refer at
DESCRIPTION
imunologi abortusTRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
Sistem imun dan reproduksi saling berkaitan pada berbagai tingkatan. Mulai dari
saat pembuahan sampai saat laktasi. Peranan utama dari sistem imun adalah untuk
memberikan perlindungan tubuh terhadap pengaruh benda asing dan hasil toksiknya.
Untuk itu diperlukan kemampuan tubuh dalam membedakan antara self dan nonself
antigen. Dalam ilmu kebidanan, dipandang dari sudut imunologi, adanya janin dalam
tubuh ibu sampai usia kehamilan aterm merupakan suatu keajaiban sehingga pasti ada
adaptasi iumn selama kehamilan untuk menyelamatkan janin sementara tubuh ibu sendiri
tetap mempunyai kemampuan untuk melawan infeksi yang mungkin terjadi. Sementara
itu, beberapa penyakit yang dialami ibu ternyata memberikan kekebalan yang dapat
diteruskan kepada janin selama kehamilan maupun laktasi.
PENGERTIAN DASAR-DASAR IMUNOLOGITubuh manusia dilengkapi dengan mekanisme faali imunitas yaitu, kemampuan
untuk mengenal suatu zat sebagai benda asing terhadap dirinya yang selanjutnya akan
mengadakan tindakan dalam bentuk netralisasi, melenyapkan atau memasukan ke dalam
proses metabolisme dengan akibat yang akan menguntungkan atau menimbulkan
kerusakan jaringan. Sel dan molekul yang bertanggung jawab atas imunitas disebut sistem
imun dan respon komponennya secara bersama dan terkoordinasi disebut respon imun.
Bila sistem imun terpapar pada zat yang dianggap asing, maka ada dua jenis respon imun
yang mungkin terjadi, yaitu: respon imun spesifik dan respon imun nonspesifik. Respon
imun nonspesifik umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity) dalam arti
bahwa respon terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah
terpapar pada zat tersebut. Respon imun spesifik merupakan respon imun di dapat
(acquired) yang timbul terhadap antigen tertentu. Dibandingkan dengan respon imun
nonspesifik, respon imun spesifik mempunyai kelebihan berupa diversitas sangat besar,
tingkat spesialisasi tinggi dan memiliki memory. Kedua jenis respon diatas saling
meningkatkan efektivitas dan menunjukkan bahwa respon imun yang terjadi sebenarnya
merupakan interaksi antara satu komponen dengan komponen lain yang terdapat dalam
sistem imun.(1,3,4)
1
Respon imun spesifik dibagi dalam 3 golongan,yaitu:
1. Sistem imunitas humoral :
Dilaksanakan oleh sel B dan produknya, yaitu antibodi dan berfungsi dalam
pertahanan terhadap mikroba ekstrasesular.
2. Sistem imunitas seluler :
Dilaksanakan oleh limfosit T, berfungsi untuk melawan mikroorganisme
intraseluler.
3. Interaksi antara respon imun seluler dengan respon imun humoral :
Salah satunya disebut antibody dependent ceel mediated cytotoxicity (ADCC).
Dalam hal ini antibodi berfungsi melapisi antigen sasaran (opsonisasi), sehingga
sel NK (natural killer) yang mempunyai reseptor terhadap fragmen Fc antibody
tersebut dapat melekat pada sel atau antigen sasaran. Pengikatan sel NK melalui
reseptornya pada kompleks antigen-antibodi mengakibatkan sel NK dapat
menghacurkan sel sasaran melalui pelepasan berbagai enzim, sitolisin, reactive
oxygen intermediates dan sitokin, langsung pada sasaran..
Diferensiasi dan Maturasi sel T dan B (dikutip dari Roitt,1994)Fase tdk Fase maturasiTergantung tergantung stimulasi AgStimulasi Ag
Stem Cell Timus Sel Imunokom Jaringan limfoid sekunder
Peten di sirku Lasi darah
CD4/8 CD4/8 Sel T Sel Memori
Kortex Medula Sel T/B Sumsum Tulang
Sel Efektor
Pre B B Imatur Sel B Antigen
Proliferasi Generasi Ekstensif subpopulasi
tolerans
2
Gambar 1. sistem sekretoris imun pada saluran genitalia wanita. Untuk menganalisa jaringan uterus, tuba falopi, ovarium , endoserviks, ektoserviks dan vagina digunakan imunofluorescence.
Human Leukocyte Antigen (HLA)
Seperti disebutkan sebelumnya HLA memegang peranan penting dalam aktivasi respons
imun baik yang bersifat innate maupun adaptif. Kalau sistem innate cara mengenali
antigennya lebih kepada pengenalan struktur karbohidrat ataupun lipid yang asing, yang
tidak ditemukan di dalam tubuh (non-self), maka respons imun adaptif lebih melakukan
pengenalan kepada struktur peptide yang berasal dari protein asing (non-self). Pengenalan
3
terhadap struktur peptide ini akan lebih menguntungkan karena diversitas struktur peptide
ternyata lebih banyak jika dibandingkan dengan karbohidratataupun lipid. Oleh karena
itu, diharapkan sistem imun adaptif dapat lebih mengenali secara spesifik suatu imunogen
sehingga dapat memicu suatu respons imun yang lebih spesifik.
HLA adalah suatu molekul yang akan mempresentasikan fragmen peptida pada
permukaan sel. Fragmen peptide yang dipresentasikan oleh HLA berasal dari protein
eksogen ataupun endogen yang diproses baik melalui jalur endositik (HLA kelas II
maupun jalur sitosolik (HLA kelas I). fragmen peptide yang dipresentasikan juga berasal
dari protein self dan non-self. Oleh karena proses tadi berjalan secara terus menerus,
maka permukaan sel akan dipenuhi oleh HLA-HLA dengan fragmen peptidanya masing-
masing. Sel-sel yang tidak terinfeksi tentu saja hanya akan mempresentasikan fragmen-
fragmen peptida self. Oleh karena itu, HLA juga bersifat sebagai pertanda imunogenik
dimana memiliki fungsi untuk membedakan antara sel-sel yang berasal dari diri sendiri
(self) dengan sel-sel yang berasal dari orang lain (non-self) atau histokompatibilitas. Oleh
karena itu, HLA sering disebut pula Major Histocompatibility complex (MHC) yang ada
pada manusia. Dasar-dasar pengetahuan mengenai HLA saat ini telah jauh berkembang
seiring dengan semakin majunya ilmu kedokteran transplantasi. Hal ini jugalah yang
mendasari pemikiran-pemikiran mengenai keilmuan imunoilogi reproduksi.
HLA berdasarkan struktur dan fungsinya terdiri atas 2 kelas, yaitu kelas I dan kelas II.
HLA akan dikoding oleh gen yang terletak pada kromosom no 6 tepatnya pada region
6p21.31 (lengan pendek).tiap HLA memiliki kemampuan untuk mengikat fragmen
peptide pada peptide binding site-nya. Masing-masing HLA memiliki peptide binding site
yang bentuknya berbeda,sehingga fragmen peptide yang akan terikat juga akan berbeda.
Hal ini sangat ditentukan oleh protein HLA yang dikoding oleh kromosom 6. seorang
manusia akan menerima gen yang berasal dari kedua orang tuanya. Satu gen yang berasal
dari ayah dan satu gen yang berasal dari ibu. Oleh karena itu, apabila HLA kelas I
terdapat 3 lokus gen dan HLA kelas II memiliki 3 lokus gen, maka setiap individu akan
memiliki 6 jenis HLA kelas I dan 6 jenis HLA kelas II. Saat ini diketahui tiap lokus gen
HLA memiliki beberapa alel, contohnya HLA-A dapat memiliki 115 alel, sementara
HLA-B dapat memiliki 301 alel. Oleh karena itu, gen HLA dikenal sebagai sistem gen
yang bersifat paling polimorfik. Bagian yang polimorfik ini justru umumnya terdapat
pada peptide binding site. Oleh karena itu, tiap jenis HLA dari alel yang berbeda dapat
mengikat fragmen peptida yang berbeda-beda pula. Selain bersifat polimorfik, HLA akan
4
diekspresikan secara kodominan, yang berarti apabila seseorang memiliki 6 jenis HLA
kelas I, maka keenam-enamnya akan diekspresikan pada setiap permukaan sel somatik.
Sel-sel imun di uterus
Uterus sebagai organ tempat kehamilan akan berlangsung tentu memiliki peranan penting
dalam proses penerimaan embrio. Lapisan endometrium dapat dianggap sebagai jaringan
limfoid tersier setelah jaringan limfoid primer pada sumsum tulang dan timus serta
jaringan limfoid sekunder pada kelenjar getah bening, limpa, dan Gut Associated
Lymphoid Tissue (GALT). Hal ini disebabkan leukosit ditemukan jumlahnya cukup
banyak baik pada daerah stroma maupun epitel Dari lapisan endometrium.sejumlah sel
leukosit didapatkan baik secara tersebar maupun berkelompok bersebelahan dengan
kelenjar endometrium pada stratum fungsional akan sangat berbeda pada setiap fase dari
siklus haid. Yang paling menonjol adalah perubahan pada jumlah sel NK. Jumlah sel NK
akan meningkat secara bermakna pascaovulasi dan jumlahnya akan tetap banyak pada
lapisan desidua saat usia kehamilan dini.
5
BAB IIIMUNOLOGI DALAM KEHAMILAN
Beberapa Hipotesis Mengenai Keberhasilan Kehamilan Terkait Dengan Respons
Imun
Dalam kehamilan jaringan lpasentalah yang akan langsung mengadakan kontak dengan
sistem sistem imun maternal. Hal ini disebabkan ole karena sel-sel trofoblas akan
menginvasi hingga ke pembuluh darah maternal. Respons imun yang terjadi ternyata
tidak sesuai dengan hukum transplantasi dimana seharusnya terjadi reaksi penolakan,
karena sel-sel trofoblas yang berasal dari janin seharusnya juga memiliki HLA paternal.
Namun, ada hal-hal yang ahrus dipertimbangkan bahwa sel-sel trofoblas itu berbeda
dengan sel-sel somatic lainnya. Oleh karena itu, respons imun yang ditimbulkannya tenyu
akan sangat berbeda.
Hipotesis mengenai ekspresi HLA-G di sel-sel trofoblas
Sel-sel sinsisiotrofoblas yang merupakan lapisan terluar dari jaringan janin dan akan
berkontak dengan sistem imun maternal ternyata tidak mengekspresikan HLA-LA dan
HLA-B dan hanya sedikit mengekspresikan HLA-C. Sebaliknya, sel-sel sinsisiotrofoblas
tersebut mengekspresikan salah satu HLA nonklasik, yaitu HLA-G.
HLA-G tampaknya berinteraksi dengan KIR seperti layaknya jenis-jenis HLA yang lain
dan akan menekan aktivitas sitotoksitas dari sel NK. Diperkirakan inhibisi terhadap
aktivit6as sel NK tersebut akan memicu toleransi sistem imun maternal pada embrio.
HLA-G yang bersifat monomorfik tampaknya menunjukkan bahwa inhibisi terhadap sel
NK berlaku secara umum tidak terkait dengan genom paternalnya. HLA-G dapat
ditemukan dalam 2 bentuk, yaitu yang ada pada permukaan sel dan yang bersifat solubel
(sHLA-G).
Hipotesis mengenai Leukimia Inhibitor Factor (LIF) dan reseptor
Lapisan endometrium uterus tampaknya menghasilkan suatu molekul yang bersifat
hidrosoluber, yang disebut sebagai Leukimia Inhibitor Factor (LIF) salama siklus haid
terkait dengan kadar progesteron. Sementara di sisi lain blastokista juga akan
menghasilkan LIF-reseptor. Selama periode implantasi lapisan desidua bersama dengan
limfosit-limfosit Th2 akan menghasilkan LIF, dan sel-sel sinsiotrofoblas akan
6
menghasilkan reseptor LIF. Diperkirakan ekspresi LIF pada desidua san reseptor LIF
pada blastokista akan memfasilitasi proses implantasi. Selain itu, interaksi antara LIF dan
reseptornya juga terbukti dapat memicu pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel trofoblas.
Hipotesisi mengenai Indoleamine 2,3-dioksigenase (IDO)
IDO adalah suatu protein enzimatik yang berfungsi untuk katabolisme tripofan. Enzim
tersebut telah dibuktikan dapat dihasilkan oleh sel-sel sinsiotrofoblas. Diperkirakan IDO
yang dihasilkan oleh sel-sel sinsiotrofoblas akan merusak triptofan pada lapisan desidua
yang dibutuhkan oleh proliferasi sel-sel imun di lapisan desidua sehingga dapat memicu
toleransi dari sel-sel imun maternal terhadap embrio.
Hipoteis mengenai keseimbangan Th1-Th2
Sel helper (CD4+) naïve (Th0) saat mengenali antigen yang dipresentasikan oleh APC
dapat berdiferensiasi menjadi Th1 apabila mendapat sinyal serupa IL-12 dan IFN, atau
menjadi Th2 apabila mendapat sinyal serupa IL-4. Pada penelitian-penelitian sebelumnya
ditunjukkan bahwa dominasi sitokin-sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh Th1 akan
berkolerasi dengan peningkatan kejadian keguguran. Oleh karena itu, yang dianggap
sebagai sitokin yang akan mempertahankan kehamilan adalah sitokin-sitokin yang
dihasilkan ole sel-sel imun saja, tetapi juga oleh sel-sel trofoblas.
Hipotesis Mengenai Makrofag Supresor
Tampaknya ada jenis makrofag lain selain makrofag yang telah dikenal secara klasik akan
teraktivasi setelah terstimulasi oleh IFN atau lipoposakarida (LPS), dan kemudian akan
menghasilkan sitokin-sitokin proinflamasi. Makrofag supresor ini diperkirakan akan
menjaga rahim tetap sebagai tempat yang bersifat immuno-privileged, dengan cara
menghasilkan sitokin-sitokin yang bersifat non-imflamasi seperti IL-10 atau antagonis
reseptor IL-1 dan juga menghasilkan turunan oksigen bebas yang minimal atau tidak
sama sekali.
Hipotesis Mengenai Hormon
Beberapa jenis sitokin dan hormone telah terbukti dapat dihasilkan oleh plasenta. Hormon
yang cukup penting yang dihasilkan oleh plasenta adalah progesteron, di mana pada
beberapa penelitian menunjukkan progesteron terbukti akan memicu produksi LIF pada
emdometrium, dan juga akan memodulasi sistem imun maternal sehingga keseimbangan
7
Th1 dan Th2 akan bergerak ke arah dominasi th2. selain progesteron tampaknya hormone
pertumbuhan juga akan memegang peranan dalam mmemodulasi sistem imun, meski saat
ini baru terbukti pada spesies Roden. Dalam masa kehamilan plasenta akan menghasilkan
placental Growth Hormone (pGH) yang memiliki perbedaan 13 asam amino
dibandingkan dengan Growth Hormone (GH) yang dihasilakn oleh hipofisis. pGH akan
menggantikan GH dalam sirkulasi maternal pada trimester kedua dan diperkirakan dapat
pula memodulasi sistem imun maternal.
HIPOTESIS MENGENAI CD95 DAN LIGANNYA (CD95L)
Interaksi antara CD95L dan ligannya yaitu CD95 telah lama dikenal dalam bidang
imunologi yang berperan untuk memicu reaksi apoptosis.Mekanisme interaksi CD95-
CD95L umumnya digunakan untuk menjelaskan pengaturan pergantian sel, pemusnahan
sel sel tumor, respons antiviral, dan yang terpenting adalah untuk melindungi organ organ
tertentu dari aktifitas sel sel imun , contohnya pada organ organ yang harus dilindungi
seperti mata dan testis(organ organ yang bersifat immune privileged).Mekanismenya
adalah sel sel imun memiliki ekspresi CD95, sehungga apabila sel sel imun mengadakan
kontak akan terjadi interaksi CD95-CD95L yang akan memicu apoptosis sel sel imun
tersebut sehingga organ organ tersebut akan dilindungi.
Dalam penelitian penelitian yang telah dilakukan terbukti bahwa sel sel trofoblas Mampu
menghasilkan CD95 dan dalam medium kultur mampu memicu apoptosis pada sel sel
limfosit T yang mengekspresikan CD95L.Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan
bahwa sel sel trofoblas mampu memicu apoptosis sel sel imun maternal apabila sel sel
imun mencoba untuk melakukan kontak dengan sel sel trofoblas.
HIPOTESIS MENGENAI ANEKSIN II
Aneksin II adalah anggota keluarga dari glikoprotein yang dapat berikatan dengan
fosfolipid bermuatan negatif.Aneksin adalah membrane associated protein yang umunya
dihasilkan baik oleh sel sel normal maupun sel sel tumor.Namun, telah dibuktikan
plasenta juga mampu untuk menhasilkan aneksin.Dalam suatu penelitian telah dibuktikan
bahwa aneksinII dapat menghambat poliferasi sel sel limfosit dan juga menghambat
produksi antibody IgG ataupun IgM oleh sel sel imun maternal.Oleh karena itu, molekul
ini ditengarai juga memiliki peran dalam hal memicu toleransi system imun maternal
pada embrio.
8
HIPOTESIS MENGENAI RENDAHNYA AKTIFITAS KOMPLEMEN
Dalam system imun innate, komplemen memegang peranan yang cukup penting
dalam menghasilkan sel sel tumor atau asing dengan cara bekerjasama dengan
antibodi.Antibodi akan mengenali antigen asing pada permukaan sel tersebut dan
selanjutnya antibody akan bergabung dengan komplemen untuk menghasilkan Membrane
Attack Complex (MAC) yang mampu melubangi permukaan sel yang memiliki antigen
asing tersebut sehingga sel tersebut akan mengalami kehancuran.Namun, terdapat
beberapa factor yang dapat menghambat mekanisme penghancuran tersebut, diantaranya
adalah Membrane Complement Protein (MCP) yang akan menduduki tempat
berikatannya antibody dengan komplemen sehingga tidak dapat terjadi interaksi antara
antibodi dan komplemen atau terdapatnya peningkatan Decary Accelerating
Factor(DAF), Dimana factor tersebut dapat meningkatkan tingkat penghancuran
complement.
HIPOTESIS MENGENAI PENYEMBUNYIAN ANTIGEN TROFOBLAS
Hipotesis ini masih bersifat spekulatif.Diperkirakan antigen antigen paternal pada
permukaan sel trofoblas dikamuflase oleh suatu blocking antibody dan materi materi
fibrin atau lapisan sialomusin.Selain itu ada pula teori mengenai antigen paternal pada sel
sel trofoblas, sehingga antibody tersebut tidak dapat mengaktivasi system imun
lainnya.Hal hal tersebut diatas akan menyembunyikan ekspresi antigen paternal pada
janin sehingga dapat memicu reaksi toleransi dari system imun maternal.
Fetus terdiri dari antigen (Ag) asing bagi ibunya, wajar bila timbul reaksii
penolakan terhadap Ag asing. Dari sudut imunologi, abortus adalah reaksi tubuh ibu
menolak fetus sebagai Ag asing.
Fertilisasi merupakan proses fusi membran spermatozoa dan oosit. Pada proses ini
Ag membran spermatozoa masuk kedalam oosit menyatu membentuk membran zygot,
hasil pembuahan itu membawa dan mengekspresikan HLA suami di permukaan zygot
dan bersifat sebagai Ag asing bagi ibunya. Ag permukaan sel fetus yang lainnya
merupakan Ag organ spesifik dan Ag embrional (oncoferal). Sistem imun wanita hamil
dapat berespon terhadap Ag-Ag tersebut, misalnya dapat berespon menolak hasil
kehamilan. Penelitian membuktikan bahwa sel efektor kekebalan berperan menyebabkan
abortus spontan. Misalnya sel sistem imun non spesifik ibu seperti sel natural killer(NK),
9
sel lymphpkone avtivated killer(LAK), dan makrofag dapat mengenal jaringan emrbrio
primitif dan sel tumor lainnya sebagai Ag asing.
Sebagian serum wanita dengan riwayat abortus, tidak mengandung faktor serum
pemblok reaksi limfosit istri terhadap plasenta dan terhadap Ag leukosit suami. Wanita
tersebut bila diimunisasi dengan limfosit suaminya akan merangsang pembentukan
blocking antibody yang berfungsi mencegah abortus. Hasil patologi anatomi jaringan
abortus spontan kehamilan trimester pertama sering menunjukkan gambaran infiltrasi
limfosit ke villi dan desidua, gambaran tersebut serupa dengan reaksi penolakan graft
baik karena mekanisme sel efektor spesifik maupun non spesifik.
Pengetahuan mengenai interaksi feto-maternal terutama berasal dari hasil
pengamatan pada tikus dan binatang percobaan lainnya sebab jaringan intra uterus
menusia pada masa peri dan pasca implantasi tidak boleh diintervensi.
10
Schematic ilustration of the progrees of pregnancy towart parturition where in maternal
elements(uterus) and fetal elements(placenta)contribute to immunologic protection of the
semiallogeneic fetus,NK,HLA,TNF
uU
PREGNANCY PARTURITION
FETUS-TROFOBLAS MERUPAKAN DUA GRAFT YANG TERPISAH
Perkembangan blastokis di tempat implantasi terdiri dari bagian dalam, yaitu
suatu masa yang merupakan bakal fetus dan bagian luar berupa lapisan trofoblas yang
akan menjadi plasenta di permukaan feto-matrenal. Jaringan fetus dan trofoblas tampak
sebagai dua graft hasil pembuahan yang terpisah. Jadi Ag fetus maupun Ag trofoblas
dapat merangsang respons imun ibu.
11
UTERUS
MACROPHAGESNK CELLS
PROSTAGLANDINSPROGESTERONE
ANTI INFLAMMATORYCYTOKINES
PROSTAGLANDINSPROGESTERONE
ANTI INFLAMMATORYCYTOKINES
REGULATED HLA
COMPLEMENT REGULATORY
PROTEINS
TNF SUPERFAMILY
RESPONS IMUN IBU TERHADAP Ag FETUS
Sifat jaringan fetus adalah imunogenik yang dapat dikenal dan ditolak oleh sistem
imun ibu walaupun sedang hamil karena terjadi kontak antara sel fetus dan sistem
lymphomyeloid ibu. Ada satu fenomena menarik, yaitu bila fetus binatang pengerat
ditransplantasi ke paha binatang pengerat bunting akan ditolak, tetapi bila ditransplantasi
ke uterusnya tidak ditolak
Kehamilan interspesies seperti antara kambing domba dan transfer embrio keledai
ke kuda selalu gagal karena fetus diinfiltrasi sel mononuklear ibu (host). Makin sering
dibuat kehamilan interspesies makin sering terjadi abortus karena ada immunologic
memory. Transfer blastocyst Mus caroli ke dalam uterus Mus musculus (resipien) selalu
gagal karena fetus Mus caroli pasca implantasi diinfiltrasi oleh sel limfosit T sitotoksik
(sel T). Keadaan tersebut juga sering terjadi pada abortus spontan yang tanpa embryonic
sac. Limfosit ibu jarang menginfiltrasi fetus dan menbentuk barier di permukaan feto-
maternal, sehingga efektif memblok masuknya sel-sel ibu yang lain.
RESPONS IMUN IBU TERHADAP Ag TROFOBLAS
Pada saat implantasi blastokis adalah proses invasi hasil pembuahan kedalam
endometrium, proses itu mirip dengan suatu invansi tumor lokal. Sel-sel trofoblas
menginvasi endometrium dan membentuk masa yang menyatu, tanpa bentuk (amorphous)
dam berinti banyak (multinucleated) disebut synsytium. Sel-sel syncytiotrophoblast itu
berasal dari lapisan trofoblas sebelah dalam yaitu sel cytotrophoblas. Jadi trofoblas terdiri
12
dari dua lapian sel berbeda yaitu sel syncytiotrophoblast yang menyatu dengan jaringan
desidua ibu dan sel cyrotrophoblast, merupakan lapisan dalam dan menutupi pembuluh
darah fetal seperti tampak pada villi palsenta. Karena invasi procesus trofoblas maka
pembuluh darah ibu berbentuk lacunae. Akibatnya darah ibu langsung membasahi lapisan
syncyriorrophoblast, tetapi darah fetal terpisah dari sel trofoblas oleh sel endothelium
pembuluh darah fetus dalam ruangan intervileu. Perkembangan
selanjutnya ,cytotrophoblast berada di luar villi dan terkait pada plasenta dan langsung
kontak dengan desidua.
Jaringan trofoblas fetus adalah unik karena dalam perkembangannya juga
mengandung materi genetik suami. Penelitian imunologi membuktikan bahwa sel
syncytiotrophoblast tidak mengekspresikan MHC kelas I. Tetapi pada sel trofoblas ada
Ag spesifik TA-1 dan TA-2. Sel cyrorophoblast mengekspresikan MHC kelas I yang
telah dimodifikasikan. Pada masa awal plasentasi, sel-sel ini juga menginvasi maternal
spiral arterioles pada placental bed, hingga terjadi kontak langsung dengan darah ibu.
Hanya cyrotrophoblast mengekspresikan MHC dan kontak dengan desidua dan darah ibu,
tetapi yang diekspresikan adalah MHC yang telah dimodifikasikan. MHC kelas II tidak
ditemukan pada kedua el trofoblas pada semua stdium kehamilan.
Jaringan trofoblas tidak mudah dihancurkan oleh sel CTL dan resisten terhadap
reaksi penolakan oleh mekanisme sel imun efektor terhadap Ag spesifik. Keadaan yang
sama juga terjadi pada neoplasma trofoblas gestasional karena semua sel trofoblas
mengandung gen suami dan tidak mampu oleh sistem imun wanita sekalipun
mengekspresikan banyak human leucosyt antigen (HLA) suami. Jaringan trofoblas
sensitif terhadap sel efektor non spesifik tertentu yang secara selektif berfungsi dalam
sistem survatan untuk memusnakan sel primitif seperti sel tumor dan sel embrional.
Diantara sel efektor tersebut terdapat sel-sel yang dapat membunuh sel trofoblas seperti
makrofag dan LAK, keduanya memiliki mekanisme pengenalan primitif (primitive
recognition mechanism) tetapi tidak mempunyai memori terhadap Ag yang pernah
terpapar. Cara makrofag membunuh sasaran adalah dengan bantuan enzim dan peroxida,
makrofag juga menghasilkan sitokin tumor necrosis factor (TNF-), yang menyebabkan
trombosis dan interleukin 2 (IL-2), meningkatkan sitotoksik sel efektor imun non spesifik
terhadap trofoblas. TNF- berperan merusak trofoblas karena sel trofoblas mempunyai
reseptor TNF- dan TNF- dapat menghancurkan sel plasenta yang terdiri dari sel trofoblas.
TNF- juga menarik makrofag dan limfosit polymorphonucleated (PMN) ke tempat
tersebut dan merangsang sel-sel itu embebaskan enzim penghancur dan radikal peroxida
13
toksik yang menghancurkan semua sel TNF- dan IL-2, juga mengaktivasi sel LAK.
Tempat TNF- dihasilkan turut berperan dalam proses abortus karena TNF- dapat
melisiskan trofolas.
Penolakan fetus disebabkan oleh mekanisme graft-rejection terhadap Ag spesifik
maupun Ag non spesifik langsung terhadap sel trofoblas dan menyumbat (trombosis)
pembuluh darah yang menyatukan makanan ke tempat itu. Suatu kehamilan akan berhasil
bila bisa menghambat sistem imun Ag spesifik dan Ag non spesifik. Teori lain
mengemukakan tentang peranan prostaglandin (PG) dan faktor pertumbuhan (growth
factor) di tempat implantasi.
gambar 4. Respon imun pada masa awal kehamilan. Implantasi hasil konsepsi membangkitkan respon imun maternal. Menurut suatu teori, untuk ‘suksesnya’ perlangsungan suatu kehamilan diperlukan Th2-type response. Respon ini menyebabkan produksi antibodi terhadap antigen trofoblas.
14
MEKANISME PERTAHANAN UNTUK MELINDUNGI UNIT FETAL
PLASENTA
Proses desidualisasi endometrium bertujuan mempersiapkan lingkungan yang
memadai dalam rahim sehingga mampu memberikan nutrisi optimal bagi hasil konsepsi,
juga desidua berperan penting bagi proses graft rejection. Diduga desidualisasi berfungsi
melindungi alograft pada host dengan cara mencegah rangsangan pada sistem imun ibu.
Chorion-decidua junction juga berfungsi mencegah perpindahan sel ibu ke fetus karena
sel tersebut berfungsi sebagai sel sitotoksik yang akan melisiskan graft.
Pada kehamilan normal, sel-sel menekan imun bergerombol di sekitar tempat
implantasi dan menyebar di antar sel desidua membentuk suatu lapisan kompak. Para
pakar umumnya berpendapat bahwa beberapa sel desidua tersebut berasal dari bone
marrow, tetapi proporsi sel tersebut belum diketahui.Ada dua tipe sel supresor yang
dapat di isolasi dalam uterus, yaitu : sel supresor tipe I yang merupakan hormone-
dependent yang terdapat di endometrium dan sel supresor tipe II yang merupakan
trophoblast-dependent yang terdapat di desidua pada masa awal kehamilan.
15
SEL-SEL SUPRESOR ENDOMETRIUM
Sel supresor baru yang diinduksi hormon telah berada dalam uterus manusia
dalam rangka mempersiapkan tempat terjadi implantasi. Sel tersebut berbentuk besar dan
menunjukkan marker Lyt-2 dan sel T. Tetapi sel itu tidak seperti sel T supresor (T8)
klasik, karena hanya ada di endometrium dan di aktivasi oleh hormon, bukan oleh Ag. Sel
itu juga tidak bersifat Ag spesifik dan tidak melepaskan faktor pensupresi terlarut (soluble
supresor factor). Sel supresor ini bukan makrofag karena tidak menunjukkan marker
Mac-I. Aktivitas supresi sel tersebut tidak dapat dihilangkan dengan pengobatan
komplemen dan antibodi monoklonal anti determinan pemukaan makrofag.
Sel supresor tersebut memblok sensitisasi maternal, sehingga menghambat respon
pembentukan sel sitotoksik terhadap Ag non MHC yang dihasilkan oleh sel pada awal
konsepsi. Ag tersebut berperan penting pada feto maternal interface. Lamanya aktivitas
sel supresor besar biasanya hanya singkat saja karena efek supresi tersebut menyebabkan
kehamilan dapat berlangsung terus dan sel itu kemudian diganti dengan sel supresor
trophoblast-dependent, jadi pergantian jenis sel supresor di endometrium terjadinya tahap
demi tahap dan tahap hanya bersifat sementara (transient) dan berfungsi mempertahankan
kelangsungan hidup fetus.
SEL SUPRESOR DECIDUAL(TROPHOBLAST DEPENDENT)
Pada masa awal implantasi, sel supresor besar diendometrium diganti oleh sel
supresor kecil yang sitoplasmanya bergranula dan terdapat dalam desidua. Sel-sel baru ini
tidak mempunyai marker konvensional sel T dan makrofag, tetapi mempunyai reseptor F.
Tempat aktivitas sel itu hanya di sekitar implantasi dalam uterus karena sel supresor kecil
tidak aktif selain di dalam uterus hamil. Lokalisasi sel supresor tropoblas dependent dan
adanya sel supresor kecil dalam plasenta diduga sehubungan dengan saat terbentuknya
chorion decidua juntion yang berfungsi menghambat graft rejecton dan menyelamatkan
fetus. Sel supresor nono T melepaskan soluble factor yang menghambat berbagai
mekanisme sel efektor spesifik maupun non spesifik. Soluble factor ini menghambat
perkembangan CTL, aktivitas sel NK dan pembentukan sel LAK dengan cara
menghalangi aktivits IL-2. Faktor tersebut juga menghambat respons C mengaktivasi IL-
3,menghambat fungsi sitotoksik monosit dan makrofag dan memblok aktivitas sitotoksik
TNF terhadap sel sasaran tertentu. Molekul larutan pensupresi imun sangat lengket dan
sering dihubungkan dengan berbagai zat pembawa protein. Aktivitas faktor ini
dinetralkan oleh antibodi anti transfoming growth factor (TGF) yang aktivitasnya ialah
16
menghambat sitokin yang membasmu berbagai sel efektor. TGF memblok mekanisme
efektor sel imun spesifik maupun non spesifik yang menyerang unit fetus trofoblas. Di
desidua juga terjadi mekanisme supresor sel efektor oleh prostaglandin E(PGE). Supresi
yang dimediasi PGE terutama jika terjadi disagregasi desidua dengan enzim,dengan
teknik tertentu bisa merusak desidua yang aktif memproduksi TGF, tetapi membebaskan
sel-sel yang menyerupai makrofag serta memproduksi molekul supresor tipe PGE
progesteron menekan produksi PGE endometrium manusia pasca ovulasi dan desidua
pada awal kehamilan.
SEL SUPRESOR TROPHOBLAST DEPENDENT DAN KESELAMATAN FETAL
Beberapa wanita yang mengalami abortus, desiduanya pada awal kehamilan tidak
mempunyai aktivitas sel efektor. Menjelang abortus spontan, terjadi defisiensi
mononukleus yang sitoplasmanya bergranula pada placental bed. Defisiensi aktivitas sel
supresor di sekitar tempat implantasi menyebabkan fetus ditolak oleh ibunya, hal ini
menunjukkan kegagalan trofoblas dan kematian fetus bukan karena sebab yang yang non
spesifik. Pada kehamilan normal terdapat aktivitas sel NK, sel natural sitotoksik dan sel-
sel yang menyerupai makrofag yang secara imunologis ikut menentukan keselamatan
fetus (terutama bila kemampuan trofoblas ibu mengaktivasi sel supresor subnormal).
Keseimbangan antara aktivitas sel supresor trophoblast dependent dan tingkat intensitas
aktivitas sel efektor ibu pada masa pasca implantasi sangat menentukan apakah suatu
implan baru hasil konsepsi akan berhasil atau di tolak. Keseimbangan ideal ini dapat
dipersiapkan pada masa mendatang dengan cara imunisasi, terutama kepada yang
berbakat abortus. Imunisasi dilakukan dengan sel allogenik yang mangandung Ag suami
karena akan merangang respons imun spesifik memblok Ag suami pada trofoblas, dimana
efeknya tidak membahayakan tetapi membantu proses implantasi.
SISTEM IMUNITAS JANIN Sel alloreaktif akan menimbulkan masalah bila menembus batas janin dan
memasuki kompartemen janin, walau sel ibu belum secara meyakinkan ditemukan dalam
sirkulasi janin, darah tali pusat mengandung antibody IgM berasal dari janin yang
diarahkan untuk melawan T sel alloreaktif ibu. Antibodi-antibodi ini secara khusus
menghambat respon MLR ibu dan limfosit sitotoksik terhadap sel janin. Limfosit darah
tali pusat dengan kuat menekan proliferasi limfosit dewasa dengan cara yang nonspesifik.
17
Secara singkat peristiwa adaptasi imunobiologi selama masa kehamilan dapat
digambarkan sebagai beriku(1,6,9) :
Blokade Aferen
1.Tidak ada sensitasi antigen pada trofoblas
2.Imunosupresi nonspesifik:
- Perubahan populasi sel imán
- Factor supresi(placenta,serum,desidia)
Blokade Central
1.Blocking antibody(anti-fetal HLA,anti-Fc reseptor,anti-
idiotiopik)
2.Fetal-specific T-supressor cell
3.Peran Th-2 uterus
Blokade Eferen
1.Tidak ada antigen target pada trofoblas
2.Blocking antibodies mask fetal antigens
3.Faktor supresi nonspesifik(plasenta,serum,desidua)
4.Antibodi sitotoksik anti-fetal diserap oleh plasenta
5.Faktor supresor janin
TERAPI IMUN UNTUK ABORTUS SPONTAN BERULANG
Tujuannya ialah mencegah abortus spontan dengan cara ibu di imunisasi dengan
Ag suami sehingga merangsang respons ibu. Alasan imunisasi sebagai pengobatan
abortus berulang ialah untuk mencegah reaksi penolakan hasil konsepsi dengan cara
merangsang produksi soluble factor yang memblok aktivitas limfosit istri menghancurkan
trofoblas dan atau Ag leukosit suami. Tingkat keberhasilan imunisasi tergantung dari
dosis sel yang di berikan. Dosis optimal untuk keberhasilan belum dikatahui, tetapi lazim
diberikan 100 juta sel/imunisasi karena makin rendah dosisnya sel ternyata tingkat
keberhasilan menurun.
18
BAB III
IMUNOLOGI ABORTUS
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abortus
2.1.1 Pengertian Abortus
Pengguguran kandungan atau aborsi atau abortus menurut:
a) Medis : abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum
janin mampu bertahan hidup pada usia kehamilan sebelum 20 minggu
didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir atau berat janin
kurang dari 500 gram ( Obstetri Williams, 2006).
b) Kamus Besar Bahasa Indonesia : terjadi keguguran janin, melakukan
abortus (dengan sengaja karena tidak menginginkan bakal bayi yang
dikandung itu).
c) Keguguran adalah pegeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di
luar kandungan (Rustam Muchtar, 1998).
d) Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sampai saat ini janin yang
terkecil, yang dilaporkan dapat hidup di luar kandungan, mempunyai berat
badan 297 gram waktu lahir. Akan tetapi, karena jarangnya janin yang
dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat hidup terus, maka
abortus ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai
berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu (Sarwono, 2005).
Etiologi Faktor imunologi
Terdapat antibodikardiolipid yang mengakibatkan pembekuan darah dibelakang ari-ari sehingga mengakibatkan kematian janin karena kurangnya aliran darah dari ari-ari
19
tersebut. Faktor imunologis yang telah terbukti signifikan dapat menyebabkan abortus spontan yang berulang antara lain: antibodi antinuklear, antikoagulan lupus dan antibodi cardiolipin. Adanya penanda ini meskipun gejala klinis tidak tampak dapat menyebabkan abortus spontan yang berulang. Inkompatibilitas golongan darah A, B, O, dengan reaksi antigen antibodi dapat menyebabkan abortus berulang, karena pelepasan histamin mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan fragilitas kapiler.
2.1.3 Mekanisme Abortus
Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan fungsi plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan terjadinya kontraksi uterus dan mengawali proses abortus. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, embrio rusak atau cacat yang masih terbungkus dengan sebagian desidua dan villi chorialis cenderung dikeluarkan secara in toto , meskipun sebagian dari hasil konsepsi masih tertahan dalam cavum uteri atau di canalis servicalis. Perdarahan pervaginam terjadi saat proses pengeluaran hasil konsepsi.
Pada kehamilan 8 – 14 minggu, mekanisme diatas juga terjadi atau diawali dengan pecahnya selaput ketuban lebih dulu dan diikuti dengan pengeluaran janin yang cacat namun plasenta masih tertinggal dalam cavum uteri. Plasenta mungkin sudah berada dalam kanalis servikalis atau masih melekat pada dinding cavum uteri. Jenis ini sering menyebabkan perdarahan pervaginam yang banyak. Pada kehamilan minggu ke 14 – 22, Janin biasanya sudah dikeluarkan dan diikuti dengan keluarnya plasenta beberapa saat kemudian. Kadang-kadang plasenta masih tertinggal dalam uterus sehingga menyebabkan gangguan kontraksi uterus dan terjadi perdarahan pervaginam yang banyak. Perdarahan umumnya tidak terlalu banyak namun rasa nyeri lebih menonjol. Dari penjelasan di atas jelas bahwa abortus ditandai dengan adanya perdarahan uterus dan nyeri dengan intensitas beragam (Prawirohardjo, 2002).
2.1.4 Klasifikasi Abortus
Abortus dapat dibagi atas dua golongan yaitu:
Menurut terjadinya dibedakan atas:
1. Abortus spontan yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja atau dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis atau medisinalis, semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor alamiah.
2. Abortus provokatus (induksi abortus) adalah abortus yang disengaja tanpaindikasi medis, baik dengan memakai obat-obatan maupun dengan alat-alat. Abortus ini terbagi lagi menjadi:
20
1) Abortus medisinalis (abortus therapeutica) yaitu abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu mendapat persetujuan 2 sampai 3 tim dokter ahli.
2) Abortus kriminalis yaitu abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis dan biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh tenaga tradisional.
Pembagian abortus secara klinis adalah sebagai berikut :
1. Abortus Iminens merupakan tingkat permulaan dan ancaman terjadinya abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan.
2. Abortus Insipiens adalah abortus yang sedang mengancam ditandai dengan serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran.
3. Abortus Inkompletus adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal.
4. Abortus Kompletus adalah seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
5. Missed Abortion adalah abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kehamilan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan.
6. Abortus Habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut.
7. Abortus Infeksious ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia.
8. Abortus Terapeutik adalah abortus dengan induksi medis (Prawirohardjo,
2009).
2.2 Abortus Spontan
2.2.1 Pengertian
Abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan uterus, maka abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata lain yang luas digunakan adalah keguguran (miscarriage) (Cunningham, 2000).
21
Keguguran adalah setiap kehamilan yang berakhir secara spontan sebelumjanin dapat bertahan. Sebuah keguguran secara medis disebut sebagai aborsi spontan. WHO mendefenisikan tidak dapat bertahan hidup sebagai embrio atau janin seberat 500 gram atau kurang, yang biasanya sesuai dengan usia janin (usia kehamilan) dari 20 hingga 22 minggu atau kurang.
2.2.2 Gejala-Gejala Abortus Spontan
Adapun gejala-gejala dari abortus spontan sebagai berikut:
1. Pendarahan mungkin hanya bercak sedikit, atau bisa cukup parah. Dokter akan bertanya tentang berapa banyak pendarahan yang terjadi-biasanya jumlah pembalut yang telah dipakai selama pendarahan. Anda juga akan ditanya tentang gumpalan darah atau apakah Anda melihat jaringan apapun.
2. Nyeri dan kram terjadi di perut bagian bawah. Mereka hanya satu sisi,kedua sisi, atau di tengah. Rasa sakit juga dapat masuk ke punggung bawah, bokong, dan alat kelamin.
3. Anda mungkin tidak lagi memiliki tanda-tanda kehamilan seperti mual atau payudara bengkak / nyeri jika Anda telah mengalami keguguran (Vicken Sepilian, 2007).
2.2.3 Diagnosis Abortus Spontan
1. Anamnesis
a. Adanya amenore pada masa reproduksi.
b. Perdarahan pervaginam disertai jaringan hasil konsepsi.
c. Rasa sakit atau keram perut di daerah atas simpisis.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan panggul. Pemeriksaan dilakukan untuk melihat apakah
leher rahim sudah mulai membesar.
3. Pemeriksaan penunjang:
a) Pemeriksaan USG (Ultrasonografi). Hal ini membantu dokter untuk memeriksa detak jantung janin dan menentukan apakah embrio berkembang normal.
22
b) Pemeriksaan darah. Jika mengalami keguguran, pengukuran hormon kehamilan, HCG beta, kadang-kadang bisa berguna dalam menentukan apakah Anda telah benar-benar melewati semua jaringan plasenta.
c) Pemeriksaan jaringan. Jika telah melewati jaringan, dapat dikirimke laboratorium untuk mengkonfirmasi bahwa keguguran telah terjadi - dan bahwa gejala tidak berhubungan dengan penyebab lain dari perdarahan kehamilan (Vicken Sepilian, 2007).
Aspek klinis abortus spontan dibagi menjadi lima subkelompok, yaitu:
a) Threatened Miscarriage (Abortus Iminens). Yang pertama kali muncul biasanya adalah perdarahan, dan beberapa jam sampai beberapa hari kemudian terjadi nyeri kram perut. Nyeri abortus mungkin terasa di anterior dan jelas bersifat ritmis; nyeti dapat berupa nyeri punggung bawah yang menetap disertai perasaan tertekan di panggul; atau rasa tidak nyaman atau nyeri tumpul di garis tengah suprapubis.
b) Inevitable Miscarriage (Abortus Tidak Terhindarkan). Abortus tidak terhindarkan (inevitable) ditandai oleh pecah ketuban yang nyata disertai pembukaan serviks.
c) Incomplete Miscarriage (Abortus tidak lengkap). Pada abortus yang terjadi sebelum usia gestasi 10 minggu, janin dan plasenta biasanya keluar bersama-sama, tetapi setelah waktu ini keluar secara terpisah. Apabila seluruh atau sebagian plasenta tertahan di uterus, cepat atau lambat akan terjadi perdarahan yang merupakan tanda utama abortus inkomplet.
d) Missed Abortion. Hal ini didefenisikan sebagai retensi produk konsepsi yang telah meninggal in utero selama beberapa minggu. Setelah janin meninggal, mungkin terjadi perdarahan per vaginam atau gejala lain yang mengisyaratkan abortus iminens, mungkin juga tidak. Uterus tampaknya tidak mengalami perubahan ukuran, tetapi perubahan-perubahan pada payudara biasanya kembali seperti semula.
e) Recurrent Miscarriage (Abortus Berulang). Keadaan ini didefinisikan menurut berbagai kriteria jumlah dan urutan, tetapi definisi yang paling luas diterima adalah abortus spontan berturut-turut selama tiga kali atau lebih (Cunningham, 2000).
2.2.4 Komplikasi Abortus Spontan
Komplikasi yang mungkin timbul (Budiyanto dkk, 1997) adalah:
23
a. Perdarahan akibat luka pada jalan lahir, atonia uteri, sisa jaringan tertinggal, diatesa hemoragik dan lain-lain. Perdarahan dapat timbul segera pasca tindakan, dapat pula timbul lama setelah tindakan.
b. Syok akibat refleks vasovagal atau nerogenik. Komplikasi ini dapat mengakibatkan kematian yang mendadak. Diagnosis ini ditegakkan bila setelah seluruh pemeriksaan dilakukan tanpa membawa hasil. Harus diingat kemungkinan adanya emboli cairan amnion, sehingga pemeriksaan histologik harus dilakukan dengan teliti.
c. Emboli udara dapat terjadi pada teknik penyemprotan cairan ke dalam uterus. Hal ini terjadi karena pada waktu penyemprotan, selain cairan juga gelembung udara masuk ke dalam uterus, sedangkan pada saat yang sama sistem vena di endometrium dalam keadaan terbuka. Udara dalam jumlah kecil biasanya tidak menyebabkan kematian, sedangkan dalam jumlah 70-100 ml dilaporkan sudah dapat memastikan dengan segera.
d. Inhibisi vagus, hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang dilakukan tanpa anestesi pada ibu dalam keadaan stress, gelisah, dan panik. Hal ini dapat terjadi akibat alat yang digunakan atau suntikan secara mendadak dengan cairan yang terlalu panas atau terlalu dingin.
e. Keracunan obat/ zat abortivum, termasuk karena anestesia. Antiseptik lokal seperti KmnO 4 pekat, AgNO 3 , K-Klorat, Jodium dan Sublimat dapat mengakibatkan cedera yang hebat atau kematian. Demikian pula obat-obatan seperti kina atau logam berat. Pemeriksaan adanya Met-Hb, pemeriksaan histologik dan toksikolgik sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
f. Infeksi dan sepsis. Komplikasi ini tidak segera timbul pasca tindakan tetapi memerlukan waktu.
g. Lain-lain seperti tersengat arus listrik saat melakukan abortus dengan menggunakan pengaliran arus listrik.
2.2.5 Prognosis Abortus Spontan
Prognosis keberhasilan kehamilan tergantung dari etiologi aborsi spontan sebelumnya (Manuaba, 1998).
1. Perbaikan endokrin yang abnormal pada wanita dengan abotus yang rekuren mempunyai prognosis yang baik sekitar >90 %.
2. Pada wanita keguguran dengan etiologi yang tidak diketahui,kemungkinan keberhasilan kehamilan sekitar 40-80 %.
24
3. Sekitar 77 % angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan aktivitas jantung janin pada kehamilan 5 sampai 6 minggu pada wanita dengan 2 atau lebih aborsi spontan yang tidak jelas.
2.2.6 Penatalaksanaan Abortus Spontan
1. Memperbaiki keadaan umum. Bila perdarahan banyak, berikan transfusi darah dan cairan yang cukup.
2. Pemberian antibiotika yang cukup tepat yaitu suntikan penisilin 1 juta satuan tiap 6 jam, suntikan streptomisin 500 mg setiap 12 jam, atau antibiotika spektrum luas lainnya.
3. 24 sampai 48 jam setelah dilindungi dengan antibiotika atau lebih cepat bila terjadi perdarahan yang banyak, lakukan dilatasi dan kuretase untuk mengeluarkan hasil konsepsi.
4. Pemberian infus dan antibiotika diteruskan menurut kebutuhan dan kemajuan penderita.
Semua pasien abortus disuntik vaksin serap tetanus 0,5 cc IM. Umumnya setelah tindakan kuretase pasien abortus dapat segera pulang ke rumah. Kecuali bila ada komplikasi seperti perdarahan banyak yang menyebabkan anemia berat atau infeksi.2 Pasien dianjurkan istirahat selama 1 sampai 2 hari. Pasien dianjurkan kembali ke dokter bila pasien mengalami kram demam yang memburuk atau nyeri setelah perdarahan ba ru yang ringan atau gejala yang lebihberat.13 Tujuan perawatan untuk mengatasi anemia dan infeksi. Sebelum dilakukan kuretase keluarga terdekat pasien menandatangani surat persetujuan tindakan (Maureen, 2002).
Terdapat berbagai metode bedah dan medis untuk mengobati abortus spontan serta terminasi yang dilakukan pada keadaan lain, dan hal ini diringkas sebagai berikut (Kenneth dkk, 2003):
Dilatasi serviks diikuti oleh evakuasi uterus
Kuretase
Aspirasi vakum (kuretase isap)
Dilatasi dan evakuasi (D&E)
Dilatasi dan Curretase (D&C)
Aspirasi haid
Laparatomi
Histerotomi
25
Histerektomi
Teknik Medis
Oksitosin intravena
Cairan hiperosmotik intraamnion
Salin 20%
Urea 30%
Prostaglandin E 2 , F2α, dan analognya
Injeksi intraamnion
Injeksi ekstraovular
Insersi vagina
Injeksi parenteral
Ingesti oral
Antiprogesteron─RU 486 (mifepriston) dan epostan
Berbagai kombinasi dari di atas.
Dilatasi dan Kuretase
Aborsi bedah sebelum 14 minggu dilakukan mula-mula dengan membuka
serviks, kemudian mengeluarkan kehamilan dengan secara mekanis mengerok
keluar isi uterus (kuretase tajam), dengan aspirasi vakum (kuretase isap), atau
keduanya. Setelah 16 minggu, dilakukan dilatasi dan evakuasi (D&E). Tindakan
ini berupa pembukaan seviks secara lebar diikuti oleh dekstruksi mekanis dan
evakuasi bagian janin. Setelah janin dikeluarkan secara lengkap maka digunakan
kuret vakum berlubang besar untuk mengeluarkan plasenta dan jaringan yang
tersisa. Dilatasi dan Curretase (D&C) serupa dengan D&E kecuali pada D&C,
bahwa sebagian dari janin mula-mula dikuretase melalui serviks yang telah
26
membuka untuk mempermudah tindakan.
Dilator Higroskopik
Batang laminaria sering digunakan untuk membantu membuka serviks
sebelum aborsi bedah. Alat ini menarik air dari jaringan serviks sehingga serviks
melunak dan membuka. Dilator higroskopik sintetik juga dapat digunakan.
Lamicel adalah suatu spons polimer alkohol polivinil yang mengandung
magnesium sulfat anhidrosa. Trauma akibat dilatasi mekanis dapat diperkecil
dengan menggunakan dilator higroskopik. Wanita yang sudah dipasangi dilator
osmotik sebelum suatu aborsi elektif, tetapi kemudian berubah pikiran umumnya
tidak menderita morbiditas infeksi setelah dilator dikeluarkan.
Keguguran Berulang
disebut sebagai aborsi spontan berulang dan keguguran berulang. Hal klasik ini didefinisikan sebagai tiga atau lebih keguguran berturut-turut pada 20 minggu atau kurang atau dengan bobot janin kurang dari 500 gram. Kebanyakan wanita dengan keguguran berulang memiliki kehilangan janin atau embrio awal, dan minoritas dari mereka setelah 14 minggu. Meskipun definisi mencakup tiga atau lebih keguguran, banyak yang setuju bahwa evaluasi harus setidaknya dipertimbangkan menyusul dua keguguran berturut-turut. Hal ini karena risiko kerugian berikutnya setelah dua kali keguguran berturut mirip dengan yang berikut tiga kerugian-sekitar 30 persen (harger dkk, 1983). Hebatnya, kesempatan untuk kehamilan yang sukses dapat mendekati 50 persen bahkan setelah enam kegugran (Polandia dan rekan kerja, 1977; Warburton dan Fraser, 1964).
Therapel dkk (1985) meringkas data dari 79 studi pasangan dengan dua atau lebih keguguran. Ini termasuk 8208 perempuan dan 7834 laki-laki, dan kelainan kromosom terdeteksi di 2,9 persen-insiden lima kali lipat lebih besar daripada populasi umum. Rasio kelainan perempuan-ke-laki-laki adalah sekitar 2:1. Translokasi timbal balik yang seimbang menyumbang 50 persen dari kelainan yang teridentifikasi, translokasi Robertsonian 24 persen; kromosom X mosaicism seperti 47, XXY-Klinefelter syndrome-12 persen, dan inversi dan berbagai anomali lainnya terdiri sisanya. Sebaliknya, Hogge
27
dkk (2007) melaporkan bahwa keguguran berulang tidak terkait dengan kromosom X-inaktivasi-transkripsi.
Secara singkat, jika salah satu orang tua membawa translokasi seimbang, kariotipe dari kehamilan yang dihasilkan mungkin normal, translokasi seimbang yang sama, atau translokasi tidak seimbang. Translokasi seimbang cenderung menyebabkan keguguran rekuren pada keturunannya. Sebuah translokasi tidak seimbang dapat menghasilkan keguguran, anomali janin, atau bayi lahir mati. Secara keseluruhan, bagaimanapun, prognosis baik. Franssen dkk (2006) mempelajari 247 pasangan dengan translokasi seimbang dan melaporkan bahwa hampir 85 persen memiliki setidaknya satu bayi yang sehat. Dengan demikian, sejarah kerugian trimester kedua atau anomali janin harus meningkatkan kecurigaan bahwa pola kromosom yang abnormal hadir dalam satu induk. Pasangan dengan kariotipe abnormal harus ditawarkan konseling genetik praimplantasi.
Karyotyping rutin dari hasil konsepsi yang mahal, mungkin tidak secara akurat mencerminkan kariotipe janin,. beberapa menyarankan analisis kromosom rutin setelah berturut-turut keguguran (Stephenson, 2006) kedua.
Faktor Anatomi
Sejumlah kelainan anatomi saluran kelamin telah terlibat dalam keguguran berulang. Menurut Devi Wold dan rekan (2006), 15 persen wanita dengan tiga atau lebih keguguran berturut-turut memiliki anomali rahim bawaan atau diperoleh. Ini pada dasarnya adalah sama dengan yang terkait dengan semua keguguran dan dibahas dalam Cacat uterus. termasuk kelainan rahim diperoleh seperti intrauterin sindrom sinekia-Asherman, leiomyomas, dan inkompetensi serviks. Cacat perkembangan termasuk septate, bikornuata, dan rahim unicornuate serta Didelphys rahim. Juga termasuk adalah kelainan yang berhubungan dengan eksposur dalam rahim untuk DES.
Frekuensi anomali pada wanita dengan keguguran berulang sangat bervariasi tergantung pada kedalaman evaluasi dan kriteria yang ditetapkan untuk abnormali. Salim dan rekan (2003) menjelaskan hampir 2500 wanita yang disaring untuk kelainan perkembangan rahim menggunakan sonografi tiga dimensi. Anomali diidentifikasi dalam 24 persen wanita dengan keguguran berulang, tetapi hanya 5 persen dari kontrol normal. Dalam studi lain dari wanita dengan keguguran berulang, prevalensi kelainan rahim telah diperkirakan hanya 7 sampai 15 persen (Ashton dan rekan kerja, 1988; Makino dan rekan, 1992).
28
Pengobatan
Sebagaimana dijelaskan dalam Cacat uterus, bukti tersebut tidak kuat untuk menghubungkan anomali anatomi dengan keguguran dini. Oleh karena itu sulit untuk membuktikan bahwa koreksi mereka meningkatkan hasil kehamilan (American College of Obstetricians dan Gynecologists, 2001). Ada studi retrospektif untuk mendukung koreksi dengan beberapa anomali. Saygili-Yilmaz dan rekan (2003) hasil kehamilan setelah metroplasty histeroskopi pada wanita yang memiliki rahim septate dan lebih dari dua kali keguguran sebelumnya. Pada 59 wanita tersebut, kejadian keguguran menurun 96-10 persen setelah operasi, dan kehamilan jangka meningkat dari tidak ada menjadi 70 persen (Saygili-Yilmaz dan rekan, 2002).
Untuk sinekia uterus, lisis histeroskopi adalah lebih baik untuk kuretase. Katz dan rekan (1996) melaporkan 90 wanita dengan sinekia yang memiliki setidaknya dua kali keguguran sebelumnya atau kematian perinatal prematur atau keduanya. Dengan adhesiolysis, tingkat keguguran menurun 79-22 persen, dan kehamilan jangka meningkat dari 18 menjadi 69 persen. Penelitian lain telah melaporkan hasil yang sama (Al-Inany, 2001; Goldenberg dan rekan, 1995).
mioma submukosa menyebabkan keguguran berulang lebih dari jarang. Jika gejala, sebagian besar setuju bahwa fibroid submukosa dan Intracavitary harus dipotong. Dalam studi perempuan yang menjalani fertilisasi in vitro, hasil kehamilan dipengaruhi oleh mioma submukosa, tetapi tidak oleh mereka yang subserosal atau intramural dan kurang dari 5 sampai 7 cm (Jun dan rekan kerja, 2001; Ramzy dan rekan, 1998).
Faktor imunologi
Dalam analisis mereka terhadap penelitian yang diterbitkan, Yetman dan Kutteh (1996) menetapkan bahwa 15 persen dari lebih dari 1000 wanita dengan keguguran berulang telah diakui faktor autoimun. Dua model patofisiologi utama adalah autoimun teori-kekebalan terhadap diri sendiri, dan aloimun teori-kekebalan terhadap orang lain.
Faktor autoimun
Keguguran lebih sering terjadi pada wanita dengan lupus eritematosus sistemik (Warren dan Silver, 2004). Banyak dari wanita memiliki antibodi antifosfolipid, yang termasuk keluarga autoantibodi yang mengikat fosfolipid bermuatan negatif, protein fosfolipid-mengikat, atau kombinasi dari keduanya (Cabang dan Khamashta, 2003; Carp dan rekan,
29
2008). Mereka juga ditemukan pada wanita tanpa lupus. Memang, pada sampai dengan 5 persen dari wanita hamil normal, lupus anticoagulant (LAC) dan antibodi anticardiolipin (ACA) telah dikaitkan dengan pemborosan kehamilan yang berlebihan. Alih-alih menyebabkan keguguran, mereka lebih mungkin ditemukan dengan kematian janin setelah pertengahan kehamilan. Karena itu, kematian janin adalah salah satu kriteria untuk diagnosis sindrom antifosfolipid (American College of Obstetricians dan Gynecologists, 2005a). Ini adalah satu-satunya kondisi autoimun yang dapat dikorelasikan dengan hasil kehamilan yang merugikan. Wanita dengan kedua riwayat kematian janin awal dan tingkat antibodi yang tinggi mungkin memiliki 70 persen tingkat kekambuhan keguguran (Dudley dan Cabang, 1991). Antibodi terhadap 2-glikoprotein mungkin sangat bermasalah, tapi bukan mereka ke serin fosfatidilkolin (Alijotas-Reig dan rekan, 2008, 2009).
Dalam sebuah penelitian prospektif dari 860 wanita disaring untuk antibodi anticardiolipin pada trimester pertama, Yasuda dan rekan (1995) melaporkan bahwa 7 persen diuji positif. Keguguran dikembangkan di 25 persen dari kelompok antibodi-positif, dibandingkan dengan hanya 10 persen dari kelompok negatif. Dalam studi lain, bagaimanapun, Simpson dan rekan (1998) tidak menemukan hubungan antara keguguran dini dan adanya antibodi anticardiolipin baik atau lupus anticoagulant.
Pengobatan
Ada rejimen pengobatan untuk sindrom antifosfolipid yang meningkatkan angka kelahiran hidup. Kutteh (1996) secara acak 50 wanita yang terkena untuk menerima baik aspirin dosis rendah saja atau aspirin dosis rendah ditambah heparin. Wanita yang menerima baik aspirin dan heparin memiliki persentase signifikan lebih besar dari bayi yang layak-80 vs 44 persen, masing-masing. Rai dan rekan (1997) melaporkan 77 persen tingkat hidup-kelahiran pada wanita secara acak untuk diberikan aspirin dosis rendah plus terapi-5000 heparin tak terpecah-dosis rendah unit dua kali sehari-versus 42 persen dengan aspirin saja. Sebaliknya, Farquharson dan rekan (2002) melaporkan 72 persen hidup-angka kelahiran menggunakan aspirin dosis rendah saja, yang mirip dengan tingkat 78 persen pada wanita yang diberikan aspirin dosis rendah ditambah dosis rendah heparin berat molekul rendah .
Seperti ditekankan oleh Cabang dan Khamashta (2003), laporan tidak membingungkan, dan pedoman terapeutik kabur. American College of Obstetricians dan Gynecologists (2005a) merekomendasikan dosis rendah aspirin 81 mg oral per hari, bersama dengan heparin tak terpecah-5000 unit subkutan, dua kali sehari. Terapi ini, dimulai ketika kehamilan didiagnosa, dilanjutkan sampai pengiriman. Walaupun pengobatan ini dapat meningkatkan keberhasilan kehamilan secara keseluruhan, para perempuan tetap berisiko
30
tinggi untuk persalinan prematur, membran prematur pecah, pembatasan janin-pertumbuhan, preeklamsia, dan placental abruption (Backos dan rekan, 1999; Rai dan rekan kerja, 1997).
Selain IgG dan IgM anticardiolipin, ada idiotypes antibodi diarahkan ke sejumlah besar lipid (Bick dan Baker, 2006). Pengukuran mereka adalah mahal, sering tidak terkontrol, dan relevansi pasti dalam diagnosis keguguran berulang. Hasil yang juga meyakinkan tentang pengujian untuk antibodi lain, termasuk faktor rheumatoid, antibodi antinuklear, dan antibodi antitiroid.
Faktor aloimun
Disarankan bahwa kehamilan normal memerlukan pembentukan faktor blocking yang mencegah penolakan ibu antigen janin asing yang berasal dari ayah. Seorang wanita tidak akan menghasilkan faktor-faktor blocking serum jika dia memiliki antigen leukosit manusia (HLAs) mirip dengan suaminya. Gangguan aloimun lain telah mengemukakan menyebabkan keguguran berulang, termasuk peningkatan aktivitas sel pembunuh alami (natural killer) dan antibodi diubah lymphocytotoxic. Berbagai terapi untuk memperbaiki gangguan ini telah diusulkan, termasuk penggunaan imunisasi sel ayah, donor leukosit pihak ketiga, infus membran trofoblas, dan immunoglobulin intravena. Sebagian besar belum pengawasan ketat, beberapa berpotensi berbahaya, dan dengan demikian kita setuju dengan Scott (2003) bahwa imunoterapi tidak dapat direkomendasikan. Satu pengecualian yang mungkin adalah terapi imunoglobulin intravena untuk sekunder keguguran berulang-wanita dengan kerugian awal kehamilan berulang mengikuti satu kelahiran sebelumnya sukses (Hutton dan rekan, 2007).
Thrombophilias Warisan
Ini ditentukan secara genetik faktor pembekuan abnormal yang dapat menyebabkan trombosis patologis dari ketidakseimbangan antara jalur pembekuan dan antikoagulan. Ini dibahas secara rinci dalam Bab 47, dan aksi mereka ditunjukkan pada Gambar 47-1. Yang paling banyak dipelajari meliputi ketahanan terhadap diaktifkan protein C (APC) yang disebabkan oleh mutasi faktor V Leiden atau lain, menurun atau tidak ada aktivitas antitrombin III, mutasi gen protrombin, dan mutasi pada gen untuk metilen tetrahydrofolate reduktase yang menyebabkan kadar serum dari homocysteine-hyperhomocysteinemia.
Carp dan rekan (2002) dan Adelberg dan Kuller (2002) meragukan pentingnya thrombophilias diwariskan pada awal keguguran. Sebagai perfusi plasenta minimal di
31
awal kehamilan, thrombophilias mungkin memiliki dampak klinis yang lebih besar dalam kehamilan nanti. Dalam meta-analisis dari 31 studi oleh Rey dan rekan (2003), keguguran berulang yang paling terkait erat dengan faktor V Leiden dan prothrombin mutasi gen. Subjek baru-baru ini ditinjau oleh Kutteh dan Triplett (2006) serta Bick dan Baker (2006). Setelah tinjauan Cochrane Database mereka, Kaandorp dan rekan kerja (2009) menyimpulkan bahwa wanita dengan keguguran berulang dan trombofilia tidak mendapatkan manfaat dari aspirin atau terapi heparin.
Faktor endokrinologis
Studi mengevaluasi hubungan antara berbagai kelainan endokrinologis telah konsisten dan umumnya telah underpowered (American College of Obstetricians dan Gynecologists, 2001). Menurut Arredondo dan Noble (2006), 8 sampai 12 persen keguguran berulang adalah hasil dari faktor endokrin.
Progesteron Defisiensi
Juga disebut fase luteal cacat, cukup sekresi progesteron oleh korpus luteum atau plasenta telah disarankan untuk menyebabkan keguguran. Produksi progesteron kekurangan, bagaimanapun, mungkin konsekuensi daripada penyebab kegagalan kehamilan dini (Salem dan rekan, 1984). Kriteria diagnostik dan kemanjuran terapi untuk gangguan ini diusulkan memerlukan validasi (American College of Obstetricians dan Gynecologists, 2001). Jika korpus luteum yang diangkat melalui pembedahan, misalnya tumor ovarium, pengganti progesteron ditunjukkan pada kehamilan kurang dari 8 sampai 10 minggu.
Sindrom ovarium polikistik
Karena oligo-atau anovulasi, perempuan-perempuan ini subfertile. Saat hamil, ada juga mungkin peningkatan risiko untuk keguguran, tapi ini kontroversial (Cocksedge dan rekan, 2008). Dua mekanisme yang mungkin yang telah disarankan adalah peningkatan hormon luteinizing (LH) dan efek langsung hiperinsulinemia pada fungsi ovarium. Jika ditinggikan konsentrasi LH menyebabkan keguguran, maka penghambatan selama ovulasi siklus induksi gonadotropin dapat menurunkan tingkat keguguran. Dalam uji coba terkontrol oleh Clifford dan rekan kerja (1996), namun, ini tidak meningkatkan hasil kehamilan. Data melibatkan hiperinsulinemia pada keguguran agak kuat. Dalam dua studi, tingkat keguguran menurun dengan pengobatan metformin sebelum dan selama kehamilan (Glueck dan rekan, 2002; Jakubowicz dan rekan, 2002). Melanjutkan metformin selama kehamilan telah terbukti juga secara signifikan mengurangi insiden diabetes gestational serta pembatasan janin-pertumbuhan.
32
Diabetes Mellitus
Aborsi spontan dan tingkat kelainan bawaan utama keduanya meningkat pada wanita dengan insulin-dependent diabetes. Risiko ini juga terkait dengan tingkat kontrol metabolik pada awal kehamilan. Mirip dengan wanita dengan sindrom ovarium polikistik, beberapa wanita dengan keguguran berulang telah dilaporkan meningkat resistensi insulin (Craig dan rekan, 2002). Keguguran akibat diabetes yang tidak terkontrol secara substansial menurun dengan kontrol metabolik yang optimal.
Hypothyroidism
Kekurangan zat yodium dikaitkan dengan keguguran dini berlebihan. Kekurangan hormon tiroid dari penyebab autoimun sering terjadi pada wanita. Dan meskipun autoantibodi tiroid berhubungan dengan peningkatan kejadian aborsi spontan, peran mereka dalam keguguran berulang kurang meyakinkan (Abramson dan Stagnaro-Green, 2001; Lakasing dan Williamson, 2005). Dalam sebuah penelitian terhadap 870 wanita dengan keguguran berulang, Rushworth dan rekan (2000) melaporkan bahwa mereka dengan antibodi antitiroid hanya mungkin untuk mencapai kelahiran hidup seperti yang tanpa antibodi.
Karena tidak jelas bahwa penyakit tiroid menyebabkan keguguran berulang, American College of Obstetricians dan Gynecologists (2001) menyimpulkan bahwa tidak ada indikasi untuk skrining wanita tanpa gejala. Sebaliknya, hipotiroidisme terbuka mungkin sulit untuk dideteksi secara klinis, pengujian murah, dan pengobatan sangat efektif. Jadi, disarankan thyroid-stimulating hormone (TSH) skrining untuk wanita dengan keguguran berulang.
Evaluasi dan Manajemen
Waktu dan tingkat evaluasi wanita dengan keguguran berulang didasarkan pada usia ibu, infertilitas hidup berdampingan, gejala, dan tingkat kecemasan. Dengan temuan dinyatakan normal, kita melakukan jumlah sedikit tes untuk memasukkan karyotyping orangtua, evaluasi rongga rahim, dan pengujian untuk sindrom antifosfolipid antibodi. Sekitar setengah dari pasangan dengan keguguran berulang akan memiliki temuan jelas. Namun demikian, prognosis mereka wajar. Meta-analisis oleh Jeng dan rekan (1995) secara acak, studi prospektif dari pasangan dengan riwayat keguguran berulang menetapkan bahwa 60 sampai 70 persen memiliki kehamilan berikutnya sukses dengan tanpa pengobatan
33
34
DAFTAR PUSTAKA
1.Anantyo Binarso M,Kristanto H.Imonologi dalam kehamilan.Dalam:Ilmu
Kedokteran Fetomaternal.Surabaya:Himpunan Kedoktaran Fetomaternal
Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia;2004;127-136.
2.Dachlan E.Respon Antibodi Janin.Dalam Ilmu Kedokteran
Fetomaterna.Surabaya:Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan
Obstetri Ginekologi Indonesia;2004;70-74.
3.Kresno S.Imunologi:Dignosis dan Prosedur Laboratorium.Jakarta:Balai
Penerbit FKUI;2001;3-8.
4.Wahab Samik A.Sistem Imun,Imunisasi,dan Penyakit Imun.Jakarta;Widya
Medika;2002;3-20.
5.Www.Siumed.Edu.Quinn T.Review of Immunology Helper T Cell and
Pregnancy Helper T Cell and Normal Pregnancy,in Immunology in
Pregnancy.1999.
6.Www.Kalbe.Co.Id.daGomes Z.P.Terapi Imun pada Kasus Abortus
Spontan.Cermin Kedokteran.1999.
7.Www.Siumed.Edu.The Immunology of Human Pregnancy in Journal of
Medicine.
8.Www.Med.Tale.Edu.Peproductive Immunology.
9.Ayala Beer A,Billinsham R Castelo.Immunology in Gynecology and
Obstetry.Amsterdam.Exccipta Medica.1977.27-39.
35