refer at
TRANSCRIPT
REFERAT
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KONSTIPASI
Disusun oleh :
Venny Yulianti Gana G0007024
Anisa Nindiasari G0007038
Galih Herlambang G0007075
Pembimbing
dr. TY. Pramana, Sp.PD-KGEH, FINASIM
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R A K A R T A
2011
KONSTIPASI
1
A. PENDAHULUAN
Konstipasi adalah kesulitan atau hambatan pengeluaran tinja meialui kolon dan
rectum, biasanya disertai kesulitan saat defeksi. Pada keadaan normal dalam 24 jam kolon
harus dikosongkan secara teratur. Sebagian orang sehat melakukan defeksi 2-3 kali dalam
sehari. Tetapi ada pula yang mempunyai kebiasaan melakukan defeksi tiap 2 hari sekali.
Thomas Lamont menyebutkan bahwa kebanyakan orang normal akan melakukan defeksi
1-3 kali sehari dengan bentuk tinja normal.
Hampir setiap orang suatu saat pasti akan mengalami konstipasi. Penyebab
terbanyak adalah diit yang kurang baik dan kurang olah raga. Pada sebagian besar kasus,
konstipasi biasanya hanya bersifat sementara, dan tidak berbahaya. Di Amerika Serikat
lebih dari 4 juta penduduk mempunyai keluhan sering konstipasi, hingga prevalensinya
mencapai sekitar 2%. Konstipasi diperkirakan menyebabkan 2,5 juta penderita berkunjung
ke dokter setiap tahunnya. Sebagian besar penderita konstipasi dapat diobati secara medik,
menghasilkan perbaikan keluhan. Keluhan konstipasi tampaknya dialami penduduk kulit
berwarna 1,3 kali lebih sering dibanding kulit putih. Perbandingan laki:perempuan sekitar
1:3. Konstipasi dapat terjadi pada segala usia, dari bayi sampai orang tua. Makin tua
makin meningkat frekuensinya. Di atas usia 65 tahun 30–40% penderita mengalami
masalah dengan keluhan konstipasi ini (Harari , 1997).
Penanganan masalah defeksi sebaiknya dimulai dengan cara yang sederhana,
seperti nasehat mengenai jenis makanan dan jumlah cairan yang masuk ke dalam tubuh.
Kekurangan serat dalam diit diduga merupakan penyebab utama masalah defeksi pada
penderita konstipasi di negara-negara barat. Konstipasi kadang-kadang mudah diatasi,
tetapi bisa juga menimbulkan problem yang sulit diatasi. Banyak penderita mengobati diri
sendiri dengan memakai obat laksansia. Lebih kurang I13 dari penderita konstipasi
memakai laksansia, akibat tinja yang keras atau karena jarangnya defeksi. Sebagian hanya
untuk kepuasan masalah psikologis pada waktu defekasi (Ahmadsyah, 1997).
B. DEFINISI
Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu keluhan yang
muncul akibat kelainan fungsi dari kolon dan anorektal. Konstipasi atau sembelit adalah
terhambatnya defekasi dari kebiasaan normal. Pengertian ini dapat diartikan sebagai
defekasi yang jarang, jumlah feses yang kurang, konsistensinya keras dan kering.
Pendapat lain definisi kontipasi bersifat relatif, tergantung pada konsistensi tinja,
2
frekuensi buang air besar dan kesulitan keluarnya tinja. Pada anak normal yang hanya
defekasi setiap 2-3 hari dengan tinja yang lunak tanpa kesulitan, bukan disebut konstipasi.
Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya frekuensi
buang air besar, sensasi tidak puasnya buang air besar, terdapat rasa sakit, harus mengejan
atau feses keras.
Kriteria baku untuk menentukan ada tidaknya konstipasi telah ditetapkan, meliputi
minimal 2 keluhan dari beberapa keluhan berikut yang diderita penderita minimal 25 %
selama minimal 3 bulan : (1) tinja yang keras, (2) mengejan pada saat defekasi, (3)
perasaan kurang puas setelah defekasi, dan (4) defekasi hanya 2 x atau kurang dalam
seminggu (Kohn, 1995; Ushen, 2000).
Pada tahun 1999 Komite Konsensus Internasional telah membuat suatu pedoman
untuk membuat diagnosis konstipasi. Diagnosis dibuat berdasar adanya keluhan paling
sedikit 2 dari beberapa keluhan berikut, minimal dalam waktu 1 tahun tanpa pemakaian
laksans (kriteria Roma II), yaitu: (1) defekasi kurang dari 3x/minggu, (2) mengejan
berlebihan minimal 25 % selama defekasi, (3) perasaan tidak puas berdefekasi minimal
25 % selama defekasi, (4) tinja yang keras minmal 25 %, (5) perasaan defekasi yang
terhalang, dan (6) penggunaan jari untuk usaha evakuasi tinja (Ushen, 2000).
C. ANATOMI SALURAN PENCERNAAN
1. Usus Halus (Intestinum Tenue)
Intestinum tenue merupakan suatu tabung yang kompleks, berlipat-lipat, dan
membentang dari pilorus hingga katup ileocecal. Panjang intestinum tenue pada orang
hidup sekitar 12 kaki (3,6 m) dan hampir 22 kaki (6,6 m) pada cadaver. Usus ini
mengisi bagian tengah dan bawah rongga abdomen. Ujung proksimalnya berdiameter
sekitar 3,8 cm, tetapi main ke bawah garis tengahnya semakin berkurang sampai
menjadi sekitar 2,5 cm.
Intestinum tenue dibagi menjadi duodenum, jejunum, dan ileum. Panjang
duodenum adalah sekitar 25 cm, mulai dari pilorus sampai jejunum. Pemisahan
duodenum dan jejunum ditandai oleh adanya Ligamentum Treitz, yaitu suatu pita
muskulofibrosa yang berorigo pada crus dextra diafragma dekat hiatus esophagus dan
berinsersio pada perbatasan antara duodenum dan jejunum. Ligamentum ini berperan
sebagai ligamentum suspensorium duodeni.
Sekitar dua perlima dari sisa usus halus adalah jejunum, dan tiga perlima
bagian akhirnya adalah ileum. Jejunum terletak di regio midabdominalis sinistra,
3
sedangkan ileum cenderung terletak di regio midabdominalis dextra sebelah bawah.
Jejunum mulai pada flexura duodenojejunalis dimana duodenum membelok menjadi
jejunum sedanga ileum berakhir pada flexura ileocecalis. Masuknya kimus ke dalam
usus halus diatur oleh sphincter pilorus, sedangkan pengeluaran zat yang telah
tercerna ke dalam usus besar diatur oleh katup ileosekal. Katup ileoscecal juga
mencegah terjadinya refluks isi usus besar ke dalam usus halus, serta mencegah
masuknya bakteri yang berada dalam usus besar untuk masuk ke usus halus yang kaya
akan nutrien.
2. Usus Besar (Intestinum Crassum)
Intestinum crassum berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang
sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari caecum hingga canalis ani. Diameter
intestinum crassum sekitar 6,5 cm (2,5 inci), tetapi makin dekat ke anus, diameternya
semakin kecil. Intestinum crassum dibagi menjadi caecum (dan appendix
vermiformis), colon, dan rectum.
Pada caecum, terdapat katup ileocecal dan appendix yang melekat pada ujung
caecum. Caecum menempati sekitar dua sampai tiga inci pertama dari intestinum
crassum. Colon dibagi menjadi colon ascendens, colon tranversum, colon descendens,
dan colon sigmoidea. Tempat colon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan
dan kiri atas berturut-turut disebut sebagai flexura hepatica dan flexura lienalis. Colon
sigmoidea mulai setinggi crista iliaca dan membentuk lekukan seperti huruf S. Bagian
utama intestinum crassum yang erakhir disebut sebagai rectum dan membentang dari
colon sigmoidea hingga anus. Satu inci terakhir dari rectum disebut sebagai canalis
ani dan dilindungi oleh Muskulus sphincter ani externus et internus.panjang rectum
dan canalis ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci).
D. FISIOLOGI DEFEKASI
Defekasi juga sering disebut bowel movement. Frekuensi defekasi pada setiap
orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu.
Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong
feses ke dalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan
individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi. Defekasi dimulai oleh dua
refleks defekasi antara lain:
1. Refleks defekasi instrinsik
4
Ketika feses masuk ke dalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi
suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentricus untuk memulai gelombang
peristaltik pada kolon descendens, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini
menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter
anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
2. Refleks defekasi parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord
(sakral 2–4) dan kemudian kembali ke kolon descendens, kolon sigmoid dan rektum.
Sinyal-sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan
spingter anus internus dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus
individu duduk di toilet atau bedpan, spingter anus eksternus tenang dengan
sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang akan
meningkatkan tekanan intraabdominal dan oleh kontraksi musculus levator ani pada dasar
panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah
dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika
defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan musculus spingter eksternus,
maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas
untuk menampung kumpulan feses.
Susunan feses terdiri dari bakteri yang umumnya sudah mati, lepasan epitelium
dari usus, sejumlah kecil zat nitrogen terutama musin (mucus), garam terutama kalsium
fosfat, sedikit zat besi dari selulosa, sisa zat makanan yang tidak dicerna dan air (100 ml).
Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi fecal antara lain: usia dan perkembangan,
diet, pemasukan cairan, aktifitas fisik,, faktor psikologik, kebiasaan, posisi, nyeri,
kehamilan, operasi & anestesi, obat-obatan, test diagnostik, kondisi patologis, iritans
(Harrison, 1999).
E. ETIOLOGI KONSTIPASI
I. Fungsional Retensi tinja
Depresi
Fobia toilet
5
Latihan defekasi yang
salah
II. Nyeri defekasi Fissura ani
Benda asing
Pemakaian pencahar
berlebihan
Proktitis
Prolaps rektum
III. Obstruksi mekanis Penyakit Hirschsprung
Massa di pelvis
Obstruksi usus bagian
atas
Stenosis rektum
Atresia ani
Ileus mekonium
IV. Motilitas dan
sensasi menurun
Akibat obat-obatan
Ileus akibat infeksi virus
Penyakit neuromuskular
(serebral palsi,hipotoni)
Kelainan endokrin
(Hiperparatiroid,hiperkalsemi)
Botulisme infantil
Tumor Medula spinalis
V. Kelainan tinja Dehidrasi
Diet serat kurang
Malnutrisi
(Mansjoer, 2001)
Selain pembagian etiologi di atas, terdapat pembagian etiologi konstipasi lainnya sebagai
berikut :
1. Konstipasi sekunder
a. Pola hidup: diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air besar yang
buruk, kurang olah raga
b. Kelainan anatomi (struktur): fissura ani, hemoroid, striktur, dan tumor, abses
perineum, megakolon
c. Kelainan endokrin dan metabolik: hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroid, DM,
dan kehamilan
d. Kelainan syaraf: stroke, penyakit Hirschprung, Parkinson, sclerosis multiple, lesi
sumsum tulang belakang, penyakit Chagas, disotonomia familier
e. Kelainan jaringan ikat: skleroderma, amiloidosis, “mixed connective-tissue
disease”
f. Obat: antidepresan (antidepresan siklik, inhibitor MAO), logam (besi, bismuth),
anti kholinergik, opioid (kodein, morfin), antasida (aluminium, senyawa kalsium),
“calcium channel blockers” (verapamil), OAINS (ibuprofen, diclofenac),
6
simpatomimetik (pseudoephidrine), cholestyramine dan laksan stimulans jangka
panjang
g. Gangguan psikologi (depresi).
2. Konstipasi fungsional = kontipasi simple atau temporer
a. Konstipasi biasa : akibat menahan keinginan defekasi
b. Irritabel bowel syndrome (IBS)
c. Konstipasi dengan dilatasi kolon : “idiopathic megacolon or megarectum”
d. Konstipasi tanpa dilatasi kolon : “idiopathic slow transit constipation”
e. Obstruksi intestinal kronik
f. Rectal outlet obstruction : anismus, tukak rectal soliter, intusesepsi
g. Daerah pelvis yang lemah : “descending perineum”, rectocele
h. Mengejan yang kurang efektif (“ineffective straining”)
3. Penyebab lain
a. Diabetes mellitus
b. Hiperparatiroid dan Hipotiroid
c. Keracunan timah (“lead poisoning”)
d. Neuropati
e. Penyakit Parkinson
f. Skleroderma
g. Idiopatik :Transit kolon yang lambat, pseudo-obstruksi kronik (Mansjoer, 2001)
F. PATOFISIOLOGI KONSTIPASI
Buang air besar yang normal frekuensinya adalah 3 kali sehari sampai 3 hari
sekali. Dalam praktek dikatakan konstipasi bila buang air besar kurang dari 3 kali
perminggu atau lebih dari 3 hari tidak buang air besar atau dalam buang air besar harus
mengejan secara berlebihan. Kolon mempunyai fungsi menerima bahan buangan dari
ileum, kemudian mencampur, melakukan fermentasi, dan memilah karbohidrat yang tidak
diserap, serta memadatkannya menjadi tinja.
Fungsi ini dilaksanakan dengan berbagai mekanisme gerakan yang sangat
kompleks. Pada keadaan normal kolon harus dikosongkan sekali dalam 24 jam secara
teratur. Diduga pergerakan tinja dari bagian proksimal kolon sampai ke daerah
rektosigmoid terjadi beberapa kali sehari, lewat gelombang khusus yang mempunyai
amplitudo tinggi dan tekanan yang berlangsung lama. Gerakan ini diduga dikontrol oleh
pusat yang berada di batang otak, dan telah dilatih sejak anak-anak. Proses sekresi di
7
saluran cerna mungkin dapat megalami gangguan, yaitu kesulitan atau hambatan pasase
bolus di kolon atau rektum, sehingga timbul kesulitan defekasi atau timbul obstipasi.
Gangguan pasase bolus dapat diakibatkan oleh suatu penyakit atau dapat karena
kelainan psikoneurosis. Yang termasuk gangguan pasase bolus oleh suatu penyakit yaitu
disebabkan oleh mikroorganisme (parasit, bakteri, virus), kelainan organ, misalnya tumor
baik jinak maupun ganas, pasca bedah di salah satu bagian saluran cerna (pasca
gastrektomi, pasca kolesistektomi). Untuk mengetahui bagaimana terjadinya konstipasi,
perlu diingat kembali bagaimana mekanisme kerja kolon. Begitu makanan masuk ke
dalam kolon, kolon akan menyerap air dan membentuk bahan buangan sisa makanan, atau
tinja. Kontraksi otot kolon akan mendorong tinja ini ke arah rektum. Begitu mencapai
rektum, tinja akan berbentuk padat karena sebagian besar airnya telah diserap. Tinja yang
keras dan kering pada konstipasi terjadi akibat kolon menyerap terlalu banyak air. Hal ini
terjadi karena kontraksi otot kolon terlalu perlahan-lahan dan malas, menyebabkan tinja
bergerak ke arah kolon terlalu lama.
Konstipasi umumnya terjadi karena kelainan pada transit dalam kolon atau pada
fungsi anorektal sebagai akibat dari gangguan motilitas primer, penggunaan obat-obat
tertentu atau berkaitan dengan sejumlah besar penyakit sistemik yang mempengaruhi
traktus gastrointestinal. Konstipasi dapat timbul dari adanya defek pengisian maupun
pengosongan rektum. Pengisian rektum yang tidak sempurna terjadi bila peristaltik kolon
tidak efektif (misalnya, pada kasus hipotiroidisme atau pemakaian opium, dan bila ada
obstruksi usus besar yang disebabkan oleh kelainan struktur atau karena penyakit
hirschprung). Statis tinja di kolon menyebabkan proses pengeringan tinja yang berlebihan
dan kegagalan untuk memulai reflek dari rektum yang normalnya akan memicu evakuasi.
Pengosongan rektum melalui evakuasi spontan tergantung pada reflek defekasi yang
dicetuskan oleh reseptor tekanan pada otot-otot rektum, serabut-serabut aferen dan eferen
dari tulang belakang bagian sakrum atau otot-otot perut dan dasar panggul. Kelainan pada
relaksasi sfingter ani juga bisa menyebabkan retensi tinja.
Konstipasi cenderung menetap dengan sendirinya, apapun penyebabnya. Tinja
yang besar dan keras di dalam rektum menjadi sulit dan bahkan sakit bila dikeluarkan,
jadi lebih sering terjadi retensi dan terbentuklah suatu lingkaran setan. Distensi rektum
dan kolon mengurangi sensitifitas refleks defekasi dan efektivitas peristaltik. Akhirnya,
cairan dari kolon proksimal dapat menapis disekitar tinja yang keras dan keluar dari
rektum tanpa terasa. Gerakan usus yang tidak disengaja (encopresis) mungkin keliru
dengan diare.
8
Akibat dari konstipasi sebagaimana diketahui, fungsi kolon di antaranya
melakukan absorpsi cairan elektrolit, zat-zat organik misalnya glukose dan air, hal ini
berjalan terus sampai di kolon descendens. Pada seseorang yang mengalami konstipasi,
sebagai akibat dari absorpsi cairan yang terus berlangsung, maka tinja akan menjadi lebih
padat dan mengeras. Tinja yang keras dan padat menyebabkan makin susahnya defekasi,
sehingga akan menimbulkan haemorrhoid.
Sisa-sisa protein di dalam makanan biasanya dipecahkan di dalam kolon dalam
bentuk indol, skatol, fenol, kresol dan hydrogen sulfide. Sehingga akan memberikan bau
yang khas pada tinja. Pada konstipasi juga akan terjadi absorpsi zat-zat tersebut terutama
indol dan skatol, sehingga akan terjadi intestinal toksemia. Bila terjadi intestinal toksemia
maka pada penderita dengan sirhosis hepatis merupakan bahaya. Pada kolon stasis dan
adanya pemecahan urea oleh bakteri mungkin akan mempercepat timbulnya “ hepatik
encepalopati” pada penderita sirosis hepatis (McCrea, 2008; Harari, 1997; Harrison,
1999).
G. MANIFESTASI KLINIK
Penderita yang mengalami konstipasi biasanya merasa defekasinya menjadi sulit
dan nyeri, tinja keras, mengejan pada saat defekasi, perasaan kurang puas setelah
defekasi, defekasi hanya 3x atau kurang dalam seminggu. Keluhan lain yang bisa timbul
adalah perasaan kembung, kurang enak, dan malas. Penderita dapat juga tanpa keluhan
sama sekali, atau mempunyai keluhan lain seperti : perut kembung, nyeri waktu defekasi,
“rectal bleeding” (perdarahan rektum), diare “spurious” (sedikit-sedikit), dan nyeri
pinggang bagian bawah.
Penderita biasanya mengeluh beberapa hari tak dapat defekasi dan kalau defekasi
selalu susah. Tinja yang keluar keras dan kehitam-hitaman. Perut selalu dirasa penuh serta
dirasa mendesak keatas, kembung, berbunyi,mual-mual. Rasa mulas di perut kiri pada
daerah sigmoid dan kolon desendens. Keluhan lain yang sering dirasakan ialah mulut rasa
pahit, lidah kering, kepala pusing, nafsu makan menurun. Bilamana konstipasi
berlangsung lama, maka keluhan tersebut diatas makin bertambah berat, bahkan sampai
timbulnya gejala obstruksi intestinal (Ramkumar, 2001).
H. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
9
Anamnesis yang seksama dan hati-hati merupakan salah satu cara yang sangat
penting untuk mencari penyebab konstipasi. Dengan menanyakan tipe dan derajat
gangguan konstipasi dapat diperkirakan etiologi dari keluhan tersebut. Termasuk
dalam gangguan ini antara lain : lamanya usaha untuk melakukan defekasi, jumlah
defekasi per minggunya, dan ada tidaknya keluhan mengejan dan atau tinja yang
keras. Anamnesis yang akurat untuk mendeteksi adanya penurunan berat badan,
perdarahan saluran cerna, riwayat keluarga kanker, pola buang air besar sebelumnya.
Sebagian besar penderita dengan konstipasi kronik pada umumnya tidak
menunjukkan penyebab yang spesifik pada saat pemeriksaan pertama. Anamnesis
yang teliti harus dapat mendeteksi penyebab terbanyak dari konstipasi yaitu :
a. konstipasi pasca bedah
b. tirah baring yang terlalu lama
c. sisa barium setelah pemeriksaan barium enema, atau
d. obat-obat yang dapat menimbulkan konstipasi (misalnya: opioid, antikholinergik).
Pada penderita tua yang melakukan tirah baring, penting untuk menyingkirkan
adanya dehidrasi yang berat dan kelainan elektrolit. Singkirkan dulu setiap komplikasi
konstipasi yang dapat mengancam hidup penderita (misalnya, volvulus).
Keluhan berikut juga dapat dipakai sebagai dugaan bahwa penderita
mengalami kesulitan defekasi : perasaan kurang puas setelah defekasi, sering
dilakukan evakuasi feses dengan jari, “tenesmus”. Uraian yang tepat tentang gejala
dan lama terjadinya harus didapat. Konstipasi yang ditemukan sejak lahir atau sejak
awal usia kanak-kanak cenderung bersifat kongenital, sementara awitan yang terjadi
kemudian menunjukkan penyakit yang di dapat. Penjelasan mengenai frekuensi dan
sifat defekasi harus dinyatakan, termasuk keluhan mengejan yang berlebihan saat
defekasi, adanya skibala yang keras, atau perasaan pengeluaran kotoran yang tidak
tuntas. Pasien harus ditanya mengenai nyeri abdomen dan kembung yang terkait dan
gejala-gejala saluran kemih atau saluran makanan bagian atas. Pertanyaan ini penting
untuk mendapatkan riwayat pemakaian laksatif dan lamanya (Lennard-Jones, 1998;
Wald, 1995).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sering kurang bermanfaat untuk menetapkan penyebab serta
pengobatan konstipasi. Pemeriksaan fisik untuk menilai keadaan sistemik dan lokal,
terutama tanda adanya masa intra abdomen, peristaltik usus dan colok dubur.
Pemeriksaan fisik harus ditujukan pada deteksi penyakit-penyakit nongastrointestinal
10
yang dapat turut menjadi penyebab timbulnya konstipasi. Perhatian khusus harus
diberikan pada pemeriksaan neurologis, termasuk penilaian terhadap fungsi autonom.
Abdomen harus diperiksa untuk mencari tanda-tanda pembedahan
sebelumnya, distensi usus atau feses yang tertahan. Pemeriksaan perineum dan
anorektal harus dilakukan untuk menemukan bukti adanya deformitas, atrofi otot
gluteus, prolapsus rekti, stenosis ani, fissura ani, masa rektum atau fecal impaction.
Pasien dapat diminta untuk mengejan agar bukti yang menunjukan adanya rektokel,
atau prolapsus rekti dapat terlihat.
Adanya “kedipan anus“ harus dinilai dengan menunjukkan kontraksi refleks
kanalis ani setelah rasa ditusuk peniti pada perineum. Pemeriksaan fisik sering kurang
bermanfaat untuk menetapkan penyebab serta pengobatan konstipasi, kecuali pada
kejadian berikut ini:
a. Adanya masa yang teraba pada pemeriksaan abdomen.
b. Lesi anorectal, yang diduga menjadi penyebab konstipasi (misalnya : fisura ani,
fistula ani, striktur, kanker, hemoroid yang memgalami trombosis).
c. Intususepsi yang tampak pada saat mengejan
Pemeriksaan colok dubur (RT) sering bermanfaat untuk dipakai menemukan
kelainan berikut ini :
1) Masa anorektal
2) Tonus sfingter ani internal.
3) Kekuatan sfingter ani eksternal dan otot puborectalis.
4) Adanya “gross blood” atau “occult bleeding” (Lennard-Jones,1998)
Jumlah dan konsistensi tinja :
a. Pada “pelvis outlet dysfunction”, akan ditemukan tinja lebih banyak di daerah
“rectal vault” dari pada pada “colonic inertia” atau “irritable bowel syndrome”, di
mana di antara defekasi biasanya hanya ditemukan sisa tinja dalam jumlah yang
lebih sedikit atau tidak ada sama sekali.
b. Pada “pelvis floor dysfunction” (disfungsi dasar panggul) dapat memberi gejala
khas berupa kegagalan memberi tekanan pada jari pada saat mengejan pada waktu
dilakukan pemeriksaan colok dubur.
Anus kaku atau spastik, yang menunjukkan adanya lesi pada anus. Lumen dari
rektum biasanya membesar dan biasanya teraba “faecal mass”. Jadi bila dijumpai
11
dilatasi dari rektum dengan proktostasis dan adanya gangguan pengosongan rektum
ialah tanda patognomonis dan dyschezia (Lennard-Jones, 1998; Wald, 1995).
3. Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperhatikan warna, bentuk, besarnya dan konsistensi dari masa fekal.
Pemeriksaan kimia darah dapat dipakai untuk menyingkirkan kelainan metabolik
sebagai penyebab konstipasi, seperti : hipokalemia dan hiperkalsemia. Pemeriksaan
darah lengkap dapat menunjukkan adanya anemia akibat perdarahan per anum
(“gross” atau “occult”). Tes fungsi tiroid dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya
hipotiroid.
4. Pemeriksaan radiologi
Foto polos abdomen (berdiri dan berbaring) : dapat menunjukkan jumlah tinja
dalam kolon penderita. Dengan demikian diagnosis banding antara : “fecal
impaction”, obstruksi usus, dan “fecalith” dapat dibuat. Diagnosis adanya “fecalith”
penting untuk dipastikan karena kemungkinan terjadinya komplikasi “stercoral
ulcers”, yang dapat menimbulkan perforasi kolon dapat terjadi setiap saat. Gastropati
diabetik, seperti halnya “fecal impaction”, dapat timbul pada penderita neuropati
diabetik. Sisa barium (sesudah pemeriksaan barium enemas) dapat juga tampak pada
foto polos abdomen. Skleroderma dan penyakit jaringan ikat yang lain, dapat disertai
gangguan motorik yang dapat menutupi gejala-gejala obstruksi kolon pada
pemeriksaan foto polos abdomen “Myxedema ileus” dapat terjadi akibat hipotiroid.
5. Pemeriksaan lain-lain
a. Rektosigmoidoskopi
Perlu dikerjakan dan diperhatikan membran mukosa, untuk
memperhatikan ada tidaknya tanda-tanda kataral proktosigmoiditis dan melanosis
koli. Pada penderita yang biasa mempergunakan laksatif atau terlalu sering
melakukan lavement, maka terlihat tanda-tanda inflamasi yang ringan yaitu
mukosa membran terlihat kuning kecoklat-coklatan. Sering terlihat bahwa
sigmoid mengalami dilatasi, sehingga instrumens dapat dengan mudah masuk ke
sigmoid.
Pemeriksaan ekstensif yang lebih teliti pada penderita konstipasi dapat
dilakukan secara poliklinik, biasanya baru dikerjakan bila keluhan berlangsung
lebih dari 3 – 6 bulan, dan pengobatan medik tidak ada hasilnya. Pemeriksaan ini
dapat dilakukan untuk melihat baik anatomi (barium enema, proktosigmoidoskopi,
kolonoskopi) maupun fisiologi (“colonic transit study”, “defecography”,
12
“manometry”, “electromyography”). Kolonoskopi atau sigmoidoskopi fleksibel
dapat memeperlihatkan melanosis koli sebagai bercak berwarna hitam coklat pada
mukosa usus yang terjadi akibat penggunaan preparat laksatif antrakuinon secara
kronik.
Tidak adanya haustra pada endoskopi atau barium enema menunjukkan
“kolon katartik” akibat penyalahgunaan preparat laksatif. Barium enema juga
dapat memperlihatkan lesi obstruktif kolon, penyakit mega kolon atau mega
rektum, dan pada penyakit hirschsprung akan menunjukkan segmen usus yang
mengalami denervasi serta memperlihatkan gambaran yang khas dengan dilatasi
segmen kolon yang proksimal. Pada kasus-kasus seperti ini, biopsi rektum dapat
dilakukan untuk menunjukkan tidak adanya neuron.
b. Anoscopy/Proctoscopy
Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara rutin pada setiap penderita
konstipasi untuk melihat adanya : fisura ani, tukak, hemoroid, dan keganasan lokal
anorektal (Lennard-Jones, 1998).
I. PENATALAKSANAAN
Pengobatan utama adalah pemberian diit tinggi serat. Hindari pemakaian iritan
atau perangsang peristaltik. Pemakaian obat-obat ini dalam jangka panjang pernah
dilaporkan dapat menimbulkan kerusakan pada plexus mientericus, yang selanjutnya
justru akan mengganggu gerakan usus. Pada prinsipnya untuk merawat penderita
konstipasi ialah:
1. Harus dicari sebab-sebabnya.
2. Memberi pendidikan atau pengertian kepada penderita, agar dapat melakukan
defekasi secara alamiah.
3. Menghentikan kebiasaan pemakaian laksatif dan enema.
4. Mengembalikan dan membiasakan agar dapat defekasi sendiri tanpa obat-obatan
Oleh karena itu perawatan konstipasi untuk tiap penderita tidak selalu sama, dan
harus dicari penyebabnya. Memberi penerangan kepada penderita, agar supaya secara
teratur pada waktu-waktu yang tertentu melakukan defekasi. Perhatian terhadap
pengobatan yang spesifik seyogyanya lebih ditujukan pada evakuasi dari tinja, dibanding
meningkatkan gerakan usus. Konsultasi dengan ahli bedah sebaiknya segera dikerjakan
bila ada dugaan obstruksi intestinal atau volvulus. Penanganan konstipasi harus
disesuaikan menurut keadaan masing-masing pasien dengan memperhitungkan lama dan
13
intensitas konstipasi, faktor-faktor kontribusi yang potensial, usia pasien dan harapan
pasien, antara lain:
1. Terapi Non-Farmakologis
a. Diet
Makanan berserat, baik yang mudah larut maupun yang sulit larut,
merupakan bagian dari buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian, yang tidak dapat
dicerna oleh tubuh. Makanan berserat yang mudah larut akan cepat melarut dalam
air dan membentuk bahan “gel” dalam usus. Sebaliknya makanan berserat yang
tidak larut, akan melewati usus tanpa mengalami perubahan Bahan serat yang
berbentuk besar (“bulk”) dan lunak ini akan mencegah terjadinya tinja yang keras
dan kering yang lebih sulit melewati usus.
Rata-rata orang Amerika makan 5 – 20 gram makanan berserat setiap
harinya, lebih sedikit dibanding jumlah 20 – 35 gram yang dianjurkan oleh “the
American Dietetic Association”. Terapi inisial biasanya berupa diet dengan
penekanan pada peningkatan asupan serat makanan. Banyak pasien dengan
konstipasi memperlihatkan responnya terhadap peningkatan asupan serat makanan
hingga mencapaijumlah antara 20-30 gram/hari. Suplementasi serat dapat
meningkatkan berat tinja serta frekuensi defekasi dan menurunkan waktu transit
gastrointestinal.
Efek serat yang menghasilkan massa dalam kotoran dapat berhubungan
dengan peningkatan retensi air maupun dengan proliferasi bakteri kolon yang
memproduksi gas di dalam tinja.
Suplementasi serat bukan terapi yang tepat bagi pasien dengan lesi
obstruktif traktus gastrointestinal atau bagi pasien penyakit megakolon atau
megarektum.
Dianjurkan makanan yang banyak mengandung sayur-sayuran, buah-
buahan, yang banyak mengandung selulosa. Selulosa yang dimakan susah dicerna,
sebab didalam badan kita tidak mempunyai enzim selulosa. Jadi selulosa berguna
untuk memperlancar defekasi.
b. Banyak minum dan olah raga
Cairan seperti air dan jus, menambah jumlah air yang masuk ke dalam
kolon dan memperbesar bentuk tinja, dan membuat gerakan usus menjadi lebih
perlahan-lahan dan lebih mudah. Penderita yang mengalami masalah konstipasi,
seyogyanya minum cukup air setiap harinya, sekitar 8 gelas perhari. Cairan lain
14
seperti kopi dan “soft drinks”, yang mengandung kafein, tampaknya mempunyai
efek dehidrasi.
Kurang olah raga dapat menimbulkan konstipasi, tanpa diketahui
penyebab sebenarnya. Sebagai contoh, konstipasi sering terjadi pada penderita
setelah mengalami kecelakaan atau pada saat penderita diharuskan tirah baring
dalam waktu yang lama karena penyakitnya.
2. Terapi Farmakologis
Pengobatan utama adalah pemberian diit tinggi serat. “Bulking agents”
merupakan pengobatan lini berikutnya. Pemberian klisma dapat dikerjakan untuk
membantu melakukan evakuasi tinja secara total. Hindari pemakaian iritan atau
perangsang periltatik. Pemakaian obat-obat ini dalam jangka panjang pernah
dilaporkan dapat menimbulkan kerusakan pada “myenteric plexus”, yang selanjutnya
justru akan mengganggu gerakan usus.
Banyak orang menggunakan obat pencahar (laksatif) untuk menghilangkan
konstipasi. Beberapa obat aman digunakan dalam jangka waktu lama, obat lainnya
hanya boleh digunakan sesekali. Beberapa obat digunakan untuk mencegah
konstipasi, obat lainnya digunakan untuk mengobati konstipasi. Golongan obat-obat
tersebut, antara lain:
1. Bulking Agents
Bulking agents (gandum, psilium, kalsium polikarbofil dan metilselulosa)
bisa menambahkan serat pada tinja. Penambahan serat ini akan merangsang
kontraksi alami usus dan tinja yang berserat lebih lunak dan lebih mudah
dikeluarkan. Bulking agents bekerja perlahan dan merupakan obat yang paling
aman untuk merangsang buang air besar yang teratur. Pada mulanya diberikan
dalam jumlah kecil. Dosisnya ditingkatkan secara bertahap, sampai dicapai
keteraturan dalam buang air besar. Orang yang menggunakan bahan-bahan ini
harus selalu minum banyak cairan.
2. Pelunak Tinja
Dokusat akan meningkatkan jumlah air yang dapat diserap oleh tinja.
Sebenarnya bahan ini adalah detergen yang menurunkan tegangan permukaan dari
tinja, sehingga memungkinkan air menembus tinja dengan mudah dan
menjadikannya lebih lunak. Peningkatan jumlah serat akan merangsang kontraksi
15
alami dari usus besar dan membantu melunakkan tinja sehingga lebih mudah
dikeluarkan dari tubuh.
3. Minyak Mineral
Minyak mineral akan melunakkan tinja dan memudahkannya keluar dari
tubuh. Tetapi bahan ini akan menurunkan penyerapan dari vitamin yang larut
dalam lemak. Dan jika seseorang yang dalam keadaan lemah menghirup minyak
mineral secara tidak sengaja, bisa terjadi iritasi yang serius pada jaringan paru-
paru. Selain itu, minyak mineral juga bisa merembes dari rektum.
4. Bahan-bahan Osmotik
Bahan-bahan osmotik mendorong sejumlah besar air ke dalam usus besar,
sehingga tinja menjadi lunak dan mudah dilepaskan. Cairan yang berlebihan juga
meregangkan dinding usus besar dan merangsang kontraksi. Pencahar ini
mengandung garam-garam (fosfat, sulfat dan magnesium) atau gula (laktulosa dan
sorbitol). Beberapa bahan osmotik mengandung natrium, menyebabkan retensi
(penahanan) cairan pada penderita penyakit ginjal atau gagal jantung, terutama
jika diberikan dalam jumlah besar.
Bahan osmotik yang mengandung magnesium dan fosfat sebagian diserap
ke dalam aliran darah dan berbahaya untuk penderita gagal ginjal. Pencahar ini
pada umumnya bekerja dalam 3 jam dan lebih baik digunakan sebagai pengobatan
daripada untuk pencegahan. Bahan ini juga digunakan untuk mengosongkan usus
sebelum pemeriksaan rontgen pada saluran pencernaan dan sebelum kolonoskopi.
5. Pencahar Perangsang.
Pencahar perangsang secara langsung merangsang dinding usus besar
untuk berkontraksi dan mengeluarkan isinya. Obat ini mengandung substansi yang
dapat mengiritasi seperti senna, kaskara, fenolftalein, bisakodil atau minyak
kastor. Obat ini bekerja setelah 6-8 jam dan menghasilkan tinja setengah padat,
tapi sering menyebabkan kram perut. Dalam bentuk supositoria (obat yang
dimasukkan melalui lubang dubur), akan bekerja setelah 15-60 menit. Penggunaan
jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan pada usus besar, juga seseorang
16
bisa menjadi tergantung pada obat ini sehingga usus menjadi malas berkontraksi
(Lazy Bowel Syndromes). Pencahar ini sering digunakan untuk mengosongkan
usus besar sebelum proses diagnostik dan untuk mencegah atau mengobati
konstipasi yang disebabkan karena obat yang memperlambat kontraksi usus
besar ,misalnya narkotik (Christine, 2005).
3. Tindakan Pembedahan
Hanya pasien yang telah dievaluasi dengan pengujian fisiologis dan terbukti
memiliki manfaat sembelit transit kolon yang lambat dari operasi. Sebuah kolektomi
subtotal dengan ileorectostomy adalah prosedur pilihan untuk pasien dengan
konstipasi transit lambat yang gigih dan intractable. Komplikasi setelah operasi
mungkin termasuk obstruksi usus kecil, sembelit berulang atau persisten, diare, dan
inkontinensia. Bedah umumnya tidak dianjurkan untuk sembelit disebabkan oleh
anorectal dysfunction. Hubungan antara rectocele dan sembelit tidak sepenuhnya
jelas. Koreksi bedah dicadangkan untuk pasien dengan rectoceles besar yang
mengubah fungsi usus (Christine, 2005).
J. Prognosis
Sebagian besar penderita yang aktif, menunjukkan respons yang baik dengan
pemberian obat. Pada penderita yang harus tirah baring lama, konstipasi akan menjadi
masalah (Harrison, 1999).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadsyah I., et al. 1997. Kelainan Abdomen Non Akut. Dalam: Sjamsuhidajat R. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. hal: 240-254.
Christine H. 2005. Treatment of Constipation in Older Adults. Am Fam Physician. 1;72(11):2277-2284.
Harari D, Gurwitz JH, Avorn J, et al, 1997. How do older persons define constipation? Implications for therapeutic management. J Gen Intern Med. 12(1): 63-66
Harrison, 1999. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Jakarta: EGC.
17
Koch TR, 1995. Constipation. In Bockus Gastroenterology, vol 1, 5th ed. Philadelphia: WB Saunders Co. pp: 102-112.
Lennard-Jones JE, 1998. Constipation. In: M Feldman, et al. 1998. Sleisenger and Fordtrans’s Gastrointestinal and Liver Disease. Pathophysiology / Diagnosis / management. Vol 1, 6th Ed. Philadelphia: WB Saunders Co. pp: 174-197
McCrea, GL., Christine M., Nancy AS., Liz M., Madhulika GV. 2008. Pathophysiology of constipation in the older adult. World J Gastroenterol. 14(17): 2631-2638
Müller-Lissner, Stefan. 2009. The Pathophysiology, Diagnosis, and Treatment of Constipation. Dtsch Arztebl Int106(25): 424–432.
Ramkumar DP and Rao SSC. 2001. Functional anorectal disorders. In: EJ Irvine and RH Hunt. 2001. Evidence-Based Gastroenterology. London: BC Decker Inc. pp: 207-222.
Ulshen M, 2000. Sistem Saluran Pencernaan. Dalam: Wahab S. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15, Volume 2. Jakarta: EGC. hal: 1271-1278.
Wald A, 1995. Approach to the patient with constipation. In: T Yamada, et al. 1995. Textbook of Gastroenterology, vol 1, 2nd ed. Philadelphia: JB Lippincott Co. pp: 864-880
18