tasawuf falsafi pemikiran tasawuf filsafat

44
TASAWUF FALSAFI Pemikiran Tasawuf Filsafat ABSTRAKSI Sebagai ilmu pengetahuan ‘Tasawuf’ atau ‘Sufisme’ mempelajari cara dan jalan bagaimana manusia (seorang muslim) dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Sekalipun secara tekstual tidak ditemukan ayat yang memerintahkan bertasawuf dan kata atau kalimat tasawuf dalam al Quran, namun secara implisit terdapat ayat-ayat dalam al Quran yang memberi dorongan untuk mengamalkan bagian dari ajaran tasawuf yang diartilkulasikan sebagai landasan moral. Dalam perkembangannya, pemikiran tawasuf mengalami persentuhan budaya dengan ajaran atau nilai-nilai agama yang bukan Islam, seperti dari peradaban Yunani, Romawi, Hindi, Mesir, Yahudi, dan Kristiani. Interaksi ajaran dan sistem nilai tersebut tidak bisa dihindari mengakibatkan ajaran tasawuf mengalami perkembangan pemikiran dalam penerapannya. Dalam pertemuan budaya dan peradaban tersebut Umat Islam mengenalkan, menularkan dan mengedepankan aqidah dan ibadah dalam sistem nilai ajaran Islam, sebaliknya peradaban non Islam dan budaya lokal setempat menularkan pemikiran kefilsafatan kepada umat Islam. Begitu juga pemikiran tasawuf yang pada awalnya bersifat amali atau akhlaqi, atau disebut ‘tasawuf akhlaqi’, maka dalam perkembangannya memunculkan ajaran tasawuf dengan pola kefilsafatan dalam memahami tasawuf, yang kemudian dikenal dengan ‘tasawuf falsafi’. Sebagaimana Tasawuf Amali, Tasawuf Falsafi juga melahirkan tokoh- tokoh dan pemikirannya yang terkenal dalam kajian ilmu tasawuf. Dan upaya mendekati Tuhan berdasarkan ‘kedekatan atau jarak’ antara manusia dengan Tuhan telah melahirkan dua aliran tasawuf, yaitu ‘tasawuf transendentalisme dan tasawuf union mistisisme’. Aliran pertama memperlihatkan bahwa masih ada garis pemisah atau pembeda antara manusia dan Tuhan, sedangkan aliran kedua mengatakan bahwa garis pemisah tersebut dapat dihilangkan sehingga manusia dapat manunggal dengan Tuhan karena ada kesamaan esensi. Dalam perkembangannya kedua aliran tersebut banyak melahirkan tokoh-tokohnya antara lain ; al-Qusyairy, al-Junaid, al- Ghazali, al-Busthami, Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in, Al Jilli, dll. I. PENDAHULAN Sebagai aspek mistisisme dalam Islam, Tasawuf memiliki inti kesadaran adanya hubungan kedekatan dengan Tuhan, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa kedekatan dengan Tuhan sebagai bagian dari pengamalan ‘dzauqiyah manusia’ dengan Tuhan. Kedekatan dengan Tuhannya tersebut menumbuhkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan Nya. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak ada artinya dihadapan eksistensi Yang Absolut, Allah SWT. Hubungan kedekatan dan hubungan penghambaan sufi dan khaliq- nya telah melahirkan perspektif dan pemahaman yang berbeda-beda antara sufi yang satu dengan yang lainya. Sejauh ini hubungan tersebut telah melahirkan dua kelompok besar/aliran. Kelompok pertama mendasarkan pengalaman kesufiannya dengan pemahaman yang sederhana dan dapat difahami oleh manusia pada tataran awam, dan pada pada kelompok kedua melahirkan pemahaman yang kompleks dan 1 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Upload: hasanudin-arinta-kusrin

Post on 07-Aug-2015

329 views

Category:

Documents


27 download

DESCRIPTION

Sebagai ilmu pengetahuan ‘Tasawuf’ atau ‘Sufisme’ mempelajari cara dan jalan bagaimana manusia (seorang muslim) dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Sekalipun secara tekstual tidak ditemukan ayat yang memerintahkan bertasawuf dan kata atau kalimat tasawuf dalam al Quran, namun secara implisit terdapat ayat-ayat dalam al Quran yang memberi dorongan untuk mengamalkan bagian dari ajaran tasawuf yang diartilkulasikan sebagai landasan moral. Dalam perkembangannya, pemikiran tawasuf mengalami persentuhan budaya dengan ajaran atau nilai-nilai agama yang bukan Islam, seperti dari peradaban Yunani, Romawi, Hindi, Mesir, Yahudi, dan Kristiani. Interaksi ajaran dan sistem nilai tersebut tidak bisa dihindari mengakibatkan ajaran tasawuf mengalami perkembangan pemikiran dalam penerapannya. Dalam pertemuan budaya dan peradaban tersebut Umat Islam mengenalkan, menularkan dan mengedepankan aqidah dan ibadah dalam sistem nilai ajaran Islam, sebaliknya peradaban non Islam dan budaya lokal setempat menularkan pemikiran kefilsafatan kepada umat Islam. Begitu juga pemikiran tasawuf yang pada awalnya bersifat amali atau akhlaqi, atau disebut ‘tasawuf akhlaqi’, maka dalam perkembangannya memunculkan ajaran tasawuf dengan pola kefilsafatan dalam memahami tasawuf, yang kemudian dikenal dengan ‘tasawuf falsafi’. Sebagaimana Tasawuf Amali, Tasawuf Falsafi juga melahirkan tokoh-tokoh dan pemikirannya yang terkenal dalam kajian ilmu tasawuf. Dan upaya mendekati Tuhan berdasarkan ‘kedekatan atau jarak’ antara manusia dengan Tuhan telah melahirkan dua aliran tasawuf, yaitu ‘tasawuf transendentalisme dan tasawuf union mistisisme’. Aliran pertama memperlihatkan bahwa masih ada garis pemisah atau pembeda antara manusia dan Tuhan, sedangkan aliran kedua mengatakan bahwa garis pemisah tersebut dapat dihilangkan sehingga manusia dapat manunggal dengan Tuhan karena ada kesamaan esensi. Dalam perkembangannya kedua aliran tersebut banyak melahirkan tokoh-tokohnya antara lain ; al-Qusyairy, al-Junaid, al-Ghazali, al-Busthami, Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in, Al Jilli, dll.

TRANSCRIPT

Page 1: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

TASAWUF FALSAFIPemikiran Tasawuf Filsafat

ABSTRAKSI

Sebagai ilmu pengetahuan ‘Tasawuf’ atau ‘Sufisme’ mempelajari cara dan jalan bagaimana manusia (seorang muslim) dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Sekalipun secara tekstual tidak ditemukan ayat yang memerintahkan bertasawuf dan kata atau kalimat tasawuf dalam al Quran, namun secara implisit terdapat ayat-ayat dalam al Quran yang memberi dorongan untuk mengamalkan bagian dari ajaran tasawuf yang diartilkulasikan sebagai landasan moral. Dalam perkembangannya, pemikiran tawasuf mengalami persentuhan budaya dengan ajaran atau nilai-nilai agama yang bukan Islam, seperti dari peradaban Yunani, Romawi, Hindi, Mesir, Yahudi, dan Kristiani. Interaksi ajaran dan sistem nilai tersebut tidak bisa dihindari mengakibatkan ajaran tasawuf mengalami perkembangan pemikiran dalam penerapannya. Dalam pertemuan budaya dan peradaban tersebut Umat Islam mengenalkan, menularkan dan mengedepankan aqidah dan ibadah dalam sistem nilai ajaran Islam, sebaliknya peradaban non Islam dan budaya lokal setempat menularkan pemikiran kefilsafatan kepada umat Islam. Begitu juga pemikiran tasawuf yang pada awalnya bersifat amali atau akhlaqi, atau disebut ‘tasawuf akhlaqi’, maka dalam perkembangannya memunculkan ajaran tasawuf dengan pola kefilsafatan dalam memahami tasawuf, yang kemudian dikenal dengan ‘tasawuf falsafi’. Sebagaimana Tasawuf Amali, Tasawuf Falsafi juga melahirkan tokoh-tokoh dan pemikirannya yang terkenal dalam kajian ilmu tasawuf. Dan upaya mendekati Tuhan berdasarkan ‘kedekatan atau jarak’ antara manusia dengan Tuhan telah melahirkan dua aliran tasawuf, yaitu ‘tasawuf transendentalisme dan tasawuf union mistisisme’. Aliran pertama memperlihatkan bahwa masih ada garis pemisah atau pembeda antara manusia dan Tuhan, sedangkan aliran kedua mengatakan bahwa garis pemisah tersebut dapat dihilangkan sehingga manusia dapat manunggal dengan Tuhan karena ada kesamaan esensi. Dalam perkembangannya kedua aliran tersebut banyak melahirkan tokoh-tokohnya antara lain ; al-Qusyairy, al-Junaid, al-Ghazali, al-Busthami, Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in, Al Jilli, dll.

I. PENDAHULANSebagai aspek mistisisme dalam Islam, Tasawuf memiliki inti kesadaran

adanya hubungan kedekatan dengan Tuhan, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa kedekatan dengan Tuhan sebagai bagian dari pengamalan ‘dzauqiyah manusia’ dengan Tuhan. Kedekatan dengan Tuhannya tersebut menumbuhkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan Nya. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak ada artinya dihadapan eksistensi Yang Absolut, Allah SWT.

Hubungan kedekatan dan hubungan penghambaan sufi dan khaliq-nya telah melahirkan perspektif dan pemahaman yang berbeda-beda antara sufi yang satu dengan yang lainya. Sejauh ini hubungan tersebut telah melahirkan dua kelompok besar/aliran. Kelompok pertama mendasarkan pengalaman kesufiannya dengan pemahaman yang sederhana dan dapat difahami oleh manusia pada tataran awam, dan pada pada kelompok kedua melahirkan pemahaman yang kompleks dan mendalam, dengan bahasa-bahasa simbolik filosofis dan metafisis. Pada pemahaman yang pertama kemudian melahirkan tasawuf akhlaqi/amali , kemudian sering juga disebut tasawuf sunni. Dalam perkembangannya tasawuf sunni juga disebut sebagai tasawuf ‘Dualistik’ yaitu tasawuf yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan teologi Asy’ariyah dan Syariah (baca ‘fiqih ahlussunah’).Tokoh-tokohnya antara lain Al Junaid, Abu Bakar Muhammad al-Kalabazi, Al Qusyairi, Al Ghazali, dll.

1 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 2: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

Tasawuf sunni berupaya mendamaikan tasawuf dengan syariat sejak pertengahan abad ke 3 H / 9 M, yang mencapai kematangan dan keberhasilannya pada pemikiran Abu Hamid al-Ghazali1.

Sedangkan pemahaman kelompok kedua adalah tasawuf falsafi, yang juga disebut ‘Tasawuf Monistik’, dimana ajaran tasawuf ini memadukan visi mistis dan rasional dengan ungkapan dan terminologi filsafat. Tasawuf falsafi ini pada umumnya didasarkan pada konsep wahdatul wujud, al-Hulul dan al-Ittihad. Tokoh-tokohnya antara lain Abu Yazid Al Busthami, Al Hallaj, Ibnu Arabi, Ibn Masarra, Al Jilli, Ibn Sab’in, Suhrawardi al-Maqtul, Mulla Sadra, dll.

Dalam tasawuf falsafi lahirlah beberapa teori-teori pemikiran tasawuf, diantaranya seperti ; fana, baqa dan ittihad adalah hasil pemikiran Abu Yazid Al Busthami, Hulul oleh Al Hallaj, Wahdat Al Wujud dinisbahkan kepada Ibnu Arabi, Insan Kamil dikembangkan oleh Al Jilli, dan Wihdatul al-Mutlaqah digagas oleh pemikiran Ibn Sab’in.

Tasawuf falsafi muncul pada sekitar abad ke 6 dan 7 H, ditandai dengan diperkenalkannya tokoh-tokoh pemikiran sufi yang filosof dan filosof yang sufi ketika tasawuf bercampur dengan filsafat menyerap beragam pemikiran filsafat asing di luar Islam dari Yunani, Persia, India, Mesir, Yahudi dan Kristen tanpa kehilangan keautentikan Islam sebagai agama.

Salah satu kerangka umum tasawuf falsafi adalah bahwa tasawufnya tidak jelas, mempunyai bahasa-bahasa tersendiri dan memahaminya memerlukan daya pikir dan daya rasa yang tidak biasa, dan sebab itu tasawuf falsafi tidak dianggap filsafat karena dilandaskan pada intuisi, juga bukan tasawuf murni karena diungkapkan dengan bahasa-bahasa filsafat yang mengarah pada pembentukan aliran pemikiran dalam pembahasan ‘wujud’ .2

Para sufi falsafi mengenal dan memperdalam filsafat aliran Socrates, Plato, Aristoteles, Neoplatonisme, teori emanasi, Hermetisisme dan buku-buku filsafat lainnya dari Timur; Persia, India dan Filsafat Islam; al-Farabi, Ibn Sina, Ibnu Rusyd dan lainnya untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Sebagian dari mereka ada juga yang terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Syiah Ismailiyah, Batiniyah dan Risalah-Risalah Ikhwan as-Shafa’.3

Sejak awal diketahui pemikiran falsafatnya para sufi falsafi menjadi target kritik dari para fuqaha Islam, terutama tentang ‘wahdah al-wujud’ dan pemikiran lainnya yang dianggap bertentangan dengan akidah Islam.

Sebelum mengemukakan tiga tokoh tasawuf falsafi yaitu Ibnu Arabi, Al-Jilli & Ibn Syab’in yang secara historis dan teologis pemikiran tasawufnya menjadi kajian filosofis yang bernuansa teologis atau kajian teologis yang beraroma teosofis, pada pramakalah ini juga akan dikemukakan tiga konsepsi

1 Al-Ghazali, sangat dihormati oleh penganut ahlussunnah, namun tidak mendapat legitimasi dalam tarekat-tarekat

yang muncul dan bertebaran di kalangan penganut tasawuf sunni, karena tarekat yang berkembang lebih ‘mengagungkan’ para syeikh dan mursyid-mursyid mereka. Sebaliknya, Ibn Arabi banyak ditolak oleh sebagian ‘fuqaha sunni’, tetapi sangat dihormati oleh masyarakat Syiah, banyak karya-karyanya diajarkan di pusat-pusat studi dan dikomentari oleh banyak ulama Syiah, termasuk Ayatullah Khomeini yang mengomentari ‘Fushush al-Hikam’.

2 Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam : Telah Historis dan Perkembangannya, Gaya Media Pratama, Jakarta ; 2008. h.2343 Idem, op.cit.h.234

2 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 3: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

teologis hubungan manusia dengan Tuhan yang pada akhirnya telah melahirkan teori-teori pemikiran tasawuf.

Sedangkan penolakan tasawuf falsafi secara kritis juga diketahui telah memperkaya keluasan kajian tasawuf secara kontemporer yang sampai saat ini masih terus dibicarakan secara komprehensif dalam wacana akademik.

II. TIGA KONSEPSI TEOLOGIS PEMIKIRAN TASAWUFSebelum melangkah kepada pemahaman lebih dalam berkaitan dengan

tasawuf falsafi, secara global diketahui ada tiga konsepsi teologis atau pemikiran tentang Tuhan dalam ajaran tasawuf, yaitu ; konsepsi etikal, konsepsi estetikal dan konsepsi union mistikal.4

Konsepsi etika berkembang di kalangan zuhad atau asketik adalah embrio sufisme, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak hanya terbatas sebagaimana pendapat Mutakallimin (pengamal ilmu kalam), tetapi lebih dari itu. Dzat Tuhan adalah sumber dari segala keindahan dan kesempurnaan, juga diyakini bahwa Tuhan adalah sumber kekuatan, daya iradat yang mutlak. Tuhan adalah pencipta tertinggi, pengatur segala kejadian dan asal segala yang ada. Oleh karena keyakinan yang demikian, maka perasaan takut kepada Tuhan lebih mempengaruhi mereka ketimbang rasa pengharapan. Karena kuatnya rasa takut kepada murka Tuhan, seluruh pengabdian yang mereka lakukan bertujuan demi keselamatan diri dari siksaanNya. Dorongan-dorongan yang demikian mempengaruhi sikap hidup mereka terhadap hal-hal yang profan dan hubungan mereka dengan Tuhan.5

Timbulnya doktrin estetikal tentang Tuhan bersumber dari keyakinan bahwa Tuhan adalah segala yang ada, sehingga antara manusia dengan Tuhan ada jalur komunikasi timbal balik. Tuhan, sebagai Dzat Yang Maha Agung dan Mulia, juga adalah Dzat Yang Maha Cantik, dan Sumber segala keindahan. Sesuai dengan salah satu sifat dasar manusia yang menyukai keindahan dan kecantikan, maka hasrat mencintai Tuhan adalah manusiawi, karena Tuhan adalah puncak dari segala keindahan. Konsep teologik estetikal ini dikaitkan dengan Rabi’ah al-Adawiyah melaui doktrin al-hubb atau mahabbah. Mencintai Tuhan dan berbuat apa saja untuk-Nya, adalah motivasi kasih para sufi. Dalam jiwa tidak ada rasa takut akan siksa atau murka Tuhan, tidak ada hasrat untuk menikmati surga yang ada hanyalah keinginan untuk memperoleh cinta dan keindahan Dzat Tuhan yang abadi. Orang sufi mengabdikan diri kepada Tuhan adalah karena cinta dan harapan sambutan cinta dari-Nya. Doktrin ini kemudian berlanjut kepada keyakinan, bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai mazhohir dari asma Allah.6

Semenjak masa Abu Yazid al-Busthami, pendapat sufi condong kepada konsepsi ‘kesatuan wujud’ atau ‘union mistisism’, dimana inti ajarannya adalah bahwa dunia fenomena ini hanyalah bayangan dari realitas yang

4 Prof.H.A.Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Edisi Revisi, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cetakan Kedua, Juni 2002, h.141.5 A.Kadir Mahmud, al-Falsafah al-Shoufiyah fi al-Islam, Daar al-Fikri, Kairo, 1966;313; bandingkan dengan al-Thusi, al-luma’, Kairo, 1960;461. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.142.6 A.E.Afifi, dalam Islam Djalan Mutlak, Jakarta. 1963;163. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.142-3.

3 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 4: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

sesungguhnya, yaitu Tuhan. Satu-atunya wujud yang hakiki hanyalah wujud Tuhan yang merupakan dasar dan sumber kejadian dari segala sesuatu. Dunia adalah bayangan yang keberadaannya tergantung wujud Tuhan, sehingga realitas wujud ini hakikatnya tunggal. Sedangkan antara hakikat dengan yang nampak aneka terlihat ada perbedaan, hanyalah perbedaan relatif. Perbedaan hakikinya adalah akibat yang timbul dari keterbatasan akal budi. Jadi adanya keberagaman tidak lain hanyalah hasil pencerapan indrawi dan penalaran akal budi yang terbatas dan ketidak mampuan memahami ketunggalan dzat segala sesuatu. Jadi mereka berpendapat bahwa alam ini dimana di dalamnya terdapat manusia dan makhluk dan atau benda-benda lainnya merupakan radiasi dari ‘hakikat Ilahi’. Dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ke-Tuhanan, karena ia merupakan pancaran Nur Ilahi (Cahaya Tuhan) seperti pancaran cahaya matahari.

Jika pada kedua konsepsi tentang Tuhan sebelumnya, para sufi mengartikan makrifat sebagai pengenalan Allah melalui qalbu dan merupakan terminal tertinggi yang bisa dicapai manusia, maka bagi sufi penganut ‘kesatuan wujud’, manusia masih dapat melewati ‘maqom ma’rifat’ yaitu ‘bersatu dengan Allah’ atau dikenal dengan istilah ‘ittihad’.

Para sufi sunni mengakui bahwa kedekatan manusia dengan Tuhannya, hanya dalam batas-batas syariat yang tetap “membedakan manusia dengan Tuhan”, dengan alasan bahwa manusia adalah manusia, sedangkan Tuhan adalah Tuhan, yang tidak mungkin dapat bersatu antara keduanya.

Sedangkan para sufi falsafi mengakui “kebersatuan manusia dengan Tuhannya” itu, adalah pengalaman batin, perjalanan ruhani dan pengalaman ruhani yang dijalani dan dialami dalam kondisi ‘ekstase’ mengalami ‘keterpaduan esensi’, bukan ‘kebersatuan substansi’.

Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang filosofis, atau filosof yang sufis. Konsep-konsep tasawuf mereka disebut ‘tasawuf falsafi’ yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Ajaran filsafat yang banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah paham ‘emanasi Neo-Platonisme’ dalam semua variasinya.7

Selain Abu Yazid al-Busthami, tokoh tasawuf falsafi atau teosofi yang populer dan sebagai perintis adalah Ibn Masarrah (W.381H) dari Andalusi (Spanyol) yang berdasarkan teori emanasi berpendapat bahwa melalui jalan tasawuf manusia dapat membebaskan jiwanya dari cengkeraman badani (materi) dan memperoleh sinar Ilahi (emanasi) secara langsung (ma’rifat sejati). Suhrawardi al-Maqtul (W.578 H) berkebangsaan Persia/Iran adalah orang kedua yang mengkombinasikan teori filsafat dan tasawuf berangkat dari teori emanasi berpendapat bahwa melaui usaha keras dan sungguh-sungguh seseorang dapat membebaskan jiwanya dari perangkap ragawi untuk kemudian dapat kembali ke pangkalan pertama yakni alam malakut

7 Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.143.

4 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 5: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

atau alam Ilahiyat. Konsepsi tersebut kemudian dikenal dengan nama ‘al-Israqiyah’.

Sementara itu al-Hallaj (W.308 H) memformulasikan teorinya dalam doktrin ‘Hulul’, yakni perpaduan insan dengan Tuhan secara rohaniyah atau makhluk dengan al-khalik.

Dan sebagai puncak dari pemikiran tasawuf falsafi adalah konsepsi al- Wihdat al- Wujud yang dasar-dasarnya diletakkan dan dinisbahkan kepada Ibnu ’ Arabi (W. 638 H).

Terinspirasi oleh Ibn Arabi, Ibn Faridh (W.633 H) seorang sufi penyair dari Mesir juga telah mengenalkan konsepsi pemikiran tasawuf yang mirip dengan al Wihdat al Wujud, disebut dengan “al-Wihdat al-Syuhud”.

al-Jilli (W. 832 H) juga mengemukakan pendapatnya bahwa upaya manusia melalui Ma’rifat untuk mendekati Tuhan akan mampu dicapai sampai kepada hakikat jati dirinya, yang disebut ‘insan kamil’.

Dalam teologi bermazhab Syi’ah dan berpola pikir Muktazilah, konsep-konsep tasawuf falsafi biasanya dapat diterima karena itu aliran tasawuf ini berkembang pesat dikawasan umat Islam bermazhab Syi’ah dan atau Muktazilah. Itulah alasannya kenapa tasawuf falsafi sering juga dinamai atau dinisbahkan ke dalam ‘tasawuf Syi’i’.

Pandangan ‘union mistisisme’ inilah yang membentuk konsepsi dasar tasawuf falsafi dan banyak meng-inspirasi para sufi bermazhab falsafi atau Sufi-Filosof untuk merumuskan dan melahirkan karya-karya pemikiran tasawuf falsafi, yang terkenal diantaranya adalah Ibnu Arabi, Ibnu Syab’in, Al Jilli, dll.

III. PENGERTIAN TASAWUF FALSAFI

III.1 Definisi Tasawuf Falsafi

Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju tingkatan yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud).

Yang dimaksud dengan tasawuf falsafi adalah tasawuf yang bersandarkan pada pemaduan antara intuisi para sufi dengan cara pandang rasional mereka, serta menggunakan terma-terma filsafat dari berbagai macam sumber untuk mengungkapkan tasawufnya itu.8

Bisa juga dikatakan bahwa tasawuf falsafi adalah tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.

Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. Kalau tasawuf sunni atau salafi lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan tasawuf falsafi menonjol

8 Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam : Telah Historis dan Perkembangannya,Op.cit. h.233

5 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 6: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

kepada segi teoritis sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan-pendekatan filosofis yang sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil, namun tetap bisa diaplikasikan pada kenyataannya.

III.2 Beberapa Pemikiran Tasawuf Falsafi

Dalam tradisi Islam, tasawuf merupakan praktik spiritual memandang ruh sebagai puncak dari segala realitas, sedangkan jasad sebagai “kendaraan” saja. Dengan demikian, maka jalan spiritualitas lebih menekankan pada aspek rohani, bersifat personal dan berangkat dari pengalaman yang juga bersifat personal. Berbeda dengan “agama” yang bersifat umum (dalam islam kita kenal dengan istilah syari’ah/syari’at), pada jalan tasawuf kita mengenal istilah tarekat yang artinya dekat dengan istilah tirakat. Dalam jalan ini setiap pengamal ajaran tarekat ini akan melewati level dan kondisi (maqomat dan ahwal) di bawah bimbingan guru spiritual atau mursyid. Dimana antara satu guru dengan guru yang lain, antara mursyid satu dengan mursyid lainnya sangat dimungkinkan menggunakan metode yang berbeda. Sang murid diajarkan untuk berlatih membuka mata batinnya (ainul qolb). Ada yang menyebut istilah ini dengan mukasyafah (menyingkap) atau hudhuri (menghadirkan) atau tawajjuh (berhadap-hadapan). Murid-murid pengamal ajaran tarekat dilatih membersihkan diri melalui tarekat tadi dengan menempuh dari level tertentu ke level yang lebih tinggi , dari kondisi tertentu ke kondisi yang lain sehingga sang murid mampu mencapai tingkat fana (kosong/hampa), tidak ada lagi ego dalam diri sang murid sehingga murid sampai pada kondisi “tersingkap”, menghadirkan”, atau “berhadap-hadapan”.

Dari sisi inilah terlihat suatu perbedaan amali antara tasawuf moral/akhlaqi dan tasawuf falsafi yang berbeda jalan. Tasawuf moral/akhlaqi –setelah melewati fase atau level mukasyafah, hudhuri, tawajjuh atau fana- mengajak “kembali” sang murid untuk hidup di dunia “nyata” dan kembali masuk dalam aturan syariat, - syariat yang telah diisi dengan pengalaman dan pengetahuan bertuhan - sehingga syariat yang dijalankan akan lebih mantap dan bermakna dari sebelum ia melakukan perjalanan. Misalnya, sang murid mengerti apa hakikat sholat, puasa dan zakat lalu bisa mempraktikkannya dengan lebih baik dan penuh makna. Sang murid sudah mengerti bahwa pada sisi yang paling esoterik semua agama memiliki tujuan yang sama sehingga mampu untuk hidup toleran serta tidak memperbesar perbedaan sisi eksoterik satu agama dengan agama yang lain. Sang murid sudah mengerti bagaimana cara bergaul dan menghargai antara sesama manusia bahkan seluruh makhluk hidup. Sang murid sudah mengerti dari mana ia berasal dan kemana ia akan kembali.

Berbeda dengan tasawuf falsafi, setelah sampai pada fase atau level mukasyafah, hudhuri, tawajjuh atau fana-, sang sufi tidak mau “pulang”. Tapi tetap menikmati ekstase keindahan dan kenikmatan “bersatu” dengan Tuhan. Terucaplah perkataan yang tidak terkontrol tadi (syatohat) dalam

6 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 7: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

kondisi ekstase, mengaku sebagai Sang Kebenaran (al-Haq) atau memuji dirinya sebagai Tuhan. Atau menuangkan pengalaman ritual batiniyahnya dalam karya tulis atau bait-bait puitis, seperti yang dilakukan oleh Jalaluddin Rumi, misalnya. Di level sesama praktisi spiritualitas (kalangan khas atau khawasul khawas) mungkin tidak menjadi persoalan. Tapi bagaimana di kalangan awam yang memang hanya menjalankan syariat tanpa dibarengi dengan praktek tasawuf tersebut. Disinilah selanjutnya yang persoalan muncul. Mau tidak mau, atas nama menjaga kemaslahatan umum, menjaga keimanan dari kalangan umum, dan alasan-alasan sejenis, maka para praktisi tasawuf falsafi ini menyandang predikat sesat atau yang berakhir dengan hukuman mati. Syihabuddin Syuhrawardi yang bergelar al-maqtul (terbunuh), Abu Mansyur Al-Hallaj dan Ainul qudhat Hamdani adalah sufi falsafi yang hidupnya berakhir dengan hukman mati. Bahkan Syuhrawardi dan Ainul qudhat dihukum mati dalam usia yang cukup muda. Apakah yang terjadi dengan Syekh Siti Djenar di Indonesia (jika kisah ini benar dan bukan mitos serta terlepas dari persoalan ‘politik’) termasuk dalam kategori ini ? (Wallahu ‘alam bishshawab).

Bertemu dan bersatu dengan Tuhan ini merupakan klaim kaum sufi falsafi yang juga diperdebatkan di kalangan teologis dan ahli fikih. Bahkan bagi kalangan Islam yang agak tegas dan keras melihat dari sisi aqidah atau ilmu tauhid menyatakan bahwa praktik tasawuf dianggap bid’ah dan dapat mengarah kepada perbuatan ‘syirik’. Disinilah perlunya kita bisa memahami dan mengkaji lebih dalam dan luas ajaran al Islam dari sisi kajian dan praktik; baik dari sisi teologi, tasawuf, fikih dan atau filsafat, agar tidak mudah terjebak dalam absolutisme dan arogansi fikih atau tasawuf, teologi maupun filsafat dan tidak saling menyalahkan satu sama lain karena ketidakmengertian kita terhadap metodologi ilmu tasawuf yang digunakan.

Al-Ghazali & Ar Rumi adalah contoh nyata sufi yang segera kembali setelah bertemu Tuhan-nya, seharusnya bisa menjadi teladan yang baik bagi para prakitisi tasawuf hari ini. Al-Ghazali menghiasi syariat yang kaku dengan nilai-nilai hakikat. Atau Rumi yang mengekspresikan kebahagian dan rasa cinta serta rindu kepada Tuhan melalui simbol-simbol (cinta, mawar, cawan, dll) yang terlukiskan dalam karya sastra yang indah diresapi dan dinikmati, ibarat ‘menikmati secawan cinta diantara keindahan hamparan bunga mawar di taman surga’.

Ibn Khaldun9 dalam Muqaddimahnya melihat ada empat pembahasan utama para sufi falsafi pada masa terakhir yaitu :

a. Mujahadah (memerangi hawa nafsu) dan segala sesuatu yang dihasilkan yang berupa intuisi, naluri perasaan, kontrol jiwa dalam berbuat.

b. Kasyf dan hakekat yang ditemukan dari alam ghaib semisal sifat-sifat ketuhanan, Arasy, Kursy, Malaikat, Wahyu, Kenabian, Ruh, Hakikat-hakikat segala sesuatu yang wujud baik yang tak tampak maupun tampak, tatanan alam dalam kemunculannya dari dzat yang mewujudkan dan membentuknya.

9 Muqaddimah, Ibn Khaldun, hal.331. Sebagaimana dikutip oleh Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam : Telah Historis dan Perkembangannya,Op.cit. h.235

7 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 8: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

c. Otoritas terhadap alam melalui berbagai bentuk karomah atau khawariqul Adah (kemampuan melampaui hukum alam)

d. Munculnya kata-kata yang membingungkan dan tinjauan luar yang dikenal dengan Syathahat, yaitu sebuah ungkapan yang bermasalah dari tinjauan luarnya, sedangkan persepsi manusia terhadapnya adalah diantara mengingkari, beranggapan baik dan mentakwil.

Ajaran dan pemikiran tasawuf falsafi pada umumnya merupakan pengalaman serta perjalanan para sufi pengamal tasawuf falsafi yang kemudian dituangkan dan ditransfer kepada murid-muridnya atau melalui hasil karya tulisnya. Diantaranya yang sudah menjadi ikon ajaran tasawuf falsafi adalah :

1. AL-FANA

Al Fana adalah bersatunya manusia dengan Allah secara hakikat karena seesensi dengan Allah. Apabila kemampuan meleburkan eksistensi (keberadaannya) sebagai suatu pribadi terjadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana’an nafs). Fana’an nafs, adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya ketika menyatu ke dalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan Dzat Allah.

Dalam pengertiannya yang umum al-fana dapat dilihat dari penjelasan al-Junaidi berikut ini.10

“Hilangnya daya kesadaran qalbu dari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera”.

Dari pengertian tersebut di atas menjelaskan, bahwa yang lebur atau fana adalah kemampuan dan kepekaan menangkap yang bersifat materi atau inderawi, sedangkan materi (jasad) manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. Jadi, yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai manusia, sebagaimana dijelaskan oleh al-Qusyairi.11

“Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya terjadi karena hilangnya kesadaran seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya itu. Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya”.

Ada empat situasi getaran psikis yang dialami seseorang dalam proses al-fana, yaitu :

1. Al-Sakar adalah situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia meluas dengan perasaannya, seperti apa yang dialami oleh Nabi Musa As di Tursina.

2. Al-Sathohat yang secara bahasa, berarti gerakan, sedangkan dalam istilah tasawuf adalah suatu ucapan yang terlontar di luar kesadaran, yaitu kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakar.

10 Ibrahim Basyuni, Nas-ah al-Tasawuf al-Islam, Daar al-Ma’arif, Kairo, 1969; 138. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.149.11 Al-Qusyairi, ar-Risalahhal-Qusyairiyah, Kairo, 1966; 33 Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.147

8 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 9: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

3. Al-Zawal al-hijab, diartikan dengan bebas keluar dari dimensi alam materi dan telah ber”ada” di alam ilahiyat sehingga getar jiwanya dapat menangkap gelombang cahaya dan suara Tuhan.

4. Al-Ghalab al-syuhud diartikan sebagai tingkat kesempurnaan musyahadah, dimana ia lupa akan keberadaan dirinya dan alam sekitarnya, yang diingat dan dirasa hanya Allah seutuhnya.

Apabila dilihat dari sudut kajian psikologis, terlihat suatu karakteristik fana mistis, yaitu hilangnya kesadaran dan perasaan, di mana seseorang (sufi) tidak merasakan lagi apa yang terjadi dalam organismenya dan tidak pula merasakan ke-aku-annya serta alam sekitarnya.

Jadi fana adalah kondisi intuitif, di mana seseorang untuk beberapa saat kehilangan kesadaran terhadap ego-nya, yang dalam bahasa awam barangkali dapat dikatakan sebagai terkesima atau bahasa yang sejenis. Karena, apabila diteliti apa yang dikatakan al-Qusyairi di atas bahwa fana itu adalah terkesimanya seseorang dari segala rangsangan dan yang tinggal hanyalah satu kesadaran, yaitu hanya Dzat Mutlak. Hanya satu daya yang mendominasi seluruh ekspresinya, yaitu daya hakikat Tuhan, karena suatu keadaaan insidental, artinya tidak berlangsung secara terus-menerus. Kemampuan tersebut adalah karunia Allah yang tidak dapat diperoleh melalui latihan yang bagaimanapun.

Pada perkembangannya yang awal, kelihatannya ada dua aliran al-fana, satu aliran yang berpaham moderat yang diwakili al-Junaid al-Baghdadi, biasanya disebut fana fi’ttauhid. Kalau seorang telah larut dalam ma’rifatulloh dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain Allah, maka ia telah fana dalam tauhid.12 Artinya masih ada batas dan tidak bersatu dengan Allah. Aliran fana yang kedua dipelopori oleh Abu Yazid al-Busthami yang mengartikan al-fana sebagai penyatuan dirinya dengan Tuhan.

Sebelum masa Abu Yazid, fana diartikan kaum sufi sebagai “pengabdian”, sehingga fana diri berarti pengabdian kasadaran diri atau pengabdian kualitas diri. Tetapi setelah munculnya Ibn Arabi, terdapat dua pengertian al-fana, yakni :13

1. Dalam pengertian mistis, yaitu “hilangnya” ketidaktahuan dan tinggallah pengetahuan sejati yang diperoleh melalui intuisi tentang kesatuan esensial keseluruhan itu. Sufi tidak menghilangkan dirinya, tetapi ia “menyadari” non-eksistensi esensial itu sebagai suatu bentuk.

2. Dalam pengertian metafisika, yang berarti “hilangnya bentuk-bentuk” dunia fenomena dan berlangsungnya substansi universal yang satu. Menghilangnya suatu bentuk adalah “fananya” bentuk itu pada saat Tuhan memanifestasi (tajalli) dirinya dalam bentuk lain. Oleh karena itu kata Ibn Arabi, fana yang benar itu adalah hilangnya “diri” dalam keadaan pengetahuan intuitif di mana kesatuan esensial dari keseluruhan itu diungkapkan.

12 Al-Qusyairi, op.cit.;19 Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.149.13 Ibn Arabi, Fusus ; 230 Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.150.

9 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 10: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

Sufisme yang sempurna adalah seseorang yang melihat Tuhan dan “dirinya” sendiri di dalam pengalaman mistikal, baik dengan pengetahuan mistikal maupun dengan penghayatan esoteris. Artinya, seorang sufi yang sempurna adalah seseorang yang mengakui adanya Esensi dan bentuk (form), tetapi menyadari kesatuan esensial keduanya serta kemutlakan non-eksistensi dari form atau bentuk itu. Ini adalah fana yang paling tinggi yang bisa dicapai oleh seorang sufi. Kalau Abu Yazid mengatakan ada empat situasi gradual dalam proses fana, maka Ibn Arabi berpendapat, bahwa proses gradual itu ada tujuh tahap:14

a. Fana’an ma’ashi, meninggalkan dosa.b. Menjauhkan diri dari semua perbuatan apapun. Artinya, seorang sufi

harus mampu menyadari hanya Tuhan satu-satunya “agen” dan mutlak di alam ini, manusia tidak berbuat apa-apa.

c. Menjauhkan diri dari sifat-sifat dan kualitas-kualitas dari wujud-wujud kontingen (mumkinul wujud), si sufi harus menyadari bahwa segala macam bentuk-bentuk yang ada, sebenarnya adalah kepunyaan Tuhan. Penglihatan, pendengaran dan perasaaan kita itu adalah milik Tuhan. Artinya, Tuhan melihat diri-Nya sendiri melalui mata kita (sufi). Sufi sejati adalah mereka yang dapat melihat Tuhan dari Tuhan di dalam Tuhan dan dari mata Tuhan sendiri.15

d. Menyingkir dari personalitas dirinya sendiri, menyadari non-eksistensi dari fenomenal dirinya sendiri serta “ke-Tuhan-an” dari substansi yang tidak bisa berubah.

e. Meninggalkan seluruh alam, yakni mengabaikan dan menghentikan penglihatan terhadap aspek fenomena dunia dan penyadaran terhadap aspek nyata (realita) yang merupakan hakikat dari fenomena.

f. Menghilangkan segalal hal selain Tuhan, menghilangkan kesadaran terhadap diri sendiri sebagai seorang “pelihat” atau pemirsa, tetapi adalah Tuhan itu sendiri yang melihat dan yang dilihat, Ia dilihat dari manifestasi-manifestasinya.

g. Melepaskan semua atribut-atribut atau sifat-sifat Tuhan serta hubungan-hubungan atribut itu. Artinya, memandang Tuhan sebagai Esensi alam ketimbang terhadap sebab dari alam itu. Si sufi tidak memandang alam ini sebagai suatu akibat dari suatu sebab tetapi sebagai suatu realita dalam penampakan. Tahapan ini adalah penyadaran penuh terhadap ini merupakan ikhtisar dari seluruh filsafat mistis.16

Tahapan tersebut menggambarkan bahwa tujuan akhir tasawuf Ibn Arabi adalah pencapaian “pengetahuan sejati” dan kebahagiaan puncaknya sebagai sufi adalah “penyadaran” melalui intuisi mistik, yakni kesatuan esensialnya dengan Tuhan. Apa yang diperolehnya dari pengetahuan sejati (ilm yaqin) adalah ‘esensi’ dari kepastian (ainul yakin).

14 Ibid.: 24. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.150.15 Ibid.: 198. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.151.16 Untuk mendekatkan pemahaman terhadap masalah ini, silakan diikuti penjelasannya pada point 4 bab ini. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.152.

10 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 11: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

2. AL- ITTIHAD

Al-Ittihad adalah perpaduan esensi manusia dengan Tuhannya dalam keadaan fana sehingga wujudnya kekal atau al-baqa dan menemukan jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan.

Pemahaman ini timbul dari adanya pendapat yang bahwa jiwa manusia adalah pancaran dari Nur Ilahi, akunya manusia itu adalah pancaran dari yang Maha Esa. Kemampuan membebaskan diri dari alam lahiriahnya, atau kemampuan untuk meniadakan pribadinya dari kesadarannya sebagai insan, kemudian memperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya, yakni menyatu padu dengan Yang Tunggal, sehingga yang dilihat dan dirasakan hanya satu. Menurut Bayazid (Al-Busthami) disebut ‘tajrid fana at-tauhid’, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa ada perantara apapun, sebagaimana yang diungkapan secara puitis oleh Bayazid:17

“Pada suatu ketika saya dinaikkan kehadirat Allah seraya Ia berkata, hai Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihatmu. Aku menjawab hiasilah aku dengan ke-Esaan-Mu, dan pakailah aku sifat-sifat ke-dirian-Mu, dan angkatlah aku ke dalam ke-Esaan-Mu sehingga apabila makhluk-Mu melihat aku mereka akan berkata: “Kami telah melihat Engkau. Tetapi sebenarnya yang mereka lihat adalah Engkau karena sesungguhnya pada saaat itu aku tidak berada di sana”.

Ilustrasi tersebut di atas merupakan proses terjadinya ittihad versi Abu Yazid al-Busthami. Pada bagian awal ungkapannya itu mekukiskan alam ma’rifat dan selanjutnya memasuki alam fana’an nafs sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan.

Situasi ittihad itu diperjelas lagi oleh Bayazid dalam ungkapannya:18

Tuhan berkata: Semua mereka kecuali engkau, adalah makhluk-Ku. Aku pun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku Selanjutnya Abu Yazid berkata:19

Saya inilah Allah, tiada Tuhan selain Aku, sembahlah Aku.

Secara harfiah, ungkapan-ungkapan Bayazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya ‘Aku adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya Bayazid pribadi’. Dialog yang terjadi ketika itu pada hakikatnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah Bayazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs. Pada saat bersatunya Bayazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada pada ketika itu hanya satu wujud yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapan itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan. Dalam hal ini Bayazid menjelaskan:20

“Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana”.

17 Al-Thusi, al-Luma, Dar al-Kutub al-Hadisah, Kairo, 1960 :461 Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.153.18 Harun Nasution, Falsafa dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta,1978: 85. 19 A. Kadir Mahmud, op.cit.: 314 Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.154.20 Ibid: 310; Bnd. Fariduddin al-Atthar, Tadzkirat al-Aulia, RA Nicholson (ed) M. Ashraf, Lahore, 1970. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.155.

11 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 12: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

Dalam posisi dan kondisi tersebut di atas, Bayazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan, tidak seperti apa yang dilakukan Firaun yang mengaku sebagai Tuhan. Proses ittihad menurut versi Bayazid ini adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Ilahi, bukan melalui reinkarnasi.

Pada posisi dan kondisi sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, dimana hanya ada satu yang disadari dan dilihatnya yaitu hakikat yang satu, yakni Allah. Keadaan bersatu dalam wujud Tuhan tersebut terjadi karena dia tidak melihat dan tidak menyadari dirinya sendiri terlebur dalam Dia yang dilihat.

3. AL-HULUL

Doktrin al-hulul adalah perkembangan lebih lanjut dari paham al-ittihad secara lebih mendalam lagi, dimana Tuhan mengambil tempat pada diri manusia yang sudah bersih dari sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses fana atau ekstase. Konsepsi al-hulul diperkenalkan pertama kali oleh Husein Ibn Mansur al-Hallaj yang meninggal karena dihukum mati di Baghdad pada tahun 308 H, karena paham yang ia sebarkan itu dipandang sesat oleh penguasa pada masa itu.21

Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat ke-Tuhan-an atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Begitu juga dengan Tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat atau Lahut dan sifat insaniyah atau nasut. Jika seseorang mampu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, maka terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul.22

Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamannya tentang proses kejadian manusia. Al-Hallaj berpendapat, bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptakan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya –shurrah min nafsih- dengan segenap sifat dan kebesarannya, sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya:23

“Maha Suci dzat yang menampakkan nasut-nya, Seiring cemerlang bersama lahut-Nya, Demikian padu makhluk-Nya pun terlihat nyata, Seperti manusia yang makan dan minum layaknya”.

Al-Hallaj mengatakan bahwa konsepsi lahut dan nasut berdasarkan pada firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 34 :

21 James Hasting, vol IV ; ada pendapat yang mengatakan bahwa al Hallaj dihukum mati bukan karena ajarannya, tetapi karena ia anggota Karamithah- kelompok anti penguasa. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.155.22 R.A. Nicholson, op.cit.: 150 Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.156. 23 A. Kadir Mahmud, op.cit.: 361 Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.156.

12 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

MمMوا آلدSدSج Vاس XةM Xك VمMالئ Xل Mا ل Vن XذV قSل وMإجMدSوا MسMفMيسXلV Xب Xال إ إ

MينXرXافM Vك MانM مXنM ال MرM وMك Vب Mك ت VاسMى وM Mب أ

Page 13: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

“ Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah* kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”

* Sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.

Menurut pemahamannya, adanya perintah Allah agar Malaikat sujud kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus di sembah sebagaimana menyembah Allah. Bagaimana gambaran hulul itu, dapat dipahami dari ungkapan al-Hallaj berikut ini,24

Berbaur sudah sukma-Mu dalam rohku jadi satu,Bagai anggur dan air bening berpadu,Bila engkau tersentuh, terusik pula aku,Karena ketika itu, Kau dalam segala hal adalah aku.Aku yang kurindu, dan yang kurindu Aku jua,Kami dua jiwa padu jadi satu raga,Bila kau lihat aku,tampak jua Dia dalam pandanganmu,Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu tampak nyata.

Ungkapan al-Halaj tersebut dapat dipahami bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna, bersifat figuratif, tidak riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah. Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan citra-Nya, maka makna perpaduan itu adalah munculnya citra Tuhan ke dalam citra-Nya yang ada dalam diri manusia, bukan hubungan manusia dengan Tuhan secara riel. Oleh karena itu, ucapan ana al-Haqq yang meluncur dari lidah al-Hallaj, bukanlah ia maksudkan sebagai pernyataaan bahwa dirinya adalah Tuhan. Sebab, yang mengucapkan kalimat itu pada hakikatnya adalah Tuhan juga tetapi melalui lidah al-Hllaj. Interpretasi ini sesuai pula dengan pernyataan al-Hallaj dalam syair berikut:25

Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, aku bukanlah Yang Maha Benar, bedakanlah antara Kami.

Adalah sangat tidak logis jika seorang sufi yang sepanjang usianya merindukan dan mencari Tuhan, mengaku dirinya sebagai Tuhan.

4. AL-WAHDAT AL-WUJUD

Wahdat al-Wujud adalah Kesatuan wujud, unity of existence yakni kelanjutan atau pengembangan dari pemahaman ‘Hulul’, dimana nasut (sifat-sifat insaniyah) menjadi ‘khalq, makhluk’ dan lahut (sifat-sifat ilahiyah) menjadi haq. Ada dua aspek dalam konsepsi wahdat al-wujud yakni ‘khalq dan haq’, mirip dengan ‘yin dan yang’ dalam filsafat Cina. Sinonim dari kata ‘haq’ adalah ‘al-ard , berarti accident’, dan ‘al-jauhar berarti substance’, dan dari al-zahir, berarti lahir, luar dan al-batin berati batin, dalam. Nicholson mengatakan : “The eternal and the phenomenal are two complementary aspects of the One, each of which is

24 Ibid.: 358; R.A. Nicholson. op.cit.,: 134 Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.157.25 Harun Nasution, op.cit.: 91.

13 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 14: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

necessary to the other; The creatures are the external manifestation of the Creator”, begitu juga dengan Harun Nasution (1978) yang memahami wahdat al-wujud bahwa pada setiap yang ada (wujud) mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar, al-ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukkan dan aspek dalam yang merupakan jauhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan26. Dan yang terpenting menurut paham ini adalah aspek batinnya – al-Haqq- yang merupakan hakikat atau esensi dari tiap-tiap yang berwujud.

Pemikiran paham ini timbul, dengan memandang bahwa ‘alam ini ibarat cermin bagi Allah’, dimana semua makhluk yang ada pada alam ini merupakan pantulan diri Allah, karena setiap benda atau makhluk memiliki sifat ketuhanan, seolah-olah Tuhan melihat dirinya pada Alam yang diciptakan-Nya. Banyaknya benda atau makhluk pada alam sebenarnya hakikatnya hanya satu, sebagaimana orang yang melihat dirinya dalam beberapa atau banyak cermin yang diletakkan disekelilingnya. Dalam setiap cermin terlihat wajah dirinya, kelihatan banyak, namun dirinya sebenarnya satu. Al-Qashani dalam ‘fusus al hikam’ menjelaskan :

“Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak”.

Sebagaimana kata Parmenides:Yang ada itu satu. Yang banyak itu tak ada.Yang kelihatan banyak dengan pancainderaadalah ilusi.

Filsafat tersebut dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa wujudnya makhluk dijadikan bergantung pada wujud Tuhan, sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan, sedangkan yang berwujud selain Tuhan tak akan mempunyai wujud, sekiranya Tuhan tak ada. Karena Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki.

Dengan demikian yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Tuhan dan wujud yang dijadikan ini pada hakikatnya bergantung pada wujud Tuhan. Yang dijadikan sebenarnya tidak mempunyai wujud. Yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Allah. Dengan demikian hanya ada satu wujud, yaitu wujud Tuhan.

Menurut Ibn Arabi 27:“Sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah dijadikan dan bahwa ia berhajat kepada Khalik yang menjadikannya; karena ia hanya mempunyai sifat mumkin (mungkin ada dan mungkin tidak ada), dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain;... dan sesuatu yang lain tempat ia bersandar ini haruslah sesuatu yang pada esensinya mempunyai wujud yang bersifat wajib, berdiri sendiri dan tak berhajat kepada yang lain dalam wujudnya; bahkan ialah yang dalam esensinya memberikan wujud bagi yang dijadikan.... Dengan demikian yang dijadikan mempunyai sifat wajib, tetapi sifat wajib ini bergantung pada sesuatu yang lain, dan tidak pada dirinya sendiri.”

Dengan lain kata, makhluk atau yang dijadikan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajib. Dan satu-satunya yang mempunyai 26 Idem, op.cit.h.92-327 Idem. Op.cit.h.94-5

14 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 15: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

wujud sebenarnya hanya satu, yaitu Tuhan, sedangkan wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan.

5. AL-WAHDAT AS-SYUHUD

Konsepsi al-wahdat as-syuhud merupakan ajaran tasawuf yang mirip dengan paham Al-wahdat al-wujud dan dapat dianggap sebagai dokrin ini mendapat pengaruh dari Ibn Arabi, yang diperkenalkan oleh Umar Ibn al-Faridh (w.632H).

Menurutnya, Tasawuf bukanlah sekedar ilmu agama dan bukan pula sekedar amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan tidak saja sekedar ma’rifat, tetapi tasawuf adalah ilmu dan amal serta ma’rifat sekaligus, yang diartikulasikan melalui wasilah untuk mencapai hakikat ilmu dan amal. Dalam praktek tasawufnya konsepsi al-wahdah as-syuhud bertolak dari dua dasar yakni; pertama, melalui kasyf dan ilham, sampai kepada mukasyafah dan kedua, melalui amal riadhah dan mujahadah, sampai kepada musyahadah.

Beribadah, menjauhkan diri dari yang tidak baik, puasa, menghidupkan malam dengan beribadah, wirid terus-menerus, wara’, qana’ah dan zuhd merupakan susunan al-maqomat yang harus dilalui satu persatu, serta selalu berusaha untuk melepaskan diri dari pengaruh kehidupan duniawi yang harus dilalui satu persatu oleh pengamal konsepsi al-wahdah as-syuhud. Usaha dan upaya tersebut akan dirasakannya sebagai kebahagiaan yang tinggi nilainya dalam membina cinta Ilahi,28 melalui suluk yang berkesinambungan sampai batas kesanggupan terakhir. Puasa bukanlah hanya menahan diri pada siang hari serta beribadah pada malamnya, tetapi puasa itu adalah mewujudkan cinta yang membawa dirinya menyatu dengan yang dicintainya.

Cinta Ibn al-Faridh berpadu dalam keindahan, terarah khusus kepada pencipta keindahan itu, yakni Allah yang terus bergerak dalam jiwa dan selalu menjadi dambaan kalbu. Dorongan cinta dan kerinduan kepada keindahan al-Khalik semakin mendekatkan dirinya kepada Tuhan, semakin dekat dan semakin terasa dekat sampai kemudian akhirnya mengatakan, bahwa cintanya kepada Tuhan tidak ada yang dapat mengimbanginya sebagaimana diungkapkan dalam senandung syairnya:

“Tiada arti semua cinta dibanding dengan keasyikan cintaku. Semua orang yang bercinta adalah prajuritku, Akulah pengambil keputusan dalam hal cinta, segenap anak muda yang bercinta akulah komandannya, Dan aku tidak bertanggung jawab terhadap remaja yang linglung, Aku menguasai teknik bercinta yang jaminan mutu, Dan orang yang tidak mengerti cinta adalah orang dungu”.

Melalui latihan dan konsentrasi batin yang teratur, maka cintanya kepada Allah semakin mendalam dan semakin menguasai segenap relung kalbunya sehingga ia dapat merasakan getaran cahaya Tuhan dan akhirnya yang ia rasakan dan ia lihat hanya satu yakni Yang Esa. Situasi mistis yang demikian itu disebut wahdat as-syuhud.

28 A. Kadir Mahmud, op.cit. : 521-522. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.160.

15 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 16: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

Berbeda dengan al-wahdah al-wujud, Kesatuan dalam terminologi Ibn al-Faridh bukan penyatuan dua wujud, tetapi penyatuan dalam arti disaksikan hanya satu, yaitu Wujud Yang Maha Esa. Pluralitas yang tadinya nampak menjadi lenyap sehingga segala sesuatu nampaknya satu kesatuan karena ia telah mampu “menghadirkan” Tuhan dalam dirinya melalui tajalliyatnya Ilahi.

Ada dua segi ‘tajalli’, menurut al-Faridh yaitu; pertama, tajalli secara zhahir, yakni melihat Yang Esa pada yang aneka; yang kedua, tajalli secara batin, yakni melihat yang aneka pada yang Esa atau jika dianalogikan dengan alam makro dan mikro. Dengan memperhatikan makrokosmos dapat “melihat” mikrokosmos begitu sebaliknya. Kemampuan untuk tenggelam dalam kemanunggalan dan tidak merasakan serta tidak melihat (syuhud) sesuatu selain Allah Yang Maha Tunggal adalah dalam kondisi ‘fana’.29

Menurut al-Quran, ternyata mencintai Allah merupakan buah dari keimanan dan ketaqwaan, “...adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah....” (QS. 2 : 165) ; cinta dapat mengurangi beban dosa sehingga akan melapangkan kehidupan, “..jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosamu...” (QS. 3 : 31)

6. AL-ISYRAQIYAH

Konseptor tasawuf al-Isyraq adalah Suhrawardi al-Maqtul, merupakan tipe tasawuf falsafi yang paling orisinil di antara konsep-konsep tasawuf yang sealiran. Nama lengkapnya adalah Abu al-Futuh Yahya Ibn Habsyi ibn Amrak, lahir di Suhrawardi dan dihukum bunuh di Aleppo pada tahun 578 H atas perintah Shalahuddin Ayyubi.30

Al-Isyraq berarti bersinar atau memancarkan cahaya dan nampaknya searti dengan al-kasyf. Al-Isyraq lebih tepat diartikan penyinaran atau illuminasi, adalah kombinasi perenungan pemikiran spekulatif gabungan dari tasawuf dan filsafat dari berbagai aliran. Karya al-Maqtul adalah Hikmatul Isyraq, yang merupakan adonan sempurna berbagai unsur tasawuf dan filsafat. Menurut Suhrawardi, sumber dari segala yang ada ialah Cahaya Yang Mutlak yang ia sebut dengan Nur al-Anwar, mirip matahari. Walaupun ia memancarkan cahayanya terus menerus, namun cahayanya tidak pernah berkurang dan bahkan sama sekali tidak terpengaruh. Nur dalam konsep ini nampaknya analogis dengan rahmat Tuhan (faidh).31

Paham al-Isyraq ini menyatakan, bahwa alam ini diciptakan melalui penyinaran atau illuminasi. Kosmos ini terdiri dari susunan bertingkat-tingkat berupa pancaran cahaya. Cahaya yang tertinggi dan sebagai sumber dari segala cahaya itu ia namakan Nurul Anwar atau Nurul A’zham dan inilah Tuhan yang azali. Manusia berasal dari Nurul Anwar yang diciptakan melalui pancaran cahaya dengan proses yang hampir sama dengan emanasi atau al-faidh. Oleh karena itu, hubungan manusia dengan Tuhan merupakan arus

29 A. Kadir Mahmud, op.cit.; 529. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.163.30 Ibid:126; band. A. Kadir Mahmud, op.cit.: 440; dikatakan ia dihukum mati karena ajarannya. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.164.31 Al-Taftazani, op.cit.: 445. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.165.

16 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 17: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

bolak-balik. Artinya, ada hubungan yang bersifat dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas yang kemudian terjadilah ittihad.

IV. IBN ARABI (1165-1240)

Abu Bakar Muhammad ibn ‘Ali al-Khatami al-Tha’I al-Andalusi (1165 – 1240 M), dilahirkan di Murcia, salah satu kota di daerah timur Andalusia (Spanyol) yang terkenal dengan keindahan dan pesonanya, pada hari Senin, 17 Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165 M. Di Timur ia dikenal dengan sebutan Ibn ‘Arabi, di Barat ia dikenal dengan sebutan Ibn Suraqah, al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus), Muhyiddin, bahkan Neo Plotinus. Ibnu Arabi adalah penulis karya-karya tasawuf yang paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Walaupun ia tidak mendirikan tarekat, pengaruhnya atas para sufi meluas dengan cepat melalui murid-murid terdekatnya memperkenalkan ajaran-ajaran dan pemikiran tasawufnya dengan terminologi intelektual dan filosofis. Ibnu Arabi juga mampu menggabungkan berbagai aliran esoterik yang berkembang di dunia Islam, seperti phytagoreanisme, alkimia, astrologi, serta beragam cara pandang dalam tasawuf ke dalam sintesis yang luas sesuai Al-Quran dan Sunnah Nabi.

Ayahnya bernama Ali bin Muhammad, slah seorang pakar hadits dan fikih, ahli zuhud, takwa, dan pegiat tasawuf, artinya beliau dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai tradisi kehidupan sufistik yang kuat. Tetapi Ibn ‘Arabi sendiri dalam pertumbuhannya justru menempuh pendidikan dengan tradisi intelektual rasional-filosofis yang kala itu berkembang pesat di wilayah Andalusia dengan Ibnu Rusyd sebagai tokoh besarnya kala itu. Pada masa mudanya itulah Ibnu Arabi yang belum berjanggut sempat berjumpa dengan Ibnu Rusyd yang secara simbolik merupakan peristiwa penting yang menunjukkan pertemuan antara dua tokoh pengetahuan formal. Perjumpaan orang ‘yang mengedepankan akal’ dan orang yang ‘mengalami penyingkapan (kasyf)’ mistis atau penglihatan atas realitas-realitas spiritual dengan mata hati.

Ibn Arabi adalah penulis yang produktif, yang menurut Browne ada 500 judul karya tulis dan 90 juduk diantaranya asli tulisan tangannya tersimpan di Perpustakaan Negara Mesir. Tetapi menurut Sya’roni, Ibn Arabi menulis buku sekitar 400 judul saja, termasuk Fusus dan Futuhat. Produktifitasnya dalam menulis terutama selama ia bermukim di Mekkah dan Damaskus atau sekitar 20 tahun terakhir masa hidupnya. 32 Diantara hasil karya tulisnya (Buku-buku) yang terkenal dan fenomenal adalah : Fushus al-Hikam, Futuhat al-Makkiyah dan Turjuman al-Asywaq. Ibnu Arabi wafat di Damaskus, Syria tahun 638 H/1240 M.

Ibn ‘Arabi diakui dan dikenal sebagai pendiri mazhab “kesatuan wujud” (wahdah al-wujud) yang merupakan rembesan dari hasil karya-karyanya. Ia sendiri tidak pernah sekalipun memperkenalkan ungkapan ‘alwahdah al-wujud’

32 E.G. Brown, Literary History of Persia, vol. II: 497. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.172.

17 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 18: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

itu sebagai terminologi khusus dalam tulisan-tulisannya. Al-Farghani adalah pengikutnya yang pertama kali menggunakannya sebagai suatu istilah teknis. Istilah ini biasanya dikontraskan dengan “pengetahuan-Nya yang Berbilang (Katsrah al-‘ilm)”. Maka, Tuhan adalah Esa dalam dzat-Nya dan berbilang dalam Pengetahuan-Nya. Ia adalah Esa dan sekaligus Segalanya.33

Seperti diketahui, Ibn ‘Arabi menjadi orang pertama yang meletakkan dasar-dasar aliran wihdat al wujud. Menurut Ibn Taimiyah, mazhab Ibn ‘Arabi ini, secara esensial, mengatakan bahwa makhluk itu ‘sama’ dengan keberadaan al-Khaliq. Pada dasarnya, aliran ini menyatakan bahwa segala sesuatu lahir atas dasar pengetahuan ilahi yang bisa dibuktikan dengan lima tingkatan (maratib khamsah). Seluruh jiwa “menyatu” dengan Dzat Tuhan ; berubah dari kemajemukan kepada kesatuan dengan tahapan yang logis. 34

Sebagai seorang guru filsafat ia mampu memfilsafatkan pengalaman spiritualnya sebagai seorang mistikus ke dalam suatu teori metafisik yang berpengaruh, yang kemudian dikenal menjadi dasar konsepsi pemikiran tasawuf al-wahdat al-wujud, yang sudah dibahas sebelumnya sebagai salah satu ikon tasawuf falsafi. Seperti kebanyakan sufi lainnya, Ibnu ‘Arabi percaya bahwa para wali merupakan pewaris sipiritual Nabi yang beroleh cahaya Muhammad (nur Muhammad). Sufi adalah orang-orang yang dengan segala kemampuannya, baik lahir maupun batin, berusaha mendekatkan diri dengan Allah. Tujuan utama kesufian sejatinya bukanlah hasil berupa surga dan neraka, melainkan proses pengembaraan cinta yang mendasari niat sehingga tumbuh perasaan rindu yang mendalam (syauq).

Ibnu ‘Arabi juga mengembangkan pemikiran tentang rohani manusia, menurutnya dalam diri manusia terdapat dimensi rohaniah yang terdiri dari unsur kebutuhan psikis, spiritual, imajinasi dan alam khayal manusia. Rohani dapat membawa manusia kepada alam antara sadar dan tidak sadar yang disebut dengan alam al-mitsal (dunia cita rasa murni) dimana manusia siapapun juga dapat mengenal Allah melalui imajinasi kreatif yang terlatih. Kajian rohani ini meliputi dua cabang berurutan, yaitu (1) kajian tentang kaidah-kaidah yang akan mengantarkan pada perilaku terpuji dan bermuara pada kebahagiaan batin yang dalam (al-’alam al-rasmi), dan (2) kajian tentang olah-rasa yang mengantar jiwa pada cahaya keimanan dan pintu kemakrifatan (al-’alam al-dzauqi).

Dalam pemikiran Ibnu ‘Arabi, Allah adalah al-Khaliq bagi seluruh alam. Seluruh yang ada termasuk manusia adalah pancaran iradat Allah (ide Allah). Inilah yang membawanya kepada sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa alam ini adalah esensi dari Tuhan itu sendiri. Teori wihdat al-wujud (unity of existence, kesatuan wujud) ini menegaskan bahwa variasi bentuk dalam wujud ini pada esensi merupakan substansi wujud Tuhan

33 Seyyed Hossein Nasr, Eksiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, Manifestasi, Mizan, Bandung : 2003. h.8134 Dr. Muhammad Ibrahim al-Fayumi, Ibn ‘Arabi, Menyingkap kode dan menguak simbol di balik paham Wihadat al-Wujud, Erlangga, Jakarta : 2007. h.68.

18 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 19: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

yang tunggal. Disini Ibnu ‘Arabi membedakan dua pengertian tentang al-Haq: (1) al-Haq fi Dzatih, yakni hakikat mutlak yang transenden; (2) al-Haq yang bertajalli ke dalam wujud dan dapat ditangkap alat indera manusia sehingga identik dengan makhluk. Jadi, hakikat wujud mempunyai dua sisi: dari segi dzatnya ia eka/tunggal, tapi dari segi tajallinya ia aneka/beragam. Prinsip tesisnya ini adalah bahwa “tidak ada dalam wujud kecuali Allah”, maka faman kana wujuduhu bighairihi fahuwa fi hukm al-adam (siapa yang berwujud karena wujud yang lain, maka di sejatinya termasuk tidak ada). Wujud itu satu, adanya makhluk ini sebagai isyarat nyata wujudnya Khaliq. Jadi hakikatnya tidak ada perbedaan antara wujud khalik dengan makhluk kecuali dalam bentuk, jism dan rupanya saja. Konsep ini melahirkan teori Nur Muhammad atau al-Haqiqat al-Muhammadiyah, yang berarti bahwa Tuhan menciptakan alam semesta ini adalah pancaran dari esensi Tuhan. Kemudian atas dasar pemikiran ini lahirkan wihdat al-wujud yang mengatakan bahwa Allah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan makhluk. Keduanya menyatu, sekalipun tidak secara fisik tetapi dalam konsep wahdaniyah Tuhan.35

Jalan yang ditempuh seorang salik menurut Ibn Arabi adalah: taubat, zuhud (menjauhkan pikiran dari pengaruh keduniawian dengan jalan mengantarkan manusia kepada kehampaan diri dan peniadaan diri di hadapan keagungan Allah), dan khalwat atau keterputusan diri dari seluruh dunia luar baik fisik maupun pikiran dengan hanya memikirkan Allah dengan dzikir dan merasakan kebersamaan dengan-Nya. Pada konteks ini Ibn Arabi melihat keniscayaan seorang pembimbing spiritual (mursyid) agar jalan yang ditempuh benar. Ia pernah mengatakan bahwa barangsiapa menempuh jalan kesufian (suluk) tanpa seorang guru, maka ketahuilah bahwa gurunya adalah setan. Sebaliknya, bagi salik yang mampu (’alim), kehadiran guru justru akan mengurangi konsentrasi riyadhahnya dan akan membatasi daya fantasi dan imajinasinya tentang Allah.

Sebagai figur representatif, Ibnu Arabi mengikuti jejak pendahulunya, al-Hallāj. Tuhan menurutnya tidak dapat terlihat oleh siapapun (visible to no one). Ia menolak klaim para sufi yang mengaku melihat Tuhan dalam keadaan ekstasi atau fana’ mereka. Tuhan hadir dalam keyakinan di hati. Ia membuka rahasia diri-Nya sendiri kepada hati dalam suatu cara yang memungkinkan hati mengakui-Nya. Lantas mata ini menyaksikan hanya Tuhan dari keyakinan. Keyakinan melahirkan ukuran dari kapasitas hati. Itulah mengapa terdapat banyak keyakinan-keyakinan yang berbeda. Kepada setiap orang yang percaya, Tuhan adalah Dia yang menyingkapkan dirinya dalam bentuk keyakinan (iman). Jika Tuhan menampakkan dirinya dalam bentuk yang berbeda, orang yang percaya tidak dalam bentuk itu akan menolak-Nya, dan inilah sebab mengapa keyakinan-keyakinan dogmatis bertikai satu dengan lainnya, menurut ibn Arabi. Konsepsi ketuhanan Ibn ‘Arabī dengan demikian berdiri di atas dikotomi yang membedakan antara Tuhan yang sebenarnya dengan Tuhan yang merupakan persepsi manusia terhadap-Nya. Tuhan yang

35 Dari beberapa sumber blogger- Google Searching Machine

19 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 20: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

sebenarnya adalah Tuhan dalam diri-Nya sendiri, dalam Zat-nya, yang tidak dapat diketahui karena keterbatasan akal manusia. Ibn ‘Arabī menyebutnya sebagai al-Ilāh al-Haqq (The Real God), al-Ilāh al-Mutlaq (The Absolute God), al-Ilāh al-Majhūl (The Unknown God), atau Ankar al-Nakirat, al-Ghayb al-Mutlaq, dan al-Ghayb al-Aqdas. Sedangkan Tuhan dalam kepercayaan manusia, yang tentu diwarnai oleh kapasitas pengetahuan untuk mempersepsi-Nya.

V. AL-JILLI (1366-1424)

Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ‘Abd al-Karim bin Khalifah bin Ahmad bin Mahmud al-Jilli (1366 – 1424 M), adalah salah saseorang pengikut Ibnu Arabi yang melakukan pengayaan dan tafsir ulang ajaran-ajaran Ibnu Arabi, diantaranya yang terkenal adalah teori sufistiknya tentang insan kamil (manusia sempurna). Ia terlahir dari klan kelarga sufi agung Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, pada tahun 767 H/1366 M di pemukiman bernama al Jailan, salah satu distrik di kota Baghdad, Iraq, dan wafat pada tahun 826 H/1424 M di kota Zabidah, Yaman. Al-Jilli adalah pengembara sejati yang telah berkelana ke pelosok negeri. India, Persia/Iran, Kairo/Alexandria-Mesir, Gaza-Palestina, Zabidah/Yaman, Makkah dan Madinah adalah diantara tempat-tempat yang pernah ia kunjungi. Dan di setiap negara yang ia datangi, al-Jilli menetap untuk melakukan aktivitas belajar mengajar dan prosesi ritual. Dalam keyakinannya al-Jilli mengatakan bahwa “Allah tidak mengajar manusia dari al-Quran dan Hadits saja, melainkan juga dari perilaku manusia, realita alam dan latar kesejajaran masing-masing penghuni bumi ini, sejatinya ajaran Allah sangatlah banyak”. Ia juga dikenal sebagai sosok ’Penggila’ ilmu pengeahuan, juga sebagai pakar Geografi, Pedagogi ilmu Filsafat Yunani, Ilmu Logika, Gramatika dan Rahasia Huruf, Ilmu Perbandingan Agama dan ilmu pengetahuan lainnya pada masa itu. Disamping mempelajari produk ‘logika’ ilmu otak, ia juga mencerdaskan hati dan jiwanya sebagai seorang ‘salik’ yang istiqomah mentradisikan olah rohani.

Al-Jilli hidup sezaman dengan peletak dasar ajaran ‘Thariqat Naqsabandiyah’ yang bernama Syeikh Baha’uddin Muhammad Naqsabandi. Beliau berguru pada Syeikh Syarifuddin Ismail ibnu Ibrahim al-Jabaruti dengan banyak belajar dan mendalami pemikiran/ajaran dari Ibnu Arabi. Hasil karya tulisnya hampir 30 kitab dan berbagai makalah dengan beragam topik kajian. Diantara karya utamanya adalah : ‘al-Kahfi wa al-Raqim fi Syarhi Bismillahirrohmaanirrohiim”, ‘al-Kamalaah al-Ilahiyyah’, ‘Qashidah an Naadirah al-‘Ainiyah’, ‘Qutub al’Ajaib’, dan karya yang monumental adalah ‘Insan Kaamil fi Ma’rifah al Awahir wa al Awail’. Dalam karya-karyanya al-Jilli banyak menggunakan simbol-simbol, isyarat-isyarat, dan metafora-metafora dalam menuangkan pemikirannya, yang kadang terasa aneh dan nyeleneh bagi kalangan non sufi atau mereka yang belum pernah tersentuh capaian-capaian spiritual.20 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 21: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

Al-Jilli berpandangan bahwa “Tasawuf mencakup rahasia-rahasia batin yang tidak mungkin ditakbirkan dengan kalimat-kalimat tegas dan lugas”. Kalimat-kalimat tasawuf sarat dengan makna tersirat. Ujaran dan ajaran sangat pekat dengan simbol, metafor dan isyarat serta rumus-rumus yang terkesan absurd dan menyimpang.

Menurut al-Jilli, Dzauq (intuisi) dan Ilham adalah sumber utama pengetahuan kaum sufi. Melalui pengetahuan intuitif/Dzauq dan ilham Ilahiyyah (ketuhanan) seseorang bisa me-ma’rifahi segala sesuatu secara hakiki. Untuk mencapai ma’rifah hakiki, logika tidak layak untuk menjadi alatnya, karena peran dan fungsi akal sangatlah terbatas. Logika hanya bisa menjangka pengetahuan kasat mata yang bisa diindrai dan tidak keluar dari cerapan inderawi. Ma’rifah sejati hanya bisa digapai melalui jalan hati bukan dengan akal. Pengetahuan intuitif hanya bisa diraih melalui jalan sufi bukan jalan akal. Al-Jilli berkata bahwa, “Manusia yang menuhankan akal, selamanya tidak akan bisa memahami kesejatian segala sesuatu”.

Manakala jiwa telah sampai pada puncak singgasana rohani, pada maqom ini jiwa lebur dalam kerohanian dan jiwa tidak menjadi jiwa seperti pemahaman jiwa dalam kehidupan yang kasat mata. Dimata seorang sufi ketika jiwa telah sampai di puncak kesempurnaan , jiwa akan ‘fana’ (sirna) dihadapan al-haq. Sebab dzat yang huduts (baru) berhadapan dengan dzat yang qadim (eternitas) niscaya akan sirna. Tidak seperti pemahaman filsafat atau filosof yang mengharuskan keterpisahan antara jiwa dan pencipta jiwa. Al-Jilli menolak keterpisahan juga menentang keras faham ‘Hulul dan Tanasukh (reinkarnasi)’ serta ‘Wahdat al Wujud’.

Al-Jilli menuturkan bahwa Fana’nya jiwa bersama al-Haq, haram dimaknai dengan Hulul (dalam pengertian panteisme), Wahdat al-Wujud (Manunggaling Kawulo Gusti), serta adanya Tanasukh (Reinkarnasi), karena Allah adalah dzat Yang maha Suci dan Maha Sempurna haram disifati dengan sifat-sifat an Naqs (kurang) . Wujud teragung intinya (dzat) hanya bisa disibak dengan pengetahuan intuitif. Sedangkan keberadaan al haq diketahui dengan mengoptimalkan ketajaman hati dan pikir guna memahami ‘Tajalli (manifestasi)’-Nya di alam realitas, baik mikrokosmos maupun makrokosmos.

Derajat-derajat ma’rifah menurut al-Jilli, dimulai dari pemahaman tentang kesejatian wujud tingkat paling dasar hingga wujud teragung. Ketika sampai menggapai Maqom (capaian spiritual) Haqiqah al haqaiq (hakekat segala hakekat) yakni wujud universal seorang sufi akan paham bahwasanya al Haq adalah Ahadiyah al Jam’ah (Kesatuan dari yang banyak) juga al-Wahdah al-Mutlaq (Ketunggalan Mutlak) yang termanifestasikan dalam diri “Insan Kamil”. Insan Kamil adalah citra Diri Tuhan yang

21 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 22: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

termanifestasikan dalam wujud manusia, jadi Manusia Sempurna (Insan Kamil) merupakan cerminan daripada wujud teragung di alam realitas ini.

Menurut al-Jilli ada dua pengertian insan kamil yaitu : (1) dalam pengertian konsep pengetahuan tentang manusia yang sempurna; (2) terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama dan sifat-sifat Tuhan kedalam hakikat atau esensi dirinya.

Al-Jilli mengatakan bahwa manusia dapat mencapai kesempurnaan

insaniyahnya melalui latihan rohani dan pendakian mistik. Latihan ini diawali dengan kontemplasi tentang nama dan sifat-sifat Allah (Asma ul-Husna). Kemudian masuk ke dalam suasana sifat-sifat Tuhan dimana ia mulai melangkah menjadi bagian dari sifat-sifat tersebut dan beroleh kekuasaan yang luar biasa. Berikutnya, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk kedalam hakekat mutlak menjadi “manusia tuhan” atau insan kamil. Ketika itulah, matanya akan menjadi mata Tuhan, kata-katanya adalah kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan. Kesemuanya ini didasarkan pada asumsi bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas, esensi murni yaitu Wujud Mutlak yang tak tergambarkan dan tergapai hakikatnya oleh segala pemikiran manusia yang fana. Wujud Mutlak itu lantas bertajalli secara sempurna menjadi alam semesta. Jadi, baginya, alam ini tercipta dari ketiadaan (creatio ex nihilo) dalam ilmu Tuhan. Ketika dalam kesendirian-Nya, yang ada hanya dzat Tuhan satu-satunya (bandingkan dengan pemikiran kaum filsuf).

Dalam tajalli ini, manusia ideal adalah sintesis dari makrokosmos yang permanen sekaligus aktual, cermin citra Tuhan secara paripurna. Untuk mencapai tingkatan ini, seseorang harus melewati tahapan pendakian spiritual (taraqqi) dimulai dari pengamalan dan pemahaman syariat (rukun Islam) secara baik, yang juga dilandasi dengan keyakinan pada rukun iman yang kokoh. Dengan bekal keduanya, seorang sufi lantas dapat memasuki tingkat kesalehan (al-salih) dimana terdapat kontinuitas dalam menunaikan ibadah kepada Allah atas dasar khauf dan raja’. Dari al-salih, seseorang meneruskan pada tingkat al-ihsan (kebajikan) yang terdiri dari tujuh maqam: taubat, inabah, zuhud, tawakkal, ridha, tafwidh, dan ikhlas. Pada tingkatan ini seseorang sudah mulai disinari oleh perbuatan-perbuatan Tuhan.

Beranjak dari tahapan ihsan, seorang sufi dapat mendaki ke tingkatan penyaksian (al-syahadhah) dimana hati dipupuk kemauan dan cintanya kepada Allah dengan senantiasa mengingat-Nya dan melawan segala bentuk hawa nafsu. Puncaknya, seorang sufi akan memasuki tingkat kebenaran (al-shiddiqiyah) atau ma’rifat yang mempunyai tiga bentuk : ilmu al-yaqin (dimana sufi disinari asma’ Tuhan), ayn al-yaqin (dimana sufi disinari sifat-sifat Tuhan) dan haqq al-yaqin (dimana sufi disinari zat Tuhan). Dengan demikian, diri sufi akan fana’ di dalam asma’, sifat dan zat Tuhan. Setelah ma’rifat, seorang sufi dapat meneruskan ke maqam qurbah, yakni merangkak sedekat mungkin dengan Allah hingga sampai pada derajat insan kamil.

VI. IBN SYAB’IN (1217-1272)

22 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 23: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

Ibnu Sab’in adalah Abd al-haq bin Ibrahim bin Muhammad bin Nashr bin Muhammad, adalah teosof kenamaan Andalus, yang telah dikenal di dunia Barat, Eropa, dengan jawaban-jawaban cerdas atas pertanyaan-pertanyaan seputar permasalahan filosofis yang telah diajukan oleh Frederic II, seorang Raja Romawi yang berkuasa pada masa itu. Ibnu Sab’in lahir tepatnya pada 614 H. (1217 M./1218 M.), di kota Mursiah, Andalus. Lahirnya Ibnu Sab’in, pada paruh awal abad ke-7 tepat pada masa akhir dinasti Muwahhidin berkuasa di Andalus (Spanyol). Ibnu Sab’in wafat pada 20 Syawal 668 H., pada usia 55 (lima puluh lima) tahun.

Ibnu Sab’in adalah nama dan julukan yang cukup aneh dan sekaligus nyentrik. Secara pemaknaan literalisnya, Ibnu Sab’in adalah ‘Sang Anak Tujuh Puluh’, bukan dalam pengertian anak biologis yang ke tujuh puluh dia dijuluki Ibnu Sab’in, melainkan karena setiap menulis nama menggunakan nama Abd al-Haq ditambah sebuah tulisah lingkaran: O. Dan satu waktu namanya ditulis dengan nama “Ibn O” (Anak Lingkaran). Dalam al-Qamus al-Muhiyt mengatakan bahwa “Lingkaran” (=O) adalah sesuatu yang meliputi segala sesuatu seperti sebuah kawasan, yang menurut ilmu Huruf sama sebanding atau senilai dengan huruf ‘Ain yang senilai 70 (tujuh puluh). Jadi jika dia menulis namanya dengan “Ibnu O”=’Ain=Ibnu Sab’in (Anak Tujuh Puluh).

Ibnu Sab’in memiliki beberapa julukan/sebutan, di antaranya “Aby Muhammad”, di dunia Timur-Islam dikenal dengan “Qatb al-Dien”. Namanya juga disandarkan kepada nama negara kelahirannya, seperti “al-Andalusi”, dan disandarkan pada nama salah satu daerah yang ada di Andalus, seperti “al-Mursiy-Murcia”,  “Riqatiy”, “al-Isbiliy” dan “al-Qasthalani”. Dan nama beken yang paling populer dan banyak dipakai adalah “Ibnu Sab’in”.

Selain doktrin al-wahdah al-wujud dari Ibnu Arabi, ternyata masih ada tipe kesatuan wujud yang lebih ekstrim, yaitu ‘al-Wahdah al-Mutlaqah-kesatuan mutlak’ yang merupakan hasil rekayasa rasa dan rasio Ibn Syabi’in. Secara esensil paham ini nampaknya sederhana karena katanya, wujud adalah satu yakni wujud Allah, sedangkan wujud-wujud lainnya itu adalah wujud Allah Yang Esa itu juga. Keberadaan segala sesuatu itu pada hakikatnya tidak berbeda dari wujud Yang Satu sehingga wujud hanya satu dan selalu satu, maka disebut kesatuan mutlak. Pola pikir Ibn Syabi’in ini berangkat dari satu aksioma yang disepakati, yaitu Tuhan adalah sumber dari segala yang ada, asal dari semua wujud pada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Namun perlu diingat, nampaknya konsep ‘ada’ menurut Ibn Syabi’in adalah bermakna spiritual-rohaniah, bukan material. Sebab, wujud ia gambarkan sebagai sebuah lingkaran yang porosnya adalah wujud mutlak yang transenden dan tiada batas, sedangkan wujud lainnya itu adalah nisbi dan berada di dalam lingkaran wujud mutlak itu. Atas dasar inilah ia mengatakan wujud itu hanya satu karena keduanya adalah sama. Hal ini berarti, bahwa yang mutlak dapat dilihat pada yang nisbi.36 Menurutnya, ajaran

36 Ibn Arabi, Futuhat, vol IV: 264. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.186.

23 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 24: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

ini bersumber dari al-Quran yaitu Surat al-Hadid 3 dan al-Qashash: 88 yang ia tafsirkan melalui pendekatan teori emanasi Neo-Platonisme.

MوSهMو SنXاطM Vب هSوM األو�لS وMاآلخXرS وMالظ�اهXرS وMالXيم� يVء� عMل Mل� شS Xك ب

“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir[*], Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS.AL-Hadiid [57]: 3)

[*]. Yang dimaksud dengan: Yang Awal ialah, yang telah ada sebelum segala sesuatu ada, Yang Akhir ialah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah, Yang Zhahir ialah, Yang nyata adanya karena banyak bukti- buktinya

dan Yang Bathin ialah yang tak dapat digambarkan hikmat zat-Nya oleh akal.

MوSال هX MهM إ Xل Mه�ا آخMرM ال إ Xل �هX إ MدVعS مMعM الل وMال تXهV Mي Xل VمS وMإ VحSك MهS ال Xال وMجVهMهS ل Xك� إ يVء� هMال Mل� شS ك

MونSعMج VرS ت“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain.

Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.”

(QS.Al-Qashash[28]: 88).

Konsep ini berangkat dari postulat bahwa wujud itu hanya satu, tidak banyak, yakni Tuhan sebagai Realitas Tunggal dan sebagai wujud mutlak, sedangkan wujud-wujud lainnya itu hanyalah illuminasi (pancaran) atau pantulan dari wujud mutlak melalui tajalli secara berantai. Dari wujud mutlak keluar Aqal al-Kulli dan atau Haqiqat al-Muhammadiyah. Aqal Awal adalah asal (penyebab) kejadian segala yang ada melalui proses ini: dari Aqal Awal melimpah (memancar) Nafs al-Kulliyat (jiwa alam) dan selanjutnya melimpah pula Jisim al-Kulli – yang dalam filsafat disebut hayula – yang disebut Ibn Arabi sebagai “habaa”. Habaa ini adalah wujud non-materi yang merupakan bahan baku bagi kejadian alam semesta ini. Penamaan “habaa” ini, menurut Ibn Arabi didasarkan pada al-Quran Surat al-Waqiah 6: Fakanat habaa an munbassa.37

maka jadilah dia debu yang beterbangan, DاءGب Gه JتGانGك Gف نJبGثOا Rم

Menurut konsepsi ini, wujud ada empat kualitas (macam), yaitu; (1) Allah sebagai Wujud Mutlak; (2) Aqal Awal atau Aqal Kulli atau Haqiqat al-Muhammadiyah; (3) Nafs al-Kulliyat; dan (4) Jisim Kulli atau habaa. Seluruh wujud makhluk ini adalah sempurna sesuai dengan urut-urutan kejadiannya, sesuai dengan jauh dekatnya dari Wujud Mutlak sebagai wujud Yang Sempurna. Tetapi alam ini bukanlah Tuhan, alam hanya sebagai penjelmaan dari (mazhar) Wujud Mutlak dan keberadaannya di alam ini adalah transenden bukan imanen, melalui proses tajalli (pelimpahan, pemancaran) bukan melalui emanasi.38 Apabila dihubungkan dengan alam semesta maka ia disebut

37 Ibn Arabi, Futuhat, vol II:226-227, 236. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.187.38 Ibn Arabi, Futuhat, vol IV: 334. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.187.

24 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 25: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

Haqiqat al-Haqaiq, tetapi apabila ia dikaitkan dengan segala yang ada, ia disebut “habaa” atau materi pertama.

Dari segi keberadaannya alam ini qadim karena secara konsepsional sudah ada dalam Ilmu Tuhan sejak azali.39 Tetapi diukur dari “beradanya” dalam bentuk materi, maka alam ini adalah hudust dan ia adalah bayangan atau shurah dari Wujud Mutlak. Alam dikatakan qadim karena ia adalah bagian dari Tuhan, dan alam disebut hudus karena ia memiliki bentuk (form) dan beraneka.40 Secara eksistensial, alam ini tidak didahului oleh waktu, dan berbentuk serta beraneka. Alam dan Tuhan sama-ama qadim dzamani tetapi berbeda dalam dzati Tuhan qadim zamani dan qadim dzati, namun pada alam terdapat aspek Ilahiyat secara transenden melalui tajalli, bukan karena emanasi. Alam apabila dilihat dari aspek lahiriah formal ia adalah hudust, tetapi apabila dilihat pada hakikatnya ia adalah qadim. Tuhan dan alam adalah sama dan satu, sedangkan yang nampaknya berbeda itu hanyalah bersifat inderawi belaka.41 Karena itu, Wujud Mutlak apabila dipandang dari aspek sebagai tempat bergantung dan asal segala yang ada, Dia itulah Tuhan. Tetapi apabila ditilik dari aspek pencakupannya atau transendensinya terhadap segala bentuk yang ada dan sebagai sumber daya bagi alam, dia disebut Aqal Awal atau Haqiqat al-Muhammadiyah. Apabila Wujud Mutlak sebagai Tuhan diartikan sebagai asal kehidupan bagi segala yang hidup, sdisebut Nafs Kulli. Namun apabila dipandang dari sudut bentuk segala benda yang merupakan manifestasi atau penampakan dari Wujud Mutlak, dia dikatakan Jisim Kulli. Sedangkan apabila ia dilihat sebagai materi, ia disebut Habaa atau hayula.42

Tetapi bagaimanapun semuanya itu pada hakikatnya adalah satu, dan inilah yang dimaksud denganwahdat al-Wujud, sebagaimana ia nyatakan dalam syair mistisnya.43

Dalam pandangan Ibn Arabi, tidak ada perbedaan antara Yang Satu dengan yang aneka atau antara Khaliq dan makhluk. Kalau pandangan mata nampak ada perbedaan, hal itu hanyalah karena seseorang itu tidak dapat melihat dengan mata hatinya sehingga ia tidak dapat melihat hakikat. Kemampuan memandang tembus apa yang ada di balik benda lahiriah, hanya dimiliki oleh orang ‘arif dan mereka itu selalu berucap:44

“Maha Suci Allah yang menciptakan segala sesuatu dari dzatnya, sehingga apabila kami melihat-Nya berarti kami melihat diri kami, dan apabila kami melihat diri kami maka kami juga melihat Dirinya”.

Oleh karena itu, apabila seseorang ingin mengenal Tuhan, mulailah dengan mengenal diri sendiri, sebab diri manusia adalah “copy” dari Tuhan. Dalam diri manusia ada aspek ke-Tuhan-an sehingga manusia dikatakan sebagai mikrokosmos. Kalau demikian halnya, apakan kesamaan manusia (dan makhluk lainnya) dengan Tuhan secara eksistensial dan juga substansial?

39 Ibn Arabi, Futuhat, vol II: 227. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.187.40 Ibn Arabi, Futuhat, vol IV: 335. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.188.41 Ibn Arabi, Futuhat, vol II: 76, 81. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.188.42Ibn Arabi, Fusus al-Hikam: 139, 239. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.188.43 Ibid.: 19. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.188.44 Ibid.: 175. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.189.

25 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 26: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

Apakah masih ada perbedaan manusia dari Tuhan. Untuk menjelaskan masalah itu dapat ditemukan dalam tuturan Ibn Arabi ini:45

“Kalau bukan karena-Nya atau karena “kita”niscaya tidak akan terjadi segala yang ada, saya menyembah yang al-Haqq dan “saya”. Allah adalah penghulu kita dan seesensi dengan-Nya, dan ketahuilah bahwa manusia adalah seesensi dengan-Nya.”

Manusia adalah hamba Tuhan karena Tuhan ber-illuminasi secara dzatiyah pada manusia (tajalli dzatiyah) sehingga manusia adalah Dzat Tuhan, karena kejadiannya yang demikian itu ia disebut Insan Kamil atau nuskhat Ilahi. Sedangkan makhluk selain manusia hanya menerima pancaran (tajalli) asma saja, sehingaga hanya beberapa aspek saja yang sama dengan Tuhan. Syair di atas jug mengandung pengertian, bahwa Tuhan sebagai penghulu manusia sebagai hamba. Tuhan kaya dalam segala hal, sedangkan manusia ada kekurangannya, yakni: adanya manusia tergantung pada adanya Tuhan, sedangkan adanya Tuhan karena dzat-Nya sendiri atau ada dengan sendirinya karena Dia adalah yang Wajib al-Wujud. Melalui bahasanya sendiri, Ibn Arabi mengatakan.46

Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan itu, tidak dapat dilihat dengan mata dan atau deserap oleh rasio, tetapi harus melallui al-hubb al-Ilahi yang dikembangkan melalui amal, taqwa dan suluk sehingga mencapai ma’rifat melalui kasyf. Kata Ibn Arabi : 47

Kemampuan itu ia peroleh karena ia telah sempai pada tingkatan kasyf, sudah terbuka semua tabir yang menghalanginya dari Tuhan sehingga ia dapat menyaksikan semua rahasia yang ghaib.

Selanjutnya ia mengatakan:48 Sebagai penjelasan kalimat di atas, Ibn Arabi menulis:49

“Hingga ia sampai pada suatu keadaan yang memungkinkannya untuk dapat melihat, mendengar dan berbicara melalui Tuhan serta bersama Tuhan”. Artinya, ia telah diberi Tuhan suatu kualitas kemampuan yang “sama” dengan Tuhan, sehingga seluruh perilakunya adalah”atas nama”Tuhan. Nampaknya pernyataan ini tidak jauh berbeda dari apa yang dikatakan al-Hallaj “ana al-haqq”, namun Ibn Arabi tidak pernah mengaku dirinya Tuhan dan atau menyatakan manusia sebagai Tuhan. Paling jauh ia mengatakan, bahwa manusia adalah shurah (bayangan) atau nuskhat Tuhan, serupa tapi tidak sama, karena secara transendental Tuhan berada pada segala yang ada. Kemampuan agar dapat mengetahui dan merasakan seperti itu, kata Ibn Arabi tidak memerlukan bimbingan orang lain, tetapi dapat langsug dari Tuhan, seperti halnya para Nabi dan Rasul. Cuma katanya, kalau para Nabi dan Rasul mendaptkan ilmu itu melalui malaikat tetapi Sufi dan aulia memperolehnya karena kasyf al-hijab.50”

Kenapa dan untuk apa Tuhan bertajalli atau menampakan diri melalui alam semesta, menurut teori ini karena Tuhan adalah Dzat Mutlak yang “Ia ta’ayun”- tidak dapat dideteksi. Maka andai kata Tuhan tidak bertajalli

45 Ibid.: 19. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.189.46 Ibn Arabi, Futuhat, vol II: 298. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.190.47 Ibn Arabi, Futuhat, vol IV: 236. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.191.48 Ibid. : 325. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.191.49 Ibrahim Hilal, Al Tasawuf al-Islam, Bainaad-Din wa’l Falsafah, Dar al-Nahdhiyah al-Arabiyah, Kairo, 1979:171 Bnd; Ibn Arabi, Futuhat, II:124. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.191-250 Ibn Arabi, Futuhat, vol IV: 224. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.192.

26 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 27: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

(menampakan diri) niscaya Tuhan akan selamanya berada dalam keghaiban dan tidak akan ada yang mengetahui dan mengenal-Nya. 51 Manusia dapat mengenal Tuhan hanya apabila dan atau sesudah Tuhan memanifestasikan diri-Nya menjadi sesuatu yang nyata atau a’yan sabit, yakni Aql al-awal. Dengan munculnya Aql al-awal, maka yang menyinari dan disinari saling mengetahui.52 Dan andaikata Tuhan tidak bertajalli, maka dunia seisinya ini tidak akan pernah ada, karena adanya alam ini disebabkan Tuhan (dzat Mutlak) melalui tajalli. Menurut konsepsi ini, Dzat Tuhan sebagai substansi yang mutlak, tidak mungkin dikenal karena tidak memiliki atribut atau nama dan sifatnya yang berupa jauhar dengan dua ‘ardh (accident), yakni ‘azali dan baqa. Substansi Tuhan mempunyai dua aspek, yaitu al-Haqq dan khalaq di samping dua sifat qadim dan hudus. Ia juga memiliki dua nama, yaitu Rabbun dan Abdun. Dzat Tuhan berada pada dua kawasan atau hadlarat, lahiriah atau alam dunia dan batiniah atau alam akhirat, semuanya memiliki dua lintas atau pasangan-pasangan.

Alam empiris ini adalah sifat (atribut) Wujud Mutlak yang merupakan refleksi al-Haqq dalam shurah atau form. Namun, katanya sifat adalah dzat karena sifat adalah refleksi dari dzat. Kondisi ini dapat dimisalkan bagaikan air dengan es, sehingga apabila dilihat dari hubungan dzat dengan sifat maka alam ini adalah wujud yang hakiki, karena alam ini adalah Wujud Tuhan juga dalam rupa sifat. Cuma saja wujud alam tergantung pada Wujud Mutlak, sedang Wujud Mutlak menjdadikan alam sebagai wadah penampakan-Nya. Dengan demikian, alam bukanlah Tuhan tetapi hanya sebagai pernyataan asma dan sifat Tuhan.53

Kalau tadi dikatakan, wujud makhluk adalah Dzat al-Haqq, apakah hal itu tidak berarti adanya kesatuan secara material atau wahdat al-Maddiyah. Apabila ditelusuri jalan pikiran Ibn Arabi – yang kadang-kadang kontradiktif – ternyata tidak ditemukan indikator yang jelas untuk menyatakan demikian. Dalam hal ini Ibn Arabi mengatakan:54

Katanya, “wujud yang hakiki hanyalah Wujud Allah, sedangkan wujud makhluk hanyalah bayang-bayang dari yang punya bayangan (Tuhan) atau gambaran dalam kaca dari yang mengaca. Maka makhluk adalah bayangan sedangkan al-Haqqadalah Yang Maha Suci dan makhluk adalah tiruan.” Artinya, seperti telah disebutkan terdahulu, bahwa tajalli Tuhan pada alam adalah dalam pengertian sebagai manifestasi Wujud Tuhan secara transenden pada segenap makhluk, bukan imanen pada alam. Dari pada-Nya segala yang berasal dan kepada-Nya pula semuanya akan kembali, inilah inti doktrin Wahdat al-Wujud atau “kesatuan Wujud”.55

51 Ibn Arabi, Futuhat, vol I : 218. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.192.52 R.A. Nicholson,op.cit.: 86, Bnd. Yusuf Musa, op.cit. : 278. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.193.53 Ibn Arabi, Futuhat, vol II:226,227,236. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.193.54 Dalam hal ini, ia membedakan antara “wujud” dan “eksistensi”. Ia memandang eksistensi sebagai spesies dari wujud. Setiap yang mempunyai wujud bisa dikatakan mempunyai eksistensi apabila dihubungkan dengan tingkatan wujud. Spesis wujud adalah:(1) Mutlak, yakni Tuhan, tak berkualifikasi, esensi kudus; (2) Nisbi, dunia fantasi, yang terdiri dari:(a) wujud bebas, substansi-substansi, (b) wujud tergantung, atribut-atribut, kejadian-kejadian. Wujud Nisbi dapat jadi aktual seperti halnya obyek-obyek, sehingga terkadang ia sebut juga sebagai “yang mungkin” atau a’yan sabit (contingent being), terletak di tengah-tengah antara Realitas Absolut dan dunia fenomena. Selanjutnya lihat: Futuhat, vol IV: 334. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.194.55 Ibn Arabi, Fusus: 1; bnd. R.A. Nicholson, op.cit.:150. Sebagaimana dikutip oleh Prof.H.A.Rivay Siregar, op.cit., h.195.

27 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 28: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

VII. KRITIK TERHADAP TASAWUF FALSAFI

Kritik terhadap tasawuf falsafi umumnya lebih banyak dinisbahkan kepada kritik terhadap pemikiran Ibnu Arabi, karena keluasan pengaruh pemikirannya dan pengungkapan ajaran tasawufnya oleh murid-muridnya.

Disamping banyaknya para pendukung terhadap pemikiran Ibnu Arabi, juga ada yang tak kalah semangat untuk mencela dan mencercanya.

Al-Syakhawi, adalah seorang sejarawan Mesir yang telah mendokumentasikan pendapat, wacana dan fatwa para ulama mengenai pemikiran Ibnu Arabi dalam kurun waktu tiga abad. Ada lebih dari 300 fatwa ulama yang mendukung dan menolak Ibnu Arabi sejak tahun 620 H hingga 895 H. Perhatian para ulama dilihat dengan banyaknya yang mensyarah hasil karya Ibnu Arabi. Tidak kurang dari 150 buku telah mengomentari bukunya yang terkenal ‘Fushush al-Hikam’ baik yang pro maupun yang kontra.

Al-Ghazali yang senantiasa memegang prinsip tidak lepas dari dua hal yang menjadi landasan akidah keislamannya, yaitu : 1) sakralisasi syariat ; 2) pola pandangnya terhadap ketuhanan, mengkritisi paham ‘wahdah al-wujud’ menyatakan bahwa Allah itu dzat tunggal yang berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya. Dia (Allah) mengekspresikan segala sifat kesempurnaan yang ada dalam diri manusia sebagai ‘tahap persiapan’ untuk mengenal Tuhan.

Menurut al-Ghazali, “Hamba ya Hamba. Tuhan, ya Tuhan’. Keduanya tidak bisa saling mengganti, yang satu tidak akan menjadi yang lain. Pengetahuan kita tentang Tuhan sangat bergantung kepada kehendak Tuhan. Ia mengenalkan diri kepada kita melalui wahyu yang disampaikan kepada para nabi dan rasul, yang notabene hamba-hamba-Nya”56

Ibn Taimiyah memulai kritiknya terhadap Ibn ‘Arabi terhadap pertanyaannya dalam Fushush al-Hikam ; ‘ Persoalannya membingungkan. Kebingungan sama dengan kegundahan, padahal gerak itu kehidupan ......”

Menurut Ibn Taimiyah, buku dan karya Ibn ‘Arabi menyimpan pemikiran yang jauh melenceng dari ajaran agama dan tekstualitas (manthuq) al-Quran dan Sunnah Nabi. Ia mengaku sangat kaget dengan apa yang ada dalam buku al-Futhuhat al-Makkiyyah ketika Ibnu ‘Arabi menyatakan bahwa ia mendapatkan perintah dari Rasulullah SAW.57

Sebagian ulama menggolongkan Ibn Arabi sebagai orang yang ingkar dan kafir. Sebagian lain menganggapnya sebagai orang yang mencapai ma’rifah dan simbol dari ahli ibadah. Ada golongan ketiga yang abstein karena tidak yakin apakah Ibn ‘Arabi akan membawa mati keyakinan itu atau tidak. Dalam konteks ini Ibn Taimiyah berkata :”Allah Maha Mengetahui keadaan Ibn ‘Arabi ketika ia meninggal”. Lalu ia menjelaskan panjang lebar pendapat, analisis, dan kritiknya terhadap Ibn ‘Arabi. Ada tiga hal pokok yang menjadi sasaran kritik dari Ibn Taimiyah, tapi al-Fayumi melihat dua hal yang utama atas kritik Ibn Timiyah, yaitu58 :56 Dr.Muhammad Ibrahim al-Fayumi, Ibn ‘Arabi, Menyingkap kode dan menguak simbol di balik paham Wihdat al- Wujud, Erlangga, Jakarta : 2007. h.52.57 Idem. Op.cit.h.11458 Idem, Op.cit. h.115-23.

28 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 29: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

Pertama, persoalan ketuhanan dan ibadah. Aliran wihdat al-wujud berpusar pada pernyataan bahwa segala sesuatu itu satu, yang berimplikasi bahwa penyembahan kaum Musa terhadap anak sapi (‘ijl) sama dengan penyembahan kepada Allah. Dalam syair berikut, Ibn ‘Arabi bertutur tentang hal ini :

Ketika sebelumnya aku benci sahabatkuJika agamaku dan agamanya bedaEsok harinya hatiku menerima segala rupaGembala rusa, pastur di gereja, pemuja berhala,Orang yang thawaf di Ka’bahAjaran Taurat dan lembaran Qur’anAgamaku adalah cintaKemanapun para pemuja membawanyaCinta itu agamaku dan keyakinanku

Ibn ‘Arabi juga pernah berkata, “Seorang mencapai makrifat akan mampu melihat kebenaran dalam segala hal. Bahkan, ia mampu mengetahui esensi segala sesuatu.” Tidak heran jika penganut aliran ini menyimpan sesuatu yang “lebih berbahaya” (akhtar) dari ini ketika Ibn ‘Arabi mengemukakan satu pendapat yang menyalahi (yukhalif) ayat al-Qur’an ketika berbicara mengenai Musa. Katanya, “Musa itu ‘anak emas’ Firaun, yang beriman ketika ia akan tenggelam. Ia mati dalam keadaan suci, disucikan, tidak terkotori sama sekali. Ia mati membawa keimanannya, sebelum satu dosapun dilakukannya.”Menurut Ibn Taimiyah, pernyataan Ibn ‘Arabi di atas belum pernah dikeluarkan oleh seorang ulama ahli kiblat (ulama Muslim) pun, karena ayat al-Quran dengan sangat jelas menyatakan bahwa Firaun itu fasik, menentang Musa, zalim, dan mengajak kepada kesesatan.Kedua, pernyataan Ibn ‘Arabi bahwa seorang wali lebih utama dari pada nabi. Ibn ‘Arabi berkata, “ Seorang wali lebih sempurna dari pada nabi dan rasul. Seorang wali yang mengikuti nabi atau rasul lebih mulia darinya. Seorang pengikut tidak akan pernah bisa melampaui orang yang diikutinya, dalam hal yang dia ikuti. Jika ia bisa melampaui orang yang dia ikuti, maka ia bukanlah seorang pengikut.” Pernyataan ini menyimpan banyak kerumitan, karena ia secara tidak langsung mengatakan bahwa seorang wali lebih mulia dari pada seorang nabi. Ibn ‘Arabi memoles pernyataannya dan berputar-putar dengan komentarnya. Tetapi Ibn Taimiyah menemukan bukti bahwa Ibn ‘Arabi mengatakan secara langsung di dalam pernyataannya yang lain, tanpa ragu.Dalam Fushush al-Hikam, ada satu pertanyaan yang sangat jelas dari sosok sufi yang filsuf ini. Menurutnya, kekuasaan itu cakrawala umum yang maha luas. Dengan begitu, tradisi kenabian umum (al-inba ‘al-‘alam) tidak akan terputus, sedangkan kenabian (pembawa) syariat dan risalah jelas telah terputus.Yang lebih parah lagi adalah pernyataan orang-orang yang meyakini bahwa kenabian bisa diperoleh dengan perjuangan (muktasabah). Mereka memberikan tiga ciri khusus terhadap kenabian berdasar klasifikasi Ibn Sina. Pertama, kekuatan nalar untuk mendapatkan ilmu

29 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 30: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

tanpa harus belajar. Kedua, semedi (al-infirad) dan kekuatan imajinasi. Ketiga, kekuatan mental yang mampu mempengaruhi dunia. Tak heran jika masing-masing dari al-Suhrawardi al-Maqtul dan Ibn Syab’in sama-sama mengejar kenabian. Ibn Syab’in berkata, “Aku telah menambahkan kata ‘nabi orang Arab’ dalam hadits ‘tidak ada nabi sesudahku’Persoalan ketiga yang dikritisi oleh Ibn Taimiyyah adalah tentang teori Jabariyyah (fatalisme) dalam aliran wahdah al-wujud yang berimplikasi bahwa mereka ingin mengatakan bahwa Allah tidak ada hubungannya sama sekali dengan perbuatan buruk dan baik seseorang, juga tidak memberikan manfaat atau bahaya. Semua itu murni berasal dari diri yang bersangkutan, juga murni karena keberadaan seseorang.Ibnu Taimiyah juga mengkritik Ibn ‘Arabi dalam penafsiran ayat, “Allah memutuskan, janganlah kalian semua menyembah kecuali Dia.” (QS. Al-Isra’ [17] : 23) bahwa “memutuskan” disini tidak berarti “kepastian”, tetapi “perintah”.Jika kita kembali kepada faktor kedua yang menyebabkan Ibn ‘Arabi lebih mengutamakan Musa daripada Harun, maka kita akan menemukan alasan Ibn Arabi yang mengatakan bahwa Musa sebenarnya, sangat yakin bahwa Bani Israil tidak menyembah anak sapi (‘ijl). Mereka menyembah Allah dalam rupa ‘ijl. Dan, rupa tidak akan kekal. Dia akan musnah (dengan sendirinya), seandainya saja Musa tidak keburu membakarnya. Selaras dengan aliran Wihdat al-Wujud-nya, ‘ijl dianggap sebagai salah satu dari penampakan Tuhan.Menurut Ibn Taimiyah, Buku Fashsh Hikmah Imamiyyah fi Kalimah Haruniyyah memuat ide-ide berbahaya dari Ibn ‘Arabi dalam persoalan ketuhanan. Semuanya berkisar seputar penentangan terhadap teori “pemisahan” (al-fashl) antara Tuhan dengan semesta, usahanya untuk menampakkan sifat Tuhan dengan semesta, usahanya untuk menampakkan sifat Tuhan di dalam semua makhluk, termasuk di dalam berhala yang disembah orang-orang Arab di masa jahiliah, bahkan semua sesembahan di muka bumi seperti pepohonan, hewan, manusia dan bintang-bintang. Argumentasi yang di sampaikan bertumpu pada teori ketuhanan bahwa Tuhan menampakkan diri dalam segala. Dia disembah dalam segala rupa. Menyembahnya bukanlah menyembah bentuknya, tetapi menyembah Tuhan yang “bersemayam” di dalamnya (fiha), untuk meneguhkan teori “penampakan” (al-tajalli) yang mereka dengungkan.Teori yang menyatakan bahwa wali lebih utama daripada nabi, menurut Ibn ‘Arabi, masih terus bertahan, karena risalah yang terputus hanyalah “turunnya aturan-aturan Tuhan ke dalam hati manusia melalui perantara wahyu”. Ini berbeda dengan ketetapan nonsyariat. Pelajaran-pelajaran Tuhan yang mengokohkan kebenaran aturan yang ada – atau kesalahannya – tidaklah terputus. Ini ditambah lagi dengan asumsi bahwa Al-Quran masih terus turun ke dalam hati para wali, tidak terputus. Walau hafal, tetapi mereka memiliki intuisi sendiri. Pendapat ini menurut riwayat sebagian ulama sufi.

30 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 31: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

Di tengah diskursus – apakah tasawuf-filsufis (al-tashawwuf al-falsafi) yang telah membentuk syariat ataukah sebaliknya –, kita bisa menyatakan bahwa keduanya (tasawuf-filsufis dan syariat Isma’ili) sama-sama berperan dan digunakan untuk penyebaran dakwah. Orang-orang sufi yang filsuf juga menggunakan pemikiran Syiah al-Bathiniyyah dengan sangat piawai, dengan nama yang berbeda-beda – seperti al-wilayah (wilayah kekuasaan), al-mahdiyyah, kekuasaan terakhir, risalah, atau wilayah kekuasaan para syekh (masyikhah) – dan Isma’iliyyah juga menggunakan teori bahwa “pejuang” (al-qa’im) lebih utama dari nabi. Dari teori Ibn ‘Arabi yang lebih mengutamakan seorang wali daripada nabi bisa dilihat adanya hubungan antara dia dengan pemikiran Isma’iliyyah Bathiniyyah yang mengatakan bahwa seorang “pejuang” lebih utama dari seorang nabi. Salah satu yang menjelaskan hubungan ini, pendapat Ibn Sab’in, salah seorang penegak aliran wihdat al-wujud; yang mengatakan bahwa kenabian tidak terputus. Ini teori murni aliran Isma’iliyyah.Citra populer Ibn Taimiyah di Barat tentang Islam di masa modern

diungkapkan oleh penulis-penulis Barat bahwa beliau dalah tokoh yang mengkritik sufisme tanpa ampun dan menyatakan tidak ada tempat baagi para sufi di dalam Islam adalah tidak benar. Sebenarnya adalah beliau tidak membabi buta dalam mengkritisi sufisme, pada satu ketika mungkin kritiknya pedas dan pahit, tetapi secara keseluruhan sebenarnya simpatik, sebagaimana sikap umumnya beliau digambarkan dalam kutipan berikut ini : “ Beberapa orang telah menerima segalanya dari Sufisme, ada yang baik, dan ada yang jelek; sedang yang lain menolak seluruhnya, baik yang benar maupun yang salah, sebagaimana dilakukan oleh para ahli ilmu kalam dan ilmu fiqh. Maka sikap yang baik terhadap sufisme, atau segala ssuatu yang lain, adalah menerima hal-hal yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah, dan menolak segala yang bertentangan”.59

Ibn Taymiyah mengkritisi secara adil gagasan, praktek dan pribadi-pribadi kaum sufi dalam tiga kategori, yaitu60 :

1. Sufi yang disebutnya sebagai masyaikh al-islam, masyaikh al-Kitab wa al-Sunnah, yakni para sufi yang tidak pernah mabuk, tidak kehilangan perasaan dan mampu membedakan, atau berkata yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, kehidupan dan pengalaman mereka sesuai dengan syari’ah (mustaqim al-ahwal), diantaranya adalah : Fudhail bin Iyadh (wafat 187/803), Ibrahim bin Adham (wafat 160/777), Syaqiq al-Balkhi (wafat 194/810), Abu Sulaiman al-Darani (wafat 215/831), Ma’ruf al-Kharki (wafat 200/815), Bishri al-Khafi (wafat 227/841), Sari al-Saqathi (wafat 257/871), al-Junaid bin Muhammad (wafat 297/909), Sahl bin Abdullah al-Tustari (wafat 283/897) , dan Amr bin Utsman al-Makki (wafat 291/904), Abdul Qadir

59 Majmu’ Fataw Syaikh ‘l –Islam Ibn Taymiyah, disusun oleh Abd’l-Rahman ‘l-Asimi dan putranya Muhammad, Riyadh, Vol.X, halaman 82. Karya ini selanjutnya dibicarakan dalam Fatawa Shaykh ‘l-Islam. Sebagaimana dikutip oleh Dr.Muhammad Abd.Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syari’ah : Kajian besar terhadap sufisme-Syekh Ahmad Sirhindi, Rajawali, Jakarta : 1999. h.190.60 Dr.Muhammad Abd.Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syari’ah : Kajian besar terhadap sufisme-Syekh Ahmad Sirhindi, Rajawali, Jakarta : 1999. h.190-2

31 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 32: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

al-Jilani (wafat 561/1166), Syekh Hammad al_dabbas (wafat 525/1130), dan Syekh Abu al-Bayan (wafat 551/1156).

2. Para Sufi yang pengalamannya dalam fana dan mabuk (sukr) telah melemahkan kemampuan mereka untuk membedakan, dan membuat kata-katanya menjadi salah, sehingga kehilangan pengendalian atas nalarnya dan sebagian darinya melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan oleh syari’ah, antara lain : Abu Yazid al-Busthami (wafat 261/875), Abu al-Husain al-Nuri (wafat 295/907), dan Abu Bakar al-Syibli (wafat 334/946).

3. Para Sufi yang mempercayai gagasan dan doktrin-doktrin yang bertentangan dengan ajaran Islam, atau melakukan kegiatan-kegiatan yang dikutuk Syari’ah, diantaranya adalah al-Hallaj (wafat 309/922). Kategori sufi ketiga inilah yang banyak dikritisi oleh Ibn Taymiyah. Beliau mengatakan bahwa al-Hallaj adalah penganut doktrin reinkarnasi sebagian (khulul khash-sh), sebagaimana yang diyakini orang Nasrani terhadap Yesus. Al-Hallaj juga dituduh melakukan praktek magis dan sihir. Selanjutnya adalah sufi yang mempercayai doktrin Zat Tunggal (al-Wahdah al-Wujud), antara lain Ibn Arabi (wafat 638/1240), Sadruddin al-Qunawi (wafat 672/1273), Ibn Sab’in (wafat 668/1269) dan Tilimsani (wafat 690/1291).

Menurut Ibn Taymiyah dari paham al-wahdah al-wujud yang masih terdekat dengan ajaran Islam adalah tentang perbedaan antara yang terlahir (al-Dzahir, Manifest) dengan obyek pelahiran (manifestasi, Madzahir), serta penerimaannya atas perintah dan larangan syari’ah, disamping beberapa prinsip lainnya. Ibn Taymiyah mengkritik Ibn ‘Arabi atas keyakinannya tentang wujud (dzat/eksistensi) yang satu, dan wujud dunia sama dengan wujud Tuhan, dan objek merupakan determinasi Tuhan. Ia berfikir bahwa Ibn ‘Arabi tidak dapat menjelaskan perbedaan antara Tuhan dan Dunia dengan merujuk pada esensi hal-hal yang sebenarnya tidak berakar pada eksistensi. Ibn Taymiyah juga tidak mencela pengalaman Sufi dalam fana dan baqa, dan mengakui itu bagian dari perjalanan Sufi menjadi sedemikian larut (hingga mabuk) dalam Tuhan sehingga mereka melupakan diri mereka dan merasa bersatu dengan Tuhan adalah perbuatan yang bisa dimaafkan karena mereka sedang dalam keadaan tidak wajar/normal.

Ibn Khaldun juga mengatakan (mengkritisi) bahwa sufi-sufi falsafi menseriusi model keterkuakan (kasyf) semacam itu, dan membicarakan hakikat-hakikat wujud di langit dan di bumi. Namun mereka tak jelas dalam tujuan. Sebab perkataan-perkataan mereka berkaitan dengan intuisi dan naluri, sehingga orang-orang yang bukan kalangan mereka sendiri, tak akan mampu memahami berkataan-perkataannya. Intuisi-intuisi tersebut tidak tunduk pada dalil ataupun bukti. Ia adalah sebuah naluri. Di samping itu, mereka sengaja berteka-teki dengan menggunakan terma-terma filsafat yang tidak dipahami oleh luar kalangan mereka sendiri. Perkataan mereka secara umum ”Tak bisa ditangkap oleh ahki fikir karena kesamaran dan ketertutupannya.” 61 Ibn Khaldun juga menyebutkan contoh-contoh pemikiran mereka tentang wujud

61 Muqaddimah, Ibnu Khaldun, h.330. Sebagaimana dikutip oleh Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam : Telah Historis dan Perkembangannya, Gaya Media Pratama, Jakarta ; 2008. h.236-7

32 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 33: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

dan kemunculannya dari zat yang mewujudkannya serta urutan-urutannya, Hakikat Muhammadiyah, wahdatul wujud Mutlak, dan terma-terma yang digunakan di dalamnya.Ibn Khaldun membantah perkataan mereka tentang kesatuan (wahdah), dengan menjelaskan bahwa itu diakibatkan oleh penafsiran yang salah terhadap fana’ . ia berkata: “Dalam pemikiran tersebut, mereka mengingkari adanya ketersusunan dan banyak dari berbagai macam segi. Yang memunculkan pemikiran tentang kesatuan mereka tersebut tak lain adalah sebuah khayalan dan imajinasi belaka. Padahal sufi-sufi yang sesungguhnya pada masa terakhir malah mengatakan bahwa seorang murid saat mengalami kasf, harus menolak khayalan-khayalan tentang kesatuan, yang mereka katakan sebagai maqom (tingkatan) penyatuan. Kemudian ia mendaki kembali hingga akhirnya mampu membedakan kembali antar wujud-wujud, dan mereka namakan itu sebagai maqom pemisahan. Ini adalah maqom seorang Arif yang sesungguhnya. Oleh karena itu, seorang murid harus menyingkirkan rintangan-rintangan penyatuan. Hal ini merupakan sebuah rintangan yang amat susah, sebab ia merasa takut seandainya berhenti dalam rintangan itu, sehingga sia-sialah apa yang dilakukannya itu.62

Kemudian Ibnu Khaldun mengomentari ungkapan-ungkapan yang bermasalah dari sufi-sufi falsafi : “ Sedangkan perkataan-perkataan yang membingungkan, yang dikenal dengan sebutan Syathahat, adalah salah menurut ahli syariat. Ketahuilah! Sebenarnya mereka adalah orang yang absen dari indera, dan sesuatu yang datang telah menguasai mereka sehingga mengatakan perkataan-perkataan tersebut tanpa sengaja. Orang-orang yang sedang absen tidak terkena khitab (pesan tuhan), dan orang yang terpaksa adalah dimaafkan. Barang siapa yang mengetahui keutamaannya dan juga mensuritauladaninya, akan berprasangka baik terhadap perkatannya tersebut. Mengungkapkan apa yang ada dalam perasaan adalah sangat susah, karena tidak ada tempatnya. Sebagaimana yang terjadi pada diri Abu Yazid dan semisalnya. Barang siapa yang tidak mengetahui keutamaannya dan ketenarannya, pasti akan menyalahkan segala sesuatu yang keluar darinya. Jika perkataannya tersebut kurang jelas, maka akan mendorong kita untuk melakukan pentakwilan. Ketika mengatakan perkataan-perkataan semacam itu, dirinya sedang dalam keadaan sadar, dan tidak dikuasai oleh kondisinya, maka itu harus disalahkan. Oleh karena itu, para fuqaha’ dan pembesar sufi mengeluarkan fatwa untuk membunuh al-Halaj karena ia mengatakan perkataan tersebut dalam keadaan sadar. Ia adalah orang yang menguasai kondisinya, dan Allah lebih tahu tentang hal itu.”63

Para rasul tidak menganjurkan wahdat al-wujud (kesatuan dzat), mereka bahkan menganjurkan Kesatuan Tuhan (wahdat al-ma’bud); dan tidak ada pembenar wahdat al-wujud di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.64

Ajakan Rasul adalah untuk memurnikan transendensi, dan isi pesan yang termaktub dalam al-Qur’an adalah untuk meyakini sifat-sifat lain dari Tuhan. Para Rasul telah menghancurkan kepercayaan kepada Tuhan yang keliru, baik 62 Muqaddimah, Ibnu Khaldun, h.339. Idem, op.cit.h.23763 Muqaddimah, Ibnu Khaldun, h.333. Idem, op.cit.h.23864 Dr.Muhammad Abd.Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syari’ah : Kajian besar terhadap sufisme-Syekh Ahmad Sirhindi, Rajawali, Jakarta : 1999. h.315

33 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 34: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

berbentuk manusia maupun bukan manusia, dan mengajak umatnya agar menyangkal dan mengingkari Tuhan-Tuhan palsu. Mereka mengajari manusia tentang kesatuan Tuhan (Tauhid), Tuhan yang khas, unique, dn tidak dapat dirumuskan dan diformulasikan dalam bentuk-bentuk dan bayangan-bayangan karena ‘kemahaagungan-Nya’. Rasul-Rasul Allah diutus kepada manusia tidak untuk meyakini dan mempraktekkan ‘ajaran imanensi, iluminasi dan panteisme’, dan menyatakan bahwa makhluk merupakan perwujudan Maha Pencipta. Seluruh Rasul sepakat menerima keesaan ilahi dan menolak semua Tuhan selain Dia (Allah), sebagaimana dikatakan oleh Tuhan sendiri dalam al-Qur’an Surah Ali Imran [3] : 64 :

MوVا MعMال MابX ت Xت Vك MهVلM ال Mا أ قSلV يXمMة� Mل XلMى ك Mا إ Mن Vن Mي وMاء� ب Mس

�هM وMال Xال الل SدM إ MعVب ال نM SمV أ Mك Vن Mي وMب

XهX رXكM ب VشS �خXذM ن Mت �ا وMال ي Vئ ي Mش VنXا م� Mاب ب Vر

M MعVض�ا أ Mا ب MعVضSن بVنX �هX فMإ �وVا دSونX الل MوMل ت

�ا Mن Xأ هMدSوا ب Vوا اشS فMقSولMونSمX ل VسSم

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".

Wallahu a’lam bishshawab....

34 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).

Page 35: TASAWUF FALSAFI  Pemikiran Tasawuf Filsafat

Kepustakaan

Abd.Haq Ansari, Dr.Muhammad, Antara Sufisme dan Syari’ah, Rajawali, Jakarta : 1999.

Al-Fayumi, Dr.Muhammad Ibrahim, Ibn ‘Arabi : Menyingkap kode dan menguak simbol di balik paham Wihdat al-Wujud, , Erlangga, Jakarta : 2007

Al-Jaili, Syekh Abd. Karim Ibn Ibrahim, Insan Kamil : Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia dengan Sang Khalik hingga Akhir Zaman, Pustaka Hikmah Perdana, Surabaya : 2005

Al-Taftazani, Abu Wafa’ al-Ghanimi, Tasawuf Islam : Telah Historis dan Perkembangannya, Gaya Media Pratama, Jakarta ; 2008

Daudy, Dr.Ahmad, Kuliah Ilmu Tasauf, Bulan Bintang, Jakarta : 1998

Labib, Muhsin, Mengurai Tasawuf Irfan & Kebatinan, Lentera, Jakarta : 2004

Nasution, Harun, Falsafa dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta,1978

Nasr, Seyyed Hossein, Eksiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, Manifestasi, Mizan, Bandung : 2003

Nasr, Seyyed Hossein, Eksiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, Fondasi, Mizan, Bandung : 2002

Siregar, Prof.H.A.Rivay, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Edisi Revisi, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cetakan Kedua, Juni 2002

Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta : 1986

35 | TASAWUF FALSAFI-Pemikiran Tasawuf Filsafat, Presented by Hasanudin Arinta Kusrin Ketua Yayasan Bina Cendekia Indonesia (Alumni Pascasarjana Kajian Islam & Psikologi – Kajian Timur Tengah & Islam-Universitas Indonesia).