manifestasi kardiopulmoner pada kondisi sistemik

19
TUGAS KEPANITERAAN KLINIK MANIFESTASI KARDIOPULMONER PADA KONDISI SISTEMIK Oleh : M. Murdiansyah 03.37474.00130.09 Ramdhan Gautama 06.55351.00294.09 Pembimbing : dr. Satria Sewu Sp. An LABORATORIUM ANESTESI DAN REANIMASI

Upload: ramdhan-gautama

Post on 28-Jun-2015

264 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

TUGAS KEPANITERAAN KLINIKMANIFESTASI KARDIOPULMONER PADA KONDISI SISTEMIKOleh : M. Murdiansyah 03.37474.00130.09 Ramdhan Gautama 06.55351.00294.09Pembimbing : dr. Satria Sewu Sp. AnLABORATORIUM ANESTESI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN RSUD AW SJAHRANIE SAMARINDA 2010MANIFESTASI KARDIOPULMONER PADA KONDISI SISTEMIK Bab ini menjelaskan konsekuensi cardiopulmonary pada penyakit sistemik. Penyakit sistemik penyakit dapat secara signifikan mempengaruhi transpor oks

TRANSCRIPT

Page 1: Manifestasi Kardiopulmoner pada Kondisi Sistemik

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

MANIFESTASI KARDIOPULMONER PADA KONDISI SISTEMIK

Oleh :M. Murdiansyah 03.37474.00130.09

Ramdhan Gautama 06.55351.00294.09

Pembimbing :

dr. Satria Sewu Sp. An

LABORATORIUM ANESTESI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN RSUD AW SJAHRANIE SAMARINDA

2010

Page 2: Manifestasi Kardiopulmoner pada Kondisi Sistemik

MANIFESTASI KARDIOPULMONER PADA KONDISI SISTEMIK

Bab ini menjelaskan konsekuensi cardiopulmonary pada penyakit sistemik. Penyakit sistemik penyakit dapat secara signifikan mempengaruhi transpor oksigen baik secara langsung maupun kombinasi dengan disfungsi cardiopulmonary primer. Meskipun efek ini dapat sebagai catasthropic sebagai hasil dari disfungsi cardiopulmonary primer, kemunculannya sering tidak tampak dan dapat terhindar dari deteksi sampai penurunan yang signifikan terlihat. Komplikasi paru dan pleura akibat penyakit jantung dan komplikasi jantung akibat penyakit paru dijelaskan terlebih dahulu. Lalu komplikasi cardiopulmonary melibatkan sistem berikut : muskuloskeletal, jaringan ikat, neurologis, gastrointestinal (GJ), hati, ginjal, hematologi, endokrin, dan sistem imunologi.

Dokter harus dapat memprediksi dampak penyakit sistemik terhadap transport oksigen atau memberikan pasien untuk memaksimalkan keberhasilan dari peresepan pengobatan. Komplikasi penyakit sistemik meningkat prevalensinya akhir-akhir ini. Hal ini mungkin mencerminkan penuaan populasi, peningkatan harapan hidup, dan prognosis pasien dengan gangguan multisistem. Dokter juga harus mengetahui kondisi fisiologis yang dialami pasien, karena itu dokter harus mampu mengidentifikasi semua faktor yang meningkatkan atau menekan transport oksigen treatment dapat diresepkan dengan efektif dan dengan resiko minimal.

Pemahaman yang komprehensif dari semua faktor yang mempengaruhi atau menekan transport oksigen adalah penting terutama pada pasien yang tidak secara jelas mempunyai risiko, yaitu mereka yang tidak jelas satus penyakit cardiopulmonarynya. Dokter harus mampu memberi "bendera merah" pada pasien dengan kondisi tertentu yang mungkin memiliki kontraindikasi atau respons pengobatan yang tak diinginkan. Sehingga, terapi mungkin perlu dimodifikasi dan respons terapi dimonitor lebih sering.

Kapasitas sistem transport oksigen perlu diketahui untuk memastikan bahwa hal itu cukup dapat merespon perubahan kebutuhan metabolisme, termasuk yang diakibatkan oleh suatu terapi. Meskipun disfungsi cardiopulmonary mungkin bukan masalah utama, mengidentifikasi apakah ada disfungsi cardiopulmonary dapat membatasi respon pasien terhadap terapi, apakah terapi harus diubah untuk menghindari kegagalan, atau apakah pengobatan merupakan kontraindikasi dari seorang pasien.

Transport oksigen dapat dipengaruhi oleh disfungsi pada sistem organ tubuh. Komplikasi pada paru dan pleura akibat penyakit jantung dan komplikasi jantung akibat penyakit paru biasanya dapat diprediksi dan dideteksi secara klinis. Komplikasi cardiopulmonary yang dipengaruhi oleh sistem organ lain, bisa jelas merusak tubuh atau malah hampir tidak terlihat.

KONDISI JANTUNG

Page 3: Manifestasi Kardiopulmoner pada Kondisi Sistemik

Komplikasi paru akibat penyakit jantung dan komplikasi penyakit jantung akibat penyakit paru banyak diketahui (Scharf and Cassidy, 1989). Kerja jantung yang tidak efisien mengganggu pergerakan normal dari darah teroksigenasi maupun tidak teroksigenasi dari dan menuju paru-paru. Karena sisi kanan dan kiri jantung berada dalam suatu sistem, masalah di satu sisi pasti memiliki beberapa efek yang dapat menyebabkan masalah pada sisi lain, sehingga jantung dan paru-paru harus dianggap sebagai unit fungsional tunggal. Gangguan dari sirkulasi cardiopulmonary menyebabkan backlogging darah dan peningkatan volume darah dalam kapasitansi pembuluh darah, terutama vena. Gagal jantung kanan berakibat peningkatan tekanan vena sentral (tekanan atrium kanan) dan jika cukup parah, berakibat edema perifer di bagian tubuh yang berhubungan. Karena darah tidak diteruskan ke paru-paru secara adekuat, maka bia timbul hipoksemia. Pada gilirannya vasokonstriksi hipoksia dari sirkulasi paru menyebabkan tahanan vaskuler paru-paru meningkat, dan akan meningkatkan afterload ventrikel kanan dan juga beban kerjanya. Gagal jantung kiri dapat mengakibatkan aliran darah ke jantung kiri inadekuat, sehingga backlogging di sirkulasi paru-paru dan edema pulmonary kardiogenik terjadi. Edema paru-paru mengubah pergerakan paru dan drainase limfatik, dan pada gilirannya, efek ini meningkatkan risiko infeksi sekunder, gangguan fungsi makrofag dan pertumbuhan bakteri. Kelebihan cairan paru disekitar membrane pembuluh darah alveolar kapiler akan menimbulkan defek pada difusi. Jika terjadi akumulasi cairan yang sangat banyak , backlogging dapat ditularkan ke sisi kanan jantung dan perifer. Sebanding dengan kelebihan cairan di paru-paru, cadangan cairan di sirkulasi perifer dapat mengganggu perfusi jaringan. Kondisi kardiovaskuler lain seperti hypertensi sistemik akan meningkatkan afterload sistemik, yang pada gilirannya meningkatkan kerja jantung sehingga mengurangi efisiensi mekanisnya.

Fungsi paru dapat secara signifikan berubah pada penyakit jantung (Bates, 1989). Gagal jantung kiri, terkait dengan akumulasi cairan dalam interstitium paru. Hal ini menyebabkan kaliber airway berkurang dan bahkan bisa terjadi penutupan saluran napas, udara terperangkap dan peningkatan residual volume meningkat. Cairan dapat mengakibatkan refleks konstriksi otot polos bronkus dan menyebabkan sindrom cardiac asthma. Kombinasi antara kolaps jalan napas dan bronkokonstriksi mengurangi kapasitas total paru-paru, laju aliran dan volume ekspirasi paksa. Ventilasi dan abnormal peliusion juga terkait dengan penyakit jantung.

Ventilasi zona paru yang underperfused berkontribusi meningkatkan ventilasi dead space, dan perfusi zona paru yang underventilated mengarah ke shunt kanan ke kiri. Pada gagal jantung kiri, resistensi saluran napas memberikan kontribusi untuk ventilasi dan perfusi yang inhomogen. Normalnya ventilasi meningkat di basal paru, namun pada gagal jantung kiri ventilasi di apeks paru lebih baik (James, Cooper, White, and Wagner, 1971).

Dengan progresifnya edema paru, alveoli menjadi flooded/banjir mengakibatkan ventilasi berkurang, danterjadi mismatching antara ventilasi dan perfusi. Gradien alveolar-arteri (A-ao2 gradien) meningkat, kapasitas difusi menurun, dan tekanan parsial oksigen

Page 4: Manifestasi Kardiopulmoner pada Kondisi Sistemik

arteri (PaO2) menurun. Compliance paru berbanding terbalik dengan tekanan arteri paru-paru dan akumulasi cairan interstisial (Saxton, Rabinowitz, Dexter, dan Haynes, 1956). Efek dari kelainan ini adalah pola patofisiologi obstruksi dan restriktif dari disfungsi paru-paru, yaitu berkurangnya volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital, dan peningkatan usaha untuk bernapas.

Efusi pleura bisa diakibatkan oleh penyakit jantung, seperti gagal jantung kongestif (CHF). Perubahan tekanan intravaskuler menyebabkan efusi pleura transudative dan injury jantung menyebabkan efusi eksudatif. Sebanding dengan keseimbangan cairan di bagian lain sirkulasi, keseimbangan cairan di paru-paru tergantung pada hukum Starling'S, yaitu tekanan hidrostatik dan oncotic. Beberapa liter cairan diserapdari space pleura pada keadaan normal, pada kondisi tertentu keseimbangan kekuatan ini terganggu sehingga cairan menumpuk dalam ruang pleura. Gangguan ekspansi alveolar dari efusi pleura adalah perhatian klinis. Bahkan ada pendapat bahwa efusi kecil bisa diakibatkan penekanan pada paru-paru (Anthonisen dan Martin, 1977).

KONDISI PARUPenyakit paru memicu disfungsi jantung dengan beberapa cara. Pertama, penyakit

paru-paru selalu menghambat transport oksigen karena efek pada tingkat mekanik pernafasan, dan kesesuaian ventilasi peliusion. Untuk kompensasi, jantung berupaya meningkatkan cardiac output yang juga akan meningkatkan kerja jantung. Secara keseluruhan, ventilasi dan transport oksigen kurang efisien. Hipoksemia sekunder karena inadekuat matching antara ventilasi dan perfusi merupakan predisposisi untuk disritmia jantung.

Komplikasi pleura dapat timbul baik dari penyakit jantung maupun paru-paru. Fungsi jantung dan paru-paru bisa disesuaikan dengan perubahan keseimbangan cairan pleura. Keseimbangan cairan dalam ruang pleura sebanding untuk meregulasi keadaan di ruang alveolar. Keduanya ditentukan oleh hokum Starling. Tekanan hidrostatik mendorong cairan ke ruang tersebut sementara tekanan oncotic tekanan menahan efek tekanan hidrostatik. Efek dari kemampuan filtrasi dan absorbsi optimal pada tekanan minimal. Ketika keseimbangan kekuatan ini terganggu, fungsi jantung dan paru-paru bisa terganggu. Cairan berlebihan biasanya menandakan tekanan hidrostatik berlebihan dan tekanan oncotic berkurang. Pembuluh limfatik menjadi kewalahan dan tidak mampu menjaga rongga pleura kering. Cairan pleura terakumulasi dan bisa menggantikan jaringan paru-paru (small to moderate efusion) atau membatasi perkembangan kantung alveolar, menyebabkan atelektasis (severe efusion) (Brown, Zamel, dan Aberman, 1978), dan jika cukup parah, dapat menghalangi pengisian jantung. Akumulasi cairan pleura merupakan ancaman transport oksigen sebagai akibat langsung pada jantung, paru-paru, atau keduanya, sehingga menjadi perhatian khusus oleh dokter.

Limfatik paru mengkontrol keseimbangan cairan dalam parenkim paru-paru. Pembuluh limfatik muncul dalam pleurae dan bukan dalam ruang kapiler alveolar. Untuk

Page 5: Manifestasi Kardiopulmoner pada Kondisi Sistemik

mengeringkan cairan dari daerah septae interlobular dan subpleural, dengan hilar vessel dan nodus limfatikus primer tracheobronchial. Masalah di dalam jantung atau paru-paru dapat berkontribusi ketidakseimbangan aliran kedalam dan keluar saluran limfatik. Hal ini memberikan kontribusi untuk akumulasi cairan, stagnasi, dan kompresi fisik terhadap miokardium dan paru-paru (Guyton, 1991).

Penyakit jantung dan paru-paru dapat mengakibatkan perubahan hematologi untuk mengkompensasi hipoksemia. Peningkatan jumlah sel darah merah akan meningkatkan hematokrit dan viskositas darah. Iniakan meningkatkan kerja jantung. Selain itu, peningkatan viskositas darah kental memungkinan thromboemboli terutama pada jantung yang hypoeffective. Sebuah pemahaman menyeluruh tentang keterkaitan antara jantung dan paru-paru sangat penting untuk diagnosis dan penanganan yang optimal. Selain itu, manifestasi kardiopulmoner dan kardiovaskular terhadap sistem organ harus diketahui dan diantisipasi terutama pada pasien dengan penyakit multisistem.

KONDISI MUSKULOSKELETALKondisi muskuloskeletal berdampak sekunder pada fungsi cardiopulmonary

terutama pada diafragma, otot dinding dada, orofaring, laring dan perut, juga tulang dan sendi (misalnya, althritis, spondilitis spondilitis, kyphoscoliosis, dan deformitas sekunder kelainan neuromuskular dan penyakit paru-paru kronis). Efek lain bisa dikarenakan oleh inaktifitas, (misalnya, muscle wasting dan peningkatan rigiditas sendi). Peningkatan batas rigiditas sendi pada aktivitas fisik pasien mungkin akan pelform, yang akan memicu kompensasi cardiopulmonary, peningkatan rigiditas otot dinding dada dan compromised bucket-handle and pumphandle motions. Gerakan tiga dimensi normal dari dinding dada dan sirkulasi paru-paru normal serta fungsi limfatik akan disesuaikan.

Defisit cardiopulmonary terkait dengan gangguan muskuloskeletal dari dinding dada akan mengurangi volume paru paru konsisten dengan pulmonary restriction, mengurangi flow rates, penurunan tekanan inspirasi dan expirasi, meningkatkan atelektasis, peningkatan kompresi jalan nafas dinamis, ventilasi dan perfusi mismatching, pola pernapasan tidak efisien, gangguan batuk dan refleks muntah, peningkatan resiko aspirasi, peningkatan risiko obstruksi sekunder karena gangguan clearance mukosiliar, mobilitas terbatas, kompresi struktur mediastinum dan jantung, dan gangguan drainase limfatik yang tergantung pada siklus normal expirasi dan inspirasi (Bates, 1989).

KONDISI JARINGAN IKATGangguan pembuluh darah pada jaringan ikat / virgule collagen (misalnya,

skleroderma dan sistemik lupus eritematosus [SLE]), selalu mempengaruhi sistem cardiopulmonary (Bagg dan Hughes, 1979). Inflamasi dan injury jaringan dapat mempengaruhi jalan napas, parenkim paru, pembuluh darah paru, pleurae, otot pernapasan, jantung dan pericardium. Shrinking lung syndrome terkait dengan perubahan kronis jaringan ikat yang merupakan penyakit yang ditandai dengan hilangnya

Page 6: Manifestasi Kardiopulmoner pada Kondisi Sistemik

area permukaan alveolar, kapasitas difusi, dan volume paru-paru volume. Perubahan fibrosis meningkatkan elastisitas parenkim paru-paru dan mengurangi compliance paru-paru, sehingga meningkatkan kerja pernapasan. Perubahan ini sama dengan fibrosis paru idiopatik. Sistem konduksi dan mekanis jantung dipengaruhi oleh perubahan jaringan ikat sistemik (Goldman dan Kotler, 1985). Selain itu, perubahan jaringan ikat pada kulit dapat menyebabkan restriksi dinding dada.

KONDISI NEUROLOGISKonsekuensi kardiopulmoner karena penyakit saraf melibatkan mekanisme

pathophysiologic spesifik (Griggs dan Donohoe, 1982). Ada tiga pola dasar patologi: (1) keterlibatan sistem saraf pusat (SSP), (2) saraf perifer sistem, dan (3) sistem saraf otonom.

Keterlibatan SSPPusat kontrol utama pernapasan dan kontrol jantung berasal dari midbrain.

Generator kontrol pernafasan menghasilkan tingkat respirasi reguler pernapasan melalui modulasi inhibitory dan excitatory neuron untuk melakukan inspirasi dan ekspirasi. Kegiatan generator sentral dipengaruhi oleh arousal dan reaksi alerting umum dari system aktifasi reticular. Selain itu, kontrol pernafasan dipengaruhi oleh hipotalamus, korteks orbital, forebrain, dan amygdale (Hitchcock dan Leece, 1967).

Injury SSP dapat menghasilkan respon kardiovaskular berupa precipitate neurogenic pulmonary edema. Juga bisa berupa hipertensi sistemik, hipertensi pulmoner, hipertensi intrakranial dan bradikardi. Medula diyakini memediasi respon yang berkaitan dengan edema paru neurogenik. Ditandai dengan stimulasi simpatik, pelepasan katekolamin, dan timbul vagotonia dan berakibat kebocoran dari membran kapiler alveolar dan alveolar flooding (Kol es, 1985). Namun, perlu diperhatikan kemungkinan adanya abnormalitas dari permeabilitas endotel paru primer (Peterson, Ross, dan Brigham, 1983).

Gangguan cortical mungkin memiliki dampak langsung terhadap fungsi cardiopulmonary. Gangguan yang sering terlihat adalah infark kortikal dan kejang. Infark hemisfer dapat menyebabkan kelemahan kontralateral diafragma dan otot pernafasan lainnya. Epileptic seizure mengganggu pernafasan, menyebabkan hipoksemia, asidosis respiratory, dan asidosis metabolik sekunder berupa kontraksi otot yang ekstrim dan akumulasi laktat. Berhubungan dengan peningkatan stimulasi simpatis dapat memicu disritmia jantung dan edema paru. Penyakit demielinasi seperti multiple sclerosis mengakibatkan kerusakan yang progresif fungsi neuromuskuler. Otot-otot respirasi semakin terlibat, mengakibatkan insufisiensi pernapasan (Cooper, Trend, dan Wiles, 1985). Kelemahan otot-otot faring berakibat kehilangan perlindungan saluran napas dan hilangnya refleks batuk dan muntah. Aspirasi adalah problem bagi pasien.

Pasien stroke mempengaruhi regulasi dan fungsi cardiopulmonary dan fungsi, termasuk mengurangi electrical activity oto pernafasan, atau keterlibatan saraf perifer sseperti kelemahan otot, spastisitas, gangguan biomekanik, dan gaya berjalan juga

Page 7: Manifestasi Kardiopulmoner pada Kondisi Sistemik

mempengaruhi fungsi otot pernafasan dan kelainan dinding dada (DeTroyer, De Beyl, dan Thirion, 1981). Kelemahan otot abdomen berkontribusi terhadap efektivitas batuk. Kelemahan faring berkontribusi pada sleepapnea. Presentasi klinis berupa parese unilateral berakibat postur yang miring yang mempengaruhi ketika telentang, duduk dan selama ambulasi. Postur ini mengganggu ventilasi dan ekspansi dinding dada pada sisi yang terkena. Keterlibatan otot abdomen mempengaruhi tekanan intraabdominal dan efisiensi gerakan diafragma selama kontraksi, dimanan seharusnya otot menjadi flasid selama kontraksi diafragma terjadi. Volume paru dan flow rates berkurangmemberikan pola restriktif fungsi paru. Mengurangi aktivitas dab exerciseselama terjadi stroke berkontribusi meringankan kerja cardiopulmonary dan kapasitas system transport oksigen. Dimana proporsi terbanyak stroke adalah pasien dengan hipertensi dan tua, juga populasi dengan prevalensi tinggi penyakit jantung dan aterosklerosis (Chimowitz dan Mancini, 1991).

Cerebral palsy berkaitan dengan peningkatan tonus otot, yang akan meningkatkan konsumsi oksigen basal maupun saat exercise. Terjadi peningkatan kebutuhan oksigen secara keseluruhan. Meskipun kebutuhan meningkat pada kondisi ini, transport oksigen disesuaikan. Misalnya pada deformitas dada dan spasme otot-otot dinding dada dan abdomen merusak pola pernapasan dan efisiensinya (Fullford dan Brown, 1976). Airway pada pasien dengan cerebral sangat rentan karena adanya muntahan, batuk, dan refleks menelan yang buruk. Juga sering memiliki kontrol air liur yang buruk, yang meningkatkan risiko aspirasi. Retardasi mental (Bates, 1989) sering mengaburkan adanya cerebral palsy dan mencegah pasien dari respon terhadap kebutuhan hidrasi atau kemampuan menjalani pengobatan seumur hidup.

Pasien dengan Parkinson juga menunjukkan deficit cardiopulmonary yang signifikan (Mehta, Wright, dan Kirby, 1978). Kebutuhan oksigen meningkat seiring peningkatan tonus otot. Pasien dengan Parkinson juga mengalami penurunan kondisi cardiopulmonary sebagai hasil dari agilitas dan pergerakan tubuhnya. Juga memiliki pola restriktif penyakit paru dengan volume paru-paru dan kapasitas yang berkurang. Rigiditas dinding dada merusak pumphandle normal dan gerakan bucket handle, sehingga mengurangi efisiensi pernafasan. Energi untuk pernapasan meningkat. Insufisiensi pernapasan pada penyakit Parkinson mungkin mencerminkan peningkatan tonus otot-otot pernafasan, rigiditas dinding dada, peningkatan tonus parasimpatis dan mengakibatkan obstruksi jalan napas.

Pasien dengan riwayat poliomyelitis dengan atau tanpa komplikasi cardiopulmonary saat onset, mungkin menunjukkan keterbatasan paru beberapa dekade kemudian (Dean, Ross, Road, Courtenay, dan Madill, 1991; Steljes, Kryger, Kirk, dan Millar, 1990). Dan beresiko timbulnya insufisiensi pernapasan sebagai akibat dari kelemahan otot pernafasan, deformitas dinding dada, infeksi minor dan periode relatif imobilitas, atau akibat sekunder intervensi medis (misalnya, anestesi, sedasi).

Page 8: Manifestasi Kardiopulmoner pada Kondisi Sistemik

Penyakit dan lesi pada batang otak dapat mengakibatkan berbagai pola pernapasan abnormal. Beberapa kelainan diantaranya respirasi Cheyne-Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, pernapasan apneustic dan ataxic. Lesi serebellum dan lesi ganglia basal dapat berakibat diskoordinasi otot pernafasan dan dispnea (Hormia, 1957; Neu, Connolly, Schwertley, Ladwig, dan Brody, 1967).

Lesi medulla spinalis memiliki efek fungsi cardiopulmonary yang bervariasi tergantung pada tingkat lesi. Lesi servikal berakibat mortalitas yang tinggikarena komplikasinya terhadap cardiopulmonary. Volume paru-paru berkurang,kecuali pada kapasitas total paru (TLC), volume tidal (TV10% dari TLC), dan volume residu (RV), yang meningkat secara signifikan (Estenne dan DeTroyer, 1987; Fugl-Meyer, 1971). Pasien kuadriplegi cenderung memiliki kontribusi diafragmatik yang lebih besar terhadap ventilasi tidal dengan orang sehat (Estenne dan DeTroyer, 1985). Selain itu, pasien dengan gangguan reflek batuk karena hilangnya persarafan dan paresis diafragma, otot interkostal dan abdomen. Kontribusi aktivitas otot tambahan untuk ventilasi sangat bervariasi (McKinley, Auchincloss, Gilbert, dan Nicholas, 1969). Pada kuadriplegia, dengan hanya otot tambahan dan diafragma, terjadi platypnea (terjadinya dyspnea ketika berdiri) (Dantzker, 1991). Dalam posisi tegak, diafragma menjadi rata dan kurang efisien ketika menekan ke bawah karena penurunan tekanan intra abdomen.

Lesi thorakal cenderung kurang memberi efek pada fungsi paru (kapasitas vital dan volume expiratory paksa) dibandingkan lesi servikal, dan efek ini berkurang seiring penurunan tingkat lesi. Lesi lumbal mungkin memiliki minimal atau tidak berpengaruh pada fungsi paru, namun keterlibatan otot abdomen dapat membatasi efektivitas reflek.

Keterlibatan Sistem Saraf PeriferGangguan sistem saraf perifer termasuk motor neuron, saraf perifer, neuromuskular

junction dan otot. Gangguan neuromuskuler laring, faring, dan lidah dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas atas dan resistensi jalan nafas meningkat, dan mengganggu kelancaran jalan napas. Aspirasi adalah masalah serius yang berhubungan dengan kelemahan kontrol motor faring, laring, dan lidah.

Keterlibatan Sistem Saraf Otonom Konsekuensi cardiopulmonary akibat gangguan dari sistem saraf otonom seperti

neuropati otonom, diabetes, dan alkoholisme telah banyak dipelajari. atrophy multi system organ menyertai kegagalan otonom yang mempengaruhi beberapa sistem. Karena kedekatan anatomi dari saraf otonom, pernapasan dan hypnogenic neuron dan degenerasi dari struktur tersebut, disfungsi dari mekanisme control pernafasan autonomik dan somatik. Disritmia pernafasan terlihat pada atrofi multi system organ termasuk sentral, obstruksi saluran nafas bagian atas, irreguler rate, irama, dan amplitudo respirasi dengan atau tanpa desaturasi oksigen, uncoupling transien dari aktivitas otot interkostal dan

Page 9: Manifestasi Kardiopulmoner pada Kondisi Sistemik

diafragma, periode apnea memanjang, pernapasan Cheyne-Stokes, inspirasi gasps, dan rancient sudden respiration arrest (Bannister, 1989).

Pasien dengan diabetes dan neuropati otonom menunjukkan efek bervariasi pada status cardiopulmonary. Hipotensi postural adalah komplikasi diabetes neuropati otonom dan denervasi vasomotor simpatik eferen. Norepinefrin umumnya berkurang pada pasien ini. Sirkulasi perifer dan splanknikus gagal berkontriksi dalam respon berdiri, sehingga cardiac output turun. Efek postural diperburuk oleh penurunan akselerasi jantung pada pasien dengan diabetes. Insulin berkaitan dengan efek kardiovaskular, termasuk penurunan volume plasma berkurang, peningkatan aliran darah perifer sekunder untuk vasodilatasi, dan denyut jantung meningkat. Pada neuropati otonom, insulin dapat menyebabkan hipotensi postural. Diare sekunder abnormal pada diabetes dikarenakan motilitas usus dapat berkontribusi pada kehilangan cairan dan sequelae-nya. Perubahan cardiopulmonary terkait dengan neuropati otonom sekunder perubahan respons ventilasi untuk hipoksia dan hypercapnia, perubahan pola pernapasan dan episode apneic selama tidur, perubahan reaktivitas bronkial dan gangguan reflex batuk (Bannister, 1989;. Montserrat et ai, 1985).

KONDISI GASTROINTESTINAL Inflammatory bowel disease dan pankreatitis adalah contoh utama disfungsi GI yang

mempengaruhi fungsi cardiopulmonary. Aspirasi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan disfungsi GI, sehingga harus dicegah atau dideteksi secara dini. Patofisiologi, manajemen, dan hasil tergantung pada sifat aspirasi tersebut. Beberapa factor predisposisi dapat memunculkan pneumonia aspirasi seperti penurunan tingkat kesadaran, gangguan faring dan motilitas esofagus, perubahan anatomis, gangguan motilitas lambung dan usus, dan iatrogenik faktor seperti pembedahan, intubasi nasogastrik (NG) , dan general anestesi.

IBD dapat mengakibatkan keadaan patologi cardiopulmonary berupa : vaskulitis, fibrosis, penyakit granulomatosa, dan tromboemboli paru. Bronkitis dan bronkiektasis juga telah dikaitkan dengan IBD. Namun, aktivitas ataupun terapi. Spesimen biopsi telah menunjukkan penebalan basal membran, penebalan epitel, dan infiltrasi dari jaringan ikat yang didasari dengan sel-sel inflamasi (Higenbottom, et ai., 1980). Manifestasi paru akibat pankreatitis adalah sequelae paling penting dari penyakit ini. Dari kematian yang terjadi pada minggu pertama rawat inap, 60% berhubungan dengan kegagalan pernapasan (Renner, Savage, Pantoja, dan Renner, 1985). Masalah seperti hemidiaphragm yang hanya naik pada salah satu sisi saja terutama di sisi kanan, atelektasis basal, infiltrasi diffuse paru yang muncul lebih sering pada sisi kanan dari sisi kiri, efusi pleura pada sisi kiri lebih sering dibanding dari sisi kanan, dan pneumonitis. Temuan ini tidak spesifik untuk pankreatitis dan mungkin sekunder akibat peritonitis lokal, subphrenic collection, ascites, rasa sakit, dan distensi perut. Pada pankreatitis kronis,

Page 10: Manifestasi Kardiopulmoner pada Kondisi Sistemik

gejala-gejala abdomen dapat dikurangi dan gejala pada toraks seperti dyspnea, chest pain, dan batuk dapat mendominasi. Efusi kronis dapat menyebabkan penebalan pleura.

KONDISI HEPARKondisi hati akut dan kronis dapat mempengaruhi pasien untuk terjadinya

komplikasi cardiopulmonary dan kardiovaskular. Gagal hati dapat mengakibatkan hipoksemia sekunder akibat dilatasi pembuluh darah intrapulmonary dan edema paru noncardiogenic. Sindrom hepatopulmonary ditandai dengan dilatasi vaskular intrapulmonary, menghasilkan baik effusi dan kelainan perfusi di paru-paru dan merupakan sebab utama untuk terjadinya hipoksemia berat (Sherlock, 1988). Penyebab edema paru adalah sekunder akibat ensefalopati hepatik dan oedem serebri (Trewby, et ai, 1978.).

Sehubungan dengan kondisi liver kronis, manifestasi kardiopulmoner berkaitan dengan sirosis hati dan hepatitis. Yang paling terkait dengan kelainan paru ini adalah dilatasi vaskular intrapulmonary dengan atau tanpa shunt, hipertensi paru, obstruksi aliran udara, deformitas dinding dada, efusi pleura, pancinar emfisema, pleuritis, bronkitis, bronkiektasis, vasokonstriksi hipoksia, dan interstisial pneumonitis, fibrosis. Hipoksemia merupakan hasil dari shunting, ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi, dan kelainan difusi.

Efusi pleura dan asites mengganggu fungsi diafragma pada penyakit liver. Banyaknya hubungan limfatik antara rongga perut dan dada dan pasokan limfatik dari rongga pleura, cairan asites dapat mengalir ke dalam ruang pleura. Efek ini meningkat selama inspirasi ketika tekanan intraabdominal relatif positifdan ruang intrapleural adalah negatif (Crofts, 1954).

KONDISI GINJALKomplikasi cardiopulmonary bisa merupakan hasil dari penyakit ginjal dan disebut

sebagai pulmonary renal syndrome (Rankin dan Matthay, 1982; Matthay, Bromberg, dan Putman, 1980). Karakteristik pathophysiologic dari gangguan ini adalah perdarahan alveolar, peradangan interstisial dan alveolar, dan keterlibatan pembuluh darah paru. Pengujian fungsi paru dapat mendeteksi kelainan obstruktif dan restriktif sebagai akibat dari komplikasi bronkial, maupun peradangan dan perdarahan. Pada penyakit sistemik, patologi paru-paru dan ginjal sering timbul bersamaan. Sehingga potensi untuk kambuh dan kerusakan organ ireversibel potensial terjadi.

KONDISI HEMATOLOGIGangguan hematologi yang bermanifestasi gejala cardiopulmonary termasuk gejala

ketidaknormalan dari cairan dan komponen seluler darah, dan coagulopathies (Bromberg dan Ross, 1988). Yang mendasari mekanisme dimana terjadi kondisi gangguan pertukaran gas adalah perdarahan, infeksi, edema, anemia, fibrosis, dan keganasan.

Page 11: Manifestasi Kardiopulmoner pada Kondisi Sistemik

Kelainan yang berhubungan dengan sel darah merah dan kemampuannya mengangkut hemoglobin dan oksigen dapat memberi tanda adanya patologi pada paru, (misalnya, takipnea, dispnea, dan sianosis). Kelainan sel darah merah dapat mengubah viskositas darah dan aliran darah paru-paru. Interstitium paru bisa terganggu oleh perdarahan dan keganasan. Coagulopathies mengganggu hemostasis normaldan mekanisme pembekuan darah. Perdarahan paru dan hemoptysis adalah sequelae yang umum.

Penyebab perdarahan paru tersering adalah kekurangan vitamin K, hemofilia, gagal hati, dan disseminated intravascular coagulation. Agen farmakologis seperti inhibitor platelet dan antikoagulan juga dapat menyebabkan perdarahan paru. Thromboemboli paru sering terjadi dengan gejala pleuritic chest pain, dyspnea, dan hemoptysis.

Gangguan eritrosit seperti anemia sickle cell sering terjadi. Akut chest infection dan trombosis menyebabkan infark paru dengan gejala klinis seperti demam, pleuritic chest pain, batuk, dan infiltrat paru. Fungsi paru pasien dengan anemia sickle cell adalah abnormal dengan turunnya TLC, kapasitas vital, kapasitas diffuse,, tensi oksigen arteri, dan mengurangi kapasitas exercise (Femi-Pearse, Gazioglu, dan Yu, 1970).

Keganasan hematologi yang dapat mempengaruhi fungsi paru adalah leukemia dan Hodgkin. Tiga mekanisme gangguan ini yang dapat mempengaruhi fungsi paruadalah infiltrasi langsung, peningkatan risiko infeksi oportunistik dan efek sekunder dari pengobatan, seperti pneumonitis dan fibrosis interstisial.

Gangguan protein plasma dapat berpengaruh signifikan pada kekuatan Starling'S untuk mempertahankan keseimbangan cairan dalam vaskular jaringan dengan bergantung pada jumlah protein plasma, terutama albumin, cairan yang ditahan atau hilang dari sirkulasi. Dengan berkurangnya protein dan tekanan oncotic dalam pembuluh darah, cairan lebih disaring keluar dari sirkulasimenuju interstitium. Terjadi katabolik memecah protein dalam tubuh, protein yang bocor melalui kapiler juga membawa air, sehingga menyebabkan edema.

KONDISI ENDOKRIN Gangguan dari kelenjar tiroid, pankreas (diabetes mellitus [DM]) dan kelenjar

adrenal sering terlihat dalam klinis. Hormon thyroid mempengaruhi akifitas bernafas dan sintesis surfaktan. Hypothyroidism dapat menyebabkan sleep apnea, efusi pleura sekunder karena perubahan permeabilitas kapiler, dan efusi perikardial. Penurunan kapasitas vital paru juga telah dilaporkan sebagai akibat kelemahan otot. Hyperthyroidism meningkatkan metabolism oksidatif selular (laju metabolisme) yang menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi CO2, dan keseluruhan meningkatkan ventilasi setiap menit. Kapasitas vital, compliance paru-paru, dan kapasitas difusi dapat berkurang. Selain itu, tekanan inspirasi dan ekspirasi maksimal dapat berkurang karena adanya kelemahan otot.

Pasien dengan diabetes rentan terhadap aspirasi dan infeksi pernafasan. Akhir komplikasi neuropati diabetes termasuk gagal ginjal, yang dapat disertai oleh efusi pleura

Page 12: Manifestasi Kardiopulmoner pada Kondisi Sistemik

dan edema paru. Neuropati otonom dapat mempengaruhi aktivitas vagal dan tonus saluran napas. Penyakit jantung iskemik dan cardiomyopathies juga sering terjadi pada pasien dengan diabetes dan dapat menyebabkan CHF dan edema paru kardiogenik. Pasien dengan diabetes telah dilaporkan mengalami pengurangan sensitivitas terhadap inspiratory loading (O'Donnell, Friedman, Russomanno, dan Rose, 1988), yang dapat mengganggu secara subjektif kemampuan untuk berolahraga.

Insufisiensi adrenal juga dapat mempengaruhi transport oksigen (Civetta, Taylor, dan Kirby, 1989). Mengurangi kapasitas aerobik hasil dari keluhan lemah, lelah, dan keluhan pada otot dan sendi. Intoleransi orthostatik terutama mencerminkan berkurangnya kapasitas inotrophic jantung dan mengurangi tahanan vaskular sistemik.

KONDISI IMUNOLOGIDefect yang diperoleh maupun yang secara congenital pada status imunologi paru

mengakibatkan disfungsi cardiopulmonary, termasuk infeksi dan peradangan. Selain itu, pasien imunodefisiensi memiliki peningkatan risiko keganasan paru (Shackleford dan McAlister, (975).

Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah contoh gangguan primer cell-mediated immunity, yang telah menjadi epidemi di 20 tahun terakhir. Sindrom ini menyebabkan kematian limfosit. Yang paling serius adalah infeksi paru akibat AIDS dengan Pneumocystis carinii pneumonia (Murray, Felton, dan Garay, 1984). Fakta bahwa pasien dengan human immunodeficiency virus (HIV) lebih cenderung mengalami pneumonia berulang dan menunjukkan bahwa organisme bertahan dan tetap bisa menginfeksi paru-paru meskipun telah diterapi (Shelhamer, et ai.,1984). Presentasi klinis termasuk diffuse pulmonary infiltrates, batuk, dyspnea, dan hemoptysis. Pasien juga dapat memiliki gejala obstruksi jalan nafas atas.

GANGGUAN GIZIDua gangguan gizi yang paling umum dilihat di negara Barat adalah obesitas dan

anorexia nervosa. Obesitas berkontribusi pada kegagalan transport oksigen (Alexander, 1985; Bates, (989). Berupa hipoventilasi alveolar dan lemahnya PaO2 dan pertukaran gas sebagai hasilnya adalah peningkatan jaringan adiposa di rongga dada. Tekanan darah paru dan sistemik meningkat. Selain itu, perut yang besar, dan isi perut menghalangi gerakan diafragma. Hal ini dapat mengkompresi paru-paru. Recumbency menyebabkan insufisiensi pernapasan. Individu yang obes memiliki insiden yang lebih tinggi snoring dan sleep apnea akibat kelemahan dan peningkatan compliance struktur postpharyngeal. Selain itu, pasien juga sering batuk yang tidak efektif lakibat dari kelemahan otot ekspirasi dan inefisiensi mekanik ototnya. Kerja pernapasan sangat meningkat. Pada kasus kronis, reaktive pulmonary vasoconstriction karena respons terhadap hipoksia akan mengakibatkan insufisiensi ventricular dan peningkatan kerja jantung dan terjadi kardiomegali.

Page 13: Manifestasi Kardiopulmoner pada Kondisi Sistemik

Manifestasi cardiopulmonary pada anorexia nervosa berhubungan dengan kelemahan yang general dan menurunkan endurance keseluiruhan otot, termasuk otot pernafasan. Transport oksigen minimal. Karena gizi dan asupan cairan berkurang, akan sangat beresiko terjadi anemia, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan disaritmia jantung (Wilson, et ai, 1991).