pbl blok 19
TRANSCRIPT
Gagal Jantung Akut
Lius Gerald
102010043
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk Jakarta Barat, Telp 021-56942061
Pendahuluan
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan penyebab
peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung. Kejadian gagal jantung akan semakin
meningkat di masa depan karena semakin bertambahnya usia harapan hidup dan berkembangnya
terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan
penurunan fungsi jantung. Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya
keadaan klinis serta tidak spesifik serta hanya sedikit tanda – tanda klinis pada tahap awal
penyakit. Perkembangan terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini serta
perkembangan pengobatan yang memeperbaiki gejala klinis, kualitas hidup, penurunan angka
perawatan, memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Anamnesis
Anamnesis memegang peranan yang sangat penting, yang bersama-sama dengan pemeriksaan
fisik dan penunjang lainnya akan mempermudah diagnosis penyakit. Pada anamnesis wajib
ditanyakan identitas pasien, keluhan utama, keluhan penyerta, riwayat penyakit sekarang, dan
juga riwayat penyakit menahun keluarga.
Pada skenario seorang laki laki berusia 62 tahun datang ke RS dengan keluhan sesak nafas yang
memberat dan berlangsung terus menerus sejak 2 hari terakhir, 1 minggu yang lalu pasien juga
mengatakn mengalami nyeri dada namun membaik sendiri, setelah itu mulai timbul sesak,
namun lama kelamaan timbul sesak yang bertambah saat aktifitas. Pasien sering memiliki
riwayat merokok namun sudah berhenti sejak 5 tahun terakhir dan riwayat diabetes.
Dari skenario di atas dapat pula ditanyakan:
- Jika ada nyeri, kapan munculnya, saat seperti apa (saat beraktivitas, saat santai,
atau setiap saat)
- Seberapa sering rasa sakit itu muncul
- Apakah rasa sakit itu menjalar atau hanya di satu titik?
- Sejak kapan rasa sakit itu mulai terjadi?
- Apakah rasa sakit itu semakin berat atau konstan?
- Adakah sesak napas?
- Adakah bengkak di sekitar tubuh?
- Keluhan lain seperti rasa malas, perasaan gampang lelah
- Batuk (berdahak, kering, atau berdarah)
- Pernah pingsan atau tidak
- Riwayat penyakit pendahulu pasien (Diabetes Melitus, Hipertensi, dll)
- Riwayat penyakit keluarga
- Apakah pasien memiliki alergi?
- Pengobatan atau terapi yang mungkin pernah dilakukan sebelumnya
.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang pertama kali dilakukan adalah keadaan umum dan tanda-tanda vital
pasien. Pemeriksaan fisik dilakukan secara keseluruhan dari kepala sampai kaki. Pemeriksaan
fisik yang umum dilakukan adalah inspeksi, palpasi, perkusi auskultasi.
- Inspeksi : melihat apakah adanya kelainan pada bentuk toraks pasien, lalu juga melihat
ictus cordis pada pasien. Lihat juga apakah ada oedem di tungkai pasien dan apakah
terdapat sianosis pada kulit pasien.
- Palpasi : meraba ictus cordis pada pasien, menentukan lokasi, diameter, amplitudo dan
kuat angkat. Lokasi ictus cordis biasanya pada intercostal 5 atau 4 garis midclav kiri,
pergeseran ke kiri dapat dijumpai pada pembesaran jantung. Diameter biasanya seluas
2,5 cm dan tidak boleh lebih besar dari satu sela iga.
- Perkusi: menentukan batas-batas jantung untuk mengetahui apakah terjadi
pembesaran jantung kanan maupun kiri.
- Auskultasi : kelainan patologis yang harus diperhatikan antara lain adanya bunyi gallop dan
murmur. Perhatikan juga bentuk dari murmurnya apakah crescendo atau decrescendo dan
juga intensitas murmur itu sendiri.
Pemeriksaan Penunjang
- Pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio kardiotorasik (CTR)
> 50%), terutama bila gagal jantung sudah kronis. Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi
ventrikel kiri atau kanan, LVH, atau kadang oleh efusi perikard. Derajat kardiomegali tidak
berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri.
- Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebaigian besar pasien (80-
90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertropi LV, gangguan konduksi, aritmia.
- Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal jantung.
Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik), dan abnormalitas gerakan
dinding dapat dinilai dan penyakit katub jantung dapat disinggirkan.
- Tes darah direkomendasikan untuk menyinggirkan anemia dan menilai fungsi ginjal sebelum
terapi di mulai. Disfungsi tiroid dapat menyebabkan gagal jantung sehingga pemeriksaan fungsi
tiroid harus selalu dilakukan.
- Pencitraan radionuklida menyediakan metode lain untuk menilai fungsi ventrikel dan sangat
berguna ketika citra yang memadai dari ekokardiografi sulit diperoleh. Pemindahan perfusi dapat
membantu dalam menilai fungsional penyakit jantung koroner.
Working Diagnosis
Working diagnosis yang dijalankan adalah gagal jantung akut. Gagal jantung akut didefinisikan
sebagai serangan cepat dari gejala-gejala atau tanda-tanda dari gagal jantung yang berakibat
perlunya tindakan atau terapi secara urgent. Gagal jantung akut dapat berupa serangan pertama
gagal jantung atau perburukan dari gagal jantung kronik sebelumnya. Pasien dapat
memperlihatkan kedaruratan medik seperti edema paru.1
Diagnosis gagal jantung akut ditegakkan berdasarkan gejala dan penilaian klinis, didukung oleh
pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto thoraks, biomarker dan ekokardiografi Doppler.
Pasien segera diklasifikasikan apakah disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik.
Klasifikasi gagal jantung
Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu :
1. Gangguan mekanik ; beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau bersamaan
yaitu :
a) Beban tekanan
b) Beban volume
c) Tamponade jantung atau konstriski perikard, jantung tidak dapat diastole
d) Obstruksi pengisian ventrikel
e) Aneurisma ventrikel
f) Disinergi ventrikel
g) Restriksi endokardial atu miokardial
2. Abnormalitas otot jantung
a) Primer: kardiomiopati, miokarditis metabolik (DM, gagal ginjal kronik, anemia) toksin atau
sitostatika.
b) Sekunder: Iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltratif, korpulmonal
3. Gangguan irama jantung atau gangguan konduksi
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan penanganan
gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain pembagian berdasarkan Killip yang
digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi
Forrester, Stevenson dan NYHA.2 Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita
infark miokard akut, dengan pembagian:
- Derajat I : tanpa gagal jantung
- Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop dan peningkatan
tekanan vena pulmonalis
- Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.
- Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik 90 mmHg) dan
vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis).
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti dan
kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki basah,
refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau
square wave blood pressure pada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya
tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan
penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut
kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas
(warm). Berdasarkan hal tersebut penderta dibagi menjadi empat kelas, yaitu:
- Kelas I (A) : kering dan hangat (dry – warm)
- Kelas II (B) : basah dan hangat (wet – warm)
- Kelas III (L) : kering dan dingin (dry – cold)
- Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet – cold)
Faktor Resiko
Faktor risiko dari penyakit jantung koroner dapat digolongkan menjadi 2 kategori yang berbeda,
yakni faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi.
Beberapa Penurunan Curah Jantung Aktivasi system simpatis Hormon Antidiuretik Aktivasi
Sistem Renin Angiotensin Tekanan darah dipertahankan Curah Jantung.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain kadar kolesterol darah tinggi, kadar LDL (Low
Density Lipoprotein) tinggi, kadar trigliserida tinggi, hipertensi, diabetes, obesitas, aktivitas fisik
yang kurang, serta merokok. Semua faktor risiko tadi merupakan faktor risiko yang dapat
dikontrol, baik dengan perubahan gaya hidup maupun medikasi. Sedangkan usia tua, jenis
kelamin wanita dan riwayat penyakit jantung pada keluarga merupakan faktor risiko yang tidak
dapat dimodifikasi.
Diagnosis banding
Gagal Jantung Kronik
Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat kegagalan jantung memompa
darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Suatu definisi objektif yang sederhana untuk
menentukan batasan gagal jantung kronik hampir tidak mungkin di buat karena tidak terdapat
nilai batas tegas pada disfungsi ventrikel.3
Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom kklinis yang
komplek yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan istirahat
atau latihan, edema dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia lanjut, dengan
rata-rata umur 74 tahun. Ramalan dari gagal jantung akan lebih jelek bila dasar atau penyebabya
tidak dapat diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4
tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan
meninggal dalam tahun pertama.3
Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard, endokard, perikardium, pembuluh
darah besar, aritmia, kelainan katup dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika disfungsi
miokard paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner biasanya akibat infark miokard,
yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan
diabetes. Indonesia masih belum ada data yang pasti, sementara data rumah sakit di Palembang
menunjukkan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit jantung koroner dan
kelainan katup. Sebagaimana diketahui keluhan dan gejala gagal jantung, edema paru, dan syok
sering dicetuskan oleh adanya berbagai faktor pencetus. Hal ini penting diidentifikasi terutama
yang bersifat reversibel karena prognosis akan menjadi lebih baik.
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
Istilah Penyakit Paru Obstruktif (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease(COPD)
ditujukan untuk mengelompokkan penyakit penyakit yang mempunyai gejala berupa
terhambatnya arus udara pernapasan. Istilah ini mulai dikenal pada akhir 1960-an. Masalah yang
menyebabkan terhambatnya arus udara tersebut terletak pada saluran pernapasan maupun pada
parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimaksud adalah bronchitis kronik(masalah pada
saluran pernapasan), emfisema (masalah pada parenkim). Secara logika penyakit paru asma
bronkial seharusnya dapat digolongkan ke dalamnya.
Suatu kasus obstruksi aliran udara eskpirasi dapat digolongkan sebagai PPOK jika obstruktif
aliran udara ekspirasi tersebut dapat cenderung progresif. Kedua penyakit tadi (bronchitis kronik,
emfisema) hanya dapat dimasukkan ke dalam PPOK jika keparahan penyakitnya telah berlanjut
dan obstruktifnya bersifat progesif.
Pada sebagian pasien, batuk atau mengi merupakan keluhan utama sehingga mudah disangka
asma. Batuk dan pengeluaran dahak sangat bervariasidan bergantung pada keparahan bronchitis
yang menyebabkannya. Penurunan berat badan sering terjadi dan dan dapat sedemikian hebat
sehingga seperti menandakan adanya tumor ganas tersembunyi. Secara klasik, pasien tampak
memiliki dada berbentuk tong dan sesak, dengan ekspirasi yang jelas memanjang, duduk
condong ke depan dengan posisi membungkuk, dan bernapas melalui bibir yang
mengkerut.Kematian pada kebanyakan PPOK disebabkan oleh asidosis repiratorik dan koma,
gagal jantung sisi-kanan dan kolaps masif paru akibat pneumotoraks.
Hipoksemia (rendahnya PaO2) kronik pada PPOK merupakan vasokonstriktor pulmonal yang
kuat. Vasokonstriksi pulmonary meningkatkan tekanan arteri pulmonal/ hipertensi pulmonal.
Hipoksemia sebagian besar disebabkan oleh ketidakcocokan Va/ Q dan menyebabkan
polisitemia (peningkatan sel darah merah) dan peningkatan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi
pulmonal) akibat vasokonstriksi paru hipoksik. Gangguan yang terjadi pada fungsi jantung kanan
menyebabkan retensi cairan oleh ginjal, peningkatan tekanan vena sentralis, dan edema perifer.
Keadaan tersebut kemudian dapat menyebabkan cor pulmonal (retensi cairan/ gagal jantung
akibat penyakit paru). Hipertensi pulmonal dipotensiasi oleh hilangnya kapiler yang luas pada
penyakit lanjut.4
Epidemiologi
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4-2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut,
dengan rata-rata umur 74 tahun.1 Ramalan dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau
penybabnya tidak dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4
tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan
meninggal pada tahun pertama.
Berdasarkan survei rumah sakit, didapatkan angka perawatan gagal jantung di rumah sakit,
perempuan 4,7% sedangkan laki-laki 5,1%. Sebagian dari gagal jantung ini adalah dalam bentuk
manifestasi klinis berupa gagal jantung akut dan sebagian besar lainnya berupa gagal jantung
kronik.
Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup penting untung
mengetahui penyebab dari gagal jantung, di Negara berkembang penyakit arteri koroner dan
hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi
penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi.5 Pada
beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada
keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita.
Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung
pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita.5 Risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga
merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu
berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai
faktor risiko independen perkembangan gagal jantung.
Hipertensi telah dibuktikan meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa
penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk
hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik
dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang
menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung.5
Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan oleh
penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun penyakit pada
perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional : dilatasi (kongestif),
hipertrofik, restriktif dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung
dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan.
Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom
Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit
keturunan (autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan
adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang asimetris
yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif).
Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk, tidak
membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolic (relaksasi) yang menghambat
pengisian ventrikel.5
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat ini sudah mulai
berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah
regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan
kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban
tekanan (peningkatan afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan
dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita
hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan.
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun
gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat
menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan
gagal jantung 2 – 3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan
defisiensi tiamin. Obat – obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti
doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat
efek toksik langsung terhadap otot jantung.
Patogenesis gagal jantung
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skelet
dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks.
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya
penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal,
sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (system RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic
peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat
terjaga.6
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer
(peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan
pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis
miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.6
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan
aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan
sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan
retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek
pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.6
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek yang
luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan
di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada
manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel,
kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah
dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain
natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan
dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan
reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung,
maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis,
bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.6
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung
kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan
menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan
merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh
darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin plasma akan
semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan
tekanan pulmonary artery capillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah
dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat
terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin.6
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding
ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian
ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan
hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada
penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal
jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering
ditemukan disfungsi sistolik dan diastolic yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.
Gambar1.1 Patogenesis Gagal Jantung7
Manifestasi Klinis
Gejala gagal jantung akut terutama disebabkan oleh kongesti paru yang berat sebagai akibat
peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri yang meningkat, dapat disertai penurunan curah
jantung ataupun tidak. Manifestasi klinis GJA meliputi:
1. Perburukan atau gagal jantung kronik dekompensasi, adanya riwayat perburukan yang
progresif pada penderita yang sudah diketahui dan mendapat terapi sebelumnya sebagai
penderita gagal jantung kronik dan dijumpai adanya kongesti sistemik dan paru.
2. Gagal jantung hipertensi yaitu terdapat gagal jantung yang disertai tekanan darah tinggi dan
gangguan fungsi jantung relatif dan pada foto toraks terdapat tanda-tanda edema paru akut.
3. Edema paru yang diperjelas dengan foto toraks, respiratory distress, ronki yang luas, dan
ortopnea. Saturasi oksigen biasanya kurang dari 90% pada udara ruangan.
4. Syok kardiogenik ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg
atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari 30 mmHg dan atau penurunan pengeluaran
urin kurang dari 0,5 ml/kgBB/jam, frekuensi nadi lebih dari 60 kali per menit dengan atau tanpa
adanya kongesti organ.
5. Sindroma koroner akut dan gagal jantung. Banyak penderita GJA timbul bersamaan dengan
sindrom koroner akut yang dibuktikan dari gambaran klinis danpemeriksaan penunjang. Kira-
kira 15% penderita sindrom koroner akut memperlihatkan gejala dan tanda-tanda gagal jantung.
6. Gagal jantung kanan yang ditandai dengan sindrom low output tanpa disertai oleh kongesti
paru dengan peninggian tekanan vena jugularis dengan atau tanpa hepatomegali dan pengisian
ventrikel kiri yang rendah.1
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesak nafas
saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema tungkai. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto
thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi
dan tes fungsi paru. Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet
jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas
pada tahap awal. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan
paru yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi
pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan.8
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita
dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran
yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri,
bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya
menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu
pada pasien sangat kecil kemungkinannya.Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif
yang sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif
mengenai struktur dan fungsi jantung.
Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal
jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan
fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior,
hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi
sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.8
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah
bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung
yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul
hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung
yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya
gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan
serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis
tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada
pemberian diuretic tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul
pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat
potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH)
gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi
tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal
jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml.2,8,12-
14.
Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction,
laju pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding.
Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri
dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui tekanan
diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium
kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure.8
Penatalaksanaan
1. Terapi Umum dan Faktor Gaya Hidup
a. Aktifitas fisik harus disesuaikan dengan tingkat gejala. Aktifitas yang sesuai menurunkan
tonus simpatik, mendorong penurunan berat badan, dan memperbaiki gejala dan toleransi
aktivitas pada gagal jantung terkompensasi dan stabil.
b. Oksigen merupakan vasorelaksan paru, merupakan afterload RV, dan memperbaiki aliran
darah paru.
c. Merokok cenderung menurunkan curah jantung, meningkatkan denyut jantung, dan
meningkatkan resistensi vascular sistemik dan pulmonal dan harus dihentikan.
d. Konsumsi alkohol merubah keseimbangan cairan, inotropik negative, dan dapat memperburuk
hipertensi. Penghentian konsumsi alcohol memperlihatkan perbaikan gejala dan hemodinamik
bermakna.
2. Medikamentosa
Penatalaksanaan dari gagal jantung terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
- Penghilangan penyebab presipitasi
Seperti penghilangan bakteri penyebab gangguan kalsifikasi pada katup jantung pada
demam rematik
- Koreksi penyebab dasar
Dengan melakukan operasi yang diperlukan sehingga anatomis jantung dapat membaik
- Pencegahan penghalang fungsi jantung
Dengan medika mentosa, berbagai macam obat yang dapat membantu dengan tujuan
antara lain:
Mencegah perburukan gagal jantung
Dengan pemberian obat dengan golongan penghambat ACE-inhibitor, β-blocker
(penghambat reseptor β).
ACE-inhibitor terbukti dapat mengurangi mortalitas dan
morbiditas pada semua pasien gagal jantung sistolik (semua derajat
keparahan, termasuk yang asimtomatik).9 Obat ini menghambat enzim
pengkonversi angiotensin I menjadi II. Merupakan pengobatan lini
pertama untuk pasien dengan fungsi sistolik ventrikel kiri yang menurun.
ACE-inhibitor harus diberikan bersama diuretic jika diberikan pada pasien
dengan retensi cairan. Efek samping yang mungkin timbul adalah
hipotensi, gangguan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan angioedema. Batuk
dapat timbul karena obat ini juga mencegah pemecahan bradikinin.
Β-blocker
Bekerja terutama dengan menghambat efek merugikan dari aktivasi
simpatis pada pasien gagal jantung, dan efek ini jauh lebih
menguntungkan dibandingkan dengan efek inotropik negatifnya.9
Stimulasi adrenergic pada jantung memang pada awalnya meningkatkan
kerja jantung, akan tetapi aktivasi simpatis yang berkepanjangan pada
jantung yang telah mengalami disfungsi akan merusak jantung yang
dicegah oleh β-blocker. Merupakan penghambat reseptor β yang akan
menyebabkan berkurangnya automatisitas sel autumatik jantung,
pengurangan kontraktil miokard, serta pengurangan denyut jantung
dengan demikian akan menghambat aritmia jantung.
Pemberian obat ini harus dimulai dengan dosis yang sangat rendah dan
ditingkatkan perlahan-lahan yang disesuaikan dengan respon pasien
(umumnya 2x lipat setiap 1-2 minggu). Pada awal terapi mungkin dapat
terjadi:
a. Retensi cairan dan memburuknya gejala-gejala, sehingga perlu
ditingkatkan dosis diuretic
b. Hipotensi
c. Bradikardia
d. Rasa lelah
Mengurangi gejala-gejala gagal jantung
Diperlukan pengurangan overload cairan dengan diuretic, penurunan resistensi
perifer dengan vasodilator, dan penignkatan kontraktilitas miokard dengan obat
inotropik.
Diuretik
Merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut yang selalu
disertai dengan kelebihan (overload) cairan yang bermanifestasi sebagai
kongesti paru atua edema perifer. Penggunaan diuretic dengan cepat
menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan melakukan
aktivitas fisik. Diuretik mengurangi retensi air dan garam sehingga
mengurangi volume cairan ekstrasel, alir balik vena, dan tekanan
pengisian ventrikel (preload). Dengan demikian kongesti paru, edema
perifer akan berkurang.
Untuk tujuan tersebut, awalnya pasien diberikan diuretic kuat seperti
furosemid dosis awal 40mg od atau bid dan ditingkatkan hingga diperoleh
diuresis yang cukup.
Diuretik tidak mengurangi mortalitas sehingga harus dikombinasikan
dengan ACE-inhibitor. Namun diuretic tidak boleh diberikan kepada gagal
jantung asimtomatik maupun yang tanpa overload cairan.
Diuretik tiazid diberikan kombinasi dengan diuretic kuat . tiazid disertai
dengan ekskresi kalium yang tinggi. Diuretik hemat kalium contohnya
adalah triamteren, amilorid. Namun diuretik hemat kalium merupakan
diuretik yang lemah.
Vasodilator
Hidralazin-isosorbid dinitrat, nitropurusid intravena, nitrogliserin
intravena.
Obat gagal jantung lainnya
Antagonis aldosteron
Aldosteron memacu remodelling dan disfungsi ventrikel melalui
penignkatan preload dan efek langsung yang menybabkan fibrosis
miokard dan proliferasi fibroblast. Karena itu antagonis aldosteron akan
mengurangi efek dari aldosteron itu sendiri.
Glikosida jantung
Saat ini hanya digoksin yang digunakan untuk terapi gagal jantung.9 Efek
digoksin pada pengobatan gagal jantung berupa inotropik positif,
kronotropik negative (mengurangi frekuensi denyut ventrikel pada
takikardia atau fibrilasi atrium) dan mengurangi aktivasi saraf simpatis.
Inotropik lain
Dopamine, dobutamin. Dobutamin merupakan β agonis yang terpilih
untuk pasien gagal jantung dengan disfungsi sistolik.
Antitrombotik
Warfarin (antikoagulan oral) diindikasikan pada gagal jantung dengan
fibrilasi atrial, riwayat kejadian tromboembolik sebelumnya atau adanya
thrombus di ventrikel kiri, untuk mencegaj stroke atau tromboembolisme.
Antiaritmia
Berupa β-blocker dan amiodaron. Amiodaron digunakan pada gagal
jantung hanya jika disertai dengan fibrilasi atrial dan dikehendaki ritme
sinus. Amiodaron adalah satu-satunya obat antiaritmia yang tidak disertai
dengan efek inotropik negatif.
- Pengontrolan dari kongesti gagal jantung. Dengan mengontrol retensi cairan,
pengurangan asupan
Komplikasi
Gagal jantung akut maupun kronis sama-sama berbahaya dan dapat menyebabkan aritmia,
hipoksia, sinkop, yang berujung pada kematian.
Prognosis
Pasien dengan gagal jantung akut memiliki prognosis yang sangat buruk. Dalam satu randomized
jantung yang mengalami dekompensasi, mortalitas 60 hari adalah 9,6% dan apabila dikombinasi
dengan mortalitas dan perawatan ulang dalam 60 hari jadi 35,2%. Sekitar 45% pasien GJA akan
dirawat ulang paling tidak satu kali, 15% paling tidak dua kali dalam 12 bulan pertama. Angka
kematian lebih tinggi lagi pada infark jantung yang disertai gagal jantung berat dengan mortalitas
dalam 12 bulan adalah 30%.
Pencegahan
Risiko penyakit jantung (kecuali penyakit jantung bawaan) dapat diminimalisir dengan
melakukan hidup sehat. Tidak merokok, diet seimbang, olahraga teratur, serta istirahat yang
cukup dapat meminimalisir terjadinya gangguan pada jantung.
Kesimpulan
Pasien dengan 62 tahun dengan keluhan sesak napas yang memberat terutama saat aktivitas dan
tidur didiagnosis terkena penyakit gagal jantung akut. Gagal jantung akut didefinisikan sebagai
serangan cepat dari gejala-gejala atau tanda-tanda dari gagal jantung yang berakibat perlunya
tindakan atau terapi secara urgent. Untuk memastikan diagnosis pasien tersebut perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang seperti toraks foto PA, EKG dan Ekokardiografi.
Daftar Pustaka
1. Manurung D. Gagal jantung akut. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke – V. Jilid II. Jakarta :
InternaPublishing ; 2010.h.1586-8.
2. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. Diagnosis dan
tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007.
3. Ghanie A. Gagal jantung kronik. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke – V. Jilid II. Jakarta :
InternaPublishing ; 2010.h.1596-7.
4. Djojodibroto R D. Respirology. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h. 106-9,
119, 123-4.
5. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: etiology. BMJ.2000.p.104-7.
6. 6. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure: pathophysiology.
BMJ.2000.p.167-70.
7. Diunduh dari
http://1.bp.blogspot.com/LY1oIi_O1VM/TlXilOCzxII/AAAAAAAAAA8/DIaomOu6ags
/s1600/Slide2.JPG pada tanggal 23 September 2012.
8. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW, editors. Heart
failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker;
2005.p.449-65.
9. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi dan terapi. Edisi 5.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal. 299-313