sejarah tasawuf

Upload: kolamiwak

Post on 13-Jul-2015

502 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

SEJARAH TASAWUF #01 Bagikan Hari ini jam 12:07 Barangkali sepanjang sejarahnya, dalam peradaban islam, elemen 'Tasawuf' adalah yng paling banyak disalahpahami dan paling sering memicu kontroversi. secara garis besar ada dua pendapat ttg Tasawuf: (1) para penentang, yg menuduh Tasawuf adalah sesat, bid'ah, khurafat, berbau klenik (takhayul), dan sinkretis; (2) pendukung, yg menganggap Tasawuf adalah inti dari Islam. Perdebatan ini sudah terjadi sejak istilah 'tasawuf' atau 'sufi' muncul pertama kali pada abad II hijrah dan sampai sekarang tetap tak terjadi titik temu, bahkan cenderung lebih 'keras' benturannya. Tulisan ini tak hendak masuk ke wilayah debat itu, karena barangkali sampai kiamat debat ini tidak akan selesai, kecuali Imam Mahdi dan Nabi Isa a.s sudah turun ke dunia untuk membereskan semua kekacauan menjelang kiamat. Adalah benar istilah 'tasawuf' blm muncul pada masa Nabi, tetapi esensinya sudah ada sejak Islam lahir. secara umum, istilah tasawuf merujuk pada aspek keruhanian dan tazkiyatun nafs (akhlak) dalam ajaran Islam. Karena penekanannya pada aspek keruhanian, maka membicarakan tasawuf adalah seperti membicarakan samudera tanpa tepi, dan mustahil kita memberikan gambaran yang utuh ttg tasawuf dalam ribuan buku sekalipun. Karenanya tulisan ini dibatasi hanya pada aspek sejarah saja, sebgaimana telah dicatat dalam berbagai kitab. Ada beberapa pendapat ttg arti dan asal istilah "sufi" dan "tasawuf" itu sendiri. Berikut sebagian kecil dari pendapat itu. Imam Hujwiry mengatakan definisi tasawuf/sufi tergantung pada pengalaman ruhani dari sufi yg mendefinisikannya. Secara umum, sebagian Sufi mengatakan kata sufi dinisbahkan kpd para sahabat Nabi yg dikenal sebaai ashab as-shuffah, yakni mereka yg tinggal di serambi masjid dan hidupnya dipenuhi oleh ibadah. Di antara ashab ash-suffah ini terdapat sahabat Nabi yg terkenal seperti Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Gifari, Bilal dan sebagainya. Sebagian sufi mendefinisikan sufi adalah dari orang2 yg mengenakan baju wol (shuff) sebagai perlambang kezuhudan. Sebagian lainnya mendefinisikannya sebagai berasal dari akar kata shofia, hikmah/kebijaksanaan; dan masih ada yg mendefinisikannya sebagai 'shafa' atau kesucian. Apapun definisinya, semuanya bermuara pada satu fokus: upaya mensucikan hati dgn amal berdasarkan Qur'an dan Sunnah Nabi dalam rangka mendekatkan diri dan bahkan mencintai Tuhan. Raison d'etre atau dasar pokok amalnya adalah untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana sabda Rasulullaah saw, "aku diutus tiada lain adalah untuk menyempurnakan akhlak.' Sesudah Nabi wafat, Islam berada pada posisi yg relatif jaya, namun pada saat yg sama, mulai timbul benih2 perpecahan. Dari 4 khalifah pertama, 3 di antaranya meninggal karena dibunuh akibat dari merebaknya friksi politik dan ambisi sebagian orang untuk menggunakan agama islam yg saat itu sedang jaya demi kepentingan pribadi mereka. Setelah Sayyidina Ali karamallahu wajhah wafat karena dibunuh, lahirlah era kekhalifahan ISlam yang formatnya lebih mirip dengan kerajaan atau "Dinasti." Saat Dinasti Muawiyyah berkuasa, peradaban Islam berjaya dan sebagian besar penguasa cenderung pada kemewahan duniawi. Sebagian ulama rasikhin (yg berpengetahuan mendalam) merasa sedih dengan situasi sosial-politik yg penuh degradasi akhlak. Namun situasi tak memungkinkan ulama yg baik itu untuk bertindak dengan frontal melawan penguasa, karenanya dipakailah "strategi" lain. Salah satu yg menonjol adalah Imam Hasan al-Bashri, yg tampil dengan mengedepankan sikap zuhud dan menjauhi kemwahan

duniawi. Ajarannya dipenuhi dengan nasihat untuk mengingat akhirat dan keburukan tipu muslihat dunia.Salah satu ungkapannya yg terkenal adalah: "Wahai anak adam, engkau akan mati sendiri, di kubur sendiri, dan dibangkitkan secara sendiri-sendiri. mengapa alian begitu mencintai dunia yg segera lenyap ini? maka bersikaplah terhadap dunia seolah-olah kalian blm pernah berada di sini, dan bersikaplah terhadap akhirat seolah-olah kalian tak akan pernah meninggalkannya." Generasi sufi di era Imam Hasan al-Basri ini kerap disebut al-bakkaun, "mereka yg senantiasa menangis." Kecenderungan uzlah yng agak ekstrim ini berlanjut ke murid-muridnya seperti Abdul Wahid ibn Ziad, Sulayman al-Darani hinga ke Ahmad ibn al-Hawari. Mereka bersikap seolah menjauhi dunia, karena mereka hendak memberi tauladan dan keseimbangan. Di era ketika orang begitu mabuk dunia, sulit untuk mengajak orang mengingat akhirat, kecuali dengan suri tauladan. Karena itu, demi mengingatkan orang-orang, para Sufi generasi awal rela mengorbankan hidupnya untuk menjalani hidup uzlah dan menjauhi dunia; mereka harus menjalani apa yg mereka sendiri ucapkan. Periode baru dimulai ketika DInasti Abbasiyyah memegang kekuasaan kekhalifahan Islam. Pada masa ini ilmu pengetahuan bekembang pesat, mulai dari fiqh, astronomi, matematika, filsafat, kedokteran dan sebagainya. Situasi sosial-politik yg relatif tak bergejolak turut andil dalam menyuburkan lahirnya pemikiran penting di banyak bidang ilmu pengetahuan. Pada era ini muncul sufi terkenal yg "gaya"nya berbeda dengan generasi Imam Hasan al-basri. Ketika ibukota kekhalifahan dipindahkan ke Baghdad, dan Baghdad menjadi salah satu pusat peradaban budaya dunia, maka bermunculan sufi-sufi dari kawasan sekitarnya. Tokoh-tokoh yg termasyhur antara lain Syekh Ma'ruf al-Kharki (yg disebut-sebut sebagai "leluhur" tarekat, karena namanya tercantum di hampir semua silsilah tarekat), Fudhail ibn Iyad, Ibrahim ibn Adham, Bishr al-Hafi, Shaqiq al-Balkh, Abu Turab, an-Nakshabi dan sebagainya. Sembari menjalani hidup zuhud yang ketat, generasi ini mulai memunculkan ajaran dan pemikiran yg lebih filosofis-mistis. Pada era generasi awal ini telah lahir salah satu tafsir mistis atas Qur'an, yg dibuat oleh salahsatu Guru Agung di dunia tasawuf, Imam Ja'far as-Shadiq. Beliaulah yang menfasirkan Qur'an dari empat segi atau empat struktur yang hirarkis, sesuai dengan maqam manusia di jalan ruhani. Sufi lain yg tersohor pada era ini adalah Syekh Dhun Nun al-Mishri, Sufi dari Mesir yg kerap disebut oleh sebagian sufi lainnya sebagai salah satu Qutub pada zamannya, seorang wali yg tersembunyi. Syekh Dzun Nun al-Mishri menguasai berbagai ilmu rahasia. beliau sempat dijebloskan ke penjara namun kemudian dibebaskan. Sebagian ahli sejarah menyebutkan bhwa, Dzun-Nun lah yg pertama kali menguraikan "teori" tentang makrifat. Selain itu Dzun Nun juga terkenal sebagai penyair, yg puisi-puisinya kelak mengilhami sufi generasi selanjutnya, terutama mereka yg mengusung ajaran mahabbah atau cinta Tuhan tanpa syarat. Ajaran mahabbah ini menjadi terkenal melalui sufi agung perempuan, Rabi'ah al-Adawiyah. Sebagian penulis hagiografi (kitab riwayat sufi) mengatakan Rabiah adalah wanita yang menyendiri dalam kesucian, terbakar oleh cinta Tuhan, lebur dalam penyatuan.Cintanya yg tanpa pamrih menggegerkan banyak sufi. salahsatu doanya yang terkenal "Nekat" adalah: Kau telah memberiku hidup dan menjagaku, dan firman-Mu adalah keindahan. Seandainya Engkau mengusirku dari pintuMu, aku tak akan meninggalkannya karena cinta yang kusimpan

dalam hatiku kepadaMu. Salah satu riwayat terkenal yg secara hiperbolis menggambarkan cintanya adalah: suatu ketika Rabi'ah keluar membawa obor dan ember berisi air. ketika ditanya, beliau menjawab: "Akan kubakar sorga dengan obor ini, dan kusiram neraka dengan air ini, dengan begitu akan jelas siapa yg menyembah Tuhan karena Cinta dan siapa yg menyembahNya karena takut neraka dan mengharapkan surga." Rabiah pula yang memperkenalkan konsep kontroversial lain, "Tuhan Yang Maha Pencemburu." Menurut beliau, "Allah tak memperkenankan apapun berbagi denganNya, termasuk cinta yang [seharusnya] ditujukan hanya kepada-Nya." sebagian sufi mengatakan Rabiah adalah perwujudan nyata dari ayat "Allah mencintai mereka, dan mereka mencintai-Nya." Hampir sezaman dengannya, dari wilayah Bistham muncul sufi agung yg kontroversial Abu Yazid al-Bisthomi. Ucapan-ucapan syathahat-nya menggemparkan, seperti "Maha suci aku" atau "tiada lain yang ada di jubahku kecuali Allah." Abu Yazid adalah sufi pertama yg menggambarkan pengalaman mi'raj ruhaninya dengan citraan seperti mikrajnya Nabi Muhammad. Ucapan-ucapannya yg penuh paradoks selalu menawarkan makna baru, dan mengilhami banyak Sufi generasi selanjutnya. Melalui beliau pula mulai dikenal konsep fana (meski konsep ini belum disistematisasikan pada saat itu). Abu Yazid mendampakan penghapusan hakiki (fana) atas segala jejak eksistensi kedirian. Abu Yazid al-Bisthami bersahabat dengan salah satu sufi penting, Yahya ibn Muadz ar-Rayy, seorang Wali Allah pecinta Tuhan, yg khotbah-khotbahnya sangat menggetarkan siapapun yang mendengarkannya karena itu beliau juga dijuluki "Juru Khotbah" yg memberi pelajaran kepada golongan jin dan manusia. Salah satu ucapannya yg sering dikutip dalam kitab-kitab tasawuf generasi berikutnya adalah "Maut itu indah, sebab maut mempertemukan kekasih dengan Yang Dikasihinya." Salah satu penerus Yahya ibn Muadz yg kelak terkenal adalah Abu Utsman al-Hirri, yang menegakkan ajaran tasawuf di kawasan Nishapur. Pada era ini pula lahir salah satu legenda Tasawuf yg luar biasa, wali Qutub pada zamannya, Syekh Ma'ruf al-Kharki. Imam Qusyairi menyebutkan bahwa Syekh Ma'ruf adalah Pemimpin Tertinggi di Maqam Ridha'. Kekuatan ruhaninya luar biasa, doa-doanya diakui makbul. Karamahnya dikenal oleh banyak orang, dan orang dari luar Baghdad berdatangan menyeberangi sungai Tigris hanya untuk meminta ijazah dan doanya; setelah beliau wafat, makamnya menjadi tujuan ziarah banyak sekali orang sampai sekarang. Salah satu pengikut Syekh Ma'ruf yg terkenal adalah Syekh Sari as-Saqati. Syekh Sari mengaku bahwa dirinya masuk ke dunia tasawuf dan menjadi ulama rasikhin berkat ajaran dan barokah dari Syekh Ma'ruf al-Kharki. Syekh Sari ini adalah paman dari seorang ulama yg kelak menjadi rujukan hampir semua tarekat dan sufi, yakni Imam Junaid al-Bagdadi, dan beliau dijuluki sang Pangeran Sufi dan Meraknya Para Ulama yang ilmunya mendalam. BERSAMBUNG ahh... Triwibs-Kanyut SEJARAH TASAWUF #02 Bagikan Hari ini jam 13:04

Sebelumnya: http://www.facebook.com/note.php?note_id=416567593339 Sebelum melanjutkan ttg Imam Junaid, perlu disebutkan satu Sufi yg juga sangat memengaruhi ajaran Tasawuf. beliau adalah Imam Harits al-Muhasibi. Imam Harits adalah sufi pertama yg secara sistematis menulis tentang "Psikologi Sufistik." Gelar Muhasibi disematkan karena beliau terkenal dengan ketekunannya dalam bermuhasabah, mentafakuri dan memperhitungkan amal dan kondisi kejiwaannya sendiri. Beliau dikaruniai kemampuan mengetahui gerak-gerik hati dan tipuan-tipuan nafsu dan setan; salah satu karamahnya yg termashyur adalah jari-jarinya mampu mengetahui apakah suatu makanan/minuman itu haram atau tidak. Karamah ini diperoleh lantaran beliau sangat berhati-hati dalam bertindak. Analisis Imam Harits al-Muhasibi tentang sifat Riya' dan Takabbur menjadi dasar bagi para sufi generasi selanjutnya, termasuk kelak Hujjatul Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali. Dari belahan kawasan lain, dari Tirmidz, muncul pula legenda Tasawuf, Imam al-Hakim alTirmidhi, yg ajarannya memengaruhi sufi besar generasi selanjutnya, Syekh Akbar ibn Al-Arabi al-Hatimi. Salah satu kitab karangan Imam Hakim al-Tirmidhi yg menjadi rujukan untuk perbincangan masalah Kewalian dan Hirarki Wali Allah adalah berjudul "Khatam al-Awliya." Imam Hakim al-Turmudhi juga menulis tafsir Qur'an dari perspektif hakikat. Gelar al-Hakim diperoleh karena beliau sangat menguasai filsafat Yunani dan filsafat Islam. Kembali ke Baghdad, di sana telah muncul tokoh yang berpengaruh, Imam Junayd al-Bagdadi, seorang ulama sufi kelahiran Iran (Persia). Imam Junayd kecerdasannya sangat luar biasa, dan karomahnya tak terhitung. Sebagian Sufi memuji beliau dengan mengatakan, "Seandainya akal itu punya wujud insan, maka Junaydlah wujudnya." Sisi penting dari ketokohan Syekh Junayd adalah sisi "ketenangan"-nya, yg bertolak belakang dengan "kemabukan" seperti yang ditampakkan oleh Syekh Abu Yazid al-Bisthami, Dzun Nun, dan Rabi'ah. Syekh Junaid mendirikan semacam 'pesantren' dan beliau menjadi rujukan ulama, orang awam dan bahkan penguasa. Junayd pula yang dengan tegas menyatakan bahwa mengajarkan pengalaman mistis/ruhani, atau hakikat-makrifat, adalah berbahaya jika ajaran ini disampaikan secara terbuka untuk orang awam. Maka Sykeh Junaid termasuk golongan Sufi yang ahli dalam memperhalus seni bicara melalui isyarat dan perlambang yg sebagian besar hanya bisa dipahami oleh orang yang telah mencapai maqam tertentu. Berdasarkan pendapatnya yg memilih berhati-hati dalam mengemukakan ajaran Tasawuf ini, maka kelak Syekh Junaid terpaksa "bertentangan" dengan salah satu muridnya yang paling terkenal dalam sejarah Islam, Husain ibn Mansur al-Hallaj. rekan sezaman syekh Junayd yang terkenal adalah SYekh Ruwaym. Ini adalah sufi yang mewakili sisi lain dari Tasawuf. Syekh Ruwaym tidak menampakkan perilaku zuhud atau ketawakalan yang menonjol. Beliau adalah tergolong orang kaya raya. Dengan kata lain, belau menyembunyikan kewalian atau kesufiannya dalam jubah orang kaya. Tokoh lain yg semasa dengannya adalah Syekh Abu Husain al-Nuri, murid dari Syekh Sari as-Saqati. Syekh Nuri meneruskan tradisi Rabiah al-Adawiyah. Syekh Nuri mengatakan bahwa cinta persaudaraan merupakan wujud dari kebenaran dan kefakiran yang hakiki, atau dengan kata lain ia lebih mengutamakan orang lain ketimbang dirinya sendiri (ajaran ini kelak dikembangkan lebih lanjut oleh sufi generasi selanjutnya, melalui konsep futuwwah atau kekesatriaan ruhani). Karya Nuri

yg terkenal adalah Maqamat al-Qulub, atau "Maqam Hati." Ajaran cinta Nuri sebagian tak disukai oleh Imam Junayd karena dipandang terlalu berlebihan dalam gaya ungkapnya. Nuri sempat dipenjara karena dituduh zindiq karena puis-puisi cinta Ilahiahnya yang berkobar-kobar. Selama di penjjara beliau bertemu dengan Wali Allah tersembunyi lainnya, Sumnun al-Muhibb. Sumnum dipuji oleh penulis sufi lainnya generasi selanjutnya (seperti Hujwiri dan Attar). Imam Hujwiri mengataka, "Sumnun mengikuti mazhab istimewa dalam cinta dan berpendapat bahwa cinta merupakan akar dan landasan menuju Tuhan." Bahkan Sumnun berpendapat bahwa cinta lebih tinggi ketimbang makrifat, dan persoalan ini masih menjadi subyek yg diperbincangkan dan diperdebatkan sampai sekarang. Sumnun mengatakan bahwa cinta selalu terkait dengan derita. Ketika ditanya, mengapa demikian, Sumnun menjawab: "Supaya tak setiap orang awam bisa mengatakan Cinta, sebab kebanyakan orang awam akan lari menjauh ketika melihat penderitaan." Garis tradisi CInta dari Rabiah dan Sumnun ini tampaknya mengalir langsung ke dalam ajaran salah satu sufi agung legendaris, paling kontroversial, SYEKH HUSAIN IBN MANSHUR ALHALLAJ, sang Syuhada CInta Ilahi. Kisah tragis Al-Hallaj, yang juga murid dari Abu Amir alMakki dan juga murid dari Junayd al-Baghdad ini, telah mempesona banyak sufi, orang awam, ilmuwan, bahkan orientalis. Salah satu orientalis yang konon masuk ISlam karena memelajari kehidupan al-Hallaj adalah Louis Massignon. Louis Massignon mempersembahkan seluruh sisa hidupnya, selama 30 tahun lebih, khusus untuk mendalami hidup dan ajaran Syekh Manshur alHallaj. Massignon menyusun 4 jilid buku riwayat al-Hallaj, yang masing-masing tebalnya "ngudubilah setan." Massignon pula yang menerjemahkan dan menyunting kitab al-Hallaj yg paling sulit, TAWASIN, ke dalam bahasa Prancis dan Inggris. Dalam kitab Tawasin inilah terdapat ungkapan yang paling masyhur: ANA AL-HAQQ. BERSAMBUNG LAGIIIH ... Triwibs Kanyut the Rekthir Ikhwan TQN SEJARAH TASAWUF #02 Bagikan Hari ini jam 13:04 Sebelumnya: http://www.facebook.com/note.php?note_id=416567593339 Sebelum melanjutkan ttg Imam Junaid, perlu disebutkan satu Sufi yg juga sangat memengaruhi ajaran Tasawuf. beliau adalah Imam Harits al-Muhasibi. Imam Harits adalah sufi pertama yg secara sistematis menulis tentang "Psikologi Sufistik." Gelar Muhasibi disematkan karena beliau terkenal dengan ketekunannya dalam bermuhasabah, mentafakuri dan memperhitungkan amal dan kondisi kejiwaannya sendiri. Beliau dikaruniai kemampuan mengetahui gerak-gerik hati dan tipuan-tipuan nafsu dan setan; salah satu karamahnya yg termashyur adalah jari-jarinya mampu mengetahui apakah suatu makanan/minuman itu haram atau tidak. Karamah ini diperoleh lantaran beliau sangat berhati-hati dalam bertindak. Analisis Imam Harits al-Muhasibi tentang sifat Riya' dan Takabbur menjadi dasar bagi para sufi generasi selanjutnya, termasuk kelak Hujjatul Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali. Dari belahan kawasan lain, dari Tirmidz, muncul pula legenda Tasawuf, Imam al-Hakim al-

Tirmidhi, yg ajarannya memengaruhi sufi besar generasi selanjutnya, Syekh Akbar ibn Al-Arabi al-Hatimi. Salah satu kitab karangan Imam Hakim al-Tirmidhi yg menjadi rujukan untuk perbincangan masalah Kewalian dan Hirarki Wali Allah adalah berjudul "Khatam al-Awliya." Imam Hakim al-Turmudhi juga menulis tafsir Qur'an dari perspektif hakikat. Gelar al-Hakim diperoleh karena beliau sangat menguasai filsafat Yunani dan filsafat Islam. Kembali ke Baghdad, di sana telah muncul tokoh yang berpengaruh, Imam Junayd al-Bagdadi, seorang ulama sufi kelahiran Iran (Persia). Imam Junayd kecerdasannya sangat luar biasa, dan karomahnya tak terhitung. Sebagian Sufi memuji beliau dengan mengatakan, "Seandainya akal itu punya wujud insan, maka Junaydlah wujudnya." Sisi penting dari ketokohan Syekh Junayd adalah sisi "ketenangan"-nya, yg bertolak belakang dengan "kemabukan" seperti yang ditampakkan oleh Syekh Abu Yazid al-Bisthami, Dzun Nun, dan Rabi'ah. Syekh Junaid mendirikan semacam 'pesantren' dan beliau menjadi rujukan ulama, orang awam dan bahkan penguasa. Junayd pula yang dengan tegas menyatakan bahwa mengajarkan pengalaman mistis/ruhani, atau hakikat-makrifat, adalah berbahaya jika ajaran ini disampaikan secara terbuka untuk orang awam. Maka Sykeh Junaid termasuk golongan Sufi yang ahli dalam memperhalus seni bicara melalui isyarat dan perlambang yg sebagian besar hanya bisa dipahami oleh orang yang telah mencapai maqam tertentu. Berdasarkan pendapatnya yg memilih berhati-hati dalam mengemukakan ajaran Tasawuf ini, maka kelak Syekh Junaid terpaksa "bertentangan" dengan salah satu muridnya yang paling terkenal dalam sejarah Islam, Husain ibn Mansur al-Hallaj. rekan sezaman syekh Junayd yang terkenal adalah SYekh Ruwaym. Ini adalah sufi yang mewakili sisi lain dari Tasawuf. Syekh Ruwaym tidak menampakkan perilaku zuhud atau ketawakalan yang menonjol. Beliau adalah tergolong orang kaya raya. Dengan kata lain, belau menyembunyikan kewalian atau kesufiannya dalam jubah orang kaya. Tokoh lain yg semasa dengannya adalah Syekh Abu Husain al-Nuri, murid dari Syekh Sari as-Saqati. Syekh Nuri meneruskan tradisi Rabiah al-Adawiyah. Syekh Nuri mengatakan bahwa cinta persaudaraan merupakan wujud dari kebenaran dan kefakiran yang hakiki, atau dengan kata lain ia lebih mengutamakan orang lain ketimbang dirinya sendiri (ajaran ini kelak dikembangkan lebih lanjut oleh sufi generasi selanjutnya, melalui konsep futuwwah atau kekesatriaan ruhani). Karya Nuri yg terkenal adalah Maqamat al-Qulub, atau "Maqam Hati." Ajaran cinta Nuri sebagian tak disukai oleh Imam Junayd karena dipandang terlalu berlebihan dalam gaya ungkapnya. Nuri sempat dipenjara karena dituduh zindiq karena puis-puisi cinta Ilahiahnya yang berkobar-kobar. Selama di penjjara beliau bertemu dengan Wali Allah tersembunyi lainnya, Sumnun al-Muhibb. Sumnum dipuji oleh penulis sufi lainnya generasi selanjutnya (seperti Hujwiri dan Attar). Imam Hujwiri mengataka, "Sumnun mengikuti mazhab istimewa dalam cinta dan berpendapat bahwa cinta merupakan akar dan landasan menuju Tuhan." Bahkan Sumnun berpendapat bahwa cinta lebih tinggi ketimbang makrifat, dan persoalan ini masih menjadi subyek yg diperbincangkan dan diperdebatkan sampai sekarang. Sumnun mengatakan bahwa cinta selalu terkait dengan derita. Ketika ditanya, mengapa demikian, Sumnun menjawab: "Supaya tak setiap orang awam bisa mengatakan Cinta, sebab kebanyakan orang awam akan lari menjauh ketika melihat penderitaan." Garis tradisi CInta dari Rabiah dan Sumnun ini tampaknya mengalir langsung ke dalam ajaran

salah satu sufi agung legendaris, paling kontroversial, SYEKH HUSAIN IBN MANSHUR ALHALLAJ, sang Syuhada CInta Ilahi. Kisah tragis Al-Hallaj, yang juga murid dari Abu Amir alMakki dan juga murid dari Junayd al-Baghdad ini, telah mempesona banyak sufi, orang awam, ilmuwan, bahkan orientalis. Salah satu orientalis yang konon masuk ISlam karena memelajari kehidupan al-Hallaj adalah Louis Massignon. Louis Massignon mempersembahkan seluruh sisa hidupnya, selama 30 tahun lebih, khusus untuk mendalami hidup dan ajaran Syekh Manshur alHallaj. Massignon menyusun 4 jilid buku riwayat al-Hallaj, yang masing-masing tebalnya "ngudubilah setan." Massignon pula yang menerjemahkan dan menyunting kitab al-Hallaj yg paling sulit, TAWASIN, ke dalam bahasa Prancis dan Inggris. Dalam kitab Tawasin inilah terdapat ungkapan yang paling masyhur: ANA AL-HAQQ. BERSAMBUNG LAGIIIH ... Triwibs Kanyut the Rekthir Ikhwan TQN

SEJARAH TASAWUF #7 Bagikan Hari ini jam 20:10 [SAMBUNGAN] ... Semua orang Islam hampir bisa dipastikan pernah mendengar nama Imam al-Ghazali dan kitab Ihya Ulumudiin. Dan kebanyakan lebih mengenalnya sebagai sufi meskipun sebelum benarbenar terjun ke dunia Sufi, Imam Ghazali telah terkenal sebagai ahli ilmu fiqh, kalam, filsafat. Beliau adalah profesor di semacam "universitas" yang bergengsi di Baghdad, di masa kekuasaan Nizam al-Mulk. Madrasah yg dipimpin oleh Imam al-Ghazali ini mendidik para ahli dakwah dan ilmu kalam. Madrasah ini terbukti menjadi prototipe bagi madrasah-madrasah yang kemudian berkembang di dunia Islam. Perpindahan Imam al-Ghazali ke dunia sufi disebabkan oleh banyak hal: ketidakpuasan dan kegelisahan intelektual, dan perasaan kekeringan spiritual walau telah memiliki begitu banyak ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Imam al-Ghazali, yg juga murid ulama termasyhur Imam Juwaini (Imam al-Haramayn), mengalami krisis spiritual yg akut. Dan titik balik peralihannya ke dunia sufi justru lantaran "teguran" dari adiknya, Ahmad al-GHazali yang lebih dahulu masuk ke dunia Tasawuf. Syekh Ahmad al-Ghazali lebih suka berkhalwat dan menyendiri, dan menulis syair-syair cinta ilahi. Ketika sang kakak diterpa oleh penyakit skeptisisme yang akut, yang menyebabkannya sakit dan tak mampu memberikan kuliah di Madrasah Nizamiyah Baghdad, Syekh Ahmad Ghazali datang untuk menggantikan posisi kakaknya, sementara Imam al-Ghazali sendiri pergi meninggalkan jabatan dan keluarganya untuk terjun ke dunia sufi secara intensif. Walaupun tidak setenar kakaknya, Syekh Ahmad al-Ghazali sangat populer di Baghdad. Pengaruhnya dapat dijumpai dalam karya-karya penyair sufi seperti al-Syrazi dan Hafidz. Kebersamaan Syekh Ahmad al-Ghazali bersama muridnya, Syekh AYN AL-QUDAT ALHAMADZANI, yang hanya berlangsung 20 hari, mampu mengubah diri Syekh Ayn Qudhat alHamadzani menjadi sufi paripurna. Murid lain dari Syekh Ahmad al-Ghazali yang juga termasyhur adalah Syekh Abd al-Qahir Abu Najib al-Suhrawardi, paman pendiri tarekat Suhrawardiyyah. Syekh Ahmad al-Ghazali meninggal sekitar tahun 1126 di Qawzin. Syekh Ahmad al-Ghazali menyusun sejumlah risalah mistik, tak kurang dari tujuh kitab. Salah satunya adalah risalah mengenai sama yang berjudul Bawariq al-Ilma fi al-Rad ala man Yuharrim al-Sama bi al-Ijma (Kilauan Cahaya Terang dalam Menolak Orang yang Mengharamkan Musik melalui Ijma). Menurutnya, salah satu faedah sama adalah dapat mengantar sufi ke derajat al-kummal al-iyani, derajat yang tidak bisa dicapai hanya melalui riyadhah saja. Al-sama juga dikatakan menghimpun beberapa kondisi spiritual (ahwal) yang sempurna, yakni puncak maqamat. Kata sama terdiri dari huruf sin dan mim, yang menurut Syekh Ahmad al-Ghazali mengisyaratkan makna al-sammu (racun), dan karenanya sama adalah ibarat racun yang mematikan seseorang dari ketergantungannya kepada selain Allah, sekaligus mengantarkannya ke tingkatan ghaib (maqamat al-ghaibiyyah). Selain itu, sin dan mim juga membentuk kata al-sama yang berarti langit yang berarti musik sama bisa mengantar kepada

ketinggian martabat. Sedangkan huruf mim dan ain mengisyaratkan kata maa (kebersamaan), sebab sufi yang melakukan sama akan sampai ke derajat kebersamaan dengan Tuhannya (almaiyyah al-dzatiyah al-ilahiyah). Kitab lain yang terkenal adalah Sawanih, Pepatah Tentang Kekasih, yang mengukuhkannya sebagai ahli mistik besar di dunia Islam. Ahmad al-Ghazali dalam kitab ini berbicara tentang rahasia hubungan timbal-balik antara kekasih dan yang dikasihi, seperti cermin. Syekh Ahmad al-Ghazali menyentuh rahasia penderitaan dalam kekasih, harapannya dalam keputusasaan, dan rahasia rahmat Tuhan yang tak terperikan. Hadits qudsi yang dikutipnya adalah Kebijaksanaan di dalam tindakan-Ku menciptakan engkau adalah untuk melihat bayangan-Ku dalam cermin jiwamu, cinta-Ku dalam hatimu. Salah satu karamahnya yang paling masyhur dan memberi kontribusi pada perubahan hidup kakaknya adalah sebagaimana kisah berikut. Suatu ketika Imam al-Ghazali menjadi imam di masjidnya, sementara Syekh Ahmad al-Ghazali tidak mau menjadi makmumnya. Karenanya Imam al-Ghazali meminta kepada ibunya agar menyuruh sang adik itu mau menjadi makmum agar Imam al-Ghazali tidak terkena tuduhan buruk dari masyarakat. Setelah mendapat perintah dari ibunya, maka Syekh Ahmad al-Ghazali pun bersedia menjadi makmum. Namun di tengahtengah shalat Syekh Ahmad al-Ghazali memisahkan diri dan melakukan shalat sendirian (munfarid). Selesai shalat Imam al-Ghazali bertanya kepada adiknya mengapa ia memisahkan diri. Syekh Ahmad al-Ghazali menjawab bahwa beliau melihat perut Imam al-Ghazali penuh darah. Imam al-Ghazali pun mengaku bahwa saat shalat, dirinya berpikir tentang penulisan persoalan darah haid. "Teguran mistis" inilah yang menurut sebagian penulis hagiografi menyebabkan Imam Abu Hamid al-Ghazali bertekad bulat menempuh suluk dengan mengembara ke padang pasir dan berbagai negeri untuk mempelajari Tasawuf. Melalui teguran itu beliau menyadari satu hal penting, seperti yang ditulisnya sendiri dalam karya biografisnya, Munqidz minat al-dalal," Pengetahuan lebih mudah ketimbang amal. Aku mengawali dengan banyak membaca buku dan mendapatkan pemahaman intelektual yg menyeluruh tentang prinsip-prinsip ilmu. Namun kemudian aku menyadari bahwa yang paling penting dan utama dari prinsip-prinsip itu hanya bisa direngkuh melalui pengalaman, zawq dan perubahan watak (tazkiyatun nafs)." Dari pengembaraan dan ketekunannya di jalan ruhani inilah lahir kitab monumental, Ihya Ulumuddin. Karya ini terdiri dari 40 Bab. Jika kita baca dengan teliti, kita bisa melihat bahwa dalam karyanya ini Imam Abu Hamid al-Ghazali secara tersirat menunjukkan bahwa jika seseorang mengamalkan syariat dan tasawuf dengan benar, maka perjalanannya menuju Tuhan adalah seperti perjalanan tiada akhir di mana setiap kali salik naik ke posisi yg lebih tinggi ia akan selalu menemukan kedalaman makna syariat yang selalu baru dan berbeda. Salah satu karya mistis al-Ghazali yg paling sulit, tetapi sangat memengaruhi tradisi filsafatcahaya adalah Misykat al-Anwar. Tafsirnya atas ayat cahaya (Allahu nurussamawati dst ..) begitu mendalam dan pelik. Ini adalah karya metafisika cahaya yang sangat canggih. Belakangan, sekitar setengah abad setelah wafatnya Imam al-Ghazali, pandangan mistis tentang ayat cahaya ini dielaborasi secara mendalam oleh salah satu Guru Sufi yg dikenal sebagai Syekh al-Israq Suhrawardi al-Maqtul.

Pengaruh Imam al-Ghazali dan ajarannya tak diragukan lagi, sehingga sebagian sufi generasi berikutnya mengaku mereka mengikuti Tarekat Ghazaliyah, meski Imam al-Ghazali sendiri tidak secara formal membentuk sebuah organisasi tarekat. Namun sebagian sejarawan berpendapat ada sisi buruk dari popularitasnya: Kebesaran Imam al-Ghazali yg luar biasa, dimana serangannya pada ilmu filsafat sangat berpengaruh pada zamannya membuat umat ISlam selama beberapa puluh tahun tak mengkaji ilmu filsafat secara serius yg menyebabkan potensi kritis akal terhambat. Untungnya, sebelum akhirnya muncul sanggahan yang seimbang dari ahli filsafat Islam terbesar, Ibn Rushd, tradisi filsafat tetap dihidupkan dalam lingkaran sufi Persia, melalui "guru cahaya" Suhrawardi al-Maqtul. Banyak tokoh luar biasa yg dipengaruhi oleh kitab Ihya, salah satunya yg pantas disebut karena ikut mewarnai tradisi Tasawuf yg begitu luas ini adalah Ayn Qudhat al-Hamadzani, murid dari AHmad al-Ghazali. Ajaran Ayn Qudhat merupakan salah satu ajaran yg kelak mewarnai perkembangan Tasawuf yg bercorak lain, di anak benua India. Beliau terutama memengaruhi guru-guru sufi di kalangan Tarekat Chistiyyah. Siapakah SYekh Ayn al-Qudhat yang meski hidupnya singkat namun ikut memberi warna dalam sejarah Tasawuf di kawasan anak benua India dan Asia Tengah ini? BERSAMBUNG LAGIIIH salam Triwibs Kanyut

SEJARAH TASAWUF #08 Bagikan Hari ini jam 21:40 bagian sebelumnya/07: http://www.facebook.com/note.php?note_id=416661603339 ... Ayn al-Qudhat al-Hamadzani barangkali adalah salah satu contoh dari efek nyata dari pengaruh kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali. Syekh Ayn al-Qudat sesungguhnya tergolong dalam tradisi teo-erotisisme dalam tasawuf, yakni mazhab tasawuf yang menekankan pada cinta (mahabbah), rindu (syawq), cahaya (nur), api (nar), dan kesatuan (wahdah) yang berpuncak pada kesatuan antara pecinta dan yang dicintai, antara Tuhan dan makhluknya. Sebagian besar ajaran Syekh Ayn al-Qudat didasarkan pada sistem penafsiran ganda, yakni wilayah akal (thawr al-aql) dan di luar akal (thawr wara al-aql). Syekh Ayn al-Qudat menguasai tata bahasa Arab, filologi, sastra Arab, tafsir al-Quran, hadits, teologi (kalam), fiqh mazhab Syafii (dan telah memenuhi syarat menjadi qadhi) ringkasnya semua cabang ilmu pengetahuan telah dikuasainya dalam waktu yang relatif singkat, kurang dari 10 tahun saja. Bahkan risalah-risalah yang memicu kontroversi telah ditulisnya saat beliau berusia 14 tahun.

Syekh Ayn al-Qudat mengatakan bahwa beliau meninggalkan studi sekular pada usia akil baligh dan dengan tekun menelaah ilmu keagamaan serta menyibukkan diri di jalan sufi. Sejak usia 21 tahun, setelah menulis risalah tentang sifat kenabian, selama tiga tahun berikutnya beliau dikaruniai segala macam pengetahuan ruhaniah dan ilham-ilham yang tak mungkin terlukiskan. Beliau mengatakan bahwa dirinya nyaris di pinggir neraka seandainya Allah tidak menolongku dengan rahmat dan kemurahan-Nya. Telaahnya terhadap ilmu kalam justru menambah kekacauan dan kebingungan. Pertolongan Allah datang setelah beliau menelaah kitab karya Hujjatul Islam, Imam ABU HAMID AL-GHAZALI, terutama karya besarnya, Ihya Ulum alDin. Sedemikian berpengaruhnya kitab ini hingga Syekh Ayn al-Qudat menulis, mata batinku mulai terbuka (kasyaf) karena barokah kitab Ihya. Selama setahun beliau terus dikuasai olehh pengetahuan ruhaniah lantaran berkah mengaji kitab Ihya ini. Kemudian datanglah adik Imam alGhazali, yakni Syekh Abu al-Futuh AHMAD AL-GHAZALI, ke Hamadzan. Kehadirannya yang hanya kurang dari 20 hari telah menyempurnakan pengetahuan ruhaniah Syekh Ayn al-Qudat. Berdasarkan pengalamannya ini, Syekh Ayn al-Qudat berpendapat bahwa kehadiran guru yang hidup, bukan hanya kitab-kitab sufi, adalah syarat utama bagi kehidupan di jalan Sufi. Syekh Ayn al-Qudhat menulis banyak risalah, dan sebagian besar telah hilang. Tetapi kitabnya yang amat terkenal adalah Tamhidat. Kitab ini, yang dipengaruhi oleh kitab Sawanih karya gurunya, Syekh Ahmad al-Ghazali, banyak dibaca di dunia Muslim. Tamhidat adalah kitab yang disukai para sufi Chistiyyah di Delhi pada akhir abad ketiga belas. Seorang wali Allah dari tarekat Chistiyyah, yakni Gisudaraz, menulis ulasan tentang buku ini, dan kemudian seorang wali Allah bernama Miran Husain Shah dari Bijapur menerjemahkannya ke bahasa Urdu. Syekh Jami mengatakan tentang Ayn al-Qudhat, hanya sedikit orang yang dapat menyingkap hakikat kenyataan dan penjelasan tentang hal-hal yang pelik seperti Syekh Ayn al-Qudhat. Kitab lainnya adalah Syakwa al-Gharib, pembelaan atas ajarannya yang ditulis saat di penjara, yang dipuji keindahan bahasanya, sehingga dikatakan secara metaforis, jika kitab ini dibacakan kepada bebatuan, maka bebatuan itu akan bergetar [oleh keindahan ungkapannya], dan kitab Nama-ha, yang berisi koleksi ratusan surat Syekh Ayn al-Qudhat kepada beberapa muridnya. Beliau dihukum mati oleh penguasa dengan cara biadab karena dituduh mengajarkan panteisme. Selain Ayn al-Qudhat, murid Syekh Ahmad al-Ghazali yg juga mengubah lanskap tasawuf adalah Abdul Qahir Abu Najib as-Suhrawardi. Beliau menulis salah satu kitab pegangan tentang pengajaran ruhani yang paling banyak dibaca pada zamannya, bahkan mungkin sampai sekarang, berjudul Adab al-Muridin." Beliau adalah salah satu sufi pertama yg secara formal membentuk organisasi Tarekat. pada era 1150-an ini boleh dikatakan mulailah era baru dalam tradisi tasawuf, yakni dengan munculnya Tarekat yang dibentuk secara organisatoris dengan struktur tertentu, meski pada saat itu masih sederhana strukturnya. Yang lebih berpengaruh adalah putra dari saudara lelaki Abu Najib, yakni Shihabuddin Abu Hafs Umar as-Suhrawardi. Karyanya yg berjudul Awarif al-Ma'arif menjadi kitab pegangan bagi kaum sufi di madrasah dan tarekat di India dan sekitarnya. Syekh Abu Hafs Suhrawardi juga terjun di dunia politik. Beliau menjadi Shayk as0Shuyukh, maha guru resmi di Baghdad pada masa kekuasaan an-Nasr. Beliau menjadi duta besar untuk penguasa Ayyubian di Mesir dan Syiria dan banii Seljuk di Rum yg baru saja bangkit kekuasaannya di Konya. Hubungan Abu Hafs Umar as-Suhrawardi dengan penguasa juga turut mempengaruhi sikap para sufi di anak benua India uang lebih terbuka terhadap peran sosial dan

politik dibanding tarekat lain yang sezaman dengannya. Syekh Abu Hafs Umar inilah yang membantu khalifah menyebarkan gagasan ksatria mistis, al-futuwwah, yg juga hendak diaplikasikan untuk bidang sosial dan politik. Untuk alasan praktis dan pragmatis, khalifah melembagakan futuwwah , sehingga aplikasinya mirip dengan konsep "sosialisme" di zaman modern. Sementara itu, pada saat yg hampir bersamaan, muncul nama Suhrawardi lain, dari Persia. Suhrawardi ini adalah Suhrawardi al-Maqtul, sang guru cahaya. Beliau adalah sufi yg mencoba menggabungkan dua mode pengetahuan: filsafat dengan Tasawuf. Beliau menciptakan sintesis filosofis yang bersumber dari berbagai sumber, khususnya pemikiran Islam dan mistisisme Islam enam abad sebelum dirinya. Beliau sendiri memandang dirinya adalah penerus tradisi kuno Iran dan Mesir. Konon beliau mendapat pencerahan dan ilmu langsung dari Hermes atau Nabi Idris. Karya besarnya adalah Hikmah al-Isyraq (Filsafat Iluminasi), yang sangat mempengaruhi mistisisme filosofis, terutama di kawasan Persia (Iran). Beliau mendapat julukan al-maqtul (yang dibunuh) karena dihukum mati. Syekh Suhrawardi al-Maqtul selain dikenal cerdas dalam berdebat juga amat pemberani dan cenderung tak peduli pada dunia dan suka berterus-terang. Karena keberaniannya inilah beliau mendapat banyak masalah, terutama dari para ahli hukum (faqih) yang tidak suka kepadanya lantaran merasa tersaingi dan sering kalah dalam perdebatan melawannya. Keberaniannya inilah yang membuatnya dihukum mati. Kisah sebab-musabab kematiannya ada beberapa versi. Salah satunya yang terkenal adalah sebagai berikut. Saat di Aleppo Syekh Suhrawardi biasa berceramah di hadapan banyak ulama dan ahli fiqh. Dalam ceramah-ceramahnya beliau secara blak-blakan mengecam keyakinan beberapa filsuf dan ulama, dan menunjukkan kesalahan mereka. Bahkan beliau tak segan-segan beradu mulut dengan sengit dan menunjukkan kesalahan mereka di muka umum. Selain itu kadang-kadang Syekh Suhrawardi menunjukkan kekuatan spiritualnya kepada mereka. Karena tak mampu menandingi kecerdasan dan keluasan ilmunya, akhirnya para ulama bersatu untuk menyingkirkannya. Mereka menuduh beliau sebagai ahli sihir dan punya pandangan filsafat yang menyesatkan dan membahayakan umat Islam. Mereka bahkan menuduh Syekh Suhrawardi mengaku-aku sebagai nabi. Mereka kemudian mendesak sultan, yakni Malik al-Zhahir, putra Shalahuddin al-Ayyubi, untuk menghukum mati Syekh Suhrawardi. Sultan Malik al-Zhahir kemudian mengundang para ulama dan Syekh Suhrawardi untuk berdebat di istana. Tetapi dalam perdebatan ini Syekh Suhrawardi muncul sebagai pemenangnya, sehingga Sultan Malik menjadi sahabatnya. Akhirnya para ulama dan fuqaha mengirim surat kepada Shalahuddin al-Ayyubi yang isinya memfitnah Syekh Suhrawardi. Dalam surat itu, secara garis besar, dikatakan bahwa Syekh Suhrawardi menipu Sultan Malik al-Zhahir, dan jika dibiarkan hidup akan merusak iman Sultan Malik, dan jika beliau diusir akan merusak setiap tempat yang didatanginya. Akhirnya Sultan Shalahuddin menyurati putranya (Sultan Malik) agar Syekh Suhrawardi dihukum mati dalam usia 38 tahun. Hukuman matinya dijatuhkan pada tahun 1191 atau 586 H. Versi kematiannya berbeda-beda; sebagian mengatakan beliau mogok makan di tahanan sampai meninggal; sebagian mengatakan beliau digantung; dan sebagian mengatakan beliau dipancung dengan pedang. Tubuhnya konon dibakar dan dijatuhkan dari atas benteng. Belakangan Sultan Malik alZhahir, yang sesungguhnya tidak ingin membunuh Syekh Suhrawardi, membalas dendam kepada para pemfitnah mereka dimasukkan ke penjara dan semua hartanya disita.

Syekh al-Israq Suhrawardi al-Maqtul ini mewariskan kajian filsafat yang sangat berharga dan berpengaruh. Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa di tangan Suhrawardi al-Maqtullah filsafat Islam tetap terpelihara setelah Imam al-Ghazali sempat menyerang filsafat dengan meyakinkan. Syekh Suhrawardi al-Maqtul meyakini bahwa pengetahuan (filsafat) sejati, atau pengetahuan tertinggi, tidak bisa dicapai hanya dengan olah intelektual semata, tetapi juga harus diiringi dengan laku spiritual untuk mensucikan hati (Tasawuf). Hanya dengan cara itulah pengetahuan hakikat akan bisa diperoleh dengan lebih sempurna. Menurut beliau, di dalam diri manusia sesungguhnya telah tersimpan kebijaksanaan kekal, yang bersumber dari sesuatu yang tidak diciptakan dan tidak dapat diciptakan. Itu berarti bahwa seseorang mesti melangkah melampaui tataran empiris-intelektual rasional dan material menuju ke alam yang lebih tinggi dan sublim. Proses pelepasan dari sifat-sifat material ini adalah semacam ziarah, bukan ke dunia eksternal, bukan ke belantara akal dan perdebatan intelektual yang berdasarkan definisinya sendiri adalah terbatas, tetapi perjalanan menjelajahi dunia batin, ke dalam diri. Secara paradoks, perjalanan ke dalam diri ini pada akhirnya akan membawa seseorang keluar dari dirinya sendiri dan ke luar dari dunia material, masuk ke dunia spiritual dan pengetahuan abadi yang tak ada batasnya. Dalam perjalanan ke dalam diri ini seseorang mesti membersihkan daya-daya yang bersifat gelap atau mengaburkan visi yang sejati: sifat-sifat kebinatangan, nafsu dan syahwat, ego, bahkan imajinasi keakuan sebagai sesuatu yang eksis tersendiri, harus dienyahkan. Jika ini sudah tercapai, maka akan terbukalah daya-daya ruhaniah, yang bisa melihat, mendengar, merasakan, mencium segala sesuatu tanpa bantuan indera dan memahami segala sesuatu yang ada di luar dunia material dan indera. Ini adalah pengetahuan dari Cahaya tentang Cahaya, dan inilah hikmah al-siyraq, pengetahuan dan filsafat cahaya. Pada titik tertentu dalam perjuangan ruhani ini, seseorang akan dipenuhi dengan cahaya pengetahuan ilahiah ini hingga mencapai batas yang mampu ditanggungnya. Pada tahap ini orang akan melihat dirinya sendiri (esensinya) dan ia akan senang karena menyaksikan cahaya yang memancar dari dirinya sendiri. Ia akan menyadari bahwa pada dasarnya seluruh semesta adalah cahaya yang bersumber dari satu Cahaya abadi. Dari sumber ini muncul hirarki cahaya vertikal yang memuat tingkatan-tingkatan eksistensi universal. Kata isyraqi itu sendiri juga berarti iluminasi, pancaran yang menerangi, seperti cahaya pertama di pagi hari yang memancar dari Timur (syarq). Dalam pengertian filosofis dalam ajaran Syekh Suhrawardi, ini bukanlah sekedar Timur geografis, tetapi Timur asal realitas (eksistensi). Pada saat inilah cahaya itu seakan-akan tak mau pergi lagi, tetapi hendak menetap dalam dirinya, dan pada momen ini seseorang akan merasakan sakinah atau cahaya ketenangan: Allah lalu menganugerahkan sakinah-Nya kepadanya (Q. S. 9:40). Para pemilik sakinah adalah orangorang yang beriman (mukmin), yang hatinya menjadi tenteram dengan berzikir kepada Allah (Q.S. 13: 28). Orang mukmin ini bukan mukmin nominal atau awam, namun mukmin yang sesungguhnya (Para Nabi/Rasul dan Wali Allah) yang memiliki ketajaman hati dan pikiran (firasat) dan kasyaf. Rasulullah bersabda hati-hatilah terhadap firasat orang mukmin, sebab dia melihat dengan Cahaya Tuhannya. Dengan kata lain, karena Cahaya pengetahuan Ilahiah sudah menetap di dalam dirinya, maka seseorang akan melihat segala sesuatu dengan cahaya-Nya, dan karena Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi (Q. S. 24: 35) maka tak ada sesuatupun yang

tersembunyi di bawah Cahaya-Nya sebab kegelapan tabir telah enyah. Karenanya, menurut Syekh Suhrawardi, para pemilik sakinah, para Wali Allah, dapat membaca pikiran orang lain, mengetahui dan memahami hal-hal ghaib, dan kecerdasannya akan disempurnakan melalui karunia firasat dan kasyaf ini. Mereka bisa melihat dan mendengar langsung isyarat dan panggilan yang lembut dari Allah Yang Maha Suci. Tetapi ini belumlah sempurna. Jika orang itu melangkah lebih jauh, dia akan sampai pada tahap di mana dia mengira bahwa esensi dan kesadaran dirinya akan terhapus. Ini dinamakan fana i-akbar (fana besar). Tetapi jika dia kemudian lupa pada kelupaaannya itu, maka ini dinamakan fana dalam fana. Ketika totalitas kesadarannya lenyap dalam obyek kesadaran barulah dia akan mencapai kesempurnaan; sebab, jika seseorang masih menyadari tindak kesadaran dan juga menyadari obyek kesadaran, ini berarti dia memiliki dua obyek. Karenanya untuk mencapai kesempurnaan seseorang mesti meninggalkan dirinya demi obyek kesadarannya, hingga yang tersisa hanyalah obyek kesadarannya. Ini adalah keadaan penghapusan sepenuhnya: Segala yang ada di bumi ini akan lenyap musnah. Yang kekap hanyalah Wajah Tuhanmulah yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan (Q. S. 55: 26-27). Ini adalah persatuan, realisasi sejati dari doktrin Keesaan Allah, Tauhid. Menurut Syekh Suhrawardi al-Maqtul, Tauhid itu sendiri terbagi menjadi lima tingkatan: (1) La ilaha illa Allah, tiada tuhan selain Allah, Tauhidnya orang awam; (2) La ilaha illa hu, Tauhidnya golongan yang terpilih di antara yang awam. Tingkatan ini lebih tinggi dibanding yang pertama, sebab yang pertama menyangkal tuhan selain Allah, sedangkan golongan kedua ini tidak hanya berhenti pada pengakuan bahwa selain Allah itu bukan tuhan, tetapi juga menyangkal semua identitas obyektif dalam kaitannya dengan identitas Tuhan; (3) La ilaha illa anta, tiada tuhan selain Engkau, Tauhidnya golongan ketiga, yang mengacu kepada kehadiran Tuhan (engkau adalah pihak kedua yang hadir); (4) La ilaha illa ana, tiada tuhan selain Aku, Tauhid orang-orang yang telah menghapus diri mereka sendiri; dan (5) yang tertinggi adalah Tauhid yang tak terungkapkan dalam kata-kata. Ke-Engkau-an, Ke-Aku-an, dan Ke-Diaan semuanya adalah representasi istilah, yang dari sudut pandang Tuhan tetap tidak bisa mewakili Eksistensi-Nya. Golongan orang ini telah menenggelamkan ketiga cara pembicaraan itu dalam samudera penghapusan. Mereka menghancurkan ungkapan-ungkapan, meninggalkan semua acuan yang masih menunjukkan arah dan representasi. Karena semuanya sudah musnah, Dan segala sesuatu akan musnah kecuali Dia (Q. S. 28:88), maka tidak ada lagi yang tersisa untuk diucapkan, lantaran kata-kata tak lagi bermakna. Seperti dikatakan dalam salah satu keterangan tentang Tasawuf, Tasawuf pada awalnya adalah Tuhan, dan pada akhirnya adalah tanpa batas, tanpa isyarat, tanpa arah, tanpa pembicaraan. Sementara itu, hampir bersamaan dengan berdirinya Tarekat Suhrawardiyyah dan kemunculan filsafat cahaya mistis di Iran, datanglah juru dakwah dari Laut Kaspia yang menjadi salah satu Poros Utama hampir seluruh sufi dan guru tarekat di seluruh dunia ISlam. Beliau adalah Sulthan al-Awliya al-Ghauts al-Adhim as-Sayyid Syekh ABDUL QADIR AL-JAILANI qaddasallahu sirrhu... [BERSAMBUNG LAGII YAAA...] Salam

Triwibs Kanyut Ikhwan TQN

SEJARAH TASAWUF #02 Bagikan Hari ini jam 13:04 Sebelumnya: http://www.facebook.com/note.php?note_id=416567593339 Sebelum melanjutkan ttg Imam Junaid, perlu disebutkan satu Sufi yg juga sangat memengaruhi ajaran Tasawuf. beliau adalah Imam Harits al-Muhasibi. Imam Harits adalah sufi pertama yg secara sistematis menulis tentang "Psikologi Sufistik." Gelar Muhasibi disematkan karena beliau terkenal dengan ketekunannya dalam bermuhasabah, mentafakuri dan memperhitungkan amal dan kondisi kejiwaannya sendiri. Beliau dikaruniai kemampuan mengetahui gerak-gerik hati dan tipuan-tipuan nafsu dan setan; salah satu karamahnya yg termashyur adalah jari-jarinya mampu mengetahui apakah suatu makanan/minuman itu haram atau tidak. Karamah ini diperoleh lantaran beliau sangat berhati-hati dalam bertindak. Analisis Imam Harits al-Muhasibi tentang

sifat Riya' dan Takabbur menjadi dasar bagi para sufi generasi selanjutnya, termasuk kelak Hujjatul Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali. Dari belahan kawasan lain, dari Tirmidz, muncul pula legenda Tasawuf, Imam al-Hakim alTirmidhi, yg ajarannya memengaruhi sufi besar generasi selanjutnya, Syekh Akbar ibn Al-Arabi al-Hatimi. Salah satu kitab karangan Imam Hakim al-Tirmidhi yg menjadi rujukan untuk perbincangan masalah Kewalian dan Hirarki Wali Allah adalah berjudul "Khatam al-Awliya." Imam Hakim al-Turmudhi juga menulis tafsir Qur'an dari perspektif hakikat. Gelar al-Hakim diperoleh karena beliau sangat menguasai filsafat Yunani dan filsafat Islam. Kembali ke Baghdad, di sana telah muncul tokoh yang berpengaruh, Imam Junayd al-Bagdadi, seorang ulama sufi kelahiran Iran (Persia). Imam Junayd kecerdasannya sangat luar biasa, dan karomahnya tak terhitung. Sebagian Sufi memuji beliau dengan mengatakan, "Seandainya akal itu punya wujud insan, maka Junaydlah wujudnya." Sisi penting dari ketokohan Syekh Junayd adalah sisi "ketenangan"-nya, yg bertolak belakang dengan "kemabukan" seperti yang ditampakkan oleh Syekh Abu Yazid al-Bisthami, Dzun Nun, dan Rabi'ah. Syekh Junaid mendirikan semacam 'pesantren' dan beliau menjadi rujukan ulama, orang awam dan bahkan penguasa. Junayd pula yang dengan tegas menyatakan bahwa mengajarkan pengalaman mistis/ruhani, atau hakikat-makrifat, adalah berbahaya jika ajaran ini disampaikan secara terbuka untuk orang awam. Maka Sykeh Junaid termasuk golongan Sufi yang ahli dalam memperhalus seni bicara melalui isyarat dan perlambang yg sebagian besar hanya bisa dipahami oleh orang yang telah mencapai maqam tertentu. Berdasarkan pendapatnya yg memilih berhati-hati dalam mengemukakan ajaran Tasawuf ini, maka kelak Syekh Junaid terpaksa "bertentangan" dengan salah satu muridnya yang paling terkenal dalam sejarah Islam, Husain ibn Mansur al-Hallaj. rekan sezaman syekh Junayd yang terkenal adalah SYekh Ruwaym. Ini adalah sufi yang mewakili sisi lain dari Tasawuf. Syekh Ruwaym tidak menampakkan perilaku zuhud atau ketawakalan yang menonjol. Beliau adalah tergolong orang kaya raya. Dengan kata lain, belau menyembunyikan kewalian atau kesufiannya dalam jubah orang kaya. Tokoh lain yg semasa dengannya adalah Syekh Abu Husain al-Nuri, murid dari Syekh Sari as-Saqati. Syekh Nuri meneruskan tradisi Rabiah al-Adawiyah. Syekh Nuri mengatakan bahwa cinta persaudaraan merupakan wujud dari kebenaran dan kefakiran yang hakiki, atau dengan kata lain ia lebih mengutamakan orang lain ketimbang dirinya sendiri (ajaran ini kelak dikembangkan lebih lanjut oleh sufi generasi selanjutnya, melalui konsep futuwwah atau kekesatriaan ruhani). Karya Nuri yg terkenal adalah Maqamat al-Qulub, atau "Maqam Hati." Ajaran cinta Nuri sebagian tak disukai oleh Imam Junayd karena dipandang terlalu berlebihan dalam gaya ungkapnya. Nuri sempat dipenjara karena dituduh zindiq karena puis-puisi cinta Ilahiahnya yang berkobar-kobar. Selama di penjjara beliau bertemu dengan Wali Allah tersembunyi lainnya, Sumnun al-Muhibb. Sumnum dipuji oleh penulis sufi lainnya generasi selanjutnya (seperti Hujwiri dan Attar). Imam Hujwiri mengataka, "Sumnun mengikuti mazhab istimewa dalam cinta dan berpendapat bahwa cinta merupakan akar dan landasan menuju Tuhan." Bahkan Sumnun berpendapat bahwa cinta lebih tinggi ketimbang makrifat, dan persoalan ini masih menjadi subyek yg diperbincangkan dan diperdebatkan sampai sekarang. Sumnun mengatakan bahwa cinta selalu terkait dengan derita. Ketika ditanya, mengapa demikian, Sumnun menjawab: "Supaya tak setiap orang awam

bisa mengatakan Cinta, sebab kebanyakan orang awam akan lari menjauh ketika melihat penderitaan." Garis tradisi CInta dari Rabiah dan Sumnun ini tampaknya mengalir langsung ke dalam ajaran salah satu sufi agung legendaris, paling kontroversial, SYEKH HUSAIN IBN MANSHUR ALHALLAJ, sang Syuhada CInta Ilahi. Kisah tragis Al-Hallaj, yang juga murid dari Abu Amir alMakki dan juga murid dari Junayd al-Baghdad ini, telah mempesona banyak sufi, orang awam, ilmuwan, bahkan orientalis. Salah satu orientalis yang konon masuk ISlam karena memelajari kehidupan al-Hallaj adalah Louis Massignon. Louis Massignon mempersembahkan seluruh sisa hidupnya, selama 30 tahun lebih, khusus untuk mendalami hidup dan ajaran Syekh Manshur alHallaj. Massignon menyusun 4 jilid buku riwayat al-Hallaj, yang masing-masing tebalnya "ngudubilah setan." Massignon pula yang menerjemahkan dan menyunting kitab al-Hallaj yg paling sulit, TAWASIN, ke dalam bahasa Prancis dan Inggris. Dalam kitab Tawasin inilah terdapat ungkapan yang paling masyhur: ANA AL-HAQQ. BERSAMBUNG LAGIIIH ... Triwibs Kanyut the Rekthir Ikhwan TQN

SEJARAH TASAWUF #03 Bagikan Hari ini jam 16:03 bagian 1: http://www.facebook.com/note.php?note_id=416567593339 bagan 2 : http://www.facebook.com/note.php?note_id=416590228339 Pada era Syekh Junayd inilah dunia Islam dikagetkan oleh tindakan dan akhiir yg tragis dari salah satu muridnya yg paling cerdas, yakni al-Hallaj. Husain Manshur al-Hallaj, adalah sufi agung yang terkenal sekaligus sangat kontroversial hingga sempat mengguncang dunia Islam pada umumnya, dan tasawuf pada khususnya, salah satu syuhada wali Allah yang amat cinta kepada Tuhannya. Beliau dihukum mati dengan cara keji oleh lawan-lawannya, yang menuduhnya sesat karena dianggap mengajarkan panteisme atau ajaran hulul, persatuan lahut (sifat dasar Tuhan) dan nasut (sifat dasar manusia), bersatunya Tuhan dengan manusia. Ucapannya yang terkenal, Ana al-Haqq, bergaung ke seluruh penjuru dunia Islam dan mempengaruhi banyak Sufi dan Wali Allah generasi selanjutnya. Bahkan sebagian sufi menyebutnya sebagai wali yang menempati kedudukan tinggi, yakni Sulthan alAwliya. Julukan al-Hallaj (penggaru, pemintal) diperolehnya setelah beliau menunjukkan sebuah karamah. Suatu ketika beliau melewati sebuah gudang dan melihat seonggok buah kapas. Ketika

jari-jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas itu, biji-bijinya langsung terpisah dari seratserat kapasnya. Beliau juga disebut Hallaj as-Asrar karena mampu membaca pikiran orang dan menjawab pertanyaan bahkan sebelum pertanyaan itu dikemukakan kepadanya. Lahir dengan nama Abu Mughits al-Husayn ibn Manshur pada 244 H / 858 M di desa Tur, kota Bayda di provinsi Fars sebelah selatan Iran yang sudah dipengaruhi oleh kebudayaan Arab. Orang tuanya berasal dari Persia. Menurut sebuah legenda, ketika hamil ibunya pernah berjanji akan menyerahkan anaknya kepada para fuqara, yakni para penempuh jalan rohani. Ayahnya adalah seorang pemintal bulu domba (hallaj). Kelak putranya juga menggeluti profesi ini meski tidak selamanya. Ayahnya sering melakukan perjalanan dagang sampai ke pusat-pusat tekstil di Ahwaz, Tustar, Nahr Tira, Qurqub, dan akhirnya pada 255 H / 868 M keluarganya menetap di kota Wasit yang penduduknya adalah kaum Arab Sunni tradisional. Di kota Wasit inilah Syekh al-Hallaj dibesarkan sejak usia 5 tahun. Di kota ini pula Syekh al-Hallaj mendapat pendidikan dasar di sekolah bermazhab Hanbali, antara lain pelajaran seni membaca dan menghafal Quran, tata bahasa Arab, menghafal hadits, dan doa. Pada 260 / 873, setelah menamatkan pendidikannya di pusat kota tersebut, Hallaj muda kembali sendirian ke Tustar. Di sana beliau menjadi murid ulama dan sufi terkenal dari mazhab Sunni, Syekh SAHL AL-TUSTARI (w.273). Al-Hallaj tinggal bersama Syekh Sahl selama kurang lebih dua tahun. Sesudah itu beliau sekali lagi melakukan perjalanan ke Irak, kali ini ke Basra. Pada 877 M Syekh al-Hallaj menikahi putri Abu Yaqub Aqta, seorang sekretaris (khadam) Syekh Junayd al-Baghdad dan pengikut Amr al-Makki. Dari pernikahannya ini kelak Syekh alHallaj dikaruniai tiga putra dan satu orang putri. Salah satu putranya, Hamd, meninggalkan catatan tentang kehidupan dan kesyahidan ayahnya. Menurut catatan ini, pernikahan Hallaj menimbulkan perselisihan antara Syekh Amr al-Makki dengan Syekh al-Hallaj. Syekh Amr alMakki tidak menyetujui pernikahan itu, dan karenanya Syekh al-Hallaj terpaksa pergi ke Baghdad untuk meminta nasihat kepada Syekh Junayd al-Baghdad. Kecemburuan spiritual semacam itu kelak akan terus membayangi Syekh al-Hallaj disepanjang hayatnya. Kecemburuan-kecemburuan spiritual datang dari guru-guru yang dekat dengannya dan juga, kelak, dari murid-muridnya, yang pada akhirnya menimbulkan perselisihan doktrinal. Syekh Junayd, yang waktu itu diakui sebagai sufi dan ulama terkemuka di Irak, menganjurkan agar Hallaj bersabar seperti yang dilakukan oleh Syekh Hasan al-Basri. Syekh al-Hallaj tumbuh dalam abad yang menjadi saksi berdirinya Bayt al-Himah yang tersohor, sebuah pusat penerjemahan di Baghdad yang bertujuan menyebarluaskan pandangan dan ide-ide Yunani. Pusat ini berada di bawah perlindungan khalifah al-Mamun yang anti-tradisionalis dan sedikit berbau Syiah. Keahlian debat Syekh al-Hallaj, baik dalam soal keadilan maupun persoalan yang menyangkut Quran, mulai diasah pada periode yang penuh ketegangan ini. Sikapnya yang terbuka terhadap perspektif dan tradisi agama lainnya berasal dari kecenderungannya untuk menentang ortodoksi Sunnni di bidang intelektual, politik dan kultural. Ini adalah periode yang membuat karakternya menjadi rawan terhadap bahaya sektarianisme spiritual, sebuah ciri yang telah lama muncul dalam sejarah Islam dan telah diperingatkan sejak dulu oleh Syekh Hasan al-Basri kepada umat; dan bahaya inilah yang ikut serta membawa al-Hallaj kelak menuju kematiannya demi memperjuangkan keadilan dan persatuan seluruh umat.

Beliau kemudian umroh dan menetap di Mekah selama setahun. Konon pada masa ini beliau berpuasa terus-menerus untuk mempersiapkan diri menerima panggilan spiritual yang lebih tinggi. Ia memilih berbagai bentuk kewajiban dan anjuran agama yang paling berat bagi nafsunya. Seperti Hasan al-Basri dan Sufi-sufi generasi selanjutnya, Syekh al-Hallaj menganggap bahwa penyucian hati adalah syarat utama untuk merealisasikan panggilan moral dan spiritual atas nama umatnya. Kemungkinan besar pengalaman di masa mudanya inilah yang memperkuat keyakinannya terhadap makna dari sayha bil Haqq, seruan untuk menegakkan keadilan sebagai saksi atas Realitas Tuhan dan Kebenaran Keesaan Tuhan yang transendental. Setelah itu beliau tampaknya semakin kuat menentang ekstremisme politik dan tirani jenis apapun. Beliau juga menentang kesufian yang menyendiri dan tenang yang dinisbahkannya kepada para gurunya sendiri, termasuk Syekh al-Junayd. Menurutnya, Syekh al-Junayd merepresentasikan penarikan diri dari aktivitas politik dan hanya menitikberatkan pada ibadah. Penolakan terhadap corak sufisme yang tenang ini menjadikan Syekh al-Hallaj berseberangan dengan pandangan asketik yang pada mulanya diajarkan Syekh HASAN AL-BASRI yang menganjurkan orang agar bersabar dalam menghadapi tirani dan menanamkan rasa takut dan sedih (al-khauf wa al-huzn). Kira-kira pada periode inilah Syekh al-Hallaj ikut dalam diskusi yang melibatkan tiga orang sufi terkemuka. Diskusi ini menunjukkan perkembangan pandangannya tentang inspirasi personal dari Tuhan (ilham): di Mekah beliau berdiskusi dengan Syekh Amr Makki; di Kufa dengan Syekh IBRAHIM AL-KHAWAS; dan di Baghdad dengan Syekh al-Junayd. Dalam catatan biografisnya Hamd menyebutkan sebuah pertemuan antara ayahnya dan Junayd dengan sekelompok sufi (fuqara) di mana saat itu diajukan sebuah pertanyaan yang berhubungan dengan keinginan untuk mendapatkan misi pribadi (muddai). Syekh Al-Junayd waktu itu memberi nasihat kepada al-Hallaj muda yang masih bersemangat ini agar tenang dan bersabar. Namun sumber lainnya menyebutkan bahwa pertemuan ini terjadi saat krisis pernikahan dan merupakan satu-satunya pertemuan yang mereka adakan. Yang penting di sini adalah bahwa Syekh al-Hallaj tampak berbeda pandangan dengan aliran Sufi tradisional seperti yang dianut oleh mazhab di Baghdad. Akan tetapi di Basra, tempat Syekh al-Hallaj berkumpul kembali dengan istrinya setelah menyendiri di Mekah, beliau mulai menarik banyak pengikut dan memulai melakukan misi pribadinya. Setahun kemudian, Syekh al-Hallaj meninggalkan Basra menuju ke Tustar bersama istrinya dan saudara misannya, seorang anggota keluarga Karbai yang beraliran Syiah. Di sana beliau mulai berdakwah (baik dalam bahasa Arab maupun Persia) kepada penduduk setempat dan dakwahnya ini mendapat keberhasilan. Tetapi Syekh al-Hallaj masih terus mendapat kecaman dari bekas gurunya, Syekh Amr al-Makki. Serangan-serangan ini menjadi faktor penting dibalik keputusan Syekh al-Hallaj untuk memutuskan ikatannya dengan guru Sufi itu dan menanggalkan jubah Sufinya, meskipun jubah ini kelak menjadi satu-satunya pakaian yang dikenakannya selama melakukan perjalanan dan saat kelak berada di penjara. Di sekitar pusat kota Tustar dan Ahwaz, beliau sering menjadi tamu dikalangan tuan tanah, birokrat kelas atas, orang-orang kaya, kelompok yang lebih dikenal sebagai abna al-dunya. Meskipun Syekh al-Hallaj dikenal sebagai dai yang tersohor, namun gaya bahasanya makin lama semakin abstrak dan dialektis, mengikuti gaya ucap di bidang filsafat (falsafa) kaum Muslim non-tradisionalis (yakni Mutazilah dan Syiah) di kawasan itu. Sekitar tahun 887, saat usianya 30 tahun, beliau ditangkap oleh agen pemerintah Sunni dan

dihukum cambuk di muka umum di Nahiyat al-Jabal, yang terletak di antara Sus di Iran dan Wasit di Irak. Syekh al-Hallaj dituduh sebagai penghasut politik, dan dituduh menjadi seorang agen gerakan Qarmathian, yakni kaum radikal sayap kiri dari golongan Syiah yang berkeinginan untuk menggulingkan pemerintahan Abbasiyah dan para pendukungnya. Dakwah-dakwahnya memang membahayakan di bidang politik, walaupun dalam kenyataannya beliau tak lagi aktif dalam bidang politik setelah pemberontakan Zanj dipadamkan. Selama lima tahun kemudian dia berkeliling menjalankan misi ke seluruh pusat-pusat kota yang telah diarabkan (arabicized) di Iran barat, Khurasan dan di sepanjang Sungai Oxus. Pada tahun 893 beliau berkumpul bersama istrinya di Ahwaz. Menjelang akhir tahun ini di sini anak ketiganya lahir, yakni Hamd. Di sini pula beliau mendapat julukan hallaj al-asrar atau hallaj alqulub, pemintal atau pembaca rahasia hati terdalam. Mulailah beredar kisah-kisah tentang karamahnya, dan pada saat yang sama beliau berhasil menyangkal tuduhan melakukan praktik perdukunan yang dilancarkan oleh kaum Mutzailah dan Syiah. Hal ini membuatnya makin terkenal dan mendapat lebih banyak pengikut. Pada 894 beliau melakukan perjalanan keduanya ke Mekah melalui Basra dan pusat gerakan Qarmathian di Teluk Persia. Menurut keterangan beliau tiba di Kota Suci Mekah bersama 400 pengikutnya yang berpakaian sederhana dan lusuh dan menjalani kehidupan fakir. Beliau kemudian tinggal di pusat tekstil di Baghdad selama setahun. Pada masa ini beliau kembali menjalin hubungan dengan para sufi, terutama dengan sufi yang individualistik seperti Syekh Abu Hasan al-Nuri (w. 295/907) dan Syekh ABU BAKAR AL-SHIBLI (w. 334/945). BERSAMBUNG LAGIIIH.. capek ngetiknyaaah Triwibs Kanyut Rekthir Ikhwan TQN Suryalaya[....] Setelah itu al-Hallaj bepergian melalui laut ke India bersama seorang utusan Mu tadid yang kelak menjadi khalifah. Ini menandai perjalanan panjang keduanya selama lima tahun di mana misinya adalah untuk berdakwah kepada orang kafir Turki di luar Sungai Oxus dan kepada penduduk India barat yang baru sedikit diislamkan oleh misionaris syi ah radikal. Pada periode inilah beliau menjalin hubungan baik dengan tokoh-tokoh penting dinasti Samanid di Khurasan. Mereka ini tetap setia dan membela Syekh al-Hallaj dari tuduhan dan kecaman penguasa Abbasiyah di Baghdad saat beliau hendak dihukum mati pada 309/922. Syekh al-Hallaj berdakwah menentang ajaran dualisme Manichean (zandaqa) yang dianut oleh kaum Uyghur Turki dan orang-orang kafir lain yang berada di luar Dar al-Islam tetapi, ironisnya, pada saat Syekh al-Hallaj diadili kelak, beliau dituduh mengajarkan ajaran sesat tersebut. Setelah kembali ke Baghdad sekitar tahun 290/902, muncul penentangan terhadapnya. Tokoh terpenting yang menentangnya adalah seorang ulama dan pengikut neo-Platonis yang menguasai persoalan tentang ajaran cinta, yakni Muhammad Ibn Dawud (w. 296/908). Tokoh inilah yang mengawali kecaman resmi kepada Syekh al-Hallaj (melalui karyanya Fatwa bi takfir al-Hallaj). Tuduhan ini langsung dilaporkan kepada Khalifah Mu tadid. Tetapi muncul pembelaan dari ulama terkemuka lainnya, Ibn Surayj yang bermazhab Syafii (w. 305/917), yang menulis fatwa (Fatwa bi tawaqquf hal al-Hallaj) yang menyatakan bahwa inspirasi mistis (ilham) adalah bidang yang berada diluar kompetensi ulama fiqh

atau syariah. Persoalan ilham ini, yang sering dihubungkan dengan ajaran Syekh al-Hallaj dan sufi-sufi yang tenggelam dalam cinta ekstatis, sesungguhnya sudah sejak lama diperdebatkan dalam kerangka perintah dan larangan hukum agama (syariat). Untuk menghindari penyidikan oleh lembaga resmi, Syekh al-Hallaj kemudian melakukan ibadah haji yang ketiga, kali ini beliau tinggal selama dua tahun untuk menyendiri, merenungi Qur an, melakukan ibadah yang ketat, membersihkan hati, yang kelak membuatnya mampu mengeluarkan ucapan ekstatik (shath). Ini adalah persiapan final dari kesaksian kehadiran (shahid ani) cinta abadi. Murid-muridnya percaya bahwa keadaan ini ditunjukkan oleh tanda-tanda dari ibadahnya yang ekstrim dan ketaatannya yang luar biasa dalam menjalankan ritual dasar ajaran Islam. Salah satu tandanya adalah ucapannya saat berada di padang Arafat, di mana beliau menyatakan kesiapannya untuk menjadi korban, mengalami hujatan dan kematian seperti yang dialami Nabi Isa, demi menyucikan umatnya. Beliau bahkan memohon kepada Tuhan agar mengizinkan dirinya mati dikutuk oleh umat Islam yang keadaannya sudah memburuk dan terpecah-belah. en Beliau juga memohon agar setiap aspek dari dirinya bisa lenyap melalui Cinta-Mu. Beliau meninggalkan kota suci Mekah dan Medinah untuk terakhir kalinya, dan kembali ke Baghdad melalui Yerusalem. Beliau kembali tinggal bersama keluarganya, kawan-kawan dan murid-muridnya di Tustar. Beliau membangun miniatur kabah yang diagungkannya secara simbolik dan secara pribadi di sekitar miniatur kabah ini beliau melakukan ritual ibadah haji yang biasanya dilakukan dalam ibadah haji yang sesungguhnya di Mekah. Karena tindakannya ini, dan karena beliau diduga pernah menyatakan bahwa diperbolehkan melakukan ibadah haji di miniatur kabah ini untuk mengganti ibadah haji di Kota Suci jika seseorang tidak mampu secara finansial atau fisik untuk melakukan perjalanan ke Mekah, maka oleh musuh-musuhnya beliau dituduh hendak merusak sendi-sendi hukum Islam. Meskipun demikian, sebenarnya ada beberapa fakta historis tentang penggantian tersebut, seperti yang dilakukan oleh seorang khalifah yang membangun miniatur kabah di Samarra pada tahun 830-an untuk para tentara bayaran dari Turki. Pada periode ini pula dakwah Syekh al-Hallaj semakin bersemangat dan difokuskan demi kerinduannya untuk mati syahid: atas nama hukum Islam dan demi kebaikan umat. Selama sembilan tahun berikutnya, yakni sekitar 913-921/922, ruang gerak Syekh al-Hallaj dibatasi hanya di seputar istana di bawah pengawalan ketat Bendaharawan Agung Nasr dan pendukung lainnya. Pada periode ini Hallaj menulis karya-karyanya yang terakhir. Di antara karyanya ini yang paling utama adalah kitab Ta Sin al-Azal. Pada tahun 921 beliau dipindahkan selama sekitar setahun ke penjara, di sebuah bangunan yang terpisah dari istana di mana beliau masih bisa menerima tamu. Kemudian muncul peristiwa politik selanjutnya yang membuat pengadilan Hallaj menjadi tak terhindarkan. Intrikintrik politik di dalam istana menyeret Syekh al-Hallaj. Abu Muhammad Hamid ibn al-Abbas, seorang pejabat tinggi, yang juga musuh utama Syekh al-Hallaj, melakukan manuver-manuver politik untuk menyingkirkan para lawan politiknya, seperti Ibn Isa dan Bendaharawan Nasr, yang mendukung Syekh al-Hallaj. Karena waktu itu Syekh al-Hallaj dituduh menyebarkan bid ah dan juga adalah tokoh yang didukung oleh Ibn Isa dan Nasr, maka Hamid memanfaatkan Syekh al-Hallaj untuk memperoleh kembali kekuasaannya.

Jika ia bisa membawa al-Hallaj ke pengadilan, maka ini akan sangat berpengaruh terhadap Ibn Isa dan Nasr. Rencananya adalah meminta Muqtadir untuk tidak melibatkan Ibn Isa dalam kasus Syekh al-Hallaj dan membawanya ke pengadilan, sekaligus membatasi keterlibatan Nasr. Tokoh lainnya, yakni Ibn Mujahid, ulama penghafal Qur an yang memusuhi Hallaj dan para sufi lainnya, mendukung proses rencana ini. Para pendukung Syekh al-Hallaj dari penganut mazhab Hanbali melakukan demonstrasi menentang Hamid dengan alasan yang sama seperti yang diajukan oleh murid Syekh al-Hallaj paling setia, Ibn Atta, yang pernah menjadi saksi pembela Syekh al-Hallaj di pengadilan terdahulu. Tetapi demonstrasi ini justru menguntungkan rencana Hamid karena demonstrasi membuktikan bahwa Syekh al-Hallaj dan para pengikutnya adalah ancaman bagi hukum dan ketertiban. Ulama dan sejarawan terkemuka yang bermazhab Sunni, Tabari (w.310/923), yang juga salah seorang kawan Ibn Isa, tidak mau turut campur dalam kasus ini dengan alasan dia tidak mau terlibat dalam kekerasan. Sikapnya ini membuat kaum Hanbali berdemonstrasi di depan rumahnya. Pada akhir Maret 922 Hamid diangkat kembali menjadi menteri setelah manuver politiknya yang brutal berhasil menyingkirkan pendukung Hallaj dari kekuasaan. Dia mendapat mandat dari Khalifah untuk menegakkan ketertiban dan keamanan dengan cara apa saja, mulai dari penangkapan, pengadilan sampai penghukuman mati. Para ahli fiqh dan ulama yang pernah menentang Syekh al-Hallaj kini memperkarakan kembali soal ajarannya yang membolehkan mengganti ibadah Haji ke Mekah dengan ibadah haji di rumah. Ajaran ini dianggap sebagai bukti bahwa Syekah al-Hallaj ingin menghancurkan hukum Islam. Ibn Ata , ahli fiqh dan murid terdekat Syekh al-Hallaj, menolak menandatangani pernyataan bahwa al-Hallaj bersalah. Tetapi dia berhasil dibunuh oleh Hamid sebelum pengadilan atas Syekh al-Hallaj dilakukan. Tetapi beberapa sumber lain menyatakan bahwa Hamid memaksa Ibn Ata untuk bunuh diri. Upaya terakhir Nasr dan Ratu Shaghab untuk membujuk Khalifah Muqtadir agar membatalkan pengadilan mengalami kegagalan. Karena desakan Hamid, akhirnya khalifah menyetujui hukuman mati atas diri al-Hallaj, dengan hukuman yang akan dilakukan dengan cara yang paling kejaam! Menurut kisah putra Syekh al-Hallaj, yakni Hamd, ayahnya, setelah melakukan shalat tahajud mengulangi kata-kata 'makr,' tipu daya, sampai malam hampir berakhir. Kemudian, setelah lama terdiam, beliau meneriakkan kata al-Haqq, Kebenaran. Kemudian mengenakan jubahnya, menghadap ke arah Mekah dan membaca munajat-nya. Ketika pagi tiba, mereka menyeretnya dari penjara, dengan dirantai. Beliau mengatakan, Sahabatku memberi aku minum dari cangkirnya, seperti ketika menjamu tamu; tetapi setelah cangkir berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya, Dia membawakan tikar untuk hukuman mati dan kemudian pedang akan menebas orang yang meminum anggur bersama sang singa di tengah panasnya musim panas. Mereka membawanya ke tiang penggantungan di hadapan massa yang membludak. Mereka memotong tangan dan kakinya setelah mencambuknya sebanyak 500 kali. Menurut penjelasan Attar (dalam Tadhkirat), Syekh al-Hallaj melumurkan darah dari tangannya yang dipotong ke wajahnya, sehingga tangan dan wajahnya berlumuran darah. Mengapa engkau melakukan itu, tanya orang-orang. Telah banyak darah yang keluar dari tubuhku, jawabnya. Aku tahu wajahku akan pucat. Kalian mungkin mengira wajahku pucat karena aku takut. Aku melumuri darah ke wajahku agar pipiku tampak

merah di mata kalian. Kosmetik para pahlawan adalah darah mereka. Tetapi mengapa engkau juga melumuri tanganmu? Aku melakukan wudlu. Wudlu apa? Ketika seseorang shalat dua rakaat karena cinta, jawab Hallaj, wudlunya tidak akan sempurna kecuali dilakukan dengan darah. Algojo kemudian mencungkil kedua matanya; kemudian massa melemparinya dengan batu. Setelah itu telinga dan hidungnya diiris. Dia memohonkan ampunan kepada mereka saat mereka hendak memotong lidahnya. Seorang perempuan tua berteriak, Apa hak pemintal kain ini (hallaj) untuk berbicara tentang Tuhan? Hallaj kemudian berkata, Cukuplah bagi pecinta untuk melenyapkan dirinya di hadapan keesaan Yang Maha Esa. Beliau kemudian digantung di tiang salib. Selama digantung semalaman ini beliau berdoa: Ya Tuhanku, aku sekarang berada di tempat yang kuinginkan, tempat aku merenungi keagungan-Mu. Ya Tuhanku, aku tahu Engkau memperlihatkan cinta-Mu bahkan kepada orang-orang yang bersalah kepada-Mu; jadi bagaimana mungkin Engkau tidak memperlihatkan cintamu kepada orang [yakni al-Hallaj sendiri] yang diperlakukan tidak adil karena Diri-Mu? Sahabatnya, Syekh Abu Bakar Shibli, mendekati tiang gantungan dan membacakan ayat Bukankah kami telah dilarang untuk menerima tamu dari golongan malaikat dan manusia? [Q.S. 15:70]. Kemudian Syekh al-Shibli bertanya kepada Syekh al-Hallaj, Apa itu Tasawuf? Beliau menjawab, Tingkat yang terendah yang dapat dicapai adalah yang sedang engkau lihat saat ini. Syekh Shibli kemudian bertanya lagi, Lalu apa tingkat yang lebih tinggi? Syekh al-Hallaj menjawab, Tingkatan itu diluar jangkauanmu; tetapi besok engkau akan melihatnya, sebab tingkatan itu adalah sebagian dari misteri ilahi yang telah aku saksikan tetapi tidak akan terlihat olehmu. Saat tiba waktu Isya, datang perintah untuk memenggal kepala Hallaj. Akan tetapi petugas mengatakan Sekarang sudah malam; kami akan memenggalnya esok hari. Saat pagi tiba, mereka menurunkannya dari tiang salib dan menyeretnya untuk dipenggal. Beliau berteriak dan berkata dengan keras, Yang penting bagi seorang sufi adalah bahwa hanya Yang Maha Esa-lah yang akan membawanya ke Kesatuan. Kemudian beliau membacakan ayat, Orang-orang yang tidak beriman kepada hari kiamat meminta supaya hari itu segera didatangkan; tetapi orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa kiamat itu adalah benar [Q.S. 42:18]. Ini adalah kata-katanya yang terakhir, sebab kemudian lidahnya dipotong oleh sang algojo. Kepalanya dipenggal, tubuhnya dibungkus dengan tikar jerami, disiram minyak, dan kemudian dibakar. Abunya dibawa ke puncak menara di Ra s al-Manara yang terletak di sungai Tigris untuk disebarkan. Dikisahkan konon darah yang mengalir dari tubuh Syekh al-Hallaj membentuk huruf arab Ana al-Haqq . Seperti apakah ajaraannya? BERSAMBUUNG MANING... drijiku panas karena ngetik. Triwibs Kanyut Ikhwan TQN Suryalaya

[...] Meski jazadnya telah hancur, namun warisannya seolah kekal. Syekh al-Hallaj meninggalkan beberapa karya. Karyanya yang paling utama adalah kitab Ta Sin al-Azal (Tawasin). Dalam karya ini dikisahkan Iblis melakukan pembelaan diri sebagai monoteis murni, yang mengakui transendensi (tanzih) Tuhan dengan menolak bersujud kepada manusia yang merupakan makhluk ciptaan yang rendah dan tidak bersih. Karena itu si Iblis ini menjadi pecinta mistik yang utama yang menjadi saksi kemahakuasaan Tuhan yang tak bisa dipahami, tetapi pada saat yang sama, karena penalarannya yang ekstrim tentang Tuhan sebagai Ide Murni, tidak bisa bersikap rendah hati, sebuah sikap yang dibutuhkan untuk mengakui realitas kreativitas Tuhan. Dalam monolog Syekh al-Hallaj yang halus ini Iblis menandai batas kesombongan spiritual mistikus dan berani melewatinya dengan menjustifikasi pembangkangannya kepada Tuhan yang membawanya kepada nasib yang tragis. Karya ini adalah semacam esai dalam bentuk fiksi, dan sebuah karya yang kaya akan pandangan mistisisme yang mendalam. Karya ini menunjukkan pengetahuan psikologi religius pengarangnya yang jauh lebih mendalam ketimbang para ahli lain di bidang mistisisme atau psikologi. Iblis adalah saksi negatif dari Kesatuan Yang Maha Esa. Iblis hanya mengakui cinta, dan cintanya kepada Tuhan lebih murni dan tegas ketimbang manusia. Karena itu menurut Syekh al-Hallaj, Iblis adalah guru cinta kontemplatif, meskipun dia juga tokoh yang bernasib tragis karena kekeliruannya yang fatal. Setan dalam karya Syekh al-Hallaj adalah tokoh yang menyendiri yang tidak punya sahabat selain Tuhan. Iblis menyampaikan pesan yang sangat halus kepada para manusia agar percaya bahwa mereka tidak pernah bisa menggapai hadirat Ilahi, apalagi menyatu dengan-Nya, sebab manusia kedudukannya lebih rendah. Keadaan sesungguhnya dari manusia adalah terpisah dari Tuhan dan berada dalam kesendirian yang menyedihkan , sebuah keadaan yang paling ditakuti sehingga dalam sajak-sajaknya Hallaj sering menulis tentang perpisahan dan keterasingan yang kemudian diikuti oleh momen penyatuan dengan Sang Kekasih, momen-momen yang menguatkan keyakinannya tentang KEKELIRUAN Iblis. Sebagai sebuah karya, Kitab Tawasin mengkombinasikan tema-tema utama dari misinya dengan pengalaman hidupnya dalam bentuk drama yang melengkapi karya-karya sajak didaktik dan prosa-liriknya. Selain itu Syekh al-Hallaj juga merupakan salah satu Sufi pertama yang memaparkan konsep doktrin Nur Muhammad yg kelak akan sangat memengaruhi ajaran Sufi generasi selanjutnya, termasuk ajaran martabat tujuh. Menurutnya, Nabi Muhammad memiliki dua hakikat, qadimah dan haditsah. Haqiqat alqadimah adalah nur azali yang telah ada sebelum terciptanya alam semesta, hakikat yang menjadi sumber ilmu dan irfan, serta titik awal munculnya semua nabi, rasul dan wali Allah. Sedangkan haqiqat al-haditsah adalah perwujudan Nabi sebagai putra Abdullah. Pada hakikat yang pertama tadilah konteks Nur Muhammad itu. Dengan berdasarkan hadits bahwa ciptaan pertama adalah Nur-Nya, Syekh al-Hallaj mengatakan bahwa segala sesuatu di alam adalah dari Nur Muhammad. Nur Muhammad ini bersifat azali dan qadim. Maka Muhammad dalam bentuk hakikinya (Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad) adalah Nur Allah yang azali dan qadim, mendahului makhluk, sedang dalam kedudukannya sebagai rasul beliau adalah manusia yang bersifat baru, menjadi khatam al-anbiya. Jadi Nur Muhammad, meski mewujud paling akhir, namun ia muncul paling awal. Posisinya paling dekat dengan Tuhan. Jadinya manifestasi Nur Muhammad dalam wujud manusia Nabi Muhammad adalah Insan Kamil, manusia sempurna, tempat Allah bertajalli secara paripurna melalui sifat-sifat-Nya. Mengenai Nur Muhammad

ini, Syekh al-Hallaj menulis dalam kitab Tawasin-nya: Semua cahaya para rasul bermula dari cahayanya [Muhammad]; ialah yang mendahului semuanya, namanya tertera dalam kitab yang terpelihara; ia dikenal sebelum segala benda, segala makhluk, dan akan tetap ada sesudah segala sesuatu berakhir. Melalui bimbingannyalah semua mata melihat Segala pengetahuan hanyalah setetes darinya, segala kearifan hanyalah secawan dari samudera kearifannya, seluruh waktu hanyalah sejam dari kehidupannya. Syekh al-Hallaj juga dikenal sebagai penyair, menggubah banyak sajak mistik yang memerikan kerinduannya akan Tuhan. Salah satu sajaknya menggambarkan ajaran kesatuan yang kontroversial itu. Karena nada sajaknya demikian terang, maka banyak ulama zahir yang anti-tasawuf, yang hanya melihat pada teks lahiriah belaka, mengkafirkan Syekh al-Hallaj. Salah satu sajaknya yang terkenal dan menggambarkan metafora persatuan adalah seperti ini: Aku mencoba untuk bersabar, tetapi bagaimana aku bisa bersabar jika pusat hatiku sedang resah? Ruh-Mu bercampur dengan ruh-ku sedikit demi sedikit melalui penyatuan ulang dan perpisahan. Dan kini aku adalah Engkau, eksistensi-Mu adalah eksistensiku, dan kehendak-Mu adalah kehendakku Engkau kuasai hatiku, dan aku mengembara di setiap lembah Hatiku tertutup, semua kantukku menghilang Aku terasing sepi sendiri; berapa lama lagi kesendirianku akan berlangsung? Ungkapan Ana al-Haqq, Akulah Kebenaran, yang menjadi sasaran utama kecaman ulama zahir, merupakan ringkasan dari doktrin Sufi yang rumit. Sesungguhnya Syekh al-Hallaj sendiri tidak hanya mengajarkan imanensi (tasybih) Ilahiah, tetapi juga transendensi-Nya (tanzih). Karena itu, ungkapan ini, menurut banyak ulama tasawuf, seperti Imam al-Ghazali dan al-Hujwiri, tidak boleh diartikan secara harfiah. Dalam beberapa tulisannya Syekh al-Hallaj dengan tegas menunjukkan transendensi (tanzih) Tuhan: Engkau [Allah] adalah mengatasi segalanya mengatasi segala pengertian. Seperti doktrin mistisisme lainnya, ajaran Syekh al-Hallaj dari permukaan tampak paradoks. Di satu sisi beliau seperti menyatakan kesamaan Tuhan-makhluk, tetapi di sisi lain beliau dengan tegas membedakan keduanya. Karena itu, untuk memahami ungkapan ini amat penting untuk menengok pada kondisi kejiwaan dan spiritual yang melatarbelakangi ucapan ini. Ketika manusia makin erat dan dekat hubungannya dengan Tuhan, maka Allah akan makin sering mengunjungi tahta-Nya yang ada di dalam hati hamba-hambaNya, dalam lubuk sirr. Ketika pengalaman itu begitu intim dan memuncak, hamba akan segera diliputi oleh kemahakuasaan-Nya, dan sang hamba tidak melihat apapun selain Tuhannya, bahkan tidak melihat dirinya sendiri. Karena segala yang dilihatnya adalah Tuhan, jiwanya menjadi guncang, tak mampu menerima karunia yang begitu dahsyat, hingga bahkan dirinya sendiri tenggelam dan ketertenggelaman itu, fana al-fana, penghapusan dalam penghapusan. Seluruh aspek keberadaannya terserap dalam Keberadaan Ilahi, sehingga terjadilah apa yang dikatakan dalam hadits qudsi: Ketika Aku mencintai-Nya, maka Aku menjadi penglihatannya yang dengannya dia melihat, pendengarannya yang dengannya ia mendengar . Pada saat inilah Allah meminjam lidah kemanusiaannya untuk menyatakan Kebenaran sejati dari Ke-Aku-an-Nya. Sesungguhnya tidak ada apapun selain Aku, yakni yang mengatakan ini.

Maka dalam persatuan ini tidak boleh ada yang menghalangi, sehingga Syekh al-Hallaj pernah berucap, Di antara aku dan Engkau ada aku yang menyiksaku, ya Allah dengan rahmat-Mu ambillah aku di antara kita. Jadi yang bicara bukan aku al-Hallaj, sebab seorang hamba yang senantiasa bersama Allah aku -nya tiada lagi berperan. Karena Allah berada di atas segala-galanya, maka seorang sufi lantas akan mengakui bahwa gagasan yang dibuatnya mengenai Allah adalah tidak lagi memadai atau bahkan tak lagi bermakna, dan bahkan menjadi hijab tersendiri, dan karenanya dia lalu membuang gagasannya itu supaya Allah sendiri yang mengajarkan kepadanya, supaya Dia menerangkan sendiri. Hingga pada titik tertentu, ketika pengalaman kedekatan ini makin intensif, dia diangkat derajatnya oleh Allah sendiri, dia akan dikuasaiNya, bahkan ungkapan-ungkapannya juga akan diambil oleh Allah dan Allah memaksanya untuk melepaskan semua ungkapan-ungkapan semacam itu. Sang sufi menjadi tidak ada , fana, sebab segala sesuatu adalah fana selain Allah, lalu siapa lagi yang tersisa selain Allah yang berseru Ana al-Haqq? Dengan demikian, penyatuan cinta ini begitu mesra dan intim, tetapi kedua belah pihak, Tuhan dan manusia, tetap tidak identik, tetap berbeda:: makhluk tetap makhluk, dan Tuhan adalah Tuhan, seperti dikatakan Syekh al-Hallaj sendiri dalam kitab Tawasin: Yang Haqq tetap Haqq, Pencipta tetap Pencipta, dan yang diciptakan tetap makhluk. Ini akan tetap senantiasa demikian adanya. Namun kebenaran dibalik Ana al-Haqq ini terlampau luas dan mendalam untuk diringkas dalam berjilidjilid buku. Karenanya, sebagian sufi memandang bahwa kesalahannya bukan pada ungkapan atau maknanya itu, tetapi pada kesalahan metodologis" Syekh al-Hallaj yang membocorkan rahasia Ilahi kepada orang-orang yang belum siap atau belum berhak menerimanya. Secara pedagogis, apa yang dilakukan Syekh al-Hallaj tidaklah efektif, dan bahkan berbahaya. Karenanya, Syekh Junaid al-Baghdad, ketika dimintai fatwanya untuk mengesahkan hukuman mati atas Syekh al-Hallaj, menolak permintaan itu. Baru setelah ketiga kalinya permintaan diajukan, Syekh Junaid menanggalkan khirqah kesufiannya, lalu mengenakan jubah keulamaannya, dan mengatakan, Secara syari at dia keliru, tetapi secara hakikat, Allah lebih tahu. Boleh dikatakan, secara historis, Al-Hallaj adalah titik puncak Tasawuf generasi awal. Sebagian menyebutnya sebagai ambang batas masa-masa pergeseran penekanan Tasawuf ke arah yg lebih tenang, tidak meledak-ledak seperti al-Hallaj. ""Jadzab" model al-Hallaj menjadi berkurang dalam periode selanjutnya. Sebagian yg dikuasai oleh jadzab biasanya lebih suka menyembunyikan keadaannya, seperti yg dilakukan oleh salah satu sahabat al-Hallaj, Abu Bakar as-Shibli. Beliau berpurapura gila, sehingga dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dan karenanya selamat dari hukuman mati. Dan melalui tokoh-tokoh sufi tersembunyi semacam Shibli inilah ajaran al-Hallaj menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Pada periode transisi ke arah tasawuf yg lebih tenang ini, sesekali masih muncul penyair-penyair sufi yang jadzab, seperti Ruzbihan Baqli dan Niffari, dua penyair sufi yang rumit sajak-sajaknya. Tetapi sampai tingkat tertentu bisa dikatakan bahwa abad 10 ini mulai muncul sufi-sufi yg menyertakan argumen syariah yg lebih kokoh. Selama periode dinasti Abbasiyyah, efek dari doktrin al-Hallaj dianggap mulai berlebihan dan cenderung tidak baik secara pedagogis. Karenanya dirasakalah kebutuhan untuk

mulai menyusun kitab-kitab yang bisa menjelaskan ajaran-ajaran mistis sufisme dengan cara yang lebih moderat dan disertai dalil. Peristiwa al-Hallaj menyebabkan para sufi menghadapi risiko diburu-buru oleh penguasa. Salah satu tokoh Sufi awal yg menyusun karya uraian ajaran Sufi dengan gemilang adalah Abu Nasr as-Sarraj, dengan kitabnya yang berjudul "Kitab Luma' fi al-tashawuf. Persoialan-persoalan yang pelik dan berbahaya, seperti peristiwa al-Hallaj, dijelaskan dengan terang. Nasr as-Sarraj, yg dekat dengan sufi besar seperti Ibn Khafif, memiliki kepiawaian tersendiri dalam menyusun penjelasan yang lebih renyah, meski as-Sarraj sendiri sering dikuasai oleh jadzab. BERSAMBUNG LAGIIIIH... Triwibs Kanyut/Tri Wibowo BS Ikhwan TQN

..[SAMBUNGAN] Yg sezaman dengan as-Sarraj adalah al-Kalabadzi (wafat di Bukhara, 990 M). Salah satu karyanya yang masih tersisa adalah Ta'aruf li madhab ahl al-tashawuf). Kitab ini berusaha menjembatani pandangan syariat dan tasawuf. KItab ta'aruf dalam konteks kajian kesufian merupakan salah satu sumber penting bagi orang-orang di dalam lingkaran sufi maupun di luar lingkaran sufi yg ingin mempelajari Tasawuf secara akademis. Di dalamnya mulai dibahas secara lebih mendalam, yg sebagian bersifat agak filosofis, tentang istilah-istilah sufi. Tokoh selanjutnya yang masyhur dalam penulisan kitab Tasawuf dan karyanya diakui secara luas baik oleh kalangan sufi maupun bukan adalah Abu Thalib al-Makki. Kitab Qut al-Qulub (Santapan Qalbu) adalah masterpiece-nya. Kitab ini berpengaruh besar bagi penulisan kitab-kitab tasawuf selanjutnya, dan bahkan Imam Abu Hamid al-Ghazali banyak merujuk kepada kitab ini saat menulis Ihya Ulumuddin. Selain kitab-kitab tentang ajaran, bermunculan pula hagiografi atau kitab tentang riwayat tokoh sufi. Salah satu karya awal di genre ini adalah Tabaqat as-Shufiyya karya Imam Sulami, kemudian kitab Hilyat al-Awliya karya Imam Nu'aym al-Isfahani. Hilyat al-Awliya ini seperti gudang penjelasan mengenai orang-orang arif billah. Sementara itu, Tabaqat kiarya Sulami belakangan diperluas lagi oleh Abdullah al-Anshari dari Herat, dan kemudian dikembangkan lagi oleh Maulana Jami dalam kitab Nafahat al-Uns.Setengah Abad setelah Sulami, muncul kitab Tasawuf tertua dalam bahasa Persia, karya Syekh Hujwiri yang berjudul Kasyful Mahjub, sebuah kitab luar biasa yang menguraikan sejarah tasawuf, doktrin sufi, konsep-konsep sufi, hingga ke makna batin dari berbagai konsep syariah. Karya al-Hujwiri sangat memengaruhi karya-karya Sufi di daerah Persia dan anak benua India, terutama di kalangan sufi dari tarekat Chistiyyah kelak di abad 1415 M. Salah satu murid Imam Sulami yang termasyhur adalah Abu Said ibn abi al-Khair, yang disebut-sebut sebagai "Bapak Tarekat" pertama, karena beliaulah yang secara sistematis pertama kalinya menyusun aturan dan adab di jalan ruhani dan beliau sendiri berfungsi sebagai Mursyid yg kemudian sedikit

bertransformasi menjadi konsep kemursyidan dalam tarekat-tarekat besar yang muncul belakangan. Abu Said ibn abi al-Khair ini juga dikenal sebagai penyair mistik, usianya tepat mencapai 1000 bulan. ABu said al-Khair bersahabt dengan salah satu tokoh sufi terkenal, Imam Qushairi. Imam Qushairi adalah penerus dari tradisi keilmuan Imam Sulami. Imam Qushairi sendiri adalah menantu dari guru sufi agung yang jadzab, Abu Ali al-Daqqaq. Karya Qushairi, lebih dikenal dengan judul ringkas Risalah alQushairiyyah, menguraikan ajaran dan amalan Sufi dalam kerangka teoilogi Asy'ariah. Kitab Risalah Qushairiyyah ini adalah yg paling banyak dibaca, dan kadang kitab ini disejajarkan dengan al-Luma' karya as-Sarraj. Selain menulis Risalah yg panjang, Qushairi juga menulis beberapa risalah pendek, yg menggambarkan pengalaman mistisnya, dan hakikat shalat, dan beliau termasuk yg pertama kali membagi struktur jiwa manusia: hati (qalb), ruh dan sir. Hampir sezaman dengan mereka, muncul sufi petani buta huruf, yakni al-Kharaqani, yg mendapat bimbingan secara barzakhi dari Abu Yazid alBisthami. Salah satu murid al-Kharaqani yang termasyhuur adalah Abdullah Anshari dari Herat (Afghanistan) Syekh Anshari ini sempat terkena fitnah ketika kekuasaan Bani Seljuk bangkit di Iran Timur, namun kemudian beliau dipanggil kembali oleh Sultan untuk menjadi khotib negara. Salah satu karyanya yang terpenting adalah Manazil Sairin (Persinggahan di sepanjang jalan). Selama Anshari masih dikejar-kejar oleh tentara Bani Seljuk ini, di belahan lain sedang terjadi transformasi dahsyat dari seorang ulama dan cendekiawan muslim yang sangat masyhur, sebuah transformasi yg membuatnya berubah menjadi Sufi Agung sepanjang zaman, dan hampir mengubah sebagian lanskap dunia keruhanian Islam. Beliau adalah Imam ABU HAMID AL-GHAZALI. BERSAMBUUUNG...magrib disik.. Triwibs Kanyut