case rscm revisi

23
BAB I PENDAHULUAN Gagal jantung masih merupakan masalah utama baik di negara maju maupun berkembang. Gagal jantung merupakan penyebab utama perawatan pasien di rumah sakit Amerika Serikat, dan merupakan kasus yang memakan biaya terbanyak per tahunnya. Sekitar 500.000 kasus baru ditemukan setiap tahun, dan tak kurang dari 5 juta orang di Amerika kini menderita gagal jantung. 1 Meskipun telah banyak kemajuan dan studi untuk terapi gagal jantung, namun penyakit ini tetap menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas yang tinggi. 2 Di Indonesia terdapat 1.687 pasien gagal jantung per tahun dengan angka rawat ulang sekitar 29%. 3 Berdasarkan data epidemiologi, sekitar 25% pasien gagal jantung disertai dengan gangguan konduksi intraventrikular, terutama Left Bundle Branch Block (LBBB). 4 Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) merupakan pilihan terapi gagal jantung sistolik kronik yang tidak memberi respon yang optimal dengan obat dan adanya bukti gangguan elektrik jantung. Dasar dari CRT adalah menyelaraskan pompa ventrikel kiri dan kanan. 5 Indikasi pemasangan CRT telah dikemukakan pada beberapa pedoman pengobatan gagal jantung. Keuntungan terbesar dari pemasangan CRT 1

Upload: harry-yusuf

Post on 11-Jul-2016

46 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

kardiologi

TRANSCRIPT

Page 1: Case Rscm Revisi

BAB I

PENDAHULUAN

Gagal jantung masih merupakan masalah utama baik di negara maju maupun

berkembang. Gagal jantung merupakan penyebab utama perawatan pasien di rumah

sakit Amerika Serikat, dan merupakan kasus yang memakan biaya terbanyak per

tahunnya. Sekitar 500.000 kasus baru ditemukan setiap tahun, dan tak kurang dari 5

juta orang di Amerika kini menderita gagal jantung.1 Meskipun telah banyak

kemajuan dan studi untuk terapi gagal jantung, namun penyakit ini tetap menjadi

penyebab morbiditas dan mortalitas yang tinggi.2 Di Indonesia terdapat 1.687 pasien

gagal jantung per tahun dengan angka rawat ulang sekitar 29%.3 Berdasarkan data

epidemiologi, sekitar 25% pasien gagal jantung disertai dengan gangguan konduksi

intraventrikular, terutama Left Bundle Branch Block (LBBB).4

Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) merupakan pilihan terapi gagal

jantung sistolik kronik yang tidak memberi respon yang optimal dengan obat dan

adanya bukti gangguan elektrik jantung. Dasar dari CRT adalah menyelaraskan

pompa ventrikel kiri dan kanan.5 Indikasi pemasangan CRT telah dikemukakan pada

beberapa pedoman pengobatan gagal jantung. Keuntungan terbesar dari pemasangan

CRT (hiperresponder) didapatkan pada pasien dengan komplek QRS lebar, LBBB,

wanita, dan kardiomiopati non-iskemik. Sedangkan respon terendah didapatkan pada

pasien dengan kompleks QRS sempit dan non-LBBB.6

Makalah ini menyajikan kasus pasien yang memenuhi kriteria responder.

Tujuan dari pemaparan kasus ini adalah membahas mengenai implantasi CRT mulai

dari indikasi, prediktor respon dan luaran pascaimplantasi.

1

Page 2: Case Rscm Revisi

BAB II

ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien usia 44 tahun dibawa ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit

Cipto Mangunkusumo ( IGD RSCM) dengan keluhan utama nyeri ulu hati yang

semakin memberat sejak kurang lebih 2,5 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS).

Nyeri ulu hati sebenarnya sudah dirasakan sejak tiga hari SMRS. Nyeri seperti

ditusuk-tusuk, hilang timbul, tidak dipengaruhi aktivitas maupun makanan. Nyeri

berkurang apabila pasien mengkonsumsi ISDN di bawah lidah. Demam tidak ada.

Nafsu makan biasa. Batuk tidak ada. Sesak ada, sesak bertambah saat beraktivitas,

pasien lebih nyaman apabila tidur dengan dua bantal, kadang pasien mengeluh

terbangun di malam hari karena sesak. Pasien juga mengeluh nyeri di dada sebelah

kiri, nyeri seperti ditekan, menjalar ke punggung, hilang timbul. Pasien mengeluh

dada terasa berdebar-debar dan berkeringat banyak. Mual ada, namun tidak muntah.

Buang air besar dan buang air kecil biasa.

Sejak 3 tahun yang lalu, pasien sering mengeluh dada terasa sesak, pasien

berobat ke Poli Jantung RSCM, dikatakan ada penyumbatan pembuluh darah di tiga

pembuluh darah. Pasien kemudian menjalani operasi CABG. Namun pasien masih

sering mengeluhkan nyeri dada setelah operasi. Setelah CABG, pasien sudah 3 kali

menjalani kateterisasi. Pasien rutin kontrol dan minum obat: Ascardia 1x160 mg,

Simarc 1x2 mg, Simvastatin 1x20 mg, Ativan 1x1 tablet, Laxadin 3x1 sendok takar,

Spironolakton 1x25 mg, Bisoprolol 1x2,5, ISDN 3x5 mg, Lasix 1x40 mg. Pasien

kemudian menjalani pemeriksaan ekhokardiografi. Pasien kemudian direncanakan

pasang CRTD, namun masih menunggu alat. Pasien sudah menjalani rawat inap

sebanyak 20 kali dalam tiga tahun terakhir.

Dari riwayat penyakit dahulu, tidak didapatkan riwayat menderita diabetes

mellitus, hipertensi, penyakit paru, penyakit ginjal. Pada riwayat penyakit keluarga,

tidak didapatkan riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi, penyakit

ginjal, asma. Pasien sudah menikah dan mempunyai 2 orang anak. Pasien

2

Page 3: Case Rscm Revisi

mempunyai kebiasaan merokok selama lebih dari 20 tahun, merokok 2 bungkus per

hari, rokok filter, namun sudah berhenti sejak 3 tahun yang lalu.

Dari pemeriksaan fisik di ruangan, pasien tampak sakit sedang, compos

mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 89 kali per menit, frekuensi

pernapasan 20 kali per menit, suhu 36,5 derajat Celcius, saturasi oksigen 99%

dengan oksigen 3 liter per menit melalui nasal kanul dan Visual Analog Scale (VAS)

1. Pemeriksaan mata, telinga, hidung, tenggorokan dan mulut tidak menunjukkan

adanya abnormalitas. Pada pemeriksaan leher didapatkan tekanan vena jugularis 5+0

cmH2O. Pemeriksaan KGB tidak ditemukan teraba. Pemeriksaan dinding dada tidak

menunjukkan adanya abnormalitas. Dari pemeriksaan paru tidak ditemukan adanya

abnormalitas. Pada pemeriksaan jantung kami menemukan bunyi jantung I dan II

reguler, terdapat murmur sistolik derajat 3/6 di katup trikuspid (punctum maximum).

Pada pemeriksaan abdomen kami dapatkan nyeri tekan epigastrium, hepar teraba 3

jari bawah lengkung kostae dan 2 jari bawah processus xyphoideus, konsistensi

kenyal, tepi tumpul. Kami tidak menemukan adanya edema pada pemeriksaan

ekstremitas. Dari pemeriksaan kelenjar getah bening (KGB), kami tidak

mendapatkan adanya KGB yang teraba. Pada pemeriksaan laboratorium saat pasien

masuk IGD didapatkan: Hb 15,4 g/dL, leukosit 8.980/mm3, trombosit 172.000/mm3.

Pemeriksaan hitung jenis: 1/3/3/55/28/11. PT: 15,7 (11,1) dan APTT: 46,9 (33,6);

ureum 36,9 mg/dL; kreatinin 0,8 mg/dL; elektrolit: Na/K/Cl 140/3,5/107. Asam urat:

10,4; SGOT/SGPT: 23/17; Albumin: 3,91 mg/dL; gula darah sewaktu: 120 mg/dL;

CK 54; CK-MB 17,4; Troponin T 11,71.

Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) tanggal 7 April 2015 didapatkan

interpretasi sebagai berikut: irama sinus, deviasi sumbu ke kiri, QRS rate 70 kali per

menit, gelombang P normal, interval PR 0,2 detik, durasi QRS 0,12 detik, inversi

gelombang T di I, aVL, V5, V6, ST depresi di I, aVL. LVH dan RVH tidak ada.

Premature Ventricular Contraction (PVC) ada RSR` di V5 dan V6. Gelombang Q di

II, III, aVF.

3

Page 4: Case Rscm Revisi

Gambar 1. EKG tanggal 7 April 2015

Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan ekokardiografi tanggal 24 Februari

2015 dengan hasil: pelebaran dimensi ruang jantung di atrium kiri dan ventrikel kiri,

diameter akhir diastolik (ED) 86 mm, diameter akhir sistolik (ES) 76 mm, dinding

ventrikel kiri tidak menebal; hipokinetik gerakan dinding ventrikel kiri di semua

segmen, terdapat regurgutasi trikuspid ringan, regurgitasi mitral ringan, regurgitasi

pulmonal ringan, terdapat penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri dengan fraksi

ejeksi 10 – 20 %, LV fungsi sitolik menurun, fungsi diastolik ventrikel kiri

pseudonormal, terdapat penurunan fungsi sistolik ventrikel kanan, nilai TAPSE 12

mm, tidak terdapat trombus, terdapat efusi pleura minimal. Pada analisa disinkroni

didapatkan perlambatan gerakan dinding ventrikel kiri dari septum ke posterior D-

shaped LV, diskinetik septal tidak dapat dinilai. Terdapat perlambatan

intraventrikuler RVOT vs LVOT : RVOT lebih cepat dari LVOT 48 ms.; LV pre

ejection interval ( LVPEI) onset QRS to onset LVOT 185 ms; Tissue doppler

septal vs lateral left ventrikel septal lebih dulu dibanding lateral 16 ms. Pada

4

Page 5: Case Rscm Revisi

pemeriksaan kor angiografi didapatkan Coronary Artery Disease (CAD) 3 Vessels

Disease (VD) dan Left Main Disease post CABG.

Daftar masalah pada pasien ini adalah angina pektoris tidak stabil Grace 76 -

Killip 2, Coronary Artery Disease 3 Vessels Disease post CABG (2012), CHF FC II

dengan low EF (10-20%), dispepsia, hiperurisemia asimtomatik, hepatomegali

dengan abdominal pain, PVC jarang, LBBB. Pada hari perawatan kedua di ruangan,

pasien mengeluh nyeri di dada kiri seperti tertusuk disertai nyeri ulu hati. Skala nyeri

visual saat itu adalah 10, tekanan darah 80/50 mmHg dengan nadi 89 kali per menit,

dan frekuensi napas 26 kali per menit. Tidak terdapat perubahan pada pemeriksaan

EKG. Pasien didiagnosis sebagai syok kardiogenik, angina pektoris tidak stabil

dengan riwayat angina pektoris tidak stabil berulang Grace 76 Killip 2, CAD 3 VD

post CABG (2012), CHF fc II dengan low EF (10 – 21%), dispepsia, hiperurisemia

asimtomatik, hepatomegali dengan abdominal pain, PVC jarang, LBBB. Pasien

mendapat terapi oksigen 3 liter per menit via nasal kanul, dobutamin dengan dosis 3

µg/kgBB/menit, morfin bolus 2,5 mg dilanjutkan drip 7,5 mg per 24 jam. Pasien

kami konsulkan ke divisi kardiologi, disarankan untuk alih rawat ke ICCU, dapat

diberikan inotropik, morfin dapat dilanjutkan. Pada evaluasi hari ketiga, keluhan

nyeri dada berkurang, VAS 2, hemodinamik mulai baik, dobutamin dan morfin

mulai dihentikan, pasien disarankan untuk persiapan pemasangan CRT-D. Pasien

mendapat anti koagulan (Enoxaparin) selama tujuh hari. Pada hari perawatan ke

tujuh, pasien tidak merasakan keluhan nyeri dada maupun sesak. Keluhan nyeri ulu

hati juga sudah hilang, Enoxaparin dihentikan dan diganti dengan pemberian heparin

2x5000 unit sub kutan. Selama perawatan pemasangan CRT-D belum mampu

laksana karena masalah administrasi sehingga pada hari perawatan ke-11, pasien

dipulangkan dan direncanakan pemasangan CRT-D dari Poliklinik Jantung Terpadu

RSCM.

5

Page 6: Case Rscm Revisi

BAB III

DISKUSI

Terapi resinkronisasi saat ini telah berkembang pesat dalam hal teknologi dan

indikasi. Pada awalnya terapi resinkronisasi hanya ditujukan bagi pasien dengan

gangguan irama berupa bradikardia simptomatik, baik oleh karena kelainan fungsi nodus

sinus maupun hambatan konduksi setingkat nodus atrioventrikular. Namun dalam

dekade terakhir ini terapi resinkronisasi telah mengalami perluasan pemakaian yaitu

untuk pasien dengan gagal jantung kronik yang dikenal sebagai Cardiac

Resynchronization Therapy (CRT).6 Saat ini CRT telah menjadi terapi baku pada gagal

jantung sistolik kronik yang tidak membaik dengan obat. Data hasil survei tahun 2009

mencatat jumlah pemasangan CRT pada tahun tersebut di kawasan Asia-Pasifik adalah

1.827.7

A. Patofisiologi disinkronisasi jantung

Disinkroni jantung merupakan hal yang kompleks dari berbagai perspektif.

Pemanjangan interval atrioventrikular pada saat kontraksi sistolik dapat mengganggu

pengisian diastolik awal. Tekanan atrium tiba–tiba menurun pada saat relaksasi atrium.

Jika kontraksi ventrikel terlambat, tekanan diastolik ventrikel kiri akan melebihi tekanan

atrium dan menyebabkan regurgitasi mitral diastolik. Hilangnya preload ventrikel

mengurangi kontraktilitas ventrikel kiri karena hilangnya mekanisme Starling.

Perlambatan konduksi inter- dan intra-ventrikular menyebabkan disinkroni kontraksi

dinding ventrikel kiri, gangguan efisiensi jantung dan menurunkan volume sekuncup

dan tekanan darah sistolik. Koordinasi otot papilaris yang buruk akan menyebabkan

regurgitasi mitral sistolik fungsional. Gangguan tersebut menyebabkan remodeling

ventrikel kiri yang buruk.7

CRT membantu mempertahankan sinkroni atrioventrikular, sinkroni inter- dan

intra- ventrikular, memperbaiki fungsi ventrikel kiri, menurunkan regurgitasi mitral

fungsional, menginduksi reverse remodeling ventrikel kiri. Hal ini dibuktikan dengan

6

Page 7: Case Rscm Revisi

meningkatnya waktu pengisian ventrikel kiri dan fraksi ejeksi ventrikel kiri, serta

menurunnya volume sistolik akhir dan diastolik akhir, regurgitasi mitral dan diskinesia

septum.6

B. Indikasi

Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh European Society of Cardiology

(ESC) pada tahun 2012 mengenai diagnosis dan tatalaksana gagal jantung akut dan

kronik, CRT direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan irama sinus, kelas

fungsional NYHA III dan IV, fraksi ejeksi ventrikel kiri yang secara persisten

berkurang, walaupun telah mendapatkan terapi farmakologi yang optimal. Pada pasien

dengan morfologi EKG LBBB, durasi QRS ≥120 mdet, dan fraksi ejeksi ≤35%, yang

diperkirakan akan bertahan hidup dengan status fungsional yang baik untuk > 1 tahun,

untuk mengurangi risiko rawat inap dan kematian dini. Begitu pula pasien dengan kelas

fungsional NYHA II, dengan morfologi QRS LBBB, durasi QRS ≥ 130 mdet, fraksi

ejeksi ≤ 30%, yang diperkirakan akan bertahan hidup dengan status fungsional yang

baik, untuk mengurangi risiko rawat inap karena gagal jantung dan risiko kematian dini

dengan kelas rekomendasi adalah 1A. Adapun alur tatalaksana untuk pasien gagal

jantung dapat dilihat pada Gambar 2.8

Dalam dua dekade terakhir terdapat kemajuan signifikan dalam hal terapi

farmakologis gagal jantung, sehingga mortalitas dan perawatan ulang berkurang. Meski

demikian data observasional masih menunjukkan angka morbiditas dan mortalitas gagal

jantung yang tinggi.2,5 Selain farmakologis, terapi gagal jantung dengan alat/device juga

menunjukkan hasil signifikan yang terbukti dari berbagai studi. Beberapa studi

membuktikan bahwa CRT mampu memberi perbaikan pada kualitas hidup dan kelas

NYHA. Studi terdahulu membuktikan adanya perbaikan fungsi ventrikel kiri (fraksi

ejeksi). Angka kematian akibat gagal jantung juga terbukti menurun, seperti dibuktikan

dalam studi beberapa studi. Perawatan ulang dibuktikan menurun signifikan pada studi

beberapa studi. Sinkronisasi ventrikel oleh CRT akan meningkatkan isi sekuncup, fraksi

ejeksi, mengurangi derajat regurgitasi mitral, mengurangi tekanan atrium kiri,

mengurangi wall stress dan remodelling, mengurangi insiden aritmia serta

meningkatkan pengisian ventrikel tanpa meningkatkan penggunaan oksigen.9

7

Page 8: Case Rscm Revisi

Gambar 3 Pilihan terapi pada pasien dengan gagal jantung kronik simtomatik.6

Apabila kondisi pasien dihubungkan dengan algoritma yang dibuat oleh

pedoman ESC, tampak pasien telah mendapatkan terapi diuretik untuk mengurangi

gejala kongesti, juga telah diberikan penyekat enzim konversi angiotensin (ACE-

inhibitor) dalam dosis optimal, pemberian beta blocker dalam dosis optimal. Dengan

dosis obat yang optimal, pasien masih mengalami NYHA kelas fungsional II dengan

tingkat rawat inap ulang yang tinggi tiap tahunnya. Pada pasien fraksi ejeksi ventrikel

kiri diketahui 10 – 20 %. Pada EKG pasien didapatkan 0,12 detik sehingga berdasar

algoritma pasien terindikasikan untuk dilakukan pemasangan CRT-P atau CRT-D.

8

Page 9: Case Rscm Revisi

C. Parameter untuk Menilai Respon CRT

Kematian merupakan hal yang tidak terhindarkan, namun salah satu luaran terapi

adalah peningkatan survival. Beberapa studi menunjukkan berkurangnya angka

kematian pada pasien gagal jantung lanjut yang dilakukan pemasangan CRT.11

Dari sudut pandang pasien, sesak napas dan nyeri dada merupakan gejala yang

membatasi aktivitas dan merupakan hal tersering yang menyebabkan konsultasi ke

dokter. Pada salah satu studi menunjukkan CRT mengurangi gejala hanya pada pasien

dengan NYHA kelas fungsional III atau lebih, dan tidak menunjukkan dampak pada

pasien dengan NYHA kelas fungsional I atau II jika dibandingkan dengan terapi

medikamentosa yang optimal.12 Namun penelitian lain mengatakan terdapat 20-30%

pasien dengan NYHA kelas fungsional III atau IV yang tidak menunjukkan respon

terhadap CRT.13

Sejak pertama kali CRT dikenalkan, reverse remodeling ventrikel kiri telah

diidentifikasi sebagai salah satu kunci dari efek menguntungkan yang terkait CRT. Suatu

studi menunjukkan volume akhir sistolik ventrikel kiri (LVESV) yang berkurang sekitar

10% setelah CRT menghasilkan luaran yang sangat baik, dan pasien yang menunjukkan

reverse remodeling yang signifikan, memiliki angka bertahan hidup hampir 90% dalam

3 tahun dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami reverse remodeling hanya

50%.5 Dari penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat rawat inap ulang dan kematian

sangat berkaitan dengan perubahan pada LVESV; pasien yang masih menunjukkan

dilatasi pada saat LVESV memiliki angka kejadian tertinggi (sekitar 70% dalam 3

tahun) dibandingkan dengan yang menunjukkan perubahan bermakna dari LVESV

(sekitar 6% dalam 3 tahun).6 Dengan menggunakan reverse remodeling sebagai luaran

CRT, nilai respon tampaknya independen terhadap nilai kelas fungsional NYHA,

bahkan lebih rendah pada pasien dengan gagal jantung lanjut. Gambar 4 menunjukkan

bukti pada penelitian-penelitian mengenai hal tersebut.7

9

Page 10: Case Rscm Revisi

Gambar 3. Perubahan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri setelah CRT pada pasien

gagal jantung dengan kelas fungsional NYHA yang berbeda. Dibandingkan dengan

fraksi ejeksi sebelum CRT (batang biru), terdapat peningkatan fraksi ejeksi yang

bermakna pada seluruh studi setelah 3-6 bulan terapi (batang merah) atau selama

pemantauan yang lebih lama (batang hijau).7

D. Prediktor Respon CRT

Dalam memprediksi respon terapi maka mekanisme yang mendasari dari terapi

harus dimengerti dengan baik. Pemahaman mengenai pengaruh seluler, biologis, atau

faktor-faktor biohumoral dalam respon CRT masih terbatas namun diharapkan

berkembang untuk kedepannya.7

Aturan lebar kompleks QRS merupakan kunci yang menentukan respon terhadap

CRT. Beberapa penelitian secara konsisten menunjukkan CRT secara progresif kurang

efektif dalam mengurangi LVESV, frekuensi rawat inap, dan laju kematian, seiring

dengan berkurangnya lebar kompleks QRS. Pada nilai 120-140 mdet, odds ratio untuk

semua penyebab kematian mendekati 1, dan tidak ada perubahan yang tampak pada

fraksi ejeksi maupun LVESV.13

10

Page 11: Case Rscm Revisi

Tabel 1 Outcome CRT pada berbagai kelas fungsional NYHA7

Salah satu penelitian menunjukkan EKG berpola LBBB tipikal merupakan

prediktor kuat untuk respon terhadap CRT.13 Manfaat CRT pada pola seperti LBBB,

mirip dengan pasien dengan LBBB pada model eksperimental. Indeks ekhokardiografi

disinkroni terbaik menunjukkan konfigurasi LBBB pada EKG merupakan prediktor

respon terhadap CRT. CRT menjadi kurang efektif dalam memperbaiki hemodinamik

pada model binatang RBBB.7 Pada pasien RBBB, CRT hanya memberikan sedikit

pengurangan angka rawat inap namun memiliki angka kematian yang lebih tinggi, atau

memiliki kejadian aritmia mayor yang lebih tinggi dibandingkan grup kontrol (hanya

ICD).9 Oleh karena itu, konfigurasi LBBB merupakan kriteria yang sangat penting, lebar

kompleks QRS hanya mengindikasikan beratnya gangguan konduksi.

11

Page 12: Case Rscm Revisi

Gambar 4. Kemungkinan untuk respon terhadap CRT.7

Hal lain yang merupakan prediktor respon CRT adalah jumlah jaringan ikat yang

merupakan prediktor kuat untuk non-respon. Beberapa pemeriksaan dibutuhkan untuk

mengukur lokasi dan besarnya jaringan ikat, diantaranya adalah MRI.7

Situasi setelah implantasi CRT penting untuk memprediksi respon terhadap

CRT. Kriteria yang sangat jelas adalah munculnya bukti elektrikal dan mekanikal dari

resinkronisasi. Hal ini dapat dilihat dari berkurangnya durasi QRS dan perubahan bentuk

QRS (indikasi adanya fusi dari gelombang aktivasi ventrikel kiri dan kanan). Fusi yang

sesuai membutuhkan posisi lead yang tepat. Penelitian menunjukkan pemacuan pada

dinding posterolateral dapat mencapai respon mekanis yang paling baik terhadap CRT.7

Melihat dari kasus yang telah dipaparkan, pasien laki-laki, usia 44 tahun dengan

diagnosis CHF FC II dengan low EF (10–20 %) dan CAD 3 VD post CABG (iskemik).

Pasien sering mengalami sesak napas dan nyeri dada, serta sudah 20 kali menjalani

perawatan, pada pasien diputuskan untuk dilakukan pemasangan CRT-D, dan

diharapkan terjadi perubahan kelas fungsional yang signifikan dan berkurangnya

dimensi ruang jantung.

12

Page 13: Case Rscm Revisi

BAB IV

KESIMPULAN

Gagal jantung merupakan masalah utama kardiovaskuler yang menyebabkan morbiditas

dan mortalitas yang tinggi meskipun telah banyak kemajuan terapi gagal jantung.

Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan radiologi, elektrokardiografi serta ekokardiografi. Terapi farmakologis

telah berkembang pesat sebagai terapi awal pada gagal jantung kronik, namun beberapa

kasus tidak memberikan respon yang optimal. Cardiac Resynchronization Therapy

(CRT) merupakan salah satu terapi mekanik pada gagal jantung yang tidak mendapat

respon optimal dengan terapi farmakologis dan terdapat bukti adanya disinkroni

ventrikel.

Pada kasus ini, diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan berdasarkan adanya keluhan-

keluhan yang mengarah pada gejala dan tanda gagal jantung, riwayat adanya coronary

artery disease dan sudah dikonfirmasi dari pemeriksaan ekokardiografi yang ditandai

penurunan fraksi ejeksi. Pada pemeriksaan elektrokardiografi juga ditemukan adanya

LBBB yang dapat menimbulkan disinkroni kontraksi ventrikel kiri dan kanan. Pasien

diterapi dengan terapi farmakologi sesuai guideline ESC dan dipulangkan dari

perawatan ketika gejala klinis perbaikan dengan perencanaan dilakukan pemasangan

CRT-D. Tata laksana aktual pasien pada kasus ini sudah sesuai dengan telaah literatur.

13

Page 14: Case Rscm Revisi

DAFTAR PUSTAKA

1. Aronow WS. Epidemiology, Pathophysiology, Prognosis, and Treatment of

Systolic and Diastolic Heart Failure. Cardiology in Review 2006; 14:108–24

2. Scow DT, Smith ED Snaughnessy AF, Combination Therapy with

Angiotensin Converting Enzyme and Angiotensin Receptor Blocker in Heart

Failure, Am Fam Physician 2003; 68: 1795-8

3. Siswanto BS S, Munawar M, Kusmana D, Hanafiah A, Waspadji A. Predictor

of mortality and rehospitalization of acute decompensated heart failure at six

months follow up. Critical care and Shock. 2006;9:61-67

4. Eriksson P, Hansson PO, Eriksson H, Dellborg M. Bundle-branch block in a

general male population: The study of men born 1913. Circulation.

1998;98:2494-2500

5. Epstein AE, DiMarco JP, Ellenbogen KA, Estes NA, Freedman RA, Gettes

LS, et al, American College of Cardiology/American Heart Association Task

Force on Practice G, American Association for Thoracic S, Society of

Thoracic S. Acc/aha/hrs 2008 guidelines for device-based therapy of cardiac

rhythm abnormalities: A report of the american college of

cardiology/american heart association task force on practice guidelines

(writing committee to revise the acc/aha/naspe 2002 guideline update for

implantation of cardiac pacemakers and antiarrhythmia devices): Developed

14

Page 15: Case Rscm Revisi

in collaboration with the american association for thoracic surgery and

society of thoracic surgeons. Circulation. 2008;117:e350-408

6. Hanafy DA, Rahadian A, Tondas AE, Hartono B, Tanubudi D, Munawar M,

Yamin M, Raharjo SB, Y Y. Pedoman terapi memakai alat elektronik

kardiovaskular implan (aleka). Jakarta: Centra Communications; 2014:39-63.

7. Brignole M, Auricchio A, Baron-Esquivias G, Bordachar P, Boriani G,

Breithardt OA, et al. 2013 esc guidelines on cardiac pacing and cardiac

resynchronization therapy: The task force on cardiac pacing and

resynchronization therapy of the european society of cardiology (esc).

Developed in collaboration with the european heart rhythm association

(ehra). European heart journal. 2013;34:2281-2329

8. McMurray JJ, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Bohm M, Dickstein

K, et al. Esc guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic

heart failure 2012: The task force for the diagnosis and treatment of acute and

chronic heart failure 2012 of the european society of cardiology. Developed

in collaboration with the heart failure association (hfa) of the esc. European

journal of heart failure. 2012;14:803-869

9. Brignole M, Auricchio A, Baron-Esquivias G, Bordachar P, Boriani G,

Breithardt OA, et al. 2013 esc guidelines on cardiac pacing and cardiac

resynchronization therapy: The task force on cardiac pacing and

resynchronization therapy of the european society of cardiology (esc).

Developed in collaboration with the european heart rhythm association

(ehra). European heart journal. 2013;34:2281-2329

10. Yu CM, Hayes DL. Cardiac resynchronization therapy: State of the art 2013.

European heart journal. 2013;34:1396-1403

11. Dreger H, Maethner K, Bondke H, Baumann G, Melzer C. Pacing-induced

cardiomyopathy in patients with right ventricular stimulation for >15 years.

Europace : European pacing, arrhythmias, and cardiac electrophysiology :

journal of the working groups on cardiac pacing, arrhythmias, and cardiac

cellular electrophysiology of the European Society of Cardiology.

2012;14:238-242

15

Page 16: Case Rscm Revisi

12. Curtis AB. Biventricular pacing for atrioventricular block and systolic

dysfunction. The New England journal of medicine. 2013;369:579

13. Moss AJ, Hall WJ, Cannom DS, Klein H, Brown MW, Daubert JP, Estes NA,

3rd, Foster E, Greenberg H, Higgins SL, Pfeffer MA, Solomon SD, Wilber D,

Zareba W, Investigators M-CT. Cardiac-resynchronization therapy for the

prevention of heart-failure events. The New England journal of medicine.

2009;361:1329-1338

16