proposal tugas akhir andi oke
TRANSCRIPT
PROPOSAL TUGAS AKHIR
ZONASI KERENTANAN GERAKAN TANAH
DAERAH BANDUNG BAGIAN SELATAN
PROVINSI JAWA BARAT
disusun oleh :
ANDI TIRTANEGARA
072.07.002
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng
Eurasia,lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk.
Akibat tumbukan antara lempeng itu maka terbentuk daerah penunjaman
memanjang di sebelah Barat Pulau Sumatera, sebelah Selatan Pulau Jawa hingga
ke Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah Utara Kepulauan Maluku, dan
sebelah Utara Papua. Konsekuensi lain dari tumbukan itu maka terbentuk palung
samudera, lipatan, punggungan dan patahan di busur kepulauan,sebaran gunungapi,
dan sebaran sumber gempa bumi. Gunungapi yang ada di Indonesia berjumlah 129. Angka
itu merupakan 13% dari jumlah gunungapi aktif dunia. Dengan demikian
Indonesia rawan terhadap bencana letusan gunungapi dan gempa bumi.
Dibeberapa pantai, dengan bentuk pantai sedang hingga curam, jika
terjadi gempa bumi dengan sumber berada di dasar laut dapat menimbulkan
gelombang Tsunami.Jenis tanah pelapukan yang sering dijumpai di Indonesia
adalah hasil letusan gunungapi. Tanah ini memiliki komposisi sebagian besar
lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur. Tanah pelapukan yang berada di
atas batuan kedap air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang
hingga terjal berpotensi mengakibatkan tanah longsor pada musim hujan dengan
curah hujan berkuantitas tinggi. Jika perbukitan tersebut tidak ada tanaman keras
berakar kuat dan dalam, maka kawasan tersebut rawan bencana tanah longsor
1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian
Untuk memperoleh gelar sarjana strata satu di Program Studi Teknik Geologi,
Fakultas Ilmu Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti, maka setiap mahasiswa
diwajibkan untuk melaksanakan tugas akhir berdasarkan penelitian geologi pada
suatu daerah, dengan ,menerapkan dasar-dasar dari ilmu geologi yang telah
diperoleh selama masa perkuliahan.
Berdasarkan hal tersenut di atas , maka penulis melakukan penelitian
tugas akhir denga judul “Zonasi Kerentanan Gerakan Tanah Daerah Bandung
Bagian Selatan”
Adapun tujuan penelitian ini, yaitu :
Untuk mendapatkan peta kerentanan gerakan tanah daerah penelitian
berdasarkan gabungan beberapa peta geologi, peta topografi, peta peta
curah hujan, peta tata guna lahan, peta hidrogeologi dan data sekunder
terjadinya gerakan tanah.
Menentukan mitigasi pada daerah rentan bencana gerakan tanah
1.3 Lokasi Daerah Penelitian
Lokasi daerah penelitian di daerah bandung bagian selatan.
Kesampaian daerah dapat dicapai dengan menggunakan kendaraaan roda empat
melalui jalan tol Cikampek diteruskan jalan tol Padalarang keluar kota Soreang
Bandung, sedangkan penjelajahan selanjutnya dapat dilakukan dengan
menggunakan kendaraan roda dua maupun berjalan kaki melalui jalan setapak
dan sungai.
1.4 Kondisi Umum Daerah Penelitian
1.4.1 Morfologi
Daerah bencana merupakan lereng dan lembah perbukitan dengan
kemiringan lereng antara 5 - 45*, ketinggian tempat antara 1225 – 1325
meter di atas permukaan laut.
1.4.2 Tata Lahan
Penggunaan lahan di sekitar lokasi bencana gerakan tanah berupa
perkebunan teh, persawahan, kolam ikan dan pemukiman yang
menempati bagian lembah dan lereng bukit.
1.4.3 Geologi
Lokasi bencana disusun oleh endapan lahar G.Patuha Qv (p,l), lahar
G.Kendeng Ql (k,w), Formasi Beser ( Tmbe ) dan Andesit
Piroksen(Pa).
1.5 Perumusan masalah dan batasan masalah
Permasalahan yang akan dibahas adalah mencoba membagi zonasi
wilayah kebencanaan daerah penelitian berdasarkan data terkumpul. Dalam
penelitian ini juga akan membahas proses menggabungkan dan mengolah
berbagai macam peta untuk menghasilkan produk akhir berupa peta tematik
tentang zonasi kebencanaan geologi.
Adapun batasan permasalahan yang akan dikaji, adalah :
1. Lokasi penelitian pada daerah bandung bagian selatan
2. Jenis bencana yang dikaji adalah gerakan tanah
BAB II
TEORI DASAR
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Pengertian Gerakan Tanah
Gerakan tanah adalah perpindahan material pembentuk lereng,
berupa batuan, bahan timbunan, tanah atau material campuran tersebut,
bergerak ke arah bawah dan keluar lereng (Varnes, 1978). Konsep
gerakan tanah berdasarkan jenis material, ada dua macam lereng, yaitu
lereng batuan dan tanah. Dalam analisis dan penentuan jenis tindakan
pengamanannya, tidak dapat disamakan karena parameter material dan
jenis penyebab longsor di kedua lereng tersebut berbeda.
Dalam keadaan tidak terganggu (alamiah), tanah atau batuan
umumnya berada dalam keadaan seimbang terhadap gaya-gaya yang
timbul dari dalam. Apabila mengalami perubahan keseimbangan, maka
tanah atau batuan itu akan berusaha untuk mencapai keadaan
keseimbangan yang baru secara alamiah. Cara ini berupa proses
degradasi atau pengurangan beban, terutama dalam bentuk longsoran
atau gerakan lain sampai tercapai keadaan keseimbangan yang baru.
Pada tanah atau batuan dalam keadaan alamiah telah bekerja
tegangan-tegangan vertikal, horisontal dan tekanan air pori. Ketiga hal di
atas mempunyai peranan penting dalam membentuk kemantapan lereng.
2.2.2 Jenis-Jenis Gerakan Tanah
Jenis Gerakan Tanah berdasar Klasifikasi Varnes (1978) dan Direktorat
Geologi Tata Lingkungan (1996) :
1. Runtuhan (falls) adalah runtuhnya/jatuhnya sebagian massa batuan atau
tanah penyusun lereng yang terjal, dengan sedikit atau tanpa disertai
terjadinya pergeseran antara massa yang runtuh dengan massa yang tidak
runtuh.
2. Robohan (topples) adalah robohnya batuan yang umumnya bergerak
melalui bidang-bidang diskontinuitas (bidang-bidang yang tidak menerus)
yang sangat tegak pada lereng. Seperti halnya pada runtuhan, bidang-
bidang diskontinuitas ini berupa bidang-bidang kekar atau retakan pada
batuan.
3. Longsoran (slide) adalah gerakan menuruni lereng oleh suatu massa tanah
dan atau batuan penyusun lereng, melalui bidang gelincir pada lereng, atau
pada bidang regangan geser yang relatif tipis.
4. Bidang gelincir atau bidang regangan geser ini dapat berupa bidang yang
relatif lurus (translasi) ataupun bidang lengkung ke atas (rotasi).
5. Pencaran lateral (lateral spread) adalah material tanah atau batuan yang
bergerak dengan cara perpindahan translasi pada bidang dengan
kemiringan landai sampai datar, pergerakan terjadi pada lereng atau lahan
yang tersusun oleh lapisan tanah/batuan yang lunak, yang terbebani oleh
massa tanah/batuan yang berada di atasnya
6. Aliran (flows) yaitu aliran massa yang bersifat plastik atau berupa aliran
fluida kental.
Tabel 2.1 Klasifikasi Gerakan Tanah (Varnes, D. J., 1978) dan
Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1996).
No Jenis Gerakan Tanah Jenis Material
Batuan Tanah
1 Jatuhan Jatuhan Batuan Jatuhan
Tanah
2 Robohan Robohan Batuan Robohan
Tanah
3 Longsoran
a. Rotasi
b. Translasi
Nendatan batuan Nendatan tanah
Longsoran batuan Longsoran tanah
4 Pencaran lateral Pencaran batuan Pencaran tanah
5 Aliran Aliran batuan Aliran tanah
6 Kombinasi
Runtuhan (falls) adalah runtuhnya/jatuhnya sebagian massa batuan
atau tanah penyusun lereng yang terjal, dengan sedikit atau tanpa disertai
terjadinya pergeseran antara massa yang runtuh dengan massa yang tidak
runtuh. Hal ini berarti runtuhnya massa batuan atau tanah umumnya
dengan cara jatuh bebas, meloncat atau menggelinding tanpa melalui
bidang gelincir. Proses terjadinya runtuhan pada lereng dapat
berlangsung sangat cepat, yaitu lebih dari 3 m/menit (Varnes, 1996),
Penyebab terjadinya runtuhan dapat berupa hilangnya penyangga lereng
dari arah lateral, karena pemotongan lereng, penggalian, pelapukan, erosi
oleh sungai atau abrasi gelombang laut. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa kehadiran bidang-bidang diskontinuitas (bidang-
bidang yang tidak menerus), seperti retakan-retakan atau kekar-kekar
pada batuan juga berperan penting dalam mengakibatkan
runtuhan/jatuhan. Material yang runtuh biasanya bergerak tidak jauh dari
kedudukan aslinya dan berakumulasi di dasar tempat jatuh. Adanya
getaran pada lereng juga dapat memicu terjadinya runtuhan/jatuhan
massa batuan (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Model gerakan tanah tipe jatuhan tanah.
Robohan (topples) adalah robohnya batuan yang umumnya bergerak
melalui bidang-bidang diskontinuitas (bidang-bidang yang tidak
menerus) yang sangat tegak pada lereng. Seperti halnya pada runtuhan,
bidang-bidang diskontinuitas ini berupa bidang-bidang kekar atau
retakan pada batuan. Robohan ini biasanya terjadi pada batuan dengan
kelerengan sangat terjal sampai tegak dan dapat dipengaruhi oleh
tekanan cairan (misalnya tekanan air) yang mengisi bidang-bidang
retakan atau kekar. Pergerakan/robohnya batuan seperti pohon roboh
lihat Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Runtuhan batuan.
Longsoran (slide) adalah gerakan menuruni lereng oleh suatu
massa tanah dan atau batuan penyusun lereng, melalui bidang gelincir
pada lereng, atau pada bidang regangan geser yang relatif tipis. Bidang
gelincir tersebut merupakan bidang dimana tegangan geser berkembang
paling intensif. Gerakan terjadi sebagai akibat dari terganggunya
kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng. Varnes (1978)
menjelaskan bahwa pergerakan terjadi di sepanjang bidang gelincir
secara tidak serempak. Seringkali dijumpai tanda-tanda awal gerakan
berupa retakan berbentuk lengkung tapal kuda pada bagian permukaan
lereng yang mulai bergerak. Munculnya retakan ini tidak langsung
seketika diikuti oleh bergeraknya seluruh bagian bidang gelincir.
Seringkali ada jeda waktu antara terjadinya retakan awal dengan
terjadinya pergerakan seluruh bagian bidang gelincir. Jeda waktu ini
dapat berkisar selama beberapa jam hingga beberapa tahun. Bahkan
dapat pula terjadi pembentukan retakan pada lereng tidak diikuti dengan
pergerakan keseluruhan bidang gelincir, tergantung pada kondisi
geologi dan hidrologi pada lereng, serta tergantung pada aktivitas pemicu
gerakan.
Gambar 2.3 Model gerakan tanah tipe longsoran (a. longsoran rotasi/nendatan, b. longsoran translasi).
Bidang gelincir atau bidang regangan geser ini dapat berupa bidang
yang relatif lurus (translasi) ataupun bidang lengkung ke atas (rotasi),
seperti yang terlihat pada Gambar 2.3. Kedalaman bidang gelincir pada
longsoran jenis translasi umumnya lebih dangkal daripada kedalaman
bidang gelincir longsoran rotasi.
Gambar 2.4 Model gerakan tanah tipe luncuran di bagian lereng atas yang kemudian berkembang menjadi aliran material hasil luncuran (batu
bercampur tanah).
Gambar 2.5 Bentuk-bentuk dari longsoran translasi dan longsoran rotasi.
Material yang bergerak secara translasi dapat berupa blok (rock
block slide), rock slide, sedangkan pada bahan rombakan yang bergerak
berupa banyak unit (debris slide).
Longsoran yang bergerak secara rotasi melalui bidang gelincir
lengkung disebut sebagai nendatan (Gambar 2.5 a-b). Nendatan
umumnya terjadi pada lereng yang tersusun oleh material yang relatif
homogen. Pergerakan rotasi ini mengakibatkan terbentuknya gawir
berbentuk tapal kuda di bagian lereng atas, serta dicirikan dengan
terjadinya penurunan tanah (graben) dan permukaan tanah pada bagian
atas lereng. Akibat penurunan tanah ini umumnya permukaan tanah yang
mengalami penurunan menjadi miring ke arah belakang lereng.
Pergerakan rotasi pada nendatan cenderung berakhir apabila massa yang
bergerak telah mencapai kesetimbangan, yaitu apabila posisi massa
sudah bergeser di atas bidang gelincir yang melengkung ke arah puncak
lereng. Sebaliknya, longsoran translasi dengan bidang gelincir yang
miring curam (Gambar 2.5 c-e), pergerakan massa tanah/batuannya lebih
sulit untuk dihambat.
Gambar 2.6 Model gerakan tipe nendatan tanah (luncuran lengkung).
Pencaran lateral (lateral spread) adalah material tanah atau batuan
yang bergerak dengan cara perpindahan translasi pada bidang dengan
kemiringan landai sampai datar. Pergerakan terjadi pada lereng atau
lahan yang tersusun oleh lapisan tanah/batuan yang lunak, yang
terbebani oleh massa tanah/batuan yang berada di atasnya (Gambar 2.6).
Pembebanan inilah yang mengakibatkan lapisan 23tanah/batuan lunak
tergencet (tertekan) dan mengembang ke arah lateral. Jadi pergerakan
tersebut merupakan kombinasi akibat amblesnya sebagian massa
batuan/tanah yang bergerak ke dalam tanah/batuan dasarnya yang
sifatnya lebih lunak, serta mengembangnya massa tanah atau batuan
akibat tertekan oleh beban massa batuan di atasnya. Massa batuan/tanah
yang bergerak umumnya bukan sebagai massa yang menerus, tetapi
berupa blok-blok atau pecahan-pecahan tanah/batuan. Pencaran ini
berbeda menyolok dari longsoran karena bidang pergerakannya bukan
merupakan bidang dimana tegangan geser berkembang paling intensif.
Gambar 2.7 Model rayapan dengan diikuti amblesan tanah.
Pencaran lateral dibagi menjadi dua jenis. Jenis pertama yaitu
gerakan tersebar ke segala arah, umumnya terjadi pada batuan terutama
bagian puncak bukit. Jenis kedua gerakan dengan bentuk blok atau
pecahan massa koheren, baik berupa batuan maupun tanah yang bergerak
secara bersama.
Aliran (flows) yaitu aliran massa yang bersifat plastik atau berupa
aliran fluida kental (Gambar 2.8 dan 2.9). Aliran ini dapat juga terjadi
pada batuan tetapi lebih sering terjadi pada bahan rombakan yang
merupakan percampuran antara material tanah (berbutir halus) dan
hancuran-hancuran batuan (berbutir kasar).
Gambar 2.8 Model gerakan kombinasi antara nendatan di lereng bagian atas kemudian berkembang menjadi aliran tanah bercampur batu pada
lereng bagian tengah
Gambar 2.14 Gambaran dari debris flow (Varnes, 1978)
Material tanah yang berbutir halus ini umumnya berukuran butir
pasir (berdiameter butir sekitar 2 mm) hingga lempung (berdiameter
butir sekitar 2 mμ atau lebih halus), sedangkan hancuran-hancuran
batuan dapat berukuran kerikil (berdiameter butir lebih kasar dari 2 mm)
hingga bongkah-bongkah (berdiameter sekitar 25 cm hingga beberapa
meter. Aliran pada bahan rombakan (debris) dapat dibedakan lagi
menjadi aliran bahan rombakan (debris flow), aliran tanah (earth flow)
apabila massa yang bergerak didominasi oleh material tanah berukuran
butir halus (terutama berukuran butir lempung) dan aliran lumpur (mud
flow) apabila massa yang bergerak jenuh air. Jenis lain dari aliran ini
adalah aliran kering yang biasa terjadi pada endapan pasir (dry flow).
Menurut Direktorat Geologi Lingkungan (1996) jenis aliran yang paling
sering terjadi adalah aliran bahan rombakan (debris flow), yang bergerak
dalam massa yang kental dengan presentase berat material padat 70% -
80%.
Di alam sering pula terjadi gerakan tanah yang dengan mekanisme
gabungan dari dua atau lebih jenis gerakan tanah di atas. Gerakan tanah
tersebut diklasifikasikan sebagai gerakan jenis komplek.
Bencana alam longsoran tanah yang banyak terjadi di Indanesia,
merupakan salah satu jenis gerakan tanah. Apabila massa yang bergerak
ini didominasi oleh massa tanah dan gerakannya melalui suatu bidang
pada lereng, baik berupa bidang miring ataupun lengkung, maka proses
pergerakan tersebut disebut sebagai longsoran tanah.
2.2.3 Faktor-faktor Penyebab Gerakan Tanah
Proses dan tahapan terjadinya gerakantanah diakibatkan oleh kondisi
geologi berupa litologi. Struktur, hidrogeologi / air tanah, kelerengan, curah hujan
serta aktifitas manusia. Secara diagramatis proses tersebut terlihat pada gambar
2.2 :
Gambar 2.2 Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen -
komponen penyebabnya (Sumber www.wikipedia_lanslide.com)
Faktor-faktor penyebab gerakan tanah merupakan fenomena yang
mengkondisikan suatu lereng menjadi berpotensi untuk bergerak atau longsor,
meskipun pada saat ini lereng tersebut masih stabil (belum longsor). Lereng yang
berpotensi untuk bergerak ini baru akan bergerak apabila ada gangguan yang
memicu terjadinya gerakan. Faktor-faktor penyebab ini umumnya merupakan
fenomena alam (meskipun ada yang bersifat non alamiah), sedangkon gangguan
pada lereng atau faktor penyebab dapat berupa proses alamiah atau pengaruh dari
aktivitas manusia ataupun kombinasi antara keduanya.
Berdasarkan pengamatan di lapangan dan mengacu pula pada Varnes
(1978) dan Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1996) mengidentifikasi faktor-
faktor pengontrol terjadinya gerakan tanah sebagai berikut:
1. Kondisi geomorfologi (kemiringan lereng)
2. Kondisi tanah/batuan penyusun lereng
3. Kondisi iklim
4. Kondisi hidrologi lereng
5. Erosi sungai
6. Getaran
7. Aktivitas manusia
2.2.3.1 Kondisi Geomorfologi (kemiringan lereng)
Sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan wilayah perbukitan dan
pegunungan, sehingga banyak dijumpai lahan yang miring. Lereng atau lahan
yang miring ini berpotensi atau berbakat untuk mengalami gerakan tanah.
Semakin besar kemiringan suatu lereng dapat mengakibatkan semakin besarnya
gaya penggerak massa tanah/batuan penyusun lereng. Namun perlu diperhatikan
bahwa tidak semua lahan yang miring selalu rentan untuk bergerak. Jenis,
struktur, dan komposisi tanah/batuan penyusun lereng juga berperan penting
dalam mengontrol terjadinya gerakan tanah. Sering kita jumpai di lapangan,
lereng batuan yang kompak dan masif akan tetap berciri tegak dan stabil,
meskipun lereng tersebut merupakan tebing yang curam. Hal ini disebabkan
karena masif dan kompaknya batuan penyusun lereng (kohesi dan kuat gesernya
cukup besar untuk mempertahankan kestabilan lereng) Gerakan tipe luncuran dan
nendatan cenderung terjadi pada lereng lebih curam dari 20°. Sebaliknya, gerakan
tipe rayapan akan terjadi pada lereng dengan kemiringan landai (20°).
2.2.3.2 Kondisi Tanah/Batuan Penyusun Lereng
Kondisi tanah/batuan penyusun lereng sangat berperan dalam
mengontrol terjadinya gerakan tanah. Meskipun suatu lereng cukup curam, namun
gerakan tanah belum tentu terjadi apabila kondisi tanah/batuan penyusun lereng
tersebut cukup kompak dan kuat. Perlapisan batuan yang miring ke arah luar
lereng dapat menyebabkan terjadinya longsoran atau gerakan tanah, misalnya
perlapisan pada batubara, napal dan batulempung. Batuan-batuan tersebut
umumnya terpotong-potong oleh kekar-kekar (retakan-retakan), sehingga sangat
labil atau berpotensi untuk meluncur/bergerak disepanjang bidang perlapisan atau
bidang kekar tersebut. Penggalian-penggalian pada lereng batuan sangat
berpotensi untuk memicu terjadinya luncuran/gerakan batuan-batuan tersebut.
2.2.3.2 Kondisi Iklim
Kondisi iklim di Indanesia sangat berperan dalam mengontrol
terjadinya longsoran. Temperatur dan curah hujan yang tinggi sangat mendukung
terjadinya proses pelapukan batuan pada lereng (proses pembentukan tanah).
Akibatnya adalah sangat sering dijumpai lereng yang tersusun oleh tumpukan
tanah yang ketebalannya dapat mencapai lebih dari 10 meter. Berdasarkan hasil
pengamatan lapangan dapat diketahui bahwa lereng dengan tumpukan tanah yang
lebih tebal relatif lebih rentan terhadap gerakan tanah.
Curah hujan yang tinggi atau curah hujan tidak terlalu tinggi tetapi
berlangsung lama, sangat berperan dalam memicu terjadinya gerakan tanah. Air
hujan yang meresap ke dalam lereng dapat meningkatkan penjenuhan tanah pada
lereng sehingga tekanan air yang merenggangkan ikatan antar butir tanah
meningkat, akhirnya massa tanah tersebut bergerak longsor.
2.2.3.3 Kondisi Hidrologi Lereng
Kondisi hidrologi dalam lereng berperan dalam hal meningkatkan
tekanan hidrostatis air dalam tanah/batuan sehingga kuat geser tanah/batuan akan
sangat berkurang dan gerakan tanah dapat terjadi. Lereng yang muka air tanahnya
dangkal atau lereng dengan akuifer menggantung, sangat sensitif mengalami
kenaikan tekanan hidrostatis apabila air permukaan meresap ke dalam lereng.
Selain itu, jalur-jalur pipa alamiah/retakan batuan sering pula menjadi tempat
masuknya air ke dalam lereng. Apabila semakin banyak air yang masuk melewati
jalur tersebut, tekanan air juga akan semakin meningkat. Mengingat jalur - jalur
tersebut merupakan bidang yang kuat gesernya lemah (umumnya kohesi dan sudut
gesekan dalamnya rendah), maka kenaikan tekanan air ini akan sangat mudah
menggerakkan lereng melalui jalur tersebut.
2.2.3.4 Erosi Sungai
Gerakan tanah akibat erosi sungai umumnya terjadi pada kelokan
sungai. Hal ini terjadi karena pada bagian bawah lereng tererosi sehingga lereng
menjadi tidak stabil.
2.2.3.5 Getaran
Getaran memicu longsoron dengan cara melemahkan atau memutuskan
hubungan antar butir partikel-partikel penyusun tanah/batuan pada lereng. Jadi
getaran berperan dalam menambah gaya penggerak dan sekaligus mengurangi
gaya penahan. Contoh getaran yang memicu longsoran adalah getaran gempa
bumi yang diikuti dengan peristiwa liquifaction. Liquifaction terjadi apabila pada
lapisan pasir atau lempung jenuh air terjadi getaran yang periodik. Pengaruh
getaran tersebut akan menyebabkan butiran-butiran pada lapisan akan saling
menekan dan kandungan airnya akan mempunyai tekanan yang besar terhadap
lapisan di atasnya. Akibat peristiwa tersebut lapisan di atasnya akan seperti
mengambang, karena getaran tersebut dapat mengakibatkan perpindahan massa di
atasnya dengan cepat.
2.2.3.6 Aktivitas Manusia
Selain disebabkan oleh faktor alam, pola penggunaan lahan juga berperan
penting dalam memicu terjadinya longsoran, Pembukaan hutan secara
sembarangan, penanaman jenis pohon yang terlalu berat dengan jarak tanam
terlalu rapat, pemotongan tebing/lereng untuk jalan dan pemukiman merupakan
pola penggunaan lahan yang dijumpai di daerah yang longsor. Pembukaan hutan
dan pencurian kayu hutan untuk keperluan manusia, seperti misalnya untuk
mencukupi kebutuhan hidup, perladangan, persawahan dengan irigasi, kolam-
kolam dan penanaman tumbuhan yang berakar serabut dapat berakibat
menggemburkan tanah. Peningkatan kegemburan tanah ini akan menambah daya
resap tanah terhadap air, akan tetapi air yang meresap ke dalam tanah tidak dapat
banyak terserap oleh akar-akar tanaman serabut. Hal ini berakibat air hanya
terakumulasi dalam tanah dan akhirnya menekan dan melemahkan ikatan-ikatan
antar butir tanah. Karena besarnya curah hujan yang meresap, maka longsoran
tanah akan terjadi.
Pemotongan lereng untuk jalan, penambangan dan pemukiman juga
dapat mengakibatkan hilangnya peneguh lereng dari arah lateral. Hal ini
selanjutnya mengakibatkan kekuatan geser lereng untuk melawan pergerakan
massa tanah terlampaui oleh tegangan penggerak massa tanah. Akhirnya
longsoran tanah pada lereng akan terjadi.
BAB III
METODOLOGI
Untuk membagi zonasi wilayah kebencanaan pada daerah penelitian
dengan memakai metode SIG. Sistem Informasi Geografi (SIG) atau Geographic
Information System (GIS) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk
bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau
dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan
khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan
dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000). Disamping itu,
SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data
yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam
pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geologi dan
geografi.
Pada penelitian ini juga membahas masalah mengenai bencana geologi
yang berkaitan dengan manfaat dari metode SIG. Dengan pemanfaatan metode
SIG untuk mengolah beberapa gabungan peta.
Peta Geologi : Sebagai sumber data yang dapat memberikan informasi
mengenai formasi-formasi geologi yang berguna untuk melihat penyebaran suatu
litologi batuan.
Peta Topografi : Sebagai sumber data beda tinggi suatu daerah yang
berguna untuk mendapatkan kemiringan lereng daerah penelitian.
Peta Struktur : Sebagai sumber data yang dapat memberikan informasi
mengenai struktur geologi yang berguna untuk mendapatkan analisis gerakan
tanah yang berkembang di daerah penelitian menggunakan sistem citra landsat.
Peta Bentang alam : Sebagai sumber data yang dapat memberikan
informasi mengenai topografi yang berguna untuk mendapatkan kemiringan
lereng daerah penelitian menggunakan sistem citra landsat.
3.1. Hipotesis Kerja
3.1.1 Tahap Pengumpulan Data Sekunder (Literatur)
Studi regional daerah penelitian yang termasuk Geologi,
Geomorfologi, rekaman data tentang kebencanaan yang terjadi pada
daerah Bandung sebagai penunjang dalam pengolahan data..
3.1.2 Peta
Menggabungkan beberapa peta sehingga dapat tercipta sebuah
peta zonasi tentang kebencanaan pada daerah penelitian.
a. Peta geologi lembar Sindangbarang, Jawa Barat 1:100.000
Mengenai stratigrafi, sebaran satuan batuan/formasi, dan struktur
geologi.
b. Peta Rupa Bumi Indonesia lembar Pasirjambu skala 1:25.000
c. Beberapa peta pendukung (peta gerakan tanah dan peta curah hujan)
Gambar. Diagram Alir Penelitian
BAB IV
HASIL YANG DIHARAPKAN
Berdasarkan hasil analisis dan data kolektif yang dilakukan, maka akan
menghasilkan :
4.1 Peta
Dari peta diatas diharapkan akan menghasilkan :
Peta Kerentanan Gerakan Tanah : Peta ini akan menunjukkan zonasi dari
pergerakan tanah yang kemungkinan akan menghasilkan longsor pada
daerah penelitian.
Peta Zonasi Bencana Geologi Daerah Bandung : Peta Satuan Kemampuan
Lahan yang merupakan hasil tumpang tindih dari peta SKL diatas yang
menerangkan kondisi daerah penelitian terkait dengan bencana-bencana
geologi.
BAB V
JADWAL KERJA
NO. KegiatanBULAN I BULAN II BULAN III
1 2 3 4 1 2 3 1 2 3 4
1Tahap Pengumpulan Data
Sekunder (Literatur).
2. Pengumpulan Data Lapangan.
3.Analisa Kebencanaan dari
beberapa macam peta
4. Pengolahan Data
5. Penyusunan Laporan
DAFTAR PUSTAKA
Koesmono, M., Kusnama., dan Suwarna, N., 1996. Peta Geologi
Lembar Sindangbarang, Jawa, skala 1:100.000.Puslitbang Geologi,
Bandung.
- Barus B., dan U.S. Wiradisastra, 2000, Sistem Informasi Geografi,
Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah,
Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Varnes, D. J., 1978, Slope Movement and Typea of Processes in
Landslides, Analysis and Control Transportation Research Board,
National Academy of Sciences, Washington D.C.
- iagi-net