pbl blok 13
DESCRIPTION
13TRANSCRIPT
5) Atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra
mengakibatkan menurunnya tekanan penutupan urtetra dan tekanan outflow. Pada laki-laki
terjadi pengecilan testis dan pembesaran kelenjar prostat sedangkan pada perempuan terjadi
penipisan dinding vagina dengan tumbulkan eritema atau ptekie, pemendekan dan penyempitan
ruang vagiana serta berkurangnya lubrikasi dengan akibat meningkatnya pH lingkungan vagina.2
6) Inkontinensia transien. Karena inkontinensia urin memerlukan mobilitas yang adekuat,
fungsi mental, motivasi dan ketrampilan tangan- di samping kontrol yang utuh terhadap traktus
urinarius bawah- masalah di luar kandung kemih dapat menyebabkan inkontinensia.4
1) Delirium. Sensorium yang berkabut akan menghalangi kemampuan pasien untuk
mengenali keinginan urinasi dan lokasi toilet yang terdekat untuk memenuhi keinginan tesebut;
setelah keadaan delirum tersebut menghilang, inkontinensia akan mereda. 2) Infeksi. Infeksi
traktus urinarius yang simptomatik sering menyebabkan timbulnya keadaan inkontinensia;
3) Uretritis/vaginalis atrofik, yang ditandai dengan adanya telangiektasia vaginalis, ptekie,
erosi, eritema, atau kerapuhan jaringan umumnya akan menyebabkan inkontinensia pada
perempuan dan memberi respons terhadap pengobatan estrogen dosis rendah atau krim estrogen
vagina untuk waktu yang singkat.4
4) Obat-obatan. Obat-obatan seperti diuretik akan meningkatkan pembebanan urin di
kandung kemih. Agen antikolinergik dan sedatif dapat menyebabkan timbulnya atonia sehingga
timbul retensi urin kronis dan overflow incontinence. mengganggu mobilitas dan menimbulkan
dieresis.5
Calcium-channel blockers untuk hipertensi dapat menyebabkan berkurangnya tonus sfingter
uretra eksternal dan gangguan kontraktilitas otot polos kandung kemih sehingga menstimulasi
timbulnya stress incontinence. Agen alpha-adrenergik yang sering ditemukan di obat influenza,
menyebabkan kesulitan berkemih; sebaliknya mengobati beberapa kasus stress incontinence.
Alpha blockers, yang sering dipergunakan untuk terapi hipertensi dapat menurunkan kemampuan
penutupan uretra dan menyebabkan stress incontinence.5
1
5) Psikologis. Depresi dan kecemasan dapat menyebabkan pasien mengalami “kebocoran”
urin. Mekanisme ini kombinasi dari bladder overactivity dan relaksasi sfingter uretra yang tidak
tepat.
6) Output Urin yang Berlebihan. disebabkan intake cairan yang banyak, minuman berkafein,
dan masalah endokrin. Diabetes mellitus melalui efek diuresis osmotiknya dapat menyebabkan
suatu kondisi overactive bladder. Diabetes insipidus juga akan menyebabkan terjadinya
peningkatan produksi urin hingga 10 liter per hari → overflow incontinence.
7) Mobilitas yang terbatas. disebabkan nyeri arthritis, perasaan takut jatuh,
8) Impaksi feses. mengubah posisi kandung kemih dan menimbulkan kondisi retensi urine
dan overflow incontinence.5
Inkontinensia permanen. Penyebab inkontinensia permanen meliputi gangguan fungsional
yang ireversibel,
1) Aktivitas muskulus destrusor yang berlebihan. pada perempuan kebocoran urin terjadi
tanpa adanya stress atau penekanan atau retensi urin dan didahului oleh timbulnya keinginan
yang kuat secara tiba-tiba untuk buang air kecil tanpa terasa terlebih dahulu. Pada laki-laki,
gejalanya serupa, tetapi karena aktivitas destrusor yang berlebihan bsia terdapat bersama-sama
dengan obstruksi uretrea,
3) Obstruksi uretra. urin yang menetes setelah buang air kecil, sebagai inkontinensia karena
rasa ingin berkemih yang disebabkan oleh aktivitas detrusor yang berlebihan, atau sebagai
inkontinensia overflow akibat retensi urin. 5) Aktivitas detrusor yang berkurang. paling jarang
ditemukan. disertai dengan gejala sering berkemih, nokturia, dan urinasi yang sedikit-sedikit tapi
sering. Kenaikan volume urin sisa setelah urinasi (umumnya lebih dari 450 ml)
Anamnesis
9) Riwayat kondisi fisik yang mempengaruhi kemampuan fungsional berkemih seperti fungsi
tangan, kemampuan berpakaian, keseimbangan duduk,
2
11) Pada anamnesis kita akan mendapatkan keluhan pada penderita berupa : 1) Pada stress
inkontinensia, kegiatan fisik (batuk, bersin, melakuka jogging/berlari dan lain-lain). 2) pada urge
inkontinensia,tidak diharapkan seperti saat tidur.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pasien inkontinensia harus dilakukan termasuk deteksi kondisi medis
umum yang mungkin mempengaruhi traktus urinarius bagian bawah. Kondisi tersebut mencakup
insufisiensi kardiovaskuler, penyakit paru, proses neurologis (delirium, demensia, multiple
sclerosis, stroke, penyakit Parkinson, neuropati (otonom atau perifer), kelainan di bagian tulang
belakang dan punggung bawah), kelainan perkembangan genitourinarius serta adanya edema
perifer.6
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematik sehingga tidak akan melewatkan lesi
yang mempunyai efek langsung pada inkontinensia.
6 P dalam pemeriksaan fisik
Palpable bladder ?
Pelvis – bimanual exam for masses
Part the vulva – look or prolapse, descent, leak.
Penis – external meatus stenosis ?
Per rectal exam – prostate size, faecal load, anal tone
Peripheral – neurological exam of the limbs
Tabel 3. 6 P dalam Pemeriksaan Fisik 5
Pemeriksaan pelvis, termasuk evaluasi struktur penyokong uretra merupakan hal yang
penting. Beberapa hal yang penting dalam pemeriksaan fisik:
1) Pasien dengan inkontinensia urin harus diperiksa dalam keadaan kandung kemih penuh,
terutama jika keluhan utamanya adalah stress incontinence. 2) Pasien harus berdiri tegak, relaks
dengan kaki terbuka selebar bahu lalu pasien diminta untuk batuk beberapa kali untuk melihat
jika ada tanda fisik stress incontinence yang tampak. Jika tampak keluar urin, konfirmasikan hal
tersebut dan apakah hal tersebut mengganggu dia. Banyak wanita multipara mengalami
keluarnya urin dalam jumlah sedikit selama pemeriksaan tersebut dan merasa hal tersebut
bukanlah suatu masalah yang mengganggu (cough stress test).5
3
Diagnosis stress incontinence tidak dapat ditegakkan jika manuver ini tidak berhasil
dilakukan. Jika terjadi kebocoran, penting untuk dicatat apakah hal ini terjadi bersamaan dengan
stress manuver atau tertunda beberapa detik. Jika tertunda maka hal ini lebih mengesankan
adanya DO (dipicu oleh batuk) daripada outlet incompetence. Untuk menghindari salah
diagnosa, janganlah mencari stress leakage saat pasien memiliki keinginan kuat untuk berkemih,
karena keinginan (urge) tersebut dapat terjadi karena kontraksi yang tidak inhibisi; jika
kontraksi disertai relaksasi sfingter secara fisiologis dan pasien batuk, ia akan mengalami
kebocoran secara spontan, sehingga terjadi kesalahan diagnosa menjadi outlet incompetence.
yang seharusnya kelainan kontraksi detrusor.5
3) Banyak wanita dengan urge incontinence yang disebabkan oleh detrusor overactivity
menampakkan keluarnya urin saat dilakukan cough stress test, tetapi hal ini dapat tidak relevan
terhadap keluhan utamanya. Penemuan fisik ini harus diatur dalam konteks anamnesa pasien
agar relevan. 4) Keluhan pasien harus dikonfirmasikan lagi kepada pasien terutama jika akan
direncanakan terapi operatif. Pemeriksaan fisik neurologis harus difokuskan pada bagian
abdomen, genitalia eksterna dan kulit perineal. Dalam melakukan pemeriksaan rektal, penting
untuk mengetahui besar prostat yang menonjol ke dalam dan menyebabkan obstruksi, bukan23
besar keseluruhan prostat. Penelitian urodinamik lebih diperlukan dibandingkan pemeriksaan
rektal untuk mendiagnosa obstruksi outflow secara objektif.5
Pada wanita pasca menopause, uretra dan introitus vagina harus diperiksa untuk melihat
adanya perubahan atrophik yang diduga disebabkan oleh karena defisiensi estrogen. Pada wanita
pemeriksaan juga harus difokuskan pada derajat sokongan pelvis. Penentuan massa yang
menyebabkan kompresi ekstrinsik kandung kemih harus dilakukan selama pemeriksaan vaginal.
Status mental seperti kesadaran, orientasi, kemampuan bicara dan memori jangka pendek dan
panjang, pemahaman harus diketahui.5
Kelainan berkemih dapat disebabkan sekunder atau diperburuk karena adanya disorientasi,
ketidakmampuan untuk berkomunikasi, atau kurangnya pemahaman saat pasien diminta untuk
berkemih.5 Pemeriksaan sensibilitas harus difokuskan pada penentukan level cedera pada pasien
dengan SCI. Jika level cedera diatas T6 pasien beresiko mengalami kondisi autonomic
dysreflexia. Evaluasi sensibilitas sakral dilakukan untuk mengevaluasi gangguan jaras aferen
4
pusat miksi sakral. Hilangnya sensasi pinprick dan sentuhan ringan pada tangan dan kaki
mengarah pada kondisi peripheral neuropathy.5
Pemeriksaan motorik membantu untuk menegakkan level dan derajat lengkap atau tidaknya
cedera pada pasien SCI. Fungsi tangan juga dinilai untuk menentukan kemampuan berpakaian
atau melakukan kateterisasi intermitten. Spastisitas alat gerak atas dan bawah, kemampuan
duduk, berdiri dan ambulasi harus dievaluasi. Evaluasi harus juga mencakup pemeriksaan tonus
sfingter anal, karena penurunan atau tidak adanya tonus mengarah ke lesi syaraf perifer atau
sakral, sedangkan peningkatan tonus mungkin disebabkan karena adanya lesi suprasakral.
Kontraksi volunter sfingter anal digunakan untuk menguji inervasi sakral, integritas suprasakral
dan kemampuan untuk memahami perintah.5
Refleks kutaneus yang membantu pemeriksaan neurolgis adalah refleks kremaster (L1-L2),
bulbocavernosus (S2-S4), dan refleks anal (S2-S4). Hilangnya refleks ini menyatakan adanya
kelainan pada traktus piramidal atau lesi perifer. Refleks bulbocavernosus telah dilaporkan
tampak pada 70-85% orang dengan neurologis yang intak. Negatif palsu sering timbul pada
pasien yang nervous. Refleks regangan otot juga dievaluasi. Peningkatan mendadak dalam
spastisitas mungkin mengindikasikan adanya infeksi traktus urinarius. Sebagai tambahan refleks
patologis juga dapat membantu untuk melokalisasi lesi neurologis.5
Selama pemeriksaan rektal, lihat apakah lipatan gluteal simetris dan adakah impaksi feses
dan massa. Walaupun pemeriksaan ukuran prostat penting untuk perencanaan intervensi operasi,
tetapi kurang bersifat diagnostik karena ukuran prostat yang diperkirakan melalui palpasi kurang
berhubungan dengan ada atau tidak adanya obstruksi outlet (DuBeau and Resnick, 1991). Dalam
pemeriksaan rektal dilakukan pemeriksaan neurologis karena akar syaraf sakral (S2-S4)
menginervasi uretra eksternal dan sfingter anal. Karena kontraksi abdonminal dapat menyerupai
kontraksi sfingter, sangat bermanfaat bagi pasien jika pemeriksa meletakkan tangah lainnya di
perut pasien untuk menghindari hal ini. Banyak usila tanpa gangguan neurologis tidak mampu
untuk mengkontraksikan sfingternya sesuai kemauan. Persyarafan motorik selanjutnya juga
diperiksa dengan melakukan pengujian pada anal wink (S4-S5) dan refleks bulbocavernosus (S2-
S4). Pada usila, tidak adanya refleks-refleks ini terutama anal wink, tidak harus berarti
patologis.5
5
Pada wanita, harus diperiksa laksiti otot pelvis, adakah cystocele, rectocele, enterocele atau
prolaps uterine. DO dapat timbul menyertai cystocele,sementara stress incontinence dapat timbul
tanpa adanya cystocele. Jadi pengetahuan tentang kekuatan24 otot pelvis terutama bermanfaat
untuk dokter bedah dalam menentukan pilihan operasi untuk wanita dengan stress incontinence.5
Beberapa tes lain yang perlu dilakukan Q-tip test, Marshall test (Marshall -Bonney test), Pad
test, Standing pelvic examination.5
Pemeriksaan Penunjang
Selain dilakukan urinalisis dan kultur urin, pemeriksaan laboratorium juga harus mencakup
pemeriksaan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum (National Institutes of Health,
1990; Resnick, 1990a). Kultur urin akan membantu untuk menyingkirkan infeksi, yang
berhubungan dengan inkontinensia. Jika catatan berkemih menggambarkan adanya poliuria maka
konsentrasi glukosa serum dan kalsium juga harus diperiksa. Pada pria dengan volume PVR
melebihi 150-200ml, renal sonography harus dilakukan untuk mengeksklusikan kemungkinan
hidronefrosis.5
Pada pasien dengan hematuria steril yang mengalami ketidaknyamanan suprapubik atau
perineal atau pasien dengan resiko tinggi karsinoma kandung kemih (contoh seorang pria
perokok atau pria dengan onset urgensi dan atau urge incontinence yang baru dengan sebab yang
tidak dapat dijelaskan), harus dilakukan cystoscopy dan sitologi urin. Sitologi urin bermanfaat
untuk uji penyaringan keganasan traktus urinarius, teatpi penggunaan test sangat tergantung dari
akurasi laboratorium melakukan sitologi. Sitologi urin yang rutin tidak bermanfaat, tetapi uji ini
harus dilakukan pada wanita tua yang berusia lebih dari 50 tahun dengan gejala traktus urinarius
iritatif, terutama jika gejalanya menunjukkan onset yang mendadak. 5
Pemeriksaan urin dengan uji dipstick dan mikroskopis penting untuk menyingkirkan adanya
infeksi, kelainan metabolik, dan penyakit ginjal. Adanya hematuria harus dievaluasi dengan
sitologi, urografi intravena, dan sistoskopi. Biopsi kandung kemih harus dilakukan jika diduga
terdapat suatu keganasan.5
Diagnosis Kerja
6
Langkah pertama proses diagnosis adalah identifikasi inkontinensia urin melalui observasi
lagnsung atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan penapis. Untuk mencapai tujuan diagnosis
dilakukan pendekatan yang komprehensif beberapa aspek : riwayat penyakit, pemeriksaan fisik
terarah, urinalisis, volume residu urin pasca berkemih dan pemeriksaan penunjang khusus.2
Komponen-komponen evaluasi diagnostic dapat dilihat pada tabel 4.
Komponen-komponen Pokok Evaluasi Diagnostik Inkontinensia Urin1. Semua Pasien
Riwayat penyakit termasuk kartu catatan berkemih Pemeriksaan fisik Urinalisis
Pengukuran volume residu urin post-miksi2. Pasien Dengan Kondisi Tertentu
Laboratorium– Kultur urin
– Sitologi urin
– Gula darah, kalsium darah
– Uji fungsi ginjal
– USG ginjal Pemeriksaan ginekologik Pemeriksaan urologic Cystouretroskopi Uji Urodinamik
– Simpel : Observasi proses pengosongan kandung kemih Uji batuk Cystometri simpel
– Kompleks : Urine flowmetry Multichannel cystometrogram Pressure-flow study Leak-point pressure Urethral pressure profilometry Sphincter electromyography Video urodynamics
Tabel 4. Komponen-komponen Pokok Evaluasi Diagnostik Inkontinensia Urin2
Pemeriksaan fisik lebih ditekankan pada pemeriksaan abdomen, rectum , genital, dan
evaluasi persyarafan lumbosakral. Pemeriksaan leplvis perempuan penting untuk menemukan
7
beberapa kelainan seperti prolaps, inflamasi, keganasan. Penilaian khusus terhadap mobilitas
pasien, status mental, kemampuan mengakses toilet akan membantu penangan pasien yang
holistic. Pencatatan aktivitas berkemih baik untuk pasien rawat jalan maupun rawat inpa dapat
embantu menentukan jenis dan beratnya inkontinensia urin serta evaluasi respon terapi.2
Pengambilan sampel urin untuk dianalisis dengan cara yang benar dapat memgerikan
informasi tentang adanya infeksi, sumbatan akibat batu saluran kemih atau tumor. Pemeriksaan
rsidu urin pasca miksi baik dengan kateter maupun ultrasonografi dapatm embantuk menentukan
ada tiddaknya obstruksi saluran kemih. Bila volume residu urin lebih dari 200 cc menunjukkan
kelemahan detrusor atau obstruksi.2
Pemeriksaan-pemeriksaan dengan prosedur khusus seperti pada tabel hanya untuk kasus-
kasus dengan riwayat dan pemeriksaan fisik sebagai berikut : operai atau radiasi daerah
urigenital bawah, infkeski saluran kemih berulang, prolaps berat, hipertrofi prostat atau kanker,
gagalnya kateteriasai nomor 14, volume residu urin pasca miksi > 200 ml, hematuria tanpa
petunjuk infeksi saluran kemih, dan gagal terapi yang telah diberikan.2
Hal yang penting dalam menilai wanita dengan inkontinensia urine adalah dengan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Pemeriksaan awal tidak selalu diagnostik, tetapi informasi
yang didapat akan menuntun klinisi dalm memilih test diagnostik yang diperlukan.
Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan abdomen, vaginal, pelvis, rektal dan
penilaian neurologis. Pada pemeriksaan abdomen bisa didapatkan distensi kandung kemih, yang
menunjukkan suatu inkontinensia luapan, dan dikonfirmasi dengan kateterisasi. Inspekulo bisa
tampak prolaps genital, sistokel dan rektokel. Adanya urine dalam vagina terutama pasca
histerektomi mungkin mengetahui adanya massa pelvis.6
Test sederhana dapat dikerjakan setelah pemeriksaan fisik untuk membantu dalam
menentukan tindakan selanjutnya. Test Q-tip (‘the cotton swab test’), merupakan test sederhana
untuk menunjukan adanya inkontinensia stres sejati. Penderita disuruh mengosongkan kandung
kemihnya, urine ditampung. Kemudian spesimen urine diambil dengan kateterisasi. Jumlah urine
dari kencing dan kateter merupakan volume kandung kemih. Volume residual menguatkan
diagnosis inkontinensia luapan. Spesimen urine dikirim ke laboratorium.6
8
Test diagnostik lanjut yaitu sistourethroskopi dan diagnostik imaging. Sistourethroskopi
dikerjakan dengan anestesi umum maupun tanpa anestesi, dapat dilihat keadaan patologi seperti
fistula, ureter ektopik maupun divertikulum. Test urodinamik meliputi uroflowmetri dan
sistometri. Sistometri merupakan test yang paling penting, karena dapat menunjukan keadaan
kandung kemih yang hiperaktif, normal maupun hipoaktif. Diagnostik imaging meliputi USG,
CT scan dan IVP yang digunakan untuk mengidentifikasi kelainan patologi (seperti fistel/tumor)
dan kelainan anatomi (ureter ektopik).6
Test tambahan yang diperlukan untuk evaluasi diagnostik yaitu ‘Pessary Pad Test’. Penderita
minum 500 ml air selama 15 menit untuk mengisi kandung kemih. Setelah ½ 14 jam, penderita
melakukan latihan selama 45 menit dengan cara : berdiri dari duduk (10 kali), batuk (10 kali),
joging di tempat (11 kali), mengambil benda dari lantai (5 kali), dan mencuci tangan dari air
mengalir selama 1 menit. Test positif bila berat Pad sama atau lebih besar dari 1g. Test ini dapat
menunjukan adanya inkontinesia stres hanya bila tidak didapatkan kandung kemih yang tidak
stabil.6
Diagnosis banding
Inkontinensia urin kontinu biasanya disebabkan oleh fistula di antara ureter atau kandung
kemih dan vagina, atau lebih jarang, pada ureter ektopik congenital. Pada kasus fistula
ureterovagina pasien dapat mengalami perembesan urin dari vagina secara tidak sengaja di luar
kontrol terhadap kandung kemih itu sendiri, karena satu ureter tetap utuh. Pada kasus fistula
vesikovagina, kebocorannya konstan dan menyeluruh, karena kandung kemih tidak pernah terisi.
Pada kasus fistula urtetra, tetesan terjadi setelah urinasi, karena urin terkumpul di dalam vagian
selama miksturisi.9
Pada keadaan lampau, fistula traktus urinarisu sering disebabkan oleh trauma obstetric.
Sekerang ini, kebanyakan fistula terjadi akibat trauma traktus urinarius yang tidak diketahui pada
waktu pembedahan pelvis. Penyebab-penyebab lainnya meliputi keganasan, terapi radiasi bagi
kanker serviks dan trauma insidentil yang meliputi frkatur pelvis.9
Trauma langsung pada kandung kemih pada saat pembedahan menyebabkan hematuria.
Kecuali jika kandung kemih terdiri dari kateter indwelling, urin yang hilang melalui vagina dapat
tampak segera atau dalam beberapa jam di dalam periode pascaoperasi. Bila trauma bedah
9
mengurangi pasokan darah kandung kemih, nekrosis jaringan akan mendahului pembentukan
fistula. Inkontinensia urin bisa tidak terjadi sampai 7-14 hari setelah pembedahan. Tindakan
bedah yang luas karena keganasan pelvis dan iradiasi pelvis sebelumnya meningkatkan risiko
fistula vesikovaginal.9
Selain itu stress incontinence sejati dan inkontinensia urgensi sensorik. pada inkontinensia
urgensi sensorik, pasien dapat menghambat kebocoran melalui dorongan sensorik yang kuat
sedangkan pada inkontinensia urgensi motorik kebocoran tidak dapat dihambat. Stress
incontinence sejati dapat dibedakan dengan sistometri provokatif atau uretrosistometri
simultan.10
Diagnosis banding bisa juga merupakan beberapa penyakit inkontinensia yang memiliki
gejala dan sebab yang berbeda, antara lain : 1) Inkontinensia mendesak (urge incontinence).
Berkemih dapat dilakukan, tetapi orang biasanya berkemih sebelum sampai ke toilet. Mereka
tidak merasakan adanya tanda untuk berkemih. Kondisi ini terjadi karena kandung kemih
seseorang berkontraksi tanpa didahului oleh keinginan untuk berkemih. Kehilangan sensasi
untuk berkemih ini disebabkan oleh adanya penurunan fungsi persarafan yang mengatur
perkemihan.1
Penatalaksanaannya adalah dengan melakukan bladder training yang bertujuan melatih
seseorang mengembalikan kontrol berkemih. Latihan ini mencakup pengkajian yang baik
terhadap pola berkemih yang normal pada seseorang. Kemudian dilakukan suatu upaya untuk
mengikuti pola ini agar klien mencapai kontinensia sebagai tahap pertama, kemudian secara
bertahap menunda waktu untuk pergi ke toilet. Hal ini dimaksudkan agar klien dapat menahan
kemih dalam waktu yang lama.1
2) Inkontinensia overflow. Seseorang yang menderita inkontinensia overflow akan mengelu
bahwa urinnya mengalir terus-menerus. Hal ini disebabkan karena obstruksi pada saluran kemih
seperti pada pembesaran prostat atau konstipasi. Untuk pembesaran prostat yang menyebabkan
inkontinsia dibutuhkan tindakan pembedahan dan utnuk konstipasinya relative mudah diatasi.1
3) Inkontinensia refleks. Ini trejadi karena kondisi sistem saraf pusat yang ternggangu seperti
pada demensia. Dalam hal ini, pengosongan kandungk emih dipengaruhi refleks yang dirangsang
oleh pengisian. Kemampuan rasa ingin berkemih dan berhenti berkemih tidak ada.
10
Penatalaksanaannya dengan permintaan untuk miksi secara teratur setiap jam atau dengan
menggunakan kateter dan sekarang banyak digunakan diapers ukuran dewasa.1
4) Inkontinensia fungsional. Pada klien ini mempunyai kandung kemih dan saluran urin yang
utuh dan tidak mengalami kerusakan persarafan yang secara langsung memengaruhi sistem
perkemihan tersebut. Kondisi ini muncul akibat beberapa ketidakmampuan lain yang megurangi
kemampuannya untuk mempertahankan kontinensia. Seseorang yang menderita ini masih
mampu untuk memepertahankan kontinensia dengan bantuan dan masih mempuynai keinginan
untuk kontinensia. Klien perlu diberi kesempatan untuk berkemih.1
Patofisiologi
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian koordinasi
proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase yaitu fase penyimpanan
dan fase pengosongan. Diperlukan keutuhan struktur dan fungsi komponen saluran kemih
bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan.2
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali. Sfngter
uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol volunter dan disuplai oleh saraf
pudental, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah
control system saraf otonom yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak.2
Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan
submukosa dan lapisan mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih
terjadi, dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses
berkemih berlangsung. Kontraksi kandung kemih disebabkan oleh aktivitas parasimpatis yang
dipicu oleh asetikolin pada reseptor muskarinik. Sfingter uretra internal menyebabkan uretra
tertutup, sebagai akibat kerja aktivitas saraf simpatis yang dipicu oleh noradrenalin.2
Otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih.
Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medula spinalis dan pusat saraf yang
mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsang saraf
diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis kepusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat
subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi
11
sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih.
Ketika pengisian kandung kemih berlajut, rasa penggembungan kandung kemih disadari dan
pusat kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat
korikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda
pengeluaran urin.2
Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang saraf dari koteks disalurkan melalui medula
spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian
menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih.
Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot.2
Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik oleh saraf pelvis.
Otot detrusor juga mengandung reseptor prostaglandin. Prostaglandin-in-hibriting drugs dapat
mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi kandung kemih juga calsium-channel dependent.
Oleh karena itu, calcium channel blockers dapat juga mengganggu kontraksi kandung kemih.2
Inervasi sfingter uretra internal dan eksternal bersifat kompleks. Untuk memberikan
pengobatan dan penatalaksanaan inkontinensia yang efektif, petugas kesehatan harus mengerti
dasar inervasi adrenergic dari sfingter dan hubungan anatomi ureter dan kandung kemih.
Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Untuk itu , pengobatan
dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan
zat alpha-blocking (terazosin [Hytrin]) dapat mengganggu penutupan sfingter.2
Inervasi adrenergic-beta menyebabkan relaksasi sfingter uretra. Karena itu zat beta-adrenergik
blocking (propra-nolol) dapat mengganggu karena menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan
aktivitas kontraktil adrenergik-alfa.2
Komponen penting lainnya dalam mekanisme sfingter adalah hubungan uretra dengan
kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yant tepat
antara uretra dan kandung kemih. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada posisi yang
tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif
ditransmisikan ke uretra. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat
terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen.2
12
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di medulla
spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian (penyimpanan)
kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan
penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih, serta menghambat aktivitas
parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul.2
Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis
meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses
refleks ini dipengaruhi oleh system saraf yang lebih tinngi yaitu batang otak, korteks serebri dan
serebelum. Bagaimana proses neurofisiologik ini beroperasi dalam proses miksi belum diketahui
dengan jelas. Umumnya dikatakan bahwa peranan korteks serebri adalah menghambat
sedangkan batang otak dan supra spinal memfasilitasi.2
Etiologi
Perlu ditekakan sekali lagi bahwa usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin.
Mengetahui penyebab inkontinensia urin penting dalam penatalaksanaannya yang tepat. Perlu
dibedakan 4 penyebab pokok, yaitu : gangguan urologic, neurologis, fungsional/psikologis, dan
iatrogenic/klingkungan. Perlu dibedakanp pula antara inkontinensia urin akut dan kronik
(presisten).2
Inkontinensia akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut
atau problem isatrogenik yang menghilang jika kondisi akut teratasi atu problem medikasi
dihentikan. Inkontinensia presisten merujuk pada kondisi urikontinennsia yang tidak berkaitan
dengan kondsii akut/iatrogenic dan berlangsung lama. Penyebab inkontinensia urin akut dapat di
lihat dengan akronim DRIP pada tabel 6.2
Akronim untuk penyebab reversible inkontinensia urin akut
13
D DeliriumR Restricted Mobility, retentionI Infection, Inflammation, ImpactionP Polyuria, pharmaceuticals
Tabel 6. Akronim untuk penyebab reversible inkontinensia urin akut2
Ahli lain menggunakan akronim yang lebih lengkap yaitu DIAPPERS seperti terlihat pada
tabel 7.
Penyebab Inkontinensia AkutD Delirium or acute confusional state I Infection, urinaryA Atrophic vaginitis or urethritisP Pharmaceutical
Sedative hypnotic Loop diuretics Anti-cholinergic agents Alpha-adrenergic agonist and antagonist Calcium channel blochers
E Psychologic disorders : depressionR Restricted mobilityS Stoolilmpaction
Tabel 7. Penyebab Inkontiensia Akut, akronim DIAPPERS.2
Delirium merupakan gangguan konginitf akut dengan latar belakang yang beragam seperti
dehidrasi, infeksi paru, gangguan metabolisme, dan elektroit. Delirium menyebabkan proses
hambatan refleks mksi berkurang sehingga menimbulkan inkontinensia yang bersifat sementara.2
Usia lanjut dengan kecenderungan mengalami frekuensi urgensi, dan nokturia akibat proses
menua akan mengalami inkontinensia kalau terjadi gangguan mobilitas oleh karena berbagai
sebab seperti gangguan makuloskeletal, tirah baring dan perawatan di rumah sakit. Inflamasi dan
infeksi pada slauran kemih bawah akan meningkatkan kejadian frekuensi, urgensi, dan dapat
mengakibatkan inkontinensia.2
Kondisi-kondisi yang mengakibatkan poluria seperti hiperlkemia, hiperkalsemia, pemakaian
duiretika dan minum banyak dapat mencentuskan inkontinensia akut. Kondisi kelebihan cairan
14
seeperti gagal jantung kongestif, insufisiensi vena tungkai bawah akan mengakibatkan nokturia
dan inkontinensia akut malam hari.2
Penatalaksanaan
Telah dikenal beberapa modalitas terapi dalam penatalaksanaan pasien dengan inkontinensia
urin. Umumnya berupa tatalaksana non farmakologis, farmakologis, maupun pembedahan. Tidak
ada satu modalitasterapi yang dapat mengatasi semua jenis inkontinensia urin, sebaliknya satu
tipe inkontinensia urin di atasi dengan beberapa modalitas terapi bersama-sama. spectrum
modalitas terapi meliputi : terapi non farmakologis meliputi terapi suportif non spesifik (edukasi,
manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu) ; internvensi tingkah laku (latihan otot dasar
panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih, latihan kebiasaan); terapi
medikamentosa; opearasi; dan latihan kebiasaan.2
Keberhasilan penanganan pasien tergantung pada keberhasilan proses diagnosis dalam
menentukan tipe inkontinensia, faktor-faktor kontribusi reversible, dan problem medic akut.
Secara umum strategi meliputi edukasi pada pasien atau pengasuh pasien. Intervensi perilaku
meliputi bladder training, habit tranining, promted voiding, dan latihan otot dasar panggul.
Teknik-teknik canggih yang dapat melengkapi teknik behavioral ini antara lain stimulasi elektrik,
biofeedback, dan neuromodulasi.2
Bladder training merupakan salah satu terpai yang efektif di antara terapi non farmakologik
lainnya. Terpai ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik
distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali perhari atau -4 jam
sekali, pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih. Pasien diinstruksikan untuk
berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya interval berkemih
diperpanjang secara bertahap sampai pasien ingin berkemih setiap 2-3 jam. Teknik initerbukti
bermanfaat pada inkontinensia urgensi dan stress, namun untuk itu diperlukan motivasi yang
kuat dari pasien utnuk berlatih menahan keluarnya urin daan hanya berkemih pada interval
waktu tertentu saja.2
Latihan ototdasar panggul merupakan terpai yang efektif untuk inkontinensia urin tipe stress
atau campuran dan inkontinensia tipe urgensi.latihan dilakukan tiga samapi lima kali sehari
dengan 15 kotntraksi dan menahan hingga 10 detik. Penelitian uji klinik menunjukkan bahwa 56-
15
77% pasien mengalami perbaikan dalam jangka pendek dengan latihan tersebut. Terdapat pula
peneilitianyang menunjukkan bawha peningkatan perbaikan aan timbul selama paling tidak 10
tahun. latihan dilakukan dngnam embuat kontraksi berulang-ulang pada otot dasar panggul.
Dengan memperkuat otot tersebut, latihan ini diharapkan dapat meningkatkan kekuatan uretra
untuk menutup secar sempruna. Sebelum pasien menjalaini latihan, harus dilakukan terlebih
dahulu pemeriksaan vagia atau rectum umtuk menetapkan apakah mereka dapat
mengkontraksikan otot dasar panggulnya.2
Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar jadwal berkemih
sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. teknik ini sebaiknya digunakan pada inkontinesia
urin tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau pengasuh pasien.
Prompted voiding dilakukan dengan cara mengajari pasien mengelali kondisi ata ustatus
kontinensia mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.
Teknik ini digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif.2
Terapi biofeedback bertujuan agar pasien mampu mengontrol/ menahan kontraksi
involunteer otot detrusor kandung kemihnya. Carai biofeedback mempunyai kendala karena
penderita perlu mempunyai intelegensia yang cukup untuk dapat mengikuti petunjuk pelatihnya,
semtnara pelatihnya sendiri harus mempunyai kesadaran dan motivasi yang tinggi karena waktu
yang diperlukan untuk dapat mendidik satu orang pasien dengan cara ini cukup lama.2
Stimulasi elektrik mmerupakan terpai yang menggunakan dasar kejutan kontraksi otot pelvis
dengan menggunakan alat-alat bantu pada vagina atau rectum. Neuromodulasi merupakan terapi
dengan menggunakan stimulasi saraf sakral. Mekanisme yang pasti dari teknik ini masih bbelum
diketahui, tetapi diduga karena adanya kegiatan interneuron tulang belakang atau neuron
adrenergic beta yang menghambat kegiatan kandung kemih. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa neuromodulasi merupakan salah satu cara penatalaksanaan kandung kemih hiperaktif
yang berhasil.2
Penggunaan keteter menetap (indwelling catheter) tsebaiknya tidak digunakan secara rutin
dalam pengelolaan inkontinensia urin karena dapat terjadi infeksi saluran kemih bahkan sampai
sepsis, pembentukan batu, abses, dan bocor. Kateter menetap ini dapat digunakan bila terjadi
retensi urin yang lama sehingga menyebabkan infeksi saluran kemih atau gangguan ginjal. katetr
16
intermitten merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih.
Teknik ini diajarkan kepada pasien yang tidak dapat mengosongkna kandung kmeih. Namun
demikian teknik ini berisiko untuk terjadinya infeksi saluran kemih. Pilihan terapi primer yang
ditujukan untuk mengatasi tipe inkontinensia dapat dilihat pada tabel 8.
Terapi Primer untuk Berbagai Tipe Inkontinensia UrinTipe Inkontinensia Terapi PrimerStress - Latihan Kegel
- Agonis adrenergik α- Estrogen- Injeksi periuretral
Urgenal - Operasi bagian leher kandung kemih- Relaksan kandung kemih
Luber (overflow) - Estrongen- Bladder training
Fungsional - Operasi untuk menghilangkan sumbatan- Bladder training- Kateterisasi intermitten- Kateterisasi menetap- Intervensi behavioral- Manipulasi lingkungan- Pads
Tabel 8. Terapi Primer untuk Berbagai Tipe Inkontinensia Urin2
Terapi farmakologis atau medikamentosa telah dibuktikan mempunyai efek yang baik
terhadap inkontinensia urin tipe urge dan stress. Obat-obat yang dipergunakan dapat digolongkan
menjadi: antikolinergik antispasmodic, agonis adenergik α, estrogen topical, dan antagonis
adrenergic α. Pada semua obat yang digunakan untuk terpai inkontinensia urin, efek samping
harus diperhatikan apabila dipergunakan pada pasien geriatric seperti mulut kering, mata kabur,
peningkatan tekanan bola mata, konstipasi dan delirium. Sementara orbat yang lain dapat
menimbulkan hipotensi postural, bradikardia, sakit kepala, dan lain-lain. Daftar obat dapat dilihat
pada tabel 9.
Obat Dosis Tipe Inkontinensia Efek Samping
17
Hyoscamin 3 x 0125 mg Urge atau campuran Mulut kering, mata kabur, glaucoma, delirium, konstipasi
Tolterodin 2 x 4 mg Urgensi dan OAB Mulut kering, konstipasi
Imimpramin 3 x 25-50 mg Urgensi Delirium, hipotensi ortosattik
Pseudoephedrin 3 x 30-60 mg Stress Sakit kepala, takikardi, tekanan darah tinggi
Topikal estrogen Urgensi dan stress Iritasi lokal
Doxazosin 4 x 1-4 mg BPH dengan urgensi Hipotensi postural
Tamsulosin 1 x 0,4-0,8 mg
Terazosin 4 x 1-5 mg
Tabel 9. Obat-obat yang Dipakai untuk Inkontinensia Urin2
Obat fenilpropanolamin saat ini dihentikan penggunaannya untuk inkontinensia urin tipe
stress karena uji klinik menunjukkan adanya peningkatan risiko strok. Pseudofedrin dapat
digunakan untuk tatalaksana inkontinensia tupe stress karena meningkatkan tekanan sfingter
uretra, sehingga menghambat pengeluaran urin. Pseudoeferdrin memiliki efek samping seperti
insomnia, sakit kepala, dan gugup/gelisah. Penggunaaannya harus amat hati-hati pada pasien
dengan hipertensi, aritmia jantung, dan angina. Dengan demikian penggunaannya jarang ditemui
pada orang usia lanjut.2
Antikolinergik dapat digunakan untuk tatalaksana inkontinesia urgensi. Oksibutinin memiliki
efek antikolinergik dan merelaksasikan otot halus. Tolterodin merupakan kometitif bloker
reseptor M3. Uji klinik menunjukkan bahwa oksibutinin dan tolterodin menyebabkan penurunan
frekuensi inkontinensia urgensi dibandingkan dengan plasebo. Pemberian dosis sehari sekali
berhubungan degan efek samping yang lebih rendah khususnya efek mulut kering. Beberapa efek
samping antikolinergi adalah xerostomia, seroftalmia, konstipasi, gangguan penglihatan,
sedative, retensi ruin, insomnia, takikardia, ortostasis, kebingungan, dan delirium., tolterodin
lebih selektif untuk reseptor muskarinik dikandung kemih dapi pada kelenjar parotis.2
Tindakan operatif pada perempuan dengan prolaps pelvik yang signifikan dan inkontinensia
tipe stress yang tidak membnaik dengan penanganan konservatif harus dilakukan upaya operatif.
18
Pada laki-laki dengan tanda obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat dilakukan
operasi sebagi upaya pencegahan inkontinensia tipe overflow di kemudian hari.2
Faktor Risiko
Prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring meningkatnya usia. Inkontinensia urin lebih
banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Usia lanjut seringkali memiliki kondisi
mediky ang dapat mengganggu proses berkemih yang secara langsung memengaruhi fungsi
saluran berkemih, perubahan status volume dan ekskresi urin, atau gangguan kemampuan untuk
ke jamban. Pada orang usia lanjut di masyarakat, inkontinensia urin dikaitkan dengan depresi,
transient ischaemic attacks dan strok, gagal jantung kongestif, konstipasi dan inkontinensia
feses, obesitas, penyakit paru obstruktif kronik, batuk kronik, dan gangguan mobilitas, demensia,
depresim strok, diabetes, dan Parkinson.2
Risiko inkontinensia urin meningkat pada perempuan dengan nilai indeks massa tubuh yang
lebih besar, dengan riwayat histerktomi, infeksi urin, dan trauma perneal. Melahirkan per
vaginam akan meningkatkan risiko inkontinensia urint ipe stress dan tipe campuran. 2
Penelitian terhadap 5418 usia lanjut di luar negeri mendapatkan tiga faktor resiko ang dapat
dimodifikasi dan berhubungan secara bermakna denan inkontinensia urin, yaitu infeksi saluran
kemih, keterbatasan aktivitas, dan faktor gangguan lingkungan.2
Prognosis
Pengobatan inkontinensia dapat berupa pembedahan, terapi medikamentosa atau kombinasi
keduanya. Inkontinensia berat jarang dapat disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa.
Teknik pembedahan yang memuaskan pada awalnya dapat diikuti oleh kekampbuhan setelah
beberapa tahun karena efek penuaan dan prose penyakit lain yang memengaruhi mekanisme
kontiensia.10
Senam isotonic Kegel terdiri atas kontraksi berulang otot-otot pubokoksigeus untuk menekan
otot-otot yang digunakan untuk menghentikan pengeluaran urin sebanyak 150 – 200 kali sehari.
Perbaikan yang nyata terlihat pada 15-30 % pasien dengan stress incontinence sejati, sedangkan
perbaikan sedang terlihat pada 30-40 laiinya.10
19
Jika penyebab inkontinensia adalah perubahan atrofik akibat defisiensi estrongen, pemberian
terapi estrogen pengganti akan menghasilkan stress incontinence pada 10-30% wanita
pascamenopause. Metode lain cukup memuaskan, seperti stimulasi listrik pada dasar panggul
untuk meningkatkan tekanan penutupan uretra atau penyuntikan Teflon peruretra untuk
menekan mukosa uretra dan menyebabkan obstruksi ringan pada aliran urin.10
Sasaran tindakan pembedahan pada inkontinensia adalah untuk meningkatkan dan menopang
sambungan uretrovesika untuk memerbaiki penghantaran tekanan ke uretra selama dilakukan
perasat pembebanan. Angka kesembuhan untuk tindakan per abdominal adalah 8590 % dan
untuk tindakan pervaginam 75-85%.10
Teknik modifikasi perilaku menggunakan hipnotis, biofeedback, latihan kandung kemih yang
rutin dan psikoterapi mungkin efektif jika tidak ada penyakit neurologis yang menyebabkan
ketidakstabilan kandung kemih. Tindakan ini efektif hampir 0 % pasien tetapi memerlukan
kerjasama pasien yang kuat dan angka kekambuhannya tinggi. Pengobatan akan membantu pada
50-80% pasien. Obat yang paling efektif adalah zat antikolinergik terapi analgesic kandung
kemih, antispasmodik otot polos, penghambat saluran kaslium dan penghambat sintetase
prostalglandin juga efektif.10
Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik yang diperlukan mempunyai hasil yang
baik untuk menegakkan diagnosis gangguan ini. Jenis 18 inkontinensia urine yang utama yaitu
inkontinensia stres, desakan, luapan dan fistula urine. Penatalaksanaan konservatif dilakukan
pada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi bedah. Bila dasar inkontinensia neurogen
atau mental maka pengobatan disesuaikan dengan faktor penyebab.
Daftar Pustaka
1. Maryam RS, Ekasari MF, Rosidawati, Jubaedi A, Batubara I. Mengenal usia lanjut dan
perawatannya. Jakarta : Salemba Medika, 2008.
20
2. Setiati S, Roosheroe AG. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Inkontinensia urin dan kandung
kemih hiperaktif. Jilid ke-2. Edisi ke-5. Jakarta : Interna Publishing, 2009.
3. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta : EGC, 2004.
4. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison. Prinsip-
prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi ke-13. Volume ke-1. Jakarta : EGC, 1999.
5. Vitriana. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan
Sadikin FK-UI/ RSUPN dr Ciptomangunkusumo. Evaluasi dan manajemen medis
inkontinensia urin. Diunduh dari
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/evaluasi_dan_manajemen_medis_inko
ntinensia_urin.pdf, 14 Januari 2012.
6. Inkontinensia urin [editor]. Diunduh dari
http://digilib.unsri.ac.id/download/INKONTINENSIA%20URINE.pdf, 14 Januari 2012.
7. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga, 2008.
8. Suparman E, Rompas E. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sam Ratulangi/ RSU Prof. Dr. R.D Kondou Manado. Inkontinensia urin pada perempuan
menopause. Diunduh dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/321084854.pdf ,14 Januari
2012.
9. Taber, Ben-Zion. Kapita selekta kedaruratan obstetric dan ginekologi. Jakarta : EGC 1994.
10. Benzon RC, Pernoll ML. Buku saku Obstetri dan Ginekologi. Edisi ke-9. Jakarta : EGC,
2009.
21