dan memohon
ampunan kepada Allah SWT (Majid &Andaryani, 2004: 101).
82
f. Tujuan
Tujuan merupakan hal pokok yang harus diketahui dan disadari betul
oleh guru sebelum memulai mengajar. Secara umum, tujuan dari
pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah adalah untuk
menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan
pemupukan pengetahuan, pengahayatan, pengamalan, serta penglaman
peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang
terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaan, berbangsa dan
bernegara (Majid &Andaryani). Tujuan pembelajaran menurut Oemar
Hamalik, (2001: 6) adalah tujuan yang hendak dicapai setelah selesai
diselenggarakannya suatu proses pembelajaran yang bertitik tolak pada
perubahan tingkah laku siswa.
g. Evaluasi
Istilah evaluasi menurut Nurkancara & Sunata (1982: 1) berasal dari
bahasa Inggris, yaitu “evaluation”, yang artinya penilaian. Berikut ini
penulis paparkan tentang beberapa definisi tentang evaluasi menurut para
ahli pendidikan, yaitu :
1) Oemar Hamalik (2001: 156)
Evaluasi adalah suatu upaya untuk mengetahui berapa banyak hal-hal
yang telah dimiliki oleh siswa dari hal-hal yang telah diajarkan oleh
guru.
2) Nana Sudjana (1980: 22)
Evaluasi adalah upaya atau tindakan untuk mengetahui sejauhmana
tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai atau tidak. Dari beberapa
83
definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa evaluasi pembelajaran
adalah suatu upaya untuk menetahui kemajuan peserta didik dalam
mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Secara garis
besar, fungsi evaluasi dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :
a) Untuk mengukur kemajuan dan perkembangan peserta didik
setelah melakukan kegiatan belajar mengajar selama jangka waktu
tertentu;
b) Untuk mengukur sampai di mana keberhasilan system pengajaran
yang dipergunakan;
c) Sebagai bahan pertimbangan dalam rangka melakukan perbaikan
proses belajar mengajar.
8. Pendekatan Strategi Pembelajaran PAI
Pendekatan diartikan sebagai orientasi atau cara memandang terhadap
sesuatu. Sedangkan strategi berasal dari bahasa Inggris strategy yang oleh As
Hornby dalam Oxford Advance Learners Dictionary, (Oxford University
Press, 1977: 870) disebutkan sebagai theart of planning operations in war,
especially of the movements of armiesand navies into favourable positions for
fighting, yang artinya “seni dalam gerakan-gerakan pasukan darat dan laut
untuk menempati posisi yang menguntungkan dalam pertempuran”
(Sujana,1980: 208)
Menurut Darwis, strategi secara makro merupakan kebijakan-
kebijakan yang mendasar dalam pengembangan pendidikan sehingga tercapai
tujuan pendidikan secara lebih terarah, lebih efektif dan efisien. Jika dilihat
84
secara mikro dalam strata operasional khususnya dalam proses belajar
mengajar, maka strategi adalah langkah-langkah tindakan yang mendasar dan
berperan besar dalam proses belajar mengajar untuk mencapai sasaran
pendidikan. Berikut ini beberapa pendekatan dalam strategi pembelajaran
PAI, yaitu :
a. Pendekatan ekspositori atau model informasi.
Pendekatan ini bertolak dari pandangan bahwa tingkah laku kelas dan
penyebaran pengetahuan dikontrol dan ditentukan oleh guru (Nana Sujana,
1980: 153).Kegiatan belajar mengajar dalam pendekatan ini kurang
optimal karena pembelajaran berorientasi pada guru, sehingga siswa
bersifat pasif karena kegiatan siswa terbatas hanya kepada mendengarkan
uraian guru, mencatat, dan sekali-kali bertanya kepada guru.
b. Pendekatan inquiry
Inquiry yang dalam bahasa Inggris inquiry berarti pertanyaan atau
pemeriksaan, penyelidikan. Strategi inkuiri berarti suatu rangkaian
kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan
siswa untuk mencari dan meyelidiki secara sistematis, kritis, logis,
analisis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan
penuh percaya diri.
c. Pendekatan Interaksi sosial
Pendekatan interaksi sosial bermula dari kenyataan bahwa manusia
adalah makhluk sosial. Oleh karena itu, model ini menekankan pada
pembentukan dan pengembangan kemampuan murid untuk berinteraksi
85
sosial, mengembangkan sikap dan perilaku demokratis dengan
musyawarah, gotong royong dan saling memberi manfaat. Metode yang
digunakan dalam pendekatan ini antara lain, metode diskusi, kerja
kelompok, pemberian tugas, problem solving, role playing, dan metode
lain yang menunjang berkembangnya hubungan siswa.
d. Pendekatan tingkah laku (behavioral models)
Pendekatan ini menekankan padat teori tingkah laku, sebagai aplikasi
dari teori belajar behavioralisme, yang menyatakan bahwa perilaku
manusia itu dikendalikan oleh stimulus dan respon yang diterimanya.
Dalam praktek pembelajaran, guru memberikan stimulus dengan
pengajarannya, dan murid memberikan respon dengan perilaku belajar dan
ini dilakukan secara berulang-ulang dengan reinforcement68 (penguatan)
sehingga terbentuknya perubahan perilaku.
B. Implementasi Konsep Humanisme dalam Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam
Humanisme adalah sebuah konsep keagamaan yang menempatkan
manusia sebagai manusia, serta upaya humanisasi ilmu-ilmu dengan tetap
memperhatikan tanggung jawab hablum minallah dan hablum minannas. Dan
konsep ini diimplementasikan dalam praktek dunia pendidik Islam akan
berfokus pada akal sehat (common sense), menuju kemandirian
(individualisme), bertanggung jawab (responsible), berpengetahuan yang
tinggi (fhirst for knowledge), menghargai orang lain (pluralisme),
kontektualisme yang lebih mementingkan fungsi daripada simbol, serta
86
keseimbangan antara reward dan punishment (Mas‟ud, 2002: 193). Dalam
implementasi konsep ini merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak,
karena fenomena dunia pendidikan yang ada serta keberagamana masyarakat
mengisyaratkan keberagamaan vertikal dan kesemarakan ritual. Kesalehan
sosial masih jauh dari orientasi masyarakat kita, potensi peserta didik belum
dikembangkan secara proporsional. Kemandirian anak didik dan
responsibility masih jauh dalam dunia pendidikan Indonesia. Tujuan
operasional pendidikan Islam merupakan tujuan praktis yang akan dicapai
oleh kegiatan pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah), sebuah kegiatan
pendidikan Islam dengan bahan (materi) yang sudah dipersiapkan untuk
mencapai tujuan tertentu dari kegiatan tersebut merupakan sebuah tujuan
operasional.
Dalam operasionalisasi pendidikan formal, tujuan operasional ini
disebut tujuan instruksional atau tujuan pendidikan yakni tujuan yang hendak
dicapai setelah kegiatan pendidikan (intruksional) tertentu berakhir. Tujuan
intruksional dapat dibagi menjadi dua yaitu : Tujuan Intruksional Umum
(TIU) dan Tujuan Intruksional Khusus (TIK) yang sekarang lebih dikenal
dengan nama Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK). Tujuan operasional
menuntut anak didik memiliki kemampuan dan keterampilan tertentu. Sifat
operasionalnya lebih ditekankan daripada sifat apresiasi (penghayatannya)
secara mendalam. Akan tetapi bukan berarti aspek yang terakhir ini menjadi
tidak penting, hanya aksentuasinya saja yang berbeda. Pada tahapan ini yang
terpenting anak didik mampu dan terampil berbuat, baik lisan maupun
87
anggota tubuh lainnya. Kemampuan dan keterampilan anak didik tersebut
merupakan sebagian dari kemampuan dan keterampilan insan kamil. Pada diri
anak didik, dan itu harus dikembangkan menuju bentuk insan kamil yang
sempurna dan paripurna.
1. Aspek Guru (Tenaga Pendidik)
Setiap terjadi sebuah proses komunikasi, terjadi pula proses memberi
dan mendapatkan informasi. Kadang kita berada pada posisi pemberi dan
penggalih informasi, pengetahuan, keterampilan atau sebuah argumentasi
agar seseorang meyakini sesuatu. Kadang juga berada pada posisi
sebaliknya. Posisi pertama menempatkan sebagai orang yang menggurui,
sedangkan posisi kedua menempatkan orang sebagai yang digurui. Dalam
praktek pendidikan, pemberi informasi adalah pendidik (guru) dan
penerima informasi adalah peserta didik (murid).
Bila ditinjau dari segi filosofis sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
Poerwadarminta (1991: 230), pendidik (guru) adalah orang yang
mendidik. Dari pengertian ini bahwasannya pendidik (guru) adalah orang
yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik. Dalam bahasa Inggris
dijumpai beberapa kata yang berdekatan artinya dengan pendidikan. Kata
tersebut seperti teacher yang diartikan guru atau pengajar dan tutor yang
berarti guru pribadi atau guru yang mengajar di rumah (Echols dan
Shadily, 1980: 560-608).
Dari beberapa kata tersebut secara keseluruhan terhimpun dalam kata
pendidik, karena kata tersebut mengacu kepada seseorang yang
88
memberikan pengetahuan, keterampilan atau pengamatan kepada orang
lain. Kata-kata yang berfariasi tersebut menunjukkan adanya perbedaan
ruang gerak dan lingkungan dimana pengetahuan dan keterampilan
diberikan. Dengan demikian kata pendidik secara fungsional menunjukkan
kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan
pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman dan sebagainya.
Orang yang melakukan kegiatan tersebut bisa siapa saja dan dimana saja.
Di rumah, orang yang melakukan tugas adalah kedua orang tua, karena
secara moral dan teologis merekalah yang diserahi tanggung jawab
pendidikan anaknya.
Selanjutnya di sekolah tugas tersebut dilakukan oleh guru, dan di
masyarakat dilakukan oleh organisasi-organisasi kependidikan dan
sebagainya. Atas dasar ini maka yang termasuk kedalam pendidik itu bisa
kedua orang tua, guru, tokoh masyarakat dan sebagainya (Nata, 1997: 62).
Guru memang menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat,
kewibawaan yang menyebabkan guru dihormati sehingga masyarakat tidak
meragukan figur guru. Masyarakat yakin bahwa gurulah yang dapat
mendidik anak didik mereka agar menjadi orang yang berkepribadian
mulia. Disamping itu profesi guru merupakan profesi yang memiliki
tujuan suci (sacralmission). Dia tidak hanya dihormati oleh manusia,
bahkan Allah sendiripun menghormati karena ilmunya. Penghormatan
yang diberikan manusia berupa sikap, pujian dan sanjungan, bahkan
membalas jasa dengan materi, dalam skala nasional guru dijuliki sebagai
89
pahlawan tanpa tanda jasa. Gelar tersebut sebagai simbol penghormatan
berupa meninggikan derajatnya karena seorang guru merupakan sosok
manusia berilmu (Baharudin dan Makin, 200 : 181).
ي رف الله ال يي آ ا آ ك وال يي وا ا العل رجات والله ا ا ع ل ن ب ري Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orangorangyang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat.” (Q.S. Al-Mujadilah, 58: 11).
Dengan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat maka seorang
guru (pendidik) diberi tugas dan tangung jawab yang berat. Mengemban
tugas memang berat, tetapi lebih berat lagi mengemban tanggung jawab
sebab tanggung jawab guru tidak hanya sebatas dinding sekolah tetapi juga
di luar sekolah. Pembinaan yang harus guru berikan pun tidak hanya
secara kelompok (klasikal), tetapi juga secara individual. Hal ini mau tidak
mau menuntut guru agar selalu memperhatikan sikap, tingkah laku, dan
perbuatan anak didiknya, tidak hanya di lingkungan sekolah tetapi di luar
sekolah sekalipun.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa guru (pendidik) adalah
semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab untuk membimbing
dan membina anak didik, baik secara individual maupun klasikal di
sekolah maupun di luar sekolah. Menjadi seorang guru tuntutan hati nurani
tidaklah semua orang dapat melakukannya karena orang harus merelakan
sebagian besar dari kehidupannya mengabdi kepada negara dan bangsa
guna mendidik anak didik menjadi manusia susiala yang cakap,
90
demokratis dan bertanggung jawab atas pembangunan dirinya dan
pembangunan bangsa dan negara.
Menjadi seorang guru menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjad (1997: 41)
tidak sembarangan, akan tetapi harus memenuhi persyaratan-persyaratan,
yaitu : taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berilmu, sehat jasmani,
berkelakuan baik. Adapun di negara Indonesia untuk menjadi guru diatur
dengan beberapa persyaratan yakni berijazah, profesional, sehat jasmani
dan rohani, taqwa keapda Tuhan Yang Maha Esa, dan kepribadian yang
luhur, bertanggung jawab, dan berjiwa sosial (Djamarah, 2005: 34).
Menurut Al-Abrasyi, sebagaimana dikutip Ahmad Tafsir, syarat dan
sifat seorang guru antara lain adalah :
a. Guru harus selalu mengetahui karakter murid.
b. Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya, baik dalam
bidang yang diajarkannya.
c. Guru harus mengamalkan ilmu dan jangan berbuat berlawanan dengan
ilmu yang diajarkan(Tafsir, 1992: 79). Bagi seorang guru, mengetahui
karakter murid sangatlah penting mengingat murid merupakan pihak
yang akan dididiknya menuju pada tujuan yang telah ditetapkan dan
dikehendaki. Demikian juga seorang guru harus dituntut untuk
senantiasa meningkatkan keahliannya. Karena biar bagaimanapun juga
tugas dan tanggung jawab seorang guru adalah mengantarkan anak
didiknya menuju pematangan humanisasinya.
91
Adapun tugas seorang guru (pendidik) yang dijelaskan oleh S.
Nasution (1988: 16-17) menjadi 3 bagian. Pertama, sebagai orang yang
mengkomunikasikan pengetahuan. Dengan ini, maka tugas dari seorang
guru (pendidik) harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang
bahan atau materi yang akan diajarkannya. Artinya seorang guru tidak
boleh berhenti belajar, karena pengetahuan yang akan diberikan kepada
peserta didik terlebih dahulu harus ia pelajari. Kedua, guru sebagai model.
Yaitu dalam bidang studi yang diajarkannya merupakan sesuatu yang
berguna dan dipraktekkan dalam kehidupannya sehari-hari. Sehingga
seorang guru menjadi model atau contoh nyata dari yang dikehendaki oleh
mata pelajaran tersebut. Hal ini akan lebih nampak pada pelajaran bidang
studi akhlak, keimanan, kebersihan, dan sebagainya. Ketiga, guru juga
menjadi model sebagai pribadi. Apakah ia berdisiplin, cermat berfikir,
mencintai pelajarannya atau mematikan idealisme dan picik pada
pandangannya.
Dari ketiga fungsi guru di atas menggambarkan bahwa seorang
pendidik selain memiliki pengetahuan yang tinggi yang akan diajarkannya,
mereka juga harus berkepribadian yang baik, berpandangan luas dan
berjiwa besar.
Secara konvensional, seorang guru (pendidik) harus memiliki tiga
kualifikasi dasar yaitu menguasai materi, antusiasme, dan penuh kasih
sayang (loving) dalam mengajar dan mendidik. Meskinpun kasih sayang
(loving) merupakan kualifikasi yang paling belakang, dalam konsep
92
humanisme, pada dasarnya harus ditempatkan pada urutan pertama.
Seorang guru atau dosen harus mengajar hanya berlandaskan cinta dan
kasih sayang kepada sesama umat manusia tanpa memandang status sosial,
ekonomi, agama, kebangsaan dan sebagainya. Misi utama seorang guru
adalah mencerdaskan bangsa (enlightening), bukan sebaliknya
membodohkan masyarakat. Mempersiapkan anak didik sebagai individu
yang bertanggung jawab dan mandiri, bukan menjadikan manjad dan
beban masyarakat. Proses pencerdasan harus berangkat dari pandangan
filosofis guru, bahwa anak didik adalah individu yang memiliki beberapa
kemampuan dan keterampilan.
Dalam perspektif humanisme religius, guru tidak dibenarkan
memandang anak didik dengan sebelah mata, tidak sepenuh hati, atau
bahkan memandang rendah kemampuan siswa.
2. Aspek metode
Ditinjau dari segi filosofis metode pendidikan adalah cara atau jalan
yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Ada juga yang
berpendapat bahwasannya metode adalah jalan untuk mencapai tujuan
(Hasan Lalunggung, 1998: 61). Jalan untuk mencapai tujuan ini bermakna
ditempatkan pada posisinya sebagai cara untuk menemukan, menguji dan
menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan ilmu atau
tersistematisasikannya suatu pemikiran.
Dalam leksikologi bahasa Indonesia, metode berarti cara yang teratur
dan berfikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud. Metode pendidikan
93
Islam berarti cara yang teratur atau terpikir baik untuk mencapai tujuan
pendidikan Islam. Metode merupakan suatu perangkat dalam mengajar
yang mempunyai tujuan dan didasarkan atas suatu teori. Suatu metode
memiliki empat kriteria, yaitu :
a. Seleksi, yakni bagaimana sebua h metode membuat seleksi atas bahan
yang akan diajarkan.
b. Gradasi, yakni bagaimana bahan yang diseleksi itu diatur dalam
urutan.
c. Presentasi, yaitu bahan yang diseleksi diurut dengan tingkat kesukaran
agar bisa disajikan.
d. Reptisi, yaitu bagaimana metode itu membuat ulangan atas bahan yang
telah disajikan agar siswa dapat menguasainya dengan baik. Islam
melalui ajarannya yang universal menunjukkan betapa pentingnya
suatu metode dalam pencapaian tujuan. Oleh karena itu di dalamnya
dapat ditemukan prinsip-prinsip metodologis pendidikan Islam.
Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip suasana kegembiraan, prinsip
memberikan layanan dan sentuhan dengan lemah lembut, prinsip
kebermaknaan terhadap peserta didik, prinsip prasyarat, prinsip
komunikasi terbuka, prinsip pemberian pengetahuan baru, prinsip
memberi model yang baik, prinsip praktis. (Baharudin dan Makin, 2007:
183).
Dalam konsep humanisme religius metode pembelajaran diartikan
sebagai cara mengajar dalam proses belajar mengajar bagi seorang guru,
94
tetapi dipandang sebagai upaya perbaikan komprehensif dari semua
elemen pendidikan sehingga menjadi sebagai sebuah iklim yang
mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Ada beberapa point yang
berhubungan dengan sikap-sikap yang tidak mendukung perkembangan
kualitas keberagamaan anak yang biasanya ditemukan di lapangan atau
dalam kehidupan sehari- hari. Point-point tersebut adalah orang tua,
sekolah, lingkungan, tetangga, keamanan pemerintah, dan kaum
agamawan. (Mas‟ud, 2007: 197).
3. Aspek Murid (Peserta Didik)
Anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari
seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan.
Anak didik merupakan “kunci” yang menentukan terjadinya interaksi
edukatif (Djamarah, 2005: 51). Dilihat dari segi kedudukannya, anak didik
(peserta didik) adalah merupakan makhluk yang sedang berada dalam
proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing,
yang memiliki dimensidimensi yang sama dengan manusia dewasa.
Sebagai individu yang memiliki kebutuhan biologis, psikis mereka
memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah
titik optimal kemampuan fitrahnya demi terciptanya praktek pendidikan
yang benar-benar humanistik. Dalam hal ini anak didik tidak hanya
dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan sebagaimana disebutkan
di atas, melainkan juga harus diperlukan sebagai subyek pendidikan. Hal
95
ini antara lain dilakukan dengan cara melibatkan mereka dalam
memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.
Implasinya, pendidikan tidak hanya dipandang sebagai proses
sosialisasi dengan hanya dipahami sebatas transformasi nilai-nilai dari
generasi dewasa ke generasi yang lebih muda. Lebih dari itu, pendidikan
hendak diformat untuk membentuk dan mengembangkan hati yang kuat,
akal yang sehat, dan jiwa yang merdeka. Konsekuensinya, dalam suatu
praktek kependidikan tertentu. Hendaknya peserta didik diberi kesempatan
berkontemplasi dan berfantasi dengan menghindarkan sedapat mungkin
paksaan bagi anak untuk meniru. (Anas, 1993: 111). Walaupun secara
fitrah anak didik memiliki kecenderungan untuk meniru (hubbut taqlid).
Namun dalam prakteknya, transisi nilai-nilai yang dilakukan lebih
menonjolkan pada aspek kognitifnya (pengetahuannya) saja, sedangkan
aspek afektif dan psikomotorik kurang mendapat perhatian yang serius.
Seperti yang telah dibahas di atas, dalam setiap interaksi yang terjadi,
peserta didik harus dihargai eksistensi dirinya. Pada dasarnya, dia ingin
menjadi manusia yang eksis secara fisik sekaligus perasaannya dari sisi
motivasi. Pendidik harus memberi kelonggaran dan kebebasan sewajarnya
sesuai dengan perbedaan individualnya. Aliran humanisme individual,
yang tokohnya antara lain Petrarch (1304-1374), Boccacio (1313-1375)
dan Vittorino de Feltre (1378-1446) berpendapat bahwa tujuan pendidikan
adalah kebebasan berpikir, mengembangkan kepribadian individu, dan
bisa berekspresi melalui kesenian, kesusastraan dan musik. Pendidikan
96
hendaknya diberikan dengan mengingat perbedaan individual, minat serta
memberi kesempatan untuk berekspresi dan berbuat (Surabaya, 1990: 12)
Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan positif-konstruktif yang
memiliki dimensi nilai-nilai edukatif yang bukan kebebasan menurut
peserta didik. Artinya peserta didik diberi keleluasaan untuk mendidik
dirinya sehingga dia bisa menemukan dirinya.
Seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara melalui semboyan
Taman Siswa mengatakan : “Kita berhamba kepada seorang anak”.
Maksudnya, pendidik dengan ikhlas tidak terikat dengan apapun juga
mendekati anak didik untuk mengorbankan diri kepadanya, tapi murid
bukan murid untuk guru, tetapi sebaliknya (I. Djumhur dan Suparta, 1998:
182).
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik sebuah komprehensif
bahwa dalam sebuah praktik pendidikan Islam, kebebasan dan keleluasaan
(dalam batas-batas yang terkendali) sangat diperlukan demi menumbuhkan
disiplin yang terwujud secara internal, bukan disiplin palsu yang dibuat-
buat dan dilakukan karena terpaksa. Dengan demikian, secara alamiah hal
itu dapat menjadikan peserta didik memiliki kesadaran yang penuh untuk
menunaikan tugas dan kewajibannya tanpa harus dihatui oleh pengaruh-
pengaruh luar.
4. Aspek Materi
Secara sistematis, materi merupakan komponen yang memainkan
peran penting dalam sebuah proses kependidikan. Sebab, pada dasarnya ia
97
merupakan sekumpulan pengetahuan (nilai) yang ingin disampaikan oleh
pendidik kepada peserta didik, tanpa materi, tidak akan ada pendidikan.
Permasalahan yang perlu disadari adalah bahwa materi bukanlah tujuan.
Dengan demikian, keberhasilan pendidikan tidak semata-mata diukur
dengan lenearnya proses tranmisi nilai- nilai, (dalam hal ini materi
pelajaran yang terformat kedalam kurikulum), melainkan lebih dari
sekedar itu.
Pendidikan humanistik menganggap materi pendidikan lebih
merupakan sarana yakni sarana untuk membentuk pematangan humanisasi
peserta didik, jasmani dan ruhani secara gradual. Karena sarat dengan
nilai-nilai (sosial, budaya, ekonomi, etika, dan religius), bahkan nilai
kependidikan itu sendiri. Maka materi pendidikan merupakan komponen
yang cukup penting sebagai alat membina kepribadian peserta didik.
Namun ini juga tergantung dari bagaimana metode yang diterapkan oleh
para pendidik (Baharudin dan Moh. Makin, 2007: 192).
5. Aspek Evaluasi
Evaluasi merupakan akhir dari suatu pekerjaan. Dengan demikian,
evaluasi pendidikan Islam merupakan kegiatan terakhir yang dilakukan
pendidik untuk mengetahui seberapa jauh proses pendidikan telah
mencapai tujuan. Sehubungan dengan ini secara sistematis Zuharini
mengatakan bahwasannya : “Evaluasi pendidikan Islam adalah suatu
kegiatan untuk menentukan taraf kemampuan suatu pekerjaan dalam
pendidikan Islam”. Evaluasi dilaksanakan dalam rangka mengetahui
98
tingkat keberhasilan seorang pendidik dalam menyampaikan materi
pelajaran, menemukan kelemahan-kelemahan yang dilakukannya, baik
yang terikat dengan materi itu sendiri, metode, fasilitas, ataupun yang
lainnya. Kemudian diadakan sebuah pembenahan, yang dalam bahasa
pendidikan dinamakan dengan remidial programe.
Ada dua istilah yang hampir sama yaitu evaluasi (penilaian), dan
pengukuran. Pengertian pengukuran lebih mengacu pada tindakan atau
proses untuk menentukan kuantitas sesuatu. Oleh karena itu diperlukan
alat bantu ukur. Sedangkan istilah evaluasi (penilaian) mengarah pada
penentuan kualitas atau nilai sesuatu. Pentingnya melakukan evaluasi
dapat dicerna dari teks-teks Al-Qur‟an. Hal ini dapat dicermati dalam
proses tarbiyah pada figur Adam. Dari sini dapat dipahami bahwa setelah
melaksanakan kegiatan pendidikannya berupa mengajari Nabi Adam
dengan nama-nama benda,
وعل م األساء لها ث عر ه على ال الئك ف ال نبئ ن أساء هؤالء إن ا قني
Artinya:“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
Malaikat lalu berfirman:"Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang
benar!”. (Q.S. Al- Baqarah, 2: 31)
ه أسائه ف ل ا ن بأه أسائه قال ل قل لك إن عل ي قال يا م نبئ الس اوات واألرض و عل آا ا بدون وآا اك ن
Artinya: “Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka
nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya
kepada mereka nama-nama bendaitu, Allah berfirman:
"Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya
99
Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa
yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?".(Q.S.
Al-Baqarah, 2: 33)
Oleh karena itu, pentingnya melakukan evaluasi dalam praktek
pendidikan Islam pada konteks kekinian bisa berangkat dari paradigma ini.
Evaluasi pendidikan (Islam) selanjutnya mempunyai tujuan :
a. Pengambilan putusan tentang hasil belajar
b. Memberi pemahaman tentang anak didik dan perbaikan
c. Pengembangan program pendidikan atau pendidikan
Selama ini evaluasi terhadap siswa hanya terbatas pada ranah kognitif
dan itupun lebih berorientasi pada sejauh mana siswa mampu mengingat
dan mampu menghafal sekian materi yang telah dikenalkan guru. Domain
sikap efektif, apalagi psikomotorik, lepas dari prses evaluasi. Ini berarti
proses belajar-mengajar hanya mengajar penumpukan materi dan
informasi (Sudirman, 1991: 242).
Dja‟far Hentihu berpendapat bahwa dalam melakukan evaluasi,
pendidikan harus berpegang teguh pada prinsip keseluruhan, prinsip
kontinuitas, dan prinsip objektivitas (Mas‟ud, 2002: 212) Prinsip
keseluruhan memberi pengertian bahwa evaluasi (penelitian) pendidikan
yang utama adalah anak secara keseluruhan yang meliputi aspek kognitif,
aspek efektif, dan aspek psikomotor. Maksud prinsip kontinuitas adalah
bahwa evaluasi tidak hanya dilaksanakan secara temporer dan insidental.
Evaluasi harus dilakukan secara terus menerus mengingat pendidikan
sendiri merupakan suatu proses kontinu yang progresivitasnya tidak
mengenal batas waktu dan terminal pemberhentian.
100
Dalam melakukan penelitian, prinsip objektivitas harus didasarkan
pada kenyataan yang sebenarnya, dan tidak dipengaruhi oleh perasaan
subjektif pendidik. Jangan sampai terjadi seorang pendidik melakukan
penilaian dengan sebuah konsiderasi “siapa dia”, “akan tetapi” dan
bagaimana sesungguhnya dia”. Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai,
yakni pengambilan keputusan tentang hasil belajar. Untuk memahami anak
didik serta melakukan perbaikan dan pengembangan. Kembali pada
kecerdasan emosional yang disinggung di depan, harus ada perubahan
paradigmatik, termasuk dalam wilayah evaluasi. Apalagi evaluasi
pengajaran agama jelas tidak cukup hanya terpusat pada pengetahuan
agama saja. Artinya, penilaian harus objektif dan komprehensif. Bukan
hanya kecerdasan intelektual melainkan juga emosional dan spiritual.
Proses penilaian yang hanya dilakukan pada akhir semester dan
midsemester juga dipandang sebagai sebuah kelemahan. Yang lebih
penting adalah evaluasi harian dengan catatan menenai perkembangan
anak. Proses atau memang lebih penting daripada end atau tujuan. Proses
lebih mementingkan fungsi, bukan output yang dipaksakan, juga bukan
mengajar nilai sebagaimana yang saat ini terjadi di sekolah-sekolah.
Dengan evaluasi sebagaimana konsep humanisme religius, baik siswa
maupun guru dipandang sebagai entitas individual yang memiliki
tanggung jawab vertikal dan horizontal. Dengan pandangan ini, baik siswa
maupun guru sesungguhnya sama-sama memiliki tanggung jawab lebih
tinggi. Ada semacam built in motivation bagi setiap individu untuk
meningkatkan kualitas pribadi agar siap dievaluasi setiap saat. Bukanlah
101
Islam mengajarkan bahwa setiap individu harus merasa ada yang
memonitor setiap saat. God is watchingus, bertakwalah dimana saja dan
kapan saja, ittaqillaha haitsuma kunta, internal atau intrinsial motivation
jauh lebih ampuh, signifikan dan fungsional dibanding evaluasi dalam
bentuk apapun.
102
BAB III
GAMBARAN UMUM SEANGPRATHIP WITTAYA MULNITI
SCHOOLDAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN HUMANIS
PADAPEMBELAJARAN PAI
A. Gambaran Objek Penelitian
1. Lokasi Penelitian Gambaran Umum Letak Geografis
Wilayah Nongchik terletak di propinsi Pattani, Thailand Selatan
dilihat dari segi geografis merupakan delta brantas yang kaya akan segala
potensinya, memiliki arti yang sangat luas dan strategis dari aspek
ekonomi dan sosial maupun budaya. Bahkan dengan spontanitas
masyarakatnya dan kesetiakawanan yang tinggi secara kompetetif. Mudah
digerakkan untuk kepentingan rakyat muslim langsung dan bersifat
momental.
Utara : berbatas dengan kampung Tambon Kokpok
Selatan : berbatas dengan kampung Tambon Naket
Barat : berbatas dengan kampung Tambon Ban Bothong
Timur : berbatas dengan kampung Tambon Lipat Sanggul
2. Sejarah Singkat Berdirinya
Kondisi letak yang melatar belakangi ide atau gagasan sementara
dari tokoh masyarakat di wilayah Nongchik yang sejak lama
mendambakan lahirnya sebuah sekolah pendidikan agama yang ada di
Nakkudum yang representif baik mutu maupun tempatnya. Sehingga
dapat menampung banyaknya lulusan dari sekolah agama lain yang
103
dimana pada saat itu terdapat beberapa sekolah yang ada di sekitar
Nongchik.
Sehingga dengan keberadaan sekolah pendidikan agama
Seangprathip ini sekolah yang berada di Nongchik dapat menampung
banyaknya lulusan sekolah lain yang pada dasawarsa 60-an terpaksa harus
melanjutkan pendidikan ke daerah lain. Suatu yang menambah beban bagi
setiap orang tua atau wali. Sebagai awal konsultasi beberapa pejabat
kerajaan termasuk diantaranya para anggota kalangan legislatif yang
ternyata memperoleh tanggapan yang sangat menggembirakan. Kemudian
langkah berikunya menghimpun beberapa tokoh pengusaha untuk diajak
berpartisipasi secara aktif. Usaha pendekatan dilanjutkan sebagai langkah
aktif dan mengembangkan gagasan tersebut kepada tokoh pendidik dan
para cendekiawan termasuk kepala sekolah menengah pertama dan
sekolah kejuruan baik yayasan swasta maupun kerajaan di wilayah
Nongchik, Pattani.
Dengan ridho Allah Tuhan Yang Maha Esa dan restu dari semua
pihak, maka sekolah pendidikan agama Islam yang berdiri di sekitar
daerah wilayah ini bertujuan untuk meningkatkan dan menjadikan agama
sebagai penambah pengetahuan tentang keIslaman baik syari‟ah, dakwah
maupun pendidikan. Muslim yang berada di lingkungan ini pasti
mempunyai permasalahan-permasalahan, seperti perbedaan hukum Islam
dan perbedaan para pendapat ulama-ulama yang berada di wilayah Pattani,
khususnya di Nat Kudung. Karena muslim di sini telah berada dalam
104
minoritas kaum Buddha, maka dari itu banyak sekali rintangan yang harus
dihadapi oleh masyarat sekitar. Dengan adanya surau-surau kecil yang
telah didirikan di tiap-tiap desa selain digunakan untuk tempat beribadah
juga digunakan untuk bermusyawarah masyarakat sekitar menyelesaikan
masalah-masalah yang mereka hadapi sesuai dengan ketetapan yang sesuai
kitabullah dan sunnatullah SAW dan pendapat para ulama untuk
memantapkan Aqidah dalam diri manusia dan mensucikan ruh Islam baik
untuk diri sendiri maupun untuk bersama. Sekolah ini berdiri pada tahun
1945 M/ 1366 H. Yang didirikan oleh Syaikh Nik Henaj (Ibrohim bin
Abdurrohman) di desa Nakkudum Nongchik, Pattani, Thailand Selatan.
Yang bermula pertamakali berbentuk halaqoh (kelompok) orang-orang
alim yang sedikit membahas kitab-kitab kuning seperti kitab Jauharotul
Mawahib wa Munbahatul Qulub dan Syah Al-Afrah wa Ashbahul al-Falah
dan lain sebagainya. Selain itu, juga tempat orang-orang ulama berkumpul
membahas masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum Islam dan
Aqidah.
Kemudian berkembang banyak menjadi besar, masyarakat pun
boleh turut ikut campur dalam pengajaran sekolah karena demi kemajuan
bersama pada tahun Tahun Buddha 2548 bertepatan pada tahun 2005.
Selain itu sekolah Seangprathip ini juga mencetak kader-kader generasi
penerus guru yang berpengetahuan luas baik ilmu akherat maupun ilmu
dunia. Serta menyeimbangkan keduanya supaya bermanfaat ketika
105
mengabdi di masyarakat luas khusunya di negara Thailand yang minoritas
muslim.
3. Identitas Sekolah
Nama : Seangprathip Wittaya Mulniti School
الدينية السالميةمعهد التربية
Alamat : Pulohpuyo (Nat Kudung), Nongchik, Pattani
No. Telp : 0807104965
Alamat Surat : 45/1 M.A.T Pulohpuyo A. Nongchik Pattani
Country, Thailand 94170
Status Sekolah : Yayasan (Swasta)
Tahun Berdiri : 2548/ 2005
Status Tanah : Tanah Keluarga Besar Seangprathip
Luas Tanah : 40 rai
Pendiri Sekolah : Ibrohim bin Abdurrahman (Alm)
Pimpinan Sekolah : Abdul Syukur
Kepala Sekolah : Anwaruddin Doloh
4. Visi, Misi dan Tujuan
a. Visi
Pada tahun 2548 bertepatan pada tahun 2005. Sekolah
Seangprathip ini juga mencetak kader-kader generasi penerus guru
yang berpengetahuan luas baik ilmu akherat maupun ilmu dunia. Serta
menyeimbangkan keduanya supaya bermanfaat ketika mengabdi di
masyarakat luas khususnya di negara Thailand yang minoritas muslim.
106
b. Misi
Selama ini strategi atau misi yang dilakukan oleh yayasan sekolah
pendidikan agama Islam adalah sebagai berikut:
1) Menyeimbangkan pembelajaran antara pelajaran umum maupun
pelajaran agama, dengan kebenaran.
2) Membina para guru untuk mengamalkan ilmunya untuk menambah
wawasan pengetahuan para siswa-siswi.
3) Membangun dan memperbaiki sekolah dengan sebaik-baiknya,
baik secara fisik maupun non fisik
4) Memperluas pengetahuan agama Islam kepada masyarakat untuk
meningkatkan kemajuan desa.
5) Membina para siswa agar dapat membantu masyarakat
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di
lingkungan sekolah maupun masyarakat.
6) Membentuk dan memperbaiki kurrikulum sesuai dengan
permintaan masyarakat.
c. Tujuan
Tujuan dari berdirinya Seangprathip Wittaya Mulniti School
adalah:
1) Mencetak kader-kader guru yang profesional, baik di bidang
akademik maupun agama serta memudahkan masyarakat untuk
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan keagamaan
107
Pendiri Pondok
Kepala Sekolah
Bagian Akademik
Bagian Keagamaan Bagian Karyawan
Bagian
Administrasi
Bagian
Pengajaran
Bagian
Anggaran
Bagian
Perkantoran
supaya dapat memberikan kemajuan bagi masyrakat sekitar dan
meningkatkan kualitas pembelajaran bagi siswa.
2) Meningkatkan kualitas hidup, mengembangkan dan menambahkan
pengajaran, menyeimbangkan ilmu agama dan ilmu umum, serta
membangun sistem pembelajaran dan memperbaiki sistem
teknologi supaya pola pikir masyarakat terus berkembang dan tidak
merasa tertinggal.
5. Struktur Organisasi
Pimpinan Pondok
Mudir
1) Bagian Pengajaran
Anggota dari bagian pengajaran tersebut dan bertanggung jawab atas
tugasnya yaitu: ust. Rofi‟i, ust. Amin, ust. Awang dan ust. Ahmad.
Tugasnya antara lain:
a) Menyusun Kurrikulum Mata Pelajaran
b) Menyusun perencanaan belajar mengajar
108
c) Membuat evaluasi
d) Menyusun jadwal pelajaran
e) Menyusun persiapan kegiatan belajar mengajar
f) Mengontrol kerja guru
g) Mengadakan majelis ilmiah agama seperti perlombaan siswa-siswi.
2) Bagian Anggaran
Anggota dari bagian anggaran terdiri dari 4 orang yaitu, ustdzah
Aisyah, ustadzah Asma, ustadzah Aminah dan Ustadzah Amal.
Tugasnya antara lain:
a) Membuat data uang masuk dan keluar (input-output) sekolah
b) Mengurus pembayaran gaji guru
c) Mengurus keuangan untuk keperluan sarana prasarana sekolah
d) Mengurus pembayaran SPP siswa.
3) Bagian Perkantoran
Anggota dari bagian perkantoran terdiri dari 5 orang, ust.
Abdurrohman, ust. Rofi‟i, ustadzah Aisyah, ustadzah Halimah dan
ustdzah Nafisah. Bertugas sebagai berikut:
a) Membuat laporan kehadiran guru setiap bulan.
b) Mengawal guru masuk kelas (mengontrol kerja guru).
c) Mengurus perizinan guru untuk cuti mengajar.
d) Bertanggung jawab atas guru kelas.
4) Bagian Administrasi (Kesiswaan)
109
Anggota dari bagian administrasi (kesiswaan) terdiri dari us. Daud,
ust. Ma‟yaki, ust.Anwar, ustadzah Khodijah dan ustadzah Ahlam.
Tugasnya antara lain:
a) Mengurus segala permasalahan pelajar seperti perkelahian pelajar.
b) Mentertibkan asmara pelajar.
c) Mempersiapkan barisan pelajar setiap pagi, dan lain-lain yang
berkenaan dengan pelajar.
d) Mendata nama-nama pelajar yang masuk dan keluar.
6. Sistem Pembelajaran
Sistem pembelajaran Sekolah Seangprathip Wittaya Mulniti School
ini memiliki sistem pembelajaran terpisah antara pembelajaran ilmu
pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum (akademik). Untuk
pembelajaran ilmu pengetahuan umum (bagian akademik), peserta didik
wajib menyelesaikan studinya 6 tingkatan kelas, sedangkan pembelajaran
ilmu pengetahuan agama peserta didik menyelesaikan 10 tingkatan kelas
yang terbagi atas kelas ibtidaiyyah, mutawasit, dan tsanawiyah. Membagi
waktu pelajaran dari awal sampai akhir satu semester, waktu pembelajaran
dan memilih wali kelas di setiap kelasnya. Masa belajar siswa sampai 6
tahun.
Setiap tahun dibagi menjadi 2 pangkal (2 semester). Semester 1 mulai
pada bulan Mei sampai bulan Oktober, semester 2 mulai bulan November
sampai bulan Februari. Waktu pembelajaran harian dibagi 2, pelajaran
Agama dan Umum (Akademik). Waktu pembelajaran Agama dimulai dari
jam 08.15 - 10.15 WTS dan 13.00 - 14.30 WTS dan waktu pembelajaran
110
Umum (Akademik) 10.15 - 12.30 WTS dan 14.30 – 16.00 WTS. Hari
belajar dalam seminggu hanya 5 hari. Mulai hari Minggu sampai hari
Kamis.
7. Kurikulum
Kurikulum yang diterapkan di Seangprathip adalah kurikulum yang
berdasarkan kurikulum yang telah di sepakati oleh sekolah-sekolah agama
lainnya dan ditambah dengan kurikulum pendidikan kerajaan. Selain itu,
juga ditambah dengan muatan lokal/pelajaran tambahan serta kegiatan
pengembangan diri, bakat dan minat. Kurikulum tersebut dimodifikasi dari
berbagai sumber dan disusun bersama oleh guru melalui rapat kerja
tahunan sekolah yang kemudian tersusunlah kurikulum tingkat satuan
pendidikan. Kurikulum tersebut disusun dengan memperhatikan
kebutuhan lokal para pengguna jasa pendidikan Saengprathip
menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan
pendekatan Active Learning (AL).
Pembagian kurrikulum di sekolah ini terbagi menjadi 2, mata
pelajaran umum dan mata pelajaran agama, berikut penjelasannya:
a) Mata pelajaran agama yang wajib dipelajari dan menjadi batas
kemampuan siswa di sekolah terdiri dari: Al-qur‟an, Hadist, Tafsir,
Tauhid, Fiqih, Sirroh Nabawiyyah, Akhlak, Tajwid, Faroidh, Ushul
Fiqh, Dakwah, Mustholahul Hadist dan Ushul Tafsir / Asbabun nuzul
surat Al-qur‟an. Mata pelajaran tambahan yang harus diikuti oleh
siswa untuk mengukur kemampuan siswa dengan menggunakan
percakapan bahasa asing seperti bahasa arab, terdiri dari beberapa mata
111
pelajaran yaitu: Nahwu, Shorof, Muthola‟ah (mengkaji cerita), Insya‟
(membuat cerita Bahasa Arab), Imla‟ (dikte Arab), Khot (kaligrafi
Arab), Muhadtsah (percakapan Arab), Balaghoh (sastra Arab). Berikut
ini struktur kurikulum Seangprathip:
Tabel 1
Daftar Kondisi Guru Agama Sekolah Seangprathip beserta Hissoh
(jam mengajar tiap minggu) Tahun 2558
No Nama Jam Bidang Studi
1 Ishaq Ni‟lo 6 Fiqh
2 Maimunah Ni‟lo 4 Qiroati & Al-Qur‟an
3 Adylan Safruuk 3 Qiroati & Al-Qur‟an
4 Ahmad Somok 15 Hadist & Bhs. Arab
5 Rifa‟i Doloh 11 Fiqh
6 Rohim Deraso 20 Bhs. Rumi & Bhs. Melayu
7 Aminah H‟yimak 20 Tafsir & Nahwu
8 Rofisah H‟yimak 20 Tafsir & Balaghoh
9 Halimah H‟yicikme 21 Fiqh, Akhlak, Bhs. Rumi &
Melayu
10 Amin Sa‟i 10 Bhs. Rumi & Qiroati
11 Ismail Ci‟lung 21 Aqidah & Fiqh
12 Daud To‟lee 11 Qiroati & Aqidah
13 Awae Ci‟te 20 Tafsir & Hadist
14 Abdurrohman Ma‟se 20 Bhs. Arab & Bhs. Melayu
15 Syaifuddin Ma‟sing 21 Tafsir, Shorof & Akhlak
16 Aisyah Ci‟lee 10 Bhs. Jawi & Qiroati
17 Rohimah Sama‟e 21 Bhs. Arab
18 Duang Ta Wong Nuik 20 Hadist & Akhlak
19 Habibah Kakcik 14 Qur‟an & Qiroati
20 Ismail Kareng 17 Tarikh
21 Ma‟yaki K‟lupe 17 Tarikh, Bhs. Melayu & Qiroati
22 Abdurrohman
H'yisama
11 Qiroati & Aqidah
23 Hayati Doloh 12 Akhlak
24 Ahmad Linung 9 Bhs. Melayu
112
No Nama Jam Bidang Studi
25 Fadhilah C‟mak 20 Tafsir & Nahwu
Jumlah jam pelajaran
Agama selama 1 semester
374 Setiap 1 jam pelajaran 45
menit
b) Selain mata pelajaran agama juga ada mata pelajaran umum
(Akademik) yang harus dipelajari, karena pelajaran ini wajib bagi
setiap sekolah dan juga dibuat tolak ukur bagi negara di antaranya
adalah: Bahasa Thai, Matematika, Sains (IPA), Sosiologi, Sejarah,
Kesehatan, Kesenian, Keterampilan dan Bahasa Inggris. Mata
pelajaran tambahan yang harus diikuti oleh para siswa guna menambah
ilmu pengetahuan yaitu: bahasa Thai, Kepemimpinan & Kedisiplinan,
Olahraga, TIK dan yang terakhir adalah bahasa Inggris.
Tabel 2
Daftar Kondisi Guru Umum Sekolah Saengprathip beserta Hissoh
(jam mengajar tiap minggu) Tahun 2558
No Nama Jam Bidang Studi
1 Yariyah Ying 15 Kesenian
2 Hayati Monong 15 IPA (Sience)
3 Aniyah Roumat 17 Bhs. English
4 Limah Hulu 13 Bhs. Thai & Kesehatan
5 Rosanah Awee 12 Matematika
6 Daud Dawee 15 Olahraga
7 Natisah Saekrade 16 TIK
8 Hafsah C‟Doloh 16 Matematika & IPS
9 Robiyah Yi‟mali 12 Bhs. Thai
10 Jamilah Maksu 16 IPS & Kepemimpinan
11 Rainab H‟yilok 7 IPA
12 Cikrapon Wehamak 16 Matematika & IPA
13 Mak Sening 10 Kewirausahaan
113
No Nama Jam Bidang Studi
14 Amran Sama‟ 18 Fisika & Matematika
15 Narimah Wehemak 18 Kimia & IPA
16 Nasrin Hama‟ 12 Matematika
17 Rusnah Ali 10 Kewirausahaan & IPS
18 Hamidah Poksa 16 Bhs. English
19 Hartini Wesama‟ 16 Bhs. Thai & IPS
20 Arraya Ma‟mak 16 Bhs. Thai
21 Maci‟ma Tokwee 17 Bhs. English & Kewirausahaan
22 Suraini WeH‟yi 16 Matematika
23 Nurusan Ha‟yi 15 Matematika
24 Bahari Ha‟yi Yusuf 6 Kepemimpinan
25 Ma‟rokid Hawee 14 IPS
26 Ci‟wannab Careyen 17 Kesehatan & Bhs. Thai
27 Arifin 18 Bhs. English
Jumlah jam mata
pelajaran Akademik
selama 1 semester
389 Setiap jam pelajaran 40 menit
8. Jumlah Guru, Siswa dan Karyawan
a. Data guru
Berdasarkan salah satu dokumen yang diberikan oleh bagian Tata
Usaha (TU) Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani,
saat ini tahun 2558 sekolah Seangprathip memiliki guru sebanyak 52
orang, 27 orang terdiri dari guru akademik / umum dan 25 orang guru
agama. Berikut daftar guru dan mata pelajaran yang diajarkan.
Tabel 3
Daftar Kondisi Guru Agama Sekolah Seangprathip Tahun 2558
No Nama Bidang Studi
1 Ishaq Ni‟lo Fiqh
2 Maimunah Ni‟lo Qiroati & Al-Qur‟an
3 Adylan Safruuk Qiroati & Al-Qur‟an
114
No Nama Bidang Studi
4 Ahmad Somok Hadist & Bhs. Arab
5 Rifa‟i Doloh Fiqh
6 Rohim Deraso Bhs. Rumi & Bhs. Melayu
7 Aminah H‟yimak Tafsir & Nahwu
8 Rofisah H‟yimak Tafsir & Balaghoh
9 Halimah H‟yicikme Fiqh, Akhlak, Bhs. Rumi & Jawi
10 Amin Sa‟i Bhs. Rumi & Qiroati
11 Ismail Ci‟lung Aqidah & Fiqh
12 Daud To‟lee Qiroati & Aqidah
13 Awae Ci‟te Tafsir & Hadist
14 Abdurrohman Ma‟se Bhs. Arab & Bhs. Melayu
15 Syaifuddin Ma‟sing Tafsir, Shorof & Akhlak
16 Aisyah Ci‟lee Bhs. Rumi & Qiroati
17 Rohimah Sama‟e Bhs. Arab
18 Duang Ta Wong Nuik Hadist & Akhlak
19 Habibah Kakcik Qur‟an & Qiroati
20 Ismail Kareng Tarikh
21 Ma‟yaki K‟lupe Tarikh, Bhs. Rumi & Qiroati
22 Abdurrohman
H”yisama
Qiroati & Aqidah
23 Hayati Doloh Akhlak
24 Ahmad Linung Bhs. Melayu
25 Fadhilah C‟mak Tafsir & Nahwu
Tabel 4
Daftar Kondisi Guru Umum (Akademik) Sekolah
Tahun 2558
No Nama Guru Bidang Studi
1 Yariyah Ying Kesenian
2 Hayati Monong IPA (Sience)
3 Aniyah Roumat Bhs. English
4 Limah Hulu Bhs. Thai & Kesehatan
5 Rosanah Awee Matematika
6 Daud Dawee Olahraga
115
No Nama Guru Bidang Studi
7 Natisah Saekrade TIK
8 Hafsah C‟Doloh Matematika & IPS
9 Robiyah Yi‟mali Bhs. Thai
10 Jamilah Maksu IPS & Kepemimpinan
11 Rainab H‟yilok IPA
12 Cikrapon Wehamak Matematika & IPA
13 Mak Sening Kewirausahaan
14 Amran Sama‟ Fisika & Matematika
15 Narimah Wehemak Kimia & IPA
16 Nasrin Hama‟ Matematika
17 Rusnah Ali Kewirausahaan & IPS
18 Hamidah Poksa Bhs. English
19 Hartini Wesama‟ Bhs. Thai & IPS
20 Arraya Ma‟mak Bhs. Thai
21 Maci‟ma Tokwee Bhs. English &
Kewirausahaan
22 Suraini We H‟yi Matematika
23 Nurusan Ha‟yi Matematika
24 Bahari Ha‟yi Yusuf Kepemimpinan
25 Ma‟rokid Hawee IPS
26 Ci‟wannab Careyen Kesehatan & Bhs. Thai
27 Arifin Bhs. English
b. Data siswa
Berdasarkan data dokumentasi sekolah, jumlah siswa-siswi
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani pada tahun ini
sebanyak 389 siswa-siswi. Adapun jumlah tersebut dibagi menjadi 15
kelas, yaitu kelas I Mutawasit terdiri dari 2 kelas yaitu kelas V1, V2,
dengan jumlah keseluruhan 58 siswa-siswi. Kelas II Mutawasit terdiri
dari 3 kelas yaitu VI1, VI2, dan VI3, dengan jumlah keseluruhan 70
siswa. Kelas III Mutawasit terdiri dari 3 kelas yaitu VII 1, VII 2, VII
116
3, dengan jumlah keseluruhan 58 siswa. Kelas 1 Tsanawiyah terdiri
dari 2 kelas yaitu VIII 1 dan VIII 2 dengan jumlah keseluruhan 84
siswa. Kelas II Tsanawiyah terdiri dari 2 kelas yaitu IX 1 dan IX 2
dengan jumlah keseluruhan 56 siswa. Dan kelas 3 Tsanawiyah terdiri
dari 3 kelas yaitu X 1, X 2 dan X 3 dengan jumlah keseluruhan 66
siswa.
Tahun pelajaran sekarang ini mengalami penurunan minat siswa
untuk belajar di Seangprathip tidak sama pada tahun kemaren yang
terus meningkat jumlah siswanya setiap tahun dikarenakan banyak
perpindahan tempat kerjaan orang tua sehingga anak pun turut serta
tinggal bersama orang tua. Selain itu juga banyak orang yang tidak
berminat untuk sekolah guna menempuh pendidikan yang lebih maju.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini
Tabel 5
Daftar jumlah siswa-siswi sekolah Seangprathip tahun ajaran 2558
No Kelas Ruang L P
1 Kls V 2 Ruang 43 15
2 Kls VI 3 Ruang 17 53
3 Kls VII 3 Ruang 22 33
4 Kls VIII 2 Ruang 26 58
5 Kls IX 2 Ruang 11 45
6 Kls X 3 Ruang 19 47
Jumlah 138 251
Tiap kelas, mempunyai dua wali kelas, baik wali kelas mata
pelajaran umum dan mata pelajaran agama tahun 2558. Berikut daftar
nama para wali kelas.
117
Tabel 6
Daftar Guru Wali Kelas Sekolah Seangprathip Thahun 2558
No Kelas Nama wali kelas
mapel umum
(Akademik)
Nama wali kelas mapel
agama
1 V 1 Hartini Hayati
2 V 2 Nurisan Abdurrohman Makse
3 VI 1 Jik Wanna Halimah
4 VI 2 Bahari Duang Ta
5 VI 3 Maci‟ma Abdurrohman Haji Sama‟
6 VII 1 Hamida Aisyah
7 VII 2 Jamilah Rifa‟i
8 VII 3 Natisah Maha Mak Yaki
9 VIII 1 Narimah Rofisah
10 VIII 2 Amran Rohim
11 IX 1 Suraini Syaifuddin
12 IX 2 Arraya Aminah
13 X 1 Jik Raphon Awee
14 X 2 Hafsah Ahmad
15 X 3 Daud Rohimah
c. Data karyawan
Jumlah karyawan sekolah Seangprathip berjumlah 5 orang.
Tabel 7
Daftar nama-nama karyawan sekolah Seangprathip 2558
No Nama Profesi
1 Asma Ketua bagian keuangan
2 Aisyah Ketua bagian kesiswaan
3 Amal Ketua bagian asrama putri
4 Harun Bagian pembangunan
5 Daylan Ketua bagian asrama putra
9. Sarana dan Prasarana
118
Tabel 8
Sarana dan Prasarana Sekolah Seangprathip tahun 2558
No Jenis Barang Jumlah Keadaan
1 Komputer Kantor 5 Baik
2 Telephon 1 Rusak
3 Lab. Komputer 1 Baik
4 Lab. Bahasa 1 Baik
5 TV 1 Baik
6 LCD 1 Baik
7 Printer 5 Baik
8 Speaker 2 Baik
9 Type Recorder 1 Baik
10 Speaker Kelas 1 Rusak
11 Mushola 1 Baik
12 Aula 1 Baik
13 Perpustakaan 1 Baik
14 Bangunan Kelas 15 Baik
15 Lap. Olahraga 3 Baik
16 Ruang Koperasi 1 Baik
17 Ruang Kantin 3 Baik
18 Ruang KM Guru 4 Baik
19 Ruang KM Siswa 2 Baik
20 Kamar Asrama Putri 24 Baik
21 Kamar Asrama Putra 18 Baik
22 Kantor Guru 6 Baik
23 Kantor Osis 1 Baik
24 Bus Sekolah 20 Baik
25 Alat Fotocopy 1 Baik
26 Kipas Angin 15 Baik
119
B. Penyajian Data
1. Konsep Pendidikan Humanis Pada Pembelajaran PAI di Seangprathip
Wittaya Mulniti School
Sekolah Seangprathip Pattani ini, merupakan yayasan sekolah yang
peduli terhadap nasib para pemuda zaman sekarang. Oleh karena itu
agenda utamanya adalah melakukan proses pendidikan dan berusaha untuk
memenuhi dan meningkatkan wawasan keagamaan dan ilmu umum,
terutama untuk membantu mengatasi permasalahan orang-orang muslim
dengan memperoleh pendidikan agama yang telah terjadi pada masa
sekarang di daerah yang sangat minoritas muslim, sehingga para remaja
pun dapat tumbuh dan berkembang secara wajar untuk menjadi generasi
bangsa yang berkwalitas. Selama ini pendidikan yang dilaksanakan oleh
Saengprathip ini boleh dikategorikan pendidikan formal ada juga non
formal. Akan tetapi berbentuk pendidikan non formal dengan pola
pendampingan dan pembinaan dalam proses belajar mengajar yang
dilakukan oleh para pendamping ustadzah terhadap para pelajar.
Adapun bentuk pendididikan agama Islam di Seangprathip, Pattani
kali ini juga dalam bentuk pendidikan non formal. Yakni pendidikan
agama Islam yang dilaksanakan oleh pengelola sekolah terhadap anak-
anak remaja di sekitar, dengan tujuan agar dalam jiwa anak tertanam nilai-
nilai agama sebagai pondasi bagi manusia dalam menjalani hidupnya.
Dengan pengetahuan agama ini, diharapkan para pelajar akan dapat
120
mengimplementasikan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari melalui
wujud akhlak yang baik.
Selama ini materi pendidikan agama Islam di sekolah Seangprathip
Pattani, adalah materi keagamaan yang sesuai dengan kerangka dasar
agama Islam, yakni aqidah, syariah, akhlak dan materi tentang baca tulis
Al-Quran. Aqidah yakni berhubungan dengan keyakinan manusia, syariah
berhubungan dengan hukum yang mengatur tentang hubungan manusia
dengan Allah, sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam dan
lingkungannya. Sedangkan materi akhlak berhubungan dengan sikap yang
menimbulkan kelakuan baik dan buruk.
Materi pendididikan agama Islam yang humanis yang ada di
sekolah Seangprathip adalah ajaran-ajaran Islam yang bukan hanya
menekankan pada kesemarakan ritual (ibadah ritual) saja, akan tetapi juga
diseimbangkan dengan materi agama yang menekankan pada kesalehan
sosial (hubungan manusia dengan manusia, dan juga manusia dengan
alam). Pendidikan agama Islam di sekolah Saengprathip Pattani juga tidak
hanya sebatas pengenalan terhadap simbol-simbol keagamaan saja dengan
tanpa mengetahui nilai esensi atau makna dari pendidikan agama Islam itu
sendiri.
Adapun sikap dari para pendamping dalam proses belajar mengajar
pendididikan agama Islam di sekolah selama ini, tidak memandang bahwa
anak remaja adalah anak yang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Sebab
memandang bahwa anak sebagai sosok yang bodoh bukan merupakan ciri-
121
ciri dari pendidikan humanis. Akan tetapi konsep pendidikan humanis
dalam pembelajaran pendidikan agama Islam yang selama ini diterapkan
oleh sekolah Seangprathip adalah konsep pendidikan dengan pola
pendampingan dan pembinaan secara intensif. Demikian dalam proses
belajar mengajar para siswa-siswi yang dilaksanakan oleh sekolah ini, para
ustadz dan ustadzah senantiasa mendampingi belajar anak dengan penuh
kasih sayang, tidak memandang rendah dan bodoh terhadap pelajar.
Akan tetapi para ustadz dan ustadzah memandang bahwa pelajar
adalah anak yang mempunyai potensi untuk dikembangkan secara
proporsional dan juga mempunyai transformasi dalam pola pikirnya, untuk
belajar agama sehingga anak remaja di sini juga dapat menikmati hak
pendidikan seperti anak-anak lain seusia mereka. (wawancara pada ust.
Daud bagian kesiswaan 16/08/2015 pukul 12.00 WTS)
Dalam mendampingi proses pembelajaran, para guru di sekolah
Seangprathip ini lebih menekankan pada pendekatan yang harmonis dan
humanis, pendekatan secara emosional dari hati kehati, dan mencoba
mengerti kondisi kebutuhan psikologi para santri maupun pada pelajar.
Dalam hal ini para pendamping tidak menganggap bahwa para pelajar
adalah anak yang bodoh, akan tetapi justru sebaliknya, para pendamping
pengasuh menganggap pelajar di sini adalah santri yang kreatif, dan juga
mandiri. Oleh karena itu selama ini para pengasuh / ustadzah dalam
mendampingi proses belajar agama anak, sering berperan sebagai teman
yang sama-sama belajar. Dengan demikian hubungan keduanya adalah
122
hubungan yang setara, yakni sebagai mitra dalam belajar. Dengan pola
pendekatan yang seperti ini maka akan terjadi pola pendidikan yang
mencerdaskan, membebaskan, dan tidak mengekang terhadap kreatifitas
anak.
a. Latar Belakang Penerapan Konsep Humanisme di Seangprathip Wittaya
Mulniti School
Pada hakikatnya Pendidikan Agama Islam adalah suatu usaha
seseorang untuk membimbing dan melatih peserta didik untuk menyiapkan
peserta didik agar mampu memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran
yang terkandung dalam agama Islam dan agar peserta didik menjadi
manusia yang bertakwa dan berakhlak mulia serta berkepribadian luhur
dan berwatak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat
manusia. Agama pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan
yang bermakna damai dan bermartabat, menyadari bertapa pentingnya
peran agama bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi nilai-nilai
agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan yang
ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga,
sekolah maupun masyarakat. Pendidikan agama yang dimaksudkan untuk
meningkatkan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup
etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.
Peningkatan potensi spiritual mencakup pengalaman, pemahaman, dan
123
penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengalaman nilai-nilai tersebut
dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Undang-
Undang RI No. 20 tahun 2006 tentang Standar Isi, peningkatan potensi
spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi sebagai
potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat
dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Seangprathip Wittaya Mulniti
School merupakan salah satu lembaga pendidikan negeri umum dengan
basic keislaman yang berada di kampung Pulohpuyo, daerah Nongchik
wilayah Pattani yang mayoritas guru (pendidik) dan pelajar beragama
Islam.
Berawal dari sana Pendidikan Agama Islam yang ada di Pulohpuyo
(Nat Kudung) dikembangkan dan diberikan dengan mengikuti tuntunan
bahwa agama yang diajarkan kepada manusia (peserta didik) dengan visi
untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah SWT dan
berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur,
adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan
produktif baik personal maupun sosial yang dikembangkan melalui standar
kompetensi ditandai dengan ciri-ciri :
1) Lebih menitik beratkan pencapaian kompetensi secara utuh selain
pengusaan materi.
2) Mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan
yang tersedia.
124
3) Memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di lapangan
untuk mengembangkan strategi dan program pembelajaran sesuai
dengan kebutuhan dan ketersediaan sumber daya pendidikan.
Dengan adanya Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan
manusia yang selalu berupa menyempurnakan iman, takwa dan akhlak,
serta aktif membangun peradaban bangsa yang bermartabat, dan peserta
didik diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan
perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup
lokal, nasional, regional maupun global.
b. Aspek Guru
Dalam impelementasi konsep humanisme religius seorang guru
(pendidik) bidang studi agama Islam diharapkan dapat mengembangkan
metode pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi
dasar. Pencapaian seluruh kompetensi dasar perilaku terpuji dapat
dilakukan tidak beraturan peran semua unsur sekolah, orang tua siswa dan
masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian
tujuan Pendidikan Agama Islam.
Pada hakikatnya, guru merupakan pembimbing keagamaan. Oleh
karena itu, tidaklah wajar mencampur urusan agama dengan urusan materi
atau menjadikan agama sebagai saranan mencari kedudukan dan harta.
Seperti pernah dikatakan Al-Ghazali: “Barang siapa mencari harta dengan
ilmu pengetahuan, ia seperti orang yang mengusap alat penggosok dengan
mukanya untuk membersihkan, sehingga terjadilah penjungkirbalikan,
125
majikan menjadi pelayanan dan pelayanan menjadi majikan” (Lelanggung,
1990: 4). Keberhasilan tugas guru tergantung dari bagaimana cara dia
memimpin anak didiknya. Kriterium-kriterium yang telah ditawarkan oleh
para pakar pendidikan Islam dapat dijadikan rujukan atau referensi. Teori
kepemimpinan humanistik menyatakan bahwa secara alami manusia
merupakan motivated organism (organisme yang penuh motivasi),
organisme yang memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu.
Menurut Mar‟at, (1984: 24) fungsi kepemimpinan adalah
memodifikasi organisasi supaya individu bebas merealisasikan potensi
motivasinya di dalam memenuhi kebutuhannya dan pada waktu yang sama
sejalan dengan arah tujuan kelompok. Teori kepemimpinan menghendaki
setiap individu diberi kondisi yang bebas, yang memungkinkannya
merealisasikan potensi-potensi internal yang ada dengan tidak merupakan
tujuan komunitas kelompoknya. Terkait dengan suatu proses
kependidikan, maka teori kepemimpinan humanistik menghendaki seorang
guru sebagai kreator dan arsitek tunggal di medan kerjanya dan
memberikan suasana bebas bagi peserta didik. Namun perlu digarisbawahi
bahwa kebebasan ini masih berada dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Menurut Likert, salah seorang pendukung teori kepemimpinan
humanistik berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan proses yang
saling berhubungan dimana seorang pemimpin harus memperhitungkan
harapan-harapan, nilai-nilai dan keterampilan individual dari mereka yang
terlibat dalam interaksi yang berlangsung. Pemimpin seyogiyanya
126
memperhatikan kepentingan para anggota misal dengan cara melibatkan
mereka dalam pengambilan keputusan. Dengan cara demikian, pemimpin
telah membentuk kepaduan (grup cohesiveness) dan motivasi anggota
kelompok agar lebih produktif (Mar‟at, 1984:25). Produktif dalam arti
bahwa kegiatan pendidikannya berhasil dan bernilai guna serta selalu
mengikuti perubahan. Seorang tokoh pendidikan nasional yaitu Ki Hajar
Dewantara mengatakan bahwa tugas seorang pemimpin (guru) adalah “Ing
ngarso sung tulodo” (di depan memberi teladan), “Ing madya mbangun
karsa” (di tengah membangun semangat) dan “Tutwuri handayani” (di
belakang memberi pengaruh).
Jadi menjadi seorang imam atau pemimpin, guru harus
memberikan teladan yang baik bagi komunitas anak didiknya jika berada
di tengah peserta didiknya dia harus membangun semangat keilmuan anak
didik, dan jika di belakang dia harus memberikan pengaruh kepada anak
didik. Dalam hal ini jangan menarik dari depan, biarkan mereka mencari
jalan sendiri. Seorang guru boleh mencampurkan dirinya apabila anak-
anak salah jalan. Adapun tujuan Pendidikan Agama Islam adalah :
1) Menumbuh kembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan dan
mengembangkan pengetahuan, penghayatan, pengamalan,
pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam
sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan
dan ketakwaannya kepada Allah SWT.
2) Mewujudkan manusia (peserta didik) yang taat beragama dan
berakhlak mulia yaitu manusia (peserta didik) yang berpengetahuan,
127
rajin, beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin,
bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan
sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah
(UUD RI No 20 Th 2006 tentang Standar Isi)Dalam hal ini seorang
guru (pendidik) Pendidikan Agama Islam yang ada di Seangprathip
Wittaya Mulniti benar-benar diperhatikan kualitasnya. Seperti halnya
dalam segi pendidikannya, guru Pendidikan Agama Islam itu memang
benar-benar menguasai dalam bidang agama disamping itu guru
Pendidikan Agama Islam mampu memberikan contoh dan mampu
menampilkan prilaku yang uswatun khasanah dalam lingkungan
sekolah, di luar sekolah khususnya kepada peserta didik.
c. Aspek Metode
Dalam kaitannya proses kegiatan belajar mengajar seorang
pendidikan mampu mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan
standar kompetensi dan kompetensi dasar. Dalam leksiologi bahasa
Indonesia, metode berarti cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk
mencapai suatu maksud. Metode pendidikan Islam berarti cara yang teratur
dan terpikir baik untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Metode
merupakan suatu perangkat dalam mengajar yang mempunyai tujuan dan
didasarkan atas suatu teori. Suatu metode memiliki empat kriteria, yaitu :
1. Seleksi, yakni bagaimana sebuah metode membuat seleksi atas bahan
yang akan diajarkan.
2. Gradasi, yakni bagaimana bahan yang diseleksi itu diatur dalam urutan.
128
3. Presentasi, yaitu bahan yang sudah diseleksi diurut dengan tingkat
kesukaran agar bisa disajikan.
4. Repetisi, yaitu bagaimana metode itu membuat ulangan atas bahan yang
telah disajikan agar siswa dapat mengusainya dengan baik.
Islam, melalui ajarannya yang universal, menunjukkan betapa
pentingnya suatu metode dalam pencapaian tujuan. Oleh karena itu, di
dalamnya dapat ditemukan prinsip-prinsip metodologis pendidikan Islam.
Prinsip-prinsip pendidikan Islam tersebut antara lain :
a. Prinsip memberikan suasana kegembiraan
Prinsip ini mencerminkan bahwa Allah menghendaki kemudahan,
bukanlah sebaliknya. Allah berfirman :
...يريد الله ك اليسر وال يريد ك العسر Artinya: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu…”. (Q.S. Al-Baqarah [2]:
185).
Allah juga memerintahkan untuk memberikan kegembiraan kepada
orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan. Seperti dalam ayat
di bawah ini :
و ر ال يي آ ا وع ل ا الصالات ن ل ج ات ر آي ها األن هار Artinya: “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang
beriman danberbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan
surga-surga yang mengalirsungai-sungai di dalamnya.”
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 25).
b. Prinsip memberikan layanan dan santunan dengan lemah lembut
Dalam melaksanakan kegiatan pendidikan, pendidik seyogianya
sadar bahwa dirinya bertugas memberi layanan dengan santun dan
129
lemah lembut. Meminjam terminologi Ki Hajar Dewantara, berarti
kita berhamba kepada anak didik. Mengenai hal ini Al-Qur‟an
memberikan penjelasan dalam ayat berikut :
فب ا ر آي الله ل ل ول فظا ليظ ال ل الن فض ا آي لك ه واس غفر ل وشاوره ف األآر فإذا عزآ ف ل على الله إن فاعف ع
الله ال لني Artinya:“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada- Nya.” (Q.S. Ali Imran [3]: 159).
c. Prinsip kebermaknaan terhadap peserta didik
Prinsip ini berangkat dari telaah psikologis bahwa pendidikan
seharusnya diberikan sesuai dengan tingkat usia perkembangan
perserta didik. Tentang hal ini, Rasulullah pernah bersabda :
“Berbicaralah kamu kepada manusia sesuai dengan kadar
kemampuan akal pikiran mereka”. Betapa tidak, memberikan sesuatu
kepada mereka yang belum dan tidak mampu menerimanya sama saja
dengan tidak melakukan apa-apa. Ini yang dikatakan kebermaknaan
bagi peserta didik.
d. Prinsip prasyarat
Prinsip ini bermaksud menarik minat peserta didik dengan
mengarahkan perhatian (attention) ke arah bahan yang akan
130
diberikan. Pengalaman dan pelajaran yang telah lebih dahulu diserap
menjadi apersepsi dalam pikiran mereka dihubungkan dengan hal-hal
baru yang masih hendak disajikan. Prinsip ini akan menjadi jembatan
yang menghubungkan pengertian-pengertian yang telah terbentuk
dalam pikiran mereka sehingga mempermudah daya tangkap terhadap
hal-hal (materi) yang baru. Dalam Al-Qur‟an, banyak ditemukan
metode atau cara Allah memberikan prasyarat kepada manusia untuk
menggugah perhatian. Banyak ayat-ayat yang mengandung tanbih
(meminta perhatian), semisal kata-kata Alif Laam Miim, Kaaf Haa
Yaa „Ain Shaad, Nuun, Yaa Siin, Haa Miim, dan lain sebagainya.
e. Prinsip komunikasi terbuka
Guru harus mendorong murid untuk membuka diri terhadap segala
hal atau bahan pelajaran yang disajikan kepada mereka, sehingga
mereka dapat menyerapnya dengan baik dan menjadi bahan apersepsi
dalam pikirannya. Dalam kitab suci Al-Qur‟an, teradapat firman
Allah yang mendorong manusia untuk membuka hati dan pikirannya,
serta perasaan, pendengaran dan penglihatannya untuk menyerap
pesan-pesan yang difirmankan Allah kepada mereka.
ول د ذر نا اه ا آي ااي واان ل ق ل بري ال ي ف ه ن با ول عنيري ال ي بصرون با ول ذانري ال يس ع ن با ولئك األن عام ل ه ل
ولئك ه الغافل ن Artinya:“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka
Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
131
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tandatanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S.
Al-A‟raf [7]: 179).
f. Prinsip pemberian pengetahuan baru
Prinsip ini bermaksud menarik minat dan perhatian peserta didik
untuk senantiasa mempelajari pengetahuan yang baru. Allah melalui
firman-Nya dalam Al-Qur‟an benar-benar membangkitkan perhatian
dan minat manusia untuk mempelajari hal atau unsur baru dari alam
sekitar dan yang terdapat dalam dirinya.
إن ف ل الس اوات واألرض وا الف الليل وال هار والفلك الت ر ف ال اس وآا ن زل الله آي الس اء آي آاء فأ يا ه األرض ف الب ر ا ي عد آ تا و ث فيها آي ل ا واصريف الرياح والس اب ال سخر ني
الس اء واألرض آليات ل م ي ع ل ن Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di
laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa
yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan
air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan
Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara
langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda
(keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 164).
g. Prinsip memberi model yang baik
Prinsip ini menghendaki bahwa pendidik tidak sekedar memberi
contoh, tetapi menjadi contoh atau teladan bagi peserta didiknya.
Dengan demikian, peserta didik dapat meniru teladan yang
132
ditampilkannya. Jadi, seorang pendidik harus menjadi uswah hasanah
bagi peserta didiknya, seperti halnya Rasulullah, sebagai pendidik,
yang senantiasa menjadi uswah hasanah bagi para sahabat selaku
peserta didiknya. Tentang hal ini Al-Qur‟an menjelaskan :
ل د ان لك ف رس ل الله س ةري س ري ل ي ان ي رج الله والي م اآل ر وذ ر الله ا
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. Al- Ahzab [33]:
21).
h. Prinsip praktis
Prinsip ini berarti bagaimana metode dapat mendorong perserta
didik mengamalkan segala pengetahuan yang telah diperoleh,
sehingga nilai-nilai teoritis yang telah diinternalisasikan ke dalam
dirinya menghasilkan buah yang bermanfaat bagi komunitas manusia
sekitarnya, bahkan bagi makhluk selainnya. Dari prinsip-prinsip di
atas, dapat ditarik banyak metode pendidikan Islam, bahkan metode
pendidikan secara umum, sebagai berikut :
1) Metode situasional
Metode ini mendorong peserta didik untuk belajar dengan perasaan
gembira dalam berabagai tempat dan keadaan. Metode ini dapat
memberikan kesan-kesan yang menyenangkan, sehingga kesan
tersebut melekat pada ingatan peserta didik. Dalam kondisi
bagaimanapun, pendidik harus dapat menciptakan sebuah iklim
133
pendidikan yang kondusif bagi anak didiknya untuk berkesadaran
dalam belajar.
2) Metode tarhib wa tharghib
Metode ini mendorong peserta didik untuk mempelajari suatu
bahan pelajaran atas dasar minat (motif) dengan kesadaran pribadi
tanpa ada paksaan dan tekanan. Metode ini dijiwai oleh prinsip
kedua, yakni memberikan layanan dan santunan yang lemah
lembut. Ahli psikologi Islam berpendapat bahwa cara berdasarkan
motif-motif yang bersumber dari kesadaran diri merupakan cara
belajar yang membawa keberhasilan.
3) Metode tanya jawab
Metode ini bermula dari memberi peserta didik stimulus dalam
bentuk pernyataan-pernyataan, dan peserta didik melanjutkan
memberi respons berupa jawaban. Secara sederhana, soal
interaksinya dapat digambarkan dengan guru memberi stimulus,
peserta didik merespons. Dalam hal ini, terjadi pola interaksi dua
arah.
4) Metode musyawarah dan diskusi
Metode ini melibatkan interaksi yang luas antara peserta didik
dengan sesamanya dan antara peserta didik dengan pendidik.
Berangkat dari adanya permasalahan tertentu, semua pihak secara
aktif terlibat dalam mencari jalan keluar. Metode ini melahirkan
sikap keterbukaan pendidik juga peserta didik. Juga mendorong
134
untuk saling memberi dan menerima (take and give) di antara
keduanya. Dengan metode ini, pikiran, kemauan, perasaan, dan
ingatan serta pengamatan terbuka terhadap ide-ide baru yang
timbul menjadi terlibatkan. Dan dalam proses demikian, peserta
didik tidak lagi dipandang sebagai objek pendidikan, melainkan
sebagai subjek.
5) Metode nasihat dan ceramah
Al-Qur‟an menjelaskan bahwa semua manusia dalam keadaan rugi,
kecuali orang yang beriman dan saling menasihati (Q.S. Al-„Ashr:
1- 4). Pentingnya metode nasihat dan ceramah ini secara lebih
operasional dijelaskan oleh Al-Qur‟an melalui kisah Luqman saat
menasihati anaknya. Sebagaimana firman Allah berikut ini :
وإذ قال ل ان ال ه وه يعظه يا ن ال ا رك الله إن ال رك لظل ري عظي ري
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,
di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman
yang besar".” (Q.S. Luqman [31]: 13).
Metode ini dituturkan secara lisan, sehingga dalam hal ini menjadi
sangat penting kecakapan dalam berbicara. Nabi musa dalam
doanya senantiasa memohon agar dilapangkan dadanya,
dimudahkan urusan, dan dilepaskan kekakuan lidahnya agar kata-
katanya mudah dipahami. Al- Qur‟an menjelaskan tentang ini
sebagai berikut :
135
قال رب اشرح دري يسر آري ا لل ع دة آي لسانيي ف ه ا ق Artinya: “Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku
dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan
lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka
mengerti perkataanku”. (Q.S. Thahaa [20]: 25-28).
6) Metode uswah hasanah
Psikologi menjelaskan bahwa peserta didik (anak) memiliki
beberapa kecenderungan, di antaranya adalah kecenderungan untuk
meniru. Anak juga memiliki kecenderungan menyenangi
perubahan. Memberi teladan yang baik merupakan metode yang
sangat efisien, terutama bagi anak didik yang belum mampu
berpikir kritis, yang tingkah lakunya akan banyak dipengaruhi oleh
kecenderungan-kecenderungan di atas. Dalam melaksanakan
pendidikan pada umumnya, lebih-lebih dalam menanamkan nilai
akhlak dan nilai agama serta sikap mental peserta didik. Metode
uswah hasanah merupakan salah satu, bukan satu-satunya metode
yang sangat efektif dan efisien.
7) Metode demonstrasi
Dari hadis-hadis Rasulullah, dapat diketahui bahwa nabi seringkali
menggunakan metode demonstrasi dalam melaksanakan aktivitas
pendidikannya. Metode ini biasanya dipergunakan Rasulullah
dalam menjelaskan hal-hal tertentu. Misalnya, saat menjelaskan
bagaimana operasionalisasi shalat dengan bersabda : “Shallu kama
ra‟aitumuni ushalli (shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat
akau shalat)”. Dalam praktik kependidikan sekarang, metode ini
136
masih sangat relevan dan efisien diterapkan, terutama untuk peserta
didik pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah,
bahkan untuk jenjang pendidikan tinggi sekalipun.
8) Metode humaniora
Dilihat dari segi termonologinya, metode ini merupakan sebuah
metode serapan. Walaupun demikian, metode ini memiliki konsep
yang sejalan dengan konsep Islam. Metode ini mengutamakan kerja
sama antara pendidik dengan peserta didik, juga keselarasan antara
teori dengan praktik riil dalam kehidupan nyata. Hal ini berkaitan
langsung dengan prinsip-prinsip layanan kasih sayang dan lemah
lembut serta prinsip praktis. Metode humaniora menempatkan
manusia secara utuh. Hal ini relevan dengan ajaran Islam. Untuk
itu, metode humaniora dapat dijadikan sebagai salah satu metode
dalam operasionalisasi pendidikan Islam.
Dengan menggunakan metode yang benar dan tepat, proses
transformasi nilai-nilai pendidikan akan berjalan lancar. Dengan demikian,
pencapaian tujuan pendidikan akan cepat terealisasi. Karena itu, peran
seorang pendidikan dalam memilih, mempertimbangkan, dan selanjutnya
menggunakan metode merupakan hal yang juga penting. Metode
pendidikan adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu
tujuan. Dalam implementasi konsep humanisme religius dalam
pembelajaran PAI di Seangprathip Wittaya Mulniti School seorang
pendidik (guru), dalam proses kegiatan belajar menggunakan berbagai
137
metode seperti metode ceramah, diskusi, simulasi dan sebagainya, akan
tetapi metode yang digunakan tersebut disesuaikan dengan materi yang
diajarkan.
Di samping itu seorang pendidik (guru) ketika proses kegiatan
belajar mengajar juga memberikan kesempatan berfikir juga kepada siswa,
artinya ketika dalam proses belajar mengajar seorang guru tidak
memaksakan kehendaknya, akan tetapi dalam proses tersebut peserta didik
terlibat sepenuhnya atas kegiatan tersebut, dan seorang pendidik (guru)
hanya sebagai fasilitator, yang bertugas mengarahkan, memberikan
penguatan, dan sebagainya (Abudin Nata, 1997: 79). Seperti yang
diketahui di Seangprathip ini terdapat 2 model proses pembelajaran dalam
Pendidikan Agama Islam. Model pembelajaran yang pertama yaitu model
pembelajaran di dalam kelas yaitu model pembelajaran yang menganut
standar kompetensi dan kompetensi dasar yang kemudian materi-materi
tersebut dikaitkan dengan problematika yang ada di sekitarnya.
Dalam hal ini seorang guru Pendidikan Agama Islam biasa
menggunakan metode diskusi dengan memberikan satu permasalahan
kepada peserta didik yang disesuaikan dengan kelompoknya masing-
masing. Kemudian hasilnya dipresentasikan di dapan kelas dan diperkuat
dengan penjelasan dari guru Pendidikan Agama Islam di akhir
pembelajaran. Yang kedua yaitu model proses pembelajaran pembentukan
iman dan taqwa, yang biasanya dilakukan bersamaan sesuai kelasnya
masing-masing seperti kelas X dengan kelas X, yang meliputi X1, X2, X3,
138
kelas IX dengan kelas IX meliputi IX 1, IX 2, kemudian kelas VIII
dengan kelas VIII, meliputi VIII1, VIII 2, dengan materi istighosah, sholat
dhuha, dan pengajian tafsir Al-Qur‟an. Kegiatan atau proses belajar
tersebut dilaksanakan di aula dengan menggunakan metode kepemimpinan
atau uswah khasanah, artinya dalam hal ini yang menyampaikan materi
pembelajaran bukan hanya seorang guru, akan tetapi seorang murid juga
diberi kesempatan untuk menyampaikan materi pembelajaran, seperti
dalam materi, istighosah dan shalat dhuha, disana salah satu peserta didik
ditunjuk untuk memimpin di depan kemudian diikuti oleh peserta didik
yang lain.
d. Aspek Murid
Murid adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang
atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan (guru).
Dilihat dari kedudukannya, anak didik merupakan makhluk yang sedang
berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya
masing-masing yang memiliki dimensi-dimensi yang sama dengan
manusia dewasa sebagai individu yang memiliki kebutuhan biologis,
psikis mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten
menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya demi terciptanya
praktik pendidikan yang benar-benar humanistik (wawancara ust. Rohim
sebagai guru agama tanggal 22/08/2015 pukul 11.00 WTS). Pada setiap
praktik kependidikan, peserta didik merupakan komponen yang harus
dilibatkan secara aktif dan total. Aktif berarti peserta didik tidak hanya
139
menjadi tempat menabung ilmu pengetahuan gurunya. Dilibatkan secara
total berarti peserta didik harus dianggap sebagai manusia dengan segala
dimensi humanistiknya. Implementasinya, pendidikan tidak hanya
dipandang sebagai proses sosialisasi dengan hanya dipahami sebatas
transformasi nilai- nilai dari generasi dewasa ke generasi yang lebih
mudah. Lebih dari itu, pendidikan hendaknya diformat untuk membentuk
dan mengembangkan hati yang kuat, akal sehat, dan jiwa yang merdeka.
Artinya, dalam praktik pendidikan hendaknya peserta didik diberi
kesempatan berkontemplasi dan berfantasi dengan menghindarkan sedapat
mungkin paksaan bagi anak untuk meniru (Azwar Anas, 1993: 111).
Walaupun secara fitrah anak didik memiliki kecenderungan untuk meniru
yang kuat.
Membina dan mengembangkan potensi kognisi peserta didik
merupakan kegiatan edukasi yang mesti dilakukan. Potensi kognisi adalah
modal awal bagi peserta didik untuk dapat merealisasikan kemampuan
efektif dan psikomotoriknya, mengoptimalkan potensi kognitif dengan
lupa membina dan mengembangkannya. Kedua potensi ini merupakan
prilaku yang tidak adil. Sehubungan dengan hal ini Marwah Daud Ibrahim
menyatakan bahwa proses belajar (pendidikan) tidak hanya
memperhatikan sisi intelektual tetapi juga sisi fisik, perasaan dan motivasi
anak didik. Dalam hal ini anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek
atau sasaran pendidikan sebagaimana disebutkan di atas, melainkan juga
harus diperlukan sebagai subyek pendidikan. Hal ini antara lain dilakukan
140
dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses
belajar mengajar.
e. Aspek Materi
Secara sistematis, materi merupakan komponen yang memainkan
peran penting dalam sebuah proses kependidikan. Sebab pada dasarnya ia
merupakan sekumpulan pengetahuan atau nilai yang ingin disampaikan
oleh pendidik kepada peserta didik, tanpa materi, tidak akan ada
pendidikan. Secara sistematik, materi merupakan komponen yang
memainkan peran penting dalam sebuah proses kependidikan. Sebab, pada
dasarnya ia merupakan sekumpulan pengetahuan (nilai) yang ingin
disampaikan oleh pendidik kepada peserta didik. Tetapi materi, tidak akan
ada pendidikan.
Permasalahan yang perlu disadari adalah bahwa materi bukanlah
tujuan. Dengan demikian, keberhasilan pendidikan tidak semata-mata
diukur dengan lancarnya proses transmisi nilai-nilai (dalam hal ini materi
pelajaran yang terformat dalam kurikulum), melainkan lebih dari sekedar
hal itu. Pendidikan humanistik menganggap materi pendidikan lebih
merupakan sarana, yakni sarana untuk membentuk pematangan humanisasi
peserta didik, jasmani dan ruhani secara gradual. Karena sarat dengan
nilai- nilai (sosial, budaya, ekonomi, etik, dan religius) bahkan nilai
kependidikan itu sendiri, maka materi pendidikan merupakan komponen
yang cukup penting sebagai alat membina kepribadian peserta didik,
namun ini juga tergantung dari bagaimana metode yang diterapkan oleh
141
para pendidik. Menurut Langgulung (1988: 180), materi adalah apa yang
diberikan dalam pendidikan. Walaupun materi ini banyak, tetapi
sebenarnya intinya adalah ilmu yang dibahas dalam falsafah ilmu
(epistemologi). Ini adalah persoalan mengenai “apa” (what).Pengertian
demikian merupakan pengertian yang terbatas dan sempit. Pengertian
seperti ini cocok untuk praktik pendidikan yang material-oriented. Hal itu
kiranya kurang representatif Agus Soejono, sebagaimana dikutip Dja‟far
Hentihu (1988: 62), menyatakan bahwa segala sesuatu yang disajikan oleh
guru dan kemudian dimiliki oleh murid dinamakan bahan pelajaran.
Berangkat dari pengertian ini, bahan pelajaran lebih luas lingkupnya dari
sekedar materi-materi yang terformat dalam kurikulum. Mengingat
pendidikan Islam menganut asas life long education yang interaksi
instruksionalnya dapat terjadi di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat,
maka pengertian seperti itu bisa saja diadopsi. Segala sesuatu yang
disajikan dapat berupa sifat, sikap dan teladan guru di kelas dan di luar
kelas, di samping juga sifat, sikap, dan keluarga dan masyarakat.
Dalam strukturisasi dan klasifikasi demikian, akhirnya
menimbulkan pandangan dualisme dikotomik keilmuan umum dan agama,
dan ini telah menjadi pendapat umum (common sense). Islam tidak
mengenal istilah dualisme-dikotomik keilmuan seperti itu. Dua macam
keilmuan di atas ditempatkan pada posisi yang berimbang. Lebih
gamblang lagi Rasulullah bersabda dalam sebuah hadisnya : “Barang
siapa yang menginginkan dunia, maka atasnya ada ilmu, barang siapa
142
yang menginginkan akhirat maka atasnya ada ilmu dan barang siapa
menginginkan keduanya maka atasnya ada ilmu” UU RI No. 2 tahun 1989
tidak secara tegas memberikan solusi untuk menyatukan sistem pendidikan
yang dikotomik tersebut. Dilihat dari materi (isi kurikulum) yang
dikehendaki, undang-undang ini bahkan terlihat melestarikan status quo
dualisme-dikotomik tersebut (pasal 39 UU RI No. 2 Tahun 1989).
Untuk itu, perlu diadakan suatu terapi dengan menciptakan sistem
pendidikan integralistik, yang tentunya berangkat dari pemahaman integral
terhadap keilmuan dan menghapuskan sama sekali pandangan dualisme
dikotomik keilmuan tadi. Dalam sistem pendidikan yang terintegrasi, tidak
ada pengotak-ngotakan ilmu ke wilayah umum dan agama, walau
klasifikasi ilmu ke dalam ilmu eksakta, ilmu sosial, dan ilmu humaniora
tetap saja ada.
Pengklasifikasian bisa dilakukan terhadap objek ilmu-ilmu itu
sendiri (Bisri, 1995: 26) bukan pengklasifikasian dari segi peran dan
fungsinya. Dalam kerangka ini, materi dan segala jenisnya meski secara
objektif berbeda, namun memiliki keterikatan dan keterikatan satu sama
lain. Integralitas ilmu lebih dipahami sebagai perbaduan yang saling
menjiwai. Dalam hal demikian, bagaimana cabang ilmu-ilmu eksakta
dijiwai oleh ilmu yang lain. Realitas menunjukkan bahwa para ahli ilmu
dan teknologi (saintis) yang tidak membekali dirinya dengan ilmu agama
serta ilmu-ilmu humaniora akan menciptakan seperangkat peralatan
canggih yang justru menghancurkan komunitas manusia itu sendiri.
143
Untuk itu, praktik pendidikan Islam harus mempertimbangkan ini
secara serius. Dan materi pendidikan pada tingkat tertentu memegang
peranan yang sangat penting. Materi ilmu keagamaan harus terus
disampaikan kepada setiap peserta didik. Materi yang memuat
pengetahuan eksakta juga harus terus dimantapkan sesuai dengan laju dan
kecenderungan zaman. Yang tidak kalah pentingnya, dan ini sering
diabaikan, adalah materi-materi yang berdimensi humaniora perlu
digalakkan. Sehubungan dengan ini S. Bayu Wahyono hal: 5
mengemukakan: “Materi yang tercakup dalam bidang humaniora atau
humaniter adalah bidang pengetahuan seperti sejarah kesusastraan,
kesenian dan filsafat”. Masih terkait dengan permasalahan ini, H.R.
Dardiri berkomentar bahwa dalam pengembangan akal manusia (lewat
pendidikan tentunya), yang penting bukan maksimalnya melainkan
optimalnya, yakni dengan pengarahan potensi budi manusia kepada yang
baik (Dardiri, 1986: 6). Maksimal berkaitan dengan seberapa banyak
potensi manusia tergarap dan itu berdimensi kuantitatif.
Sedangkan optimal berikatan dengan seberapa jauh potensi
manusia tergarap dan itu berdimensi kualitatif. Tujuan dan fungsi materi
pendidikan humaniora tidak saja bersifat memberi pengetahuan yang
bersifat kognitif saja, tetapi juga mengajak menghayati, memahami, dan
menyelami berbagai bentuk ekspresi kemanusiaan dengan beragam
dimensinya. Dengan demikian, tidak hanya potensi intelektual peserta
didik yang tergarap, tapi juga masalah kemanusiaannya sendiri, baik
144
secara individu maupun dalam konteks kehidupannya sebagai warga
masyarakat, bahkan bangsa dan negara.
Dengan materi pendidikan humaniora, anak didik bisa
mengembangkan dan memperkaya kepribadiannya sebagai manusia.
Pendidikan humaniora merupakan suatu pengendalian diri menuju kearifan
agar tidak timbul tirani ilmu dan tirani teknologi. Semoga pendidikan
Islam mampu melaksanakan tugasnya mengasah potensi insaniah anak
didik sekaligus mengarahkannya. Dalam hal ini Pendidikan Agama Islam
yang ada di Seangprathip Pulohpuyo Nongchik Pattani ada 2 proses pola
pembentukan karakter dan pola fikir anak didik, yaitu pertama materi-
materi Pendidikan Agama Islam yang sesuai dengan standar kompetensi
dan kompetensi dasar yang dikorelasikan dengan materi-materi yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan permasalahannya.
2. Implementasi Pendidikan Humanis Pada Pembelajaran PAI Terhadap Para
Santri Di Seangprathip Wittaya Mulniti School
Dalam mengimplementasikan nilai-nilai humanisme ke dalam
pendidikan agama Islam terhadap para santri yang di sekolah Seangprathip
Wittaya Mulniti School Pulohpuyo Nongchik, Pattani, hal tersebut sudah
tampak pada pola pendampingan dan pembinaan dari para pendamping
dalam mendampingi santri. Sebagai pandangan kesana, yakni pada saat
para pendamping santri mengajarkan tentang nilai-nilai keagamaan kepada
santri dengan sebuah metode yang harmonis dan menyenangkan, yakni
145
antara pendamping dengan para santri membaur bersama menjadi saudara
tanpa membeda-bedakan antara satu sama lain.
Dengan metode kebersamaan dan kesetaraan yang diaplikasikan
lewat pembelajaran pendidikan agama Islam terhadap para santri dan
siswa-siswi, maka sesungguhnya esensi dari pembelajaran tersebut adalah
menerapkan pendidikan agama Islam sesuai dengan konsep pendidikan
yang humanis. Di sisi lain pendidikan agama Islam yang diajarkan
terhadap siswa-siswi di Seangprathip Wittaya Mulniti School, dapat
dijadikan sebagai landasan berpijak bagi para santri dan siswa-siswi dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Dengan modal nilai-nilai agama, anak akan
mengetahui hak dan kewajibannya, baik kewajiban kepada Allah SWT
yang tercermin kedalam bentuk ibadah ritual, yakni sholat, puasa,
membaca doa, dan sebagainya, maupun hak dan kewajiban terhadap
sesama manusia dan lingkungan sekitar, yang teraplikasi melalui
hubungan sosial kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun implementasi konsep humanis pada praktik pembelajaran
pendidikan agama Islam terhadap para santri yang dikembangkan di
sekolah Seangprathip antara lain sebagai berikut:
a. Sekolah non formal
Yayasan Seangprathip menyediakan sekolah non formal. Di sekolah
ini para siswa-siswi juga mendapatkan pendidikan agama Islam sebagai
pedoman dan bekal hidup. Karena sesungguhnya nilai-nilai keagamaan
dan nilai relegiusitas sangatlah penting dan diharapkan para santri dan
146
siswa-siswi juga mampu untuk mengaplikasikan nilai-nilai relegiusitas
dalam kehidupan mereka sehari-hari, yang tercermin dalam sikap dan
kepribadian mereka.
Misalnya materi pendidikan agama Islam yang diberikan kepada
santri adalah materi keagamaan tentang aqidah atau keimanan. Maka
yang dikatakan beriman kepada Allah adalah percaya akan adanya
Allah. Jika manusia percaya bahwa Allah itu ada, maka ia harus
melakukan apa yang diperintahkan Allah, dan menjauhi segala
larangan-Nya. Jika kita sebagai manusia tidak melaksanakan perintah-
Nya, dan tidak meninggalkan segala larangan-Nya, maka esensinya
adalah kita bukan termasuk hamba yang beriman kepada Allah.
(wawancara kak Shah sebagai guru pelajaran Akhlak 18/08/2015 pukul
10.30 WTS)
b. Diskusi rutin para siswa-siswi
Pelaksanaan rutinitas ini dilakukan dua kali dalam satu bulan,dan
tempatnya tidak menetap. Terkadang dilaksanakan di lingkungan
sekolah dan terkadang juga dilaksanakan di tempat-tempat terbuka
maupun tempat yang menjadi fasilitas umum, dan bebas digunakaan
sebagai tempat diskusi. Peserta diskusi juga tidak terbatas pada para
santri dan siswa-siswi semata namun juga melibatkan masyarakat
umum yang berdomisili di lokasi diskusi.
Materi keagamaan yang disajikan sebagai pokok pembahasan
diskusi juga bervariasi, mulai materi mengenai pandangan agama Islam
147
tentang kekerasan dan ketidakadilan, materi tentang persekawanan,
hak-hak anak, para siswa sebagai bagian dari sistem masyarakat, hingga
peranan masyarakat dalam mengentaskan para siswa, juga sering
didiskusikan. Sedangkan pemateri juga tidak terbatas pada ustadz atau
ustadzah saja, akan tetapi juga mendatangkan pemateri dari luar sesuai
dengan bidang dan keahliannya yang berhubungan dengan
permasalahan yang didiskusikan.
Misalnya materi tentang nilai-nilai keIslaman yang menerangkan
bahwa agama Islam adalah agama yang cinta damai. Maka apabila
orang Islam selalu menggunakan kekerasan, berarti mereka telah
menentang ajaran Islam. Karena segala macam bentuk kekerasan dan
ketidakadilan, tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu,
kelompok-kelompok yang termarginalkan yang selalu memperoleh
ketidakadilan, harus kita tolong untuk memperoleh keadilan
(wawancara ust. Ma‟Yaki sebagai guru kesiswaan 15/08/2015 pukul
08.30 WTS).
c. Problem solving (pemecahan masalah)
Upaya ini dilaksanakan dalam bentuk kelompok, di mana dalam
suatu diskusi kelompok terkadang diadakan sharing (menceritakan
permasalahan) berkenaan dengan permasalahan keagamaan yang
sedang dihadapi oleh para santri. Kemudian para santri diminta untuk
memberikan masukan atau ide pemikiran terkait dengan pemecahan
masalah.
148
Pada proses ini, fungsi dari pendamping hanya sebagai fasilitator
atau moderator. Akan tetapi jika terjadi kebuntuan maka pendamping
akan memberikan sedikit jawaban sebagai rangsangan (stimulant) untuk
mempertajam analisa para santri.
d. Konseling
Upaya konseling berhubungan erat dengan kondisi personal para
siswa-siswi. Melalui konseling, seorang pendamping dapat mengetahui
secara detail dan mendalam persoalan maupun kesulitan yang sedang
dihadapi oleh para siswa-siswi. Pemahaman tentang persoalan yang
dihadapi oleh santri akan mempermudah pendamping untuk
memberikan masukan serta menentukan langkah-langkah terkait dengan
pemecahan (solusi) bagi permasalahan yang sedang dialami oleh santri
(wawancara ustdzah Amal sebagai pengasuh asrama putri 20/08/2015
pukul 16.30 WTS).
e. Pembentukan kelompok kerja dan belajar
Upaya pembinaan terhadap anak jalanan yang dilaksanakan oleh
sekolah Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani, juga
diwujudkan dengan pembentukan kelompok kerja dan belajar para
santri. Dengan adanya pembentukan kelompok kerja dan belajar yang
selalu bergantian akan menciptakan rasa kekeluargaan pada santri
sehingga akan menumbuhkan sikap untuk saling membutuhkan dan
saling menolong antar santri.
149
Misalnya ada santri yang sedang mempunyai permasalahan, dan
terlihat sedih, dengan terbentuknya kelompok belajar dan bekerja antar-
santri, maka santri yang lain akan berusaha membantu dan mencarikan
solusi. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran agama tentang anjuran
berbuat baik terhadap sesam manusia akan terwujud. Selain itu, proses
ini juga akan memupuk rasa saling pengertian, kebersamaan, saling
membantu, dan saling mempercayai antar sesama santri. (wawancara
ustdzah Amal sebagai pengasuh asrama putri 21/08/2015 pukul 17.00
WTS)
Adapun materi-materi pendidikan agama Islam yang diterapkan di
Saengprathip ini adalah materi keagamaan yang sesuai dengan kerangka
dasar agama Islam, yakni materi aqidah, syariah, dan akhlak.
1) Materi aqidah
Materi aqidah yang diterapkan oleh Sekolah Seangprathip
Wittaya Mulniti School ongchik, Pattani, yakni materi tentang
keyakinan kepada Allah, keyakinan kepada Malaikat-malaikat
Allah, keyakinan kepada Kitab suci, keyakinan kepada para Nabi
dan Rosul, keyakinan kepada hari akhir dan keyakinan kepada
Qodo dan Qodar. Dengan keyakinan yang terangkum dalam aqidah
Islam tersebut diharapkan akan menjadi nilai-nilai dan pondasi
dasar bagi para santri dan siswa-siswi untuk melakukan tindakan
dalam kehidupan sehari-hari. (wawancara ust. Ahmad 28/08/2015
11.30 WTS sebagai guru Aqidah)
150
Adapun buku-buku pegangan yang digunakan untuk proses
pembelajaran di sekolah Seangprathip Wittaya Mulniti School
Nongchik Pattani adalah beberapa kitab Aqidah Akhlak dasar
(untuk peserta didik usia 7 -12), serta kitab Aqidah akhlak kelas
VII Mutawasit (terbitan Manhaj Ad-dirosiyyah Islamiyyah
Thailand Selatan) yang biasanya digunakan untuk pengajaran
Aqidah dikelas Madrasah Tsanawiyah (untuk peserta didik usia 13-
18). Selain dari kitab-kitab tersebut, materi untuk pembelajaran
Aqidah disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi para santri
maupun siswa-siswi yang dalam hal ini adalah santri di
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani.
2) Materi Syariah
Materi syariah yang diterapkan oleh sekolah Seangprathip
Wittaya Mulniti School Nongchik, Pattani, ini adalah peraturan-
peraturan atau hukum-hukum Allah yang berhubungan langsung
dengan Allah (hablum minallah) yang teraplikasikan lewat ibadah-
ibadah ritual kepada Allah, seperti shalat, puasa, haji. Adapun
peraturan/hukum Allah yang berhubungan dengan sesama manusia
dan alam sekitar, teraplikasikan dalam kehidupan sosial dengan
masyarakat luas. Dengan peraturan dan hukum Islam ini dapat
dijadikan sebagai pedoman bagi para siswa-siswi dalam kehidupan
sehari-hari.
151
Dalam proses pembelajaran untuk mengenalkan para santri
dengan hukum-hukum Islam, materinya diambil dari bebepara
kitab-kitab Fiqih Islam dasar serta lanjutan. Sumber materi ini tidak
baku atau permanen seperti konsep kurikulum-kurikulum di
sekolah formal, karena sekolah Seangprathip Wittaya Mulniti
School ini merupakan lembaga non formal. Jadi, materi-materi
yang disampaikan juga disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
para santri dan siswa-siswi. (wawancara ustad. Daylan sebagai guru
Fiqh dan pengasuh asrama putra)
3) Materi Akhlak
Materi akhlak ini adalah perbuatan manusia yang berhubungan
dengan baik dan buruk. Materi tentang akhlak yang diterapkan oleh
para santri antara lain akhlak terhadap sesama manusia, akhlak
terhadap lingkungan sekitar (kaitannya dengan cara menjaga dan
melestarikan lingkungan), dan akhlak terhadap diri sendiri
(kaitannya dengan konsep diri untuk melindungi diri sendiri,
misalnya melindungi diri untuk tidak menggunakan obat-obatan
terlarang dan minuman keras dan lain sebagainya). Beberapa
ustadz dalam menyampaikan materi akhlak kepada santri serta
siswa siswi terkadang juga mengambil materi-materi dari kitab-
kitab yang lainnya misalkan kitab Jauharotul Mauhub wa
Munbahatul Qulub serta beberapa sumber lain yang berisi tentang
konsep-konsep hubungan sosial dengan sesama manusia.
152
(wawancara kak Hayati sebagai guru Akhlak 18/08/2015 pukul
10.15 WTS).
4) Materi tentang Baca Tulis Al-Quran
Dengan materi ini, para santri dan siswa-siswi dilatih agar bisa
membaca dan menulis huruf Arab. Materi Baca Tulis Al-Qur‟an
yang digunakan untuk mengajar para santri maupun siswa-sisiwi
adalah beberapa buku Iqra‟ dan Qira‟ati yang berjilid (1-6).
Setelah mereka bisa mengkhatamkan (menyelesaikan) ke- 6 jilid
tersebut, mereka langsung belajar membaca Al-Qur‟an. Akan tetapi
fakta dilapangan menunjukkan bahwa kebanyakan dari para siswa-
siswi dan para santri yang sudah dapat menyelesaikan ke- 6 jilid
tersebut karena kebanyakan para santri dan siswa siswi yang sudah
menginjak usia 14-15 tahun, mereka sudah mulai lancar memebaca
Al-Qur‟an Hal ini bisa disebabkan karena beberapa faktor, antara
lain perkumpulan dan juga kondisi lingkungan keluarga atau
lingkungan sekitar mereka.
Adapun strategi dalam mengimplementasikan pendidikan
humanis yang mencakup ketiga materi diatas dalam pembelajaran
agama Islam terhadappara santri maupun siswa-siswi di
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani, boleh
dikatakan tidak seperti dalam pendidikan formal yang ada dalam
sekolah-sekolah. Jika dalam pendidikan sekolah pengajar disebut
guru, lain halnya dengan pengajar di Sekolah Saengprathi ini,
153
mereka dikenal sebagai pendamping (kakak) para santri dan para
siswa-siswi. (wawancara ustdazah Maimunah sebagai pengasuh
asrama putri dan pengajar Al-qur‟an 21/08/2015 pukul 20.30
WTS).
Istilah ini dipakai karena pendamping para santri merupakan
orang (guru), yang selalu mendampingi para santri untuk
mendapatkan haknya sebagai anak yang merdeka.
Para pendamping para santri di Seangprathip selama ini
berperan sebagai teman, dan juga sebagai saudara santri yang
menekankan adanya pendekatan psiko-sosio-spiritual. Pendamping
para santri di Saengprathip Pattani selalu menggunakan pendekatan
psikologis dalam membantu dalam belajar. Salah satunya adalah
dengan memperhatikan faktor emosionalitas.
Faktor ini sangat berpengaruh dalam interaksi sosial antara
individu dengan lingkungannya. Sementara itu dalam pendekatan
spiritual, pendamping anak jalanan harus jeli meletakan perasaan
ketuhanan anak dalam kesehariannya. Ini perlu mendapat perhatian
karena dilihat dari aspek psikologisnya. Dalam tataran praktek,
proses pembelajaran agama Islam terhadap para santri, pendamping
mengamati para santri supaya dapat melihat setiap perubahan,
dalam belajar pada diri si anak. Dalam proses pembelajaran yang
berlangsung di Seangprathip Wittaya Mulniti School ini, posisi
154
pendamping dan para santri maupun siswa-siswi adalah sebagai
teman atau kawan yang belajar bersama.
Posisi pendamping sebagai mitra, teman belajar, fasilitator, dan
sekaligus sebagai motivator para santri. Para pendamping santri
menggunakan beberapa metode untuk menyampaikan materi-
materi (mencakup materi aqidah, syari‟ah, akhlak, dan BTA) yang
sudah dikonsep oleh sekolah Saengprathip ini. Metode yang
digunakan adalah sebagai berikut:
a) Metode pendidikan dengan keteladanan dan kedisiplinan
Metode ini berkaitan dengan kepribadian para pendamping
para santri, yang dalam hal ini bertujuan agar para santri dan
para siswa-siswi bersikap baik terhadap para pendamping
maupun terhadap sesama para santri. Dan jika para pendamping
selalu disiplin, maka para santri pun akan meniru kedisiplinan
tersebut. Salah satu contohnya dapat dilihat ketika penulis
mengikuti proses pembelajaran di sekolah Seangprathip Wittaya
Mulniti School Nongchik Pattani.
Sebelum pemateri menjelaskan tentang salah satu materi
akhlak dengan tema pentingnya menjaga kesehatan dan
kebersihan, pemateri meminta para santri dan siswa-siswi agar
melihat kondisi di sekeliling lokasi pembelajaran, karena ada
beberapa sampah disekitar tempat tersebut. Kemudian pemateri
mengajak para santri dan siswa-siswi tersebut untuk terlebih
155
dahulu membersihkan lokasi itu. Setelah itu barulah pemateri
menjelaskan materi tentang kebersihan, bagaimana pendapat
Islam tentang kebersihan (dengan menunjukkan salah satu hadist
yang artinya “kebersihan adalah sebagian dari iman”). Selain itu
guru juga menunjukkan dengan memberikan teladan pada santri
dan siswa-siswi agar menjaga kebersihan.
b) Metode pendidikan dengan pembiasaan
Pembiasaan sebagai salah satu metode yang dapat
mengubah seluruh kebiasaan. Metode ini diterapkan di
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani dalam
menjalankan sholat 5 waktu berjamaah, membacaAl-Qur‟an,
dsb. Tujuan dari metode ini agar para santri terbiasa dalam
melakukan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu
contohnya adalah dengan membaca doa sebelum dan sesudah
pembelajaran (di Seangprathip Wittaya Mulniti Nongchik
Pattani, pembelajaran biasanya dimulai dengan bacaan
basmallah dan diakhiri dengan hamdallah). Selain itu juga
dibiasakan kepada para santri agar mengucap hamdallah ketika
mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, mengucapkan
Innalillah ketika tertimpa musibah, dsb.
c) Metode pendidikan dengan nasehat dan bimbingan
Metode ini digunakan ketika para siswa-siswi dan para
santri melakukan perbuatan yang kurang baik, kemudian
156
pendamping memberikan nasehat dan bimbingannya dengan
penuh kasih sayang. Contohnya ketika menyampaikan materi
tentang akhlak, saat melihat ada salah satu santri yang berkata
kasar kepada temannya, pendamping berusaha mendekati dan
menjelaskan pada anak tersebut bahwa berkata kasar tidak
sesuai dengan ajaran-ajaran akhlak dalam Islam yang
menganjurkan untuk bertutur kata yang baik, menghargai teman
dsb.
d) Metode pendidikan dengan pengawasan
Metode ini bertujuan untuk mengetahui akhlak para santri
dan siswa-siswi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu juga
untuk mengetahui sejauh mana perkembangan mereka dalam
menguasai materi. Metode ini digunakan dalam penyampaian
materi Baca Tulis Al-Qur‟an. Dalam materi ini guru mempunyai
catatan prestasi para santri dan siswa-siswi dalam membaca Al-
Qur‟an.
e) Metode musyawarah dan diskusi
Tujuan dari metode ini adalah untuk melatih anak
menyelesaikan suatu permasalahan dengan cara bersama-sama.
Metode ini juga menganggap bahwa para santri mampu
menyalurkan ide, gagasan, serta potensi yang harus
dikembangkan secara proporsional dan tidak malu. Misalnya
saat utadz dan ustadzah memberikan sebuah persoalan yang
157
berkaitan dengan hukum-hukum Islam agar didiskusikan oleh
para santri dengan membagi mereka menjadi beberapa
kelompok.
f) Metode tanya jawab
Metode tanya jawab adalah metode mengajar yang
memungkinkan terjadinya komunikasi langsung, saat yang sama
terjadi dialog antara guru dan siswa (dalam hal ini adalah
pendamping dan anak jalanan). Pendamping bertanya, santri
menjawab, atau santri bertanya, pendamping menjawab. Hal ini
terlihat saat penyampaian materi tentang aqidah Islam
(contohnya: menanyakan berapa malaikat yang harus diketahui
atau bertanya tugas-tugas malaikat dsb). Dalam komunikasi ini
terlihat adanya hubungan timbal balik secara langsung antara
pendamping dan anak jalanan. Melalui metode ini siswa diberi
kesempatan untuk menanyakan semua permasalahan baik
kesulitan-kesulitan tentang keagamaan maupun permasalahan
lain yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
g) Metode melalui kisah atau cerita
Dengan menceritakan kisah dari para tokoh yang baik dan
sukses, maka hal tersebut dapat dijadikan menjadi sebuah
pelajaran yang berharga. Misalnya dengan menceritakan kisah-
kisah keteladanan para Nabi dan Wali dalam Islam serta
158
menjelaskan hikmah yang dapat diambil dari cerita- cerita Nabi
serta Wali tersebut yang sering diambil dari dalam Al-Qur‟an.
h) Menyeimbangkan antara metode reward (memberikan pujian
atau hadiah) dan punishment (hukuman).
Metode reward untuk memotivasi anak agar semangat
dalam belajar karena apresiasi dari guru, dan metode hukuman
bertujuan agar anak menjadi jera dan tidak mengulangi
perbuatan yang salah. Contohnya dengan memberikan pujian
ketika anak menjawab pertanyaan dari pendamping (meskipun
jawabannya salah), serta memberikan hukuman yang edukatif
ketika para santri atau siswa-siswi terlambat datang ke sekolah
(contoh hukuman: berbaris sendiri menyanyikan lagu
kebangsaan dan lagu mars sekolah dan doa sebelum masuk kelas
di lapangan dan sebagainya.
Materi-materi (aqidah, syari‟ah, akhlak, dan Baca Tulis Al-
Qur‟aan) terhadap para murid-murid tersebut disampaikan
dalam jangka waktu yang tak tentu, tidak seperti disekolah
formal yang ada batasan semester. Untuk mengetahui sejauh
mana perkembangan yang dicapai para santri dalam menguasai
materi-materi yang disampaikan oleh pendamping dapat
diketahui melalui proses evaluasi. Evaluasi adalah suatu alat
untuk mengukur sampai dimana penguasaan peserta didik,
terhadap materi yang disampaikan.
159
Proses evaluasi pendidikan agama Islam di Seangprathip
Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani, juga menggunakan
tes secara teratur dan sudah terjadwal, dan juga menggunakan
nilai raport dalam bentuk ujian. Akan tetapi pelajaran yang non
formal, hanya di lihat dari akhlaknya, adabnya, dan
sosialisasinya. Evaluasi juga bisa dilaksanakan oleh santri tanpa
menunggu para pendamping pelajar mengadakan evaluasi secara
lisan maupun tertulis. Hasilnya dapat dilihat dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Sedangkan evaluasi terhadap pendamping,
para pelajar tanpa segan-segan memberikan saran dan kritik
kepada para pendamping pelajar demi kebaikan bersama.
160
BAB IV
ANALISIS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN HUMANIS PADA
PEMBELAJARAN PAI STUDI KASUS DI SEANGPRATHIP
WITTAYA MULNITI SCHOOL
A. Analisis Konsep Pendidikan Humanis Pada Pembelajaran PAI Studi
Kasus di Seangprathip Wittaya Mulniti School
Konsep pendidikan yang selama ini diterapkan oleh sekolah
Seangprathip adalah konsep pendidikan dengan pola pendampingan dan
pembinaan secara intensif. Pola pendampingan yang dilaksanakan oleh
Seangprathip Nongchik ini juga tidak terbatas pada pendampingan para
pelajar dalam bidang pendidikan (proses belajar mengajar) saja, akan tetapi
mencakup pendampingan terhadap para santri dan siswa-siswi secara
komprehensif dalam semua permasalahan yang dihadapi oleh pelajar. Dan
ketika santri sedang mengalami permasalahan, para pendamping akan
berusaha mendampingi para pelajar untuk mencari solusi bagi permasalahan
yang mereka hadapi.
Dapat dikatakan bahwa sebenarnya konsep pendidikan agama Islam di
Seangprathip Nongchik adalah konsep pendidikan agama yang
mengedepankan pada nilai-nilai kekeluargaan dan saling menyayangi. Hal
ini terlihat dari proses belajar mengajar para pelajar yang berlangsung di
Seangprathip Nongchik, dengan sikap para pendamping yang senantiasa
mendampingi belajar para santri dan siswa dengan sabar, bijaksana, dan
berusaha mengerti terhadap kebutuhan psikologi santri dan murid. Dalam
161
berinteraksi dengan pelajar, para pendamping memandang pelajar sebagai
pribadi yang utuh, sama seperti anak lainnya yang mempunyai potensi untuk
dikembangkan secara proporsional agar menjadi anak yang kreatif. Hal ini
mencerminkan sebagaimana yang diungkapkan Mas‟ud (2002: 276), tentang
konsep pendidikan humanis, bahwa dalam perspektif pendidikan humanis,
guru (dalam hal ini adalah pendamping pelajar) tidak dibenarkan
memandang anak didik dengan sebelah mata, tidak sepenuh hati, atau
bahkan memandang rendah kemampuan siswa. Dalam proses pembelajaran
seharusnya posisi guru dan siswa adalah sama-sama belajar. Dalam hal ini
guru sebagai mitra, teman belajar, fasilitator, dan sekaligus sebagai
motivator siswa.
B. Analisis terhadap Pendidikan Agama Islam di Seangprathip Wittaya
Mulniti School.
Nilai-nilai agama merupakan pondasi dasar bagi manusia dalam
menjalani hidupnya. Oleh karena itu pendidikan agama Islam harus
diberikan kepada anak sejak dini, agar nilai-nilai agama dapat tertanam kuat
dan berakar dihati anak, sehingga nantinya dapat diamalkan dalam
kehidupan sehari-harinya. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh
Abdurrahman Saleh, bahwa pendidikan agama Islam merupakan usaha
sadar berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik supaya setelah
selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran
agama Islam, serta menjadikannya sebagai way of life (jalan kehidupan)
(Zuhairini, 1993: 10).
162
Dengan modal agama ini anak akan mengetahui hak dan
kewajibannya baik dalam hubungan secara langsung dengan Allah,
hubungan dengan sesama manusia, maupun hubungan manusia dengan
lingkungan sekitar. Jadi pada dasarnya pendidikan agama Islam sangat
berpengaruh pada pembentukan kepribadian semua anak, tidak terkecuali
para santri. Oleh karena itu, pendidikan agama Islam juga diterapkan di
Seangprathip Nongchik, Pattani. Adapun materi pendididikan agama Islam
bagi para pelajar adalah materi Aqidah, Syariah, Akhlak, dan juga Baca
TulisAl-Qur‟an. Materi tersebut menjadi suatu hal yang sangat penting
untuk diperhatikan, sebab pemilihan materi yang tepat akan menunjang
tercapainya tujuan dari proses pendidikan tersebut. Tanpa adanya materi
yang tepat sesuai dengan kondisi anak, baik dilihat dari sisi jiwa (psikis),
fisik, sosial dan latar belakang para murid, niscaya penyampaian materi
dalam proses pendidikan para santri tidak akan berhasil.
Berdasarkan materi pendidikan agama Islam terhadap anak para
pelajar di Seangprathip Nongchik adalah materi Aqidah, Syariah, Akhlak,
dan BacaTulis Al-Qur‟an. Materi tersebut telah memenuhi aspek atau segi
kehidupan manusia lahir maupun batin dan mencakup bentuk komunikasi
vertikal dan horizontal. Materi tersebut sangat menunjang proses pendidikan
agama Islam yang tidak hanya menekankan pada kesemarakan ritual (ibadah
ritual) saja, akan tetapi juga diseimbangkan dengan materi agama yang
menekankan pada kesalehan sosial (hubungan manusia dengan manusia, dan
juga manusia dengan alam) para pelajar dapat mengaplikasikan ajaran-
163
ajaran agama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun materi-materi
pendidikan agama Islam yang ada di Seangprathip Nongchik tersebut masih
bersifat umum dan global serta belum diperinci kedalam satuan kurikulum
pendidikan agama Islam seperti yang selama ini sudah diterapkan di
sekolah-sekolah formal. Akan tetapi dalamp roses penyampaian materi
pendidikan agama Islam terhadap pelajar tersebut disesuaikan dengan situasi
dan kondisi dari para santri dan siswa-siswi.
Hal ini dikarenakan bahwa pendidikan agama Islam terhadap para
santri di Seangprathip bukan merupakan pendidikan formal. Akan tetapi
merupakan bentuk pendidikan alternatif untuk membekali pelajar dengan
nilai-nilai kegamaan sebagai pedoman dalam kehidupannya kelak. Oleh
karena itu dalam pelaksnaannya pun masih harus menyesuaikan dengan
kebutuhan dari para pelajar, dan juga mengingat bahwa kondisi para pelajar
tidak bisa dipaksa dalam menerima pembelajaran, akan tetapi harus dengan
cara yang lemah lembut dan mengerti kondisi psikologi mereka.
Dengan adanya materi pendidikan agama Islam yang mencakup aspek
Aqidah, Syariah, Akhlak, dan juga materi Baca Tulis Al-Qur‟an yang
diterapkan oleh yayasan Seangprathip terhadap para pelajar, sesungguhnya
sudah mencakup materi pendidikan agama Islam yang menyeimbangkan
pada aspekritual dan juga kesalehan sosial dengan sesama manusia dan juga
lingkungan sekitar.
Hanya saja teknis penyampaian materi tersebut belum disajikan dalam
bentuk kurikulum yang diorganisir secara secara jelas dan rapi. Dengan
164
demikian dapat dikatakan bahwa materi Pendidikan Agama Islam terhadap
para pelajar di Seangprathip telah mencakup ranah vertikal maupun
horizontal, walaupun masih perlu ada pembenahan-pembenahan dalam
pelaksanaannya menuju kearah yang lebih baik lagi. Adapun sikap dari para
pendamping dalam proses belajar dan mengajarkan pendididikan agama
Islam di Seangprathip Nongchik selamaini, lebih mengutamakan sikap yang
sabar, penyanyang, tidak membeda-bedakan antar individu, dan juga sikap
yang arif dan bijaksana dalam mengambil keputusan agar tidak
menyinggung ataupun menyakiti terhadap para pelajar. Karena mayoritas
para pelajar sensitif dan mudah tersinggung. Oleh karena itu mereka butuh
perhatian dan pendampingan secara kontinu dalam menanamkan nilai-nilai
keagamaan kepada mereka.
Dalam menyampaikan materi pendidikan agama Islam, para
pendamping tidak memandang para pelajar sebagai anak yang bodoh. Sebab
memandang bahwa anak sebagai sosok yang bodoh bukan merupakan ciri-
ciri dari pendidikan humanis. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Baharuddin dan Makin (2007: 111), bahwa tujuan dari pendidikan humanis
adalah terciptanya satu proses dan pola pendidikan yang senantiasa
menempatkan manusia sebagai manusia. Yaitu manusia yang memiliki
segala potensi yang dimilikinya, baik potensi yang berupa fisik, psikis,
maupun spiritual, yang perlu untuk mendapatkan bimbingan. Kemudian
yang perlu menjadi catatan adalah bahwa masing-masing potensi yang
dimiliki oleh manusia itu berbeda satu dengan yang lainnya. Dan semuanya
165
itu perlu sikap arif dalam memahami, dan saling menghormati serta selalu
menempatkan manusia yang bersangkutan sesuai dengan tempatnya masing-
masing.
Dalam pendidikan humanis tugas seorang guru adalah bertindak
sebagai suri tauladan dalam kehidupan akademis siswa serta menunjukkan
sikap kasih sayang dan juga bertindak sebagai fasilitator, yang lebih
mengutamakan bimbingan, menumbuhkan kreatifitas siswa serta interaktif
dan komunikatif dengan siswa. Konsep pendidikan humanis tersebut juga
terlihat dalam pembelajaran pendidikan agama Islam yang selama ini
diterapkan oleh Saengprathip yang mengedepankan konsep pendidikan
dengan pola pendampingan dan pembinaan secara intensif, interaksi
komunikatif antara pembina dengan para pelajar merupakan suatu bentuk
komunikasi yang menekankan pada kekuatan dialog secara langsung dari
hati ke hati. Dalam konteks ini para pelajar diposisikan bukan sebagai orang
lain namun layaknya sebagai saudara sendiri. Pembina sebagai seorang
kakak, sedangkan para pelajar sebagai seorang adik. Harapan dari bentuk
komunikasi semacam ini adalah sebagai berikut:
a. Para pelajar dapat lebih leluasa dalam mengutarakan persoalan mereka
tanpa ada rasa canggung.
b. Para pelajar dapat merasakan suasana kekeluargaan dalam kesulitan hidup
yang sedang mereka hadapi.
166
c. Para Pelajar tidak menghindar dari para pembina, karena mereka
menyadari benar bahwa pembina bukanlah sosok yang menakutkan
sehingga harus menjauh.
d. Pembina dapat dengan leluasa dalam mendampingi para pelajar, tanpa
adanya rasa keterasingan terhadap pola hidup yang keras.
e. Terbentuknya empati yang mendalam pada diri pembina terhadap
kesulitan hidup yang dialami para pelajar.
Meskipun konsep pendampingan terhadap para pelajar yang ada di
Seangprathip Nongchik merupakan konsep pendampingan yang intensif,
akan tetapi dalam aplikasinya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Akan tetapi dalam mendampingi proses belajar para pelajar, para
pendamping pelajar di Seangpragthip Nongchik harus lebih sabar, dan juga
harus dilandasi dengan keikhlasan dan ketelitian dalam mengawal
perkembangan sikap keberagamaan pelajar. Hal ini penting untuk
diperhatikan, karena kecenderungan pelajar yang bersifat keras, maka
dibutuhkan pendekatan yang kontinu untuk mengetahui kebutuhan psikologi
mereka. Kondisi dansifat pelajar yang keras, apabila kita mengajarkan
sesuatu dengan cara yang keras pula, maka mereka akan lari dan tidak mau
belajar lagi dengan kita. Oleh karena itu dalam pola pendampingan terhadap
para pelajar, harus menggunakan cara yang halus dan mengedepankan nilai-
nilai kemanusiaan.
Dalam hal ini seringkali para pendamping pelajar tidak
mampubertahan dalam memberikan pendampingan pendidikan agama Islam
terhadap para pelajar karena mereka tidak mempunyai kesabaran yang
167
cukup untuk mengatasi sikap para pelajar yang keras dan nakal. Akibatnya
tujuan pendidikan agama Islam terhadap para pelajar pun tidak berhasil
secara maksimal. Oleh karena itu perlu pendekatan yang harmonis dan
humanis, yakni pendekatan secara emosional dari hati kehati, dan mencoba
mengerti kondisi kebutuhan psikologi para santri dan siswa-siswi. Para
pelajar diposisikan sebagai manusia yang mempunyai dimensi kemampuan
yang sama juga dengan manusia yang lebih dewasa dari mereka, sehingga
dalam proses pelaksanaan pembelajaran, para pelajar dilibatkan secara aktif
dalam berbagai kegiatan.
Hal ini memang sulit dan hanya akan berhenti pada dataran konsep
saja jika tidak dicoba dilaksanakan secara kontinu. Karena sesngguhnya
proses pendampingan pendidikan agama Islam terhadap santri merupakan
suatu hal yang harus dilaksanakan mengingat pelajar juga merupakan anak
bangsa dan generasi penerus karajaan Thailand kedepan. Kalau para pelajar
tidak dibekali dengan pendidikan agama Islam, lantas bagaimana akhlak dan
moral mereka kelak setelah dewasa? Oleh karena itu pendidikan agama
Islam terhadap pelajar merupakan tanggung jawab kita bersama dalam
mempersiapkan generasi bangsa yang beriman dan bertaqwa kepada Allah.
C. Analisis Implementasi Pendidikan Humanis Pada Pembelajaran PAI
Terhadap Pelajar di Seangprathip Wittaya Mulniti School
Implementasi pendidikan humanis dalam pembelajaran pendidikan
agama Islam terhadap para pelajar merupakan sebuah kebutuhan yang harus
segera dilakukan, karena melihat keberadaan para remaja (dengan pola
168
kehidupan yang bebas, yakni dunia kerusuhan yang sangat rawan oleh
perkelahian, pencopetan, pemerkosaan, budaya minuman keras, obat-obatan
terlarang, hingga free sex). Maka dengan realita tersebut para pelajar sangat
membutuhkan pendampingan dan pembinaan keagamaan agar dalam jiwa
para pelajar tertanam nilai-nilai keagamaan. Dan nilai-nilai keagamaan
tersebut diharapkan dapat menjadi konsep diri bagi para pelajar untuk
membentuk kesalehan pribadi dan sekaligus dapat membentuk kesalehan
sosial yang dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-harinya.
Dalam memberikan pendampingan dan pembinaan keagamaan
terhadap para pelajar, maka membutuhkan pendekatan-pendekatan atau
cara-cara yang humanis, lemah lembut, saling menyayangi, dan
pendampingan yang berusaha mengerti kondisi dan kebutuhan psikologi
pelajar. Dengan demikian implementasi pendidikan agama Islam yang
dikemas dengan pola pendekatan yang humanis terhadap para pelajar akan
mudah diterima oleh para pelajar meskipun mereka terbiasa dengan
kehidupan yang keras di dunia pesantren.
Dalam mengimplementasikan nilai-nilai humanis ke dalam pendidikan
agama Islam terhadap para pelajar di Seangprathip Wittaya Mulniti School
Nongchik, Pattani, hal tersebutsudah tampak pada pola pendampingan dan
pembinaan dari para pendamping dalam mendampingi para pelajar. Sebagai
pandangan kesana, yakni pada saat para pendamping pelajar mengajarkan
tentang nilai-nilai keagamaan kepada seluruh santri dengan sebuah metode
yang harmonis dan menyenangkan, yakni antara pendamping dengan pelajar
169
membaur bersama menjadi saudara tanpa membeda-bedakan antara satu
sama lain.
Dengan metode kebersamaan dan kesetaraan yang diaplikasikan lewat
pembelajaran terhadap siswa, maka sesungguhnya esensi dari pembelajaran
tersebut adalah sesuai dengan konsep pendidikan humanis. Metode yang
diterapkan Seangprathip Nongchik Pattani, sejalan dengan prinsip-prinsip
yang ada dalam pendidikan humanis bahwa yang dilaksanakan oleh guru
dalam proses belajar mengajar harus lebih menekankan pada pengembangan
kreativitas, penajaman hati nurani, dan religiusitas siswa, serta
meningkatkan kepekaan sosialnya. Prinsip-prinsip penerapan metode dalam
pendidikan humanis tersebut antara lain:
1. Prinsip memberikan suasana kegembiraan.
2. Prinsip memberikan layanan dan santunan dengan lemah lembut.
3. Prinsip komunikasi terbuka.
4. Prinsip pemberian pengetahuan baru.
5. Prinsip memberi model yang baik. (Baharudin dan Makin (2007: 196)
Di sisi lain pendidikan agama Islam yang diajarkan terhadap para
pelajar di Seangprathip Wittaya Mulniti School dapat dijadikan sebuah
konsep diri atau pondasi sebagai landasan berpijak bagi siswa dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Dengan modal nilai-nilai agama, anak akan
mengetahui hak dan kewajibannya, baik kewajiban kepada Allah SWT yang
tercermin kedalam bentuk ibadah ritual, yakni sholat, puasa, membaca doa,
170
dan sebagainya, maupun hak dan kewajiban terhadap sesama manusia dan
lingkungan sekitar.
Namun dalam proses pelaksanaan di lapangan implementsi
pendidikan humanis pada pembelajaran pendidikan agama Islam terhadap
pelajar terdapat beberapa kendala antara lain kondisi dan watak pelajar yang
cenderung bersifat keras, dengan latar belakang mereka yang sudah terbiasa
hidup di dunia pemberontakan. Oleh karena itu dibutuhkan sikap yang sabar
dan pendekatan yang kontinu dalam memberikan pendampingan pendidikan
agama Islam dan berusaha memenuhi kebutuhan psikologi mereka.
(wawancara uts. Daud sebagai guru Aqidah dan sebagai bagian kesiswaan
26/08/2015 pukul 11.00 WTS)
Adapun materi pendidikan agama Islam yang diterapkan dalam proses
pembelajaran di Seangprathip Nongchik Pattani yaitu materi Aqidah (yang
berisi tentang landasan keimanan kepada Allah, malaikat, kitab suci dsb.),
materi Syari‟ah (yang berisi tentang hukum-hukum Islam), materi Akhlak
(ajaran tentang hubungan sosial manusia dan alam), dan materi tentang baca
dan tulisAl-Qur‟an. Secara substansi materi pendidikan agama Islam
tersebut sudah sesuai dengan konsep yang ada dalam pendidikan humanis,
meskipun dari kacamata pendidikan formal belum mampu mengaplikasikan
syarat materi pendidikan yang harus menyesuaikan dengan kurikulum yang
ditetapkan oleh pemerintah. Karena memang pendidikan agama Islam yang
ada di Seangprathip Nongchik Pattani bukan termasuk pendidikan formal,
akan tetapi merupakan pendidikan alternatif bagi para pelajar dan para
171
siswa, agar dalam jiwa pelajar tertanam nilai-nilai ajaran Islam untuk dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun pelaksanaan pendidikan agama Islam terhadap para pelajar di
Seangprathip Nongchik Pattani masih disesuaikan dengan situasi dan
kebutuhan dari pelajar.Adapun implementasi konsep humanis pada praktik
pembelajaran pendidikan agama Islam terhadap pelajar yang dikembangkan
di Seangprathip Nongchik Pattani antara lain sebagai berikut:
1. Analisis Sekolah non formal
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani, yaitu sekolah
yang mendidik pelajar untuk menjadi kader-kader penerus kerajaan yang
mendidik untuk menjadi seorang guru dan mendapatkan pendidikan
agama Islam sebagai pedoman dan bekal hidup pelajar. Karena
sesungguhnya nilai-nilai keagamaan dan nilai relegiusitas sangatlah
penting, dan diharapkan pelajar juga mampu untuk mengaplikasikan
nilai-nilai relegiusitas dalam kehidupan mereka sehari-hari, yang
tercermin dalam sikap dan kepribadian mereka. Sekolah tersebut
merupakan bukti nyata bahwa Seangprathip Wittaya Mulniti School
Nongchik Pattani selama ini memang merupakan yayasan yang sangat
peduli terhadap keberadaan dan nasib dari anak remaja, terutama di
bidang pendidikan.
Usaha Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani dalam
menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk sekolah non formal untuk
pelajar membuktikan bahwa Seangprathip Wittaya Mulniti School
172
Nongchik Pattani sangat peduli terhadap kondisi pendidikan bagi para
pelajar. Sebenarnya masalah pendidikan bagi anak remaja merupakan
permasalahan yang sangat penting, dan merupakan permasalahan
kitabersama. Namun yang terjadi, sangat sedikit pihak-pihak yang peduli
terhadap nasib pendidikan terhadap para remaja yang tinggal di Thailand
Selatan. Meskipun merupakan sekolah formal akan tetapi dalam praktek
pembelajarannya sudah mengakomodir hakekat pendidikan yang
merupakan proses memanusiakan manusia. Paolo Freire mendefinisikan
pendidikan sebagai upaya pembebasan manusia dari segala ketertindasan.
Itulah hakekat pendidikan secara sederhana (Andim, 2006: 6). Logika
sederhananya adalah seseorang yang semula tidak tahu terhadap sesuatu
kemudian melalui proses pendidikan atau pembelajaran akhirnya menjadi
tahu.
Dari definisi Freire tersebut kita bisa melihat bahwa sekolah yang ada
di Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani merupakan
proses pendidikan humanis juga, meskipun bukan merupakan sekolah
formal. Selain itu hubungan dan pola pendampingan terhadap para siswa
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani telah
menunjukkan hubungan kekeluargaan antar individu. Demikian pula
mengenai sistem keberagamaan di Seangprathip Nongchik Pattani,
terlihat dari para pengelola Seangprathip Nongchik Pattani dan juga para
pendamping santri yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberagamaan dan
nilai relegiusitas. Hal inilah yang menyebabkan Seangprathip Wittaya
173
Mulniti School Nongchik Pattani berupaya keras untuk
menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar pendidikan agama Islam
terhadap para pelajar.
Menurut penulis, kalau tidak dilandasi oleh semangat keberagamaan
dan relegiusitas yang tinggi dari pengelola Seangprathip Wittaya Mulniti
School Nongchik Pattani, jauh dari kemungkinan pendidikan agama
Islam terhadap para pelajar di Seangprathip Wittaya Mulniti School
Nongchik Pattani ini dapat terwujud.
2. Analisis diskusi rutin pelajar
Diskusi rutin para pelajar ini akan melatih anak untuk berfikir dan
menyampaikan ide maupun gagasan mereka kepada orang lain. Dengan
arena diskusi yang tidak hanya terdiri dari pelajar saja, akan tetapi para
pendamping juga ikut didalamnya. Mereka akan bisa bertukar pendapat
antara satu dengan yang lain. Materi keagamaan yang disajikan sebagai
pokok pembahasan diskusi juga bervariasi, mulai materi mengenai
pandangan agama Islam tentang kekerasan dan ketidak adilan materi
tentang persekawanan, hak-hak anak, santri sebagai bagian darisistem
masyarakat, hingga peranan masyarakat dalam mengentaskan anak
remaja, juga sering didiskusikan.
Dalam forum diskusi yang seringkali diadakan di tempat-tempat
terbuka ini akan membawa suasana kebersamaan, kekeluargaan, dan juga
kebebasan. Mereka semua, baik pendamping, dan juga para pelajar akan
bisa menyatu dengan alam di tempat terbuka. Dengan demikian semangat
174
belajar, dan juga sikap untuk lebih mencintai alampada para pelajar akan
tumbuh dan bertambah.
3. Analisis problem solving (pemecahan masalah)
Problem solving (pemecahan masalah) ini adalah sebagai upaya untuk
sharing (mencurahkan segala permasalahan), berkenaan dengan
permasalahan keagamaan yang sedang dihadapi oleh para pelajar. Di sini
siswa dilatih untuk belajar memecahkan suatu permasalahan. Dengan
keberadaan pendamping yang berfungsi sebagai fasilitator,
makakeputusan pun diserahkan kepada siswa. Akan tetapi jika terjadi
kebuntuan maka pendamping akan memberikan sedikit jawaban sebagai
rangsangan (stimulant) untuk mempertajam analisa siswa.
Seperti yang dijelaskan oleh Mas‟ud (2006 :149) bahwa salah satu
tujuan pendidikan humanis adalah menyentuh ranah potensi peserta didik
untuk dikembangkan secara proporsional yang berorientasi pada
pengembangan sumber daya manusia. Dengan menerapkan kegiatan
problem solving untuk para pelajar, Seangprathip Wittaya Mulniti School
Nongchik Pattani berusaha untuk menggali potensi mereka agar mampu
memecahkan setiap persoalan, agar dapat diterapkan dalam kehidupan
mereka sehari- hari ketika menghadapi sebuah persoalan.
4. Analisis konseling
Melalui konseling, para pendamping siswa dapat mengetahui secara
detail dan mendalam persoalan maupun kesulitan yang sedang dihadapi
oleh siswa. Pemahaman tentang persoalan yang dihadapi oleh siswa akan
175
mempermudah pendamping untuk memberikan masukan serta
menentukan langkah-langkah terkait dengan pemecahan (solusi) bagi
permasalahan yang sedang dialami oleh pelajar Seangprathip Wittaya
Mulniti School Nongchik Pattani. Metode ini seperti merefleksikan salah
satu metode dalam pengajaran yang disebutkan oleh Abdul Majid dan
Dian Andayani dalam bukunya Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi (2004: 101), yaitu metode dialog kreatif, yaitu salah satu
cara untuk melibatkan siswa secara langsung berdialog dengan guru
tentang suatu permasalahan yang sedang dihadapi. Bentuk konseling ini
adalah lebih rahasia, kerena kebanyakan pelajar tidak ingin
permasalahannya diketahui oleh orang banyak. Dan para pendamping
juga mengerti kebutuhan psikologis dari siswa, apa yang diinginkan dan
apa yang tidak diinginkan oleh para siswa.
5. Analisis pembentukan kelompok kerja dan belajar
Zuhairini menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Metodik Khusus
Pendidikan Islam (1983: 80), bahwa ada beberapa metode dalam proses
pembelajaran, salah satunya adalah dengan membentuk kelompok
belajar. Dengan adanya pembentukan kelompok belajar di Seangprathip
Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani, akan menciptakan perasaan
yang sama di kalangan pelajar sehingga dapat menumbuhkan sikap saling
membutuhkan dan saling menolong antar para pelajar. Misal ada siswa
yang mempunyai masalah, dan terlihat sedih. Dengan terbentuknya
kelompok belajar antar siswa, maka anak yang lain akan berusaha
176
membantu semaksimal mungkin. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran
agama tentang anjuran untuk berbuat baik terhadap sesama manusia akan
terwujud.
Selain itu, proses ini juga akan memupuk rasa saling pengertian,
kebersamaan, saling membantu, dan saling percaya di kalangan siswa.
Maka pada proses ini nilai-nilai humanis akan tertanamkan pada jiwa
pelajar. Adapun proses evaluasi dalam pembelajaran pendidikan agama
Islam terhadap para pelajar yang dilakukan oleh Seangprathip Wittaya
Mulniti School Nongchik Pattani adalahdengan cara sharing
(menceritakan masalah) dan diadakannya tes semester untuk melihat
perkembangan para pelajar sebagai wawasan yang lebih dari yang lain.
Proses evaluasi tersebut agaknya kurang efektif dan kurang sesuai
dengan apa yang diungkapkan oleh Nana Sudjana (1980: 22), bahwa
evaluasi adalah upaya atau tindakan untuk mengetahui sejauh mana
tujuan yang telah ditetapkan itu, tercapai atau tidak. Meskipun secara
substansi Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani sudah
melakukan proses evaluasi, akan tetapi metode evaluai yang dilakukan
tidak bisa dijadikan standar pencapaian perkembangan belajar siswa
karena tidak ada tes sebagai cerminan apakah para siswa menguasai
materi atau tidak.
Hal ini dikarenakan beberapa hal yang mencakup keterbatasan
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani dari segi
finansial maupun tenaga pengajarnya, sehingga evaluasi yang dilakukan
177
hanya sekedar sharing (menceritakan masalah) dan tes, pengamatan dari
pendamping santri dalam kehidupan sehari-hari. Sementara para
pendamping santri tidak sepanjang hari bisa menemani para siswa binaan
mereka. Secara garis besar, fungsi evaluasi dalam pembelajaran adalah
sebagai berikut :
a. Untuk mengukur kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah
melakukan kegiatan belajar mengajar selama jangka waktu tertentu;
b. Untuk mengukur sampai di mana keberhasilan system pengajaran
yang dipergunakan;
c. Sebagai bahan pertimbangan dalam rangka melakukan perbaikan
proses belajar mengajar. (Sudjana, 1980: 277)
Oleh karena itu proses evaluasi pendidikan agama Islam di
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani masih terbilang
sangat sederhana dan kurang efektif untuk mengukur kemajuan dan
perkembangan anak setelah melakukan kegiatan belajar mengajar
pendidikan agama Islam selama jangka waktu tertentu.
D. Manfaat Pendidikan Humanis pada Pembelajaran PAI di Seangprathip
Wittaya Mulniti School
Pendidikan humanis adalah proses pendidikan penganut aliran
humanisme, yang berarti proses pendidikan yang menempatkan seseorang
sebagai salah satu subyek (pelaku) terpenting dalam pendidikan. Hal itu
berarti pendidikan yang di dalamnya selalu mengutamakan kepentingan
manusia sebagai seseorang yang senantiasa harus mendapatkan segala
178
haknya sebagai manusia yang merdeka. Hak yang dimaksud adalah hak
untuk dihargai sebagai manusia yang mempunyai potensi, hak untuk
dihormati, hak untuk diperlakukan sebagai manusia yang merdeka.
Sedangkan tujuan dari pendidikan humanis adalah terciptanya satu proses
dan pola pendidikan yang senantiasa menempatkan manusia sebagai
makhluk yang memiliki segala potensi, baik potensi yang berupa fisik,
psikis, maupun spiritual, yang perlu untuk dibimbing dan dikembangkan
secara proporsional.
Adapun pembelajaran pendidikan agama Islam bertujuan untuk
mengembangkan fitrah keberagamaan peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa melalui peningkatan, pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan ajaran Islam. Pendidikan agama Islam merupakan kelanjutan
dari peran agama yang tentunya tidak hanya sekedar mengajarkan tindakan-
tindakan ritual kepada Allah semata, akan tetapi juga dapat membentuk
keseluruhan tingkah lakumanusia dalam rangka memperoleh ridho Allah.
Pendidikan agama Islam terhadap para pelajar di Seangprathip
Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani diharapkan mampu membentuk
kesalehan pribadi dan sekaligus kesalehan sosial dengan cara menanamkan
nilai-nilai agama Islam yang dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya implementasi pendidikan agama Islam yang humanis di
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani, maka manfaat yang
diperoleh oleh pelajar antara lain:
179
1. Para pelajar dapat mengetahui nilai-nilai agama Islam melalui proses
pembelajaran di tempat terbuka yang tidak mengekang peserta didik.
2. Dengan adanya pendidikan agama Islam, maka pelajar akan mempunyai
konsep diri tentang keagamaan sebagai kontrol dalam perilaku sehari-
harinya agar tidak terpengaruh dengan perbuatan yang dapat merugikan
dirinya sendiri dan juga masyarakat.
3. Dengan adanya pendidikan agama Islam, maka dalam diri para pelajar
akan terbentuk akhlak yang terpuji, baik akhlak kepada Allah, akhlak
kepada sesama manusia, akhlak kepada diri sendiri, dan akhlak kepada
lingkungan sekitar.
4. Dengan adanya pendidikan agama Islam yang humanis, maka setidaknya
akan menyelamatkan pelajar dari kebodohan dan kebobrokan mental, dan
juga akan menyelamatkan anak dari ancaman dunia pergaulan yang
sangat rentan dengan free sex (sex bebas), narkoba, minuman keras, dan
sebagainya. (wawancara Babo Daylan Safruk sebagai pengasuh asrama
putra 21/08/2015 pukul 15.00 WTS).
Penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam
dalam diri manusia melalui proses pendidikan yakni suatu proses penyiapan
generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidup
secara efektif dan efisien.
Sebagai harapan dari adanya pembelajaran pendidikan agama Islam
terhadap para pelajar Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik
Pattani, akan memberikan manfaat yakni terbentuknya kepribadian siswa
180
yang memiliki nilai-nilai ajaran Islam, sehingga dapat digunakan untuk
memilih dan memutuskan perbuatan yang akan ia lakukan sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Akan tetapi harapan tersebut belum sepenuhnya menjadi
kenyataan, karena karakter siswa dan pembawaannya memang sulit
dirubah dan sulit untuk memberikan bimbingan agama terhadap siswa,
karena latar belakang kehidupan mereka berbeda dengan orang rumahan
dan mereka sudah terbiasa hidup didunia yang keras dan rawan.
Akan tetapi minimal dengan adanya pembelajaran pendidikan agama
Islam terhadap pelajar Saengprathip Wittaya Mulniti School Nongchik
Pattani, setidaknya walaupun sedikit akan memberikan manfaat yakni akan
tertanam nilai-nilai ajaran Islam pada jiwa mereka agar tidak terjerumus ke
dalam bahaya-bahaya yang ada di daerah rawan seperti pembunuhan,
pngeboman, sex bebas, minuman keras serta bahaya lain yang identik
dengan dunia kericuhan. Hasil belajar pendidikan agama Islam pelajar di
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani ini tidak dalam
bentuk nilai raport, dari hasil nilai tes, akan tetapi lebih merupakan hasil
belajar yang melalui bukti riil yang teraplikasi dalam tingkah laku dan
perbuatan mereka sehari-hari. Hal tersebut dapat dibedakan antara pelajar
di Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani dengan pelajar
yang bukan anggota Seangprathip Nongchik Pattani dalam tingkah laku
sehari-harinya. Para santri dan siswa di Seangprathip Nongchik Pattani
yang telah memperoleh pembelajaran pendidikan agama Islam minimal
akan mempunyai nilai lebihdalam bidang akhlaknya, dibanding dengan
pelajar lain yang tidak pernah memperoleh pendidikan agama Islam.
181
E. Faktor-Faktor Penghambat dalam Implementasi Konsep Humanisme
(Manootniyom) dalam Pembelajaran PAI di Seangprathip Wittaya
Mulniti School Nongchik Pattani
Berbicara tentang hambatan dalam implementasi konsep humanisme
(Manootniyom) dalam pembelajaran PAI ada beberapa hambatan yang
dijumpai dalam kegiatan pembelajaran tersebut yaitu :
Pertama, kurangnya guru di bidang materi pendidikan agama Islam serta
kualitas pendamping di Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik
Pattani tergolong masih kurang atau dalam rangka perbaikan kualitas. Guru
yang ada di Seangprathip Nongchik Pattani, khususnya guru PAI seluruhnya
menempuh jenjang pendidikan S2 atau S1 sejak berdirinya Seangprathip
Wittaya Mulniti Nongchik Pattani. Seangprathip Wittaya Mulniti School
Nongchik Pattani memiliki guru PAI sebanyak 25 orang, akan tetapi salah
satu guru PAI yang ada di Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik
Pattani sebenarnya kemampuanya tidak sesuai dengan bidang studi yang
diajarkan sekarang (PAI) akan tetapi guru tersebut sesuai dengan jenjang
pendidikannya S1 itu terfokus di bidang (ilmu sejarah). Akan tetapi di
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani dirasa sangat
membutuhkan guru PAI saat itu, karena jumlah kelas yang terlalu banyak
yakni berjumlah 15 kelas dari kelas V – X. Kemudian dengan latar belakang
dari guru tersebut adalah seorang ustad. Jadi kiranya sangat tepat untuk
membantu guru bidang studi agama Islam.
182
Kedua, dalam implementasi konsep humanisme dalam pembelajaran PAI di
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani adalah berasal dari
luar pihak sekolah dalam pelaksanaannya yaitu masyarakat (orang tua). Dari
sejak awal penerapannya, konsep humanisme religius di Seangprathip
Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani mendapat respon yang positif dari
pihak wali murid (guru), akan tetapi tujuan dari pihak sekolah bukan hanya
mendapat respon positif dari orang tua, tetapi wali murid atau orang tua juga
ikut andil (bekerjasama) dalam proses kegiatan belajar mengajar, artinya
dalam hal ini orang tua ikut andil dalam pengawasan anak didik di
lingkungannya masing-masing di luar sekolah, yakni dilingkungan
kehidupan sehari-hari di luar jam sekolah.
Ketiga, dalam implementasi konsep humanisme dalam pembelajaran PAI
yang ada di Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani adalah
sarana dan prasarana. Sejauh pengamatan yang diketahui peneliti ketika
dalam observasi, dalam penerapan konsep humanisme religius kendala
ataupun hambatan dalam proses kegiatan belajar mengajar adalah terletak
pada sarana dan prasarana. Pertama, keadaan gedung, yang dimana ketika
dalam proses kegiatan pengembangan diskusi kurang kondusif, karena
kapasitas gedung sedang dalam pembuatan artinya jumlah karena banyak
siswa dan gedung tidak seimbang. Selama ini gedung yang digunakan dalam
pengembangan sosial seperti diskusi dan kerja kelompok di Seangprathip
Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani hanya terdapat 2 gedung, yaitu
aula dan mushola. Kedua, yakni dari perlengkapan atau alat pembelajaran
adalah pengeras suara atau speaker.
183
Sejauh yang diketahui oleh peneliti ketika dalam observasi kegiatan
diskusi rutin, kerja kelompok dan bimbingan konseling di Seangprathip
Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani dirasa sangat kurang, yang disana
hanya terdapat 1 pengeras suara (speaker), padahal ketika proses kegiatan
tersebut dilaksanakan seorang guru susah untuk mengkondisikan keadaan di
dalam ruangan, tanpa adanya pengeras suara, apalagi dalam diskusi materi
keagamaan dan kemasyarakatan.
F. Upaya Penyelesaian dalam Implementasi Konsep Humanisme
(Manootniyom) dalam Pembelajaran PAI di Seangprathip Pulohpuyo
Nongchik Pattani
Setalah melihat beberapa pernyataan di atas bahwasannya dalam
implementasi konsep humanisme itu terdapat beberapa faktor hambatan
dalam kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu dengan adanya fenomena
tersebut diatas, kepala sekolah khususnya dan wakil kurikulum berupaya
memberikan solusi dalam mengatasi permasalahan dan hambatan tersebut.
Adapun usaha yang dilakukan untuk memenuhi tuntutan peningkatan
kualitas pendidikan di Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik
Pattani.
Pertama, sesuai dengan permasalahan yang terdapat di atas dengan
adanya kekurangan guru Pendidikan Agama Islam, sejauh yang diketahui
peneliti ketika wawancara dengan kepala sekolah bahwasannya
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani yang memiliki
ruang kelas berjumlah 15 kelas dengan jumlah siswa ±400 siswa dirasa
184
sangat kurang evektif dalam proses kegiatan belajar mengajar. Oleh karena
itu kepala sekolah memberikan solusi yang terbaik untuk Seangprathip
Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani meskipun belum maksimal, yaitu
dengan cara menambah jumlah guru Pendidikan Agama Islam yang
disesuaikan dengan pendidikan dan kemampuannya di bidang tersebut
(PAI). Adapun peningkatan kualitas yang dilakukan secara intensive oleh
pihak sekolah adalah pembinaan terhadap peningkatan kualitas guru dalam
membentuk pembinaan guru dalam perencanaan pembelajaran, pengelolaan
kelas dan pembinaan-pembinaan yang lainnya. Pembinaan yang berkaitan
perencanaan pembelajaran seperti halnya pembinaan tentang penyusunan
perangkat pembelajaran, pembinaan tentang penguasaan berbagai strategi
pembelajaran, pembinaan tentang penyusunan evaluasi pembelajaran dan
pembinaan tentang pengembangan kurikulum. Berbagai pembinaan tersebut
dilakukan dalam rangka membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan
yang ada di Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani.
Sesuai dengan permasalahan yang kedua yaitu adanya faktor
hambatan yang berasal dari luar pihak sekolah yaitu kurangnya partisipasi
sebagian masyarakat (wali murid) dalam proses belajar mengajar akan
mengakibatkan kurang evektifnya proses tersebut dan tujuan pembelajaran
yang hendak dicapai sulit mendapatkan keberhasilan sesuai apa yang telah
direncanakan sebelumnya, yaitu untuk mewujudkan manusia yang
sempurna yang mampu merealisasikan tujuan hidupnya yaitu beribadah
kepada Allah. Pada hakikatnya keikutsertaan masyarakat (wali murid)
dalam proseskegiatan belajar mengajar merupakan hal yang sangat penting
185
sekali, dan itu merupakan salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan
suatu pembelajaran. Oleh karena itu kerjasama antara pihak-pihak yang
terkait dalam prosesp embelajaran (sekolah, manajemen sekolah, orang tua,
lingkungan) merupakan satu kesatuan yang sangat kuat dalam mencapai
tujuan pembelajaran. Oleh karena itu dirasa sangat penting tindakan yang
dilakukan oleh pihak sekolah yaitu dengan mengadakan pertemuan setiap 3
bulan (tri wulan) sekali sebagai pertemuan antara wali murid dengan pihak
sekolah, dengan tujuan untuk koordinasi tentang perkembangan anak didik
selama di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. (wawancara ust.
Daud bagian kesiswaan dan sebagai pengajar Aqidah Akhlak 20/08/2015
pukul 11.30 WTS)
Sesuai dengan permasalahan yang ketiga yaitu adanya sarana dan
prasarana sebagai faktor pendukung dalam proses belajar mengajar yaitu :
Pertama, keterbatasan dari media dan perlengkapan atau alat pembelajaran.
Dalam implementasi konsep humanisme, dalam pembelajaran PAI, yang
ada di Seangprathip Wttaya Mulniti School Nongchik Pattani, sejauh yang
diketahui oleh peneliti selama observasi mengenai perlengkapan seperti
speaker (pengeras suara), dan LCD, akan tetapi selama peneliti mengadakan
observasi masih belum ada perubahan, bahkan terkadang menggunakan
perlengkapan secara (ceramah) seadanya. Meskipun dengan keadaan yang
seperti itu, materi pembelajaran dapat disampaikan dengan baik dan guru
pendidik agama dapat mengkondisikan dengan baik dengan wawancara
dengan Kepala Sekolah Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik
186
Pattanitanggal 29/08/2015 pukul 11.00 WTS mengikutsertakan dan
mendapatkan bantuan atau pendukung dari guru bidang studi yang lain.
Kedua, yaitu tentang keadaan gedung. Mengenai keterbatasan gedung yang
digunakan dalam proses diskusi rutin selama peneliti mengobservasi,
kegiatan tersebut dalam implementasi konsep humenisme yang ada di
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani hanya menggunakan
2 gedung, yaitu (gedung aula dan mushola). Dalam proses kegiatan belajar
hal tersebut sangatlah penting demi tercapainya tujuan pendidikan. Karena
adanya keterbatasan tersebut, diantara guru Pendidikan Agama Islam, dan
sarana dan prasarana yang ada di Seangprathip Wittaya Mulniti School
Nongchik Pattani dalam kegiatan prosesbelajar mengajar khususnya
kegiatan diskusi rutin dan hanya menggunakan 2 gedung yaitu aula dan
mushola dan dirasa sangatlah kurang kondusif dalam pelaksanaan KBM
dengan jumlah siswa ±400 orang. Maka untuk mengantisipasi kurang
kondusif proses belajar mengajar tersebut, dengan jumlah guru pendidikan
agama yang hanya berjumlah 25 orang, maka dari pihak sekolah berinisiatif
untuk mengelompokkan kelas yang sama, artinya kelas V dengan VIII
seluruhnya yaitu V 1 dan V 2, VI 1, VI 2 dan VI 3, VII 1, VII 2 dan VII 3,
IX dan kelas dengan kelas X dengan dibantu guru bidang studi yang lain.
Dengan tujuan proses pembelajaran terlaksana dengan baik, sesuai dengan
apa yang telah direncanakan yaitu untuk mewujudkan manusia yang
sempurna yang mampu merealisasikan tujuan hidupnya yaitu beribadah
kepada Allah SWT.
187
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan skripsi ini, antara lain:
1. Konsep pendidikan humanis pada pembelajaran PAI terhadap pelajar di
Seangprathip Wittaya Mulniti School merupakan pendididikan agama
Islam dalam bentuk pendidikan non formal, yang diberikan kepada pelajar
dan dikemas dengan pendekatan yang humanis dan menekankan pada
ranah-ranah kemaanusiaan, untuk menghargai dan menghormati hak-hak
para santri dan para murid sebagai makhluk Allah yang mempunyai derajat
yang sama dengan anak-anak lainnya. Adapun materi pendidikan agama
Islam yang diberikan kepada pelajar di Seangprathip Wittaya Mulniti
School adalah materi Aqidah, Syari‟ah, Akhlak, serta materi Baca Tulis
Al-Qur‟an.
2. Implementasi pendidikan humanis dalam pembelajaran PAI terhadap
pelajar di Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani,
teraplikasikan dalam beberapa kegiatan belajar mengajar di Seangprathip
Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani antara lain:
pertama: sekolah non formal, kedua: diskusi rutin para pelajar, ketiga:
problem solving (pemecahan masalah), keempat: konseling, kelima:
pembentukan kelompok kerja dan belajar.
3. Dengan adanya keterbatasan jumlah guru agama / pendamping yang ada di
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani, upaya yang
188
dilakukan oleh pihak sekolah dan wakilkepala kurikulum yaitu dengan
menambah jumlah guru guru agama yang ada di Seangprathip yang
disesuaikan dengan pendidikan dan kemampuannya di bidang Pendidikan
Agama Islam.
4. Keterbatasan sarana dan prasarana sebagai alat atau media pendukung
dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam, upaya yang dilakukan oleh
kepala sekolah, sejauh yang diketahui oleh peneliti adalah memberikan
pengarahan kepada semua pihak guru di bidang Pendidikan Agama Islam
untuk memanfaatkan fasilitas seadanya secara maksimal, akan tetapi terus
berusaha untuk menambah dan memaksimalkan sarana dan prasarana
sebagai pendukung alat dan media pembelajaran yang ada di Seangprathip
Wittaya Mulniti School.
5. Keikutsertaan masyarakat (wali murid) dalam proses kegiatan belajar
mengajar merupakan hal yang sangat penting sekali, dan itu merupakan
salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan suatu pembelajaran. Oleh
karena itu dirasa sangat penting tindakan yang dilakukan oleh pihak
sekolah yaitu dengan mengadakan pertemua setiap 3 bulan sekali sebagai
pertemuan antara wali murid dengan pihak sekolah dengan tujuan untuk
koordinasi tentang perkembangan pelajar selama di sekolah maupun diluar
lingkungan sekolah dengan mengadakan dialog interaktif antara wali
murid dengan pihak sekolah.
189
B. Saran-saran
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pihak manapun, penulis berusaha
memberikan saran-saran demi terlaksananya pendidikan agama Islam yang
humanis terhadap pelajar sesuai dengan harapan Seangprathip Wittaya
Mulniti School Nongchik Pattani, maka saran-saran tersebut adalah:
1. Hendaknya pendidikan humanis dalam pembelajaran pendidikan agama
Islam terhadap pelajar harus benar-benar diupayakan untuk diberikan
terhadap para pelajar. Karena pendidikan agama Islam yang dikemas
dengan pendekatan yang humanis merupakan hal yang sangat penting bagi
pembinaan akhlak pelajar. Apabila pelajar tidak dibina dengan materi-
materi agama, maka pelajar akan menjadi generasi yang bobrok karena
tidak tertanam nilai-nilai agama dalam jiwanya, sebagai konsep diri dalam
memutuskan dan mengendalikan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-
hari.
2. Hendaknya pendamping atau pembina harus mempunyai akhlak yangbaik,
karena pendamping pelajar merupakan suri tauladan dan juga sebagai
panutan bagi pelajar dalam sikap dan tingkah lakunya sehari-hari. Ujung
tombak bagi berhasilnya pendidikan agama Islam terhadap pelajar, salah
satunya adalah tergantung dari sikap para pendamping dalam memberikan
pendampingan dan pembinaan terhadap pelajar.
3. Faktor-faktor penghambat pendidikan agama Islam terhadap pelajar
merupakan sebuah tantangan yang harus dilalui oleh pengelola
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik Pattani dan hendaknya
190
para pengelola dan pendamping harus benar-benar memanfaatkan
semaksimal mungkin fasilitas, tenaga, waktu dan sebagainya, untuk
mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Dan diupayakan kepada
pengelola yayasan atau sekolah agama yang lainnya untuk menaungi
pelajar untuk mengusahakan bekerjasama dengan berbagai elemen, baik
masyarakat atau instansi manapun yang kiranya bisa diajak bekerja sama
dalam menangani permasalahan pelajar, dan berusaha semaksimal
mungkin untuk membantu memenuhi hak-hak mereka, serta berusaha
mengentaskan (mengembalikan) para pelajar dari dunia kericuhan agar
dapat meneyelamatkan dirinya dari kericuhan negara sendiri. Karena para
pelajar adalah anak-anak muslim di Thailand Selatan sebagai generasi
masa depan kerajaan Thailand.
4. Hendaknya pemerintah dalam hal ini Departemen Sosial atau pihak
manapun, (baik kerajaan maupun pihak-pihak swasta) dapat senantiasa
menjadi pendukung utama dengan memperhatikan dan memberikan
sumbangsih dalam bentuk dukungan yang nyata baik materiil maupun
nonmateriil pada yayasan sekolah agama yang mendampingi para pelajar,
karena pada dasarnya permasalahan para pelajar adalah permasalahan kita
bersama, dan pendidikan anak harus diprioritaskan demi mempersiapkan
generasi yang tangguh untuk masa depan bangsa.
5. Dalam hal ini, yayasan-yayasan yang mendampingi para pelajar, tidak bisa
bekerja sediri, artinya mereka sangat membutuhkan peran dari berbagai
pihak, (orang tua pelajar, kerajaan, dan lain sebagainya), dalam
191
melaksanakan tugasnya membantu memenuhi hak-hak pelajar dan
mengentaskan mereka dari dunia kericuhan agar dapat membawa diri
mereka kembali kepada jalan yang benar.
6. Keterbatasan jumlah pendamping / guru, keterbatasan sarana dan prasarana
sebagai media pendukung dan kurangnya partisipasi sebgaian masyarakat
sekitar dalam pembelajaran PAI yang ada di Seangprathip Wittaya Mulniti
School bisa diperbaiki kembali untuk membantu mencerdaskan pelajar
muslim dengan ketaqwaan dan keimanan.
Sejalan dengan tujuan dari pendidikan nasional yang tertulis dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yaitu untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab, guru merupakan komponen yang sangat penting untuk
mewujudkan cita-cita pendidikan Nasional tersebut.
Dengan demikian dalam rangka mengembangkan pendidikan yang ada di
Seangprathip Wittaya Mulniti School Nongchik, Pattani, kepala sekolah terus
mengupayakan kesejahteraan dari berbagai pihak, atau dari segi aspek, yaitu
dari aspek guru, aspek sarana dan prasarana, aspek management sekolah, dan
aspek murid, demi tercapainya tujuan pendidikan nasional yang diinginkan.
192
C. Penutup
Dengan mengucapkan syukur ke hadirat Allah SWT, akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Karena berkat rahmat, hidayah,
dan taufik-Nya, penulis memiliki kemampuan melaksanakan dalam
menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu proses pelaksanaan penulisan skripsi ini dari
awal, hingga akhir. Semoga bantuan yang telah diberikan kepada penulis
mendapat balasan yang dapat membahagiakan dan menjadi amal yang sholeh
di sisi Allah SWT. Penulis menyadari meskipun telah berusaha semaksimal
mungkin, namun kekurangan dan kesalahan telah menjadi suatu keniscayaan
atas diri manusia.
Untuk itu, kritik, saran dan juga masukan senantiasa penulis harapkan
demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT yang
menjadi tumpuan untuk memohon pertolongan, semoga skripsi ini dapat
memberikan kemanfaatan, bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada
umumnya, Amiin.
193
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmadi. 1992. Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aditya
Media.
Arif, Armai. 2002. Pengantar Ilmu Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta :
Ciputat Pers.
Arifin, M. 2000. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Arsyad, Azhar. 2003. Media Pembelajaran. Jakarta : PR. Raja Grafindo Persada.
Azwar, Saifuddin. 2001. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baharuddin, dan Moh. Makin. 2007. Pendidikan Humanistik; Konsep, Teori, dan
Aplikasi, Praksis, dalam Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Budiona. Kamus Ilimiah Populer Internasional. Surabaya: Alumni Surabaya.
Darsono, Max, dkk. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang : CV. IKIP
Semarang Press.
Dhakiri, Moh. Hanif. 2000. Paulo Freire, Islam dan Pembebasan. Jakarta:
Djambatan bekerja sama dengan Pena .
Echols, Jhons M. dan Hasan Sadily. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Freire, Paulo. 2002. Cet III. Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan, dan
Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hamalik, Oemar. 2001. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara.
Hujair AH dan Sanaky. 2003. Paradigma Pendidikan Islam; Membangun
Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Jatman, Darmanto. 2005. Psikologi Terbuka. Semarang: Limpad.
194
Ludjito, Ahmad, “Filsafat Nilai” dalam Chabib Thoha, dkk. 1999. Revormulasi
Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Kerjasama Fak. Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang dengan Pustaka Pelajar.
Ma‟arif, Syamsul. 2006. “Pendidikan Islam Yang Mencerdaskan” Islam Kiri;
Pendidikan dan Gerakan Sosial dalam Jurnal Edukasi.
Majid, Abdul, dan Dian Andayani. 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya.
Mas‟ud, Abdurrahman. 2002. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik;
Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta:
Gama Media.
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muhajir, Noeng. 2000. Cet.V. Ilmu Pendidikan & Perubahan Sosial; Teori
Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
______, 1996. Cet.VII edisi III Metodologgi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Rake Sarasin.
Mukhtar. 2003. Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta : CV.
Misaka Galiza.
Noer Aly, Heri dan Munzer S, H. 2003. Watak Pendidikan Islam, Jakarta: Friska
Agung Insani.
Poerwadarminta, 1999. W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Prayudi, “Paradigma Pendidikan Islam” http://www.education network.
blogspot.com/2007/03/paradigma-pendidikan-Islam-humanis.html. tanggal
22 september 2008.
Rakhmat, Jalaluddin. 1999. Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Singarimbun, Masri, dan Sofyan Efendi. 1995. Metodologi Penelitian Survai,
Jakarta: LP3ES.
Smith, William A. 2001. Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire Di
terjemahakan dari The Meaning of Conscientizacao, the Goal of Paulo
Freire‟s Pedagogi, oleh Agung Prihantoro, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
195
Subhan, Paradigma Pendidikan Islam Humanis, http://wonkeducationnetwork.
blogspot.com/2007/03/paradigma-pendidikan-islamhumanis. html, Tgl.
Tgl. 08-7-2015.
Sudjana, Nana dan Ibrohim. 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan.
Bandung: Sinar Baru.
Sudjana, Nana. 1980. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya.
Suprayekti. 2003. Interaksi Belajar Mengajar. Jakarta : Departemen Pendidikan
Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat
Tenaga Kependidikan.
Tafsir, Ahmad. 2001. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung : PT
Remaja Rosda Karya.
Winkell, W.S. 1986. Psikologi Pengajaran, Jakarta : Gramedia.
Yusdani, “Menguak Nalar Islam UII”, www.
Yusdani.com/materi/Menguak%20Nalar%20Islam%20UII%20 (artikel),
Tgl. 05-7-2015
Zuhairini, dkk. 1993. Metodologi Pendidikan Agama. Solo: Ramadani.
Zuharini, dkk. 1983. Metodik Khusus Pendidikan Islam. Malang : Biro Ilmiah
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang.
Zuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan; Teori dan
aplikas. Jakarta: PT Bumi aksara. Cet. 1.
196
LAMPIRAN-LAMPIRAN
197
RIWAYAT HIDUP PENULIS
A. Data Pribadi
Nama : Wiga Serliati Latri
Tempat/Tanggal Lahir : Demak/17 Juni 1991
NIM : 111 11 103
Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Alamat :Jl. Raden Sahid No 17 Plosokerep Rt 04/
Rw 03 Kadilangu Demak
B. Orang Tua
Ayah : Miftah
Ibu : Siti Sualiyanti
C. Riwayat Pendidikan
No. Instansi Pendidikan Lulus (Th)
1. SD N Bintoro 2 Demak 2003
2. SMP Pondok Modern
Selamat Kendal
2006
3. Pondok Darussalam Gontor
Putri 1 Matingan Ngawi
Jawa Timur
2010
198
199
PEDOMAN WAWANCARA
Narasumber : Kepala Sekolah Seangprathip Wittaya Mulniti School
Judul Penelitian :IMPLEMENTASI KONSEP HUMANISME DALAM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Kasus di
Seangprathip Wittaya Mulniti School, Nongchik,
Pattani, Thailand Selatan)
Identitas Diri
Nama :
Jenis kelamin :
Asal :
Jabatan :
1. Bagaimana implementasi konsep pendidikan humanisme dalam pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di sekolah Seangprathip?
2. Faktor penghambat apa saja dalam penerapan konsep humanisme dalam
Pembelajaran pendidikan agama Islam di Seangprathip?
3. Bagaimana sistem pembelajaran agama Islam yang sesuai dengan konsep
humanisme di sekolah Seangprathip?
4. Bagaimana sistem humanisme di terapkan bagi guru dan siswa di sekolah
Seangprathip?
5. Bagaimana hubungan komunikasi sesuai konsep humanisme antar guru dan
siswa di sekolah Seangprathip?
200
PEDOMAN WAWANCARA
Narasumber : Waka Kurrikulum Seangprathip Wittaya Mukniti School,
Nongchik, Pattani, Thailand Selatan
Judul Penelitian : IMPLEMENTASI KONSEP HUMANISME DALAM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Kasus di
Seangprathip Wittaya Mulniti School, Nongchik,
Pattani, Thailand Selatan)
Identitas Diri
Nama :
Jenis kelamin :
Asal :
Jabatan :
1. Bagaimana implementasi konsep pendidikan humanisme dalam pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di sekolah Seangprathip?
2. Faktor penghambat apa saja dalam penerapan konsep humanisme dalam
Pembelajaran pendidikan agama Islam di Seangprathip?
3. Bagaimana sistem pembelajaran agama Islam yang sesuai dengan konsep
humanisme di sekolah Seangprathip?
4. Bagaimana sistem humanisme di terapkan bagi guru dan siswa di sekolah
Seangprathip?
5. Bagaimana hubungan komunikasi sesuai konsep humanisme antar guru dan
siswa di sekolah Seangprathip?
201
PEDOMAN WAWANCARA
Narasumber : Tata Usaha Seangprathip Wittaya Mulniti School
Judul Penelitian : IMPLEMENTASI KONSEP HUMANISME DALAM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Studi Kasus di
Seangprathip Wittaya Mulniti School, Nongchik,
Pattani, Thailand Selatan)
Identitas Diri
Nama :
Jenis kelamin :
Asal :
Jabatan :
1. Bagaimana implementasi konsep pendidikan humanisme dalam pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di sekolah Seangprathip?
2. Faktor penghambat apa saja dalam penerapan konsep humanisme dalam
Pembelajaran pendidikan agama Islam di Seangprathip?
3. Bagaimana sistem pembelajaran agama Islam yang sesuai dengan konsep
humanisme di sekolah Seangprathip?
4. Bagaimana sistem humanisme di terapkan bagi guru dan siswa di sekolah
Seangprathip?
5. Bagaimana hubungan komunikasi sesuai konsep humanisme antar guru dan
siswa di sekolah Seangprathip?
202
VERBATIM WAWANCARA
IMPLEMENTASI KONSEP HUMANISME (MANOOTNIYOM) DALAM
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(Studi Kasus Di Seangprathip Wittaya Mulniti School
Tahun Ajaran 2014/2015)
Narasumber : Anwaruddin Doloh
Jenis kelamin : laki-laki
Asal : Yala, Thailand Selatan
Jabatan : Kepala Sekolah
Tempat : kantor Kepala Sekolah Seangprathip
Hari/tanggal : Rabu/19 Agustus 2015
Waktu : 10.00 WTS
NO. PERTANYAAN JAWABAN KODE
1. Asslamualaikum
ustadz, maaf
sebelumnya saya
mengganggu ustadz,
saya ingin bertanya
kepada ustadz untuk
melengkapi tugas
akhir saya apakah
ustadz ada waktu
untuk saya sebentar?
Walaikumussalam iya Wiga, saya
hari ini ada waktu luang buat Wiga,
apa yang bisa saya bantu untuk
melengkapi tugas akhir sekolah
Wiga di Indoesia.
Pembukaan
2. Sebenarnya saya
sudah
mempersiapkan
beberapa pertanyaan
untuk ustadz tetang
humanis yang
diterapkan di sekolah
Seangprathip ini.
Iya, insyallah saya berusaha untuk
menjawab beberapa pertanyyan
dari Wiga yang telah sudah
disiapkan. Sesuai dengan keadaan
di sekolah Seangprathip.
Pembukaan
3. Bagaimana konsep
humanisme yang ada
disekolah
Seangprathip?
Humanis menurut saya adalah di
sekolah sini sangatlah penting
karena rasa yang harus pada semua
pendidik atau guru-guru di sekolah
apalagi guru agama. Saling
menghargai sesama manusia saling
tolong menolong, dan pastinya
Implementasi
konsep
humanisme
dalam
pemelajaran
Pendidikan
Agama Islam
203
NO. PERTANYAAN JAWABAN KODE
mempunyai rasa tanggung jawab
yang lebih terhadap diri sendiri. Itu
semua harus dimiliki oleh semua
para guru karena sebagi contoh
bagi murid-murid yang berada di
sekolah.
4. Ustadz, konsep
humanisme itu yang
bagimana, menurut
ustadz sendiri?
Menurut saya, humanisme itu sama
dengan peri kemanusiaan, yang
mana sangat menghargai orang lain
menghormati orang lain juga, dan
orang itu sendiri juga mempunyai
akhlak yang sangat bijak.
Mempunyai arti sendiri seperti
filsafat kepribadian manusia.
Implementasi
konsep
humanisme
dalam
pemelajaran
Pendidikan
Agama Islam
5. Menurut ustadz,
bagaimana
pembelajaran agama
di sekolah
Seangprathip, apakah
mengalami kemajuan
atau kemuduran pada
tahun ini?
Menurut saya, pembelajaran agama
di sekolah sini sudah sangat
mengalami kemajuan, tapi tidak
sama seperti di Indonesia sangatlah
maju. Kalau sekarang sudah
mengalami kemajuan, karena di
sini daerah yang masih konflik, dan
pembelajaran agama di wilayah
Pattani ini juga masih diawasi oleh
kerajaan. Pembelajaran agama di
sekolah ini juga sudah membaik
dari sebelumnya karena tenaga
pendidik atau para guru di sekolah
sini sudah memberikan pengajaran
yang baik yang sudah mereka
dapatkan.
Implementasi
konsep
humanisme
dalam
pemelajaran
Pendidikan
Agama Islam
6. Bagaimana
implementasi konsep
pendidikan
humanisme dalam
pembelajaran
Pendidikan Agama
Islam di sekolah
Seangprathip?
Teori belajar humanistik dalam
kegiatan pembelajaran ini sulit di
terapkan. Karena dianggap lebih
dekat dengan bidang filsafat dan
teori kepribadian. Maka dari itu
sangat perlu diperhatikan
perkembangan siswa dalam
mengaktualisasikan dirinya
masing-masing. Apalagi
berhubungan tentang pendidikan
agama Islam, pasti sangatlah
dibutuhkan kesdaran diri murid-
Implementasi
konsep
humanisme
dalam
pemelajaran
Pendidikan
Agama Islam
204
NO. PERTANYAAN JAWABAN KODE
murid untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Dengan
implemenasi murd-murid sangat
perlu untuk saling menghormati
para guru diawali dengan hal yang
kecil, mengcapkan salam kepada
para guru-guru saat berpapasan di
jalan.
7. Faktor penghambat
apa saja dalam
penerapan konsep
humanisme dalam
pembelajaran agama
Islam di
Seangprathip?
Faktor penghambatnya yaitu
kurangnya pendekatan para guru-
guru dengan murid yang ada di
asrama dan pra murid masih
canggung dengan para guru,
apalagi murid yang masih baru.
Kemudian kurangnya sarana dan
prasarana pada setiap kegiatan di
sekolah serta kurangnya
membangun suasana kebersamaan.
Serta bentuk pembelajaran yang
masih kurang kreatif. Sistem
pemeblajaran yang dahulu masih
sealu digunakan
Faktor
penghambat
dalam
implementasi
konsep
humanisme
8. Bagaimana sistem
pembelajaran agama
Islam yang sesuai
dengan konsep
humanisme di
sekolah
Seangprathip?
Sistem pembelajaran di sekolah
Seangprathip ini
masihbmenggunakan metode dan
gaya pembelajaran kuno, karena
guru-guru disini masih sering
meniru yang dulu. Dengan begitu,
di sekolah ini masih dibutuhkan
seorang guru yang bisa
memberikan contoh sistem
pembelajaran yang lebih kreatif
untuk guru lain agar tidak
ketinggalan dengan pembelajaran
yang baru.
Sistem
pembelajaran
yang ada di
sekolah
Seangprathip
sesuai dengan
konsep
humanime
9. Bagaimana sistem
humanisme yang di
terapkan bagi guru di
sekolah
Seangprathip?
Bagi guru-guru di sekolah sini,
hanya beberapa saja yang sudah
menerapkan konsep humanisme,
karena dengan keterbatasannya
mengajar sehingga beberapa guru
belum mengetahui keadaan para
murid-murid. Contohnya guru
Humanisme
yang diterapkan
di sekolah
Seangprathip
205
NO. PERTANYAAN JAWABAN KODE
hanya mengajar beberapa mata
pelajaran saja kemudian langsung
pulang dan kurang mempedulikan
para murid. Yang sudah diterapkan
adalah seperti adanya pertemuan
antara wali murid dengan guru-
guru di setiap 3 bulan supaya para
wali murid mengetahui keadaan
anaknya selama di sekolah. Serta
beberapa guru dari luar negeri
seperti dari Indonesia yang sering
menerapkan sistem yang
pembelajaran yang baru sperti
diskusi rutin untuk belajar
memecahkan suatu masalah yang
sering dihadapi murid khususnya
para murid senior (Dewan
organisasi).
9. Apakah guru-guru di
sekolah Saengprathip
ini sudah mengerti
arti humanisme
sendiri?
Kalau menurut saya sendiri, tidak
banyak guru-guru di sekolah
Seangprathip ini. Hanya guru-guru
tertentu saja. Karena guru di sini
juga kurang memahami arti
humanis dan tidak semua guru
belajar ilmu-ilmu filsafat.
Humanisme
yang diterapkan
di sekolah
Seangprathip
10. Bagaimana cara
ustadz untuk
memberikan
pengarahan bagi
guru-guru di sekolah
sini untuk
menerapkan konsep
humanis secara
bersama?
Dengan adanya konsep humanis
ini, saya bisa mengumpulkan
semua guru-guru baik guru agama
maupun guru akademik untuk
mengadakan musyawarah demi
terciptanya keadaan yang humanis
demi kebaikan murid-murid
maupun guru sekolah. Dan juga
mengikutkan pelatihan atau acara-
acara seminar bagi guru yang
berhubungan dengan konsep
humanis.
Humanisme
yang diterapkan
di sekolah
Seangprathip
11. Bagaimana hubungan
komunikasi sesuai
konsep humanisme
antar guru dan siswa
di sekolah
Hubungan komunikasi para guru
dan murid selama ini masih bisa
dikendalikan. Yang paling sulit
seperti menghadapi murid yang
sangat nakal dan tidak mau ikut
Hubungan
komunikasi atar
guru dan murid
sesuai dengan
konsep humanis
206
NO. PERTANYAAN JAWABAN KODE
Seangprathip?
dalam peraturan sekolah. Karena
sebagian murid langsung bisa
melaporkan terhadap wali murid
dan bisa langsung meminta keluar
dari seklah. Maka dari itu, para
guru harus bisa mengikuti
keinginan sekolah supaya murid
mudah dikendalikan dan mudah
untuk diatur.
dalam
pembelajaran di
sekolah.
12. Saya mengucapkan
banyak terimakasih
atas waktu ustad
untuk menjawab
pertanyaan-
pertanyaan yang saya
ajukan tentang
skripsi saya, semoga
jawaban dari ustadz
bermanfaat bagi saya
dan semuanya demi
kebaikan sekolah
Seangprathip ini
juga.
Yaa, saya sendiri juga minta maaf
kalau ada banyak kesalahan yang
tidak sesuai dengan pertanyaan
yang wiga ajukan pada saya.
Mungkin itu yang dapat saya
sampaikan, semoga bisa membantu
dalam tugas akhirnya Wiga, dan
semoga sukses.
Penutup
wawancara
bersama kepala
sekolah
Seangprathip.
207
VERBATIM WAWANCARA
IMPLEMENTASI KONSEP HUMANISME (MANOOTNIYOM) DALAM
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(Studi Kasus Di Seangprathip Wittaya Mulniti School
Tahun Ajaran 2014/2015)
Narasumber : Amal Yeedoromae
Jenis kelamin : Perempuan
Asal : Nongchik, Pattani Thailand Selatan
Jabatan : Waka Kurrikulum
Tempat : Kantor guru Agama
Hari/tanggal : Kamis/20 Agustus 2015
Waktu : 16.30 WTS
NO. PERTANYAAN JAWABAN KODE
1. Assalamualaikum
ustadzah, maaf saya
mengganggu
sebentar, saya ingin
meminta waktu
ustdzah untuk
membantu dalam
penyelesaian tugas
akhir saya?
Waalaikumussalam iya Wiga, tidak
apa-apa, saya siap untuk membantu
tugas akhir Wiga.
Pembukaan
2. Ada beberapa
pertanyaan mengenai
tentang humanisme
di sekolah ini yang
harus ustadzah jawab
sebisanya dan
menurut pendapat
ustadzah sendiri
Iya insyaallah saya akan
menjawabnya semampu saya dan
menurut pendapat saya sendiri
seputar tetnag humanisme.
Pembukaan
1. Bagaimana
implementasi konsep
pendidikan
humanisme dalam
pembelajaran
Pendidikan Agama
Islam di sekolah
Sebagai guru atau ustadzah, harus
menentukan tujuan pembelajaran
terlebih dahulu sesuai denga visi
dan misi di sekolah. Guru atau
ustadz, juga harus menentukan
materi pembelajaran.
Implementasinya seperti yang
Implementasi
konsep
humanisme
dalam
pembelajaran
208
NO. PERTANYAAN JAWABAN KODE
Seangprathip? sudah terjadwal di sekolah dan
kegiatan di asrama. Dengan
demikian para murid bisa
membiasakan dirinya bersama guru
yang di sekolah maupun di asrama.
Guru membimbing siswa untuk
memahami konsep belajar untuk
diterapkan kedalam dunia nyata
pada dirinya. Sebgai guru juga
harus memberikan evaluasi dengan
menanyakan kembali materi
pembelajaran yang sduah
disampaikan di dalam kelas. Dan
juga dilakukan pada ujian tengah
semester dan akhir semester.
2. Menurut ustadzah
sendiri, apakah sudah
paham tentang apa
yang dimaksud
dengan humanisme
itu sendiri?
Humanis itu menurut saya sendiri
suatu teori yang mengenal tentang
diri manusia itu menjadi manusia
yang utuh dan bertanggung jawab
terhadap sang pencipta. Saya
mengerti ilmu ini dari waktu saya
belajar di Malaysia yang harus
dipahami oleh setiap
mahasiswanya. Kebetulan saya ini
dari dulu sekolah di Malaysia,
makanya saya mengerti tetang
humanis sepaham saya saja.
Jadi, kalau konsep humanis atau
manootniyom menurut bahasa sini
itu hanya dipelajari oleh guru-guru
akademik saja. Guru-guru agama
sepertinya kurang paham betul
dengan konsep humanis.
Implementasi
konsep
humanisme
dalam
pembelajaran
3. Bagaimana sistem
pembelajaran agama
Islam yang sesuai
dengan konsep
humanisme di
sekolah
Seangprathip?
Sistem pembelajaran pendidikan
agama Islam masih sangat kurang
karena metode yang sering
digunakan guru di sekolah ini
adalah metode klasik dan kuno.
Masih sama seperti pada kyai
dahulu.
Sistem
pembelajaran
agama Islam
4. Bagaimana solusi
ustadzah untuk
Kalau saya boleh mengusulkan,
pertama kalau ingin menerapkan
Sistem
pembelajaran
209
NO. PERTANYAAN JAWABAN KODE
menerapkan konsep
humanis ini dalam
sekolah
Seangprathip?
konsep humanis ini, harus ada
persetujuan dari ketua/kepala
sekolah dahulu. Kemudian di
musyawarahkan dahulu berasama
guru-guru sekolah, selanjutnya
diterapkan kepada guru karena
sebagai contoh untuk dilihat oleh
para murid-murid di sekolah.
Seperti membuang sampah pada
tempatnya, memberi salam sesama
muslim, dari murid maupun dari
masyarakat sekitar.
agama Islam
5. Faktor penghambat
apa saja dalam
penerapan konsep
humanisme dalam
pembelajaran agama
Islam di
Seangprathip?
Faktor penghambatnya yaitu
kompetensi guru dalam mengajar
tanpa didukung rencana atau
konsep belajar yang dirancang oleh
guru yang sering juga disebut RPP.
Kemudian metode pembelajaran
masih klasik dan monoton. Seperti
ceramah. Guru Agama masih
minim juga dalam melibatkan
siswa agar lebih aktif dalam
pembelajarn di dalam kelas.
Fasilitas dan media pembelajaran
yang kurang mendukung.
Faktor
penghambat
implemntasi
konsep
humanisme
6. Bagaimana sistem
humanisme di
terapkan bagi guru
dan siswa di sekolah
Seangprathip?
Sistem humanisme yang
diterapkan di sekolah ini adalah
seperti kegiatan yang di asrama
baik putra maupun putri mengkaji
kitab bersama kyai pondok,
mengaji al Qur‟an dengan metode
sorogan, mendampingi dewan
pengurus pelajar dalam acara
tertentu yang melibatkan semua
murid-murid, guru dan masyarakat
sekitar. Seperti buka bersama,
merayakan nisfu sya‟ban,
merayakan idul adha dan idul fitri,
dan lain sebagainya.
Penerapan
sistem humanis
yang
diterapkan oleh
guru dan murid
7. Bagaimana
contohnya apabila
guru agama
Contohnya seperti ya itu tadi,
mengucapkan salam setiap ada
jumpa, menerapkan apa yang
Penerapan
sistem humanis
yang
210
NO. PERTANYAAN JAWABAN KODE
menerapkan konsep
humanisme dalam
pembelajaran?
sudah diajarkan guru diterpakan
pada kehidupan langsung/nyata.
Selalu menghormati antara yang
tua dengan yang muda, saling
menolong pada siapapun, tidak
pilih-pilih dalam bergurau
diterapkan oleh
guru dan murid
8. Bagaimana hubungan
komunikasi sesuai
konsep humanisme
antar guru dan siswa
di sekolah
Seangprathip?
Hubungan komunikasi antar guru
dan murid selama di asrama,
murid sudah bisa membiasakan
dirinya untuk berkomunikasi
dengan guru pengasuh bagian
asrama. Karena bisa mendekatkan
murid secara tidak disengaja. Dan
adapula hubungan murid dan guru
menjauh dikarenakan peraturan-
peraturan yang sudah ada dan
dilanggar oleh para murid
sehingga menyebabkan guru yang
sering memberikan sanksi.
Demikian yang bisa menjauhkan
komunikasi murid terhadap guru.
Hubungan
komunikasi
sesuai konsep
humanisme
9. Alhamdulilah,
peratanyaan yang
saya berikan pada
ustadzah sudah
dijawab walaupun
masih ada yang saya
sendiri agak kurang
memahaminya, tetapi
saya untuk mencoba
merangkai kata-kata
dengan yang lenih
baik dan tertata.
Iya Wiga, saya juga hanya bisa
menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang telah diberikan pada saya,
mungkin bisa dipahami sedikit-
sedikit kalau ada kesalahan kata,
ya saya mohon maaf. Syukron.
Penutup
211
VERBATIM WAWANCARA
PENDIDIKAN KARAKTER PEDULI LINGKUNGAN
(Studi Kasus di Sekolah Menengah Assalihiyah, Thungphla, Khokpho,
Pattani, Thailand Selatan Tahun 2015)
Narasumber : Hamdah Khoong
Jenis kelamin : Perempuan
Asal : Thungphla, Khokpho, Pattani Thailand Selatan
Jabatan : Guru Agama
Tempat : Halaman Sekolah Menengah Assalihiyah
Hari/tanggal : Jumat/21 Agustus 2015
Waktu : 13.37 WTS
NO. PERTANYAAN JAWABAN KODE
1. Assalamualaikum
kak Hamdah,
bagaimana kabarnya?
Kak hamdah bisa
membantu saya
untuk melengkapi
tugas akhir saya?
Waalaikumusslam, iya Wiga
dengan senang hati saya bisa
membatu untuk tugas akhirmu.
Pembukaan
2. Kakak mengerti apa
yang dimaksud
dengan humanisme?
Kalau menurut saya humanis itu
filsafat pemikiran manusia yang
harus dimiliki untuk mengetahui
tentang manusia itu sendiri, entah
dengan memahami sifatnya,
karakternya, supaya mereka
mengerti arti manusia yang
sesungguhnya. Kalau saya boleh
menyamakan kata humanis itu
seperti dengan perikemanusiaan.
Konsep
humanisme
dalam
pembelajaran
2. Ohh begitu kak,
Kemudian kalau
menurut kakak,
bagaimana penerapan
guru-guru di sekolah
Seangprathip ini?
Khususnya bagi
guru-guru agama?
Penerapan humanisme di sekolah
Seangprahip ini khususnya bagi
guru Agama ialah menerapkan
ilmu-ilmu yang sudah diberikan di
dalam kelas kemudian diterapkan
dalam kehidupan sehari hari, untuk
memberikan contoh pada murid
juga, seperti menghormati,
Implementasi
konsep
humanisme
dalam
pembelajaran
212
NO. PERTANYAAN JAWABAN KODE
menghargai, menolong, dan yang
lainnya. Ooh iya sewaktu guru itu
mengajar untuk menyampaikan
ilmunya, pas waktu itu guru juga
menerapkan dalam kehidupan yang
nyata.
3. Oh begitu kak, kalau
saya boleh tahu
apakah guru-guru
Agama di sekolah
sini sudah
menerapkan konsep
humanisme?
Kalau menurut saya sendiri, guru-
guru di sekolah sini hanya beberapa
saja yang sudah menerapkan hal
itu, karena tidak semua guru-guru
disini menegerti apa arti
humanisme itu sendiri secara teori,
bahkan ada guru yang tidak belajar
itu. Kalau saya sendiri terkadang
saya menerapkan dalam kehidupan
saya sendiri. Karena budaya kita
juga mempengaruhi tidak seperti
kehidupan di Indonesia. Seperti
menghormati agama selain muslim,
kalau di Pattani sini rasa
menghormati agama Budha itu
tidak ada. Ya Cuma sekedarnya
saja. Tidak seperti di Indonesia
yang saling rukun dan damai.
Implementasi
konsep
humanisme
dalam
pembelajaran
4. Okke, kakak
terimakasih atas
pendapat yang kakak
berikan pada saya,
semoga dapat
manfaat dari apa
yang sudah kakak
ulaskan sedikit untuk
saya.
Iya Wiga sama-sama, itu yang
dapat kakak sampaikan pada Wiga,
apabila ada salah kata kakak minta
maaf ya, besok kalau kakak ada
materi atau pelajaran yang kakak
belum tahu kakak minta, Wiga
dapat membantu kakak juga.
Penutup
5. Ohh iya kak Hamda,
arti humanisme
dalam bahasa Thai
apa?
Oohh itu, hmmm... Manootniyom Penutup
213
VERBATIM WAWANCARA
PENDIDIKAN KARAKTER PEDULI LINGKUNGAN
(Studi Kasus di Sekolah Menengah Assalihiyah, Thungphla, Khokpho,
Pattani, Thailand Selatan Tahun 2015)
Narasumber : Abdul Rasyid bin Talyo
Jenis kelamin : laki-laki
Asal : Thungphla, Khokpho, Pattani Thailand Selatan
Jabatan : tukang kebun/petugas kebersihan
Tempat : kantor guru Sekolah Menengah Assalihiyah
Hari/tanggal : Senin/24 Agustus 2015
Waktu : 14.45 WTS
NO. PERTANYAAN JAWABAN KODE
1. Bagaimana aturan
kebersihan di
Sekolah Menengah
Assalihiyah ini?
Aturan kebersihan di sini, tiap-tiap
pagi dan petang saya keno buat
bersih. Sebelah pagi, pa rung gi
nyapuh seluruh sekolah macam
sampah dan daun-daun. Lepas tu
sebelah petang, kita ambik sampah
dalam bekah sampah hok di depe
bilik murid, guru, dan tempat
masak.
(Mengenai aturan kebersihan di
sini, setiap pagi dan sore tukang
kebun harus membersihkan seluruh
lingkungan sekolah. Pada saat
pagi, tukang kebun menyapu seluru
sudut sekolah yang berupa sampah
dan daun-daun yang berguguran.
Sedangkan pada waktu sore, kita
mengambil sampah-sampah dalam
tempat sampah itu baik di depan
kelas, kantor, maupun di kantin).
Aturan
kebersihan bagi
tukang kebun di
Sekolah
Menengah
Assalihiyah
2. Bagaimana aturan
kerja petugas
kebersihan di sekolah
ini?
Tiap-tiap hari, kiat keno buat bersih
duo kali. Masa cuti mengaji, kita
juga mesti buat bersih dan cuti pada
hari minggu. Kalau tiap-tiap hari
mengaji, kita cuti hari sabtu. Lain
tu, saya juga sipe barang hk rusak
Aturan kerja
tukang kebun di
Sekolah
Menengah
Assalihiyah
sebagai wujud
214
di makoloh. Apabila ada hok
tempat yang tak cuci lagi, sebab
saya ada kerja hok lain. Seperti sipe
barang hok punoh. Bakaluasa pa
rung lain, ia hanya buat bersih saja.
(Setiap hari, kami harus
membersihkan sekolah 2x. Pada
saat liburan sekolah, kami juga
harus membersihkan sekolah
kecuali hari minggu. Kalau hari-
hari aktif sekolah, kami libur hari
sabtu. Selain itu, saya juga
memperbaiki sarana prasarana
yang rusak di sekolah. Terkadang
ada yang masih kotor, belum saya
bersihkan. Karena saya harus
mengerjakan tugas yang lain.
Seperti memperbaiki sarana-
sarana yang rusak. Kalau tukang
kebun yang lain hanya bertugas
membersihkan sekolah saja).
peran serta
menciptakan
kebersihan
sekolah
3. Kapan Sekolah
Menengah
Assalihiyah
mendapatkan
penghargaan atas
prestasi kebersihan?
Hok sungguh, buat bersih tu kerja
saya, murid hanya belajar. Kalau
saya buat bersih saja, sekolah
bersih sungguh. Saya bersih-bersih
sejak murid balek rumah sampai
tengah malam. Pah tak do murid
keno denda. Tiga tahun lepas,
orang besar bagi suatu surat sebab
sekolah bersih.
(Sebenarnya yang membersihkan
sekolah memang tugas tukang
kebun sedangkan murid-murid
hanya belajar. Kalau saya hanya
bertugas sebagai tukang kebun saja
dan membersihkan sekolah,
sekolah akan benar-benar bersih.
Saya membersihkan sekolah sejak
murid pulang sekolah sampai
tengah malam. Sehingga tidak akan
ada murid yang mesti mendapat
denda. Tiga tahun yang lalu,
sekolah pernah mendapat
penghargaan dari pemerintah
mengenai kebersihan lingkungan
sekolah).
Penghargaan
dari pemerintah
kepada Sekolah
Menengah
Assalihiyah atas
prestasi
kebersihan
sekolah.
215
DAFTAR SKK
Nama : Wiga Serliati Latri Jurusan: Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan
NIM : 111-11-103 Progdi: Pendidikan Agama Islam
Dosen PA : Dra. Siti Asdiqoh, M.Ag
No. Jenis Kegiatan Waktu Kegiatan Status Nilai
1. Orientasi Pengenalan Akademik dan
Kemahasiswaan (OPAK) dengan tema
“Revitalisasi Gerakan Mahasiswa di era
Modern untuk Kejayaan Indonesia”
diselenggarakan oleh Dewan Mahasiswa
STAIN Salatiga
20-22 Agustus
2011
Peserta 3
2. Achievement Motivation Training (AMT)
dengan tema “Membangun Mahasiswa
Cerdas Emosi, Spiritual, dan Intelektual
Melalui Achievement Motivation Training
(AMT) STAIN Salatiga”
23 Agustus 2011 Peserta 2
3. Orientasi Dasar Keislaman (ODK) dengan
tema “Menemukan Muara Sebagai
Mahasiswa Rahmatan Lil Alamin” di
STAIN Salatiga
24 Agustus 2011 Peserta 2
4. Seminar Entrepreneurship dan Koperasi
oleh Koperasi Mahasiswa (KOPMA) dan
Kajian Study Ekonomi Islam (KSEI) STAIN
Salatiga
25 Agustus 2011 Peserta 2
5. Seminar Regional Kejurnalistikan dengan
tema “reorientasi Peran Jurnalistik dalam
Perspektif Sosial dan Budaya pada Era Post
Modern” oleh Lembaga Pers Mahasiswa
(LPM) Dinamika STAIN Salatiga
6 Oktober 2011 Peserta
4
6. Kegiatan IBTIDA‟ Lembaga Dakwah
Kampus Darul Amal Salatiga dengan teman
“Catatan Harian Mahasiswa Rabbani”
08-09 Oktober
2011
Peserta 2
7. Silaturahmi dan Diskusi SEMA dan
Mahasiswa Baru STAIN Salatiga dengan
tema “Peran Senat Mahasiswa sebagai
Lembaga Legislatif Kampus dalam Ranah
Kampus”
13 Oktober 2011 Peserta 2
8. Seminar Regional dengan tema
“Meningkatkan Nasionalisme Ditengah
Goncangan Disintegrasi dan Pengikisan
Ideologi Nasional” Diselenggarakan Oleh
Resimen Mahasiswa (MENWA) STAIN
Salatiga
26 Oktober 2011 Peserta 2
216
9. Seminar Pendidikan Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) dengan tema “Menuju
Pendidikan Indonesia yang ideal” di Aula
Masjid Darul Amal Salatiga
28 Desember
2011
Peserta 2
10. Seminar Regional dengan tema “Peran
Mahasiswa Dalam Mengenal BLSM (BLT)
Tepat Sasaran oleh DEMA STAIN Salatiga
03 Mei 2012 Peserta 4
11. Akhirussanah Ma‟had STAIN Salatiga 2012 07 Juni 2012 Panitia 3
12. Bimbingan Belajar Menhadapi UAS SIBA
bahasa Inggris dan Bahasa Arab oleh CEC
dan ITTAQO STAIN Salatiga
29 Juni 2012 Peserta 2
13. Program Ma‟had Mahasiswa STAIN
Salatiga selama 1 tahun
07 Juli 2012 Santri
ma‟had
-
14. Dialog Publik dan Silaturahim Nasional
dengan tema “Kemanakah Arah Kebijakan
BBM? Mendorong Subsidi BBM untuk
Rakyat” di Auditorium Pemkot Salatiga oleh
PMII Kota Salatiga
10 November
2012
Peserta 2
15. The Short Course on TOEFL Preparation
Focusing on Structure and Written
Expression Test held by Student Association
of the Islamic Boarding School (Pondok
Pesantren) Salafiyah Pulutan-Sidorejo kota
Salatiga
09-16 februari
2013
Peserta 2
16. Surat Keterangan sebagai Ustadzah/pengajar
di TPQ Al-Ikhlas Tegalrejo Salatiga
Tahun ajaran
2011/2015 hingga
sekarang
Ustadzah 4
17. Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dinamika
STAIN Salatiga dengan tema “Idealisme
Mahasiswa sebagai Modal Utama
Penggerak Jurnalistik Kampus”
06-07 April 2013 Peserta 2
18. Piagam penghargaan blotongan
10 Maret 2013 Peserta 2
19. Pendidikan Tingkat Lanjut KSEI atau Sharia
Economics Training 2 feat Magang di BMT
Rama Salatiga dengan tema “Membangun,
Integritas, Mentalitas, dan Komitmen
Ekonom Robbani”
30 Maret 2013 Peserta 2
20. Seminar Pencegahan Bahaya NAPZA
(Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif),
HIV/AIDS, Mewaspadai Pergaulan Bebas
untuk Membentuk Remaja yang Tangguh
dan Launching PIK SAHAJASA STAIN
Salatiga
29 April 2013 Peserta 2
21. Seminar Nasional Sharia Economic Festival 04 Juni 2013 Peserta 8
217
“Indonesia Will Grow and Shine With
Sharia Economics” oleh KSEI STAIN
Salatiga
22. Sosialisasi dan Silaturahim Nasional dengan
tema “Sosialisasi UU No.1 th 2013 Peran
Serta Fungsi OJK” dan “Peran Pemerintah
dalam Pengawasan LKM (Lembaga
Keuangan Mikro) oleh Himpunan
Mahasiswa Jurusan (HMJ) Tarbiyah dan
Syariah STAIN Salatiga
30 September
2013
Peserta 8
23. Seminar dalam rangka Anniversary LPM
Dinamika dengan tema “Mendetakkan
Jantung Bangsa dengan Jurnalisme” di Aula
kampus STAIN Salatiga
07 Oktober 2013 Panitia 3
24. Pendidikan Pers Mahasiswa Tingkat Dasar
(PPMTD) LPM Dinamika STAIN Salatiga
dengan tema “Menegaskan Kembali
Kepeloporan Pers Mahasiswa di Tengah Era
Globalisasi”
23-24 November
2013
Panitia 3
25. SK Pengangkatan Pengurus Lembaga Pers
Mahasiswa (LPM) Dinamika STAIN
Salatiga masa bakti 2014
31 Januari 2014 Pengurus 4
26. Pelatihan Karya Tulis Ilmiah KSEI STAIN
Salatiga dengan tema “ Optimalisasi Peran
Mahasiswa dalam Menulis Sejak Dini untuk
Kemandirian Sumber Daya Manusia yang
Profesional”
14 Mei 2014 Panitia 3
27. SK Panitia dan Pemateri Pelatihan
Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional
(PJTLN) STAIN Salatiga
31 Mei 2014 Panitia 3
28. Sarasehan “Pengajaran Dengan Kesadaran
Bahwa Setiap Siswa Adalah Istimewa”
07 Mei 2014 Peserta 2
29. Publik Hearing dengan tema “STAIN
Menuju IAIN dari Mahasiswa oleh
Mahasiswa untuk Mahasiswa”
diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa
(SEMA) STAIN Salatiga
10 Juni 2014 Peserta 2
30. Pemateri Pesantren Kilat SMK Negeri 1
Salatiga
15-18 Juli 2014 Pemateri 4
31. Sekolah Pasar Modal Syariah (SPMS) yang
bertema “Level Basic 1 atau Pendidikan
Tingkat 1” oleh Kelompok Studi Ekonomi
Islam (KSEI) STAIN Salatiga
13 Oktober 2014 Panitia 3
32. Tabligh Akbar dengan tema “Membangun
Karakter Mahasiswa Islamic
Enterpreneurship” oleh Kelompok Studi
14 Oktober 2014 Peserta 2
218
Ekonomi Islam (KSEI) STAIN Salatiga
33. Seminar Nasional dengan tema
“Optimalisasi Sumber Daya Insani Terhadap
Lembaga Keuangan Syariah” oleh
Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI)
STAIN Salatiga
14 Oktober 2014 Panitia 8
34. Seminar Nasional dengan tema
“Berkontribusi Untuk Negeri Melalui
Televisi” oleh STAIN Salatiga
05 November
2014
Peserta 8
35. Seminar Internasional Inagurasi IAIN
Salatiga dengan tema “ASEAN Economic
Community 2015, Prospects and Challenges
for Islamic Higher Education”
28 Februari 2015 Peserta 8
36. KKN & PPL Integratif di Seangprathip
Wittaya Mulniti School, Pattani Thailand
Selatan
5 Mei - 6 Oktober
2015
Ustadzah -
37. Seminar kerjasama Jurusan Ilmu
Komunikasi FISIP Undip dan Yayasan Tifa
dengan tema Kebebasan Berekspresi di
Perguruan Tinggi di Jawa Tengah
24 Oktober 2015 Peserta 4
Jumlah
219
LAMPIRAN GAMBAR
Diskusi akhir bulanan bersama murid laki-laki dan perempuan didampingi oleh
beberapa ustadz tentang kepemimpinan
Diskusi rutin siswi kelas akhir tiap 2 minggu sekali di Aula Sekolah tentang
keputrian
220
Kultum tentang budaya Pemuda Pattani bersama pengasuh Pondok menjelang
buka bersama bagi para mahasiswa dari Indonesia
Penjelasan hidup kerukunan di pesantren dari kepala sekolah kepada wali murid
dibantu bersama pengurus dan dewan guru lainnya
221
Wawancara dengan beberapa murid kelas akhir untuk mengaplikasikan konsep
humanisme di sekolah Seangprathip
Hidup rukun antara wali murid dan guru sekolah Seangprathip seusai shalat idul
Fitri
222
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN DAN KESEDIAAN PUBLIKASI
Saya yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : WIGA SERLIATI LATRI
NIM : 111 11 103
Fakultas : TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
Jurusan : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Menyatakan bahwa Tugas Akhir yang saya tuli sini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain. Pendapat temuan orang lain yang
terdapat dalam Tugas Akhir ini dikutip / dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Tugas
Akhir ini diperkenankan untuk dipublikasikan pada e-repository IAIN Salatiga
ccxxiii