bab ii -...

149

Upload: others

Post on 30-Oct-2019

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sesuai dengan KMA No. 517/2001 Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan

intsitusi hukum yang sangat sentral bagi masyarakat, terutama dalam urusannya

dengan hukum pernikahan, kewarisan, harta gono gini, maupun hukum-hukum lain

yang ada hubungannya dengan masyarakat dan negara. Hubungan masyarakat dengan

KUA tidak bisa lepas begitu saja terutama terkait dengan masalah pernikahan. Karena

lembaga KUA satu-satunya lembaga yang berwenang mengeluarkan akte nikah bagi

masyarakat yang melangsungkan pernikahan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.

Jika pernikahan itu tidak dilakukan dihadapan PPN atau sengaja tidak dicatatkan ke

PPN maka KUA tidak memiliki wewenang untuk mengelaurakan akte nikah.

Peristiwa seperti ini oleh sebagian masyarakat dikatakan pernikahan sirri.

Dewasa ini fenomena nikah sirri menjadi isu menarik untuk diperbincangkan

secara serius, bukan karena nikah sirri tersebut dilakukan dengan sembunyi-sembunyi

dan menuai kontroversi di kalangan ahli hukum di Indonesia, melainkan nikah sirri

tersebut sudah menjadi perilaku yang tidak tabu baik di kalangan pejabat, selebriti,

peraktisi politik atau bahkan tokoh agama dan juga tokoh masyarakat. Selain itu juga

realitas praktik nikah sirri di masyarakat menimbulkan banyak masalah yang tidak

sederhana dalam menjalani kehidupan keluarga. Mulai dari masalah ekonomi, sosial,

budaya sampai pada masalah hukum.

Pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan sebagaimana diterangkan

dalm UU No I/ 1974 pasal 2 ayat 2 bahwa: ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan yang berlaku”. Kemudian ditegaskan lagi pelaksanaannya dalam PP No.9

/1975 dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa: ”Setiap orang yang akan

melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat

Nikah di tempat perkawinan akan dilangsungkan”.1

Hakikat dari pencatatan perkawinan menurut UU No I/1974 bertujuan untuk

mewujudkan ketertiban perkawinan di tengan masyarakat, untuk melindungi martabat

dan kesucian perkawinan, khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah

tangga. Dengan akte nikah, suami istri memiliki bukti autentik atas perbuatan hukum

yang telah mereka lakukan. Bukti otentik semacam ini sangat urgen sebagai tali

pengikat tanggung jawab semua pihak agar terjamin nilai keadilan dan ketertiban

yang menjadi pilar utama tegaknya kehidupan rumah tangga.2 Sehingga jika ada

orang yang melaksanakan pernikahan walau sudah memenuhi syarat dan rukun

1 Selanjutnya dijelaskan dalam KHI pasal 5: (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi

masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1)

dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam UU No.22 Tahun 1946 jo. UU No. 32

Tahun 1954. Dari pasal-pasal dalam UU maupun KHI ini muncul berbagai analisis, apakah pencatatan

perkawinan ini sebagai sayarat sah atau sebagai syarat administrasi. Ada beberapa alasan yang

dikemukakan bahwa pencatatan sebagai syarat sah perkawinan. Pertama, selain didukung oleh praktik

hukum dari badan-badan publik, juga pasal-pasal Perpu pelaksanaan UUP (PP. No.9 Tahun 1975) dan juga

dari jiwa dan hakikat UUP itu sendiri. Kedua, ayat yang ada di dalam pasal 2 UUP harus dipandang sebagai

satu kesatuan yang tidak terpisah. Ketiga, apabila isi pasal 2 UUP dikaitkan dengan bab III (pasal 13s/d21)

dan Bab IV (pasal 22s/d28), masing-masing tentang pencegahan dan pembatalan, hanya bisa dilakukan

apabila diatur di dalam PP No.9/1975. bila perkwinan sah tanpa ada pencatatan, pasal pencegahan dan

pembatalan menjadi tidak ada gunanya. Keempat, dari sisi bahasa, arti kata ”dan” pada pasal 2 ayat 1 UUP

berarti kumulatif. Khaoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-

undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta-Leiden,:INIS, 2002),

hlm.158-159. Bagi mereka yang berpendapat bahwa pencatatan hanya sebagai syarat administrasi

beralasan, sebagaimana dikemukakan oleh Wasit Aulawi dalam Sejarah Perkembangan Hukum Islam di

Indonesia, secara tegas UUP No. 1 Tahun 1974 hanya mengatur pencatatan perkawinan, talak, dan rujuk,

yang berarti hanya acara, bukan materi hukum.

2 Bukti autentik berupa akta nikah pada zaman Nabi belum begitu penting, mengingat kultur

menulis pada waktu tdak begitu penting karena kultur lesan (hafalan) lebih berkembang, sedangkan tradisi

walimatul ’ursy walau hanya seekor kambing merupakan saksi syar‟i, selain itu perkawinan pada waktu itu

berlangsung dengan jarak yang dekat. Baca dalam Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,

(Jakarta: Prenada Media:2004), hlm. 120-121.

pernikahan, namun tidak tercatat ataupun sengaja tidak dicacat dikenal oleh

masyarakat dengan sebutan nikah sirri.3

Jika ditinjau dari sudut pandang agama Islam, pernikahan sirri memang sudah

sah karena sudah sesuai dengan syarat dan rukun nikah, akan tetapi tetap memiliki

sisi negatif karena tidak memiliki akte nikah dari KUA. Sudah menjadi rahasia umum

bagi masyarakat bahwa nikah sirri ini dilakukan sebagai jalan pintas bagi kedua

pasangan untuk melakukan nikah dengan berbagai faktor.

Nikah siri dapat diartikan nikah diam-diam. Dalam tinjauan sosiologi, jika apa

yang dipikirkan atau diperbuat seseorang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut

masyarakat, maka orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan anomali nilai atau

keanehan. Akibatnya, masyarakat akan memberikan sanksi sosial. Sanksi tersebut

bisa berupa label, identifikasi-identifikasi tertentu, bahkan hukuman. “Terutama

perempuan, karena selama ini dalam sanksi sosial masyarakat, perempuan yang

banyak terkena,” ungkap pengamat sekaligus dosen Sosiologi, Muhammad Hayat.4

Menurut Peraturan Perundang-Undangan mengkategorikan sebagai pidana

pelanggaran dengan sanksi:

a. Suami istri yang melakukan perkawinan ini menurut Pasal 45 ayat (1) PP. No. 9 Th. 1975 dikenakan sanksi hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).

b. Orang yang bertindak melangsungkan perkawinan diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah), sedangkan pasal 530 KUHP memberikan pidana Rp. 4.500,-.

3 Di kalangan masyarakat sendiri muncul perbedaan pendapat tentang kebsahan hukum perbikahan

ini. Perbedaan ini muncul dari pertanyaan apakah pencatatan ini sebagai rukun sehingga mempengaruhi

sahnya pernikahan, atau hanya sebagai syarat administrasi. Dari perbedaan tersebut Atho‟ Muzhar

menganalisis bahwa pencatatan perkawian harus dilihat sebagai bentuk baru cara mengumumkan

perkaiwnan. Lebih jauh dari pencatatan ini lebih maslahat terutama bagi wanita dan anak-anak. Baca dalam

M. Atho Muzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi, (Jakarta: Titian Ilahi Pres,

1998), hlm. 180. 4 http://bestari.umm.ac.id/index.php/laporan/laporan-utama/204-siri-bukan-jalan-aman-pidana-

bukan-penyelesaian

Jika perkawinan tersebut dilangsungkan belum berjalan (dua) tahun, maka ditambah dengan ancaman pidana paling lama 2 (dua) bulan penjara.

Dengan berjalannya waktu, maka sanksi tersebut menjadi sangat ringan,

sehingga saat ini tengah dipersiapkan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama yang

memberikan sanksi lebih berat terhadap perkawinan yang dilakukan tidak di

hadapan PPN, Penghulu atau Pembantu PPN, yaitu:

a. Pada pasal 143 dan 151 Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama disebutkan bahwa Suami istri dipidana denda sebanyak-banyaknya Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau sanksi kurungan penjara paling lama 6 (enam) bulan penjara dengan kategori pidana pelanggaran.

b. Pada pasal 147 dan 151 Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Orang yang bertindak melangsungkan perkawinan diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun penjara dengan kategori pidana kejahatan.

Sanksi tersebut nampaknya tidak efektif karena ternyata persoalan yang kita

hadapi sekarang adalah kenyataan bahwa masih banyak masyarakat yang banyak

melakukan nikah sirri. Kasus ini terjadi di berbagai lapisan masyarakat mulai dari

pelosok desa sampai ke kota, dari pejabat sampai rakyat jelata, dari orang miskin

sampai orang kaya, dari orang yang tidak berpendidikan sampai para sarjana, dari

santri sampai para kyai. Banyak anak-anak yang sulit mencari akta kelahiran dengan

mencantumkan nama bapaknya. Banyak perempuan yang menuntut hak-haknya tapi

tidak didengarkan oleh masyarakat dan negara.5

Fenomena pernikahan sirri dari waktu ke waktu tidak semakin berkurang tapi

justru semakin bertambah. Bahkan masyarakat juga pelaku nikah sirri tersebut merasa

5 Kasus Machicha Mukhtar yang mengajukan perkara pengakuan anak yang bernama Muhammad

Iqbal Ramdhan sebagai anak yang sah dari pernikahannya (nikah sirri) dengan Moerdiono ke MK

merupakan bukti bahwa Negara berdasarkan UU No.I/1974 tidak mengakui anak yang dilahirkan dari

pernikahan secara sirri. Akhirnya keputusan MK terhadap pengakuan anak Machicha Mukhtar menuai

kontroversi.

bertambah nyaman karena hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh dirinya. Dalam

kasus ini KUA memiliki peran yang sangat signifikan dalam menekan angka sirri

disetiap wilayah hukumnya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana respon dan usaha-usaha KUA dalam menghadapi illegal

wedding yang tejadi di Kota Salatiga?

2. Apa sanksi yang diberikan oleh KUA juga masyarakat terhadap pelaku illegal

weddig?

3. Apa hambatan-hambatan KUA dalam mengantisipasi terjadinya illegal wedding

di Kota Salatiga?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui sikap KUA Kota Salatiga dalam menanggapai berbagai kasus

pernikahan sirri.

2. Untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan oleh KUA dan PA Kota Salatiga

dalam mengantisipasi terjadinya pernikahan sirri.

3. Untuk mengetahui sanksi yang dilakukan KUA juga masyarakat terhadap

terjadinya pernikahan sirri di Kota Salatiga.

D. Kegunaan Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan masukan bagi berbagai pihak

yang berwenang dalam hal ini para ulama, masyarakat dan juga pemerintah dalam

mensikapi kasus pernikahan sirri di Indonesia terkait dengan rencana pemidanaan

kasus nikah sirri.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat dan negara dalam menanggulangi

terjadinya pernikahan sirri.

.

E. Telaah Pustaka

Meski merupakan kajian yang kemunculannya sudah tidak asing lagi di

kalangan masyarakat Indonesia, namun nikah sirri tetap memiliki nilai-nilai

ketertarikan tersendiri bagi pemerhati hukum, sosiologi, juga bagi para feminis baik

untuk mengapresiasi atau untuk mengkritiknya. Kajian terhadap pernikahan sirri ini

tentu saja tidak dilepaskan dari maraknya fenomena nikah sirri yang terjadi di

masyarakat Indonesia. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa nikah sirri dari

hari ke hari semakin ramai dibicarakan, mengingat kasus ini tidak hanya terjadi di

pedesaan yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan, namun juga di perkotaan yang penuh

dengan perkembangan peradaban.

Di antara kajian yang pernah dilakukan dalam kaitannya dengan fenomena

nikah sirri baik dari sudut pandang hukum maupun sosiologi antara lain; penelitian

yang dilakukan oleh Syukri Fathudin AW dan Vita Fitri yang berjudul Problematika

Nikah Sirri dan Akibat Hukumnya bagi Perempuan. Penelitian terfokus pada apa

faktor-faktor terjadinya nikah sirri, apa problem yang menyertai nikah sirri dan apa

dampak hukum pernikahan sirri bagi perempuan. Data-data tersebut kemudian

dianalisis dengan analisis gender dengan cara mengemukakan kekuatan kelemahan

peluang dan ancaman. Dari analisis ini dijelaskan bahwa nikah sirri hanya memiliki

satu kekutan yakni sah secara agama. Sedangkan kelemahan yang paling nyata adalah

ketidakabsahan secara hukum positif. Kelemahan ini akan menimbulkan ancaman

dikemudian hari. Sedangkan peluangnya adalah walimatul ursy sebagai modal untuk

mempublikasikan pernikahan tersebut. Penelitian dengan subjek yang sama

(mahasiswa di Yogyakarta) adalah penelitian yang dilakukan oleh Dady Suhaedi

dengan judul Nikah di Bawah Tangan Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Yogyakarta.

Pokok pemasalahan dalam penelitian antara lain: mengapa ada mahasiswa Muslim

Yogyakarta yang melakukan nikah sirri, apakah faktor-faktor yang mendorong atau

mempengaruhinya, bagimanakah nikah sirri mereka serta apakah makna yang

terkandung dibalik praktik tersebut.6 Dalam menjawab permasalahan ini Dady

memakai teori tindakan rasionaliltas instrumental yang meliputi pertimbangan dan

pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan dan alat yang dipergunakan

dan tindakan yang didasarkan pada rasionalitas yang berorientasi pada nilai.

Dari hasil penelitiannya ada beberapa tindakan yang didasarkan pada

rasionalitas instrumental nikah sirri dengan tujuan antara lain: Pertama, bersifat

normatif, dalam konteks ini secara spesifik adalah yang berkaitan dengan sebab,

motivasi dan tujuan yang didasarkan pada norma-norma agama Islam. Kedua, bersifat

psikologis, berkaitan dengan tujuan atau alasan yang bersifat kejiwaan, yaitu untuk

mengatasi keresahan, kecemasan atau kekhawatiran, sehingga jiwa menjadi tenang

dan tentram. Ketiga, sosial ekonomis, berkaitan dengan penyebab atau alasan dari

masyarakat dan orang tua dengan alasan keuangan, biaya hidup, dan pekerjaan yang

seringkali menjadi pertimbangan dan kendala bagi yang akan menikah. Keempat,

6 Dadi Nurahedi, 2003, Nikah di Bawah Tangan: Praktik Nikah Sirro Mahasiswa Yogja,

(Yogjakarta, Ar Ruuz), hlm. 32

bersifat biologis, berkaitan dengan motivasi untuk memperoleh pengaturan dan

kepuasan seksual.7

Sedangkan perilaku yang nikah sirri yang berorientasi pada nilai berkeyakinan

bahwa prosesi nikah yang dipimpin oleh ulama atau kyai lebih utama dibandingkan

dengan petugas pemerintah. Selain itu mereka berkeyakinan bahwa nikah sebaiknya

dilakukan dengan orang-orang yang masih dalam satu komunitas.8

Hampir sama dengan Syukri dan Dady yang menjadi subjek penelitian

mahasiswa adalah Erlina. Ia juga melakukan penelitian tentang nikah sirri dengan

judul Nikah Sirri di Kalangan Mahasiswa (Studi Kasus pada Mahasiswa di Kota

Malang. Yang menjadi fokus penelitian ini adalah faktor-faktor terjadinya nikah sirri

serta kehidupan rumah tangga mereka dalam menjalankan fungsi keluarga.

Ditemukan jawaban bahwa yang menjadi faktor terjadinya nikah sirri adalah lamanya

waktu pacaran, Merriage By Accident (MBA), tuntutan orang tua, tidak mendapat

restu orang tua, dan pemahaman nilai-nilai agama yang kuat. Sedangkan jawaban atas

pertanyaan kedua tidak terlihat karena ternyata mahasiswa yang nikah sirri masih

tinggal secara terpisah.

Penelitian lain dengan menggunakan pendekatan maqasidus syari’ah

dilakukan oleh Rahmawati Ahadiyah dengan judul Studi Maqasid Al Syari’ah

terhadap Dampak Nikah Sirri. Dalam penelitian ini ditemukan dampak dari nikah

sirri yaitu tidak bisa mewujudkan tujuan nikah yang sesuai dengan syari‟ah. Oleh

karena itu seharusnya pencatatan nikah tidak hanya sebagai syarat administrasi tetapi

7 Ibid. hlm 187-188

8 Hlm.189

masuk pada hukum wajib. Dan pemerintah seharusnya terus mensosialisasikannya

agar masyarakat sadar hukum sehingga pernikahan sirri bisa dicegah.

Fenomena nikah sirri juga pernah diteliti oleh Nasirudin Hidayah dengan

judul Fenomena Perkawinan Tanpa Dicatatkan (Studi Kasus di Desa Waru Timur

Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan). Penelitian ini menyoroti tentang sebab-

sebab terjadinya nikah sirri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebab-sebab

terjadinya nikah sirri antara lain: bahwa mencatatkan nikah merupakan suatu yang

prosedural dianggap kurang efektif dan kurang efisien. Hal ini ini disebabkan karena

prosesnya yang kurang praktis dan juga biaya yang terlalu tinggi dan masyarakat

merasa keberatan terhadap biaya tersebut.

Penelitian yang dilakukan di masyarakat adalah penelitian Achmad Machfud

yang berjudul Pernikahan di Bawah Tangan (Studi Kasus tentang Budaya Nikah Sirri

di Kecamatan Rembang Kabupaten Pasuruan. Pertanyaan mendasar dalam penelitian

adalah pertama, bagaimanakah nilai-nilai budaya yang berhubungan dengan

pernikahan yang berkembang di masyarakat. Kedua, apa yang menjadi latar belakang

dilakukan nikah sirri. Jawaban dari pertanyaan tersebut bahwa nilai agama dan nilai

budaya yang menyebabkan masyarakat melakukan nikah sirri, adapun faktor

terjadinya nikah sirri antara lain; adanya komitmen masyarakat tentang kebolehan

nikah sirri, ekonomi masyarakat di bawah rata-rata, rendahnya kesadaran hukum

masyarakat, dan keyakinan mencari hari baik sesuai dengan hari dan tanggal

kelahiran mereka.

Penelitian yang memfokuskan pada perempuan pernah dilakukan oleh

Pristiyani Yuliani dengan judul Harga Diri Perempuan Jawa Studi Fenomenologi

tehadap Keluarga Menjalani Pernikahan Siri di Desa Pasi Kabupaten Lumajang.

Temuan penelitian ini yaitu perempuan Jawa memiliki beberapa pandangan terhadap

pernikahan sirri, yaitu (1) Pernikahan sirri adalah usaha untuk menjaga nama baik

keluarga. (2) Mencari keamanan dari fitnah masyarakat. (3) Menjadi istri kedua. (4)

Mencari perlindungan dan dukungan ekonomi. Deskripsi harga diri perempuan jawa

yang menjalani pernikahan siri ditemukan bahwa (1) Takut hidup sendiri. (2)

Menikmati kehidupan selama menikah siri. (3) Dari pada tidak laku. (4)

Membutuhkan bantuan dalam menjalani hidup.

Adapun penelitian yang diangkat menjadi disertasi adalah penelitian yang

dilakukan oleh Haris Hasanuddin di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Disertasi tersebut

sudah dipertahankan dalam ujian terbuka dengan judul Makna Nikah Sirri bagi

Kalangan Berkeluarga di Sidoarjo. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah;

pertama, bagaimana pelaku nikah sirri kalangan berkeluarga mendefinisikan dan

memahami pernikahan yang dilakukan, kedua, mengapa kalangan berkeluarga

melakukan nikah sirri serta bagaimana pelaku nikah sirri memaknai nikah sirri yang

dilakukan. Dua pertanyaan tersebut nampak memiliki makna yang sama maka pada

dasarnya pertanyaan itu satu. Jawaban yang dikemukakan bahwa makna nikah sirri

adalah sebagai ritual untuk menentramkan batin agar tidak merasa berdosa. Namun

pada dasarnya motivasi dibalik pelaksanaan nikah sirri tersebut adalah faktor

biologis.

Hasil penelitian yang diterbitkan oleh DIKTIS adalah Akseptabilitas Regulasi

Kriminalisasi Pelaku Kawin Sirri Menurut Pemuka Masyarakat Madura. Hasil

penelitian ini menggambarakan bahwa ada tiga pendapat pemuka agama tentang

ekseptabilitas rencana regulasi tentang kriminalisasi bagi pelaku nika sirri. Pertama,

mendukung penuh, kedua, menolak penuh, ketiga, menolak sebagian dan mendukung

sebagian.9

Banyak buku-buku yang membahas tentang nikah sirri baik secara

komprehensif atau satu bab saja. Buku tipe yang pertama antara lain karya Neng

Djubaidah dengan judul Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan

Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Inti dalam buku ini adalah

ketidaksetujuan penulis jika nikah sirri itu tidak sah secara hukum. Menurutnya

keharusan pencatatatan nikah itu hanya akan melumpuhkan hukum perkawinan Islam.

Bukti akte nikah sebagai satu-satunya bukti hanya merupakan pengaruh pemikiran

sekularisme.10

M.Ikhsanuddin dan kawan-kawan (ed) dalam buku yang berjudul Panduan

Fiqh Perempuan di Pesantren, mengusung tema nikah sirri dalam bab 12. Dalam

buku ini nampak sekali kontroversi dengan buku karya Neng Djubaidah. Buku ini

mengemukakan bahwa keabsahan nikah sirri secara hukum Islam itu justru

sekularisasi terhadap agama, artinya mengatakan bahwa nikah sirri itu sah menurut

agama dan tidak sah menurut negara. Alasanya bahwa nikah sirri tidak bisa

mewujudkan maksud-maksud disyariatkannya pernikahan, bahkan menimbulkan

mafsadah yang lebih besar.11

Quraisy Syihab dalam bukunya Perempuan...dari Cinta

sampai Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias

Baru..membahas nikah sirri dalam satu bab. Syihab mengemukakan bahwa nikah sirri

9 Siti Musawwamah, Akseptabilitas Regulasi Kriminalisasi Pelaku Kawin Sirri Menurut Pemuka

Masyarakat Madura, (Jakarta: Diktis, 2012), hlm. 173 10

Neng Djubaedah, Op.Cit, hlm.241

11 Mudhafar Badri, Op.Cit. hlm. 167-168.

merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan yang dapat

menghilangkan hak-haknya, bahkan tidak jarang terjadi lahir hubungan seks di luar

pernikahan dengan dalih nikah sirri.12

Karya M Nur Yasin dengan judul Hukum

Perkawinan Islam Sasak mengungkapkan tentang nikah sirri dengan judul Relasi

Kompilasi Hukum Islam dan Tradisi Sasak (Kajian Kawin Cerai Bawah Tangan di

Kota Mataram. Adapun hasil penelitian adalah adanya tiga pola relasi perkawinan

yang ideal dan fakta sosial kawin cerai bawah tangan yaitu; pola hegemoni, pola

stigma dan pola konflik.13

Selain buku dan hasil penelitian tentang nikah sirri banyak sekali artikel-

artikel yang membahas tentang masalah ini. Antara lain; karya Muhlas Rofii yang

berjudul Kontroversi Nikah Sirri Dalam Konsep Sosiologi Hukum. Meski ada dua

tinjauan yang dilakukan namun kajian yang dilakukan baru sampai pada dataran

deskriptif tanpa didukung data-data empiris. Ia kemudian menawarkan solusi dengan

mengajukan permohoan itsbat ke pengadilan agama. Ternyata solusi tersebut tidak

mampu menjawab permasalahan karena jika tidak ada bukti maka permohonan

tersebut sulit untuk dikabulkan. Anjar Nugroho juga menulis artikel dengan judul

Nikah Muth‟ah dan Nikah Sirri: dalam Tinjauan Normatif dan Historis sosiologis.

Walau penelitian tentang pernikahan sirri pernah dilakukan di Salatigaakan

tetapi hasil penelitian tersebut masih sangat dangkal karena hanya mengungkap

faktor, tujuan dan persepsi masyarakat berdasarkan wawancara yang tidak mendalam

serta tidak menganalisis dari sudut pandang tertentu.14

Penelitian ini akan difokuskan

12

M. Quraisy Shihab, Op.Cit. hlm. 241.

13 M Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak (Malang; UIN Malang Press; 2008), hlm. 25-85.

14 Siti Zumrotun, Fenomena Nikah Sirri di Salatiga, (Salatiga, tidak diterbitkan, 2006)

pada peran KUA juga masyarakat dalam menanggulangi terjadinya nikah sirri juga

sanksi sosial masyarakat terhadap pelaku nikah sirri.

F. Kerangka Teoritik

1. Teori Peran

Menurut Robert Linton (1936), teori peran menggambarkan interaksi

sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang

ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran

merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam

kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini KUA dan masyarakat mempunyai

peran tertentu terhadap terjadinya kasus pernikahan sirri. Dengan teori ini KUA

diharapkan memiliki peran yang maksimal dalam menanggulangi terjadinya

pernikahan sirri yang terjadi di masyarakat. Mengapa masyarakat harus datang

ke KUA untuk mencatatkan pernikahannya? karena KUA merupakan lembaga

yang memiliki tugas dan wewenang terhadap pencatatan nikah khusus bagi

masyarakat yang beragama Islam.

Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu

memperluas penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-

course” memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada

setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-

kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian

besar warga Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah ketika berusia empat

atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja

pada usia tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh,

pensiun pada usia enam puluh tahun.

Di Indonesia berbeda, usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya

pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh lima

tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age grading). Dalam masyarakat

kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanak-kanak, masa remaja,

masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai bermacam-macam

pembagian lagi.

2. Sanksi Hukum Pelaku Nikah Sirri

Pencatatan pernikahan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia

merupakan hal urgen. Hal ini merupakan amanah dari Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada pasal 2 ayat 2

disebutkan bahwa ”tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku”. Kemudian PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan

UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Selain itu juga pentingnya pencatatan

pernikahan itu dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 ayat 1 : agar

terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus

dicatat.

Salah satu contoh negara Timur Tengah yang mengatur pencatatan

pernikahan di antaranya Mesir. Menurut Undang-Undang Perkawinan Republik

Arab Mesir Nomor 78 Tahun 1931: tidak akan didengar suatu pengaduan tentang

perkawinan atau tentang hal-hal yang didasarkan atas perkawinan kecuali

berdasarkan adanya pencatatan akad nikah atau adanya dokumen resmi

pernikahan. Republik Mesir menggunakan istilah Az-Zawaj Al-u’rfi bagi setiap

pernikahan yang tidak tercatat bukan menggunakan istilah nikah sirri.

Karena pentingnya pencatatan pernikahan ini, maka ada sanksi tertulis

bagi warga negara Indonesia secara umum yang melakukan nikah sirri atau tidak

dicatat. Namun, sanksi yang akan diberikan itu dalam tataran Peraturan

Pemerintah bukan dalam tataran undang-undang.

Sanksi bagi yang melakukan nikah sirri yang tidak mencatat

pernikahannya terdapat dalam PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU

No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 45 ayat 1 poin a : Barang siapa yang

melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3,10 ayat 3,40 Peraturan Pemerintah

ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500 (tujuh ribu lima

ratus rupiah).

Sepintas, sanksi yang diberikan oleh negara melalui Peraturan Pemerintah

ini sangat ringan dan masih membuka peluang untuk terjadinya nikah sirri

kembali. Denda yang diwajibkan negara merupakan tindak pidana pelanggaran

sebagaimana yang terdapat dalam pasal 45 ayat 2 dalam PP ini : tindak pidana

yang dimaksud dalam ayat 1 di atas merupakan pelanggaran.

G. Metode Penelitian

1. Fokus Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, pertama yang harus dilakukan adalah

menentukan research question atau fokus penelitian. Penentuan fokus penelitian

ini bertujuan untuk memberikan arah selama penelitian berlangsung. Utamanya

pada saat pengumpulan data, agar peneliti mampu membedakan antara data yang

relevan dengan tujuan penelitian. Namun fokus peneilitian ini sangat

memungkinkan berubah pada saat berada dil lapangan.15

Penelitian ini akan difokuskan pada Kantor Urusan Agama di Kota

Salatiga. Kota ini terletak di tengah-tengah antara Solo dan Semarang. Salatiga

merupakan sebuah kota kecil yang hanya memiliki 4 kecamatan dan 22 kelurahan.

Walaupun begitu masyarakatnya sangatlah heterogen. Terdiri dari berbagai suku

juga agama yang hidup berdampingan dan rukun. Kota Salatiga merupakan kota

dengan udara dingin mengingat letak kota ini ada dilereng gunung Merapi dan

Merbabu.

2. Setting dan Subjek Penelitian

Setting dan subjek penelitian merupakan satu kesatuan yang telah

ditentukan sejak awal penelitian. Setting penelitian ini menunjukkan komunitas

yang akan diteliti sekaligus kondisi fisik dan sosial mereka.

Subjek penelitian ditentukan secara sengaja sesuai dengan fokus

penelitian, yang kemudian akan menjadi informan dalam penelitian. Informan

penelitian ini meliputi beberapa macam; pertama, informan kunci (key informan),

15

Bagong Suyanto&Sutinah (ed), Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan,(

Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hlm. 170-171.

yaitu meereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang

diperlukan dalam penelitian. Kedua, informan utama, yaitu mereka yang terlihat

langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Ketiga, informasi tambahan, yaitu

mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam

interaksi sosial yang diteliti.16

Adapun yang akan menjadi informan kunci dalam penelitian adalah para

pegawai KUA di Kota Salatiga. Sedangkann yang menjadi informan utama dalam

penelitian ini adalah tokoh masyarakat, kyai, yang menikahkan secara sirri.

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menghasilkan data deskriptif

mengenai kata-kata lesan. Oleh karena itu jenis penelitian yang akan dilakukan

adalah penelitian kualitatif. Terdapat lima ciri pokok dalam penelitian ini yaitu:

penelitian kualitatif mempunyai latar belakang alami dan peneliti sendiri berperan

sebagai informan, bersifat deskriptif, lebih menekankan proses dari pada produk,

cenderung menganalisis data secara induktif, dan makna sangat penting artinya.17

Adapun pendekatan yang akan dilakukan adalah pendekatan yuridis

sosiologis.

4. Teknik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data bisa dilakukan dengan observasi (pengamatan),

interview (wawancara), dan juga dokumentasi. Wawancara adalah merupakan

pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab,

16

Bagong Suyanto, hlm. 171-172.

17 Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, (Yogyakarta, Tiara Wacana,, 2992) hlm. 81-

82

sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.18

Wawancara

merupakan cara yang dipergunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan

guna mencapai tujuan tertentu.19

Tujuan wawancara dalam penelitian ini untuk

mendapatkan informasi secara lengkap tentang peran KUA dalam menanggulangi

terjadinya pernikahan sirri di Kota Salatiga. Alasan wawancara sebagai alat untuk

mengumpulkan data adalah karena fleksibel sehingga jawaban-jawaban dari

informan atau responden akan menjadi landasan percakapan yang mengalir.20

Selain itu wawancara juga akan bisa diketahui hal-hal secara mendalam tentang

partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di mana

hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi.

Ada beberapa macam jenis wawancara,21

namun kami hanya

menggunakan satu yaitu wawancara tak berstruktur (unstructured interview).

Wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara

yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap. Akan tetapi peneliti hanya akan

menggunakan garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Mengingat

peneliti belum tahu secara persis data apa yang akan diperoleh, sehingga peneliti

akan banyak mendengarkan apa yang diceritakan oleh responden.22

Keadaaan ini

18

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, ( Bandung: Alfabeta: 2010)

hlm.231.

19 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; Rineka Cipta: 2001) hlm.95

20 Cristine Daymon &Immy Holloway, , Qualitative Reasearch Methods in Public Relations and

Marketing Communications. hlm. 259

21 Wawancara tidak terstruktur, wawancara semi-terstruktur, wawancara terstruktur dan

wawancara on line, baca dalam Crstin Daymon, , Qualitative Reasearch Methods in Public Relations and

Marketing Communications. hlm.264-268

22 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, hlm. 233-234.

dimaksudkan agar wawancara bisa berlangsung secara luwes dengan arah yang

lebih terbuka.

Sebelum melakukan wawancara peneliti menyusun langkah-langkah

agar data yang dimaksud bisa terpenuhi.langkah-langkah tersebut adalah:23

1) Menetapkan kepada siapa wawancara itu akan dilakukan.

2) Menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan pembicaraan.

3) Mengawali atau membuka alur wawancara.

4) Melangsungkan alur wawancara.

5) Mengkonfirmasikan ikhtisar hasil wawancara dan mengakhirinya.

6) Menuliskan hasil wawancara ke dalam catatan lapangan.

7) Mengidentifikasikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh.

Supaya hasil wawancara dapat terekam dengan baik, dan peneliti

memiliki bukti telah melakukan wawancara kepada informan atau sumber data,

maka peneliti mencatat langsung setiap melakukan wawancara. Selain

menyiapkan langkah-langkah dan juga melakukan pencatatan, agar tidak muncul

kecurigaan atas berbagai pertanyan yang muncul, maka peneliti harus mampu

menciptakan suatu hubungan yang akrab dengan subjeknya.

5. Uji Keabsahan Data

Mengingat bahwa penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan

melibatkan informan, maka uji keabsahan data akan dilakukan dengan

trianggulasi. Hal ini digunakan dalam rangka menguji pemahaman peneliti

dengan pemahaman informan tentang hal-hal yang diinformasikan kepada

23

Sugoyono, hlm. 235.

peneliti.24

Trianggulasi ini bisa dilakukan dengan dua cara yaitu, pertama,

dilakukan setelah wawancara. Peneliti langsung melakukan uji pemahaman

kepada informan. Kedua, jika wawancara dilakukan berkali-kali, maka

trianggulasi dilakukan saat wawancara berakhir dan draf laporan sudah disusun

sebelum diujikan dengan meminta informan membaca draf laporan tersebut.

Uji kebenaran data dalam penelitian ini dalam rangka memperoleh

kebenaran intersubjektif. Oleh karena itu sesuatu dianggap benar apabila

kebenaran itu mewakili kebenaran orang banyak atau kebenaran stakeholder.

Kebenaran bukan saja muncul dari wacana etik, namun juga menjadi wacana

etnik dari masyarakat yang diteliti.25

6. Teknik Analisis Data

Analisis data menurut Bogdan proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-

bahan lain, sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya dapat diinformasikan

kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data,

menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola,

memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan

yang akan diceritakan kepada orang lain.26

Dalam penelitian ini analisis data dilakukan secara induktif, yaitu suatu

analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi

hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan selanjutnya dicarikan data lagi

24

Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan Metodologis

Penguasaan Model dan Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2010), hlm. 204

25 Burhan Bungin, hlm. 205.

26 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, hlm.244

secara berulang-ulang sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis

tersebut diterima atau ditolak berdasarkan data yang terkumpul. Bila berdasarkan

data yang dikumpulkan secara berulang-ulang dengan teknik trianggulasi,

ternyata hipotesis diterima, maka hipotesis tersebut berkembang menjadi teori.27

Dari sini nampak bahwa dalam analisis induktif teori menjadi hal yang tidak

penting, karena datalah yang sangat penting. Sedangkan teori akan dibangun

berdasarkan temuan data di lapangan. Data menjadi segalanya dalam

memecahkan semua masalah penelitian. Dalam penelitian ini kemudian sebuah

teori dibangun berdasarkan pada tindakan eksplorasi.

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki

lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Analisis sebelum

terjun ke lapangan ini dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan, atau data

sekunder yang digunakan untuk menentukan fokus penelitian.

H. Sistematika Pembahasan

Rencana penelitian ini membahas tentang peran KUA dalam menanggulangi

terjadinya pernikahan sirri. di Kota Salatiga. Agar penyajian laporan tersusun secara

sistematis dan terarah, laporan ini akan terdiri dari tiga bagian, yakni: pendahuluan,

isi dan penutup.28

Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh langkah sebagai

berikut. Langkah pertama pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode tersebut

27

Sugoyono, hlm.245. oleh karena itu peneliti tidak terpaku dengan satu teori tertentu lalu

membuktikannya, namun dengan satu bidang kajian dan hal-hal yang terkait dengan bidangn akjian

tersebut yakni bidang sosiologi. Baca Anselm Strauss &Juliet Corbin, Basics of Qualitative Research

Grounded Theory Procedures and Techniques, terj. Muhammad Shodiq, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar:

2007), hlm. 10-11

28 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, hlm.211-215

meliputi pendekatan yang digunakan serta alasan penggunaannya, fokus penelitian,

cara-cara pengumpulan data, uji keabsahan data, analisis data

Langkah kedua, berisi tentang perspektif teoritik yang digunakan sebagai

perspektif baik dalam membantu merumuskan masalah (kembali) fokus penelitian

maupun dalam melakukan analisis data atau membahas temuan-temuan penelitian.

Penyajian teori ini meliputi teori peran, pengertian nikah sirri (illegal wedding)

Sejarah, tugas dan wewenang KUA, bentuk-bentuk perkawinan, sanksi nikah sirri.

Langkah keempat, hasil penelitian yang diawali dengan menyajikan selayang

pandang kota Salatiga dan sekitarnya yang meliputi: struktur sosial kemasyarakatan,

keagamaan, kultur, ekonomi, serta politik Kota Salatiga. Selanjutnya disajikan hasil

penelitian tentang peran KUA dalam menanggulangi terjadinya nikah sirri di Kota

Salatiga, secara sistematik sesuai urutan pokok masalah.

Langkah kelima, pembahasan hasil penelitian yang meliputi respon KUA

terhadap adanya pernikahan sirri di Kota Salatiga, usaha-usaha KUA dalam

menanggulangi terjadinya pernikahan sirri serta hambatan-hambatannya, sanksi bagi

mereka yang menikahkan secara sirri maupun bagi pelaku.

Langkah terakhir (keenam) menyimpulkan hasil penelitian dengan singkat dan

jelas.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Teori Peran

Teori peran (role theory) mendefinisikan “peran” atau “role” sebagai “the

boundaries and sets of expectations applied to role incumbents of a particular

position, which are determined by the role incumbent and the role senders within and

beyond the organization’s boundaries” (Banton, 1965; Katz &Kahn, 1966, dalam

Bauer, 2003: 54). Selain itu, Robbins (2001: 227) mendefinisikan peran sebagai “a

set of expected behavior patterns attributed to someone occupying a given position in

a social unit”.

Menurut Dougherty & Pritchard (1985) dalam Bauer (2003: 55), teori peran

ini memberikan suatu kerangka konseptual dalam studi perilaku di dalam organisasi.

Mereka menyatakan bahwa peran itu “melibatkan pola penciptaan produk sebagai

lawan dari perilaku atau tindakan” (h. 143). Lebih lanjut, Dougherty & Pritchard

(1985) dalam Bauer (2003: 56) mengemukakan bahwa relevansi suatu peran itu akan

bergantung pada penekanan peran tersebut oleh para penilai dan pengamat (biasanya

supervisor dan kepala sekolah) terhadap produk atau outcome yang dihasilkan.

Dalam hal ini, strategi dan struktur organisasi juga terbukti mempengaruhi peran dan

persepsi peran atau role perception. (Kahn, et al., 1964; Oswald, Mossholder, &

Harris, 1997 dalam Bauer, 2003: 58).

Ditinjau dari Perilaku Organisasi, peran ini merupakan salah satu komponen

dari sistem sosial organisasi, selain norma dan budaya organisasi. Di sini secara

umum „peran‟ dapat didefinisikan sebagai “expectations about appropriate behavior

in a job position (leader, subordinate)”. Ada dua jenis perilaku yang diharapkan

dalam suatu pekerjaan, yaitu (1) role perception: yaitu persepsi seseorang mengenai

cara orang itu diharapkan berperilaku; atau dengan kata lain adalah pemahaman atau

kesadaran mengenai pola perilaku atau fungsi yang diharapkan dari orang tersebut,

dan (2) role expectation: yaitu cara orang lain menerima perilaku seseorang dalam

situasi tertentu. Dengan peran yang dimainkan seseorang dalam organisasi, akan

terbentuk suatu komponen penting dalam hal identitas dan kemampuan orang itu

untuk bekerja. Dalam hal ini, suatu organisasi harus memastikan bahwa peran-peran

tersebut telah didefinisikan dengan jelas.

Scott et al. (1981) dalam Kanfer (1987: 197) menyebutkan lima aspek

penting dari peran, yaitu:

1. Peran itu bersifat impersonal: posisi peran itu sendiri akan menentukan

harapannya, bukan individunya.

2. Peran itu berkaitan dengan perilaku kerja (task behavior) – yaitu, perilaku yang

diharapkan dalam suatu pekerjaan tertentu.

3. Peran itu sulit dikendalikan – (role clarity dan role ambiguity)

4. Peran itu dapat dipelajari dengan cepat dan dapat menghasilkan beberapa

perubahan perilaku utama.

5. Peran dan pekerjaan (jobs) itu tidaklah sama – seseorang yang melakukan satu

pekerjaan bisa saja memainkan beberapa peran.

Peran (role) merupakan proses dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang

melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan

suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk

kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan karena yang

satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya (Soekanto, 2009:212-213).

Levinson dalam Soekanto (2009:213) mengatakan peranan mencakup tiga hal,

antara lain:

1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat

seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian

peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan

bermasyarakat.

2. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu

dalam masyarakat sebagai organisasi.

3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur

sosial masyarakat.

Merton dalam Raho (2007 : 67) mengatakan bahwa peranan didefinisikan

sebagai pola tingkah laku yang diharapkan masyarakat dari orang yang menduduki

status tertentu. Sejumlah peran disebut sebagai perangkat peran (role-set). Dengan

demikian perangkat peran adalah kelengkapan dari hubungan-hubungan berdasarkan

peran yang dimiliki oleh orang karena menduduki status-status social khusus.

Wirutomo (1981 : 99 – 101) mengemukakan pendapat David Berry bahwa dalam

peranan yang berhubungan dengan pekerjaan, seseorang diharapkan menjalankan

kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya.

Peranan didefinisikan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan kepada

individu yang menempati kedudukan social tertentu. Peranan ditentukan oleh norma-

norma dalam masyarakat, maksudnya kita diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang

diharapkan masyarakat di dalam pekerjaan kita, di dalam keluarga dan di dalam

peranan-peranan yang lain.

Selanjutnya dikatakan bahwa di dalam peranan terdapat dua macam harapan,

yaitu: pertama, harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau

kewajiban-kewajiban dari pemegang peran, dan kedua harapan-harapan yang dimiliki

oleh pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang

berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-

kewajibannya. Dalam pandangan David Berry, peranan-peranan dapat dilihat sebagai

bagian dari struktur masyarakat sehingga struktur masyarakat dapat dilihat sebagai

pola-pola peranan yang saling berhubungan.

B. Sejarah, Tugas dan Wewenang KUA

1. Sejarah Berdirinya KUA di Indonesia

Sejak jaman Kesultanan Islam Samudera Pasai, Demak dan Mataram

telah diangkat seseorang yang diberi wewenang khusus di bidang

kepenghuluan, yang bertugas mengurusi kepentingan kepenghuluan dan

kemasjidan.

Selanjutnya jaman pameritahan kolonial Belanda lembaga kepenghuluan

semakin diperjelas tugas dan fungsinya yang diatur dalam suatu ordonansi, yaitu

Huwelijk Ordonantie S. 1929 No. 348 jo S. 1931 No.467,Vorstenladsche

Huwelijk Ordonantie S. 1933 No. 98 dan Huwelijs Ordonantie

Buetengewesten S. 1932 No. 482. Untuk Daerah Vortenlanden dan seberang

diatur dengan Ordonansi tersendiri. Lembaga tersebut diawasi Bupati dan

penghasilan karyawanya diperoleh dari hasil biaya nikah, talak dan rujuk yang

dihimpun dalam baitulmal kas masjid.

Pada masa pendudukan Jepang tahun 1943 pemerintah Jepang di

Indonesia mendirikan kantor shumubu (KUA) di Jakarta. Pada saat itu

diangkat sebagai kepala shumubu untuk wilayah Jawa dan Madura adalah KH.

Hasyim Asy‟ari. Sedangkan untuk pelaksanaan tugasya diserahkan kepada

Kyai Wahid Hasyim sampai akhir pendudukan Jepang pada bulan Agustus 1945.

Kementerian Agama (Kemenag) adalah Kementerian perjuangan,

kelahirannya tidak dapat dipisahkan dengan dinamika perjuangan bangsa. Pada

saat bangsa ini berjuang mempertahankan kemerdekaan, lahirlah Kemenag.

Pembentukan Kemenag tersebut selain untuk menjalankan tugasnya sebagai

penanggungjawab realisasi pembukaan UUD 1945 dan implementasi pasal

29 UUD 1945, juga sebagai pengukuhan dan peningkatan status Shumubu

pada masa penjajahan Jepang. Berdirinya Kemenag disyahkan berdasarkan

penetapan pemerintah No. : I/SD tanggal 3 Januari 1946 bertepatan

dengan 2 Muharram 1364 H. Menteri Agama pertama adalah H.M. Rasyidi.

Sejak tahap ini Menteri Agama mengambil alih beberapa tugas untuk dimasukkan

kedalam lingkungan Kemenag.

Tugas pokok Kemenag waktu itu ditetapkan berdasarkan Penetapan

Pemerintah No. : 5/SD tanggal 25 Maret 1946 dan Maklumat Pemerintah

No. 2 tanggal 24 April 1946 yang menyatakan bahwa tugas pokok

Kemenag adalah : Menampung urusan mahkamah islam tinggi yang

sebelumnya menjadi wewenang Kementerian Kehakiman dan menampung

tugas dan hak mengangkat penghulu landraat, Penghulu anggota pengadilan

agama, serta Penghulu Masjid dan para pegawainya yang sebelumnya

menjadi wewenang dan hak Presiden dan Bupati. Disamping pengalihan

tugas diatas, Menteri Agama mengeluarkan maklumat No. 2 tanggal 23 April

1946 yang menyatakan, bahwa: Pertama, Instansi yang mengurus persoalan

keagamaan di daerah atau Shumuka (tingkat karesidenan) yang di masa

pendudukan Jepang termasuk dalam kekuasaan Residen menjadi Djawatan

Agama Daerah yang berada dibawah wewenang Kemenag. Kedua pengangkatan

Penghulu Landraat (Penghulu pada Pengadilan Agama) Ketua dan Anggota

Raad (Pengadilan) Agama yang menjadi hak Residen dialihkan menjadi hak

Kemenag. Ketiga, Pengangkatan Penghulu Masjid yang berada dibawah

wewenang Bupati dialihkan menjadi wewenang Kemenag. Sebelum maklumat

Menteri Agama dilaksanakan secara efektif, kelembagaan pengurusan

agama di daerah berjalan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Sejak

jaman penjajahan, perangkat organisasi kelembagaan yang mengurus agama

telah tersebar ke seluruh pelosok tanah air, hingga tingkat kecamatan bahkan

sampai desa. Perangkat ini bekerja sebagai tenaga sukarelawan. Pejabat

yang melayani umat islam, khususnya yang berkaitan dengan nikah, talak,

rujuk, kemasjidan dan perwakafan ditingkat kabupaten dijabat oleh penghulu,

ditingkat kewadanan dan kecamatan dijabat oleh Naib Penghulu.

Selanjutnya PMA No. 188 5/K.I tahun 1946 tanggal 20 Nopember 1946

tentang struktur organisasi Kemenag sangat sederhana yakni hanya berada di

tingkat pusat yang berdiri dari 8 bagian yaitu: Bagian A (Sekertariat); Bagian

B (Kepenghuluan); Bagian C (Pendidikan Agama); Bagian D (Penerangan

Agama); Bagian E (Masehi Kristen); Bagian F (Masehi Katolik); Bagian G

(Pegawai); Bagian H (Keuangan/Perbendaharaan).

Pada tahun 1947 setelah diberlakukan Undang-undang No. 22 tahun

1946 tentang Pencatatan, Nikah, Talak dan Rujuk, jabatan kepenghuluan dan

kemasjidan diangkat menjadi pegawai negeri. Pejabat Raad Agama yang

semula terangkap fungsinya oleh Penghulu, setelah diberlakukanya undang-

undang tersebut diangkat tersendiri oleh Kemenag. Petugas yang mengurusi

agama di desa, khususnya dalam hal pernikahan dan kematian yang disebut

amil, modin, kaum, kayim, ketib dan sejenisnya diterbitkan dan diatur tersediri

melalui Maklumat Bersama No. 3 tahun 1947 tertanggal 30 April yang

ditandatangani Menteri Dalam Negeri Mr.Moh.Roem dan Menteri Agama KH.

R. Fathurrahman Kafrawi. Melalui maklumat tersebut mereka memiliki

hak dan kewajiban berkenaan dengan peraturan masalah keagamaan di

desa, yang kedudukanya sama dengan pamong di tingkat pemerintah desa.

Hingga tahun 1950-an stabilitas politik belum dapat berjalan dengan

baik. Dua kali aksi militer Belanda dan Sekutu dilancarkan: Pertama, tanggal

21 Juli 1947 dan kedua tanggal 19 Desember 1948. Kabinet yang dibentuk

Pemerintah Republik Indonesia rata-rata berumur pendek, karena silih

bergantinya kabinet system parlementer. Dalam situasi perang penataan kantor

agama di daerah jelas terganggu. Di berbagai daerah, kantor agama

berpindah pindah, dari daerah yang di duduki Belanda kedaerah yang

secara de facto masih dikuasai oleh pemerintah Republik Indonesia. Saat itu

semua aparat Kemenag harus turut serta berjuang mempertahankan NKRI.

Karena alasan itu selama terjadi peperangan, pengiriman jama‟ah haji sempat

terhenti.

Pada situasi itu struktur Kemenag terus berjalan sampai terjadi

penyempurnaan struktur berdasarkan PP No. 33 Tahun 1949 dan PP No. 8

tahun 1950 tentang Susunan Organisasi Kemenag. Sejak itu struktur Kemenag

mengalami perubahan sebagai berikut:a. Tingkat pusat dengan susunan

organisasi sebagai berikut: 1) Menteri Agama; 2)Sekretariat Jenderal yang

terdiri dari: Bagian Sekertariat; Bagian Kepenghuluan; Bagian Pendidikan;

Bagian Keuangan/Perbendaharaan; b.Tingkat Daerah dengan susunan

organisasi sebagai berikut: 1)Kantor Agama Provinsi; 2) Kantor Agama

Kabupaten; 3)Kantor Kepenghuluan Kewadanan; 4) Kantor Kenaiban

Kecamatan.

Kemenag RI lahir pada tanggal 3 Januari 1946, tertuang dalam Penetapan

Pemerintah No. 1/SD tahun 1946 tentang Pembentukan Kemenag, dengan

tujuan Pembangunan Nasional yang merupakan pengamalan sila Ketuhanan

Yang Maha Esa. Dengan demikian agama dapat menjadi landasan moral dan etika

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan pemahaman dan pengamalan

agama secara benar diharapkan dapat mendukung terwujudnya masyarakat

Indonesia yang religius, mandiri, berkualitas sehat jasmani rohani serta tercukupi

kebutuhan material dan spiritual.

Guna mewujudkan maksud di atas, maka di daerah dibentuk suatu Kantor

Agama. Untuk di Jawa Timur sejak tahun 1948 hingga 1951, dibentuk Kantor

Agama Provinsi, Kantor Agama Daerah (Tingkat Karesidenan) dan Kantor

Kepenghuluan (Tingkat Kabupaten) yang merupakan perpanjangan tangan dari

Kemenag Pusat Bagian B, yaitu: Bidang Kepenghuluan, Kemasjidan, Wakaf dan

Pengadilan Agama.

Dalam perkembangan selanjutnya dengan terbitnya KMA No. 517

Tahun 2001 tentang penataan Organisasi KUA Kecamatan, maka KUA

berkedudukan di wilayah kecamatan dan bertanggung jawab kepada Kepala

Kantor Kemenag Kabupaten/Kota yang dikoordinasi oleh Kepala Seksi

Urusan Agama Islam/Bimas dan Kelembagaan Agama Islam dan dipimpin

oleh seorang kepala. Selanjutnya berdasarkan PMA No. 39 tahun 2012 tentang

organisasi dan tata kerja KUA dijelaskan bahwa KUA adalah Unit Pelaksana

teknis Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam yang bertugas melaksanakan

sebagian tugas Kantor Kemenag Kabupaten/Kota di Bidang Urusan Agama

Islam.

Dengan demikian eksistensi KUA kecamatan sebagai institusi

pemerintah dapat diakui keberadaanya, karena memiliki landasan hukum yang

kuat, fungsi dan tugas yang jelas dan merupakan bagian dari struktur

pemerintahan di tingkat kecamatan. (http://jabar.kemenag.go.id)

2. Tugas, Wewenang dan Peran KUA

Kantor Urusan Agama adalah unit kerja terdepan yang melaksanakan

sebagian tugas pemerintah di bidang agama Islam. Lingkup kerja KUA adalah

berada di wilayah tingkat Kecamatan, hal ini sebagaimana ketentuan pasal 1 (1)

PMA Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah menyebutkan bahwa

Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya disebut KUA adalah instansi

Departemen Agama yang bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor

Derpartemen Agama Kabupaten/Kota di bidang Urusan Agama islam dalam

wilayah kecamatan.

Kantor Urusan Agama berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik

Indonesia Nomor 373 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor

Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama

Kabupaten/Kota pada pasal 11-14 tentang Tugas Bidang Agama Islam di

lingkungan Kantor Urusan Agama memiliki otoritatif dalam memberikan

pelayanan dan bimbingan di bidang Urusan Agama Islam. Adapun peran, fungsi,

tugas dan garapan Kantor Urusan Agama dalam Urusan Agama Islam adalah

sebagai berikut:

a. Memberi pelayanan dan bimbingan di bidang kepenghuluan dalam hal

pelayanan nikah dan rujuk bagi umat yang beragama Islam;

b. Memberi pelayanan dan bimbingan di bidang pengembangan keluarga

sakinah;

c. Memberi pelayanan di bidang perwakafan. Peran Kepala KUA sebagai

Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) memiliki peran legitimate atas

status harta benda yang diwakafkan sehingga terhindar dari hal-hal yang tidak

diharapkan;

d. Memberi pelayanan di bidang zakat dan ibadah sosial;

e. Memberi pelayanan di bidang perhajian;

f. Memberi pelayanan di bidang penentuan arah kiblat dan penetapan awal bulan

hijriyah;

g. Memberi pelayanan di bidang kemasjidan dan kehidupan beragama;

h. Memberi pelayanan, bimbingan, serta perlindungan konsumen di bidang

produk halal dan kemitraan umat Islam;

i. Memberi pelayanan, bimbingan, dan prakarsa di bidang ukhuwah Islamiyah,

jalinan kemitraaan, dan pemecahan masalah umat;

j. Dan lain-lain.

Sesuai peran, tugas, dan fungsi KUA tersebut di atas, maka otoritas KUA

sebagai bagian tak terpisahkan dari Kementerian Agama yang berada di

lingkungan wilayah tingkat Kecamatan memiliki fungsi dan peranan yang sangat

penting dalam pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, terutama dalam bidang

pencatatan perkawinan. Kenyataan ini dapat terlihat dari beberapa peraturan

perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu sebagai berikut:

a. Peran KUA dalam bidang perkawinan sebagaimana terdapat dalam pasal 1

dan 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,

Talak, dan Rujuk yang menjelaskan bahwa pernikahan yang dilangsungkan

berdasarkan ketentuan Agama Islam harus diawasi oleh Pegawai Pencatat

Nikah (pada KUA Kecamatan ) yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh

pegawai yang ditunjuk olehnya;

b. Peran KUA dalam bidang perwakafan sebagaimana terdapat dalam pasal 37

ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang

Pelaksanaan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menyebutkan bahwa

Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk benda yang tidak bergerak

dan benda yang bergerak selain uang adalah Kepala Kantor Urusan Agama;

c. Peran KUA dalam bidang pengelolaan zakat sebagaimana terdapat dalam

pasal 6 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 jo UU Nomor 23 Tahun 2011

tentang Pengelolaan Zakat menyebutkan bahwa pembentukan Badan Amil

Zakat di tingkat Kecamatan yaitu oleh Camat atas usul Kepala Kantor Urusan

Agama Kecamatan;

d. Peran KUA dalam bidang penyelenggaraan ibadah haji telah diatur dalam

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Ibadah Haji.

Melalui Undang-Undang penyelenggaraan ibadah haji, pemerintah telah

mengambil langkah-langkah dan kebijakan demi terselenggaranya ibadah haji.

Diantara langkah-langkah yang ditempuh pemerintah adalah melakukan

bimbingan untuk calon jamaah haji sedini mungkin dan berkelanjutan yaitu

sebanyak dua belas kali. Dua kali diantaranya dilaksanakan di

Kabupaten/Kota dan sepuluh kali dilaksanakan di Kecamatan yaitu melalui

pemberdayaan Kantor Urusan Agama Kecamatan (Departemen Agama, 2003:

12 dan 2007: 1-2). Selain aturan perundang-undangan, peran KUA juga telah

dibahas dan disepakati Rakernas Penyelenggaraan Haji Tahun 2006 yang

hasilnya menyepakati bahwa KUA diikutsertakan sebagai pelayan bagi

jemaah haji atau calon jemaah haji;

e. Peran KUA dalam bidang penyelesaian masalah-masalah perkawinan,

kewarisan, wakaf dan shadakah, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 jo UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama

menyebutkan bahwa kewenangan pengadilan untuk mengadili para pihak

yang berperkara dilakukan sesuai dengan domisili pihak penggugat, dan

selanjutnya berdasarkan pasal 84 disebutkan bahwa setiap hasil putusan

pengadilan dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan

Agama pihak penggugat.

Dari uraian tersebut di atas, maka Kantor Urusan Agama memiliki peran

strategis dalam melaksanakan hukum Islam di Indonesia, meskipun dalam

kenyataannya fungsi, tugas, dan peran Kantor Urusan Agama tersebut masih

belum sesuai dengan apa yang diharapkan atau masih belum menggembirakan.

Fakta di lapangan ternyata peran Kantor Urusan Agama dalam pelaksanaan

hukum Islam masih cenderung untuk mengurusi masalah pencatatan perkawinan

semata dan belum menyentuh pada aspek-aspek lainnya seperti pencatatan rujuk,

pengelolaan zakat, penyelenggaraan bimbingan manasik haji, pengadministrasian

tanah wakaf, dan penanganan masalah waris, sehingga keberadaan peran KUA

masih perlu dibenahi dan perlu ditingkatkan dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat di bidang urusan (hukum) Islam. Adapun langkah-langkah yang dapat

dilakukan untuk meningkatkan peran KUA sesuai tugas dan fungsinya adalah

memberikan kesadaran kepada masyarakat melalui penyuluhan dan penyampaian

informasi kepada masyarakat tentang tugas, fungsi, dan bidang garapan KUA

adalah tidak hanya terbatas pada pencatatan nikah, akan tetapi pada bidang-

bidang garapan lainnya seperti waris, pengelolaan zakat, wakaf, penyelenggaraan

haji, produk halal, dan lain-lain.

C. Tata Cara Perkawinan di Indonesia

1. Prinsip-prisnsip Perkawinan di Indonesia

Sebelum berbicara syarat dan rukun perkawinan lebih dahulu dibahas

tentang prinsip-prinsip perkawinan di Indonesia. Menurut M. Yahya Harahap

prinsip-prinsip perkawinan dalam UU perkawinan antara lain:

a. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat

bangsa Indonesia . UU perkawinan menampung di dalamnya unsur-unsur

ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

b. Sesuai dengan perkembangan zaman, termasuk di dalamnya adalah

terpenuhinya aspirasi wanita yang menuntut adanya emansipasi, di sanping

perkembangan sosial ekonomi, ilmu pengetahuan tehknologi yang telah

membawa implikasi soaial dalam kehidupan sosial dan juga pemikiran.

c. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang kekal. Tujuan

perkawinan ini bisa dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama, suami istri saling

bantu membantu serta saling melengkapi. Kedua, masing-masing dapat

mengembangkan kepribadiannya. Ketiga, keluarga yang bahagia sejahtera

spiritual dan material.

d. Perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan

masing-masing, serta memenuhi ketentuan administrasi pemerintah dalam

bentuk pencatatan perkawinan.

e. Menganut asas monogami, akan tetapi tetap terbuka peluang melakukan

poligami selama hukum agamanya mengizinkan.

f. Perkawinan dan pembentukan kelauarga dilakukan oleh pribadi-pribadi yang

telah matang jiwa dan aragnya.

g. Kedudukan suami dan istri dalam kehidupan adalah seimbang baik dalam

kehidupan rumah tangga maupun dalam masyarakat. (Amiur Nuruddin: 2004:

51-52)

Dalam perspektif lain Musdah Mulia menjelaskan bahwa prinsip

perkawinan berdasarkan al Qur‟an ada empat:

a. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh.

Prinsip ini sebenarnya merupakan kritik terhadap tradisi bangsa Arab yang

menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, sehingga untuk dirinya

sendiri saja ia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang terbaik

pada dirinya. Oleh sebab itu kebebasan memilih jodoh adalah hak dan

kebebasan bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak bertentangan dengan

syari‟at Islam.

b. Prinsip mawaddah wa rahmah

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS. Ar Rum:21. Mawaddah wa

rahmah adalah karakter manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.

Perkawinan yang dilakukan oleh manusia bertujuan untuk mencapai ridlo

Allah di samping tujuan yang bersifat biologis.

c. Prinsip saling melengkapi dan melindungi

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT. Yang terdapat dalam QS. Al

Baqarah: 187 yang menjelaskan istri-istri adalah pakain sebagaimana

layaknya dengan laki-laki juga sebagai pakaian untuk wanita.

d. Prinsip mu’asarah bil ma’ruf

Prinsip ini didasarkan pada QS. An Nisa: 19 yang memerintahkan kepada

setiap laki-laki untuk memperlakukan istrinya dengan cara yang ma‟ruf. Di

dalam prinsip ini sebenarnya pesan utamanya adalah pengayoman dan

penghargaan kepada wanita. (Amiur Nuruddin:52-53)

Jika disederhanakan, prinsip perkawinan itu menurut UU No I/1974 ada

enam:

a. Tujuan perkwinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

b. Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan

kepercayaan masing-masing.

c. Asas mongami.

d. Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya.

e. Mempersulit terjadinya perceraian.

f. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.

Dari berbagai prinsip di atas bisa dipahami bahwa perkawina merupakan

langkah awal untuk membentuk keluarga yang selanjutnya membentuk warga

masyarakat sebagai embrio dari berdirinya sebuah negara. Oleh karena itu sebuah

perkawinan seyogyanya dilakukan sesuai dengan hukum agama dan juga hukum

pemerintah, karena negara akan berdiri dengan baik jika diawali dengan keluarga

yang baik.

2. Syarat dan Rukun Perkawinan di Indonesia

Syarat dan rukun merupakan perkara yang urgen dalam perbuatan yang

menyangkut dengan maslah hukum. Terutama yang menyangkut dengan sah dan

tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua hal tersebut mengandung arti

yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.

Terkait dengan perkawinan syarat dan rukun perkawinan tidak boleh disepelekan.

Karena perkawinan tidak sah di mata hukum jika tidak lengkap syarakt dan

rukunnya.

Rukun merupakan sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan

bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang

berada di luarnya dan bukan merupakan unsurnya.(Amir Syarifuddin: 2006:59)

Rukun perkawinan adalah segala yang harus terwujud dalam suatu perkawinan.

Menurut ulama Syafi‟iyah unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki

dan perempuan yang akan kawin, akad perkawinan itu sendiri, wali yang

malangsungkan akad dengan suami, dua orang saksi yang menyaksikan

berlangsungnya akad perkawinan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

rukun dalam perkawinan antara lain:

a. Calon mempelai laki-laki, syaratnya beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya,

dapat memberikan persetujuan, dan tidak terdapat halangan perkawinan.

b. Calon mempelai perempuan, syaratnya beragama Islam, perempuan, jelas

orangnya, dapat memberikan persetujuan, tidak terdapat halangan perkawinan.

c. Wali dari mempelai perempuan, syaratnya laki-laki, dewasa, mempunyai hak

perwalian, tidak terdapat halangan perwaliannya.

d. Dua orang saksi, syaratnya minimal dua orang laki-laki, hadir dalam ijab

qabul, Islam, dewasa.

e. Ijab yang dilakukan oleh wali, qabul yang dilakukan oleh suami, syaratnya

ada pernyataan mengawinkan dari wali, ada pernyataan menerima dari calon

mempelai pria, memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari dua kata

tersebut, antara ijab dan qabul bersambungan, ijab dan qabul jelas maksudnya,

orang yang sedang terikat dengan ijab dan qabul tidak sedang melakukan

ibadah haji dan umrah, majlis ijab dan qabul harus dihadiri minimum empat

orang yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali mempelai wanita dan dua

orang saksi. (Siti Musawwamah dkk:2012:42-43)

Rukun dan syarat perkawinan tersebut wajib dipenuhi karena jika tidak

terpenuhi maka perkawinan yang dilaksanakan dinyatakan tidak sah.

Adapun mahar yang harus ada dalam perkawinan tidak termasuk ke dalam

rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan

tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian mahar

masuk dalam syarat perkawinan. (Amir Syarifuddin:2006:61)

3. Prosedur Pernikahan Di Kantor Urusan Agama (KUA)

Di dalam negara RI yang berdasarkan hukum, segala sesuatu yang

bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, seperti halnya kelahiran,

kematian termasuk juga perkawinan. Perkawinan termasuk erat dengan masalah

kewarisan, kekeluargaan sehingga perlu dicatat untuk menjaga agar ada tertib

hukum.

Pegawai Pencatat Nikah (PPN) mempunyai kedudukan yang jelas dalam

peraturan perundang-undangan di Indonesia (UU No.22 Tahun 1946 jo UU No.

32 Tahun 1954) sampai sekarang PPN adalah satu-satunya pejabat yang

berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum agama

Islam dalam wilayahnya. Untuk memenuhi ketentuan itu maka setiap perkawinan

harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan PPN karena PPN

mempunyai tugas dan kedudukan yang kuat menurut hukum, ia adalah Pegawai

Negeri yang diangkat oleh Menteri Agama pada tiap-tiap KUA Kecamatan.

Masyarakat dalam merencanakan perkawinan agar melakukan persiapan

sebagai berikut :

a. Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian apakah mereka

saling cinta/setuju dan apakah kedua orang tua mereka

menyetujui/merestuinya. Ini erat kaitannya dengan surat-surat persetujuan

kedua calon mempelai dan surat izin orang tua bagi yang belum berusia 21

tahun.

b. Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan baik

menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku. (Untuk mencegah terjadinya penolakan atau pembatalan

perkawinan).

c. Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang pembinaan

rumah tangga hak dan kewajiban suami istri dsb.

d. Dalam rangka meningkatkan kualitas keturunan yang akan dilahirkaan calon

mempelai supaya memeriksakan kesehatannya dan kepada calon mempekai

wanita diberikan suntikan imunisasi tetanus toxoid.

Setelah persiapan pendahuluan dilakukan secara matang maka orang yang

hendak menikah memberitahukan kehendaknya kepada PPN yang mewilayahi

tempat akan dilangsungkannya akad nikah sekurang-kurangnya 10 hari kerja

sebelum akad nikah dilangsungkan. Pemberitahuan Kehendak Nikah berisi data

tentang nama kedua calon mempelai, hari dan tanggal pelaksanaan akad nikah,

data mahar/maskawin dan tempat pelaksanaan upacara akad nikah (di Balai

Nikah/Kantor atau di rumah calon mempelai, masjid gedung dll). Pemberitahuan

Kehendak Nikah dapat dilakukan oleh calon mempelai, wali (orang tua) atau

wakilnya dengan membawa surat-surat yang diperlukan :

a. Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk calon Penganten (caten)

masing-masing 1 (satu) lembar.

b. Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas

segel/materai

bernilai minimal Rp.6000,- (enam ribu rupiah) diketahui RT, RW dan Lurah

setempat.

c. Surat keterangan untuk nikah dari Kelurahan setempat yaitu Model N1, N2,

N4, baik calon Suami maupun calon Istri.

d. Pas photo caten ukuran 2×3 masing-masing 4 (empat) lembar, bagi anggota

ABRI berpakaian dinas.

e. Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Surat Talak/Akta Cerai

dari Pengadilan Agama, jika Duda/Janda mati harus ada surat kematian dan

surat Model N6 dari Lurah setempat.

f. Harus ada izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi Calon penganten Laki-

laki yang umurnya kurang dari 19 tahun; dan calon penganten Perempuan

yang umurnya kurang dari 16 tahun; laki-laki yang mau berpoligami.

g. Ijin Orang Tua (Model N5) bagi caten yang umurnya kurang dari 21 tahun

baik caten laki-laki/perempuan.

h. Bagi calon penganten yang tempat tinggalnya bukan di wilayah Kec. Tingkir

harus ada surat: Rekomendasi Nikah dari KUA setempat.

i. Bagi anggota TNI/POLRI dan Sipil TNI/POLRI harus ada Izin Kawin dari

Pejabat Atasan/Komandan.

j. Bagi caten yang akan melangsungkan pernikahan ke luar wilayah Kec.

Tingkir harus ada Surat Rekomendasi Nikah dari KUA Kec. Tingkir.

k. Kedua caten mendaftarkan diri ke KUA Kecamatan Tingkir sekurang-

kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja dari waktu melangsungkan Pernikahan.

Apabila kurang dari 10 (sepuluh) hari kerja, harus melampirkan surat

Dispensasi Nikah dari Camat Tingkir.

l. Bagi WNI keturunan, selain syarat-syarat tersebut dalam poin 1 s/d 10 harus

melampirkan foto copy Akte kelahiran dan status kewarganegaraannya (K1).

m. Surat Keterangan tidak mampu dari Lurah/Kepala Desa bagi mereka yang

tidak mampu.

Jika yang ingin melakukan perkawian itu antara warga negara Indonesai dengan

warga negara asing, (Perkawinan Campuran antara WNI & WNA), maka ada

beberapa ketetuan sebagai berikut:

a. Akte Kelahiran/Kenal Lahir

b. Surat tanda melapor diri (STMD) dari kepolisian

c. Surat Keterangan Model K II dari Dinas Kependudukan (bagi yang menetap lebih

dari satu tahun)

d. Tanda lunas pajak bangsa asing (bagi yang menetap lebih dari satu tahun)

Keterangan izin masuk sementara (KIMS) dari Kantor Imigrasi

Foto Copy Pasport.

e. Surat Keterangan dari Kedutaan/perwakilan Diplomatik yang bersangkutan.

Semua surat-surat yang berbahasa asing harus diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia oleh penterjemah resmi.

Selanjutnya PPN yang menerima pemberitahuan kehendak nikah meneliti

dan memeriksa berkas –berkas yang ada apakah sudah memenuhi syarat atau

belum, apabila masih ada kekurangan syarat maka diberitahukan adanya

kekurangan tersebut. Setelah itu dilakukan pemeriksaan terhadap calon suami,

calon istri dan wali nikahnya yang dituangkan dalam Daftar Pemeriksaan Nikah

(Model NB).

Jika calon suami/istri atau wali nikah bertempat tinggal di luar wilayah

KUA Kecamatan dan tidak dapat hadir untuk diperiksa, maka pemeriksaannya

dilakukan oleh PPN yang mewilayahi tempat tinggalnya. Apabila setelah

diadakan pemeriksaan nikah ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah

ditentukan baik menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku maka PPN berhak menolak pelaksanaan

pernikahan dengan cara memberikan surat penolakan beserta alasannya. Setelah

pemeriksaan dinyatakan memenuhi syarat maka calon suami, calon istri dan wali

nikahnya menandatangani Daftar Pemeriksaan Nikah. Setelah itu yang

bersangkutan membayar biaya administrasi pencatatan nikah sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

Setelah persyaratan dipenuhi PPN mengumumkan kehendak nikah (model

NC) pada papan pengumuman di KUA Kecamatan tempat pernikahan akan

dilangsungkan dan KUA Kecamatan tempat tinggal masing-masing calon

mempelai. PPN tidak boleh melaksanakan akad nikah sebelum lampau 10 hari

kerja sejak pengumuman, kecuali seperti yang diatur dalam psl 3 ayat 3 PP No. 9

Tahun 1975 yaitu apabila terdapat alasan yang sangat penting misalnya salah

seorang calon mempelai akan segera bertugas keluar negeri, maka dimungkinkan

yang bersangkutan memohon dispensasi kepada Camat selanjutnya Camat atas

nama Walikota/Bupati memberikan dispensasi.

Setelah semua syarat terpenuhi selanjutnya dilakasanakan proses akad

nikah di Kantor Urusan Agama kecamatan Tingkir, atau bisa jadi di rumah calon

mempelai dengan proses sebagai berikut:

a. Pemeriksaan ulang. Sebelum pelaksanaan upacara akad nikah PPN /Penghulu

terlebih dahulu memeriksa/mengadakan pengecekan ulang persyaratan nikah

dan administrasinya kepada kedua calon pengantin dan walinya untuk

melengkapi kolom yang belum terisi pada waktu pemeriksaan awal di kantor

atau apabila ada perubahan data dari hasil pemeriksaan awal. Setelah itu PPN/

Penghulu menetapkan dua orang saksi yang memenuhi syarat.

b. Meminta izin wali. Sesaat sebelum akad nikah dilangsungkan dianjurkan bagi

ayah untuk meminta izin kepada anaknya yang masih gadis atau anak terlebih

dahulu minta/memberikan izin kepada ayah atau wali, dan keharusan bagi

ayah meminta izin kepada anaknya untuk menikahkan bila anak Berstatus

janda.

c. Pembacaan khutbah nikah. Sebelum pelaksanaan ijab qobul sebagaimana

lazimnya upacara akad nikah bisa didahului dengan pembacaan khutbah

nikah, pembacaan istighfar dan dua kalimat syahadat.

d. Akad Nikah /Ijab Qobul. Pelaksanaan ijab qobul

dilaksanakan sendiri oleh wali nikahnya terhadap calon mempelai pria, namun

apabila karena sesuatu hal wali nikah/calon mempelai pria dapat

mewakilkan kepada orang lain yang ditunjuk olehnya.

e. Penandatanganan Akta Nikah. Penandatanganan Akta Nikah kedua mempelai,

wali nikah, dua orang saksi dan PPN yang menghadiri akad nikah.

f. Pembacaan Ta‟lik Talak.

g. Penandatanganan ikrar Ta‟lik Talak.

h. Penyerahan maskawin/mahar.

i. Penyerahan Buku Nikah/Kutipan Akta Nikah.

j. Nasihat perkawinan

k. Do‟a penutup.

D. Nikah Sirri (Illegal Wedding)

1. Pengertian Nikah Sirri

Untuk memposisikan secara proporsional, masalah nikah sirri harus

dimaknai secara seragam terlebih dahulu. Sehingga tidak muncul berbagai

interpretasi yang berbeda-beda. Secara etimologi nikah sirri dalam bahasa Arab

disebut nikah al-sirr yaitu pernikahan yang dilakukan secara rahasia, sembunyi-

sembunyi, tanpa publikasi atau tanpa walimah.29

Ada berbagai macam definisi nikah sirri menurut para ulama. Menurut

Imam Syafii, Malik dan Hanafi bahwa nikah sirri adalah nikah tanpa wali.30

Sedangkan dalam konteks Indonesia, ada ragam pengertian dan praktik nikah sirri

yang dipersepsikan masyarakat, yang bisa dibedakan menjadi tiga kategori. Yaitu

nikah tanpa wali, nikah di bawah tangan dan nikah tanpa walimah.31

Nikah tanpa wali adalah nikah yang dilakukan tanpa adanya wali. Nikah di

bawah tangan adalah nikah yang dilakukan dengan memenuhi syarat dan

rukunnya tetapi tidak atau belum dicatakan ke PPN. Sedangkan nikah tanpa

walimah adalah nikah yang sudah tercatat akan tetapi tidak diadakan perayaan

atau walimah.

Walaupun tidak hanya satu definisi nikah sirri dikalangan para ulama,

namun definisi yang melekat di kalangan masyarakat di Indonesia tentang nikah

sirri adalah nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan fiqh (telah memenuhi

syarat dan rukunnya), tetapi masih bersifat intern keluarga dan belum dicatatkan

ke Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Nikah semacam ini disebut dengan nikah yang

”tidak dicatat” atau disebut juga nikah ”di bawah tangan”. Nikah semacam ini

tidak mendapatkan bukti autentik berupa Akta Nikah sebagaimana diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Selain dikenal dengan

29

Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (yogyakarta: Unit Pengadaan

Buku-buku Ilmiah Keagamaan PP Al-Munawwir, 1984), hlm.667. 30

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid,(Semaramg: Maktabah Usaha

Keluarga, t.t.), jilid II, hlm.3.

31 Naqiyah Mukhtar, Mengurai Nikah Sirri Dalam Islam, dalam al Manahij, (Purwokerto: APIS,

2012), Vol. VI, hlm 257.

kata nikah sirri, masyarakat juga sering menyebutnya dengan nikah modin, kyai,

atau nikah secara agama.

Neng Djubaidah dalam bukunya Pencatatan Perkawinan &Perkawinan

Tidak Dicatat..., menarangkan bahwa perkawinan ”tidak dicatat” berbeda dengan

perkawinan ”tidak dicatatkan”. Pada istilah ”perkawinan tidak dicatat” bermakna

bahwa perkawinan itu tidak mengandung unsur ”dengan sengaja” yang

mengiringi iktikad atau niat seseorang untuk tidak mencatatkan perkwinannya.

Adapun istilah ”perkawinan tidak dicatatkan” terkandung iktikad atau niat buruk

dari suami khususnya yang bermaksud perkwinannya memang ”dengan sengaja”

tidak dicatatkan. 32

Dari nikah yang tidak dicatat atau tidak dicatakan inilah

kemudian muncul istilah nikah sirri.

Sedangkan kata nikah itu sendiri dalam bahasa Arab bermakna al-wathi’

dan al dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-

jam’u atau ’ibarat ’an al-wath’ wa al-’aqd yang bermakna bersetubuh,

berkumpul dan akad.33

Berangkat dari makna secara etimologis tersebut para fuqaha beragam

dalam mendefinisikan nikah secara terminologi. Wahbah al-Zuhaily

mendefinisikan nikah adalah: ”Akad yang telah ditetapkan oleh syar‟i agar

seseorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta‟ dengan

seorang wanita atau sebaliknya”.34

32

Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan &Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis

Di Indonesia dan Hukum Islam,(Jakarta: Sinar Grafika Ofset, 2010), hlm 153.

33 Wahbah Al Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Juz VII, (Damsyiq; Dar al-Fikr,

1989).hlm.29.

34 Wahbah Al Zuhaily, hlm. 29

Abu Zahrah di dalam kitabnya al-Ahwal al-Syakhsiyyah, mendefinisikan

nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan

persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong menolong serta

menimbulkan hak dan kewajiban.35

Hazairin menyatakan bahwa inti dari pernikahan adalah hubungan seksual.

Menurutnya tidak ada nikah bila tidak ada hubungan seksual.36

Senada dengan

Hazairin, Mahmud Yunus mendefinisikan pernikahan sebagai hubungan seksual.

Begitu juga Ibrahim Hosen mendefinisikan pernikahan sebagai akad yang

dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita. 37

Definisi baik secara etimologis maupun terminologis di atas memberikan

kesan bahwa perempuan ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi laki-laki.

Perempuan hanya dilihat dari aspek biologisnya saja. Implikasinya perempuan

menjadi pihak yang dikuasai laki-laki.

Berbeda dengan definisi ddalam UU No I / 1974 seperti yang termuat

dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan sebagai: ”Ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa”. Dari definisi ini terlihat bahwa pernikahan tidak hanya penghalalan

hubungan antara laki-laki dan perempuan tetapi mengandung tiga dimensi yaitu

dimensi sosiologis (peristiwa sosial yang bersifat pribadi/ individual affair),

35

Muhammad Abu Zahrah, al Ahwal Al-Syakhsiyyah, (Qahirah: Dar al-Fikr al-„Arabi, 1957), hlm.

19.

36 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasinal Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), hlm.61.

37 Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk, (Jakarta: Ihya

Ulumuddin, 1971), hlm.65.

teologis (aktifitas keagamaan), dan berdimensi yuridis formal, karena nikah

sebagaimana disebutkan dalam al Qur‟an sebagai perjanjian yang agung

(mitsaaqan ghaildzan).38

Ketiga dimensi tersebut merupakan standar pelaksanaan pernikahan yang

terjadi di Indonesia. Misalnya orang yang ingin melakukan nikah, maka orang

tersebut harus memenuhi syarat dan rukun sesuai dengan agama yang mereka

anut. Kemudian diadakan perayaan (walimatul ’ursy) sesuai dengan tradisi di

lingkungannya, juga harus dicatatkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) atau

DKCS setempat.

Jika direlevansikan antara nikah sirri dengan definisi nikah menurut UU

No I/1974 nampak ada dimensi yang tidak terpenuhi, yaitu dimensi sosiologi juga

dimensi yuridis. Dalam tinjauan sosiologi, jika apa yang dipikirkan atau

diperbuat seseorang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat, maka

orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan anomali nilai atau keanehan.

Akibatnya masyarakat akan memberikan sanksi sosial. Sanksi tersebut bisa

berupa label atau stigma negatif. Akibat stigma negatif tersebut akhirnya

pasangan tersebut tidak mau bersosialisasi dengan masyarakat. Kehidupan seks

yang awalnya bertujuan untuk melangsungakan generasi secara harmonis

akhirnya berubah menjadi pemuas hawa nafsu belaka.39

Kondisi tersebut bertentangan dengan tujuan nikah sebagaimana yang

tercantum dalam makna nikah dalam UU No I/1974 yakni untuk membentuk

38

Q.S. an-Nisa: 4.

39 Gani Abdullah, Seks, Gender dan Reproduksi Perempuan, dalam Khoirul Muzakki, Kontroversi

Nikah Sirri,(Suara Merdeka, Rabu 28 Desember 2011), hlm. 7.

keluarga bahagia, kekal. Tujuan perkwinan yang kekal dan bahagia ini dapat

dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama, suami-istri saling bantu-membantu serta

lengkap-melengkapi. Kedua, masing-masing suami-istri dapat mengembangkan

kepribadiannya. Ketiga, membentuk keluarga yang bahagia sejahtera spiritual

dan material.40

Ketiga tujuan nikah tersebut nampak sangat idealis jika dibandingkan

dengan struktur sosial masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut kultur

patriarchi. Yakni, sebuah sistem sosial di mana klan laki-laki lebih dominan

dibanding dengan klan perempuan. Sehingga tujuan nikah tersebut akan sulit

diwujudkan apalagi pernikahan yang dilangsungkan sudah tidak

mempertimbangkan faktor sosiologi. Sementara idealnya pernikahan secara

sosial sebagaimana komentar Asaf A.A Pyzee, mampu atau berhasil mengangkat

derajat seoarang perempuan ke tingkat yang lebih tinggi di masyarakat dibanding

dengan kondisi sebelumnya.41

Sedangkan jika ditinjau dari dimensi yuridis, bahwa nikah yang dilakukan

secara sirri tidak memenuhi UU No I Tahun 1974 yang mengharuskan pernikahan

dicatatkan. Selain itu nikah sirri memiliki beberapa dampak negatif yang

ditimbulkan antara lain: pertama, tidak ada jaminan perlindungan hukum dan

tidak memiliki jaminan yang pasti ketika perempuan hamil dan mempunyai anak.

Sehingga jika terjadi percekcokan yang berakibat suami melalaikan

kewajibannya, istri tidak dapat menuntutnya secara sah di pengadilan. Sementara

40

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta:

Kencana,. 2004), hlm. 51.

41 .Amir Nuruddin dan Azhari Taringan, Hlm. 57

menurut UU No I/1974 pasal 34 ayat 3 dengan jelas diterangkan bahwa: ”Jika

suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan

gugatan kepada pengadilan”. Jika perkawinan itu tidak legal, maka jika terjadi

kelalaian terhadap tanggungjawab sebagai suami atau istri tidak dapat dituntut di

pengadilan. Dan yang paling rentan untuk dilanggar hak-haknya adalah istri.

Kedua, nikah sirri rentan terjadi kekerasan terhadap perempuan. Karena

posisi perempuan (istri) lemah, sehingga laki-laki (suami) merasa bebas

melakukan apa saja dan meninggalkannya sesukanya karena pernikahannya tidak

memiliki kekuatan hukum. Ketiga, praktik nikah sirri mudah menimbulkan

pelanggaran terhadap hak reproduksi dan kesehatan perempuan. Keempat, mudah

terjadi perceraian dengan hanya mengucapkan kata cerai dan meninggalkan istri

tanpa tanggungjawab dari suami.42

Dari sini nampak jelas bahwa praktik pernikahan sirri itu sulit

mewujudkan keluarga yang bahagia dan maslahah karena banyak melanggar

aturan-aturan pemerintah hingga banyak menimbulkan kerusakan dan madharat.

Bahkan tidak jarang terjadi lahir hubungan seks di luar nikah dengan dalih

pernikahan sirri.43

Padahal pernikahan itu sendiri memiliki tujuan yang sangat agung dalam

rangka membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Keluarga yang

sakinah ini akan dapat terwujud jika antara suami dan istri mampu melaksanakan

fungsi-fungsi keluarga yang meliputi: fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya,

42

Mudhofar Badri dkk, Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantrean, (Yogyakarta:

Yayasan Kesejahteraan Fatayat. tt), hlm.165.

43 M. Quroish Shihab, Perempuan… dari Cinta sampai Seks, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), hlm.

241.

fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasai dan

pendidikan, fungsi ekonomi dan fungsi pembinaan lingkungan.

2. Macam-macam bentuk illegal Wedding

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti ada

beberapa kategori illegal wedding jika dilihat dari pancatatan juga publikasinya.

Pertama, tidak tercatat di KUA tetapi dipublikasikan. Kedua, tidak teracatat di

KUA tetapi dipublikasikan secara terbatas dan yang ketiga, tidak tercata dan juga

tidak dipublikasikan. (Dedi:2003:160) Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh

Siti Zumrotun terhadap fenomenan nikah sirri yang terjadi di kota Salatiga ada

satu kategori pernikahan illegal yakni dicatat dalam lembaran kertas (bukan oleh

PPN) dan juga dipublikasikan secara terbatas. (Zumrotun:2006)

3. Motivasi Nikah Sirri

Di samping adanya perbedaan bentuk atau kategori dalam konsep dan

praktiknya, ternyata jika dilihat dari aspek sebab motivasi, dan juga tujuan

melakukan illegal wedding itu beraneka ragam. Motivasi tesebut bisa diebdakan

menjadi empat faktor:

Pertama, bersifat normatif, dalam konteks ini secara spesifik adalah yang

berkaitan dengan sebab, motivasi, dan tujuan yang didasarkan pada norma-norma

agama Islam.

Kedua, bersifat psikologis, berkaitan dengan tujuan atau alasan yang

bersifat kejiwaan, yaitu untuk mengatasi kersehan, kecemasan, atau kekahwatiran

sehingga jiwa menjadi tenang dan tentram.

Ketiga, yang bersifat sosial ekonomis, berkaitan dengan penyebab atau

alasan dari masyarakat dan orangtua dengan alasan keuangan, biaya hidup dan

pekerjaan yang seringkali menjadi pertimbangan dan kendala bagi yang akan

menikah.

Keempat, bersifat biologis, berkaitan dengan motivasi untuk memperoleh

pengaturan dan kepuasan seksual. (Dedi: 162-163)

E. Urgensi Pencatatan Perkawinan di Indonesia

Pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan sebagaimana diterangkan

dalm UU No I/ 1974 pasal 2 ayat 2 bahwa: ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan yang berlaku”. Kemudian ditegaskan lagi pelaksanaannya dalam PP No.9

/1975 dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa: ”Setiap orang yang akan

melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat

Nikah di tempat perkawinan akan dilangsungkan”.

Selanjutnya dijelaskan dalam KHI pasal 5: (1) Agar terjamin ketertiban

perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan

perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah

sebagaimana diatur dalam UU No.22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun 1954. Dari

pasal-pasal dalam UU maupun KHI ini muncul berbagai analisis, apakah pencatatan

perkawinan ini sebagai sayarat sah atau sebagai syarat administrasi. Ada beberapa

alasan yang dikemukakan bahwa pencatatan sebagai syarat sah perkawinan. Pertama,

selain didukung oleh praktik hukum dari badan-badan publik, juga pasal-pasal Perpu

pelaksanaan UUP (PP. No.9 Tahun 1975) dan juga dari jiwa dan hakikat UUP itu

sendiri. Kedua, ayat yang ada di dalam pasal 2 UUP harus dipandang sebagai satu

kesatuan yang tidak terpisah. Ketiga, apabila isi pasal 2 UUP dikaitkan dengan bab III

(pasal 13s/d21) dan Bab IV (pasal 22s/d28), masing-masing tentang pencegahan dan

pembatalan, hanya bisa dilakukan apabila diatur di dalam PP No.9/1975. bila

perkwinan sah tanpa ada pencatatan, pasal pencegahan dan pembatalan menjadi tidak

ada gunanya. Keempat, dari sisi bahasa, arti kata ”dan” pada pasal 2 ayat 1 UUP

berarti kumulatif. Khaoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi

terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan

Malaysia, (Jakarta-Leiden:INIS: 2002: 158-159). Bagi mereka yang berpendapat

bahwa pencatatan hanya sebagai syarat administrasi beralasan, sebagaimana

dikemukakan oleh Wasit Aulawi dalam Sejarah Perkembangan Hukum Islam di

Indonesia, secara tegas UUP No. 1 Tahun 1974 hanya mengatur pencatatan

perkawinan, talak, dan rujuk, yang berarti hanya acara, bukan materi hukum.

Hakikat dari pencatatan perkawinan menurut UU No I/1974 bertujuan untuk

mewujudkan ketertiban perkawinan di tengah masyarakat, untuk melindungi martabat

dan kesucian perkawinan, khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah

tangga. Dengan akte nikah, suami istri memiliki bukti autentik atas perbuatan hukum

yang telah mereka lakukan. Bukti otentik semacam ini sangat urgen sebagai tali

pengikat tanggung jawab semua pihak agar terjamin nilai keadilan dan ketertiban

yang menjadi pilar utama tegaknya kehidupan rumah tangga.44

Sehingga jika ada

orang yang melaksanakan pernikahan walau sudah memenuhi syarat dan rukun

pernikahan, namun tidak tercatat ataupun sengaja tidak dicacat dikenal oleh

masyarakat dengan sebutan nikah sirri.

Model pernikahan secara sirri atau illegal wedding ini di kalangan masyarakat

muncul perbedaan pendapat tentang keabsahan hukumnya. Perbedaan ini muncul dari

44

Bukti autentik berupa akta nikah pada zaman Nabi belum begitu penting, mengingat kultur

menulis pada waktu tdak begitu penting karena kultur lesan (hafalan) lebih berkembang, sedangkan tradisi

walimatul ’ursy walau hanya seekor kambing merupakan saksi syar‟i, selain itu perkawinan pada waktu itu

berlangsung dengan jarak yang dekat. Baca dalam Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,

(Jakarta: Prenada Media:2004), hlm. 120-121.

pertanyaan apakah pencatatan ini sebagai rukun sehingga mempengaruhi sahnya

pernikahan, atau hanya sebagai syarat administrasi. Dari perbedaan tersebut Atho‟

Muzhar menganalisis bahwa pencatatan perkawian harus dilihat sebagai bentuk baru

cara mengumumkan perkawinan. Lebih jauh dari pencatatan ini lebih maslahat

terutama bagi wanita dan anak-anak. Baca dalam M. Atho Muzhar, Membaca

Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi, (Jakarta: Titian Ilahi Pres: 1998:

180)

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,

Talak, dan Rujuk, pelaksanaan pernikahan/perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat

Nikah (PPN) yang di masyarakat lebih dikenal dengan sebutan penghulu.

Pada penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 Tahun

1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan

dalam BAB II tentang Pencatatan Perkawinan diterangkan pada pasal 2:

1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya

menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud

Undang-Undang Nomor 32 tahun 1984 tentang Pencatatan Nikah. Talak dan Rujuk

2. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya

menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh

Pegawai Pencatatan Sipil pada kantor catatan sipil sebagaiman yang dimaksud dalam

berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

Melihat peraturan di atas suatu pernikahan yang dilangsungkan menurut

agama Islam maka calon mempelai atau orang tuanya atau wakilnya harus

mencatatkan diri mereka pada Pegawai Pencatat Nikah, dalam hal ini kelembagaan

yang ada di Indonesia adalah Kantor Urusan Agama (KUA). Namun, setelah Undang-

Undang tersebut diberlakukan, masih juga ada warga Negara Indonesia yang

melaksanakan pernikahan secara Islam, tidak mencatatkan pernikahan mereka pada

Pegawai Pencatat Nikah, atau lebih dikenal dengan Nikah dibawah tangan. Sehingga

pernikahan tersebut di pandang secara hukum masih illegal karena belum memiliki

buku Akta Nikah. Sebagian dari para pelaku nikah tersebut ada juga yang telah

memiliki anak, sehingga diperlukan juga status hukum bagi anak tersebut atau dalam

mendapatkan Akta Kelahiran yang harus didasari dengan buku Akta Nikah orang

tuanya.

Setelah dilakukan pencatatan pernikahan oleh penghulu maka perkawinan

tersebut sah dimata hukum di Indonesia dengan dikeluarkannya Kartu Nikah, yang

diberikan kepada pasangan mempelai.

Dibandingkan dengan surat-surat berharga lain, seperti Sertifikat Tanah yang

dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan misalnya, atau Surat Tanda Nomor Kendaraan

(STNK), yang juga dikeluarkan oleh pemerintah, tanpa bermaksud

mempersandingkan, maka nilai Surat Nikah sebenarnya jauh lebih berharga. Karena

Surat Nikah merupakan bukti adanya ikatan dua orang, yang dilandasi oleh nilai-nilai

keagamaan untuk membangun suatu rumah tangga bahagia sepanjang masa. Fungsi

Suat Nikah, tidak hanya untuk menandai telah terjalinnya ikatan pasangan (yang

diharapkan ) abadi, tetapi memiliki efek yuridis yang luar biasa. Karena dengan surat

itulah, maka pasangan kawin itu secara yuridis menjadi absyah juga status keturunan,

hubungan malwaris, hubungan muhrim, hak pengasuhan anak, hak kepemilikan

barang-barang berharga yang diperoleh secara bersama, dan sebagainya.

F. Sanksi Illegal Wedding

Proses Pidana Pelaku Nikah Sirri dalam UU. 22 Tahun 1946 Dalam masalah

pencatatan perkawinan di Indonesia tidak terdapat adanya kekosongan hukum

(rechtsvacuum), karena sejak awal kemerdekaan Negara Kesatuan RI telah diatur

masalah tata cara pernikahan melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang

Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Jawa dan Madura. Dengan

diundangkan UU tersebut, maka peraturan perundang-undangan yang ada

sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi dengan pertimbangan:

1. Bahwa peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk seperti yang diatur di dalam

Huwelijksordonnantie Staatblaad 1929 No. 348 jo. Staatblaad 1931 No. 467.

Vorstenlandsche Huwelijkorddonnantie Staatblaad 1933 No. 98 dan

Huwelijksordonnantie Buitengewesten Staatblaad 1932 No. 482 tidak sesuai lagi

dengan keadaan masa sekarang, sehingga perlu diadakan peraturan baru yang

sempurna dan memenuhi syarat keadilan sosial;

2. Bahwa pembuatan peraturan baru yang dimaksudkan di atas tidak mungkin

dilaksanakan di dalam waktu yang singkat;

3. Bahwa sambil menunggu peraturan baru itu perlu segera diadakan peraturan

pencatatan nikah, talak dan rujuk untuk memenuhi keperluan yang sangat

mendesak;45

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka Huwelijksordonnantie

Staatblad 1929 No. 348 jo. Staatblad 1931 No. 467 dan Vorstenlandsche

Huwelijksordonnantie Staatblad 1933 No. 98 dicabut keberlakuannya yang selama

kolonial Belanda digunakan sebagai peraturan perkawinan khususnya bagi umat

Islam. Hanya saja UU No. 22 Tahun 1946 ini terbatas wilayah pemberlakuannya,

yaitu berlaku di wilayah Jawa dan Madura sehingga tidak bisa diterapkan pada kasus

yang sama pada wilayah di luar Jawa dan Madura. Namun merespon tuntutan

terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang begitu cepat berubah, maka kemudian

dikeluarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya

Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 Tahun 1946

tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan

Madura, maka sejak itulah undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan

Rujuk tersebut berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia. Hingga saat ini Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1946 tersebut belum pernah dicabut keberlakuannya atau

diamandemen baik undang-undangnya sendiri maupun pasal-pasal yang termaktub di

dalamnya. Artinya, peraturan perundang-undangan tersebut masih tetap berlaku

sepanjang belum diadakan yang baru. Dalam UU No. 22 tahun 1946, dijelaskan juga

unsur pidana bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran, yaitu bagi pihak yang

melakukan perkawinan Pasal 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang

45

Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta; UI Press,

1986), h. 168

Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November

1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh

Daerah Luar Jawa dan Madura. atau menjatuhkan talak atau rujuk tanpa dicatat atau

tanpa di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah maka dijatuhi hukuman denda.

Sebagaimana pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa: “Barang siapa yang melakukan

akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan

pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda

sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (Lima puluh rupiah)”. Pasal 3 ayat (3) menyatakan

bahwa: “Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk sebagaimana

tersebut pada ayat (1) pasal 1, tidak memberitahukan hal itu di dalam seminggu

kepada pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, maka ia

dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (Lima puluh rupiah).” Sementara bagi

pihak yang menikahkan padahal bukan tugasnya untuk menikahkan (nikah di bawah

tangan), maka pihak tersebut dijatuhi hukuman pidana selama-lamanya 3 bulan atau

denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,-. Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa: “Barang

siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) pasal 1 dengan tidak ada

haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-

banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah).”46

Undang-undang ini berupaya mencegah adanya pungutan liar (pungli) bagi

pihak-pihak yang berkepentingan dengan menjatuhkan hukuman pidana kurungan

selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus

rupiah). Pasal 3 ayat (4) menyatakan bahwa: Orang yang tersebut pada ayat (2) pasal

46

Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat; Menurut Hukum Tertulis

di Insonesia dan Hukum Islam, (Jakarta; Sinar Grafika, 2010), h. 210

1 karena menjalankan pengawasan dalam hal nikah, ataupun karena menerima

pemberitahuan tentang talak dan rujuk menerima biaya pencatatan nikah, talak dan

rujuk lebih dari pada yang ditetapkan oleh Menteri Agama menurut ayat (4) pasal 1

atau tidak memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-pendaftaran masing-

masing sebagai yang dimaksud pada ayat (1) pasal 2, atau tidak memberikan petikan

dari pada buku-pendaftaran tersebut di atas tentang nikah yang dilakukan di bawah

pengawasannya atau talak dan rujuk yang dibukukannya, sebagai yang dimaksud

pada ayat (2) pasal 2, maka dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau

denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah).”

Dalam penjelasan dinyatakan bahwa ancaman dengan denda sebagaimana

tersebut pada Pasal 3 ayat (1), (2), (3) dan ayat (4) undang-undang ini bermaksud

supaya aturan administrasi diperhatikan, dan sekali-kali tidak dimaksudkan bahwa

nikah, talak atau rujuk itu menjadi batal karena pelanggaran itu. Ketentuan pada Pasal

3 tersebut merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, karena

hanya bersifat administratif, bukan sebagai hukuman atau pidana kejahatan.47

Klasifikasi Sanksi Pidana yang dibebankan Bagi Pelaku Nikah sirri. Ada

beberapa poin penting yang penulis akan analisis mengenai sanksi yang diberlakukan

bagi para pelaku nikah sirri maupun bagi PPN yang menyalah gunakan kewenangan

atau posisinya, merujuk dari UU NO 22 Tahun 1946 jo. UU NO 32 Tahun 1956

disertai dengan SEMA No.04/Sip/1970, tanggal 02 Maret 1970.

1. Kali pertama yang harus dikaji adalah pasal-pasal dalam UU tersebut yang

mengandung unsur pidana. Berikut merupakan pasal 3 UU NO 22 Tahun

1946:51. Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang

47

Ibid. hlm. 212

perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2)

pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp 50,- (Lima puluh

).

2. Pada ayat (1) pasal 1, tidak memberitahukan hal itu di dalam seminggu kepada

pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, maka ia dihukum

denda sebanyak-banyaknya Rp 50,- (Lima puluh rupiah).

3. Barang siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) pasal 1 dengan

tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda

sebanyak-banyaknya Rp 100,-(seratus rupiah).

4. Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk sebagaimana pasal 3

UU. NO 22 Taun 1946 tersebut Orang yang tersebut pada ayat (2) pasal 1 karena

menjalankan pengawasan dalam hal nikah, ataupun karena menerima

pemberitahuan tentang talak dan rujuk menerima biaya pencatatan nikah, talak

dan rujuk lebih dari pada yang ditetapkan oleh Menteri Agama menurut ayat (4)

pasal 1 atau tidak memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-pendaftaran

masing-masing sebagai yang dimaksud pada ayat (1)pasal2, atau tidak

memberikan petikan dari pada buku-pendaftaran tersebut di atas tentang nikah

yang dilakukan di bawah pengawasannya atau talak dan rujuk yang

dibukukannya, sebagai yang dimaksud pada ayat (2) pasal 2, maka dihukum

kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak- banyaknya Rp

100,- (seratus rupiah).

5. Jika terjadi salah satu hal yang tersebut pada ayat pertama, kedua dan ketiga dan

ternyata karena keputusan hakim, bahwa ada orang kawin tidak dengan

mencukupi syarat pengawasan atau ada talak atau rujuk tidak diberitahukan

kepada yang berwajib, maka biskalgripir hakim kepolisian yang bersangkutan

mengirim salinan keputusannya kepada pegawai pencatat nikah yang

bersangkutan dan pegawai itu memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-

pendaftaran masing-masing dengan menyebut surat keputusan hakim yang

menyatakan hal itu.

Apabila ditinjau dari petikan pasal 3 di atas, kita dapat melihat bahwa objek

yang terkena sanksi semata-mata bukan hanya pelaku nikah sirri saja, akan tetapi

sanksi tersebut dikenakan juga bagi orang yang menikahkannya, atau 60 dengan kata

lain penghulu yang menikahkan orang tanpa catatan administrasi yang resmi akan

terkena sanksi pidana tersebut. Sanksi pidana yang dimaksud dalam pasal 3 di

ataspun ditujukan bagi para Pegawai Pencatat Perkawinan (PPN) yang memungut

bayaran melebihi dari ketentuan yang dipatok oleh Departemen Agama. Sehingga

apabila ada PPN yang melakukan hal tersebut, maka orang tersebut bisa dijerat

dengan sanksi pidana yang dimaksudkan dalam UU di atas.

Selanjutnya, apabila kita analisa dari sanksi pidana yang dibebankan maka

akan timbul opsi sanksi yang dibebankan bagi para pelaku nikah sirri, orang yang

mengawinkan pelaku nikah sirri dan PPN, yaitu: Sanksi denda. Sebelum kita

membahas lebih jauh mengenai sanksi denda, maka kita perlu mengetahui bahwa

sanksi denda termasuk kedalam sanksi pokok yang bisa dijatuhkan terhadap suatu

tindak pidana. Hal ini termaktub dalam KUHP pasal 10 poin (a). Merujuk dari pasal 3

UU NO 22 Tahun 1946 di atas, maka opsi sanksi denda ini bisa diberlakukan bagi

pelaku nikah sirri, PPN yang menyalah gunakan wewenang dan orang yang

menikahkan tanpa adanya hak (bukan PPN resmi).

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan pidana denda ini,

yaitu;48

1. Sistem penerapan jumlah atau besarnya denda.

2. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda.

3. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya

pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas waktu

yang telah ditetapkan.

4. Pelaksanaan pidana dalam hal-hal khusus (misalnya terhadap seorang anak yang

belum dewasa atau belum bekerja dan masih dalam tanggungan orang tua).

5. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda.

Pidana denda obyeknya adalah harta benda yang berbentuk uang, hal ini dapat

dilihat dalam ketentuan KUHP. Apabila kita lihat dari ketentuan pemberlakuan denda

poin ke 1 maka hal yang menarik dalam pasal 3 tersebut adalah denda yang

dibebankan sangatlah kecil, tidak sebanding dengan tingkat perekonomian saat ini.

Penjatuhan denda Rp. 50,- dan Rp. 100,- dalam kondisi perekonomian saat ini sudah

tidak memiliki arti ekonomi lagi, sehingga perlu penyesuaian dengan tingkat

perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, menurut Surat Edaran Mahkamah Agung

(SEMA) No 04/Sip/1970, tanggal 02 Maret 1970 bahwa penilaian uang (dalam kasus

denda) harus dilakukan dengan menggunakan harga emas.49

Saat itu harga emas

diasumsikan Rp. 2/gram dibagi dengan denda Rp. 50,- = 25 gram emas atau denda

48

Muladi dan Barda Nawawi A,Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,1992), h. 56

49

SEMA No.04/Sip/1970, tanggal 02 Maret 1970

Rp. 100 = 50 gram emas. Perhitungannya adalah: Penjatuhan denda : harga per gram

emas = denda bagi penganten Penjatuhan denda Rp. 50 bagi penganten dengan

asumsi harga emas saat itu adalah Rp. 2/gram, maka didapatkan bahwa denda bagi

penganten adalah seharga 25 gram emas. Apabila dianalogikan dengan hari ini

(Tahun 2014) maka penghitungannya adalah: 25 gram emas dengan asumsi harga saat

ini adalah Rp. 450.000/gram, maka total denda saat ini adalah Rp. 11.125.000,-

(Sebelas juta seratus dua puluh lima ribu rupiah) yang dibebankan bagi pelaku nikah

sirri.

Penjatuhan denda : harga per gram emas = denda bagi PPN/penghulu tidak

resmi Penjatuhan denda Rp. 100 bagi penghulu dengan asumsi harga emas saat itu

adalah Rp. 2/gram, maka didapatkan bahwa denda bagi penghulu adalah seharga 50

gram emas. Apabila dianalogikan dengan hari ini (Tahun 2014) maka

penghitungannya adalah: 50 gram emas dengan asumsi harga emas saat ini adalah Rp.

450.000/gram, maka total denda saat ini adalah Rp. 22.250.000. (dua puluh dua juta

dua ratus lima puluh ribu rupiah) yang dibebankan bagi PPN yang menyalah gunakan

wewenang dan penghulu tidak resmi.50

Apabila penghitungannya seperti yang

dijabarkan di atas, maka besaran denda yang dijatuhkan terlihat lebih riil

dibandingkan yang termaktub dalam pasal 3 UU NO 22 Tahun 1946, dikarena

besaran denda harus mengikuti perekonomian bangsa ini.

Sanksi Kurungan Pasal 3 ayat 4 secara eksplisit menjelaskan bahwa sanksi

kurungan diberlakukan hanya bagi PPN yang menyalah gunakan wewenangnya,

itupun besifat pengganti apabila PPN tersebut tidak mampu atau tidak mau membayar

50

Muchsin, Aspek Hukum Pelanggaran Pidana dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama

Bidang Perkawinan, (Diakses dari http://e-syariah.badilag.netTanggal 06 Juni 2011)

denda yang dibebankan. Sanksi kurungan ini juga diberlakukan karena PPN tersebut

telah menyalahgunakan wewenang dengan memungut biaya perkawinan melebihi

biaya yang telah ditetapkan oleh Departemen Agama.

Walaupun ada sanksi yang dibebankan kepada pelaku nikah sirri, PPN yang

menyalahgunakan wewenang dan penghulu non resmi, ini bukan berarti tindak pidana

yang mereka lakukan termasuk kedalam tindak pidana kejahatan, tindak pidana yang

mereka lakukan hanya sebatas tindak pidana pelanggaran saja.

Ancaman dengan denda sebagai tersebut pada ayat (1) dan (3) pasal 3

Undang-undang ini bermaksud supaya aturan administrasi ini diperhatikan :

akibatnya sekali-kali bukan, bahwa nikah, talak atau rujuk itu menjadi batal 51

karena

pelanggaran itu.

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan pidana yang

dibebankan bukan sekali-kali menyangkut masalah perkawinan, talak ataupun

rujuknya, akan tetapi menyangkut kesalahan proses administrasi yang dilanggar oleh

orang yang berperkara. Maka apabila dipandang dari ranah istinbath al-hukm

(penggalian hukum Islam), pencatatan pernikahan merupakan perkara administratif

yang mubah (boleh) bahkan sangat penting untuk dilakukan. Hal ini berdasarkan

kaidah fiqh (kaidah-kaidah yang menjadi nalar hukum dalam Islam) salah satunya "

tasharruf al-imam 'ala ar-ra'iyyah manuthun bi al-mashlahah" yang bermakna bahwa

kebijakan pemerintah atas rakyatnya bergantung pada kemaslahatan. Selama

kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang qath'i (sudah jelas), maka

pertimbangan kemaslahatan dalam menyusun sebuah kebijakan bisa dibenarkan.

51

Pasal 4 UU. NO 22 Tahun 1946 (Diakses dari http: // dpr.go.id /uu/uu1946 /UU_

1946_22.pdf pada tanggal 09 juni 2011

BAB III

HASIL PENELITIAN

A. Selayang Pandang Kota Salatiga

1. Salatiga Dalam Lintasan Sejarah

Kota Salatiga, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah. Kota ini

berbatasan sepenuhnya dengan Kabupaten Semarang. Salatiga terletak 49 km

sebelah selatan Kota Semarang atau 52 km sebelah utara Kota Surakarta, dan

berada di jalan negara yang menghubungan Semarang-Surakarta. Salatiga terdiri

atas 4 kecamatan, yakni Argomulyo, Tingkir, Sidomukti, dan Sidorejo.

Kota Salatiga letaknya dikelilingi wilayah Kabupaten Semarang. Suatu

wilayah yang secara morfologis berada di daerah cekungan kaki Gunung Merbabu

dan diantara gunung-gunung kecil antara lain Gajah Mungkur, Telomoyo, Payung,

dan Rong. Secara astronomi terletak antara 007.17‟ dan 00.17‟.23” Lintang Selatan

dan antara 110.27‟.56,81” dan 110.32‟.4,64” Bujur Timur. Sebagai dataran tinggi

Kota Salatiga terletak di ketinggian antara ± 1500 meter di atas permukaan laut.

Kota yang berada di lereng timur Gunung Merbabu ini membuat kota berudara

cukup sejuk. Kota kecil yang menghubungkan Semarang dan Solo dan masuk

dalam segitiga emas Joglosemar “Jogja, Solo, Semarang” menjadikan Salatiga

sebagai tempat yang strategis. Berketinggian 600-850 dengan iklim sejuk, maka

pada jaman pemerintahan Belanda sempat memperoleh julukan “kota terindah di

Jawa Tengah”.

Secara administratif, Kota Salatiga berada di Propinsi Jawa Tengah, di

tengah-tengah wilayah Kabupaten Semarang. Sebelah Utara berbatasan dengan

Kecamatan Tuntang, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Getasan dan

Tengaran. Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan Tengaran. Sebelah

Barat berbatasan dengan wilayah Kecamatan Getasan dan Tuntang.

Kota Salatiga mengalami beberapa kali perubahan luas wilayah. Perubahan

luas wilayah yang terakhir terjadi pada tahun 1992 dan telah diresmikan pada tahun

1993. Pemekaran wilayah tersebut adalah dari 9 kelurahan, 1 kecamatan menjadi 9

kelurahan dan 13 desa, 4 kecamatan.

Luas wilayah Kota Salatiga pada tahun 2006 tercatat sebesar 5.678,110

hektar atau 56.781 Km². Luas yang ada terdiri dari 802,297 hektar (14,13%) lahan

sawah dan 4.875,813 hektar atau 48.758 Km² (85,87%) bukan lahan sawah.

Luas Wilayah Kota Salatiga terbagi dalam 4 kecamatan dengan luas lahan sebagai

berikut:

a. Kecamatan Argomulyo seluas 18.826 Km2,

b. Kecamatan Tingkir seluas 10.549 Km2,

c. Kecamatan Sidomukti seluas 11.459 Km2, dan

d. Sidorejo seluas 16.247 Km2.

Udara Kota Salatiga dikenal sejuk karena secara geografis kota ini terletak

di kaki Gunung Merbabu. Curah hujan tertinggi tercatat sebesar 450 mm pada bulan

Januari dan hari hujan terbanyak tercatat sebesar 19 hari pada bulan Januari dan

Desember. Rata-rata curah hujan Kota Salatiga sebesar 16 mm/hari.52

52

http://mikolei.wordpress.com/profil-kota-salatiga/wilayah-kota-salatiga/

Secara administrasi pemerintah daerah kotamadia Salatiga berada dalam

wilayah Propinsi Jawa Tengah. Wilayahnya berada dalam wilayah Kabupaten

Semarang. Sisi utara berbatasan dengan Kecamatan Pabelan dengan Kecamatan

Tuntang. Sisi selatan berbatasan dengan kecamatan Tengaran dan kecamatan

Getasan. Sisi timur berbatasan kecamatan Pabelan dan Tengaran. Sisi barat

berbatasan dengan kecamatan Getasan dan Tuntang.

Salatiga, kota yang terletak persis di sebelah selatan Semarang, bukan hanya

menjadi kota yang menghubungkan pelabuhan Semarang dan Kasunanan Surakarta.

Sejak dulu, kawasan ini memang punya pengalaman historis yang panjang dan

menarik untuk diungkapkan, karena memiliki makna penting dalam rangka

menghidupkan pewarisan legenda kepada generasi muda, sebagai bagian

pembentukan karakter bangsa. Mengingat bahwa suatu legenda itu menyimpan

kekuatan `local genius, sarat dengan pesan hal-hal yang baik dan buruk, sebagai

pendidikan nilai kepada masyarakat, termasuk generasi muda bangsa.

Ada beberapa sumber yang dijadikan dasar untuk mengungkap asal-usul

Salatiga. Ada tiga versi tentang asal usul kota Salatiga. Pertama, bersumber dari

prasasti plumpungan, kedua, bersumber dari cerita rakyat, ketiga, keputusan

gubernur Jendral Hindia Belanda. Perbedaan penyejarahan ini memiliki makna

yang berbeda pula. Cerita rakyat menjelaskan tentang asal usul nama Salatiga,

sedangkan prasasti plumpungan menjelaskan geneologi daerah.

a. Prasasti Plumpungan

Sejarah Salatiga dimulai dari Prasasti Plumpungan, sebuah batu dengan

ukuran 170×150cm dengan diameter 5m. Di permukaan batu tersebut tertulis

sebuah ketetapan hukum tentang status tanah perdikan atau swantantra bagi

Desa Hampra. Status tersebut penting artinya karena daerah perdikan bebas

pajak dan memiliki kekhususan tertentu.

Perdikan artinya suatu daerah dalam wilayah kerajaan tertentu. Daerah

ini dibebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti karena daerah tersebut

memiliki kekhususan tertentu, daerah tersebut harus digunakan sesuai dengan

kekhususan yang dimiliki. Wilayah perdikan diberikan oleh Raja Bhanu

meliputi Salatiga dan sekitarnya.

Menurut sejarahnya, di dalam Prasasti Plumpungan berisi ketetapan

hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra bagi Desa

Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini

merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah

Hampra. Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra

secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat

prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan

demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas

pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini.

Konon, para pakar telah memastikan bahwa penulisan Prasasti

Plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha (penulis) disertai para

pendeta(resi). Raja Bhanu yang disebut-sebut dalam prasasti tersebut adalah

seorang raja besar pada zamannya yang banyak memperhatikan nasib

rakyatnya.

Isi Prasasti Plumpungan ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno dan Bahasa

Sansekerta. Tulisannya ditatah dalam petak persegi empat bergaris ganda yang

menjorok ke dalam dan keluar pada setiap sudutnya.

Dengan demikian, pemberian tanah perdikan merupakan peristiwa yang

sangat istimewa dan langka, karena hanya diberikan kepada desa-desa yang

benar-benar berjasa kepada raja. Untuk mengabadikan peristiwa itu maka raja

menulis dalam Prasasti Plumpungan sebagai berikut:

a. Srir Astu Swasti Prajabhyah, yang artinya: "Semoga Bahagia, Selamatlah

Rakyat Sekalian". Ditulis pada hari Jumat, tanggal 24 Juli tahun 750

Masehi.

b. Tengah hari.

c. Dari beliau, demi agama untuk kebaktian kepada Yang Maha Tinggi, telah

menganugerahkan sebidang tanah atau taman agar memberikan kebahagiaan

kepada mereka.

d. Yaitu desa Hampra yang terletak di wilayah Trigyamyama dengan

persetujuan Sinddhadewi berupa daerah bebas pajak atau perdikan, dan

e. Ditetapkan dengan tulisan aksara atau prasasti yang ditulis dengan

menggunakan ujung mempelam.

f. Dari beliau yang bernama Bhanu (dan mereka) dengan bangunan suci atau

candi ini, selalu menemukan hidup abadi.

Dari Prasasti Plumpungan ini nampak bahwa Kota Salatiga mempunyai

nilai budaya normatif yang berkembang sejak masa Raja Bhanu sampai

sekarang. Yakni, jati diri masyarakat yang mengedepankan kedamaian, rukun,

toleran, loyal dan pekerja keras. Sedangkan nilai kultural secara fisik dikuatkan

oleh peninggalan prasasti Plumpungan.53

Cita-cita Raja Bhanu ini terwujud

sampai sekarang. Salatiga merupakan kota yang multietnis, tidak hanya orang

jawa, tapi juga etnis Tionghoa (Cina), etnis Indonesia Timur seperti Papua,

Ambon, Maluku, dan lain-lain. Selain itu Salatiga juga Kota yang pluralis,

semua agama tumbuh dan berkembang dengan damai tanpa ada konflik yang

berarti. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Kota Salatiga memiliki rasa

toleransi yang tinggi sehingga mampu menghargai perbedaan dan kemajemukan

diantara mereka. Sehingga nyaris tidak perah terjadi kerusuhan juga konflik

yang mengatasnamakan agama ataupun etnis.

Prasasti plumpungan ini selanjutnya dijadikan titik tolak untuk

menghitung hari jadi Kota Salatiga Berdasarkan prasasti ini hari jadi Kota

Salatiga dibakukan, yakni tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi yang ditetapkan

dengan Peraturan Daerah Tingkat II Salatiga Nomor: 15 Tahun 1995 Tentang

Hari Jadi Kota Salatiga.yang sampai tahun 2014 ini sudah berumur 1263 Tahun.

Prasasti Plumpungan yang merupakan sebuah prasasti penanda berdirinya Kota

Salatiga sekarang diabadikan menjadi nama salah satu motif batik dari Kota

Salatiga yaitu batik Plumpungan yang memiliki corak Selotigo. Batik

Plumpungan pada setiap motifnya mempunyai ciri-ciri bergambar dua bulatan

53

http://beriman-hati.blogspot.com

berukuran besar dan kecil sedikit lonjong dalam satu kesatuan, bentuk ini

apabila dilihat dari sudut pandang atas menyerupai Prasasti Plumpungan 750

Masehi. Dua gambar bulatan besar dan kecil lonjong ini akan menjadi beraneka

ragam motif batik sesuai dengan keinginan, kreatifitas dan imajimasi pendesain

dan pembatiknya. Ini bisa dilihat dalam gambar ini. Ini menjadi dasar pemolaan

batik sehingga Plumpungan mempunyai ciri khas yang unik.54

Penggunaan batu Plumpungan sebagai motif utama batik Plumpungan

dan Selotigo mengandung filosofi dan makna yang mendalam. Prasasti

Plumpungan yang menjadi penanda kelahiran Salatiga mengamanatkan

kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan. Sesuai isi prasasti tersebut, batik

Plumpungan dan Selotigo diharapkan dapat menjadi sarana untuk mewujudkan

kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan, khususnya bagi Kota Salatiga dan

masyarakatnya. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Salatiga bersama seluruh

elemen masyarakat berupaya terus mengembangkan batik khas Salatiga agar

dapat menjadi ikon, kebanggaan, dan sumber kesejahteraan masyarakat Kota

Salatiga. Hal ini dilakukan dalam rangka memantapkan kondisi sosial budaya

yang berbasiskan kearifan lokal.55

Keinginan tersebut diteruskan dengan gerakan setiap hari Kamis ada

sekitar 4000 PNS Pemkot Salatiga memakai seragam kerja batik Plumpungan

dengan berbagai corak dan motif. Apa tidak bangga kalau yang dipakai adalah

54

http://fedep.salatigakota.go.id/mengenal-lebih-lanjut-batik-plumpungan/ 55

http://www.jatengprov.go.id

batik Plumpungan buatan Salatiga dengan berbagai motif dan corak yang

menawan.56

b. Cerita Rakyat

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di

tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah pantai utara Pulau

Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di

Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Era Walisongo adalah era berakhirnya

dominasi Hindu Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan

kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia,

khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun

peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa,

juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah

secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding

yang lain.

Penamaan Salatiga tidak lepas dari peran KI Ageng Pandanaran II (

Bupati Semarang) pada masa pemerintahan Pandan Arang II menunjukkan

kemakmuran dan kesejahteraan yang dapat dinikmati penduduknya. Namun

sesuai dengan nasihat Sunan Kalijaga, Bupati Pandan Arang II mengundurkan

diri dari hidup keduniawian yang melimpah ruah. la meninggalkan jabatannya,

meniggalkan Kota Semarang bersama keluarga menuju arah Selatan, pada saat

Ki Pandan Arang II tiba disuatu daerah perdikan ditengah perjalanan dihadang

oleh rampok/begal yang berjumlah tiga orang untuk merampok bawaan istri Ki

56

http://beriman-hati.blogspot.com/2008/08/budaya-batik-plumpungan-khas-salatiga.html

Pandanaran, atas kuasa Allah SWT ketiga perampok tersebut dapat dikalahkan.

Setelah kejadian tersebut KI Pandan Arang II menamai daerah tersebut

SALATIGA (dari kata salah dan tiga) yang kelak dikemudian hari dikenal

menjadi SALATIGA, adapun perampok yang dikalahkan tersebut masuk Islam

dan menjadi murid Ki Pandan Arang kemudian mengikuti perjalanan melewati

Boyolali akhirnya sampai ke sebuah bukit bernama jabalkat di daerah Klaten.

c. Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda

Pada zaman penjajahan Belanda telah cukup jelas batas dan status Kota

Salatiga, berdasarkan Staatsblad 1917 No. 266 Mulai 1 Juli 1917 didirikan

Stadsgemeente Salatiga yang daerahnya terdiri dari 8 desa.

Karena dukungan faktor geografis, udara sejuk dan letak yang sangat

strategis, maka Salatiga cukup dikenal keindahannya di masa penjajahan

Belanda, bahkan sempat memperoleh julukan "Kota Salatiga yang Terindah di

Jawa Tengah".

Nama Salatiga kembali mencuat ke permukaan sewaktu digelar

perundingan segitiga antara Kasunanan Surakarta, VOC dan Raden Mas Said

atau Pangeran Sambernyawa. Perjanjian itu digelar di Kalicacing, satu desa

yang berada di wilayah Salatiga. Inilah sebabnya perjanjian ini masyhur dikenal

sebagai Perjanjian Salatiga.

Perundingan itu dipicu oleh perlawanan bersenjata Pangeran

Sambernyawa terhadap VOC maupun Kasunanan. Akhirnya, pada 17 Maret

1757, ditandatangani sebuah naskah perjanjian yang menyebutkan bahwa

Pangeran Sambernyawa berhak atas sebagian wilayah Kasunanan Surakarta.

Dari perjanjian inilah muncul Dinasti Mangkunegara dan Pangeran

Sambernyawa berhak memakai gelar Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegara I.

Gelar yang sama berhak dipakai keturunan Pangeran Sambernyawa.

Pada masa kolonial, sejak pertengahan abad 19 hingga memasuki abad

20, Salatiga dikenal sebagai daerah peristirahatan bagi para pejabat pemerintah

kolonial maupun orang-orang Eropa. Tempatnya yang berada di perbukitan

dengan hawa yang sejuk memungkinkan Salatiga menjadi kawasan favorit

untuk berlibur dan beristirahat.

Status sebagai kotamadya yang kini disandang Salatiga juga sudah

muncul sejak era kolonial. Pada 1 Juli 1917, berdasar Staatsblad No. 266,

Salatiga ditetapkan sebagai Stadsgemeente (Kotamadya) Salatiga dengan daerah

yang meliputi 8 desa.

d. Zaman Kemerdekaan

Pada tahun-tahun pertama kemerdekaan, Salatiga pernah dijadikan salah

satu basis tentara NICA-Belanda yang berniat kembali menduduki Indonesia.

Bersama Ambarawa dan Semarang, Salatiga menjadi salah satu kawasan paling

bergejolak.

Salatiga juga menjadi salah satu titik serangan udara yang dilakukan

oleh kadet-kadet AURI pada 29 Juli 1947. Dengan menggunakan pesawat

Churen yang diterbangkan dari Maguwo, Yogyakarta, kadet AURI itu berhasil

menggelar serangan udara selama satu jam. Serangan ini memberi efek

psikologis yang strategis karena menunjukkan pada dunia internasional bahwa

kekuatan militer Indonesia masih eksis kendati baru saja diserang oleh Belanda

lewat Agresi Militer I.

Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga adalah bekas stadsgemeente yang

dibentuk berdasarkan Staatsblad 1929 No. 393 yang kemudian dicabut dengan

Undang-undang Nomor 17 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah

Kecil Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur,Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Berdasarkan amanat UU No.22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga berubah penyebutannya menjadi Kota

Salatiga

2. Jumlah Penduduk dan Agama-agama di Kota Salatiga

Jumlah penduduk Salatiga ± 100.000 jiwa, 90 % diantaranya suku Jawa.

Ada juga sedikit WNI keturunan dan suku-suku lain dari berbagai daerah di

Indonesia. Bahasa Jawa merupakan bahasa percakapan sehari-hari di kota ini,

selain Bahasa Indonesia yang umum digunakan.

Berdasarkan data BPS tahun 2012, jumlah penduduk Kota Salatiga

186.087 jiwa. Dari jumlah tersebut perbandingan jumlah penduduk tersebut

jumlah pendudk perempuan lebih besar dari jumlah penduduk laki-laki. Hal ini

ditunjukkan oleh rasio jenis kelamin (rasio jumlah penduduk laki-laki terhadap

perempuan) sebesar 97,68 persen. Dengan uraian jumlah penduduk perempuan 51

persen dan jumlah penduduk laki-laki 49 persen.57

Jumlah penduduk berdasarkan

jenis kelamin di Kota Salatiga selanjutnya bisa dilihat dalam tabel di bawah ini:

Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2012

Umur Laki-laki Perempuan Jumlah Sex-Ratio

0-4 7.341 7.361 14.702

5-9 7.311 7.031 14.342

10-14 7.521 7.453 14.974

15-19 7.614 7.591 15.205

20-24 7.588 8.037 15.625

25-29 8.630 8.511 17.141

30-39 16.123 16.101 32.224

40-49 12.786 13.506 26.292

50-59 9.514 9.718 19.232

60+ 7.526 8.824 16.350

Jumlah

Total

91.954 94.133 186.087

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa rasio jenis kelamin atau sex ratio

yaitu angka yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki dan perempuan

adalah 97,68 persen. berarti jumlah penduduk perempuan lebih besar

dibandingkan jumlah penduduk laki-laki. Namun jika didasarkan pada umur,

maka tidak semua tingkatan umur perempuan lebih besar dari laki-laki.

57

Data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Salatiga Tahun 2012 dalam Salatiga dalam angka.

Jumlah penduduk tersebut belum menyebar secara merata diseluruh

wilayah. Umumnya penduduk berada di wilayah perkotaan. Secara rata-rata

kepadatan penduduk kota Salatiga tercatat sebesar 3.012 jiwa perkilometer

persegi. Tahun 2012 rata-rata pendudk per-rumah tangga di Kota Salatiga tercatat

sebesar 3.22 jiwa.

Jumlah penduduk Kota Salatiga selama sepuluh tahun terakhir naik dari

153.036 menjadi 171.067 pada tahun 2010. Menurut Zainudin, idealnya Kota

Salatiga bisa menekan pertumbuhan tersebut kurang dari satu persen per tahun

dengan menggalakkan kembali program Keluarga Berencana. Program tersebut

sempat tidak mendapat perhatian selama sepuluh tahun terakhir.

Hal ini menyebabkan pergeseran piramida demografi yang pada tahun

2000 masih didominasi usia 20-24 tahun dan 15-19 tahun. Namun, kini yang

tinggi adalah kelompok usia 25-29 tahun dan 20-24 tahun. Selain itu, terjadi

penambahan komposisi penduduk di usia 0-14 tahun, lebih tinggi dari 10 tahun

lalu.

3. Adat Perkawinan di Salatiga

Peristiwa perkawinan dalam urusan kerumah-tanggaan (house hold, family

meeting) di Jawa sangat diperhatikan, disamping peristiwa kelahiran kematian

bahkan juga jenjang kedewasaan. Peristiwa-peristiwa tersebut sangat didambakan

kehadirannya. Terkait dengan peristiwa perkawinan, orang Jawa memiliki

keyakinan bahwa hubungan pria dan wanita diharapkan tidak melanggar

pantangan yang menimbulkan sanksi (wewaler), yaitu sanksi moral yang bila

dirasakan sangat berat. Disamping pantangan yang berkaitan dengan ‟bibt‟,

‟bebet‟, dan ‟bobot‟, yang akan diketahui setelah masing-masing pihak orang tua

calon mempelai telah tahu keadaan calon menantunya. Selain itu ada juga

pantangan lain yaitu: pertama, perkawinan antara kerabat calon suami berasala

dari generasi yang lebih muda dari calon istri, kedua, perkawinan ‟pancer wali‟

yaitu saudara sepupu sejajar dari ayah, perkawinann dengan adik istri yang

meninggal (‟ngarang wulu‟), dan umunya semua perkwinan dengan seorang

kerabat suami atau istri yang meninggal, katiga, perkawinan antara mereka yang

tidak cocok wetonnya (hari lahir menurut kalender Jawa), atau menurut

perhitungan ‟numerology‟ (petungan) Jawa yang biasanya terdapat dalam naskah

primbon (catatan yang tersimpan).58

Perkawinan ini bermula dari keinginan seseorang yang sudah menginjak

umur dewasa serta memiliki kesiapan lahir dan batin. Dalam adat Jawa seseorang

yang sudah memiliki kesiapan yang matang kemudian mengutarakan maksudnya

kepada kedua orangtuanya untuk memberikan beberapa pertimbangan terkait

dengan pilihan jodohnya. Sementara orangtua juga harus tanggap dan bijaksana

dalam memilihkan jodoh untuk anak-anaknya baik anak itu laki-laki maupun

perempuan. Sebab kesalahan dalam memilihkan jodoh bisa berakibat tidak baik

dalam rumah tangganya kelak.59

Apalagi masyarakat luas juga akan ikut

58

Arya Ronald, IR, Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan Rumah Tangga Jawa,

(Yogyakarta: Andi Ofset, 1997), hlm.385-390. 59

M. Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa, (Yogyakarta: Hanggar

Kreator,2008), hlm. 1-5.

menyaksikan sekaligus menilai rumah tangga (keluarga)yang mereka bangun,

karena masyarakat secara umum berkepentingan atas akibatnya.60

Dalam budaya Jawa (Salatiga) suami atau istri adalah pasangan hidup

yang biasa disebut dengan istilah garwa, yang artinya sigaraning nyawa, atau

belahan jiwa. Dalam bahasa plesetan Yogyakarta garwa dikatakan sebagai siji

sigar siji dawa, yang satu belahan yang satu panjang. Pemaknaan seperti ini

menggambarkan kesatuan garwa yang pada hakekatnya adalah kesatuan yang

diibaratkan sebagai curiga manjing warangka, keris masuk menyatu ke dalam

warangkanya.

Suami dan istri merupakan kesatuan jiwa yang manunggal dan tidak dapat

dipisah-pisahkan semenjak akad nikah diikrarkan hingga maut mencabut nyawa,

bahkan hingga kehidupan di akhirat kelak. Pasangan lelaki dan perempuan yang

telah mengikrarkan janji sehidup semati di hadapan penghulu, mestinya bisa

memahami makna dan arti dari ikrar suci tersebut. Mahligai rumah tangga

dibentuk dalam rangka mengikuti sunnah nabi dan menggapai ridla dari Allah

SWT.

Rumah tangga merupakan kesatuan suami, istri dan anak-anaknya

ataupun anggota keluarga yang lainnya. Ikatan keluarga yang harmonis

merupakan modal dasar bagi terbentuknya masyarakat, bangsa dan negara yang

tentram, rukun, guyub makmur, penuh kedamaian. Jika unsur terkecil bangsa

yang bernama keluarga tumbuh dengan harmonis, maka bangsapun akan menjadi

60

William J.Goode,The Family,Terj, Lailahanoum Hasyim, Sosiologi Keluarga,(Jakarta: Bina

Aksara, 1983), hlm. 63-64.

bangsa yang harmonis. Dan salah satu unsur yang memerankan posisi strategis

terwujudnya keharmonisan itu adalah peranan seorang istri.

Wanita adalah manusia utuh yang memiliki hak asasi yang setara

sebagaimana seorang laki-laki. Dalam bahasa lain, wanita disebut perempuan.

Perempuan memiliki akar kata empu, mandapatkan awalan pe jadilah ia

perempuan. Empu adalah seorang yang memilki kemampuan untuk

menggembleng, menempa, dan kemudian membentuk bilah keris yang memiliki

pamor dan daya kesaktian. Oleh karena itu seorang perempuan memiliki peran

untuk mencetak bibit-bibit manusia unggul yang kelak akan dilahirkan melalui

rahimnya.

Semenjak usia dini, seorang perempuan harus dipersiapkan secara khusus

untuk mengemban peran dan tugas mulianya. Ibu memiliki peran yang sangat

strategis untuk membekali dan mendidik anak perempuannya untuk kelak dapat

menjadi istri yang shalikhah dan mampu menjadi ibu yang baik dalam mendidik

anak-anak generasi penerusnya. Nah seorang perempuan yang shalikhah, yang

baik, tentu saja sudah digariskan untuk mendapatkan jodoh atau suami yang baik

pula. Lelaki yang baik, perempuan yang baik, sebaiknya pula ketika meresmikan

hubungan persuami-istrian juga dilakukan dengan cara yang baik sesuai dengan

tuntunan agama dan ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh negara. Selain

itu prossi ijab dan qabul diiringi dengan adat atau tradisi yang berlaku diwilayah

tersebut.

Salatiga termasuk salah satu kota yang ada di pulau Jawa61

yang letaknya

tidak jauh dari kota Surakarta ataupun Yogjakarta. Dengan demikian adat

perkawinan ataupun pernikahan di masyarakat kota Salatiga memiliki kesamaan

dengan adat kraton Surakarta juga adat kraton Yogjakarta. Dalam prosesi

pernikahan yang kemudian diteruskan dengan proses walimahan kedua mempelai

akan memilih memakai tradisi Yogyakarta atau tradsisi Surakarta. Pilihan ini

didasarkan pada kesenangan saja.

Perkawinan adat Jawa memiliki beberapa tahapan. Biasanya seluruh

rangkaian acara perkawinan berlangsug selama kurang lebih dua bulan, mencakup

a. Nontoni; Melihat calon istri dan keluarganya, dengan mengirim utusan

(wakil).

b. Nglamar (meminang); Tahapan setelah nontoni apabila si gadis bersedia

dipersunting.

c. Paningset ; Pemberian harta benda, berupa pakaian lengkap disertai cin-cin

kawin.

d. Pasok Tukon ; Upacara penyerahan harta benda kepada keluarga si gadis

berupa uang,pakaian dan sebagainya, diberikan tiga hari sebelum pernikahan.

e. Pingitan ; Calon istri tidak diper4bolehkan keluar rumah selama 7 hari atau 40

hari sebelum perkawinan.

61

Jawa adalah suku bangasa Indonesia yang paling banyak jumlahnya, menempati seluruh

daerah jawa tengah, jawa timur dan sebagian jawa barat mereka menggunakan bahasa jawa secara

keseluruhan, hanya saja terdapat perbedaan dialek di daerah tertentu. Suku bangsa jawa termasuk suku

bangsa yang telah maju kebudayaannya, karena sejak zaman dahulu mereka telah banyak mendapat

pengaruh dari berbagai kebudayaan, seperti : kedubayanan Hindu, Budha, Islam dan Eropa. Setelah

mengetahui suku bangsa di Indonesia maka sekarang penyusun akan membahas tentang salah satu suku di

Indonsia yaitu Suku jawa. http://makalahmajannaii.blogspot.com

f. Tarub ; Mempersiapkan perlengkapan perkawinan termasuk menghias rumah

dengan janur.

g. Siraman ; Upacara mandi bagi calon pengantin wanita yang dilanjutkan

dengan selamatan.

h. Ijab Kabul (Akad Nikah); Upacara pernikahan dihadapan penghulu, disertai

orang tua atau Wali dan saksi-saksi.

i. Temon (Panggih manten); Saat pertemuan pengantin pria dengan wanita.

j. Ngunduh Mantu (ngunduh temanten) ; Memboyong pengantin wanita

kerumah pengantin pria yang disertai pesta ditempat pengantin pria.

Suku Jawa mempunyai banyak aturan adat dan tata cara perkawinan. Adat

perkawinan pada suku Jawa dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu adat pesisiran

(adat loran) dan adat pedalaman (adat kidulan). Adat perkawinan Jawa pesisiran

dipengaruhi budaya Arab dan Cina, sedangkan adat perkawinan Jawa di daerah

kidulan sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu, Buddha, dan Kejawen. Selain itu,

tata tertib, tata ras, pakaian, upacara perkawinan di kalangan suku Jawa terutama

dipengaruhi oleh adat Keraton Solo dan Yogyakarta. Hal ini disebabkan pada

masa penjajahan, kedua keraton itulah yang menjadi pusat adat dan panutan

budaya upacara. Pada masyarakat Jawa pertimbangan dalam memilih calon

menantu berdasarkan bibit, bebet, dan bobot. Pertimbangan bibit, bebet, dan

bobot merupakan dasar pertimbangan apakah si calon menantu berasal dari

keluarga baik-baik, berperangai baik, dan berada pada kondisi sosial ekonomi

keluarga yang setara. Kalau perhitungan dari segi ini telah memenuhi keinginan,

hal berikutnya yang dilakukan adalah nontoni, artinya kesempatan melihat wajah

si gadis. Apabila sudah terdapat kecocokan, keluarga pemuda mengirim utusan

untuk mengajukan lamaran dan penyerahan paningset (tanda ikatan) berupa

seperangkat pakaian terdiri atas kebaya/bahannya, kain batik, selendang, selop,

dan juga perhiasan. Upacara memberikan paningset disebut srah-srahan.

Langkah berikutnya adalah menentukan hari baik dan bulan baik dan

umumnya diserahkan kepada keluarga wanita karena sebagai penyelenggara

upacara perkawinan. Selama menunggu upacara perkawinan, si gadis harus

membatasi pergaulan dengan pria lain karena pada saat itu sudah dalam keadaan

terikat. Tiga hari menjelang upacara perkawinan, keluarga calon pengantin pria

datang ke rumah orang tua calon pengantin wanita untuk menyerahkan asak tukon

(barang-barang keperluan peralatan perkawinan). Penyerahan asok tukon ini

umumnya dilakukan bersama dengan upacara pasang tarub (tanda penutup

halaman) untuk para undangan. Pemasangan tarub dimulai dengan memasang

bleketepe, yakni semacam tirai terbuat dari anyaman daun kelapa. Yang

memasang bleketepe harus orang tua dari keluarga pengantin wanita. Upacara

pemasangan tarub hampir selalu dilakukan bersama dengan sesaji tulak udan

(sesaji untuk menolak hujan). Sementara itu, si calon pengantin wanita sejak lima

hari atau sepasar sebelum hari pernikahan sudah harus dipingit. Selama dipingit si

gadis harus berpantang terhadap makanan tertentu. Gadis itu harus minum ramuan

jamu-jamu khusus demi kebahagiaan pada malam pertamanya. Ia tidak boleh

makan umbi mentah, pisang ambon, mentimun, dan mengurangi makan pedas.

Si gadis juga harus selalu mandi dengan lulur serta mangir agar kulitnya

halus dan wangi. Selama lima hari dianjurkan agar tidak tidur sebelum pukul 12

malam dan harus bangun pagi sebelum ayam jantan berkokok. Semua dilakukan

dalam rangka tirakat agar kelak hidupnya mendapat keberuntungan dan

kemuliaan.

Sehari sebelum upacara perkawinan, pengantin wanita dimandikan dengan

air bunga (upacara siraman). Untuk mengguyur air kembang ke kepala dan tubuh

calon pengantin wanita, dipilih tujuh orang tua dari pihak keluarga wanita.

Selama menjalani upacara adat siraman, calon pengantin itu memakai kain telesan

yang dililitkan sampai sebatas dada. Malam harinya diselenggarakan upacara

selamatan yang dihadapi oleh keluarga pihak.

Wanita dan keluarga calon pengantin pria, juga tetangga terdekat. Dalam

upacara selamatan tersebut calon pengantin wanita dirias oleh juru rias manten,

yakni juru rias merangkap pimpinan upacara temu esok harinya. Selesai

selamatan diadakan upacara midodareni, di mana calon pengantin putri sudah

kelihatan cantik bagaikan bidadari, ia duduk sendirian di kursi pelaminan. Setelah

upacara midodareni selesai pemuda dan kerabat calon pengantin wanita tetap

tinggal untuk mengikuti acara lek-lekan yakni tidak tidur semalam suntuk dengan

membuat hiasan-hiasan janur. Pada hari perkawinan pagi-pagi sekali calon

pengantin wanita sudah harus mandi keramas dengan londo (air larutan merang

dan jerami), sesudah itu rambut yang masih basah diberi wewangian, lalu diasapi

dengan asap ratus (dupa wangi yang terdapat dari kemenyan dan serbuk kayu

gaharu ditambah beberapa ramuan lain). Selanjutnya calon pengantin wanita

dirias dengan diawali pemotongan rambut sinom (rambut tipis di dahi) beberapa

saat sebelum ijab kabul dilaksanakan. Pengantin pria datang diiringi oleh

kerabatnya, tetapi orang tuanya sendiri tidak boleh hadir. Orang tua pengantin

pria baru boleh hadir kalau upacara ijab kabul dan temu selesai. Ini sebagai

perlambang bahwa seorang pemuda yang berani menikah harus berani menikah

sendiri tanpa ditunggui orang tuanya. Orang tua baru hadir setelah kedua

pengantin didudukkan di pelaminan.

Upacara temu dilaksanakan di pintu masuk ruangan pelaminan.

Sebelumnya kedua pengantin dibekali dengan sadak (gulungan daun sirih yang

diikat dengan benang lawe). Sadak ini harus dilemparkan pada calon istri atau

suami pada saat mereka ketemu dalam upacara panggih. Orang Jawa percaya,

siapa yang paling dahulu melempar sadak akan dominan atau menang dalam

kehidupan rumah tangganya. Kalau yang menang pengantin putri, anak sulung

mereka mungkin sekali perempuan begitu pula sebaliknya. Pihak yang kalah

selama hidup berumah tangga kelak akan selalu mengalah terhadap pasangannya.

Pintu upacara panggih dipasang seuntai benang warna-warni yang disebut lawe.

Pengantin pria harus memotong benang itu, lalu menginjakkan kaki kanannya ke

sebuah telur ayam kampung sampai pecah dan pengantin putri berjongkok

membasuhnya dengan air kembang. Ini adalah sebagai perlambang bakti istri

dalam melayani suami. Sesudah itu, pengantin wanita berdiri mendampingi

suaminya, tangan kanan pengantin wanita menggandeng tangan kiri pengantin

pria. Saat itu pula ibu pengantin wanita menyelimuti punggung kedua pengantin

dengan kain sindur atau selindur dan memegang erat sindur itu di bahu keduanya.

Sementara itu, ayah pengantin wanita berdiri di depan ke dua pengantin. Tangan

kanan pengantin pria dan tangan kanan pengantin wanita memegang ujung beskap

sang bapak, kemudian melangkah perlahan dengan membimbing kedua pengantin

menuju kursi pelaminan. Langkah-langkah mereka diiringi oleh gending Kodok

Ngorek atau Monggang.

Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, barulah orang tua pengantin

pria datang. Kedatangan orang tua pengantin pria ini disebut dengan besan mertui.

Kedatangan mereka disambut kedua orang tua pengantin wanita dengan diiringi

gending Kebo Giro, yakni lagu penghormatan bagi tamu agung. Setelah mereka

duduk, dilakukan upacara sungkem dimulai dari kedua orang tua pengantin

kemudian kerabat lainnya. Di kiri dan kanan kursi pelaminan diletakkan kembar

mayang yang dibuat dari daun kelapa muda serta beberapa jenis buah-buahan. Ini

perlambang kedua mempelai adalah jejaka dan gadis. Sebelum memasuki ke

peraduan ayah pengantin wanita memberikan keris pertanda pengakuan sebagai

anggota kerabat dari keluarga pihak wanita diberikan kepada pengantin pria.

Keris yang dinamakan kancing gelung itu merupakan tanda ikatan batin antara

mertua dan menantu, tetapi jika kelak terjadi perceraian si menantu berkewajiban

mengembalikan keris itu kepada mertuanya.

Hari kelima setelah upacara perkawinan dilakukan upacara boyongan,

pengantin pria membawa istrinya ke rumah orang tuanya. Sebelum boyongan

dilaksanakan, pihak keluarga wanita membuat jenang sumsum yang harus

dimakan semua orang yang ikut aktif dalam penyelenggaraan upacara itu.

Menurut kepercayaan orang Jawa, jenang sumsum ini dapat menghilangkan rasa

lelah dan letih akibat pekerjaan yang mereka lakukan. Sementara itu, di rumah

orang tua pengantin pria diselenggarakan persiapan ngunduh mantu, suatu

upacara yang mirip resepsi pengantin masa kini. Upacara ngunduh mantu tidak

selengkap upacara perkawinan, karena tujuan utamanya hanyalah

memperkenalkan kedua pengantin kepada pada tetangga di lingkungan pengantin

pria.62

Tradisi walimatul ursy di wilayah kota Salatiga dan sekitarnya sekarang

ini memadukan tradisi Jawa dan juga tradisi agama. Bagi keluarga yang memeluk

agama Islam memasukkan tradisi keislamannya mulai pra resepsi, misalnya

mengundang tetangga dalam acara pengajian dengan bersama-sama membaca

doa, tahlil untuk para arwah yang sudah mendahului menghadap Allah SWT.

Bahkan dalam acara resepsi ada mauidlah hasanah dari kyai atau tokoh agama

yang kemudian mengupas hak dan kewajiban suami istri dalam perspektif Islam.

Dalam ceramahnya tersebut hampir semua kyai mengatakan ketaatan mutlak para

istri terhadap suami dengan mengambil beberapa hadis dan cerita-cerita yang

cenderung memojokkan kaum perempuan (istri). Nasehat dari para kyai ini sangat

sesuai dengan budaya Jawa (Salatiga) yang kental dengan kebudayaan patriarkis.

Masyarakat Jawa(Salatiga) merupakan masyarakat yang memiliki pembatasan-

pembatasan tertentu dalam relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan

peran laki-laki yang lebih dominan dibanding perempuan. Bahkan hampir setiap

ada walimah bapak kyai tidak lupa untuk mengibaratkan status perempuan dalam

rumah tangga dengan istilah kanca wingking, yakni bahwa perempuan adalah

teman di dapur maupun di tempat tidur. Istilah itu akan mewarnai kehidupan

perkawinan pasutri Jawa. Istilah swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke

62

http://www.artikelbagus.com

neraka pun turut), perempuan diharapkan menjadi seseorang yang bersikap

lembut, rela menderita, dan setia. Perempuan diharapkan dapat menerima segala

sesuatu bahkan sepahit apapun. Selain itu, konsep swarga nunut, neraka katut

menggambarkan posisi perempuan Jawa yang lemah sebagai seorang istri. Istilah-

istilah tersebut menggambarkan bahwa perempuan harus menurut terhadap laki -

laki.

Selain istilah konco wingking, terdapat pula istilah Sigaring Nyawa

(Belahan Jiwa). Istilah Sigaring Nyawa lebih memiliki makna bahwa laki – laki

dan perempuan memiliki peranan yang sama, laki-laki dan perempuan dua

mahluk hidup yang saling melengkapi dan menyempurnakan rumahtangga. Istilah

terebut menggambarkan kesejajaran yang lebih egaliter di kalangan perempuan

Jawa.

Istilah Konco Wingking dan Sigaring Nyawa, pada prinsipnya menjadikan

wanita menjadi pribadi yang berkuasa. Tapi, jika menilik dari dua pandangan

yang berbeda atara peranan wanita yang sekedar sebagai teman di dapur dan di

tempat tidur dan sebagai manajer rumahtangga, membuat perempuan tidak

memiliki otoritas pribadi terhadap laki-laki maupun dalam rumah tangga, terlebih

jika melihat konsep Suargo nunut neraka katut.

B. Optimalisasi KUA Terhadap Maraknya Illegal Wedding

1. KUA Kecamatan Tingkir

Pernikahan sirri adalah merupakan pernikahan yang memenuhi syarat dan

rukun nikah akan tetapi tidak dicatatkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah

(P2N). Respon KUA Kecamatan Tingkir terhadap terjadinya illegal wedding atau

nikah yang tidak dicatatkan adalah tidak mendukung dan bahkan tidak mengakui

terjadinya pernikahan tersebut. Hal ini kami simpulkan dari contoh kasus yang

terjadi di desa Tingkir Lor. Ada calon pengantin yang segera ingin melaksanakan

akad nikah di KUA, akan tetapi tiba-tiba wali (ayah kandung) meninggal dunia.

Atas dasar musyawarah keluarga akhirya pasangan calon pengantin tersebut

melaksanakan akad nikah dihadapan jenazah bapaknya dengan wali nikah kakak

kandungnya. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan dalam tradisi Jawa bahwa

jika ada calon pengantin yang berniat menikah tiba-tiba bapaknya meninggal

dunia maka akad nikah tersebut harus dilakukan satu tahun kemudian.

Salah seorang bapak kyai meminta kepada kepala KUA Kecamatan

Tingkir untuk menyaksikan pernikahan tersebut atau menjadi saksi dalam akad

nikah. Akan tetapi kepala KUA menolaknya. Hal ini dilakukan karena peristiwa

akad nikah tersebut menyalahi prosedur pernikahan yang berlaku di lembaga

perkawinan di Indonesia, karena tidak memenuhi syarat administrasi. Bahkan

dengan berat hati kepala KUA Kecamatan Tingkir tersebut tidak hadir dalam

upacara pemakaman. Menurutnya kehadiran kepala KUA dalam peristiwa

tersebut bisa bermakna menyetujui terjadinya illegal wedding, dan hal ini

bertentangan dengan UU No I Tahun 1974. walaupun takziyah di sini lepas dari

tugas kantor akan tetapi tugas sebagai kepala KUA tidak pernah lepas walau

sedang ada di luar kantor. Menurutnya kepala KUA merupakan tugas yang

melekat dalam dirinya di mana saja beliau berada.

Selang beberapa hari dari peristiwa akad nikah tersebut kemudian

keluarganya datang ke KUA Kecamatan Tingkir untuk mencatatkannya. Akan

tetapi KUA Kecamatan Tingkir tidak mau mencatatnya. KUA hanya mau

mencatatnya jika pernikahan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku

dengan melalui proses yang telah ditentukan oleh lembaga KUA. Kemudian pihak

keluarga bertanya kepada KUA tentang keabsahan pernikahan yang telah

dilakukan. Karena KUA tidak menyaksikan dan juga tidak tahu tentang peristiwa

tersebut maka KUA tidak memberikan kepastian hukumnya apakah pernikahan

tersebut sah atau tidak sah di hadapan hukum.

Kasus lain yang diketahui langsung oleh kepala KUA Kecamatan Tingkir

adalah yang terjadi di kelurahan Sidorejo Kidul. Ada calon pengantin yang akan

melangsungkan akad nikah. Karena walinya beda agama maka yang menjadi wali

adalah wali hakim. Dalam perspektif KUA walinya tersebut tidak jelas karena

tidak didasarkan pada keputusan Pengadilan Agama Kota Salatiga, dan juga tidak

mendaftarkan ke KUA maka walaupun tetangga dekat bapak Kepala KUA tidak

mau memberikan pertimbangan akan rencana pernikahan tersebut. Pada suatu hari

keluarga yang datang ke rumah kepala KUA untuk minta pertimbangan akan

tetapi tetap saja tidak mau memberikan pertimbangan. Akhirnya rencana

pernikahan tersebut tidak jadi berlangsung.

Dalam pandangan KUA jika ada kasus pernikahan yang tidak dicatakan

biasanya yang mau menikahkan adalah para kyai lokal (yang dianggap kyai oleh

wilayah tersebut). Menurutnya ada beberapa motivasi mengapa kyai tersebut mau

menikahkan antara lain motif ekonomi. Menurut kepala KUA pernikahan tidak

dicatatkan merupakan salah satu sawah ladang bagi mereka. Hal ini tidak akan

dilakukan oleh para kyai yang populer di luar lingkungannya.

Adapun usaha-usaha yang dilakukan oleh KUA dalam menanggulangi

maraknya pernikahan yang tidak dicatatkan atau illegal wedding adalah; pertama,

dengan memberikan pengarahan kepada para Pembantu Pegawai Pencatat Nikah

(Modin) untuk tidak mau menikahkan atau menolak masyarakat jika tidak

memenuhi syarat atau ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan oleh KUA.

Kedua, memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya

pencatatan pernikahan di Indonesia.

Ketiga, memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang implikasi

negatif terhadap pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga KUA.

Keempat, memberikan peringatan tegas kepada para Pembantu Pegawai

Pencatat Nikah (modin) jika menghadiri atau bahkan menikahkan masyarakat

dengan tidak mencatatkan ke lembaga KUA.

Dalam perspektif kepala KUA Kecamatan Tingkir pernikahan massal

yang sering dilakukan oleh lembaga kemenag atau mungkin juga masyarakat

bekerjasama dengan lembaga KUA bukan merupakan solusi tepat dalam

menanggulangi maraknya pernikahan tidak dicatatkan. Karena yang berhak

memberikan kepastian hukum (dengan keluarnya akta nikah) terhadap pelaku

pernikahan yang tidak dicatatkan adalah Pengadilan Agama dengan melalui

sidang itsbat yang diajukan oleh kedua pasangan tersebut. Mengingat

ketidakefektifan kegiatan tersebut maka KUA Kecamatan Tingkir belum pernah

mengadakan pernikahan massal.

Ada beberapa hal yang mendorong untuk melakukan pencegahan illegal

wedding di Kecamatan Tingkir antara lain: pertama, peran aktif para stakeholder

dengan memiliki perspektif yang sama utamanya para kyai yang memandang

urgensinya pencatatan nikah di lembaga KUA. Hal ini dilahat dari praktik yang

terjadi di masyarakat. Walaupun mereka sudah melakukan illegal wedding

ternyata ketika melakukan proses akad nikah di KUA kedua pasangan tersebut

tidak boleh duduk saling berdekatan. Sikap ini mengisyaratkan bahwa illegal

wedding merupakan proses pernikahan yang belum sempurna.

Kedua, jarak geografis antara kantor KUA dengan masyarakat sangat

dekat, sehingga mudah terjangkau.

Ketiga, terhadap kasus illegal wedding yang kurang memenuhi syarat

adminstrasi pihak KUA segera menyarankan untuk lapor ke Pengadilan Agama

Kota Salatiga untuk minta dispensasi.

Keempat, Kyi atau tokoh masyarakat selalu mengadakan komunikasi

dengan pihak KUA, kebetulan kepala KUA cukup memiliki hubungan dekat

dengan para kyai yang bertempat tinggal di Kecamatan Tingkir.

Sedangkan hambatan-hambatan dalam menanggulangi maraknya illegal

weddingillegal wedding yang terjadi di wilayah Tingkir antara lain: kompleksnya

permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, sedangkan pihak KUA sendiri tidak

bisa melayani proses pernikahan dengan jalan cepat dan pintas. Selanjutnya

minimnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pencatatan nikah di KUA.

Adapun sanksi yang berikan oleh KUA Kecamatan Tingkir jika ada P3N

atau modin yang membantu terlaksananya illegal wedding:menganggap bahwa

P3N sudah mencoreng nama baik dirinya sendiri sehingga mereka memiliki cacat

secara hukum. Karena sudah melemahkan eksistensi dan menciderai PPN. Dalam

hal ini KUA hanya bisa menegur dan memberi peringatan.

Sedangkan sanksi yang berlaku di masyarakat terhadap pelaku illegal

wedding dalam perspekti KUA Kecamatan Tinggkir antara lain, menganggap

bahwa pernikahan mereka cacat hukum, pernikahan yang bermasalah, atau

pernikahan yang berkonotasi negatif.

KUA kecamatan Tingkir setuju dengan rencana pemidanaan bagi pelaku

illegal wedding dalam RUU HMPA, dengan harapan masyarakat merasa takut

dan juga jera terhadap pelaksanaan perkawinan sirri (illegal wedding).

2. KUA Kecamatan Sidomukti

Illegal wedding atau nikah sirri menurut kepala KUA Kecamatan

Sidomukti adalah perkawinan yang tidak dicatatkan di KUA dan juga tidak

memenuhi syarat-syarat dan rukun pernikahan. Pandangan ini berawal dari

peristiwa yang terjadi di masyarakat secara umum. Masyarakat berpendapat

bahwa semua bentuk pernikahan yang tidak dicatatkan ke KUA dikatakan nikah

sirri tanpa harus mengamati apakah perkawinan tersebut sesuai dengan hukum

Islam atau tidak. Sebagaimana yang terjadi di Desa Jetak. Masyarakat di desa ini

melakukan perkawinan secara sirri hanya dengan mengundang masyarakat

disekitar tempat tinggal untuk menyaksikan. Perkawinan itu berlangsung hanya

dengan selamatan tumpengan. Tumpengan tersebut kemudian dimakan bersama

oleh masyarakat. Kedua calon pengantin hadir dalam pertemuan tersebut. Hanya

dengan peristiwa tersebut kedua calon pengantin selanjutnya sah sebagai

pasangan suami istri tanpa ada akad atau ijab qabul, juga tidak ada wali. Menurut

Kepala KUA Kecamatan Sidomukti peristiwa tersebut jelas tidak sesuai dengan

hukum Islam dan juga hukum positif di Indonesia. Untuk mengantisipasi

berulangnya persitiwa tersebut Kepala KUA Sidomukti selalu mengadakan

penyuluhan dalam bentuk pengajian rutin setiap malam Jum‟at kliwon.

Ada juga masyarakat yang melangsungkan perkawinan sirri dengan

memenuhi syarat dan rukun pernikahan seperti yang dilakukan oleh keluarga

dekat kepala KUA tersebut. Biasanya perkawinan sirri dilakukan dengan tujuan

agar kedua calon pengantin tersebut halal dalam pergaulan walau hanya sekedar

memandang dan bercengkarama. Karena setelah perkawinan sirri tersebut meraka

tidak diharuskan tidur dan tinggal bersama dalam satu rumah. Terhadap peristiwa

tersebut kepala KUA tidak mau menyaksikan dan juga tidak mau mengahdiri

walau itu saudaranya. Karena menurutnya tetap tidak sesuai dengan proses yang

berlaku di lembaga KUA.

Dia berpendapat bahwa jika ada masyarakat yang melakukan perkawinan

sirri karena tidak memiliki biaya untuk melangsungkannya di KUA sebetulnya itu

tidak mungkin karena pada dasarnya biayanya sangat murah hanya Rp. 30.000.

oleh karena itu KUA Kecamatan Sidomukti bekerjasama dengan para modin yang

ada di wilayahnya untuk mengantisipasinya dengan menguruskan ke KUA dan

biaya ditanggung oleh Kepala KUA Sidomukti secara pribadi. Sehinngga tidak

harus dimiskinkan. Begitu juga biaya operasional bapak modin yang

menguruskan calon penganten ditukar juga oleh kantong pribadi kepala KUA

Kecamatan Sidomukti.

Selain usaha-usaha tersebut Kepala KUA Sidomukti bekerjasama dengan

para penyuluh untuk menyampaikan pentingnya pencatatan perkawinan di KUA

dan implikasi negatif bagi perkawinan yang tidak dicatatkan. Menurutnya

perkawinan yang tidak dicatatkan memiliki dampak negatif terutama terhadap

anak dan perempuan. Kasihan anak-anaknya ketika harus masuk sekolah harus

menyertakan akte kelahiran yang dalam akte tersebut nama ayahnya tidak

tercantum. Selain itu juga ketika anaknya akan melangsungkan perkawinan akan

mengalami kendala dalam administrasi juga dalam menentukan wali jika

kebetulan anaknya perempuan. Hal ini akan membawa dampak psikologis bagi

anaknya dan mempertanyakan kenapa anak tersebut tidak memiliki wali.

Usaha-usaha lain yang dilakukan oleh KUA Kecamatan Sidomukti dalam

menanggulangui maraknya illegal wedding dengan mengadakan pernikahan

secara massal. Hal ini dilakukan bukan untuk mecatat pernikahan yang sudah

dilakukan akan tetapi untuk memberikan kemudahan proses perkawinan di KUA

sehingga proses akad nikah tersebut bisa tercatat di KUA. Jika ada peserta

pernikahan massal yang sudah melakukan akad nikah secara illegal, KUA

Kecamatan Sidomukti tidak menganggap bahwa akad itu sudah terjadi sehingga

proses akad nikah tersebut tetap dilakukan di hadapan PPN.

Dalam rangka mengantisipasi terjadinya nikah di bawah tangan (nikah

sirri) dengan alasan kurang mampu, Kemenag Kota Salatiga memiliki program

pernikahan massal. Pada tahun 2011 sedikitnya tujuh pasang suami istri

mengikuti nikah massal yang diselenggarakan Kantor Kementerian Agama

(Kemenag) Salatiga.. Tujuh pasang itu semuanya warga Salatiga masing-masing

pasangan Sularso Warno/Rusiyam, Jumanto/Kasinem, Gangsar Widodo/Sriyani,

Suratin/Suprihatin, Prayitno Gimin/Sumiyati, Yani Setiawan/Tri Wahyuni, dan

Slamet/Tugiyem.

Tidak hanya ijab qabul saja, akan tetapi dilakukan pula resepsi pernikahan.

Resepsi pernikahan dilakukan di Gedung Pertemuan Daerah (GPD). Sebelum

resepsi, dilakukan akad nikah di KUA Sidomukti dengan penghulu Kepala KUA

Sidomukti M Miftah SAg. Kemudian para mempelai dikumpulkan di Kantor

Kemenag Jalan Diponegoro dan diarak menuju GPD menggunakan dokar. Di

GPD mereka disambut marching band MI Al Maarif Pulutan dan kelompok

rebana Graha Mustika Soka.63

Acara ini dilaksanakan dalam rangka menghindari berbagai praktik nikah

”di bawah tangan” yang akan merugikan kedua pasangan. Menurutnya,

pernikahan yang dilakukan tanpa melalui Kantor Urusan Agama itu, nantinya

juga akan merugikan anak dari hasil pernikahan, karena kelak tidak akan berhak

atas warisan keluarga karena faktor keabsahan administrasi. Pasangan yang ikut

dalam program nikah massal itu, dibantu pengurusan administrasi seperti surat

nikah, kartu keluarga dan bebas biaya.

63

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2011/07/28/154045

Sebetulnya banyak yang mendaftar untuk pernikahan masal ini akan tetapi

banyak yang tidak lolos secara administrasi. Misalnya mereka yang pisah

dengan suami/istri lama tetapi tidak dilengkapi surat cerai. Kebanyakan pasangan

yang mengikuti nikah massal ini umunya telah lama hidup serumah karena nikah

siri (di bawah tangan). Usii terendah 29 tahun dan tertinggi 59 tahun.

Salah satu peserta nikah massal, Slamet (59) yang berpasangan dengan

Tugiyem mengaku senang akhirnya bisa menikah. Pria warga Klaseman yang

mengaku buruh ini menikah lagi karena istri terdahulunya meninggal. (H32, H53-

72)

3. KUA Kecamatan Sidorejo

Kepala KUA Sidorejo (bapak Munib, S. Pdi) mengatakan bahwa illegal

wedding atau nikah sirri adalah sebuah pernikahan yang tidak dicatatkan ke

pegawai pencatat nikah di KUA. Walaupun syarat dan rukunnya terpenuhi namun

sebetulnya keabsahannya patut diragukan. Keraguan tentang keabsahan ini

dikarenakan beberapa kemungkinan. Selain karena pernikahannya penuh masalah,

proses dan ketentuan rukunnya belum tentu benar. Misalnya saja ada kasus

pernikahan sirri yang menjadi walinya bukan ayah kandung atau saudara yang

boleh menjadi wali. Biasanya praktik pernikahan semacam ini terjadi hanya yang

penting ada wali. Padahal wali yang bukan ayah kandung atau Saudara yang

berhak menjadi wali harus ada ucapan tauqil atau ditauqilkan dari wali kepada

wali hakim. Sedangkan kebanyakan praktik pernikahan sirri tidak demikian. Atau

juga mungkin terjadi wali ayah kandung akan tetapi sebetulnya ayah tersebut

bukan ayah kandungnya. Hal ini bisa terjadi karena ada kemungkinan waktu

ayahnya (wali dari perempuan) menikah calon istrinya sudah hamil dan lahir

sebelum usia pernikahan genap enam bulan sudah lahir anak. Kasus-kasus seperti

mungkin saja terjadi. Maka menjadi sangat penting foto copy akte nikah orangtua

calon penganten untuk dijadikan salah satu syarat administrasi. sedangkan dalam

pernikahan sirri syarat administrasi tersebut sama sekali tidak diperhatikan.

Selain keabsahannya diragukan illegal wedding atau nikah sirri sangat

merugikan perempuan juga anak. Bapak Munib mencontohkan, seandainya ada

seorang perempuan yang dinikah secara sirri, tiba-tiba suaminya pergi dan tidak

pernah kembali, padahal perempuan tersebut juga belum diceraikan oleh suami.

Dalam kondisi seperti ini maka status perempuan tidak jelas alias gantung. Secara

syar‟i perempuan tersebut masih berstatus memiliki suami akan tetapi tidak

pernah pulang. Jika ingin mengajukan cerai ke pengadilan agama juga tidak bisa.

Sehingga mau menikah dengan laki-laki lain secara syar‟i juga tidak bisa.

Sementara anaknya juga tidak bisa menuntut untuk memiliki ayah kandung.

Dalam masalah mawaris, jika suaminya meninggal istri ataupun anaknya

juga tidak bisa menuntut hak waris. Jika kebetulan ketemu dengan keluarga yang

serakah, dan menang sendiri.

Sudah sepatutnya KUA bekerjasama dengan modin dan juga masyarakat

mengantisipasi terjadinya nikah sirri. Jika ada kyai atau tokoh masyarakat yang

mau menikahkan secara sirri dengan alasan menolong sebetulnya yang terjadi

malah sebaliknya. Orang Jawa bilang jane nulung ning malah menthung. Karena

nikah sirri tidaj ada manfaatnya bahkan cenderung banyak madharatnya.

Pernikahan sirri atau illegal wedding semacam ini bisa saja terjadi karena

beberapa faktor, antara lain: pertama, karena tidak mampu membayar biaya

pernikahan. Walaupun sebenarnya hanya membayar ke pihak KUA Rp. 30.000,

akan tetapi memang pada praktinya tidak semudah itu. Tetapi memang benar

kalau yang masuk ke KUA hanya Rp. 30.000.

Kedua, masyarakat kurang tahu prosedur atau tata cara pendaftaran

pernikahan di KUA. Sehingga masyarakat merasa keberatan dalam mengurus

adminstrasi yang dimulai dari RT, RW, Modin, Kelurahan, Kecamatan. Sangat

mungkin ada pihak-pihak tertentu yang meminta uang jasa, walaupun masih

dalam batas yang wajar.

Ketiga, masalah waktu, misalnya ada masyarakat yang sudah

mendaftarkan ke KUA tetapi waktu pelaksanaannya masih lama karena sesuatu

hal. Dalam waktu menunggu tersebut pasangan calon penganten melaksanakan

nikah sirri. Atau juga sebaliknya waktu pelaksanaan nikah sudah sangat mepet

sedangkan proses pendaftaran di KUA belum selesai.

Jika ada masyarakat yang sudah melakukan pernikahan secara sirri dan

kemudian ingin mencatatkan ke KUA, kepala KUA Kecamatan Sidorejo tetap

tidak bisa mengakui, KUA hanya akan bersedia mencatat jika sesuai dengan

prosedur yang berlaku. Kedua pasangan tersebut harus melakukan pernikahan

yang memenuhi syarat dan rukun baik secara administrasi maupun syari‟ah dan

harus diijabqabulkan di depan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) alias KUA.

Dalam rangka mengantisipasi terjadinya illegal wedding atau pernikahan

sirri KUA Kecamatan Sidorejo melakukan beberapa usaha antara lain dengan

mengadakan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya atau kerugian-

kerugian yang akan terjadi akibat dari pernikahan sirri. Selain itu KUA Sidorejo

akan memberikan sanksi kepada modin jika menikahkan secara sirri.

Jika Kemenag Kota Salatiga pernah mengadakan pernikahan massal dalam

rangka mengantisipasi terjadinya nikah sirri, maka KUA Kecamatan Sidorejo

cukup mendukung. Hanya saja menurut kami nikah masal kurang efektif.

Masyarakat juga kurang menyambut antusias. Terbukti tiga bulan diumumkan,

akan tetapi yang mendaftarkan hanya 4 pasang suami istri yang mendaftar dari

kecamatan Argomulyo sedangkan ada satu pasang suami istri dari kecamatan

Sidorejo. Masyarakat merasa malu juga gengsi mengikuti nikah massal.

Menurut pengakuan kepala KUA kecamatan Sidorejo bahwa di

wilayahnya tidak ada masyarakat yang melaksanakan pernikahan secara sirri.

serta tidak ada juga tokoh masyarakat atau tokoh agama yang berani menikahkan

secara sirri. Sehingga tidak ada hambatan yang berarti dalam mencegah terjadinya

pernikahan secara sirri.

4. KUA Kecamatan Argomulyo

KUA kecamatan Argomulya bependapat bahwa pernikahan sirri

meskipun dalam pandangan Islam adalah sah, karena telah terpenuhi syarat dan

rukunnya, akan tetapi menyalahi undang-undang hukum perkawinan. Sehingga

pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Sehingga jika terjadi

perselisihan dalam rumah tangga tidak bisa diselesaikan secara hukum. Selain

problem hukum, akan muncul juga problem sosial. Karena mereka tidak

memiliki akte nikah dan kebanyakan kasus yang terjadi karena biasanya

merupakan pernikahan yang kedua alias poligami, maka pasangan ini merasa

tidak memiliki kepercayaan diri dalam bergaul di masyarakat. Mereka cenderung

menutup diri terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.

Karena pernikahan yang dirahasiakan tersebut muncul juga kekhawatiran

yang lain misalnya kekhawatiran akan terjadinya perkawinan seayah karena di

antara anak-anak hasil nikah siri tersebut sangat besar kemungkinan tidak saling

mengenal antara satu dengan lainnya, sehingga nikah satu darah memungkinkan

bisa terjadi. Jika hal ini terjadi, maka tentu akan sangat bertentangan dengan

hukum perkawinan Islam.

Ada beberapa faktor terjadinya pernikahan sirri ini menurut Muhammad

Miftah selaku PLT KUA Kecamatan Argomulyo adalah:

Pertama, isteri nikah sirri bukan isteri yang pertama melainkan isteri

yang kedua bahkan ketiga atau ke empat. Meskipun dalam pandangan Islam

diperbolehkan - tapi dalam pandangan masyarakat masih dianggap sebagai aib,

sehingga baik isteri maupun suami cenderung untuk merahasiakan.

Kedua, untuk menghalalkan hubungan (bukan hubungan suami istri)

walau sebatas memandang dan bercengkerama, biasanya pernikahan seperti ini

dilakukan saat khitbah.

Ketiga, status pasangan tidak jelas, misalnya ada pasangan yang mau

nikah tetapi mereka sebetulnya masih punya suami atau istri, tapi sudah pisah dan

belum diajukan ke pengadilan agama.

Keempat, ruju‟ diluar waktu iddah. Masyarakat yang melakukan secara

sirri kemudian ingin kembali kepada istrinya lagi. karena dilakukan pada waktu

masa iddah sudah habis maka mereka melakukan nikah kembali secara sirri.

Kelima, masih banyaknya masyarakat yang masih awam tentang hukum

dan juga prosedur pernikahan di KUA.

Mengingat begitu rumitnya konsekuensi hukum yang dihadapi apa bila

keluarga pernikahan sirri terjadi perselisihan, maka Kantor Urusan Agama KUA

kecamatan Argomulyo bertekad untuk melakukan pencegahan-pencegahan

terjadinya pernikahan sirri di masyarakat dengan melakukan langkah-langkah

sebagai berikut ;

Penyuluhan hukum perkawinan di Indonesia kepada para Lurah, para

pengasuh majelis taklim, ustadz dan para kyai.

Mensosialisasikan pentingnya pencatatan pernikahan dan juga resitensi

dan bahaya akibat pernikahan yang tidak dicacatkan atau pernikahan sirri.

Walaupun pihak KUA sudah berusaha untuk menanggulangi terjadinya

illegal wedding atau nikah sirri akan tetapi tetap menemui hambatan-hambatan

antara lain:

1. Keterbatasan waktu dan sumber daya manusia. Sebagaimana yang dijelaskan

oleh Kepala KUA Kecamatan Argomulyo dan tergambar dalam tugas dan

peran KUA Kecamatan Argomulyo serta penjabarannya dalam bentuk

program kerja, maka banyak kegiatan yang harus dilakukan oleh KUA.

Sehingga waktu sudah banyak tersita untuk melaksanakan kegiatan rutinitas

KUA tersebut.

2. Keterbatasan anggaran. Kegiatan penyuluhan penanggulangan terjadinya nikah

sirri, tidak termasuk daftar kegiatan yang diusulkan oleh kementerian Agama

Kota Salatiga, yang dibiayai oleh DIPA. Dampaknya adalah kegiatan ini tidak

dapat dilaksanakan secara terprogram dan dengan dana tersendiri.

3. Tidak adanya keterbukaan masyarakat. Para pelaku nikah sirri cenderung

untuk menutup-nutupi pernikahan mereka. Kurangnya Wawasan Para Tokoh

Agama.

4. Inisiatif pelaksanaan nikah sirri sering datang dari para tokoh Agama seperti

ustadz, Kyai dan bahkan mereka termasuk pelaku. Menurut Muhammad

Miftah, PLT Kantor Urusan Agama kecamatan Argomulyo bahwa hal ini

terjadi karena masih banyak para Ustadz dan Kyai yang memiliki paham

keagamaan ( Islam ) secara tekstual berdasarkan literatur-literatur kitab

kuning, khususnya kitab-kitab fiqih yang mereka baca, tanpa disertai

membaca literatur yang lain, terutama perundang-undangan yang terkait

dengan perkawinan. Sekalipun membaca, mereka akan mengabaikannya

karena menurutnya bertentangan dengan hukum agama. Di samping itu

mereka tidak menyadari adanya dampak hukum kedepannya bagi para pelaku

nikah sirri, terutama istri dan anak-anak mereka. Mereka para pengambil

inisiatif pelaksanaan nikah sirri, karena dari kalangan tokoh Agama dan

terpandang dimasyarakat, menjadi panutan masyarakat terutama dalam

bidang agama, maka hal ini tentu akan menjadi batu sandungan tersendiri bagi

KUA Kecamatan Argomulyo dalam upaya pencegahan terhadap terjadinya

nikah sirri.

Sebagaimana sudah dijelaskan di muka bahwa pelaksanaan nikah sirri

walaupun secara agama atau dalam pendangan hukum fiqih tidak ada yang

dilanggar, karena syarat rukun sebagaimana yang ditetapkan oleh para fuqaha

telah terpenuhi. Akan tetapi dalam kapasitasnya sebagai warga negara Indonesia,

pelaksanaan nikah sirri melanggar undang-undang. Namun demikian, baik dalam

dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum

Islam ( KHI ) tidak ada pasal yang mengatur tentang sangsi pidana bagi pelaku

nikah sirri dan orang-orang yang terlibat didalamnya. Sehingga sampai saat ini

pelaku nikah sirri dang orang-orang yang terlibat didalam pelaksanaannya tidak

bisa ditindak secara pidana. Meskipun demikian secara sosial pelaku nikah sirri

secara tidak langsung akan mendapat sangsi sosial, baik dari pihak suami atau

isteri. Pemberian sangsi sosial ini dapat dipahami bahwa nikah sirri kebanyakan

terjadi pada pernikahan kedua dan seterusnya bagi suami. Dalam masyarakat

seorang lelaki yang memiliki lebih dari seorang isteri masih menjadi aib di

masyarakat. Demikian juga bagi wanita yang menjadi istri kedua dan seterusnya

juga merupakan aib di masyarakat. Masyarakat menganggap pelaku nikah sirri

karena poligami merusak rumah tangga orang atau merebut suami orang lain.

Mengingat banyaknya madlarat yang ditimbulkan dari pelaksanaan nikah

sirri dan di dalamnya ada pelanggaran hak wanita, maka Kepala KUA

Kecamatan Argomulyo mendukung rencana undang-undang yang mengatur

pemberian sangsi pidana bagi pelaku nikah sirri dan pihak-pihak yang terlibat.

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Respon KUA Terhadap Praktik Illegal Wedding di Kota Salatiga

Kota Salatiga merupakan wilayah yang hanya memiliki empat Kecamatan,

sehingga hanya memiliki empat KUA. yaitu KUA Kecamatan Argomulyo, Tingkir,

Sidorejo dan Sidomukti. Keempat KUA yang ada di Kota Salatiga memiliki

masyarakat yang agak berbeda dalam memahami makna nikah sirri. Mengingat

tingkat pendidikan terutama pengetahuan mereka tentang agama berbeda pula. KUA

Kecamatan Sidomukti misalnya, masyarakatnya memiliki tradisi yang unik dalam

melaksanakan penikahan secara sirri.

Berdasarkan wawancara dengan Kepala KUA Kecamatan Sidomukti nikah

sirri bisa memiliki makna perkawinan yang tidak dicatatkan di KUA dan juga tidak

memenuhi syarat-syarat dan rukun pernikahan. Pandangan ini berawal dari peristiwa

yang terjadi di masyarakat secara umum. Masyarakat berpendapat bahwa semua

bentuk pernikahan yang tidak dicatatkan ke KUA dikatakan nikah sirri tanpa harus

mengamati apakah perkawinan tersebut sesuai dengan hukum Islam atau tidak.

Sebagaimana yang terjadi di Desa Jetak. Masyarakat di desa ini melakukan

perkawinan secara sirri hanya dengan mengundang masyarakat disekitar tempat

tinggal untuk menyaksikan. Perkawinan itu berlangsung hanya dengan selamatan

tumpengan. Tumpengan tersebut kemudian dimakan bersama oleh masyarakat. Kedua

calon pengantin hadir dalam pertemuan tersebut. Hanya dengan peristiwa tersebut

kedua calon pengantin selanjutnya masyarakat menganggapnya sah sebagai pasangan

suami istri tanpa ada akad atau ijab qabul, juga tidak ada wali. Menurut Kepala KUA

Kecamatan Sidomukti peristiwa tersebut jelas tidak sesuai dengan hukum Islam dan

juga hukum positif di Indonesia.

Sedangkan KUA Kecamatan Argomulyo berpendapat bahwa pernikahan

sirri meskipun dalam pandangan Islam adalah sah, karena telah terpenuhi syarat

dan rukunnya, akan tetapi menyalahi undang-undang hukum perkawinan. Sehingga

pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Sehingga jika terjadi

perselisihan dalam rumah tangga tidak bisa diselesaikan secara hukum. Selain

problem hukum, akan muncul juga problem sosial. Karena mereka tidak memiliki

akte nikah dan kebanyakan kasus yang terjadi karena biasanya merupakan pernikahan

yang kedua alias poligami, maka pasangan ini merasa tidak memiliki kepercayaan diri

dalam bergaul di masyarakat. Mereka cenderung menutup diri terhadap kegiatan-

kegiatan kemasyarakatan.

Kepala KUA Sidorejo (bapak Munib, S. Pdi) mengatakan bahwa illegal

wedding atau nikah sirri adalah sebuah pernikahan yang tidak dicatatkan ke pegawai

pencatat nikah di KUA. Walaupun syarat dan rukunnya terpenuhi namun sebetulnya

keabsahannya patut diragukan. Keraguan tentang keabsahan ini dikarenakan

beberapa kemungkinan. Selain karena pernikahannya penuh masalah, proses dan

ketentuan rukunnya belum tentu benar. Misalnya saja ada kasus pernikahan sirri yang

menjadi walinya bukan ayah kandung atau saudara yang boleh menjadi wali.

Biasanya praktik pernikahan semacam ini terjadi hanya yang penting ada wali.

Padahal wali yang bukan ayah kandung atau Saudara yang berhak menjadi wali harus

ada ucapan tauqil atau ditauqilkan dari wali kepada wali hakim. Sedangkan

kebanyakan praktik pernikahan sirri tidak demikian. Atau juga mungkin terjadi wali

ayah kandung akan tetapi sebetulnya ayah tersebut bukan ayah kandungnya. Hal ini

bisa terjadi karena ada kemungkinan waktu ayahnya (wali dari perempuan) menikah

calon istrinya sudah hamil dan lahir sebelum usia pernikahan genap enam bulan

sudah lahir anak. Kasus-kasus seperti mungkin saja terjadi. Maka menjadi sangat

penting foto copy akte nikah orangtua calon penganten untuk dijadikan salah satu

syarat administrasi. sedangkan dalam pernikahan sirri syarat administrasi tersebut

sama sekali tidak diperhatikan.

KUA Kecamatan Tingkir berpendapat bahwa pernikahan sirri adalah

merupakan pernikahan yang memenuhi syarat dan rukun nikah akan tetapi tidak

dicatatkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah (P2N). Respon KUA Kecamatan

Tingkir terhadap terjadinya illegal wedding atau nikah yang tidak dicatatkan

adalah tidak mendukung dan bahkan tidak mengakui terjadinya pernikahan

tersebut. Salah seorang bapak kyai meminta kepada kepala KUA Kecamatan

Tingkir untuk menyaksikan pernikahan tersebut atau menjadi saksi dalam akad

nikah. Akan tetapi kepala KUA menolaknya. Hal ini dilakukan karena peristiwa

akad nikah tersebut menyalahi prosedur pernikahan yang berlaku di lembaga

perkawinan di Indonesia, karena tidak memenuhi syarat administrasi. Bahkan

dengan berat hati kepala KUA Kecamatan Tingkir tersebut tidak hadir dalam

upacara pemakaman. Menurutnya kehadiran kepala KUA dalam peristiwa

tersebut bisa bermakna menyetujui terjadinya illegal wedding, dan hal ini

bertentangan dengan UU No I Tahun 1974. walaupun takziyah di sini lepas dari

tugas kantor akan tetapi tugas sebagai kepala KUA tidak pernah lepas walau

sedang ada di luar kantor. Menurutnya kepala KUA merupakan tugas yang

melekat dalam dirinya di mana saja beliau berada.

Selang beberapa hari dari peristiwa akad nikah tersebut kemudian

keluarganya datang ke KUA Kecamatan Tingkir untuk mencatatkannya. Akan

tetapi KUA Kecamatan Tingkir tidak mau mencatatnya. KUA hanya mau

mencatatnya jika pernikahan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku

dengan melalui proses yang telah ditentukan oleh lembaga KUA. Kemudian pihak

keluarga bertanya kepada KUA tentang keabsahan pernikahan yang telah

dilakukan. Karena KUA tidak menyaksikan dan juga tidak tahu tentang peristiwa

tersebut maka KUA tidak memberikan kepastian hukumnya apakah pernikahan

tersebut sah atau tidak sah di hadapan hukum.

Dari berbagai respon kepala KUA yang ada di Kota Salatiga bisa ditarik

kesimpulan bahwa nikah sirri adalah sebuah pernikahan yang berlangsung sesusai

dengan syarat dan rukun dalam Islam akan tetapi tidak dicatatatkan ke KUA.

Walau pada praktiknya ada beberapa cara dalam melakukan nikah sirri akan

namun definisi yang melekat di kalangan masyarakat di Indonesia tentang nikah

sirri adalah nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan fiqh (telah memenuhi

syarat dan rukunnya), tetapi masih bersifat intern keluarga dan belum dicatatkan

ke Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Nikah semacam ini disebut dengan nikah yang

”tidak dicatat” atau disebut juga nikah ”di bawah tangan”. Nikah semacam ini

tidak mendapatkan bukti autentik berupa Akta Nikah sebagaimana diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Selain dikenal dengan

kata nikah sirri, masyarakat juga sering menyebutnya dengan nikah modin, kyai,

atau nikah secara agama.

Dari respon tersebut apabila ditinjau dari segi hukum Islam dengan

mengacu kepada pendapat Madzhab Hambali maka nikah tersebut hukumnya sah

meskipun dirahasiakan kedua mempelai, wali dan para saksi, hanya saja

hukumnya makruh. Terkecuali pernikahan sirri yang terjadi di sebagian

masyarakat kecamatan Sidomukti yang dikenal dengan nikah tumpengan. Tradisi

ini jika ditinjau dari berbagai pendapat Madzhab tidak sah karena tidak memenuhi

syarat.64

Nikah sirri ini bertetntang dengan Al-Qur‟an : Surat Al-Baqarah ayat

(235)

…. ………

“Janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara

rahasia,(sirri) ……….”

juga bertentangan dengan dengan hadits Nabi SAW:

{رواه البخارى ومسلم وغيرها}او لم ولو بشا ة

“ Adakan lah pesta perkawinan ,sekalipun dengan memotong seekor kambing”

اعلنوا هذ النكاح و اجعلوه ىف المسا جد و ضرا بواعليه بالدفو ف

“Umumkanlah nikah ini dan laksanakan lah di masjid – masjid , serta

ramaikanlah dengan menabuh rebana/terbang”

64

Mazhab Maliki : tidak membolehkan nikah sirri, nikahnya dapat dibatalkan dan pelakunya

dapat di hokum had (dera atau rajam), jika telah terjadi hubungan seksul antara keduanya, dan diakui nya

atau dengan kesaksian empat orang saksi.Mazhab Syafi’I dan Hanafi: juga tidak membolehkan nikah

sirri, Mazhad Hambali berpendapat bahwa nikah yang di langsungkan menurut syari‟at islam adalah sah,

Menurut Riwayat Umar bin Khattab: pernah mengancam pelaku nikah sirri dengan hukuman had

(wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islam wa Adillatuh, VII,1989: 71 vide Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid, II,

1339: 15).

Selain itu nikah sirri bertentangan dengan peraturan-perundang-undangan

yaitu :

1. Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974: pasal 2 ayat (1)

:”Perkawinan adalah sah , apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu, Ayat (2): Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku, Hal ini di jabarkan dengan pasal

3sampai pasal 10 PP Nomor 9 Tahun 1975.

2. Kompilasi Hukum Islam (KHI), menentukan bahwa unsure sah dan unsur

tata cara pencatatan diberlakukan secara kumulatif, bahwa pasal 7 ayat (1) KHI

menyatakan: bahwa perkawinan bagi orang yang menikah menurut Hukum Islam

hanya dapat dibuktikan dengan “AKTA NIKAH “ yang dibuat oleh Pegawai

Pencatat Nikah (PPN), dengan demikian KHI sudah menyatakan bahwa pencatatan

menjadi syarat adanya nikah yang sah.

Oleh karena itu agar pernikahan sirri yang sesuai dengan syarat dan rukun itu

menjadi sah harus ada istbat nikah. Itsbat terhadap nikah sirri ini diatur dalam PP no

9 Tahun 1975 pasal 49 ayat (2) dalam penjelasannya, jo. Pasal 64 UU nomor 1 tahun

1974, jo pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) KHI.

Selain itu nikah sirri memiliki beberapa dampak negatif yang ditimbulkan

antara lain:

Pertama, tidak ada jaminan perlindungan hukum dan tidak memiliki jaminan

yang pasti ketika perempuan hamil dan mempunyai anak. Sehingga jika terjadi

percekcokan yang berakibat suami melalaikan kewajibannya, istri tidak dapat

menuntutnya secara sah di pengadilan. Sementara menurut UU No I/1974 pasal 34

ayat 3 dengan jelas diterangkan bahwa: ”Jika suami atau istri melalaikan

kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”. Jika

perkawinan itu tidak legal, maka jika terjadi kelalaian terhadap tanggungjawab

sebagai suami atau istri tidak dapat dituntut di pengadilan. Dan yang paling rentan

untuk dilanggar hak-haknya adalah istri.

Kedua, nikah sirri rentan terjadi kekerasan terhadap perempuan. Karena posisi

perempuan (istri) lemah, sehingga laki-laki (suami) merasa bebas melakukan apa saja

dan meninggalkannya sesukanya karena pernikahannya tidak memiliki kekuatan

hukum.

Ketiga, praktik nikah sirri mudah menimbulkan pelanggaran terhadap hak

reproduksi dan kesehatan perempuan.

Keempat, mudah terjadi perceraian dengan hanya mengucapkan kata cerai dan

meninggalkan istri tanpa tanggungjawab dari suami.

Dari sini nampak jelas bahwa praktik pernikahan sirri itu sulit mewujudkan

keluarga yang bahagia dan maslahah karena banyak melanggar aturan-aturan

pemerintah hingga banyak menimbulkan kerusakan dan madharat. Bahkan tidak

jarang terjadi lahir hubungan seks di luar nikah dengan dalih pernikahan sirri.

B. Sanksi KUA Terhadap Pelaku Illegal Wedding

Ada berbagai sanksi yang diberikan oleh KUA yang ada di Kota Salatiga.

Sanksi tersebut bisa dikategorikan menjadi dua; yaitu sanksi dari pihak KUA itu

sendiri dan sanksi masyarakat.

Adapun sanksi yang berikan oleh KUA di Kota Salatiga antara lain:

Jiika ada P3N atau modin yang membantu terlaksananya illegal

wedding:menganggap bahwa P3N sudah mencoreng nama baik dirinya sendiri

sehingga mereka memiliki cacat secara hukum. Karena sudah melemahkan eksistensi

dan menciderai PPN. Dalam hal ini KUA hanya bisa menegur dan memberi

peringatan.

Sedangkan sanksi yang berlaku di masyarakat terhadap pelaku illegal wedding

merupakan pernikahan yang cacat hukum, pernikahan yang bermasalah, atau

pernikahan yang berkonotasi negatif. Pemberian sangsi sosial ini dapat dipahami

bahwa nikah sirri kebanyakan terjadi pada pernikahan kedua dan seterusnya bagi

suami. Dalam masyarakat seorang lelaki yang memiliki lebih dari seorang isteri

masih menjadi aib di masyarakat. Demikian juga bagi wanita yang menjadi istri

kedua dan seterusnya juga merupakan aib di masyarakat. Masyarakat menganggap

pelaku nikah sirri karena poligami merusak rumah tangga orang atau merebut suami

orang lain.

Semua KUA yang ada di Kota Salatiga setuju dengan rencana pemidanaan

bagi pelaku illegal wedding dalam RUU HMPA, dengan harapan masyarakat merasa

takut dan juga jera terhadap pelaksanaan perkawinan sirri (illegal wedding).

Mengingat banyaknya madlarat yang ditimbulkan dari pelaksanaan nikah sirri dan di

dalamnya ada pelanggaran hak wanita, maka para Kepala KUA mendukung rencana

undang-undang yang mengatur pemberian sangsi pidana bagi pelaku nikah sirri dan

pihak-pihak yang terlibat.

Berbagai pendapat kepala KUA tersebut di atas sebetulnya sesuai dengan

Proses Pidana Pelaku Nikah Sirri dalam UU. 22 Tahun 1946. Karena sebetulnya

dalam masalah pencatatan perkawinan di Indonesia tidak terdapat adanya kekosongan

hukum (rechtsvacuum), karena sejak awal kemerdekaan Negara Kesatuan RI telah

diatur masalah tata cara pernikahan melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1946

tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Jawa dan Madura. Dengan

diundangkan UU tersebut, maka peraturan perundang-undangan yang ada

sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi dengan pertimbangan:

1. Bahwa peraturan pencatatan nikah, talak dan rujuk seperti yang diatur di dalam

Huwelijksordonnantie Staatblaad 1929 No. 348 jo. Staatblaad 1931 No. 467.

Vorstenlandsche Huwelijkorddonnantie Staatblaad 1933 No. 98 dan

Huwelijksordonnantie Buitengewesten Staatblaad 1932 No. 482 tidak sesuai lagi

dengan keadaan masa sekarang, sehingga perlu diadakan peraturan baru yang

sempurna dan memenuhi syarat keadilan sosial;

2. Bahwa pembuatan peraturan baru yang dimaksudkan di atas tidak mungkin

dilaksanakan di dalam waktu yang singkat;

3. Bahwa sambil menunggu peraturan baru itu perlu segera diadakan peraturan

pencatatan nikah, talak dan rujuk untuk memenuhi keperluan yang sangat

mendesak;65

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka Huwelijksordonnantie

Staatblad 1929 No. 348 jo. Staatblad 1931 No. 467 dan Vorstenlandsche

Huwelijksordonnantie Staatblad 1933 No. 98 dicabut keberlakuannya yang selama

kolonial Belanda digunakan sebagai peraturan perkawinan khususnya bagi umat

Islam. Hanya saja UU No. 22 Tahun 1946 ini terbatas wilayah pemberlakuannya,

65

Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta; UI Press,

1986), h. 168

yaitu berlaku di wilayah Jawa dan Madura sehingga tidak bisa diterapkan pada kasus

yang sama pada wilayah di luar Jawa dan Madura. Namun merespon tuntutan

terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang begitu cepat berubah, maka kemudian

dikeluarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya

Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 Tahun 1946

tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan

Madura, maka sejak itulah undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan

Rujuk tersebut berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia. Hingga saat ini Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1946 tersebut belum pernah dicabut keberlakuannya atau

diamandemen baik undang-undangnya sendiri maupun pasal-pasal yang termaktub di

dalamnya. Artinya, peraturan perundang-undangan tersebut masih tetap berlaku

sepanjang belum diadakan yang baru. Dalam UU No. 22 tahun 1946, dijelaskan juga

unsur pidana bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran, yaitu bagi pihak yang

melakukan perkawinan Pasal 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang

Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November

1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh

Daerah Luar Jawa dan Madura. atau menjatuhkan talak atau rujuk tanpa dicatat atau

tanpa di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah maka dijatuhi hukuman denda.

Sebagaimana pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa: “Barang siapa yang melakukan

akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan

pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda

sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (Lima puluh rupiah)”. Pasal 3 ayat (3) menyatakan

bahwa: “Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk sebagaimana

tersebut pada ayat (1) pasal 1, tidak memberitahukan hal itu di dalam seminggu

kepada pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, maka ia

dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (Lima puluh rupiah).” Sementara bagi

pihak yang menikahkan padahal bukan tugasnya untuk menikahkan (nikah di bawah

tangan), maka pihak tersebut dijatuhi hukuman pidana selama-lamanya 3 bulan atau

denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,-. Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa: “Barang

siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) pasal 1 dengan tidak ada

haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-

banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah).”66

Undang-undang ini berupaya mencegah adanya pungutan liar (pungli) bagi

pihak-pihak yang berkepentingan dengan menjatuhkan hukuman pidana kurungan

selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus

rupiah). Pasal 3 ayat (4) menyatakan bahwa: Orang yang tersebut pada ayat (2) pasal

1 karena menjalankan pengawasan dalam hal nikah, ataupun karena menerima

pemberitahuan tentang talak dan rujuk menerima biaya pencatatan nikah, talak dan

rujuk lebih dari pada yang ditetapkan oleh Menteri Agama menurut ayat (4) pasal 1

atau tidak memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-pendaftaran masing-

masing sebagai yang dimaksud pada ayat (1) pasal 2, atau tidak memberikan petikan

dari pada buku-pendaftaran tersebut di atas tentang nikah yang dilakukan di bawah

pengawasannya atau talak dan rujuk yang dibukukannya, sebagai yang dimaksud

pada ayat (2) pasal 2, maka dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau

denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah).”

66

Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat; Menurut Hukum Tertulis

di Insonesia dan Hukum Islam, (Jakarta; Sinar Grafika, 2010), h. 210

Dalam penjelasan dinyatakan bahwa ancaman dengan denda sebagaimana

tersebut pada Pasal 3 ayat (1), (2), (3) dan ayat (4) undang-undang ini bermaksud

supaya aturan administrasi diperhatikan, dan sekali-kali tidak dimaksudkan bahwa

nikah, talak atau rujuk itu menjadi batal karena pelanggaran itu. Ketentuan pada Pasal

3 tersebut merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, karena

hanya bersifat administratif, bukan sebagai hukuman atau pidana kejahatan.67

Klasifikasi Sanksi Pidana yang dibebankan Bagi Pelaku Nikah sirri. Ada

beberapa poin penting yang penulis akan analisis mengenai sanksi yang diberlakukan

bagi para pelaku nikah sirri maupun bagi PPN yang menyalahgunakan kewenangan

atau posisinya, merujuk dari UU NO 22 Tahun 1946 jo. UU NO 32 Tahun 1956

disertai dengan SEMA No.04/Sip/1970, tanggal 02 Maret 1970.

1. Kali pertama yang harus dikaji adalah pasal-pasal dalam UU tersebut yang

mengandung unsur pidana. Berikut merupakan pasal 3 UU NO 22 Tahun

1946:51. Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang

perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2)

pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp 50,- (Lima puluh)

2. Pada ayat (1) pasal 1, tidak memberitahukan hal itu di dalam seminggu kepada

pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, maka ia dihukum

denda sebanyak-banyaknya Rp 50,- (Lima puluh rupiah).

3. Barang siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) pasal 1 dengan

tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda

sebanyak-banyaknya Rp 100,-(seratus rupiah).

67

Ibid. hlm. 212

4. Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk sebagaimana pasal 3

UU. NO 22 Taun 1946 tersebut Orang yang tersebut pada ayat (2) pasal 1 karena

menjalankan pengawasan dalam hal nikah, ataupun karena menerima

pemberitahuan tentang talak dan rujuk menerima biaya pencatatan nikah, talak

dan rujuk lebih dari pada yang ditetapkan oleh Menteri Agama menurut ayat (4)

pasal 1 atau tidak memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-pendaftaran

masing-masing sebagai yang dimaksud pada ayat (1)pasal2, atau tidak

memberikan petikan dari pada buku-pendaftaran tersebut di atas tentang nikah

yang dilakukan di bawah pengawasannya atau talak dan rujuk yang

dibukukannya, sebagai yang dimaksud pada ayat (2) pasal 2, maka dihukum

kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak- banyaknya Rp

100,- (seratus rupiah).

5. Jika terjadi salah satu hal yang tersebut pada ayat pertama, kedua dan ketiga dan

ternyata karena keputusan hakim, bahwa ada orang kawin tidak dengan

mencukupi syarat pengawasan atau ada talak atau rujuk tidak diberitahukan

kepada yang berwajib, maka biskalgripir hakim kepolisian yang bersangkutan

mengirim salinan keputusannya kepada pegawai pencatat nikah yang

bersangkutan dan pegawai itu memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-

pendaftaran masing-masing dengan menyebut surat keputusan hakim yang

menyatakan hal itu.

Apabila ditinjau dari petikan pasal 3 di atas, kita dapat melihat bahwa objek

yang terkena sanksi semata-mata bukan hanya pelaku nikah sirri saja, akan tetapi

sanksi tersebut dikenakan juga bagi orang yang menikahkannya, atau 60 dengan kata

lain penghulu yang menikahkan orang tanpa catatan administrasi yang resmi akan

terkena sanksi pidana tersebut. Sanksi pidana yang dimaksud dalam pasal 3 di

ataspun ditujukan bagi para Pegawai Pencatat Perkawinan (PPN) yang memungut

bayaran melebihi dari ketentuan yang dipatok oleh Departemen Agama. Sehingga

apabila ada PPN yang melakukan hal tersebut, maka orang tersebut bisa dijerat

dengan sanksi pidana yang dimaksudkan dalam UU di atas.

Selanjutnya, apabila kita analisa dari sanksi pidana yang dibebankan maka

akan timbul opsi sanksi yang dibebankan bagi para pelaku nikah sirri, orang yang

mengawinkan pelaku nikah sirri dan PPN, yaitu: Sanksi denda. Sebelum kita

membahas lebih jauh mengenai sanksi denda, maka kita perlu mengetahui bahwa

sanksi denda termasuk kedalam sanksi pokok yang bisa dijatuhkan terhadap suatu

tindak pidana. Hal ini termaktub dalam KUHP pasal 10 poin (a). Merujuk dari pasal 3

UU NO 22 Tahun 1946 di atas, maka opsi sanksi denda ini bisa diberlakukan bagi

pelaku nikah sirri, PPN yang menyalah gunakan wewenang dan orang yang

menikahkan tanpa adanya hak (bukan PPN resmi).

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan pidana denda ini,

yaitu;68

1. Sistem penerapan jumlah atau besarnya denda.

2. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda.

3. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya

pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas waktu

yang telah ditetapkan.

68

Muladi dan Barda Nawawi A,Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,1992), h. 56

4. Pelaksanaan pidana dalam hal-hal khusus (misalnya terhadap seorang anak yang

belum dewasa atau belum bekerja dan masih dalam tanggungan orang tua).

5. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda.

Pidana denda obyeknya adalah harta benda yang berbentuk uang, hal ini dapat

dilihat dalam ketentuan KUHP. Apabila kita lihat dari ketentuan pemberlakuan denda

poin ke 1 maka hal yang menarik dalam pasal 3 tersebut adalah denda yang

dibebankan sangatlah kecil, tidak sebanding dengan tingkat perekonomian saat ini.

Penjatuhan denda Rp. 50,- dan Rp. 100,- dalam kondisi perekonomian saat ini sudah

tidak memiliki arti ekonomi lagi, sehingga perlu penyesuaian dengan tingkat

perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, menurut Surat Edaran Mahkamah Agung

(SEMA) No 04/Sip/1970, tanggal 02 Maret 1970 bahwa penilaian uang (dalam kasus

denda) harus dilakukan dengan menggunakan harga emas.69

Saat itu harga emas

diasumsikan Rp. 2/gram dibagi dengan denda Rp. 50,- = 25 gram emas atau denda

Rp. 100 = 50 gram emas. Perhitungannya adalah: Penjatuhan denda : harga per gram

emas = denda bagi penganten Penjatuhan denda Rp. 50 bagi penganten dengan

asumsi harga emas saat itu adalah Rp. 2/gram, maka didapatkan bahwa denda bagi

penganten adalah seharga 25 gram emas. Apabila dianalogikan dengan hari ini

(Tahun 2014) maka penghitungannya adalah: 25 gram emas dengan asumsi harga saat

ini adalah Rp. 450.000/gram, maka total denda saat ini adalah Rp. 11.125.000,-

(Sebelas juta seratus dua puluh lima ribu rupiah) yang dibebankan bagi pelaku nikah

sirri.

Penjatuhan denda : harga per gram emas = denda bagi PPN/penghulu tidak

resmi Penjatuhan denda Rp. 100 bagi penghulu dengan asumsi harga emas saat itu

69

SEMA No.04/Sip/1970, tanggal 02 Maret 1970

adalah Rp. 2/gram, maka didapatkan bahwa denda bagi penghulu adalah seharga 50

gram emas. Apabila dianalogikan dengan hari ini (Tahun 2014) maka

penghitungannya adalah: 50 gram emas dengan asumsi harga emas saat ini adalah Rp.

450.000/gram, maka total denda saat ini adalah Rp. 22.250.000. (dua puluh dua juta

dua ratus lima puluh ribu rupiah) yang dibebankan bagi PPN yang menyalah gunakan

wewenang dan penghulu tidak resmi.70

Apabila penghitungannya seperti yang

dijabarkan di atas, maka besaran denda yang dijatuhkan terlihat lebih riil

dibandingkan yang termaktub dalam pasal 3 UU NO 22 Tahun 1946, dikarena

besaran denda harus mengikuti perekonomian bangsa ini.

Sanksi Kurungan Pasal 3 ayat 4 secara eksplisit menjelaskan bahwa sanksi

kurungan diberlakukan hanya bagi PPN yang menyalah gunakan wewenangnya,

itupun besifat pengganti apabila PPN tersebut tidak mampu atau tidak mau membayar

denda yang dibebankan. Sanksi kurungan ini juga diberlakukan karena PPN tersebut

telah menyalahgunakan wewenang dengan memungut biaya perkawinan melebihi

biaya yang telah ditetapkan oleh Departemen Agama.

Walaupun ada sanksi yang dibebankan kepada pelaku nikah sirri, PPN yang

menyalahgunakan wewenang dan penghulu non resmi, ini bukan berarti tindak pidana

yang mereka lakukan termasuk kedalam tindak pidana kejahatan, tindak pidana yang

mereka lakukan hanya sebatas tindak pidana pelanggaran saja.

Ancaman dengan denda sebagai tersebut pada ayat (1) dan (3) pasal 3

Undang-undang ini bermaksud supaya aturan administrasi ini diperhatikan :

70

Muchsin, Aspek Hukum Pelanggaran Pidana dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama

Bidang Perkawinan, (Diakses dari http://e-syariah.badilag.netTanggal 06 Juni 2011)

akibatnya sekali-kali bukan, bahwa nikah, talak atau rujuk itu menjadi batal 71

karena

pelanggaran itu.

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan pidana yang

dibebankan bukan sekali-kali menyangkut masalah perkawinan, talak ataupun

rujuknya, akan tetapi menyangkut kesalahan proses administrasi yang dilanggar oleh

orang yang berperkara. Maka apabila dipandang dari ranah istinbath al-hukm

(penggalian hukum Islam), pencatatan pernikahan merupakan perkara administratif

yang mubah (boleh) bahkan sangat penting untuk dilakukan. Hal ini berdasarkan

kaidah fiqh (kaidah-kaidah yang menjadi nalar hukum dalam Islam) salah satunya "

tasharruf al-imam 'ala ar-ra'iyyah manuthun bi al-mashlahah" yang bermakna bahwa

kebijakan pemerintah atas rakyatnya bergantung pada kemaslahatan. Selama

kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang qath'i (sudah jelas), maka

pertimbangan kemaslahatan dalam menyusun sebuah kebijakan bisa dibenarkan.

Walau pada kenyataannya belum ada teguran secara administrasi dan juga

sanksi dalam bentuk denda atau kurungan , akan tetapi untuk wilayah Kota Salatiga

sangat sedikit tokoh masyarakat yang mau menikahkan secara sirri. Bahkan saat ini

bisa dibilang tidak ada. Jika terpaksa ada itu karena ada orang yang mau membayar

mahal, bahkan lebih mahal dari biaya menikah di KUA. Sedangkan orang tersebut

enggan menyebutkan nama dan juga identitas yang lainnya.

Analisis ini juga didukung oleh data pelaku nikah sirri yang ada di Kota

Salatiga. Hampir 90 persen pasangan nikah sirri tidak melangsungkan pernikahanya

di Kota Salatiga.

71

Pasal 4 UU. NO 22 Tahun 1946 (Diakses dari http: // dpr.go.id /uu/uu1946 /UU_

1946_22.pdf pada tanggal 09 juni 2011

C. Hambatan-hambatan KUA dalam Mengantisipasi Terjadinya Illegal Wedding

Sebelum berbicara tentang beberapa hambatan yang dihadapi KUA dalam

menanggulangi maraknya illegal wedding ataau nikah sirri, peneliti akan menyajikan

beberapa usaha yang dilakukan oleh KUA dalam menanggulangi maraknya

pernikahan yang tidak dicatatkan atau illegal wedding adalah;

Pertama, dengan memberikan pengarahan kepada para Pembantu Pegawai

Pencatat Nikah (Modin) untuk tidak mau menikahkan atau menolak masyarakat jika

tidak memenuhi syarat atau ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan oleh KUA.

Kedua, memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya

pencatatan pernikahan di Indonesia.

Ketiga, memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang implikasi negatif

terhadap pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga KUA.

Keempat, memberikan peringatan tegas kepada para Pembantu Pegawai

Pencatat Nikah (modin) jika menghadiri atau bahkan menikahkan masyarakat dengan

tidak mencatatkan ke lembaga KUA.

Kelima usaha-usaha lain yang dilakukan oleh KUA dalam menanggulangui

maraknya illegal wedding dengan mengadakan pernikahan secara massal. Hal ini

dilakukan bukan untuk mecatat pernikahan yang sudah dilakukan akan tetapi untuk

memberikan kemudahan proses perkawinan di KUA sehingga proses akad nikah

tersebut bisa tercatat di KUA.

Ada beberapa hal yang mendorong untuk melakukan pencegahan illegal

wedding antara lain:

Pertama, peran aktif para stakeholder dengan memiliki perspektif yang sama

utamanya para kyai yang memandang urgensinya pencatatan nikah di lembaga KUA.

Hal ini dilahat dari praktik yang terjadi di masyarakat. Walaupun mereka sudah

melakukan illegal wedding ternyata ketika melakukan proses akad nikah di KUA

kedua pasangan tersebut tidak boleh duduk saling berdekatan. Sikap ini

mengisyaratkan bahwa illegal wedding merupakan proses pernikahan yang belum

sempurna.

Kedua, jarak geografis antara kantor KUA dengan masyarakat sangat dekat,

sehingga mudah terjangkau.

Ketiga, terhadap kasus illegal wedding yang kurang memenuhi syarat

adminstrasi pihak KUA segera menyarankan untuk lapor ke Pengadilan Agama Kota

Salatiga untuk minta dispensasi.

Keempat, Kyi atau tokoh masyarakat selalu mengadakan komunikasi dengan

pihak KUA, kebetulan kepala KUA cukup memiliki hubungan dekat dengan para

kyai yang bertempat tinggal di Kecamatan Tingkir.

Sedangkan hambatan-hambatan dalam menanggulangi maraknya illegal

weddingillegal wedding yang terjadi di wilayah KUA Kota Salatiga antara lain:

1. Kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, sedangkan pihak

KUA sendiri tidak bisa melayani proses pernikahan dengan jalan cepat dan pintas.

2. Selanjutnya minimnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pencatatan

nikah di KUA.

3. Terbatasnya pengetahuan masayarakt tentang proses pencatatan. Selama ini masih

ada kesan di masyarakat bahwa mencatatkan pernikahan ke KUA adalah rumit

dan menghabiskan biaya yang banyak. Keterbatasan waktu dan sumber daya

manusia. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kepala KUA Kecamatan

Argomulyo dan tergambar dalam tugas dan peran KUA Kecamatan Argomulyo

serta penjabarannya dalam bentuk program kerja, maka banyak kegiatan yang

harus dilakukan oleh KUA. Sehingga waktu sudah banyak tersita untuk

melaksanakan kegiatan rutinitas KUA tersebut.

4. Keterbatasan anggaran. Kegiatan penyuluhan penanggulangan terjadinya nikah

sirri, tidak termasuk daftar kegiatan yang diusulkan oleh kementerian Agama

Kota Salatiga, yang dibiayai oleh DIPA. Dampaknya adalah kegiatan ini tidak

dapat dilaksanakan secara terprogram dan dengan dana tersendiri.

5. Tidak adanya keterbukaan masyarakat. Para pelaku nikah sirri cenderung untuk

menutup-nutupi pernikahan mereka. Kurangnya Wawasan Para Tokoh Agama.

6. Inisiatif pelaksanaan nikah sirri sering datang dari para tokoh Agama seperti

ustadz, Kyai dan bahkan mereka termasuk pelaku. Menurut Muhammad Miftah,

PLT Kantor Urusan Agama kecamatan Argomulyo bahwa hal ini terjadi karena

masih banyak para Ustadz dan Kyai yang memiliki paham keagamaan ( Islam )

secara tekstual berdasarkan literatur-literatur kitab kuning, khususnya kitab-kitab

fiqih yang mereka baca, tanpa disertai membaca literatur yang lain, terutama

perundang-undangan yang terkait dengan perkawinan. Sekalipun membaca,

mereka akan mengabaikannya karena menurutnya bertentangan dengan hukum

agama. Di samping itu mereka tidak menyadari adanya dampak hukum

kedepannya bagi para pelaku nikah sirri, terutama istri dan anak-anak mereka.

Mereka para pengambil inisiatif pelaksanaan nikah sirri, karena dari kalangan

tokoh Agama dan terpandang dimasyarakat, menjadi panutan masyarakat

terutama dalam bidang agama, maka hal ini tentu akan menjadi batu sandungan

tersendiri bagi KUA dalam upaya pencegahan terhadap terjadinya nikah sirri.

Selain ada hambatan-hambatan tersebut di atas pernikahan secara sirri ini terjadi

karena beberapa faktor terjadinya pernikahan sirri antara lain adalah:

Pertama, isteri nikah sirri bukan isteri yang pertama melainkan isteri yang

kedua bahkan ketiga atau ke empat. Meskipun dalam pandangan Islam diperbolehkan

- tapi dalam pandangan masyarakat masih dianggap sebagai aib, sehingga baik isteri

maupun suami cenderung untuk merahasiakan.

Kedua, untuk menghalalkan hubungan (bukan hubungan suami istri) walau

sebatas memandang dan bercengkerama, biasanya pernikahan seperti ini dilakukan

saat khitbah.

Ketiga, status pasangan tidak jelas, misalnya ada pasangan yang mau nikah

tetapi mereka sebetulnya masih punya suami atau istri, tapi sudah pisah dan belum

diajukan ke pengadilan agama.

Keempat, ruju‟ diluar waktu iddah. Masyarakat yang melakukan secara sirri

kemudian ingin kembali kepada istrinya lagi. karena dilakukan pada waktu masa

iddah sudah habis maka mereka melakukan nikah kembali secara sirri.

Kelima, masih banyaknya masyarakat yang masih awam tentang hukum dan

juga prosedur pernikahan di KUA.

D. Optimalisasi Peran KUA Dalam Mencegah Terjadinya Illegal Wedding

Salah satu peran KUA khususnya penghulu yang sangat dinantikan oleh

masyarakat adalah kehadirannya sebagai representasi pemerintah dalam hal ini

Kementerian Agama, untuk mengawasi serta memenuhi aspek legalitas pernikahan.

Peran ini nyaris tak tergantikan oleh siapapun sepanjang pejabat penghulu

dimungkinkan hadir dalam peristiwa penting tersebut. Melalui sudut pandang ini,

sudah selayaknya para penghulu mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar dapat

memenuhi keterwakilan pemerintah yang memberi mandat kepadanya.

Persoalan klasik yang paling sering dihadapi oleh para penghulu adalah

kebenaran jati diri calon mempelai, khususnya menyangkut status perkawinan mereka

sebelumnya, serta kebenaran pengakuan sebagai wali nikah yang berhak. Meski para

penghulu dalam melakukan tugas pemeriksaan pada saat pendaftaran perkawinan

dibantu dengan instrumen data dari kelurahan/desa, pada kenyataannya masih juga

terjadi praktik pemalsuan identitas yang dilakukan oleh sebagian masyarakat.

Kesalahan ini seharusnya dapat ditekan sekecil mungkin jika data kependudukan

yang selama ini dikuasai sepenuhnya oleh Kemendagri dapat diakses juga oleh para

penghulu. Dengan demikian, seorang penghulu yang melihat adanya inkonsistensi

atau ketidaksinkronan antara data dan kenyataan yang dilihat dan didengarnya, dapat

melakukan cross check data kependudukan orang bersangkutan. Untuk mewujudkan

hal tersebut, perlu dikaji lebih lanjut kemungkinan kerja sama antara Kemenag dan

Kemendagri dalam akses data kependudukan ini.

Seyogyanyalah para penghulu mendapatkan akses untuk mengetahui data

kependudukan calon mempelai beserta walinya meski diberikan secara terbatas

kepada penghulu demi memastikan dan menjamin bahwa keputusan menerima dan

melaksanakan permohonan perkawinannya adalah keputusan yang benar baik

menurut agama maupun peraturan perundangan.

Walupun sampai saat ini penghulu sebagai peTugas pencatat nikah belum

sepenuhnya bisa mengakses informasi kependudukan secara memadahi, akan tetapi

sudah berusaha semaksimal mungkin dalam mendata calon penganten sesuai dengan

hukum agama dan juga administrasi kependudukan. Sehingga jika terjadi hal-hal

yang tidak sesuai dengan administrasi para penghulu juga kepala KUA se Kota

Salatiga berusaha untuk mentertibkannnya. Khususnya terkait dengan pencatatan

pernikahan para penghulu berusaha semaksimal mungkin untuk mencatat sesuai

dengan ketentuan yang berlaku dalam UU perkawinan. Semua kepala KUA yang ada

di Kota Salatiga berpendapat bahwa pencatatan perkawinan merupakan suatu

keharusan sebagaimana diterangkan dalm UU No I/ 1974 pasal 2 ayat 2 bahwa:

”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku”. Kemudian

ditegaskan lagi pelaksanaannya dalam PP No.9 /1975 dalam pasal 3 yang

menyatakan bahwa: ”Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan

memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan

akan dilangsungkan”.

Selanjutnya dijelaskan dalam KHI pasal 5: (1) Agar terjamin ketertiban

perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan

perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah

sebagaimana diatur dalam UU No.22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun 1954. Dari

pasal-pasal dalam UU maupun KHI ini muncul berbagai analisis, apakah pencatatan

perkawinan ini sebagai sayarat sah atau sebagai syarat administrasi. Ada beberapa

alasan yang dikemukakan bahwa pencatatan sebagai syarat sah perkawinan. Pertama,

selain didukung oleh praktik hukum dari badan-badan publik, juga pasal-pasal Perpu

pelaksanaan UUP (PP. No.9 Tahun 1975) dan juga dari jiwa dan hakikat UUP itu

sendiri. Kedua, ayat yang ada di dalam pasal 2 UUP harus dipandang sebagai satu

kesatuan yang tidak terpisah. Ketiga, apabila isi pasal 2 UUP dikaitkan dengan bab III

(pasal 13s/d21) dan Bab IV (pasal 22s/d28), masing-masing tentang pencegahan dan

pembatalan, hanya bisa dilakukan apabila diatur di dalam PP No.9/1975. bila

perkwinan sah tanpa ada pencatatan, pasal pencegahan dan pembatalan menjadi tidak

ada gunanya. Keempat, dari sisi bahasa, arti kata ”dan” pada pasal 2 ayat 1 UUP

berarti kumulatif. Khaoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi

terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan

Malaysia, (Jakarta-Leiden:INIS: 2002: 158-159). Bagi mereka yang berpendapat

bahwa pencatatan hanya sebagai syarat administrasi beralasan, sebagaimana

dikemukakan oleh Wasit Aulawi dalam Sejarah Perkembangan Hukum Islam di

Indonesia, secara tegas UUP No. 1 Tahun 1974 hanya mengatur pencatatan

perkawinan, talak, dan rujuk, yang berarti hanya acara, bukan materi hukum.

Dalam praktiknya jika ada masyarakat yang melakukan illegal wedding atau

nikah yang tidak dicatatkan para kepala KUA Kota Salatiga tidak pernah sekalipun

mendukung dan bahkan tidak mengakui terjadinya pernikahan tersebut. Hal ini kami

simpulkan dari contoh kasus yang terjadi di desa Tingkir Lor. Ada calon pengantin

yang segera ingin melaksanakan akad nikah di KUA, akan tetapi tiba-tiba wali (ayah

kandung) meninggal dunia. Atas dasar musyawarah keluarga akhirya pasangan calon

pengantin tersebut melaksanakan akad nikah dihadapan jenazah bapaknya dengan

wali nikah kakak kandungnya. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan dalam

tradisi Jawa bahwa jika ada calon pengantin yang berniat menikah tiba-tiba bapaknya

meninggal dunia maka akad nikah tersebut harus dilakukan satu tahun kemudian.

Salah seorang bapak kyai meminta kepada kepala KUA Kecamatan Tingkir

untuk menyaksikan pernikahan tersebut atau menjadi saksi dalam akad nikah. Akan

tetapi kepala KUA menolaknya. Hal ini dilakukan karena peristiwa akad nikah

tersebut menyalahi prosedur pernikahan yang berlaku di lembaga perkawinan di

Indonesia, karena tidak memenuhi syarat administrasi. Bahkan dengan berat hati

kepala KUA Kecamatan Tingkir tersebut tidak hadir dalam upacara pemakaman.

Menurutnya kehadiran kepala KUA dalam peristiwa tersebut bisa bermakna

menyetujui terjadinya illegal wedding, dan hal ini bertentangan dengan UU No I

Tahun 1974. walaupun takziyah di sini lepas dari tugas kantor akan tetapi tugas

sebagai kepala KUA tidak pernah lepas walau sedang ada di luar kantor. Menurutnya

kepala KUA merupakan tugas yang melekat dalam dirinya di mana saja beliau

berada.

Selang beberapa hari dari peristiwa akad nikah tersebut kemudian keluarganya

datang ke KUA Kecamatan Tingkir untuk mencatatkannya. Akan tetapi KUA

Kecamatan Tingkir tidak mau mencatatnya. KUA hanya mau mencatatnya jika

pernikahan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan melalui proses

yang telah ditentukan oleh lembaga KUA. Kemudian pihak keluarga bertanya kepada

KUA tentang keabsahan pernikahan yang telah dilakukan. Karena KUA tidak

menyaksikan dan juga tidak tahu tentang peristiwa tersebut maka KUA tidak

memberikan kepastian hukumnya apakah pernikahan tersebut sah atau tidak sah di

hadapan hukum.

Kasus lain yang diketahui langsung oleh kepala KUA Kecamatan Tingkir

adalah yang terjadi di kelurahan Sidorejo Kidul. Ada calon pengantin yang akan

melangsungkan akad nikah. Karena walinya beda agama maka yang menjadi wali

adalah wali hakim. Dalam perspektif KUA walinya tersebut tidak jelas karena tidak

didasarkan pada keputusan Pengadilan Agama Kota Salatiga, dan juga tidak

mendaftarkan ke KUA maka walaupun tetangga dekat bapak Kepala KUA tidak mau

memberikan pertimbangan akan rencana pernikahan tersebut. Pada suatu hari

keluarga yang datang ke rumah kepala KUA untuk minta pertimbangan akan tetapi

tetap saja tidak mau memberikan pertimbangan. Akhirnya rencana pernikahan

tersebut tidak jadi berlangsung.

Sikap seperti tersebut di atas juga terjadi pada kepala KUA Kecamatan

Sidomukti. Suatu haru ada masyarakat yang melangsungkan perkawinan sirri dengan

memenuhi syarat dan rukun dengan tujuan agar kedua calon pengantin tersebut halal

dalam pergaulan walau hanya sekedar memandang dan bercengkarama. Karena

setelah perkawinan sirri tersebut meraka tidak diharuskan tidur dan tinggal bersama

dalam satu rumah. Walaupun pernikahan sirri tersebut dilakukan oleh keluarga

dekatnya akan tetapi terhadap peristiwa tersebut kepala KUA tidak mau menyaksikan

dan juga tidak mau menghadiri walau itu saudaranya. Karena menurutnya tetap tidak

sesuai dengan proses yang berlaku di lembaga KUA.

Berdasarkan berbagai usaha yang dilakukan oleh KUA sebagaimana tersebut

dalam poin c, membuktikan bahwa KUA memiliki peran yang optimal dalam

berusaha untuk mencegah terjadinya illegal wedding atau nikah sirri. Usaha-usaha

serta sikap para Kepala KUA juga penghulu ini ternyata membuahkan hasil yang

cukup memuaskan. Hal ini terbukti bahwa di wilayah masing-masing KUA tidak ada

masyarakat yang melaksanakan pernikahan secara sirri. serta tidak ada juga tokoh

masyarakat atau tokoh agama yang berani menikahkan secara sirri. Sehingga tidak

ada hambatan yang berarti dalam mencegah terjadinya pernikahan secara sirri. Jika

ternyata ada pasangan yang menikah secara sirri maka itu di luar sepengetahuan

Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) atau modin dan juga di luar sepengetahuan

penghulu dan juga pegawai KUA.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan juga pembahasan maka rumusan masalah

yang mempertanyakan tentang respon KUA dalam menghadapi illegal

wedding yang tejadi di Kota Salatiga, sanksi yang diberikan oleh KUA juga

masyarakat terhadap pelaku illegal weddig, dan juga hambatan-hambatan KUA dalam

mengantisipasi terjadinya illegal wedding di Kota Salatiga akan terjawab sebagai

berikut:

1. Bahwa nikah sirri menurut para kepala KUA Kota Salatiga bisa memiliki makna

perkawinan yang tidak dicatatkan di KUA dan juga tidak memenuhi syarat-syarat

dan rukun pernikahan secara agama (fiqh). Ada juga yang memaknai perkawinan

yang berlangsung hanya dengan selamatan tumpengan. Tumpengan tersebut

kemudian dimakan bersama oleh masyarakat. Namun secara umum bahwa

pernikahan sirri makna suatu pernikahan yang sudah terpenuhi syarat dan

rukunnya, akan tetapi menyalahi undang-undang hukum perkawinan. Sehingga

pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Sehingga jika terjadi

perselisihan dalam rumah tangga tidak bisa diselesaikan secara hukum. Dari

respon tersebut apabila ditinjau dari segi hukum Islam dengan mengacu kepada

pendapat Madzhab Hambali maka nikah tersebut hukumnya sah meskipun

dirahasiakan kedua mempelai, wali dan para saksi, hanya saja hukumnya makruh.

Terkecuali pernikahan sirri yang terjadi di sebagian masyarakat kecamatan

Sidomukti yang dikenal dengan nikah tumpengan. Tradisi ini jika ditinjau dari

berbagai pendapat Madzhab tidak sah karena tidak memenuhi syarat.

2. Sanksi bagi pelaku nikah sirri bisa ditinjau dari tiga sudut pandang yaitu sanksi

yuridis, administrasi dan juga sanksi sosial. Sanksi yuridis; pelaku nikah sirri

tidak memiliki keuatan hukum karena tidak memiliki bukti outentik atau akte

nikah, sehingga jika ada permasalahan yang trejadi dalam keluarga tidak bisa

diselaikan secara hukum. Sedangkan sanksi adminstrasi para pelaku nikah sirri

yang memiliki anak tidak bisa mencantumkan nama ayah kandungnya dalam akte

kelahiran sehingga statusnya sama dengan anak zina. Sedangkan sanksi sosial

para pelaku nikah sirri biasanya mendapatkan label negatif, karena nikahnya

bermasalah. Dari sinilah maka KUA yang ada di lingkungan Kota Salatiga sangat

tidak setuju dengan nikah sirri dan akan memberikan sanksi administrasi berupa

teguran terhadap para Modin yang mau menikahkan secara sirri. Walaupun RUU

HMPA terutama pasal yang berbicara tentang pemidanaan nikah sirri belum

diputuskan, akan tetapi semua kepala KUA yang ada di Kota Salatiga setuju.

Sikap ini diikuti oleh semua perangkat dan staf KUA juga masyarakat. Akhirnya

masyarakat Kota Salatiga tidak berani lagi menikahkan secara sirri. Dengan

demikian sikap KUA ini memiliki peran yang sangat strategis dalam

menanggulangi terjadinya pernikahan sirri atau illegal wedding.

3. Sedangkan hambatan-hambatan dalam menanggulangi maraknya illegal wedding

yang terjadi di wilayah KUA Kota Salatiga antara lain: kompleksnya

permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, sedangkan pihak KUA sendiri tidak

bisa melayani proses pernikahan dengan jalan cepat dan pintas. Minimnya

pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pencatatan nikah di KUA juga

terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang proses pencatatan. Kesan yang rumit

dan menghabiskan biaya yang banyak terhadap proses pencatatan di KUA.

Keterbatasan waktu dan sumber daya manusia. Keterbatasan anggaran. Tidak

adanya keterbukaan masyarakat. Para pelaku nikah sirri cenderung untuk

menutup-nutupi pernikahan mereka. Kurangnya Wawasan Para Tokoh Agama.

Inisiatif pelaksanaan nikah sirri sering datang dari para tokoh Agama.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang kami lakukan maka ada beberapa saran baik

kepada peneliti, Jurusan Syari‟ah, dan juga kepada KUA Kota Salatiga.

1. Bahwa penelitian ini bisa diperdalam dengan terjun ke masyarakat se Kota

Salatiga apakah wilayah Salatiga benar-benar bebas dari perilaku illegal wedding

atau nikah sirri.

2. Jurusan Syariah perlu mengambil peran di masyarakat dalam menanggulangi

praktik nikah sirri dengan memberikan penyuluhan sebagai bagian dari

pengabdian kepada masyarakat.

3. KUA Kota Salatiga seharusnya lebih sensitif lagi terhadap praktik-praktik illegal

wedding terutama terhadap masyarakat yang ada di wilayah kekuasaannya,

dengan mencari informasi yang akurat dari masyarakat yang meliputi apakah ada

keluarga yang menikah secara sirri, jika ada kenapa, siapa, kapan dan mengapa itu

terjadi. Sehingga KUA bisa mengambil sikap dan juga kebijakan dalam rangka

mencarikan jalan keluar agar pernikahan itu bisa dicatatkan ke KUA.

Daftar Pustaka

Ainurrofiq (ed) Madzhab Jogja Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer

Yogyakarta, Ar-Ruzz, 2002.

Aulawi, Wasit, Sejarah Perkembanagn Hukum Islam di Indonesia dalam Amrullah

Ahmad (ed) Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Jakarta: Gema

Inasni Pres, 1996

Jaser, Auda, Maqasid al-Shariah: A Beginner’s Guide, Suka Press, Yogyakarta, 2013

Amin, Mashur Ismail S. Ahmad, (ed), Dialog Pemikiran Islam dan Raelitas Empirik,

Yogyakarta: LKPSM NU, 1993.

Aqmalia, Rera, Kepuasan Pernikahan Pada Pekerja Seks Komersial, Jurnal Universitas

Guna Darma

Abdullah, Gani Seks, Gender dan Reproduksi Perempuan, dalam Khoirul Muzakki,

Kontroversi Hukum Nikah Sirri, Suara Merdeka Rabu 28 Desember 2011.

Abdul, Halim Hakim, as-Sulam Fi Ushul Fiqh Jakarta, Sa‟diyah Putra, tt.

Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta; Rineka Cipta: 2001

Badri, Mudhofar dkk, Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren, Yogyakarta,

YKF,tt.

Bungin, Burhan Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan

Metodologis Penguasaan Model dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada:

2010

Bantara Mukti, Ratna Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: LBH

APIK, 2005

Bek,M. Hudlari Tarikh Tasyri’ al-Islami, Mesir: al Maktabah al Tasyriyah al-Kubra:tt.

Carrete, Jeremy R, (ed), Religion and Culture, terj.Indi Aunullah, Yogyakarta, Jalasutra,

1999.

Chadwiek, Bruce A. Social Science Research Methods, terj.Sulistia dkk Semarang: IKIP

Press: 1991.

Badri, Mudhofar, dkk (ed), Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di

Pesantren,(Yogyakarta: YKF: tt).

Bungin Nurhan, ed, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada:

2011.

Djubaidah, Neng, Pencatatan Perkawinan &Perkawinan tidak dicatat, ,Jakarta: Sinar

Grafika, 2010.

Daymon, Cristine & Immy Holloway, Qualitative Reasearch Methods in Public

Relations and Marketing Communications, terj. Cahya Wiratama, Yogyakarta:

Bentang Pustaka: 2008

Engineer,Asghar Ali Hak-hak Perempuan Dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici

Farkha Assegaf, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1984.

Fakih, Mansour Analisis Gender & Transformasi Sosial ( Yogyakarta: Putaka Pelajar:

2010.

Fatkhurrohman, Imam, Saya Tak Ingin Dipoligami Tapi Harus Poligami, Bandung:

Mizan Media Utama: 2007.

Hakim, Abdul Halim as-Sulam Fi Ushul Fiqh Jakarta, Sa‟diyah Putra, tt

Halim,Abdul Ijtihad Kontemporer Kajian terhadap Beberapa Aspek Hukum Keluarga

Indonesia dalam Ainurrofiq (ed) Madzhab Jogja Menggagas Paradigma Ushul

Fiqh Kontemporer, Yogyakarta, Ar-Ruzz, 2002.

Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasinal Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1961.

Hosen,Ibrahim Fikih Perbandingan Dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk, Jakarta:

Ihya Ulumuddin, 1971.

Horikoshi, Hiroko, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta, P3M, 1987.

Mahmudi, Zaenul, Sosiologi Fikih perempuan Formulasi Dialektis Fikih Perempuan

dengan Kondisi dalam Pandangan Imam Syafii, Malang, UIN Malang Press,

2009.

Ma‟arif, Syafii, Islam dan Masalah Ketatanegaraan, Jakarta:LP3S: 1985.

Meleong, L.J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya: 1998.

Megawangi, Ratna Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender,

Bandung: Mizan, 1999.

Moghissi, Haideh, Feminism and Islam Fundamentalism The Limits of Postmodern

Analysis, Yokyakarta, LKiS, 2005.

Muhammad, Husein, Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan Kiai Pesantren,

9Yogyakarta, LkiS, 2007.

__________________, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,

Yogyakarta, LKiS, 2002.

Musdah Mulia, Siti Islam Menggugat Poligami, Jakarta, Gramedia Pustaka utama, 2007.

Muzakki, Khoirul KontroversiHukum Nikah Sirri, Suara Merdeka Rabu 28 Desember

2011.

Nasution, Khaoiruddin Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-

undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta-

Leiden,:INIS, 2002.

Narwoku,J. Dwi Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta, Kencana Prenada

Media Group, 2004.

Nasuka, Teori Sistem sebagai Salah Satu Alternatif Pendekatan dalam Ilmu-ilmu Agama

Islam, Jakarta: Kencana: 2005.

Nuruddin, Amir, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum

Islam dari Fikih, UU No. I/1974 sampai KHI, Jakarta, Prenada Media, 2004.

Pals, Daniel Seven Theories of Religion, terj. Inyiak Ridwan Muzir, M. Syukri

Yogyakarta: IRCiSoD: 2001.

Polomo, Margaret M, Sosisologi Kontemporer, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007.

Putnam Tong, Rusemarie, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, Terj.

Aquarini Priyatna Prabasmoro, Yogyakarta: Jalasutra: 2004.

Pound, Roscoe An Introduction to the Philosopy of Law, terj. M.Radjab Pengantar

Filasafat Hukum, Jakarta:Bhratara,1989

Qadri Azizi, Ahmad, Islam dan Permasalahan Sosial,

Ramulyo, Mohd. Idris Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan

Agama dan Zakat menurur Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika,2006.

Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender,Yogyakarta: Fajar Pustaka: 2006.

Ritzer, George & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi dari Teori Klaisik sampai

Perkembangan Mutkahir Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana:

2009.

Ritzer, George, Teori Sosial Modern, Yogyakarta: Kreasi Wacana: 2009

____________, Sosioalogi IlmuPengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta, Raja

Grafindo Persada: 2003.

Rofiq, Ahmad, Pembaharauan Hukum Islam di Indonesia yogyakarta: Gema Media,

2001.

Roibin, Sosiologi Hukum Islam Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafii, Malang:

UIN Malang Press, 2008.

Roston, Holmes III, Ilmu &Agama Sebuah Sutvai Kritis, UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta: 2006.

Sabiq, Sayid Fiqh Sunnah juz II, Beirut: Dar al Fikr, 1992.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta: 2010.

Suyanto, Bagong, Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta:

Kencana Prenada Media Group: 2005.

Strauss, Anselm &Juliet Corbin, Basics of Qualitative Research Grounded Theory

Procedures and Techniques, terj. Muhammad Shodiq, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar: 2007.

Syarifuddin, Amir,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,2006.

Umar Sa‟abah, Marzuki,Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat

Islam, Yogyakarta, UII Press, 2001.

Umar, Nasaruddin Argumen Kesetaraan JenderPerspektif Al Qur’an,(Jakarta:

Paramadina, 1999.

Wahid, Marzuki & Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Kritik atas Politik Hukum Islam di

Indonesia, Yogyakarta: LKiS: 2001.

Yasin, M Nur, Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang; UIN Malang Press; 2008.

Zahrah, Abu Muhammad, al Ahwal Al-Syakhsiyyah, Qahirah: Dar al-Fikr al-„Arabi,

1957

Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana,, 1992.

Zuhaily,Wahbah Al al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Juz VII, Damsyiq; Dar al-Fikr,

1989

Bukan Buku

http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/12/05/1344.html.

Nikah Sirri: Antara Agama, Negara dan Hak Asasi Perempuan. http://www.facebook.com/note.php?note_id=114587115244404

Nikah di Bawah Tangan http://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/02/02/nikah-di-bawah-tangan

http://solusinahdliyin.net/munakahat/283-pernikahan-dibawah-tangan

http://www.referensimakalah.com/2013/01/biografi-asghar-ali-engineer.html

http://pintuonline.com/artikel/pencatatan-perkawinan-sebagai-syarat-sah-pernikahan-di-

indonesia-perspektif-hukum-islam.html

Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan edisi 71, Jakarta:2011.

Jurnal Ijtihad, STAIN Salatiga, Vol. II. 2011.

Jurnal Yin Yang, Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, vol. 4 No. 2009

Gani Abdullah, Seks, Gender dan Reproduksi Perempuan, dalam Khoirul Muzakki,

Kontroversi Nikah Sirri,(Suara Merdeka, Rabu 28 Desember 2011)

Khoirul Marzuki, Kontroversi Hukum Nikah Sirri, (Suara Merdeka, Rabu 28

Desember 2011),