pelanggaran konvensi geneva

8
PELANGGARAN KONVENSI GENEVA Banu Harganta Pendahuluan Migrasi atau perpindahan atau pergerakan manusia antar negara bukanlah fenomena yang baru. Selama berabad-abad, jauh sebelum negara terbentuk manusia telah melakukan perjalanan untuk berpindah mencari kehidupan yang lebih baik di tempat yang lain. Proses globalisasi telah meningkatkan faktor yang mendorong para imigran untuk mencari peruntungan di luar negeri, hal ini dapat menimbulkan aspek positif dan aspek negatif di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Pada kurun waktu belakangan ini, peristiwa migrasi yang banyak mendapat perhatian publik dunia adalah banyaknya pengungsi yang menuju Australia dengan melewati Indonesia. Negeri asal pengungsi yang terbanyak adalah berturut- turut Afghanistan, Irak, Somalia, Burma, Colombia, Vietnam, Eritrea, China, Sri Lanka, Turkey dan Angola. Sedangkan negeri tujuan pengungsi, ataupun yang kemudian menerima para pengungsi adalah Amerika Serikat, Canada, Australia, New Zealand, Netherlands, Denmark dan negara-negara Scandinavia (Swedia, Finlandia dan Norwegia). Indonesia sendiri tidak tergolong sebagai negeri tujuan pengungsian. Walaupun Indonesia pernah berpartisipasi dengan menyediakan Pulau Galang di Kepulauan Riau sebagai penampungan pengungsi asal Vietnam dan Kamboja di tahun 1979 – 1996 atas mandat dari PBB 1

Upload: banu-harganta

Post on 15-Dec-2015

34 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Politic

TRANSCRIPT

Page 1: Pelanggaran Konvensi Geneva

PELANGGARAN KONVENSI GENEVA

Banu Harganta

Pendahuluan

Migrasi atau perpindahan atau pergerakan manusia antar negara bukanlah

fenomena yang baru. Selama berabad-abad, jauh sebelum negara terbentuk manusia

telah melakukan perjalanan untuk berpindah mencari kehidupan yang lebih baik di

tempat yang lain. Proses globalisasi telah meningkatkan faktor yang mendorong para

imigran untuk mencari peruntungan di luar negeri, hal ini dapat menimbulkan aspek

positif dan aspek negatif di setiap negara, baik negara maju maupun negara

berkembang. Pada kurun waktu belakangan ini, peristiwa migrasi yang banyak

mendapat perhatian publik dunia adalah banyaknya pengungsi yang menuju Australia

dengan melewati Indonesia.

Negeri asal pengungsi yang terbanyak adalah berturut-turut Afghanistan, Irak,

Somalia, Burma, Colombia, Vietnam, Eritrea, China, Sri Lanka, Turkey dan Angola.

Sedangkan negeri tujuan pengungsi, ataupun yang kemudian menerima para pengungsi

adalah Amerika Serikat, Canada, Australia, New Zealand, Netherlands, Denmark dan

negara-negara Scandinavia (Swedia, Finlandia dan Norwegia). Indonesia sendiri tidak

tergolong sebagai negeri tujuan pengungsian. Walaupun Indonesia pernah

berpartisipasi dengan menyediakan Pulau Galang di Kepulauan Riau sebagai

penampungan pengungsi asal Vietnam dan Kamboja di tahun 1979 – 1996 atas mandat

dari PBB United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Disamping Pulau

Galang, pulau lain seperti Natuna, Tarempa dan Anambas juga menjadi tempat transit

dan pemprosesan manusia perahu.

Posisi Indonesia saat ini lebih dikenal sebagai negeri transit pengungsi dari

negeri Asia lain yang akan menuju Australia. Pengungsi yang menjadikan Indonesia

sebagai negeri transit datang dari Irak, Afghanistan, Sri Lanka maupun Burma (etnis

Rohingya). Kebanyakan pengungsi datang dengan menggunakan jalur laut (sebagai

manusia perahu) dan memilih pantai selatan Jawa hingga ke Nusa Tenggara sebagai

tempat bertolak menuju Australia.

1

Page 2: Pelanggaran Konvensi Geneva

Posisi Indonesia yang strategis sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak

pelabuhan dan garis pantai yang terbuka merupakan kawasan yang strategis bagi

pendatang. Kepentingan Indonesia dalam hal ini adalah menjaga wilayah Indonesia

tetap dalam kondisi aman, meskipun Indonesia merupakan target para imigran gelap

untuk transit menuju Australia. Karena kasus imigran gelap bukanlah satu-satunya

kasus yang harus diwaspadai oleh Indonesia.

Indonesia sampai saat ini belum menjadi anggota dari Konvensi Pengungsi 1951

maupun Protokol 1967 dan juga tidak mempunyai mekanisme penentuan status

pengungsi, sehingga Indonesia tidak dapat melakukan pengusiran dan exstradisi. Oleh

karena itu, selama ini Badan PBB yang mengurusi pengungsi United Nations High

Commissioner for Refugees (UNHCR) –lah yang memproses sendiri setiap permohonan

status pengungsi di Indonesia dengan dibantu badan internasional lain seperti

International Organization for Migration (IOM).

Selanjutnya, sesuai dengan Prinsip Non-Refoulement dalam Hukum Hak Asasi

Manusia tentang Convention Against Torture (CAT) pasal 3 disebutkan bahwa "tidak ada

Negara / pihak yang boleh mengusir, mengembalikan atau mengekstradisi seseorang ke

negara lain apabila ada alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu dalam

bahaya karena menjadi sasaran penyiksaan".

Kendati belum menjadi pihak dari Konvensi Pengungsi 1951, pemerintah

Indonesia dan pemerintah daerah selama ini telah mendukung proses-proses suaka

tersebut dengan mengijinkan pencari suaka masuk ke wilayah Indonesia, merujuk para

pencari suaka ke UNHCR, dan mengijinkan para pengungsi untuk tinggal di Indonesia

sementara menunggu diperolehnya solusi yang berkelanjutan. Contoh terakhir adalah

bagaimana rakyat Aceh dan pemerintah Indonesia bersedia menampung sementara

pencari suaka Rohingya dari Myanmar yang terusir oleh rezim junta militer Myanmar

dan dianggap sebagai tak punya kewarganegaraan (stateless person).

Pengembalian Pengungsi dan Penyuapan

Seperti diketahui bersama, hubungan antara Indonesia dan Australia mengalami

pasang surut. Setelah beberapa saat harmonis, hubungan kedua negara tersebut

mengalami perubahan menjadi agak memanas. Beberapa peristiwa menjadi

penyebabnya, antara lain kasus penyadapan telepon presiden SBY oleh Australia,

eksekusi mati kasus narkoba Bali Nine, dan masalah imigran gelap. Terkait masalah

2

Page 3: Pelanggaran Konvensi Geneva

terakhir, Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott melaksanakan kebijakan

pragmatis terkait para pencari suaka ke negaranya. Sebagaimana diketahui, sudah

beberapa kali Australia mengirim balik para pencari suaka yang berusaha masuk ke

wilayahnya melalui perairan Indonesia dengan sekoci yang dipersiapkan oleh kapal

patroli Australia di perairan perbatasan. Dengan kebijakan tersebut Australia

mengklaim berhasil menanggalkan masuknya semua kapal pencari suaka ke negaranya

dalam dua bulan terakhir.

Dan, peristiwa terakhir yang membuat suhu kedua negara memanas adalah

terungkapnya kasus suap yang dilakukan oleh pemerintah Australia kepada anak buah

kapal (ABK) asal Indonesia yang sedang membawa pengungsi Bangladesh, Sri Lanka

dan Myanmar. Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) berhasil mengungkap

rincian dan kronologi dugaan penyuapan yang dilakukan oleh petugas Bea Cukai

(Customs and Border Protection) Australia terhadap awak kapal asal Indonesia. Bea

Cukai dan AL Australia menurut pengakuan awak kapal yang membawa pengungsi

membayar 6 ribu dolar AS kepada nakhoda dan masing-masing 5 ribu dolar AS kepada

5 awak kapal lainnya. Tujuannya, agar mereka membawa kembali 65 orang imigran

gelap asal Sri Lanka, Bangladesh dan Myanmar ke perairan Indonesia dan tidak

melanjutkan perjalanan ke Selandia Baru sebagaimana yang mereka rencanakan.

Peristiwa tersebut merupakan sebuah pelanggaran serius yang dilakukan oleh

pemerintah Australia. Menurut Hikmahanto Juwana, bila hal tersebut merupakan

kebijakan pemerintah Australia, maka Australia sebagai anggota Konvensi tentang

Pengungsi telah melanggar Konvensi tersebut. Namun jika bukan kebijakan pemerintah

Australia, maka Indonesia dapat meminta Australia untuk melakukan tuntutan hukum

atas oknum Bea Cukai Australia tersebut atas dugaan melakukan penyelundupan

manusia ke Indonesia berdasarkan salah satu Protocol dari Transnational Organized

Crimes. Protocol tersebut berjudul "Protocol against the Smuggling of Migrants by Land,

Sea and Air". Australia telah meratifikasi Protokol tersebut pada tahun 2004. Bila

Australia tidak melakukan proses hukum terhadap oknum otoritas tersebut maka

Australia telah melakukan pembiaran. Pembiaran ini berarti pemerintah Australia

melakukan pembenaran cara mengusir para pencari suaka dengan uang. Australia pun

dianggap membenarkan tindakan penyelundupan manusia. Sehingga pemerintah

Indonesia dapat melakukan protes diplomatik dan melakukan opsi-opsi diplomatik

3

Page 4: Pelanggaran Konvensi Geneva

yang tersedia untuk memastikan Australia melakukan penghukuman terhadap oknum

petugasnya.

Pelanggaran Konvensi Geneva dan HAM

Masalah pengungsi dan pemindahan orang di dalam negeri merupakan

persoalan yang paling pelik yang dihadapi masyarakat dunia saat ini. Banyak diskusi

tengah dilakukan di PBB yang terus berusaha mencari cara-cara lebih efektif untuk

melindungi dan membantu kelompok yang sangat rentan ini. Sejumlah orang

menyerukan ditingkatkannya kerja sama dan koordinasi antara lembaga pemberi

bantuan, sebagian lain menunjuk pada celah-celah dalam peraturan internasional dan

menghimbau disusunnya standar-standar dalam bidang ini lebih jauh lagi.

Bagaimanapun, setiap orang setuju bahwa persoalan ini merupakan masalah

multidimensional dan global. Oleh karenanya setiap pendekatan dan jalan keluar harus

dilakukan secara komprehensif dan menjelaskan semua aspek permasalahan, dari

penyebab eksodus massal sampai penjabaran respon yang perlu untuk menanggulangi

rentang permasalahan pengungsi, dari keadaan darurat sampai pemulangan mereka

(repatriasi). UNHCR sebagai badan di bawah PBB mempunyai tanggung jawab untuk

memberi perlindungan kepada pengungsi.

Setiap negara mempunyai tugas umum untuk memberikan perlindungan

internasional sebagai kewajiban yang dilandasi hukum internasional, termasuk hukum

hak asasi internasional dan hukum kebiasaan internasional. Jadi negara-negara yang

menjadi peserta/penandatangan Konvensi 1951 mengenai status pengungsi dan/atau

Protokol 1967 mempunyai kewajiban-kewajiban seperti yang tertera dalam perangkat-

perangkat hukum yang diatur dalam Konvensi 1951 (tentang kerangka hukum bagi

perlindungan pengungsi dan pencari suaka).

Dalam praktiknya, banyak negara yang kemudian menangani pengungsi tidak

sesuai dengan standar internasional yang sudah diatur dalam Konvensi 1951 dan

Protokol 1967 bahkan melanggar prinsip mengenai larangan pengusiran atau

pengembalian (non refoulement) yang sudah menjadi hukum kebiasaan internasional.

Tindakan yang dilakukan oleh pihak Bea Cukai Australia tersebut (atau

oknumnya) bisa dikategorikan sebagai tindakan pengusiran. Hal ini berarti, Australia

telah melanggar Pasal 33 Konvensi 1951 tersebut dimana Australia juga ikut menanda

tanganinya. Pasal 33 (1) Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 menyebutkan bahwa

4

Page 5: Pelanggaran Konvensi Geneva

negara-negara peserta Konvensi ini tidak diperbolehkan untuk mengusir ataupun

mengembalikan pengungsi dalam bentuk apapun ke luar wilayahnya dimana

keselamatan dan kebebasan mereka terancam karena alasan ras, agama, kebangsaan,

keanggotaan pada kelompok sosial atau pun opini politik tertentu.

Selain itu, tindakan pengusiran tersebut juga melanggar hak azasi manusia.

Berdasarkan pasal 14 (1) Deklarasi HAM Universal 1948, setiap orang memiliki hak

untuk mencari dan menikmati suaka dari negara lain karena takut akan penyiksaan.

Hak untuk mencari suaka mengandung pengertian bahwa orang-orang yang melarikan

diri dari persekusi dan masuk ke wilayah negara lain tanpa membawa dokumen yang

lengkap harus diberi ijin masuk ke suatu negara, minimal untuk jangka waktu

sementara. Setiap pencari suakapun memiliki hak untuk tidak diusir atau dikembalikan

secara paksa apabila mereka telah tiba di suatu negara dengan cara yang tidak lazim.

Prinsip ini kemudian dikenal sebagai non refoulement. Prinsip non refoulment

harus dibedakan dari expulsion atau deportation atau pengusiran. Deportasi dilakukan

jika warga negara asing melakukan tindakan yang melawan hukum di negara penerima

atau ia merupakan pelaku kejahatan yang melarikan diri dari proses pengadilan,

sedangkan prinsip non refoulment hanya digunakan terhadap pengungsi atau pencari

suaka.

Prinsip non refoulement ini tidak hanya terdapat pada Konvensi 1951, namun

juga tercantum secara implisit maupun eksplisit pada Konvensi Anti Penyiksaan

(Convention Against Torture) pasal 3, Konvensi Jenewa IV (Fourth Geneva Convention)

tahun 1949 pada pasal 45 paragraf 4, pada Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan

Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) 1966 pasal 13, dan

instrumen-instrumen HAM lainnya. Prinsip ini pun telah diakui sebagai bagian dari

hukum kebiasaan internasional (international customary law). Dalam arti, negara yang

belum menjadi pihak dari Konvensi Pengungsi 1951 pun harus menghormati prinsip

non refoulement ini.

REFERENSI

Critchley, Susan,Hubungan Australia dengan Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 1995.

International Organization for Migration (IOM).“Petunjuk Penanganan Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (Pencegatan, Penyelidikan, Penuntutan dan Koordinasi di

5

Page 6: Pelanggaran Konvensi Geneva

Indonesia tahun 2012)”,Jakarta: International Organization for Migration (IOM), 2012.

Mochamad Tatra Kuncara. 2010, “Upaya-Upaya Diplomasi Australia Terhadap Indonesia Dalam Menghadapi Imigrasi Ilegal dan Penyelundupan Imigran ke Australia”.Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Vol.6 No.2, September 2010, Penerbit: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan.

Wagiman, S., Hukum Pengungsi Internasional, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2012.

UNHCR.Konvensi dan Protokol mengenai status pengungsi, UNHCR Media Relations and Public Information Service, Switzerland.

UNHCR.Konvensi Pengungsi tahun 1951, UNHCR Media Relations and Public Information Service, Switzerland.

http://detik.com

http://news.metrotv.com

6