kelompok 8_kasus infeksi_kelas b
TRANSCRIPT
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 1/29
1
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV
FARMAKOTERAPI PASIEN FEBRIS TIFOID, OBSTRUKSI KONVULSI, DAN
DIARE AKUT DEHIDRASI SEDANG
Disusun oleh:
1.
Hesti Pri Haryani (G1F012034)
2. Nindya Nur Bagaskarina (G1F012048)
3. Curie Julia Kulzumia (G1F012054)
4. Sariah Aini Rahmawati (G1F012086)
5. Putri Margareta (G1F012088)
Nama Dosen Pembimbing : Ika Mustika, M.Sc., Apt.
Tanggal Diskusi Dosen : Senin/ 28 September 2015 (08.00 – 11.30 WIB)
Nama Asisten : Kiky
Tanggal Diskusi Kelompok : Senin/ 21 September 2015 (08.00 – 11.30 WIB)
Laboratorium Farmasi Klinik
Jurusan Farmasi Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
2015
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 2/29
2
Kasus Praktikum Farmakoterapi IV (Febris Tifoid, Obstruksi Konvulsi, dan Diare
Akut Dehidrasi Sedang)
A. Kasus
1. Identitas Pasien
Nama Pasien An. H. T Umur/ TTL 1 Tahun
No. Rekam Medis 541xxx Berat Badan 9 Kg
Alamat Mandirancan Tinggi Badan -
Status Jaminan - Jenis Kelamin Laki-laki
2. Riwayat MRS
Tanggal MRS 30/01/2014 Tanggal KRS 13/02/2014
Riwayat MRS Demam tinggi, Kejang-kejang seluruh badan, kaku kurangdari 15 menit, sebelum/ sesudah kejang sadar, saat kejang
tidak sadar, mual (-), muntah (-), batuk (-), pilek (-), BAB
(+) cair 12 x 1 nyemprot, kuning (+), bau (+)
Riwayat Penyakit -
Riwayat Obat/
Supplemen
Sanmol
Riwayat Lifestyle -
Alergi -
Diagnosa Febris Tifoid, Obstruksi Konvulsi, DADS (Diare Akut
Dehidrasi Sedang)
3. Parameter Penyakit
TTVTanggal
30-01 31-01 1-02 2-02 3-02 4-02 5-02 6-02 7-02
Tekanan
Darah
- - - - - - - - -
Nadi 126 140 136 120 140 136 142
Suhu 40,8 38,3 38,6 38,2 37 37,4 36,8
RespiratoryRate
42 40 36 24 44 46 40
4. Data Laboratorium
Pemeriksaan SatuanTanggal
30-01 01-02
Hb g/ dL 12,2
Leukosit / 18390
Hematokrit % 39
Trombosit / 114000
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 3/29
3
Na mmol/L 133
K mmol/L 3,0
Cl mmol/L 98
Ca mg/ dL 7,9
GDS 106/ 348 110Eritrosit fl 5,4
MCV pg 72,7
MCH % 22,8
MCHC % 31,4
RDW % 27,9
Eosinofil % 0,1
Basofil % 0,2
Batang % 0,8
Segmen % 79,9
Limfosit % 16,0
Tabel 5. Pemeriksaan Penunjang
Nama
Pemeriksaan Hasil
Tanggal
30-01-2014
Paratyphi
A-O (-)
A-H (-)
B-O (-)
B-H (-)
C-O (+ titer 1/80)
C-H (-)
Nama
Pemeriksaan
SERO IMUNOLOGI
IgM Anti Toxoplasma (non reaktif)
IgG Anti Toxoplasma (-/ < 0,130
AU/m)
IgM Anti CMV (non reaktif)
IgG Anti CMV (+/ 66,82 AU/m)Tanggal
11-02-2014
6. Terapi
Obat Dosis FreqTanggal
30 31 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
O2 3 lpm √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
IV FD KAEN IB 300
mg
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 4/29
4
Inj. Ampicilin 150
mg3
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Inj. Kemicetin 25
mg 3
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Luminal 100
mg2
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Inj.
Phenobarbital1 1
√
Zink Kid 1 cth 3 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Sanmol 3 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
ASI ad Libitum ½ cth √ √ √ √ √ √
P.O Mukos ½ cth 3 √ √ √ √ √
Fisioterapi Jika
Tidak Demam
√ √ √ √
Cefixime ½ cth 2 √ √
Fartolyn ½ cth 3 √ √
Tabel 7. Terapi Saat KRS
Nama Obat Dosis Frekuensi Jumlah
Cefixime
Fartolyn
Zink
½ cth
½ cth
1
2
3
1
B. Dasar Teori
1. Patofisiologi
Demam Tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhy (S typhy) atau Salmonella paratyphi ( S paratyphi ) yang masuk
kedalam tubuh manusia (Djoko Widodo, 2006). Demam tifoid adalah penyakit
infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam
lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran. S.
typhi masuk ke tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 5/29
5
kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus.
Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti : demam, malaise, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan
mental dan koagulasi (Ngastiyah, 2005).
Gastroenteritis akut (Diare) adalah masuknya Virus (Rotavirus,
Adenovirus enteritis), bakteri atau toksin (Salmonella. E. colli), dan parasit
(Biardia, Lambia). Menurut patofisiologi diare secara garis besar dibagi menjadi
diare osmotik dan diare sekretorik. Namun, infeksi mikroorganisme sering
menyebabkan diare kombinasi antara osmotik dengan sekretorik. Diare osmotik
relatif umum terjadi pada anak-anak, hal ini terjadi jika makanan sulit atau tidak
dapat diabsorpsi di usus maka osmotik di usus akan mengingkat, sehingga air akan
ditarik ke dalam usus dan dikeluarkan dari usus dalam bentuk cair (Hegar, 2003).
Obstruksi konvulsi atau kejang demam kejang demam adalah kenaikan
suhu tubuh yang menyebabkan perubahan fungsi otak akibat perubahan potensial
listrik serebral yang berlebihan sehingga mengakibatkan kejang. Peningkatan
suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam
waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui membran tersebut
dengan akibat lepasnya muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya
sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan
bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadi kejang. Kejang demam
yang terjadi singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan
gejala sisa. Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak hingga terjadi epilepsi disertai denyut jantung yang tidak teratur
dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan oleh makin meningkatnyaaktivitas otot (Betz, 2002).
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 6/29
6
Gambar 1. Skema hubungan Demam Tifoid, Obstruksi Konvulsi, dan DADS
(Soegijanto, 2002).
Gambar 2. Skema hubungan demam dengan kejang (Soegijanto, 2002).
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 7/29
7
2. Guideline Terapi
Gambar 3. Managemen Kesehatan Masyarakat berdasarkan kasus dan paparan
(Balasegaram S., et al ., 2012).
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 8/29
8
Gambar 3. Lanjutan (Balasegaram S., et al ., 2012).
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 9/29
9
Gambar 4. Managemen Kesehatan Masyarakat dari Kasus S.typhi atau paratyphi
(Balasegaram S., et al ., 2012).
Berdasarkan algoritma diatas, pasien pada Question 1 masuk dalam Possible Case
dimana sakit yang diderita pasien sudah termasuk akut ditandai dengan terdapat paparan
gejala yang timbul pada pasien tersebut. Menurut algoritma diatas, perlu dilakukan tes
atau uji terkait seperti kultur bakteri untuk menegakkan diagnosis selanjutnya. Terapi
berdasarkan algoritma diatas yaitu dengan antibiotik.
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 10/29
10
C. Penatalaksanaan Kasus dan Pembahasan
1. Subjective
Identitas Pasien
Nama Pasien An. H. T Umur/ TTL 1 Tahun
No. Rekam Medis 541xxx Berat Badan 9 Kg
Alamat Mandirancan Tinggi Badan -
Status Jaminan - Jenis Kelamin Laki-laki
Riwayat MRS
Tanggal MRS 30/01/2014 Tanggal KRS 13/02/2014
Riwayat MRS Demam tinggi, Kejang-kejang seluruh badan, kaku kurang
dari 15 menit, sebelum/ sesudah kejang sadar, saat kejang
tidak sadar, mual (-), muntah (-), batuk (-), pilek (-), BAB(+) cair 12 x 1 nyemprot, kuning (+), bau (+)
Riwayat Penyakit -
Riwayat Obat/
Supplemen
Sanmol
Riwayat Lifestyle -
Alergi -
Diagnosa Febris Tifoid, Obstruksi Konvulsi, DADS (Diare Akut
Dehidrasi Sedang)
Catatan : Demam Tinggi karena adanya febris tifoid (Boedina Kresno dkk, 1992).Kejang-kejang seluruh badan, kaku kurang dari 15 menit, sebelum/
sesudah kejang sadar, saat kejang tidak sadar karena adanya obstruksi
konvulsi, tidak seimbang dapat berpengaruh pada aktivitas kejang
(Carpenito, 2000).
BAB cair 12 x 1 nyemprot kuning dan bau menandakan bahwa pasien
mengalami diare akut karena konsistensi feses yang menunjukkan
hasil tersebut (WHO, 2008).
2. Objective
Parameter Penyakit
TTV
Tanggal Norma
lKeterangan
30-0131-
01
1-
02
2-
02
3-
02
4-
02
5-
02
6-
02
7-
02
TD- - - - - - - - - 120/80 -
Nadi 126 140 136 120 14013
6
14
2
88xMeningkat karena
febris tifoid dan
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 11/29
11
obstruksi
konvulsi
(Carpenito,
2000).
Suhu 40,8 38,338,
6
38,
237
37,
4
36,
8
36-
36,5
Meningkat karenafebris tifoid dan
obstruksi
konvulsi
(Carpenito,
2000).
RR 42 40 36 24 44 46 40 20x
Meningkat karena
febris tifoid dan
obstruksi
konvulsi
(Carpenito,
2000).
Data Laboratorium
Pemeriksaan SatuanTanggal Nilai
NormalKeterangan
30-01 01-02
Hb g/ dL 12,211,5 – 14,8
Normal
Leukosit / 18390 4,5 – 10,0
Meningkat adanya infeksi bakteri
pada saluran pencernaan dan
adanya demam (Bates, B., 1995).
Hematokrit % 39 35 – 50 Normal
Trombosit / 114000150.000 – 400.000
Menurun adanya demam (Bates, B.,
1995).
Na mmol/L 133 135 – 145
Menurun adanya kekurangan
elektrolit dalam tubuh karena diare
(Bates, B., 1995).
K mmol/L 3,0 3,6 – 5,8Menurun adanya kekurangan
elektrolit (Bates, B., 1995).
Cl mmol/L 98 98 – 110 Normal
Ca mg/ dL 7,9 9 – 11,5Menurun, karena dehidrasi sedang
(WHO, 2008).
GDS 106/ 348 110<140
mg/dL
Meningkat pada tanggal 30/01 dan
menurun pada tanggal 01/02
Diagnosis diabetes dapat
ditegakkan bila terdapat gejala
klasik DM disertai glukosa plasma
sewaktu ≥200 mg/dL (11,1mmol/L). Apabila konsentrasi
glukosa >400 mg/dL, kemungkinan
adanya ketonemia perlu
dipertimbangkan (Prodia.co.id,
2015).
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 12/29
12
Eritrosit fl 5,4 4,5 – 5,5 Normal
MCV pg 72,7 80 – 96
Menurun karena eritrosit lebih kecil
dari biasanya (mikrositik) seperti
pada anemia karena kekurangan zat
besi(Carpenitto.LJ, 2000).
MCH % 22,8 27- 31
Menurun karena eritrosit lebih kecil
dari biasanya (mikrositik)
(Carpenitto.LJ, 2000).
MCHC % 31,4 32 – 36 Normal
RDW % 27,9 < 16
Meningkat karena adanya variasi
dalam ukuran eritrosit (anisositosis)
bersama dengan variasi dalam
bentuk (poikilositosis)
(Carpenitto.LJ, 2000).
Eosinofil % 0,1 1,0 – 3,0
Menurun karena adanya syok atau
stress pada anak (Boedina Kresno
dkk, 1992).
Basofil % 0,2 0,0 – 1,0 Normal
Batang % 0,8 2,0 – 6,0Menurun karena adanya demam
(Bates, B, 1995).
Segmen % 79,950,0 – 70,0
Meningkat, adanya infeksi bakteri
menyebabkan diare akut (Bates. B,
1995).
Limfosit % 16,020,0 – 40,0
Menurun menandakan adanya
anemia atau demam (Boedina
Kresno dkk, 1992).
Pemeriksaan Penunjang
Nama
Pemeriksaan
Uji Widal
Hasil
Tanggal30-01-2014
Paratyphi
A-O (-)
A-H (-)B-O (-)
B-H (-)
C-O (+ titer 1/80)
C-H (-)
Nama
Pemeriksaan
SERO IMUNOLOGI
IgM Anti Toxoplasma (non reaktif)
IgG Anti Toxoplasma (-/ < 0,130 AU/m)
IgM Anti CMV (non reaktif)
IgG Anti CMV (+/ 66,82 AU/m)Tanggal
11-02-2014
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 13/29
13
Hasil pemeriksaan widal, titer antibodi terhadap antigen O yang bernilai ≥
1/200 atau peningkatan ≥ 4 kali antara masa akut dan konvalesens mengarah pada
demam typhoid, meskipun dapat terjadi positif ataupun negatif palsu akibat adanya
reaksi silang antara spesies salmonella. Diagnosis mikrobiologis merupakan metode
diagnosis yang paling spesifik. Kultur darah dan sum-sum tulang positif pada minggu
pertama dan kedua, sedang minggu ketiga dan keempat kultur tinja dan kultur urin
positif (Wong, 2003).
Uji Widal dianggap positif bila titer antibodi 1/160, baik untuk aglutinin O
maupun H dengan kriteria diagnostik tunggal atau gabungan. Bila dipakai kriteria
tunggal maka aglutinin O lebih bernilai diagnostik daripada aglutinin H (Loho, T., et
al ., 2000). Dari data penunjang yang didapatkan, terlihat bahwa adanya jenis
paratyphi C dengan aglutinin C memiliki hasil positif pada titer 1/80 maka dapat
dikatakan pasien mengalami paratyphi karena nilai positif tersebut lebih besar dari
nilai normal yaitu 1/160.
(Loho, et al, 2012).
Hasil IgM Anti Toxoplasma untuk mengetahui adanya infeksi akut karena
muncul setelah 5 hari terkena infeksi dan meningkat cepat dalam 1-2 minggu lalu
menghilang dalam beberapa bulan tetapi hasil seroimunologinya negatif sehingga
tidak adanya infeksi akut (Prodia.co.id, 2015).
Status kekebalan pasien terhadap parasit toxoplasma dapat dikatakan baik
karena hasilnya negatif dengan titer rendah serta tidak adanya infeksi akut karena
tidak ada peningkatan IgG (Prodia.co.id, 2015).
Hasil IgM Anti CMV adalah non reaktif karena manfaat dari pengujian ini
untuk mendiagnosis infeksi CMV primer atau reinfeksi (pada wanita hamil dan
janinnya), dan sebagai uji saring pada pasien transplantasi (Prodia.co.id, 2015).
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 14/29
14
Hasil dari IgG Anti CMV adalah positif 66,82 AU/ mL menandakan bahwa
hasil borderline akan diulang terlebih dahulu. Jika hasil tetap borderline maka pada
hasil diberi catatan "mohon periksa ulang 2-3 minggu kemudian ini sebagai
monitoring terapi untuk pasien hingga menghasilkan nilai negatif. Uji ini dilakukan
untuk menguji adanya infeksi CMV masa lampau (IgG stabil), infeksi aktif atau
reinfeksi (IgG meningkat), dan mengidentifikasi carrier CMV sebelum menjadi donor
darah maupun organ (Prodia.co.id, 2015).
3. Assesment
Diagnosa pasien : Febris typhoid, obs. Konvulsi, DADS.
subjektif Objektif Assessment
Kejang – kejang seluruh badan,
kaku < 15 menit, sebelum/
sesudah kejang sadar, saat
kejang tidak sadar.
Nadi meningkat,
Suhu meningkat,
RR meningkat.
Obstruksi konvulsi
Demam tinggi Suhu, Nadi, RR,
leukosit,
hematokrit, basofil,
segmen meningkat.
Eosinofil, batang,limfosit menurun.
Febris tyfoid
BAB (+) cair 12x, nyemprot,
kuning (+), bau (+)
Natrium menurun,
kalium menurun,
kalsium menurun.
(Elektrolit tubuh
menurun)
Diare Akut
Dehidrasi Sedang.
(Djoko, 2006)
Drug Terapi Problem
Problem Paparan Problem Rekomendasi
Duplikasi terapi Pasien diberi injeksi
luminal (phenobarbital)
sebagai profilaksis
kejang dan juga inj
Pemberian inj luminal
(Phenobarbital) untuk
anak dengan dosis 4
mg/kg BB 1 kali sehari
sebagai terapi
profilaksis kejang dan
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 15/29
15
phenobarbital untuk
terapi kejang akut
Terapi antibiotik yang
diberikan yaitu inj.
Ampicilin dan kemicetin
(kombinasi)
Diazepam sebagai
terapi kejang demam
akut dosis 0,3 mg/kg
BB (IDI,2005).
Monoterapi antibiotik
yaitu Kloramfenikol
dengan dosis 50-
75mg/kg BB (WHO,
2003; Dipiro, 2008).
Terapi tidak diperlukan
(tidak ada indikasi
yang menunjukkan
pasien membutuhkan
terapi tersebut)
Pasien diberikan Mukos
secara per oral
sedangkan pasien tidak
terdapat indikasi batuk.
Terapi mukos per oral
tidak diberikan
Terapi tidak diperlukan
(terapi tanpa obat lebih
sesuai)
Pasien mendapatkan
antibiotik cefixime
setelah 2 minggu
menggunakan antibiotik
amoxicillin dan
kemicetin
(chloramphenicol)
Cefixime tidak
diberikan karena tidak
ada gejala resistensi
dan pasien sudah
diberikan monoterapi
antibiotik
kloramfenikol yang
efektif untuk
mengobati demam
tifoid pada anak
(WHO, 2003;
Murray,2005)
Pasien tidak
membutuhkan fartolynkarena pasien tidak
terdapat indikasi batuk
Fartolyn tidak
diberikan
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 16/29
16
4. Plan
A. Terapi MRS
1. Dikasus
2. Rekomendasi Penggantian Terapi
ObatDosi
sFreq
Tanggal
Kegunaan3
0
3
11 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
O2 3
lpm
Selama
MRS
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Mengatasi
Sesak Nafas
Pasien
IV FD
KAEN IB 300
mg
Selama
MRS
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Pengganti
Cairan
Tubuh
(Dehidrasi)
Inj.
Kemicetin 500
mg
1 x sehari
(0,5 g /
setengah
vial)
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Antibiotik
Lini
Pertama
Inj.
luminal
4mg
/kg
BB/
hr
1
√ √ √ √ √ √ Profilaksis
Kejang
(Antikonvul
san)
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 17/29
17
B. Terapi KRS
Nama obat Dosis Frekuensi Kegunaan
Sanmol Syrup 120mg
/5ml
3 apl/hr
1 sendok
teh
Mengatasi demam jika demam muncul
kembali (jika dibutuhkan, dimana pasien
masih mengalami demam setelah KRS)
Oralit 1 gelas 1 x setelah
BAB Cair(diare)
Mengatasi kekurangan cairan tubuh
akibat diare (jika dibutuhkan, dimana
pasien masih mengalami diare setelah
KRS)
diazepam5
mg/
kgBB
Pada saat
kejang
MRS
secara
per rektal
√
Terapi
kejang
demam akut
Zink Kid 62,5
mg1 x sehari
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Diare Pasien
Sanmol
Syrup
120
mg/
5 ml
3
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Anti
Demam
ASI
Ad
Libit
um
√ √ √ √ √ √ Mencukupi
Kebutuhan
Nutrisi
Tambahan
Pasien
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 18/29
18
C. Monitoring
Parameter/Obat
MonitoringTarget
Keberhasilan Jadwal PemantauanKeberhasilan ESO
Nadi <90 / menit - Nadi normal Setiap hari
RR 20-40 / menit - RR normal Setiap hari
Suhu 36-37 C - Suhu normal Setiap hari
Leukosit4,5 – 10,0
/
-Leukosit
normal
1 minggu 1 kali
Trombosit150.000-
400.000 / -
Trombosit
normal
1 minggu 1 kali
Eritrosit 4,5 – 5,5 fl -Eritrosit
normal
5 hari 1 kali untuk
pemantauan
penggunaan
antibiotik
kloramfenikol
karena memilikiESO anemia
Hb 11,5-14,8 - Hb normal
5 hari 1 kali untuk
pemantauan
penggunaan
antibiotik
kloramfenikol
karena memiliki
ESO anemia
Kimecitin
Demam
turun, tidak
diare, BAB
tidak kuning
anemia
Atasi diare
dan infeksi
akibat s.
paratypi
Setiap hari
Zink Tidak diare - Atasi diare Setiap hari
SanmolTidak
Demam-
Turunkan
demam
Setiap hari
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 19/29
19
O2 Tidak Sesak -
Tidak sesak
nafas, RR
normal
Setiap hari
Alasan pemberian Antibiotik
Menurut literatur Dipiro (2008) dan WHO (2003), kloramfenikol, amoxicillin,
dan trimetropim-sulfametoksazol merupakan terapi antibiotik untuk demam
tifoid. Di indonesia, terapi antibiotik lini pertama untuk terapi demam tifoid
adalah kloramfenikol (Anonim, 2006). Penggunaan antibiotik kloramfenikol
dapat menurunkan demam lebih cepat (4,2 hari) dibandingkan antibiotik untuk
demam tifoid lainnya (Tumbelaka, 2005). Selain itu lama rawat inap pasien
demam tifoid yang diberikan kloramfenikol juga paling singkat dibandingkan
dengan pasien yang diberikan antibiotik azitromicin, cefixime, dan tiamfenikol
(Rampengan, 2013).
(Dipiro, 2008)
(WHO, 2003)
(Anonim, 2006)
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 20/29
20
(Rampengan, 2013) dan (Tumbelaka, 2005)
Berikut ini tabel dosis antibitik kloramfenikol :
(WHO, 2003)
Alasan Pemberian Fisioterapi
Dasar pemberian terapi fisik (fisioterapi), Dokter sering
merekomendasikan terapi fisik (PT) untuk anak-anak dan remaja yang telah
terluka atau yang memiliki masalah gerakan dari suatu penyakit, penyakit, atau
cacat. Setelah cedera, terapis fisik bekerja untuk mengurangi rasa sakit dan
membantu anak-anak kembali ke aktivitas sehari-hari. Mereka mengajarkan
latihan kepada anak-anak yang dirancang untuk membantu mereka mendapatkan
kembali kekuatan dan gerakan, dan juga menunjukkan kepada anak-anak dan
keluarga bagaimana mencegah cedera selanjutnya (Kidshealth.org).
Terapi fisik mungkin diperlukan pasien yang mempunyai masalah dengan
gerakan yang sering membatasi kegiatan sehari-hari seseorang. Terapi fisik
menggunakan berbagai perawatan untuk membantu membangun kekuatan,
meningkatkan gerakan, dan memperkuat keterampilan yang dibutuhkan untuk
melakukan kegiatan sehari-hari (Kidshealth.org).
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 21/29
21
Pada pasien An. H.T berusia satu tahun, diperlukan pemberian
fisioterapi karena pasien mengalami kejang-kejang dan dirawat dirumah sakit
lebih dari satu minggu. Pemberian fisioterapi ini ditujukkan untuk
mengembalikan fungsi alat gerak pasien yang dimungkinkan mengalami ke
kakuan. Pemberian fisioterapi dilakukakn ketika pasien tidak mengalami
demam. Selain mengebalikan fungsi alat gerak fisioterapi juga ditujukkan untuk
menghindari gangguan pada pertumbuhan pasien karena usia pasien masih
dalam masa pertumbuhan.
Alasan Pemberian Terapi Antikonvulsant dengan Inj. Luminal dan Diazepam
Terapi kejang demam akut (antikonvulsan) pada saat pasien MRS yaitu
mengunakan diazepam dengan dosis 5 mg/kg BB secara per rektal kemudian
diberikan terapi untuk profilaksisnya yaitu diberikan terapi profilaksis kejang
yaitu luminal (fenobarbital) dengan dosis 3-4 mg/Kg BB/ hari 1 kali sehari
selama pasien mengalami demam dimana suhu mencapai > 37.5 ˚C (Ikatan
dokter anak indonesia, 2005. Unit Kerja Neurologi: Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Neurologi Ikatan dokter anak
indonesia, Jakarta).
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 22/29
22
D. Terapi Non Farmakologi
a. Pemberian ASI yang cukup pada 1 jam sebelum dan 2 jam setelah minum
obat (Kamicetin Antibiotik Golongan Tetrasiklin).
b. Konsumsi makanan padat serta produk makanan yang mengandung susu.
c.
Pemberian Cairan Rehidrasi Oral atau dua buah pisang atau satu gelas jus jeruk untuk menggantikan kalium yang hilang.
(Lung, 2003; Dipiro,2005).
E. KIE
a) Keluarga
Pemberian edukasi dan konseling kepada keluarga pasien:
Cara penggunaan yang benar dan teratur
Kepatuhan dalam menggunakan antibiotik yang diresepkan
Tidak boleh berhenti minum antibiotik tanpa sepengetahuan
Dokter/Apoteker (harus diminum sampai habis kecuali jika terjadi
reaksi obat yang tidak diinginkan)
Cara penyimpanan antibiotik
Cara / prosedur pembuatan larutan oralit dan cairan rehidrasi oral
agar dapat diterapkan ketika pasien sudah pulang dari Rumah Sakit
sebagai penambah cairan tubuh bagi pasien pengganti infus.
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 23/29
23
b) Tenaga Kesehatan
Informasi terkait frequensi pemberian obat injeksi seperti inj
kemicetin dan inj fenobarbital
Monitoring data lab (nadi, rr, leukosit, limfosit, suhu) untuk perawat
Tenaga gizi untuk memilihkan asupan makan untuk pasien
D. Kesimpulan
Terapi untuk anak umur 1 tahun yang didiagnosis demam tifoid, diare dan
mengalami kejang adalah antibiotik kloramfenikol dosis 500mg perhari selama
14 hari, injeksi luminal untuk pengobatan kejang ketika MRS dan diazepam untuk
terapi profilaksis antikonvulsan, zink untuk terapi diare dimana diberikan lebih
dari 10 hari yaitu 15 hari, pemberian O2 untuk mengatasi sesak nafas pada pasien
selama di Rumah sakit, sanmol diberikan sebagai terapi antipiretik, dan pemberian
infus KAEN. Pemberian ASI sebagai terapi untuk diare dan memenuhi kebutuhan
elektrolit serta energi bagi pasien.
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 24/29
24
Daftar Pustaka
Alodokter, 2015. Lumpuh Otak. ://www.alodokter.com/lumpuh-otak. diakses tanggal
28 September 2015.Anonim, 2006, Pedoman Pengendalian Demam Tifoid , Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Bates. B, 1995. Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Betz Cecily L, Sowden Linda A. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediat ri. Jakarta :
EGC.
Carpenitto.LJ. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis. Ed 6. EGC.
Jakarta.
DeChacare. 2015. Informasi Obat. http://www.DechaCare.com. diakses tanggal 21
september 2015.
Dipiro. 2005. Pharmacotherapy : A Pathophysiology Approach Ed 6 th . New York :
McGraw-Hill.
Dipiro. 2008. Pharmacotherapy : A Pathophysiology Approach Ed 7 th . New York :
McGraw-Hill.
Djoko Widodo. 2006, Demam Tifoid, Dalam: Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi,
Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati, eds. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV, Pusat Penerbitan Departement Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h. 1752-1756,
Jakarta.
Frances K. Widmann, alih bahasa : S. Boedina Kresno dkk.. 1992. Tinjauan Klinis
Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi 9, cetakan ke-1. Jakarta :
EGC.
Gilman, A. G., Goodman, L. S., Rall, T. W. and Mirad, F. 1985. The Pharmacological
Basic Of Therapeutics, 7th ed . New York : Macmillan Publishing
Company.
Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al . 2001. Practice Guidelines for the
Management of Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases.
Hegar B, Kadim M. 2003. Tatalaksana diare akut pada anak dalam Majalah
kesehatan Kedokteran indonsia, Vol 1 No 06.
Kemenkes RI, 2010. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Kemenkes RI
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 25/29
25
Kidshealth. http://kidshealth.org/parent/system/ill/phys_therapy.html# . Diakses pada
tanggal 05 Oktober 2015.
Loho, T., Sutanto, H., Silman, E. 2000. Dalam: Demam tifoid peran mediator,diagnosis dan terapi. (Editor: Zulkarnain). Pusat Informasi dan Penerbitan
bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : UI Press.
Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH,
editors. 2003. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2nd
edition. New York : Lange Medical Books. 131 - 50.
Murray, P.R., Baron EJ, Pfalter EA, Jenover FC, Yolker RH, 2005, Manual of Clinical
Microbiology, Edisi ke-6, ASM Press, Washington DC. Ngastiyah, 2005. Perawatan Anak Sakit, Edisi 2. Jakarta : EGC.
Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Mentri Kesehatan Republik Indonesia.
Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/SK1216-01.pdf.
Prodia. 2015. IgG Anti CMV.
http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant
i-CMV-IgG. diakses pada tanggal 22 September 2015.
Prodia. 2015. IgG Anti CMV.
http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant
i-CMV-IgG. diakses pada tanggal 22 September 2015.
Prodia. 2015. IgG Anti Toxoplasma.
http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant
i-Toxoplasma-IgG. diakses pada tanggal 22 September 2015.
Prodia. 2015. IgG Anti Toxoplasma.
http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant
i-Toxoplasma-IgG. diakses pada tanggal 22 September 2015.
Prodia. 2015. IgM Anti CMV.
http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant
i-CMV-IgM . diakses pada tanggal 22 September 2015.
Prodia. 2015. IgM Anti CMV.
http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant
i-CMV-IgM . diakses pada tanggal 22 September 2015.
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 26/29
26
Prodia. 2015. IgM Anti Toxoplasma.
http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant
i-Toxoplasma-IgM . diakses pada tanggal 22 September 2015.
Prodia. 2015. IgM Anti Toxoplasma.
http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant
i-Toxoplasma-IgM . diakses pada tanggal 22 September 2015.
Prodia. 2015. Pemeriksaan Laboratorium: IgG Anti CMV.
http://prodia.co.id/ProdukLayanan/PemeriksaanLaboratoriumDetails/Ant
i-CMV IgG. diakses tanggal 21 september 2015.
Rampengan, Novie H. 2013. Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
pada Anak. Sari Pediatri 14(5):271-6.Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006 . Jakarta :
Prima Medika.
Soegijanto, Soegeng, 2002, Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan,
Salemba Medika, Jakarta.
Tim Adaptasi Indonesia. 2008. Pelayanan Kesehatan anak di Rumah Sakit. Jakarta :
WHO. 132-142.
Tumbelaka AR. 2005. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium
infeksi pediatri - tropik dan gawat darurat anak. Surabaya: SurabayaIntellectual Club, 37-47.
WHO, 2003. Background Document: The Diagnosis, Treatment And Prevention Of
Typhoid Fever. This publication is available on the Internet at:
www.who.int/vaccines-documents/
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik . Jakarta: EGC.
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 27/29
27
Lampiran 1
Pertanyaan :
1.
Devi Yanti : Penggunaan anti konvulsan luminal kenapa diganti dengan
fenobarbital? Tolong cari jurnalnya.
2. Lala Febria : Hasil paratyphi itu cara membacanya bagaimana?
3. Ihsanti Dwi : Bagaimana regimen dosis untuk penggunaan kombinasi
kemicetin dan amoxicillin? Kenapa cefixime tidak digunakan?
4. Ibu Imus : Apa pertimbangan Anda, mengapa tidak diberikan fisioterapi
padahal terdapat riwayat obstruksi konvulsi?
Jawaban :
1.
Seharusnya diberikan luminal (fenobarbital) dengan dosis 3-4 mg/Kg BB/ hari 1kali sehari dahulu untuk mengatasi kejangnya kemudian diberikan terapi untuk
profilaksisnya yaitu diazepam dengan dosis 0,3 mg/kg BB (Ikatan dokter anak
indonesia, 2005. Unit Kerja Neurologi: Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam. Unit Kerja Neurologi Ikatan dokter anak indonesia, Jakarta).
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 28/29
28
2.
Dari data penunjang yang didapatkan, terlihat bahwa adanya jenis paratyphi C
dengan aglutinin C memiliki hasil positif pada titer 1/80 maka dapat dikatakan
pasien mengalami paratyphi karena nilai positif tersebut lebih besar dari nilai
normal yaitu 1/160.
3. Dilihat dari berat badan, menurut WHO pasien termasuk dalam kategori normal
yaitu 9kg umur 1 tahun (7.7kg – 12kg). Dosis diberikan berdasarkan regimen
dosis dari WHO berikut ini :
1. Amoxicillin syrup = 75-100mg/kg 675-900mg 750 mg
Diberikan = 125mg/5ml diberikan 3 kali sehari sebanyak 10 ml dengan sendok
takar sirup. 2. Kloramfenikol IV
Karena lini pertama pengobatan demam thypoid adalah kloramfenikol dan
amoxicillin (antibiotik empiris) yang diberikan selama 15 hari (di RS) dengan di
monitoring Hb, eritrosit (ESO anemia), sedangkan cefixime merupakan terapi
alternatif atau lini ke dua (berdasarkan guideline). Karena pasien tidak
menunjukkan indikasi penggantian antibiotik maka cefixime (golongan
sefalosporin) tidak diberikan. Menurut WHO penggantian antibiotik ketika terjadi
7/23/2019 Kelompok 8_Kasus Infeksi_Kelas B
http://slidepdf.com/reader/full/kelompok-8kasus-infeksikelas-b 29/29
resistensi. Pemilihan kloramfenikol dan amox adalah karena melihat segi
kenyamanan pasien dimana jika menggunakan cefixime diberikan 4 kali sehari
sedangkan kloram dan amox hanya 3 kali sehari.
4.
Fisioterapi tetap dilakukan karena pasien mengalami kejang, kejang terjadi karena
suhu tubuh yang meningkat dan kejang juga salah satu dampak dari lumpuh otak.
Ada yang hanya mengenai salah satu sisi tubuh, bagian kaki saja, lengan saja, atau
kaki sekaligus lengan. Untuk itu perlu dilakukan fisioterapi, diantaranya:
a.
Exercise Therapy atau Terapi Latihan
Terapi ini dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi sekaligus memberi
penguatan dan pemeliharaan gerak agar bisa kembali normal atau setidaknya
mendekati kondisi normal. Kepada anak, akan diberikan latihan memegangmaupun menggerakkan tangan dan kakinya. Setelah mampu, akan dilanjutkan
dengan latihan mobilisasi, dimulai dengan berdiri, melangkah, berjalan, lari
kecil, dan seterusnya
b. Hydro Therapy atau Aquatik Therapy
Terapi dengan air berguna bagi anak-anak yang menagalami gangguan,
terutama gangguan gerak akibat spastisitas (kekakuan, nyeri, dan kesulitan
untuk digerakkan). Sedangkan pada anak yang terlambat berjalan, tentu sajasebelum diterapi mereka akan dievaluasi dulu baik dari usia, tingkat
kemampuan, maupun tingkat kesulitan yang dialami. Untuk bisa berjalan,
anak tentu saja harus melalui berbagai tahapan yang dimulai dengan
tengkurap, duduk, merangkak sampai berdiri. Biasanya anak tidak akan
langsung diajarkan berjalan bila tahap sebelumnya belum mampu ia lakukan.
Pada anak yang mengalami kesulitan bergerak karena spastisitas/kekakuan,
ketika di air, umumnya dia akan lebih mudah bergerak. Dengan demikian
diharapkan spastisitas anak akan berkurang mengingat adanya bantuan berupa
dorongan air yang sifatnya bisa melenturkan gerak tubuh. Meskipun tidak
semua anak dengan gangguan tersebut dapat diberikan hidro terapi air, tapi
terapi ini bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif.
(Aldokter, 2015).