pembentukan perilaku sensori
TRANSCRIPT
Berdasarkan ensiklopedia Amerika; perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan
aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya.Hal ini berarti bahwa perilaku
baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni
yang disebut rangsangan. Dengan demikian maka suatu rangsangan tertentu akan
menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu (Bimo 201).
Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau
aktivitas organisme yang bersangkutan jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah
suatu aktivitas daripada manusia itu sendiri.
Pandangan behavioristik menyatakan bahwa perilaku sebagai respon terhadap
stimulus, akan sangat ditentukan oleh keadaan stimulusnya dan individu atau
organisme seakan-akan tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan
perilakunya.
Pandangan kognitif mengenai perilaku yaitu bahwa perilaku individu
merupakan respon dari stimulus, namun dalam diri invidu itu ada kemampuan untuk
menentukan perilaku yang diambilnya.
Bentuk perilaku manusia terdiri dari perilaku yang tidak tampak / terselubung
(convert behavior) dan perilaku yang tampak (convert behavior) perilaku yang tidak
tampak dapat berupa berfikir tanggapan sikap persepsi emosi pengetahuan dan lain-
lainnya.Sedangkan perilaku yang tampak misalnya berjalan berbicara bereaksi
berpakaian dan lain-lainnya.
Perilaku dan gejala yang tampak pada kegiatan organisasi tersebut di
pengaruhi baik faktor intern maupun ekstern termasuk faktor intern adalah
pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan lain-lainnya.
Yang berfungsi untuk mengelola dan ektern ini merupakan penuntut dari
perilaku mahluk hidup termasuk perilaku manusia. Faktor intern adalah merupakan
konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk hidup. Sedangkan
faktor ekstern / lingkungan adalah merupakan kondisi atau merupakan lahan untuk
perkembangan perilaku tersebut.
Jenis perilaku .Skinner ( 1976) membedakan perilaku menjadi
1. perilaku yang alami (innate behavior)
2. perilaku operan (operant behavior)
Perilaku alami perilaku yang dibawa sejak organisme dilahirkan yaitu berupa
reflek-reflek dan insting-insting.
Perilaku operan : perilaku yang dibentuk melalui proses belajar.
Perilaku yang refleksi merupakan perilaku yang terjadi sebagai reaksi secara
spontan terhadap stimulus yang mengenai organisme yang bersangkutan misal reaksi
kedip mata bila mata terkena sinar yang kuat, gerak lutut bila lutut kena palu,
menarik jari bila jari terkena api.
Reaksi atau perilaku ini terjadi secara dengan sendirinya, secara otomatis
tidak diperintah oleh otak (susunan saraf).Stimulus yang diterima oleh organisme
atau individu itu tidak sampai ke otak, sebagai pusat susunan saraf, sebagai pusat
pengendalian perilaku dalam perilaku yang refleksi respon langsung timbul begitu
menerima stimulus. Dengan kata lain begitu stimulus diterima oleh respon, langsung
timbul respons melalui faktor tanpa melalui pusat kesadaran atau otak.
Pada perilaku yang non reflektif operan lain keadaannya perilaku ini
dikendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran atau otak. Dalam kaitan ini stimulus
setelah di terima oleh reseptor.Kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat susunan
saraf sebagai pusat kesadaran kemudian baru terjadi respon melalui efektor. Proses
yang terjadi dalam otak atau pusat kesadaran ini disebut proses psikologis. Perilaku
atau aktifitas atas dasar proses psikologis ini yaitu disebut perilaku atau aktivitas
psikologis. Pada manusianya perilaku psikologi ialah yang dominan sebagai terbesar
perilaku manusianya merupakan perilaku yang dibentuk. Perilaku yang di pelajari
dari proses belajar. Perilaku yang reflektisif merupakan perilaku yang pada dasarnya
tidak dapat dikendalikan. Hal tersebut karena perilaku refleksif adalah perilaku yang
alami. Bukan perilaku yang dibentuk dipelajari dan dapat dikendalikan karena itu
dapat berubah melalui proses belajar disamping perilaku manusia dapat di kendalikan
perilaku juga merupakan perilaku yang integrated yang berarti bahwa keseluruhan
individu atau organisme itu terlibat dalam perilaku yang bersangkutan bukan bagian
demi bagian. Begitu kompleksnya perilaku manusia itu maka psikologi ingin
memahami manusia tersebut.
Oleh karena itu untuk memahaminya dan membentuk perilaku yang sesuai
diharapkan adalah sebagai berikut.
1. Pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan yaitu dengan cara
membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan misal dibiasakan
bangun pagi atau menggosok gigi sebelum tidur, membiasakan solat duha
setiap hari, membiasakan diri untuk solat lima waktu di masjid (bagi kaum
adam). Cara ini didasarkan oleh nabi Muhammad SAW dalam kitab ahlak
mulia rosululah.
2. Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight) disamping pembentukan
perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan pembentukan perilaku dapat
ditempuh dengan pengertian atau insight. Misal : datang kuliah tidak
terlambat karena hal tersebut dapat mengganggu teman-teman yang lain,
kalau berjalan di jalan raya sebelah kiri, kalau kita berjalan disebelah kanan
bisa terserempet kendaraan. Cara ini berdasarkan teori kognitif yaitu belajar
dengan disertai adanya pengertian. Bila dalam eksperimen Thoendike dalam
belajar yang dipentingkan adalah soal latihan maka dalam eksperimen Kohler
adalah dalam belajar yang penting adalah pengertian atau insight. Kohler
adalahan salah seorang tokoh dalam psikologi gestalt dan ditemukan dalam
aliran kognitif.
3. Pembentukan perilaku dengan menggunakan model pembentukan perilaku
masih dapat ditempuh dengan menggunakn model atau contoh kalau orang
berbicara bahwa orang tua sebagai contoh anak-anaknya. Hal tersebut
menunjukkan pembentukan perilaku dengan menggunaan model, cara ini
didasarkan atas teori belajar sosial (social learning theory) atau observational
learning theory yang dikemukakan oleh Bandura (1997)
Telah terlihat di muka bahwa dengan menjadi manusia organisasional seseorang tidak kehilangan identitasnya yang khas. Pemeliharaan identitas yang khas itu bahkan amat penting karena ia akan menimbulkan perasaan bangga. Seseorang yang mempunyai dan mampu mempertahankan identitasnya akan mempunyai rasa harga diri yang tinggi. Rasa harga diri yang tinggi itu pada gilirannya akan muncul dalam
keinginan untuk dihormati dan diperlakukan secara manusiawi oleh pimpinan organisasi.
a. Faktor Genetik. Yang dimaksud dengan faktor genetik di sini adalah segala hal yang oleh seseorang dibawa sejak lahir dan bahkan pula merupakan “warisan” dari kedua orang tuanya. Seperti tingkat kecerdasan, sifat pemarah atau penyabar dan lain-lain. Yang kiranya amat penting mendapat perhatian di sini ialah mengusahakan tersedianya data yang lengkap tentang latar belakang kehidupan karyawan. Data tersebut mulai dikumpulkan pada saat seseorang melamar menjadi karyawan organisasi dan terus menerus dimutakhirkan sepanjang karier yang bersangkutan, baik dalam hal melakukan koreksi terhadap perilaku yang sifatnya negatif maupun dalam mengembangkan perilaku organisasional yang sifatnya positif. b. Faktor Lingkungan. Yang dimaksud dengan faktor lingkungan di sini adalah situasi dan kondisi yang dihadapi oleh seseorang pada masa usia muda dalam rumah dan dalam lingkungan yang lebih luas, terutama lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat dekat yang dilihat dan dihadapinya sehari-hari.Perilaku seseorang setelah dewasa banyak dipengaruhi oleh kondisi dalam rumah tangga di mana ia hidup pada waktu masih kecil. Bahkan ada pula ahli yang mengatakan bahwa sesungguhnya kepribadian seseorang telah mulai terbentuk ketika ia masih berada dalam kandungan sang ibu. Jika seseorang dibesarkan dalam rumah tangga yang bahagia, pola perilaku seseorang akan bersifat “baik”, misalnya dalam bentuk sifat-sifat yang positif seperti peramah, gembira, sabar, toleran, mudah diajak bekerjasama dengan orang lain, tidak egoistis, dan memiliki rasa simpati.Sebaliknya, jika seseorang dibesarkan dalam keluarga yang tidak bahagia, di mana kedua orang tua sering bertengkar, apalagi di hadapan anak-anaknya, sukar diharapkan orang tersebut menumbuhkan kepribadian yang positif. Sebaliknya, kemungkinan besar orang itu akan bersifat egoistis, tingkat toleransinya rendah, memandang dunia sekelilingnya dengan perasaan curiga dan mudah memperlakukan orang lain dengan sikap yang antipati.Dalam hubungan ini kiranya perlu ditegaskan bahwa kondisi lingkungan rumah tangga yang harmonis tidak identik dengan kehidupan yang secara materi tergolong kaya.Segi kedua daripada faktor lingkungan adalah faktor sekolah. Lingkungan sekolah hendaknya tidak dipandang sebagai tempat untuk menambang ilmu untuk dipergunakan sebagai modal hidup dikemudian hari, akan tetapi juga sebagai tempat pembinaan sikap mental dan perilaku sosial yang baik. Di samping pengetahuan dan keterampilan, menumbuhkan nilai-nilai budaya, nilai-nilai etika dan nilai-nilai estetika harus pula dilakukan secara programatis dan sistematis. Pembentukan kepribadian di sekolah merupakan sisi lain daripada pembentukan kepribadian di rumah tangga. Karenanya kerjasama para orang tua dan para pendidik menjadi
teramat penting.Segi ketiga dari faktor lingkungan adalah kondisi masyarakat dekat sekeliling, di lingkungan mana anak-anak bergaul dengan sesamanya.Beberapa hal yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku sesorang adalah :1. Lingkungan yang tentram, dalam arti penuh kedamaian dan bebas dari kehidupan yang curiga mencurigai;2. Lingkungan yang rukun di mana sesama warga “tidak saling mencampuri urusan orang lain”, tanpa disertai oleh sikap yang acuh tak acuh;3. Lingkungan yang bersih dalam arti fisik;4. Tersedianya fasilitas bergaul yang memadai seperti untuk berolah raga, berbincang-bincang dengan rekan-rekan setingkat, dan sebagainya, dan5. Suasana kemasyarakatan yang mencerminkan keakraban. c. Faktor Pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang berlangsung seumur hidup dalam rangka mengalihkan pengetahuan oleh seorang kepada orang lain. Dengan pengertian di atas jelas tampak bahwa pendidikan dapat bersifat formal dan non formal. Pendidikan yang sifatnya formal ditempuh melalui tingkat-tingkat pendidikan, mulai dari sekolah taman kanak-kanak hingga, bagi sebagian orang, pendidikan di lembaga pendidikan tinggi, terjadi di ruang kelas dengan program pada umumnya bersifat “structured”. Di pihak lain, pendidikan yang sifatnya non formal dapat terjadi di mana saja karena sifatnya yang “unstructured”. Dalam kedua situasi pendidikan itu, pengalihan pengetahuan dan keterampilan tetap terjadi.Perlu disadari bahwa sasaran pendidikan tidaklah hanya pengalihan pengetahuan dan keterampilan saja, tapi salah satu bagian terpenting dari upaya pendidikan adalah pembinaan watak (character building). Pembinaan watak, sebagai bagian yang integral daripada usaha pendidikan, dimaksudkan antara lain untuk :1. Mengembangkan kemampuan berpikir secara rasional,2. Mengembangkan kemampuan analitik,3. Mengembangkan kepekaan terhadap perubahn-perubahan yang terjadi di masyarakat pada umumnya,4. Menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai etika, estetika, kemandirian, rasa solidaritas social yang tinggi,5. Mewujudkan persepsi yang tepat tentang peranan dan kedudukan seseorang vis a vis orang lain dalam kehidupan komunal.Apabila hal-hal di atas dapat diterima dari sekian banyak sasaran melalui kegiatan pendidikan, jelaslah bahwa pendidikan memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan perilaku administrasi.Memang diperlukan pengetahuan yang mendalam, misalnya tentang :1. Raison d’etre serta tujuan organisasi di mana seseorang menjadi anggota;2. Falsafat yang dianut oleh organisasi dalam rangka pencapaian tujuannya;
3. “clientele groups” yang harus dilayani oleh organisasi;4. Makna dan hakikat tugas dan fungsi yang harus dilaksanakan;5. Jenis kegiatan operasional yang harus diselenggarakan.Berkaitan erat dengan pendidikan sebagai factor pembentuk administrasi adalah keterampilan. Keterampilan adalah kemampuan teknis untuk melakukan sesuatu kegiatan tertentu yang dapat dipelajari dan dikembangkan.Sebagai bagian dari pendidikan, pengembangan keterampilan pun menpunyai pengaruh yang cukup kuat dalam pembentukan perilaku. Artinya, seseorang yang memiliki keterampilan tertentu akan mudah untuk :1. Ditempatkan pada sesuatu satuan organisasi tertentu sesuai dengan bidang keterampilannya;2. Dibina sedemikian rupa sehingga keterampilan dasarnya dapat terus dikembangkan;3. Memetakan pola karir seseorang sepanjang prestasinya memuaskan;4. Mengarahkan dan membantu dalam hal menghadapi kesulitan dalam melaksanakan tugasnya.Asumsi dasar yang biasa dipergunakan dalam memanfaatkan pendidikan sebagai salah satu factor pembentuk perilaku ialah bahwa setiap manusia normal, bukan hanya dapat dikembangkan, akan tetapi ingin terus berkembang.
d. Faktor Pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman di sini adalah keseluruhan pelajaran yang dipetik oleh seseorang dari peristiwa-peristiwa yang dilaluinya dalam perjalanan hidupnya. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa pengalaman seseorang sejak kecil turut membentuk perilaku orang yang bersangkutan dalam kehidupan organisasionalnya.Yang amat penting mendapat perhatian dalam hubungan ini adalah kemampuan seseorang untuk belajar dari pengalamannya, apakah pengalaman itu pahit atau manis.Ditinjau dari segi teori perilaku administrasi, yang penting mendapat perhatian setiap pimpinan adalah menjaga agar supaya jangan sampai pengalaman pahit seseorang mengakibatkannya mempunyai berbagai sifat yang negative seperti apatisme, “keras kepala”, tidak toleran, mudah putus asa dan sejenisnya. Sebaliknya, jangan sampai pengalaman seseorang menyebabkannya menjadi seorang yang over confidence, arogan, sombong dan sifat-sifat lain seperti itu.Pengalaman seseorang di sekolah pun akan turut membentuk pola perilaku seseorang. Misalnya, jika seseorang mengalami sesuatu yang kurang baik di sekolah seperti guru yang tidak/kurang berwibawa, guru yang suka main pukul, mutu pelajaran yang rendah dan lain sebagainya, dapat saja mengakibatkan sesorang tidak bergairah untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Sebaliknya, pengalaman di sekolah yang mendorong pengembangan kreatifitas, gaya hidup yang
berdisiplin serta menumbuhkan kehausan kepada ilmu pengetahuan akan menjadi modal yang sangat berharga dalam kehidupan organisasional di kemudian hari.Pengalaman dalam pergaulan sehari-hari, di luar rumah dan di luar sekolah, turut pula membentuk perilaku seseorang. Termasuk di sini pengalaman dalam pergaulan social dan pengalaman di bidang keagamaan. Salah satu sumber pengalaman lain yang dapat membentuk perilaku administrasi seseorang adalah peristiwa yang mungkin pernah dilaluinya pada organisasi yang lain, baik secara langsung atau tidak.Belajar dari pengalaman dengan demikian berarti bahwa perstiwa yang manis maupun yang pahit kedua-duanya memegang peranan dalam pembentukan perilaku administrasi seseorang.
Hubungan Proses Sensori Dalam Pembentukan Perilaku Manusia
Sensori adalah stimulus atau rangsangan yang datang dari
dalam maupun luar tubuh. Stimulus tersebut masuk ke dalam
tubuh melalui organ sensori ( panca indera). Stimulus yang
sempurna memungkinkan seseorang untuk belajar berfungsi secara
sehat dan berkembang dengan normal.
Secara fisiologis, sistem saraf secara terus menerus menerima
ribuan informasi dari organ saraf sensori, menyalurkan informasi
melalui saluran yang sesuai, dan mengintegrasikan informasi
menjadi respon yang bermakna.
Stimulus sensori mencapai organ sensori dan menghasilkan
reaksi yang segera atau informasi tersebut saat itu disimpan ke
otak untuk digunakan dimasa depan. Sistem saraf harus utuh agar
stimulus sensori mencapai pusat otak yang sesuai dan agar
individu menerima sensai.Setelah menginterpretasi makna sensasi,
maka orang dapat bereaksi terhadap stimulus tersebut.
Empat komponen penting pada sensori, yaitu:
1. Stimulus (rangsangan)
2. Reseptor
3. Konduksi
4. Persepsi
Proses sensorik adalah kemampuan untuk memproses atau
mengorganisasikan input sensorik yang diterima. Biasanya proses
ini terjadi secara otomatis, misalnya ketika mendengar suara
kicauan burung, otak langsung menterjemahkan sebagai bahasa
atau suara binatang
Proses sensorik diawali dengan penerimaan input (registration),
yaitu individu menyadari akan adanya input. Proses selanjutnya
adalah orientation, yaitu tahap dimana individu memperhatikan
input yang masuk. Tahap berikutnya, kita mulai mengartikan input
tersebut (interpretation). Selanjutnya adalah tahap organization,
yaitu tahap dimana otak memutuskan untuk memperhatikan atau
mengabaikan input ini. Tahap terakhir adalah execution, yaitu
tindakan nyata yang dilakukan terhadap input sensorik tadi
(Williamson dan Anzalone, 1996)
Sensori Integrasi adalah Proses neurologis individu dalam
mengorganisasikan sensasi dari dalam diri dan dari lingkungan
sekitar dan dapat digunakan secara efektif dalam lingkungannya.
Melalui panca indra, manusia memperoleh informasi tentang
kondisi fisik dan lingkungan yang berada di sekitarnya. Informasi
sensorik yang diterima akan masuk ke otak tidak hanya melalui
mata, telinga, dan hidung,akan tetapi masuk melalui seluruh
anggota tubuh lainnya seperti :
- Mata (Visual)
Disebut juga indera penglihatan. Terletak pada
retina.Fungsinya menyampaikan semua informasi visual tentang
benda dan menusia.
- Telinga (Auditory)
Disebut juga indera pendengaran, terletak di telinga bagian
dalam. Fungsinya meneruskan informasi suara. Dan terdapat
hubungan antara sistem auditor ydengan perkembangan bahasa.
Apabila sistem auditory mengalami gangguan, maka
perkembangan bahasanya juga akan terganggu.
- Hidung (Olfactory)
Disebut juga indera pembau, terletak pada selaput lendir
hidung, fungsinya meneruskan informasi mengenai bau-bauan
(bunga, parfum, bau makanan).
- Lidah (Gustatory)
Disebut juga indera perasa, terletak pada lidah, fungsinya
meneruskan informasi tentang rasa (manis, asam, pahit,dan lain-
lain) dan tektur di mulut (kasar, halus, dan lain-lain).
- Kulit (Tactile)
Taktil adalah indera peraba. Terletak pada kulit dan sebagian
dari selaput lendir. Bayi yang baru lahir, menerima informasi untuk
pertama kalinya melalui indera peraba ini.
- Otot dan persendian (Proprioceptive)
Proprioseptif merupakan sensasi yang berasal dari dalam
tubuh manusia, yaitu terdapat pada sendi, otot, ligamen dan
reseptor yang berhubungan dengan tulang. Input proprioseptif ini
menyampaikan informasi ke otak tentang kapan dan bagaimana
otot berkontraksi (contracting) atau meregang (stretching), serta
bagaimana sendi dibengkokkan (bending), diperpanjang
(extending), ditarik (being pull) atau ditekan (compressed). Melalui
informasi ini, individu dapat mengetahui dan mengenal bagian
tubuhnya dan bagaimana bagian tubuh tersebut bergerak.
- Keseimbangan / balance (Vestibular)
Sistem vestibular disebut juga “business center”, karena
semua sistem sensorik berkaitan dengan sistem ini. Sistem
vestibular ini terletak pada labyrinth di dalam telinga bagian
tengah. Fungsinya meneruskan informasi mengenai gerakan dan
gravitasi. Sistem ini sangat mempengaruhi gerakan kepala dalam
hubungannya dengan gravitasi dan gerakan cepat atau lambat,
gerakan bola mata (okulomotor), tingkat kewaspadaan dan emosi.
B. PERUBAHAN SENSORI
Banyak faktor mengubah kapasitas untuk menerima atau
mempersepsi sensasi, kemudian menyebabkn perubahan sensori.
Jenis-jenis perubahan sensori umum yang terlihat perawat adalah
defisit sensori, deprivasi sensori, dan beban sensor yang
berlebihan. Jika seseorang klien menderita lebih dari satu
perubahan sensori maka secara serius akan mengganggu
kemampuan untuk berfungsi dan berhubungan secara efektif
didalam lingkungan.
1. Defisit Sensori.
Adalah suatu kerusakan dalam fungsi normal penerimaan dan
persepsi sensori. Individu tidak mampu menerima stimulus tertentu
( misalnya kebutaan atau tuli ), atau stimulus menjadi distorsi
( misalnya penglihatan kabur karena katarak ). Kehilangan sensori
secara tiba-tiba dapat menyebabkan ketakutan, marah, dan
perasaan tidak berdaya. Apabila indera rusak maka perasaan
terhadap diri juga rusak . Pada awalnya individu bersikap menarik
diri dengan menghindari komunikasi atau sosialisasi dengan orang
lain dalam suatu usaha untuk mengatasi kehilangan sensori.
Klien yang mengalami deficit sensori dapat mengubah
perilaku dalam cara-cara yang adaptif atau maladaptif. Sebagai
contoh, seorang klien yang mengalami kerusakan pendengaran
dapat memutar telinga yang tidak terganggu kearah pembicara
untuk mendengar dengan lebih baik, sementara klien lain mungkin
menghidar dari orang lain untuk menghidari malu karena tidak
mampu memahami pembicaraan mereka.
Contoh defisit sensori umum :
a. Visual : presbiopi, katarak, glaukoma
b. Pendengaran : presbikusis, otitis eksternal
c. Neurologis : stroke, neuropati perifer.
2. Deprivasi Sensori.
Sistem pengaktivasi reticular dalam batang otak
menyebabkan semua stimulus sensori ke korteks serebral,
sehingga meskipun saat tidur yang nyenyak, klien mampu
menerima stimulus. Stimulasi sensori harus cukup kualitas dan
kuantitasnya untuk mempertahankan kesadaran sesorang.
Deprivasi sensori yang paling bermakna dialami klien yang
melaporkan kurangnya sentuhan manusiawi.
Jika seseorang mengalami suatu stimulasi yang tidak adekuat
kualitas dan kuantitasnya seperti stimulus yang monoton atau tidak
bermakna maka akan terjadi deprivasi sensori.
Tiga jenis deprivasi sensori adalah :
a. kurangnya input sensori ( karena kehilangan penglihatan dan pendengaran )
b. Eliminasi perintah atau makna dari input ( misal terpapar pada lingkungan asing )
c. Restriksi dari lingkungan ( misalnya tirah baring atau berkuranya
variasi lingkungan ) yang menyebabkan monoton dan kebosanan
( Ebersole dan Hess, 1994 )
Individu yang beresiko terjadi deprivasi sensori umumnya
tinggal di ruang terbatas pada perawatan dirumah. Meskipun panti
keperawatn berkualitas menawarkan stimulasii yang bermakna
melalui aktivitas kelompok, mengatur lingkungan, dan berkumpul
saat waktu makan, terdapat pengecualian. Lansia yang terbatas
dikursi roda, menderita dari pendengaran atau penglihatan yang
buruk, mengalami penurunan tenaga, dan menghindari kontak
dengan orang lain berada pada resiko yang bermakna untuk
depivasi sensori.
Efek dari deprivasi sensori adalah :
1. Kognitif
Penurunan kapasitas belajar, ketidakmampuan berpikir atau
menyelesaikan masalah, penampilan tugas buruk, disorientasi,
berpikir aneh, regresi,
2. Afektif.
Kebosanan, kelelahan, peningkatan kecemasan, kelabilan emosi,
dan peningkatan kebutuhan untuk stimulasi fisik.
3. Persepsi.
Disorganisasi persepsi terjadi pada koordinasi visual, motorik,
persepsi warna, pergerakan nyata, keakuratan taktil, kemampuan
untuk mempersepsikan ukiran dan bentuk, penilaian mengenai
ruang dan waktu ( Ebersole dan Hess, 1994 ).
Tanda klinis deprivasi sensori :
a. Mengunyah dalam tidur
b. Perhatian menurun, sulit konsentrasi, penurunan dalam
penyelesaian masalah
c. Kerusakan memori
d. Periode disorientasi, kebingungan yang tiba-tiba atau menetap
e. Palpitasi
a. Halusinasi atau delusi
b. Menangis, depresi, sensitif
c. Apatis, emosi labil.
3. Beban Sensori yang berlebihan.
Adalah suatu kondisi dimana individu menerima banyak
stimulus sensori dan tidak dapat secara perceptual tidak
menghiraukan beberapa stimulus. Pada kondisi ini stimulus sensori
yang berlebihan dapat mencegah otak untuk berespon secara
tepat atau mengabaikan stimulus tertentu. Kerena banyak stimulus
mengarah pada kelebihan sensori sehingga individu tidak lagi
mempersepsikan lingkungan secara rasional. Kelebihan sensori
mencegah respon yang bermakna oleh otak, menyebabkan pikiran
seseorang berpacu, perhatian bergerak pada banyak arah dan
menjadi lelah. Akibatnya, beban sensori yang berlebihan
menyebabkan suatu keadaan yang mirip dengan deprivasi sensori.
Akan tetapi kebalikan dari deprivasi , kelebihan sensori adalah
individual. Jumlah stimulus yang dibutuhkan untuk berfungsi sehat
bervariasi setiap individu. Toleransi seseorang pada beban sensori
yang berlebihan dapat bervariasi oleh tingkat kelelahan, sikap, dan
kesehatan emosional dan fisik.
Perubahan perilaku yang berhubungan dengan beban sensori
yang berlebihan dapat dengan mudah menjadi bingung atau
disorientasi sederhana. Perawat harus mencari gejala seperti
pikiran yang terpacu, perhatian yang terkotak-kotak, lelah dan
cemas. Kien perawatan intensif kadang-kadang berusaha
memainkan selang dan balutan secara konstan. Reorientasi yang
konstan dan kontrol stimulus yang berlebihan menjadi suatu bagian
yang penting dari perawatan klien.
Beban sensori berlebihan terjadi karena tiga faktor :
a. Peningkatan kualitas atau kuntitas stimulus internal, Contoh :
nyeri, dyspnea, cemas
b. Peningkatan kualitas atau kuantitas stimulus eksternal, Contoh :
ruangan yang ribut terlalu ramai pengunjung
c. Stimulus terabaikan secara selektif akibat kerusakan sistem saraf.
Tanda klinis beban sensori yang berlebihan
a. Mengeluh lelah dan kurang tidur
b. Mudah tersinggung dan kurang istirahat
c. Disorientasi
d. Kemampuan pemecahan masalah dan penampilan tugas
berkurang
e. Ketegangan otot meningkat
f. Perhatian berubah
Kartini Kartono. DR. Psikologi Umum. Mandar Maju – Bandung 1990
Prof. Dr. Bimo Walgito, 1997. Pengantar Psilogi Umum. ANDI: Yogyakarta.