infeksi virus sistemik

42
BAB II PATOMEKANISME INFEKSI VIRUS SISTEMIK 2.1 VIRUS Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. DKA terjadi akibat pajanan ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik yang sama, atau mempunyai struktur kimia serupa pada kulit seseorang yang telah tersensitasi sebelumnya. Reaksi alergik yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat atau tipe IV menurut klasifikasi Coombs dan Gell dengan perantaraan sel limfosit T. 2.2 EPIDEMIOLOGI DKA merupakan reaksi ketika sebuah bahan kontak dengan kulit yang telah mengalami perubahan teraktivasi spesifik. Perubahan reaktivitas ini merupakan hasil dari paparan sebelumnya yang terjadi pada kulit yang didapat dari bahan material atau zat kimia lain yang terkait. Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis kontak alergi lebih sedikit karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat peka 1

Upload: ayu-annisa-charantia

Post on 15-Apr-2016

57 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

kulit

TRANSCRIPT

Page 1: infeksi virus sistemik

BAB II

PATOMEKANISME INFEKSI VIRUS SISTEMIK

2.1 VIRUS

Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang

timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. DKA terjadi

akibat pajanan ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik

yang sama, atau mempunyai struktur kimia serupa pada kulit seseorang yang telah

tersensitasi sebelumnya. Reaksi alergik yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas

tipe lambat atau tipe IV menurut klasifikasi Coombs dan Gell dengan perantaraan

sel limfosit T.

2.2 EPIDEMIOLOGI

DKA merupakan reaksi ketika sebuah bahan kontak dengan kulit yang

telah mengalami perubahan teraktivasi spesifik. Perubahan reaktivitas ini

merupakan hasil dari paparan sebelumnya yang terjadi pada kulit yang didapat

dari bahan material atau zat kimia lain yang terkait.

Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita

dermatitis kontak alergi lebih sedikit karena hanya mengenai orang yang kulitnya

sangat peka (hipersensitif). DKA dapat mengenai semua umur dan frekuensi sama

pada pria dan wanita.

Banyak data epidemologi mengenai DKA telah diperhitungkan dari

laporan pemerintah mengenai prevalensi dan dampak ekonomi dari penyakit kulit

akibat kerja ini. Asumsi dasar dari banyak penelitian adalah kebanyakan

dermatitis yang terjadi karena pekerjaan memiliki tipe iritan. Akan tetapi, ada

bukti terbaru yang menunjukkan proporsi yang lebih luar dari dermatosis alergi

akibat pekerjaan dari yang sebelumnya dibayangkan.

Pada tahun 2001, 4.714 kasus dermatitis akibat pekerjaan dilaporkan pada

Statistik Pekerja Bureau, terjadi penurunan 50% dari 9.472 kasus yang dilaporkan

1

Page 2: infeksi virus sistemik

10 tahun sebelumnya. Penurunan substansial dalam dekade ini, baik dalam rata-

rata ataupun jumlah mutlak kasus dermatitis akibat pekerjaan (dermatitis

okupasional) mencerminkan perbaikan dari kondisi kerja dan dapat menjelaskan

penurunan relatif dari DKI dan peningkatan proporsi DKA. Penting untuk dicatat

bahwa prevalensi DKA dalam populasi umum sering diprediksi dari data yang

diperoleh dari hasil penelitian dermatitis akibat kerja yang pasiennya telah diuji

temple (Patch test).

Secara klinis, pada individu dengan umur > 65 tahun memiliki kecacatan

pada fase elisitasi dari DKA. Pada penelitian reaktivitas Rush, individu yang lebih

muda (18-25 tahun) memiliki onset dan penyembuhan dermatitis yang lebih cepat

dibandingkan pada orang yang lebih tua. Saat fase sensitisasi mencapai batas

standar, analisis terhadap alergen ternyata menunjukkan adanya pengaruh umur.

Insiden penyakit ini ditemukan menurun secara signifikan pada orang yang lebih

tua dari 70 tahun.

Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring

dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung bahan kimia yang

dipakai masyarakat. Namun informasi mengenai prevalensi dan insidens DKA di

masyarakat sangat sedikit, sehingga beberapa angka yang mendekati kebenaran

belum didapat. Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak

80% dan DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat

menunjukkan bahwa dermatitis kontak akibat kerja karena alergi ternyata cukup

tinggi yaitu berkisar antara 50-60 %. Sedangkan dari satu penelitian ditemukan

frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih sering daripada DKA akibat

kerja.

2.3 ETIOLOGIPenyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang

belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis di

bawahnya (sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas

daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan

kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar

matahari).

2

Page 3: infeksi virus sistemik

Alergen Sumber Penularan

Nikel sulfat Logam, logam pada pakaian, perhiasan,

agen katalisator

Neomisin sulfat Biasanya terkandung dalam cream, obat

salep

Balsam of Peru Pengobatan topical

Campuran wewangian Kosmetik, wewangian

Thimerosal Antiseptik

Sodium gold tiosulfat Obat-obatan

Formaldehida Desinfektan, plastic

Quaternium-15 Desinfektan

Cobalt klorida Semen, galvanisasi, minyak industri,

agen pendingin

Basitrasin Obat salep, bedak

Metildibromoglutaronitril

fenoksilatanol

Kosmetik, bahan pengawet

Campuran karba Karet, lateks

Etilneurea melamin-formaldehida resin Tekstil

Thiuram Karet

p-Fenil diamin Pewarna tekstil yang hitam atau gelap,

tinta printer

Parahidroksibenzoic acid ester Bahan pengawet pada makanan

Propilene glycol Bahan pengawet, kosmetik

Prokain, benzokain Anastesi local

Sulfonamide Obat-obatan

Turpentin Bahan pelarut, semir sepatu, tinta

printer

Garam merkuri Desinfektan, impregnasi

Krom Semen, antioksidan, minyak industri,

korek api, kulit

3

Page 4: infeksi virus sistemik

Cinnamic aldehihida Wewangian, parfum

Tabel 1.

10 alergen utama penyebab Dermatitis Kontak dan allergen umum lainnya.

2.4 PATOGENESIS

Pada dermatitis kontak alergi terjadi reaksi tipe IV yaitu hipersensitivitas

tipe lambat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed/ cytotoxic type cell mediated

hypersensitivity) ini dijalankan oleh komponen imunitas seluler yaitu limfosit T.

Sel T yang telah tersensitisasi oleh suatu antigen tertentu, pada pemajanan

berikutnya dengan antigen yang sama akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin.

Sitokin yang diproduksi antara lain macrophages chemotactic factor, macrophages

inhibitory factor, interleukin 1, tumor necrosis factor alpha dan interpheron

gamma. Sitokin ini akan berfungsi merekrut sel-sel radang terutama sel T dan

makrofag di tempat antigen.

Gambar 2. Respon Hispersensitivitas type IV yang diperantarai oleh sitokin yang dilepaskan

oleh TH1 yang dirangsang oleh pajanan antigen. 16

Patogenesisnya melalui 2 fase ialah fase induksi (fase sensitisasi) dan fase

elisitasi. Fase induksi saat kontak pertama alergen dengan kulit sampai limfosit

4

Page 5: infeksi virus sistemik

mengenal dan memberi respons, memerlukan waktu 2-3 minggu. Fase elisitasi

ialah saat terjadi pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa sampai

timbul gejala klinis.

Fase Sensitisasi

Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini

terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan

kontaktan yang disebut alergen kontak atau pemeka.

Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan

ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara

kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-

DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam keadaan

istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan

menstimulasi sel T. Tetapi setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga

mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan

sel Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan

mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu

(misalnya IL-1) serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC kelas I dan

II, ICAM-1, LFA-3, dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh

keratinosit yaitu TNF, yang dapat mengaktivasi sel T, menginduksi perubahan

molekul adesi sel dan pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC kelas I

dan II.

TNF menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada

epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel

Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening

setempat melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans

mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada sel T penolong spesifik,

yaitu yang mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel

Langerhans dan kompleks reseptor sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah

diproses. Ada atau tidak adanya sel T spesifik ini ditentukan secara genetik.

Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk

mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan

5

Page 6: infeksi virus sistemik

menstimulai proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel

ini yaitu sel T-memori (sel-T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah

bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi

tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung 2-3 minggu.

Menurut konsep ‘danger’ signal, bahwa sinyal antigenik murni suatu

hapten cenderung menyebabkan toleransi sedangkan sinyal iritannya

menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian terjadinya sensitisasi kontak

bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal dari alergen kontak

sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respons iritan, dari bahan

kimia inflamasi pada kulit yang meradang, atau kombinasi dari ketiganya. Jadi

sinyal ‘bahaya’ yang menyebabkan sensitisasi tidak berasal dari sinyal antigenik

sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya. Suatu tindakan mengurangi

iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi.

Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai

resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergik.

Fase Elisitasi

Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen

yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen

dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk

mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1

dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular

adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta

sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk

melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang

meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema,

edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan atau

penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses

skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel Langerhans dan sel

keratinosit serta pelepasan Prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag

akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2R sel T

serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil

6

Page 7: infeksi virus sistemik

juga ikut berperan dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam

paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang

bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T

terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan.

Fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam.

Gambar 3. Fase Elisitasi dari Reaksi Hipersentivitas karena ‘contact-sensitizing agent’. 16

Gambar 1. Patofisiologi dari Dermatitis Kontak Alergi.

7

Page 8: infeksi virus sistemik

Perubahan histologik pada keadaan dermatitis terjadi pada epidermis dan

dermis, bergantung pada stadiumnya.

Gambar 4. Histologi kulit

Pada stadium akut kelainan di epidermis berupa spongiosis, vesikel atau

bula, edema intrasel, dan eksositosis terutama sel mononuclear. Dermis sembab,

pembuluh darah melebar, serbukan sel radang terutama sel mononuclear, kadang

eosinofil juga ditemukan, bergantung pada penyebab dermatitis.

Perubahan histologik pada stadium subakut hampir seperti stadium akut,

spongiosis, jumlah vesikel berkurang, epidermis mulai menebal (akantosis

ringan), tertutup krusta, stratum korneum mengalami parakeratosis setempat;

eksositosis berkurang; edema di dermis berkurang, vasodilatasi masih jelas,

serbukan sel radang masih jelas, fibroblast mulai meningkat jumlahnya.

Epidermis pada stadium kronis menebal (akantosis), stratum korneum

menebal (hiperkeratosis dan parakeratosis setempat), rete ridges memanjang,

kadang ditemukan spongiosis ringan, tidak lagi terlihat vesikel, eksositosis sedikit,

pigmen melanin terutama di sel basal bertambah. Papila dermis memanjang

(papilomatosis), dinding pembuluh darah menebal, dermis bagian atas terutama

sekitar pembuluh darah menebal, dermis bagian atas terutama sekitar pembuluh

8

Page 9: infeksi virus sistemik

darah bersebukan sel radang mononuclear, jumlah fibroblast bertambah, kolagen

menebal.

Gambar 5. Gambaran Mikroskopis Dermatitis Kontak Alergi

2.5 MANIFESTASI KLINIS

Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada

keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Durasi dari DKA bervariasi pada setiap

orang. DKA akan bertambah parah selama alergen terus kontak dengan kulit. Ada

beberapa tipe dari dermatitis kontak alergi:

1. Akut

Eritema yang berbatas tegas dan edema, vesikel, dan/atau papul. Pada

reaksi yang hebat dapat berupa bula, erosi dengan serum, dan krusta.

Eritema→papul→ vesikel→ erosi→ krusta→ skuama

2. Subakut

Plak dengan eritema ringan, bersisik, kadang dengan papul yang kecil,

merah, dan berkelompok.

3. Kronik

Plak dengan likenifikasi (penebalan epidermis dengan garis kulit yang

mendalam dengan pola pararel atau rhomboidal), pengelupasan dengan

papul yang kecil, padat, berkelompok, ekskoriasi, eritema, dan pigmentasi.

Papul→ skuama→ likenifikasi→ ekskoriasi

9

Page 10: infeksi virus sistemik

Berbagai lokasi terjadinya Dermatitis Kontak Alergi

Tangan dan lengan. Dermatitis pada tangan biasanya disebabkan karena

banyak faktor, mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang paling

sering digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Sekitar dua pertiga

dari seluruh kasus dermatitis kontak melibatkan tangan yang merupakan

tempat penting untuk dermatitis kontak alergi dan iritan. Dermatitis dengan

gambaran bergaris-garis pada jari, punggung tangan, dan lengan bawah

biasanya disebabkan karena tanaman. Pada pekerjaan yang basah (kontak

lama dengan air), misalnya memasak makanan, mencuci pakaian, pengatur

rambut di salon, angka kejadian dermatitis tangan lebih tinggi. Lengan terkena

alergen yang sama seperti tangan, tetapi biasanya belakangan. Jika sarung

tangan digunakan saat bekerja, lengan bawah biasanya merupakan tempat

utama dari dermatitis okupasional.

Gambar 2. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat

tali jam tangan karena alergi terhadap nikel.

Wajah. Wajah selalu terpapar oleh sejumah besar alergen. Dermatitis pada

wajah dapat terjadi sendiri atau berhubungan dengan eksema pada tangan.

Semua alergen yang kontak dengan tangan dapat mengenai muka, kelopak

mata, dan leher pada waktu menyeka keringat. Dermatitis kontak pada wajah

dapat disebabkan oleh bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal, alergen di

udara (aero-alergen), nikel (tangkai kacamata), dan alergen lain yang kontak

dengan tangan.1 Dermatitis yang terjadi karena kosmetik biasanya diawali

10

Page 11: infeksi virus sistemik

dengan kulit kering, kaku, dan gatal. Banyak wanita yang segera mengganti

produk kosmetik mereka pada tahap ini dan tidak menemui dokter spesialis.

Gambar 3. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick.

Pasien hipersensitif terhadap eosin.

Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis

kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca mata,

cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar dapat

mengandung akrilak, bahan plastik, serta bahan kimia lainnya. Anting-anting

yang menyebabkan dermatitis pada telinga umumnya yang terbuat dari nikel

dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase sensitisasi

pada dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis kontak

kronik.

11

Page 12: infeksi virus sistemik

Gambar 4. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian leher.

Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan plastik handphonenya.

Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna

kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau

pewangi pakaian.

Gambar 5. Dermatitis kontak pada perut karena pasien alergi pada karet dari celananya. 8

Genitalia. Penyebabnya data antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,

pembalut wanita alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi,

12

Page 13: infeksi virus sistemik

deterjen. Bila mengenai daerah anal mungkin disebabkan oleh obat

antihemoroid.

Gambar 6. Dermatitis kontak yang terjadi pada daerah vulva

karena alergi pada cream yang mengandung neomisin.

Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh

tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen,

sepatu/sandal.1 Pada kaki dapat disebabkan oleh sepatu dan kaus kaki pada

athlete’s foot, antiseptik, dan antiperspiran.

Gambar 7. Dermatitis kontak alergi yang terjadi karena Quaternium-15,

bahan pengawet pada pelembab.

13

Page 14: infeksi virus sistemik

Generalisasi. Eritroderma yang terjadi menyeluruh dapat merupakan hasil dari

dermatitis kontak kronis karena lanjutan paparan alergen di lingkungan, bahkan di

rumah sakit, misalnya kontak dengan kasur yang didesinfeksi dengan

formaldehide atau pengobatan topikal yang meresap pada sprei.

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak alergik perlu dilakukan uji

tempel. Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas di antara 70-80 % . Tempat

untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji tempel

diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn

Chamber System Kit dan T.R.U.E. Test, keduanya buatan Amerika Serikat.

Terdapat pula antigen standar bikinan pabrik di Eropa dan negara lain.

Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa bahan

kimia, dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang

berasal dari rumah, lingkungan kerja, atau tempat rekreasi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:

1. Dermatitis harus sudah tenang. Sebab bila masih dalam keaadan akut atau

berat dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau ‘excited skin’, reaksi positif palsu,

atau dapat juga mengakibatkan penyakit yang dideritanya semakin memburuk.

2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya 1 minggu setelah pemakaian

kortikosteroid (topical dan sistemik) dihentikan sebab dapat memberikan

reaksi negatif palsu (toleransi pemakaian prednisone <20mg/hari atau dosis

yang ekuivalen dengan itu). Luka bakar karena sinar matahari (sun burn) yang

terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan juga dapat memberikan hasil negatif

palsu.

3. Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca.

4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi

longgar karena dapat member hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang

mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu

kering setelah dibuka uji tempelnya hingga pembacaan selesai.

5. Tidak melakukan uji pada penderita dengan riwayat urtikaria dadakan.

14

Page 15: infeksi virus sistemik

Uji tempel dilekatkan selama 48 jam. Kemudian dilakukan pembacaan

hasil uji tempel pada: menit 15-30, jam 72-96, >96 jam.\ Reaksi tersebut dinilai

sebagai:

1+ eritema.

2+ eritema, edema, papul.

3+ eritema, edema, papul, vesikel.

4+ sama dengan 3+, tetapi disertai vesikel yang berkonfluensi.

5+ sama dengan 4+, tetapi keadaan mandidans dengan atau tanpa nekrosis.3

Gambar 9. Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam

15

T.R.U.E. Test® (Mekos Laboratories, Hillerod, Denmark) patch-test.

A. Hasil uji positif terhadap picaridin (KBR) 2,5%.

B. Hasil uji positif terhadap methyl glucose diolate (MGD) 10%.

Page 16: infeksi virus sistemik

Gambar 8. Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien.

Pemeriksaan Histopalogi. Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah

tersensitisasi, menginvasi dermis dan epidermis serta menyebabkan edema

dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara

histologi tidak spesifik.

Epidermis:

o Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum korneum.

o Hiperplastik, akantosis yang luas.

o Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini ditandai

dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan spinosus.

o Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul normal.

Dermis:

o Limfosit perivesikuler.

o Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi.

o Edema.

16

Page 17: infeksi virus sistemik

Gambar 9. Dermatitis kontak alergi. Hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal,

spongiosis sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis yang dinyatakan lewat

infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila

epidermis.

2.7 DIAGNOSIS

Diagnosis dermatitis kontak alergi dapat ditegakkan dari hasil anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pertanyaan mengenai kontaktan

yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan

kulit berupa lesi numular disekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi,

dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai

kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data

yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal

yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui

menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada

keluarganya (misalnya dermatitis atopik, psoriasis).

Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan

pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.

Misalnya di ketiak oleh deodoran, dipergelangan tangan oleh jam tangan dan

17

Page 18: infeksi virus sistemik

dikedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh

permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-

sebab endogen. Diagnosis dari DKA jelas terlihat ketika area inflamasi merupakan

daerah yang tepat ditutupi oleh alergen. Hal yang sama mungkin timbul pada

dermatitis pada tangan, namun banyak kasus dermatitis alergi dan dermatitis iritan

tangan tidak dapat disingkirkan dengan hanya melihat manifestasi klinisnya.

Inflamasi pada tangan, apapun penyebabnya, meningkat pada paparan lebih lanjut

oleh bahan kimia, mencuci, goresan, pengobatan dan infeksi. Inflamasi pada

bagian dorsum tangan lebih sering iritan atau atopik dibanding alergi.

Demografi dan riwayat

pekerjaan

Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status

pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,

paparan berulang dari alergen yang didapat saat

kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.

Riwayat penyakit dalam

keluarga

Faktor genetik, predisposisi

Riwayat penyakit

sebelumnya

Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-

obat yang digunakan, tindakan bedah

Riwayat dermatitis yang

spesifik

Onset, lokasi, pengobatan

Tabel 2. Penelusuran riwayat pada DKA

2.8 DIAGNOSA BANDING

Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang

khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis seboroik, atau psoriasis.

Diagnosis banding yang yang terutama ialah dengan DKI.

Dermatitis Kontak Iritan

18

Page 19: infeksi virus sistemik

Bila oleh karena iritasi, reaksi akan menurun setelah 48 jam (reaksi tipe decresendo), sedangkan reaksi alergi kontak makin meningkat (reaksi

tipe cresendo).

DKI DKA

Gejala Akut Perih, gatal   Gatal, nyeri 

Kronik Gatal/nyeri Gatal/nyeri

LesiAkut

Eritem Vesikel Erosi

Krusta bSkuama

Eritema papul vesikel

erosi krusta skuama

KronikPapul, plak, fisura, skuama,

krusta

Papul, plak, skuama, krusta

Batas

dan letakAkut

Berbatas tegas, sesuai

pajanan allergen. 

Berbatas tegas, sesuai pajanan

allergen tapi bisa meluas ke

perifer; biasanya papul kecil yang

bisa menyebar luas.

Kronik Terbatas Terbatas, meluas

EvolusiAkut

Sangat cepat (beberapa jam

setelah pajanan) 

Cepat (12 sampai 72 jam setelah

pajanan) 

KronikPajanan yang berulang dari

bulan sampai tahunan

Bulanan atau lebih lama lagi,

eksaserbasi setiap kali terpajan

Agen

penyebab

Tergantung pada

konsentrasi dari agen

penyebab dan pertahanan

kulit

Relatif independen dari jumlah

yang diterapkan, biasanya cukup

dengan konsentrasi sangat rendah

tetapi tergantung pada tingkat

kepekaan

19

Page 20: infeksi virus sistemik

DKI DKA

InsidenDapat terjadi pada semua

orang 

Hanya terjadi pada orang yang

sudah tersensitisasi

Tabel 3. Perbedaan DKI dan DKA.5

Gambar 10. Dermatitis kontak iritan akut pada tangan yang disebabkan oleh bahan

industri. Tampak blister massive pada telapak tangan.

Dermatitis Atopik

Pada pasien dengan lesi terlokalisir, dermatitis atopik mungkin dicurigai

karena riwayat pribadi yang khas, sejarah keluarga, atau karena adanya stigmata

dermatitis seperti pucat perioral, sebuah lipatan tambahan di bawah kelopak mata

bawah (garis Dennie's), meningkatnya garis-garis pada telapak tangan, dan

kejadian peningkatan infeksi kulit, terutama dengan Staphylococcus aureus.19

Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan

likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural).

20

Page 21: infeksi virus sistemik

Gambar 11. Hiperpigmentasi, likenifikasi, dan sisik di fossa antecubital

pada pasien dengan dermatitis atopik.

Gambar 10. Dermatitis atopik : infatile. Terdapat eritema, vesikel, dan krusta pada

wajah dan lesi yang serupa pada badan dan lengan.

Dermatitis Seboroik

Ditemukan pada tempat seboroik dengan kelainan khas berupa skuama

berminyak, warna kekuningan.

21

Page 22: infeksi virus sistemik

Gambar 13. Dermatitis seboroik pada wanita 36 tahun di daerah wajah dengan plak yang

berbatas tegas dengan skuama berminyak yang berwarna kekuningan.

Psoriasis

Pada psoriasis terdapat tanda-tanda yang khas, yakni skuama kasar,

transparan serta berlapis-lapis, fenomena tetesan lilin, dan fenomena Auspitz.

Gambar 14.

Psoriasis pada pasien dengan kulit agak gelap dengan karakteristik hilangnya kemerahan

pada kulit dan tampak skuama berlapis yang berwarna putih.

2.9 PENATALAKSANAAN

Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah

upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan

menekan kelainan kulit yang timbul.

Selain itu, beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita

dermatitis kontak alergi adalah sebagai berikut:

1. Menghindari pajanan

Identifikasi dan hilangkan agen penyebab

2. Terapi topikal

Kortikosteroid topikal

Jika lesi basah diberi kompres KMnO4 1/5000. Jika sudah

mengering diberi kortikosteroid topikal seperti hidrokortison 1-2 %,

triamsinolon 0,1 %, fluosinolon 0,025%, desoksimetason 2-2,5% dan

22

Page 23: infeksi virus sistemik

betametason-dipropionat 0,05%. Pengobatan dengan kostikosteroid

biasanya untuk dermatitis kontak alergi yang berlangsung singkat, efek

samping dari pemberian glukokortikoid ini biasanya tidak berbahaya.

Hidrokortison sebagai obat pertama dari golongan kortikosteroid

mempunyai khasiat yang sangat luas, yaitu : anti inflamasi, anti alergi, anti

pruritus, anti mitotik dan vasokonstriksi. Setelah itu, dikenal

kortikosteroid yang lebih poten daripada hidrokortison, yaitu

kortikosteroid yang bersenyawa halogen yang dikenal sebagai fluorinated

corticosteroid. Zat-zat ini pda konsentrasi 0,025% sampai 0,1%

memberikan pengaruh anti inflamasi yang kuat, yang termasuk dalam

golongan ini ialah, antara lain : betametason, betametason valerat,

betametason benzoat, fluosinolon asetonid, dan triamsinolon asetonid.

Lama pemakaian steroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6

minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk

potensi kuat.

Kompres dingin dengan Burrow’s solution

Kompres ini dilakukan untuk mengurangi pembentukan vesikel,

kompres ini diganti setiap 2-3 jam.

Prinsip pengobatan cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari

debris dan sisa-sisa obat topikal yang pernah dipakai. Di samping itu

terjadi perlunakan dan pecahnya vesikel, bula, dan pustula. Hasil akhir

pengobatan ialah keadaan yang membasah menjadi kering, permukaan

menjadi besih sehingga mikroorganisme tidak dapat sembuh dan mulai

terjadi proses epitelisasi. Pengobatan cairan berguna untuk menghilangkan

gejala, misalnya rasa gatal, rasa terbakar, parestesi oleh bermacam-macam

dermatosis.

23

Page 24: infeksi virus sistemik

3. Terapi sistemik

Kortikosteroid

Indikasi kortikosteroid jika gelajanya berat (pasien tidak dapat

melakukan aktivitas harian, tidak dapat tidur) untuk lesi eksudatif.

Prednison awalnya diberikan 70 mg (dewasa), kemudian di tapering 5

sampai 10 mg selama 1-2 minggu.

Efek terapeurik glukokortikoid yang paling penting adalah

kemampuannya untuk mengurangi respons peradangan secara dramatis

dan untuk menekan imunitas. Mekanisme yang pasti sangat kompleks.

Namun, diketahui bahwa penurunan dan penghambatan limfosit dan

makrofag perifer memegang peranan. Juga penghambatan fosfolipase A2

secara tidak langsung (karena steroid diperantarai oleh peningkatan

lipokotrin), yang menghambat pelepasan asam arakidonat, prekursor

prostaglandin dan leukotrien, dari fosfolipid yang terikat pada membran.

Immunosupressan

Pada dermatitis kontak alergi yang melalui udara menghindari

allergen total mungkin mustahil, Immunosupressan dengan siklosporin

mungkin penting. 2

Siklosporin bekerja dengan menghambat kalsineurin. Kalsineurin

adalah enzim fosfatase dependent kalsium dan memegang peranan penting

dalam defosforilasi (aktivasi) protein regulator di sitosol, yaitu NFATc

(nuclear factor of activated T cell). Setelah mengalami defosforilasi,

NFATc ini mengalami translokasi ke dalam nukleus untuk mengaktifkan

gen yang bertanggungjawab dalam sintesis sitokin. Hambatan kalsineurin

akan menghambat transkripsi gen-gen tersebut.

2.10 PROGNOSIS

Prognosis dermatitis kontak alergi tergantung pada penyebab dan

bagaimana caranya menghindari pajanan alergen yang berulang-ulang. Kelompok

dermatitis iritan dan faktor konstitusional juga penting. Banyak penelitian

menyebutkan bahwa onset umur tidak penting terhadap prognosis dermatitis yang

24

Page 25: infeksi virus sistemik

berhubungan dengan pekerjaan, namun baru-baru ini UK studi memperlihatkan

bahwa pada orang-orang dewasa yang memiliki riwayat atopik mungkin

berkembang dan orang-orang dengan dermatitis kontak alergi kemungkinan besar

tidak memiliki waktu untuk bekerja.

Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan

kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila

bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis

numularis atau psoriasis) atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin

dihindari.

25

Page 26: infeksi virus sistemik

BAB III

KESIMPULAN

DKA terjadi akibat pajanan ulang dengan bahan dari luar yang bersifat

haptenik atau antigenik yang sama, atau mempunyai struktur kimia serupa pada

kulit seseorang yang telah tersensitasi sebelumnya.

DKA merupakan reaksi ketika sebuah bahan kontak dengan kulit yang

telah mengalami perubahan teraktivasi spesifik. Perubahan reaktivitas ini

merupakan hasil dari paparan sebelumnya yang terjadi pada kulit yang didapat

dari bahan material atau zat kimia lain yang terkait.

Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul

umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses,

disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum

sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya (sel hidup). Berbagai faktor

berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis

per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan

kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya

keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan

epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar

matahari).

Pada dermatitis kontak alergi terjadi reaksi tipe IV yaitu hipersensitivitas

tipe lambat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed/ cytotoxic type cell mediated

hypersensitivity) ini dijalankan oleh komponen imunitas seluler yaitu limfosit T.

Sel T yang telah tersensitisasi oleh suatu antigen tertentu, pada pemajanan

berikutnya dengan antigen yang sama akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin.

Sitokin yang diproduksi antara lain macrophages chemotactic factor, macrophages

inhibitory factor, interleukin 1, tumor necrosis factor alpha dan interpheron

26

Page 27: infeksi virus sistemik

gamma. Sitokin ini akan berfungsi merekrut sel-sel radang terutama sel T dan

makrofag di tempat antigen.

Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada

keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Durasi dari DKA bervariasi pada setiap

orang. Berbagai lokasi terjadinya Dermatitis Kontak Alergi adalah:

1. Tangan dan lengan

2. Wajah

3. Telinga

4. Badan

5. Genitalia

6. Paha dan tungkai bawah

7. Generalisasi.

Untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak alergik perlu dilakukan uji

tempel. Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas di antara 70-80 % . Tempat

untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:

1. Dermatitis harus sudah tenang.

2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya 1 minggu setelah pemakaian

kortikosteroid.

3. Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca.

4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel

menjadi longgar.

5. Tidak melakukan uji pada penderita dengan riwayat urtikaria dadakan.

Diagnosis dermatitis kontak alergi dapat ditegakkan dari hasil anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pertanyaan mengenai kontaktan

yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan

kulit berupa lesi numular disekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi,

dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai

kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data

yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal

27

Page 28: infeksi virus sistemik

yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui

menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada

keluarganya (misalnya dermatitis atopik, psoriasis).

Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan

pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.

Misalnya di ketiak oleh deodoran, dipergelangan tangan oleh jam tangan dan

dikedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh

permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-

sebab endogen. Diagnosis dari DKA jelas terlihat ketika area inflamasi merupakan

daerah yang tepat ditutupi oleh alergen. Hal yang sama mungkin timbul pada

dermatitis pada tangan, namun banyak kasus dermatitis alergi dan dermatitis iritan

tangan tidak dapat disingkirkan dengan hanya melihat manifestasi klinisnya.

Inflamasi pada tangan, apapun penyebabnya, meningkat pada paparan lebih lanjut

oleh bahan kimia, mencuci, goresan, pengobatan dan infeksi. Inflamasi pada

bagian dorsum tangan lebih sering iritan atau atopik dibanding alergi.

Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah

upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan

menekan kelainan kulit yang timbul. Selain itu, beberapa penatalaksanaan yang

dapat dilakukan pada penderita dermatitis kontak alergi adalah sebagai berikut:

1. Menghindari pajanan

2. Terapi topikal

o Kortikosteroid topikal

o Kompres dingin dengan Burrow’s solution

3. Terapi sistemik

o Kortikosteroid

o Immunosupressan

Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan

kontakannya dapat disingkirkan. Namun prognosis dapat kurang baik jika terdapat

faktor endogen lain atau pajanan bahan kontak iritan tidak dapat dihindari.

28

Page 29: infeksi virus sistemik

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed. 5. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2007.

2. Judanarso, Jubianto. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi 3, FKUI.

Jakarta: 2007

3. Martohardjo, Sunarko. dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/SMF

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, RSU dr. Soetomo. Surabaya: 2004

4. Siregar R.S. Saripati Penyakit Kulit, Edisi 2, EGC. Jakarta.

5. Suyono, Sunarso. dkk. 2009. Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi 2, FK

UNAIR. Surabaya.

6. Wolf, Klaus, Goldsmith, Lowell, et al. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology

in General Medicine 7th Ed. Mcgraw Hill. United State of America.

7. www.emedicine.net

8. www.medicastore.com

9. www.scribd.com

29