makalah pbl 6 blok 30.doc

27
MAKALAH PBL Sikap Dokter Terhadap Rahasia Pasien PENDAHULUAN Profesi kedokteran diharapkan memiliki sikap profesionalisme, yaitu sikap yang bertanggungjawab, sikap kompetensi dan wewenang yang sesuai waktu juga tempat, sikap etis sesuai etika profesi, bekerja sesuai standar yang ditetapkan, dan untuk bidang kesehatan diperlukan adanya sikap altruis (rela berkorban). Didalam menentukan tindakan di bidang kesehatan medis, perlu dipertimbangkan tentang kebutuhan pasien, namun keputusan tetap harus didasarkan pada hak-hak asasi pasien. Dalam pengambilan keputusan sebagai tenaga medis pun kita perlu mempelajari tentang etika yang merupakan disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu tindakan perbuatan seseorang/ institusi dilihat dari moralitas. ASPEK ETIKA Adapula etika kedokteran yang dibagi menjadi beberapa poin, yaitu beneficence, non-maleficense, autonomy, dan

Upload: khenssd

Post on 31-Dec-2015

94 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Makalah Pbl 6 Blok 30

TRANSCRIPT

MAKALAH PBL

Sikap Dokter Terhadap Rahasia Pasien

PENDAHULUAN

Profesi kedokteran diharapkan memiliki sikap profesionalisme, yaitu sikap yang

bertanggungjawab, sikap kompetensi dan wewenang yang sesuai waktu juga tempat, sikap

etis sesuai etika profesi, bekerja sesuai standar yang ditetapkan, dan untuk bidang kesehatan

diperlukan adanya sikap altruis (rela berkorban).

Didalam menentukan tindakan di bidang kesehatan medis, perlu dipertimbangkan tentang

kebutuhan pasien, namun keputusan tetap harus didasarkan pada hak-hak asasi pasien. Dalam

pengambilan keputusan sebagai tenaga medis pun kita perlu mempelajari tentang etika yang

merupakan disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu tindakan

perbuatan seseorang/ institusi dilihat dari moralitas.

ASPEK ETIKA

Adapula etika kedokteran yang dibagi menjadi beberapa poin, yaitu beneficence, non-

maleficense, autonomy, dan justice. Semua poin tersebut terdapat dalam setiap kasus yang

dihadapi seorang dokter, sehingga disinilah kebijaksanaan dan hati nurani seorang dokter

diuji. Sebagai seorang dokter yang baik, dalam setiap tindakannya sepatutnya memenuhi

kriteria dan kaidah dari peraturan-peraturan tersebut. Jadi dalam makalah ini akan dibahas

mengenai aturan-aturan & hubungannya dengan tindakan dokter dalam menghadapi

pasiennya.1

Sifat hubungan dokter dan pasien di jaman sekarang sudah dikoreksi oleh para ahli

etika kedokteran menurut pengalaman menjadi hubungan ficuiary (atas dasar niat baik dan

kepercayaan), yaitu hubungan yang menitikberatkan nilai-nilai keutamaan (virtue etchics).

Sehingga dibuatlah suatu aturan etika dalam dunia kedokteran yang dikenal sebagai bioetik.

Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap atau

perbuatan seorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Beauchamp and Childress

(1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah

dasar moral (moral principle) dan beberapa rules dibawahnya. Dalam profesi kedokteran

dikenal 4 prinsip moral utama, yaitu:1

1. Prinsip Otonomi: Prinsip moral yang menghormati hak – hak pasien, terutama hak

otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian

melahirkan doktrin informed consent.

2. Prinsip Beneficence: Prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke

kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja,

melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya

(mudharat).

3. Prinsip Non Maleficence: Prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk

keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “ above all do no

harm.”

4. Prinsip Justice: Prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam

mendistribusikan sumber daya (Distributive Justice)

Sedangkan aturan / rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur, dan terbuka),

privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien),dan

fidelity (loyalitas dan menjaga janji).1

KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA

Setiap dokter dibekali dengan peraturan etika, yaitu Kode Etik Kedokteran Indonesia

(KODEKI) yang berisi tentang nilai-nilai yang sepatutnya dipatuhi dan dijalankan oleh

seorang dokter. KODEKI inilah yang menjadi landasan setiap tindakan medis yang dilakukan

seorang dokter serta mengatur hubungan antara dokter dengan pasien, lingkungan

masyarakat, teman sejawat, dan diri sendiri. Selain KODEKI ada pula peraturan tentang

informed consent atau disebut juga Persetujuan Tindakan Medis yaitu Permenkes No.290

Tahun 2008.2

Etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas norma-norma etik yang mengatur

hubungan manusia umumnya, dan dimiliki asas-asasnya dalam falsafah masyarakat yang

diterima dan dikembangkan terus. Khusus di Indonesia, asas itu adalah Pancasila yang sama-

sama kita akui sebagai landasan Idiil dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan

struktural. Oleh karena itu dibuatlah Kode Etika Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang

berdasar kepada Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia No.

221/Pb/A.4 /04/2002 Tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang

diuraikan sebagai berikut:2

I. Kewajiban Umum

Pasal 1

Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.

Pasal 2

Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar

profesi yang tertinggi.

Pasal 3

Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh

sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4

Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Pasal 5

Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya

diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.

Pasal 6

Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap

penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat

menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 7

Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri

kebenarannya.

Pasal 7a

Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang

kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang

(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

Pasal 7b

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, &

berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam

karakter/ kompetensi, atau yang melakukan penipuan/penggelapan, dalam menangani pasien

Pasal 7c

Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga

kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien

Pasal 7d

Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.

Pasal 8

Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat

dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif,

kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan

pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

Pasal 9

Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya

serta masyarakat, harus saling menghormati.

II. Kewajiban Dokter Terhadap Pasien

Pasal 10

Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya

untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau

pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib menujuk pasien kepada dokter yang

mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

Pasal 11

Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan

dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.

Pasal 12

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,

bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pasal 13

Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,

kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

III. Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat

Pasal 14

Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

Pasal 15

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan

persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

IV. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri

Pasal 16

Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.

Pasal 17

Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

kedokteran/kesehatan.

INFORMED CONSENT

Yang dimaksud dengan informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh

pasien atau walinya yang berhak kepada dokter untuk melakukan suatu tindakan medis

terhadap pasien sesudah pasien atau wali itu memperoleh informasi lengkap dan memahami

tindakan itu. Dengan kata lain, informed consent juga disebut persetujuan tindakan medis.

Persetujuan (consent) dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

1. expressed, dapat secara lisan atau secara tulisan, dan

2. implied, yang dianggap telah diberikan.

Persetujuan yang paling sederhana ialah persetujuan yang diberikan secara lisan,

misal untuk tindakan-tindakan rutin. Tindakan-tindakan, yang lebih kompleks yang

mempunyai risiko yang kadang-kadang tidak dapat diperhitungkan dari awal dan yang dapat

menyebabkan hilangnya nyawa atau cacat permanen, memperoleh persetujuan yang tertulis

agar suatu saat apabila diperlukan persetujuan itu dapat dijadikan bukti.

Namun, persetujuan yang dibuat secara tertulis tersebut tidak dapat dipakai sebagai

alat untuk melepaskan diri dari tuntutan apabila terjadi suatu yang merugikan pasien. Hal ini

harus diingat karena secara etik dokter diharapkan untuk memberikan yang terbaik bagi

pasien. Apabila dalam suatu kasus ditemukan unsur kelalaian dari pihak dokter, maka dokter

tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Begitu pula dari pihak pasien;

mereka tidak bisa langsung menuntut apabila terjadi hal-hal di luar dugaan karena hams ada

bukti-bukti yang menunjukkan adanya kelalaian. Dalam hal ini, harus dibedakan antara

kelalaian dan kegagalan. Apabila hal tersebut merupakan risiko dari tindakan yang telah

disebutkan dalam persetujuan tertulis, maka pasien tidak bisa menuntut. Oleh sebab itu, untuk

memperoleh persetujuan dari pasien dan untuk menghindari adanya salah satu pihak yang

dirugikan, dokter wajib memberikan informasi sejelas-jelasnya agar pasien dapat

mempertimbangkan apa yang akan terjadi terhadap dirinya. Biasanya informasi itu meliputi:

a. sifat dan tujuan tindakan medik;

b. keadaan pasien yang memerlukan tindakan medis;

c. risiko dari tindakan itu apabila dilakukan atau tidak.

Implied consent adalah peristiwa yang terjadi sehari-hari. Misalnya, seorang ibu

datang ke poliklinik kebidanan dengan keluhan terasa ada yang aneh pada alat-alat genital.

Dalam hal ini, ia dianggap telah memberikan persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan sesuai

prosedur. Meskipun demikian, secara etik/santunnya dokter diharapkan meminta persetujuan

lisan.

Implied consent juga dapat terjadi pada keadaan gawat darurat apabila pasien dalam

keadaan tidak sadar, kritis, sementara persetujuan dari wali tidak diperoleh karena tidak ada

di tempat. Dalam hal ini dokter secara etik berkewajiban menolong pasien jika memang

diyakini tidak ada orang lain yang sanggup.

Dalam memberikan informasi tentang tindakan medis yang akan dilakukan, harus

diingat kondisi pasien pada saat itu. Mengingat pasien biasanya datang dalam keadaan yang

tidak sehat, diharapkan dokter tidak memberikan informasi yang dapat mempengaruhi

keputusan pasien karena dalam keadaan yang demikian itu pikiran pasien tersebut mudah

terpengaruh. Atau apabila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk menerima informasi

tersebut, diharapkan wali yang berhak dapat menggantikannya. Apabila wali tidak ada dan

kondisi pasien kritis, maka implied consent dapat diambil sebagai pegangan untuk melakukan

tindakan medis.

Selain terhadap kondisi pasien pada saat ia datang, dokter juga harus dapat

menyesuaikan diri terhadap tingkat pendidikan pasien agar pasien mengerti dan memahami

pembicaraan. Pasien mempunyai hak untuk memperoleh informasi dan dokter berkewajiban

menyampaikan informasi tersebut, baik diminta atau tidak, kecuali jika penyampaian

informasi tersebut akan memperburuk kondisi pasien. Ini sesuai dengan hak dan kewajiban

dokter dan pasien.

Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup

untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga

berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat

terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan

sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila

informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.

Elemen-elemen informed consent

Suatu informed consent harus meliputi :

1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya

2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar

kemungkinan keberhasilannya

3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila

penyakit tidak diobati

4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi

Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam

penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.4

RAHASIA KEDOKTERAN

Rahasia kedokteran adalah suatu norma yang secara tradisional dianggap sebagai norma

dasar yang melindungu hubungan dokter dan pasien. Sesuai dengan sumpah dokter, kode etik

kedokteran internasional, dan peraturan oemerintah no.10 tahun 1966 yang mengatur

kewajiban simpan rahasia kedokteran oleh seluruh tenaga kesehatan. Namun dalam PP ini

diberikan pengecualian apaiba terdapat Peraturan Perundang-undangan (PP) yang sederajat

atau lebih tinggi (UU), dalam pasal 48 ayat (2):5

Untuk kepentingan kesehatan pasien

Untuk memenuhi permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum

Permintaan pasien sendiri

Berdasarkan ketentuan undang-undang

Peraturan lain yang membenarkan pembukaan rahasia kedokteran antara lain adalah

ketentuan pasal 50 KUHAP, pasal 51 KUHAP, pasal 48 KUHAP, dan pasal 49 KUHAP.

Dalam permenkes no.749a, rekam medis boleh dibuka untuk pendidikan dan penelitian.

Dalam kaitannya dengan keadaan memaksa, dikenal dua keadaan yaitu:5

1. Overmacth: pengaruh daya paksa yang memadai

2. Noodtoeestand: keadaan yang memaksa

Dapat diakibatkan pertentangan antara dua kepentingan hukum, pertentangan antara

kepentingan hukum dan kewajiban hukum, dan pertentangan antara dua kewajiban

hukum. Salah satu contoh noodtoestand adalah kasus dokter yang menemukan child

abuse yang berat dan dicurigai akan bertambah parah dihari kemudian.

ASPEK HUKUM

Peraturan Menteri Kesehatan tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (PerMenKes)

No. 290 Tahun 2008 (6)

Ketentuan Umum

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau

keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan

kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung,

saudara-saudara kandung atau pengampunya.

3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran

adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif

yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.

4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi

keutuhan jaringan tubuh pasien.

5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang

berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.

6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi

spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di

luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan

perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya,

mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan

(retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat

keputusan secara bebas.

Persetujuan dan Penjelasan

Pasal 2

(1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat

persetujuan.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun

lisan.

(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat

penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.

Pasal 3

(1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan

tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

(2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.

(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan

yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan

setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan

setuju.

(5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.

Pasal 4

(1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah

kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.

(2) Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.

(3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien

setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.

Pasal 5

(1) Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi

persetujuan sebelum dimulainya tindakan.

(2) Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan.

(3) Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan (2) menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.

Pasal 6

Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum

dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang

mengakibatkan kerugian pada pasien

Penjelasan

Pasal 7

(1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau

keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.

(2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan diberikan

kepada keluarganya atau yang mengantar.

(3) Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-

kurangnya mencakup:

a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;

b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;

c. Altematif tindakan lain, dan risikonya;

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

f. Perkiraan pembiayaan.

Pasal 8

(1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi:

a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;

b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka sekurang-kurangnya

diagnosis kerja dan diagnosis banding;

c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan

kedokteran;

d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.

(2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :

a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik,

ataupun rehabilitatif.

b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah

tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.

c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan

tindakan yang direncanakan.

d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan.

e. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat

risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.

(3) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan

komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali:

a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum

b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan

c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya (unforeseeable)

(4) Penjelasan tentang prognosis meliputi:

a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);

b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);

c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam).

Pasal 9

(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan

bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah

pemahaman.

(2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan didokumentasikan dalam

berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan

mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima

penjelasan.

(3) Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan

kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter

atau dokter gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat dengan

didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi.

Pasal 10

(1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi

yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang

merawatnya.

(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk memberikan

penjelasan secara langsung, maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada

dokter atau dokter gigi lain yang kompeten.

(3) Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan

kewenangannya.

(4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tenaga kesehatan

yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien.

Pasal 11

(1) Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang

akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan.

(2) Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) merupakan dasar daripada persetujuan.

Pasal 12

(1) Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat

dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.

(2) Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan,

dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga

terdekat.

Yang Berhak Memberikan Persetujuan

Pasal 13

(1) Persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat.

(2) Penilaian terhadap kompetensi pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh dokter pada saat diperlukan persetujuan.

Ketentuan Pada Situasi Khusus

Pasal 14

(1) Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding life support)

pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien.

(2) Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari

tim dokter yang bersangkutan.

(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara tertulis.

Pasal 15

Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah

dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan

tindakan kedokteran tidak diperlukan.

Penolakan Tindakan Kedokteran

Pasal 16

(1) Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga

terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan.

(2) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud kedokteran pada ayat (1) harus

dilakukan secara tertulis.

(3) Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi

tanggung jawab pasien.

(4) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan

hubungan dokter dan pasien.

Tanggung Jawab

Pasal 17

(1) Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi tanggung

jawab dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran.

(2) Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan

kedokteran.

Pembinaan dan Pengawasan

Pasal 18

(1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

melakukan pembinaan dan pengawasan dengan melibatkan organisasi profesi terkait

sesuai tugas dan fungsi masing-masing.

(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk

meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

Pasal 19

(1) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi,

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif sesuai

dengan kewenangannya masing-masing

(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran lisan,

teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik

Ketentuan Penutup

Pasal 20

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

585/MENKES/PER/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dicabut dan dinyatakan

tidak berlaku lagi.

Pasal 21

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang

rnengetahuinya, rnemerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penernpatannya dalam

Berita Negara Republik Indonesia.

PENATALAKSANAAN

Definisi Gonorrhea

Gonorrhea adalah sebuah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhea yang

penularannya melalui hubungan kelamin baik melalui genito-genital, oro-genital, ano-genital.

Bakteri ini dapat hidup dan mudah membiak dengan cepat di dalam saluran pembiakan /

peranakan seperti pangkal rahim (cervix), rahim (uterus), dan tuba fallopi (saluran telur) bagi

wanita dan juga saluran kencing (urine canal) bagi wanita dan lelaki. Sehingga pada laki-laki

gejalanya adalah kencing bernanah sedangkan pada wanita seringkali tidak bergejala karena

letak rahim yang di dalam.7

Edukasi Penyakit Menular Seksual (PMS)

Memberikan pendidikan kepada pasien dengan menjelaskan tentang:8

Bahaya penyakit menular seksual.

Pentingnya mematuhi pengobatan yang diberikan.

Cara penularan PMS dan perlunya pengobatan untuk pasangan seks tetapnya.

Hindari hubungan seksual sebelum sembuh dan memakai kondom jika tidak dapat

dihindari. (safe sex education)

Pengobatan pasangan seks dibutuhkan untuk menghindari fenomena ping-pong, yaitu

dimana penyakit kembali saling menularkan antara pasangan hubungan seksual.

Kemungkinan terjangkit penyakit menular seperti HIV/AIDS.

Definisi HIV/AIDS (3)

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome

(disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem

kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virusnya sendiri bernama Human

Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan

pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi

oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat

memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa

disembuhkan.7

HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan

kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung

HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan

dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum

suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui,

serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.7

CST for HIV/AIDS

CST (Caring, Support, & Therapy) for HIV/AIDS adalah sekelompok orang yang bekerja

untuk memberikan perhatian (caring), dukungan (support), dan pengobatan (therapy) bagi

orang-orang penderita HIV/AIDS. Petugas kesehatan disini berfungsi sebagai pendukung

ODHA (orang dengan HIV AIDS) untuk tetap memiliki semangat hidup walaupun

penyakitnya samapi sekarang belum dapat diobati. Selain itu lembaga ini juga mendorong

ODHA untuk menginformasikan keluarga/orang terdekatnya tentang keadaan kesehatannya

walaupun terlihat memalukan. Dokter dan lembaga inipun tidak berhak memberitahu

siapapun tentang keadaan pasien kecuali atas seijin pasien.9

KESIMPULAN

Dalam kasus diatas, sebagai tenaga medis, kita diminta memilih atas tindakan etis yang perlu

dilakukan. Pada kasus ini, ada baiknya kita mengedukasi pasien lebih lanjut tentang keadaan

dan dampak baik-buruknya agar suami-istri dapat terobati dengan sempurna. Menjelaskan

kepada pasien tentang keadaan dengan cara yang dapat diterima.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetika. In: Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja

TD. Bioetik dan hukum kedokteran. 2nd ed. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Hlm.29-32.

2. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Kode Etik Kedokteran Indonesia. In: Sampurna

B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Pustaka Dwipar.

2007. Hlm.49-51.

3. Hanafiah J. Lafal Sumpah Dokter. In: Hanafiah J, Amir A. Etika Kedokteran &

Hukum Kesehatan. 3rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1999. 5-14.

4. Departemen Kesehatan RI. Informed Consent. In: Peraturan Menteri Kesehatan RI

Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Informed Consent. In: Sampurna B, Syamsu Z,

Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Pustaka Dwipar. 2007. Hlm.77-

85.

5. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Rahasia Kedokteran. In: Sampurna B, Syamsu

Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. 2nd ed. Jakarta: Bagian Kedokteran

Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Hlm.53-56.

6. Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. 8

Januari 2014. Diunduh dari http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/handle/123456789/

1312.

7. Centers for Disease Control and Prevention. Sexual Transmitted Disease – Gonorrhea.

2010. Diunduh dari http://www.cdc.gov/std/gonorrhea/stdfact-gonorrhea.htm.

8. Dinas Kesehatan Kota Lampung Selatan. Pengertian, Definisi dan Cara Penularan /

Penyebaran Virus HIV AIDS – Info / Informasi Penyakit Menular Seksual / PMS. 8

Januari 2014. Diunduh dari http://keslamsel.wordpress.com/20 14 /0 1 / 08 /pengertian-

definisi-dan-cara-penularan-penyebaran-virus-hiv-aids-info-informasi-penyakit-

menular-seksual-pms/.

9. Yayasan Spiritia. Dasar CST. 8 Januari 2014. Diunduh dari http://spiritia.or.id/cst/

showart.php?cst=dasar .