case bell's palsy setelah revisi
DESCRIPTION
case neuro baTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
BELL’S PALSY
Pembimbing :
Dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S
Disusun Oleh:
Nyimas Ratih Amandhita Nakita Putri
030.09.176
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
Periode 9 Februari – 7 Maret 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
1
LEMBAR PENGESAHAN
Nama mahasiswa : Nyimas Ratih Amandhita Nakita Putri
NIM : 030.09.176
Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf FK Universitas Trisakti
Periode : 9 Februari-7 Maret 2015
Judul : Bell’s Palsy
Pembimbing : dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S
Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal :
Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih.
Jakarta, Maret 2015
dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S
2
PENDAHULUAN
Bell’s Palsy adalah suatu penyakit kelumpuhan saraf fasialis akut yang sifatnya lower motor
neuron. Kelainan ini biasanya bersifat unilateral, tidak disertai dengan gangguan pendengaran
atau kelainan neurologi lainnya. Penyebab Bell’s Palsy sampai saat ini belum diketahui secara
pasti (idiopatik).1 Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang teliti, serta jika penyebab yang lain telah disingkirkan.2
Sir Charles Bell, seorang anatomis dan dokter bedah, adalah orang pertama yang
mendeskripsikan penyakit ini pada tahun 1821. Sir Charles Bell juga meneliti tentang distribusi
dan fungsi saraf fasialis. Karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf
fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya.2 Jika kelemahan wajah ditemukan secara
perifer, maka pada sebagian besar kasus sebabnya tidak diketahui, karena itu tidak diperlukan
pemeriksaan penunjang secara langsung.
Insiden Bell’s Palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis
perifer akut.2 Prevalensi rata-rata berkisar antara 10-30 pasien per 100.000 populasi per tahun
dan meningkat sesuai pertambahan umur. Angka kejadiannya menurun pada anak yang berumur
di bawah 10 tahun dan meningkat pada usia 10-29 tahun. Bell’s Palsy paling banyak terjadi pada
pasien berumur lebih dari 70 tahun. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan wanita hamil.
Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.
Sebagian besar pasien sembuh secara sempurna, walaupun dalam beberapa kasus terdapat
kelemahan wajah yang menetap.3
3
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. MA
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Pondok Bambu No. 21, Duren Sawit
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku : Betawi
Agama : Islam
No. RM : 963241
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di poli saraf RSUD Budhi Asih pada tanggal 18
Februari 2015, pukul 12.00 WIB
Keluhan Utama : sulit menutup mata sebelah kanan
Keluhan Tambahan : wajah sebelah kanan terasa baal dan mulut mencong ke sebelah
kiri saat berbicara
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli saraf RSUD Budhi Asih pada tanggal 18 Februari 2015 untuk
kontrol keluhannya dengan diagnosis Bell’s Palsy semenjak 2 minggu yang lalu. Keluhan saat ini
adalah wajah bagian kanan masih dirasakan lemas dan tidak ada kekuatan, akan tetapi sudah
berkurang dari sebelumnya.
4
Pasien pertama kali datang ke poli saraf RSUD Budhi Asih pada tanggal 9 Februari 2015
dengan keluhan mata sebelah kanan berair terus-menerus. Keluhan yang pertama-tama dirasakan
pasien adalah matanya berair terus-menerus serta sulit menutup mata sebelah kanan. Mata terasa
pegal dan gatal, sehingga pasien harus mengucek-ngucek matanya hingga mata menjadi merah.
Gangguan penglihatan disangkal. Keluhan yang dirasakan ini hanya pada mata sebelah kanan.
Selain itu, pasien merasa mulutnya mencong ke kiri saat berbicara, wajah sebelah kanan dirasa
tidak ada kekuatan dan terasa lebih tebal daripada wajah sebelah kiri. Selain itu, pasien tidak bisa
menggembungkan pipi atau bersiul. Pasien juga tidak bisa menaikkan alis sebelah kanan.
Semenjak sakit, pasien merasa kesulitan minum, saat minum pasien harus memiringkan
kepalanya ke sebelah kiri karena bagian lidah sebelah kanan dirasa agak aneh. Namun pasien
masih bisa membedakan rasa asin, manis, asam, ataupun pahit. Keluhan diatas sekarang sudah
hilang, yang dirasakan pasien saat ini hanya adanya rasa tebal di wajah sebelah kanan dan mulut
masih sedikit mencong ke kiri.
Keluhan lemas separuh badan, nyeri kepala, mual dan muntah,gangguan pendengaran,
ataupun kejang disangkal. Pasien tidak merasa kesemutan di wajah. Keluhan yang dirasakan
pasien ini belum pernah terjadi sebelumnya. Pasien sebelumnya tidak menderita batuk pilek, atau
penyakit kulit yang menimbulkan ruam-ruam di badan. Keluhan yang dirasakan pasien menetap
dan terjadi sepanjang hari, walaupun pasien sudah istirahat tapi keluhan tidak hilang.
Pasien sudah seminggu ini menjalani terapi sinar di poli rehab medik. Pasien merasa
keluhannya berkurang setelah menjalani terapi sinar sebanyak 6 kali.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak mempunyai riwayat darah tinggi atau kencing manis.
Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien mengidap kencing manis dan Ibu pasien mempunyai darah tinggi.
Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien bekerja sebagai mekanik di sebuah perusahaan swasta di Pulo Gadung. Setiap hari,
pasien mengendarai motor untuk bekerja, berangkat dari rumah sekitar pukul 5 pagi. Pasien tidak
5
mengenakan helm full face, hanyak menggunakan masker tipis untuk melindungi hidungnya.
Pasien pulang bekerja pukul 7 malam.
Kebiasaan merokok dan minum kopi disangkal pasien.
PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/80
Nadi : 84 x/menit
Suhu : 36,5oC
Pernafasan : 20 x/menit
KEPALA
Ekspresi wajah : Wajah tampak asimetris, otot-otot wajah sebelah kanan tampak
lebih lemah, tampak tertarik ke sebelah kiri
Rambut : Hitam merata
Bentuk : Normocephali
MATA
Konjungtiva : Anemis -/-
Sklera : Ikterik -/-
6
Kedudukan bola mata : ortoforia/ortoforia
Pupil : Bulat isokor, 3mm/3mm, RCL +/+ RCTL +/+
TELINGA
Tidak dilakukan
MULUT
Bibir : Sianosis (-), bibir tampak asimetris tertarik ke sebelah kiri
LEHER
Trakhea terletak di tengah
Tidak teraba benjolan, KGB tidak tampak membesar
Kelenjar tiroid tidak teraba membesar
THORAKS
Paru
Inspeksi : simetris, nafas tidak tertinggal
Palpasi : vocal fremitus simetris
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : tidak dilakukan
Perkusi : tidak dilakukan
7
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, gallop (-) murmur (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Datar, simetris, smilling umbilicus (-)
Palpasi : tidak dilakukan
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : Bising usus (+) 2 kali/menit
STATUS NEUROLOGIS
A. Keadaan Umum : Compos mentis
B. Gerakan Abnormal : -
C. Leher : sikap baik
D. Tanda Rangsang Meningeal : -
E. Nervus Kranialis
N. I (Olfaktorius)
Subjektif : tidak dilakukan
N. II (Optikus)
Tajam Penglihatan : normal/normal
Lapang Penglihatan : tidak dilakukan/tidak dilakukan
Melihat warna : tidak dilakukan/tidak dilakukan
Ukuran : isokor, 3mm/3mm
Funduskopi : tidak dilakukan
N. III, IV, VI (Okulomotorius, Trokhlearis, Abdusen)
8
Nistagmus : -/-
Pergerakan bola mata : baik ke segala arah/baik ke segala arah
Kedudukan bola mata : ortoforia/ortoforia
Refleks Cahaya Langsung : +/+
Refleks Cahaya Tidak Langsung : +/+
Diplopia : -/-
N. V (Trigeminus)
Membuka mulut : +/+
Menggerakan Rahang : +/+
Oftalmikus : berkurang/+
Maxillaris : berkurang/+
Mandibullaris : berkurang/+
N. VII (Fasialis)
Perasaan Lidah (2/3 anterior) : Tidak dilakukan
Motorik Oksipitofrontalis : menurun/baik
Motorik Orbikularis Okuli : menurun (lagoftalmus)/baik
Motorik Orbikularis Oris : menurun/baik
N. VIII (Vestibulokoklearis)
Tes Pendengaran : tidak dilakukan
Tes Keseimbangan : tidak dilakukan
N. IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
9
Perasaan Lidah (1/3 posterior) : tidak dilakukan
Refleks Menelan : baik
Refleks Muntah : tidak dilakukan
N. XI (Asesorius)
Mengangkat bahu : baik
Menoleh : baik
N. XII (Hipoglosus)
Pergerakan Lidah : baik
Disatria : tidak ada
F. Sistem Motorik Tubuh
Kanan Kiri
Ekstremitas Atas
Postur Tubuh Baik Baik
Atrofi Otot Eutrofik Eutrofik
Tonus Otot Normal Normal
Gerak involunter (-) (-)
Kekuatan Otot 5555 5555
Kanan Kiri
10
Ekstremitas Bawah
Postur Tubuh Baik Baik
Atrofi Otot Eutrofik Eutrofik
Tonus Otot Normal Normal
Gerak involunter (-) (-)
Kekuatan Otot 5555 5555
G. Refleks
Refleks Fisiologis
Pemeriksaan Kanan Kiri
Bisep + +
Trisep + +
Patella + +
Achilles + +
Refleks Patologis
Pemeriksaan Kanan Kiri
Babinski - -
Chaddok - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Klonus - -
Hoffman Tromer - -
H. Gerakan Involunter : tidak ada
I. Tes Sensorik (sentuhan) : baik
J. Fungsi Otonom
a. Miksi : baik
11
b. Defekasi : baik
c. Sekresi Keringat : baik
K. Keseimbangan dan Koordinasi
Pemeriksaan Hasil
Tes Disdiadokinesis Tidak dilakukan
Finger to nose test Tidak dilakukan
Finger to finger test Tidak dilakukan
Tes Romberg Tidak dilakukan
Tes Tandem Gait Tidak dilakukan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pasien belum dilakukan pemeriksaan lab maupun pemeriksaan penunjang lain.
RESUME
Seorang laki-laki, 43 tahun, datang untuk kontrol penyakitnya ke poli saraf RSUD Budhi
Asih dengan keluhan sulit menutup mata sebelah kanan. Selain itu, wajah sebelah kanan pasien
terasa lebih tebal, serta mulut mencong ke kiri saat sedang berbicara. Pasien pertama kali datang
ke poli saraf (tanggal 9 Februari 2015) dengan keluhan mata kanan berair terus-menerus. Hal ini
terjadi sejak seminggu sebelum pertama kali berobat. Mata terasa pegal dan gatal, sulit menutup
mata dan pasien harus terus-menerus mengucek mata sehingga mata sebelah kanan menjadi
merah. Saat itu, pasien juga merasa wajah sebelah kanan tidak ada kekuatannya jika
dibandingkan dengan yang sebelah kiri. Pasien merasa mulutnya mencong ke kiri saat berbicara,
dan tidak dapat menaikkan alis sebelah kanan, tidak bisa menggembungkan pipi atau bersiul.
Saat minum, pasien harus memiringkan kepalanya ke sebelah kiri karena lidah sebelah kanan
terasa agak aneh. Keluhan dirasakan pasien menetap dan terjadi sepanjang hari, tidak hilang
dengan istirahat.
12
Pasien mempunyai kebiasaan naik motor tanpa helm yang menutupi seluruh wajahnya,
pada pagi dan malam hari.
Tidak ada riwayat trauma, lemah dibagian tubuh lainnya disangkal, sulit menelan dan
bicara pelo disangkal. Keluhan nyeri kepala, lemas tubuh atau kejang disangkal pasien. Tidak
ada gangguan penglihatan ataupun gangguan pendengaran, wajah tidak dirasa kesemutan, Pasien
sebelumnya tidak mengeluh sakit batuk atau pilek, tidak ada sakit kulit yang menimbulkan ruam-
ruam di badan.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan lagoftalmus OD dan kesan parese wajah sebelah
kanan. Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal. Pada saat pemeriksaan, pasien belum
dilakukan pemeriksaan penunjang.
DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : lagoftalmus OD, hipestesia wajah dekstra, parese wajah sebelah kanan
Diagnosis Etiologi : paparan udara dingin
Diagnosis Topis : N.VII perifer di ganglion genikulatum
Diagnosis Patologis : inflamasi
TATALAKSANA
Non Medikamentosa
Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit serta pengobatan yang diberikan
Fisioterapi
Kompres air hangat pada wajah sebelah kanan selama kurang lebih 20 menit
Dianjurkan untuk meneruskan fisioterapi selama seminggu sebelum kontrol kembali ke
poli saraf, untuk dilihat perkembangannya.
Mata ditutup memakai kassa saat tidur
Medikamentosa
Metilprednisolon 2x8mg/hari diberikan selama 5 hari, setelah itu tappering off secara
bertahap setiap 3 hari sampai mencapai dosis minimal.
Metilcobalamin 2x500mg
Artificial tear solution pada pagi hari dan salep mata pada malam hari saat tidur agar
mata kanan pasien tidak kering.
13
PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
ANALISA KASUS
BELL’S PALSY
14
Pasien adalah seorang laki-laki, 43 tahun, dengan keluhan sulit menutup mata sebelah kanan.
Pasien merasa wajah sebelah kanannya lebih lemah, jika berbicara bibir mencong ke kiri. Saat
minum, lidah bagian kanan pasien terasa aneh. Pasien tidak pernah mengalami penurunan
kesadaran, nyeri kepala yang hebat, gangguan penglihatan, ataupun lemas separuh badan selama
keluhan terjadi. Gejala-gejala yang terjadi pada pasien bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain Bell’s Palsy dan Miastenia Gravis.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya lagoftalmus okuli dekstra, serta parese wajah
sebelah kanan, yang menandakan adanya gangguan pada N.VII perifer. Hal ini dikarenakan, baik
otot pipi maupun dahi pasien mengalami kelemahan. Gejala tersebut mengarah kepada diagnosis
Bell’s Palsy.
Dasar penegakan diagnosis adalah:
Lagoftalmus okuli dekstra
Parese wajah sebelah kanan
Hipestesia wajah sebelah kanan
Tidak ditemukan adanya gangguan pendengaran
Tidak ditemukan adanya gangguan penglihatan
Tidak ditemukan hemiparese pada keempat ekstremitas
Gejala timbul mendadak
Gejala-gejala yang terjadi pada pasien muncul karena adanya gangguan pada nervus
fasialis yang mempersarafi wajah untuk fungsi motorik dan sensorik., N.VII mempersarafi m.
orbicularis oris dan m. orbicularis okuli, m. businator, m. oksipitalis, m.frontalis, yang berfungsi
sebagai otot-otot penggerak wajah. Pada pasien terdapat lagoftalmus dan kelemahan pada sisi
wajah sebelah kanan, menandakan bahwa gangguan terjadi pada N.VII perifer dekstra. Pada
pasien tidak ditemukan adanya hiperlakrimasi, kemungkinan besar karena saat pemeriksaan
keluhan sudah jauh lebih berkurang dibanding ketika pertama kali sakit. Jika terdapat
hiperlakrimasi pada pasien, dapat dilakukan tes Schirmer yaitu untuk menilai fungsi lakrimasi
pada kedua mata. Hasil abnormal dari tes Schirmer menunjukan kerusakan pada Greater
Superficial Petrosal Nerve (GSPN) atau saraf fasialis di proksinal ganglion genikulatum.4
15
Hiperlakrimasi disebabkan karena N.VII berperan secara otonom pada glandula lakrimal,
sehingga gangguan pada N.VII dapat menyebabkan produksi air mata yang belebih. Selain itu,
hiperlakrimasi juga merupakan kompensasi dari mata untuk mencegah mata kering akibat
lagoftalmus.
Pasien mengeluhkan adanya rasa tebal pada wajah sebelah kanan, terutama di daerah
persarafan N. Trigeminus cabang oftalmikus dan maxillaris dextra. Hal ini terjadi N.VII dan N.V
memiliki nucleus somatosensoris yang sama, sehingga keluhan yang dirasakan bukan merupakan
paralisis murni dari N.V, akan tetapi
Dasar diagnosis klinis diambil berdasarkan tanda-tanda klinis pada pasien yaitu
ditemukan kelumpuhan wajah sebelah kanan yang memberikan kesan parese N.VII kanan.
Berdasarkan skor House-Brackmann, pasien ini masuk ke dalam grade II, yaitu: kelopak mata
bisa menutup sempurna, bibir tampak asimetris, tidak ada sinkinesia. Pada grade ini pasien
kemungkinan besar dapat sembuh sempurna dengan pengobatan yang adekuat.
Pada pasien ini, penyebab kelumpuhan saraf tidak diketahui. Pasien menyangkal adanya
riwayat sakit batuk-pilek, atau penyakit kulit sebelumnya. Bell’s Palsy disebabkan oleh inflamasi
saraf fasialis pada beberapa tempat yang dilewati oleh nervus fasialis, seperti: foramen
stilomastoid, kanalis fasialis, dan ganglion genikulatum, sehingga menyebabkan kompresi,
iskemia, dan demielinasi saraf.5 Virus Herper Simpleks tipe-1 (HSV-1) dianggap sebagai
penyebab inflamasi tersebut. Berdasarkan penelitian menggunakan polymerase chain reaction
(PCR), 79% pasien Bell’s Palsy didapatkan adanya virus HSV-1, sedangkan virus herpes zoster
(HZV) hanya sekitar 13% kasus.6 Selain itu, Bell’s Palsy juga berkaitan erat dengan penyakit
mikrovaskuler dan paparan udara dingin. Pada pasien, disimpulkan penyebab terjadinya Bell’s
Palsy karena paparan udara dingin. Hal ini diketahui dari anamnesis, dimana pasien menuturkan
bahwa dia setiap hari berangkat bekerja pada pukul 5 pagi, menempuh jarak yang cukup jauh
menggunakan motor. Pasien tidak mengenakan helm yang menutup muka, dan hanya memakai
masker tipis untuk menutupi hidungnya dari debu.
Paparan udara dingin dapat mengiritasi N.VII, disebabkan karena terjadinya edema
nervus fasialis di kanalis fasialis. Nervus fasialis yang oedem ini, jika tertekan oleh tulang-tulang
tengkorak dapat menimbulkan gejala lower motor neuron seperti pada pasien.
Kelumpuhan saraf fasialis pada pasien ini masih dalam fase akut, yaitu terjadi 2 minggu
sebelum pemeriksaan. Dimana Bell’s Palsy dibedakan dalam 3 fase, yaitu:
16
Fase akut (0-3 minggu): inflamasi saraf fasialis berasal dari ganglion
genikulatum, foramen stilomastoid, atau kanalis fasialis, biasanya akibat infeksi
virus herpes simpleks (HSV). Inflamasi ini dapat meluas ke bagian proximal dan
distal serta dapat menyebabkan edema saraf
Fase sub-akut (4-9 minggu): inflamasi dan edema saraf fasialis mulai berkurang
Fase kronik ( lebih dari 10 minggu): edema pada saraf menghilang, tetapi pada
beberapa individu dengan infeksi berat, inflamasi pada saraf tetap ada sehingga
dapat menyebabkan atrofi dan fibrosis saraf.
Berdasarkan cerita pasien, pasien datang pertama kali ke poli saraf RSUD Budhi Asih,
sekitar 1 minggu setelah keluhan mata berair terus-menerus. Sebelumnya pasien sempat berobat
ke puskesmas dan poli mata, kemudian dirujuk ke poli saraf. Pasien diberikan terapi
kortikosteroid dan dikonsulkan ke poli rehab medik untuk menjalani fisioterapi. Pasien sudah
menjalani fisioterapi selama 6 kali dan keluhannya dirasakan sudah sangat berkurang.
Pada pasien ini diberikan pengobatan steroid yaitu metilprednisolon 2x8mg/hari selama
lima hari. Steroid baiknya diberikan 72 jam setelah onset terjadi, tapi pada pasien ini, karena
adanya keterlambatan pengobatan, maka dosis yang diberikan tidak berdasarkan kepustakaan
yaitu 1mg/KgBB/hari dan dosisnya dioptimalkan 70mg/hari untuk prednisolone. Hal ini
dilakukan untuk menghindari efek samping steroid.
Penggunaan steroid pada pasien Bell’s Palsy bertujuan untuk mengurangi kemungkinan
paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid dimulai
dalam 72 jam dari onset, dan harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis
pemberian prednisone dan prednisolone ialah 1mg/kgBB/hari secara oral selama lima hari,
dengan 4 hari tappering off. Maksimal pemberian untuk prednisone ialah 40-60mg/hari dan
prednisolone ialah 70mg/hari.12
Pada pasien ini juga diberikan metilcobalamin 2x500mg. Metilcobalamin berfungsi
sebagai obat neurotropik, dimana bentuk aktif dari vitamin B12 ini berperan dalam perbaikan
kerusakan sel saraf dan meningkatkan pembentukan sel saraf baru.
Beberapa penelitian menerangkan tentang pemberian terapi asiklovir sebagai kombinasi
dengan steroid pada Bell’s Palsy. Asiklovir sebaiknya diberikan jika pada pasien memang sudah
17
ada tanda-tanda infeksi virus sebelumnya, karena sebenarnya pemberian asiklovir tidak
menunjukkan perbaikan yang signifikan pada pasien Bell’s Palsy yang tidak didahului dengan
infeksi virus sebelumnya.
Fisioterapi dapat dilakukan pada stadium akut (kurang dari tiga minggu) atau bersamaan
dengan pemberian kortikosteroid. Tujuan fisioterapi adalah untuk mempertahankan tonus otot
yang lumpuh. Caranya yaitu dengan memberikan radiasi sinar infra red pada sisi yang lumpuh
dengan jarak 20 ft (60 cm) selama 10 menit. Terapi ini diberikan setiap hari sampat terdapat
kontraksi otot dan 2 kali dalam seminggu sampai tercapainya penyembuhan yang komplit.
Disamping itu juga dapat dilakukan massage pada otot wajah selama 5 menit pada pagi dan sore
hari.7
Pemeriksaan penunjang biasanya tidak dilakukan pada pasien dengan diagnosis kerja
Bell’s Palsy. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis Bell’s
Palsy, kecuali bila dicurigai adanya penyebab lain. Pemeriksaan radiologi tidak rutin dilakukan
pada kasus ini, kecuali adanya riwayat paralisis rekuren, curgia adanya lesi pada
Cerebellopontine Angle (CPA), terdapat kelainan pada telinga tengah (otitis media akut, otitis
media kronik, atau kolesteatom), ada riwayat trauma, serta pada pasien yang belum
menunjukkan perbaikan paralisisnya dalam 1 bulan.10
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bell’s Palsy digunakan sebagai prediktor kesembuhan.
Pada penelitian lain, didapatkan bahwa pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai
prognostic yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG
pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictive-value (PPV) 100%
dan negative-predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa
penurunan amplitude compound motor action potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf
fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral.11
Prognosis Bell’s Palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia pasien, dan derajat
kelumpuhan. Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s Palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan
50-60% kasus membaik dalam waktu 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus
fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat.. Kelumpuhan parsial (inkomplit)
mempunyai prognosis yang lebih baik. Anak-anak juga mempunyai prognosis yang lebih baik
18
disbanding orang dewasa. Sekitar 96,3% pasien Bell’s Palsy dengan House-Brackmann score
kurang dari derajat II dapat sembuh sempurna, sedangkan pada House-Brackmann lebih dari
derajat IV sering terdapat deformitas wajah yang permanen.8
Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s Palsy adalah:
Regenerasi motor inkomplit, yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan
paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis
Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan
pengecapan), ageusia ( hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau
sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal)
Reinervasi yang salah dari nervus fasialis. Hal ini dapat menyebabkan sinkinesis,
atau gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunteer; crocodile tear
phenomenon yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang
salah dari serabut otonom; clonic facial spasm (hemifacial spasm) yaitu timbul
kedutan secara tiba-tiba pada wajah.
Pada pasien, setelah pengobatan selama 1 minggu, sudah terjadi perbaikan yang berarti
dan grade House-Brackmann sudah mencapai grade II. Tidak ditemukan rasa baal di wajah
sebelah kanan, walaupun bibir pasien masih tampak mencong ke sebelah kiri dan kerutan dahi
sebelah kanan menghilang. Maka dari itu prognosis dari pasien adalah ad bonam. Berdasarkan
penelitian, kecil kemungkinan Bell’s Palsy untuk berulang. Dilaporkan terdapat 6% kasus Bell’s
Palsy yang mengalami rekurensi. Rekurensi ini dapat disebabkan oleh terserang virus kembali
atau aktifnya virus yang indolen di dalam saraf fasialis. Bila rekurensi terjadi pada sisi yang
sama dengan sisi yang sebelumnya, biasanya disebabkan oleh virus herpes simpleks. Rekurensi
meningkat pada pasien dengan riwayat Bell’s Palsy dalam keluarga. Umumnya rekurensi terjadi
setelah 6 bulan dari onset penyakit.9
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Vrabec JT, Coker NJ. Acute Paralysis of Facial Nerve in: Bailey BJ, Johnson JT,
Newland SD, editors. Head & Neck Surgery-Otolaryngology. 4th ed. Lippincott
Williams & Wilkins; Texas; 2006. P: 2139-54.
2. Marsk E, Hammarstedt L, Berg et al. Early Deterioration in Bell’s Palsy:
Prognosis and Effect of Prednisolone. Otology & Neurotology: 2010; 31: 1503-
07.
3. Peitersen E. The natural history of Bell's palsy. Am J Otol 1982;4:107-111.
4. Quinn FB. Facial Nerve Paralysis. Department of Otolaryngology, UTMB, Grand
Rounds. 1996.
5. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s Palsy: Diagnosis and Mangement. American
Family Physician. 2007;76(7): 997-1002.
6. Desatnik AS, Skoog E, Aurelius E. Detection of Herpes Simplex and Varicella-
Zoster in Patient With Bell’s Palsy by the Polymerase Chain Reaction
technique.Annals of Otology, Rhinology & Laryngology.2006;115(4):306-11.
7. Mosforth J, Taverner D. Physiotherapy for Bell’s Palsy. British Medical
Journal.1958;13: 675-7.
8. Yeo SW, Lee DH, Jun BC et al. Analysis of Prognostic factor in Bell’s Palsy and
Ramsay Hunt Syndrome. Auris Nasus Larynx, vol 34. 2007: 159-1643
29;2004 :553-557.
9. Chen WX, Wong V. Prognosis of Bell’s Palsy in Children-Analysis of 29 cases.
Brain & Development, vol 27.2005:504-8
10. Engstrom M, Berg T, Stjernquist A, et al. Prednisolone and Valaciclovir in Bell’s
Palsy: A Randomized, Double-blind, Placebo-Controlled, Multicentre Trial.
Lancet Neurol. 2008;7:993-1000
11. Grosheva M, Wittekindt C, Guntinas-Lichius O. Prognostic value of
electroneurography and electromyography in facial palsy. Laryngoscope.
2008;118:394-7.
12. Gilden DH. Clinical practice Bell’s Palsy. N Engl J Med. 2004;351:1323-31
20