makalah tasawuf
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk mengetahui sejarah hukum Islam, harus diketahui terlebih dahulu latar belakang
munculnya suatu hukum, baik yang didasarkan pada al-Qur'an dan Sunah maupun tidak. Kalau
tidak, maka akan melahirkan pemahaman hukum yang cenderung ekstrim bahkan mengarah pada
merasa benar sendiri. Oleh karena itu memahami hukum Islam dengan mengetahui latar
belakang pembentukan hukumnya menjadi sangat penting agar tidak salah dalam memahami
hukum Islam itu. Misalnya, fiqh adalah hasil produk pemikiran ulama baik secara individu
maupun kolektif. Oleh karena itu mempelajari perkembangan fiqh berarti mempelajari pemikiran
ulama yang telah melakukan ijtihad dengan segala kemampuan yang memilikinya. Dengan
demikian mempelajari sejarah hukum Islam berarti melakukan langkah awal dalam
mengkonstruksikan pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah ijtihadnya untuk
diimplementasikan sehingga kemaslahatan manusia senantiasa terpelihara. Di antara kegunaan
mempelajari sejarah hukum Islam adalah agar dapat melahirkan sikap hidup toleran dan untuk
mewarisi pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah ijtihadnya agar dapat mengembangkan
gagasan-gagasannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Tarikh Tasyri’ ?
2. Macam-Macam Tasyri’ ?
3. Urgensi & Keunggulan Mempelajari Tarikh Tasyri’ ?
4. Syariat Islam & Hukum Wadh’I (Hukum Positif) ?
5. Face-Face Tarikh Tasyri’ ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TARIKH TASYRI’, MAKNA SYARI’AH DAN TASYRI’
Tarikh artinya catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan dan tahun. Lebih populer
dan sederhana diartikan sebagai sejarah atau riwayat. Sedangkan syariah adalah peraturan atau
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw
untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu keyakinan (aturan-aturan yang berkaitan
dengan aqidah), perbuatan (ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tindakan hukum
seseorang) dan akhlak (tentang nilai baik dan buruk).
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama itu), maka
ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
(Al-Jatsiyah: 18)
Sedangkan tasyri’ berarti penetapan atau pemberlakuan syariat yang berlangsung sejak
diutusnya Rasulullah saw dan berakhir hingga wafat beliau. Namun para ulama kemudian
memperluas pembahasan tarikh (sejarah) tasyri’ sehingga mencakup pula perkembangan fiqh
Islami dan proses kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad para ulama sepanjang sejarah umat Islam.
Oleh karena itu pembahasan tarikh tasyri’ dimulai sejak pertama kali wahyu diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw hingga masa kini. Tasyri' juga bermakna legislation, enactment of law,
artinya penetapan undang-undang dalam agama Islam. Kata Syariat secara bahasa berarti al-
utbah (lekuk liku lembah), dan maurid al- ma'i (sumber air) yang jernih untuk diminum. Lalu
kata ini digunakan untuk mengungkapkan al-thariqah al-mustaqimah (jalan yang lurus). Sumber
air adalah tempat kehidupan dan keselamatan jiwa, begitu pula dengan jalan yang lurus yang
menunjuki manusia kepada kebaikan, di dalamnya terdapat kehidupan dan kebebasan dari
dahaga jiwa dan akal. Sebagaiman firman Allah SWT dalam surat al-Jatsiah ayat 18 di atas. Juga
firman Allah SWT dalam surat al-Syura ayat 13. Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang
agama apa yang Telah diwasiatkan- Nya kepada Nuh. Dan firman Allah SWT dalam surat al-
Maidah ayat 48. ….untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang
terang…. Syari'ah adalah "law statute" artinya hukum yang telah ditetapkan dalam agama Islam.
Syariat menurut fuqaha’ berarti hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT melalui Rasul untuk
2
hamba-Nya agar mereka mentaati hukum ini atas dasar iman, baik yang berkaitan dengan aqidah,
amaliah atau disebut ibadah dan muamalah atau yang berkaitan dengan akhlak. Menurut
Muhammad Ali al-Tahanuwi, syariat adalah hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk hamba-
Nya yang disampaikan melalui para Nabi atau Rasul, baik hukum yang berhubungan dengan
amaliah atau aqidah. Syariat disebut juga din (agama) dan millah. Syari’ah Islamiyah
didefinisikan dengan “apa yang telah ditetapkan Allah Taala untuk hamba-hamba-Nya berupa
aqidah, ibadah, akhlaq, muamalat, dan sistem kehidupan yang mengatur hubungan mereka
dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama makhluk agar terwujud kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Tarikh al-tasyri' menurut Muhammad Ali al-sayis adalah : "Ilmu yang membahas
keadaan hukum Islam pada masa kerasulan (Rasulullah SAW masih hidup) dan sesudahnya
dengan periodisasi munculnya hukum serta hal-hal yang berkaitan dengannya, (membahas) ciri-
ciri spesifikasi keadaan fuqaha’ dan mujtahid dalam merumuskan hukum-hukum tersebut”.
Menurut Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, tasyri' adalah pembentukan dan penetapan
perundang-undangan yang mengatur hukum perbuatan orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi
tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka. Jika pembentukan
undang-undang ini sumbernya dari Allah dengan perantaraan Rasul dan kitab-kitabnya, maka hal
itu dinamakan perundang-undangan Allah (at-Tasyri'ul Ilahiyah). Sedangkan jika sumbernya
datang dari manusia baik secara individual maupun kolektif, maka hal itu dinamakan perundang-
undangan buatan manusia (at-Tasyri'ul Wadh'iyah). Secara sederhana Tarikh Tasyri' adalah
sejarah penetapan hukum Islam yang dimulai dari zaman Nabi sampai sekarang.
B. RUANG LINGKUP BAHASAN TARIKH TASYRI’ & MACAM-MACAM
TASYRI’
Meliputi : 1. Periodisasi hukum 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan ciri-ciri spesifikasinya
3. Fuqaha’ dan mujtahid 4. Pemikiran para mujtahid serta sistem pemikiran yang dipakai atau
sistem istinbath. Pembahasan tarikh tasyri' terbatas pada keadaan perundang-undangan Islam dari
zaman ke zaman yang dimulai dari zaman Nabi saw sampai zaman berikutnya, yang ditinjau dari
sudut pertumbuhan perundang-undangan Islam, termasuk didalamnya hal-hal yang menghambat
dan mendukungnya serta biografi sarjana-sarjana fiqh yang banyak mengarahkan pemikirannya
3
dalam upaya menetapkan perundang-undangan Islam. Kamil Musa dalam al-madkhal ila tarikh
at-Tasyri' al-Islami, mengatakan bahwa Tarikh Tasyri' tidak terbatas pada sejarah pembentukan
al Qur'an dan As Sunnah. Ia juga mencakup pemikiran, gagasan dan ijtihad ulama pada waktu
atau kurun tertentu. Macam-macam Tasyri', Secara umum tasyri' dapat dibedakan menjadi dua
yaitu dilihat dari sudut sumbernya dan dari sudut kekuatannya. Tasyri' dilihat dari sudut
sumbernya dibentuk pada periode Rasulullah SAW yaitu al-Qur'an dan Sunah. Sedangkan tasyri'
kedua yang dilihat dari kekuatan dan kandungannya mencakup ijtihad sahabat, tabi'in dan ulama
sesudahnya. Tasyri' tipe kedua ini dalam pandangan Umar Sulaiman al-Asyqar dapat dibedakan
menjadi dua bidang. Pertama bidang ibadah dan kedua bidang muamalat. Dalam bidang ibadah,
fiqh dibagi menjadi beberapa topik, yaitu : Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, I'tikaf, Jenazah, Haji,
umrah, sumpah, nadzar, jihad, makanan, minuman, kurban dan sembelihan. Bidang muamalat
dibagi menjadi beberapa topik yaitu perkawinan dan perceraian, ‘uqubat (hudud, qishash, dan
ta'zir), jual beli, bagi hasil (qiradl), gadai, musaqah, muzara'ah, upah, sewa, memindahkan utang
(hiwalah), syuf'ah, wakalah, pinjam meminjam ('ariyah), barang titipan, ghashab, luqathah
(barang temuan), jaminan (kafalah), seyembara (fi'alah), perseroan (syirkah), peradilan, waqaf,
hibah, penahanan dan pemeliharaan (al-hajr), washiat dan faraid (pembagian harta warisan).
Akan tetapi ulama Hanafiah seperti Ibnu Abidin berbeda pendapat dalam pembagian fiqh.
Dia membagi fiqh menjadi tiga bagian yaitu ibadah, muamalat dan uqubat. Cakupan fiqh ibadah
dalam pandangan mereka shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Cakupan fiqh muamalat adalah
pertukaran harta seperti jual beli, titipan, pinjam meminjam, perkawinan, mukhasamah
(gugatan), saksi, hakim dan peradilan. Sedangkan cakupan fiqh uqubat dalam pandangan ulama
Hanafiah adalah qishash, sanksi pencurian, sanksi zina, sanksi menuduh zina dan sanksi murtad.
Ulama syafi'iyah berbeda pendapat dengan mereka. Fiqh dibedakan menjadi empat yaitu fiqh
yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat ukhrawi (ibadah), fiqh yang berhubungan
dengan kegiatan yang bersifat duniawi (muamalat), fiqh yang berhubungan dengan masalah
keluarga (munakahat) dan fiqh yang berhubungan penyelenggaraan ketertiban negara (‘uqubat).
4
C. URGENSI & KEGUNAAN MEMPELAJARI TARIKH TASYRI’
1. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui prinsip dan tujuan syariat Islam.
2. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui kesempurnaan dan syumuliyah
(integralitas) ajaran Islam terhadap seluruh aspek kehidupan yang tercermin dalam peradaban
umat yang agung terutama di masa kejayaannya. Bahwa penerapan syariat Islam berarti
perhatian dan kepedulian negara dan masyarakat terhadap pendidikan, ilmu pengetahuan,
ekonomi, akhlaq, aqidah, hubungan sosial, sangsi hukum, dan aspek-aspek lainnya. Dengan
demikian adalah keliru jika ada persepsi bahwa syariat Islam hanyalah berisi hukum pidana
seperti qishash, rajam, dan sejenisnya.
3. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat menghargai usaha dan jasa para ulama, mulai dari
para sahabat Rasulullah saw hingga para imam dan murid-murid mereka dalam mengisi
khazanah ilmu dan peradaban kaum muslimin. Semua itu mereka ambil dari cahaya kenabian
yang dibawa oleh Rasulullah saw.
4. Melalui kajian ini akan tumbuh dalam diri kita kebanggaan terhadap Syariat Islam sekaligus
optimisme akan kembalinya siyadah al-syari’ah (kepemimpinan syariat) dalam kehidupan
umat di masa depan.
Untuk mengetahui KEGUNAAN mempelajari sejarah hukum Islam, harus diketahui terlebih
dahulu latar belakang munculnya suatu hukum, baik yang didasarkan pada al-Qur'an dan Sunah
maupun tidak. Kalau tidak, maka akan melahirkan pemahaman hukum yang cenderung ekstrim
bahkan mengarah pada merasa benar sendiri. Oleh karena itu memahami hukum Islam dengan
mengetahui latar belakang pembentukan hukumnya menjadi sangat penting agar tidak salah
dalam memahami hukum Islam itu. Misalnya, fiqh adalah hasil produk pemikiran ulama baik
secara individu maupun kolektif. Oleh karena itu mempelajari perkembangan fiqh berarti
mempelajari pemikiran ulama yang telah melakukan ijtihad dengan segala kemampuan yang
memilikinya. Dengan demikian mempelajari sejarah hukum Islam berarti melakukan langkah
awal dalam mengkonstruksikan pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah ijtihadnya untuk
diimplementasikan sehingga kemaslahatan manusia senantiasa terpelihara. Di antara kegunaan
mempelajari sejarah hukum Islam adalah agar dapat melahirkan sikap hidup toleran dan untuk
mewarisi pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah ijtihadnya agar dapat mengembangkan
gagasan-gagasannya.
5
D. SYARIAT ISLAM dan HUKUM WADH’I (HUKUM POSITIF)
Antara syariat Islam yang bersumber dari Allah Taala dengan hukum dan undang-undang buatan
manusia sebenarnya tak dapat dibandingkan, mengingat perbedaan antara Al-Khaliq yang Maha
Sempurna dengan makhluk yang maha lemah dan maha kurang. Keraguan terhadap kelaikan dan
keadilan syariat Islam berarti keraguan terhadap sifat Allah Taala yang Maha Sempurna, Maha
Tahu dan Maha Bijaksana, atau berarti keinginan kuat untuk membebaskan hawa nafsu dari
aturan-aturan Ilahi. Dan kedua hal ini berarti kekufuran. Al-Syahid ‘Abdul Qadir ‘Audah dalam
bukunya “Al-Tasyri’ Al-Jina-i fi Al-Islam” (Hukum Pidana dalam Islam) menyebutkan beberapa
keunggulan syariat Islam atas hukum dan undang-undang buatan manusia, di antaranya:
1. Hukum wadh’i tidak mengandung keadilan yang hakiki karena dibuat oleh manusia yang
memiliki hawa nafsu serta kepentingan. Jiwa Manusia tunduk dengan perasaan dan
kecenderungan tertentu sehingga produk hukum yang dihasilkan pun tidak mungkin
merealisasikan keadilan hakiki. Sedangkan syariat Islam bersumber dari Allah Yang Maha
Kaya dan tidak membutuhkan makhluk-Nya sehingga keadilannya adalah sebuah kepastian.
Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk
dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji. (Luqman: 12). Tuhanku tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.
(Thaha: 52). Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar
dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-An’am: 115). Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah: 49).
2. Manusia tidak tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan, apa lagi masa depan yang
jauh. Pengetahuan manusia hanya didasari pengalaman dan keadaan yang melingkupinya
saat ini. Oleh karena itu, hukum dan peraturan yang dibuatnya hanya mempertimbangkan
‘kekinian’ dan ‘kesinian’ serta pasti perlu diubah dan diperbaiki di lain tempat dan waktu.
Berbeda dengan syariat yang bersumber dari Dzat yang Maha Mengetahui masa lalu, kini
dan masa depan, pasti mampu menjawab tantangan setiap tempat dan zaman.
Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu tampakkan atau
rahasiakan)?! Padahal Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? (Al-Mulk: 14).
6
3. Hukum wadh’i memiliki prinsip-prinsip yang terbatas, diawali kemunculannya dari aturan
keluarga, kemudian berkembang menjadi aturan suku atau kabilah dan seterusnya. Dan baru
memiliki teori-teori ilmiahnya pada abad ke-19 M. Berbeda dengan syariat Islam yang sejak
masa kehidupan Rasulullah saw telah menjadi undang-undang yang lengkap dan sempurna
memenuhi segala kebutuhan individu, keluarga, masyarakat, negara serta hubungan
internasional. Di samping itu, sejak diturunkan, Syariat Islam tidak terbatas hanya untuk
kaum atau bangsa tertentu melainkan untuk semua umat manusia sepanjang zaman.
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
(Al-Anbiya: 107). Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-
Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3).
4. Hukum wadh’i hanya mengatur hubungan sesama manusia tanpa memiliki konsep aqidah
tauhid yang menghubungkan semua itu dengan Allah Taala. Sedangkan syariat Islam
dilandasi oleh tauhid dan keimanan kepada Allah dan hari akhir yang menjadi motivasi
utama ketaatan seorang hamba kepada syariat Allah Taala. Oleh karenanya hukum wadh’i
kehilangan kekuasaannya atas jiwa manusia di mana ia hanya mengandalkan sangsi hukum
semata dan ini memberi kesempatan kepada para penjahat untuk mencari celah kelemahan
hukum dan menggunakan berbagai tipu muslihat agar lepas dari jeratan hukum. Sedangkan
syariat Islam selalu memperhatikan pembinaan aqidah umat sebelum, ketika, dan setelah
penegakan hukum-hukumnya, sehingga sanksi hukum hanyalah salah satu faktor untuk
membuat masyarakat menjadi baik dan tertib. Motivasi spiritual, berupa pengawasan Allah
Ta’ala, rasa harap akan ridha-Nya dan takut akan murka-Nya menjadi faktor utama ketaatan
warga negara terhadap hukum. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya,
dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (An-Nisa: 93)
: �ي� �ل إ �ص�مون� ت �خ ت م �ك �ن ا ق�ال� �م� ل و�س� ه� �ي ع�ل �ه الل ص�ل�ى �ه� الل سول� ر� �ن� أ ه�ا ع�ن �ه الل ض�ي� ر� �م�ة� ل س� م% أ ع�ن
ق�ط ع�ة) �ه ل �ق ط�ع أ �م�ا �ن ف�إ �ه� �ق�و ل ب )ا ئ ي ش� �خ�يه� أ �ح�ق% ب �ه ل ت ق�ض�ي ف�م�ن �ع ض7 ب م�ن �ه� ت �حج� ب ح�ن �ل أ م �ع ض�ك ب �ع�ل� و�ل
. ومسلم البخاري خذ ه�ا �أ ي � ف�ال �ار� الن م�ن
7
Dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya kalian
mengadukan perkara di antara kalian kepadaku, boleh jadi salah satu pihak lebih pandai
berargumentasi dari pada pihak lain (sehingga aku memenangkannya). Maka siapa yang
aku menangkan perkaranya karena kepandaiannya berargumentasi (padahal sebenarnya
lawannya yang berhak dimenangkan), berarti aku telah memberikan kepadanya bagian dari
siksa neraka, maka janganlah ia mengambilnya.” (H.R. Bukhari-Muslim).
5. Hukum wadh’i mengabaikan faktor-faktor akhlaq dan menganggap pelanggaran hukum
hanya terbatas pada hal-hal yang membahayakan individu atau masyarakat secara langsung.
Namun hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas perbuatan zina, misalnya, kecuali jika ada
unsur paksaan dari salah satu pihak. Hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas peminum
minuman keras kecuali jika dilakukan di depan umum dan mengancam keamanan orang lain.
Hukum wadh’i tidak memberi sanksi bagi pezina karena zina adalah perbuatan keji yang
merusak moral, mengganggu keutuhan rumah tangga, mengacaukan nasab keturunan, dan
berpotensi menimbulkan berbagai bahaya kesehatan serta tersebarnya kerusakan moral.
Hukum wadh’i tidak menghukum peminum arak karena arak dan semua yang memabukkan
itu merusak akal dan tubuh, merusak akhlaq, dan menyia-nyiakan harta. Tetapi sekali lagi
sangsi hukum hanya diberlakukan jika perbuatan itu dianggap membahayakan orang lain
secara langsung dalam konteks fisik dan keamanan. Sedangkan syariat Islam adalah syariat
akhlaq yang memperhatikan kebaikan mental dan fisik masyarakat secara umum,
memperhatikan kebahagiaan dunia akhirat sekaligus, sehingga Islam melarang dan
menetapkan sangsi atas zina karena ia adalah perbuatan keji yang diharamkan Allah Swt
dengan berbagai dampak negatifnya meskipun dilakukan suka sama suka, begitu pula dengan
minum minuman yang memabukkan. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Al-Isra: 32). Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
menegakkan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Al-Maidah:
90-91)
8
E. FASE-FASE TARIKH TASYRI’
1. Fase Tasyri’: dari awal kenabian Muhammad saw hingga wafat beliau (11 H).
2. Fase Perkembangan Fiqh Pertama: Masa Khulafa Rasyidin, 11-40 H.
3. Fase Perkembangan Fiqh Kedua: Masa Sahabat Yunior atau Tabi’in Senior sampai
Permulaan Abad 2 H.
4. Fase Perkembangan Fiqh Ketiga: dari Permulaan Abad ke-2 hingga Pertengahan Abad ke-4
Hijriyah.
5. Fase Perkembangan Fiqh Keempat: dari Pertengahan Abad ke-4 hingga Jatuhnya Baghdad
tahun 656 H.
6. Fase Perkembangan Fiqh Kelima: dari Jatuhnya Baghdad hingga kini.
Dalam menyusun sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh) Islam, di kalangan ulama
fiqh kontemporer terdapat beberapa macam cara. Dua diantaranya yang terkenal adalah cara
menurut Syekh Muhammad Khudari Bek (mantan dosen Universitas Cairo) dan cara Mustafa
Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh Islam Universitas Amman, Yordania). Cara pertama,
periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syekh Muhammad Khudari Bek dalam
bukunya, Tarikh at-Tasyri’ al-Islamy (Sejarah Pembentukan Hukum Islam). Ia membagi masa
pembentukan hukum (fiqh) Islam dalam enam periode, yaitu:
1. Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul;
2. Periode para sahabat besar;
3. Periode sahabat kecil dan tabi’in;
4. Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H;
5. Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan
6. Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265]) sampai
sekarang.
Cara kedua, pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa dalam bukunya,
al-Madkhal al-Fiqhi al-’Amm (Pengantar Umum fiqh Islam). Ia membagi periodisasi
pembentukan dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode. Ia setuju dengan pembagian
Syekh Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia membagi periode keenam menjadi dua
bagian, yaitu:
9
1. Periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah
(Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H; dan
2. Periode sejak munculnya Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah sampai sekarang.
Periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa adalah sebagai
berikut:
PERIODE PERTAMA
Masa Rasulullah SAW. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan
Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur’an. Apabila ayat Al-Qur’an
tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah SWT
menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah SAW.
Istilah “fiqh” dalam pengertian yang dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern belum
dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh pada masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama,
yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Penger-
tian fiqh di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat atau
hadits), baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum, maupun kebudayaan. Disamping
itu, fiqh pada periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu
masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya
menyangkut kasus itu. Dengan demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode
Rasulullah SAW belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode
sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah SAW telah mengemukakan kaidah-kaidah umum
dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun dari sunnahnya
sendiri.
PERIODE KEDUA
Masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-1 H. Pada
zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang menyangkut
hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat, rujukan untuk tempat
bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa perlu dilakukan ijtihad
apabila hukum untuk suatu persoalan yang muncul dalam masyarakat tidak ditemukan di dalam
Al-Qur’an atau sunnah Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan
Islam membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di masing-
10
masing daerah. Dalam keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad dan
menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil ijtihad mereka. Ketika itu para
sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan memusyawarahkan persoalan itu. Apabila
sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak memiliki teman musyawarah atau sendiri, maka ia
melakukan ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang telah ditinggalkan Rasulullah SAW.
Pengertian fiqh dalam periode ini masih sama dengan fiqh di zaman Rasulullah SAW, yaitu
bersifat aktual, bukan teori. Artinya, ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu
saja, tidak merambat kepada kasus lain secara teoretis.
PERIODE KETIGA
Pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal pembentukan
fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, para sahabat sudah banyak
yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-masing sahabat
mengajarkan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di Irak dikenal
sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud), Zaid bin Sabit
(11 SH/611 M-45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di
Makkah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan
masyarakat setempat. Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang
dikenal dengan para tabi’in. Para tabi’in yang terkenal itu adalah Sa’id bin Musayyab (15-94 H)
di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah, Ibrahiman-Nakha’i (w. 76 H) di Kufah,
al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di Basra, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di
Yaman. Mereka ini kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi
panutan untuk masyarakat setempat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing
berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah
tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga
muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut. Dari perbedaan metode yang
dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqh Islam Madrasah al-hadits
(madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra’yu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan
sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-ra’yu dikenal
11
dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah. Kedua aliran ini menganut prinsip
yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada
hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah SAW, di samping kasus-kasus
yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika
dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih
banyak menggunakan logika dalam berijtihad. Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits
Rasulullah SAW yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi
jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas & kuantitas, dibandingkan yang dihadapi
Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya
homogen, sedang ulama Irak berhadapan dengan masyarakat yang relatif majemuk. Oleh sebab
itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan jika ulama Irak banyak
menggunakan logika dalam berijtihad.
Pada periode ketiga ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian
ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma
sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-
hukum syara’ yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh,
pada periode ketiga ini pun ushul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman.
Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh.
Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab
persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftirâdî (fiqh berdasarkan peng-
andaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).
Pada periode ketiga ini pengaruh ra’yu (ar-ra’yu; pemikiran tanpa berpedoman kepada Al-
Qur’an dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin berkembang karena ulama Madrasah
al-hadits juga mempergunakan ra’yu dalam fiqh mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula
fiqh Syi’ah yang dalam beberapa hal berbeda dari fiqh Ahlusunnah wal Jama’ah (imam yang
empat).
PERIODE KEEMPAT
Pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut sebagai periode
gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah muncul
berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki,
12
Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali. Pertentangan antara Madrasah al-hadits dengan Madrasah
ar-ra’yu semakin menipis sehingga masing-masing pihak mengakui peranan ra’yu dalam
berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di
Universitas al-Azhar, Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata
kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain. Imam
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang dikenal sebagai
Ahlurra’yu (Ahlulhadits dan Ahlurra’yu), datang ke Madinah berguru kepada Imam Malik dan
mempelajari kitabnya, al-Muwaththa’ (buku hadits dan fiqh). Imam asy-Syafi’i, salah seorang
tokoh ahlulhadits, datang belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam Abu Yusuf,
tokoh ahlurra’yu, banyak mendukung pendapat ahli hadits dengan mempergunakan hadits-hadits
Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah. kitab-kitab fiqh
banyak berisi ra’yu dan hadits. Hal ini menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing
kelompok.
Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai menganut salah
satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan
fiqh Mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Disamping sempurnanya
penyusunan kitab fiqh dalam berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab ushul
fiqh, seperti kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam Syafi’i. Sebagaimana pada periode ketiga,
pada periode ini fiqh iftirâdî semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh
tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoritis. Oleh
sebab itu, hukum untuk permasalahan yang mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan.
PERIODE KELIMA
Pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode ini ditandai dengan
menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka cukup puas dengan fiqh
yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak mencurahkan perhatian dalam
mengomentari, memperluas atau meringkas masalah yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-
masing. Lebih jauh, Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah
anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan
beberapa penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai
berikut:
13
1. Munculnya sikap ta’assub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan pengikut
mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab
daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad;
2. Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk
menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang diterapkan hanyalah hukum fiqh
mazhabnya; sedangkan sebelum periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah
ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu mazhab; dan
3. Munculnya buku fiqh yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal ini pun, menurut Imam
Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis
dalam buku-buku tersebut.
Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada
mazhab yang dianutnya. Di samping itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, perkembangan
pemikiran fiqh serta metode iitihad menyebabkan banyaknya upaya tarjadi (menguatkan satu
pendapat) dari ulama dan munculnya perdebatan antarmazhab di seluruh daerah. Hal ini pun
menyebabkan masing-masing pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelemahan
masing-masing. Akan tetapi, sebagaimana dituturkan Imam Muhammad Abu Zahrah, perdebatan
ini kadang-kadang jauh dari sikap-sikap ilmiah.
PERIODE KEENAM
Pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah pada tahun 1286
H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta
ta’assub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah SAW serta pertimbangan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, tetapi telah
beralih pada sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya
mentakhrij (mengembangkan fiqh melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan
mentarjih pun sudah mulai memudar. Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah
kitab fiqh dari kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan kitab fiqh pada periode ini pun hanya
terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini pemikiran
ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan penguasa pun sudah masuk
ke dalam masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum)
Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan
14
Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majallah al-Ahkam
al-’Adliyyah.
PERIODE KETUJUH
Sejak munculnya Majallah al-Ahkam al- ‘Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga ciri pembentukan
fiqh Islam pada periode ini, yaitu:
1. Munculnya Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan
dari fiqh Mazhab Hanafi;
2. Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan
3. Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab,
sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah
dilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di
pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab dan sering dalam satu
masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari berbagai kitab fiqh
merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di samping memerlukan waktu yang lama.
Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum
yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan. Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah
panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum
perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah yang terdiri atas
1.851 pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah, para
penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula
menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun
ketatanegaraan. Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai
negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil
yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari
mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan tabi’in, dengan syarat bahwa pendapat itu
lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai
mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga
(al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab. Di
dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih
15
sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang
hukum. Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum
keluarga yang disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian,
seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk
diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.
Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh pengaruh
hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini
menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat
mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di
daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa
penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah
bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania,
Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di
berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan dan pengembangan hukum
Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan
melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Menurutnya, ijtihad jama’i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama
dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya,
seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih
akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab. ? LH
16
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sedangkan tasyri’ berarti penetapan atau pemberlakuan syariat yang berlangsung sejak
diutusnya Rasulullah saw dan berakhir hingga wafat beliau. Namun para ulama kemudian
memperluas pembahasan tarikh (sejarah) tasyri’ sehingga mencakup pula perkembangan fiqh
Islami dan proses kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad para ulama sepanjang sejarah umat Islam.
Oleh karena itu pembahasan tarikh tasyri’ dimulai sejak pertama kali wahyu diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw hingga masa kini.
17
DAFTAR PUSTAKA
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-115.html
http://www.dakwatuna.com/2006/tarikh-tasyri-bagian-pertama/
Muhammad Ali Sayis, Tarikh fal-Fiqh Islamy (Beirut:Dar al-kutub al-Ilmiyah,1990)
Muhammad Salam Madkur, Al Madkhal Li al fiqh al Islam ( Cairo : Dar an Nadhah Islamiyah)
Umar Sulaiman al-Asygar, Tarikh al-Fiqh al- Islamy, (Amman: Dar al-Nafais,1991)
18