revisi case besards

7
Pendahuluan Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau nasofaring. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Balitbangkes tahun 2007 menunjukan prevalensi hipertensi secara nasional mencapai 31,7%, 18 tahun ke atas ditemukan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7%. Laporan ini disusun untuk meningkatkan pemahaman kita semua akan penyakit hipertensi, dan disusun dalam rangka pemenuhan tugas laporan kasus dalam proses pembelajaran di bagian Ilmu Penyakit Dalam RS. Mardi Rahayu Kudus. Dalam mendiagnosis dan tatalaksana pasien dengan hipertensi, digunakan klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7. 1,2 Laporan Kasus Tn. S, 59 datang dengan hidung kanan keluar darah sebanyak 1 akua gelas selama 8 jam, sakit kepala, lemas, sulit tidur 2 hari, belum BAB 2 hari, BAK sedikit. Tidak ada riwayat benturan daerah hidung, tidak demam, tidak ada ruam pada kulit, tidak sesak dan tidak nyeri dada. Ada riwayat darah tinggi tidak terkontrol. Ayah OS riwayat darah tinggi. Pada pemeriksaan fisik, kesan umum sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 210/150 mmHg, nadi 115x/menit reguler kuat angkat, pernapasan 20x/menit abdominothorakal, suhu 36,7 o C, konjungtiva anemis +/+, hidung ada darah, perut tampak buncit, turgor kulit cukup. Pada pemeriksaan kepala, telinga, leher, thorax anterior-posterior, paru dan jantung DBN. Hasil uji rumple leed negatif. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, diagnosis diarahkan kepada Epistaksis et causa hipertensi grade II, karena tekanan darah 210/150 mmHg, nadi 115x/menit, dan ada darah keluar dari hidung. Pemeriksaan Penunjang

Upload: martyn-pangestu

Post on 04-Dec-2015

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bro

TRANSCRIPT

Page 1: Revisi Case Besards

PendahuluanHipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140

mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau nasofaring. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Balitbangkes tahun 2007 menunjukan prevalensi hipertensi secara nasional mencapai 31,7%, 18 tahun ke atas ditemukan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7%. Laporan ini disusun untuk meningkatkan pemahaman kita semua akan penyakit hipertensi, dan disusun dalam rangka pemenuhan tugas laporan kasus dalam proses pembelajaran di bagian Ilmu Penyakit Dalam RS. Mardi Rahayu Kudus. Dalam mendiagnosis dan tatalaksana pasien dengan hipertensi, digunakan klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7.1,2

Laporan KasusTn. S, 59 datang dengan hidung kanan keluar darah sebanyak 1 akua gelas selama 8 jam,

sakit kepala, lemas, sulit tidur 2 hari, belum BAB 2 hari, BAK sedikit. Tidak ada riwayat benturan daerah hidung, tidak demam, tidak ada ruam pada kulit, tidak sesak dan tidak nyeri dada. Ada riwayat darah tinggi tidak terkontrol. Ayah OS riwayat darah tinggi.

Pada pemeriksaan fisik, kesan umum sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 210/150 mmHg, nadi 115x/menit reguler kuat angkat, pernapasan 20x/menit abdominothorakal, suhu 36,7oC, konjungtiva anemis +/+, hidung ada darah, perut tampak buncit, turgor kulit cukup. Pada pemeriksaan kepala, telinga, leher, thorax anterior-posterior, paru dan jantung DBN. Hasil uji rumple leed negatif. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, diagnosis diarahkan kepada Epistaksis et causa hipertensi grade II, karena tekanan darah 210/150 mmHg, nadi 115x/menit, dan ada darah keluar dari hidung.

Pemeriksaan PenunjangDari hasil penunjang didapatkan hemoglobin 8.4 g/dl, eosinofil 14.6 %, limfosit 11,1%,

Hematokrit 25.5%, Eritrosit 3.15 juta, ureum 95 mg/dl, kreatinin 3.94 mg/dl, total protein 5.2 g/dl, albumin 2.8 g/dl, kalsium 7.90 mg/dl, kesan anemia mikrositik dengan eosinofilia, kolesterol 310 mg/dl, trigliserida 213 mg/dl, LDL 229 mg/dl, uric acid 7.8 mg/dl. LFG 18,3 ml/mn/1.73m2, EKG sinus takikardi.

Follow up (12 Juni 2014 – 17 Juni 2014)Tanggal 12 Juni- 17 Juni 2014 (5 hari) dilakukan pengawasan tekanan darah 4

ekstremitas setiap jam, didapatkan tekanan darah selalu sama pada ke-4 ekstremitas, dan tekanan darah fluktuasi tapi berkisar 160/100 – 200/110. Arteri poplitea, arteri dorsalis pedis, arteri brachialis, arteri radialis, arteri carotis eksterna selalu teraba kuat pulsasi dan elastis. Perdarahan dari dalam hidung berhenti pada tanggal 13 Juni 2014 (hari kedua).

Tanggal 14 Juni perut pasien terasa kembung, kemeng dan belum bisa BAB. Pada pemeriksaan fisik didapatkan perut tampak buncit, nyeri tekan seluruh abdomen, undulasi (+), Bising usus menurun (3 kali/menit). Dilakukan USG abdomen, didapatkan gambaran kronis kedua ginjal dengan ascites serta kista kedua ginjal. Pada foto BNO 2 posisi didapatkan

Page 2: Revisi Case Besards

gambaran subileus obstruksi. Cek ureum kreatinin setiap hari, hasilnya didapatkan lebih dari batas normal.

Tanggal 16 Juni pasien tidak ada keluhan, tekanan darah 180/90 mmHg, pasien pulang.

PembahasanPada anamnesis, OS datang dengan hidung kanan keluar darah sebanyak 1 akua gelas

selama 8 jam, riwayat darah tinggi tidak terkontrol, Ayah OS riwayat darah tinggi. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik , diagnosis diarahkan kepada Epistaksis et causa hipertensi derajat 2, karena tekanan darah 210/150 mmHg, nadi 115x/menit, dan ada darah keluar dari hidung. Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang, diagnosis berubah menjadi :

1) Epistaksis ec hipertensi sekunder ec CKD karena pada anamnesis BAK sedikit, tekanan darah 210/150 mmHg, nadi 115x/menit, EKG sinus takikardi, ada darah dari dalam hidung, pada pemeriksaan penunjang hemoglobin 8.4 g/dl, ureum 95 mg/dl, kreatinin 3.94 mg/dl, kalsium 7.90 mg/dl, kesan anemia mikrositik, uric acid 7.8 mg/dl, LFG 18,3 ml/mn/1.73m2, dan kolesterol 310 mg/dl, trigliserida 213 mg/dl, LDL 229 mg/dl, Hasil pemeriksaan USG abdomen gambaran kronis kedua ginjal serta kista kedua ginjal. Untuk menunjang diagnosis disarankan cek urinalisis (protein, leukosit, eritrosit).

Perdarahan hidung diawali pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung yang dapat disebabkan oleh sebab lokal (trauma, infeksi dari hidung, neoplasma, benda asing, perforasi septum, pengaruh lingkungan) dan sistemik (Kelainan darah, penyakit kardiovaskuler seperti hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis). Hipertensi menyebabkan pembuluh darah dapat mengalami kerusakan akibat tekanan internal yang tinggi. Perdarahan spontan akibat pecahnya pembuluh-pembuluh kecil di bagian tubuh lain juga dapat terjadi, tetapi dengan akibat yang relative lebih ringan, ruptur pembuluh darah di hidung. 3

Pasien ini termasuk hipertensi derajat 2 menurut JNC 7, dan merupakan hipertensi sekunder karena adanya penyakit ginjal. Terjadinya hipertensi karena CKD adalah karena hipervolemia, gangguan sistem RAA akibat iskemi relatif karena kerusakan regional, berkurangnya zat vasodilator, aktivitas saraf simpatis meningkat akibat kerusakan ginjal.

Krisis hipertensi meliputi Hipertensi darurat (emergency hypertension) dimana tekanan darah yang sangat tinggi dan terdapat kelainan/kerusakan target organ yang bersifat progresif, dan Hipertensi mendesak (Urgency hypertension) dimana tekanan darah yang sangat tinggi tapi tidak disertai kelainan/kerusakan target organ yang progresif. 4,5

Penyakit ginjal kronik / CKD dapat disebabkan oleh penyakit ginjal diabetes, non diabetes (glomerular, vaskular, tubulointersitial, kistik) atau penyakit pada transplantasi. CKD karena hipertensi dapat disebabkan karena terjadinya hiperfiltrasi, peningkatan aktivitas aksis renin angiotensin-aldosteron intrarenal. LFG di bawah 30% terdapat uremia, anemia, peningkatan tekanan darah, pruritus, mual, muntah dll. Juga terjadi gangguan keseimbangan air dan elektrolit (natrium dan kalium). Albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia berperan terhadap progresifitas CKD. 6

Page 3: Revisi Case Besards

Pada pemeriksaan fisik didapatkan juga konjungtiva anemi +/+, pemeriksaan penunjang hemoglobin 8.4 g/dl, hematokrit 25.5% menunjukkan adanya anemia karena CKD, yang disebabkan oleh defisiensi eritropoietin, defisiensi besi, kehilangan darah, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut atau kronik.

Terapi medikamentosa hipertensi diberikan sesuai JNC 7, yaitu golongan diuretika (terutama Thiazide/Aldosterone Antagonist), Beta blocker, Calcium channel blocker, Angiotensin converting enzyme inhibitor, Angiotensin II receptor blocker. Kombinasi yang efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah diuretika dan ACEI atau ARB, CCB dan BB, CCB dan ACEI atau ARB, CCB dan diuretika, AB dan BB.

Pada hipertensi derajat 2 dapat diberikan kombinasi 2 obat, umumnya thiazide dan ACEI atau ARB atau BB atau CCB. Dan karena pasien ada penyakit ginjal kronis, diberikan ACEI dan ARB dan menghambat perburukan fungsi ginjal dengan pembatasan asupan protein (0,6-0,8/kgBB/hari) 6

Ascites ec hipoalbuminemia karena dari anamnesis didapatkan keluhan perut terasa kembung dan kemeng. Pada pemeriksaan fisik didapatkan perut tampak buncit, undulasi (+). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan albumin 2.8 g/dl, USG didapatkan gambaran ascites.

Dua faktor utama penyebab asites, yaitu rendahnya kadar albumin dalam darah dan hipertensi portal. Pertama, rendahnya kadar albumin dalam darah menyebabkan perubahan tekanan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya pertukaran cairan yang memungkinkan cairan keluar dari pembuluh darah. Kedua, asites dapat disebabkan oleh hipertensi portal, yang mengarah pada peningkatan tekanan di dalam cabang-cabang vena porta yang melalui hati. Darah yang tidak dapat mengalir melalui hati karena terjadi peningkatan tekanan akhirnya akan bocor ke rongga perut dan menyebabkan asites. Penatalaksanaan asites adalah tirah baring dan diet rendah garam, dikombinasikan dengan obat diuretik supaya cairan yang dibuang melalui ginjal lebih banyak jumlahnya. 7,8

2) Subileus obstruktif karena dari anamnesis perut kemeng, tidak bisa BAB 4 hari (10 Juni -14 Juni), pemeriksaan fisik nyeri tekan seluruh abdomen, Bising usus menurun (3 kali/menit), Foto BNO 2 posisi gambaran subileus obstruksi. Ileus obstruktif letak tinggi awal (Subileus obstruksi) adalah obstruksi usus halus akibat penghambatan motilitas usus yang dapat ditimbulkan oleh intraluminal (benda asing, parasit, bolus makanan), intramural (atresia & striktur, tuberculosis usus, hematoma akibat trauma, tumor sekunder), ekstramural (adhesi akibat pembedahan abdomen/peritonitis, hernia), multifaktorial (metastase pada usus halus, tekanan akibat tumor).

Usus di bagian distal kolaps, sementara bagian proksimal berdilatasi dan menyebabkan penumpukan cairan dan gas, distensi yang menyeluruh menyebabkan pembuluh darah tertekan sehingga iskemik, dapat terjadi perforasi. Gangguan vaskularisasi menyebabkan mortalitas yang tinggi, air dan elektrolit dapat terganggu karena muntah. Dapat terjadi syok hipovolemik, absorbsi dari toksin pada usus yang mengalami strangulasi. Dinding usus besar tipis, sehingga mudah distensi. Dinding sekum merupakan bagian kolon yang paling tipis, karena itu dapat terjadi ruptur bila terlalu tegang. Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan. 9,10

Page 4: Revisi Case Besards

RingkasanSeorang laki-laki 59 tahun datang dengan hidung kanan keluar darah sebanyak 1 akua

gelas selama 8 jam SMRS. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosa awal OS adalah Epistaksis et causa hipertensi grade II. Berdasarkan pemeriksaan penunjang dan perkembangan penyakit, diagnosa akhir adalah epistaksis ec hipertensi sekunder ec CKD, dengan komplikasi ascites ec hipoalbuminemia, dan subileus obstruksi. Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian antihipertensi, diuretik, tirah baring, diet rendah garam, konsul spesialis bedah, dan dilakukan pemantauan tekanan darah dan fungsi ginjal.

Daftar Pustaka1. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Ed.6, Vol.1 Jakarta;EGC;2012.h.582-5.2. Yoga T. Masalah Hipertensi di Indonesia. Di unduh dari : http://kemkes.go.id/index.php?

vw=2&id=1909 , 11 Juli 2014.3. Sutrisno. Penatalaksanaan epistaksis. Di unduh dari :

http://sutrisno2629.wordpress.com/2010/01/30/penatalaksanaan-epistaksis/, 11 Juli 20144. Yogiantoro M. Hipertensi esensial. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta:

Interna Publishing; 2009.h.1079-855. Roesma J. Krisis hipertensi. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna

Publishing; 2009.h.1103-46. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta:

Interna Publishing; 2009.h.1035-40.7. http://www.persify.com/id/perspectives/medical-conditions-diseases/asites-_-951000103218 ,

diunduh tanggal 12 Juli 20148. http://medicastore.com/penyakit/702/Asites.html, diunduh tanggal 12 Juli 20149. http://dokmud.wordpress.com/2009/10/24/ileus-obstruktif/ , diunduh tanggal 12 Juli 201410. http://razimaulana.wordpress.com/2011/02/25/ileus-obstruktif/ , diunduh tanggal 12 Juli 2014