inkontinensia urin pbl blok 13

28
Inkontinensia Urin Stress dan Urgensi pada Manula I Made Marshall Handisurya 102013353/B4 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Semester 3 Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11470 Email: [email protected] Pendahuluan Inkontinensia urin merupakan salah satu masalah kesehatan pada penderita lanjut usia, khususnya wanita. Masalah kesehatan ini seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya, antara lain karena menganggap bahwa masalah tersebut merupakan masalah yang memalukan dan tabu untuk dibicarakan atau juga karena ketidaktahuan mengenai masalah inkontinensia urin dan menganggap bahwa kondisi tersebut sesuatu yang wajar terjadi pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Dari aspek klinis praktis, inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya. Variasi dari inkontinensia urin meliputi dari kadang-kadang keluar beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak.

Upload: marshall-handisurya

Post on 29-Sep-2015

50 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

PBL blok 13 Inkontinensia manula

TRANSCRIPT

Inkontinensia Urin Stress dan Urgensi pada ManulaI Made Marshall Handisurya102013353/B4Mahasiswa Fakultas Kedokteran Semester 3 Universitas Kristen Krida WacanaJalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11470Email: [email protected]

PendahuluanInkontinensia urin merupakan salah satu masalah kesehatan pada penderita lanjut usia, khususnya wanita. Masalah kesehatan ini seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya, antara lain karena menganggap bahwa masalah tersebut merupakan masalah yang memalukan dan tabu untuk dibicarakan atau juga karena ketidaktahuan mengenai masalah inkontinensia urin dan menganggap bahwa kondisi tersebut sesuatu yang wajar terjadi pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Dari aspek klinis praktis, inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya. Variasi dari inkontinensia urin meliputi dari kadang-kadang keluar beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak.Kurangnya pemahaman tenaga profesional kesehatan tentang pilihan intervensi menyebabkan kurang tepatnya terapi untuk kondisi ini dengan konsekuensi yang serius pada pasien-pasien berusia lanjut. Terapi inkontinensia urin secara dini dan efektif diperlukan untuk mengembalikan fungsi fisik dan emosional orang yang menderitanya. Selain itu, pemahaman yang lebih baik tentang masalah inkontinensia urin ini juga akan turut membantu usaha mengatasi gangguan ini. 1

Anamnesis 2Kemahiran mengambil anamnesis tentang keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang pasien memerlukan kecermatan supaya jangan sampai informasi mengenai keluhan utama justru bukan keluhan utama sebenarnya. Bagi pasien dengan masalah inkontinensia urin, yang perlu ditanyakan semasa anamnesa adalah:a. Identitas pasien Nama lengkap, tempat/tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaaan, suku bangsa, agama, pendidikan dan alamat tempat tinggal. Digunakan untuk data penelitian, asuransi, dan sebagainya.b. Keluhan utama Keluhan yang mendorong pasien untuk berobat.Contoh dari kasus : tidak dapat menahan kencing.c. Riwayat penyakit sekarang Merupakan ceritera yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan.Bagi masalah inkontinensia urin, hal-hal yang ditanyakan adalah: Lama inkontinensia Keadaan yang menyebabkan kebocoran urin : rasa urgensi, batuk, tegang. Gejala penyimpanan kandung kemih: frekuensi, urgensi, nokturia. Gejala berkemih: aliran urin yang keluar lambat, hanya keluar beberapa tetes urin.d. Riwayat penyakit dahulu Bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang.

e. Riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat mempengaruhi traktus urinarius bagian bawah.

Pemeriksaan Fisik3Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan membantu menetapkan patofisiologinya.Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu harus dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi neurologis, dan pelvis (pada wanita) sangat diperlukan. Pemeriksaan tanda vital Pemeriksaan status mental :Status mental seperti kesadaran, orientasi, kemampuan bicara dan memori jangka pendek dan panjang, pemahaman harus diketahui. Kelainan berkemih dapat disebabkan sekunder atau diperburuk karena adanya disorientasi, ketidakmampuan untuk berkomunikasi, atau kurangnya pemahaman saat pasien diminta untuk berkemih.Dalam skenario, didapatkan kesadaran wanita 70 tahun itu adalah compos mentis di mana keadaan sistem sensorik utuh, ada waktu tidur dan sadar penuh serta aktivitas yang teratur. Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh, rasa nyeri, massa, atau riwayat pembedahan. Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika memeriksa genitalia. Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk mendapatkan adanya obstipasi atau skibala, dan evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks bulbokavernosus. Nodul prostat dapat dikenali pada saat pemeriksaan rectum. Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa, tonus otot, prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel. Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksan sensasi perineum, tonus anus, dan refles bulbokavernosus. Pemeriksaan neurologis juga perlu mengevaluasi penyakit-penyakit yang dapat diobati seperti kompresi medula spinalis dan penyakit parkinson.

Pemeriksaan fisik seyogyanya juga meliputi pengkajian tehadap status fungsional dan kognitif, memperhatikan apakah pasien menyadari keinginan untuk berkemih dan mengunakan toilet.3

Pemeriksaan PenunjangUji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal.Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis.Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin.Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan.Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih.Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri.Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.

Tes diagnostikMenurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia. Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara:Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.UrinalisisDilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah : Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi. Tes urodinamik --> untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah Tes tekanan urethra --> mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dinamis. Imaging --> tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.3

Diagnosis KerjaPada kasus ini, pasien menderita inkontinentia campuran (inkontinentia stress dan inkontinentia urgensi). Dikarenakan inkontinentia stress dapat terjadi akibat outlet kandung kemih atau sfingter yang tidak kompeten. Apa saja yang mengakibatkan tambahan tekanan intra-abdominal. Tambahan tekanan intra-abdominal dapat terjadi akibat obesitas, kehamilan, mengangkat barang berat, batuk, bersin, tertawa, gerak badan, dan seterusnya.Sedangkan inkontinentia urgensi dikaitkan pengeluaran urine yang tidak dapat ditahan dan segera keluar (urgensi).Kelainan ini dibagi 2 subtipe yaitu motorik dan sensorik. Subtipe motorik disebabkan oleh lesi pada sistem saraf pusat seperti stroke, parkinson, tumor otak dan sklerosis multiple atau adanya lesi pada medula spinalis suprasakral, subtipe semsorik disebabkan oleh hipersensitivitas kandung kemih akibat sinsitis, uretritis dan divertikulitis.3

Diagnosis BandingInkontinensia OverflowInkontinensia overflow merupakan hilangnya kendali miksi involunter yang berhubungan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini dapat terjadi secara sekunder dari kerusakan otot detrusor yang memicu kelemahan detrusor. Selain itu obstruksi uretra juga dapat memicu distensi kandung kemih dan inkontinensi overflow. Inkontinensia overflow terjadi pada keadaan kandung kemih yang lumpuh akut atau kronik yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih dapat naik tinggi, meningkatnya tegangan kandung kemih akibat obstruksi prostat hipertrofi pada laki-laki atau lemahnya otot detrusor akibat diabetes melitus, trauma medula spinalis, obat-obatan. Manifestasi klinisnya berupa pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna mengakibatkan urine menetes lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes.

Inkontinensia FungsionalInkontinensia urin tipe fungsional terjadi akibat penurunan berat fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi biasanya pada demensia berat, penglihatan yang buruk, keengganan ke toilet karena depresi, kecemasan atau kemarahan, drunkeness, atau berada dalam situasi di mana tidak mungkin untuk mencapai toilet,gangguan mobiditas, gangguan neurologik dan psikologik.3

Gambaran KlinisPada inkontinensia urin gambaran umum adalah ketidakmampuan untuk menahan kemih sehingga secara tanpa sengaja terjadi proses berkemih tersebut. Penderita umumnya tidak sadar akan kondisinya. Yang dapat kita lihat adalah tanda bekas miksi di celana maupun rok pasien. Urine yang tersisa sering menimbulkan bau amoniak yang tajam dan khas sehingga kerapkali menurunkan kepercayaan diri pasien bila berada di hadapan orang banyak.

Pada inkontinensia urin tipe urgensi umumnya ditandai dengan ketidamampuan pasien untuk menunda berkemih bila sensasi berkemih muncul. Akibatnya pasien sering kencing, terutama pada malam hari (nokturia).Pada inkontinensia urin tipe stress ciri yang paling khas adalah ketidakmampuan menahan kemih pada saat peninggian tekanan intraabdomen seperti batuk, bersin dan tertawa.4

Inkontinensia urin tipe overflow merupakan inkontinensia yang ditandai dengan sering berkemihnya pasien pada malam hari dengan jumlah urin yang kecil. Yang dapat menjadi pembeda antara inkontinensia tipe ini dengan tipe urgensi dan tipe stress adalah sisa urin setelah berkemih yang dapat mencapai 450 cc. Pada laki-laki juga dapat terjadi inkontinensia overflow akibat hipertrofi prostat. Hal ini dapat dideteksi dengan frekuensi miksi yang sering namun volume urin kecil dan dapat tampak urin yang menetes setelah berkemih.

Pasien dengan inkontinesia urin tipe fungsional sering disertai dengan gangguan fisik yang berat seperti gangguan mobilitas (artritis genu, kontraktur), demensia berat, gangguan neurologik dan psikologik. Pasien ini umumnya sangat lemah mobilitasnya sehingga tidak dapat mencapai tempat untuk berkemih seperti toilet. Oleh karena itu dalam penatalaksanaanya nanti harus dipikirkan bagaimana cara mengatasi toilet yang jauh, seperti dengan melakukan kateterisasi.

Setelah memperhatikan gejala yang mungkin timbul, kita juga dapat menentukan apakah ada kemungkinan adanya inkontinensia campuran pada pasien dengan memperhatikan ciri dari tiap tipe tersebut.

EtiologiSeiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni.Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi.Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika.Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen topical.Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi.Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif.Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab.Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai.Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas.Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat.Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya.Obat-obatan ini bisa sebagai biang keladi mengompol pada orang-orang tua.Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat.Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik.Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU.Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan.Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.4

EpidemiologiKasus inkontinensia urin cenderung tidak dilaporkan, karena penderita merasa malu dan menganggap tidak ada yang dapat dilakukan untuk menolongnya. Penderita juga mendapat benturan sosial yaitu kondisi masyarakat sekitar yang akan menjauhinya bila ia diketahui menderita penyakit ini. Penelitian epidemiologi terhadap penyakit ini pun sulit untuk dilakukan karena beragamnya subjek penelitian, metode kuisioner dan definisi inkontinensia yang digunakan. Namun secara umum prevalensinya meningkat sesuai dengan pertambahan umur. Sekitar 50% lansia di instalasi perawatan kronis dan 11-30% di masyarakat mengalami inkontinensia urin. Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin daripada laki-laki dengan perbandingan 1,5:1 . Survei yang dilakukan oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo di Poliklinik Geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (2003) terhadap 179 pasien geriatri mendapatkan angka kejadian inkontinensia urin tipe stres pada laki-laki sebesar 20,5% dan perempuan sebesar 32,5%. Sedangkan hasil penelitian di India terhadap 3000 wanita berbagai umur menunjukkan bahwa prevalensi inkontinensia urin sebesar 21,8% dan 42,8% nya memiliki usia 61-70 tahun 5,6. Berdasarkan survei oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSCM tahun 2002 pada 208 orang usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga di Jakarta, didapati bahwa angka inkontinensia stress mencapai 32,2%. Sedangkan survei yang dilakukan oleh Poliklinik Geriatri RSCM pada tahun 2003 terhadap 179 pasien didapati angka kejadian inkontinensia urin stress pada laki-laki sebesar 20,5% dan pada perempuan sebesar 32,5%.

Pada penelitian yang dilakukan di Australia, didapatkan 7% pria dan 12% wanita diatas usia 70 tahun mengalami inkontinensia. Sedangkan mereka yang dirawat, terutama di unit psiko-geriatri, 15-50% diantaranya menderita inkontinensia. Sedangkan melalui penelitiannya, seorang ahli bernama Fonda mendapatkan 10% pria dan 15% wanita diatas 65 tahun di Australia menderita inkontinensia.

Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat oleh National Overactive Bladder Evaluation (NOBLE) dengan 5204 orang sebagainya sampelnya, menyimpulkan suatu perkiraan bahwa 14,8 juta perempuan dewasa di Amerika Serikat menderita inkontinensia urin dengan sepertiganya (34,4%) merupakan inkontinensia urin tipe campuran. 7

Seorang ahli bernama Dioko serta timnya melakukan penelitian pada 1150 orang secara acak dan mendapati 434 orang diantaranya menderita inkontinensia urin. Dari mereka yang mengalami inkontinensia urin, didapati bahwa 55,5% diantaranya merupakan tipe campuran, 26,7% merupakan tipe stress saja, 9% tipe urgensi saja dan 8,8% memiliki komplikasi lain.

Seringkali penderita inkontinensia berpikir dengan mengurangi asupan cairan berupa minuman akan mengurangi frekuensi miksi. Namun hal ini akan berbahaya karena menganggu keseimbangan cairan dan elektrolit. Kapasitas kandung kemih pun semakin lama akan semakin menurun yang justru akan memperberat keluhan inkontinensianya. Sebenarnya bila penyakit ini diobati secara tepat maka inkontinensianya dapat diupayakan menjadi lebih ringan sehingga penderita menjadi lebih nyaman dan memudahkan juga bagi yang merawat serta mengurangi kemungkinan komplikasi serta biaya perawatan. 8Prevalensi inkontinensia urin sulit ditentukan dengan pasti.Hal ini disebabkan karena hasil penelitian epidemiologi yang beragam dalam subjek penelitian, metode kuesioner, dan definisi inkoninensia urin yang digunakan. Sekitar 50% usia lanjut di instalasi perawatan kronis dan 11-30% di masyarakat mengalami inkontinensia urin. Prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan umur. Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin daripada laki-laki dengan perbandingan 1,5 : 1.9

Fisiologi berkemihPusat pengaturan refleks berkemih diatur di medula spinalis segmen sakral. Proses berkemih dibagi menjadi 2 fase yaitu fase pengisian dan fase pengosongan. Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang menyebabkan penutupan katup leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih, serta penghambatan saraf parasimpatis. Pada fase pengosongan, aktifitas simpatis dan somatik menutun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih.

Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase yaitu, fase pengisisan, dengan kandung kemih berfungsi sebagai reservoar urine yang masuk secara berangsur-angsur dari ureter, dan fase miksi dengan kandung kemih befungsi sebagai pompa serta menuangkan urin melalui uretra dalam waktu relatif singkat. Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urin, walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intraabdomen meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing. Peningkatan isi kandung kemih memperbesar keinginan ini dan pada keadaan normal tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung kemih tetap relaksasi sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan kontraksi untuk menutup aliran ke uretra. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi relaksasi mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan urin memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase pengeluaran. Pada kedua fase itu urin tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks).Proses berkemih normal melibatkan mekanisme volunter dan involunter. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah kontrol volunter dan disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan m. detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisan mukosa.

Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medula spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara urethra dan kandung kemih. Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanna intraabdomen secara efektif ditrasmisikan ke ureter. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intraabdomen. Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di medula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inversi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum.10

PatofisiologiProses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian koordinasi proses fisiologik yakni fase penyimpanan dan fase pengosongan. Ketika pengisian kandung kemih terjadi, otot dalam kandung kemih yang dinamakan muskulus detrusor berelaksasi, sebaliknya saat pengosongan. Kontraksi kandung kemih disebabkan karena aktivitas parasimpatis yang dipicu oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik. Sphincter uretra internal akan tertutup karena akvitas saraf simpatis yang dipicu oleh nor-adrenalin.Invervasi sphincter uretra interna dan eksterna terjadi oleh persarafan nervus pudendal somatik setinggi sakral 4. Pada inkontinensia urin, inervasi tidak terjadi dengan baik menyebabkan uretra tidak dapat menutup dengan baik sehingga urin dapat keluar, yang dapat menyebkan inkontinensia urin tipe urgensi akibat tidak dapat menahan keinginan berkemih dan dengan melemasnya sphincter uretra eksterna (dipersarafi oleh saraf motorik). Sebaliknya, dengan pemberian adrenergik-alfa dapat menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Atau apabila adanya tekanan intra abdomen dan kandung kemih yang penuh serta dengan otot serat dasar pelvis yang tidak suportif lagi menyebabkan urin dapat keluar menyebabkan inkontinensia stress (akibat adanya tekanan intra abdominal yang naik).5

OsteoartritisOsteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh adanya deteriorasi dan abrasirawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan persendiaan. EtiologiOsteoartritis masih belum dapat diketahui secara jelas. Beberapa faktor yang dianggapsebagai pemicu timbulnya osteoartritis diantaranya faktor umur, jenis kelamin, suku bangsa

genetik, kegemukan, dan penyakit metabolik, cedera sendi, dan jenis pekerjaan. Gangguan penyakit ini lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria, terutama wanita berusialebih dari 45 tahun. Penyakit ini pernah dianggap sebagai suatu proses penuaan normal, sebabinsidens bertambah dengan meningkatnya usia. Sendi yang paling sering terserang adalahsendi-sendi yang harus memikul beban tubuh, antara lain lutut, panggul, vertebra lumbal danservikal, dan sendi-sendi pada jari.11,12

Penatalaksanaan13Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis.Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.

1. Terapi non farmakologiDilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah: Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara:Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri 10 kali, ke depan ke belakang 10 kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam 10 kali.Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan 10 kali.Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.

2. Terapi farmakologi Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.

Jenis obatMekanismeTipe inkontinensiaEfek sampingNama obat dan Dosis

Antikoligernik &antispasmodicMeningkatkan kapasitas vesika urinaria dan mengurangi involunter vesika urinariaUrgensi atau stress dengan instabilitas detrusor atau hiperrefleksiaMulut kering, penglihatan kabur, peningkatan TIO, konstipasi dan delirium.Oksibutinin: 2,5-5 mg tidTolterodine: 2 mg bidDicyclomine: 10 20 mgImipramine: 10 -50 mg tid

-Adrenergik agonisMeningkatkan kontraksi otot polos urethraTipe stress dengan kelemahan sphinterSakit kepala, takikardi, peningkatan tekanan darahPseudofedrin: 15 30 mg tidPhenylpropanolamine: 75 mg bidImipramine: 10 50 mg tid

Estrogen agonisMeningkatkan aliran darah periurethraTipe stress, tipe urgensi yang berhubungan dengan vaginitis atropiKanker endometrial, peningkatan tekanan darah, batu saluran kemihOral: 0,625 mg/hrTopical: 0,5 1,0 gr/aplikasi

Kolinergik agonisMenstimulasi kontraksi vesica urinariaTipe luapan atau overflow dengan vesika urinaria atonikBradikardi, hipotensi, bronkokontriksi, sekresi asam lambungBethanechol: 10 30 mg tid

-Adrenergik antagonisMerelaksasi otot polos urethra dan kapsul prostatTipe luapan dan urgensi yang berhubungan dengan pembesaran prostatHipotensi posturalTetrasozine: 1 10 mg/hr

Terapi pembedahanTerapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).

Modalitas lainSambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan.

PampersDapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.

KateterKateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu.Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih.Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih.Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.Alat bantu toiletSeperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.

KomplikasiInkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet pada area bokong sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan fraktur akibat terpeleset oleh urin yang tercecer.4

Morbiditas yang berhubungan dengan inkontinensia urin termasuk jatuh (dan attendant fracture), infeksi kulit dan pressure ulcers. Yang paling penting adalah dampak masalah inkontinensia urin ini pada domain kualitas hidup, termasuk tekanan psikologis (penurunan harga diri, khawatir tentang keberkesanan strategi mengatasi masalah inkontinensia urin), gangguan interaksi sosial (di tempat kerja, waktu luang) dan keterbatasan aktifitas.5

PencegahanPenghindaran dan perawatan faktor resiko dan faktor yang berhubungan dengan inkontinensia urin mungkin bisa membantu untuk mencegah masalah ini. Terdapat beberapa ahli yang menyarankan strategi umum seperti tidak menahan diri dari berkemih untuk waktu yang lama, mengelakkan minuman diuretik, pemanis buatan dan asupan cairan yang berlebihan serta mengendalikan konstipasi. 14 Kebiasaan berkemih yang teratur Akses mudah ke toilet Pembatasan cairan (terutama cafein) Perlindungan dari infeksi saluran urin (UTI).13

Prognosis Inkontinensia urin tipe sterss biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar panggul, prognesia cukup baik. Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive blader umumnya dapat diperbaiki dengan obat obat golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik. Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan mengatasi sumbatan / retensi urin).15

KesimpulanPada skenario, pasien menderita inkontinensia tipe campuran. Disebabkan karena melemahnya otot dasar panggul sehingga tidak dapat menahan tekanan intraabdomen (tipe stress) dan oversensitivitas dari kandung kemih (tipe urgensi).

Daftar Pustaka1. Pinem, Lina Herida, Efektifitas Paket Latihan Mandiri terhadap Pencegahan Inkontinensia Urin pada ibu Post Partum di Bogor. Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Kekhususan Ilmu Keperawatan. Universitas Indonesia; 20092. Nah YK, Hidayat D, Hudyono J, Santoso M. Buku panduan ketrampilan medik (skill-lab) semester 1. Jakarta (Indonesia): Fakultas Kedokteran Krida Wacana; 2009. h.583. Darmojo B. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2009 (h)258-64.4. Maryam S. Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba Medika, 2008 (h)865-75.5. Setiati S, Pramantara DP. Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiadi S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.865-74.6. Urol IJ. Prevalence and risk factors of urinary incontinence in Indian women: A hospital-based survey. Indian Journal of Urology. 2013; 29(1): 31367. Landefeld CS, Palmer RM, Johnson MA, Johnston CB, Lyons WL. Current geriatric diagnosis and treatment. 1st ed. USA: McGraw Hill;2004.8. Sudoyo AW. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi 4. Jakarta (Indonesia): Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2006. h.1402-6.9. Santoso BI. Inkontinensia urin pada perempuan. Jakarta: MKI, 2008 (h)258.

10. Ocallaghan CA. The renal system at a glance. 2nd ed. Jakarta: erlangga; 2006.11. Juanda HA. Solusi tepat bagi penderita TORCH. Solo: PT Wangsa Jatra Lesatari;2007.h.19.6. 12. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6Volume 2. Jakarta: EGC; 2012.h.1380-9.13. Sulistia G, Rianto S, Elysabeth, dkk. Farmakologi dan terapi, Edisi 5. Jakarta: FKUI, 2005 (h)361-72.14. Martono HH, Panarka K. Buku ajar geriatri. Edisi 4. Indonesia: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2009. h. 234-615. Baradero M, Dayrit MW, Siswadi Y. Klien gangguan ginjal. Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2005 (h)671-8.