pengaruh pembentukan lembaga penjamin...

28
1 PENGARUH PEMBENTUKAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN TERHADAP INDUSTRI PERBANKAN (BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN) OLEH : I GUSTI AYU SUARNIATI, SH.,MH. NPK : 19550819 198602 2 001 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR 2012

Upload: ngodung

Post on 04-Feb-2018

215 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

PENGARUH PEMBENTUKAN LEMBAGA PENJAMIN

SIMPANAN TERHADAP INDUSTRI PERBANKAN

(BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 2004

TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN)

OLEH :

I GUSTI AYU SUARNIATI, SH.,MH. NPK : 19550819 198602 2 001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MAHASARASWATI

DENPASAR

2012

1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa

kerena atas KaruniaNya Penelitian yang berjudul “PENGARUH

PEMBENTUKAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN TERHADAP

INDUSTRI PERBANKAN (BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 24

TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN)”, dapat

diselesaikan walaupun masih banyak kekurangan.

Penelitian ini merupakan salah satu kewajiban bagi dosen dalam

melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dalam kesempatan ini, penulis ingin

mengucapkan ungkapan terimakasih yang mendalam kepada semua pihak yang

telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga penelitian

ini dapat dilaksanakan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa apa yang ditulis dalam laporan ini masih jauh

dari sempurna baik dalam substansi permasalahan maupun teknik penulisan,

namun penulis sudah berusaha sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang

ada, sehingga penulis dengan hati terbuka akan menerima saran dan kritik guna

mewujudkan penulisan yang lebih baik dikemudian hari.

Denpasar, 19 Agustus 2012

i

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

ABSTRAK ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 5

1.4 Manfaat Penelitian .................................................................... 6

1.5 Landasan Teoritis ..................................................................... 6

1.6 Metode Penelitian ..................................................................... 8

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengaruh Yang Ditimbulkan Dari Pembentukan Lembaga

Penjamin Simpanan Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2004 ...... 10

2.2 Efektivitas UU No. 24 Tahun 2004 Dikaitkan Dengan

Ketentuan Pasal 100 UU No. 24 Tahun 2004 .......................... 18

BAB III PENUTUP

31 Simpulan ....................................................................................... 22

3.2 Saran ............................................................................................ 22

Dafiar Pustaka

ii

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Krisis moneter yang bergejolak di Asia Tenggara juga mengakibatkan

terpuruknya kondisi perekonomian bangsa Indonesia. Terjadinya krisis

multidimensi yang dimotori oleh krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997

telah memberikan pengaruh yang besar terhadap pengambilan kebijakan

pemerintah pusat dalam mengatur sektor ekonomi.

Khusus terhadap sektor perbankan, Bank Indonesia sebagai otoritas

tertinggi perbankan di Indonesia terpaksa mengambil keputusan memberikan

sanksi keras berupa melakukan pencabutan izin usaha yang dilanjutkan dengan

likuidasi terhadap 16 buah bank swasta skala menengah pada tanggal 1 November

1997, yang diakibatkan tingginya kasus kredit macet pada bank-bank tersebut dan

tingginya pelanggaran atas ketentuan dan rambu-rambu perkreditan terutama

prinsip kehati-hatian yang ditetapkan oleh BI1. Jumlah simpanan yang dijamin

oleh pemerintah pada saat itu dibatasi sampai dengan Rp. 20 juta per rekening,

sehingga menyebabkan kemerosotan tingkat kepercayaan penabung terhadap

perbankan nasional.2 Untuk menanggulangi pada tanggal 26 Januari 1998,

1 Rahmat Firdaus dan Maya Ariyanti, 2003, Manajemen Perkreditan Bank Umum, Alfabeta, Bandung, hal. 41 2 Krisna Wijaya dan Djoko Retnadi, 2005, Konsolidasi Perbankan Nasional, Masyarakat Madani Indonesia, Jakarta, hal.xi

2

pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 1998

tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum.3

Kemudian pada tanggal 4 April 1998 tujuh buah bank swasta skala

menengah dilikuidasi dan tujuh buah bank lain kepengurusannya diambil oleh

Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tidak berselang setahun, seluruh

bank BUMN dan bank swasta nasional skala besar antara lain BCA dan Bank

Niaga direkapitalisasi agar tidak ikut serta terpuruk dan menjadi tidak sehat.

Sebagaimana diketahui, hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan

adalah hubungan kepercayaan atau fiduciary relation yang dilandasi oleh asas

kerahasiaan. Sebuah bank mendapatkan reputasi berdasarkan hubungan yang

dijalinnya dengan nasabah-nasabahnya dalam kurun waktu yang tidak sedikit

Nasabah penyimpan menghendaki agar dana yang disimpannya aman di bank

yang mereka manfaatkan jasanya. Tetapi goyahnya stabilitas industri perbankan

yang ditandai terjadinya likuidasi dan rekapitalisasi terhadap sektor perbankan

tersebut telah mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem

perbankan di Indonesia menurun, sehingga terjadi penarikan dana masyarakat

secara besar-besaran dari perbankan. Sebagai sebuah usaha, sumber dana

perbankan yang disalurkan sebagai kredit kepada masyarakat sebagian besar

bukan merupakan dana milik bank sendiri karena pada dasarnya modal perbankan

sangat terbatas. Karena itu banyak ikan mengalami kesulitan likuiditas.

Untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap perbankan

nasional sekaligus guna menghambat melemahnya nilai tukar rupiah, ketika itu, 3 Burhanuddin Abdullah, 2005, Jalan Menuju stabilitas, Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan.LP3S, Jakarta, hal. 259

3

Bank Indonesia sebagai bank sentral akhirnya mengucurkan BLBI (Bantuan

Likuiditas Bank Indonesia) untuk menutupi pendanaan bank yang mengalami

rush. Demi mencegah terjadinya rush berkepanjangan, pada akhir Januari 2008

pemerintah menerbitkan blanket guarantee system untuk memulihkan tingkat

kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Sesuai dengan kewenangan

dan kewajibannya mengendalikan keadaan masyarakat khususnya kondisi

psikologis masyarakat penyimpan dana, Pemerintah sebagai otoritas tertinggi

memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk

simpanan masyarakat bank-bank yang dilikuidasi. Pemberian jaminan tersebut

ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan

Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor

193 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank

Perkreditan Rakyat. Lalu sebagai tindak lanjut, pada tanggal 10 November 1998

Pemerintah mengesahkan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No.

7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Pasal 37 B UU No. 10 Tahun 1998,

pemerintah diamanatkan untuk melakukan pembentukan lembaga yang bertugas

untuk menjamin simpanan masyarakat. Tuntutan kebutuhan sosial karena

perubahan dan perkembangan seperti contoh di atas, menunjukkan bahwa

pengaruh perubahan sosial menuntut penyesuaian dalam bentuk perubahan

hukum, melalui pembuatan dan atau pembaharuan undang-undang.4

Sebelum Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dibentuk, program

penjaminan dana oleh Pemerintah dilaksanakan oleh sebuah lembaga yaitu Badan

Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Badan ini bertugas menangani

4 Sudjono Dirdjosisworo, 1983, Sosiologi Hukum, Edisi I, Rajawali, Jakarta, hal.78

4

pelaksanaan penjamin Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran bagi 52 bank-

bank yang telah dibekukan. Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik

Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, menetapkan UU No. 24

Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan UU tersebut

dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Lembaga tersebut adalah suatu

lembaga yang bersifat independent, yang berfungsi menjamin simpanan nasabah

penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai

dengan kewenangannya. Lembaga LPS diarahkan untuk menjadi lembaga yang

transparan dan akuntabel dalam melakukan tugas dan wewenangnya karena

lembaga ini bertanggungjawab langsung kepada Presiden.

Berdasarkan rumusan Pasal 8 UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga

Penjamin Simpanan, setiap bank maupun lembaga keuangan bukan bank yang

melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia wajib menjadi

peserta penjaminan simpanan sesuai yang diamanatkan Pasal 37B UU No.10

Tahun 1998.

Jumlah bank di Indonesia terlalu banyak dan akan dibatasi sehingga

tinggal 70 buah dari sebelumnya 130 buah. Untuk mencapai tujuan tersebut, BI

sebagai bank sentral akan menaikkan standar kesehatan perbankan di Indonesia

terutama regulasi tentang kredit macet (non performance loan). Tentunya hal ini

akan dapat menimbulkan kekhawatiran publik apabila bank tempatnya

menyimpan dana dicabut izin usahanya. Apabila jumlah maksimal dana yang

dijamin akan terus menurun dalam jangka waktu 18 bulan setelah lembaga LPS

terbentuk sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2004 yang

5

menegaskan nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank

paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Dalam masa transisi

tersebut masih berlaku Pasal 100 UU No. 24 Tahun 2004 mengenai jumlah

maksimal dana yang dijamin dalam periode-periode tertentu.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, adapun rumusan

masalah yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :

1. Apakah pengaruh yang ditimbulkan dari pembentukan Lembaga Penjamin

Simpanan berdasarkan UU No. 24 Tahun 2004 ?

2. Bagaimanakah efektifitas UU No. 24 Tahun 2004 apabila dikaitkan dengan

ketentuan Pasal 100 UU No. 24 Tahun 2004 tentang menurunnya jumlah

simpanan yang dijamin dalam jangka waktu 18 bulan?.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum, untuk pengembangan ilmu hukum terkait paradigma science

as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan

mandek dalam penggaliannya atas kebenarannya khususnya di bidang

Sosiologi Hukum.

2. Tujuan Khusus, untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan oleh

pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan berdasarkan UU No. 24 Tahun

2004 dan untuk mengetahui efektifitas UU No. 24 Tahun 2004 apabila

dikaitkan dengan ketentuan Pasal 100 UU No. 24 Tahun 2004 tentang

menurunnya jumlah simpanan yang dijamin dalam jangka waktu 18 bulan.

6

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis, diharapkan menjadi sumbangan pemikiran didalam

mempelajari sosiologi hukum.

2. Manfaat Praktis, bagi pemerintah dapat dijadikan dasar bagi pembentukan

hukum dimana dalam pembentukan hukum harus mengikuti

perkembangan yang terjadi : masyarakat/gejala-gejala sosial di

masyarakat agar produk yang dihasilkan tidak tertinggal. Sedangkan

manfaat bagi penulis, dengan tulisan ini manfaat yang didapat adalah

lebih memahami mengenai hubungan timbal balik antara hukum dan

gejala sosial dan hubungan hukum dengan perkembangan yang terjadi di

masyarakat.

1.5 Landasan Teoritis

Landasan Teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum

umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum dan lain-lain yang akan

dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian5. Adapun

landasan teoritis dalam tulisan ini dapat dikemukakan antara lain: Mochtar

Kusumaatmadja memberi pengertian negara hukum adalah negara yang

berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang

sama di hadapan hukum.6 Unsur Negara hukum menurut Immanuel Kant (1724-

5 Supasti Dharmawan, 2006, Metodelogi Penelitian Hukum Empiris, Makalah Kedua, dipresentasikan pada Lokakarya Pasca Sarjana Universitas Udayana, hal. 19 6 Dahlan Thalib et.al, 2006, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 8-9

7

1804) dan kemudian dikembangkan oleh Friedrich Julius Stahl,7 adalah sebagai

berikut:

1. Adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia.

2. Adanya pemisahan kekuasaan negara.

3. Setiap tindakan negara harus didasarkan atas undang-undang yang telah

ditetapkan terlebih dahulu.

4. Adanya peradilan administrasi negara.

A. V. Dicey merumuskan rule of law itu sebagai berikut:

a. Supremasi aturan-aturan hukum (Supremacy of law) tidak hanya kekuasaan sewenang-wenang atau (absence of arbitrary power) dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum;

b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality before the law) dalil ini berlaku baik untuk orang dewasa maupun untuk pejabat

c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang Dasar serta keputusan-keputusan pengadilan.8 Roscoe Pound, ia menambahkan bahwa hukum sebagai suatu unsur dalam

hidup masyarakat harus memajukan kepentingan umum. Roscoe Pound terkenal

dengan teorinya yaitu Law as tool of social engineering dan Law as a tool of

social control. Hukum itu ditandai olehnya sebagai suatu jenis teknik sosial

(social engineering) atau kontrol sosial (social control) di dalam suatu masyarakat

politik, yakni dalam negara9. Tujuannya ialah untuk sebaik-baiknya mengimbangi

kebutuhan-kebutuhan sosial dan individual yang satu dengan yang lain. Cita-cita

keadilan yang hidup dalam hati rakyat dan yang ditujui oleh pemerintah

merupakan symbol dari harmonisasi yang tidak memihak antara kepentingan- 7 Jimly Asshidiqie, 1998, Agenda Pembangunan Hukum Nasional Di Abad Globalisasi, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.90 8 Mariam Budiardjo, 1977, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Jakarta, hal.48 9 Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum: Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, hal.

8

kepentingan individual yang satu terhadap yang lain. Ideal keadilan ini didukung

dengan paksaan. Paksaan digunakan oleh negara demi kontrol sosial, yaitu

menjamin keamanan sosial, dan dengan demikian memajukan kepentingan umum

sebaik-baiknya. Sehubungan dengan teori di atas maka dibentuklah UU No. 24

Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Lembaga Penjamin Simpanan

dibentuk untuk merubah citra perbankan Indonesia dan mengembalikan

kepercayaan nasabah terhadap lembaga perbankan.

Selain mengemukakan pandangan dari Pound, maka akan dikemukakan

pandangan dari Eugen Erlich yang terkenal dengan Living Law Theory. Erlich

melihat ada perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang

hidup dalam masyarakat (living law). Menurutnya, hukum positif baru akan

memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum

yang hidup dalam masyarakat tadi.10 Oleh karena itu, hukum positif yang

dibentuk haruslah sesuai dengan kebiasaan atau hukum yang hidup dalam

masyarakat. Peranan masyarakat menurut teori ini (living law theory) sangat

penting di dalam pembentukan produk hukum. UU No. 24 Tahun 2004 pun dalam

pembentukan tetap memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat.

I.6 Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah jenis penelitian

hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

hukum primer dengan bahan hukum sekunder.

10 Dharmo Diharjo dan Shidarta, 2004, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 128

9

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah

pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual

(conceptual approach). Pendekatan konseptual dilakukan untuk mengkaji

permasalahan dengan menggunakan konsep-konsep seperti konsep Law as tool of

social engineering dan Law as a tool of social control. Dalam metode pendekatan

perundang-undangan peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam

peraturan perundang-undangan.11

3. Sumber Bahan Hukum

Adapun bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penulisan paper ini

adalah sebagai berikut:

1. Bahan Hukum Primer: UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998

tentang Perbankan dan UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin

Simpanan.

2. Bahan Hukum Sekunder : literature, teori hukum, jurnal hukum, dan

penelitian terdahulu.

4. Teknik Pengolahan Dan Analisis Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum yang telah diperoleh selanjutnya diolah secara

kualitatif dengan jalan dikumpulkan kemudian disusun secara teratur, dipilah atau

dikelompokan sesuai dengan fungsinya, dianalisa dan dilakukan evaluasi sehingga

didapat hasil dan kemudian melakukan argumentatif dan juga interpretatif berupa

penjelasan-penjelasan atau uraian-uraian yang dapat menggambarkan keadaan,

proses, dan peristiwa untuk dapat memperoleh jawaban dari permasalahan

sehingga memperoleh kesimpulan akhir.

11 Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 96

10

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengaruh Yang Ditimbulkan Dari Pembentukan Lembaga Penjamin

Simpanan Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2004

Rangkaian hukum sebagai sebuah gejala social yang tumbuh berdasarkan proses

sosial dalam masyarakat adalah fakta yang wajar dengan mengingat kebutuhan-

kebutuhan dari masyarakat itu akan pentingnya kelanggengan dan ketertiban

dalam dimensi kehidupan (sosial).12 Pitirim Sorokin pernah pula mengemukakan

teori tentang perkembangan hukum dan gejala-gejala sosial lainnya yang

disesuaikannya dengan tahapan-tahapan tertentu yang dilalui oleh setiap

masyarakat.13 Masyarakat berkembang sesuai dengan nilai-nilai yang sedang

menonjol di dalam masyarakat yang bersangkutan. Walaupun sistematika Sorokin

tentang perkembangan hukum tidak terlalu memuaskan, namun perlu dicatat

bahwa seciap sistem hukum tak akan mungkin secara mutlak menutup dirinya

terhadap perubahan-perubahan sosial di dalam masyarakat.

Industri perbankan merupakan salah satu komponen sangat penting dalam

perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan

ekonomi nasional. Stabilitas industri perbankan dimaksud sangat mempengaruhi

Stabilitas perekonomian secara keseluruhan, sebagaimana pengalaman yang

pernah terjadi pada saat krisis moneter dan perbankan di Indonesia pada tahun

1998. 12 OK. Chairuddin, 1991, Sosiologi Hukum, Get. I, Sinar Grafika, Jakarta, hal.87 13 Soerjono Soekanto I, 1987, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal.94.

11

Kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan nasional merupakan

sal ah satu kunci untuk memelihara stabilitas industri perbankan sehingga krisis

tersebut tidak terulang. Kepercayaan ini dapat diperoleh dengan adanya kepastian

hukum dalam pengaturan dan pengawasan bank serta penjaminan simpanan

nasabah untuk meningkatkan kelangsungan usaha bank secara sehat dapat

menjamin keamanan simpanan para nasabahnya serta meningkatkan peran bank

sebagai penyedia dana pembangunan dan pelayan jasa perbankan.

Apabila bank kehilangan kepercayaan dari masyarakat sehingga

kelangsungan usaha bank dimaksud tidak dapat dilanjutkan, bank dimaksud

menjadi Bank Gagal yang berakibat dicabut izin usahanya. Oleh sebab itu, baik

pemilik dan pengelola bank maupun berbagai otoritas yang terlibat dalam

pengaturan dan/atau pengawasan bank, harus bekerja sama mewujudkan

kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.

Untuk menunjang kinerja perbankan nasional diperlukan lembaga

penunjang, baik untuk sementara waktu untuk menyelesaikan permasalahan bank

yang dihadapi dewasa ini maupun sifatnya lebih permanent. Salah satu

permasalahan adalah mengenai penjaminan dana simpanan terutama terhadap

bank-bank yang dicabut izin usahanya dan marak terjadi pasca krisis. Penjaminan

dana masyarakat yang merupakan seluruh kewajiban bank (blanket guarantee)

berdasarkan keputusan presiden pasca krisis moneter, telah membebani anggaran

negara dan justru ternyata membuat bank-bank tidak semakin ketat menerapkan

prinsip kehati-hatian dalam mengucurkan kredit, sebagaimana dirumuskan dalam

pasal 2 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Karena setiap terjadi likuidasi

12

bank, tanggungjawabnya diambil alih oleh pemerintah. Hal ini disebut dengan

moral hazard atau perilaku buruk. Bahkan berpotensi membuat manajemen bank

termotivasi melakukan aktivitas berisiko tinggi.

Karena itu, untuk mendukung sistem perbankan yang sehat dan stabil,

pemerintah melakukan penyempurnaan terhadap program penjaminan simpanan

nasabah bank yang sebelumnya telah secara implisit ada di Indonesia yaitu

penjaminan oleh bank itu sendiri secara internal. Untuk melakukan penjaminan

terhadap simpanan bank dinilai perlu dibentuk sebuah lembaga khusus yang

independent, yang diberi tugas dan wewenang dalam melaksanakan program

penjaminan simpanan.

Faktor-faktor sosiologis yang melatarbelakangi dibentuknya UU No. 24

tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebagai berikut:

a. bahwa untuk menunjang terwujudnya perekonomian nasional yang stabil dan

tangguh, diperlukan suatu sistem perbankan yang sehat dan stabil;

b. bahwa untuk mendukung sistem perbankan yang sehat dan stabil diperlukan

penyempurnaan terhadap program penjaminan simpanan nasabah bank;

c. bahwa dalam rangka melaksanakan program penjaminan terhadap simpanan

nasabah bank tersebut perlu dibentuk suatu lembaga yang independen yang

diberi tugas dan wewenang untuk melaksanakan program dimaksud.

Fungsi lembaga penjamin simpanan yang terpenting adalah mencegah

kepanikan nasabah dengan meyakinkan bahwa keamanan tabungan mereka

terjamin. Kedua untuk mengatur keamanan dan kesehatan bank untuk mencegah

risiko kebangkrutan bank. Sementara tugas yang ketiga adalah pengawas yang

13

melakukan pemantauan neraca, praktik pemberian pinjaman, dan strategi investasi

pada setiap bank.

Pembentukan lembaga penjamin simpanan menimbulkan konsekuensi

penambahan pelaku di dalam sistem perbankan. Jadi pihak pemerintah hanya

sebagai regulatornya. Tanpa keberadaan lembaga penjamin simpanan pelaku di

dalam sistem perbankan hanya ada dua pihak, penyimpan dan bank. Penyimpan,

berfungsi sebagai principal yang mendelegasikan ke bank sebagai lembaga yang

menjalankan fungsi intermediasi antara pihak yang kekurangan dana namun

membutuhkan suntikan dana untuk kebutuhan konsumsi maupun produktifnya

dengan pihak yang memiliki kelebihan dana namun ingin mengembangkan

pendanaannya dengan aman. Dengan adanya lembaga penjamin simpanan, pelaku

menjadi tiga pihak, yaitu lembaga penjamin simpanan, penyimpan dan bank. Oleh

karena itu, alih risiko menjadi lebih rumit dibandingkan dengan sistem tanpa

penjaminan simpanan. Jadi terdapat tiga pelaku yang satu dengan yang lain

terpisah, yaitu bank, LPS, dan nasabah penyimpanan. Nasah penyimpan

mendelegasikan tugas monitoring terhadap strategi investasi dan supervise

pelaksanaan pinjaman yang diberikan bank kepada LPS.14

Untuk mengakomodasi pentingnya lembaga LPS, UU No. 10 Tahun 1998

yang merupakan penyempurnaan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

menyebutkan secara eksplisit urgensi keberadaan lembaga penjamin simpanan

yaitu dalam pasal 1 angka 24 yang berbunyi:

14 Muslim Tampubolon, Lembaga Penjamin Simpanan Atasi Sistem Keuangan, www. Pikiran

14

Lembaga Penjamin Simpanan adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan nasabah penyimpan melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim lainnya.

Pasal 37 B UU No. 10 Tahun 1998 merupakan pasal yang secara tegas

menyebutkan keberadaan LPS. Dalam Pasal tersebut dirumuskan;

Ayat (1) Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan.

Ayat (2) Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.

Lebih lanjut dalam penjelasan disebutkan: Pembentukan lembaga penjamin simpanan diperlukan dalam rangka melindungi kepentingan nasabah dan sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank. Dalam menyelenggarakan penjaminan simpanan dana masyarakat pada bank, Lembaga penjamin simpanan dapat menggunakan: a. skim dana bersama b. skim asuransi; atau c. skim lainnya yang disetujui oleh BI

Ayat (3) Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

berbentuk badan hukum Indonesia. Ayat (4) Ketentuan mengenai penjaminan dana masyarakat dan Lembaga

Penjamin Simpanan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan pasal 10 UU No. 24 Tahun 2004, dirumuskan bahwa LPS

menjamin simpanan nasabah bank yang berbentuk giro, deposito, sertifikat

deposito, tabungan, dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Jadi

simpanan pada umum maupun bank syariah diakomodasi oleh pemerintah.

Sampai dengan tahun 1980, sistem penjaminan simpanan baru diterapkan

di 16 negara. Indonesia adalah negara yang ke-69 di dunia dan negara ke-10 di

Asia yang menerapkan sistem ini.15 Sistem ini diterapkan dengan skema yang

bervariasi pada setiap negara, di antaranya menyangkut sumber pembiayaan,

15 Ibid

15

penetapan premi, yang menjadi pengelola dan wajib tidaknya bank mengikutinya.

Dari 68 negara yang menerapkan sistem simpanan, 52 negara menerapkan

sistem dengan sumber pembiayaan secara gabungan antara pembiayaan oleh

bank dan pembiayaan dari public atau negara. Chili merupakan satu-satunya

negara yang menerapkan sistem penjaminan simpanan dengan sepenuhnya

dibiayai oleh dana public yang bersumber dari pajak yang dibebankan kepada

seluruh rakyat. Lima belas negara melakukan pembiayaan secara privat dari bank

yang menjadi anggota sistem ini.16

Terdapat tiga skema yang menyangkut lembaga yang menjadi pengelola,

yaitu skema di mana LPSnya dikelola oleh pemerintah melalui satu badan

tertentu. Kedua, LPSnya sepenuhnya dikelola oleh badan privat atau swasta, dan

yang ketiga lembaga tersebut dikelola secara bersama pemerintah dengan privat

Selain itu pada dasarnya keanggotaan lembaga penjamin simpanan dapat bersifat

sukarela dan wajib. Sebagian besar negara di dunia mewajibkan seluruh bank,

baik yang kuat maupun yang lemah untuk menjadi anggota.

Untuk mengetahui skema perlindungan nasabah penyimpan yang dipakai

oleh Indonesia, maka akan ditelusuri dari pasal-pasal yang diatur dalam UU No.

24 Tahun 2004. Berdasarkan pasal 2 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2004, LPS adalah

badan hukum yang sifatnya mandiri. Lebih lanjut dalam pasal 2 ayat (3) UU No.

24 Tahun 2004 dirumuskan bahwa LPS adalah lembaga yang independent,

transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Independensi yang dimaksud dalam penjelasan pasal 2 ayat (3) UU No. 24 Tahun

16 Ibid

16

2004 adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, LPS tidak boleh

dicampurtangani oleh pihak manapun termasuk oleh pemerintah kecuali dalam

hal-hal yang secara tegas dirumuskan dalam UU No. 24 Tahun 2004. Hal ini

semakin tegas dinyatakan dalam pasal 2 ayat (4) yang merumuskan bahwa LPS

bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya langsung kepada Presiden.

Untuk melaksanakan fungsinya dalam menjamin simpanan nasabah

menyimpan dana, berdasarkan pasal 5 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2004, LPS

mempunyai tugas dan wewenang merumuskan dan menetapkan kebijakan

pelaksanaan penjaminan simpanan dan melaksanakan penjaminan simpanan.

Sementara untuk memelihara stabilitas sistem perbankan, LPS bertugas:

a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif dalam

memelihara stabilitas sistem perbankan.

b. Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank

gagal yang tidak berdampak sistemik, dan

c. Melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik.

Sementara dalam pasal 4 UU No. 24 Tahun 2004, dirumuskan bahwa

fungsi LPS adalah untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif

dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.

Berdasarkan ketentuan pasal 81 UU No. 24 Tahun 2004 dinyatakan bahwa

kekayaan LPS merupakan aset negara yang dipisahkan dengan nilai antara

sekurang-kurangnya 4 triliun rupiah dan sebesar-besarnya 8 triliun rupiah.

Lembaga ini dinyatakan juga bertanggungjawab atas pengelolaan dan

penatausahaan semua asetnya.

17

Jadi skema penjaminan simpanan di Indonesia menganut skema LPS

dikelola pemerintah melalui badan tertentu. Jadi pemerintah hanya bertindak

sebagai regulator. Lembaga ini memiliki independensi sendiri dan bebas dari

campur tangan pemerintah. Jadi LPS adalah badan hukum mandiri yang tidak

terintegrasi ke dalam pemerintah tetapi merupakan lembaga pemerintah.

Mengenai wajib atau tidaknya bank sebagai anggota dalam pasal 8 UU

No. 24 Tahun 2004 mewajibkan seluruh bank yang melakukan kegiatannya di

Indonesia untuk menjadi anggota, baik bank dengan permodalan kuat maupun

bank dengan permodalan lemah. Jadi sistem keanggotaan wajib menimbulkan

subsidi silang antara rank yang kuat dan lemah agar seluruh bank menikmati

keuntungan dengan stabilitas sistem perbankan. Selain itu cabang bank asing yang

beroperasi di Indonesia juga diwajibkan menjadi anggota, dengan membayar

premi kepada LPS. Sementara cabang bank nasional yang beroperasi di luar

negeri tidak dijamin karena tujuan LPS adalah melindungi keuangan domestik

bukan asing.

LPS mempunyai pengaruh yang sangat penting di dalam menunjang

terwujudnya perekonomian nasional yang stabil dan tangguh khususnya dalam

mendukung sistem perbankan yang sehat dan stabil. Dengan adanya LPS,

keperpercayaan nasabah bank terhadap lembaga perbankan lebih menguat, hal ini

disebabkan nasabah penyimpan menghendaki agar dana yang disimpannya aman

di bank yang mereka manfaatkan jasanya.

18

2.2 Efektivitas UU No. 24 Tahun 2004 Dikaitkan Dengan Ketentuan Pasal

100 UU No. 24 Tahun 2004

Pasal 100 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2004 menyatakan sebagai berikut:

“ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (1) berlaku sejak 18

(delapan belas) bulan setelah Undang-Undang ini berlaku efentif”. Maksudnya

adalah bahwa ketentuan nilai penjaminan adalah maksimal Rp. 100 juta baru akan

berlaku sejak bulan Maret tahun 2007. Jadi selama tanggal 21 September 2005

hingga tanggal 21 Maret 2006, LPS masih akan menjamin seluruh simpanan milik

nasabah penyimpan pada setiap nomor rekening. Kemudian sejak tanggal 22

Maret 2006 hingga 21 September 2006, maksimum dana yang dijamin LPS

menurun hanya sebesar lima milyar rupiah setiap nomor rekening. Sejak tanggal

22 September 2006 hingga 21 Maret 2007, jumlah dana yang dijamin hanya

maksimal satu milyar rupiah. Sejak tanggal 22 Maret 2007 hingga seterusnya,

sesuai dengan rumusan pasal 11 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2004, dirumuskan

bahwa nilai simpanan yang dijamin adalah maksimal senilai Rp. 100 juta rupiah

pada setiap satu bank. Jadi ada masa transisi sebelum nilai batas maksimum yang

dimaksud dalam UU No. 24 Tahun 2004 diterapkan.

Ketentuan ini tentunya merupakan pasal yang dapat menimbulkan ekses

yang besar terhadap publik. Nilai 100 juta rupiah tersebut menjadi nilai batas

penjaminan karena nilai tersebut merupakan nilai yang diharapkan dapat

melindungi seluruh simpanan yang dimiliki oleh nasabah kecil yang merupakan

sebagian besar nasabah bank di Indonesia. Ssuai dengan penjelasan UU ini

dinyatakan bahwa landasan filosofis UU ini adalah penjaminan simpanan yang

19

dilakukan LPS bersifat terbatas tetapi dapat mencakup sebanyak-banyaknya

nasabah bank di Indonesia. Sebagian besar nasabah bank di Indonesia adalah

simpanan yang nilainya di bawah angka 100 juta rupiah. Dengan penjaminan yang

terbatas oleh LPS maka masyarakat akan menilai sendiri risiko dari dana yang

ditempatkannya pada sebuah bank. Oleh sebab itu, sebuah bank dituntut untuk

menjaga kepercayaan masyarakat dengan memperkuat permodalan dan kinerja

keuangannya.17

Muncul rasa ketidakadilan dalam implementasi UU ini. Karena para

pemilik rekening dengan nilai di atas batas maksimum masih harus menunggu

hasil likuidasi bank yang tentunya prosesnya tidak sebentar untuk mendapatkan

kembali dananya. Ini dapat menghambat iklim investasi di Indonesia karena

banyak pemilik dana besar yang sebagian besar adalah pengusaha akan

mengalami kesulitan mencairkan dananya untuk melakukan investasi. Tetapi

memang tujuan LPS di setiap negara adalah menjamin dana dengan nilai yang

terbatas. Sisanya adalah kewajiban bank setelah proses likuidasi dan penjualan

asset-aset bank.

Rumusan pasal 100 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2004 adalah norma yang

dapat mengurangi efektivitas UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS. Hal ini

disebabkan karena dalam pasal tersebut dinyatakan pertama apabila terjadi

penarikan dana perbankan dalam jumlah besar secara bersamaan, kedua terjadi

inflasi yang cukup besar dalam beberapa tahun, dan ketiga jumlah nasabah yang

dijamin seluruh simpanannya menjadi kurang 90 persen dari jumlah nasabah

17 Burhanuddin Abdulah, Loc.cit

20

penyimpan seluruh bank, maka penahapan nilai simpanan yang dijamin tersebut

akan diubah dengan Peraturan Pemerintah.

Kendala yang terjadi adalah apabila terjadi hal-hal tersebut dalam pasal 11

dapat diterapkan secara efektif pada Maret 2007, maka pasal 100 tersebut akan

berubah. Tetapi perubahannya adalah dengan Peraturan Pemerintah. Adanya pasal

yang bersifat perkecualian tersebut dapat terjadi karena adanya kepentingan politis

dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan demikian UU No. 24 Tahun 2004

dapat dinyatakan bukan merupakan UU yang tegas karena adanya kemungkinan

perubahan nilai batas maksimum di masa mendatang tergantung keadaan.

Sesuai hakikamya, undang-undang adalah kunci pokok dalam pelaksanaan

pemerintahan berdasarkan atas hukum.18 Materi muatan dalam undang-undang

tertentu lingkupnya. Undang-Undang cukup mengatur hal-hal yang pokok saja

dan rinciannya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.19

Sesuai ketentuan tersebut, sebaiknya ketentuan pasal 100 tersebut tidak perlu

dimasukkan dalam rumusan pasal 100 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004,

Pemerintah perlu membuat Peraturan Pemerintah.

Sehubungan dengan telah terjadi ancaman krisis yang berpotensi

mengakibatkan merosotnya kepercayaan terhadap perbankan dan membahayakan

system keuangan, dipandang perlu untuk menaikkan besarnya nilai simpanan

yang dijamin oiek Lembaga Penjamin simpanan maka pada tangga1 13 Oktober

2008 diundangkan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2003 Tentang besarnya

nilai simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan. Nilai simpanan yang 18 Rosidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 59 19 Ibid

21

dijamin berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2008 untuk setiap

nasabah yang semula berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 24

Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan ditetapkan paling banyak

Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) diubah memjadi paling banyak

Rp.2.000.000.000 (dua miliar rupiah).

22

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut:

1. Pengaruh yang ditimbulkan dan pembentukan Lembaga Penjamin

Simpanan berdasarkan Undang-Undang No. 24 tahun 2004 adalah

berubahnya citra perbankan Indonesia dan kembalinya kepercayaan

nasabah terhadap lembaga perbankan. Nasabah penyimpan menghendaki

agar dana yang disimpannya aman di bank yang mereka manfaatkan

jasanya. Kepercayaan masyarakat terhadap industry perbankan nasional

merupakan salah satu kunci untuk memelihara stabilitas industri

perbankan.

2. Pasal 100 Undang-Undang No.24 merupakan pasal yang dapat

menimbulkan ketidakpastian di masa mendatang. Adanya kemungkinan

perubahan nilai batas maksimum yang dijamin Lembaga Penjamin

Simpanan akan menimbulkan tidak efektifnya Undang-Undang No. 24

Tahun 2004, apabila ada kepentingan politis. Karena adanya ancaman

krisis yang dapat menimbulkan merosotnya kepercayaan masyarakat maka

nilai simpanan yang dijamin menurut Pasal 11 Undang-Undang No. 24

Tahun 2004 hanya Rp.100,000,000 (seratus juta) pernasabah, berdasarkan

23

Peraturan Pemerintah No, 66 Tahun 2008 naik menjadi Rp. 2.000.000.000

(dua miliar) pernasabah.

3.2 Saran

1. Sebaiknya ketentuan dalam pasal 100 UU No. 24 Tahun 2004 mengenai

menurunnya dana nasabah yang dijamin dalam jangka waktu 18 bulan

tidak perlu dicantumkan dalam UU, tetapi dalam bentuk PP karena UU ini

akan bersifat permanent, sehingga apabila terjadi hal-hal yang dimaksud

dapat mengakibatkan perubahan pelaksanaan pasal 11 UU No. 24 Tahun

2004 mengenai batas maksimum yang dijamin, maka tidak perlu merubah

UU No. 24 Tahun 2004 yang telah ada. Apalagi apabila ada kepentingan

pribadi pihak-pihak yang ingin mendapatkan dananya apabila terjadi

likuidasi bank.

2. Sebaiknya dirumuskan upaya hukum untuk mencegah terjadinya

penyelewengan oleh para pihak penyimpan dana yang dananya di atas

nilai Rp. 100 juta apabila terjadi likuidasi bank di Indonesia dengan

mengadakan perbandingan dengan negara lain yang sudah pernah

mengalami kasus tersebut Hasilnya dituangkan dalam bentuk regulasi baik

berupa PP maupun aturan khusus tertentu.

24

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Burhanuddin Abdullah, 2005, Jalan Menuju stabilitas, Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan, LP3S, Jakarta

Dahlan Thalib et.al, 2006, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Dharmo Diharjo dan Shidarta, 2004, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Jimly Asshidiqie, 1998, Agenda Pembangunan Hukum Nasional Di Abad Globalisasi, Balai Pustaka, Jakarta

Krisna Wijaya dan Djoko Retnadi, 2005, Konsolidasi Perbankan Nasional, Masyarakat Madani Indonesia, Jakarta

Mariam Budiardjo, 1977, Dasar-dasar ttmu Politik, PT Gramedia Jakarta

Muslim Tampubolon, Lembaga Penjamin Simpanan Atasi Sistem Keuangan, www.Pikiran rakyat.com

OK. Chairuddin, 1991, Sosiologi Hukum, Cet I, Sinar Grafika, Jakarta

Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta

Rahmat Firdaus dan Maya Ariyanti, 2003, Manajemen Perkreditan Bank Umum,

Alfabeta, Bandung Rosidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Mandar Maju, Bandung

Soerjono Soekanto I, 1987, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta

Sudjono Dirdjosisworo, 1983, Sosiologi Hukum, Edisi I, Rajawali, Jakarta

Supasti Dharmawan, 2006, Metodelogi Penelitian Hukum Empiris, Makalah Kedua, dipresentasikan pada Lokakarya Pasca Sarjana Universitas Udayana

Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum: Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta

II. Peraturan Perundang-undangan

UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

25

UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan

Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum

Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat