pbl 2.doc
DESCRIPTION
bell's palsyTRANSCRIPT
III. Analisis Masalah
1. Anatomi n.fasialis
Nervus fasialis mempunyai dua radix, yaitu:
a. Radix motorik, yang mempunyai nukleus motorik berguna untuk
mempersarafi otot-otot ekspresi wajah, m.auricularis, m.stapedius,
m.venter posterior, m.digastricus dan m.stylohyoideus.
b. Radix sensoris, yang mempunyai nukleus sensorik berguna untuk
mempersarafi serabut-serabut pengecap dari 2/3 anterior lingua, dasar
mulut dan pallatum.
(Marjono, Mahar. 2010. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat)
2. Patofisiologi Merot
Etiologine kan macem-macem, aku nulis yang penyebabya inflamasi ya tu.
Inflamasi nervus fasialis
↓
↑ diameter nervus fasialis, yang apabila keluar dari tulang temporal
melalui kanalis fasialis yang berbentuk corong dan menyempit
↓
Kompresi dari saraf tersebut
↓
Selain inflamasi, terjadi demielinisasi dan iskemik
↓
Gangguan konduksi
↓
Impuls motorik yang dihantarkan oleh n.fasialis bisu mendapat gangguan
di lintasan supranuklear, nuclear atau infranuklear
↓
Nervus fasialis sembab
↓
Terjepit di dalam foramen stylomasoideus dan menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN
Patofisiologi terjadinya kelumpuhan n.fasialis (Marjono, 2010)
3. Tu, yang lagoftalmus gak usah ditulis ya. Anu salah, hehe
4. Miastenis gravis
a. Definisi
Kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal
dan progresif pada otot eksraokular, dan disertai dengan kelelahan saat
beraktivitas dan biasanya berkurang dengan istirahat (James, 2008).
b. Epidemiologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Angka
kejadiannya 20 dalam 100.000 populasi. Biasanya penyakit ini lebih
sering tampak pada umur diatas 50 tahun. Wanita lebih sering
menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada
berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih
muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering
terjadi pada usia 60 tahun (James, 2008).
c. Patofisiologi
Pada orang yang terkena miastenia gravis, terjadi ikatan antibodi
reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin yang akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui
beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap
antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor
asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan
sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi
area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor
asetilkolin yang baru disintesis (James, 2008).
d. Gejala klinis
Gejala klinis miastenia gravis antara lain menurut (James, 2008);
1. kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis
2. pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan
melengkapi ptosis miastenia gravis
3. sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter
sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup
4. dapat pula timbul kesukaran menelan dan berbicara akibat
kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring
sehingga timbullah paresis dari pallatum molle yang akan
menimbulkan suara sengau, selain itu bila penderita minum air,
mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya
e. Penatalaksanaan
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi
imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia
gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis
yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis
generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin (James,
2008).
1. Plasma Exchange (PE)
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka
pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Dasar terapi
dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara
efektif.Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.
2. Intravena Immunoglobulin (IVIG)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi
IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Salah satu
imonomodulasi yang digunakan adalah Intravena
Metilprednisolone (IVMp), IVMp diberikan dengan dosis 2 gram
dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat
diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka
pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15
pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua,
sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi
ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu
setelah terapi.
3. Antikolinesterase
Antikolinesterase yang dapat digunakan bermacam-macam
Pyridostigmine bromide (Mestinon), Neostigmine (Prostigmine).
Berikut dosis neostigmine berdasarkan usia yang diberikan secara
per oral.
Neonatus: 1-5 mg tiap 4 jam setengah jam sebelum menyusui
Anak - 6 th: mula-mula 7, 5 mg
Anak 6-12 th: mula-mula 15 mg; dosis total per hari 15-90 mg
Dewasa: 15-30 mg oral diulang pada interval yang sesuai dengan
kebutuhan; dosis total per hari 75-300 mg
James F.H. 2008. Epidemilogy and Pathophysiology dalam
Myasthenia Gravis A Manual For Health Care Provider. Amerika