makalah tasawuf

27
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk mengetahui sejarah hukum Islam, harus diketahui terlebih dahulu latar belakang munculnya suatu hukum, baik yang didasarkan pada al-Qur'an dan Sunah maupun tidak. Kalau tidak, maka akan melahirkan pemahaman hukum yang cenderung ekstrim bahkan mengarah pada merasa benar sendiri. Oleh karena itu memahami hukum Islam dengan mengetahui latar belakang pembentukan hukumnya menjadi sangat penting agar tidak salah dalam memahami hukum Islam itu. Misalnya, fiqh adalah hasil produk pemikiran ulama baik secara individu maupun kolektif. Oleh karena itu mempelajari perkembangan fiqh berarti mempelajari pemikiran ulama yang telah melakukan ijtihad dengan segala kemampuan yang memilikinya. Dengan demikian mempelajari sejarah hukum Islam berarti melakukan langkah awal dalam mengkonstruksikan pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah ijtihadnya untuk diimplementasikan sehingga kemaslahatan manusia senantiasa terpelihara. Di antara kegunaan mempelajari sejarah hukum Islam adalah agar dapat melahirkan sikap hidup toleran dan untuk mewarisi pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah ijtihadnya agar dapat mengembangkan gagasan-gagasannya. B. Rumusan Masalah 1. Apa Pengertian Tarikh Tasyri’ ? 1

Upload: zed

Post on 23-Jun-2015

384 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Tasawuf

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk mengetahui sejarah hukum Islam, harus diketahui terlebih dahulu latar belakang

munculnya suatu hukum, baik yang didasarkan pada al-Qur'an dan Sunah maupun tidak. Kalau

tidak, maka akan melahirkan pemahaman hukum yang cenderung ekstrim bahkan mengarah pada

merasa benar sendiri. Oleh karena itu memahami hukum Islam dengan mengetahui latar

belakang pembentukan hukumnya menjadi sangat penting agar tidak salah dalam memahami

hukum Islam itu. Misalnya, fiqh adalah hasil produk pemikiran ulama baik secara individu

maupun kolektif. Oleh karena itu mempelajari perkembangan fiqh berarti mempelajari pemikiran

ulama yang telah melakukan ijtihad dengan segala kemampuan yang memilikinya. Dengan

demikian mempelajari sejarah hukum Islam berarti melakukan langkah awal dalam

mengkonstruksikan pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah ijtihadnya untuk

diimplementasikan sehingga kemaslahatan manusia senantiasa terpelihara. Di antara kegunaan

mempelajari sejarah hukum Islam adalah agar dapat melahirkan sikap hidup toleran dan untuk

mewarisi pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah ijtihadnya agar dapat mengembangkan

gagasan-gagasannya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Tarikh Tasyri’ ?

2. Macam-Macam Tasyri’ ?

3. Urgensi & Keunggulan Mempelajari Tarikh Tasyri’ ?

4. Syariat Islam & Hukum Wadh’I (Hukum Positif) ?

5. Face-Face Tarikh Tasyri’ ?

1

Page 2: Makalah Tasawuf

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TARIKH TASYRI’, MAKNA SYARI’AH DAN TASYRI’

Tarikh artinya catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan dan tahun. Lebih populer

dan sederhana diartikan sebagai sejarah atau riwayat. Sedangkan syariah adalah peraturan atau

ketentuan-ketentuan yang ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw

untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu keyakinan (aturan-aturan yang berkaitan

dengan aqidah), perbuatan (ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tindakan hukum

seseorang) dan akhlak (tentang nilai baik dan buruk).

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama itu), maka

ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.

(Al-Jatsiyah: 18)

Sedangkan tasyri’ berarti penetapan atau pemberlakuan syariat yang berlangsung sejak

diutusnya Rasulullah saw dan berakhir hingga wafat beliau. Namun para ulama kemudian

memperluas pembahasan tarikh (sejarah) tasyri’ sehingga mencakup pula perkembangan fiqh

Islami dan proses kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad para ulama sepanjang sejarah umat Islam.

Oleh karena itu pembahasan tarikh tasyri’ dimulai sejak pertama kali wahyu diturunkan kepada

Nabi Muhammad saw hingga masa kini. Tasyri' juga bermakna legislation, enactment of law,

artinya penetapan undang-undang dalam agama Islam. Kata Syariat secara bahasa berarti al-

utbah (lekuk liku lembah), dan maurid al- ma'i (sumber air) yang jernih untuk diminum. Lalu

kata ini digunakan untuk mengungkapkan al-thariqah al-mustaqimah (jalan yang lurus). Sumber

air adalah tempat kehidupan dan keselamatan jiwa, begitu pula dengan jalan yang lurus yang

menunjuki manusia kepada kebaikan, di dalamnya terdapat kehidupan dan kebebasan dari

dahaga jiwa dan akal. Sebagaiman firman Allah SWT dalam surat al-Jatsiah ayat 18 di atas. Juga

firman Allah SWT dalam surat al-Syura ayat 13. Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang

agama apa yang Telah diwasiatkan- Nya kepada Nuh. Dan firman Allah SWT dalam surat al-

Maidah ayat 48. ….untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang

terang…. Syari'ah adalah "law statute" artinya hukum yang telah ditetapkan dalam agama Islam.

Syariat menurut fuqaha’ berarti hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT melalui Rasul untuk

2

Page 3: Makalah Tasawuf

hamba-Nya agar mereka mentaati hukum ini atas dasar iman, baik yang berkaitan dengan aqidah,

amaliah atau disebut ibadah dan muamalah atau yang berkaitan dengan akhlak. Menurut

Muhammad Ali al-Tahanuwi, syariat adalah hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk hamba-

Nya yang disampaikan melalui para Nabi atau Rasul, baik hukum yang berhubungan dengan

amaliah atau aqidah. Syariat disebut juga din (agama) dan millah. Syari’ah Islamiyah

didefinisikan dengan “apa yang telah ditetapkan Allah Taala untuk hamba-hamba-Nya berupa

aqidah, ibadah, akhlaq, muamalat, dan sistem kehidupan yang mengatur hubungan mereka

dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama makhluk agar terwujud kebahagiaan dunia dan

akhirat.

Tarikh al-tasyri' menurut Muhammad Ali al-sayis adalah : "Ilmu yang membahas

keadaan hukum Islam pada masa kerasulan (Rasulullah SAW masih hidup) dan sesudahnya

dengan periodisasi munculnya hukum serta hal-hal yang berkaitan dengannya, (membahas) ciri-

ciri spesifikasi keadaan fuqaha’ dan mujtahid dalam merumuskan hukum-hukum tersebut”.

Menurut Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, tasyri' adalah pembentukan dan penetapan

perundang-undangan yang mengatur hukum perbuatan orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi

tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka. Jika pembentukan

undang-undang ini sumbernya dari Allah dengan perantaraan Rasul dan kitab-kitabnya, maka hal

itu dinamakan perundang-undangan Allah (at-Tasyri'ul Ilahiyah). Sedangkan jika sumbernya

datang dari manusia baik secara individual maupun kolektif, maka hal itu dinamakan perundang-

undangan buatan manusia (at-Tasyri'ul Wadh'iyah). Secara sederhana Tarikh Tasyri' adalah

sejarah penetapan hukum Islam yang dimulai dari zaman Nabi sampai sekarang.

B. RUANG LINGKUP BAHASAN TARIKH TASYRI’ & MACAM-MACAM

TASYRI’

Meliputi : 1. Periodisasi hukum 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan ciri-ciri spesifikasinya

3. Fuqaha’ dan mujtahid 4. Pemikiran para mujtahid serta sistem pemikiran yang dipakai atau

sistem istinbath. Pembahasan tarikh tasyri' terbatas pada keadaan perundang-undangan Islam dari

zaman ke zaman yang dimulai dari zaman Nabi saw sampai zaman berikutnya, yang ditinjau dari

sudut pertumbuhan perundang-undangan Islam, termasuk didalamnya hal-hal yang menghambat

dan mendukungnya serta biografi sarjana-sarjana fiqh yang banyak mengarahkan pemikirannya

3

Page 4: Makalah Tasawuf

dalam upaya menetapkan perundang-undangan Islam. Kamil Musa dalam al-madkhal ila tarikh

at-Tasyri' al-Islami, mengatakan bahwa Tarikh Tasyri' tidak terbatas pada sejarah pembentukan

al Qur'an dan As Sunnah. Ia juga mencakup pemikiran, gagasan dan ijtihad ulama pada waktu

atau kurun tertentu. Macam-macam Tasyri', Secara umum tasyri' dapat dibedakan menjadi dua

yaitu dilihat dari sudut sumbernya dan dari sudut kekuatannya. Tasyri' dilihat dari sudut

sumbernya dibentuk pada periode Rasulullah SAW yaitu al-Qur'an dan Sunah. Sedangkan tasyri'

kedua yang dilihat dari kekuatan dan kandungannya mencakup ijtihad sahabat, tabi'in dan ulama

sesudahnya. Tasyri' tipe kedua ini dalam pandangan Umar Sulaiman al-Asyqar dapat dibedakan

menjadi dua bidang. Pertama bidang ibadah dan kedua bidang muamalat. Dalam bidang ibadah,

fiqh dibagi menjadi beberapa topik, yaitu : Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, I'tikaf, Jenazah, Haji,

umrah, sumpah, nadzar, jihad, makanan, minuman, kurban dan sembelihan. Bidang muamalat

dibagi menjadi beberapa topik yaitu perkawinan dan perceraian, ‘uqubat (hudud, qishash, dan

ta'zir), jual beli, bagi hasil (qiradl), gadai, musaqah, muzara'ah, upah, sewa, memindahkan utang

(hiwalah), syuf'ah, wakalah, pinjam meminjam ('ariyah), barang titipan, ghashab, luqathah

(barang temuan), jaminan (kafalah), seyembara (fi'alah), perseroan (syirkah), peradilan, waqaf,

hibah, penahanan dan pemeliharaan (al-hajr), washiat dan faraid (pembagian harta warisan).

Akan tetapi ulama Hanafiah seperti Ibnu Abidin berbeda pendapat dalam pembagian fiqh.

Dia membagi fiqh menjadi tiga bagian yaitu ibadah, muamalat dan uqubat. Cakupan fiqh ibadah

dalam pandangan mereka shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Cakupan fiqh muamalat adalah

pertukaran harta seperti jual beli, titipan, pinjam meminjam, perkawinan, mukhasamah

(gugatan), saksi, hakim dan peradilan. Sedangkan cakupan fiqh uqubat dalam pandangan ulama

Hanafiah adalah qishash, sanksi pencurian, sanksi zina, sanksi menuduh zina dan sanksi murtad.

Ulama syafi'iyah berbeda pendapat dengan mereka. Fiqh dibedakan menjadi empat yaitu fiqh

yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat ukhrawi (ibadah), fiqh yang berhubungan

dengan kegiatan yang bersifat duniawi (muamalat), fiqh yang berhubungan dengan masalah

keluarga (munakahat) dan fiqh yang berhubungan penyelenggaraan ketertiban negara (‘uqubat).

4

Page 5: Makalah Tasawuf

C. URGENSI & KEGUNAAN MEMPELAJARI TARIKH TASYRI’

1.   Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui prinsip dan tujuan syariat Islam.

2.   Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui kesempurnaan dan syumuliyah

(integralitas) ajaran Islam terhadap seluruh aspek kehidupan yang tercermin dalam peradaban

umat yang agung terutama di masa kejayaannya. Bahwa penerapan syariat Islam berarti

perhatian dan kepedulian negara dan masyarakat terhadap pendidikan, ilmu pengetahuan,

ekonomi, akhlaq, aqidah, hubungan sosial, sangsi hukum, dan aspek-aspek lainnya. Dengan

demikian adalah keliru jika ada persepsi bahwa syariat Islam hanyalah berisi hukum pidana

seperti qishash, rajam, dan sejenisnya.

3.   Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat menghargai usaha dan jasa para ulama, mulai dari

para sahabat Rasulullah saw hingga para imam dan murid-murid mereka dalam mengisi

khazanah ilmu dan peradaban kaum muslimin. Semua itu mereka ambil dari cahaya kenabian

yang dibawa oleh Rasulullah saw.

4.   Melalui kajian ini akan tumbuh dalam diri kita kebanggaan terhadap Syariat Islam sekaligus

optimisme akan kembalinya siyadah al-syari’ah (kepemimpinan syariat) dalam kehidupan

umat di masa depan.

Untuk mengetahui KEGUNAAN mempelajari sejarah hukum Islam, harus diketahui terlebih

dahulu latar belakang munculnya suatu hukum, baik yang didasarkan pada al-Qur'an dan Sunah

maupun tidak. Kalau tidak, maka akan melahirkan pemahaman hukum yang cenderung ekstrim

bahkan mengarah pada merasa benar sendiri. Oleh karena itu memahami hukum Islam dengan

mengetahui latar belakang pembentukan hukumnya menjadi sangat penting agar tidak salah

dalam memahami hukum Islam itu. Misalnya, fiqh adalah hasil produk pemikiran ulama baik

secara individu maupun kolektif. Oleh karena itu mempelajari perkembangan fiqh berarti

mempelajari pemikiran ulama yang telah melakukan ijtihad dengan segala kemampuan yang

memilikinya. Dengan demikian mempelajari sejarah hukum Islam berarti melakukan langkah

awal dalam mengkonstruksikan pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah ijtihadnya untuk

diimplementasikan sehingga kemaslahatan manusia senantiasa terpelihara. Di antara kegunaan

mempelajari sejarah hukum Islam adalah agar dapat melahirkan sikap hidup toleran dan untuk

mewarisi pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah ijtihadnya agar dapat mengembangkan

gagasan-gagasannya.

5

Page 6: Makalah Tasawuf

D. SYARIAT ISLAM dan HUKUM WADH’I (HUKUM POSITIF)

Antara syariat Islam yang bersumber dari Allah Taala dengan hukum dan undang-undang buatan

manusia sebenarnya tak dapat dibandingkan, mengingat perbedaan antara Al-Khaliq yang Maha

Sempurna dengan makhluk yang maha lemah dan maha kurang. Keraguan terhadap kelaikan dan

keadilan syariat Islam berarti keraguan terhadap sifat Allah Taala yang Maha Sempurna, Maha

Tahu dan Maha Bijaksana, atau berarti keinginan kuat untuk membebaskan hawa nafsu dari

aturan-aturan Ilahi. Dan kedua hal ini berarti kekufuran. Al-Syahid ‘Abdul Qadir ‘Audah dalam

bukunya “Al-Tasyri’ Al-Jina-i fi Al-Islam” (Hukum Pidana dalam Islam) menyebutkan beberapa

keunggulan syariat Islam atas hukum dan undang-undang buatan manusia, di antaranya:

1.   Hukum wadh’i tidak mengandung keadilan yang hakiki karena dibuat oleh manusia yang

memiliki hawa nafsu serta kepentingan. Jiwa Manusia tunduk dengan perasaan dan

kecenderungan tertentu sehingga produk hukum yang dihasilkan pun tidak mungkin

merealisasikan keadilan hakiki. Sedangkan syariat Islam bersumber dari Allah Yang Maha

Kaya dan tidak membutuhkan makhluk-Nya sehingga keadilannya adalah sebuah kepastian.

Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk

dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha

Kaya lagi Maha Terpuji. (Luqman: 12). Tuhanku tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.

(Thaha: 52). Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar

dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang

Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-An’am: 115). Dan hendaklah kamu

memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah

kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah: 49).

2.   Manusia tidak tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan, apa lagi masa depan yang

jauh. Pengetahuan manusia hanya didasari pengalaman dan keadaan yang melingkupinya

saat ini. Oleh karena itu, hukum dan peraturan yang dibuatnya hanya mempertimbangkan

‘kekinian’ dan ‘kesinian’ serta pasti perlu diubah dan diperbaiki di lain tempat dan waktu.

Berbeda dengan syariat yang bersumber dari Dzat yang Maha Mengetahui masa lalu, kini

dan masa depan, pasti mampu menjawab tantangan setiap tempat dan zaman.

Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu tampakkan atau

rahasiakan)?! Padahal Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? (Al-Mulk: 14).

6

Page 7: Makalah Tasawuf

3.   Hukum wadh’i memiliki prinsip-prinsip yang terbatas, diawali kemunculannya dari aturan

keluarga, kemudian berkembang menjadi aturan suku atau kabilah dan seterusnya. Dan baru

memiliki teori-teori ilmiahnya pada abad ke-19 M. Berbeda dengan syariat Islam yang sejak

masa kehidupan Rasulullah saw telah menjadi undang-undang yang lengkap dan sempurna

memenuhi segala kebutuhan individu, keluarga, masyarakat, negara serta hubungan

internasional. Di samping itu, sejak diturunkan, Syariat Islam tidak terbatas hanya untuk

kaum atau bangsa tertentu melainkan untuk semua umat manusia sepanjang zaman.

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

(Al-Anbiya: 107). Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)

agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari

ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-

Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Maidah: 3).

4.   Hukum wadh’i hanya mengatur hubungan sesama manusia tanpa memiliki konsep aqidah

tauhid yang menghubungkan semua itu dengan Allah Taala. Sedangkan syariat Islam

dilandasi oleh tauhid dan keimanan kepada Allah dan hari akhir yang menjadi motivasi

utama ketaatan seorang hamba kepada syariat Allah Taala. Oleh karenanya hukum wadh’i

kehilangan kekuasaannya atas jiwa manusia di mana ia hanya mengandalkan sangsi hukum

semata dan ini memberi kesempatan kepada para penjahat untuk mencari celah kelemahan

hukum dan menggunakan berbagai tipu muslihat agar lepas dari jeratan hukum. Sedangkan

syariat Islam selalu memperhatikan pembinaan aqidah umat sebelum, ketika, dan setelah

penegakan hukum-hukumnya, sehingga sanksi hukum hanyalah salah satu faktor untuk

membuat masyarakat menjadi baik dan tertib. Motivasi spiritual, berupa pengawasan Allah

Ta’ala, rasa harap akan ridha-Nya dan takut akan murka-Nya menjadi faktor utama ketaatan

warga negara terhadap hukum. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan

sengaja maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya,

dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (An-Nisa: 93)

: �ي� �ل إ �ص�مون� ت �خ ت م �ك �ن ا ق�ال� �م� ل و�س� ه� �ي ع�ل �ه الل ص�ل�ى �ه� الل سول� ر� �ن� أ ه�ا ع�ن �ه الل ض�ي� ر� �م�ة� ل س� م% أ ع�ن

ق�ط ع�ة) �ه ل �ق ط�ع أ �م�ا �ن ف�إ �ه� �ق�و ل ب )ا ئ ي ش� �خ�يه� أ �ح�ق% ب �ه ل ت ق�ض�ي ف�م�ن �ع ض7 ب م�ن �ه� ت �حج� ب ح�ن �ل أ م �ع ض�ك ب �ع�ل� و�ل

. ومسلم البخاري خذ ه�ا �أ ي � ف�ال �ار� الن م�ن

7

Page 8: Makalah Tasawuf

Dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya kalian

mengadukan perkara di antara kalian kepadaku, boleh jadi salah satu pihak lebih pandai

berargumentasi dari pada pihak lain (sehingga aku memenangkannya). Maka siapa yang

aku menangkan perkaranya karena kepandaiannya berargumentasi (padahal sebenarnya

lawannya yang berhak dimenangkan), berarti aku telah memberikan kepadanya bagian dari

siksa neraka, maka janganlah ia mengambilnya.” (H.R. Bukhari-Muslim).

5.   Hukum wadh’i mengabaikan faktor-faktor akhlaq dan menganggap pelanggaran hukum

hanya terbatas pada hal-hal yang membahayakan individu atau masyarakat secara langsung.

Namun hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas perbuatan zina, misalnya, kecuali jika ada

unsur paksaan dari salah satu pihak. Hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas peminum

minuman keras kecuali jika dilakukan di depan umum dan mengancam keamanan orang lain.

Hukum wadh’i tidak memberi sanksi bagi pezina karena zina adalah perbuatan keji yang

merusak moral, mengganggu keutuhan rumah tangga, mengacaukan nasab keturunan, dan

berpotensi menimbulkan berbagai bahaya kesehatan serta tersebarnya kerusakan moral.

Hukum wadh’i tidak menghukum peminum arak karena arak dan semua yang memabukkan

itu merusak akal dan tubuh, merusak akhlaq, dan menyia-nyiakan harta. Tetapi sekali lagi

sangsi hukum hanya diberlakukan jika perbuatan itu dianggap membahayakan orang lain

secara langsung dalam konteks fisik dan keamanan. Sedangkan syariat Islam adalah syariat

akhlaq yang memperhatikan kebaikan mental dan fisik masyarakat secara umum,

memperhatikan kebahagiaan dunia akhirat sekaligus, sehingga Islam melarang dan

menetapkan sangsi atas zina karena ia adalah perbuatan keji yang diharamkan Allah Swt

dengan berbagai dampak negatifnya meskipun dilakukan suka sama suka, begitu pula dengan

minum minuman yang memabukkan. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya

zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Al-Isra: 32). Hai

orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk)

berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah

perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu

bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran

(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan

menegakkan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Al-Maidah:

90-91)

8

Page 9: Makalah Tasawuf

E. FASE-FASE TARIKH TASYRI’

1.   Fase Tasyri’: dari awal kenabian Muhammad saw hingga wafat beliau (11 H).

2.   Fase Perkembangan Fiqh Pertama: Masa Khulafa Rasyidin, 11-40 H.

3.   Fase Perkembangan Fiqh Kedua: Masa Sahabat Yunior atau Tabi’in Senior sampai

Permulaan Abad 2 H.

4.   Fase Perkembangan Fiqh Ketiga: dari Permulaan Abad ke-2 hingga Pertengahan Abad ke-4

Hijriyah.

5.   Fase Perkembangan Fiqh Keempat: dari Pertengahan Abad ke-4 hingga Jatuhnya Baghdad

tahun 656 H.

6.   Fase Perkembangan Fiqh Kelima: dari Jatuhnya Baghdad hingga kini.

Dalam menyusun sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh) Islam, di kalangan ulama

fiqh kontemporer terdapat beberapa macam cara. Dua diantaranya yang terkenal adalah cara

menurut Syekh Muhammad Khudari Bek (mantan dosen Universitas Cairo) dan cara Mustafa

Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh Islam Universitas Amman, Yordania). Cara pertama,

periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syekh Muhammad Khudari Bek dalam

bukunya, Tarikh at-Tasyri’ al-Islamy (Sejarah Pembentukan Hukum Islam). Ia membagi masa

pembentukan hukum (fiqh) Islam dalam enam periode, yaitu:

1.   Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul;

2.   Periode para sahabat besar;

3.   Periode sahabat kecil dan tabi’in;

4.   Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H;

5.   Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan

6.   Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265]) sampai

sekarang.

Cara kedua, pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa dalam bukunya,

al-Madkhal al-Fiqhi al-’Amm (Pengantar Umum fiqh Islam). Ia membagi periodisasi

pembentukan dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode. Ia setuju dengan pembagian

Syekh Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia membagi periode keenam menjadi dua

bagian, yaitu:

9

Page 10: Makalah Tasawuf

1.   Periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah  al-Ahkam al-’Adliyyah

(Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H; dan

2.   Periode sejak munculnya Majallah  al-Ahkam al-’Adliyyah sampai sekarang.

Periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa adalah sebagai

berikut:

PERIODE PERTAMA

Masa Rasulullah SAW. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan

Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur’an. Apabila ayat Al-Qur’an

tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah SWT

menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah SAW.

Istilah “fiqh” dalam pengertian yang dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern belum

dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh pada masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama,

yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Penger-

tian fiqh di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat atau

hadits), baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum, maupun kebudayaan. Disamping

itu, fiqh pada periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu

masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya

menyangkut kasus itu. Dengan demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode

Rasulullah SAW belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode

sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah SAW telah mengemukakan kaidah-kaidah umum

dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun dari sunnahnya

sendiri.

PERIODE KEDUA

Masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-1 H. Pada

zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang menyangkut

hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat, rujukan untuk tempat

bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa perlu dilakukan ijtihad

apabila hukum untuk suatu persoalan yang muncul dalam masyarakat tidak ditemukan di dalam

Al-Qur’an atau sunnah Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan

Islam membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di masing-

10

Page 11: Makalah Tasawuf

masing daerah. Dalam keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad dan

menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil ijtihad mereka. Ketika itu para

sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan memusyawarahkan persoalan itu. Apabila

sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak memiliki teman musyawarah atau sendiri, maka ia

melakukan ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang telah ditinggalkan Rasulullah SAW.

Pengertian fiqh dalam periode ini masih sama dengan fiqh di zaman Rasulullah SAW, yaitu

bersifat aktual, bukan teori. Artinya, ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu

saja, tidak merambat kepada kasus lain secara teoretis.

PERIODE KETIGA

Pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal pembentukan

fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, para sahabat sudah banyak

yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-masing sahabat

mengajarkan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di Irak dikenal

sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud), Zaid bin Sabit

(11 SH/611 M-45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di

Makkah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan

masyarakat setempat. Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang

dikenal dengan para tabi’in. Para tabi’in yang terkenal itu adalah Sa’id bin Musayyab (15-94 H)

di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah, Ibrahiman-Nakha’i (w. 76 H) di Kufah,

al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di Basra, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di

Yaman. Mereka ini kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi

panutan untuk masyarakat setempat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing

berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah

tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga

muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut. Dari perbedaan metode yang

dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqh Islam Madrasah al-hadits

(madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra’yu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan

sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-ra’yu dikenal

11

Page 12: Makalah Tasawuf

dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah. Kedua aliran ini menganut prinsip

yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada

hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah SAW, di samping kasus-kasus

yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika

dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih

banyak menggunakan logika dalam berijtihad. Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits

Rasulullah SAW yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi

jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas & kuantitas, dibandingkan yang dihadapi

Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya

homogen, sedang ulama Irak berhadapan dengan masyarakat yang relatif majemuk. Oleh sebab

itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan jika ulama Irak banyak

menggunakan logika dalam berijtihad.

Pada periode ketiga ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian

ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma

sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-

hukum syara’ yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh,

pada periode ketiga ini pun ushul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman.

Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh.

Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab

persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftirâdî (fiqh berdasarkan peng-

andaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).

Pada periode ketiga ini pengaruh ra’yu (ar-ra’yu; pemikiran tanpa berpedoman kepada Al-

Qur’an dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin berkembang karena ulama Madrasah

al-hadits juga mempergunakan ra’yu dalam fiqh mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula

fiqh Syi’ah yang dalam beberapa hal berbeda dari fiqh Ahlusunnah wal Jama’ah (imam yang

empat).

PERIODE KEEMPAT

Pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut sebagai periode

gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah muncul

berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki,

12

Page 13: Makalah Tasawuf

Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali. Pertentangan antara Madrasah al-hadits dengan Madrasah

ar-ra’yu semakin menipis sehingga masing-masing pihak mengakui peranan ra’yu dalam

berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di

Universitas al-Azhar, Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata

kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain. Imam

Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang dikenal sebagai

Ahlurra’yu (Ahlulhadits dan Ahlurra’yu), datang ke Madinah berguru kepada Imam Malik dan

mempelajari kitabnya, al-Muwaththa’ (buku hadits dan fiqh). Imam asy-Syafi’i, salah seorang

tokoh ahlulhadits, datang belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam Abu Yusuf,

tokoh ahlurra’yu, banyak mendukung pendapat ahli hadits dengan mempergunakan hadits-hadits

Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah. kitab-kitab fiqh

banyak berisi ra’yu dan hadits. Hal ini menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing

kelompok.

Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai menganut salah

satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan

fiqh Mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Disamping sempurnanya

penyusunan kitab fiqh dalam berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab ushul

fiqh, seperti kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam Syafi’i. Sebagaimana pada periode ketiga,

pada periode ini fiqh iftirâdî semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh

tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoritis. Oleh

sebab itu, hukum untuk permasalahan yang mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan.

PERIODE KELIMA

Pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode ini ditandai dengan

menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka cukup puas dengan fiqh

yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak mencurahkan perhatian dalam

mengomentari, memperluas atau meringkas masalah yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-

masing. Lebih jauh, Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah

anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan

beberapa penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai

berikut:

13

Page 14: Makalah Tasawuf

1.   Munculnya sikap ta’assub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan pengikut

mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab

daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad;

2.   Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk

menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang diterapkan hanyalah hukum fiqh

mazhabnya; sedangkan sebelum periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah

ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu mazhab; dan

3.   Munculnya buku fiqh yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal ini pun, menurut Imam

Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis

dalam buku-buku tersebut.

Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada

mazhab yang dianutnya. Di samping itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, perkembangan

pemikiran fiqh serta metode iitihad menyebabkan banyaknya upaya tarjadi (menguatkan satu

pendapat) dari ulama dan munculnya perdebatan antarmazhab di seluruh daerah. Hal ini pun

menyebabkan masing-masing pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelemahan

masing-masing. Akan tetapi, sebagaimana dituturkan Imam Muhammad Abu Zahrah, perdebatan

ini kadang-kadang jauh dari sikap-sikap ilmiah.

PERIODE KEENAM

Pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah  al-Ahkam al-’Adliyyah pada tahun 1286

H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta

ta’assub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur’an dan

sunnah Rasulullah SAW serta pertimbangan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, tetapi telah

beralih pada sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya

mentakhrij (mengembangkan fiqh melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan

mentarjih pun sudah mulai memudar. Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah

kitab fiqh dari kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan kitab fiqh pada periode ini pun hanya

terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini pemikiran

ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan penguasa pun sudah masuk

ke dalam masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum)

Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan

14

Page 15: Makalah Tasawuf

Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majallah  al-Ahkam

al-’Adliyyah.

PERIODE KETUJUH

Sejak munculnya Majallah  al-Ahkam al- ‘Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga ciri pembentukan

fiqh Islam pada periode ini, yaitu:

1.   Munculnya Majallah  al-Ahkam al-’Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan

dari fiqh Mazhab Hanafi;

2.   Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan

3.   Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab,

sesuai dengan kebutuhan zaman.

Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majallah  al-Ahkam al-’Adliyyah

dilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di

pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab dan sering dalam satu

masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari berbagai kitab fiqh

merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di samping memerlukan waktu yang lama.

Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum

yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan. Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah

panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum

perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majallah  al-Ahkam al-’Adliyyah yang terdiri atas

1.851 pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majallah  al-Ahkam al-’Adliyyah, para

penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula

menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun

ketatanegaraan. Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai

negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil

yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari

mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan tabi’in, dengan syarat bahwa pendapat itu

lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai

mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga

(al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab. Di

dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih

15

Page 16: Makalah Tasawuf

sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang

hukum. Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum

keluarga yang disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian,

seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk

diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.

Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh pengaruh

hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini

menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat

mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di

daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa

penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah

bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania,

Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.

Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di

berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan dan pengembangan hukum

Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan

melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.

Menurutnya, ijtihad jama’i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama

dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya,

seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih

akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab. ? LH

16

Page 17: Makalah Tasawuf

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sedangkan tasyri’ berarti penetapan atau pemberlakuan syariat yang berlangsung sejak

diutusnya Rasulullah saw dan berakhir hingga wafat beliau. Namun para ulama kemudian

memperluas pembahasan tarikh (sejarah) tasyri’ sehingga mencakup pula perkembangan fiqh

Islami dan proses kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad para ulama sepanjang sejarah umat Islam.

Oleh karena itu pembahasan tarikh tasyri’ dimulai sejak pertama kali wahyu diturunkan kepada

Nabi Muhammad saw hingga masa kini.

17

Page 18: Makalah Tasawuf

DAFTAR PUSTAKA

http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-115.html

http://www.dakwatuna.com/2006/tarikh-tasyri-bagian-pertama/

Muhammad Ali Sayis, Tarikh fal-Fiqh Islamy (Beirut:Dar al-kutub al-Ilmiyah,1990)

Muhammad Salam Madkur, Al Madkhal Li al fiqh al Islam ( Cairo : Dar an Nadhah Islamiyah)

Umar Sulaiman al-Asygar, Tarikh al-Fiqh al- Islamy, (Amman: Dar al-Nafais,1991)

18