lupus eritematosus sistemik

21
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sulit dikenal sebagai SLE, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Terdapat dugaan faktor genetik, infeksi, dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE (Sukmana,2004). Prevalensi SLE bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Pada dekade terakhir, terlihat adanya kenaikan kasus yang berobat di RSCM Jakarta. Salah satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk ini perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus SLE yang perlu diketahui sehingga diagnosis lebih dini dan pengobatan lebih adekuat. Baron dkk melaporkan keterlibatan ginjal lebih sering ditemukan pada SLE dengan onset usia kurang dari 18 tahun. Sedangkan pada penelitian Font dkk, lesi diskoid dan serositis lebih sering ditemukan sebagai manifestasi awal pasien SLE laki-laki, sedangkan artritis lebih jarang.(Sukmana,2004).

Upload: andre-tanzil

Post on 31-Jul-2015

139 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Lupus eritematosus sistemik

TRANSCRIPT

Page 1: Lupus Eritematosus Sistemik

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang

melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang

ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sulit dikenal sebagai SLE, karena

manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini penyebab SLE

belum diketahui. Terdapat dugaan faktor genetik, infeksi, dan lingkungan ikut

berperan pada patofisiologi SLE (Sukmana,2004).

Prevalensi SLE bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai saat ini belum

pernah dilaporkan. Pada dekade terakhir, terlihat adanya kenaikan kasus yang

berobat di RSCM Jakarta. Salah satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang

meningkat. Untuk ini perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus SLE

yang perlu diketahui sehingga diagnosis lebih dini dan pengobatan lebih adekuat.

Baron dkk melaporkan keterlibatan ginjal lebih sering ditemukan pada SLE

dengan onset usia kurang dari 18 tahun. Sedangkan pada penelitian Font dkk, lesi

diskoid dan serositis lebih sering ditemukan sebagai manifestasi awal pasien SLE

laki-laki, sedangkan artritis lebih jarang.(Sukmana,2004).

Prevalensi SLE sangat bervariasi, semua suku bangsa dapat terkena tetapi

lebih sering pada ras kulit hitam dan ada tendensi familiar. Insidensi tidak

diketahui, dapat ditemukan pada semua usia. Dua puluh persen kasus SLE mulai

pada masa anak-anak, biasanya anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun.

Samanta dkk pada penelitian populasi Asia dan kulit putih di Inggris melaporkan

kelainan ginjal lebih sering ditemukan di populasi Asia. Wanita lebih sering

terkena dibanding laki-laki, dengan perbandingan perempuan dan laki-laki 8:1,

dan umumnya pada kelompok usia produktif (Sukmana,2004; Kadang,1995).

Mengingat pentingnya manfaat pengetahuan mengenai penyakit SLE, maka

pada makalah ini akan dipaparkan semua hal yang berkenaan dengan SLE, dengan

tujuan untuk memudahkan memahami patofisiologi penyakit, diagnosis, dan

tatalaksana yang tepat.

Page 2: Lupus Eritematosus Sistemik

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Lupus Eritematosus Sistemik (Lupus Eritematosus Disseminata, Lupus)

adalah suatu penyakit autoimun menahun yang menimbulkan peradangan dan bisa

menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit, persendian dan organ dalam.

Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang

berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai

penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi

yang muncul dan organ yang terkena.

2.2 Etiologi

Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan

pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun

lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi

yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel

darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun. Telah

diketahui secara luas bahwa penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor

yaitu: genetik, hormonal dan lingkungan. Namun sampai saat ini masih menjadi

perdebatan faktor mana yang manjadi penyebab utama sehingga masih menjadi

fokus utama penelitian.

Genetik

Tidak diragukan bahwa lupus terkait dengan faktor genetik. Orang yang

mempunyai riwayat keluarga dengan lupus memiliki 3-10% risiko menderita

penyakit tidak terbatas hanya Lupus, tapi juga penyakit auoimun lainnya seperti

arthritis reomathoid atau Sjorgen’s Syndrome. Pada kembar identik, risiko lupus

meningkat menjadi 25% pada saudara kembar dari pasien yang menyandang

lupus.

Hormon

Page 3: Lupus Eritematosus Sistemik

Penyandang lupus wanita:pria adalah 8:1. Dan sebagian besar penyandang

wanita adalah mereka dalam usia produktif. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor

hormonal. Estrogen terbukti sebagai hormon yang mempengaruhi aktifnya lupus

dalam penelitian hewan baik secara invitro maupun invivo. Sehinggan harus

benar-benar dipertimbangkan pemberian terapi hormon dan alat kontrasepsi yang

mengandung estrogen pada Odapus.

Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus,

diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari.

o Infeksi

Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab terkuat

adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam kelenjar

(mononucleosis). Sebagian besar odapus tercatat pernah terinfeksi virus ini

dalam riwayat penyakitnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa system imun

mulai terganggu saat berusaha menyerang EBV juga menyerang sel

tubuhnya sendiri. Sehingga proses tersebut diduga kuat berhubungan

dengan penyebab lupus.

o Zat kimia dan racun

Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap zat kimia dan

racun termasuk pekerjaan yang berhubungan silika.

o Merokok

Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan dengan munculnya

lupus. Merokok juga meningkatkan risiko penyakit autoimun lainnya

seperti arthritis reumathoid dan multiple sclerosis.

o Sinar matahari

Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan perburukan

manifestasi lupus. Yaitu menyebabkan timbulnya ruam kulit dan

munculnya gejala lupus pada organ lainnnya. Menghindari sinar matahari

dan menggunaka tabir surya (sun block) adalah hal yang tidak mudah

namun mutlak harus dilakukan oleh odapus karena sangat bermanfaat.

Page 4: Lupus Eritematosus Sistemik

2.3 Patogenesis

Mekanisme patogenik dari SLE diilustrasikan pada gambar 1. Interaksi

antara faktor gen predisposisi dan lingkungan akan menghasilkan respons imun

yang abnormal. Respons ini termasuk (1) aktivasi dari imunitas innate (sel

dendrit) oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA dalam

RNA/protein self-antigen ; (2) Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun

(Limfosit antigen-specific T dan Limfosit B); (3) Regularitas dan inhibisi Sel T

CD4+ dan CD8+ dan (4) berkurangnya klirens sel apoptotik dan kompleks imun.

Self-antigen (protein/DNA nukleosomal; RNA/protein pada Sm, Ro, dan La;

fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel

apoptotik, sehingga antigen, autoantibodi, dan kompleks imun tersebut dapat

bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan

penyakit berkembang secara lambat (Hahn et al,2005).

Gambar 1. Patogenesis SLE. Interaksi gen-lingkungan menghasilkan respons imun abnormal yang menghasilkan autoantibodi patogen dan deposisi kompleks imun pada jaringan, komplemen aktif, menyebabkan inflamasi dan lama kelamaan mengakibatkan kerusakan organ irreversible. Keterangan: Ag, antigen; C1q, complement system; C3, complement component; CNS, central nervous system; DC, dendritic cell; EBV, Epstein-Barr virus; HLA, human leukocyte antigen; FcR, immunoglobulin Fc-binding receptor; IL, interleukin; MBL, mannosebinding ligand; MCP, monocyte chemotactic protein; PTPN, phosphotyrosine phosphatase; UV, ultraviolet

Page 5: Lupus Eritematosus Sistemik

Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti

dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan

interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte

stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL)-10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu

oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan

natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor

(TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah

produksi autoantibodi yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun,

dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi

komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan

Imunoglobulin. Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan

kemotoksin, sitokin, kemokin, peptida vasoaktif, dan enzim perusak. Pada

keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu

pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak.

Selain itu, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan

terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan

jaringan lainnya. (Hahn et al,2005)

Jenis kelamin wanita sering terkena SLE; betina dari semua spesies mamalia

memang memiliki respons antibodi yang lebih kuat daripada pejantan. Wanita

yang terpapar kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih

hormone memiliki peningkatan risiko SLE (1,2 hingga 2 kali lipat). Estradiol

berikatan dengan reseptor pada limfosit T dan B, kemudian akan meningkatkan

aktivasi dan daya tahan dari sel ini, sehingga menunjang respons imun yang

memanjang (Hahn et al,2005).

Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE

(Gambar 1). Paparan terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan

SLE pada sekitar 70% pasien, kemungkinan terjadi akibat peningkatan apoptosis

pada sel kulit atau adanya perubahan DNA dan protein intraseluler dan

membuatnya menjadi antigenik. Sepertinya, beberapa infeksi memicu respons

imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan B yang mengenal self-

antigen; pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik dan produksi

Page 6: Lupus Eritematosus Sistemik

autobodi kemudian terjadi. Kebanyakan pasien SLE mempunyai autoantibodi

hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama penyakit ini, menandakan

bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun untuk beberapa tahun sebelum

kualitas dan kuantitas dari autoantibodi dan sel B dan T yang patogen cukup

untuk menyebabkan gejala klinis. Virus Eipsten Barr mungkin merupakan agen

infeksi yang dapat memicu SLE pada seseorang yang memiliki predisposisi

genetik. Anak dan orang dewasa dengan SLE cenderung terinfeksi EBV

dibandingkan kelompok kendali umur, jenis kelamin, dan etnis. EBV

mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan bertahan pada sel tersebut dalam

beberapa dekade; Ia juga mengandung sekuens asam amino yang mirip dengan

sekuens pada spilceosome manusia (RNA/antigen protein yang dikenali oleh

autoantibodi pada seseorang dengan SLE). Sehingga, interaksi antara predisposisi

genetik, lingkungan, jenis kelamin, dan respons imun abnormal akan

mengakibatkan autoimunitas (Hahn et al,2005).

2.4 Gejala

Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada

penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnya yang tidak

diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan

beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita.

Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai

penyakit yang berat. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh

masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal

penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan

melibatkan organ lainnya.

Otot dan kerangka tubuh

Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan

menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jari

tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang

panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut.

Page 7: Lupus Eritematosus Sistemik

Kulit

Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan

pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar

matahari. Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar

oleh sinar matahari.

Ginjal

Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di

dalam sel-sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan

ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita

perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal.

Sistem saraf

Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling sering

ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa

terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistem saraf.

Kejang, psikosa, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakan beberapa

kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.

Darah

Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk

bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan

emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang

melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang

berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.

Jantung

Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis,

endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai

akibat dari keadaan tersebut.

Paru-paru

Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura

(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan

tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.

Page 8: Lupus Eritematosus Sistemik

Gejala dari penyakit lupus:

- demam

- lelah

- merasa tidak enak badan

- penurunan berat badan

- ruam kulit

- ruam kupu-kupu

- ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari

- sensitif terhadap sinar matahari

- pembengkakan dan nyeri persendian

- pembengkakan kelenjar

- nyeri otot

- mual dan muntah

- nyeri dada pleuritik

- kejang

- psikosa.

Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:

- hematuria (air kemih mengandung darah)

- batuk darah

- mimisan

- gangguan menelan

- bercak kulit

- bintik merah di kulit

- perubahan warna jari tangan bila ditekan

- mati rasa dan kesemutan

- luka di mulut

- kerontokan rambut

- nyeri perut

- gangguan penglihatan.

Page 9: Lupus Eritematosus Sistemik

2.5 Diagnosa dan Pemeriksaan

Diagnosis lupus ditegakkan berdasarkan ditemukannya 4 dari 11 gejala

lupus yang khas, yaitu:

1. Ruam kupu-kupu pada wajah (pipi dan pangkal hidung)

2. Ruam pada kulit

3. Luka pada mulut (biasanya tidak menimbulkan nyeri)

4. Cairan di sekitar paru-paru, jantung, dan organ lainnya

5. Artritis (artritis non-erosif yang melibatkan 2 atau beberapa sendi perifer,

dimana tulang di sekitar persendian tidak mengalami kerusakan)

6. Kelainan fungsi ginjal

- kadar protein dalam air kemih >0,5 mg/hari atau +++

- adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel darah

merah/putih maupuan sel tubulus ginjal

7. Fotosensitivitas (peka terhadap sinar matahari, menyebabkan pembentukan

atau semakin memburuknya ruam kulit)

8. Kelainan fungsi saraf atau otak (kejang atau psikosa)

9. Hasil pemeriksaan darah positif untuk antibodi antinuklear

10. Kelainan imunologis (hasil positif pada tes anti-DNA rantai ganda, tes anti-

Sm, tes antibodi antifosfolipid; hasil positif palsu untuk tes sifilis)

11. Kelainan darah

-Anemia hemolitik atau

-Leukopenia (jumlah leukosit <4000 sel/mm?) atau

-Limfopenia (jumlah limfosit < 1500 sel/mm?) atau

-Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ mm?).

 

Page 10: Lupus Eritematosus Sistemik

    

 Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:

1. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang

terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa

ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi

antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA

rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk

lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini.

Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang

berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya,

mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya

penyakit.

2. Ruam kulit atau lesi yang khas

3. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis

4. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan

pleura atau jantung

5. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein

6. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah

7. Biopsi ginjal

8. Pemeriksaan saraf.

2.6 Pengobatan

1. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)

Page 11: Lupus Eritematosus Sistemik

NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang

efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan

secara hati-hati karena sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan

darah dan merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat

meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga

mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam kehamilan (setelah 20 minggu),

dapat mengganggu fungsi ginjal janin

2. Kortikosteroid

Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam

pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk

pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian

dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Osteoporosis yang disebabkan

oleh steroid adalah masalah yang umumnya terjadi pada Odapus. Sehingga

dibutuhkan penatalaksanaan osteoprotektif seperti pemriksaan serial kepadatan

tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif seperti kalsium dan bifosfonat.

Terapi hormon tidak lagi digunakan untuk pencegahan atau pengobatan

osteoporosis karena meningkatkan risiko kanker payudara dan penyakit

jantung. Bifosfonat tidak baik digunakan selama kehamilan dan dianjurkan

bahwa kehamilan harus ditunda selama enam bulan setelah penghentian

bifosfonat. Peningkatan risiko terserang infeksi merupakan perhatian utama

dalam terapi steroid, terutama pada mereka yang juga mengkonsumsi obat

imunosupresan. Steroid juga dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi

diabetes dan memiliki efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi

pada meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis tinggi

meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi pada pada dosis

yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis (nekrosis

avaskular) juga cukup umum pada lupus dan tampaknya terkait terutama

dengan penggunaan steroid oral dosis tinggi atau metilprednisolon intravena.

Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan

obat yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu,

Page 12: Lupus Eritematosus Sistemik

obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus. Pengaturan dosis yang tepat

merupakan kunci pengobatan yang baik.

3. Antimalaria

Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding

kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah.

Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis harian dan kumulatif,

Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan

untuk memeriksa ketajaman visual setiap 6 bulan untuk identifikasi dini

kelainan mata selama pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi

hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus lupus dan diberikan untuk

jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol,

efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang

menetap serta cukup aman pada kehamilan.

4. Immunosupresan

Azathioprine

Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan: mengurangi

biosintesis purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel termasuk sel

sistem kekebalan tubuh. Mual adalah efek samping yang umum terjadi,

sedangkan leukopenia dan trombositopenia terjadi hanya pada sekitar 4%

kasus. Pemantauan efek obat bisa menjadi masalah jika odapus sudah memiliki

gejala klinis tersebut. Azathioprine dianggap aman digunakan selama

kehamilan.

Mycophenolate mofetil

Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis purin,

proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan siklofosfamid,

MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium (indung telur) dan lebih

sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia atau alopecia (kebotakan). Obat

ini juga diduga lebih efektif dan lebih baik ditoleransi daripada azathioprine

namun kontra indikasi dalam kehamilan, sehingga hanya boleh digunakan pada

wanita usia subur bila disertai penggunaan kontrasepsi yang dapat diandalkan.

Page 13: Lupus Eritematosus Sistemik

Karena panjangnya waktu paruh, pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam

minggu sebelum konsepsi yang direncanakan.

Methotrexate

Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang diklasifikasikan sebagai

agen sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki banyak efek pada selsel sistem

kekebalan tubuh termasuk modulasi produksi sitokin. Digunakan seminggu

sekali dan jika diperlukan diberikan pula asam folat sekali seminggu (tidak

pada hari yang sama dengan methotrexate) secara rutin untuk mengurangi

risiko efek samping. Mual dan sariawan cukup sering terjadi, leukopenia,

trombositopenia dan tes fungsi hati yang abnormal kadang-kadang dapat

terjadi. Obat ini tidak boleh digunakan selama kehamilan dan harus dihentikan

penggunaannya tiga bulan sebelum konsepsi.

Cyclosporin

Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan

penurunan fungsi efektor limfosit T. Hipertensi dan peningkatan kreatinin

serum merupakan efek samping yang paling sering terjadi sehingga

pemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat penting. Obat ini dianggap

aman untuk digunakan selama kehamilan dalam dosis efektif terendah dengan

memonitor secara seksama tekanan darah dan fungsi ginjal.

Cyclophosphamide

Obat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus yang mengenai

organ internal dalam empat dekade terakhir. Telah terbukti meningkatkan efek

pengobatan terhadap pasien lupus ginjal dibandingkan hanya diberikan steroid

saja. Obat ini juga banyak digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf

pusat berat dan penyakit paru berat. Dapat diberikan dalam dosis oral harian

atau sebagai infus intravena. Sesuai dengan keparahan penyakit. Efek samping

utama yang harus diperhatikan adalah peningkatan risiko infeksi, kegagalan

fungsi ovarium, toksisitas kandung kemih, dan peningkatan risiko keganasan.

Obat ini teratogenik dan mengganggu fungsi organ reproduksi baik pada pria

maupun wanita. Sehingga penggunaan obat harus dihentikan tiga bulan

sebelum konsepsi.

Rituximab

Page 14: Lupus Eritematosus Sistemik

Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial dalam

perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan kombinasi

dengan methotrexate. Setelah infus rituximab ditemukan penurunan tingkat

autoantibodi. Rituximab telah menyebabkan kemajuan dramatis pada beberapa

odapus. Saat ini Rituximab termasuk salah satu obat yang menjanjikan untuk

Lupus.