pbl blok 13

33
5) Atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra mengakibatkan menurunnya tekanan penutupan urtetra dan tekanan outflow. Pada laki-laki terjadi pengecilan testis dan pembesaran kelenjar prostat sedangkan pada perempuan terjadi penipisan dinding vagina dengan tumbulkan eritema atau ptekie, pemendekan dan penyempitan ruang vagiana serta berkurangnya lubrikasi dengan akibat meningkatnya pH lingkungan vagina. 2 6) Inkontinensia transien. Karena inkontinensia urin memerlukan mobilitas yang adekuat, fungsi mental, motivasi dan ketrampilan tangan- di samping kontrol yang utuh terhadap traktus urinarius bawah- masalah di luar kandung kemih dapat menyebabkan inkontinensia. 4 1) Delirium. Sensorium yang berkabut akan menghalangi kemampuan pasien untuk mengenali keinginan urinasi dan lokasi toilet yang terdekat untuk memenuhi keinginan tesebut; setelah keadaan delirum tersebut menghilang, inkontinensia akan mereda. 2) Infeksi. Infeksi traktus urinarius yang simptomatik sering menyebabkan timbulnya keadaan inkontinensia; 3) Uretritis/vaginalis atrofik, yang ditandai dengan adanya telangiektasia vaginalis, ptekie, erosi, eritema, atau kerapuhan jaringan umumnya akan menyebabkan inkontinensia pada perempuan dan memberi respons terhadap pengobatan estrogen dosis rendah atau krim estrogen vagina untuk waktu yang singkat. 4 1

Upload: rimhen

Post on 22-Jun-2015

50 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

13

TRANSCRIPT

Page 1: PBL blok 13

5) Atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra

mengakibatkan menurunnya tekanan penutupan urtetra dan tekanan outflow. Pada laki-laki

terjadi pengecilan testis dan pembesaran kelenjar prostat sedangkan pada perempuan terjadi

penipisan dinding vagina dengan tumbulkan eritema atau ptekie, pemendekan dan penyempitan

ruang vagiana serta berkurangnya lubrikasi dengan akibat meningkatnya pH lingkungan vagina.2

6) Inkontinensia transien. Karena inkontinensia urin memerlukan mobilitas yang adekuat,

fungsi mental, motivasi dan ketrampilan tangan- di samping kontrol yang utuh terhadap traktus

urinarius bawah- masalah di luar kandung kemih dapat menyebabkan inkontinensia.4

1) Delirium. Sensorium yang berkabut akan menghalangi kemampuan pasien untuk

mengenali keinginan urinasi dan lokasi toilet yang terdekat untuk memenuhi keinginan tesebut;

setelah keadaan delirum tersebut menghilang, inkontinensia akan mereda. 2) Infeksi. Infeksi

traktus urinarius yang simptomatik sering menyebabkan timbulnya keadaan inkontinensia;

3) Uretritis/vaginalis atrofik, yang ditandai dengan adanya telangiektasia vaginalis, ptekie,

erosi, eritema, atau kerapuhan jaringan umumnya akan menyebabkan inkontinensia pada

perempuan dan memberi respons terhadap pengobatan estrogen dosis rendah atau krim estrogen

vagina untuk waktu yang singkat.4

4) Obat-obatan. Obat-obatan seperti diuretik akan meningkatkan pembebanan urin di

kandung kemih. Agen antikolinergik dan sedatif dapat menyebabkan timbulnya atonia sehingga

timbul retensi urin kronis dan overflow incontinence. mengganggu mobilitas dan menimbulkan

dieresis.5

Calcium-channel blockers untuk hipertensi dapat menyebabkan berkurangnya tonus sfingter

uretra eksternal dan gangguan kontraktilitas otot polos kandung kemih sehingga menstimulasi

timbulnya stress incontinence. Agen alpha-adrenergik yang sering ditemukan di obat influenza,

menyebabkan kesulitan berkemih; sebaliknya mengobati beberapa kasus stress incontinence.

Alpha blockers, yang sering dipergunakan untuk terapi hipertensi dapat menurunkan kemampuan

penutupan uretra dan menyebabkan stress incontinence.5

1

Page 2: PBL blok 13

5) Psikologis. Depresi dan kecemasan dapat menyebabkan pasien mengalami “kebocoran”

urin. Mekanisme ini kombinasi dari bladder overactivity dan relaksasi sfingter uretra yang tidak

tepat.

6) Output Urin yang Berlebihan. disebabkan intake cairan yang banyak, minuman berkafein,

dan masalah endokrin. Diabetes mellitus melalui efek diuresis osmotiknya dapat menyebabkan

suatu kondisi overactive bladder. Diabetes insipidus juga akan menyebabkan terjadinya

peningkatan produksi urin hingga 10 liter per hari → overflow incontinence.

7) Mobilitas yang terbatas. disebabkan nyeri arthritis, perasaan takut jatuh,

8) Impaksi feses. mengubah posisi kandung kemih dan menimbulkan kondisi retensi urine

dan overflow incontinence.5

Inkontinensia permanen. Penyebab inkontinensia permanen meliputi gangguan fungsional

yang ireversibel,

1) Aktivitas muskulus destrusor yang berlebihan. pada perempuan kebocoran urin terjadi

tanpa adanya stress atau penekanan atau retensi urin dan didahului oleh timbulnya keinginan

yang kuat secara tiba-tiba untuk buang air kecil tanpa terasa terlebih dahulu. Pada laki-laki,

gejalanya serupa, tetapi karena aktivitas destrusor yang berlebihan bsia terdapat bersama-sama

dengan obstruksi uretrea,

3) Obstruksi uretra. urin yang menetes setelah buang air kecil, sebagai inkontinensia karena

rasa ingin berkemih yang disebabkan oleh aktivitas detrusor yang berlebihan, atau sebagai

inkontinensia overflow akibat retensi urin. 5) Aktivitas detrusor yang berkurang. paling jarang

ditemukan. disertai dengan gejala sering berkemih, nokturia, dan urinasi yang sedikit-sedikit tapi

sering. Kenaikan volume urin sisa setelah urinasi (umumnya lebih dari 450 ml)

Anamnesis

9) Riwayat kondisi fisik yang mempengaruhi kemampuan fungsional berkemih seperti fungsi

tangan, kemampuan berpakaian, keseimbangan duduk,

2

Page 3: PBL blok 13

11) Pada anamnesis kita akan mendapatkan keluhan pada penderita berupa : 1) Pada stress

inkontinensia, kegiatan fisik (batuk, bersin, melakuka jogging/berlari dan lain-lain). 2) pada urge

inkontinensia,tidak diharapkan seperti saat tidur.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pasien inkontinensia harus dilakukan termasuk deteksi kondisi medis

umum yang mungkin mempengaruhi traktus urinarius bagian bawah. Kondisi tersebut mencakup

insufisiensi kardiovaskuler, penyakit paru, proses neurologis (delirium, demensia, multiple

sclerosis, stroke, penyakit Parkinson, neuropati (otonom atau perifer), kelainan di bagian tulang

belakang dan punggung bawah), kelainan perkembangan genitourinarius serta adanya edema

perifer.6

Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematik sehingga tidak akan melewatkan lesi

yang mempunyai efek langsung pada inkontinensia.

6 P dalam pemeriksaan fisik

Palpable bladder ?

Pelvis – bimanual exam for masses

Part the vulva – look or prolapse, descent, leak.

Penis – external meatus stenosis ?

Per rectal exam – prostate size, faecal load, anal tone

Peripheral – neurological exam of the limbs

Tabel 3. 6 P dalam Pemeriksaan Fisik 5

Pemeriksaan pelvis, termasuk evaluasi struktur penyokong uretra merupakan hal yang

penting. Beberapa hal yang penting dalam pemeriksaan fisik:

1) Pasien dengan inkontinensia urin harus diperiksa dalam keadaan kandung kemih penuh,

terutama jika keluhan utamanya adalah stress incontinence. 2) Pasien harus berdiri tegak, relaks

dengan kaki terbuka selebar bahu lalu pasien diminta untuk batuk beberapa kali untuk melihat

jika ada tanda fisik stress incontinence yang tampak. Jika tampak keluar urin, konfirmasikan hal

tersebut dan apakah hal tersebut mengganggu dia. Banyak wanita multipara mengalami

keluarnya urin dalam jumlah sedikit selama pemeriksaan tersebut dan merasa hal tersebut

bukanlah suatu masalah yang mengganggu (cough stress test).5

3

Page 4: PBL blok 13

Diagnosis stress incontinence tidak dapat ditegakkan jika manuver ini tidak berhasil

dilakukan. Jika terjadi kebocoran, penting untuk dicatat apakah hal ini terjadi bersamaan dengan

stress manuver atau tertunda beberapa detik. Jika tertunda maka hal ini lebih mengesankan

adanya DO (dipicu oleh batuk) daripada outlet incompetence. Untuk menghindari salah

diagnosa, janganlah mencari stress leakage saat pasien memiliki keinginan kuat untuk berkemih,

karena keinginan (urge) tersebut dapat terjadi karena kontraksi yang tidak inhibisi; jika

kontraksi disertai relaksasi sfingter secara fisiologis dan pasien batuk, ia akan mengalami

kebocoran secara spontan, sehingga terjadi kesalahan diagnosa menjadi outlet incompetence.

yang seharusnya kelainan kontraksi detrusor.5

3) Banyak wanita dengan urge incontinence yang disebabkan oleh detrusor overactivity

menampakkan keluarnya urin saat dilakukan cough stress test, tetapi hal ini dapat tidak relevan

terhadap keluhan utamanya. Penemuan fisik ini harus diatur dalam konteks anamnesa pasien

agar relevan. 4) Keluhan pasien harus dikonfirmasikan lagi kepada pasien terutama jika akan

direncanakan terapi operatif. Pemeriksaan fisik neurologis harus difokuskan pada bagian

abdomen, genitalia eksterna dan kulit perineal. Dalam melakukan pemeriksaan rektal, penting

untuk mengetahui besar prostat yang menonjol ke dalam dan menyebabkan obstruksi, bukan23

besar keseluruhan prostat. Penelitian urodinamik lebih diperlukan dibandingkan pemeriksaan

rektal untuk mendiagnosa obstruksi outflow secara objektif.5

Pada wanita pasca menopause, uretra dan introitus vagina harus diperiksa untuk melihat

adanya perubahan atrophik yang diduga disebabkan oleh karena defisiensi estrogen. Pada wanita

pemeriksaan juga harus difokuskan pada derajat sokongan pelvis. Penentuan massa yang

menyebabkan kompresi ekstrinsik kandung kemih harus dilakukan selama pemeriksaan vaginal.

Status mental seperti kesadaran, orientasi, kemampuan bicara dan memori jangka pendek dan

panjang, pemahaman harus diketahui.5

Kelainan berkemih dapat disebabkan sekunder atau diperburuk karena adanya disorientasi,

ketidakmampuan untuk berkomunikasi, atau kurangnya pemahaman saat pasien diminta untuk

berkemih.5 Pemeriksaan sensibilitas harus difokuskan pada penentukan level cedera pada pasien

dengan SCI. Jika level cedera diatas T6 pasien beresiko mengalami kondisi autonomic

dysreflexia. Evaluasi sensibilitas sakral dilakukan untuk mengevaluasi gangguan jaras aferen

4

Page 5: PBL blok 13

pusat miksi sakral. Hilangnya sensasi pinprick dan sentuhan ringan pada tangan dan kaki

mengarah pada kondisi peripheral neuropathy.5

Pemeriksaan motorik membantu untuk menegakkan level dan derajat lengkap atau tidaknya

cedera pada pasien SCI. Fungsi tangan juga dinilai untuk menentukan kemampuan berpakaian

atau melakukan kateterisasi intermitten. Spastisitas alat gerak atas dan bawah, kemampuan

duduk, berdiri dan ambulasi harus dievaluasi. Evaluasi harus juga mencakup pemeriksaan tonus

sfingter anal, karena penurunan atau tidak adanya tonus mengarah ke lesi syaraf perifer atau

sakral, sedangkan peningkatan tonus mungkin disebabkan karena adanya lesi suprasakral.

Kontraksi volunter sfingter anal digunakan untuk menguji inervasi sakral, integritas suprasakral

dan kemampuan untuk memahami perintah.5

Refleks kutaneus yang membantu pemeriksaan neurolgis adalah refleks kremaster (L1-L2),

bulbocavernosus (S2-S4), dan refleks anal (S2-S4). Hilangnya refleks ini menyatakan adanya

kelainan pada traktus piramidal atau lesi perifer. Refleks bulbocavernosus telah dilaporkan

tampak pada 70-85% orang dengan neurologis yang intak. Negatif palsu sering timbul pada

pasien yang nervous. Refleks regangan otot juga dievaluasi. Peningkatan mendadak dalam

spastisitas mungkin mengindikasikan adanya infeksi traktus urinarius. Sebagai tambahan refleks

patologis juga dapat membantu untuk melokalisasi lesi neurologis.5

Selama pemeriksaan rektal, lihat apakah lipatan gluteal simetris dan adakah impaksi feses

dan massa. Walaupun pemeriksaan ukuran prostat penting untuk perencanaan intervensi operasi,

tetapi kurang bersifat diagnostik karena ukuran prostat yang diperkirakan melalui palpasi kurang

berhubungan dengan ada atau tidak adanya obstruksi outlet (DuBeau and Resnick, 1991). Dalam

pemeriksaan rektal dilakukan pemeriksaan neurologis karena akar syaraf sakral (S2-S4)

menginervasi uretra eksternal dan sfingter anal. Karena kontraksi abdonminal dapat menyerupai

kontraksi sfingter, sangat bermanfaat bagi pasien jika pemeriksa meletakkan tangah lainnya di

perut pasien untuk menghindari hal ini. Banyak usila tanpa gangguan neurologis tidak mampu

untuk mengkontraksikan sfingternya sesuai kemauan. Persyarafan motorik selanjutnya juga

diperiksa dengan melakukan pengujian pada anal wink (S4-S5) dan refleks bulbocavernosus (S2-

S4). Pada usila, tidak adanya refleks-refleks ini terutama anal wink, tidak harus berarti

patologis.5

5

Page 6: PBL blok 13

Pada wanita, harus diperiksa laksiti otot pelvis, adakah cystocele, rectocele, enterocele atau

prolaps uterine. DO dapat timbul menyertai cystocele,sementara stress incontinence dapat timbul

tanpa adanya cystocele. Jadi pengetahuan tentang kekuatan24 otot pelvis terutama bermanfaat

untuk dokter bedah dalam menentukan pilihan operasi untuk wanita dengan stress incontinence.5

Beberapa tes lain yang perlu dilakukan Q-tip test, Marshall test (Marshall -Bonney test), Pad

test, Standing pelvic examination.5

Pemeriksaan Penunjang

Selain dilakukan urinalisis dan kultur urin, pemeriksaan laboratorium juga harus mencakup

pemeriksaan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum (National Institutes of Health,

1990; Resnick, 1990a). Kultur urin akan membantu untuk menyingkirkan infeksi, yang

berhubungan dengan inkontinensia. Jika catatan berkemih menggambarkan adanya poliuria maka

konsentrasi glukosa serum dan kalsium juga harus diperiksa. Pada pria dengan volume PVR

melebihi 150-200ml, renal sonography harus dilakukan untuk mengeksklusikan kemungkinan

hidronefrosis.5

Pada pasien dengan hematuria steril yang mengalami ketidaknyamanan suprapubik atau

perineal atau pasien dengan resiko tinggi karsinoma kandung kemih (contoh seorang pria

perokok atau pria dengan onset urgensi dan atau urge incontinence yang baru dengan sebab yang

tidak dapat dijelaskan), harus dilakukan cystoscopy dan sitologi urin. Sitologi urin bermanfaat

untuk uji penyaringan keganasan traktus urinarius, teatpi penggunaan test sangat tergantung dari

akurasi laboratorium melakukan sitologi. Sitologi urin yang rutin tidak bermanfaat, tetapi uji ini

harus dilakukan pada wanita tua yang berusia lebih dari 50 tahun dengan gejala traktus urinarius

iritatif, terutama jika gejalanya menunjukkan onset yang mendadak. 5

Pemeriksaan urin dengan uji dipstick dan mikroskopis penting untuk menyingkirkan adanya

infeksi, kelainan metabolik, dan penyakit ginjal. Adanya hematuria harus dievaluasi dengan

sitologi, urografi intravena, dan sistoskopi. Biopsi kandung kemih harus dilakukan jika diduga

terdapat suatu keganasan.5

Diagnosis Kerja

6

Page 7: PBL blok 13

Langkah pertama proses diagnosis adalah identifikasi inkontinensia urin melalui observasi

lagnsung atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan penapis. Untuk mencapai tujuan diagnosis

dilakukan pendekatan yang komprehensif beberapa aspek : riwayat penyakit, pemeriksaan fisik

terarah, urinalisis, volume residu urin pasca berkemih dan pemeriksaan penunjang khusus.2

Komponen-komponen evaluasi diagnostic dapat dilihat pada tabel 4.

Komponen-komponen Pokok Evaluasi Diagnostik Inkontinensia Urin1. Semua Pasien

Riwayat penyakit termasuk kartu catatan berkemih Pemeriksaan fisik Urinalisis

Pengukuran volume residu urin post-miksi2. Pasien Dengan Kondisi Tertentu

Laboratorium– Kultur urin

– Sitologi urin

– Gula darah, kalsium darah

– Uji fungsi ginjal

– USG ginjal Pemeriksaan ginekologik Pemeriksaan urologic Cystouretroskopi Uji Urodinamik

– Simpel : Observasi proses pengosongan kandung kemih Uji batuk Cystometri simpel

– Kompleks : Urine flowmetry Multichannel cystometrogram Pressure-flow study Leak-point pressure Urethral pressure profilometry Sphincter electromyography Video urodynamics

Tabel 4. Komponen-komponen Pokok Evaluasi Diagnostik Inkontinensia Urin2

Pemeriksaan fisik lebih ditekankan pada pemeriksaan abdomen, rectum , genital, dan

evaluasi persyarafan lumbosakral. Pemeriksaan leplvis perempuan penting untuk menemukan

7

Page 8: PBL blok 13

beberapa kelainan seperti prolaps, inflamasi, keganasan. Penilaian khusus terhadap mobilitas

pasien, status mental, kemampuan mengakses toilet akan membantu penangan pasien yang

holistic. Pencatatan aktivitas berkemih baik untuk pasien rawat jalan maupun rawat inpa dapat

embantu menentukan jenis dan beratnya inkontinensia urin serta evaluasi respon terapi.2

Pengambilan sampel urin untuk dianalisis dengan cara yang benar dapat memgerikan

informasi tentang adanya infeksi, sumbatan akibat batu saluran kemih atau tumor. Pemeriksaan

rsidu urin pasca miksi baik dengan kateter maupun ultrasonografi dapatm embantuk menentukan

ada tiddaknya obstruksi saluran kemih. Bila volume residu urin lebih dari 200 cc menunjukkan

kelemahan detrusor atau obstruksi.2

Pemeriksaan-pemeriksaan dengan prosedur khusus seperti pada tabel hanya untuk kasus-

kasus dengan riwayat dan pemeriksaan fisik sebagai berikut : operai atau radiasi daerah

urigenital bawah, infkeski saluran kemih berulang, prolaps berat, hipertrofi prostat atau kanker,

gagalnya kateteriasai nomor 14, volume residu urin pasca miksi > 200 ml, hematuria tanpa

petunjuk infeksi saluran kemih, dan gagal terapi yang telah diberikan.2

Hal yang penting dalam menilai wanita dengan inkontinensia urine adalah dengan anamnesis

dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Pemeriksaan awal tidak selalu diagnostik, tetapi informasi

yang didapat akan menuntun klinisi dalm memilih test diagnostik yang diperlukan.

Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan abdomen, vaginal, pelvis, rektal dan

penilaian neurologis. Pada pemeriksaan abdomen bisa didapatkan distensi kandung kemih, yang

menunjukkan suatu inkontinensia luapan, dan dikonfirmasi dengan kateterisasi. Inspekulo bisa

tampak prolaps genital, sistokel dan rektokel. Adanya urine dalam vagina terutama pasca

histerektomi mungkin mengetahui adanya massa pelvis.6

Test sederhana dapat dikerjakan setelah pemeriksaan fisik untuk membantu dalam

menentukan tindakan selanjutnya. Test Q-tip (‘the cotton swab test’), merupakan test sederhana

untuk menunjukan adanya inkontinensia stres sejati. Penderita disuruh mengosongkan kandung

kemihnya, urine ditampung. Kemudian spesimen urine diambil dengan kateterisasi. Jumlah urine

dari kencing dan kateter merupakan volume kandung kemih. Volume residual menguatkan

diagnosis inkontinensia luapan. Spesimen urine dikirim ke laboratorium.6

8

Page 9: PBL blok 13

Test diagnostik lanjut yaitu sistourethroskopi dan diagnostik imaging. Sistourethroskopi

dikerjakan dengan anestesi umum maupun tanpa anestesi, dapat dilihat keadaan patologi seperti

fistula, ureter ektopik maupun divertikulum. Test urodinamik meliputi uroflowmetri dan

sistometri. Sistometri merupakan test yang paling penting, karena dapat menunjukan keadaan

kandung kemih yang hiperaktif, normal maupun hipoaktif. Diagnostik imaging meliputi USG,

CT scan dan IVP yang digunakan untuk mengidentifikasi kelainan patologi (seperti fistel/tumor)

dan kelainan anatomi (ureter ektopik).6

Test tambahan yang diperlukan untuk evaluasi diagnostik yaitu ‘Pessary Pad Test’. Penderita

minum 500 ml air selama 15 menit untuk mengisi kandung kemih. Setelah ½ 14 jam, penderita

melakukan latihan selama 45 menit dengan cara : berdiri dari duduk (10 kali), batuk (10 kali),

joging di tempat (11 kali), mengambil benda dari lantai (5 kali), dan mencuci tangan dari air

mengalir selama 1 menit. Test positif bila berat Pad sama atau lebih besar dari 1g. Test ini dapat

menunjukan adanya inkontinesia stres hanya bila tidak didapatkan kandung kemih yang tidak

stabil.6

Diagnosis banding

Inkontinensia urin kontinu biasanya disebabkan oleh fistula di antara ureter atau kandung

kemih dan vagina, atau lebih jarang, pada ureter ektopik congenital. Pada kasus fistula

ureterovagina pasien dapat mengalami perembesan urin dari vagina secara tidak sengaja di luar

kontrol terhadap kandung kemih itu sendiri, karena satu ureter tetap utuh. Pada kasus fistula

vesikovagina, kebocorannya konstan dan menyeluruh, karena kandung kemih tidak pernah terisi.

Pada kasus fistula urtetra, tetesan terjadi setelah urinasi, karena urin terkumpul di dalam vagian

selama miksturisi.9

Pada keadaan lampau, fistula traktus urinarisu sering disebabkan oleh trauma obstetric.

Sekerang ini, kebanyakan fistula terjadi akibat trauma traktus urinarius yang tidak diketahui pada

waktu pembedahan pelvis. Penyebab-penyebab lainnya meliputi keganasan, terapi radiasi bagi

kanker serviks dan trauma insidentil yang meliputi frkatur pelvis.9

Trauma langsung pada kandung kemih pada saat pembedahan menyebabkan hematuria.

Kecuali jika kandung kemih terdiri dari kateter indwelling, urin yang hilang melalui vagina dapat

tampak segera atau dalam beberapa jam di dalam periode pascaoperasi. Bila trauma bedah

9

Page 10: PBL blok 13

mengurangi pasokan darah kandung kemih, nekrosis jaringan akan mendahului pembentukan

fistula. Inkontinensia urin bisa tidak terjadi sampai 7-14 hari setelah pembedahan. Tindakan

bedah yang luas karena keganasan pelvis dan iradiasi pelvis sebelumnya meningkatkan risiko

fistula vesikovaginal.9

Selain itu stress incontinence sejati dan inkontinensia urgensi sensorik. pada inkontinensia

urgensi sensorik, pasien dapat menghambat kebocoran melalui dorongan sensorik yang kuat

sedangkan pada inkontinensia urgensi motorik kebocoran tidak dapat dihambat. Stress

incontinence sejati dapat dibedakan dengan sistometri provokatif atau uretrosistometri

simultan.10

Diagnosis banding bisa juga merupakan beberapa penyakit inkontinensia yang memiliki

gejala dan sebab yang berbeda, antara lain : 1) Inkontinensia mendesak (urge incontinence).

Berkemih dapat dilakukan, tetapi orang biasanya berkemih sebelum sampai ke toilet. Mereka

tidak merasakan adanya tanda untuk berkemih. Kondisi ini terjadi karena kandung kemih

seseorang berkontraksi tanpa didahului oleh keinginan untuk berkemih. Kehilangan sensasi

untuk berkemih ini disebabkan oleh adanya penurunan fungsi persarafan yang mengatur

perkemihan.1

Penatalaksanaannya adalah dengan melakukan bladder training yang bertujuan melatih

seseorang mengembalikan kontrol berkemih. Latihan ini mencakup pengkajian yang baik

terhadap pola berkemih yang normal pada seseorang. Kemudian dilakukan suatu upaya untuk

mengikuti pola ini agar klien mencapai kontinensia sebagai tahap pertama, kemudian secara

bertahap menunda waktu untuk pergi ke toilet. Hal ini dimaksudkan agar klien dapat menahan

kemih dalam waktu yang lama.1

2) Inkontinensia overflow. Seseorang yang menderita inkontinensia overflow akan mengelu

bahwa urinnya mengalir terus-menerus. Hal ini disebabkan karena obstruksi pada saluran kemih

seperti pada pembesaran prostat atau konstipasi. Untuk pembesaran prostat yang menyebabkan

inkontinsia dibutuhkan tindakan pembedahan dan utnuk konstipasinya relative mudah diatasi.1

3) Inkontinensia refleks. Ini trejadi karena kondisi sistem saraf pusat yang ternggangu seperti

pada demensia. Dalam hal ini, pengosongan kandungk emih dipengaruhi refleks yang dirangsang

oleh pengisian. Kemampuan rasa ingin berkemih dan berhenti berkemih tidak ada.

10

Page 11: PBL blok 13

Penatalaksanaannya dengan permintaan untuk miksi secara teratur setiap jam atau dengan

menggunakan kateter dan sekarang banyak digunakan diapers ukuran dewasa.1

4) Inkontinensia fungsional. Pada klien ini mempunyai kandung kemih dan saluran urin yang

utuh dan tidak mengalami kerusakan persarafan yang secara langsung memengaruhi sistem

perkemihan tersebut. Kondisi ini muncul akibat beberapa ketidakmampuan lain yang megurangi

kemampuannya untuk mempertahankan kontinensia. Seseorang yang menderita ini masih

mampu untuk memepertahankan kontinensia dengan bantuan dan masih mempuynai keinginan

untuk kontinensia. Klien perlu diberi kesempatan untuk berkemih.1

Patofisiologi

Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian koordinasi

proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase yaitu fase penyimpanan

dan fase pengosongan. Diperlukan keutuhan struktur dan fungsi komponen saluran kemih

bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan.2

Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali. Sfngter

uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol volunter dan disuplai oleh saraf

pudental, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah

control system saraf otonom yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak.2

Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan

submukosa dan lapisan mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih

terjadi, dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses

berkemih berlangsung. Kontraksi kandung kemih disebabkan oleh aktivitas parasimpatis yang

dipicu oleh asetikolin pada reseptor muskarinik. Sfingter uretra internal menyebabkan uretra

tertutup, sebagai akibat kerja aktivitas saraf simpatis yang dipicu oleh noradrenalin.2

Otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih.

Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medula spinalis dan pusat saraf yang

mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsang saraf

diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis kepusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat

subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi

11

Page 12: PBL blok 13

sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih.

Ketika pengisian kandung kemih berlajut, rasa penggembungan kandung kemih disadari dan

pusat kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat

korikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda

pengeluaran urin.2

Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang saraf dari koteks disalurkan melalui medula

spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian

menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih.

Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot.2

Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik oleh saraf pelvis.

Otot detrusor juga mengandung reseptor prostaglandin. Prostaglandin-in-hibriting drugs dapat

mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi kandung kemih juga calsium-channel dependent.

Oleh karena itu, calcium channel blockers dapat juga mengganggu kontraksi kandung kemih.2

Inervasi sfingter uretra internal dan eksternal bersifat kompleks. Untuk memberikan

pengobatan dan penatalaksanaan inkontinensia yang efektif, petugas kesehatan harus mengerti

dasar inervasi adrenergic dari sfingter dan hubungan anatomi ureter dan kandung kemih.

Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Untuk itu , pengobatan

dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan

zat alpha-blocking (terazosin [Hytrin]) dapat mengganggu penutupan sfingter.2

Inervasi adrenergic-beta menyebabkan relaksasi sfingter uretra. Karena itu zat beta-adrenergik

blocking (propra-nolol) dapat mengganggu karena menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan

aktivitas kontraktil adrenergik-alfa.2

Komponen penting lainnya dalam mekanisme sfingter adalah hubungan uretra dengan

kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yant tepat

antara uretra dan kandung kemih. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada posisi yang

tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif

ditransmisikan ke uretra. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat

terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen.2

12

Page 13: PBL blok 13

Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di medulla

spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian (penyimpanan)

kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan

penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih, serta menghambat aktivitas

parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul.2

Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis

meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses

refleks ini dipengaruhi oleh system saraf yang lebih tinngi yaitu batang otak, korteks serebri dan

serebelum. Bagaimana proses neurofisiologik ini beroperasi dalam proses miksi belum diketahui

dengan jelas. Umumnya dikatakan bahwa peranan korteks serebri adalah menghambat

sedangkan batang otak dan supra spinal memfasilitasi.2

Etiologi

Perlu ditekakan sekali lagi bahwa usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin.

Mengetahui penyebab inkontinensia urin penting dalam penatalaksanaannya yang tepat. Perlu

dibedakan 4 penyebab pokok, yaitu : gangguan urologic, neurologis, fungsional/psikologis, dan

iatrogenic/klingkungan. Perlu dibedakanp pula antara inkontinensia urin akut dan kronik

(presisten).2

Inkontinensia akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut

atau problem isatrogenik yang menghilang jika kondisi akut teratasi atu problem medikasi

dihentikan. Inkontinensia presisten merujuk pada kondisi urikontinennsia yang tidak berkaitan

dengan kondsii akut/iatrogenic dan berlangsung lama. Penyebab inkontinensia urin akut dapat di

lihat dengan akronim DRIP pada tabel 6.2

Akronim untuk penyebab reversible inkontinensia urin akut

13

Page 14: PBL blok 13

D DeliriumR Restricted Mobility, retentionI Infection, Inflammation, ImpactionP Polyuria, pharmaceuticals

Tabel 6. Akronim untuk penyebab reversible inkontinensia urin akut2

Ahli lain menggunakan akronim yang lebih lengkap yaitu DIAPPERS seperti terlihat pada

tabel 7.

Penyebab Inkontinensia AkutD Delirium or acute confusional state I Infection, urinaryA Atrophic vaginitis or urethritisP Pharmaceutical

Sedative hypnotic Loop diuretics Anti-cholinergic agents Alpha-adrenergic agonist and antagonist Calcium channel blochers

E Psychologic disorders : depressionR Restricted mobilityS Stoolilmpaction

Tabel 7. Penyebab Inkontiensia Akut, akronim DIAPPERS.2

Delirium merupakan gangguan konginitf akut dengan latar belakang yang beragam seperti

dehidrasi, infeksi paru, gangguan metabolisme, dan elektroit. Delirium menyebabkan proses

hambatan refleks mksi berkurang sehingga menimbulkan inkontinensia yang bersifat sementara.2

Usia lanjut dengan kecenderungan mengalami frekuensi urgensi, dan nokturia akibat proses

menua akan mengalami inkontinensia kalau terjadi gangguan mobilitas oleh karena berbagai

sebab seperti gangguan makuloskeletal, tirah baring dan perawatan di rumah sakit. Inflamasi dan

infeksi pada slauran kemih bawah akan meningkatkan kejadian frekuensi, urgensi, dan dapat

mengakibatkan inkontinensia.2

Kondisi-kondisi yang mengakibatkan poluria seperti hiperlkemia, hiperkalsemia, pemakaian

duiretika dan minum banyak dapat mencentuskan inkontinensia akut. Kondisi kelebihan cairan

14

Page 15: PBL blok 13

seeperti gagal jantung kongestif, insufisiensi vena tungkai bawah akan mengakibatkan nokturia

dan inkontinensia akut malam hari.2

Penatalaksanaan

Telah dikenal beberapa modalitas terapi dalam penatalaksanaan pasien dengan inkontinensia

urin. Umumnya berupa tatalaksana non farmakologis, farmakologis, maupun pembedahan. Tidak

ada satu modalitasterapi yang dapat mengatasi semua jenis inkontinensia urin, sebaliknya satu

tipe inkontinensia urin di atasi dengan beberapa modalitas terapi bersama-sama. spectrum

modalitas terapi meliputi : terapi non farmakologis meliputi terapi suportif non spesifik (edukasi,

manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu) ; internvensi tingkah laku (latihan otot dasar

panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih, latihan kebiasaan); terapi

medikamentosa; opearasi; dan latihan kebiasaan.2

Keberhasilan penanganan pasien tergantung pada keberhasilan proses diagnosis dalam

menentukan tipe inkontinensia, faktor-faktor kontribusi reversible, dan problem medic akut.

Secara umum strategi meliputi edukasi pada pasien atau pengasuh pasien. Intervensi perilaku

meliputi bladder training, habit tranining, promted voiding, dan latihan otot dasar panggul.

Teknik-teknik canggih yang dapat melengkapi teknik behavioral ini antara lain stimulasi elektrik,

biofeedback, dan neuromodulasi.2

Bladder training merupakan salah satu terpai yang efektif di antara terapi non farmakologik

lainnya. Terpai ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik

distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali perhari atau -4 jam

sekali, pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih. Pasien diinstruksikan untuk

berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya interval berkemih

diperpanjang secara bertahap sampai pasien ingin berkemih setiap 2-3 jam. Teknik initerbukti

bermanfaat pada inkontinensia urgensi dan stress, namun untuk itu diperlukan motivasi yang

kuat dari pasien utnuk berlatih menahan keluarnya urin daan hanya berkemih pada interval

waktu tertentu saja.2

Latihan ototdasar panggul merupakan terpai yang efektif untuk inkontinensia urin tipe stress

atau campuran dan inkontinensia tipe urgensi.latihan dilakukan tiga samapi lima kali sehari

dengan 15 kotntraksi dan menahan hingga 10 detik. Penelitian uji klinik menunjukkan bahwa 56-

15

Page 16: PBL blok 13

77% pasien mengalami perbaikan dalam jangka pendek dengan latihan tersebut. Terdapat pula

peneilitianyang menunjukkan bawha peningkatan perbaikan aan timbul selama paling tidak 10

tahun. latihan dilakukan dngnam embuat kontraksi berulang-ulang pada otot dasar panggul.

Dengan memperkuat otot tersebut, latihan ini diharapkan dapat meningkatkan kekuatan uretra

untuk menutup secar sempruna. Sebelum pasien menjalaini latihan, harus dilakukan terlebih

dahulu pemeriksaan vagia atau rectum umtuk menetapkan apakah mereka dapat

mengkontraksikan otot dasar panggulnya.2

Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar jadwal berkemih

sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. teknik ini sebaiknya digunakan pada inkontinesia

urin tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau pengasuh pasien.

Prompted voiding dilakukan dengan cara mengajari pasien mengelali kondisi ata ustatus

kontinensia mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.

Teknik ini digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif.2

Terapi biofeedback bertujuan agar pasien mampu mengontrol/ menahan kontraksi

involunteer otot detrusor kandung kemihnya. Carai biofeedback mempunyai kendala karena

penderita perlu mempunyai intelegensia yang cukup untuk dapat mengikuti petunjuk pelatihnya,

semtnara pelatihnya sendiri harus mempunyai kesadaran dan motivasi yang tinggi karena waktu

yang diperlukan untuk dapat mendidik satu orang pasien dengan cara ini cukup lama.2

Stimulasi elektrik mmerupakan terpai yang menggunakan dasar kejutan kontraksi otot pelvis

dengan menggunakan alat-alat bantu pada vagina atau rectum. Neuromodulasi merupakan terapi

dengan menggunakan stimulasi saraf sakral. Mekanisme yang pasti dari teknik ini masih bbelum

diketahui, tetapi diduga karena adanya kegiatan interneuron tulang belakang atau neuron

adrenergic beta yang menghambat kegiatan kandung kemih. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa neuromodulasi merupakan salah satu cara penatalaksanaan kandung kemih hiperaktif

yang berhasil.2

Penggunaan keteter menetap (indwelling catheter) tsebaiknya tidak digunakan secara rutin

dalam pengelolaan inkontinensia urin karena dapat terjadi infeksi saluran kemih bahkan sampai

sepsis, pembentukan batu, abses, dan bocor. Kateter menetap ini dapat digunakan bila terjadi

retensi urin yang lama sehingga menyebabkan infeksi saluran kemih atau gangguan ginjal. katetr

16

Page 17: PBL blok 13

intermitten merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih.

Teknik ini diajarkan kepada pasien yang tidak dapat mengosongkna kandung kmeih. Namun

demikian teknik ini berisiko untuk terjadinya infeksi saluran kemih. Pilihan terapi primer yang

ditujukan untuk mengatasi tipe inkontinensia dapat dilihat pada tabel 8.

Terapi Primer untuk Berbagai Tipe Inkontinensia UrinTipe Inkontinensia Terapi PrimerStress - Latihan Kegel

- Agonis adrenergik α- Estrogen- Injeksi periuretral

Urgenal - Operasi bagian leher kandung kemih- Relaksan kandung kemih

Luber (overflow) - Estrongen- Bladder training

Fungsional - Operasi untuk menghilangkan sumbatan- Bladder training- Kateterisasi intermitten- Kateterisasi menetap- Intervensi behavioral- Manipulasi lingkungan- Pads

Tabel 8. Terapi Primer untuk Berbagai Tipe Inkontinensia Urin2

Terapi farmakologis atau medikamentosa telah dibuktikan mempunyai efek yang baik

terhadap inkontinensia urin tipe urge dan stress. Obat-obat yang dipergunakan dapat digolongkan

menjadi: antikolinergik antispasmodic, agonis adenergik α, estrogen topical, dan antagonis

adrenergic α. Pada semua obat yang digunakan untuk terpai inkontinensia urin, efek samping

harus diperhatikan apabila dipergunakan pada pasien geriatric seperti mulut kering, mata kabur,

peningkatan tekanan bola mata, konstipasi dan delirium. Sementara orbat yang lain dapat

menimbulkan hipotensi postural, bradikardia, sakit kepala, dan lain-lain. Daftar obat dapat dilihat

pada tabel 9.

Obat Dosis Tipe Inkontinensia Efek Samping

17

Page 18: PBL blok 13

Hyoscamin 3 x 0125 mg Urge atau campuran Mulut kering, mata kabur, glaucoma, delirium, konstipasi

Tolterodin 2 x 4 mg Urgensi dan OAB Mulut kering, konstipasi

Imimpramin 3 x 25-50 mg Urgensi Delirium, hipotensi ortosattik

Pseudoephedrin 3 x 30-60 mg Stress Sakit kepala, takikardi, tekanan darah tinggi

Topikal estrogen Urgensi dan stress Iritasi lokal

Doxazosin 4 x 1-4 mg BPH dengan urgensi Hipotensi postural

Tamsulosin 1 x 0,4-0,8 mg

Terazosin 4 x 1-5 mg

Tabel 9. Obat-obat yang Dipakai untuk Inkontinensia Urin2

Obat fenilpropanolamin saat ini dihentikan penggunaannya untuk inkontinensia urin tipe

stress karena uji klinik menunjukkan adanya peningkatan risiko strok. Pseudofedrin dapat

digunakan untuk tatalaksana inkontinensia tupe stress karena meningkatkan tekanan sfingter

uretra, sehingga menghambat pengeluaran urin. Pseudoeferdrin memiliki efek samping seperti

insomnia, sakit kepala, dan gugup/gelisah. Penggunaaannya harus amat hati-hati pada pasien

dengan hipertensi, aritmia jantung, dan angina. Dengan demikian penggunaannya jarang ditemui

pada orang usia lanjut.2

Antikolinergik dapat digunakan untuk tatalaksana inkontinesia urgensi. Oksibutinin memiliki

efek antikolinergik dan merelaksasikan otot halus. Tolterodin merupakan kometitif bloker

reseptor M3. Uji klinik menunjukkan bahwa oksibutinin dan tolterodin menyebabkan penurunan

frekuensi inkontinensia urgensi dibandingkan dengan plasebo. Pemberian dosis sehari sekali

berhubungan degan efek samping yang lebih rendah khususnya efek mulut kering. Beberapa efek

samping antikolinergi adalah xerostomia, seroftalmia, konstipasi, gangguan penglihatan,

sedative, retensi ruin, insomnia, takikardia, ortostasis, kebingungan, dan delirium., tolterodin

lebih selektif untuk reseptor muskarinik dikandung kemih dapi pada kelenjar parotis.2

Tindakan operatif pada perempuan dengan prolaps pelvik yang signifikan dan inkontinensia

tipe stress yang tidak membnaik dengan penanganan konservatif harus dilakukan upaya operatif.

18

Page 19: PBL blok 13

Pada laki-laki dengan tanda obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat dilakukan

operasi sebagi upaya pencegahan inkontinensia tipe overflow di kemudian hari.2

Faktor Risiko

Prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring meningkatnya usia. Inkontinensia urin lebih

banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Usia lanjut seringkali memiliki kondisi

mediky ang dapat mengganggu proses berkemih yang secara langsung memengaruhi fungsi

saluran berkemih, perubahan status volume dan ekskresi urin, atau gangguan kemampuan untuk

ke jamban. Pada orang usia lanjut di masyarakat, inkontinensia urin dikaitkan dengan depresi,

transient ischaemic attacks dan strok, gagal jantung kongestif, konstipasi dan inkontinensia

feses, obesitas, penyakit paru obstruktif kronik, batuk kronik, dan gangguan mobilitas, demensia,

depresim strok, diabetes, dan Parkinson.2

Risiko inkontinensia urin meningkat pada perempuan dengan nilai indeks massa tubuh yang

lebih besar, dengan riwayat histerktomi, infeksi urin, dan trauma perneal. Melahirkan per

vaginam akan meningkatkan risiko inkontinensia urint ipe stress dan tipe campuran. 2

Penelitian terhadap 5418 usia lanjut di luar negeri mendapatkan tiga faktor resiko ang dapat

dimodifikasi dan berhubungan secara bermakna denan inkontinensia urin, yaitu infeksi saluran

kemih, keterbatasan aktivitas, dan faktor gangguan lingkungan.2

Prognosis

Pengobatan inkontinensia dapat berupa pembedahan, terapi medikamentosa atau kombinasi

keduanya. Inkontinensia berat jarang dapat disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa.

Teknik pembedahan yang memuaskan pada awalnya dapat diikuti oleh kekampbuhan setelah

beberapa tahun karena efek penuaan dan prose penyakit lain yang memengaruhi mekanisme

kontiensia.10

Senam isotonic Kegel terdiri atas kontraksi berulang otot-otot pubokoksigeus untuk menekan

otot-otot yang digunakan untuk menghentikan pengeluaran urin sebanyak 150 – 200 kali sehari.

Perbaikan yang nyata terlihat pada 15-30 % pasien dengan stress incontinence sejati, sedangkan

perbaikan sedang terlihat pada 30-40 laiinya.10

19

Page 20: PBL blok 13

Jika penyebab inkontinensia adalah perubahan atrofik akibat defisiensi estrongen, pemberian

terapi estrogen pengganti akan menghasilkan stress incontinence pada 10-30% wanita

pascamenopause. Metode lain cukup memuaskan, seperti stimulasi listrik pada dasar panggul

untuk meningkatkan tekanan penutupan uretra atau penyuntikan Teflon peruretra untuk

menekan mukosa uretra dan menyebabkan obstruksi ringan pada aliran urin.10

Sasaran tindakan pembedahan pada inkontinensia adalah untuk meningkatkan dan menopang

sambungan uretrovesika untuk memerbaiki penghantaran tekanan ke uretra selama dilakukan

perasat pembebanan. Angka kesembuhan untuk tindakan per abdominal adalah 8590 % dan

untuk tindakan pervaginam 75-85%.10

Teknik modifikasi perilaku menggunakan hipnotis, biofeedback, latihan kandung kemih yang

rutin dan psikoterapi mungkin efektif jika tidak ada penyakit neurologis yang menyebabkan

ketidakstabilan kandung kemih. Tindakan ini efektif hampir 0 % pasien tetapi memerlukan

kerjasama pasien yang kuat dan angka kekambuhannya tinggi. Pengobatan akan membantu pada

50-80% pasien. Obat yang paling efektif adalah zat antikolinergik terapi analgesic kandung

kemih, antispasmodik otot polos, penghambat saluran kaslium dan penghambat sintetase

prostalglandin juga efektif.10

Kesimpulan

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan pemeriksaan

fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik yang diperlukan mempunyai hasil yang

baik untuk menegakkan diagnosis gangguan ini. Jenis 18 inkontinensia urine yang utama yaitu

inkontinensia stres, desakan, luapan dan fistula urine. Penatalaksanaan konservatif dilakukan

pada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi bedah. Bila dasar inkontinensia neurogen

atau mental maka pengobatan disesuaikan dengan faktor penyebab.

Daftar Pustaka

1. Maryam RS, Ekasari MF, Rosidawati, Jubaedi A, Batubara I. Mengenal usia lanjut dan

perawatannya. Jakarta : Salemba Medika, 2008.

20

Page 21: PBL blok 13

2. Setiati S, Roosheroe AG. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Inkontinensia urin dan kandung

kemih hiperaktif. Jilid ke-2. Edisi ke-5. Jakarta : Interna Publishing, 2009.

3. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta : EGC, 2004.

4. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison. Prinsip-

prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-13. Volume ke-1. Jakarta : EGC, 1999.

5. Vitriana. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan

Sadikin FK-UI/ RSUPN dr Ciptomangunkusumo. Evaluasi dan manajemen medis

inkontinensia urin. Diunduh dari

http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/evaluasi_dan_manajemen_medis_inko

ntinensia_urin.pdf, 14 Januari 2012.

6. Inkontinensia urin [editor]. Diunduh dari

http://digilib.unsri.ac.id/download/INKONTINENSIA%20URINE.pdf, 14 Januari 2012.

7. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga, 2008.

8. Suparman E, Rompas E. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas

Sam Ratulangi/ RSU Prof. Dr. R.D Kondou Manado. Inkontinensia urin pada perempuan

menopause. Diunduh dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/321084854.pdf ,14 Januari

2012.

9. Taber, Ben-Zion. Kapita selekta kedaruratan obstetric dan ginekologi. Jakarta : EGC 1994.

10. Benzon RC, Pernoll ML. Buku saku Obstetri dan Ginekologi. Edisi ke-9. Jakarta : EGC,

2009.

21