pelanggaran konvensi geneva
DESCRIPTION
PoliticTRANSCRIPT
PELANGGARAN KONVENSI GENEVA
Banu Harganta
Pendahuluan
Migrasi atau perpindahan atau pergerakan manusia antar negara bukanlah
fenomena yang baru. Selama berabad-abad, jauh sebelum negara terbentuk manusia
telah melakukan perjalanan untuk berpindah mencari kehidupan yang lebih baik di
tempat yang lain. Proses globalisasi telah meningkatkan faktor yang mendorong para
imigran untuk mencari peruntungan di luar negeri, hal ini dapat menimbulkan aspek
positif dan aspek negatif di setiap negara, baik negara maju maupun negara
berkembang. Pada kurun waktu belakangan ini, peristiwa migrasi yang banyak
mendapat perhatian publik dunia adalah banyaknya pengungsi yang menuju Australia
dengan melewati Indonesia.
Negeri asal pengungsi yang terbanyak adalah berturut-turut Afghanistan, Irak,
Somalia, Burma, Colombia, Vietnam, Eritrea, China, Sri Lanka, Turkey dan Angola.
Sedangkan negeri tujuan pengungsi, ataupun yang kemudian menerima para pengungsi
adalah Amerika Serikat, Canada, Australia, New Zealand, Netherlands, Denmark dan
negara-negara Scandinavia (Swedia, Finlandia dan Norwegia). Indonesia sendiri tidak
tergolong sebagai negeri tujuan pengungsian. Walaupun Indonesia pernah
berpartisipasi dengan menyediakan Pulau Galang di Kepulauan Riau sebagai
penampungan pengungsi asal Vietnam dan Kamboja di tahun 1979 – 1996 atas mandat
dari PBB United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Disamping Pulau
Galang, pulau lain seperti Natuna, Tarempa dan Anambas juga menjadi tempat transit
dan pemprosesan manusia perahu.
Posisi Indonesia saat ini lebih dikenal sebagai negeri transit pengungsi dari
negeri Asia lain yang akan menuju Australia. Pengungsi yang menjadikan Indonesia
sebagai negeri transit datang dari Irak, Afghanistan, Sri Lanka maupun Burma (etnis
Rohingya). Kebanyakan pengungsi datang dengan menggunakan jalur laut (sebagai
manusia perahu) dan memilih pantai selatan Jawa hingga ke Nusa Tenggara sebagai
tempat bertolak menuju Australia.
1
Posisi Indonesia yang strategis sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak
pelabuhan dan garis pantai yang terbuka merupakan kawasan yang strategis bagi
pendatang. Kepentingan Indonesia dalam hal ini adalah menjaga wilayah Indonesia
tetap dalam kondisi aman, meskipun Indonesia merupakan target para imigran gelap
untuk transit menuju Australia. Karena kasus imigran gelap bukanlah satu-satunya
kasus yang harus diwaspadai oleh Indonesia.
Indonesia sampai saat ini belum menjadi anggota dari Konvensi Pengungsi 1951
maupun Protokol 1967 dan juga tidak mempunyai mekanisme penentuan status
pengungsi, sehingga Indonesia tidak dapat melakukan pengusiran dan exstradisi. Oleh
karena itu, selama ini Badan PBB yang mengurusi pengungsi United Nations High
Commissioner for Refugees (UNHCR) –lah yang memproses sendiri setiap permohonan
status pengungsi di Indonesia dengan dibantu badan internasional lain seperti
International Organization for Migration (IOM).
Selanjutnya, sesuai dengan Prinsip Non-Refoulement dalam Hukum Hak Asasi
Manusia tentang Convention Against Torture (CAT) pasal 3 disebutkan bahwa "tidak ada
Negara / pihak yang boleh mengusir, mengembalikan atau mengekstradisi seseorang ke
negara lain apabila ada alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu dalam
bahaya karena menjadi sasaran penyiksaan".
Kendati belum menjadi pihak dari Konvensi Pengungsi 1951, pemerintah
Indonesia dan pemerintah daerah selama ini telah mendukung proses-proses suaka
tersebut dengan mengijinkan pencari suaka masuk ke wilayah Indonesia, merujuk para
pencari suaka ke UNHCR, dan mengijinkan para pengungsi untuk tinggal di Indonesia
sementara menunggu diperolehnya solusi yang berkelanjutan. Contoh terakhir adalah
bagaimana rakyat Aceh dan pemerintah Indonesia bersedia menampung sementara
pencari suaka Rohingya dari Myanmar yang terusir oleh rezim junta militer Myanmar
dan dianggap sebagai tak punya kewarganegaraan (stateless person).
Pengembalian Pengungsi dan Penyuapan
Seperti diketahui bersama, hubungan antara Indonesia dan Australia mengalami
pasang surut. Setelah beberapa saat harmonis, hubungan kedua negara tersebut
mengalami perubahan menjadi agak memanas. Beberapa peristiwa menjadi
penyebabnya, antara lain kasus penyadapan telepon presiden SBY oleh Australia,
eksekusi mati kasus narkoba Bali Nine, dan masalah imigran gelap. Terkait masalah
2
terakhir, Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott melaksanakan kebijakan
pragmatis terkait para pencari suaka ke negaranya. Sebagaimana diketahui, sudah
beberapa kali Australia mengirim balik para pencari suaka yang berusaha masuk ke
wilayahnya melalui perairan Indonesia dengan sekoci yang dipersiapkan oleh kapal
patroli Australia di perairan perbatasan. Dengan kebijakan tersebut Australia
mengklaim berhasil menanggalkan masuknya semua kapal pencari suaka ke negaranya
dalam dua bulan terakhir.
Dan, peristiwa terakhir yang membuat suhu kedua negara memanas adalah
terungkapnya kasus suap yang dilakukan oleh pemerintah Australia kepada anak buah
kapal (ABK) asal Indonesia yang sedang membawa pengungsi Bangladesh, Sri Lanka
dan Myanmar. Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) berhasil mengungkap
rincian dan kronologi dugaan penyuapan yang dilakukan oleh petugas Bea Cukai
(Customs and Border Protection) Australia terhadap awak kapal asal Indonesia. Bea
Cukai dan AL Australia menurut pengakuan awak kapal yang membawa pengungsi
membayar 6 ribu dolar AS kepada nakhoda dan masing-masing 5 ribu dolar AS kepada
5 awak kapal lainnya. Tujuannya, agar mereka membawa kembali 65 orang imigran
gelap asal Sri Lanka, Bangladesh dan Myanmar ke perairan Indonesia dan tidak
melanjutkan perjalanan ke Selandia Baru sebagaimana yang mereka rencanakan.
Peristiwa tersebut merupakan sebuah pelanggaran serius yang dilakukan oleh
pemerintah Australia. Menurut Hikmahanto Juwana, bila hal tersebut merupakan
kebijakan pemerintah Australia, maka Australia sebagai anggota Konvensi tentang
Pengungsi telah melanggar Konvensi tersebut. Namun jika bukan kebijakan pemerintah
Australia, maka Indonesia dapat meminta Australia untuk melakukan tuntutan hukum
atas oknum Bea Cukai Australia tersebut atas dugaan melakukan penyelundupan
manusia ke Indonesia berdasarkan salah satu Protocol dari Transnational Organized
Crimes. Protocol tersebut berjudul "Protocol against the Smuggling of Migrants by Land,
Sea and Air". Australia telah meratifikasi Protokol tersebut pada tahun 2004. Bila
Australia tidak melakukan proses hukum terhadap oknum otoritas tersebut maka
Australia telah melakukan pembiaran. Pembiaran ini berarti pemerintah Australia
melakukan pembenaran cara mengusir para pencari suaka dengan uang. Australia pun
dianggap membenarkan tindakan penyelundupan manusia. Sehingga pemerintah
Indonesia dapat melakukan protes diplomatik dan melakukan opsi-opsi diplomatik
3
yang tersedia untuk memastikan Australia melakukan penghukuman terhadap oknum
petugasnya.
Pelanggaran Konvensi Geneva dan HAM
Masalah pengungsi dan pemindahan orang di dalam negeri merupakan
persoalan yang paling pelik yang dihadapi masyarakat dunia saat ini. Banyak diskusi
tengah dilakukan di PBB yang terus berusaha mencari cara-cara lebih efektif untuk
melindungi dan membantu kelompok yang sangat rentan ini. Sejumlah orang
menyerukan ditingkatkannya kerja sama dan koordinasi antara lembaga pemberi
bantuan, sebagian lain menunjuk pada celah-celah dalam peraturan internasional dan
menghimbau disusunnya standar-standar dalam bidang ini lebih jauh lagi.
Bagaimanapun, setiap orang setuju bahwa persoalan ini merupakan masalah
multidimensional dan global. Oleh karenanya setiap pendekatan dan jalan keluar harus
dilakukan secara komprehensif dan menjelaskan semua aspek permasalahan, dari
penyebab eksodus massal sampai penjabaran respon yang perlu untuk menanggulangi
rentang permasalahan pengungsi, dari keadaan darurat sampai pemulangan mereka
(repatriasi). UNHCR sebagai badan di bawah PBB mempunyai tanggung jawab untuk
memberi perlindungan kepada pengungsi.
Setiap negara mempunyai tugas umum untuk memberikan perlindungan
internasional sebagai kewajiban yang dilandasi hukum internasional, termasuk hukum
hak asasi internasional dan hukum kebiasaan internasional. Jadi negara-negara yang
menjadi peserta/penandatangan Konvensi 1951 mengenai status pengungsi dan/atau
Protokol 1967 mempunyai kewajiban-kewajiban seperti yang tertera dalam perangkat-
perangkat hukum yang diatur dalam Konvensi 1951 (tentang kerangka hukum bagi
perlindungan pengungsi dan pencari suaka).
Dalam praktiknya, banyak negara yang kemudian menangani pengungsi tidak
sesuai dengan standar internasional yang sudah diatur dalam Konvensi 1951 dan
Protokol 1967 bahkan melanggar prinsip mengenai larangan pengusiran atau
pengembalian (non refoulement) yang sudah menjadi hukum kebiasaan internasional.
Tindakan yang dilakukan oleh pihak Bea Cukai Australia tersebut (atau
oknumnya) bisa dikategorikan sebagai tindakan pengusiran. Hal ini berarti, Australia
telah melanggar Pasal 33 Konvensi 1951 tersebut dimana Australia juga ikut menanda
tanganinya. Pasal 33 (1) Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 menyebutkan bahwa
4
negara-negara peserta Konvensi ini tidak diperbolehkan untuk mengusir ataupun
mengembalikan pengungsi dalam bentuk apapun ke luar wilayahnya dimana
keselamatan dan kebebasan mereka terancam karena alasan ras, agama, kebangsaan,
keanggotaan pada kelompok sosial atau pun opini politik tertentu.
Selain itu, tindakan pengusiran tersebut juga melanggar hak azasi manusia.
Berdasarkan pasal 14 (1) Deklarasi HAM Universal 1948, setiap orang memiliki hak
untuk mencari dan menikmati suaka dari negara lain karena takut akan penyiksaan.
Hak untuk mencari suaka mengandung pengertian bahwa orang-orang yang melarikan
diri dari persekusi dan masuk ke wilayah negara lain tanpa membawa dokumen yang
lengkap harus diberi ijin masuk ke suatu negara, minimal untuk jangka waktu
sementara. Setiap pencari suakapun memiliki hak untuk tidak diusir atau dikembalikan
secara paksa apabila mereka telah tiba di suatu negara dengan cara yang tidak lazim.
Prinsip ini kemudian dikenal sebagai non refoulement. Prinsip non refoulment
harus dibedakan dari expulsion atau deportation atau pengusiran. Deportasi dilakukan
jika warga negara asing melakukan tindakan yang melawan hukum di negara penerima
atau ia merupakan pelaku kejahatan yang melarikan diri dari proses pengadilan,
sedangkan prinsip non refoulment hanya digunakan terhadap pengungsi atau pencari
suaka.
Prinsip non refoulement ini tidak hanya terdapat pada Konvensi 1951, namun
juga tercantum secara implisit maupun eksplisit pada Konvensi Anti Penyiksaan
(Convention Against Torture) pasal 3, Konvensi Jenewa IV (Fourth Geneva Convention)
tahun 1949 pada pasal 45 paragraf 4, pada Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) 1966 pasal 13, dan
instrumen-instrumen HAM lainnya. Prinsip ini pun telah diakui sebagai bagian dari
hukum kebiasaan internasional (international customary law). Dalam arti, negara yang
belum menjadi pihak dari Konvensi Pengungsi 1951 pun harus menghormati prinsip
non refoulement ini.
REFERENSI
Critchley, Susan,Hubungan Australia dengan Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 1995.
International Organization for Migration (IOM).“Petunjuk Penanganan Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (Pencegatan, Penyelidikan, Penuntutan dan Koordinasi di
5
Indonesia tahun 2012)”,Jakarta: International Organization for Migration (IOM), 2012.
Mochamad Tatra Kuncara. 2010, “Upaya-Upaya Diplomasi Australia Terhadap Indonesia Dalam Menghadapi Imigrasi Ilegal dan Penyelundupan Imigran ke Australia”.Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Vol.6 No.2, September 2010, Penerbit: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan.
Wagiman, S., Hukum Pengungsi Internasional, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2012.
UNHCR.Konvensi dan Protokol mengenai status pengungsi, UNHCR Media Relations and Public Information Service, Switzerland.
UNHCR.Konvensi Pengungsi tahun 1951, UNHCR Media Relations and Public Information Service, Switzerland.
http://detik.com
http://news.metrotv.com
6