case bell's palsy setelah revisi

28
LAPORAN KASUS BELL’S PALSY Pembimbing : Dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S Disusun Oleh: Nyimas Ratih Amandhita Nakita Putri 030.09.176 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH Periode 9 Februari – 7 Maret 2015 1

Upload: ranpss

Post on 20-Dec-2015

52 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

case neuro ba

TRANSCRIPT

Page 1: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

LAPORAN KASUS

BELL’S PALSY

Pembimbing :

Dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S

Disusun Oleh:

Nyimas Ratih Amandhita Nakita Putri

030.09.176

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

Periode 9 Februari – 7 Maret 2015

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

1

Page 2: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

LEMBAR PENGESAHAN

Nama mahasiswa : Nyimas Ratih Amandhita Nakita Putri

NIM : 030.09.176

Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf FK Universitas Trisakti

Periode : 9 Februari-7 Maret 2015

Judul : Bell’s Palsy

Pembimbing : dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal :

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu

Penyakit Saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih.

Jakarta, Maret 2015

dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S

2

Page 3: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

PENDAHULUAN

Bell’s Palsy adalah suatu penyakit kelumpuhan saraf fasialis akut yang sifatnya lower motor

neuron. Kelainan ini biasanya bersifat unilateral, tidak disertai dengan gangguan pendengaran

atau kelainan neurologi lainnya. Penyebab Bell’s Palsy sampai saat ini belum diketahui secara

pasti (idiopatik).1 Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik

yang teliti, serta jika penyebab yang lain telah disingkirkan.2

Sir Charles Bell, seorang anatomis dan dokter bedah, adalah orang pertama yang

mendeskripsikan penyakit ini pada tahun 1821. Sir Charles Bell juga meneliti tentang distribusi

dan fungsi saraf fasialis. Karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf

fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya.2 Jika kelemahan wajah ditemukan secara

perifer, maka pada sebagian besar kasus sebabnya tidak diketahui, karena itu tidak diperlukan

pemeriksaan penunjang secara langsung.

Insiden Bell’s Palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis

perifer akut.2 Prevalensi rata-rata berkisar antara 10-30 pasien per 100.000 populasi per tahun

dan meningkat sesuai pertambahan umur. Angka kejadiannya menurun pada anak yang berumur

di bawah 10 tahun dan meningkat pada usia 10-29 tahun. Bell’s Palsy paling banyak terjadi pada

pasien berumur lebih dari 70 tahun. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan wanita hamil.

Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.

Sebagian besar pasien sembuh secara sempurna, walaupun dalam beberapa kasus terdapat

kelemahan wajah yang menetap.3

3

Page 4: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. MA

Umur : 43 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jl. Pondok Bambu No. 21, Duren Sawit

Pekerjaan : Wiraswasta

Suku : Betawi

Agama : Islam

No. RM : 963241

ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di poli saraf RSUD Budhi Asih pada tanggal 18

Februari 2015, pukul 12.00 WIB

Keluhan Utama : sulit menutup mata sebelah kanan

Keluhan Tambahan : wajah sebelah kanan terasa baal dan mulut mencong ke sebelah

kiri saat berbicara

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli saraf RSUD Budhi Asih pada tanggal 18 Februari 2015 untuk

kontrol keluhannya dengan diagnosis Bell’s Palsy semenjak 2 minggu yang lalu. Keluhan saat ini

adalah wajah bagian kanan masih dirasakan lemas dan tidak ada kekuatan, akan tetapi sudah

berkurang dari sebelumnya.

4

Page 5: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

Pasien pertama kali datang ke poli saraf RSUD Budhi Asih pada tanggal 9 Februari 2015

dengan keluhan mata sebelah kanan berair terus-menerus. Keluhan yang pertama-tama dirasakan

pasien adalah matanya berair terus-menerus serta sulit menutup mata sebelah kanan. Mata terasa

pegal dan gatal, sehingga pasien harus mengucek-ngucek matanya hingga mata menjadi merah.

Gangguan penglihatan disangkal. Keluhan yang dirasakan ini hanya pada mata sebelah kanan.

Selain itu, pasien merasa mulutnya mencong ke kiri saat berbicara, wajah sebelah kanan dirasa

tidak ada kekuatan dan terasa lebih tebal daripada wajah sebelah kiri. Selain itu, pasien tidak bisa

menggembungkan pipi atau bersiul. Pasien juga tidak bisa menaikkan alis sebelah kanan.

Semenjak sakit, pasien merasa kesulitan minum, saat minum pasien harus memiringkan

kepalanya ke sebelah kiri karena bagian lidah sebelah kanan dirasa agak aneh. Namun pasien

masih bisa membedakan rasa asin, manis, asam, ataupun pahit. Keluhan diatas sekarang sudah

hilang, yang dirasakan pasien saat ini hanya adanya rasa tebal di wajah sebelah kanan dan mulut

masih sedikit mencong ke kiri.

Keluhan lemas separuh badan, nyeri kepala, mual dan muntah,gangguan pendengaran,

ataupun kejang disangkal. Pasien tidak merasa kesemutan di wajah. Keluhan yang dirasakan

pasien ini belum pernah terjadi sebelumnya. Pasien sebelumnya tidak menderita batuk pilek, atau

penyakit kulit yang menimbulkan ruam-ruam di badan. Keluhan yang dirasakan pasien menetap

dan terjadi sepanjang hari, walaupun pasien sudah istirahat tapi keluhan tidak hilang.

Pasien sudah seminggu ini menjalani terapi sinar di poli rehab medik. Pasien merasa

keluhannya berkurang setelah menjalani terapi sinar sebanyak 6 kali.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak mempunyai riwayat darah tinggi atau kencing manis.

Riwayat Penyakit Keluarga

Ayah pasien mengidap kencing manis dan Ibu pasien mempunyai darah tinggi.

Riwayat Sosial dan Kebiasaan

Pasien bekerja sebagai mekanik di sebuah perusahaan swasta di Pulo Gadung. Setiap hari,

pasien mengendarai motor untuk bekerja, berangkat dari rumah sekitar pukul 5 pagi. Pasien tidak

5

Page 6: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

mengenakan helm full face, hanyak menggunakan masker tipis untuk melindungi hidungnya.

Pasien pulang bekerja pukul 7 malam.

Kebiasaan merokok dan minum kopi disangkal pasien.

PEMERIKSAAN FISIK

PEMERIKSAAN UMUM

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 130/80

Nadi : 84 x/menit

Suhu : 36,5oC

Pernafasan : 20 x/menit

KEPALA

Ekspresi wajah : Wajah tampak asimetris, otot-otot wajah sebelah kanan tampak

lebih lemah, tampak tertarik ke sebelah kiri

Rambut : Hitam merata

Bentuk : Normocephali

MATA

Konjungtiva : Anemis -/-

Sklera : Ikterik -/-

6

Page 7: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

Kedudukan bola mata : ortoforia/ortoforia

Pupil : Bulat isokor, 3mm/3mm, RCL +/+ RCTL +/+

TELINGA

Tidak dilakukan

MULUT

Bibir : Sianosis (-), bibir tampak asimetris tertarik ke sebelah kiri

LEHER

Trakhea terletak di tengah

Tidak teraba benjolan, KGB tidak tampak membesar

Kelenjar tiroid tidak teraba membesar

THORAKS

Paru

Inspeksi : simetris, nafas tidak tertinggal

Palpasi : vocal fremitus simetris

Perkusi : tidak dilakukan

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : tidak tampak pulsasi iktus cordis

Palpasi : tidak dilakukan

Perkusi : tidak dilakukan

7

Page 8: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, gallop (-) murmur (-)

ABDOMEN

Inspeksi : Datar, simetris, smilling umbilicus (-)

Palpasi : tidak dilakukan

Perkusi : tidak dilakukan

Auskultasi : Bising usus (+) 2 kali/menit

STATUS NEUROLOGIS

A. Keadaan Umum : Compos mentis

B. Gerakan Abnormal : -

C. Leher : sikap baik

D. Tanda Rangsang Meningeal : -

E. Nervus Kranialis

N. I (Olfaktorius)

Subjektif : tidak dilakukan

N. II (Optikus)

Tajam Penglihatan : normal/normal

Lapang Penglihatan : tidak dilakukan/tidak dilakukan

Melihat warna : tidak dilakukan/tidak dilakukan

Ukuran : isokor, 3mm/3mm

Funduskopi : tidak dilakukan

N. III, IV, VI (Okulomotorius, Trokhlearis, Abdusen)

8

Page 9: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

Nistagmus : -/-

Pergerakan bola mata : baik ke segala arah/baik ke segala arah

Kedudukan bola mata : ortoforia/ortoforia

Refleks Cahaya Langsung : +/+

Refleks Cahaya Tidak Langsung : +/+

Diplopia : -/-

N. V (Trigeminus)

Membuka mulut : +/+

Menggerakan Rahang : +/+

Oftalmikus : berkurang/+

Maxillaris : berkurang/+

Mandibullaris : berkurang/+

N. VII (Fasialis)

Perasaan Lidah (2/3 anterior) : Tidak dilakukan

Motorik Oksipitofrontalis : menurun/baik

Motorik Orbikularis Okuli : menurun (lagoftalmus)/baik

Motorik Orbikularis Oris : menurun/baik

N. VIII (Vestibulokoklearis)

Tes Pendengaran : tidak dilakukan

Tes Keseimbangan : tidak dilakukan

N. IX, X (Glosofaringeus, Vagus)

9

Page 10: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

Perasaan Lidah (1/3 posterior) : tidak dilakukan

Refleks Menelan : baik

Refleks Muntah : tidak dilakukan

N. XI (Asesorius)

Mengangkat bahu : baik

Menoleh : baik

N. XII (Hipoglosus)

Pergerakan Lidah : baik

Disatria : tidak ada

F. Sistem Motorik Tubuh

Kanan Kiri

Ekstremitas Atas

Postur Tubuh Baik Baik

Atrofi Otot Eutrofik Eutrofik

Tonus Otot Normal Normal

Gerak involunter (-) (-)

Kekuatan Otot 5555 5555

Kanan Kiri

10

Page 11: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

Ekstremitas Bawah

Postur Tubuh Baik Baik

Atrofi Otot Eutrofik Eutrofik

Tonus Otot Normal Normal

Gerak involunter (-) (-)

Kekuatan Otot 5555 5555

G. Refleks

Refleks Fisiologis

Pemeriksaan Kanan Kiri

Bisep + +

Trisep + +

Patella + +

Achilles + +

Refleks Patologis

Pemeriksaan Kanan Kiri

Babinski - -

Chaddok - -

Oppenheim - -

Gordon - -

Klonus - -

Hoffman Tromer - -

H. Gerakan Involunter : tidak ada

I. Tes Sensorik (sentuhan) : baik

J. Fungsi Otonom

a. Miksi : baik

11

Page 12: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

b. Defekasi : baik

c. Sekresi Keringat : baik

K. Keseimbangan dan Koordinasi

Pemeriksaan Hasil

Tes Disdiadokinesis Tidak dilakukan

Finger to nose test Tidak dilakukan

Finger to finger test Tidak dilakukan

Tes Romberg Tidak dilakukan

Tes Tandem Gait Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada pasien belum dilakukan pemeriksaan lab maupun pemeriksaan penunjang lain.

RESUME

Seorang laki-laki, 43 tahun, datang untuk kontrol penyakitnya ke poli saraf RSUD Budhi

Asih dengan keluhan sulit menutup mata sebelah kanan. Selain itu, wajah sebelah kanan pasien

terasa lebih tebal, serta mulut mencong ke kiri saat sedang berbicara. Pasien pertama kali datang

ke poli saraf (tanggal 9 Februari 2015) dengan keluhan mata kanan berair terus-menerus. Hal ini

terjadi sejak seminggu sebelum pertama kali berobat. Mata terasa pegal dan gatal, sulit menutup

mata dan pasien harus terus-menerus mengucek mata sehingga mata sebelah kanan menjadi

merah. Saat itu, pasien juga merasa wajah sebelah kanan tidak ada kekuatannya jika

dibandingkan dengan yang sebelah kiri. Pasien merasa mulutnya mencong ke kiri saat berbicara,

dan tidak dapat menaikkan alis sebelah kanan, tidak bisa menggembungkan pipi atau bersiul.

Saat minum, pasien harus memiringkan kepalanya ke sebelah kiri karena lidah sebelah kanan

terasa agak aneh. Keluhan dirasakan pasien menetap dan terjadi sepanjang hari, tidak hilang

dengan istirahat.

12

Page 13: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

Pasien mempunyai kebiasaan naik motor tanpa helm yang menutupi seluruh wajahnya,

pada pagi dan malam hari.

Tidak ada riwayat trauma, lemah dibagian tubuh lainnya disangkal, sulit menelan dan

bicara pelo disangkal. Keluhan nyeri kepala, lemas tubuh atau kejang disangkal pasien. Tidak

ada gangguan penglihatan ataupun gangguan pendengaran, wajah tidak dirasa kesemutan, Pasien

sebelumnya tidak mengeluh sakit batuk atau pilek, tidak ada sakit kulit yang menimbulkan ruam-

ruam di badan.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan lagoftalmus OD dan kesan parese wajah sebelah

kanan. Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal. Pada saat pemeriksaan, pasien belum

dilakukan pemeriksaan penunjang.

DIAGNOSIS

Diagnosis Klinis : lagoftalmus OD, hipestesia wajah dekstra, parese wajah sebelah kanan

Diagnosis Etiologi : paparan udara dingin

Diagnosis Topis : N.VII perifer di ganglion genikulatum

Diagnosis Patologis : inflamasi

TATALAKSANA

Non Medikamentosa

Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit serta pengobatan yang diberikan

Fisioterapi

Kompres air hangat pada wajah sebelah kanan selama kurang lebih 20 menit

Dianjurkan untuk meneruskan fisioterapi selama seminggu sebelum kontrol kembali ke

poli saraf, untuk dilihat perkembangannya.

Mata ditutup memakai kassa saat tidur

Medikamentosa

Metilprednisolon 2x8mg/hari diberikan selama 5 hari, setelah itu tappering off secara

bertahap setiap 3 hari sampai mencapai dosis minimal.

Metilcobalamin 2x500mg

Artificial tear solution pada pagi hari dan salep mata pada malam hari saat tidur agar

mata kanan pasien tidak kering.

13

Page 14: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

PROGNOSIS

Ad vitam : ad bonam

Ad fungsionam : ad bonam

Ad sanationam : ad bonam

ANALISA KASUS

BELL’S PALSY

14

Page 15: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

Pasien adalah seorang laki-laki, 43 tahun, dengan keluhan sulit menutup mata sebelah kanan.

Pasien merasa wajah sebelah kanannya lebih lemah, jika berbicara bibir mencong ke kiri. Saat

minum, lidah bagian kanan pasien terasa aneh. Pasien tidak pernah mengalami penurunan

kesadaran, nyeri kepala yang hebat, gangguan penglihatan, ataupun lemas separuh badan selama

keluhan terjadi. Gejala-gejala yang terjadi pada pasien bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara

lain Bell’s Palsy dan Miastenia Gravis.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya lagoftalmus okuli dekstra, serta parese wajah

sebelah kanan, yang menandakan adanya gangguan pada N.VII perifer. Hal ini dikarenakan, baik

otot pipi maupun dahi pasien mengalami kelemahan. Gejala tersebut mengarah kepada diagnosis

Bell’s Palsy.

Dasar penegakan diagnosis adalah:

Lagoftalmus okuli dekstra

Parese wajah sebelah kanan

Hipestesia wajah sebelah kanan

Tidak ditemukan adanya gangguan pendengaran

Tidak ditemukan adanya gangguan penglihatan

Tidak ditemukan hemiparese pada keempat ekstremitas

Gejala timbul mendadak

Gejala-gejala yang terjadi pada pasien muncul karena adanya gangguan pada nervus

fasialis yang mempersarafi wajah untuk fungsi motorik dan sensorik., N.VII mempersarafi m.

orbicularis oris dan m. orbicularis okuli, m. businator, m. oksipitalis, m.frontalis, yang berfungsi

sebagai otot-otot penggerak wajah. Pada pasien terdapat lagoftalmus dan kelemahan pada sisi

wajah sebelah kanan, menandakan bahwa gangguan terjadi pada N.VII perifer dekstra. Pada

pasien tidak ditemukan adanya hiperlakrimasi, kemungkinan besar karena saat pemeriksaan

keluhan sudah jauh lebih berkurang dibanding ketika pertama kali sakit. Jika terdapat

hiperlakrimasi pada pasien, dapat dilakukan tes Schirmer yaitu untuk menilai fungsi lakrimasi

pada kedua mata. Hasil abnormal dari tes Schirmer menunjukan kerusakan pada Greater

Superficial Petrosal Nerve (GSPN) atau saraf fasialis di proksinal ganglion genikulatum.4

15

Page 16: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

Hiperlakrimasi disebabkan karena N.VII berperan secara otonom pada glandula lakrimal,

sehingga gangguan pada N.VII dapat menyebabkan produksi air mata yang belebih. Selain itu,

hiperlakrimasi juga merupakan kompensasi dari mata untuk mencegah mata kering akibat

lagoftalmus.

Pasien mengeluhkan adanya rasa tebal pada wajah sebelah kanan, terutama di daerah

persarafan N. Trigeminus cabang oftalmikus dan maxillaris dextra. Hal ini terjadi N.VII dan N.V

memiliki nucleus somatosensoris yang sama, sehingga keluhan yang dirasakan bukan merupakan

paralisis murni dari N.V, akan tetapi

Dasar diagnosis klinis diambil berdasarkan tanda-tanda klinis pada pasien yaitu

ditemukan kelumpuhan wajah sebelah kanan yang memberikan kesan parese N.VII kanan.

Berdasarkan skor House-Brackmann, pasien ini masuk ke dalam grade II, yaitu: kelopak mata

bisa menutup sempurna, bibir tampak asimetris, tidak ada sinkinesia. Pada grade ini pasien

kemungkinan besar dapat sembuh sempurna dengan pengobatan yang adekuat.

Pada pasien ini, penyebab kelumpuhan saraf tidak diketahui. Pasien menyangkal adanya

riwayat sakit batuk-pilek, atau penyakit kulit sebelumnya. Bell’s Palsy disebabkan oleh inflamasi

saraf fasialis pada beberapa tempat yang dilewati oleh nervus fasialis, seperti: foramen

stilomastoid, kanalis fasialis, dan ganglion genikulatum, sehingga menyebabkan kompresi,

iskemia, dan demielinasi saraf.5 Virus Herper Simpleks tipe-1 (HSV-1) dianggap sebagai

penyebab inflamasi tersebut. Berdasarkan penelitian menggunakan polymerase chain reaction

(PCR), 79% pasien Bell’s Palsy didapatkan adanya virus HSV-1, sedangkan virus herpes zoster

(HZV) hanya sekitar 13% kasus.6 Selain itu, Bell’s Palsy juga berkaitan erat dengan penyakit

mikrovaskuler dan paparan udara dingin. Pada pasien, disimpulkan penyebab terjadinya Bell’s

Palsy karena paparan udara dingin. Hal ini diketahui dari anamnesis, dimana pasien menuturkan

bahwa dia setiap hari berangkat bekerja pada pukul 5 pagi, menempuh jarak yang cukup jauh

menggunakan motor. Pasien tidak mengenakan helm yang menutup muka, dan hanya memakai

masker tipis untuk menutupi hidungnya dari debu.

Paparan udara dingin dapat mengiritasi N.VII, disebabkan karena terjadinya edema

nervus fasialis di kanalis fasialis. Nervus fasialis yang oedem ini, jika tertekan oleh tulang-tulang

tengkorak dapat menimbulkan gejala lower motor neuron seperti pada pasien.

Kelumpuhan saraf fasialis pada pasien ini masih dalam fase akut, yaitu terjadi 2 minggu

sebelum pemeriksaan. Dimana Bell’s Palsy dibedakan dalam 3 fase, yaitu:

16

Page 17: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

Fase akut (0-3 minggu): inflamasi saraf fasialis berasal dari ganglion

genikulatum, foramen stilomastoid, atau kanalis fasialis, biasanya akibat infeksi

virus herpes simpleks (HSV). Inflamasi ini dapat meluas ke bagian proximal dan

distal serta dapat menyebabkan edema saraf

Fase sub-akut (4-9 minggu): inflamasi dan edema saraf fasialis mulai berkurang

Fase kronik ( lebih dari 10 minggu): edema pada saraf menghilang, tetapi pada

beberapa individu dengan infeksi berat, inflamasi pada saraf tetap ada sehingga

dapat menyebabkan atrofi dan fibrosis saraf.

Berdasarkan cerita pasien, pasien datang pertama kali ke poli saraf RSUD Budhi Asih,

sekitar 1 minggu setelah keluhan mata berair terus-menerus. Sebelumnya pasien sempat berobat

ke puskesmas dan poli mata, kemudian dirujuk ke poli saraf. Pasien diberikan terapi

kortikosteroid dan dikonsulkan ke poli rehab medik untuk menjalani fisioterapi. Pasien sudah

menjalani fisioterapi selama 6 kali dan keluhannya dirasakan sudah sangat berkurang.

Pada pasien ini diberikan pengobatan steroid yaitu metilprednisolon 2x8mg/hari selama

lima hari. Steroid baiknya diberikan 72 jam setelah onset terjadi, tapi pada pasien ini, karena

adanya keterlambatan pengobatan, maka dosis yang diberikan tidak berdasarkan kepustakaan

yaitu 1mg/KgBB/hari dan dosisnya dioptimalkan 70mg/hari untuk prednisolone. Hal ini

dilakukan untuk menghindari efek samping steroid.

Penggunaan steroid pada pasien Bell’s Palsy bertujuan untuk mengurangi kemungkinan

paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid dimulai

dalam 72 jam dari onset, dan harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis

pemberian prednisone dan prednisolone ialah 1mg/kgBB/hari secara oral selama lima hari,

dengan 4 hari tappering off. Maksimal pemberian untuk prednisone ialah 40-60mg/hari dan

prednisolone ialah 70mg/hari.12

Pada pasien ini juga diberikan metilcobalamin 2x500mg. Metilcobalamin berfungsi

sebagai obat neurotropik, dimana bentuk aktif dari vitamin B12 ini berperan dalam perbaikan

kerusakan sel saraf dan meningkatkan pembentukan sel saraf baru.

Beberapa penelitian menerangkan tentang pemberian terapi asiklovir sebagai kombinasi

dengan steroid pada Bell’s Palsy. Asiklovir sebaiknya diberikan jika pada pasien memang sudah

17

Page 18: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

ada tanda-tanda infeksi virus sebelumnya, karena sebenarnya pemberian asiklovir tidak

menunjukkan perbaikan yang signifikan pada pasien Bell’s Palsy yang tidak didahului dengan

infeksi virus sebelumnya.

Fisioterapi dapat dilakukan pada stadium akut (kurang dari tiga minggu) atau bersamaan

dengan pemberian kortikosteroid. Tujuan fisioterapi adalah untuk mempertahankan tonus otot

yang lumpuh. Caranya yaitu dengan memberikan radiasi sinar infra red pada sisi yang lumpuh

dengan jarak 20 ft (60 cm) selama 10 menit. Terapi ini diberikan setiap hari sampat terdapat

kontraksi otot dan 2 kali dalam seminggu sampai tercapainya penyembuhan yang komplit.

Disamping itu juga dapat dilakukan massage pada otot wajah selama 5 menit pada pagi dan sore

hari.7

Pemeriksaan penunjang biasanya tidak dilakukan pada pasien dengan diagnosis kerja

Bell’s Palsy. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis Bell’s

Palsy, kecuali bila dicurigai adanya penyebab lain. Pemeriksaan radiologi tidak rutin dilakukan

pada kasus ini, kecuali adanya riwayat paralisis rekuren, curgia adanya lesi pada

Cerebellopontine Angle (CPA), terdapat kelainan pada telinga tengah (otitis media akut, otitis

media kronik, atau kolesteatom), ada riwayat trauma, serta pada pasien yang belum

menunjukkan perbaikan paralisisnya dalam 1 bulan.10

Pemeriksaan neurofisiologi pada Bell’s Palsy digunakan sebagai prediktor kesembuhan.

Pada penelitian lain, didapatkan bahwa pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai

prognostic yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG

pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictive-value (PPV) 100%

dan negative-predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa

penurunan amplitude compound motor action potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf

fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral.11

Prognosis Bell’s Palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia pasien, dan derajat

kelumpuhan. Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s Palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan

50-60% kasus membaik dalam waktu 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus

fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat.. Kelumpuhan parsial (inkomplit)

mempunyai prognosis yang lebih baik. Anak-anak juga mempunyai prognosis yang lebih baik

18

Page 19: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

disbanding orang dewasa. Sekitar 96,3% pasien Bell’s Palsy dengan House-Brackmann score

kurang dari derajat II dapat sembuh sempurna, sedangkan pada House-Brackmann lebih dari

derajat IV sering terdapat deformitas wajah yang permanen.8

Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s Palsy adalah:

Regenerasi motor inkomplit, yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan

paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis

Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan

pengecapan), ageusia ( hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau

sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal)

Reinervasi yang salah dari nervus fasialis. Hal ini dapat menyebabkan sinkinesis,

atau gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunteer; crocodile tear

phenomenon yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang

salah dari serabut otonom; clonic facial spasm (hemifacial spasm) yaitu timbul

kedutan secara tiba-tiba pada wajah.

Pada pasien, setelah pengobatan selama 1 minggu, sudah terjadi perbaikan yang berarti

dan grade House-Brackmann sudah mencapai grade II. Tidak ditemukan rasa baal di wajah

sebelah kanan, walaupun bibir pasien masih tampak mencong ke sebelah kiri dan kerutan dahi

sebelah kanan menghilang. Maka dari itu prognosis dari pasien adalah ad bonam. Berdasarkan

penelitian, kecil kemungkinan Bell’s Palsy untuk berulang. Dilaporkan terdapat 6% kasus Bell’s

Palsy yang mengalami rekurensi. Rekurensi ini dapat disebabkan oleh terserang virus kembali

atau aktifnya virus yang indolen di dalam saraf fasialis. Bila rekurensi terjadi pada sisi yang

sama dengan sisi yang sebelumnya, biasanya disebabkan oleh virus herpes simpleks. Rekurensi

meningkat pada pasien dengan riwayat Bell’s Palsy dalam keluarga. Umumnya rekurensi terjadi

setelah 6 bulan dari onset penyakit.9

19

Page 20: Case Bell's Palsy Setelah Revisi

DAFTAR PUSTAKA

1. Vrabec JT, Coker NJ. Acute Paralysis of Facial Nerve in: Bailey BJ, Johnson JT,

Newland SD, editors. Head & Neck Surgery-Otolaryngology. 4th ed. Lippincott

Williams & Wilkins; Texas; 2006. P: 2139-54.

2. Marsk E, Hammarstedt L, Berg et al. Early Deterioration in Bell’s Palsy:

Prognosis and Effect of Prednisolone. Otology & Neurotology: 2010; 31: 1503-

07.

3. Peitersen E. The natural history of Bell's palsy. Am J Otol 1982;4:107-111.

4. Quinn FB. Facial Nerve Paralysis. Department of Otolaryngology, UTMB, Grand

Rounds. 1996.

5. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s Palsy: Diagnosis and Mangement. American

Family Physician. 2007;76(7): 997-1002.

6. Desatnik AS, Skoog E, Aurelius E. Detection of Herpes Simplex and Varicella-

Zoster in Patient With Bell’s Palsy by the Polymerase Chain Reaction

technique.Annals of Otology, Rhinology & Laryngology.2006;115(4):306-11.

7. Mosforth J, Taverner D. Physiotherapy for Bell’s Palsy. British Medical

Journal.1958;13: 675-7.

8. Yeo SW, Lee DH, Jun BC et al. Analysis of Prognostic factor in Bell’s Palsy and

Ramsay Hunt Syndrome. Auris Nasus Larynx, vol 34. 2007: 159-1643

29;2004 :553-557.

9. Chen WX, Wong V. Prognosis of Bell’s Palsy in Children-Analysis of 29 cases.

Brain & Development, vol 27.2005:504-8

10. Engstrom M, Berg T, Stjernquist A, et al. Prednisolone and Valaciclovir in Bell’s

Palsy: A Randomized, Double-blind, Placebo-Controlled, Multicentre Trial.

Lancet Neurol. 2008;7:993-1000

11. Grosheva M, Wittekindt C, Guntinas-Lichius O. Prognostic value of

electroneurography and electromyography in facial palsy. Laryngoscope.

2008;118:394-7.

12. Gilden DH. Clinical practice Bell’s Palsy. N Engl J Med. 2004;351:1323-31

20