refka 2

11
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Palu, Oktober 2014 FKIK Universitas Tadulako Rumah Sakit Umum Daerah Undata REFLEKSI KASUS Nama : Siti Rahma, S. Ked Stambuk : N 101 10 020 Pembimbing Klinik : dr. Andi Soraya T.U., M.Kes., Sp.KJ DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU

Upload: echa-aditya

Post on 09-Nov-2015

9 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

refka

TRANSCRIPT

Bagian Ilmu Kedokteran JiwaPalu, Oktober 2014FKIK Universitas TadulakoRumah Sakit Umum Daerah Undata

REFLEKSI KASUS

Nama:Siti Rahma, S. Ked Stambuk:N 101 10 020Pembimbing Klinik:dr. Andi Soraya T.U., M.Kes., Sp.KJ

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWAFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS TADULAKOPALU2014

REFLEKSI KASUSIdentitas PasienNama: Tn. KRJenis kelamin: Pria Usia: 27 tahun Alamat: Jl. Anoa Lrg. SahetiStatus pernikahan: Belum MenikahPendidikan terakhir: Mahasiswa S1Pekerjaan: Tidak AdaAgama: IslamTanggal Pemeriksaan: 13 Oktober 2014

I. Deskripsi KasusTn. KR, berusia 27 tahun datang ke poli jiwa RSU Anutapura dengan keluhan nyeri perut dan sakit pada tulang belakang. Keluhan ini muncul dengan sejak 1 minggu lalu. Nyeri perut dirasakan diatas umbilikus dan terasa seperti luka tusuk. Nyeri di tulang belakang dirasakan tiba-tiba. Pasien datang ke poliklinik jiwa RSU Anutapura untuk yang kedua kalinya.Sebelumnya pasien masuk RSU Anutapura dengan keluhan sesak napas, cemas, takut, kepala terasa ringan, nyeri pada mata dan telinga serta susah tidur selama 3 bulan. Setelah dirawat selama 3 hari, pasien mengeluh susah tidur dan akhirnya dikonsulkan ke poli jiwa. Pasien juga mengeluh merasakan cemas, gelisah, dan kadang-kadang sedih namun tidak lagi ia rasakan setelah diberikan terapi oleh dokter spesialis kedokteran jiwa. Sekitar beberapa tahun yang lalu ayah pasien meninggal dunia. Ibu kandungnya berada di luar kota dan sedang menderita gangguan jiwa. Ia memiliki 4 saudara kandung dan 2 saudara tiri. Ia merupakan anak pertama. Pasien juga mengeluh memiliki masalah dengan teman di kampusnya. Namun menurut pasien masalah tersebut sudah terselesaikan.

II. Emosi yang terlibatKasus ini menarik untuk dibahas karena pasien sulit diwawancara karena gejala yang dirasa sudah hilang dan pasien hanya menjawab seadanya.

III. Analisisa. DiagnosisPasien datang ke poli jiwa untuk kontrol yang kedua kalinya. Pasien kini merasa nyeri perut dan kadang-kadang sakit pada tulang belakang. Sebelumnya pasien konsul ke poli jiwa karena keluhan susah tidur, cemas, gelisah. Pasien masuk RSU Anutapura dengan keluhan sesak napas, kepala terasa ringan, cemas, takut, nyeri pada mata dan telinga. Namun pasien sudah mendapatkan terapi untuk keluhannya ini dan sudah mengalami perbaikan yang signifikan.Diagnosis multiaksialAksis I: berdasarkan PPDGJ-III pasien ini dapat didiagnosis F41.2 Gangguan Anxietas Campuran LainnyaAksis II: Ciri kepribadian: pasien mengaku suka bergaul seperti teman-teman lainnya.Aksis III: tidak adaAksis IV: tidak adaAksis V: 70-61 beberapa kesulitan dalam okupasional dan bersekolah (pasien belum bisa bekerja dan kuliah lagi) namun secara umum dapat berfungsi cukup baik, memiliki sejumlah hubungan interpersonal yang berarti.

b. Tinjauan pustakaDalam praktek sehari-hari, baik pada praktek umum maupun praktek spesialis, sebagian besar pasien datang dengan keluhan fisik. Pasien yang datang ke tempat praktek, seringkali tidak didapatkan kelainan organik yang bermakna, sehingga dokter membuat diagnosis sesuai dengan keluhan pasien. Dokter biasanya baru menyadari adanya gangguan psikiatri setelah dilakukan berbagai macam pemeriksaan dan pengobatan tanpa hasil yang memuaskan. Bila sejak awal sudah dilakukan pendekatan psikosomatik pada setiap pasien yang datang berobat, baik dengan penyakit organik atau tanpa adanya penyakit organik, hal ini tidak akan terjadi.(2)Gangguan psikiatri terutama cemas dan depresi banyak dilaporkan terjadi pada gangguan gastrointestinal fungsional, paling sering pada kasus dispepsia dan Irritable Bowel Syndrome (IBS). Peranan faktor psikologis cukup besar pada perjalanan penyakit ini, walaupun sulit untuk dikatakan sebagai hubungan kausatif.(3)Gangguan ansietas memiliki dua komponen: kesadaran akan sensasi fisiologis (seperti palpitasi dan berkeringat) serta kesadaran bahwa ia gugup atau ketakutan. Selain pengaruh viseral dan motorik, ansietas memengaruhi pikiran, persepsi, dan pembelajaran. Aspek penting emosi adalah efeknya pada selektivitas perhatian. Orang yang mengalami ansietas cenderung memperhatikan hal tertentu di dalam lingkarannya dan mengabaikan hal lain dalam upaya untuk membuktikan bahwa mereka dibenarkan untuk menganggap situasi tersebut menakutkan. Jika keliru dalam membenarkan rasa takutnya, mereka akan meningkatkan ansietas dengan respons yang selektif dan membentuk lingkaran setan ansietas, persepsi yang mengalami distorsi, dan ansietas yang meningkat.(5)Secara ilmu psikologis terdapat tiga teori psikologis utama yaitu teori psikoanalitik, teori kognitif perilaku, dan teori eksistensial. Teori psikoanalitik berdasarkan Sigmund Freud yang menyimpulkan bahwa ansietas dipandang sebagai akibat konflik psikik antara keinginan tidak disadari yang bersifat seksual atau agresif dan ancaman terhadap hal tersebut dari superego atau realitas eksternal. Sebagai respon terhadap sinyal ini, ego memobilisasi mekanisme pertahanan untuk mencegah pikiran dan perasaan yang tidak dapat diterima agar tidak muncul ke kesadaran.(5)Menurut teori perilaku-kognitif, ansietas adalah respon yang dipelajari terhadap stimulus lingkungan spesifik. Pasien dengan gangguan ansietas cenderung memperkirakan secara berlebihan derajat bahaya dan kemungkinan kerusakan pada situasi tertentu serta cenderung meremehkan kemampuan mereka dalam menghadapi ancaman yang dirasakan pada kesejahteraan fisik atau psikologis mereka.(5)Teori eksistensial ansietas memberikan model untuk gangguan ansietas menyeluruh, tanpa adanya stimulus spesifik yang dapat diidentifikasi untuk perasaan cemas kronisnya. Konsep pusat teori eksistensial adalah bahwa orang menyadari rasa kosong yang mendalam di dalam hidup mereka, perasaan yang mungkin bahkan lebih membuat tidak nyaman daripada penerimaan terhadap kematian yang tidak dapat dielakkan.(5)Menurut ilmu biologis, satu kutub pemikiran meyakini bahwa perubahan biologis yang dapat diukur pada pasien dengan gangguan ansietas mencerminkan hasil konflik psikologi; sedangkan kutub yang lain meyakini bahwa peristiwa biologis mendahului konflik psikologis. Misalnya stimulasi sistem saraf otonom menimbulkan gejala tertentu seperti takikardi (kardiovaskular), sakit kepala (muskular), diare dan nyeri ulu hati (gastrointestinal), dll. Selain itu, terdapat tiga neurotransmiter utama yang mengalami disregulasi yang terkait dengan ansietas yaitu peningkatan norepineprin, peningkatan serotonin, dan penurunan aktivitas GABA.(6)c. TerapiGangguan ansietas menyeluruh, gangguan penyesuaian dengan ansietas dan keadaan ansietas lainnya merupakan penerapan klinis utama untuk benzodiazepin di dalam psikiatri dan praktik medis umum. Sebagian besa pasien sebaiknya diterapi untuk suatu periode yang relatif singkat, spesifik, dan sebelumnya telah ditentukan. Klinisi mungkin lebih cenderung memberikan terapi berdasarkan gejala yang timbul, keparahannya, dan tingkat pengalaman klinisi tersebut dengan berbagai modalitas terapi.(2)Benzodiazepin pada penggunaan klinis memiliki kapasitas untuk menguatkan ikatan neurotransmiter inhibitori utama asam gamma-aminobutirat (GABA) pada reseptor GABAA, sehingga mempercepat arus ionik terinduksi-GABA melalui saluran ini. Semua efek benzodiazepin dihasilkan oleh kerjanya pada sistem saraf pusat (SSP). Efek-efek ini yang paling dominan adalah sedasi, hipnosis, penurunan ansietas; relaksasi otot, amnesia anterograde, dan aktivitas antikonvulsan.(3)Selain itu, serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI) adalah agen antiansietas yang efektif dan tidak memiliki potensi penyalahgunaan, meskipun efek ansietasnya memerlukan waktu 2 hingga 4 minggu untuk timbul.(3)Pengobatan untuk pasien ini bisa ditambahkan dengan memberikan obat yang menurunkan gejala nyeri perut atau nyeri ulu hati seperti obat golongan PPI (omeprazol, lazoprazol) atau antihistamin H2 (ranitidin, simetidin).IV. KesimpulanBerdasarkan kasus ini, hal yang bisa dijadikan sebagai pembelajaran adalah bagaimana berkomunikasi yang baik dengan pasien sehingga masalah utama yang dirasakan pasien dapat kita ketahui dan rasakan. Kesulitan dalam melakukan wawancara sebaiknya direfleksikan pada diri bahwa mungkin pasien masih belum percaya pada kita untuk menceritakan masalahnya. Hal ini penting karena menjadi dasar pada pengobatan psikologis pasien.

Daftar Pustaka1. Maslim R (ed). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, PT Nuh Jaya; 2001.2. Noerhidajati E, Izzudin, Djagat H. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Amplifikasi Somatosensori Pada Penderita dengan Keluhan Nyeri Ulu Hati. Sains Medika Jurnal Kesehatan, 2010: 2 (2); 178-192.3. Utama H (ed). Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 20134. Sadock B J, Sadock V A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta; 2010.