infeksi virus sistemik
DESCRIPTION
kulitTRANSCRIPT
BAB II
PATOMEKANISME INFEKSI VIRUS SISTEMIK
2.1 VIRUS
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang
timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. DKA terjadi
akibat pajanan ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik
yang sama, atau mempunyai struktur kimia serupa pada kulit seseorang yang telah
tersensitasi sebelumnya. Reaksi alergik yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas
tipe lambat atau tipe IV menurut klasifikasi Coombs dan Gell dengan perantaraan
sel limfosit T.
2.2 EPIDEMIOLOGI
DKA merupakan reaksi ketika sebuah bahan kontak dengan kulit yang
telah mengalami perubahan teraktivasi spesifik. Perubahan reaktivitas ini
merupakan hasil dari paparan sebelumnya yang terjadi pada kulit yang didapat
dari bahan material atau zat kimia lain yang terkait.
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita
dermatitis kontak alergi lebih sedikit karena hanya mengenai orang yang kulitnya
sangat peka (hipersensitif). DKA dapat mengenai semua umur dan frekuensi sama
pada pria dan wanita.
Banyak data epidemologi mengenai DKA telah diperhitungkan dari
laporan pemerintah mengenai prevalensi dan dampak ekonomi dari penyakit kulit
akibat kerja ini. Asumsi dasar dari banyak penelitian adalah kebanyakan
dermatitis yang terjadi karena pekerjaan memiliki tipe iritan. Akan tetapi, ada
bukti terbaru yang menunjukkan proporsi yang lebih luar dari dermatosis alergi
akibat pekerjaan dari yang sebelumnya dibayangkan.
Pada tahun 2001, 4.714 kasus dermatitis akibat pekerjaan dilaporkan pada
Statistik Pekerja Bureau, terjadi penurunan 50% dari 9.472 kasus yang dilaporkan
1
10 tahun sebelumnya. Penurunan substansial dalam dekade ini, baik dalam rata-
rata ataupun jumlah mutlak kasus dermatitis akibat pekerjaan (dermatitis
okupasional) mencerminkan perbaikan dari kondisi kerja dan dapat menjelaskan
penurunan relatif dari DKI dan peningkatan proporsi DKA. Penting untuk dicatat
bahwa prevalensi DKA dalam populasi umum sering diprediksi dari data yang
diperoleh dari hasil penelitian dermatitis akibat kerja yang pasiennya telah diuji
temple (Patch test).
Secara klinis, pada individu dengan umur > 65 tahun memiliki kecacatan
pada fase elisitasi dari DKA. Pada penelitian reaktivitas Rush, individu yang lebih
muda (18-25 tahun) memiliki onset dan penyembuhan dermatitis yang lebih cepat
dibandingkan pada orang yang lebih tua. Saat fase sensitisasi mencapai batas
standar, analisis terhadap alergen ternyata menunjukkan adanya pengaruh umur.
Insiden penyakit ini ditemukan menurun secara signifikan pada orang yang lebih
tua dari 70 tahun.
Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring
dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung bahan kimia yang
dipakai masyarakat. Namun informasi mengenai prevalensi dan insidens DKA di
masyarakat sangat sedikit, sehingga beberapa angka yang mendekati kebenaran
belum didapat. Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak
80% dan DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa dermatitis kontak akibat kerja karena alergi ternyata cukup
tinggi yaitu berkisar antara 50-60 %. Sedangkan dari satu penelitian ditemukan
frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih sering daripada DKA akibat
kerja.
2.3 ETIOLOGIPenyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang
belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis di
bawahnya (sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas
daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan
kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar
matahari).
2
Alergen Sumber Penularan
Nikel sulfat Logam, logam pada pakaian, perhiasan,
agen katalisator
Neomisin sulfat Biasanya terkandung dalam cream, obat
salep
Balsam of Peru Pengobatan topical
Campuran wewangian Kosmetik, wewangian
Thimerosal Antiseptik
Sodium gold tiosulfat Obat-obatan
Formaldehida Desinfektan, plastic
Quaternium-15 Desinfektan
Cobalt klorida Semen, galvanisasi, minyak industri,
agen pendingin
Basitrasin Obat salep, bedak
Metildibromoglutaronitril
fenoksilatanol
Kosmetik, bahan pengawet
Campuran karba Karet, lateks
Etilneurea melamin-formaldehida resin Tekstil
Thiuram Karet
p-Fenil diamin Pewarna tekstil yang hitam atau gelap,
tinta printer
Parahidroksibenzoic acid ester Bahan pengawet pada makanan
Propilene glycol Bahan pengawet, kosmetik
Prokain, benzokain Anastesi local
Sulfonamide Obat-obatan
Turpentin Bahan pelarut, semir sepatu, tinta
printer
Garam merkuri Desinfektan, impregnasi
Krom Semen, antioksidan, minyak industri,
korek api, kulit
3
Cinnamic aldehihida Wewangian, parfum
Tabel 1.
10 alergen utama penyebab Dermatitis Kontak dan allergen umum lainnya.
2.4 PATOGENESIS
Pada dermatitis kontak alergi terjadi reaksi tipe IV yaitu hipersensitivitas
tipe lambat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed/ cytotoxic type cell mediated
hypersensitivity) ini dijalankan oleh komponen imunitas seluler yaitu limfosit T.
Sel T yang telah tersensitisasi oleh suatu antigen tertentu, pada pemajanan
berikutnya dengan antigen yang sama akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin.
Sitokin yang diproduksi antara lain macrophages chemotactic factor, macrophages
inhibitory factor, interleukin 1, tumor necrosis factor alpha dan interpheron
gamma. Sitokin ini akan berfungsi merekrut sel-sel radang terutama sel T dan
makrofag di tempat antigen.
Gambar 2. Respon Hispersensitivitas type IV yang diperantarai oleh sitokin yang dilepaskan
oleh TH1 yang dirangsang oleh pajanan antigen. 16
Patogenesisnya melalui 2 fase ialah fase induksi (fase sensitisasi) dan fase
elisitasi. Fase induksi saat kontak pertama alergen dengan kulit sampai limfosit
4
mengenal dan memberi respons, memerlukan waktu 2-3 minggu. Fase elisitasi
ialah saat terjadi pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa sampai
timbul gejala klinis.
Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini
terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan
kontaktan yang disebut alergen kontak atau pemeka.
Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan
ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara
kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-
DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam keadaan
istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan
menstimulasi sel T. Tetapi setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga
mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan
sel Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan
mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu
(misalnya IL-1) serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC kelas I dan
II, ICAM-1, LFA-3, dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh
keratinosit yaitu TNF, yang dapat mengaktivasi sel T, menginduksi perubahan
molekul adesi sel dan pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC kelas I
dan II.
TNF menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada
epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel
Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening
setempat melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans
mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada sel T penolong spesifik,
yaitu yang mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel
Langerhans dan kompleks reseptor sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah
diproses. Ada atau tidak adanya sel T spesifik ini ditentukan secara genetik.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk
mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan
5
menstimulai proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel
ini yaitu sel T-memori (sel-T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah
bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi
tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung 2-3 minggu.
Menurut konsep ‘danger’ signal, bahwa sinyal antigenik murni suatu
hapten cenderung menyebabkan toleransi sedangkan sinyal iritannya
menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian terjadinya sensitisasi kontak
bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal dari alergen kontak
sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respons iritan, dari bahan
kimia inflamasi pada kulit yang meradang, atau kombinasi dari ketiganya. Jadi
sinyal ‘bahaya’ yang menyebabkan sensitisasi tidak berasal dari sinyal antigenik
sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya. Suatu tindakan mengurangi
iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi.
Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai
resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergik.
Fase Elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen
yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen
dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk
mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1
dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular
adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta
sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk
melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang
meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema,
edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan atau
penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses
skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel Langerhans dan sel
keratinosit serta pelepasan Prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag
akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2R sel T
serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil
6
juga ikut berperan dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam
paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang
bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T
terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan.
Fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam.
Gambar 3. Fase Elisitasi dari Reaksi Hipersentivitas karena ‘contact-sensitizing agent’. 16
Gambar 1. Patofisiologi dari Dermatitis Kontak Alergi.
7
Perubahan histologik pada keadaan dermatitis terjadi pada epidermis dan
dermis, bergantung pada stadiumnya.
Gambar 4. Histologi kulit
Pada stadium akut kelainan di epidermis berupa spongiosis, vesikel atau
bula, edema intrasel, dan eksositosis terutama sel mononuclear. Dermis sembab,
pembuluh darah melebar, serbukan sel radang terutama sel mononuclear, kadang
eosinofil juga ditemukan, bergantung pada penyebab dermatitis.
Perubahan histologik pada stadium subakut hampir seperti stadium akut,
spongiosis, jumlah vesikel berkurang, epidermis mulai menebal (akantosis
ringan), tertutup krusta, stratum korneum mengalami parakeratosis setempat;
eksositosis berkurang; edema di dermis berkurang, vasodilatasi masih jelas,
serbukan sel radang masih jelas, fibroblast mulai meningkat jumlahnya.
Epidermis pada stadium kronis menebal (akantosis), stratum korneum
menebal (hiperkeratosis dan parakeratosis setempat), rete ridges memanjang,
kadang ditemukan spongiosis ringan, tidak lagi terlihat vesikel, eksositosis sedikit,
pigmen melanin terutama di sel basal bertambah. Papila dermis memanjang
(papilomatosis), dinding pembuluh darah menebal, dermis bagian atas terutama
sekitar pembuluh darah menebal, dermis bagian atas terutama sekitar pembuluh
8
darah bersebukan sel radang mononuclear, jumlah fibroblast bertambah, kolagen
menebal.
Gambar 5. Gambaran Mikroskopis Dermatitis Kontak Alergi
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Durasi dari DKA bervariasi pada setiap
orang. DKA akan bertambah parah selama alergen terus kontak dengan kulit. Ada
beberapa tipe dari dermatitis kontak alergi:
1. Akut
Eritema yang berbatas tegas dan edema, vesikel, dan/atau papul. Pada
reaksi yang hebat dapat berupa bula, erosi dengan serum, dan krusta.
Eritema→papul→ vesikel→ erosi→ krusta→ skuama
2. Subakut
Plak dengan eritema ringan, bersisik, kadang dengan papul yang kecil,
merah, dan berkelompok.
3. Kronik
Plak dengan likenifikasi (penebalan epidermis dengan garis kulit yang
mendalam dengan pola pararel atau rhomboidal), pengelupasan dengan
papul yang kecil, padat, berkelompok, ekskoriasi, eritema, dan pigmentasi.
Papul→ skuama→ likenifikasi→ ekskoriasi
9
Berbagai lokasi terjadinya Dermatitis Kontak Alergi
Tangan dan lengan. Dermatitis pada tangan biasanya disebabkan karena
banyak faktor, mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang paling
sering digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Sekitar dua pertiga
dari seluruh kasus dermatitis kontak melibatkan tangan yang merupakan
tempat penting untuk dermatitis kontak alergi dan iritan. Dermatitis dengan
gambaran bergaris-garis pada jari, punggung tangan, dan lengan bawah
biasanya disebabkan karena tanaman. Pada pekerjaan yang basah (kontak
lama dengan air), misalnya memasak makanan, mencuci pakaian, pengatur
rambut di salon, angka kejadian dermatitis tangan lebih tinggi. Lengan terkena
alergen yang sama seperti tangan, tetapi biasanya belakangan. Jika sarung
tangan digunakan saat bekerja, lengan bawah biasanya merupakan tempat
utama dari dermatitis okupasional.
Gambar 2. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat
tali jam tangan karena alergi terhadap nikel.
Wajah. Wajah selalu terpapar oleh sejumah besar alergen. Dermatitis pada
wajah dapat terjadi sendiri atau berhubungan dengan eksema pada tangan.
Semua alergen yang kontak dengan tangan dapat mengenai muka, kelopak
mata, dan leher pada waktu menyeka keringat. Dermatitis kontak pada wajah
dapat disebabkan oleh bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal, alergen di
udara (aero-alergen), nikel (tangkai kacamata), dan alergen lain yang kontak
dengan tangan.1 Dermatitis yang terjadi karena kosmetik biasanya diawali
10
dengan kulit kering, kaku, dan gatal. Banyak wanita yang segera mengganti
produk kosmetik mereka pada tahap ini dan tidak menemui dokter spesialis.
Gambar 3. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick.
Pasien hipersensitif terhadap eosin.
Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis
kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca mata,
cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar dapat
mengandung akrilak, bahan plastik, serta bahan kimia lainnya. Anting-anting
yang menyebabkan dermatitis pada telinga umumnya yang terbuat dari nikel
dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase sensitisasi
pada dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis kontak
kronik.
11
Gambar 4. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian leher.
Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan plastik handphonenya.
Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau
pewangi pakaian.
Gambar 5. Dermatitis kontak pada perut karena pasien alergi pada karet dari celananya. 8
Genitalia. Penyebabnya data antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi,
12
deterjen. Bila mengenai daerah anal mungkin disebabkan oleh obat
antihemoroid.
Gambar 6. Dermatitis kontak yang terjadi pada daerah vulva
karena alergi pada cream yang mengandung neomisin.
Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh
tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen,
sepatu/sandal.1 Pada kaki dapat disebabkan oleh sepatu dan kaus kaki pada
athlete’s foot, antiseptik, dan antiperspiran.
Gambar 7. Dermatitis kontak alergi yang terjadi karena Quaternium-15,
bahan pengawet pada pelembab.
13
Generalisasi. Eritroderma yang terjadi menyeluruh dapat merupakan hasil dari
dermatitis kontak kronis karena lanjutan paparan alergen di lingkungan, bahkan di
rumah sakit, misalnya kontak dengan kasur yang didesinfeksi dengan
formaldehide atau pengobatan topikal yang meresap pada sprei.
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak alergik perlu dilakukan uji
tempel. Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas di antara 70-80 % . Tempat
untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji tempel
diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn
Chamber System Kit dan T.R.U.E. Test, keduanya buatan Amerika Serikat.
Terdapat pula antigen standar bikinan pabrik di Eropa dan negara lain.
Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa bahan
kimia, dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang
berasal dari rumah, lingkungan kerja, atau tempat rekreasi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:
1. Dermatitis harus sudah tenang. Sebab bila masih dalam keaadan akut atau
berat dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau ‘excited skin’, reaksi positif palsu,
atau dapat juga mengakibatkan penyakit yang dideritanya semakin memburuk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya 1 minggu setelah pemakaian
kortikosteroid (topical dan sistemik) dihentikan sebab dapat memberikan
reaksi negatif palsu (toleransi pemakaian prednisone <20mg/hari atau dosis
yang ekuivalen dengan itu). Luka bakar karena sinar matahari (sun burn) yang
terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan juga dapat memberikan hasil negatif
palsu.
3. Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca.
4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi
longgar karena dapat member hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang
mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu
kering setelah dibuka uji tempelnya hingga pembacaan selesai.
5. Tidak melakukan uji pada penderita dengan riwayat urtikaria dadakan.
14
Uji tempel dilekatkan selama 48 jam. Kemudian dilakukan pembacaan
hasil uji tempel pada: menit 15-30, jam 72-96, >96 jam.\ Reaksi tersebut dinilai
sebagai:
1+ eritema.
2+ eritema, edema, papul.
3+ eritema, edema, papul, vesikel.
4+ sama dengan 3+, tetapi disertai vesikel yang berkonfluensi.
5+ sama dengan 4+, tetapi keadaan mandidans dengan atau tanpa nekrosis.3
Gambar 9. Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam
15
T.R.U.E. Test® (Mekos Laboratories, Hillerod, Denmark) patch-test.
A. Hasil uji positif terhadap picaridin (KBR) 2,5%.
B. Hasil uji positif terhadap methyl glucose diolate (MGD) 10%.
Gambar 8. Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien.
Pemeriksaan Histopalogi. Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah
tersensitisasi, menginvasi dermis dan epidermis serta menyebabkan edema
dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara
histologi tidak spesifik.
Epidermis:
o Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum korneum.
o Hiperplastik, akantosis yang luas.
o Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini ditandai
dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan spinosus.
o Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul normal.
Dermis:
o Limfosit perivesikuler.
o Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi.
o Edema.
16
Gambar 9. Dermatitis kontak alergi. Hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal,
spongiosis sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis yang dinyatakan lewat
infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila
epidermis.
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis dermatitis kontak alergi dapat ditegakkan dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pertanyaan mengenai kontaktan
yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan
kulit berupa lesi numular disekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi,
dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai
kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data
yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal
yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada
keluarganya (misalnya dermatitis atopik, psoriasis).
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan
pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Misalnya di ketiak oleh deodoran, dipergelangan tangan oleh jam tangan dan
17
dikedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh
permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-
sebab endogen. Diagnosis dari DKA jelas terlihat ketika area inflamasi merupakan
daerah yang tepat ditutupi oleh alergen. Hal yang sama mungkin timbul pada
dermatitis pada tangan, namun banyak kasus dermatitis alergi dan dermatitis iritan
tangan tidak dapat disingkirkan dengan hanya melihat manifestasi klinisnya.
Inflamasi pada tangan, apapun penyebabnya, meningkat pada paparan lebih lanjut
oleh bahan kimia, mencuci, goresan, pengobatan dan infeksi. Inflamasi pada
bagian dorsum tangan lebih sering iritan atau atopik dibanding alergi.
Demografi dan riwayat
pekerjaan
Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status
pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,
paparan berulang dari alergen yang didapat saat
kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.
Riwayat penyakit dalam
keluarga
Faktor genetik, predisposisi
Riwayat penyakit
sebelumnya
Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-
obat yang digunakan, tindakan bedah
Riwayat dermatitis yang
spesifik
Onset, lokasi, pengobatan
Tabel 2. Penelusuran riwayat pada DKA
2.8 DIAGNOSA BANDING
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang
khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis seboroik, atau psoriasis.
Diagnosis banding yang yang terutama ialah dengan DKI.
Dermatitis Kontak Iritan
18
Bila oleh karena iritasi, reaksi akan menurun setelah 48 jam (reaksi tipe decresendo), sedangkan reaksi alergi kontak makin meningkat (reaksi
tipe cresendo).
DKI DKA
Gejala Akut Perih, gatal Gatal, nyeri
Kronik Gatal/nyeri Gatal/nyeri
LesiAkut
Eritem Vesikel Erosi
Krusta bSkuama
Eritema papul vesikel
erosi krusta skuama
KronikPapul, plak, fisura, skuama,
krusta
Papul, plak, skuama, krusta
Batas
dan letakAkut
Berbatas tegas, sesuai
pajanan allergen.
Berbatas tegas, sesuai pajanan
allergen tapi bisa meluas ke
perifer; biasanya papul kecil yang
bisa menyebar luas.
Kronik Terbatas Terbatas, meluas
EvolusiAkut
Sangat cepat (beberapa jam
setelah pajanan)
Cepat (12 sampai 72 jam setelah
pajanan)
KronikPajanan yang berulang dari
bulan sampai tahunan
Bulanan atau lebih lama lagi,
eksaserbasi setiap kali terpajan
Agen
penyebab
Tergantung pada
konsentrasi dari agen
penyebab dan pertahanan
kulit
Relatif independen dari jumlah
yang diterapkan, biasanya cukup
dengan konsentrasi sangat rendah
tetapi tergantung pada tingkat
kepekaan
19
DKI DKA
InsidenDapat terjadi pada semua
orang
Hanya terjadi pada orang yang
sudah tersensitisasi
Tabel 3. Perbedaan DKI dan DKA.5
Gambar 10. Dermatitis kontak iritan akut pada tangan yang disebabkan oleh bahan
industri. Tampak blister massive pada telapak tangan.
Dermatitis Atopik
Pada pasien dengan lesi terlokalisir, dermatitis atopik mungkin dicurigai
karena riwayat pribadi yang khas, sejarah keluarga, atau karena adanya stigmata
dermatitis seperti pucat perioral, sebuah lipatan tambahan di bawah kelopak mata
bawah (garis Dennie's), meningkatnya garis-garis pada telapak tangan, dan
kejadian peningkatan infeksi kulit, terutama dengan Staphylococcus aureus.19
Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan
likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural).
20
Gambar 11. Hiperpigmentasi, likenifikasi, dan sisik di fossa antecubital
pada pasien dengan dermatitis atopik.
Gambar 10. Dermatitis atopik : infatile. Terdapat eritema, vesikel, dan krusta pada
wajah dan lesi yang serupa pada badan dan lengan.
Dermatitis Seboroik
Ditemukan pada tempat seboroik dengan kelainan khas berupa skuama
berminyak, warna kekuningan.
21
Gambar 13. Dermatitis seboroik pada wanita 36 tahun di daerah wajah dengan plak yang
berbatas tegas dengan skuama berminyak yang berwarna kekuningan.
Psoriasis
Pada psoriasis terdapat tanda-tanda yang khas, yakni skuama kasar,
transparan serta berlapis-lapis, fenomena tetesan lilin, dan fenomena Auspitz.
Gambar 14.
Psoriasis pada pasien dengan kulit agak gelap dengan karakteristik hilangnya kemerahan
pada kulit dan tampak skuama berlapis yang berwarna putih.
2.9 PENATALAKSANAAN
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah
upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan
menekan kelainan kulit yang timbul.
Selain itu, beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita
dermatitis kontak alergi adalah sebagai berikut:
1. Menghindari pajanan
Identifikasi dan hilangkan agen penyebab
2. Terapi topikal
Kortikosteroid topikal
Jika lesi basah diberi kompres KMnO4 1/5000. Jika sudah
mengering diberi kortikosteroid topikal seperti hidrokortison 1-2 %,
triamsinolon 0,1 %, fluosinolon 0,025%, desoksimetason 2-2,5% dan
22
betametason-dipropionat 0,05%. Pengobatan dengan kostikosteroid
biasanya untuk dermatitis kontak alergi yang berlangsung singkat, efek
samping dari pemberian glukokortikoid ini biasanya tidak berbahaya.
Hidrokortison sebagai obat pertama dari golongan kortikosteroid
mempunyai khasiat yang sangat luas, yaitu : anti inflamasi, anti alergi, anti
pruritus, anti mitotik dan vasokonstriksi. Setelah itu, dikenal
kortikosteroid yang lebih poten daripada hidrokortison, yaitu
kortikosteroid yang bersenyawa halogen yang dikenal sebagai fluorinated
corticosteroid. Zat-zat ini pda konsentrasi 0,025% sampai 0,1%
memberikan pengaruh anti inflamasi yang kuat, yang termasuk dalam
golongan ini ialah, antara lain : betametason, betametason valerat,
betametason benzoat, fluosinolon asetonid, dan triamsinolon asetonid.
Lama pemakaian steroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6
minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk
potensi kuat.
Kompres dingin dengan Burrow’s solution
Kompres ini dilakukan untuk mengurangi pembentukan vesikel,
kompres ini diganti setiap 2-3 jam.
Prinsip pengobatan cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari
debris dan sisa-sisa obat topikal yang pernah dipakai. Di samping itu
terjadi perlunakan dan pecahnya vesikel, bula, dan pustula. Hasil akhir
pengobatan ialah keadaan yang membasah menjadi kering, permukaan
menjadi besih sehingga mikroorganisme tidak dapat sembuh dan mulai
terjadi proses epitelisasi. Pengobatan cairan berguna untuk menghilangkan
gejala, misalnya rasa gatal, rasa terbakar, parestesi oleh bermacam-macam
dermatosis.
23
3. Terapi sistemik
Kortikosteroid
Indikasi kortikosteroid jika gelajanya berat (pasien tidak dapat
melakukan aktivitas harian, tidak dapat tidur) untuk lesi eksudatif.
Prednison awalnya diberikan 70 mg (dewasa), kemudian di tapering 5
sampai 10 mg selama 1-2 minggu.
Efek terapeurik glukokortikoid yang paling penting adalah
kemampuannya untuk mengurangi respons peradangan secara dramatis
dan untuk menekan imunitas. Mekanisme yang pasti sangat kompleks.
Namun, diketahui bahwa penurunan dan penghambatan limfosit dan
makrofag perifer memegang peranan. Juga penghambatan fosfolipase A2
secara tidak langsung (karena steroid diperantarai oleh peningkatan
lipokotrin), yang menghambat pelepasan asam arakidonat, prekursor
prostaglandin dan leukotrien, dari fosfolipid yang terikat pada membran.
Immunosupressan
Pada dermatitis kontak alergi yang melalui udara menghindari
allergen total mungkin mustahil, Immunosupressan dengan siklosporin
mungkin penting. 2
Siklosporin bekerja dengan menghambat kalsineurin. Kalsineurin
adalah enzim fosfatase dependent kalsium dan memegang peranan penting
dalam defosforilasi (aktivasi) protein regulator di sitosol, yaitu NFATc
(nuclear factor of activated T cell). Setelah mengalami defosforilasi,
NFATc ini mengalami translokasi ke dalam nukleus untuk mengaktifkan
gen yang bertanggungjawab dalam sintesis sitokin. Hambatan kalsineurin
akan menghambat transkripsi gen-gen tersebut.
2.10 PROGNOSIS
Prognosis dermatitis kontak alergi tergantung pada penyebab dan
bagaimana caranya menghindari pajanan alergen yang berulang-ulang. Kelompok
dermatitis iritan dan faktor konstitusional juga penting. Banyak penelitian
menyebutkan bahwa onset umur tidak penting terhadap prognosis dermatitis yang
24
berhubungan dengan pekerjaan, namun baru-baru ini UK studi memperlihatkan
bahwa pada orang-orang dewasa yang memiliki riwayat atopik mungkin
berkembang dan orang-orang dengan dermatitis kontak alergi kemungkinan besar
tidak memiliki waktu untuk bekerja.
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila
bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis
numularis atau psoriasis) atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin
dihindari.
25
BAB III
KESIMPULAN
DKA terjadi akibat pajanan ulang dengan bahan dari luar yang bersifat
haptenik atau antigenik yang sama, atau mempunyai struktur kimia serupa pada
kulit seseorang yang telah tersensitasi sebelumnya.
DKA merupakan reaksi ketika sebuah bahan kontak dengan kulit yang
telah mengalami perubahan teraktivasi spesifik. Perubahan reaktivitas ini
merupakan hasil dari paparan sebelumnya yang terjadi pada kulit yang didapat
dari bahan material atau zat kimia lain yang terkait.
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul
umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses,
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum
sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya (sel hidup). Berbagai faktor
berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis
per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan
kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya
keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan
epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar
matahari).
Pada dermatitis kontak alergi terjadi reaksi tipe IV yaitu hipersensitivitas
tipe lambat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed/ cytotoxic type cell mediated
hypersensitivity) ini dijalankan oleh komponen imunitas seluler yaitu limfosit T.
Sel T yang telah tersensitisasi oleh suatu antigen tertentu, pada pemajanan
berikutnya dengan antigen yang sama akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin.
Sitokin yang diproduksi antara lain macrophages chemotactic factor, macrophages
inhibitory factor, interleukin 1, tumor necrosis factor alpha dan interpheron
26
gamma. Sitokin ini akan berfungsi merekrut sel-sel radang terutama sel T dan
makrofag di tempat antigen.
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Durasi dari DKA bervariasi pada setiap
orang. Berbagai lokasi terjadinya Dermatitis Kontak Alergi adalah:
1. Tangan dan lengan
2. Wajah
3. Telinga
4. Badan
5. Genitalia
6. Paha dan tungkai bawah
7. Generalisasi.
Untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak alergik perlu dilakukan uji
tempel. Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas di antara 70-80 % . Tempat
untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:
1. Dermatitis harus sudah tenang.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya 1 minggu setelah pemakaian
kortikosteroid.
3. Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca.
4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel
menjadi longgar.
5. Tidak melakukan uji pada penderita dengan riwayat urtikaria dadakan.
Diagnosis dermatitis kontak alergi dapat ditegakkan dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pertanyaan mengenai kontaktan
yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan
kulit berupa lesi numular disekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi,
dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai
kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data
yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal
27
yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada
keluarganya (misalnya dermatitis atopik, psoriasis).
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan
pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Misalnya di ketiak oleh deodoran, dipergelangan tangan oleh jam tangan dan
dikedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh
permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-
sebab endogen. Diagnosis dari DKA jelas terlihat ketika area inflamasi merupakan
daerah yang tepat ditutupi oleh alergen. Hal yang sama mungkin timbul pada
dermatitis pada tangan, namun banyak kasus dermatitis alergi dan dermatitis iritan
tangan tidak dapat disingkirkan dengan hanya melihat manifestasi klinisnya.
Inflamasi pada tangan, apapun penyebabnya, meningkat pada paparan lebih lanjut
oleh bahan kimia, mencuci, goresan, pengobatan dan infeksi. Inflamasi pada
bagian dorsum tangan lebih sering iritan atau atopik dibanding alergi.
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah
upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan
menekan kelainan kulit yang timbul. Selain itu, beberapa penatalaksanaan yang
dapat dilakukan pada penderita dermatitis kontak alergi adalah sebagai berikut:
1. Menghindari pajanan
2. Terapi topikal
o Kortikosteroid topikal
o Kompres dingin dengan Burrow’s solution
3. Terapi sistemik
o Kortikosteroid
o Immunosupressan
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontakannya dapat disingkirkan. Namun prognosis dapat kurang baik jika terdapat
faktor endogen lain atau pajanan bahan kontak iritan tidak dapat dihindari.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed. 5. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2007.
2. Judanarso, Jubianto. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi 3, FKUI.
Jakarta: 2007
3. Martohardjo, Sunarko. dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/SMF
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, RSU dr. Soetomo. Surabaya: 2004
4. Siregar R.S. Saripati Penyakit Kulit, Edisi 2, EGC. Jakarta.
5. Suyono, Sunarso. dkk. 2009. Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi 2, FK
UNAIR. Surabaya.
6. Wolf, Klaus, Goldsmith, Lowell, et al. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine 7th Ed. Mcgraw Hill. United State of America.
7. www.emedicine.net
8. www.medicastore.com
9. www.scribd.com
29