case rsko revisi akhir (1)

31
LAPORAN KASUS PSIKIATRIK I. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. N Usia : 36 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Non-religion Pendidikan : SMA Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Status Perkawinan : Menikah Alamat : Jl. Kampus, Ujung Aspal II. RIWAYAT PSIKIATRIK Autoanamnesis (dilakukan pada tanggal 15 September 2014) Pasien mempunyai riwayat penggunaan putaw (heroin), ganja, rokok, alkohol, kokain, dan sabu-sabu, dan benzodiazepin. Dari semua zat-zat psikoaktif yang pasien konsumsi, pasien paling sering dan suka menggunakan putau (heroin). Pasien menyukai putaw karena putaw bersifat downer yang membuat pasien merasa lebih tenang dan melupakan masalah-masalahnya, namun pasien masih dapat mengontrol gerakan tubuhnya saat mengkonsumsi putau. Pasien mulai menggunakan zat-zat psikoaktif sejak tahun 1997, dimulai dengan pemakaian putaw untuk mengurangi sakit kepala/migrain pasien dan hal ini disarankan oleh teman pasien. Pasien mengalami sakit 1

Upload: ambc-smfk-uaj

Post on 16-Feb-2016

237 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

rsko

TRANSCRIPT

Page 1: Case RSKO Revisi Akhir (1)

LAPORAN KASUS PSIKIATRIK

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. N

Usia : 36 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Non-religion

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status Perkawinan : Menikah

Alamat : Jl. Kampus, Ujung Aspal

II. RIWAYAT PSIKIATRIK

Autoanamnesis (dilakukan pada tanggal 15 September 2014)

Pasien mempunyai riwayat penggunaan putaw (heroin), ganja, rokok,

alkohol, kokain, dan sabu-sabu, dan benzodiazepin. Dari semua zat-zat psikoaktif

yang pasien konsumsi, pasien paling sering dan suka menggunakan putau (heroin).

Pasien menyukai putaw karena putaw bersifat downer yang membuat pasien merasa

lebih tenang dan melupakan masalah-masalahnya, namun pasien masih dapat

mengontrol gerakan tubuhnya saat mengkonsumsi putau.

Pasien mulai menggunakan zat-zat psikoaktif sejak tahun 1997, dimulai

dengan pemakaian putaw untuk mengurangi sakit kepala/migrain pasien dan hal ini

disarankan oleh teman pasien. Pasien mengalami sakit kepala karena pasien sering

mengalami kelelahan akibat kuliah pagi dan harus bekerja ketika malam hari. Pasien

pernah bekerja sebagai pramugari dan karyawan di salah satu stasiun radio swasta

lokal. Setelah mengkonsumsi putaw untuk pertama kali, pasien mengalami mual dan

muntah sehingga pasien menghentikan pemakaiannya. Namun, setahun kemudian,

pasien kembali menggunakan putaw (tahun 1998) karena sakit kepala masih sering

dialami dan adanya dorongan dari pikiran pasien untuk menggunakan kembali. Pada

penggunaan kali ini, pasien diajari oleh teman pasien untuk menggunakannya dengan

dosis kecil, sedikit demi sedikit, sehingga efek mual lebih berkurang dibandingkan

dengan penggunaan pertama. Sejak saat itu, pasien merasa nyaman dan terus

menggunakan putaw dengan cara dibakar dan kemudian dihirup. Frekuensi 1

Page 2: Case RSKO Revisi Akhir (1)

pemakaian putaw semakin meningkat, dimulai dengan pemakaian 2 minggu sekali,

menjadi 1 minggu sekali, dan pada akhirnya setiap hari. Biasanya pasien membeli

putau dengan dosis kecil (10 mg) seharga Rp. 20.000,00 dan semakin meningkat

dosisnya setelah dikonsumsi berulang. Dosisi terbesar yang pernah ia gunakan adalah

1000 mg seharga kurang lebih Rp. 1.200.000,00. Namun, tidak setiap hari pasien

dapat mengkonsumsi dengan dosis besar karena harus menyesuaikan diri dengan

keadaan ekonominya yang pasang surut. Selain dengan cara dibakar dan dihirup,

pasien juga pernah menggunakan putaw dengan cara disuntik, karena menurut pasien

cara ini lebih menghemat penggunaan. Pasien pernah menggunakan jarum suntik

bekas sebanyak 4 kali yang didapatkan dari temannya. Menurut pasien, karena

penggunaan jarum suntik bekas tersebut pasien menjadi tertular HIV.

Ketika ia mengkonsumsi putaw, ia akan mengalami rasa “fly” selama

beberapa jam. Ia merasakan waktu berjalan lebih lambat dan dapat menundanya

untuk menyelesai masalah-masalah. Menurutnya, putaw juga dapat berefek sebagai

stimulan pada dirinya, ia menjadi lebih rajin bekerja saat menggunakan putaw.

Namun, ketika sedang mengkonsumsi putaw saat sakaw, efek kerja putaw

berlangsung lebih cepat, yaitu sekitar 2 jam dan pasien akan kembali menjadi normal

setelah itu. Kira-kira 1 jam setelah kembali menjadi normal, pasien dapat kembali ke

keadaan sakaw.

Pasien mengaku ketika pasien menggunakan putaw dengan dosis lebih

rendah daripada biasanya atau ketika tidak menggunakan putaw, pasien merasakan

sakaw dengan gejala seperti mual, muntah, sakit kepala, sakit seluruh badan, panas

dingin, tulang belulang terasa ngilu, mencret dan tidak bisa melakukan pekerjaan

apapun. Rasa sakaw tersebut membuat pasien harus mencari lebih banyak uang untuk

dapat membeli putau dan mengatasi rasa sakawnya. Pasien mulai menjual seluruh

barang miliknya, dan barang milik keluarganya hingga mencuri tabung gas untuk

mendapatkan uang. Akibat dari penggunaan tersebut, kuliah pasien menjadi tidak

selesai dan pasien keluar dari pekerjaannya. Pasien mangatakan bahwa meskipun ia

sampai mencuri untuk mendapatkan uang, namun ia tidak pernah sampai menjual

diri. Pada tahun 2009 pasien sempt mencoba-coba menggunakan sabu-sabu, yang

digunakan secara oral, namun pasien tidak ingat berapa banyak yang ia pakai oleh

karena ia hanya mencobanya satu kali dan kemudian pasien tidak

2

Page 3: Case RSKO Revisi Akhir (1)

menggunakakannya lagi karena merasa cocok dengan efek yang ditimbulkan obat

tersebut.

Pasien menikah pertama kali pada tahun 2002 dengan pria warga negara

asing. Pasien juga menuturkan, bahwa suami pasien tidak menggunakan zat-zat

psikoaktif dan tidak terdiagnosis HIV (+). Kemudian pada tahun 2003, pasien hamil

dan melahirkan anak pertama, dan saat itu pasien terdiagnosis HIV (+). Selama masa

kehamilan, pasien mengaku tidak menggunakan zat-zat psikoaktif. Setelah

melahirkan yang dilakukan secara caesar, pasien kemudian mendapatkan terapi ARV

(anti retro viral) bernama Efavirenz sampai saat ini. Pasien mengatakan bahwa

keinginan untuk menggunakan putaw menjadi besar sekali setelah melahirkan karena

sakit yang dirasakan setelah melahirkan. 3 bulan setelah melahirkan, pasien

menjalani rehabilitasi selama kurang lebih 6 bulan di Yakita. Setelah menjalani

rehabilitasi, pasien tinggal di rumah selama 2 bulan dan kembali menggunakan

putaw karena rehabilitasi selama 6 bulan dirasa tidak cukup oleh pasien untuk

menahan dorongan mengkonsumsi putaw. Pada akhirnya, pasien kembali menjalani

rehabilitasi di Wisma Adiksi Cinere selama kurang lebih 9 bulan. Pasien keluar dari

rehabilitasi karena ia ingin ke luar negeri.

Pada tahun 2005, pasien sempat terlibat dengan masalah hukum karena

tertangkap oleh polisi saat sedang membeli putaw di daerah Tambak bersama teman

rehabilitasinya. Salah seorang teman rehabilitasi pasien merupakan incaran polisi dan

pada akhirnya pasien tertangkap bersama teman-temannya oleh polisi. Pasien

mendapatkan vonis penjara selama 6 bulan tetapi hanya mendekam di sana selama 4

bulan karena adanya uang jaminan dari ibu pasien. Sebulan sebelum pasien keluar

dari penjara dan pasien menerima surat cerai dari suaminya. Kemudian pasien

bercerai dengan suaminya dan hak asuh anak jatuh ke tangan pasien.

Pada tahun 2007, pasien memulai pengobatan terapi subtitusi dengan

metadon. Pasien mulai mengkonsumsi metadon secara oral dengan dosis awal 25 mg

dan terus meningkat hingga saat ini dan mencapai dosis 145 mg. Pasien mengatakan

bahwa pemakaian metadon secara oral mempunyai durasi kerja sekitar 24-36 jam.

Namun karena pasien juga mengkonsumsi Efavirenz, maka durasi kerja metadon

menjadi lebih singkat sekitar 24 jam. Pasien mengatakan bahwa metadon mempunyai

efek yang sama seperti putaw, yaitu membuat pasien mengantuk dan kadang berefek

seperti stimulan. Hingga saat ini, pasien mengkonsumsi metadon 1 kali sehari setiap

3

Page 4: Case RSKO Revisi Akhir (1)

hari. Pasien mengatakan bahwa ia mengalami ketergantungan sehingga ia tidak dapat

melaksanakan perjalanan ke luar negeri karena harus terus mengkonsumsi metadon

setiap hari. Pasien belum berencana untuk berhenti dari terapi methadon karena tidak

didukung oleh suami.

Pada tahun 2008, pasien pernah memakai putau hingga overdosis dan

mengalami mononeuropathy yang membuat pasien di rawat inap di RSKO selama 1

minggu. Pasien menuturkan, saat itu dosis putau yang ia gunakan sebanyak 1 gam.

Pasien sempat berjalan pincang selama 3 bulan akibat overdosis tersebut. Selain itu,

pasien juga pernah overdosis obat Clozaril sekitar tahun 2000, dan mengalami koma

selama 3 hari.

Pada tahun 2007-2008, pasien mengatakan bahwa ia pernah mengkonsumsi

alkohol bersamaan dengan konsumsi metadon. Pasien mengatakan hanya pernah

mengkonsumsinya satu kali dan merasa tidak cocok menggunakan zat tersebut.

Pasien tidak suka mengkonsumsi alkohol karena mempunyai sakit maag yang

bertambah parah ketika mengkonsumsi alkohol.

Pasien menikah untuk kedua kalinya pada tahun 2009. Suami pasien yang

kedua mempunyai riwayat penggunaan zat-zat psikoaktif dan terdiagnosis HIV (+).

Suami pasien sebelumnya telah menjalani rehabilitasi dan sejak saat itu tidak pernah

menggunakan zat-zat psikoaktif apapun. Sejak tahun 2009, pasien mulai merokok

dengan jumlah rokok 5 batang/ hari. Hal ini dilakukan pasien untuk mengurangi efek

samping dari methadon. Ide bunuh diri dan penyakit gangguan jiwa seperti depresi,

cemas, skizofrenia disangkal oleh pasien.

Sejak tahun 2012 pasien berhenti sama sekali tidak menggunakan putau

hingga sekarang. Pada tahun yang sama, pasien sempat mencoba menggunakan

ganja, namun hal ini hanya dilakukan sekali dan pasien tidak melanjutkan

penggunaannya karena merasa tidak cocok dengan efek yang ditimbulkan.

Riwayat Pemakaian Zat-zat Psikoaktif

No Jenis Zat Putaw Sabu Alkohol Rokok Ganja

1. Sejak tahun 1997 -

2012

1999 2000 2009-

sekarang

2012

2. Cara

penggunaan

Inhalasi,

injeksi

Oral Oral Merokok Merokok

4

Page 5: Case RSKO Revisi Akhir (1)

3. Frekuensi

pemakaian

dan kuantitas

Setiap

hari,

paling

banyak

1gram

1x 1 - 2

botol/

minggu

5 batang/

hari

1 linting

4. Pemakaian 1

thn terakhir

Tidak Tidak Tidak Ya Tidak

5. Pemakaian 1

bln terakhir

Tidak Tidak Tidak Ya Tidak

6. Pemakaian

yang terakhir

kali

Tidak Tidak Tidak Masih Tidak

7. Alasan

pemakaian

pertama kali

Coba-

coba,

untuk

menghilan

gkan

pusing

Coba-

coba

Coba-coba Coba-coba Coba-coba

8. Alasan biasa

memakai

Ketagihan - - Ketagihan -

9. Alasan tidak

menggunaka

n lagi

Keinginan

diri

sendiri.

Tidak

tersedia

Keingina

n diri

sendiri.

Mempuny

ai sakit

maag yang

bertambah

parah

dengan

konsumsi

alkohol

- Keinginan

diri

sendiri.

Riwayat Kehidupan Seksual

5

Page 6: Case RSKO Revisi Akhir (1)

Pasien pernah menikah sebanyak 2 kali dan hanya berhubungan seksual dengan suaminya

saat itu. Suami pasien selalu menggunakan kondom ketika berhubungan seksual sejak

pasien terdiagnosis HIV (+) pada tahun 2003.

Riwayat Penyakit

Riwayat HIV (+) sejak tahun 2003.

Riwayat Menggunakan Jarum Suntik

Riwayat menggunakan jarum suntik (+). Pasien pernah menggunakan jarum suntik untuk

mengkonsumsi heroin sebanyak 4 kali dengan menggunakan jarum bekas yang diperoleh

dari temannya.

Riwayat Berhubungan dengan Hukum

Pasien pernah tertangkap oleh polisi pada tahun 2005 sebanyak 1 kali. Pasien mendapatkan

vonis penjara selama 6 bulan, namun pasien hanya menjalaninya sebanyak 4 bulan karena

uang jaminan dari pihak keluarga, dalam hal ini ibu pasien. Pasien tertangkap polisi ketika

pasien ingin membeli heroin di Tambak bersama teman rehabilitasinya, namun karena

salah satu temannya yang selama ini telah menjadi incaran polisi, pasien pun ikut

tertangkap.

Stressor Psikososial

Masalah dengan:

Orang tua : tidak ada

Anak : tidak ada

Anggota keluarga lain : tidak ada

Teman : tidak ada

Pekerjaan : Pasien merasa kelelahan karena harus kuliah pada saat pagi dan

bekerja pada malam harinya. Sehingga, pasien sering mengalami

sakit kepala. Pasien mendapatkan rekomendasi dari seorang

temannya untuk mengkonsumsi heroin agar sakit kepalanya hilang.

Keuangan : tidak ada

Riwayat Gangguan Psikiatrik

6

Page 7: Case RSKO Revisi Akhir (1)

Skizofrenia - Manik -

Depresi - Halusinasi -

Anxietas - ADHD -

PTSD - Fobia -

Riwayat Penyakit yang Berhubungan dengan Penggunaan Zat Psikoaktif

Aborsi - Hepatitis B - Perdarahan Otak -

Abses - Hepatitis C - Pneumonia -

Bronkhitis - HIV/AIDS + Sarkoma -

Cedera Kepala - Impotensi - Steven Johnson Syndr -

Endokarditis - Kanker Hati - Sepsis -

Fraktur - Kanker Paru - Sifilis -

Gangguan Menstruasi - Kencing Nanah - Sirosis Hepatis -

Gastritis - Luka Tusuk - Stroke -

Gegar Otak - Muntah Darah - TBC Paru -

III. KEADAAN FISIK (15 September 2014)

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Laju nadi : 80x/menit

Laju nafas : 22x/menit

Suhu : 36.6 oC

Kepala dan wajah: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor diameter

3mm/3mm, reflex cahaya +/+

Sistem Respiratorius :

Inspeksi : bentuk dada normal, simetris kanan = kiri, retraksi subkostal -

Palpasi : fremitus taktil normal, kanan = kiri

Perkusi : sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : bunyi napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Sistem Kardiovaskular :

7

Page 8: Case RSKO Revisi Akhir (1)

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi : batas atas : ICS III linea parasternalis sinistra

batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra

batas kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra

Auskultasi: bunyi jantung reguler, murmur (-), gallop (-)

Sistem Gastrointestinal :

Inspeksi : Datar

Palpasi : Supel, Nyeri tekan -, Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba

Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen

Auskultasi : Bising usus +

IV. HASIL PEMERIKSAAN PSIKIATRI

Penampilan : Pasien wanita usia 36 tahun, berpenampilan sesuai dengan usia.

Pasien memakai kaus dan jeans, cara berpakaian pasien rapi. Rambut dan kuku

terawat. Pasien mempunyai tato pada lengan kanan atas dan lengan kiri atas.

Perilaku & aktivitas psikomotor : Baik

Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif

Pembicaraan : Spontan, Tidak ada gangguan berbahasa

Mood : Euthym

Afek : Sesuai dan luas

Keserasian : Serasi & perasaan pasien dapat dirasakan

Gangguan persepsi : halusinasi (-), ilusi (-)

Arus pikiran : Produktivitas cukup, kontinuitas tidak terganggu

Isi pikiran : Preokupasi pikiran (-), waham (-), usaha bunuh diri (-)

Orientasi

• waktu : Baik

• tempat : Baik

• orang : Baik

• situasi : Baik

Daya ingat

• Recent memory : Baik

• Immediate memory : Baik

8

Page 9: Case RSKO Revisi Akhir (1)

• Remote memory : Baik

Konsentrasi, perhatian : Baik

Pikiran abstrak : Baik

Pengendalian impuls : Baik

Insight : Derajat VI

Judgement : Baik

Taraf dapat dipercaya : Dapat dipercaya

V. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tidak dilakukan

VI. HASIL PEMERIKSAAN RADIO-DIAGNOSTIK

Tidak dilakukan

VII. HASIL PEMERIKSAAN PSIKOLOGIS

Afek : Luas dan sesuai

Persepsi : Tidak terganggu

Isi Pikir : Koheren

VIII. HASIL EVALUASI SOSIAL

Tidak dilakukan.

IX. RIWAYAT PERAWATAN/PENGOBATAN/REHABILITASI SEBELUMNYA

• Pernah menjalani detoksifikasi : +

• Pernah menjalani rawat jalan : +

• Pernah menjalani rawat inap : +

• Pernah menjalani detoksifikasi cepat : -

• Pernah menjalani rehabilitasi : +

• Pernah menjalani program rumatan : +

X. RESUME

9

Page 10: Case RSKO Revisi Akhir (1)

Dari anamnesis didapatkan data wanita usia 36 tahun dengan riwayat penggunaan zat

psikoaktif sebagai berikut:

Putau : 1997 – 2012

Sabu : 1999

Alkohol : 2007

Rokok : 2009 – 2014

Ganja : 2012

Efek :

Positif : tidak mudah lelah, santai, relax

Negatif : mudah marah, mata merah, gelisah

Usaha mengatasi ketergantungan :

MPE (program rehabilitasi)

Riwayat penyakit

Riwayat keluarga yang mengalami gangguan kejiwaan (-)

Riwayat keluarga yang menggunakan zat terlarang (+)

XI. DIAGNOSIS

Axis I : F 11.22. Sindrom Ketergantungan Akibat Penggunaan Opioida kini dalam

pengawasan klinis dan terapi pemeliharaan atau dengan pengobatan zat

pengganti (ketergantungan terkendali)

Axis II : Z 03.2 Tidak ada diagnosis

Axis III : B20.0 HIV

Axis IV : Tidak ada

Axis V : GAF 71-80 gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam

fungsi, secara umum masih baik.

XII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad malam

XIII. PENATALAKSANAAN

10

Page 11: Case RSKO Revisi Akhir (1)

Terapi rumatan metadon 145 mg/hari

Terapi ARV

XIV. SARAN PEMERIKSAAN

Tidak ada

11

Page 12: Case RSKO Revisi Akhir (1)

DASAR TEORI

1. HEROIN

1.1 DEFINISI

Heroin (INN: diaceythil =morphine, BAN: diamorphine) adalah semi

sintetik opioid yang disintesa dari morfin yang merupakan derivate dari opium. Pada

kadar yang lebih rendah dikenal dengan sebutan putaw. Heroin didapatkan dari

pengeringan ampas bunga opium yang mempunyai kandungan morfin dan kodein

yang merupakan penghilang rasa nyeri yang efektif. Heroin merupakan 3,6-

diasetilester dari morfin. Nama lain dari heroin adalah smack, junk, china ehirte,

chiva, black tar, speed balling, brown, dog, negra, dope, nod, white hores, stuff.

1.2 PENGGOLONGAN

Menurut UU RI nomor 35/2009 tentang Narkotika pasal 1 ayat (1),

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik

sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilang rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagai

mana terlampir dalam undang-undang ini.

Berdasarkan UU RI nomor 35/2009 tentang narkotika pasal 6 ayat(1),

penggolongan narkotika terdiri dari tiga golongan yaitu:

1. Narkotika golongan I

2. Narkotika golongan II

3. Narkotika golongan III

Narkotika yang sering disalahgunakan adalah narkotika golongan I yaitu

opiate: morfin, heroin (putaw), petidin, candu, dll. Opioid dibagi menjadi tiga

golongan besar:

1. Opiodi alamiah (opiate): morfin, opium, kodein

2. Opioida semis intetik: heroin/putaw, hidromorfin

3. Opioida sintetik: meperidin, propoksipen, metadon

1.3 JALUR METABOLISME

1.3.1 Farmakokinetik12

Page 13: Case RSKO Revisi Akhir (1)

Absorbsi

Heroin diabsorbsi dengan baik di subkutaneus, intramuskular, dan

permukaan mukosa hidung/mulut.

Distribusi

Heroin dengan cepat masuk ke dalam darah, dan menuju ke dalam

jaringan. Konsentrasi heroin tinggi di paru paru, hepar, ginjal dan limpa,

sedangkan di dalam otot skelet konsentrasinya rendah. Konsentrasi di

dalam otak relatif rendah dibandingkan dengan organ lainnya akibat sawar

darah otak. Heroin menembus sawar darah otak lebih mudah cepat

dibandingkan dengan morfin atau golongan opioid lainnya.

Metabolisme

Heroin di dalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi

monoasetilmorfin dan akhirnya menjadi morfin. Kemudian mengalami

konjugasi dengan asam glukoronik menjadi morfin-6-glukorinid yang

berefek analgesik lebih kuat dibandingkan morifn sendiri. Akumulasi obat

terjadi pada pasien gagal ginjal.

Ekskresi

Heroin atau morfin terutama diekskresi melalui urin (ginjal). 90%

diekskresikan dalam 24 jam pertama, meskipun dapat ditemukan dalam urin

48 jam.

1.3.2. Farmakodinamik

Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan

reseptor spesifik yang berlokasi di otak dan medulla spinalis, sehingga

mempegaruhi transmisi dan modulasi nyeri. Terdapat 3 jenis reseptor

spesifik yaitu: reseptur mu, delta, kappa. Di dalam otak terjadi 3 jenis

endogenous peptide yang aktivitasnya seperti opiate, yaitu enkefalin yang

berikatan dengan reseptor delta, beta endorphin dengan reseptor mu dan

dynorpin dengan reseptor kappa. Reseptor mu merupakan reseptor untuk

morfin (heroin). Ketiga jenis reseptor ini berhubungan dengan protein g dan

berpasangan dengan adenyl siklase menyebabkan penurunan formasi siklik

AMP sehingga aktivitas pelepasan neurotransmiiter terhambat.

1.4 KARAKTERISTIK

13

Page 14: Case RSKO Revisi Akhir (1)

Heroin merupakan narkoba yang sangat sering menimbulkan efek

ketergantungan. Heroin ini bentuknya berupa serbuk putih dengan pahit. Dalam

pasaran banyak beredar warnanya putih, coklat, dadu. PEnggunaanya dengan

injeksi ataupun hidup ataupun peroral. Heroin 2 kali lebih kuat daripada morfin.

Jenis heroin yang sering diperdagangkan:

1. Bubuk putih

Diperjualbelikan dalam kantung-kantung yang telah dikemas secara

khusus dengan ukuran 3 x 1.5 cm berisi 100 mg bubuk dengan kadar

heroin berkisar antara 1 – 10 %.

Pada saat ini kadar heroin dalam bubk cenderung meningkat, rata-rata

berkisar 35%

Biasanya bubuk tersebut dicampur dengan gula, susu bubuk, kanji.

Banyak diperjual belikan di daerah Asia.

2. Bubuk coklat

Bentuk, kemasan dan kadar heroin mirip dengan bubk putih hanya

warnanya yang coklat.

Banyak didapatkan di daerah meksiko

3. Black Tar

Banyak diperjualbelikan USA

Warna hitam disebabkan oleh metode processing

Bentuknya kecil-kecil seperti kacang dan lengket

Kadar heroin didalamnya berkisar 20 – 80%

Pemakaian biasanya dilakukan dengan sedikit air dan dihangatkan diatas

api. Setelah dilarutkan dapat dimasukkan didalam alat suntik.

1.5. CARA PEMAKAIAN

a. Injeksi

Injeksi secara intravena, subkutan atau intramuscular. Injeksi lebih praktis

dan efisien untuk heroin kadar rendah. Injeksi secara intravena dapat

menimbulkan efek euforia dalam 7- 8 detik. Injeksi intramuscular efeknya lebih

lambat yaitu 5 – 8 menit. Ketika akan menyuntikkan heroin ke dalam tubuh,

pertama-tama heroin dilarutkan didalam air lalu dipanaskan, cara ini dilakukan

14

Page 15: Case RSKO Revisi Akhir (1)

untuk menghasilkan larutan liquid. Pengguna bisa menginjeksikan larutan tadi

kedalam tubuhnya.

Kerugian injeksi:

Dapat menyebabkan septikemi dan infeksi lain

Dapat menyebabkan hepatitis atau HIV

Injeksi berulang dapat merusak vena, menyebabkan thrombosis dan abses

b. Dihirup

Bubuk heroin ditaruh di dalam alumunium foil dan dipanaskan diatas api,

kemudian asapnya dihirup melaui hidung. Heroin terabsorbsi melalui membran

mukosa hidung. Efek puncak dengan penggunaan secara dihirup atau dihisap

biasanya dirasakn dalam 10 – 15 menit.

c. Dihisap melalui pipa atau sebagai lintingan rokok

Penggunaan heroin dalam kadar tinggi biasanya dengan cara dihirup atau

dihisap. Penggunaan heroin secara dihisap/dihirup saat ini meningkat untuk

menghindarkan efek yang terjadi akibat penyuntikkan. Penggunaan secara dihisap

lebih aman dibandingkan dihirup, oleh karena masuk ke dalam tubuh secara

bertahap sehingga lebih mudah dikontrol.

1.6 EFEK

Sistem saraf pusat

1. Analgesia

Efek analgetik terdiri atas 3 faktor:

a. Meningkatkan ambang rangsang nyeri.

b. Mempengaruhi emosi, dalam arti bahwa heroin dapat mengubah reaksi yang

timbul menyertai rasa nyeri pada waktu penderita merasakan rasa nyeri.

Setelah pemberian obat penderita masih tetap merasakan (menyadari)

adanya nyeri, tetapi reaksi khawatir takut tidak lagi timbul. Efek obat ini

relatif lebih besar mempengaruhi komponen efektif (emosional)

dibandingkan sensorik.

c. Memudahkan timbulnya tidur.

2. Euforia

Pemberian morfin pada penderita yang mengalami nyeri, akan menimbulkan

perasaan euforia dimana penderita akan mengalami perasaan nyaman terbebas

15

Page 16: Case RSKO Revisi Akhir (1)

dari rasa cemas. Sebaliknya pada dosis yang sama besar bila diberikan kepada

orang normal yang tidak mengalami nyeri, sering menimbulkan disforia berupa

perasaan kuatir disertai mual, muntah, apati, aktivitas fisik berkurang dan

ekstrimitas terasa berat.

3. Sedasi

Pemberian heroin dapat menimbulkan efek mengantuk dan lethargi. Kombinasi

morfin dengan obat yang berefek depresi sentral seperti hipnotik sedatif akan

menyebabkan tidur yang sangat dalam.

4. Pernapasan

Pemberian heroin dapat menimbulkan depresi pernapasan, yang disebabkan oleh

inhibisi langsung pada pusat respirasi di batang otak. Depresi pernapasan

biasanya terjadi dalam 7 menit setelah ijeksi intravena atau 30 menit setelah

injeksi subkutan atau intramuskular. Pernapasan kembali ke normal dalam 2-3

jam.

5. Pupil

Pemberian heroin secara sistemik dapat menimbulkan miosis. Miosis terjadi

akibat stimulasi pada nukleus Edinger Westphal N. III.

6. Mual dan muntah

Disebabkan oleh stimulasi langsung pada emetic chemoreceptor trigger zone di

batang otak.

Sistem Saraf Perifer

a) Saluran cerna

Pada lambung akan menghambat sekresi asam lambung, mortilitas lambung

berkurang, tetapi tonus bagian antrum meninggi. Pada usus besar akan

mengurangi gerakan peristaltik, sehingga dapat menimbulkan konstipasi.

b) Sistem kardiovaskular

Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan darah, frekuensi

maupun irama jantung. Perubahan yang tampak hanya bersifat sekunder

terhadap berkurangnya aktivitas badan dan keadaan tidur, Hipotensi disebabkan

dilatasi arteri perifer dan vena akibat mekanisme depresi sentral oleh mekanisme

stabilitasi vasomotor dan pelepasan histamin.

c) Kulit

16

Page 17: Case RSKO Revisi Akhir (1)

Mengakibatkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak merah

dan terasa panas. Seringkali terjadi pembentukan keringat, kemungkinan

disebabkan oleh bertambahnya peredaran darah di kulit akibat efek sentral dan

pelepasan histamin.

d) Traktus urinarius

Tonus ureter dan vesika urinaria meningkat, tonus otot sfingter meningkat,

sehingga dapat menimbulkan retensi urine.

Menurut national Institute Drug Abuse (NIDA), dibagi menjadi efek segera

(short term) dan efek jangka panjang (long term).

Tabel 2.2 Efek jangka pendek dan jangka panjang dari heroin

Short term Long term

Gelisah

Depresi pernapasan

Fungsi mental berkabut

Mual dan muntah

Menekan nyeri

Abortus spontan

Adiksi

HIV, hepatitis

Kolaps vena

Infeksi bakteri

Penyakit paru (pneumonia, TBC)

Infeksi jantung dan katupnya

1.7 Manifestasi Klinis

Efek pemakaian heroin yaitu kejang-kejang, mual, hidung dan mata yang

selalu berair, kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara

tidak jelas, tidak dapat berkonsentrasi. Sakaw atau sakit karena putaw terjadi apabila

si pecandu putus menggunakan putaw. Sebenarnya sakaw salah satu bentuk

detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan si pecandu melewati masa sakaw tanpa

obat, selain didampingi dan dimotivasi untuk sembuh. Gejala sakaw yaitu mata dan

hidung berair, tulang terasa ngilu, rasa gatal di bawah kulit seluruh badan, sakit

perut/diare dan kedinginan. Tanda-tanda dari seseorang yang sedang ketagihan

adalah kesakitan dan kejang-kejang, keram perut dan menggelepar, gemetar dan

muntah-muntah, hidung berlendir, mata berair, kehilangan nafsu makan, kekurangan

cairan tubuh.

17

Page 18: Case RSKO Revisi Akhir (1)

Intoksikasi Akut (Over Dosis)

Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu

narkotik. Gejala over dosis biasanya timbul beberapa saat setelah pemberian obat.

Gejala intoksikasi akut (overdosis):

Kesadaran menurun, sopor - koma

Depresi pernapasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit, dan

pernafasan mungkin bersifat Cheyene stokes

Pupil kecil (pin point pupil), simetris dan reaktif

Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata

Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila

pernapasan memburuk dan terjadi syok

Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin

Bradikardi

Edema paru

Kejang

Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernapasan. Angka kematian

meningkat bila pecandu narkotik menggabungkannya dengan obat-obatan yang

menimbulkan reaksi silang seperti alkohol dan tranquilizer.

Intoksikasi Kronis

Adiksi heroin menunjukkan berbagai segi:

1. Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga penderita

ketagihan akan obat tersebut.

2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh karena

faal dan biokimia badan tidak dapat berfungsi lagi tanpa obat tersebut

3. Toleransi, yaitu meningkatnya kebutuhan obat tersebut untuk mendapat

efek yang sama. Walaupun toleransi timbul pada saat pertama penggunaan

opioid, tetapi manifes setelah 2-3 minggu penggunaan opioid dosis terapi.

Toleransi akan terjadi lebih cepat bila diberikan dalam dosis tinggi dan interval

pemberian yang singkat. Toleransi silang merupakan karakteristik opioid yang

penting, dimana bila penderita telah toleran dengan morfin, dia juga akan toleran

terhadap opioid agonis lainnya, seperti metadon, meperidin dan sebagainya.

Mekanisme terjadinya toleransi dan ketergantungan obat

18

Page 19: Case RSKO Revisi Akhir (1)

Mekanisme secara pasti belum diketahui, kemungkinan oleh adaptasi seluler

yang menyebabkan perubahan aktivitas enzim, pelepasan biogenik amin tertentu

atau beberapa respon immun. Nukleus locus ceruleus diduga bertanggung jawab

dalam menimbulkan gejala withdrawal. Nukleus ini kaya akan tempat reseptor

opioid, alpha-adrenergic dan reseptor lainnya. Stimulasi pada reseptor opioid

danalpha-adrenergic memberikan respon yang sama pada intraseluler. Stimulasi

reseptor oleh agonis opioid (morfin) akan menekan aktivitas adenilsiklase pada

siklik AMP. Bila stimulasi ini diberikan secara terus menerus, akan terjadi adaptasi

fisiologik di dalam neuron yang membuat level normal dari adeniliklase walaupun

berikatan dengan opiat. Bila ikatan opiat ini dighentikan dengan mendadak atau

diganti dengan obat yang bersifat antagonis opioid, maka akan terjadi peningkatan

efek adenilsilase pada siklik AMP secara mendadak dan berhubungan dengan gejala

pasien berupa gejala hiperaktivitas.

Gejala Putus Obat

6 – 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisah

12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi), anoreksia

24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya

kelemahan, depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot dan

tulang, kedinginan dan kepanasan yang bergantian, peningkatan tekanan darah

dan denyut jantung, gerakan involunter dari lengan dan tungkai, dehidrasi dan

gangguan elektrolit

Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara berangsur-

angsur dalam 7-10 hari, tetapi penderita masih tergantung kuat pada obat.

Beberapa gejala ringan masih dapat terdeteksi dalam 6 bulan.

1.8 KRITERIA DIAGNOSTIK

Sindrom ketergantungan jika terdapat 3 atau lebih gejala di bawah ini yang

terjadi bersamaan minimal 1 bulan lamanya atau bila kurang dari 1 bulan harus

terjadi berulang-ulang secara bersamaan dalam kurun waktu 12 bulan.

1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi)

untuk menggunakan zat

19

Page 20: Case RSKO Revisi Akhir (1)

2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat sejak awal,

usaha penghentian atau pada tingkat sedang menggunakannya

3. Keadaan putus zat secara fisiologis ketika penghentian penggunaan zat

atau pengurangan, terbukti dengan adanya gejala putus zat yang khas. atau

menggunakan zat psikoaktif yang sama dengan maksud menghindarkan atau

menghilangkan gejala putus zat.

4. Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang

diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh

dengan dosis lebih rendah (contoh yang jelas dapat ditemukan pada individu

dengan ketergantungan alkohol danopiat yang secara rutin setiap hari

menggunakan zat tersebutsecukupnya untuk mengendalikan keinginannya)

5. Secara progresif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena

penggunaan zat psikoaktif yang lain, meningkatkan jumlah waktu yang

diperlukan untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau pulih dari

akibatnya

6. Terus menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang

merugikan kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol

berlebihan, keadaan depresi sebagai akibat penggunaan yang berat atau

hendaya fungsi kognitif akibat menggunakan zat, upaya perlu diadakan untuk

memastikan bahwa pengguna zat bersungguh

sungguh atau diharapkan untuk menyadari akan hakikat dan besarnya bahaya.

1.9 TATALAKSANA

Tatalaksana ketergantungan opioida

1. Terapi detoksifikasi adiksi opioid

Metadon merupakan drug of choice dalam terapi detoksifikasi adiksi

opioid. Namun bila dosis metadon diturunkan, kemungkinan relaps sering

terjadi. Kendala lain adalah membutuhkan waktu lama dalam terapi

detoksifikasi, dan bila menggunakan opioid antagonis maka harus

menunggu gejala abstinensia selama 5-7 hari. Dosis metadon yang

dianjurkan untuk terapi detoksifikasi heroin (morfin) adalah 2-3 x 5-10 mg 20

Page 21: Case RSKO Revisi Akhir (1)

perhari peroral. Setelah 2-3 hari stabil dosis mulai ditappering off dalam 1-3

minggu.

Buprenorphine dosis rendah (1,5-5 mg sublingual setiap 2-3 x seminggu)

dilaporkan lebihefektif dan efek withdrawl lebih ringan dibandingkan

metadone.

Terapi alternatif lain yang disarankan adalah rapid detoxification yang

mempersingkat waktu terapi deteksifikasi dan memudahkan pasien untuk

segera masuk dalam terapi opiat antagonis. Jenis teknik rapid deteksifikasi

antara lain klinidin naltrexon.

2. Terapi rumatan (maintenance) adiksi opioid

Metadon dan Levo alfa acetyl;methadol (LAAM) merupakan standar etrapi

rumatan adiksi opioid. Metadon diberikan setiap hari, sedangkan LAAM

hanya 3 kali seminggu. Pemberian metadon dan LAAM pada terapi

rumatan sangat membantu menekan prilaku kriminal. Untuk terapi

maintenance, dosis metadon dapat ditingkatkan (biasanya 40-100 mg/hari).

Untuk menjaga pasien tetap menyenangkan dan diturunkan secara perlahan-

lahan.

Buprenorphine dapat pul adigunakan sebagai terapi rumatan dengan dosis

antara 2 mg-20 mg/hari.

Naltrexone digunakan untuk adiksi opioid yang mempunyai motivasi tinggi

untuk berhenti. Naltrexone diberikan setiap hari 50-100 mg peroral untuk 2

– 3 kali seminggu.

21