lastri wahyuni manurung bahasa mempengaruhi budaya …

20
173 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2) Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA ATAU BUDAYA MEMPENGARUHI BAHASA? (STUDI KASUS: STRATEGI KESANTUNAN DALAM TAWAR- MENAWAR MAHAR DI SIDAMANIK) DOES LANGUAGE INFLUENCE CULTURE OR CULTURE INFLUENCE LANGUAGE? (CASE STUDY: POLITNESS STRATEGY IN MAHAR BARGAINING IN SDAMANIK) Lastri Wahyuni Manurung Universitas HKBP Nommensen Alamat: Jalan Sutomo, No 4A, Medan, Sumatera Utara [email protected], [email protected] Abstrak Pada dasarnya bahasa dan budaya saling berhubungan dan terikat satu sama lain. Bahasa juga mampu mencerminkan budaya seseorang. Salah satu contoh kegiatan kebudayaan adalah prosesi yang terdapat pada pernikahan adat Batak Toba, yaitu marhata sinamot (tawar-menawar mahar). Penelitian tentang strategi kesantunan dalam kegiatan marhata sinamot ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Data diperoleh dari percakapan yang disampaikan ketika para juru bicara sedang berdiskusi atau bernegosiasi tentang jumlah mahar. Lokasi penelitian adalah di Kecamatan Sidamanik. Total jumlah juru bicara yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 orang, yang diperoleh dari 5 rekaman kegiatan marhata sinamot. Hampir semua juru bicara bekerja sebagai petani, beberapa diantara mereka adalah pensiunan perkebunan, dan pedagang. Mereka berusia antara 45-70 tahun. Hasil temuan menunjukkan bahwa strategi kesantunan yang digunakan oleh juru bicara pada kegiatan marhata sinamot adalah strategi kesantunan positif yakni membesar besarkan perhatian, persetujuan, simpati, menggunakan penanda identitas kelompok, dan menyatakan paham akan keinginan mitra tutur. Strategi kesantunan negatif juga digunakan, yaitu: tunjukkan pesimisme, meminimalkan paksaan, meminta maaf, dan memberikan penghormatan. Kondisi sosiokultural seorang penutur berpengaruh terhadap tuturan yang dihasilkannya. Prinsip kebudayaan masyarakat Batak Toba tentang somba marhula-hula, manat mardongan tubu serta elek marboru dalam tatanan dalihan na tolu, juga berpengaruh terhadap bahasa dan strategi kesantunan yang digunakan oleh penutur. Hasil temuan ini sekaligus dapat menjadi jawaban logis bahwa budaya lah yang mempengaruhi bahasa. Kata Kunci: Bahasa, Batak Toba, Budaya, Dalihan Na Tolu, Strategi Kesantunan. Abstract Basically, language and culture are interconnected and bound to one another. Language is also able to reflect one’s culture. One example of cultural activities is the procession found in the traditional Batak Toba wedding, namely marhata sinamot (the dowry bargaining). This research on politeness strategies in marhat a sinamot activities was a qualitative descriptive research. The data has been obtained through conversations delivered when the spokesmen discussing or negotiating the amount of the dowry. The research site is in Sidamanik Sub-District. The total number of spokespersons who have participated in this study is 30, and this has been obtained from 5 recordings of the marhata sinamot activities. Almost all of the spokesmen are farmers, some of them are retired- men and traders. Their ages are between 45-70. The findings show that the politeness strategies used by the speakers in marhata sinamot are positive politeness strategies, which are exaggerating (interest, sympathy, etc with the hearer), seeking for agreement, giving hearer sympathy, using in-group identity markers, and asserting speaker’s knowledge of and concerning for hearer’s wants. Negative politeness strategies are also used, namely: asking for empathy, minimizing the imposition, apologizing, and giving deference. The sociocultural condition of a speaker affects the speech they produce. The cultural principles of the Toba Batak community regarding somba marhula-hula, manat mardongan tubu and elek marboru’ in a principle of daliha na tolu have also influenced the language and politeness strategies used by speakers. These findings can be a logical answer that culture influences language. Keywords: Language, Toba Batak, culture, dalihan na tolu, politeness strategies. Naskah Diterima 18 September 2020—Direvisi Akhir 3 November 2020—Diterima 4 November 2020

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

1732020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Lastri Wahyuni Manurung

BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA ATAU BUDAYA MEMPENGARUHI BAHASA? (STUDI KASUS: STRATEGI KESANTUNAN DALAM TAWAR-

MENAWAR MAHAR DI SIDAMANIK)DOES LANGUAGE INFLUENCE CULTURE OR CULTURE INFLUENCE

LANGUAGE? (CASE STUDY: POLITNESS STRATEGY IN MAHAR BARGAINING IN SDAMANIK)

Lastri Wahyuni ManurungUniversitas HKBP Nommensen

Alamat: Jalan Sutomo, No 4A, Medan, Sumatera [email protected], [email protected]

AbstrakPada dasarnya bahasa dan budaya saling berhubungan dan terikat satu sama lain. Bahasa juga mampu mencerminkan budaya seseorang. Salah satu contoh kegiatan kebudayaan adalah prosesi yang terdapat pada pernikahan adat Batak Toba, yaitu marhata sinamot (tawar-menawar mahar). Penelitian tentang strategi kesantunan dalam kegiatan marhata sinamot ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Data diperoleh dari percakapan yang disampaikan ketika para juru bicara sedang berdiskusi atau bernegosiasi tentang jumlah mahar. Lokasi penelitian adalah di Kecamatan Sidamanik. Total jumlah juru bicara yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 orang, yang diperoleh dari 5 rekaman kegiatan marhata sinamot. Hampir semua juru bicara bekerja sebagai petani, beberapa diantara mereka adalah pensiunan perkebunan, dan pedagang. Mereka berusia antara 45-70 tahun. Hasil temuan menunjukkan bahwa strategi kesantunan yang digunakan oleh juru bicara pada kegiatan marhata sinamot adalah strategi kesantunan positif yakni membesar besarkan perhatian, persetujuan, simpati, menggunakan penanda identitas kelompok, dan menyatakan paham akan keinginan mitra tutur. Strategi kesantunan negatif juga digunakan, yaitu: tunjukkan pesimisme, meminimalkan paksaan, meminta maaf, dan memberikan penghormatan. Kondisi sosiokultural seorang penutur berpengaruh terhadap tuturan yang dihasilkannya. Prinsip kebudayaan masyarakat Batak Toba tentang somba marhula-hula, manat mardongan tubu serta elek marboru dalam tatanan dalihan na tolu, juga berpengaruh terhadap bahasa dan strategi kesantunan yang digunakan oleh penutur. Hasil temuan ini sekaligus dapat menjadi jawaban logis bahwa budaya lah yang mempengaruhi bahasa.Kata Kunci: Bahasa, Batak Toba, Budaya, Dalihan Na Tolu, Strategi Kesantunan.

AbstractBasically, language and culture are interconnected and bound to one another. Language is also able to reflect one’s culture. One example of cultural activities is the procession found in the traditional Batak Toba wedding, namely marhata sinamot (the dowry bargaining). This research on politeness strategies in marhat a sinamot activities was a qualitative descriptive research. The data has been obtained through conversations delivered when the spokesmen discussing or negotiating the amount of the dowry. The research site is in Sidamanik Sub-District. The total number of spokespersons who have participated in this study is 30, and this has been obtained from 5 recordings of the marhata sinamot activities. Almost all of the spokesmen are farmers, some of them are retired-men and traders. Their ages are between 45-70. The findings show that the politeness strategies used by the speakers in marhata sinamot are positive politeness strategies, which are exaggerating (interest, sympathy, etc with the hearer), seeking for agreement, giving hearer sympathy, using in-group identity markers, and asserting speaker’s knowledge of and concerning for hearer’s wants. Negative politeness strategies are also used, namely: asking for empathy, minimizing the imposition, apologizing, and giving deference. The sociocultural condition of a speaker affects the speech they produce. The cultural principles of the Toba Batak community regarding ‘somba marhula-hula, manat mardongan tubu and elek marboru’ in a principle of daliha na tolu have also influenced the language and politeness strategies used by speakers. These findings can be a logical answer that culture influences language.Keywords: Language, Toba Batak, culture, dalihan na tolu, politeness strategies.

Naskah Diterima 18 September 2020—Direvisi Akhir 3 November 2020—Diterima 4 November 2020

Page 2: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

174 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Bahasa mempengaruhi ...

1. PENDAHULUAN

Bahasa digunakan oleh manusia untuk menyampaikan ide, gagasan, keinginan, perasaan, dan pengalaman kepada orang lain. Hal tersebut senada dengan pendapat Wardhaugh (1998) yang mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat untuk berkomunikasi bagi manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia tidak dapat lepas dari kegiatan berbahasa, karena bahasa merupakan alat komunikasi antarmanusia. Bahasa merupakan sarana pemertahanan kebudayaan. Sebuah kebudayaan akan mampu dimengerti, dipahami, dan dijunjung oleh penerima budaya jika mereka mengerti bahasa pengantar kebuadayaan tersebut. Meskipun demikian, ternyata bahasa suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat tersebut.

Koentjaraningrat dalam bukunya Sosiolinguistik (1985), menyatakan bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup, belajar, berpikir, merasa, memercayai, dan mengusahakan sesuatu yang patut menurut budayanya. Budaya merupakan pengetahuan yang diperoleh dan digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial (Spradley, 1997:5). Bahasa adalah hasil budaya suatu masyarakat yang kompleks dan aktif. Bahasa dikatakan kompleks karena di dalamnya tersimpan pemikiran-pemikiran kolektif dan semua hal yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Bahasa dikatakan aktif karena bahasa terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena sifatnya yang kompleks tersebut, dapat dikatakan bahwa bahasa adalah aspek terpenting dalam mempelajari suatu kehidupan dan kebudayaan masyarakat (Purba, dkk: 39.

Bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan sederajat yang kedudukannya sama tinggi. Chaer (1995:217) menyatakan bahwa kebudayaan dan bahasa merupakan suatu sistem yang melekat pada manusia. Hubungan bahasa dengan kebudayaan memang erat sekali, bahkan sering kali kita sulit mengidentifikasi hubungan antarkeduanya karena mereka saling mempengaruhi, saling mengisi dan berjalan berdampingan. Menurut Nababan (1993:82) ada dua macam hubungan bahasa dan kebudayaan, yakni (1) bahasa adalah bagian dari kebudayaan (filogenetik), dan (2) kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa (ontogenetik).

Salah satu contoh kegiatan kebudayaan adalah prosesi yang terdapat pada pernikahan adat Batak Toba. Pernikahan dalam adat Batak Toba adalah salah satu bentuk budaya yang di dalamnya terdapat bahasa yang mencerminkan aspek dari budaya Batak Toba itu sendiri. Pernikahan adat Batak Toba dikenal memiliki rangkaian yang panjang dan terhitung lama. Pernikahan dalam adat Batak Toba erat kaitannya dengan kesakralan dan simbol-simbol yang memiliki makna serta nilai budaya. Dalam berkomunikasi, masyarakat Batak sangat menjunjung tinggi sistem

Page 3: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

1752020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Lastri Wahyuni Manurung

kekerabatan Dalihan Na Tolu. Dalihan Natolu artinya tiga aturan utama yang harus dipatuhi sebagai orang Batak, yaitu Somba Marhula-hula (hormat kepada keluarga pihak istri), Elek Marboru (harus bisa mengayomi wanita), dan Manat Mardongan Tubu (bersikap hati-hati kepada teman semarga). Prinsip-prinsip ini menjadi faktor terbesar yang dapat mempengaruhi orang Batak dalam berkomunikasi, tidak terkecuali dalam mengkomunikasikan sinamot (mahar). Inilah yang menyebabkan masyarakat Batak, dalam acara pernikahan, sangat menjaga kesantunan dalam menyampaikan ucapannya kepada mitra tuturnya. Tujuannya adalah untuk menjaga wajah atau citra penutur dan mitra tutur ketika menyampaikan pendapat dan pemikirannya.

Sinamot (mahar), sebagai salah satu tahapan yang penting dalam proses penikahan adat Batak Toba, merupakan sebuah penghormatan yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan dan merupakan wujud nilai budaya Batak Toba. Dalam hal ini berarti sinamot merupakan sebuah tanda bahwa perempuan yang akan dinikahinya akan dipasangap (diakui dan direstui ataupun dipercayakan) kepada laki-laki yang akan menikahinya. Di dalam menyampaikan tawar menawar harga sinamot ini, ada banyak tuturan yang disampaikan oleh juru bicara dari masing-masing pihak calon mempelai. Tahapan tawar-menawar ini disebut dengan kegiatan marhata sinamot (tawar-menawar mahar). Marhata sinamot ini menyangkut jumlah uang untuk membeli seorang perempuan yang akan dinikahi. Jika harga yang ditawarkan pihak perempuan terlalu tinggi tentunya akan membuat pihak laki-laki tersinggung. Sebaliknya jika pihak laki-laki menawar terlalu rendah, tentunya akan berdampak pada bagaimana pihak laki-laki tersebut memandang dan menilai pihak perempuan. Sehingga strategi kesantunan bisa menjadi jembatan agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan di saat yang bersamaan, maksud dan tujuan pun dapat tercapai. Strategi kesantunan ini berfungsi untuk menyatukan kepentingan kedua belah pihak melalui tuturan-tuturan yang disampaikan oleh masing-masing juru bicara mempelai yang telah diberi kepercayaan penuh menjadi perwakilan untuk menyampaikan maksud dan tujuan masing-masing keluarga.

Dengan mengambil studi kasus terkait dengan strategi kesantunan dalam tawar-menawar mahar dalam budaya Batak Toba ini, maka pertanyaan tentang bagaimana budaya dan bahasa saling mempengaruhi akan dapat terjawab.

2. KAJIAN TEORI

Yule (1983) menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, pakar linguistik ini menyebutkan bahwa dalam penggunaannya (language in use) bahasa merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam penggunaan bahasa menurut Yule, disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi. Steinberg dkk (2001) menyatakan bahwa bahasa adalah

Page 4: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

176 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Bahasa mempengaruhi ...

repesentasi/perwujudan alami dan karakter nasional masyarakatnya (Language by its very nature represents the spirit and national character of a people). Dalam analisis semantik, Chaer (1995) menyatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.

Dardjowidjojo (2003) memberikan contoh bagaimana budaya mempengaruhi bahasa, atau keterkaitan antara logika dalam budaya masyarakat Indonesia dengan logika dalam bahasa Indonesia. Dalam budaya Indonesia, seorang ibu yang melihat anaknya jatuh karena tersandung kaki meja akan berkata, “Aduuh, nakal ya kursinya!”. Lalu dipukulnya kursi itu. Bandingkan dengan budaya seorang ibu Amerika, jika terjadi hal yang sama pada anaknya dia akan mengatakan, “Watch your steps, honey.” Perbedaan kedua reaksi ini sedikit banyak mencerminkan semacam benih perilaku yang sedang ditanamkan oleh orangtua pada si anak. Dalam mewujudkan cinta-kasihnya, ibu Indonesia tidak mau menyalahkan anaknya; yang dia salahkan adalah sesuatu yang tidak salah dan tidak memiliki kemampuan membela diri. Sebaliknya, ibu Amerika yang dihadapkan pada peristiwa yang sama melihatnya dari segi pandang yang lain; jatuhnya si anak bukanlah karena kursinya yang nakal, tetapi karena anaknya tidak hati-hati. Demikianlah bagaimana budaya dapat mempengaruhi bahasa.

Salah satu wujud bahasa adalah strategi kesantunan yang digunakan ketika berkomunikasi yang dipengaruhi oleh budaya penuturnya. Wujud berkomunikasi yang santun pasti berbeda-beda tergantung latar budaya penuturnya. Brown dan Levinson (1987) memandang kesantunan dalam kaitannya dengan penghindaran konflik. Terdapat dua hal utama dalam teori kesantunan Brown dan Levinson, yaitu rasionalitas dan muka. Kedua hal tersebut dinyatakan sebagai ciri-ciri universal yang dimiliki oleh semua penutur dan mitra tutur. Rasionalitas merupakan penalaran atau logika sarana-tujuan, sedangkan muka sebagai citra diri yang terdiri atas dua keinginan yang berlawanan, yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif adalah keinginan agar tindakan-tindakan seseorang tidak dihalangi oleh orang lain, sedangkan muka positif adalah keinginan agar seseorang disenangi oleh orang lain. Kesantunan berbahasa merupakan suatu cara untuk memelihara dan menyelamatkan muka. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa sebagian besar tindak tutur selalu mengancam muka Penutur-Mitra dan kesantunan berbahasa merupakan upaya untuk memperbaiki ancaman muka tersebut.

Konsep wajah (face) juga disinggung oleh Yule, (1983:104) sebagai istilah teknis, wajah merupakan wujud pribadi seseorang dalam masyarakat. Wajah mengacu kepada makna sosial dan emosional itu sendiri dimana setiap orang memiliki dan mengharapkan orang lain untuk saling mengetahui. Kesopanan dalam berintraksi

Page 5: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

1772020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Lastri Wahyuni Manurung

dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Secara alamiah terdapat berbagai tuturan yang cenderung merupakan tindakan yang tidak menyenangkan yang diistilahkan dengan Face Threatning Act (Tindakan Mengancam Muka) disingkat dengan TPM. Brown dan Levinson membuat kategori TPM berdasarkan dua kriteria, yaitu tindakan yang mengancam muka negatif lawan tutur dan tindakan yang mengancam muka positif, (Brown&Levinson, 1987).

Menurut Brown&Levinson (1987:65—68) strategi kesantunan dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu (1) melakukan tindak tutur secara langsung/apa adanya tanpa basa-basi (bald on record), (2) melakukan tindak tutur dengan menggunakan strategi kesantunan positif, (3) melakukan tindak tutur dengan menggunakan strategi kesantunan negatif, (4) melakukan tindak tutur secara tersamar/tidak langsung (off record), dan (5) bertutur dalam hati atau tidak melakukan tindak tutur. Lebih lanjut Yule (1996:62) mengatakan bahwa muka negatif merupakan kebutuhan akan kebebasan, sedangkan muka positif merupakan kebutuhan akan keterhubungan atau keberterimaan. Istilah positif dan negatif di sini tidak berkaitan dengan baik dan buruk.

Berkaitan dengan strategi kesantunan positif, Brown dan Levinson (1987) menjabarkan 15 strategi yang dapat digunakan oleh seorang penutur. Strategi-strategi tersebut adalah sebagai berikut. (1) Memperhatikan kesukaan, keinginan, dan kebutuhan mitra tutur, (2) Membesarbesarkan perhatian, persetujuan, dan simpati kepada mitra tutur, (3) Mengintensifkan perhatian mitra tutur dengan pendramatisiran peristiwa atau fakta, (4) Menggunakan penanda identitas kelompok (bentuk sapaan, dialek, jargon atau slang), (5) Mencari persetujuan dengan topik yang umum atau mengulang sebagian /seluruh ujaran, (6) Menghindari ketidaksetujuan dengan pura-purasetuju, persetujuan yang semu (pseudo-agreement), menipu untuk kebaikan (white-lies, Pemagaran opini (Hedging opinions), (7) Menunjukkan hal-hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basabasi (small talk) dan presuposisi, (8) Menggunakan lelucon, (9) Menyatakan paham akan keinginan mitra tutur, (10) Memberikan tawaran atau janji, (11) Menunjukkan keoptimisan, (12) Melibatkan penutur dan mitra tutur dalam aktivitas, (13) Memberikan pertanyaan atau meminta alasan, (14) Menyatakan hubungan secara timbal balik (resiprokal), dan (15) Memberikan hadiah (barang, simpati, perhatian, kerjasama) kepada mitra tutur.

Berbeda dengan strategi kesantunan positif yang terdiri atas lima belas strategi, Brown dan Levinson (1987) menjabarkan strategi kesantunan negatif sebagai berikut. (1) Pakailah ujaran tidak langsung (yang secara konvensional memang dipakai oleh masyarakat bersangkutan), (2) Pakailah pagar (hedge), (3) Tunjukkan pesimisme, (4) Minimalkan paksaan, (5) Berikan penghormatan, (6) Mintalah maaf, (7) Pakailah bentuk impersonal (yaitu dengan tidak menyebutkan Pn dan Mt), dan (8) Ujarkan

Page 6: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

178 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Bahasa mempengaruhi ...

tindak tutur itu sebagai ketentuan yang bersifat umum.

Berkomunikasi menurut Prinsip Dalihan Na Tolu

Ada beberapa hal dari kebudayaan Batak yang mempengaruhi bagaimana orang Batak berkomunikasi. Dalam berkomunikasi, masyarakat Batak perlu memperhatikan kepada siapa ia berbicara. Ini adalah prinsip yang terbilang sakral bagi suku Batak karena disetiap adat dan acara Batak pasti kata-kata ini selalu diucapkan. Dalihan Na tolu artinya tiga aturan utama yang harus dipatuhi sebagai orang Batak. Prinsip-prinsip ini menjadi faktor terbesar yang dapat mempengaruhi orang Batak dalam berkomunikasi, tidak terkecuali dalam mengkomunikasikan pendapat nya pada penutur lain. Dalam memberikan opininya, orang Batak terkesan lebih berhati-hati karena harus memperhatikan kepada siapa ia berbicara terkait apa posisinya di dalam tingkatan dalihan na tolu. Situmorang (2009) menjelaskan mengenai konsep dalihan na tolu di bawah ini:a. Somba Marhula-hula

Secara hurufiah ‘somba’ adalah ‘sembah’ dan ‘hula-hula’ dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Pihak perempuan pantas dihormati, karena telah bersedia memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat kakek/nenek dan seterusnya. Keluarga pihak perempuan dalam sebuah pernikahan adat Batak Toba berkedudukan sebagai hula-hula. Kedudukan ini adalah yang paling tinggi dalam sistem dalihan na tolu.

b. Manat Mardongan Tubu (Manat=cermat; mardongan tubu=bersaudara semarga)Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu

rumpun marga yang sama. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Gambaran Dongan Tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan perkelahian. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta pernikahan) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat.

c. Elek MarboruBoru ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga

suami atau keluarga perempuan dari satu marga yang sama. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat atau pasu-pasu. Istilah Boru dalam adat Batak tidak memandang status, jabatan, dan kekayaan. Oleh sebab itu, mungkin saja seorang pejabat harus

Page 7: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

1792020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Lastri Wahyuni Manurung

sibuk dalam suatu pesta Batak karena posisinya saat itu sebagai Boru. Ada beberapa penelitian yang berkaitan tentang marhata sinamot, namun

belum membahas dari segi strategi kesantunan. Seperti yang dilakukan oleh Helga Manik (2010), Sastrya Naibaho & Idola P. Putri (2016) yang membahas tentang akna, fungsi dan pola Tradisi Sinamot dalam Pernikahan Adat Batak. Penelitian mereka tidak mengaitkan bagaimana budaya dan bahasa dapat saling mempengaruhi. Hal ini membuat, penelitian tentang budaya dan bahasa ini perlu dilakukan. Banyak penelitian tentang strategi kesantunan yang dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu dan berikut ini adalah beberapa penelitian yang pernah dilakukan peneliti terdahulu dan memiliki relevansi dalam penelitian kali ini. Beberapa penelitian yang menyangkut tindak tutur dan strategi kesantunan juga sudah beberapa kali dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Sukarsono (2014) sebuah disertasi tentang Kesantunan dalam Tuturan Impositif di Kalangan Masyarakat Tengger; yang meneliti tentang strategi kesantunan dalam tindak tutur direktif dengan melihat pada tingkatan beban (imposisi) yang dimintakan penutur untuk dilakukan atau tidak dilakukan oleh mitra tutur. Ihsan (2017), yang melihat aspek kesantunan yang terdapat pada tuturan-tuturan direktif pada kegiatan Pernikahan Etnik Tolaki-Mekongga yang ada di Sulawesi Tenggara. Penelitian yang dilakukan oleh Ihsan tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang dikerjakan penulis saat ini yakni sama-sama melihat aspek strategi kesantunan dalam tindak tutur yang berlatar domain budaya dalam kegiatan pernikahan. Hedayat (2018) tentang The Role of Politeness in the Employee-client Speech Interactions. Penelitian ini berkaitan bukan hanya dengan klasifikasi saja, namun juga dengan peranan strategi-strategi kesantunan tersebut dalam komunikasi antara pekerja dan klien di kantor Pemerintahan di Iran.

Penelitian pada domain kebudayaan perlu dilakukan untuk menjadi bahan perbandingan dan menambah pengetahuan dalam ruang lingkup kebahasaan maupun ruang lingkup budaya. Penelitian tentang strategi kesantunan dalam kegiatan marhata sinamot ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Data diperoleh dari tuturan atau percakapan yang disampaikan ketika para juru bicara sedang berdiskusi atau bernegosiasi tentang jumlah mahar. Data penelitian ini adalah tuturan yang mencakup strategi kesantunan. Lokasi penelitian adalah di Sidamanik, sebuah kecamatan di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Total jumlah juru bicara yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 orang, yang datanya diperoleh dari 5 rekaman kegiatan marhata sinamot. Hampir semua juru bicara bekerja sebagai petani, beberapa diantara mereka adalah pensiunan perkebunan, dan pedagang. Mereka berusia antara 45-70 tahun. Berikut ini adalah tahapan yang dilakukan pada kegiatan marhata sinamot.

Page 8: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

180 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Bahasa mempengaruhi ...

Tabel 1. Tahapan dan Isi Kegiatan Marhata Sinamot

No Tahapan Kegiatan Marhata Sinamot Isi kegiatan

1 Partording ni na marhata sinamot (pembukaan untuk tawar-menawar)

Menyambut kedatangan rombongan keluarga pihak laki-laki

2 Tudu Tudu Sipanganon (makanan berupa daging khas yang akan dimakan sebagai simbol bahwa tahapan tawar-menawar akan dibuka)

Menyuguhkan makanan yang sudah dibawa oleh keluarga pihak laki-laki. Kemudian makan bersama dan diakhiri dengan ucapan terimakasih dari kedua belah pihak.

3 Masisisean (berdiskusi tawar-menawar)

(a) Diawali dengan meminta ijin kepada semua yang hadir untuk memulai tahapan diskusi. Permintaan ijin ini sekaligus merupakan kesepakatan bahwa yang hadir mempercayakan keberlangsungan diskusi ini kepada juru bicara serta menaruh kepercayaan besar kepada juru bicara bahwa diskusi tersebut akan berjalan dengan baik. (b) Juru bicara pihak perempuan akan meminta penatua kampung untuk menanyakan tujuan kedatangan pihak laki-laki. (c) Memulai diskusi dengan membuat pernyataan harga (boleh pihak perempuan yang lebih dulu, boleh juga pihak laki-laki) yang kemudian dilanjutkan dengan tawar-menawar harga.

Ada sekitar 15-20 orang yang boleh hadir untuk menyaksikan berlangsungnya sebuah kegiatan marhata sinamot ini, akan tetapi hanya orang-orang tertentu saja yang boleh berbicara dan berkomunikasi tentang jumlah mahar yang didiskusikan dalam kegiatan ini. Juru bicara utama yang dipilih adalah orang-orang yang memahami benar tentang konsep marhata sinamot. Juru bicara juga haruslah yang satu marga dengan pihak keluarga yang diwakilinya.

Page 9: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

1812020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Lastri Wahyuni Manurung

3. PEMBAHASAN

Berikut ini ditampilkan sebagian cuplikan tuturan yang disampaikan antara juru bicara pada negosiasi marhata sinamot:

A: Juru bicara yang mewakili keluarga pihak laki-laki, dengan B: Juru bicara yang mewakili keluarga pihak perempuan

Data 1

Konteks:Pada hari yang sudah disepakati, keluarga pihak mempelai laki-laki datang membawa nasi yang panas dan lauk yang berminyak ke rumah pihak mempelai perempuan. Keluarga pihak perempuan juga mempersiapkan makanan untuk menambah apa yang sudah dibawa pihak laki-laki tersebut.

A: “(1) Di hamu hula-hula nami Hutapea. Dison ro do hami marnatampak na mardongan tubu dohot boru nami songoni nang hula-hula dohot Tulang nami, mandapothon hamu. (2) Siala las ni roha nami huboan hami do sipanganon na tabo. Botima.”(1) Kepada pihak perempuan Hutapea (marga), kami semua hadir di sini untuk menemui kalian di tempat ini. (2) Oleh karena senang nya hati kami, kami datang membawa makanan yang lezat. Demikian.

B: “Di hamu Pamoruon nami raja Sitio dohot disude uduran muna. Mauliate ma tutu tadok tu Amanta Debata ala hipas do hamu ro mandapothon hami tu bagas nami on, suang songoni nang hami hipas dapot muna. Songon nanidok muna i, di boan hamu sipanganon na tabo si palas roha nami”(Juru bicara Pihak perempuan: “Kepada pihak marga Sitio dan semua yang ikut, terimakasih juga kepada Tuhan karena kalian dalam keadaan sehat. Kalian juga telah membawa makanan yang lezat untuk kami.”)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kegiatan ini adalah kegiatan yang formal yang tujuannya adalah untuk membujuk pihak perempuan agar sinamot (harga) tidak terlalu tinggi agar pihak laki-laki sanggup membayarnya. Pihak perempuan merupakan pihak yang ditinggikan (pihak hula-hula) dalam proses ini sehingga menyebabkan pihak perempuan mempunyai power yang lebih kuat dibanding pihak laki-laki. Namun, juru bicara dari masing-masing keluarga mempelai hars saling menunjukkan kesantunan satu sama lain. Hal ini ditunjukkan dari adanya strategi yang sama yang diaplikasikan oleh kedua juru bicara. Prinsip budaya yang melekat pada masyarakat Batak Toba mempengaruhi cara berbahasa yang diwujudkan dengan kesantunan. Menurut klasifikasi Brown & Levinson, kesantunan yang teridentifikasi dari tuturan juru bicara tersebut adalah sebagai berikut: strategi kesantunan nomor 4 yaitu strategi dengan menggunakan penanda identitas kelompok

Page 10: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

182 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Bahasa mempengaruhi ...

(bentuk sapaan, dialek, jargon atau slang) ditunjukkan melalui ucapan “Di hamu hula-hula nami Hutapea” oleh juru bicara pihak laki-laki dan “Di hamu Pamoruon nami raja Sitio dohot disude uduran muna” oleh juru bicara pihak perempuan. Kata “hula-hula” dan “pamoruaon” adalah sebutan atau penanda identitas kelompok yang lazim digunakan untuk menyebutkan orang lain secara sopan, yang dipengaruhi oleh kedudukan penutur pada prinsip dalihan na tolu. Penggunaan “hula-hula” adalah sebutan secara hormat kepada keluarga pihak perempuan dan “pamoruon” untuk pihak laki-laki. Strategi ini merupakan bagian dari strategi kesantuna Negatif menurut Brown & Levinson. Tujuan dari penggunaan sebutan sebagai penanda identitas ini adalah untuk menunjukkan penghormatan, sehingga hal ini dapat dikategorikan dalam strategi kesantunan nomor 5 yaitu berikan penghormatan. Strategi kesantunan ini digunakan dalam tindak tutur Representatif sub tindak tutur melaporkan (to report).

Data 2

Konteks: Sebelum memulai tawar menawar kedua belah pihak saling mengucapkan terimakasih atas makanan yang telas disajikan dan telah selesai disantap.

B: “Di hamu Amangboru, ia nunga hundul hita di atas ni amak tiar. Nunga tutu bosur hita mangan, sagat marlompan juhut, dohot minum aek sitio-tio” (kepada Amangboru, kita sudah selesai duduk di atas tikar ini. Kita sudah kenyang puas makan dan minum.)

A: “Nuaeng alusan nami ma tutu sungkun-sungkun ni Raja i. Ima tutu Raja nami, Ia nunga dipaboa hamu naung bosur mangan indahan las, jala sagat marlompan juhut.” (Sekarang kami akan menjawab apa yang sebelumnya telah kalian sampaikan dan iya benar lah kiranya Raja kami, kalian sudah memberitahu bahwa kalian sudah kenyang.)

Pada dialog antara juru bicara dari masing-masing pihak keluarga yang diterakan di atas, dapat diidentifikasi beberapa strategi kesantunan yang digunakan dalam menyampaikan tuturannya. Penggunaan kata “Amagboru” yang ditujukan untuk keluarga pihak laki-laki oleh juru bicara pihak perempuan, menunjukkan aplikasi strategi kesantunan no 4 pada kesatunan negatif dari teori Brown & Levinson yakni menggunakan penanda identitas kelompok (bentuk sapaan, dialek, jargon atau slang). Sebagai responnya, juru bicara pihak laki-laki pun menyematkan sebutan “Raja i” pada tuturan “Nuaeng alusan nami ma tutu sungkun-sungkun ni Raja i”. Menurut budaya Batak, pihak perempuan itu adalah seperti raja yang patut dihormati, apalagi anak perempuan nya hendak dibeli. Jangan sampai ada keluarga dari pihak perempuan yang tersinggung karena ucapan-ucapan yang kurang sopan. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan sikap penghormatan kepada kedua belah pihak. Dan bentuk penghormatan ini termasuk dalam strategi kesantunan yang ke 5 pada strategi

Page 11: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

1832020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Lastri Wahyuni Manurung

kesantunan positif.

Data 3

Konteks: Kedua pihak keluarga memberikan kata pengantar untuk membuka pertanyaan harga yang dapat diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan.

B: “(1)Ima tutu Raja ni pamoruon nami, nunga manise hami, mangalusi hamu, panggabean parhorasan do hape hata ni sipanganon na pinasahat hamu pamoruon nami. (2)Antong di hamu pamoruon nami, angkup ni hata nauli dohot na denggan, sitangkas ni panggabean dohot parhorasan, tung denggan ma di paboa Raja ni pamoruon nami.” (1)“benarlah Raja kami, Kami sudah selesai makan, kami juga sudah menjawab kalian, (2) kalau begitu raja kami, untuk menanggapi saat yang baik ini, kami juga perlu memperjelas tujuan kedatangan kalian ke tempat kami ini.”)

A: (1)Ima tutu Raja ni hula-hula nami, ia marpanungkun ma Raja i di siangkupna songon na hundul, siudurna songon na mardalan, sitangkas ni panggabean dohot parhorason, paboaon ma tutu Raja nami.(2)Ia di bulan na salpu i laho do anak nami mardalani tu huta muna on. Pajumpang bohi ma ibana dohot boru ni Raja i, manghata i jala martarombo, gabe masibotoan ma nasida, Dung piga-piga hali pajumpang jala manghata i Raja nami, tubu ma holong di nasida jala masiunduhan hata laho mamungka pardongan saripeon na imbaru.” (Tujuan kami datang adalah untuk menanyakan dan sekaligus memberitahu bahwa pada bulan yang lalu anak kami (calon mempelai laki-laki) datang menemui putri mu. Telah bertatap muka secara langsung dengan putri kesayangan kalian, berbincang-bincang dan sudah saling mengenal. Setelah bertemu beberapa kali, akhirnya mereka saling mencintai dan berencana akan menikah.)

Tuturan yang disampaikan oleh juru bicara kedua belah pihak, menggunakan strategi kesantunan nomor 4, karena masing-masing juru bicara menggunakan penanda identitas kelompok kepada lawan tutur nya. Hal ini sejalan dengan strategi kesantunan positif nomor 5. Namun tuturan yang disampaikan oleh juru bicara pihak perempuan, mengandung strategi kesantunan negatif nomor 13, yakni memberikan pertanyaan atau meminta alasan di mana pada tuturan ini juru bicara pihak perempuan meminta penjelasan alasan kedatangan rombongan pihak laki-laki. Dan tuturan yang disampaikan juru bicara pihak laki-laki menggunakan strategi kesantunan Negatif nomor 1, yakni mengintensifkan perhatian mitra tutur dengan pendramatisiran peristiwa atau fakta. Dalam hal ini juru bicara pihak laki-laki menceritakan dan mendramatisir sebuah fakta untuk menunjukkan ada nya perhatian kepada mempelai perempuan.

Data 4:

Konteks: Seluruh perwakilan keluarga dari masing-masing calon mempelai memulai tahapan tawar menawar. Pada tahap ini pihak perempuan menanyakan berapa harga yang dapat diberikan pihak laki-laki untuk membayar harga dari perempuan yang

Page 12: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

184 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Bahasa mempengaruhi ...

akan dinikahi. Lalu pihak laki-laki menyodorkan harga yang dapat mereka penuhi, namun pihak perempuan menawarkan apakah harga tersebut bisa lebih tinggi.

A: “(1)Ala ni i Raja nami, na manomba ma hami parjolo, asa janghon hamu nian anak nami on laho gabe hela muna. (2) Alai raja nami, di haroro nami ditingkion tong do parjolo hami marsamtabi raja nami, alana molo mangasahon sibahenon do Raja nami, tung so bolas dope hami nian mandapothon hamu. (2) Alai, ala tangkas do diboto hami, na burju marianakhon do hamu Raja nami, i do umbahen na hubaranihon hami ro mandapothon hamu, molo tung siat pangidoan nami. (3) Jadi olat ni na tarpatupa jala tarbahen hami, raja nami, ditingkion ma nian sombahonon nami somba ni adat dohot uhum tu hamu Raja nami. (4) Jadi ima songon angkup ni panggabean dohot parhorasan, na bo i pasahaton nami tu hamu Raja nami. Botima.”(1) Oleh karena itu raja kami, terlebih dahulu kami akan memohon supaya kalian kiranya menerima anak laki-laki kami ini menjadi menantu kalian. (2) Tetapi raja kami,tetap terlebih dahulu kami minta maaf kedatangan kami ke sini juga dengan segala kerendahan hati, karena kami tidak punya apa-apa untuk diberikan, sebenarnya tidak pantas nya kami datang ke sini. (3) Tetapi kami sudah jelas tahu kalian ini adalah orang-orang yang sangat baik dalam memperlakukan anak, inilah yang membuat kami berani menemui kalian raja kami, kalau lah kiranya permohonan kami ini dapat kalian penuhi.(4) Inilah tujuan kedatangan kami ke sini. Demikian.)

B: “Ima tutu di hamu pamoruon nami,nunga tangkas di paboa hamu, angkup ni panggabean dohot parhorasan di ulaonta sadarion. Nunga masiunduhan hata tutu boru nami didok hamu dohot anak muna, ima nanaeng mamungka pardongan saripeon na imbaru. Nang hami pe, dohonon nami do, ai tung na malo do hamu, jala sigodang boto-botoan. Jadi on pe Raja ni pamoruon nami, angka dia ma sipasahaton muna sian na hugoari hami nangkin, na gabe sinamot ni boru nami.” (Juru bicara pihak perempuan: (1) Baiklah calon besan kami, sudah jelas apa yang menjadi tujuan kedatangan kalian, sebagai bentuk tanggapan dari baik dan bagus nya kegiatan kita hari ini (2) Putri kami dan anak kalian sudah saling sepakat untuk menikah. (3) Kami yakin kalian ini pasti orang-orang yang pintar, dan punya banyak ilmu pengetahuan. (4) Jadi raja kami, kami ingin tahu tentang apa yang bisa kalian buat untuk jadi mahar nya putri kami.

Pada bagian percakapan ini, kedua juru bicara juga tetap menggunakan strategi kesantunan positif yang terdapat pada nomor (3) tunjukkan pesimisme, (4) meminimalkan paksaan.dan nomor (6) meminta maaf. Tuturan yang ditunjukkan oleh juru bicara pihak laki-laki juga menunjukkan adanya rasa hormat yang sangat besar kepada pihak perempuan, seperti terlihat pada tuturan:

“…parjolo hami marsamtabi raja nami alana molo mangasahon sibahenon do Raja nami, tung so bolas dope hami nian mandapothon hamu”(“lebih dulu kami meminta maaf karena karena kami tidak punya apa-apa untuk diberikan, sebenarnya tidak pantas nya kami datang ke sini”)

kemudian diteruskan dengan meninggikan lawan tutur dengan menggunakan

Page 13: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

1852020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Lastri Wahyuni Manurung

kesantunan negatif (2) membesarbesarkan perhatian, persetujuan, dan simpati kepada Mitra tutur dengan mengatakan tuturan:

“Alai, ala tangkas do diboto hami, na burju marianakhon do hamu Raja nami, i do umbahen na hubaranihon hami ro mandapothon hamu” Tetapi kami sudah jelas tahu kalian ini adalah orang-orang yang sangat baik memperlakukan anak, inilah yang membuat kami berani menemui kalian raja kami

Bagian percakapan yang diutarakan oleh juru bicara pihak perempuan ini, dalam tuturan (1) dan (2) yang diidentifikasi sebagai jenis tindak tutur Representatif sub tindak tutur menyatakan dan melaporkan reporting, juru bicara pihak perempuan menggunakan strategi kesantunan yang ke 4 dari strategi kesantunan dengan menggunakan sebutan yang lazim digunakan yaitu memanggil keluarga pihak laki-laki dengan sebutan “di hamu pamoruon nami”. Namun secara keseluruhan, cara penyampaian yang diutarakan masing-masing juru bicara adalah merupakan aplikasi dari strategi kesantunan positif nomor (3) dan menunjukkan pesimistik, (4) minimalkan paksaan, (5) berikan penghormatan (6) meminta maaf; dan dari kesantunan negatif nomor (2) membesarbesarkan perhatian dan simpati kepada mitra tutur.

Masing-masing juru bicara tidak pernah menyebutkan secara langsung nama dari lawan tutur nya, terutama nama dari keluarga pihak laki-laki maupun pihak perempuan, melainkan dengan sebutan ‘di hamu raja nami’ (kepada raja), ‘di hamu amangboru napinarsangapan nami’ (kepada Amangboru yang kami hormati). Amangboru adalah sebutan yang santun oleh pihak keluarga perempuan yang ditujukan kepada keluarga dari pihak laki-laki.

Data 5:

Konteks: Juru bicara pihak perempuan bertujuan untuk memastikan berapa harga yang dapat ditawarkan oleh keluarga pihak mempelai laki-laki kepada pihak perempuan. Sebelumnya telah ditanyakan pendapat kepada rombongan keluarga yang hadir dan menyatakan bahwa rombongan keluarga yang hadir mengikut saja, setuju saja dengan kesepakatan apapun nanti yang diambil

B: “(1) On pe di hamu Raja ni pamoruon nami. Nunga satolop hami na mardongan tubu, boru/bere dohot dongan sahuta nami tarlumobi hula-hula nami taringot tu pangidoan muna na sahali mangelekkon hamu di sinamot ni boru nami. (2)Ndang pola be ra dohononku, angka aha na solot di ate-ate, dohot na gompang di pusu-pusu, asa mangkilala ma hamu, manghatahon manang na sadia pasahatonmua sinamot ni boru nami, nunga diboto hamu aha na di bagasan roha nami. (Kalau begitu, kita sudah sama-sama mendengar bahwa semua orang setuju saja berkenaan dengan harga yang sudah kalian akan tawarkan untuk bersama-sama memohonkan harga. (2) Sepertinya sudah tidak perlu lagi kami memberitahu apa yang tersembunyi di hati kami ini, kalian pasti sudah dapat merasakannya,

Page 14: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

186 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Bahasa mempengaruhi ...

terkait dengan berapa harga yang pantas untuk membeli anak perempuan kami ini, sudah kalian tahu apa yang ada dalam hati kami.)

A:“ Tung tangkas do huantusi hami na dibagasan rohamu na i, alai Raja nami songon hata ni natua-tua nang dohonon nami: Sai naeng do nian didok roha hatop mamora, alai hapogoson dope didok sibaran. Dipangidoan muna i, tangkas do huantusi hami, Alai Raja nami, Molo tung songon diape Raja nami na tolap hami godang ni sinamot sipasahaton nami, uli ma roha muna raja ni hula-hula nami. Jadi pasahaton nami ma sinamot ni boru ni Raja i Rp. 30 juta, Botima Raja nami. (Sebenarnya kami benar-benar mengerti maksud dari perkataan kalian itu, tapi raja kami, seperti ucapan para orang tua kita: ingin kiranya cepat kaya, tetapi masih miskin yang datang. Untuk permintaan kalian itu, kami sangat mengerti. Tetapi raja kami, walau berapapun yang sanggup kami berikan untuk harga yang akan kami sampaikan, berbesar hati lah kalian menerimanya. Jadi, kami dapat memberikan harga sebesar Rp. 30 juta. Demikian raja kami.

Dalam tuturan ini terlihat bahwa pihak perempuan sangat menjaga perasaan pihak laki-laki, agar jangan sampai tersinggung. Pernyataan yang disampaikan oleh juru bicara pihak perempuan: ‘…asa mangkilala ma hamu, manghatahon manang na sadia pasahatonmua sinamot ni boru nami, nunga diboto hamu aha na di bagasan roha nami’ secara tidak langsung ingin menyatakan bahwa sebenarnya pihak perempuan tentulah ingin anak perempuannya dibeli dengan harga yang tinggi. Namun, tujuan ini tidak secara langsung dituturkan oleh juru bicara pihak perempuan, karena pasti akan menjadi kasar. Tuturan tersebut menunjukkan adanya strategi kesantunan untuk meminimalkan paksaan.

Demikian juga pihak laki-laki, melalui apa yang dituturkan oleh juru bicaranya, dengan jelas menunjukkan bahwa penyampaiannya dibarengi dengan kesantunan agar pihak mempelai perempuan tidak tersinggung, agar kiranya harga yang ditawarkan sesuai dengan keinginan hati pihak perempuan. Tuturan berikut ini: “Sai naeng do nian didok roha hatop mamora, alai hapogoson dope didok sibaran. “ (ingin kiranya cepat kaya, tetapi masih miskin yang datang”) menunjukkan adanya penggunaan strategi kesantunan yang mengutarakan perasaan pesimistik dengan merendahkan keadaan yang bersangkutan (yang sedang berbicara). Selain jenis strategi ini, strategi yang lain juga muncul dalam tuturan yang lain, yaitu: (9) menyatakan paham akan keinginan mitra tutur yakni strategi kesantunan Negatif, (4) minimalkan paksaan, dan (5) berikan penghormatan.

Data 6:

Konteks: Terjadi peristiwa tutur yang dilakukan antara juru bicara pihak perempuan (M. Turnip) dan juru bicara pihak laki-laki (L. Sinaga). Calon mempelai perempuan merupakan seorang mantan TKW (Tenaga Kerja Wanita) dengan latar belakang pendidikan SMA (Sekolah Menengah Atas). Calon mempelai laki-laki juga berlatar

Page 15: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

1872020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Lastri Wahyuni Manurung

belakang SMA yang bekerja sebagai pegawai koperasi, dan sudah tidak memiliki Ayah lagi. Juru bicara pihak perempuan menyampaikan permintaan mahar sebesar 60 juta rupiah.

B: “(1) Molo hubereng hami nangkin di haroromuna, bagak bagak senyum senyum manis sude, berarti on ‘jago do on’ inna rohangku. Pasahat amangboru ma 60 juta.”(kalau kuperhatikan sejak kedatangan kalian tadi, cantik dan rupawan semua, senyumnya pun manis, ‘berarti mereka yang datang ini pasti orang yang hebat’ begitu dalam hatiku. Kalian pasti akan memberikan sejumlah 60 juta.)(Amangboru: Sebutan oleh pihak perempuan ditujukan kepada orang tua pihak laki-laki)

A: “(2) 60 juta, anggo na mora i nian dang sadia i tulang”. (60 juta, memang tidak seberapa kalau kami adalah orang kaya, tulang).(Tulang: Sebutan pihak laki-laki kepada orang tua pihak perempuan)

Juru bicara B telah mengajukan permintaan mahar sebesar 60 juta rupiah. B menyampaikannya dengan menggunakan strategi kesantunan membesar-besarkan perhatian kepada keluarga pihak laki-laki. Untuk permintaan mahar sebesar 60 juta tersebut, juru bicara pihak laki–laki secara tidak langsung menolak permintaan dengan menggunakan strategi bertutur yang berisikan bentuk pengandaian (ditandai dengan adanya kata ‘anggo’/‘kalau’). Kata ‘kalau’ menunjukkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kondisi penutur. Tuturan tersebut secara implisit menunjukkan bahwa pihak laki-laki pada kenyataanya bukanlah orang kaya, sehingga tidak dapat menyanggupi permintaan mahar sebesar 60 juta tersebut. Premis tersebut dapat menjelaskan bahwa menurut juru bicara pihak laki-laki, hanya orang kaya yang dapat membayar uang sebesar 60 juta. Oleh karena itu, secara tidak langsung juru bicara pihak laki-laki bermaksud untuk menolak permintaan mahar sebesar 60 juta. Juru bicara menggunakan strategi kesantunan menggunakan penanda identitas kelompok, yakni tulang. Tawar-menawar berlanjut, dan penolakan berikutnya juga terjadi. Lebih jelas lagi dapat dilihat pada tuturan yang disampaikan oleh A kepada B, seperti yang terdapat pada tuturan di bawah ini:

B: (3) mamora do amangboru. (Amangboru kan memang orang kaya.)A: (4) Mamora do hami anggo di hata, mamora do di angka pomparan. (5) Alai nidokni

na tua tua ‘dang sundat inna bulung nang pe so sangkot dipalia, dang sundat inna adat dohot nang pe somba nami so sadia’. (6) Tung so sadia pe i di angka somba di uhum i na pinangido ni tulang i 60 juta tulang mauliate ma di Tuhanta, dohonon nami ma sinamot ni boruta godang na 12 juta. (7)Nunga huhali dua on tulang alai huorui sada nol na mauliate ma tulang.(kami memang orang kaya, yang kaya dalam perkataan, kaya karena banyak keturunan/keluarga. Tetapi kata orang tua dulu ‘daun tetap akan tumbuh walaupun tidak tumbuh di batangnya, adat tetap akan dapat berjalan walaupun uang tidak seberapa’. Oleh karena itu, walaupun telah dimintakan harga sebesar 60 juta, terima kasih kepada Tuhan, tetapi kami

Page 16: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

188 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Bahasa mempengaruhi ...

tetap hanya dapat memberikan sebesar 12 juta. Memang sudah kukalikan dua, tapi kuhilangkan nol nya).

Tuturan B disampaikan oleh juru bicara pihak perempuan untuk menegaskan bahwa pihak laki-laki memang lah orang yang kaya. Namun, pernyataan itu ditolak oleh juru bicara pihak laki-laki. Kemudian A digunakan oleh juru bicara pihak laki-laki untuk menolak pernyataan dari pihak perempuan dengan memberitahukan bahwa pihak keluarga laki-laki memang orang kaya, tetapi hanya kaya dalam perkataan dan jumlah keturunan saja, bukan kaya dari segi keuangan. Ditambah lagi di akhir ucapannya, juru bicara pihak laki-laki mengatakan bahwa memang mereka (pihak laki-laki) telah menduakalikan 60 juta tersebut, akan tetapi nol nya telah dihilangkan. Tuturan-tuturan ini menunjukkan gambaran seolah-olah pihak laki-laki menerima pernyataan pihak perempuan, padahal nyatanya tidak (04), juga seolah-olah pihak laki-laki telah memberikan lebih banyak dari harga yang diminta oleh pihak perempuan, namun ternyata juga tidak (07). Strategi bertutur ini digunakan oleh juru bicara sebagai upaya untuk melunakkan penolakannya kepada mitra tutur. Strategi ini dapat membantu kedua belah pihak dalam bernegosiasi daripada ketika juru bicara secara langsung memberitahu dan membuat pernyataan (tuturan asertif) “kami tidak akan membayar 60 juta”. Tujuannya adalah untuk menjaga perasaan pihak perempuan, karena pihak laki-laki menolak membayar sejumlah 60 juta dan hanya sanggup membayar seharga 12 juta. Penolakan ini disampaikan secara implisit oleh juru bicara pihak laki-laki dengan menggunakan strategi bertutur yang tidak langsung, karena tidak secara langsung mereka menyatakan ketidak sanggupan atau ketidak-setujuan mereka terhadap permintaan mahar tersebut.

Juru bicara laki-laki pada tuturannya juga menyelipkan pantun ‘dang sundat inna bulung nang pe so sangkot dipalia, dang sundat inna adat dohot nang pe somba nami so sadia’ yang maknanya untuk memberitahu bahwa jangan sampai sebuah hal besar tidak dapat direalisasikan hanya karena ada hal yang tidak dapat disepakati. Juru bicara pihak laki-laki menjawab dengan menggunakan strategi kesantunan berkelakar (strategi kesantunan positif poin 8 oleh Brown&Levinson). Bukan hanya itu, A juga menggunakan strategi kesantunan dengan menggunakan identitas kelompok, yakni tulang. Tujuannya pasti untuk memberikan bahan pertimbangan pada pihak perempuan agar jangan bertahan pada pendapat mereka terhadap mahar sebesar 60 juta.

Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa, strategi bertutur dan strategi kesantunan dalam menolak permintaan penutur kepada mitra tutur dapat memberi pengaruh dalam membantu keberlangsungan komunikasi antara penutur dan mitra tutur ketika tahap diskusi tawar-menawar sedang berlangsung. Paradigma cara bertutur yang langsung dan blak-blak-an yang melekat pada cara bertutur orang Batak Toba (jika dibandingkan dengan orang Jawa, misalnya), adalah hal yang membuat

Page 17: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

1892020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Lastri Wahyuni Manurung

penelitian ini menarik, sebab ketika mahar dinegosiasikan, cara bertutur yang seperti itu mungkin tidak akan efektif digunakan dalam menemukan kesepakatan. Ini sekaligus menjadi alasan mengapa tuturan-tuturan yang ada dalam kegiatan ini menjadi unik untuk diteliti dari segi kebahasaannya. Munculnya strategi kesantunan yang digunakan oleh para peserta tutur dapat disebabkan oleh peristiwa tutur nya. Peristiwa tuturnya adalah dalam domain kebudayaan yaitu peritiwa tawar-menawar atau diskusi mahar yang akan diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Oleh karena itu, pola komunikasi atau tuturan yang diucapkan pun akan berorientasi pada konsep dengan menyesuaikan pada fungsi serta makna dari sinamot dan juga prosesi adat marhata sinamot tersebut. Menurut Simanjuntak (2009:102), sinamot merupakan sebuah penghormatan yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan dan merupakan wujud nilai budaya Batak Toba. Leech (2014:21) menyatakan bahwa sosiopragmatik berorientasi pada kesantunan sosial atau kesantunan kultural yang sensitif terhadap konteks. Leech juga menambahkan bahwa bentuk-bentuk kesantunan muncul di semua bentuk masyarakat. Masyarakat yang berbeda mempunya bentuk-bentuk kesantunan yang berbeda pula. Hal ini dipengaruhi oleh adanya budaya yang berbeda juga antar masyarakat. Perbedaan domain penelitian menyebabkan perbedaan penggunaan strategi kesantunan yang berbeda pula. Kondisi sosiokultural seorang penutur berpengaruh terhadap tuturan yang dihasilkannya. Pada masyarakat Jawa misalnya, faktor-faktor seperti: umur, keakraban, status sosial dan pandangan filosofis mempengaruhi cara bertutur masyarakat Jawa. Misalnya bagaimana seorang menantu berbahasa Jawa kepada mertua dan sebaliknya. Dardjowidjojo (2004) menyimpulkan bahwa nilai budaya Jawa tercermin pada bahasanya. Prinsip kebudayaan masyarakat Batak Toba tentang somba marhula-hula, manat mardongan tubu serta elek marboru dalam tatanan dalihan na tolu, berpengaruh terhadap strategi kesantunan yang digunakan oleh penutur. Cara para juru bicara menyampaikan tuturan-tuturannya diikat dan mengacu pada kedudukan pihak perempuan pada tatanan dalihan na tolu tersebut. Kedudukan pihak perempuan disebut sebagai hula-hula (kedudukan tertinggi dalam sistem dalihan na tolu. Itulah sebabnya, juru bicara pihak laki-laki kebanyakan akan menggunakan strategi kesantunan seperti meminta empati, membesar besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati, menggunakan penanda identitas kelompok (bentuk sapaan). Pembahasan ini dapat dijadikan sebagai jawaban logis bahwa budaya lah yang mempengaruhi bahasa.

4. SIMPULAN

Strategi kesantunan yang muncul ketika menyampaikan tuturan adalah disampaikan dengan menggunakan strategi kesantunan positif yakni membesar-besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati, menggunakan penanda identitas

Page 18: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

190 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Bahasa mempengaruhi ...

kelompok (bentuk sapaan), dan menyatakan paham akan keinginan mitra tutur. Strategi kesantunan negatif juga digunakan, yaitu: tunjukkan pesimisme, meminimalkan paksaan, meminta maaf, dan memberikan penghormatan.

Strategi kesantunan yang paling sering muncul dalam tuturan yang disampaikan dalam kegiatan marhata sinamot adalah strategi kesantunan positif yakni menggunakan penanda identitas kelompok (bentuk sapaan) dan strategi kesantunan negatif yakni memberikan penghormatan, karena strategi kesantunan ini selalu muncul dalam setiap tindak tutur yang ada. Artinya, pada saat penutur menuturkan informasinya, selalu dibarengi dengan menggunakan penanda identitas kelompok (bentuk sapaan) yang tujuannya adalah untuk memberikan penghormatan kepada lawan tutur nya.

Setelah data dikumpulkan dan dianalisis, peneliti menemukan bahwa ada dua kata yang digunakan dan selalu muncul dalam tiap tuturan yang diucapkan oleh juru bicara, yakni raja pada awal tuturan dan botima (demikian) pada akhir tuturan. Dalam berkomunikasi secara formal berdasarkan budaya Batak Toba, setiap penutur tidak boleh langsung menyebutkan nama lawan tutur nya, melainkan menggunakan penanda identitas kelompok dengan tujuan untuk menjaga kesantunan. Setiap tuturan yang muncul dalam komunikasi yang ada pada kegiatan marhata Sinamot ini, selalu diawali dengan penyebutan ‘raja’.

Ini adalah salah satu bukti bahwa unsur budaya mempengaruhi bahasa yang dipilih oleh juru bicara pada saat negosiasi sedang berlangsung. Juru bicara tidak menyebut nama lawan bicara nya dan mengganti dengan pemilihan kata raja. Di dalam filosofi orang Batak, orang Batak Toba adalah keturunan raja. Sehingga untuk menunjukkan rasa hormat, orang Batak Toba sering menggunakan penyebutan ini untuk menunjukkan rasa hormat pada lawan tuturnya. Penamaan ini sangat signifikan pengaruhnya terhadap kesantunan, sehingga secara otomatis, setiap juru bicara mengawali tuturannya dengan strategi kesantunan ini. (Amangboru=sebutan oleh pihak perempuan yang ditujukan kepada keluarga laki-laki.)

Kata ‘botima’ artinya ‘demikian’ yang dituturkan untuk menandakan bahwa suatu tuturan telah selesai dikatakan. Ketika kata ‘botima’ dituturkan, menjadi penanda bahwa seseorang sudah selesai berbicara, dan orang lain dapat melanjutkan berbicara.

Semua tuturan dalam kegiatan marhata sinamot ini selalu diawali kata ‘raja’ yang dibentuk dalam frasa yang bermacam-macam, lalu ditutup dengan kata ‘botima’ yang menandakan bahwa seseorang sudah selesai berbicara. Ini merupakan pola yang digunakan juru bicara (sebagai penutur dan mitra tutur) dalam komunikasi yang bersifat formal. Kondisi sosiokultural seorang penutur berpengaruh terhadap tuturan yang dihasilkannya. Prinsip kebudayaan masyarakat Batak Toba tentang somba marhula-hula, manat mardongan tubu serta elek marboru dalam tatanan dalihan na tolu, juga berpengaruh terhadap bahasa dan strategi kesantunan yang digunakan oleh penutur. Hasil temuan ini sekaligus dapat menjadi jawaban logis bahwa budaya lah

Page 19: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

1912020, Jurnal Lingko Volume 2 (2)

Lastri Wahyuni Manurung

yang mempengaruhi bahasa.

DAFTAR PUSTAKABrown & Levinson. 1987. Politeness Some Universals Language Usage (first). United

Kingdom: Cambridge University Press.Chaer, Abdul. 1995. Sosiolinguistik Sebuah Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ______2004. Nilai Budaya Jawa seperti Tercermin pada Bahasanya. Jurnal Peradaban

Melayu. Volume 2, pp. 35-56. https://ejournal.upsi.edu.my/index.php/JPM/article/view/3256/2239.

Diakses pada tanggal 2 Mei 2020.Hedayat, K. 2018. The Role of Politeness in the Employee-client Speech Interactions.

Theory and Practice in Language Studies. vol 8 No 1, pp. 100–104. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.17507/tpls.0801.13. Diakses pada tanggal 30 November 2019.Ihsan, N. 2017. Politeness Strategy in Directive Speech Acts of Tolea Pabitara on

Traditional Marriage Ceremony of Tolaki-Mekongga Ethnic Group, ILIRIA International Review. Vol 7, No 2 (2017) © Felix–Verlag, Holzkirchen, Germany and Iliria College, Pristina, Kosovo. Diakses pada tanggal 22 Mei 2019.

Koentjoroningrat dalam Mustafa. 2008. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Leech, G. (2014). The Pragmatics of Politeness (4th ed.). New York: Oxford University Press.

Manik, H. S. 2011. Makna dan Fungsi Tradisi Sinamot dalam Adat Perkawinan Sukubangsa Batak Toba di Perantauan Surabaya. BioKultur, vol I No. 1, 19–32. https://doi.org/10.5872/psiencia/8.2.61.

Diakses pada tanggal 22 Mei 2019.Nababan, PWJ. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.Naibaho, Sastrya. & Putri, Idola P. 2016. Pola Komunikasi Prosesi Marhata Sinamot

pada Pernikahan Adat Batak Toba dalam Membentuk Identitas Budaya Suku Batak Toba di Bandung. Jurnal Sosioteknologi, 15(3 Desember 2016). https://doi.org/P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668. Diakses pada tanggal 22 Mei 2019.

Purba, Anwar Soleh., dkk. 2017. Eksistensi Bahasa Melayu dan Budaya Jamu Laut. Prosiding Internasional Riksa Bahasa XI. Universitas Pendidikan Indonesia. Hal. 39-44. ISBN 978-602-60080-1-5.

Diakses pada Mei 2019.Simanjuntak, B. A. 2009. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.Situmorang, B. H. 2009. Ruhut-Ruhut Ni Adat Batak. Medan: BPK Gunung Mulia.

Page 20: Lastri Wahyuni Manurung BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA …

192 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (2 )

Bahasa mempengaruhi ...

Spradley, James. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.Steinberg, David D., Hiroshi Nagata, & David P. Aline. 2001. Psycholinguistics

Language, Mind, and World. London: Longman.Sukarsono. 2014. Kesantunan dalam Tuturan Impositif di Kalangan Masyarakat Tengger.

Disertasi. Universitas Sebelas Maret.Tim Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional Pusat Bahasa RI.Yule, G. 1996. Pragmatics (First Edit). New York: Oxford University Press.Wardhaugh, Ronald. 1998. An Introduction to Sociolinguistics. USA: Blackwell

Publishing