rute menuju best practice ver2 - · pdf filelayanan di sektor pemerintahan, sistem pendidikan...
TRANSCRIPT
Rute Menuju Best Practice Catatan dari kegagalan implementasi ERP Setiap organisasi ingin menjadi yang terdepan. Untuk mencapai hal itu mereka harus meraih apa yang disebut best practice. Berbagai kasus menunjukkan banyak kegagalan yang ditemui. Diperlukan suatu pendekatan atau strategi baru agar proses menuju best practice menjadi lebih efisien dan efektif. Mursyid Hasanbasri 5/20/2008
2 | H a l a m a n
Mengapa Best Practice?
Berada pada posisi terdepan dalam bisnis atau setidaknya terdaftar sebagai pemain
global merupakan visi banyak perusahaan atau organisasi (selanjutnya disebut saja
organisasi demi kepraktisan). Situasi ini tidak saja berlaku bagi organisasi yang berada di
barisan depan, organisasi di lapisan berikutnya pun berharap mampu memperbaiki
kinerjanya bahkan kalau bisa melalui lompatan besar agar dapat bertahan di masa
depan. Dalam konteks Indonesia, hal ini menjadi isu besar karena tidak banyak dari
organisasi di negara kita yang siap berkiprah secara global.
Secara umum kita mengenal istilah best practice untuk menggambarkan metoda terbaik
atau praktek inovatif yang berkontribusi bagi peningkatan kinerja suatu organisasi, yang
biasanya diakui sebagai yang terbaik oleh organisasi sejenis [1]. Tentu saja dalam
pengertian ini tercakup juga kemampuan untuk selalu up‐to‐date dalam mengikuti cara‐
cara organisasi beroperasi baik dalam satu industri maupun industri yang berbeda.
Terkait dalam hal itu pula, kemampuan untuk mengukur posisi diri relatif terhadap yang
lain juga menjadi aspek penting best practice.
Sebagai salah satu pendekatan yang rasional untuk melakukan proses perbaikan best
practice menawarkan banyak manfaat. Manfaat utamanya jelas organisasi menjadi
punya arah ke mana harus bergerak di masa depan. Memang ada organisasi yang tidak
ingin menjadi follower belaka sehingga mereka lebih sering menggunakan strategi untuk
selalu berbeda (be different). Tetapi organisasi seperti ini tidak banyak. Mereka
cenderung berusaha menjadi trend setter bukan sebaliknya.
Arah organisasi yang jelas memudahkan proses perencanaan strategis. Betapa pun
besarnya gap antara current practice dan best practice, gap itu dapat diperpendek
dengan rencana kerja dan milestone yang jelas pula. Ukuran‐ukuran capaian dapat
dirancang lebih mudah, dan yang lebih penting proses menutupi gap tersebut menjadi
mudah dikelola (managable) dan dikendalikan (controllable). Pada akhirnya proses yang
3 | H a l a m a n
dikelola dengan baik diharapkan akan memberikan nilai tambah yang signifikan seperti
berupa peningkatan produktivitas, respon yang lebih cepat, atau penurunan biaya.
Best Practice dan Proses Bisnis
Persoalan yang biasa dijumpai berikutnya setelah sebuah organisasi menemukan best
practice‐nya maka mereka harus menentukan apa yang harus menjadi acuan. Mengapa
demikian? Karena ada banyak elemen yang memungkinkan organisasi best practice itu
menjadi pemimpin dalam bisnis. Pengertian mengenai cara menjalankan bisnis masih
bersifat umum. Mungkin sumber daya manusianya, modalnya yang besar, teknologi
high‐endnya, fasilitas yang berkelas dunia, atau dukungan teknologi informasinya.
Hanya mengadopsi satu atau beberapa elemen tidak cukup karena pada dasarnya
semua elemen terintegrasi pada satu sistem. Lantas apa yang dapat dijadikan ruh dari
best practice ini?
Jika dilihat dari kaca mata umum yang hanya melihat organisasi sebagai suatu sistem
black box, semua elemennya pasti dapat digambarkan dalam model input‐proses‐output
plus enabler. Dari keempat komponen itu, proseslah yang menjadi penentu kinerja
sistem. Input boleh jadi baik atau buruk. Proses yang baik dapat mengubah input yang
biasa‐biasa menjadi output yang luar biasa. Sebaliknya proses yang buruk dapat
mengubah input yang baik menjadi buruk. Fakta ini cukup untuk membuktikan elemen
proses adalah faktor kunci atau ruh dari sebuah sistem. Output hanya menggambarkan
hasil, sedangkan enabler berfungsi sebagai pendukung.
Dalam konteks bisnis, proses lebih dikenal dengan proses bisnis yang berarti kumpulan
aktivitas yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu. Pada pendekatan
modern, proses bisnis inilah yang menggerakkan kehidupan organisasi. Proses bisnis
membutuhkan resources tertentu baik dalam jumlah maupun kualifikasi.
4 | H a l a m a n
Pendefinisian proses bisnis yang tepat akan mengarah pada pengembangan organisasi
yang efisien dan efektif. Bahkan dalam pengertian ideal organisasi dibangun dari proses
bisnis bukan sebaliknya. Cara berpikirnya bukan Departemen X harus memiliki proses
apa, tetapi Departemen X dibentuk karena ada proses x1, x2 dst.
Visi dan Misi
Struktur dan Perangkat Organisasi
Proses Bisnis
Visi dan Misi
Proses Bisnis
Struktur dan Perangkat Organisasi
Pendekatan Tradisional Pendekatan Ideal Gambar 1. Proses Pembentukan Organisasi
Memahami proses bisnis sebagai ruh dari organisasi seharusnya akan berujung pada
kesimpulan bahwa objek yang harus dijadikan acuan dalam konteks best practice adalah
proses bisnis. Tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana menangkap proses
bisnis dari organisasi yang dianggap memiliki best practice dan menjadikannya sebagai
proses bisnis yang baru.
Best practice dan Standar
Jika best practice di depan disinggung‐singgung sebagai acuan, mungkin ada pertanyaan
di mana posisi standar. Adakah hubungan antara best practice dan standar? Standar
dapat diartikan sebagai titik acuan yang dijadikan dasar untuk mengevaluasi sesuatu.
Dengan pengertian seperti ini maka best practice dapat dikategorikan sebagai standar.
Tetapi jika standar diartikan sebagai persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk
5 | H a l a m a n
digolongkan dalam kategori tertentu maka best practice tidak sama dengan standar. Hal
ini wajar karena kata “best” seharusnya berarti paling baik yang tidak tergantikan
dengan kata standar.
Sampai saat ini banyak organisasi yang sudah memiliki sertifikasi ISO (ISO seri 9000
misalnya) tetapi tidak menjadi best practice dalam industrinya. Hal ini membuktikan
bahwa level standar berada di bawah level best practice. Walaupun acuan setiap
organisasi berbeda‐beda dan mungkin saja bersifat relatif, paling tidak ada dua konsep
acuan ini memiliki dasar yang kuat. Tantangan bagi para pimpinan organisasi adalah
apakah suatu organisasi akan mencapai standar terlebih dahulu atau langsung mengejar
best practice.
Best practice and IT
Revolusi teknologi informasi hingga saat ini telah membuat segalanya mungkin.
Berkolaborasi dengan beberapa komponen rantai pasok baik ke hulu maupun ke hilir
yang dulu tidak mungkin sekarang menjadi praktek yang biasa. Mengelola organisasi
yang sumber dayanya tersebar di seluruh dunia menjadi hal yang biasa. Kalau berkaca
pada organisasi dianggap sebagai best practice, hampir tidak ada yang tidak didukung
oleh teknologi informasi.
Teknologi informasi menjadi bagian yang sangat penting untuk memungkinkan proses
bisnis yang tadinya manual menjadi terotomasi. Proses yang awalnya membutuhkan
waktu berhari‐hari karena memerlukan koordinasi banyak pihak dimungkinkan selesai
hanya dalam hitungan jam karena telekonferensi. Proses yang dulu mungkin
membutuhkan puluhan orang karena harus dikalkulasi secara paralel dan manual
dimungkinkan selesai dalam hitungan menit dengan bantuan PC sekalipun.
Memahami best practice kadang kala harus melalui pemahaman aplikasi yang dibangun
lewat proses bisnis dari best practice. Walaupun sifatnya bukan yang utama, dukungan
teknologi informasi menjadi salah satu competitive advantage. Oleh karena itu
6 | H a l a m a n
tantangan berikutnya dalam mengejar best practice adalah bagaimana menyiapkan
dukungan teknologi informasi yang mengotomasikan proses bisnis yang sudah
dibangun.
Strategi Mengejar Best Practice: Benchmarking
Strategi yang umumnya digunakan suatu organisasi ketika menetapkan posisi atau
mengejar target menjadi yang terbaik adalah Benchmarking. Benchmarking didefinisikan
sebagai proses yang digunakan perusahaan untuk mengukur kinerjanya relatif terhadap
kinerja perusahaan terbaik dalam industrinya, menentukan bagaimana mereka
mencapai kinerja tersebut, dan menggunakan informasi ini untuk meningkatkan
kinerjanya [1]. Biasanya proses ini merupakan bagian dari manajemen strategis untuk
mengevaluasi berbagai aspek proses bisnis organisasi. Ada berbagai macam jenis
benchmarking: benchmarking stratejik, benchmarking proses, benchmarking fungsi,
benchmarking internal maupun eksternal. Apapun jenisnya, alasan utama benchmarking
adalah untuk melihat sudah sejauh mana praktek bisnis di tempat yang menjadi acuan.
Proses benchmarking pada dasarnya terdiri dari step‐step yang terlihat pada Gambar 2.
Dimulai dengan memetakan proses bisnis yang dimiliki saat ini, benchmarking
dilanjutkan dengan mengidentifikasi proses bisnis organisasi yang dijadikan acuan. Dari
kedua proses bisnis akan diperoleh gap yang kemudian dianalisis untuk menemukan
akar masalah yang menyebabkan keduanya berbeda. Pada tahap berikutnya baru
diambil tindakan perbaikan untuk mengisi gap. Mungkin saja diperlukan tahapan untuk
melakukan tindakan perbaikan.
7 | H a l a m a n
Review proses
bisnis saat ini
Identifikasi proses bisnis
“terbaik”
Analisis gap yang ada
Lakukan perbaikan untuk
mengisi gap
Gambar 2. Proses Benchmarking
Dari banyak proses benchmarking, berdasarkan pengamatan penulis, tidak banyak yang
berhasil menangkap esensi dari keberhasilan sistem yang dipelajari. Pada umumnya
orang hanya dapat melihat yang kasat mata saja, tidak sampai menembus proses bisnis
yang embedded dalam sistem. Sebutlah satu contoh gagasan pengembangan sistem
transportasi di negara kita yang masih babak belur. Padahal tidak kurang banyak contoh
sistem yang berhasil di negara lain. Contoh‐contoh lain dapat ditemukan pada sistem
layanan di sektor pemerintahan, sistem pendidikan dari level dasar sampai perguruan
tinggi, sistem penanganan sampah, sistem penanggulangan bencana. Jika dibandingkan
implementasi sistem‐sistem tersebut di Indonesia dan negara yang sudah maju akan
ditemui gap yang cukup besar.
Dalam konteks yang lebih jelas dan tegas, pada proses implementasi ERP (Enterprise
Resource Planning) semangat benchmarking sangat mendominasi. Mengapa demikian?
Karena membuat atau membeli paket ERP sangat ditentukan oleh visi organisasi dalam
mengejar best practice. Fakta menunjukkan bahwa tingkat kegagalan implementasi ERP
mencapai 70% [2]. Dengan kata lain banyak organisasi yang gagal menerapkan best
practice (baca: proses bisnis yang terkandung dalam paket ERP) seperti yang
diidamkan.
8 | H a l a m a n
Analisis yang dapat disampaikan untuk menjawab mengapa banyak kegagalan dalam
impelementasi ERP adalah sebagai berikut. Sebutlah kondisi saat ini dari sebuah
organisasi sebagai bad practice. Sedangkan best practice ada jauh di depan seperti
diilustrasikan pada Gambar 3. Tampak gap yang begitu jelas di depan mata. Ada dua
pendekatan yang dapat kita pilih untuk mengisi gap ini.
Bad Practice
Best Practice
Gambar 3. Ilustrasi gap antara bad practice dan best practice
Pendekatan Radikal
Pendekatan radikal digambarkan sebagai upaya melompat dari bad practice langsung
menuju best practice dengan cara membeli paket ERP. Keuntungan pendekatan ini
adalah organisasi tidak perlu bersusah payah mengembangkan proses bisnisnya yang
masih dalam kondisi bad practice karena dalam paket ERP sudah terkandung proses
bisnis yang sementara dikatakan best practice. Tetapi pendekatan ini memiliki
kelemahan karena selain biayanya sangat besar, perubahan proses secara radikal
menyebabkan shock sehingga yang umumnya terjadi adalah paket ERP tidak digunakan
secara maksimal.
Pendekatan Bertahap
Pendekatan bertahap digambarkan lewat organisasi yang memperbaiki bad practice‐nya
menuju best practice secara bertahap. Sebagai alternatif lain, pendekatan ini menikmati
9 | H a l a m a n
manfaat atas kesiapan sumber dayanya dalam proses perubahan menuju best practice.
Dari aspek pembiayaan pun relatif lebih terjangkau, baik jika aplikasinya dikembangkan
sendiri maupun pembelian modul demi modul dari satu paket ERP keseluruhan. Tetapi
persoalannya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai posisi best practice?
Apalagi jika kita sadari bahwa posisi best practice sebenarnya tidak statis. Kecepatan
perubahan organisasi bad practice harus jauh melebihi kecepatan perubahan best
practice. Di samping itu, pengalaman menunjukkan tidak ada jaminan pengembangan
proses bisnis dan aplikasinya secara bertahap akan menghasilkan sesuatu yang
terintegrasi.
Bercermin dari pengalaman di atas, perlu dilihat strategi yang lain dalam mempercepat
proses mendekati best practice tetapi diikuti juga oleh kesiapan sumber daya.
Melalui Proses Bisnis Standar
Sebagaimana dalam praktek bisnis umumnya, pendekatan ekstrim pasti memberikan
hasil sesuai dengan resikonya. Untuk mengatasi hal itu orang cenderung menggunakan
pendekatan gabungan (hybrid) karena dianggap dapat meminimumkan dampak negatif
atau kelemahan dari kedua pendekatan ekstrim. Bercermin dari fenomena tersebut,
adakah peluang mendapatkan pendekatan gabungan pada kasus ini?
Melihat gap yang begitu besar dari bad practice dan best practice pada Gambar 3,
tampaknya pendekatan gabungan dapat dilakukan. Bagaimana caranya? Di satu titik
antara kedua practice (idealnya lebih mendekati best practice) harus ditetapkan acuan
baru yang akan menjadi dasar perbaikan bertahap. Prinsipnya acuan yang baru ini harus
menjadi standar. Dengan demikian, proses bisnis organisasi sudah mencapai level
tertentu dengan standar tersebut, yang kalau dilanjutkan secara bertahap tidak akan
membutuhkan waktu lama. Pendekatan ini dapat diilustrasikan seperti tampak pada
Gambar 4.
10 | H a l a m a n
Bad Practice
Standard Practice
Best Practice
Gambar 4. Ilustrasi pendekatan melalui standard practice
Pendekatan gabungan ini bukan hal baru sebenarnya karena sudah banyak organisasi
menerapkan standard practice ini. Menurut hemat penulis, sertifikasi ISO 9000 adalah
salah satu contoh standard practice. Dengan kacamata seperti ini menjadi mudah
memahami mengapa organisasi yang sudah mendapat sertifikasi ISO belum tentu
menjadi best practice. Tetapi tidak terlalu sulit bagi mereka untuk mengejar sesuatu
yang lebih tinggi karena organisasi semacam ini sudah terbiasa dengan praktek bisnis
yang baik. Ada dua contoh lagi yang sudah cukup mapan dalam mengembangkan
standar proses bisnis yaitu eTOM dan SCOR.
Dalam industri telekomunikasi dikenal standar eTOM (Enhanced Telecom Operations
Map). eTOM dikembangkan pada awal 90‐an berdasarkan input dari berbagai Service
Provider untuk menghasilkan model proses bisnis. Sejauh ini eTOM adalah standar
proses bisnis yang paling banyak digunakan pada industri telekomunikasi [3]. eTOM
berisi kerangka kerja untuk mengembangkan proses bisnis yang fokus kepada
pelanggan.
Ada tiga proses bisnis utama dalam eTOM:
‐ Strategi, Infrastruktur dan produk yang mencakup perencanaan dan manajemen siklus hidup
11 | H a l a m a n
‐ Operasi yang mencakup manajemen operasional
‐ Manajemen enterprise yang mencakup business support management.
Sebuah studi penerapan kerangka eTOM di Indonesia menunjukkan bahwa eTOM
memang mampu memberikan proses bisnis yang end‐to‐end. Di samping itu definisi
fungsi elemen proses eTOM pada level 3 masih memberikan definisi fungsi yang standar
dalam melakukan aktivitas sehingga proses bisnis yang disusun berdasarkan kerangka
eTOM dapat memberikan fleksibilitas terhadap penggunaan peralatan dan organisasi
[4].
Dalam bidang supply chain management (SCM) dikenal Supply Chain Operations
Reference model (SCOR) [5]. SCOR dikembangkan oleh Supply‐Chain Council (SCC)
sebagai standar bagi proses pengelolaan rantai pasok untuk berbagai industri.
Terbentuknya SCC diprakarsai oleh 69 perusahaan yang secara sukarela melakukan
sharing untuk mendapatkan standar ini.
Gambar 5. SCOR model (sumber: dokumentasi SCOR 8.0 overview)
Dalam SCOR model proses bisnis dikembangkan sampai 3 level, dimulai dari level 1
untuk tipe proses, level 2 untuk kategori proses, dan level 3 untuk proses dekomposisi.
Bagi organisasi yang ingin meraih keunggulan kompetitifnya, proses bisnis ini harus
dikembangkan lebih lanjut pada level 4 dan seterusnya sebagai bagian yang spesifik dan
unik dibandingkan dengan organisasi lainnya.
12 | H a l a m a n
Tantangan ke Depan Belajar dari kegagalan banyak organisasi dalam meraih dan mengejar best practice serta
melihat potensi dari pendekatan gabungan, tantangan utama yang harus dicapai adalah
memenuhi standar proses bisnis dalam setiap industri. Bersyukurlah industri yang sudah
memiliki standar proses bisnis. Bagi yang belum maka tantangannya adalah
mengembangkan standar proses bisnis itu. Dalam konteks ke‐Indonesiaan waktu dan
usaha yang dibutuhkan untuk membentuk standar proses bisnis adalah merupakan
kontribusi bagi bangsa karena harus diakui bahwa belum banyak standar proses bisnis
yang kita miliki.
Daftar Pustaka [1] http://www.asq.org/glossary/b.html
[2] Lewis, B., The 70‐percent Failure,
http://www.infoworld.com/articles/op/xml/01/10/29/011029opsurvival.html
[3] Enhanced Telecom Operations Map (eTOM) The Business Process Framework,
Release 5, TeleManagement Forum 2005
[4] Rahmatulloh, M., Usulan Perancangan Proses Bisnis dengan Menggunakan
Framework eTOM (Studi Kasus Proses Bisnis Order Fulfillment Leased Channel pada
Bagian Back Room di PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk.), Projek Akhir, Program MBA‐
ITB, 2007
[5] http://www.supply‐chain.org/cs/root/home