prosus blok 19-pertemuan 2

24
PROSUS BLOK 19 Tumbuh Kembang, Geriatri & Penyakit Degeneratif PERTEMUAN II Yonathan Adhitya Irawan 4100069 I. Kejang neonatorum 1. Definisi a. Kejang pada bayi baru lahir adalah kejang yang timbul dalam masa neonatus atau dalam 38 hari sesudah lahir. b. Kejang ini merupakan tanda penting akan adanya penyakit lain sebagai penyebab kejang, yang dapat menyebabkan gejala sisa yang menetap di kemudian hari. Bila penyebabnya diketahui, penyakit ini harus segera diobati. c. Kejang neonatus tidak sama dengan kejang pada anak atau orang dewasa karena konvulsi tonik klonik cenderung tidak terjadi selama umur bulan pertama. Proses pertumbuhan akson dan tonjolan dendrit juga mielinisasi tidak sempurna pada otak neonatus.emeriksaan kejang 2. Klasifikasi Volpe (1977) membagi kejang pada bayi lahir sebagai berikut : 1. Bentuk kejang yang hampir tidak kelihatan (subtle) yang sering tidak diketahui sebagai kejang. Terbanyak di neonatus berupa : Deviasi horizontal bola mata. Getaran dari kelopak mata/berkedip-kedip Gerakan dari pipi dan mulut, seperti menghisap-hisap, mengunyah, mengecap, dan menguap Apnea berulang Gerakan tonik tungkai

Upload: yonathan-aditya

Post on 29-Jan-2016

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Prosus Blok 19-Pertemuan 2

TRANSCRIPT

Page 1: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

PROSUS BLOK 19Tumbuh Kembang, Geriatri & Penyakit Degeneratif

PERTEMUAN IIYonathan Adhitya Irawan

4100069

I. Kejang neonatorum

1. Definisi

a. Kejang pada bayi baru lahir adalah kejang yang timbul dalam masa neonatus atau dalam 38 hari sesudah lahir.

b. Kejang ini merupakan tanda penting akan adanya penyakit lain sebagai penyebab kejang, yang dapat menyebabkan gejala sisa yang menetap di kemudian hari. Bila penyebabnya diketahui, penyakit ini harus segera diobati.

c. Kejang neonatus tidak sama dengan kejang pada anak atau orang dewasa karena konvulsi tonik klonik cenderung tidak terjadi selama umur bulan pertama. Proses pertumbuhan akson dan tonjolan dendrit juga mielinisasi tidak sempurna pada otak neonatus.emeriksaan kejang

2. Klasifikasi

Volpe (1977) membagi kejang pada bayi lahir sebagai berikut :

1. Bentuk kejang yang hampir tidak kelihatan (subtle) yang sering tidak diketahui sebagai kejang. Terbanyak di neonatus berupa :

Deviasi horizontal bola mata. Getaran dari kelopak mata/berkedip-kedip Gerakan dari pipi dan mulut, seperti menghisap-hisap, mengunyah, mengecap, dan menguap Apnea berulang Gerakan tonik tungkai Gerakan mengunyah , salivasi berlebihan, perubahan pola pernafasan termasuk apneu,

berkedip, nistagmus, gerakan bersepeda atau mengayuh pedal , dan perubahan warna.

Setiap gerakan yang tidak biasa pada neonatus, bila berlangsung beurlang-ulang dan periodic perlu dipikirkan kemungkinan dari kejang.

2. Kejang klonik multifocal (migratory)

Gerakan klonik berpindah-pindah dari satu anggota gerak ke anggota gerak lainnya secara tidak teratur. Kadang-kdang kejang yang satu dengan yang lainnya bersambungan, dapat menyerupai kejang umum.

Page 2: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

3. Kejang tonik

- Ekstensi kedua tungkai, kadang-kadangan disertai fleksi kedua lengan menyerupai keadaan dekortikasi.

- Ditandai dengan postur tungkai dan badan yang kaku, dan kadang disertai dengan deviasi mata yang tetap.

4. Kejang mioklonik

- Berupa gerakan fleksi seketika seluruh tubuh, jarang terlihat pada neonatus.- Jingkatan jingkatan setempat atau menyeluruh tungkai atau badan sebentar yang cenderung

melibatkan kelompok otot distal.

3. Etiologi

Sebanyak 10-30% tidak diketahui etiologinya, dan sebaliknya tidak jarang ditemukan lebih dari satu penyebab kejang pada neonatus.

1. Gangguan vascular

a. Perdarahan berupa petakie akibat anoxia dan asfiksia yang terjadi pada intraserebral atau intraventrikuler

b. Perdarahan akibat trauma langsung, yaitu berubah perdarahan di subaraknoid atau di subdural

c. Thrombosisd. Penyakit perdarahan seperti defisiensi vit Ke. Syndrome hiperviskositas

2. Gangguan metabolism

a. Hipokalsemiab. Hipomagnesemiac. Defesiensi dan ketergantungan akan piridoksind. Aminoasiduriae. Hiponatremiaf. Hipernatremiag. hiperbilirubinemia

3. Infeksi

a. Meningitis, sepsisb. Ensefalitisc. Toxoplasma congenitald. Penyakit ‘cytomegalic inclusion’

Page 3: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

4. Kelainan congenital

a. Porensefalib. Hidransefalic. Agenesis sebagian dari otak

5. Lain-lain

a. Narcotic withdrawalb. Neoplasmac. Dan sebagainya

4. Penegakan diagnosis

Anamnesis

a. Riwayat keluarga, kehamilan, dan persalinan.b. Riwayat kejang pada bayi terdahulu (sangkaan penyakit herediter : fenilketonuria, dsb)c. Riwayat ibu mengunakan obat/zat tertentu selama kehamilan : barbiturated. Riwayat kehamailan ibu dengan demam, pembesaran kelenjar dan kemerahan kulit : rubella,

toxoplasmosise. Riwayat kelahiran : menangis spontan, asfiksia, dsbf. Manifestasi klinis berupa kejang

Pemeriksaan fisik

a. Pemeriksaan pediatric

· Inspeksi dan palpasi kepala : depresi, fraktur, moulase yang terlalu hebat· Transluminasi membantu diagnosis penimbunan cairan di subdural setempat, atau adanya

kelainan kongenital seperti porensefali atau hidransefali. Bila ubun-ubun menonjol tanpa tanda-tanda infeksi selaput otak dilakukan tap subdural secara hati-hati.

· Funduskopi sangat penting : perdarahan retina menunjukan kemungkinan perdarahn intrakranial, koriorenitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi cytomegalo virus atau rubella. Adanya stasis vaskuler dengan pelebaran vena dengan bentuk berkelok-kelok ditemukan pada sindrom hiperviskositas.

· Pemeriksaan jantung dan paru· Pemeriksaan kulit : petike, sianosis, ikterus, dsb· Pemeriksaan abdomen : hepatosplenomegali

b. Pemeriksaan neurologis : bentuk kejang, hemysnydrome, hilangnya reflex moro, dsb

Page 4: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

· Pemeriksaan darah terhadap kadar : gula, kalsium, magnesium, natrium dan kalium secara rutin. Pemeriksaan dengan dextrostix membantu diagnosis hipoglikemia sehingga pengobatan dapat dilakukan sambil menunggu hasil true glucose.

· Elektrolit· CBC, diff count and PLT count· Arterial blood gas· Tanda-tanda sepsis à kultur darah· Pungsi lumbal dan pemeriksaan CSF dan kultur· Tanda-tanda hiperviskositas à konsentras hematokrit, kadar hemoglobin dan hitung

eritrosit

b. TORCH titer, amonia level, dan asam amino di urin

c. USG dan rontgen kepala

d. EEG : diagnosis, pengobatan dan prognosis

e. CT : cerebral malformation and hemorraghe

5. Penatalaksanaan

A. tindakan umum

1. Mengatur suhu lingkungan2. Mencegah infeksi3. Pemberian cairan yang cukup4. Pemberian oksigen pada kejang yang berlangsung lama karena kebutuhan oksigen sangat

meningkat pada waktu kejang5. Minimal handling (memegang bayi kalau diperlukan saja)

B. medikamentosa : pengobatan sebaiknya ditujukan kepada penyebab utama dari kejang, sedangkan penggunaan antikonvulsan adalah sekunder.

1. Hipoglikemia tanpa gejala

· Periksa dextrostix dan true glucose darah· Hindari bayi dari kedinginan· Bayi diberi ASI atau penganti ASI sebanyak 10-15ml/kgBB· Ulangi pemeriksaan dextrostx selama 1 jam, bila kadar gula darah masih dibawah 45mg%

harus dipersiapkan pemberian larutan dextrose

Page 5: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

· Selanjutnya pemeriksaan gula darah/dextrostix tiap 3-4 jam. bila menunjukkan >45mg% pada 3-4x pemeriksaan maka bayi cukup diberi minum peroral.

2. Hipoglikemia dengan gejala

· Tremor, mengigil, apneu, letargi, malas minum, kejang, tangis yang tidak normal, serta pemeriksaan dextrostix <30mg% maka pemberian cairan PO dihentikan dan pasang NGT atau pemberian cairan IV

· Bila bayi sedang kejang berikan suntikan larutan lukosa 5% 2-3ml/kgBB sebagai bolus, awasi kemungkinan hipoglikemia kembali.

· Kemudian lanjutkan dengan larutan glukosa 10% sebanyak 8-10ml/kgBB/jam (15ml/kgbb/menit samapai dextrostix >45mg%)

· Selanjutnya jumlah cairan diturunkan bertahap sampai 4ml/kgbb/jam sampai dextrostix stabil >45mg% dan dilanjutkan dengan minuman peroral

· Bila dextrostix sesudah 12 jam tetap <45mg% maka dapat dberikan hydrocortisone 5mg/kgBB IV atau IM tiap 12 jam.

3. Hipokalsemia

Diobati dengan pemberian calcium glukonas 10% 3ml/kg BB IV perlahan-lahan dengan pengawasan terhadap denyut jantung selama penyuntikan. Bila gejala menghilang kalsium harus dihentikan, bila gejala tidak menghilang pikirkan hipomagnesia dan bayi diberikan MgSO4 2-3% sebanyak 2-6ml atau larutan 50% 1 ml, 1x/hari IM.

d. Ketergantungan piridoksin

Diberikan piridoksin diberikan piridoksin 25-50mg IV, dan dimonitor dengan EEG. Bila terjadi kelainan metabolisme piridoksin, kelainan pada EEG akan segera hilang setelah pemberian terapi.

e. Infeksi

Antibiotik yang sensitif terhadap kuman penyakit, jumlah dan lamanya pengobatan disesuaikan beratnya penyakit.

f. Sindrom hiperviskositas

Pada polisitemia hipervolemik dilakukan flebotomi dan darah dilekuarkam 10% dari darah sedangkan polisitemia normovolemik dilaukuan transfusi tukar parsial 30mg/kgBB plasma/plasma ekspander untuk darah yang dikeluarkan.

g. Gangguan elektrolit natrium

Hiponatremia biasanya disebabkan oleh retensi air akibat sekresi ADH yang meninggi. Pengobatannya adalah restriksi pemasukan cairan. Bila disebabkan oleh kehilangan natrium karena ekskresi yang banyak maka pengobatannya adalah pemberian natrium.

Page 6: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

h. Kernicterus

Adalah tidak ada gunanya karena kerusakan yang ditimbulkannya di otak tidak dapat diperbaiki lagi.

i. Bila tidak dapat dilakukan pemeriksaan terhadap penyebab kejang, lakukan blind treatment :

· Pertama, piridoksin 25-50mg IV· Bila dalam 2-3 menit tidak berhasil dilanjutkan dengan pemberian MgSO4· Urutan selanjutnya kalsium glukonas· Dan terakhir glukosa.

C. pengobatan sekunder : antikonvulsan

a. Phenobarbital 20mg/kgBB IVb. Phenytoin 20mg/kgBB IV : lebih berhasil pada kejang tonik.c. Diazepam dihindari karena menyebabkan apneu, kolaps sirkulasi serta tidak begitu baik

untuk maintenance karena pengaruhnya terhadap penekanan kontraski otot lebih besar dari bangkitan kejang.

d. Terapi hanya diberikan sampai satu minggu bebas kejang, bila kejang timbul pengobatan dimulai kembali. Tidak dianjurkan pemberian anti kejang jangka panjang untuk mencegah epilepsi pada bayi resiko tinggi.

II. Icterus neonatorum

1. Gejala

Gejala utama yang dapat dilihat pada bayi adalah perubahan warna menjadi kuning yang dapat dilihat pada mata, rongga mulut, dan kulit. Perubahan ini awalnya mudah tampak dari mata lalu apabila makin berat dapat menjalar hingga ke dada, perut, tangan, paha, hingga ke telapak kaki. Pneting untuk mengetahui kapan awal mula terjadinya kuning pada bayi tersebut karena dapat menentukan apakah ikterus ini bersifat fisiologis atau bersifat patologis. Selain itu, pada bayi dengan ikterus neonatorus fisiologis, bayi tampak sehat dan tidak rewel. Apabila ditemukan kuning disertai dengan anak lesu, malas menetek, dan rewel, perlu dicurigai sebagai ikterus neonatorus patologis dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.

Tanda-tanda terjadinya ikterus neonatorum yang bersifat fisiologis:

· Gejala kuning muncul pertama kali lebih dari 24 jam setelah lahir;· Kenaikan kabar bilirubin < 5 mg/dL;· Puncak dari kenaikan kadar bilirubin muncul di hari ke 3-5 dengan kadar bilirubin < 15

mg/dL;

Page 7: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

· Gejala kuning yang muncul menghilang dalam waktu 1 minggu untuk bayi cukup bulan dan 2 minggu pada bayi yang premature atau kurang bulan.

Apabila kuning yang muncul selain dari kriteria yang ada di atas, maka dimasukkan ke dalam tipe ikterus neonatorum yang bersifat patologis sehingga perlu eveluasi dan pemeriksaan yang lebih lanjut. Pemeriksaan yang dilakukan berguna untuk mengatahui penyebab dari ikterus patologis tersebut, contoh pemeriksaan yang dapat dilakukan :

· Kadar bilirubin serial atau diperiksa berulang-ulang sehingga dapat dipantau kenaikan kada bilirubinnya. Apabila kadar tinggi dapat segera diambil tindakan;

· Golongan darah dan rhesus dari ibu dan bayi. Sering terjadi ikterus karena golongan darah atau rhesus ibu dan bayi tidak sesuai;

· Tes Coomb;· Hapusan darah tepi untuk mengetahui bentuk dari sel darah merah;· Pemeriksaan darah lengkap untuk mengevaluasi kemungkinan infeksi.

2. Patofisiologi

Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.

1. Ikterus fisiologis

Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.

Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Page 8: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin.

2. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)

Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.

Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.

3. Etiologi

Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:

Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.

Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.

Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:

Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.

Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.

Page 9: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

Polisitemia. Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir. Ibu diabetes. Asidosis. Hipoksia/asfiksia. Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi

enterohepatik.

4. Faktor Risiko

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:

a. Faktor Maternal

Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani) Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh) Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik. ASI

b. Faktor Perinatal

Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis) Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

c. Faktor Neonatus

Prematuritas Faktor genetik Polisitemia Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol) Rendahnya asupan ASI Hipoglikemia Hipoalbuminemia

5. Klasifikasi Ikterus

1. Ikterus Fisiologis

A. Pengertian Ikterus fisiologis

Ikterus fisiologis adalah ikterus normal yang dialami oleh bayi baru lahir, tidak mempunyai dasar patologis sehingga tidak berpotensi menjadi kern ikterus.Ikterus ini memiliki tanda-tanda berikut :

Page 10: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

Timbul pada hari ke dua dan ketiga setelah bayi lahir Kadar biliburin Indirect tidak lebih dari 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg% pada

neonatus kurang bulan Kecepatan peningkatan kadar biliburin tidak lebih dari 5 mg% per hari Ikterus menghilang pada 10 hari pertama Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis Kadar bilirubin direct tidak lebih dari 1 mg%

B. Ikterus Fisiologis Yang Berlebihan Pada Bayi Prematur

Kondisi ini ditandai dengan kadar bilirubin sebesar 165µmol/l (10 mg/dl) atau lebih pada hari ke 3 atau 4 dengan puncak konsentrasi pada hari ke 5 sampai 7 yang kembali ke kadar noermal setelah bebrapa minggu.Bayi premature berisiko lebih tinggi untuk mengalami kern ikterus.Faktor penunjangnya antara lain :

Keterlambatan ekspresi enzim UPD-GT Waktu hidup sel darah merah yang lebih singkat Komplikasi seperti hipoksia,asidosis dan hipotermia yang dapat mengganggu kemamuan

mengikat albumin

2. Ikterus Hemolitik

Ikterus hemolitik disebabkan oleh lisis (penguraian) sel darah merah yang berlebihan. Ikterus hemolitik merupakan penyebab prahepatik karena terjadi akibat faktor-faktor yang tidak harus berkaitan dengan hati. Ikterus hemolitik dapat terjadi pada destruksi sel darah merah yang berlebihan dan hati tidak dapat mengkonjugasikan semua bilirubin yang dihasilkan. Ikterus ini dapat dijumpai pada reaksi transfuse, atau lisis sel darah merah akibat gangguan hemoglobin, misalnya anemia sel sabit dan talasemia. Destruksi sel darah merah karena proses otoimun yang dapat menyebabkan ikterus semolitik.

Pada ikterus hemolitik apapun sebabnya, sebagian bilirubin akan terkonjugasi (disebut bilirubin bebas atau hiperbilirubinemia indirek) akan meningkat.

3. Ikterus Hepatoseluler

Penurunan penyerapan dan konjugasi bilirubin oleh hati terjadi pada disfungsi hepatosis dan disebut ikterus hepatoseluler. Disfungsi hati dapat terjadi apabila hepatosit terinfeksi dan oleh virus, misalnya pada hepatitis, apabila sel sel hati rusak akibat kanker atau sirosis. Sebagian kelainan kongenital juga mempengaruhi kemampuan hati untuk menangani bilirubin, Obat-obatan tertentu termasuk hormone steroid, sebagian anti biotic dan anestetik halotan juga dapat mengganggu sel hati. Apabila hati tidak dapat mengkonjugasikan bilirubin, kadar bilirubin terkonjugasi akan meningkat sehingga timbul ikterus.

Page 11: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

4. Ikterus Obstruktif

Sumbatan terhadap aliran empedu keluar hati atau duktus biliaris disebut ikterus obstruktif. Ikterus obstruktif dianggap berasal intrahepatik apabila disebabkan oleh sumbatan aliran empedu melintasi duktus biliaris. Obstruksi intra hepatik dapat terjadi apabila duktus biliaris tersumbat oleh batu empedu atau tumor.

Pada kedua jenis obstruksi tersebut, hati tetap mengkonjugasikan bilirubin, tetapi bilirubin tidak dapat mencapai usus halus. Akibatnya adalah penurunan atau tidak adanya ekskresi urobilinogen di tinja sehingga tinja berwarna pekat. Bilirubin terkonjugasi tersebut masuk ke aliran darah dan sebagian besar di ekskresikan melalui ginjal sehingga urin berwarna gelap dan berbusa. Apabila obstruksi tersebut tidak di atasi maka kanalikulus biliaris di hati akhirnya mengalami kongesti dan rupture sehingga empedu tumpah ke limfe dan aliran darah.

6. Pemeriksaan dan penegakan diagnosis

1. Visual

Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.

WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:

Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.

Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.

Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.

2. Bilirubin Serum

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil)

Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.

Page 12: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

3. Bilirubinometer Transkutan

Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.

Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.

Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.

Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.

4. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.

Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.

Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.

Page 13: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

7. Tata laksana

1. Ikterus Fisiologis

Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:

Minum ASI dini dan sering Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih cepat

(terutama bila tampak kuning).

Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.

Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO):

Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat. Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia

kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan

darah bayi dan lakukan tes Coombs: Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar. Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan

terapi sinar Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila ada

riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan. Tentukan diagnosis banding

3. SEPSIS NEONATORUM

1. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala sepsis neonatorum umumnya tidak jelas dan tidak spesifik.Tanda dan gejala sepsis neonatorum yaitu: Tanda dan gejala umum meliputi hipertermia atau hipotermi bahkan normal, aktivitas lemah atau tidak ada tampak sakit, berat badan menurun tiba-tiba; Tanda dan gejala pada saluran pernafasan meliputi dispnea, takipnea, apnea, tampak tarikan otot pernafasan,merintih, mengorok, dan pernafasan cuping hidung; Tanda dan gejala pada system kardiovaskuler meliputi hipotensi, kulit lembab, pucat dan sianosis; Tanda dan gejala pada saluran pencernaan mencakup distensi abdomen, malas atau tidak mau minum, diare; Tanda dan gejala pada sistem saraf pusat meliputi refleks moro abnormal, iritabilitas, kejang, hiporefleksia, fontanel anterior menonjol,

Page 14: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

pernafasan tidak teratur; Tanda dan gejala hematology mencakup tampak pucat, ikterus, patikie, purpura, perdarahan, splenomegali.

2. Klasifikasi

Berdasarkan umur dan onset / waktu timbulnya gejala-gejala, sepsis neonatorum dibagi menjadi dua:

1. Early onset sepsis neonatal / sepsis awitan awal dengan ciri-ciri:

a) Umur saat onset → mulai lahir sampai 7 hari.b) Penyebab → organisme dari saluran genital ibu.c) Organisme → grup B Streptococcus, Escherichia coli, Listeria non-typik, Haemophilus influezae

dan enterococcus.d) Klinis → melibatkan multisistem organ (resiko tinggi terjadi pneumoni)e) Mortalitas → mortalitas tinggi (15-45%).

2. Late onset sepsis neonatal / sepsis awitan lanjut dengan ciri-ciri:

a) Umur saat onset → 7 hari sampai 30 hari.b) Penyebab → selain dari saluran genital ibu atau peralatan.c) Organisme → Staphylococcus coagulase-negatif, Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Grup B

Streptococcus, Escherichia coli, dan Listeria.d) Klinis → biasanya melibatkan organ lokal/fokal (resiko tinggi terjadi meningitis).e) Mortalitas → mortalitas rendah ( 10-20%).

1. Sepsis dini –> terjadi 7 hari pertama kehidupan. Karakteristik : sumber organisme pada saluran genital ibu dan atau cairan amnion, biasanya fulminan dengan angka mortalitas tinggi.

2. Sepsis lanjutan/nosokomial –> terjadi setelah minggu pertama kehidupan dan didapat dari lingkungan pasca lahir. Karakteristik : Didapat dari kontak langsung atau tak langsung dengan organisme yang ditemukan dari lingkungan tempat perawatan bayi, sering mengalami komplikasi.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah rutin (hb, leuko, trombosit, CT, BT, LED, SGOT, SGPT) Kultur darah dapat menunjukkan organisme penyebab. Analisis kultur urine dan cairan sebrospinal (CSS) dengan lumbal fungsi dapat Mendeteksi organisme. DPL menunjukan peningkatan hitung sel darah putih (SDP) dengan peningkatan Neutrofil immatur yang menyatakan adanya infeksi.

Page 15: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

Laju rendah darah, dan protein reaktif-c (CRP) akan meningkat menandakan adanya perubahan

4. komplikasi

Syok karena lepasnya toksin kedalam cairan darah, yang dimana gejalanya sukar untuk dideteksi Meningitis bakterialis Gangguan metabolic Pneumonia Infeksi saluran kemih Syok septik Gagal jantung kongestif Kematian

5. Diagnosis

a. Dari gejala-gejala klinis / manifestasi klinis

Sepsis neonatorum adalah infeksi yang masuk ke dalam tubuh secara langsung, yang dapat menimbulkan gejala klinis yang berat. Penyebab sepsis neonatorum adalah bakteri gram positif dan gram negatif, virus infeksi, dapat masuk secara hematogen, atau infeksi asenden. Waktu masuknya infeksi dapat berlangsung sebagai berikut.

1. Sebelum in partu. Potensi infeksi neonatus dalam keadaan :

a. Ketuban pecah dini akibat infeksi asenden.b. Akibat melakukan amniotomi.c. Infeksi ibu sebelum persalinan.d. Prematuritas akan lebih rentan terhadap infeksie. Pertolongan persalinan yang tidak bersih situasinya.

2. Pada saat in partu sebagai akibat bayi dengan berat badanlahir rendah/prematuritas atau akibat alat resusitasi yang tidak steril.

3. Terdapat sumber infeksi (infeksi lokal).

4. Stomatitis,perlukaam badan.

5. Sumber infeksi kulit (furunkel).

Berdasarkan kejadiannya, infeksi sepsis neonatorum berlangsung dalam dua awitan berikut :

Page 16: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

1. Awitan dini :

a. Gejala klinisnya tampak secara dini yaitu sekitar/sejak semula (rata-rata 48 jam pertama).

b. Infeksi berkaitan dengan sumber pada ibunya saat proses persalinan.

c. Kumannya: stafilokokus (E. Coli, H. Infuenzae, Klebsiella, Monilia).

2. Awitan lanjut :

a. Gejala klinisnya tampak setelah7 hari, saat penderita telah pulang.

b. Sumber infeksinya: faktor lingkungan yang kotor dan infeksius, infeksi nosokomial di rumah sakit.

c. Penyebab infeksinya : S. Aureus, stafilokokus grup beta, E. Coli monositogen.

d. Komplikasi berat : komplikasi susunan saraf pusat.

Diagnosis sepsis nenoatorum sulit ditetapkan karena gejalanya tidak khas. Setiap perubahan keadaan fisik atau gambaran darah neonatus dianggap terjadi infeksi sepsis neonatorum. Diagnosis ditegakkan jika terdapat lebih dari satu kumpulan gejala berikut ini :

Gejala umum infeksi : tampak sakit, tidak man ruinum, suhu naik atau turun, sklerena/skerederna.

Gejala gastrointestinal : terdapat diare, muntah, hepatomegali, splenomegali, atau perut kembung.

Gejala paru : sianosis, apnea, atau takipnea. Gejala kardiovaskular : terdapat takikardia, edema atau dehidrasi. Gejala neurologic : letargi (tampak seperti mayat), peka rangsang atau kejang. Gejala hematologis-laboratorium : ikterus, pendarahan bawah kulit, leukopenia, dan leukosit

kurang dari 5.000/mm3.

Pemeriksaan tambahan untuk memperkuat sepsis neonatorum adalah : KED meningkat, trombositopenia, granulasi toksis vakuolisasi sel atau granulasi toksis, vakuolisasi nukleus polimorf.

Diagnosis pastinya ditegakkan bila dijumpai bakteri kuman dalam darah dan semua cairan yang dikeluarkan oleh tubuh.

b. Pemeriksaan laboratorium pada bayi-bayi sepsis sebagai berikut:

· Skrining sepsis yang rutin.

Page 17: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

Hitung jenis darah lengkap. Kultur darah. Apusan bahan dari bagian yang mengalami infalamasi. Apusan dari telinga dan tenggorokan (pada early -onset infeksi). Urine secara mikroskopis dan kultur. Rontgen thoraks. C-reaktif protein.

· Tes rutin tambahan,dari indikasi klinis yang didapatkan.

Lumbal pungsi, Kultur dan gram dari aspirasi lambung. Kultur dan gram dari apusan vagina yang lebih tinggi dari ibu. Kultur dari endotrakeal tube atau aspirasi dari trakeal. Kultur dari drainase dada. Kultur dari kateter vaskular. Kultur darah kwantitatif atau kultur darah multipel. IgG konsentrasi serial untuk spesifik organisme. IgM konsentrasi untuk organisme spesifik. Buffy coat secara mikroskopik.

· Tes tidak rutin atau tes baru

Lateks aglutinasi tes. Serum interleukin dan TNFa. Immunoelektroforesis. Acridin orange leukosit cystopin test.

Komponen dari skrining sepsis adalah:

1. C-Reaktive Protein >10 mg/L.

Sensitivitas tes ini: 47-100.

Spesifik: 83-94.

2.Total Leucocyte Count (TLC) <5.000,>15.000.

Sensitivitas tes ini: 17-89.

Spesifik: 81-98.

3.Absolute Neutrophil Count (ANC) <>

Sensitivitas tes ini: 38-96.

Spesifik: 61-92.

Page 18: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

4.Immature Total Ratio (ITR) >20

Sensitivitas tes ini: 90-100.

Spesifik: 50-78.

5.Micro-ESR (mESR) > umur dalam hari+ 3 mm.

Sensitivitas: 27-50.

Spesifik: 83-99.

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk sepsis neonatorum ada tiga tahap yaitu sebagai beikut :

Perawatan umum :

Tindakan aseptik dengan cuci kama. Pertahankan suhu tubuh sekitar 36,5-37ºC. Jalan napas harus bersih, artinya jangan sampai ada gangguan napas. Cairan diberikan dengan infus. Lakukan perawatan bayi dan tali pusat dengan baik.

Medikamentosa :

Beri antibiotik kombinasi. Evaluasi hasilnya 3-5 hari, bila tidak berhasil, ganti antibiotik. Uji sensitivitas kuman sehingga antibiotik diberikan dengan tepat. Antibiotik diberikan perpanjangan selama 7 hari setelah perbaikan secara klinis.

Simtomatik : pengobatan simtomatik diberikan dan sesuai dengan gejala klinisnya (obat penurun panas, obat anti kejang). Transfusi darah sehingga Hb 11g%.

Pemantauan terhadap perawatan pasien adalah sebagai berikut :

Perhatikan keadaan umum, tanda-tanda vitalnya, Perhatikan keseimbangan nutrisi dan cairan. Evaluasi gambaran darahnya. Persiapan alat darurat Kriteria sembuh adalah keadaan umum membaik, gejala penyakit menghilang dan didukung

pemeriksaan laboraturium.

Prinsip pengobatan sepsis neonatorum adalah mempertahankan metabolisme tubuh dan memperbaiki keadaan umum dengan pemberian cairan intravena termasuk kebutuhan nutrisi.

Page 19: Prosus Blok 19-Pertemuan 2

Pemberian antibiotik hendaknya memenuhi kriteria efektif berdasarkan hasil pemantauan mikrobiologi, murah, dan mudah diperoleh, tidak toksik, dapat menembus sawar darah otak atau dinding kapiler dalam otak yang memisahkan darah dari jaringan otak dan dapat diberi secara parenteral. Pilihan obat yang diberikan ialah ampisilin dan gentamisin atau ampisilin dan kloramfenikol, eritromisin atau sefalasporin atau obat lain sesuai hasil tes resistensi.

Dosis antibiotik untuk sepsis neonatorum : Ampisislin 200 mg/kgBB/hari, dibagi 3 atau 4 kali pemberian; Gentamisin 5 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2 pemberian; Kloramfenikol 25 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 atau 4 kali pemberian; Sefalasporin 100 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2 kali pemberian;Eritromisin500 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis.