kabar jkpp 20

40
KABAR JKPP 20 Desember 2015 Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Memotret : Di Peta Yang Belum Jadi Setahun Pelaksanaan Perber 4 Menteri Memotret : Di Peta Yang Belum Jadi Setahun Pelaksanaan Perber 4 Menteri

Upload: jaringan-kerja-pemetaan-partisipatif

Post on 14-Feb-2017

19 views

Category:

Education


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kabar jkpp 20

KABARJKPP

20

Desember 2015

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Memotret : Di Peta Yang Belum Jadi

Setahun

Pelaksanaan Perber 4 Menteri

Memotret : Di Peta Yang Belum Jadi

Setahun

Pelaksanaan Perber 4 Menteri

Page 2: Kabar jkpp 20

Usia setahun Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-II/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan (selanjutnya Perber 4 menteri), memicu dinamika kebijakan dan implementasi di lapangan yang cukup gaduh. Gaduhnya perdebatan di tingkat wacana dan kebijakan memang tidak sampai ramai di khalayak umum (misal merambah perdebatan di medsos dengan kultwit dan semacamnya). Akan tetapi dua opini berlawanan di koran nasional terpandang, ramainya serangkaian diskusi dan seminar yang melibatkan segenap pemangku kepentingan kehutanan dan pertanahan sudah cukup memperlihatkan magnitudenya. Dalam ranah implementasi, Perber 4 Menteri ini ternyata cukup mengusik tatanan penguasaan lahan (kawasan hutan) di beberapa wilayah, terutama di Pulau Jawa. Muncul berbagai aksi dari kalangan petani hutan yang ditanggapi dengan aksi dari pihak lain yang menambah semarak pelaksanaan Perber 4 Menteri di lapangan.

Satu tahun usia Perber 4 Menteri (dengan niatan di belakangnya yang cukup ambisius itu) sebenarnya belum cukup untuk meneropong dampak perubahannya. Dalam penjelasan saya di bawah nanti, belum ada contoh pelaksanaan Perber 4 Menteri yang rangkaian kegiatannya tuntas sampai akhir. Sehingga tidak bijak untuk sampai pada kesimpulan berhasil atau tidaknya dan berdampak seperti apa baik bagi masyarakat terdampak maupun kebijakan pertanahan/kehutanan. Saya kira, dalam umur semuda itu, kita hanya bisa memetakan dinamika terkini yang diwarnai dengan asumsi, harapan dan kekhawatiran. Tulisan ini hanya memotret dan memotong sebagian kecil dari peta tersebut.

Setahun Pelaksanaan Perber 4 Menteri

Memotret di Peta yang Belum Jadi:

KABAR uTAMA

Mumu Muhajir

KABAR JKPP

3

Manager Program Hukum dan Keadilan Lingkungan

Epistema Institute

REDAKSI KABAR JKPPPenanggung Jawab: Deny Rahadian; Pemimpin Redaksi: Dewi Sutejo; Redaktur: Ade Ikhzan; Redaktur Pracetak: Amir Hamzah Siregar; Reporter & Kontributor: Mumu Muhajir, Imam Hanafi, Kasmita Widodo, Muhammad Al Amin, First San Hendra Rivai, Diarman, Sofyan Ubaidi Anom, Rahmat Sulaiman, Ferra Rifni Nusa ; Sirkulasi & Distribusi: Diana Sefiani, Yowanda

Alamat Redaksi :Jaringan Kerja Pemetaan PartisipatifJl. Cimanuk Blok B7 No.6, Komp. Bogor Baru, Bogor 16152 INDONESIATelp & Fax. +62 251 8379143 Email: [email protected] ; Website: www.jkpp.org

KABAR JKPP 20

KABAR REDAKSI

Salam Kedaulatan Atas Ruang,

Para Pembaca Yang Budiman, kali ini KABAR JKPP kembali hadir di tangan para pembaca.

Pada KABAR JKPP 20 ini menyajikan beberapa sumbangan tulisan dari kawan-kawan di Sekretariat Nasional, Mitra maupun anggota dan Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif. Mumu Muhajir dari Epistema Institute memberikan catatan kritis setahun Implementasi Peraturan Bersama 4 Kementerian dan Lembaga di beberapa daerah yang menjadi fokus perhatiannya.

Imam Hanafi (Kepala Divisi Advokasi JKPP), membaca inisitaif Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) KLHK yang akan memberikan akses 12,7 juta Ha kawasan hutan kepada masyarakat, apakah inisiatif ini menjadi peluang atau ancaman bagi masyarakat? Kasmita Widodo dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) memaparkan perkembangan registrasi dan verifikasi wilayah adat untuk penyiapan pengakuan wilayah masyarakat adat. Selain itu, kawan-kawan dari Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) menceritakan pengalaman dalam perluasan wilayah pemetaan partisipatif dalam mendorong perluasan wilayah kelola masyarakat adat/lokal juga upaya-upaya mendorong advokasi perlindungan dan pengakuan wilayah kelola masyarakat adat/lokal.

Akhirnya, kami selalu membuka kritik, saran dan terutama tulisan baik ide, analisis maupun pengalaman belajar dari para pembaca untuk memperkaya media ini. Selamat Membaca!

REDAKSI

Yang Dapat Kami Kabari

Memotret di Peta yang Belum Jadi: Setahun Pelaksanaan Perber 4 Menteri - Mumu Muhajir

Inisiatif Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), Peluang atau Ancaman? - Imam Hanafi

Registrasi dan Pengakuan Wilayah Adat – Kasmita Widodo

Krisis di Tanah Salewangang – Muhammad Al Amin

Dinamika Pengakuan Wilayah Adat : Kesiapan Masyarakat Hukum Adat dan Kegamangan Pemerintahan Daerah – First San Hendra Rivai

Mendorong Integrasi Peta Partisipatif dalam Kebijakan Satu Peta di Daerah – Ferra Rifni Nusa

Penghargaan HANTARU Award kepada Mas Ganden – JKPP

Keberhasilan Pemetaan Partisipatif dalam Penyelesaian Konflik di Blitar- Sofyan Ubaidi Anom

Pemetaan Wilayah Adat Apau Kayan, Malinau – Rahmat Sulaiman

Belum ada contoh pelaksanaan Perber 4 Menteri yang rangkaian kegiatannya tuntas sampai akhir. Sehingga tidak bijak untuk sampai pada kesimpulan berhasil atau tidaknya dan berdampak seperti apa baik bagi masyarakat terdampak maupun kebijakan pertanahan/kehutanan

Terbit atas Dukungan

Page 3: Kabar jkpp 20

Usia setahun Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-II/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan (selanjutnya Perber 4 menteri), memicu dinamika kebijakan dan implementasi di lapangan yang cukup gaduh. Gaduhnya perdebatan di tingkat wacana dan kebijakan memang tidak sampai ramai di khalayak umum (misal merambah perdebatan di medsos dengan kultwit dan semacamnya). Akan tetapi dua opini berlawanan di koran nasional terpandang, ramainya serangkaian diskusi dan seminar yang melibatkan segenap pemangku kepentingan kehutanan dan pertanahan sudah cukup memperlihatkan magnitudenya. Dalam ranah implementasi, Perber 4 Menteri ini ternyata cukup mengusik tatanan penguasaan lahan (kawasan hutan) di beberapa wilayah, terutama di Pulau Jawa. Muncul berbagai aksi dari kalangan petani hutan yang ditanggapi dengan aksi dari pihak lain yang menambah semarak pelaksanaan Perber 4 Menteri di lapangan.

Satu tahun usia Perber 4 Menteri (dengan niatan di belakangnya yang cukup ambisius itu) sebenarnya belum cukup untuk meneropong dampak perubahannya. Dalam penjelasan saya di bawah nanti, belum ada contoh pelaksanaan Perber 4 Menteri yang rangkaian kegiatannya tuntas sampai akhir. Sehingga tidak bijak untuk sampai pada kesimpulan berhasil atau tidaknya dan berdampak seperti apa baik bagi masyarakat terdampak maupun kebijakan pertanahan/kehutanan. Saya kira, dalam umur semuda itu, kita hanya bisa memetakan dinamika terkini yang diwarnai dengan asumsi, harapan dan kekhawatiran. Tulisan ini hanya memotret dan memotong sebagian kecil dari peta tersebut.

Setahun Pelaksanaan Perber 4 Menteri

Memotret di Peta yang Belum Jadi:

KABAR uTAMA

Mumu Muhajir

KABAR JKPP

3

Manager Program Hukum dan Keadilan Lingkungan

Epistema Institute

REDAKSI KABAR JKPPPenanggung Jawab: Deny Rahadian; Pemimpin Redaksi: Dewi Sutejo; Redaktur: Ade Ikhzan; Redaktur Pracetak: Amir Hamzah Siregar; Reporter & Kontributor: Mumu Muhajir, Imam Hanafi, Kasmita Widodo, Muhammad Al Amin, First San Hendra Rivai, Diarman, Sofyan Ubaidi Anom, Rahmat Sulaiman, Ferra Rifni Nusa ; Sirkulasi & Distribusi: Diana Sefiani, Yowanda

Alamat Redaksi :Jaringan Kerja Pemetaan PartisipatifJl. Cimanuk Blok B7 No.6, Komp. Bogor Baru, Bogor 16152 INDONESIATelp & Fax. +62 251 8379143 Email: [email protected] ; Website: www.jkpp.org

KABAR JKPP 20

KABAR REDAKSI

Salam Kedaulatan Atas Ruang,

Para Pembaca Yang Budiman, kali ini KABAR JKPP kembali hadir di tangan para pembaca.

Pada KABAR JKPP 20 ini menyajikan beberapa sumbangan tulisan dari kawan-kawan di Sekretariat Nasional, Mitra maupun anggota dan Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif. Mumu Muhajir dari Epistema Institute memberikan catatan kritis setahun Implementasi Peraturan Bersama 4 Kementerian dan Lembaga di beberapa daerah yang menjadi fokus perhatiannya.

Imam Hanafi (Kepala Divisi Advokasi JKPP), membaca inisitaif Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) KLHK yang akan memberikan akses 12,7 juta Ha kawasan hutan kepada masyarakat, apakah inisiatif ini menjadi peluang atau ancaman bagi masyarakat? Kasmita Widodo dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) memaparkan perkembangan registrasi dan verifikasi wilayah adat untuk penyiapan pengakuan wilayah masyarakat adat. Selain itu, kawan-kawan dari Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) menceritakan pengalaman dalam perluasan wilayah pemetaan partisipatif dalam mendorong perluasan wilayah kelola masyarakat adat/lokal juga upaya-upaya mendorong advokasi perlindungan dan pengakuan wilayah kelola masyarakat adat/lokal.

Akhirnya, kami selalu membuka kritik, saran dan terutama tulisan baik ide, analisis maupun pengalaman belajar dari para pembaca untuk memperkaya media ini. Selamat Membaca!

REDAKSI

Yang Dapat Kami Kabari

Memotret di Peta yang Belum Jadi: Setahun Pelaksanaan Perber 4 Menteri - Mumu Muhajir

Inisiatif Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), Peluang atau Ancaman? - Imam Hanafi

Registrasi dan Pengakuan Wilayah Adat – Kasmita Widodo

Krisis di Tanah Salewangang – Muhammad Al Amin

Dinamika Pengakuan Wilayah Adat : Kesiapan Masyarakat Hukum Adat dan Kegamangan Pemerintahan Daerah – First San Hendra Rivai

Mendorong Integrasi Peta Partisipatif dalam Kebijakan Satu Peta di Daerah – Ferra Rifni Nusa

Penghargaan HANTARU Award kepada Mas Ganden – JKPP

Keberhasilan Pemetaan Partisipatif dalam Penyelesaian Konflik di Blitar- Sofyan Ubaidi Anom

Pemetaan Wilayah Adat Apau Kayan, Malinau – Rahmat Sulaiman

Belum ada contoh pelaksanaan Perber 4 Menteri yang rangkaian kegiatannya tuntas sampai akhir. Sehingga tidak bijak untuk sampai pada kesimpulan berhasil atau tidaknya dan berdampak seperti apa baik bagi masyarakat terdampak maupun kebijakan pertanahan/kehutanan

Terbit atas Dukungan

Page 4: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

5KABARJKPP

4

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Transparansi data: Kita bergerak maju?

Sebelum kita potret, pertama yang perlu kita lakukan adalah mendapatkan petanya. Tentu peta ini harus dipercaya akurasinya dan dikeluarkan oleh institusi resmi. Dalam hal pelaksanaan perber 4 Menteri, peta sederhana yang harus di-sediakan setidaknya menyediakan informasi tentang kabupaten/provinsi mana yang sudah ada pembentukan tim IP4T, dimana lokasi prioritasnya, berapa targetnya, berapa anggarannya, berapa persil yang diverikasi, apa hasil rekomendasinya. Sebuah peta agregat.

Peta itu tidak tersedia. Atau peta itu ada tetapi tidak tersedia secara terbuka untuk publik. Situasi terakhir itu yang melingkupi saya. Itupun dengan data yang isinya hanya memenuhi satu dari enam kriteria informasi yang disebutkan di paragraf di atas. Data itu pun tidak dikeluarkan oleh instansi resmi, tapi oleh individu di dalam institusi resmi itu. Hanya saja, dengan magnitude yang besar, kesempatan untuk lebih berpartisipasi menelisik kawasan hutan serta perhatian dari legislatif, saya memperkirakan tidak mungkin institusi, seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang, tidak memiliki data agregat pelaksanaan Perber 4 Menteri di lapangan. Tidak mungkin data itu hanya data omongan dari pejabat eselon di sana. Tidak mungkin. Ini soal besar.

Kenyataannya saya bangun sendiri database pelaksanaan Perber 4 Menteri dengan bantuan data yang – saya kira –

tidak resmi tadi. Tanya sana-sini. Isinya belum sampai mengisi 6 kriteria informasi di atas. Tapi cukup bagi saya untuk membagi potretnya dengan khalayak.

Minimnya Daerah yang membentuk Tim IP4T

Menurut Perber 4 Menteri, syarat pertama pelaksanaannya adalah pem-bentukan Tim Inventarisasi Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) di dalam kawasan hutan yang dibentuk oleh Bupati atau Gubernur. IP4T versi Perber ini perlu dibedakan dengan IP4T lain yang sudah merupakan keseharian BPN. Bedanya Tim IP4T versi Perber 4 Menteri bekerja di dalam kawasan hutan. Suatu wilayah yang – dilandasi larangan sumir – tidak pernah dimasuki IP4T. Dalam pengumpulan informasi, kejelasan ini menjadi penting karena bisa jadi staf di Kantah Kabupaten menjawab sudah ada Tim IP4T, tetapi yang dimaksud Tim IP4T “biasa”.

Data terakhir Bulan November, sudah ada 81 Kabupaten dan 6 Provinsi di Indonesia yang memiliki Tim IP4T versi Perber 4 Menteri. Tentu jika dibandingkan

dengan jumlah kabupaten dan provinsi yang ada, jumlah itu masih minim. Tapi sekali lagi, itu adalah data yang dibangun sendiri. Bukan data resmi.

Dari 81 Kabupaten itu, saya mem-perhatikan 8 Kabupaten (Pandeglang, Lebak, Lumajang, Temanggung, Barito Selatan, Kapuas, Muaro Jambi, Kerinci). Pemotretan cepat atas delapan kabupaten itu pula saya bisa memiliki bahan untuk bicara bagaimana Perber 4 Menteri ini dilaksanakan.

Secara alami, air dan minyak selalu terpisah: koordinasi internal Tim IP4T dan konsekuensinya

Tidak perlu mengerutkan kening jika pembentukan Tim IP4T akan sedikit mengalami kendala. Tidak semua Bupati/Gubernur memiliki ketertarikan menyelesaikan konik tenurial di dalam kawasan hutan. Apalagi Perber 4 Menteri hanya mencakup masyarakat, masyarakat adat, pemerintah dan badan sosial agama. Perusahaan tidak dapat menjadi pihak pemohon dalam pelaksanaan Perber 4 Menteri. Masyarakat yang tidak terlayani pendaftaran tanahnya yang sedikit banyak berpengaruh pada perlindungan haknya belum menjadi perhatian utama.

Ketika Tim IP4T terbentuk pun masalah klasik muncul kembali. Kontestasi dan koordinasi antar institusi negara yang sama-sama mengurus lahan menguat ketika membicarakan soal alokasi anggaran, pembagian kerja sampai remeh temeh pelaksanaan rapat harian. Belum lagi Kemendagri dan Pemda yang sepertinya pasif mengurus Perber 4 Menteri. Bagi pihak Kehutanan, Perber 4 Menteri dengan IP4T-nya itu terlalu berbau BPN, sementara bagi Kemen-ATR/BPN, ini kesempatan untuk memasuki wilayah yang selama ini tidak diperbolehkan masuk. Soal kontestasi ini merembet pada mempermasalahkan soal petunjuk pelaksanaan atau Juklak dan membesar pada soal ketidakinginan terlibat di dalam proses IP4T dan revisi Perber 4 Menteri. Juklak yang dibentuk Kemen-ATR dianggap tidak representatif karena diterbitkan hanya oleh Kemen-ATR, tidak oleh 4 kementerian lain (sekarang menjadi 3 Kementerian dengan digabungkannya Tata Ruang dengan Pertanahan). Tuntutan harus adanya Juklak

yang disusun bareng ini (disebut Juklakber atau Juklak bersama) menjadi kartu truf institusi kehutanan untuk tidak terlibat (dulu) dalam proses IP4T yang sedang berjalan. Alasan yang secara hukum bisa diterima. Ada surat resmi dari BPKH ke Kanwil Pertanahan/Kantah Kabupaten untuk tidak terlibat di dalam proses IP4T (inventarisasi/ verikasi penguasaan lahan di dalam kawasan hutan) yang sedang berlangsung sampai ada Juklak bersama. Tuntutannya tidak berhenti di sana: sejak pertengahan tahun 2015, sudah disusun revisi Perber 4 Menteri dengan menaikkan statusnya menjadi peraturan presiden. Bagi saya sendiri, hiruk pikuk soal hukum ini sebenarnya hanya cara legitimate untuk menutupi kenyataan bahwa ada institusi yang terancam dengan lahirnya Perber 4 Menteri ini dan memperlambat proses pelaksanaan di lapangan.

Walaupun ber(di-)hembuskan ke “bawah”, dua isu itu cukup memperlambat roda pelaksanaan IP4T yang dianggap lepas kendali. Tidak ada yang tahu apa yang dimaksud dengan lepas kendali ini dengan melihat bahwa hanya dibeberapa daerah saja sudah dilakukan inventarisasi (dan bukan verikasi) penguasaan lahan di dalam kawasan hutan. Beberapa Tim IP4T di kabupaten menahan langkahnya. Namun dari 8 kabupaten yang saya perhatikan, hanya dua daerah yang langkah pelaksanaan Perber 4 Menterinya limbung. Dua Kabupaten ini ada di Pulau Jawa. Saya memperkirakan bahwa perbedaan pengelola hutan menjadi indikator untuk melihat sukses tidaknya pelaksanaan Perber di daerah. Indikator pengelola itu merentang dari perusahaan negara, taman nasional, hutan produksi berijin dan seterusnya. Perber 4 menteri masih dilihat sebagai sesuatu yang datang dari luar yang harus ditanggulangi semestinya.

IP4T versi Perber ini perlu dibedakan dengan IP4T lain yang sudah merupakan keseharian BPN. Bedanya Tim IP4T versi Perber 4 Menteri bekerja di dalam kawasan hutan

Page 5: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

5KABARJKPP

4

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Transparansi data: Kita bergerak maju?

Sebelum kita potret, pertama yang perlu kita lakukan adalah mendapatkan petanya. Tentu peta ini harus dipercaya akurasinya dan dikeluarkan oleh institusi resmi. Dalam hal pelaksanaan perber 4 Menteri, peta sederhana yang harus di-sediakan setidaknya menyediakan informasi tentang kabupaten/provinsi mana yang sudah ada pembentukan tim IP4T, dimana lokasi prioritasnya, berapa targetnya, berapa anggarannya, berapa persil yang diverikasi, apa hasil rekomendasinya. Sebuah peta agregat.

Peta itu tidak tersedia. Atau peta itu ada tetapi tidak tersedia secara terbuka untuk publik. Situasi terakhir itu yang melingkupi saya. Itupun dengan data yang isinya hanya memenuhi satu dari enam kriteria informasi yang disebutkan di paragraf di atas. Data itu pun tidak dikeluarkan oleh instansi resmi, tapi oleh individu di dalam institusi resmi itu. Hanya saja, dengan magnitude yang besar, kesempatan untuk lebih berpartisipasi menelisik kawasan hutan serta perhatian dari legislatif, saya memperkirakan tidak mungkin institusi, seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang, tidak memiliki data agregat pelaksanaan Perber 4 Menteri di lapangan. Tidak mungkin data itu hanya data omongan dari pejabat eselon di sana. Tidak mungkin. Ini soal besar.

Kenyataannya saya bangun sendiri database pelaksanaan Perber 4 Menteri dengan bantuan data yang – saya kira –

tidak resmi tadi. Tanya sana-sini. Isinya belum sampai mengisi 6 kriteria informasi di atas. Tapi cukup bagi saya untuk membagi potretnya dengan khalayak.

Minimnya Daerah yang membentuk Tim IP4T

Menurut Perber 4 Menteri, syarat pertama pelaksanaannya adalah pem-bentukan Tim Inventarisasi Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) di dalam kawasan hutan yang dibentuk oleh Bupati atau Gubernur. IP4T versi Perber ini perlu dibedakan dengan IP4T lain yang sudah merupakan keseharian BPN. Bedanya Tim IP4T versi Perber 4 Menteri bekerja di dalam kawasan hutan. Suatu wilayah yang – dilandasi larangan sumir – tidak pernah dimasuki IP4T. Dalam pengumpulan informasi, kejelasan ini menjadi penting karena bisa jadi staf di Kantah Kabupaten menjawab sudah ada Tim IP4T, tetapi yang dimaksud Tim IP4T “biasa”.

Data terakhir Bulan November, sudah ada 81 Kabupaten dan 6 Provinsi di Indonesia yang memiliki Tim IP4T versi Perber 4 Menteri. Tentu jika dibandingkan

dengan jumlah kabupaten dan provinsi yang ada, jumlah itu masih minim. Tapi sekali lagi, itu adalah data yang dibangun sendiri. Bukan data resmi.

Dari 81 Kabupaten itu, saya mem-perhatikan 8 Kabupaten (Pandeglang, Lebak, Lumajang, Temanggung, Barito Selatan, Kapuas, Muaro Jambi, Kerinci). Pemotretan cepat atas delapan kabupaten itu pula saya bisa memiliki bahan untuk bicara bagaimana Perber 4 Menteri ini dilaksanakan.

Secara alami, air dan minyak selalu terpisah: koordinasi internal Tim IP4T dan konsekuensinya

Tidak perlu mengerutkan kening jika pembentukan Tim IP4T akan sedikit mengalami kendala. Tidak semua Bupati/Gubernur memiliki ketertarikan menyelesaikan konik tenurial di dalam kawasan hutan. Apalagi Perber 4 Menteri hanya mencakup masyarakat, masyarakat adat, pemerintah dan badan sosial agama. Perusahaan tidak dapat menjadi pihak pemohon dalam pelaksanaan Perber 4 Menteri. Masyarakat yang tidak terlayani pendaftaran tanahnya yang sedikit banyak berpengaruh pada perlindungan haknya belum menjadi perhatian utama.

Ketika Tim IP4T terbentuk pun masalah klasik muncul kembali. Kontestasi dan koordinasi antar institusi negara yang sama-sama mengurus lahan menguat ketika membicarakan soal alokasi anggaran, pembagian kerja sampai remeh temeh pelaksanaan rapat harian. Belum lagi Kemendagri dan Pemda yang sepertinya pasif mengurus Perber 4 Menteri. Bagi pihak Kehutanan, Perber 4 Menteri dengan IP4T-nya itu terlalu berbau BPN, sementara bagi Kemen-ATR/BPN, ini kesempatan untuk memasuki wilayah yang selama ini tidak diperbolehkan masuk. Soal kontestasi ini merembet pada mempermasalahkan soal petunjuk pelaksanaan atau Juklak dan membesar pada soal ketidakinginan terlibat di dalam proses IP4T dan revisi Perber 4 Menteri. Juklak yang dibentuk Kemen-ATR dianggap tidak representatif karena diterbitkan hanya oleh Kemen-ATR, tidak oleh 4 kementerian lain (sekarang menjadi 3 Kementerian dengan digabungkannya Tata Ruang dengan Pertanahan). Tuntutan harus adanya Juklak

yang disusun bareng ini (disebut Juklakber atau Juklak bersama) menjadi kartu truf institusi kehutanan untuk tidak terlibat (dulu) dalam proses IP4T yang sedang berjalan. Alasan yang secara hukum bisa diterima. Ada surat resmi dari BPKH ke Kanwil Pertanahan/Kantah Kabupaten untuk tidak terlibat di dalam proses IP4T (inventarisasi/ verikasi penguasaan lahan di dalam kawasan hutan) yang sedang berlangsung sampai ada Juklak bersama. Tuntutannya tidak berhenti di sana: sejak pertengahan tahun 2015, sudah disusun revisi Perber 4 Menteri dengan menaikkan statusnya menjadi peraturan presiden. Bagi saya sendiri, hiruk pikuk soal hukum ini sebenarnya hanya cara legitimate untuk menutupi kenyataan bahwa ada institusi yang terancam dengan lahirnya Perber 4 Menteri ini dan memperlambat proses pelaksanaan di lapangan.

Walaupun ber(di-)hembuskan ke “bawah”, dua isu itu cukup memperlambat roda pelaksanaan IP4T yang dianggap lepas kendali. Tidak ada yang tahu apa yang dimaksud dengan lepas kendali ini dengan melihat bahwa hanya dibeberapa daerah saja sudah dilakukan inventarisasi (dan bukan verikasi) penguasaan lahan di dalam kawasan hutan. Beberapa Tim IP4T di kabupaten menahan langkahnya. Namun dari 8 kabupaten yang saya perhatikan, hanya dua daerah yang langkah pelaksanaan Perber 4 Menterinya limbung. Dua Kabupaten ini ada di Pulau Jawa. Saya memperkirakan bahwa perbedaan pengelola hutan menjadi indikator untuk melihat sukses tidaknya pelaksanaan Perber di daerah. Indikator pengelola itu merentang dari perusahaan negara, taman nasional, hutan produksi berijin dan seterusnya. Perber 4 menteri masih dilihat sebagai sesuatu yang datang dari luar yang harus ditanggulangi semestinya.

IP4T versi Perber ini perlu dibedakan dengan IP4T lain yang sudah merupakan keseharian BPN. Bedanya Tim IP4T versi Perber 4 Menteri bekerja di dalam kawasan hutan

Page 6: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

7KABARJKPP

6

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Seimbangkan layarnya: peran pemetaan partisipatif

Mari tinggalkan hiruk pikuk di nasional, kita lihat apa yang terjadi di lapangan. 6 kabupaten tetap melaksanakan tahapan IP4T sampai tahapan pembuatan rekomendasi Tim IP4T. Saya tidak ceritakan keberhasilan dan halangannya. Saya ingin melihat satu peluang yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dan pendampingnya.

Tahapan setelah terbentuknya Tim IP4T adalah penentuan lokasi prioritas. Penentuan lokasi prioritas ini mau tidak mau dilakukan karena banyaknya lokasi konik penguasaan lahan di dalam kawasan hutan dan halangan anggaran. Apalagi Perber 4 Menteri meminta penyelesaian tahapan IP4T itu dikerjakan dalam waktu 6 bulan. Satu tuntutan waktu yang tidak mungkin dikerjakan di lapangan. Pada saat penentuan lokasi itulah, masyarakat dan pendamping-nya, terutama yang sudah ada pemetaan partisipatif (di dalam kawasan hutan) bisa mengajukan usulan wilayahnya dijadikan lokasi prioritas.

Di wilayah yang ada pemetaan partisipatif itu, pelaksanaan inventarisasi relatif berjalan cepat, lancar dan tidak menimbulkan konik tambahan (kecuali ada 'konik” yang sengaja diciptakan berupa kriminalisasi). Dengan adanya Pemetaan Partisipatif itu juga dapat dicegah klaim tiba-tiba dan waktunya belakangan yang meluas di dalam kawasan hutan. Sesuatu yang hal

wajar dikhawatirkan tetapi layak pula dibantah dengan data pemetaan partisipatif. Tim IP4T dipermudah kerjanya dengan tinggal melakukan pengecekan lapangan berdasarkan data dari pemetaan partisipatif itu. Tentu saja perlu ada perbaikan atau pembaharuan dari data pemetaan partisipatif untuk lebih mencandra perkembangan terkini di wilayah tersebut. Barsel melakukannya dan sedang ditempuh di Kapuas. Sementara di Pandeglang, satu lokasi (yakni Legon Pakis; satu dari empat lokasi pelaksanaan IP4T) relatif lancar dilakukan karena adanya pemetaan partisipatif. Gejolak (kemungkinan besar sengaja digerakkan) terjadi di wilayah lain di luar Legon Pakis.

Demikian potret singkat yang bisa dipaparkan dalam tulisan ini. Perber 4 Menteri memang memberikan langkah terobosan yang cukup berani di tengah ketidakmauan (atau ketidakmampuan) institusi yang ada dalam menyelesaikan konik penguasaan lahan di dalam kawasan hutan. Tantangan dan ganjalannya pasti seimbang dengan magnitude yang ingin diselesaikannya. Karena itu peluang perlu diperluas dan kalau perlu diciptakan (misalnya dengan menggandengkannya dengan proses pengakuan hak masyarakat adat). Caranya dengan melihat membalik cara pandang: kalau (norma dalam) Perber 4 Menteri dianggap “menabrak” suatu aturan atau kelembagaan yang mapan bisa jadi yang perlu diubah bukan (norma dalam) Perber 4 Menteri itu, namun aturan atau

KABAR uTAMA

Sahnya status kawasan hutan apabila kawasan tersebut telah ditetapkan melalui proses pengukuhan kawasan hutan. Proses penetapan dimulai dari; penunjukan kawasan menjadi kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan, proses penatabatasan kawasan hutan yang dilakukan oleh panitia tata batas kawasan hutan dengan melakukan proses identikasi dan verikasi hak-h a k p i h a k k e t i g a , p e m a n c a n g a n t a p a l b a t a s , d a n penandatanganan surat berita acara dan peta tata batas oleh pihak terkait. Setelah melalui proses tersebut maka kawasan hutan dimaksud bisa dinyatakan kukuh.

Sekilas Kawasan Hutan

Konik tumpang tindih pengelolaan didalam kawasan hutan menimbulkan ragam persoalan bagi masyarakat. Diantaranya yaitu hilang dan terbatasnya akses lahan dan wilayah kelola masyarakat, hal ini ditenggarai oleh proses penunjukan langsung atau akibat tukar guling kawasan yang dilakukan oleh pemerintah. Pada tingkat tapak tidak jarang konik terjadi karena kenakalan petugas kehutanan yang dengan sengaja memindahkan/menggeser posisi patok batas kemudian berujung pada kriminalisasi dan penangkapan masyarakat karena dianggap merambah hutan.

Disisi lain, sampai detik ini kewajiban pemerintah dalam melakukan pengukuhan kawasan hutan belum juga selesai. Di beberapa tempat yang konon telah melakukan proses tata batas dan pengukuhan, hanya dilakukan sepihak tanpa melibatkan masyarakat dalam proses identikasi dan verikasi kawasan hutan, baik batas maupun bagian dalam kawasan. Sangat ironis jika saat ini masih ditemukan klaim batas kawasan hutan justru berada di pekarangan rumah atau di wilayah-wilayah kelola masyarakat. Sederhananya, peta indikatif diatas meja, dijadikan sebagai landasan dalam menentukan patok batas dilapangan. Akibatnya, tidak sedikit tanah dan wilayah kelola masyarakat statusnya berubah menjadi kawasan hutan.

Inisiatif Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), Peluang atau Ancaman?

Imam HanafiKepala Divisi Advokasi

Sekretariat Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Melalui inisiatif perhutanan sosial, JKPP sangat mengharapkan skema ini bukan sekedar menerima ajuan dan mengeluarkan perijinan, melainkan diharapkan mampu menjadi jembatan dalam membantu pemerintah dalam memperjelas status kukuhnya kawasan hutan dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan

Page 7: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

7KABARJKPP

6

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Seimbangkan layarnya: peran pemetaan partisipatif

Mari tinggalkan hiruk pikuk di nasional, kita lihat apa yang terjadi di lapangan. 6 kabupaten tetap melaksanakan tahapan IP4T sampai tahapan pembuatan rekomendasi Tim IP4T. Saya tidak ceritakan keberhasilan dan halangannya. Saya ingin melihat satu peluang yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dan pendampingnya.

Tahapan setelah terbentuknya Tim IP4T adalah penentuan lokasi prioritas. Penentuan lokasi prioritas ini mau tidak mau dilakukan karena banyaknya lokasi konik penguasaan lahan di dalam kawasan hutan dan halangan anggaran. Apalagi Perber 4 Menteri meminta penyelesaian tahapan IP4T itu dikerjakan dalam waktu 6 bulan. Satu tuntutan waktu yang tidak mungkin dikerjakan di lapangan. Pada saat penentuan lokasi itulah, masyarakat dan pendamping-nya, terutama yang sudah ada pemetaan partisipatif (di dalam kawasan hutan) bisa mengajukan usulan wilayahnya dijadikan lokasi prioritas.

Di wilayah yang ada pemetaan partisipatif itu, pelaksanaan inventarisasi relatif berjalan cepat, lancar dan tidak menimbulkan konik tambahan (kecuali ada 'konik” yang sengaja diciptakan berupa kriminalisasi). Dengan adanya Pemetaan Partisipatif itu juga dapat dicegah klaim tiba-tiba dan waktunya belakangan yang meluas di dalam kawasan hutan. Sesuatu yang hal

wajar dikhawatirkan tetapi layak pula dibantah dengan data pemetaan partisipatif. Tim IP4T dipermudah kerjanya dengan tinggal melakukan pengecekan lapangan berdasarkan data dari pemetaan partisipatif itu. Tentu saja perlu ada perbaikan atau pembaharuan dari data pemetaan partisipatif untuk lebih mencandra perkembangan terkini di wilayah tersebut. Barsel melakukannya dan sedang ditempuh di Kapuas. Sementara di Pandeglang, satu lokasi (yakni Legon Pakis; satu dari empat lokasi pelaksanaan IP4T) relatif lancar dilakukan karena adanya pemetaan partisipatif. Gejolak (kemungkinan besar sengaja digerakkan) terjadi di wilayah lain di luar Legon Pakis.

Demikian potret singkat yang bisa dipaparkan dalam tulisan ini. Perber 4 Menteri memang memberikan langkah terobosan yang cukup berani di tengah ketidakmauan (atau ketidakmampuan) institusi yang ada dalam menyelesaikan konik penguasaan lahan di dalam kawasan hutan. Tantangan dan ganjalannya pasti seimbang dengan magnitude yang ingin diselesaikannya. Karena itu peluang perlu diperluas dan kalau perlu diciptakan (misalnya dengan menggandengkannya dengan proses pengakuan hak masyarakat adat). Caranya dengan melihat membalik cara pandang: kalau (norma dalam) Perber 4 Menteri dianggap “menabrak” suatu aturan atau kelembagaan yang mapan bisa jadi yang perlu diubah bukan (norma dalam) Perber 4 Menteri itu, namun aturan atau

KABAR uTAMA

Sahnya status kawasan hutan apabila kawasan tersebut telah ditetapkan melalui proses pengukuhan kawasan hutan. Proses penetapan dimulai dari; penunjukan kawasan menjadi kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan, proses penatabatasan kawasan hutan yang dilakukan oleh panitia tata batas kawasan hutan dengan melakukan proses identikasi dan verikasi hak-h a k p i h a k k e t i g a , p e m a n c a n g a n t a p a l b a t a s , d a n penandatanganan surat berita acara dan peta tata batas oleh pihak terkait. Setelah melalui proses tersebut maka kawasan hutan dimaksud bisa dinyatakan kukuh.

Sekilas Kawasan Hutan

Konik tumpang tindih pengelolaan didalam kawasan hutan menimbulkan ragam persoalan bagi masyarakat. Diantaranya yaitu hilang dan terbatasnya akses lahan dan wilayah kelola masyarakat, hal ini ditenggarai oleh proses penunjukan langsung atau akibat tukar guling kawasan yang dilakukan oleh pemerintah. Pada tingkat tapak tidak jarang konik terjadi karena kenakalan petugas kehutanan yang dengan sengaja memindahkan/menggeser posisi patok batas kemudian berujung pada kriminalisasi dan penangkapan masyarakat karena dianggap merambah hutan.

Disisi lain, sampai detik ini kewajiban pemerintah dalam melakukan pengukuhan kawasan hutan belum juga selesai. Di beberapa tempat yang konon telah melakukan proses tata batas dan pengukuhan, hanya dilakukan sepihak tanpa melibatkan masyarakat dalam proses identikasi dan verikasi kawasan hutan, baik batas maupun bagian dalam kawasan. Sangat ironis jika saat ini masih ditemukan klaim batas kawasan hutan justru berada di pekarangan rumah atau di wilayah-wilayah kelola masyarakat. Sederhananya, peta indikatif diatas meja, dijadikan sebagai landasan dalam menentukan patok batas dilapangan. Akibatnya, tidak sedikit tanah dan wilayah kelola masyarakat statusnya berubah menjadi kawasan hutan.

Inisiatif Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), Peluang atau Ancaman?

Imam HanafiKepala Divisi Advokasi

Sekretariat Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Melalui inisiatif perhutanan sosial, JKPP sangat mengharapkan skema ini bukan sekedar menerima ajuan dan mengeluarkan perijinan, melainkan diharapkan mampu menjadi jembatan dalam membantu pemerintah dalam memperjelas status kukuhnya kawasan hutan dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan

Page 8: Kabar jkpp 20

Indikasi suatu areal kawasan hutan telah ditetapkan (dikukuhkan) biasanya dapat ditunjukkan dengan adanya peta tata batas kawasan hutan dan surat berita acara tata batas kawasan hutan. Namun sayangnya, kedua dokumen pendukung penetapan kawasan tersebut terkadang tidak mampu dihadirkan dan diinformasikan kepada masyarakat. Karena jika bukan karena tidak ada, maka disebabkan karena proses penatabatasan dan penetapan kawasan hutan hanya dilakukan secara sepihak.

Pulau Jawa mengalami hal yang lebih rumit, penetapan status kawasan hutan hanya didasarkan pada warisan kolonial Belanda. Meskipun dalam perjalanan sejarah kehutanan di Pulau Jawa, juga mengalami tumpang tindih pengelolaan dengan wilayah-wilayah kelola masyarakat. Hingga saat ini, tidak kurang dari 33 ribu desa yang diklaim berada di dalam kawasan hutan. Akibatnya, titel status kawasan hutan dibanyak tempat telah merampas wilayah-wilayah kelola masyarakat yang telah mendiami dan mengakses ruang hidup dan sumber-sumber penghidupannya secara turun temurun.

Klaim luas kawasan hutan di Indonesia mencapai kurang lebih 131,28 juta hektar. Luasan ini seharusnya hanya merupakan luas indikatif, karena hanya didasarkan pada hasil perhitungan batas luar temu gelang, dengan mengabaikan lahan dan wilayah kelola masyarakat disepanjang trayek batas, maupun yang tepat berada di dalam kawasan hutan.

Kondisi kekinian, dengan direvisinya Permenhut tentang Pengukuhan Kawasan Hutan No 32 Tahun 2001, makin jauh dari harapan untuk memperjelas dan mengembalikan status hak atas tanah dan wilayah kelola masyarakat didalam kawasan hutan. Terlebih ketika pelaksana penatabatasan kawasan hutan tidak lagi melibatkan kepala desa, tokoh adat dan tokoh masyarakat (P-25/2014). TAP MPR No 9 Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agrarian dan Pengelolaan SDA seharusnya bisa menjadi dasar dalam upaya penyelesaian sengketa hak dan akses masyarakat atas ruang, tetapi kenyataannya hingga kurun waktu 14 tahun berlalu konik ruang terus meningkat. Pemerintah menjadi bagian dari konik karena menjadi bagian

dalam konstelasi perebutan ruang ini, sehingga banyak peluang kebijakan penyelesaian konik terhenti tanpa sempat dijalankan. Fakta lainya yaitu; Permendagri No 26/2007 tentang Penetapan dan Penegasan Batas Desa tidak berhasil mengantisipasi konik batas antar desa. PP 68/2010 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang tidak mampu mengantisipasi perbedaan fungsi ruang antara konsep masyarakat dan RTRWN/P/K. Masih banyak kebijakan lainnya yang juga tidak berfungsi sebagaimana mandat teks kebijakan yang tertulis didalamnya.

Wilayah kelola masyarakat atau PIAPS ?

Beberapa bulan yang lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan konsep terkait akses masyarakat kedalam kawasan hutan yang disebut dengan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Konsep ini bukan tergolong baru, kecuali penambahan model hutan adat yang dimasukkan kedalam skema perhutanan sosial.

Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) adalah peta yang menggambarkan sebaran areal bagi perijinan Perhutanan Sosial, baik didalam kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan. PIAPS merupakan skema akses masyarakat kedalam kawasan hutan yang diinisiasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Skema perhutanan sosial berbentuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemitraan (HK) dan Hutan Adat (HA). Luasan PIAPS yang

dicanangkan KLHK mencapai luasan 12,7 Juta Hektar yang tersebar disemua daerah kecuali Jawa dan Lampung. Jawa dan Lampung masih sama nasibnya “ditinggalkan”.

Berdasarkan keterangan Direktur Penanganan Konik, Tenurial, dan Hutan Adat, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan KLHK, penetapan Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial (PIAPS) akan diatur melalui Instruksi Presiden (Inpres). Berdasarkan hasil penyusunan peta PIAPS, kurang lebih 12,7 juta hektar akan menjadi target dalam pencapaian PIAPS. Jumlah luasan tersebut dianggap cukup baik jika mencakup kawasan hutan tanpa

tumpang tindih dengan hak atau izin lain didalamnya. Peta lokasi PIAPS seluas 12,7 juta Ha ini masih bersifat indikatif dan masih bisa berubah (berkurang atau bertambah), tergantung situasi dan kondisi ditingkat lapang. Untuk wilayah diluar kawasan hutan yang oleh masyarakat dicadangkan sebagai hutan, dalam prosesnya bisa diajukan sebagai bagian dalam perhutanan sosial. Perhutanan sosial membutuhkan kepastian kawasan hutan yang telah kukuh melalui proses penetapan sebagaimana penjelasan sebelumnya. Bebas dari tumpang tindih hak, baik dengan areal konsesi maupun dengan wilayah kelola masyarakat. Sehingga dalam implementasinya, areal perhutanan sosial statusnya memang berada didalam kawasan

KABAR JKPP

9KABARJKPP

8

Gambar 1. Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS)

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Tanpa proses identikasi dan verikasi atas penguasaan ruang dan lahan, maka konsep perhutanan sosial hanya menjadi mekanisme legal baru dalam peniadaan dan pengabaian hak masyarakat atas ruang dan lahan berdasarkan hak asal usulnya.

Page 9: Kabar jkpp 20

Indikasi suatu areal kawasan hutan telah ditetapkan (dikukuhkan) biasanya dapat ditunjukkan dengan adanya peta tata batas kawasan hutan dan surat berita acara tata batas kawasan hutan. Namun sayangnya, kedua dokumen pendukung penetapan kawasan tersebut terkadang tidak mampu dihadirkan dan diinformasikan kepada masyarakat. Karena jika bukan karena tidak ada, maka disebabkan karena proses penatabatasan dan penetapan kawasan hutan hanya dilakukan secara sepihak.

Pulau Jawa mengalami hal yang lebih rumit, penetapan status kawasan hutan hanya didasarkan pada warisan kolonial Belanda. Meskipun dalam perjalanan sejarah kehutanan di Pulau Jawa, juga mengalami tumpang tindih pengelolaan dengan wilayah-wilayah kelola masyarakat. Hingga saat ini, tidak kurang dari 33 ribu desa yang diklaim berada di dalam kawasan hutan. Akibatnya, titel status kawasan hutan dibanyak tempat telah merampas wilayah-wilayah kelola masyarakat yang telah mendiami dan mengakses ruang hidup dan sumber-sumber penghidupannya secara turun temurun.

Klaim luas kawasan hutan di Indonesia mencapai kurang lebih 131,28 juta hektar. Luasan ini seharusnya hanya merupakan luas indikatif, karena hanya didasarkan pada hasil perhitungan batas luar temu gelang, dengan mengabaikan lahan dan wilayah kelola masyarakat disepanjang trayek batas, maupun yang tepat berada di dalam kawasan hutan.

Kondisi kekinian, dengan direvisinya Permenhut tentang Pengukuhan Kawasan Hutan No 32 Tahun 2001, makin jauh dari harapan untuk memperjelas dan mengembalikan status hak atas tanah dan wilayah kelola masyarakat didalam kawasan hutan. Terlebih ketika pelaksana penatabatasan kawasan hutan tidak lagi melibatkan kepala desa, tokoh adat dan tokoh masyarakat (P-25/2014). TAP MPR No 9 Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agrarian dan Pengelolaan SDA seharusnya bisa menjadi dasar dalam upaya penyelesaian sengketa hak dan akses masyarakat atas ruang, tetapi kenyataannya hingga kurun waktu 14 tahun berlalu konik ruang terus meningkat. Pemerintah menjadi bagian dari konik karena menjadi bagian

dalam konstelasi perebutan ruang ini, sehingga banyak peluang kebijakan penyelesaian konik terhenti tanpa sempat dijalankan. Fakta lainya yaitu; Permendagri No 26/2007 tentang Penetapan dan Penegasan Batas Desa tidak berhasil mengantisipasi konik batas antar desa. PP 68/2010 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang tidak mampu mengantisipasi perbedaan fungsi ruang antara konsep masyarakat dan RTRWN/P/K. Masih banyak kebijakan lainnya yang juga tidak berfungsi sebagaimana mandat teks kebijakan yang tertulis didalamnya.

Wilayah kelola masyarakat atau PIAPS ?

Beberapa bulan yang lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan konsep terkait akses masyarakat kedalam kawasan hutan yang disebut dengan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Konsep ini bukan tergolong baru, kecuali penambahan model hutan adat yang dimasukkan kedalam skema perhutanan sosial.

Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) adalah peta yang menggambarkan sebaran areal bagi perijinan Perhutanan Sosial, baik didalam kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan. PIAPS merupakan skema akses masyarakat kedalam kawasan hutan yang diinisiasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Skema perhutanan sosial berbentuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemitraan (HK) dan Hutan Adat (HA). Luasan PIAPS yang

dicanangkan KLHK mencapai luasan 12,7 Juta Hektar yang tersebar disemua daerah kecuali Jawa dan Lampung. Jawa dan Lampung masih sama nasibnya “ditinggalkan”.

Berdasarkan keterangan Direktur Penanganan Konik, Tenurial, dan Hutan Adat, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan KLHK, penetapan Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial (PIAPS) akan diatur melalui Instruksi Presiden (Inpres). Berdasarkan hasil penyusunan peta PIAPS, kurang lebih 12,7 juta hektar akan menjadi target dalam pencapaian PIAPS. Jumlah luasan tersebut dianggap cukup baik jika mencakup kawasan hutan tanpa

tumpang tindih dengan hak atau izin lain didalamnya. Peta lokasi PIAPS seluas 12,7 juta Ha ini masih bersifat indikatif dan masih bisa berubah (berkurang atau bertambah), tergantung situasi dan kondisi ditingkat lapang. Untuk wilayah diluar kawasan hutan yang oleh masyarakat dicadangkan sebagai hutan, dalam prosesnya bisa diajukan sebagai bagian dalam perhutanan sosial. Perhutanan sosial membutuhkan kepastian kawasan hutan yang telah kukuh melalui proses penetapan sebagaimana penjelasan sebelumnya. Bebas dari tumpang tindih hak, baik dengan areal konsesi maupun dengan wilayah kelola masyarakat. Sehingga dalam implementasinya, areal perhutanan sosial statusnya memang berada didalam kawasan

KABAR JKPP

9KABARJKPP

8

Gambar 1. Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS)

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Tanpa proses identikasi dan verikasi atas penguasaan ruang dan lahan, maka konsep perhutanan sosial hanya menjadi mekanisme legal baru dalam peniadaan dan pengabaian hak masyarakat atas ruang dan lahan berdasarkan hak asal usulnya.

Page 10: Kabar jkpp 20

hutan, bukan diareal yang belum jelas status penguasaannya. JKPP merupakan salah satu lembaga jaringan yang mendukung dan berkontribusi dalam peta PIAPS. Pada bulan Agustus 2015, paling tidak JKPP telah menyerahkan data peta seluas 5,2 juta hektar untuk diintegrasikan kedalam peta PIAPS. Setelah melalui proses tumpang susun dengan peta yang lain (kawasan hutan, konsesi, Peta TORA) maka data peta partisipatif yang bisa diakomodir dalam peta PIAPS hanya berkisar 1 Juta Hektar yang beririsan langsung ataupun berada di dalam kawasan hutan. Kecilnya angka ini disebabkan karena, peta PIAPS diarahkan pada lahan diluar kawasan yang tidak dibebani hak lain atau perijinan (konsesi) perusahaan. Dengan demikian penting bagi masyarakat untuk memastikan areal perijinan PIAPS ini berada diluar lahan lahan dan wilayah kelola masyarakat, kecuali memang diajukan sebagai bagian dari perhutanan sosial.

Melalui inisiatif perhutanan sosial, JKPP sangat mengharapkan skema ini bukan sekedar menerima ajuan dan mengeluarkan perijinan, melainkan diharapkan mampu menjadi jembatan dalam membantu pemerintah dalam memperjelas status kukuhnya kawasan hutan dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan. Bagi masyarakat, langkah perhutanan sosial ini diharapkan mampu menjadi solusi dalam penyelesaian sengketa pertanahan (hak dan akses) didalam kawasan hutan yang sering kali menjadi alasan kriminalisasi terhadap masyarakat. Disamping sebagai salah satu ruang bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga kedepannya, proses pengelolaan hutan dapat sinergis dan didukung oleh masyarakat melalui partisipasi langsung dalam proses perhutanan sosial.

Data-data peta partisipatif yang diintegrasikan kedalam peta PIAPS masih berbentuk “gelondongan”, artinya data peta

tersebut hanya memuat batas luar dari data peta partisipatif. Tanpa memuat dan memperlihatkan informasi tata guna lahan masyarakat didalamnya. Dengan demikian dapat dibaca secara awam bahwa dalam luasan 12,7 jt Ha yang dicanangkan oleh KLHK masih berupa luasan “kotor”, karena masih melingkupi ruang dan wilayah-wilayah kelola masyarakat.

Jika berpijak pada beberapa catatan di atas, selanjutnya memang tidak mudah proses implementasi perhutanan sosial ini, kecuali di desa-desa yang memang tidak ada konik tumpang tindih lahan di dalam kawasan hutan. Salah satu tantangannya adalah bagaimana keterlibatan dan peranserta masyarakat dalam proses memperjelas status penguasaan atas lahan (wilayah kelola rakyat).

Proses identikasi, verikasi dan registrasi wilayah kelola ini diharapkan akan berkontribusi pada proses pemantapan kawasan, baik kawasan hutan maupun wilayah kelola masyarakat secara tegas. Selanjutnya baru dimulai proses pengajuan ijin atas akses kelola masyarakat didalam kawasan hutan melalui skema perhutanan sosial. Tanpa proses identikasi dan verikasi atas penguasaan ruang dan lahan, maka konsep perhutanan sosial hanya menjadi mekanisme legal baru dalam peniadaan dan pengabaian hak masyarakat atas ruang dan lahan berdasarkan hak asal usulnya. Hal ini berlaku juga dalam hutan adat, proses identikasi dan verikasi dimulai dengan memastikan wilayah adat dan wilayah kelola masyarakat adat berdasarkan pada sistem pengelolaan ruang sesuai aturan adat yang berlaku. Sehingga perhutanan sosial dalam konteks adat, bukan sekedar melihat tumpang tindih kawasan hutan dengan wilayah adat, melainkan juga menyandarkan pada sistem dan mekanisme adat dalam menentukan hutan adat yang kemudian diregistrasi sebagai bagian perhutanan sosial dengan

persetujuan dari komunitas adat setempat. Berdasarkan hasil bacaan terhadap luasan PIAPS secara umum, sebaran dan tumpang tindih dengan peta kawasan hutan, maka bisa diketahui bahwa alokasi PIAPS terbesar berada di hutan lindung. Komposisi sebaran peta PIAPS terhadap kawasan hutan terdiri atas 12,4 juta ha (67%) berada di hutan lindung, 2,8 juta ha (15%) berada di hutan produksi, 2,6 juta ha (14%) berada di Hutan Produksi Terbatas dan selebihnya berada di wilayah konservasi. Dibanding dengan luasan wilayah kelola masyarakat yang berhasil didata memalui peta partisipatif, maka alokasi peta PIAPS ini juga berada di 4,4 juta Ha wilayah kelola masyarakat.

Dengan demikian, bagi desa-desa atau komunitas masyarakat hukum adat yang nantinya akan menyambut implementasi perhutanan sosial ini, perlu ada beberapa saran yang harus diperhatikan oleh masyarakat sebelum mengambil keputusan untuk mengajukan perhutanan sosial, yaitu :

Pertama; peta PIAPS adalah peta indikatif lokasi, bukan peta penunjukan lokasi. Sehingga tidak ada proses

pemasangan patok yang mengikuti garis dan polygon seperti yang tercantum dalam peta PIAPS. Kedua; memastikan berjalannya proses identikasi, verikasi dan klasikasi terhadap areal yang akan diajukan dalam skema perhutanan sosial, agar tidak tumpang tindih atau mencaplok wilayah kelola masyarakat (bagi wilayah yang berkonik dengan kawasan hutan maupun di areal yang non konik dalam APL). Ketiga; luasan areal PIAPS yang lebih banyak berada di areal hutan lindung, artinya dalam konsep kelolanya proporsi pemanfaatannya akan lebih cenderung pada aspek mempertahankan fungsi kawasan, karena perubahan pada fungsi produksi akan berakibat pada dampak ekologis. Keempat; bagi desa-desa yang berbatasan langsung atau desa-desa yang melekat klaim kawasan hutan di dalamnya, penting untuk segera melakukan penyediaan data penggunaan ruang dan lahan melalui pemetaan partisipatif. Kelima; penting memahami informasi PIAPS secara lengkap soal proses hingga konsekwensinya sebelum memutuskan menggunakan skema ini.

KABAR JKPP

11KABARJKPP

10

Gambar 1. Peta Wilayah Kelola Masyarakat Yang Bersumber Dari Pemetaan Partisipatif Yang Masuk Kedalam Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS)Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Page 11: Kabar jkpp 20

hutan, bukan diareal yang belum jelas status penguasaannya. JKPP merupakan salah satu lembaga jaringan yang mendukung dan berkontribusi dalam peta PIAPS. Pada bulan Agustus 2015, paling tidak JKPP telah menyerahkan data peta seluas 5,2 juta hektar untuk diintegrasikan kedalam peta PIAPS. Setelah melalui proses tumpang susun dengan peta yang lain (kawasan hutan, konsesi, Peta TORA) maka data peta partisipatif yang bisa diakomodir dalam peta PIAPS hanya berkisar 1 Juta Hektar yang beririsan langsung ataupun berada di dalam kawasan hutan. Kecilnya angka ini disebabkan karena, peta PIAPS diarahkan pada lahan diluar kawasan yang tidak dibebani hak lain atau perijinan (konsesi) perusahaan. Dengan demikian penting bagi masyarakat untuk memastikan areal perijinan PIAPS ini berada diluar lahan lahan dan wilayah kelola masyarakat, kecuali memang diajukan sebagai bagian dari perhutanan sosial.

Melalui inisiatif perhutanan sosial, JKPP sangat mengharapkan skema ini bukan sekedar menerima ajuan dan mengeluarkan perijinan, melainkan diharapkan mampu menjadi jembatan dalam membantu pemerintah dalam memperjelas status kukuhnya kawasan hutan dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan. Bagi masyarakat, langkah perhutanan sosial ini diharapkan mampu menjadi solusi dalam penyelesaian sengketa pertanahan (hak dan akses) didalam kawasan hutan yang sering kali menjadi alasan kriminalisasi terhadap masyarakat. Disamping sebagai salah satu ruang bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga kedepannya, proses pengelolaan hutan dapat sinergis dan didukung oleh masyarakat melalui partisipasi langsung dalam proses perhutanan sosial.

Data-data peta partisipatif yang diintegrasikan kedalam peta PIAPS masih berbentuk “gelondongan”, artinya data peta

tersebut hanya memuat batas luar dari data peta partisipatif. Tanpa memuat dan memperlihatkan informasi tata guna lahan masyarakat didalamnya. Dengan demikian dapat dibaca secara awam bahwa dalam luasan 12,7 jt Ha yang dicanangkan oleh KLHK masih berupa luasan “kotor”, karena masih melingkupi ruang dan wilayah-wilayah kelola masyarakat.

Jika berpijak pada beberapa catatan di atas, selanjutnya memang tidak mudah proses implementasi perhutanan sosial ini, kecuali di desa-desa yang memang tidak ada konik tumpang tindih lahan di dalam kawasan hutan. Salah satu tantangannya adalah bagaimana keterlibatan dan peranserta masyarakat dalam proses memperjelas status penguasaan atas lahan (wilayah kelola rakyat).

Proses identikasi, verikasi dan registrasi wilayah kelola ini diharapkan akan berkontribusi pada proses pemantapan kawasan, baik kawasan hutan maupun wilayah kelola masyarakat secara tegas. Selanjutnya baru dimulai proses pengajuan ijin atas akses kelola masyarakat didalam kawasan hutan melalui skema perhutanan sosial. Tanpa proses identikasi dan verikasi atas penguasaan ruang dan lahan, maka konsep perhutanan sosial hanya menjadi mekanisme legal baru dalam peniadaan dan pengabaian hak masyarakat atas ruang dan lahan berdasarkan hak asal usulnya. Hal ini berlaku juga dalam hutan adat, proses identikasi dan verikasi dimulai dengan memastikan wilayah adat dan wilayah kelola masyarakat adat berdasarkan pada sistem pengelolaan ruang sesuai aturan adat yang berlaku. Sehingga perhutanan sosial dalam konteks adat, bukan sekedar melihat tumpang tindih kawasan hutan dengan wilayah adat, melainkan juga menyandarkan pada sistem dan mekanisme adat dalam menentukan hutan adat yang kemudian diregistrasi sebagai bagian perhutanan sosial dengan

persetujuan dari komunitas adat setempat. Berdasarkan hasil bacaan terhadap luasan PIAPS secara umum, sebaran dan tumpang tindih dengan peta kawasan hutan, maka bisa diketahui bahwa alokasi PIAPS terbesar berada di hutan lindung. Komposisi sebaran peta PIAPS terhadap kawasan hutan terdiri atas 12,4 juta ha (67%) berada di hutan lindung, 2,8 juta ha (15%) berada di hutan produksi, 2,6 juta ha (14%) berada di Hutan Produksi Terbatas dan selebihnya berada di wilayah konservasi. Dibanding dengan luasan wilayah kelola masyarakat yang berhasil didata memalui peta partisipatif, maka alokasi peta PIAPS ini juga berada di 4,4 juta Ha wilayah kelola masyarakat.

Dengan demikian, bagi desa-desa atau komunitas masyarakat hukum adat yang nantinya akan menyambut implementasi perhutanan sosial ini, perlu ada beberapa saran yang harus diperhatikan oleh masyarakat sebelum mengambil keputusan untuk mengajukan perhutanan sosial, yaitu :

Pertama; peta PIAPS adalah peta indikatif lokasi, bukan peta penunjukan lokasi. Sehingga tidak ada proses

pemasangan patok yang mengikuti garis dan polygon seperti yang tercantum dalam peta PIAPS. Kedua; memastikan berjalannya proses identikasi, verikasi dan klasikasi terhadap areal yang akan diajukan dalam skema perhutanan sosial, agar tidak tumpang tindih atau mencaplok wilayah kelola masyarakat (bagi wilayah yang berkonik dengan kawasan hutan maupun di areal yang non konik dalam APL). Ketiga; luasan areal PIAPS yang lebih banyak berada di areal hutan lindung, artinya dalam konsep kelolanya proporsi pemanfaatannya akan lebih cenderung pada aspek mempertahankan fungsi kawasan, karena perubahan pada fungsi produksi akan berakibat pada dampak ekologis. Keempat; bagi desa-desa yang berbatasan langsung atau desa-desa yang melekat klaim kawasan hutan di dalamnya, penting untuk segera melakukan penyediaan data penggunaan ruang dan lahan melalui pemetaan partisipatif. Kelima; penting memahami informasi PIAPS secara lengkap soal proses hingga konsekwensinya sebelum memutuskan menggunakan skema ini.

KABAR JKPP

11KABARJKPP

10

Gambar 1. Peta Wilayah Kelola Masyarakat Yang Bersumber Dari Pemetaan Partisipatif Yang Masuk Kedalam Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS)Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Page 12: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

13

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Lebih dari 20 tahun keberadaan peta-peta wilayah adat tidak memiliki tempat yang berarti dalam kancah pemetaan di Indonesia. Hanya peta yang dihasilkan oleh pemerintah atau melalui konsultan pemerintah yang memproduksi peta untuk kepentingan proyek pemerintah yang dianggap sah secara metodologi. Sementara peta-peta yang dihasilkan oleh masyarakat adat maupun komunitas terus dipertanyakan secara metodologi. Bahkan Badan Informasi Geospasial (BIG) sekalipun tidak memiliki aturan siapa yang seharusnya menjadi wali data atas peta wilayah adat. Termasuk tidak adanya mekanisme, aturan dan lembaga khusus soal pendaftaran (registrasi) peta-peta masyarakat adat tersebut. Tidak adanya kementerian dan lembaga pemerintah yang dimandatkan mengurus pemetaan wilayah adat menjadi satu bukti pengabaian Negara terhadap hak-hak masyarakat adat atas ruang hidupnya.

Registrasi Wilayah Adat

Ketiadaan mekanisme dan lembaga yang bertanggung jawab untuk meregistrasi peta wilayah adat menyebabkan pemerintah tidak mengetahui keberadaan masyarakat adat dan situasi tenurial wilayahnya. Ini memiliki konsekuensi yang luas, tidak hanya soal perampasan tanah dan kekayaan alam tapi juga pengabaian terhadap pemenuhan hak-hak dasar masyarakat adat. Perijinan dan pemanfaatan ruang oleh pemerintah mengasumsikan bahwa wilayah tidak “bertuan”, tidak ada pemiliknya, tidak ada kehidupan. Ketika terjadi konik yang ditimbulkan dari pemberian ijin kepada perusahaan dan pemanfaatan ruang oleh pemerintah di wilayah-wilayah adat, Pemerintah dengan mudah merespon konik tersebut dengan jawaban “belum ada pengakuan masyarakat adat”. Padahal konstitusi dan peraturan perundangan sudah cukup banyak mengatur mengenai pengakuan hak-hak masyarakat adat.

Berdasar pada permasalahan tersebut, mendorong lahirnya Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) yang memiliki fungsi diantaranya mengumpulkan semua peta-peta wilayah adat yang ada di Indonesia, mengambil peran dalam mengkomunikasikan hasil peta kepada pemerintah, mendorong pemahaman yang sama serta menjadikan peta menjadi rujukan oleh kementerian, lembaga dan pemerintah daerah.

Proses pendaftaran wilayah adat sudah dimulai sejak tahun 2010. BRWA membangun sistem registrasi dan verikasi wilayah adat sebagai upaya untuk penyiapan kelengkapan data spasial dan sosial termasuk didalamnya proses verikasi metodologi pemetaan dan kelengkapan sejarah klaim batas-batas wilayah adat. Menyampaikan peta-peta wilayah adat secara regular yang sudah teregistrasi (minimal dua kali setahun) kepada pemerintah, dan mempublikasikannya menjadi bagian penting untuk menghadirkan keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya. Ini menjadi awal kontestasi peta wilayah adat hadir ditengah peta-peta tematik yang diproduksi oleh pemerintah, perusahaan dan lembaga-lembaga lainnya.

Indikasi luas wilayah adat di Indonesia hasil analisis AMAN, BRWA, JKPP dan SEKALA tahun 2014 mencapai lebih dari 40 juta hektar. Walaupun masih sedikit luasnya dari peta indikasi tersebut, paling tidak pada saat ini ada 608 peta wilayah adat seluas 6,8 juta hektar yang pada bulan Agustus 2015 telah disampaikan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Situasi kawasan hutan yang berada di wilayah adat yang terdaftar di BRWA dapat dilihat pada tabel berikut.

KABAR uTAMA

Eksploitasi kekayaan alam Indonesia yang secara massive dilakukan sejak rezim Orde Baru telah menimbulkan banyak konik tenurial di berbagai wilayah. Pemerintah merampas tanah, hutan, dan sumber-sumber penghidupan masyarakat adat lainnya melalui konsesi yang diberikan kepada perusahaan. Pemerintah mengabaikan identitas masyarakat adat yang memiliki hak, hak karena mereka memiliki sejarah, budaya yang panjang serta hak bawaan atas wilayah dan kekayaan sumber daya alamnya. Pengabaian yang dilakukan pemerintah selama bertahun-tahun mendorong bangkitnya kesadaran dan perlawanan masyarakat adat agar pemerintah mengakui keberadaan masyarakat adat serta wilayahnya melalui pemetaan partisipatif.

Peta wilayah adat yang dihasilkan dari proses pemetaan partisipatif atau pemetaan komunitas memiliki dua dokumen penting, yaitu data spasial dan sosial. Peta ini menggambarkan relasi antara komunitas-komunitas adat dengan ruang hidupnya (wilayah) yang ditunjukkan melalui penggunaan lahan dan perairan berdasarkan tradisi dan budaya yang dimiliki. Hal ini menjadikan peta wilayah adat sebagai counter mapping terhadap peta-peta yang dihasilkan oleh pemerintah. Selama ini, peta-peta kehutanan, pertambangan dan sektor lainnya secara nyata ditujukan untuk mengeksploitasi sumber daya tanpa memperhatikan pemulihannya. Sementara dalam peta masyarakat adat bisa terlihat sistem pengelolaan “ruang” yang menunjukan keberlanjutan karena berdasar pada dimensi budaya, religi dan keberlanjutan layanan alam bagi masa depan.

Registrasi dan Pengakuan Wilayah AdatKasmita WidodoKepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)

KABARJKPP

12

Pasca Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 35/2012 tentang pengakuan hutan adat bukan sebagai hutan negara, maka KLHK menerima peta wilayah adat sebagai rujukan dalam menyusun Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), sebagai upaya untuk pengakuan hutan adat. Ini menunjukkan mulainya denyut hidup peta wilayah adat dalam kancah kebijakan di Indonesia

Page 13: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

13

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Lebih dari 20 tahun keberadaan peta-peta wilayah adat tidak memiliki tempat yang berarti dalam kancah pemetaan di Indonesia. Hanya peta yang dihasilkan oleh pemerintah atau melalui konsultan pemerintah yang memproduksi peta untuk kepentingan proyek pemerintah yang dianggap sah secara metodologi. Sementara peta-peta yang dihasilkan oleh masyarakat adat maupun komunitas terus dipertanyakan secara metodologi. Bahkan Badan Informasi Geospasial (BIG) sekalipun tidak memiliki aturan siapa yang seharusnya menjadi wali data atas peta wilayah adat. Termasuk tidak adanya mekanisme, aturan dan lembaga khusus soal pendaftaran (registrasi) peta-peta masyarakat adat tersebut. Tidak adanya kementerian dan lembaga pemerintah yang dimandatkan mengurus pemetaan wilayah adat menjadi satu bukti pengabaian Negara terhadap hak-hak masyarakat adat atas ruang hidupnya.

Registrasi Wilayah Adat

Ketiadaan mekanisme dan lembaga yang bertanggung jawab untuk meregistrasi peta wilayah adat menyebabkan pemerintah tidak mengetahui keberadaan masyarakat adat dan situasi tenurial wilayahnya. Ini memiliki konsekuensi yang luas, tidak hanya soal perampasan tanah dan kekayaan alam tapi juga pengabaian terhadap pemenuhan hak-hak dasar masyarakat adat. Perijinan dan pemanfaatan ruang oleh pemerintah mengasumsikan bahwa wilayah tidak “bertuan”, tidak ada pemiliknya, tidak ada kehidupan. Ketika terjadi konik yang ditimbulkan dari pemberian ijin kepada perusahaan dan pemanfaatan ruang oleh pemerintah di wilayah-wilayah adat, Pemerintah dengan mudah merespon konik tersebut dengan jawaban “belum ada pengakuan masyarakat adat”. Padahal konstitusi dan peraturan perundangan sudah cukup banyak mengatur mengenai pengakuan hak-hak masyarakat adat.

Berdasar pada permasalahan tersebut, mendorong lahirnya Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) yang memiliki fungsi diantaranya mengumpulkan semua peta-peta wilayah adat yang ada di Indonesia, mengambil peran dalam mengkomunikasikan hasil peta kepada pemerintah, mendorong pemahaman yang sama serta menjadikan peta menjadi rujukan oleh kementerian, lembaga dan pemerintah daerah.

Proses pendaftaran wilayah adat sudah dimulai sejak tahun 2010. BRWA membangun sistem registrasi dan verikasi wilayah adat sebagai upaya untuk penyiapan kelengkapan data spasial dan sosial termasuk didalamnya proses verikasi metodologi pemetaan dan kelengkapan sejarah klaim batas-batas wilayah adat. Menyampaikan peta-peta wilayah adat secara regular yang sudah teregistrasi (minimal dua kali setahun) kepada pemerintah, dan mempublikasikannya menjadi bagian penting untuk menghadirkan keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya. Ini menjadi awal kontestasi peta wilayah adat hadir ditengah peta-peta tematik yang diproduksi oleh pemerintah, perusahaan dan lembaga-lembaga lainnya.

Indikasi luas wilayah adat di Indonesia hasil analisis AMAN, BRWA, JKPP dan SEKALA tahun 2014 mencapai lebih dari 40 juta hektar. Walaupun masih sedikit luasnya dari peta indikasi tersebut, paling tidak pada saat ini ada 608 peta wilayah adat seluas 6,8 juta hektar yang pada bulan Agustus 2015 telah disampaikan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Situasi kawasan hutan yang berada di wilayah adat yang terdaftar di BRWA dapat dilihat pada tabel berikut.

KABAR uTAMA

Eksploitasi kekayaan alam Indonesia yang secara massive dilakukan sejak rezim Orde Baru telah menimbulkan banyak konik tenurial di berbagai wilayah. Pemerintah merampas tanah, hutan, dan sumber-sumber penghidupan masyarakat adat lainnya melalui konsesi yang diberikan kepada perusahaan. Pemerintah mengabaikan identitas masyarakat adat yang memiliki hak, hak karena mereka memiliki sejarah, budaya yang panjang serta hak bawaan atas wilayah dan kekayaan sumber daya alamnya. Pengabaian yang dilakukan pemerintah selama bertahun-tahun mendorong bangkitnya kesadaran dan perlawanan masyarakat adat agar pemerintah mengakui keberadaan masyarakat adat serta wilayahnya melalui pemetaan partisipatif.

Peta wilayah adat yang dihasilkan dari proses pemetaan partisipatif atau pemetaan komunitas memiliki dua dokumen penting, yaitu data spasial dan sosial. Peta ini menggambarkan relasi antara komunitas-komunitas adat dengan ruang hidupnya (wilayah) yang ditunjukkan melalui penggunaan lahan dan perairan berdasarkan tradisi dan budaya yang dimiliki. Hal ini menjadikan peta wilayah adat sebagai counter mapping terhadap peta-peta yang dihasilkan oleh pemerintah. Selama ini, peta-peta kehutanan, pertambangan dan sektor lainnya secara nyata ditujukan untuk mengeksploitasi sumber daya tanpa memperhatikan pemulihannya. Sementara dalam peta masyarakat adat bisa terlihat sistem pengelolaan “ruang” yang menunjukan keberlanjutan karena berdasar pada dimensi budaya, religi dan keberlanjutan layanan alam bagi masa depan.

Registrasi dan Pengakuan Wilayah AdatKasmita WidodoKepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)

KABARJKPP

12

Pasca Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 35/2012 tentang pengakuan hutan adat bukan sebagai hutan negara, maka KLHK menerima peta wilayah adat sebagai rujukan dalam menyusun Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), sebagai upaya untuk pengakuan hutan adat. Ini menunjukkan mulainya denyut hidup peta wilayah adat dalam kancah kebijakan di Indonesia

Page 14: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

15

koordinat titik sebaran 41 balai dibuat dan disampaikan kepada Ketua Baleg. Proses registrasi wilayah adat oleh BRWA ini tentu saja sekaligus mendiskusikan agenda advokasi mengenai penyusunan peraturan daerah untuk pengakuan masyarakat Dayak Loksado.

Peta Kerja Pengurusan Masyarakat Adat

Pertengahan November ini, lahir kebijakan daerah yang mengakui keberadaan masyarakat adat Kasepuhan di Kabupaten Lebak, Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, dan Kulawi di Kabupaten Sigi yang melampirkan peta wilayah adat hasil pemetaan partisipatif masyarakat adat. Ini sebuah kemajuan yang berarti bagaikan kelip lampu ditengah gelapnya tindakan politik dan hukum pemerintah terhadap masyarakat adat. Namun, ini belum cukup! Nawacita pemerintahan Jokowi diantaranya mengawal lahirnya UU pengakuan dan perlindungan masyarakat adat serta membentuk komisi independen yang mengurus masyarakat adat perlu dipastikan bersama.

Pengurusan masyarakat adat tidak bisa melalui kebijakan sektoral seperti yang selama ini terjadi. Perlu ada UU Masyarakat Adat karena setidaknya ada dua alasan yang melatar belakangi, Arizona (2013) menyatakan bahwa pertama untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat dalam mempertahankan, memperjuangkan dan memulihkan hak-haknya yang dirampas oleh perusahaan maupun oleh pemerintah. Kedua, karena regulasi yang mengatur tentang masyarakat sampai saat ini belum memadai.

Untuk mengatasi kemandekan lahirnya UU ini, maka AMAN mengusulkan kepada Presiden untuk membentuk Satuan Tugas Masyarakat Adat. Dalam audensi AMAN dengan Presiden Jokowi pada 25 Juni 2015, Sekretaris Jenderal AMAN Abdon

Nababan menjelaskan, “Presiden Jokowi berjanji segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) Masyarakat Adat untuk melindungi dan menjadi jembatan rekonsiliasi antara masyarakat adat dan negara, serta hak-hak masyarakat adat”.

Dalam pengurusan hak-hak masya-rakat adat, keberadaan peta wilayah adat sangat penting. Pelaksanakan kebijakan pengakuan hutan adat, penyusunan kebijakan daerah untuk pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat, dan pembentukan Satgas Masyarakat Adat memerlukan sistem informasi wilayah adat yang memadai dan dapat diakses publik. Peta wilayah adat yang terdaftar dan sudah dilakukan verikasi oleh BRWA dapat menjadi peta kerja bagi kementerian dan lembaga pemerintah. Selain KLHK dengan PIAPS dan beberapa pemerintah daerah yang menggunakan peta terdaftar di BRWA sebagai peta kerja, perlu diperluas integrasi peta wilayah adat kedalam peta pengurusan masyarakat adat di kementerian dan lembaga. Satgas Masyarakat Adat yang dijanjikan Presiden Jokowi enam bulan lalu, tugas pertamanya adalah mempercepat kebijakan satu peta yang dapat mengintegrasikan peta wilayah adat sebagai rujukan seluruh pengurusan masyarakat adat.

Rujukan

Arizona, Y. “Mengapa Undang-Undang Masyarakat Adat Dibutuhkan?”. 15 November 2015. http://www.hukumpedia.com/yancearizona/mengapa-undang-undang-masyarakat-adat-dibutuhkan

Widodo, K. et al. 2015. “Pedoman Registrasi Wilayah Adat Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)”. BRWA. Bogor.

“_______”. “Presiden Jokowi Akan Bentuk Satgas Masyarakat Adat” 15 November 2015. http://nasional.tempo.co/read/news/2015/06/26/078678514/presiden-jokowi-akan-bentuk-satgas-masyarakat-adat

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Tabel 1. Tumpang tindih wilayah adat dengan kawasan hutan

Sumber: Data BRWA (Agustus 2015), diolah.

Pasca Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 35/2012 tentang Pengakuan Hutan Adat Bukan Sebagai Hutan Negara, maka KLHK menerima peta wilayah adat sebagai rujukan dalam menyusun Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), sebagai upaya untuk pengakuan hutan adat. Ini me-nunjukkan mulainya denyut hidup peta wilayah adat dalam kancah kebijakan di Indonesia. Ini perlu terus dikawal oleh masyarakat adat, mengingat pertama, PIAPS ini tidak memasukkan areal yang sudah ada ijin kehutanan. Kedua, perlu dimunculkan peta konik tenurial di kawasan hutan, dan ketiga, perlu diperiksa kembali peta kawasan hutan dengan peta penggunaan lahan masyarakat adat.

Advokasi pengkuan hutan adat sebuah titik masuk bagi pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat secara utuh, karena masih perlu kebijakan daerah yang mengakui keberadaan masyarakat adat dan wilayah. Jalan ini dipilih walau bukan hal mudah mendorong pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan daerah untuk pengakuan masya-rakat adat. Sejalan dengan gerakan itu, masyarakat adat dan pendukungnya memperluas pemetaan wilayah adat dengan basis dokumentasi peta wilayah adat dengan sistem dokumentasi dan registrasi BRWA. Hal ini untuk

menguatkan ketersediaan data dan informasi yang memadai dalam penyusunan naskah akademik peraturan daerah maupun keputusan bupati yang mengakui masyarakat adat dan wilayah adatnya.

Pada November 2015 perwakilan masyarakat adat Dayak Loksado berdialog dengan Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Provinsi Kalimantan Selatan pada November 2015. Komunitas Dayak Loksado dan pendampingnya menyampaikan usulan kepada DPRD untuk memasukkan program legislasi daerah mengenai pengakuan masyarakat adat Dayak Loksado untuk pembahasan tahun 2016. Ketua Balegda menyampaikan perlu dibuat indikasi peta wilayah adat dan 41 prol balai (satuan wilayah) yang ada di wilayah adat Loksado. BRWA bersama tim Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Kalsel mendokumentasikan keberadaan 41 balai dengan pendekatan registrasi wilayah adat.

Di wilayah Loksado ada beberapa balai yang sudah memiliki peta balai dan teregistrasi di BRWA. Untuk memenuhi keperluan sidang paripurna DPRD HSS yang membahas Prolegda 2016, maka peta indikatif wilayah adat Dayak Loksado dan

KABARJKPP

14

ĎĻĬ IJĜİ Ì � ĎÎİ ĢÎÍ � É ÎĪĜŇĜÍ � YĢĜĽ�

denganKawasanHutanHektar %

ArealPenggunaanLain 1,507,953.80 22%

HutanLindung 1,552,084.12 23%

KawasanKonservasi 1,437,090.99 21%

HutanProduksi 2,309,123.58 34%

Total 6,806,252.49 100%

TumpangTindihWilayahAdatdenganKawasanHutan

Gambar 1. Peta indikatif wilayah adat dan sebaran balai Dayak LoksadoSumber: Data SLPP Kalsel, BRWA, diolah.

Page 15: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

15

koordinat titik sebaran 41 balai dibuat dan disampaikan kepada Ketua Baleg. Proses registrasi wilayah adat oleh BRWA ini tentu saja sekaligus mendiskusikan agenda advokasi mengenai penyusunan peraturan daerah untuk pengakuan masyarakat Dayak Loksado.

Peta Kerja Pengurusan Masyarakat Adat

Pertengahan November ini, lahir kebijakan daerah yang mengakui keberadaan masyarakat adat Kasepuhan di Kabupaten Lebak, Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, dan Kulawi di Kabupaten Sigi yang melampirkan peta wilayah adat hasil pemetaan partisipatif masyarakat adat. Ini sebuah kemajuan yang berarti bagaikan kelip lampu ditengah gelapnya tindakan politik dan hukum pemerintah terhadap masyarakat adat. Namun, ini belum cukup! Nawacita pemerintahan Jokowi diantaranya mengawal lahirnya UU pengakuan dan perlindungan masyarakat adat serta membentuk komisi independen yang mengurus masyarakat adat perlu dipastikan bersama.

Pengurusan masyarakat adat tidak bisa melalui kebijakan sektoral seperti yang selama ini terjadi. Perlu ada UU Masyarakat Adat karena setidaknya ada dua alasan yang melatar belakangi, Arizona (2013) menyatakan bahwa pertama untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat dalam mempertahankan, memperjuangkan dan memulihkan hak-haknya yang dirampas oleh perusahaan maupun oleh pemerintah. Kedua, karena regulasi yang mengatur tentang masyarakat sampai saat ini belum memadai.

Untuk mengatasi kemandekan lahirnya UU ini, maka AMAN mengusulkan kepada Presiden untuk membentuk Satuan Tugas Masyarakat Adat. Dalam audensi AMAN dengan Presiden Jokowi pada 25 Juni 2015, Sekretaris Jenderal AMAN Abdon

Nababan menjelaskan, “Presiden Jokowi berjanji segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) Masyarakat Adat untuk melindungi dan menjadi jembatan rekonsiliasi antara masyarakat adat dan negara, serta hak-hak masyarakat adat”.

Dalam pengurusan hak-hak masya-rakat adat, keberadaan peta wilayah adat sangat penting. Pelaksanakan kebijakan pengakuan hutan adat, penyusunan kebijakan daerah untuk pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat, dan pembentukan Satgas Masyarakat Adat memerlukan sistem informasi wilayah adat yang memadai dan dapat diakses publik. Peta wilayah adat yang terdaftar dan sudah dilakukan verikasi oleh BRWA dapat menjadi peta kerja bagi kementerian dan lembaga pemerintah. Selain KLHK dengan PIAPS dan beberapa pemerintah daerah yang menggunakan peta terdaftar di BRWA sebagai peta kerja, perlu diperluas integrasi peta wilayah adat kedalam peta pengurusan masyarakat adat di kementerian dan lembaga. Satgas Masyarakat Adat yang dijanjikan Presiden Jokowi enam bulan lalu, tugas pertamanya adalah mempercepat kebijakan satu peta yang dapat mengintegrasikan peta wilayah adat sebagai rujukan seluruh pengurusan masyarakat adat.

Rujukan

Arizona, Y. “Mengapa Undang-Undang Masyarakat Adat Dibutuhkan?”. 15 November 2015. http://www.hukumpedia.com/yancearizona/mengapa-undang-undang-masyarakat-adat-dibutuhkan

Widodo, K. et al. 2015. “Pedoman Registrasi Wilayah Adat Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)”. BRWA. Bogor.

“_______”. “Presiden Jokowi Akan Bentuk Satgas Masyarakat Adat” 15 November 2015. http://nasional.tempo.co/read/news/2015/06/26/078678514/presiden-jokowi-akan-bentuk-satgas-masyarakat-adat

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Tabel 1. Tumpang tindih wilayah adat dengan kawasan hutan

Sumber: Data BRWA (Agustus 2015), diolah.

Pasca Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 35/2012 tentang Pengakuan Hutan Adat Bukan Sebagai Hutan Negara, maka KLHK menerima peta wilayah adat sebagai rujukan dalam menyusun Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), sebagai upaya untuk pengakuan hutan adat. Ini me-nunjukkan mulainya denyut hidup peta wilayah adat dalam kancah kebijakan di Indonesia. Ini perlu terus dikawal oleh masyarakat adat, mengingat pertama, PIAPS ini tidak memasukkan areal yang sudah ada ijin kehutanan. Kedua, perlu dimunculkan peta konik tenurial di kawasan hutan, dan ketiga, perlu diperiksa kembali peta kawasan hutan dengan peta penggunaan lahan masyarakat adat.

Advokasi pengkuan hutan adat sebuah titik masuk bagi pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat secara utuh, karena masih perlu kebijakan daerah yang mengakui keberadaan masyarakat adat dan wilayah. Jalan ini dipilih walau bukan hal mudah mendorong pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan daerah untuk pengakuan masya-rakat adat. Sejalan dengan gerakan itu, masyarakat adat dan pendukungnya memperluas pemetaan wilayah adat dengan basis dokumentasi peta wilayah adat dengan sistem dokumentasi dan registrasi BRWA. Hal ini untuk

menguatkan ketersediaan data dan informasi yang memadai dalam penyusunan naskah akademik peraturan daerah maupun keputusan bupati yang mengakui masyarakat adat dan wilayah adatnya.

Pada November 2015 perwakilan masyarakat adat Dayak Loksado berdialog dengan Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Provinsi Kalimantan Selatan pada November 2015. Komunitas Dayak Loksado dan pendampingnya menyampaikan usulan kepada DPRD untuk memasukkan program legislasi daerah mengenai pengakuan masyarakat adat Dayak Loksado untuk pembahasan tahun 2016. Ketua Balegda menyampaikan perlu dibuat indikasi peta wilayah adat dan 41 prol balai (satuan wilayah) yang ada di wilayah adat Loksado. BRWA bersama tim Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Kalsel mendokumentasikan keberadaan 41 balai dengan pendekatan registrasi wilayah adat.

Di wilayah Loksado ada beberapa balai yang sudah memiliki peta balai dan teregistrasi di BRWA. Untuk memenuhi keperluan sidang paripurna DPRD HSS yang membahas Prolegda 2016, maka peta indikatif wilayah adat Dayak Loksado dan

KABARJKPP

14

ĎĻĬ IJĜİ Ì � ĎÎİ ĢÎÍ � É ÎĪĜŇĜÍ � YĢĜĽ�

denganKawasanHutanHektar %

ArealPenggunaanLain 1,507,953.80 22%

HutanLindung 1,552,084.12 23%

KawasanKonservasi 1,437,090.99 21%

HutanProduksi 2,309,123.58 34%

Total 6,806,252.49 100%

TumpangTindihWilayahAdatdenganKawasanHutan

Gambar 1. Peta indikatif wilayah adat dan sebaran balai Dayak LoksadoSumber: Data SLPP Kalsel, BRWA, diolah.

Page 16: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

17

Karst Sebagai Sumber Daya Alam Utama Kabupaten Maros

Kabupaten Maros sejak ditetapkan sebagai daerah tingkat II melalui undang-undang nomor 29 tahun 1959 memiliki luas 1.619, 12 Km2 atau 161.912 Ha. Luas wilayah ini mencakup 14 kecamatan dan 103 desa/kelurahan sebagaimana penetapan DPRD tingkat II Maros pada tahun 1996. Kabupaten Maros sebagian besar merupakan kawasan karst. Luas kawasan karst Maros hampir setengah dari total luas daratan Kabupaten Maros yaitu 43.600,11 Ha (data WALHI Sulsel: 2014). Kawasan karst Maros tersebar di 7 kecamatan dan 58 desa/kelurahan.

Kawasan alam berupa karst merupakan kekayaan tersendiri bagi masyarakat Maros, terutama yang berprofesi sebagai petani. Kawasan karst merupakan sumber air yang mengaliri sawah masyarakat di 7 kecamatan yang meliputi 58 desa/kelurahan. Air yang bersumber dari kawasan karst tersebut yang bisa mempertahankan produktivitas sawah sepanjang tahun bahkan saat musim kemarau. Selain itu, mata air di kawasan karst Maros juga dimanfaatkan oleh masyarakat Maros untuk kebutuhan sehari-hari seperti minum, memasak, mencuci, mandi dan lain-lain. Air dari kawasan Maros juga memasok kebutuhan air mineral bagi masyarakat di Makassar. Saat ini beberapa desa sudah merasakan dampak dari beroperasinya tambang, dua desa disekitar tambang yaitu Desa Tukamasea dan Desa Baruga terpaksa menjual lahan pertaniannya karena pasca beroperasinya tambang, lahan pertaniannya tidak bisa lagi ditanami. Desa Tukamasea dan Desa Baruga mulai kesulitan mendapatkan air. Banyak lahan pertanian yang sudah banyak dikonversi menjadi tambang sehingga petani tidak lagi bisa menggarap.

Kebijakan Penataan Ruang yang pro-investasi adalah Sumber Krisis

Ada beberapa kebijakan nasional tentang karst Maros. kebijakan tersebut terkait mekanisme pengelolaan karst, soal hutan dan soal energi sumber daya mineral. Secara detail kebijakan nasional tersebut diantaranya adalah 1) KEPMEN No. 1456 K/20/MEM/2000 mengenai Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst, 2) SK. 398/Menhut-II/2004 mengenai Taman Nassional Bantimurung Bulusaraung dan 3) KEPPRES No. 26 Tahun 2011 mengenai Penetapan Cekungan Air Tanah.

Tiga kebijakan di atas merupakan titik mulai berbagai aktivitas tambang di kawasan karst yang kemudian memberi kontribusi perubahan di Tanah Salewangang. Dalam catatan yang diperoleh, sejak tahun 2004, PT Semen Bosowa sudah mulai beroperasi. Walaupun pada saat awal perencanaan pembangunan mendapat pertentangan dari masyarakat sekitar, namun pabrik tersebut tetap dibangun. Selain PT Semen Bosowa, di tahun ini tercatat dua perusahaan marmer yang sudah beroperasi di kawasan karst Maros yaitu PT Bosowa Mining dan PT Bina Samudera dengan kemampuan produksi sebesar 15 M3/tahun dan 15 perusahaan tambang lainnya.

Kawasan karst Maros merupakan bagian dari Ekosistem Esensial. Hal tersebut didasarkan pada aspek nilai tata ruang, keanekaragaman hayati, ekosistem, nilai ekologi, nilai sosial-ekonomi-budaya, dan jasa lingkungan. Kawasan karst merupakan area yang paling diminati oleh para pemilik capital. Karena kawasan karst maros memilki kandungan mineral dan batuan yang sangat menguntungkan bagi para pelaku bisnis pertambangan. Hingga tahun 2014,

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

1 Presentasi Prof. Dr. Amran, M.Si dengan judul Identikasi Areal Ekosistem Esensial Kawasan Karst Maros, pada

festival karst Maros-pangkep Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, 2015

KABAR Simpul

Krisis di Tanah SalewangangMuhammad Al Amin

Kabupaten Maros bergelar butta salewangang. Kata Maros berasal dari kata marusu'/ma'rusung atau rusung yang memiliki arti bersahaja atau sederhana. Sehingga kata Maros disadur menjadi orang-orang yang hidup di wilayah yang bersahaja. Sejak dulu, Maros memiliki peran dan posisi yang terbilang strategis bagi dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan yaitu Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Wilayah yang strategis dan lahan pertanian yang luas menjadi faktor perang perebutan wilayah kuasa di antara dua kerajaan besar tersebut.

Pasca reformasi hingga saat ini, masalah tata ruang masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan di Kabupaten Maros antara masyarakat, pengusaha, serta pemerintah. Hal ini terjadi karena tata kelola ruang yang tidak partisipatif dan menyempitnya lahan pertanian masyarakat akibat adanya aktivitas ekstraksi di sekitar area kelola masyarakat. Dalam upaya menyelasikan permasalahan tata ruang, pemerintah pusat akhirnya melahirkan UU nomor 26 tahun 2007. Hal ini juga merupakan suatu bentuk rekonsiliasi pengelolaan sumber daya yang terikat pada keruangan dimana rentan memicu terjadinya konik.

Tulisan ini berangkat dari beberapa pertanyaan yang muncul di benak Penulis di antaranya: Apa sumber daya alam utama di Kabupaten Maros? Bagaimana pengelolaan sumber daya alam di Kabupaten Maros? Apa dampak yang dirasakan warga terkait tata kelola ruang dan sumber daya alam yang ada di Kabupaten Maros? Observasi lapangan, interview dengan tokoh-tokoh masyarakat serta kajian literatur berupa menelaah dokumen RTRW Kabupaten Maros, dokumen RPJMD Kabupaten Maros merupakan metode Penulis untuk memahami krisis kelola ruang yang terjadi di Kabupaten Maros.

Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan/ SLPP Makassar

KABARJKPP

16

Masyarakat menilai penetapan dan pemberian izin usaha pertambangan tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan dan tata ruang terkhusus pengelolaan kawasan karst di Kabupaten Maros

Page 17: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

17

Karst Sebagai Sumber Daya Alam Utama Kabupaten Maros

Kabupaten Maros sejak ditetapkan sebagai daerah tingkat II melalui undang-undang nomor 29 tahun 1959 memiliki luas 1.619, 12 Km2 atau 161.912 Ha. Luas wilayah ini mencakup 14 kecamatan dan 103 desa/kelurahan sebagaimana penetapan DPRD tingkat II Maros pada tahun 1996. Kabupaten Maros sebagian besar merupakan kawasan karst. Luas kawasan karst Maros hampir setengah dari total luas daratan Kabupaten Maros yaitu 43.600,11 Ha (data WALHI Sulsel: 2014). Kawasan karst Maros tersebar di 7 kecamatan dan 58 desa/kelurahan.

Kawasan alam berupa karst merupakan kekayaan tersendiri bagi masyarakat Maros, terutama yang berprofesi sebagai petani. Kawasan karst merupakan sumber air yang mengaliri sawah masyarakat di 7 kecamatan yang meliputi 58 desa/kelurahan. Air yang bersumber dari kawasan karst tersebut yang bisa mempertahankan produktivitas sawah sepanjang tahun bahkan saat musim kemarau. Selain itu, mata air di kawasan karst Maros juga dimanfaatkan oleh masyarakat Maros untuk kebutuhan sehari-hari seperti minum, memasak, mencuci, mandi dan lain-lain. Air dari kawasan Maros juga memasok kebutuhan air mineral bagi masyarakat di Makassar. Saat ini beberapa desa sudah merasakan dampak dari beroperasinya tambang, dua desa disekitar tambang yaitu Desa Tukamasea dan Desa Baruga terpaksa menjual lahan pertaniannya karena pasca beroperasinya tambang, lahan pertaniannya tidak bisa lagi ditanami. Desa Tukamasea dan Desa Baruga mulai kesulitan mendapatkan air. Banyak lahan pertanian yang sudah banyak dikonversi menjadi tambang sehingga petani tidak lagi bisa menggarap.

Kebijakan Penataan Ruang yang pro-investasi adalah Sumber Krisis

Ada beberapa kebijakan nasional tentang karst Maros. kebijakan tersebut terkait mekanisme pengelolaan karst, soal hutan dan soal energi sumber daya mineral. Secara detail kebijakan nasional tersebut diantaranya adalah 1) KEPMEN No. 1456 K/20/MEM/2000 mengenai Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst, 2) SK. 398/Menhut-II/2004 mengenai Taman Nassional Bantimurung Bulusaraung dan 3) KEPPRES No. 26 Tahun 2011 mengenai Penetapan Cekungan Air Tanah.

Tiga kebijakan di atas merupakan titik mulai berbagai aktivitas tambang di kawasan karst yang kemudian memberi kontribusi perubahan di Tanah Salewangang. Dalam catatan yang diperoleh, sejak tahun 2004, PT Semen Bosowa sudah mulai beroperasi. Walaupun pada saat awal perencanaan pembangunan mendapat pertentangan dari masyarakat sekitar, namun pabrik tersebut tetap dibangun. Selain PT Semen Bosowa, di tahun ini tercatat dua perusahaan marmer yang sudah beroperasi di kawasan karst Maros yaitu PT Bosowa Mining dan PT Bina Samudera dengan kemampuan produksi sebesar 15 M3/tahun dan 15 perusahaan tambang lainnya.

Kawasan karst Maros merupakan bagian dari Ekosistem Esensial. Hal tersebut didasarkan pada aspek nilai tata ruang, keanekaragaman hayati, ekosistem, nilai ekologi, nilai sosial-ekonomi-budaya, dan jasa lingkungan. Kawasan karst merupakan area yang paling diminati oleh para pemilik capital. Karena kawasan karst maros memilki kandungan mineral dan batuan yang sangat menguntungkan bagi para pelaku bisnis pertambangan. Hingga tahun 2014,

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

1 Presentasi Prof. Dr. Amran, M.Si dengan judul Identikasi Areal Ekosistem Esensial Kawasan Karst Maros, pada

festival karst Maros-pangkep Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, 2015

KABAR Simpul

Krisis di Tanah SalewangangMuhammad Al Amin

Kabupaten Maros bergelar butta salewangang. Kata Maros berasal dari kata marusu'/ma'rusung atau rusung yang memiliki arti bersahaja atau sederhana. Sehingga kata Maros disadur menjadi orang-orang yang hidup di wilayah yang bersahaja. Sejak dulu, Maros memiliki peran dan posisi yang terbilang strategis bagi dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan yaitu Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Wilayah yang strategis dan lahan pertanian yang luas menjadi faktor perang perebutan wilayah kuasa di antara dua kerajaan besar tersebut.

Pasca reformasi hingga saat ini, masalah tata ruang masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan di Kabupaten Maros antara masyarakat, pengusaha, serta pemerintah. Hal ini terjadi karena tata kelola ruang yang tidak partisipatif dan menyempitnya lahan pertanian masyarakat akibat adanya aktivitas ekstraksi di sekitar area kelola masyarakat. Dalam upaya menyelasikan permasalahan tata ruang, pemerintah pusat akhirnya melahirkan UU nomor 26 tahun 2007. Hal ini juga merupakan suatu bentuk rekonsiliasi pengelolaan sumber daya yang terikat pada keruangan dimana rentan memicu terjadinya konik.

Tulisan ini berangkat dari beberapa pertanyaan yang muncul di benak Penulis di antaranya: Apa sumber daya alam utama di Kabupaten Maros? Bagaimana pengelolaan sumber daya alam di Kabupaten Maros? Apa dampak yang dirasakan warga terkait tata kelola ruang dan sumber daya alam yang ada di Kabupaten Maros? Observasi lapangan, interview dengan tokoh-tokoh masyarakat serta kajian literatur berupa menelaah dokumen RTRW Kabupaten Maros, dokumen RPJMD Kabupaten Maros merupakan metode Penulis untuk memahami krisis kelola ruang yang terjadi di Kabupaten Maros.

Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan/ SLPP Makassar

KABARJKPP

16

Masyarakat menilai penetapan dan pemberian izin usaha pertambangan tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan dan tata ruang terkhusus pengelolaan kawasan karst di Kabupaten Maros

Page 18: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

19

akan banyak masyarakat yang menjual lahannya yang tidak lagi produktif yang kemudian dibangun ruko-ruko maupun perumahan. Artinya rusaknya kawasan karst Maros akan berimplikasi negatif terhadap ruang kelola masyarakat dan produktitas pangan masyarakat di Kabupaten Maros.

Perencanaan Pembangunan Desa-Daerah yang Partisipatif merupakan Jalan Terang Menghilangkan Krisis di Tanah Salawengang

Belum usai krisis dampak kerusakan 9.668,15 Ha kawasan karst Maros, muncul masalah lain yaitu rencana pendirian tambang dan pabrik semen PT Conch seluas 724 Ha di kawasan karst Simbang, Tompobulu, Maros. Dari penjelasan di atas ditambah upaya penolakan masyarakat Desa Sambueja, Simbang dan Toddolimae pada perencanaan oleh perusahaan asal China tersebut merujuk pada satu kesimpulan. Kebijakan alokasi dan tata ruang di Kabupaten Maros untuk rencana tambang hingga tahun 2031 merupakan keputusan

yang tidak melibatkan masyarakat sehingga berisiko melahirkan krisis yang lebih tajam. Selain itu, perlu ada terobosan dan perubahan terkait tata ruang dan kelola sumber daya alam guna mendorong perbaikan kualitas hidup masyarakat di Kabupaten Maros. Kawasan karst Maros sebagai suatu Ekosistem Esensial adalah penyangga kehidupan banyak manusia dan makhluk hidup lain.

Masyarakat harus menjadi bagian dari pemetaan dan penetapan wilayah di tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten. Selain itu mereka juga harus dilibatkan dalam penataan, perancangan, serta pembangunan, dari tingkat desa hingga kecamatan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa tetapi praktiknya belum nyata. Bila terobosan tersebut benar dipraktikkan, maka masyarakat dapat berperan lebih aktif dalam upaya pembangunan desa.

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

sudah terdapat 34 izin usaha pertambangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Maros dengan 9 jenis komoditas tambang yang mengeksploitasi 9.668,15 Ha kawasan karst, Adapun luas konsesi tambang berdasarkan komoditas, dapat dilihat melalui grak berikut;

Masyarakat menilai penetapan dan pemberian izin usaha pertambangan tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan dan tata ruang terkhusus pengelolaan kawasan karst di Kabupaten Maros. Kehendak masyarakat kawasan karst Maros ternyata tidak sejalan dengan rencana pemerintah Kabupaten Maros, berdasarkan dokumen RTRW Kabupaten Maros, dan KLHS Kabupaten Maros, hingga tahun 2031 alokasi ruang bagi pertambangan sebagaimana gambar berikut;

Dari gambar di atas hampir seluruh kawasan karst adalah area tambang. Masyarakat tidak diberi perlindungan atas wilayah kelolanya. Penulis meyakini bahwa perencanaan ruang seperti ini tidak melibatkan masyarakat lokal akan rawan memicu konik yang berujung pada krisis sosial-ekonomi-ekologi.

Krisis di Kabupaten Maros

Menurut Penulis, krisis yang terjadi akibat kerusakan kawasan karst oleh adanya area tambang di Kabupaten Maros dikategorikan dalam tiga aspek di antaranya :

Aspek Keselamatan Warga. Kerusakan kawasan karst tersebut ternyata mendorong kualitas kesehatan masyarakat kearah yang lebih rendah. Hal ini bisa dilihat dari data pemerintah setempat yang menunjukkan adanya kemunculan penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh berubahnya lingkungan alam sekitar seperti gizi buruk, ISPA, dan sebagainya sejak perusahaan berkutat di kawasan karst.

Aspek Produksi dan Konsumsi. Kabupaten Maros sejak dulu dikenal sebagai penyuplai bahan pangan seperti jagung, kacang kedelai, dan kacang ke Makassar, Pangkep dan Bone. Sejak kebijakan penataan

ruang Kabupaten Maros memberi peluang yang besar bagi investasi ekstraksi untuk melakukan aktivitas tambang di kawasan karst, lambat laun, produksi pangan petani di Kabupaten Maros mengalami degradasi.

Aspek Fungsi Alam. Menurut pengamatan Penulis, lahan pertanian dan perkebunan masyarakat di Kabupaten Maros sangat bergantung pada kelestarian kawasan karst Maros sebagai penyanggah air. Bila air dari kawasan karst tidak mengalir ke lahan pertanian maka lahan akan berubah fungsi sebagai

tadah hujan. Jika terjadi seperti itu nantinya

KABARJKPP

18

Page 19: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

19

akan banyak masyarakat yang menjual lahannya yang tidak lagi produktif yang kemudian dibangun ruko-ruko maupun perumahan. Artinya rusaknya kawasan karst Maros akan berimplikasi negatif terhadap ruang kelola masyarakat dan produktitas pangan masyarakat di Kabupaten Maros.

Perencanaan Pembangunan Desa-Daerah yang Partisipatif merupakan Jalan Terang Menghilangkan Krisis di Tanah Salawengang

Belum usai krisis dampak kerusakan 9.668,15 Ha kawasan karst Maros, muncul masalah lain yaitu rencana pendirian tambang dan pabrik semen PT Conch seluas 724 Ha di kawasan karst Simbang, Tompobulu, Maros. Dari penjelasan di atas ditambah upaya penolakan masyarakat Desa Sambueja, Simbang dan Toddolimae pada perencanaan oleh perusahaan asal China tersebut merujuk pada satu kesimpulan. Kebijakan alokasi dan tata ruang di Kabupaten Maros untuk rencana tambang hingga tahun 2031 merupakan keputusan

yang tidak melibatkan masyarakat sehingga berisiko melahirkan krisis yang lebih tajam. Selain itu, perlu ada terobosan dan perubahan terkait tata ruang dan kelola sumber daya alam guna mendorong perbaikan kualitas hidup masyarakat di Kabupaten Maros. Kawasan karst Maros sebagai suatu Ekosistem Esensial adalah penyangga kehidupan banyak manusia dan makhluk hidup lain.

Masyarakat harus menjadi bagian dari pemetaan dan penetapan wilayah di tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten. Selain itu mereka juga harus dilibatkan dalam penataan, perancangan, serta pembangunan, dari tingkat desa hingga kecamatan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa tetapi praktiknya belum nyata. Bila terobosan tersebut benar dipraktikkan, maka masyarakat dapat berperan lebih aktif dalam upaya pembangunan desa.

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

sudah terdapat 34 izin usaha pertambangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Maros dengan 9 jenis komoditas tambang yang mengeksploitasi 9.668,15 Ha kawasan karst, Adapun luas konsesi tambang berdasarkan komoditas, dapat dilihat melalui grak berikut;

Masyarakat menilai penetapan dan pemberian izin usaha pertambangan tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan dan tata ruang terkhusus pengelolaan kawasan karst di Kabupaten Maros. Kehendak masyarakat kawasan karst Maros ternyata tidak sejalan dengan rencana pemerintah Kabupaten Maros, berdasarkan dokumen RTRW Kabupaten Maros, dan KLHS Kabupaten Maros, hingga tahun 2031 alokasi ruang bagi pertambangan sebagaimana gambar berikut;

Dari gambar di atas hampir seluruh kawasan karst adalah area tambang. Masyarakat tidak diberi perlindungan atas wilayah kelolanya. Penulis meyakini bahwa perencanaan ruang seperti ini tidak melibatkan masyarakat lokal akan rawan memicu konik yang berujung pada krisis sosial-ekonomi-ekologi.

Krisis di Kabupaten Maros

Menurut Penulis, krisis yang terjadi akibat kerusakan kawasan karst oleh adanya area tambang di Kabupaten Maros dikategorikan dalam tiga aspek di antaranya :

Aspek Keselamatan Warga. Kerusakan kawasan karst tersebut ternyata mendorong kualitas kesehatan masyarakat kearah yang lebih rendah. Hal ini bisa dilihat dari data pemerintah setempat yang menunjukkan adanya kemunculan penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh berubahnya lingkungan alam sekitar seperti gizi buruk, ISPA, dan sebagainya sejak perusahaan berkutat di kawasan karst.

Aspek Produksi dan Konsumsi. Kabupaten Maros sejak dulu dikenal sebagai penyuplai bahan pangan seperti jagung, kacang kedelai, dan kacang ke Makassar, Pangkep dan Bone. Sejak kebijakan penataan

ruang Kabupaten Maros memberi peluang yang besar bagi investasi ekstraksi untuk melakukan aktivitas tambang di kawasan karst, lambat laun, produksi pangan petani di Kabupaten Maros mengalami degradasi.

Aspek Fungsi Alam. Menurut pengamatan Penulis, lahan pertanian dan perkebunan masyarakat di Kabupaten Maros sangat bergantung pada kelestarian kawasan karst Maros sebagai penyanggah air. Bila air dari kawasan karst tidak mengalir ke lahan pertanian maka lahan akan berubah fungsi sebagai

tadah hujan. Jika terjadi seperti itu nantinya

KABARJKPP

18

Page 20: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

21

Setahun pasca lahirnya putusan MK No. 35/2012, muncul beberapa aturan yang memberikan pedoman pengakuan keberadaan Masyarakat Hukum Adat. Sebagai contoh Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Peraturan Bersama Empat Menteri tentang IP4T berisi Penetapan Hak Atas penguasaan tanah dalam kawasan hutan melalui Identikasi Status, Permen ATR No. 9 Tahun 2015 tentang Pengakuan Hak atas Tanah dan Penetapan Wilayah Pengelolaan, serta Permen LHK No. 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak.

Namun, aturan yang banyak memberikan pilihan pengakuan Masyarakat Hukum Adat malah mengaburkan pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat itu sendiri. Seperti adagium Summa Ius Summa Iniura yang berarti kepastian hukum yang tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi. Kalimat tersebut menyiratkan bahwa semakin banyak hukum maka semakin tinggi ketidakadilan. Semua aturan di atas, seakan menuntut Masyarakat Hukum Adat membuktikan keberadaan mereka sendiri. Setelah itu, masyarakat juga harus berjuang untuk mendorong kebijakan pengakuan. Hal tersebut bukanlah perkara yang mudah.

Reeksi Perjuangan Pengakuan Wilayah Adat Malalo Tigo Jurai

Malalo Tigo Jurai merupakan kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang berada dalam dua Nagari yaitu Nagari Guguak Malalo dan Nagari Padang Laweh Malalo. Malalo Tigo Jurai terdiri dari Jurai Guguak di Nagari Guguak Malalo Jurai Padang Laweh dan Jurai Tanjung Sawah yang berada di Nagari Padang Laweh Malalo. Secara geogras Malalo Tigo Jurai berada di tepi Danau Singkarak. Hutan dan danau menjadi sumber daya alam utama penghidupan masyarakat. Kekayaan sumber daya alam berperan penting dalam

pembangunan serta peningkatan ekonomi masyarakat. Alam Takambang Jadi Guru sebuah falsafah Minangkabau yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Malalo Tigo Jurai hingga saat ini. Alam merupakan sumber ilmu pengetahuan guna menyusun tata kehidupan. Kisaran tahun 1970-an, ada sebuah aturan yang diterapkan oleh masyarakat Malalo yaitu bagi anak kemenakan (anggota masyarakat Malalo) yang akan menikah wajib menanam 50 batang tanaman. Hal tersebut merupakan syarat untuk mendapatkan izin pernikahan. Di samping itu, ada juga tradisi Mambuka Kapalo Banda di Nagari Guguak Malalo dan Aia Adaik di Nagari Padang Laweh Malalo. Mambuka Kapalo Banda merupakan tradisi potong kerbau untuk dibagikan ke kaum masyarakat yang ada di Nagari Guguak Malalo. Besaran daging menandakan besaran ulayat masing-masing kaum. Semakin kecil daging yang diterima, maka pertanda ulayat sudah banyak terbagi ke beberapa kaum. Selain itu tradisi Mambuka Kapalo Banda merupakan pertanda untuk tanam padi serentak dan pengaturan aliran air ke sawah. Ada juga Aia Adaik, tradisi pengaturan aliran air dan waktu pengairan ke masing-masing sawah kaum yang ada di Nagari Padang Laweh Malalo oleh Tuo Banda.

Perjuangan masyarakat adat Malalo Tigo Jurai dalam pengakuan wilayah adat dimulai tahun 1997. Saat itu megaproyek dijalankan di Nagari Guguak Malalo yaitu pembangunan Intake PLTA Singkarak dan pembangunan terowongan sepanjang 19 km dari pinggir danau hingga ke Lubuk Aluang Kabupaten Padang Pariaman yang membelah wilayah adat Malalo Tigo Jurai. Aktivitas PLTA Singkarak mengakibatkan 106 Ha sawah kekeringan, 8 mata air hilang, beberapa jenis ikan endemik Danau Singkarak terancam punah. Dalam mengadvokasi PLTA Singkarak, masyarakat Malalo Tigo Jurai mendapat kabar tentang peluang pengakuan wilayah adat berdasar Putusan MK No. 35/2012. Demi memperkuat

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Masyarakat adat di Indonesia memiliki karakteristik khusus sebagai kelompok penduduk. Mereka hidup dalam suatu wilayah secara turun-temurun, dengan sistem kebudayaan dan aturan-aturan khas yang mengikat hubungan sosial di antara berbagai kelompok sosial di dalamnya. (Arimbi Heroepoetri)

Perjalanan panjang dan berliku ditempuh masyarakat hukum adat dalam menuntut pengakuan eksistensi diri sebagai sebuah kesatuan yang berdaulat atas wilayah, hak ulayat dan keleluasaan sebagai subjek hukum. Di awal tahun 2013, Mahkamah Konstitusi melahirkan putusan yang menjadi tonggak sejarah pengakuan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia yaitu Putusan MK No. 35/2012 hasil uji materi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Perubahan mendasar dalam putusan ini yaitu Pasal 1 angka 6 tentang pengertian Hutan Adat. Putusan bahwa “Hutan Adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” diubah menjadi “Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat”. Dengan demikian, Hutan Adat bukan lagi hutan negara melainkan Hutan Hak.

Mahkamah berpandangan bahwa Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 merupakan pengakuan atas keberadaan Hutan Adat dalam kesatuan wilayah adat. Hal tersebut merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai “living law”, yang hidup dari dahulu dan diteruskan hingga sekarang. Akan tetapi, keberadaan Masyarakat Hukum Adat tetap mengikuti indikator persyaratan yang berada dalam penjelasan Pasal 67 UU Kehutanan yaitu masyarakat masih berpola paguyuban (rechtsgemeenschap); kelembagaan berbentuk perangkat penguasa adat; wilayah hukum adat jelas; ada pranata dan perangkat hukum adat yang ditaati; dan bergantung pada hasil hutan di wilayah sekitar untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Kesiapan Masyarakat Hukum Adat dan Kegamangan Pemerintah Daerah

Dinamika Pengakuan Wilayah Adat

KABAR SIMPUL

First San Hendra RivaiKoordinator Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif Sumatera Barat

Spesialis Pembaharuan Hukum dan Kampanye Perkumpulan Qbar

KABARJKPP

20

“Hutan Adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” diubah menjadi “Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat”, dengan demikian Hutan Adat bukan lagi hutan negara melainkan Hutan Hak.

Page 21: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

21

Setahun pasca lahirnya putusan MK No. 35/2012, muncul beberapa aturan yang memberikan pedoman pengakuan keberadaan Masyarakat Hukum Adat. Sebagai contoh Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Peraturan Bersama Empat Menteri tentang IP4T berisi Penetapan Hak Atas penguasaan tanah dalam kawasan hutan melalui Identikasi Status, Permen ATR No. 9 Tahun 2015 tentang Pengakuan Hak atas Tanah dan Penetapan Wilayah Pengelolaan, serta Permen LHK No. 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak.

Namun, aturan yang banyak memberikan pilihan pengakuan Masyarakat Hukum Adat malah mengaburkan pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat itu sendiri. Seperti adagium Summa Ius Summa Iniura yang berarti kepastian hukum yang tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi. Kalimat tersebut menyiratkan bahwa semakin banyak hukum maka semakin tinggi ketidakadilan. Semua aturan di atas, seakan menuntut Masyarakat Hukum Adat membuktikan keberadaan mereka sendiri. Setelah itu, masyarakat juga harus berjuang untuk mendorong kebijakan pengakuan. Hal tersebut bukanlah perkara yang mudah.

Reeksi Perjuangan Pengakuan Wilayah Adat Malalo Tigo Jurai

Malalo Tigo Jurai merupakan kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang berada dalam dua Nagari yaitu Nagari Guguak Malalo dan Nagari Padang Laweh Malalo. Malalo Tigo Jurai terdiri dari Jurai Guguak di Nagari Guguak Malalo Jurai Padang Laweh dan Jurai Tanjung Sawah yang berada di Nagari Padang Laweh Malalo. Secara geogras Malalo Tigo Jurai berada di tepi Danau Singkarak. Hutan dan danau menjadi sumber daya alam utama penghidupan masyarakat. Kekayaan sumber daya alam berperan penting dalam

pembangunan serta peningkatan ekonomi masyarakat. Alam Takambang Jadi Guru sebuah falsafah Minangkabau yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Malalo Tigo Jurai hingga saat ini. Alam merupakan sumber ilmu pengetahuan guna menyusun tata kehidupan. Kisaran tahun 1970-an, ada sebuah aturan yang diterapkan oleh masyarakat Malalo yaitu bagi anak kemenakan (anggota masyarakat Malalo) yang akan menikah wajib menanam 50 batang tanaman. Hal tersebut merupakan syarat untuk mendapatkan izin pernikahan. Di samping itu, ada juga tradisi Mambuka Kapalo Banda di Nagari Guguak Malalo dan Aia Adaik di Nagari Padang Laweh Malalo. Mambuka Kapalo Banda merupakan tradisi potong kerbau untuk dibagikan ke kaum masyarakat yang ada di Nagari Guguak Malalo. Besaran daging menandakan besaran ulayat masing-masing kaum. Semakin kecil daging yang diterima, maka pertanda ulayat sudah banyak terbagi ke beberapa kaum. Selain itu tradisi Mambuka Kapalo Banda merupakan pertanda untuk tanam padi serentak dan pengaturan aliran air ke sawah. Ada juga Aia Adaik, tradisi pengaturan aliran air dan waktu pengairan ke masing-masing sawah kaum yang ada di Nagari Padang Laweh Malalo oleh Tuo Banda.

Perjuangan masyarakat adat Malalo Tigo Jurai dalam pengakuan wilayah adat dimulai tahun 1997. Saat itu megaproyek dijalankan di Nagari Guguak Malalo yaitu pembangunan Intake PLTA Singkarak dan pembangunan terowongan sepanjang 19 km dari pinggir danau hingga ke Lubuk Aluang Kabupaten Padang Pariaman yang membelah wilayah adat Malalo Tigo Jurai. Aktivitas PLTA Singkarak mengakibatkan 106 Ha sawah kekeringan, 8 mata air hilang, beberapa jenis ikan endemik Danau Singkarak terancam punah. Dalam mengadvokasi PLTA Singkarak, masyarakat Malalo Tigo Jurai mendapat kabar tentang peluang pengakuan wilayah adat berdasar Putusan MK No. 35/2012. Demi memperkuat

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Masyarakat adat di Indonesia memiliki karakteristik khusus sebagai kelompok penduduk. Mereka hidup dalam suatu wilayah secara turun-temurun, dengan sistem kebudayaan dan aturan-aturan khas yang mengikat hubungan sosial di antara berbagai kelompok sosial di dalamnya. (Arimbi Heroepoetri)

Perjalanan panjang dan berliku ditempuh masyarakat hukum adat dalam menuntut pengakuan eksistensi diri sebagai sebuah kesatuan yang berdaulat atas wilayah, hak ulayat dan keleluasaan sebagai subjek hukum. Di awal tahun 2013, Mahkamah Konstitusi melahirkan putusan yang menjadi tonggak sejarah pengakuan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia yaitu Putusan MK No. 35/2012 hasil uji materi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Perubahan mendasar dalam putusan ini yaitu Pasal 1 angka 6 tentang pengertian Hutan Adat. Putusan bahwa “Hutan Adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” diubah menjadi “Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat”. Dengan demikian, Hutan Adat bukan lagi hutan negara melainkan Hutan Hak.

Mahkamah berpandangan bahwa Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 merupakan pengakuan atas keberadaan Hutan Adat dalam kesatuan wilayah adat. Hal tersebut merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai “living law”, yang hidup dari dahulu dan diteruskan hingga sekarang. Akan tetapi, keberadaan Masyarakat Hukum Adat tetap mengikuti indikator persyaratan yang berada dalam penjelasan Pasal 67 UU Kehutanan yaitu masyarakat masih berpola paguyuban (rechtsgemeenschap); kelembagaan berbentuk perangkat penguasa adat; wilayah hukum adat jelas; ada pranata dan perangkat hukum adat yang ditaati; dan bergantung pada hasil hutan di wilayah sekitar untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Kesiapan Masyarakat Hukum Adat dan Kegamangan Pemerintah Daerah

Dinamika Pengakuan Wilayah Adat

KABAR SIMPUL

First San Hendra RivaiKoordinator Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif Sumatera Barat

Spesialis Pembaharuan Hukum dan Kampanye Perkumpulan Qbar

KABARJKPP

20

“Hutan Adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” diubah menjadi “Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat”, dengan demikian Hutan Adat bukan lagi hutan negara melainkan Hutan Hak.

Page 22: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

23

Kabupaten? (Malalo Tigo Jurai tepat berada pada batas tiga Kabupaten, Kab. Tanah Datar, Kab. Padang Pariaman, Kab. Solok)

Ÿ Apakah peta yang dibuat masyarakat secara partisipatif memiliki landasan legalitas?

Ÿ Apakah hukum adat yang akan diverikasi keberadaannya harus dituliskan dalam sebuah peraturan nagari?

Ÿ Bagaimana konsekuensi wilayah adat yang telah disetujui oleh batas sipadan, dengan wilayah adminstrasi yang saat ini berlaku di Nagari Guguak Malalo dan Nagari Padang Laweh Malalo?

Tentu hal ini menjadi pertanyaan yang rumit bagi masyarakat maupun pemerintahan daerah kabupaten. Hingga ditarik kesimpulan bahwa masyarakat akan tetap mempersiapkan semua persyaratan sesuai dengan aturan-aturan. Sebab beberapa diantaranya relatif hampir sama yaitu adanya wilayah, struktur, dan hukum adat serta pengelolaan atas wilayah. Di samping itu, pemerintah daerah akan memfasilitasi hal-hal yang dirasa perlu oleh masyarakat.

Masyarakat Malalo Tigo Jurai melakukan semacam riset aksi untuk mengumpulkan persyaratan tersebut. Proses riset aksi ternyata tidak hanya berpengaruh pada pengumpulan data, tapi juga berkontribusi dalam penyebarluasan pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat Malalo Tigo Jurai sendiri. Misalnya, terkait pengetahuan batas wilayah adat, itu hanya diketahui oleh beberapa Ninik Mamak saja, berdasarkan curaian adat yang diterima serta hanya beberapa orang saja yang mengetahui batas wilayah adat (batas alam, seperti bukit, sungai). Hal ini membuktikan bahwa kesiapan terhadap pengakuan tidak hanya terletak pada perangkat pemerintahan Nagari atau struktur adat saja, melainkan keseluruhan masyarakat Malalo Tigo Jurai, sehingga transfer pengetahuan lokal menjadi penting untuk dilakukan.

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

posisi advokasi tersebut, masyarakat sepakat untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan atas wilayah adat Malalo Tigo Jurai.

Sosialisasi hasil pemetaan ini ternyata berdampak pada psikologis masyarakat Malalo Tigo Jurai sebab pada saat bersamaan santer diberitakan kasus-kasus penangkapan masyarakat yang masuk ke dalam kawasan hutan. Selain itu, pemerintah juga gencar mensosialisasikan Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H). Di mana, Undang-undang tersebut berpotensi memidanakan masyarakat yang melakukan aktivitas dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat berwenang. Persoalan yang hadir di tengah masyarakat beralih tidak hanya mengenai persoalan intake PLTA Singkarak. Perladangan yang selama ini dikelola oleh masyarakat ternyata masuk dalam kawasan hutan lindung dan suaka alam. Akhirnya, masyarakat pun berkeinginan terlibat menjadi salah satu pemohon uji materi UU P3H bergabung dengan kelompok masyarakat dari beberapa daerah lainnya.

Persoalan tersebut mengemuka karena masyarakat Malalo Tigo Jurai sudah membagi pemanfaatan wilayah adat yakni : hutan/rimbo (hutan larangan, hutan paramuan, hutan cadangan, hutan olahan),

perumahan, sawah, perladangan. Pasca pemetaan partisipatif terhadap tata kelola ruang masyarakat, baru diketahui adanya tumpang tindih status lahan. Klaim oleh negara menyatakan sebagian wilayah sebagai kawasan hutan lindung dan suaka alam. Hal ini tentu, berakibat adanya dua hukum yang mengatur satu wilayah yaitu hukum adat dan hukum negara. Di mana, pemberlakuan masing-masing hukum memiliki perbedaan konsekuensi.

Perjuangan berlanjut, berbagai dialog dilakukan dari tingkat pemerintahan daerah kabupaten hingga kementerian. Namun, berbagai pertanyaan pun hadir antara masyarakat dengan pemerintah daerah, seperti :Ÿ Masyarakat ingin mengambil peluang

hukum yang mana, apakah akan mengikuti prosedur Permendagri 52/2014, mengikut skema IP4T atau mendorong peraturan daerah sesuai dengan Permen LHK 32/2015?

Ÿ Jika Peraturan Daerah apakah Peraturan Daerah yang khusus mengakui komunitas tersebut atau yang bersifat umum?

Ÿ Peraturan Daerah yang akan didorong apakah tentang pengakuan masyarakat hukum adat, hutan adat, atau hak ulayat masyarakat hukum adat?

Ÿ Siapakah yang berwenang untuk membuat Peraturan Daerah, Provinsi atau

KABARJKPP

22

Page 23: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

23

Kabupaten? (Malalo Tigo Jurai tepat berada pada batas tiga Kabupaten, Kab. Tanah Datar, Kab. Padang Pariaman, Kab. Solok)

Ÿ Apakah peta yang dibuat masyarakat secara partisipatif memiliki landasan legalitas?

Ÿ Apakah hukum adat yang akan diverikasi keberadaannya harus dituliskan dalam sebuah peraturan nagari?

Ÿ Bagaimana konsekuensi wilayah adat yang telah disetujui oleh batas sipadan, dengan wilayah adminstrasi yang saat ini berlaku di Nagari Guguak Malalo dan Nagari Padang Laweh Malalo?

Tentu hal ini menjadi pertanyaan yang rumit bagi masyarakat maupun pemerintahan daerah kabupaten. Hingga ditarik kesimpulan bahwa masyarakat akan tetap mempersiapkan semua persyaratan sesuai dengan aturan-aturan. Sebab beberapa diantaranya relatif hampir sama yaitu adanya wilayah, struktur, dan hukum adat serta pengelolaan atas wilayah. Di samping itu, pemerintah daerah akan memfasilitasi hal-hal yang dirasa perlu oleh masyarakat.

Masyarakat Malalo Tigo Jurai melakukan semacam riset aksi untuk mengumpulkan persyaratan tersebut. Proses riset aksi ternyata tidak hanya berpengaruh pada pengumpulan data, tapi juga berkontribusi dalam penyebarluasan pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat Malalo Tigo Jurai sendiri. Misalnya, terkait pengetahuan batas wilayah adat, itu hanya diketahui oleh beberapa Ninik Mamak saja, berdasarkan curaian adat yang diterima serta hanya beberapa orang saja yang mengetahui batas wilayah adat (batas alam, seperti bukit, sungai). Hal ini membuktikan bahwa kesiapan terhadap pengakuan tidak hanya terletak pada perangkat pemerintahan Nagari atau struktur adat saja, melainkan keseluruhan masyarakat Malalo Tigo Jurai, sehingga transfer pengetahuan lokal menjadi penting untuk dilakukan.

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

posisi advokasi tersebut, masyarakat sepakat untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan atas wilayah adat Malalo Tigo Jurai.

Sosialisasi hasil pemetaan ini ternyata berdampak pada psikologis masyarakat Malalo Tigo Jurai sebab pada saat bersamaan santer diberitakan kasus-kasus penangkapan masyarakat yang masuk ke dalam kawasan hutan. Selain itu, pemerintah juga gencar mensosialisasikan Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H). Di mana, Undang-undang tersebut berpotensi memidanakan masyarakat yang melakukan aktivitas dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat berwenang. Persoalan yang hadir di tengah masyarakat beralih tidak hanya mengenai persoalan intake PLTA Singkarak. Perladangan yang selama ini dikelola oleh masyarakat ternyata masuk dalam kawasan hutan lindung dan suaka alam. Akhirnya, masyarakat pun berkeinginan terlibat menjadi salah satu pemohon uji materi UU P3H bergabung dengan kelompok masyarakat dari beberapa daerah lainnya.

Persoalan tersebut mengemuka karena masyarakat Malalo Tigo Jurai sudah membagi pemanfaatan wilayah adat yakni : hutan/rimbo (hutan larangan, hutan paramuan, hutan cadangan, hutan olahan),

perumahan, sawah, perladangan. Pasca pemetaan partisipatif terhadap tata kelola ruang masyarakat, baru diketahui adanya tumpang tindih status lahan. Klaim oleh negara menyatakan sebagian wilayah sebagai kawasan hutan lindung dan suaka alam. Hal ini tentu, berakibat adanya dua hukum yang mengatur satu wilayah yaitu hukum adat dan hukum negara. Di mana, pemberlakuan masing-masing hukum memiliki perbedaan konsekuensi.

Perjuangan berlanjut, berbagai dialog dilakukan dari tingkat pemerintahan daerah kabupaten hingga kementerian. Namun, berbagai pertanyaan pun hadir antara masyarakat dengan pemerintah daerah, seperti :Ÿ Masyarakat ingin mengambil peluang

hukum yang mana, apakah akan mengikuti prosedur Permendagri 52/2014, mengikut skema IP4T atau mendorong peraturan daerah sesuai dengan Permen LHK 32/2015?

Ÿ Jika Peraturan Daerah apakah Peraturan Daerah yang khusus mengakui komunitas tersebut atau yang bersifat umum?

Ÿ Peraturan Daerah yang akan didorong apakah tentang pengakuan masyarakat hukum adat, hutan adat, atau hak ulayat masyarakat hukum adat?

Ÿ Siapakah yang berwenang untuk membuat Peraturan Daerah, Provinsi atau

KABARJKPP

22

Page 24: Kabar jkpp 20

Dominasi Negara dan Ketidakpastian Hukum

Pasca putusan MK N0.35/2012 ternyata tidak memberikan ruang kedaulatan penuh kepada Masyarakat Hukum Adat dalam menguasai, mengelola dan mengatur peruntukan wilayah adatnya. Hukum negara masih dominan, pengakuan atau pemberian ruang kepada aturan-aturan non negara hanyalah strategi untuk memoderasi tuntutan-tuntutan sosial. Buktinya adalah pengakuan negara atas aturan-aturan non dilakukan dengan pembatasan seperti pembatasan yurisdiksi berlaku dan tidak bertentangan dengan hukum negara (Rikardo Simarmata : 2013).

Rasionalitas masyarakat hukum adat dalam melihat pilihan-pilihan hukum yang tersebar dalam beberapa aturan sektoral menjadi salah satu prasyarat penting dalam mengambil pilihan hukum pengakuan ini. Sebab nanti dapat berkontribusi tepat dan nyata dalam penguatan klaim atas hak Masyarakat Hukum Adat. Hal ini yang mengubah pola negosiasi yang dilakukan masyarakat. Jika dahulu sebelum melakukan negosiasi masyarakat perlu meningkatkan posisi tawar mereka di depan pemerintahan, maka saat ini posisi tawar tersebut sejalan dengan kesiapan prasyarat dari masyarakat. Tentu masyarakat harus melihat plus-minus pilihan-pilihan hukum tersebut. Kesadaran untuk tidak hanya melihat hukum negara sebagai sebuah instrumen tunggal menjadi salah satu bekal yang harus dimiliki masyarakat.

Pengesahan peraturan daerah yang mengakui kesepuhan di Banten dan Masyarakat Hukum Adat Kajang beberapa waktu lalu, memberikan pembelajaran bahwa masyarakat harus memiliki kekuatan politik untuk menembus ruang-ruang yang ada di pemerintahan daerah dan DPRD. Tidak semua masyarakat hukum adat dapat

melakukannya sehingga diperlukan perbaikan atas logika pengaturan pilihan-pilihan jalur hukum yang ada. Selama ini Masyarakat Hukum Adat dituntut untuk aktif demi mendapat pengakuan. Bagaimana jika logikanya dibalik pemerintah yang harus membuktikan keberadaan Masyarakat Hukum Adat? Hal tersebut guna membuktikan hukum negara ternyata lemah dibanding hukum adat yang berlaku ditengah masyarakat.

Di sisi lain, keberadaan Putusan MK No. 35/2012 dan beberapa aturan tentang pengakuan telah membawa perubahan dalam politik hukum agraria di Indonesia. Walaupun pengakuan tersebut belum sepenuhnya menjadi batu pijakan utama terhadap kedaulatan Masyarakat Hukum Adat. Ini merupakan konsekuensi dari hidup bernegara.

Langkah tempuh awal untuk pengakuan tersebut adalah melakukan pemetaan partisipatif wilayah adat. Pertengahan tahun 2014 dilakukan pemetaan partisipatif wilayah adat, berdasarkan hasil pemetaan didapatkan luas wilayah adat Malalo Tigo Jurai ± 10,441 Ha yang jika disandingkan dengan peta kawasan hutan maka wilayah adat Malalo Tigo Jurai terbagi atas tiga status yaitu Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 2.085 Ha, Hutan Lindung (HL) seluas 3.590 Ha dan Cagar Alam Bukit Barisan I seluas 4.766 Ha.

KABARJKPP

24

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Saat kasus pertambangan GRP di dalam Cagar Alam Morowali mencuat, Polda Sulteng selaku penyidik kasus merasa bingung dalam melakukan penyelidikan, sebab keterangan yang diperoleh dari pihak BKSDA Sulawesi Tengah dengan BPKH Wilayah XVI Palu terkait status wilayah pengelolaan berbeda. Perbedaan informasi ini didasari oleh berbedanya peta rujukan kawasan hutan yang dimiliki kedua instansi pemerintah ini. Perbedaan keduanya bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum tetapi yang jauh lebih berdampak adalah masyarakat karena kerusakan yang terus berlanjut akibat penebangan hutan alam oleh GRP. Kasus tersebut hanya salah satu contoh saja bagaimana penyingkiran masyarakat lokal/adat secara sistematis dikontribusikan oleh banyaknya versi data dan berbagai peta rujukan pemerintah yang berbeda. Penyingkiran masyarakat adat dari tanahnya melalui perampasan secara langsung, kriminalisasi bahkan dampak lebih jauh dihasilkan dari krisis ekologi yang telah tampak semakin jelas ditandai dengan bencana yang terus terjadi.

Dalam situasi seperti ini, penataan kembali perpetaan yang berkeadilan di Indonesia, merupakan suatu yang mutlak diperlukan. Hal ini seiring dengan apa yang diungkap Susilo Bambang Yudoyono (mantan Presiden RI) yang mengeluarkan ide untuk mengadakan satu peta rujukan yang digunakan oleh semua sektor dalam pengambilan kebijakan atau keputusan. Untuk menggulirkan konsep ini, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang informasi geospasial. “Informasi geospasial harus diselenggarakan secara demokratis, tertib, terpadu, berhasil guna, dan berdaya guna agar terjamin keakuratan, kemutakhiran, dan kepastian hukum”, tegas Pasal 2 UU ini.

dalam Kebijakan Satu Peta di Daerah

Mendorong Integrasi Peta Partisipatif

KABAR SIMPUL

Ferra Rifni NusaStaf Yayasan Merah Putih

Palu, Sulawesi Tengah

KABAR JKPP

25

Bagaimana penyingkiran masyarakat lokal/adat secara sistematis dikontribusikan oleh banyaknya versi data dan berbagai peta rujukan pemerintah yang berbeda.

Page 25: Kabar jkpp 20

Dominasi Negara dan Ketidakpastian Hukum

Pasca putusan MK N0.35/2012 ternyata tidak memberikan ruang kedaulatan penuh kepada Masyarakat Hukum Adat dalam menguasai, mengelola dan mengatur peruntukan wilayah adatnya. Hukum negara masih dominan, pengakuan atau pemberian ruang kepada aturan-aturan non negara hanyalah strategi untuk memoderasi tuntutan-tuntutan sosial. Buktinya adalah pengakuan negara atas aturan-aturan non dilakukan dengan pembatasan seperti pembatasan yurisdiksi berlaku dan tidak bertentangan dengan hukum negara (Rikardo Simarmata : 2013).

Rasionalitas masyarakat hukum adat dalam melihat pilihan-pilihan hukum yang tersebar dalam beberapa aturan sektoral menjadi salah satu prasyarat penting dalam mengambil pilihan hukum pengakuan ini. Sebab nanti dapat berkontribusi tepat dan nyata dalam penguatan klaim atas hak Masyarakat Hukum Adat. Hal ini yang mengubah pola negosiasi yang dilakukan masyarakat. Jika dahulu sebelum melakukan negosiasi masyarakat perlu meningkatkan posisi tawar mereka di depan pemerintahan, maka saat ini posisi tawar tersebut sejalan dengan kesiapan prasyarat dari masyarakat. Tentu masyarakat harus melihat plus-minus pilihan-pilihan hukum tersebut. Kesadaran untuk tidak hanya melihat hukum negara sebagai sebuah instrumen tunggal menjadi salah satu bekal yang harus dimiliki masyarakat.

Pengesahan peraturan daerah yang mengakui kesepuhan di Banten dan Masyarakat Hukum Adat Kajang beberapa waktu lalu, memberikan pembelajaran bahwa masyarakat harus memiliki kekuatan politik untuk menembus ruang-ruang yang ada di pemerintahan daerah dan DPRD. Tidak semua masyarakat hukum adat dapat

melakukannya sehingga diperlukan perbaikan atas logika pengaturan pilihan-pilihan jalur hukum yang ada. Selama ini Masyarakat Hukum Adat dituntut untuk aktif demi mendapat pengakuan. Bagaimana jika logikanya dibalik pemerintah yang harus membuktikan keberadaan Masyarakat Hukum Adat? Hal tersebut guna membuktikan hukum negara ternyata lemah dibanding hukum adat yang berlaku ditengah masyarakat.

Di sisi lain, keberadaan Putusan MK No. 35/2012 dan beberapa aturan tentang pengakuan telah membawa perubahan dalam politik hukum agraria di Indonesia. Walaupun pengakuan tersebut belum sepenuhnya menjadi batu pijakan utama terhadap kedaulatan Masyarakat Hukum Adat. Ini merupakan konsekuensi dari hidup bernegara.

Langkah tempuh awal untuk pengakuan tersebut adalah melakukan pemetaan partisipatif wilayah adat. Pertengahan tahun 2014 dilakukan pemetaan partisipatif wilayah adat, berdasarkan hasil pemetaan didapatkan luas wilayah adat Malalo Tigo Jurai ± 10,441 Ha yang jika disandingkan dengan peta kawasan hutan maka wilayah adat Malalo Tigo Jurai terbagi atas tiga status yaitu Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 2.085 Ha, Hutan Lindung (HL) seluas 3.590 Ha dan Cagar Alam Bukit Barisan I seluas 4.766 Ha.

KABARJKPP

24

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Saat kasus pertambangan GRP di dalam Cagar Alam Morowali mencuat, Polda Sulteng selaku penyidik kasus merasa bingung dalam melakukan penyelidikan, sebab keterangan yang diperoleh dari pihak BKSDA Sulawesi Tengah dengan BPKH Wilayah XVI Palu terkait status wilayah pengelolaan berbeda. Perbedaan informasi ini didasari oleh berbedanya peta rujukan kawasan hutan yang dimiliki kedua instansi pemerintah ini. Perbedaan keduanya bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum tetapi yang jauh lebih berdampak adalah masyarakat karena kerusakan yang terus berlanjut akibat penebangan hutan alam oleh GRP. Kasus tersebut hanya salah satu contoh saja bagaimana penyingkiran masyarakat lokal/adat secara sistematis dikontribusikan oleh banyaknya versi data dan berbagai peta rujukan pemerintah yang berbeda. Penyingkiran masyarakat adat dari tanahnya melalui perampasan secara langsung, kriminalisasi bahkan dampak lebih jauh dihasilkan dari krisis ekologi yang telah tampak semakin jelas ditandai dengan bencana yang terus terjadi.

Dalam situasi seperti ini, penataan kembali perpetaan yang berkeadilan di Indonesia, merupakan suatu yang mutlak diperlukan. Hal ini seiring dengan apa yang diungkap Susilo Bambang Yudoyono (mantan Presiden RI) yang mengeluarkan ide untuk mengadakan satu peta rujukan yang digunakan oleh semua sektor dalam pengambilan kebijakan atau keputusan. Untuk menggulirkan konsep ini, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang informasi geospasial. “Informasi geospasial harus diselenggarakan secara demokratis, tertib, terpadu, berhasil guna, dan berdaya guna agar terjamin keakuratan, kemutakhiran, dan kepastian hukum”, tegas Pasal 2 UU ini.

dalam Kebijakan Satu Peta di Daerah

Mendorong Integrasi Peta Partisipatif

KABAR SIMPUL

Ferra Rifni NusaStaf Yayasan Merah Putih

Palu, Sulawesi Tengah

KABAR JKPP

25

Bagaimana penyingkiran masyarakat lokal/adat secara sistematis dikontribusikan oleh banyaknya versi data dan berbagai peta rujukan pemerintah yang berbeda.

Page 26: Kabar jkpp 20

Olehnya, Kebijakan Satu Peta menjadi harapan dalam perbaikan tata kelola hutan yang ada di Indonesia serta pengakuan ruang-ruang kelola rakyat. Untuk mendapatkan Ketersediaan Informasi Geogra yang akurat pada satu peta rujukan, diperlukan perbaikan data spasial dari setiap sektoral yang kebijakannya bersentuhan langsung dengan tanah dan kawasan hutan. Hal ini menjadi penting agar pengambilan keputusan bisa lebih esien, efektif, komunikatif dan berkeadilan ruang.

Apa itu satu peta Rujukan

Satu peta rujukan dimaknai dengan satu referensi, satu standarisasi, satu database, dan satu geoportal. Satu referensi, artinya semua sektoral baik pemerintah maupun swasta dalam penggunaan peta harus mengacu pada tiga hal. Pertama, menjadikan Informasi Geospasial Dasar (IGD) sebagai satu sumber rujukan dalam pembangunan informasi geospasial tematik. IGD ini, berupa kerangka geodesi, peta rupa bumi, peta lingkungan pantai dan peta lingkungan laut nasional. Kedua, mensyaratkan bahwa setiap sumber data harus berketetapan hukum dan yang ketiga

adalah mengikuti sistem referensi peta yang ditetapkan. Untuk IGD yang diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial terdiri dari jaringan kontrol geodesi dan peta dasar.

Satu peta rujukan kemudian dimaknai sebagai satu standar. Artinya, ada satu standar yang ditetapkan secara nasional yang harus dipenuhi pada setiap sumber data spasial yang di hasilkan. Pertama, dalam proses hingga produk yang dihasilkan harus memenuhi standar yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan serta standar nasional indonesia atau Standar Kompetensi Nasional Indonesia (SKNI). Standar ini merupakan hasil dari keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 331 Tahun 2013. Standar yang harus dipenuhi selanjutnya adalah kompetensi kerja dan industri.

Satu peta rujukan juga merupakan Satu database, yakni dipakai sebagai organisasi pelayanan data, tata laksana, hingga tata kelola informasi geogra strategi nasional seperti percepatan penyusunan RTRW, RDTR, dan percepatan Informasi Geospasial untuk pembangunan berkelanjutan. Terakhir, satu peta rujukan

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

adalah satu geoportal, artinya, adanya pembangunan infrastruktur berupa satu sistem portal geospasial yang berfungsi untuk berbagi pakai informasi geospasial nasional. Bentuk sistem portal geospasial tersebut adalah Ina-Geoportal yang dilengkapi dengan data center informasi geogra strategis nasional, dengan fungsi utama adalah pencarian Informasi Geospasial (IG), Integrasi IG, analisa IG, berbagi pakai IG (Data dan Aplikasi), Membuat Peta dan Publikasi IG dan Peta. Sistem yang dibangun dalam simpul jaringan nasional ini menempatkan BIG sebagai penghubungnya.

Peluang dan tantangan Bagi Wilayah Kelola

Jauh sebelum kebijakan satu peta rujukan ini berlaku, pemetaan partisipatif telah dilakukan secara masif oleh masyarakat sekitar hutan termasuk komunitas adat, untuk memperjelas wilayah klaimnya. Meski belum semua komunitas memiliki data

spasial wilayahnya. Dasar hukum yang menjadi peluang bagi peta klaim wilayah adat, untuk menjadi salah satu informasi yang nantinya akan ditampilkan dalam Satu Peta Rujukan adalah putusan MK 35 Tahun 2012. Putusan tersebut menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara tapi hutan hak, sehingga wilayah adat memiliki ruang sendiri dalam Satu Peta Rujukan. Selain itu, klaim verikasi bisa menjadi pintu masuk yang lain untuk peta wilayah adat. Hal ini berdasarkan salah satu rencana aksi kebijakan Satu Peta Rujukan Tahun 2013 yaitu, percepatan pengukuhan kawasan hutan melalui mekanisme klaim verikasi. Demikian juga dengan peluang yang ada dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.

Di daerah sendiri, kebijakan yang menjadi peluang bagi wilayah kelola rakyat adalah Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2012 tentang Strategi Daerah REDD+ Sulteng. Pada bab 3 poin 1e. Tentang

KABAR JKPP

27KABARJKPP

26

Page 27: Kabar jkpp 20

Olehnya, Kebijakan Satu Peta menjadi harapan dalam perbaikan tata kelola hutan yang ada di Indonesia serta pengakuan ruang-ruang kelola rakyat. Untuk mendapatkan Ketersediaan Informasi Geogra yang akurat pada satu peta rujukan, diperlukan perbaikan data spasial dari setiap sektoral yang kebijakannya bersentuhan langsung dengan tanah dan kawasan hutan. Hal ini menjadi penting agar pengambilan keputusan bisa lebih esien, efektif, komunikatif dan berkeadilan ruang.

Apa itu satu peta Rujukan

Satu peta rujukan dimaknai dengan satu referensi, satu standarisasi, satu database, dan satu geoportal. Satu referensi, artinya semua sektoral baik pemerintah maupun swasta dalam penggunaan peta harus mengacu pada tiga hal. Pertama, menjadikan Informasi Geospasial Dasar (IGD) sebagai satu sumber rujukan dalam pembangunan informasi geospasial tematik. IGD ini, berupa kerangka geodesi, peta rupa bumi, peta lingkungan pantai dan peta lingkungan laut nasional. Kedua, mensyaratkan bahwa setiap sumber data harus berketetapan hukum dan yang ketiga

adalah mengikuti sistem referensi peta yang ditetapkan. Untuk IGD yang diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial terdiri dari jaringan kontrol geodesi dan peta dasar.

Satu peta rujukan kemudian dimaknai sebagai satu standar. Artinya, ada satu standar yang ditetapkan secara nasional yang harus dipenuhi pada setiap sumber data spasial yang di hasilkan. Pertama, dalam proses hingga produk yang dihasilkan harus memenuhi standar yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan serta standar nasional indonesia atau Standar Kompetensi Nasional Indonesia (SKNI). Standar ini merupakan hasil dari keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 331 Tahun 2013. Standar yang harus dipenuhi selanjutnya adalah kompetensi kerja dan industri.

Satu peta rujukan juga merupakan Satu database, yakni dipakai sebagai organisasi pelayanan data, tata laksana, hingga tata kelola informasi geogra strategi nasional seperti percepatan penyusunan RTRW, RDTR, dan percepatan Informasi Geospasial untuk pembangunan berkelanjutan. Terakhir, satu peta rujukan

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

adalah satu geoportal, artinya, adanya pembangunan infrastruktur berupa satu sistem portal geospasial yang berfungsi untuk berbagi pakai informasi geospasial nasional. Bentuk sistem portal geospasial tersebut adalah Ina-Geoportal yang dilengkapi dengan data center informasi geogra strategis nasional, dengan fungsi utama adalah pencarian Informasi Geospasial (IG), Integrasi IG, analisa IG, berbagi pakai IG (Data dan Aplikasi), Membuat Peta dan Publikasi IG dan Peta. Sistem yang dibangun dalam simpul jaringan nasional ini menempatkan BIG sebagai penghubungnya.

Peluang dan tantangan Bagi Wilayah Kelola

Jauh sebelum kebijakan satu peta rujukan ini berlaku, pemetaan partisipatif telah dilakukan secara masif oleh masyarakat sekitar hutan termasuk komunitas adat, untuk memperjelas wilayah klaimnya. Meski belum semua komunitas memiliki data

spasial wilayahnya. Dasar hukum yang menjadi peluang bagi peta klaim wilayah adat, untuk menjadi salah satu informasi yang nantinya akan ditampilkan dalam Satu Peta Rujukan adalah putusan MK 35 Tahun 2012. Putusan tersebut menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara tapi hutan hak, sehingga wilayah adat memiliki ruang sendiri dalam Satu Peta Rujukan. Selain itu, klaim verikasi bisa menjadi pintu masuk yang lain untuk peta wilayah adat. Hal ini berdasarkan salah satu rencana aksi kebijakan Satu Peta Rujukan Tahun 2013 yaitu, percepatan pengukuhan kawasan hutan melalui mekanisme klaim verikasi. Demikian juga dengan peluang yang ada dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.

Di daerah sendiri, kebijakan yang menjadi peluang bagi wilayah kelola rakyat adalah Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2012 tentang Strategi Daerah REDD+ Sulteng. Pada bab 3 poin 1e. Tentang

KABAR JKPP

27KABARJKPP

26

Page 28: Kabar jkpp 20

Masyarakat harus menjadi pelaku utama dan sekaligus sebagai penentu manfaat dan fungsi peta yang akan dihasilkan. Melibatkan partisipasi masyarakat merupakan landasan losos JKPP dalam bekerja dan bukan hanya sekadar formalitas proyek. Kehadiran fasilitator pemetaan, berperan hanya dalam membantu hal-hal yang bersifat teknis, dan bukan sebagai pelaku utama. Menjadi fasilitator pemetaan dibutuhkan kesabaran yang tinggi yakni dengan menemani masyarakat serta mau tinggal di kampung. Paragraf pembuka diatas merupakan penjelasan singkat mengenai kode etik pemetaan partisipatif oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP). Almarhum Restu Achmaliadi atau yang biasa dikenal dengan panggilan Ganden merupakan salah satu perumus dari kode etik tersebut. Ganden menjadi Koordinator Nasional Pertama JKPP yang terbentuk pada tahun 1996. Dari Ganden-lah kemudian, istilah “tukang ukur-ukur” ini dikenal banyak pihak.

Peta bukan saja soal gambaran wilayah, tetapi lebih dalam menunjukan hubungan kita dengan bumi dan benda–benda di atasnya dan hubungan sosial antar penghuni bumi. Pembuatan peta merupakan pekerjaan yang erat kaitanya dengan persoalan politik, tidak terlepas dari masalah “oleh siapa” dan “untuk siapa” suatu peta dibuat. Gerakan pemetaan partisipatif yang melahirkan seorang Mas Ganden diinisiasi dalam rangka mendukung gerakan–gerakan sosial khususnya gerakan yang berbasis pada tanah, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang membutuhkan klaim atas wilayah. Peta hadir sebagai salah satu alat penyelesaian konik agraria, konik sebagai skala dalam pemanfataan ruang, terutama dalam hal alokasi sumber–sumber agraria.

Kategori Masyarakat Untuk Alm. Mas Ganden (Restu Achmaliadi)

PENGANUGERAHAN HANTARU AWARD 2015

KABAR JKPP

Sekretariat Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Beliau merupakan sosok yang tidak saja memperjuangkan kedaulatan hak atas ruang bagi masyarakat adat/lokal melalui pemetaan partisipatif, pengorganisasian masyarakat, menciptakan kader-kader fasilitator pemetaan partisipatif, namun juga sebagai kawan diskusi yang sangat sabar bagi para fasilitator pemetaan partisipatif

Penyusunan Satu Peta Terintegrasi (one baseline map) mengatur dua hal penting yaitu, memfasilitasi satu peta terintegrasi di Sulawesi Tengah yang sumbernya berasal dari peta tata guna lahan, peta konsesi, peta klaim, dan peta indikatif penundaan izin baru serta memfasilitasi pemetaan dan penetapan wilayah adat dan masyarakat lokal lainya bekerja sama dengan komponen masyarakat sipil.

Dengan melihat peluang tersebut, beberapa organisasi masyarakat sipil seperti YMP, SLPP Sulteng dan BRWA Sulteng pada pertengahan Agustus 2015 menyerahkan usulan kebijakan satu peta. Fokus utama dari usulan kebijakan satu peta yang diserahkan ke Gubernur Sulteng tersebut adalah integrasi peta-peta tematik termasuk peta klaim wilayah adat ke dalam informasi geospasial dasar (IGD), yang selanjutnya akan diolah di dalam sistem geoportal terpadu di level provinsi.

Usulan kebijakan ini merupakan hasil bacaan situasi lokal yang dipadukan dengan kondisi dinamis di level nasional. Dimana sejak tahun 2013 serangkaian upaya telah dilakukan sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap kebijakan satu peta serta kepedulian terhadap peningkatan kualitas tata kelola hutan dan lahan di daerah. Mulai dari melakukan studi tata guna hutan dan lahan masyarakat adat dan komunitas lokal di sejumlah kabupaten, eksplorasi peta mental (mental map), pertemuan komunitas, studi potensi ora dan fauna wilayah masyarakat adat dan komunitas lokal, hingga pemetaan partisipatif wilayah administrasi desa/wilayah kelola masyarakat adat.

Saat ini, dukungan dari pemerintah pusat melalui BPREDD adalah mengumpulkan data dasar REDD dan Penyusunan Peta Kadastral Sulteng, dengan menunjuk PT Hateld Indonesia sebagai konsultan. Seluruh data dasar dan peta

Kadastral yang telah dikumpulkan oleh tim konsultan dari berbagai pihak kemudian disatukan ke dalam sistem geoportal terpadu. Sementara ditingkat pemerintah daerah sendiri telah membentuk tim pengelola geoportal Sulteng berdasarkan SK Gubernur Sulteng No.050/102/RO.ADM PEMB SDA-G.ST/2015 yang diletakkan kepada Biro Administrasi Pembangunan dan SDA Setda Provinsi. Saat ini geoportal Sulteng sudah beroperasi secara online melalui website: www.geoportalsulteng.go.id dengan meletakkan organisasi masyarakat sipil sebagai salah satu kontributor untuk peta tematik wilayah adat/wilayah kelola rakyat.

Sayangnya sejauh ini belum ada perumusan terkait resolusi konik bila mana peta-peta yang termuat dalam geoportal justru saling tumpang tindih. Pertanyaannya kemudian apakah setiap produk peta tematik yang dimasukkan dalam geoportal hanya sekedar ditampilkan dan disandingkan? Bagaimana jika peta tematik wilayah adat/wilayah kelola rakyat ternyata terdapat tumpang tindih dengan peta perizinan? Yang jelas, harapan terbesar masyarakat sekitar hutan termasuk masyarakat adat terhadap kebijakan satu peta rujukan tersebut adalah terselenggaranya pengelolaan sumber daya hutan yang baik serta berkeadilan ruang, dengan penghormatan dan pengakuan atas hak-hak masyarakat. Pekerjaan masih panjang untuk memastikan kebijakan satu peta yang sesungguhnya bisa terwujud.

KABAR JKPP

29KABARJKPP

28

Page 29: Kabar jkpp 20

Masyarakat harus menjadi pelaku utama dan sekaligus sebagai penentu manfaat dan fungsi peta yang akan dihasilkan. Melibatkan partisipasi masyarakat merupakan landasan losos JKPP dalam bekerja dan bukan hanya sekadar formalitas proyek. Kehadiran fasilitator pemetaan, berperan hanya dalam membantu hal-hal yang bersifat teknis, dan bukan sebagai pelaku utama. Menjadi fasilitator pemetaan dibutuhkan kesabaran yang tinggi yakni dengan menemani masyarakat serta mau tinggal di kampung. Paragraf pembuka diatas merupakan penjelasan singkat mengenai kode etik pemetaan partisipatif oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP). Almarhum Restu Achmaliadi atau yang biasa dikenal dengan panggilan Ganden merupakan salah satu perumus dari kode etik tersebut. Ganden menjadi Koordinator Nasional Pertama JKPP yang terbentuk pada tahun 1996. Dari Ganden-lah kemudian, istilah “tukang ukur-ukur” ini dikenal banyak pihak.

Peta bukan saja soal gambaran wilayah, tetapi lebih dalam menunjukan hubungan kita dengan bumi dan benda–benda di atasnya dan hubungan sosial antar penghuni bumi. Pembuatan peta merupakan pekerjaan yang erat kaitanya dengan persoalan politik, tidak terlepas dari masalah “oleh siapa” dan “untuk siapa” suatu peta dibuat. Gerakan pemetaan partisipatif yang melahirkan seorang Mas Ganden diinisiasi dalam rangka mendukung gerakan–gerakan sosial khususnya gerakan yang berbasis pada tanah, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang membutuhkan klaim atas wilayah. Peta hadir sebagai salah satu alat penyelesaian konik agraria, konik sebagai skala dalam pemanfataan ruang, terutama dalam hal alokasi sumber–sumber agraria.

Kategori Masyarakat Untuk Alm. Mas Ganden (Restu Achmaliadi)

PENGANUGERAHAN HANTARU AWARD 2015

KABAR JKPP

Sekretariat Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Beliau merupakan sosok yang tidak saja memperjuangkan kedaulatan hak atas ruang bagi masyarakat adat/lokal melalui pemetaan partisipatif, pengorganisasian masyarakat, menciptakan kader-kader fasilitator pemetaan partisipatif, namun juga sebagai kawan diskusi yang sangat sabar bagi para fasilitator pemetaan partisipatif

Penyusunan Satu Peta Terintegrasi (one baseline map) mengatur dua hal penting yaitu, memfasilitasi satu peta terintegrasi di Sulawesi Tengah yang sumbernya berasal dari peta tata guna lahan, peta konsesi, peta klaim, dan peta indikatif penundaan izin baru serta memfasilitasi pemetaan dan penetapan wilayah adat dan masyarakat lokal lainya bekerja sama dengan komponen masyarakat sipil.

Dengan melihat peluang tersebut, beberapa organisasi masyarakat sipil seperti YMP, SLPP Sulteng dan BRWA Sulteng pada pertengahan Agustus 2015 menyerahkan usulan kebijakan satu peta. Fokus utama dari usulan kebijakan satu peta yang diserahkan ke Gubernur Sulteng tersebut adalah integrasi peta-peta tematik termasuk peta klaim wilayah adat ke dalam informasi geospasial dasar (IGD), yang selanjutnya akan diolah di dalam sistem geoportal terpadu di level provinsi.

Usulan kebijakan ini merupakan hasil bacaan situasi lokal yang dipadukan dengan kondisi dinamis di level nasional. Dimana sejak tahun 2013 serangkaian upaya telah dilakukan sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap kebijakan satu peta serta kepedulian terhadap peningkatan kualitas tata kelola hutan dan lahan di daerah. Mulai dari melakukan studi tata guna hutan dan lahan masyarakat adat dan komunitas lokal di sejumlah kabupaten, eksplorasi peta mental (mental map), pertemuan komunitas, studi potensi ora dan fauna wilayah masyarakat adat dan komunitas lokal, hingga pemetaan partisipatif wilayah administrasi desa/wilayah kelola masyarakat adat.

Saat ini, dukungan dari pemerintah pusat melalui BPREDD adalah mengumpulkan data dasar REDD dan Penyusunan Peta Kadastral Sulteng, dengan menunjuk PT Hateld Indonesia sebagai konsultan. Seluruh data dasar dan peta

Kadastral yang telah dikumpulkan oleh tim konsultan dari berbagai pihak kemudian disatukan ke dalam sistem geoportal terpadu. Sementara ditingkat pemerintah daerah sendiri telah membentuk tim pengelola geoportal Sulteng berdasarkan SK Gubernur Sulteng No.050/102/RO.ADM PEMB SDA-G.ST/2015 yang diletakkan kepada Biro Administrasi Pembangunan dan SDA Setda Provinsi. Saat ini geoportal Sulteng sudah beroperasi secara online melalui website: www.geoportalsulteng.go.id dengan meletakkan organisasi masyarakat sipil sebagai salah satu kontributor untuk peta tematik wilayah adat/wilayah kelola rakyat.

Sayangnya sejauh ini belum ada perumusan terkait resolusi konik bila mana peta-peta yang termuat dalam geoportal justru saling tumpang tindih. Pertanyaannya kemudian apakah setiap produk peta tematik yang dimasukkan dalam geoportal hanya sekedar ditampilkan dan disandingkan? Bagaimana jika peta tematik wilayah adat/wilayah kelola rakyat ternyata terdapat tumpang tindih dengan peta perizinan? Yang jelas, harapan terbesar masyarakat sekitar hutan termasuk masyarakat adat terhadap kebijakan satu peta rujukan tersebut adalah terselenggaranya pengelolaan sumber daya hutan yang baik serta berkeadilan ruang, dengan penghormatan dan pengakuan atas hak-hak masyarakat. Pekerjaan masih panjang untuk memastikan kebijakan satu peta yang sesungguhnya bisa terwujud.

KABAR JKPP

29KABARJKPP

28

Page 30: Kabar jkpp 20

telah beliau awali, yang mendorong kami melakukan ini. Terbukti perjuangan beliau selama ini mendapat apresiasi yang luar biasa. Rasa bangga kami dapatkan karena pernah berinteraksi dengan beliau. Rasa bangga yang memberi semangat untuk terus memperjuangkan kedaulatan rakyat atas ruang.

Terima kasih untuk kawan-kawan Eksekutif Nasional WALHI yang pertama berinisiatif mengusulkan nama Alm. Mas Ganden untuk mendapat Anugerah HANTARU Award 2015. Semoga beliau tenang disana karena banyak yang meneruskan perjuanganya dalam mewujudkan kedaulatan atas ruang bagi masyarakat.

Gambar 2. Penganugrahan diberikan secara simbolis pada malam puncak acara Pekan Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional, 15 November 2015 di

Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN

KABAR JKPP

31KABARJKPP

30

Berjalan seiringnya waktu, metodologi pemetaan terus berkembang termasuk posisi JKPP yang berubah dari “sekedar tukang ukur–ukur” menjadi pendamping yang komitmen tinggi bagi masyarakat lokal dan sebagai kekuatan penekan yang didengarkan bagi para pembuat kebijakan dan pemodal. Secara internal JKPP kemudian berubah menjadi “Rumah” bersama untuk dijalankan dan dikembangkannya strategi–strategi gerakan pemetaan partisipatif untuk mencapai kedaulatan rakyat atas tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi.

Apa yang dijelaskan diatas merupakan resume singkat dari apa yang diupayakan oleh Mas Ganden semenjak beliau di LATIN dan kemudian menjabat sebagai Koordinator Nasional JKPP periode pertama dan kedua. Beliau merupakan sosok yang tidak saja memperjuangkan kedaulatan hak atas ruang bagi masyarakat adat/lokal melalui pemetaan partisipatif, pengorganisasian masyarakat, menciptakan kader-kader fasilitator pemetaan partisipatif, namun juga sebagai kawan diskusi yang sangat sabar bagi para fasilitator pemetaan partisipatif. Selain itu, beliau juga pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah Advokasi Tata Ruang (SATAR) yang sudah diselenggarakan dalam 2 angkatan oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif. Semasa itu juga beliau menulis beberapa karya (buku, manual pemetaan partisipatif) sebagai salah satu sumbangsihnya kepada gerakan sosial serta khususnya pemetaan partisipatif.

Berdasar pada apa yang telah dilakukan oleh Alm Mas Ganden, kawan–kawan Walhi Eknas mengajak untuk menominasikan Mas Ganden sebagai kandidat penerima HANTARU Award 2015 yang diinisiasi oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang 2015 untuk kategori masyarakat. Karena beliau dianggap layak untuk mendapatkan penghargaan tersebut. Oleh

karenanya, JKPP bersama Walhi Eknas mengajukan nama Alm Mas Ganden. Selanjutnya, kabar baik diterima dari panitia jika Alm. Mas Ganden terpilih menjadi salah satu penerima HANTARU Award 2015 oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN.

Penganugrahan diberikan secara simbolis pada malam puncak acara Pekan Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional, tepatnya 15 November 2015 di Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN. Mbak Yuni (Istri Alm. Mas Ganden) bersama putera dan puteri beliau hadir pada malam puncak untuk menerima HANTARU Award 2015 Kategori Masyarakat yang diserahkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Ferry Mursidan Baldan. Rasa haru dan bangga bercampur ketika menyaksikan penyerahan HANTARU Award 2015 kepada Mbak Yuni di panggung berlatar foto-foto Alm. Mas Ganden.

Selamat Mas Ganden. Walau kita tahu jika masih ada, tentu beliau akan berkata, “Menye-menye” soal insiasi nominasi beliau, karena beliau yang sederhana dan membumi tidak pernah sekalipun mau menerima penghargaan. Namun rasa hormat dan cinta kami kepada Mas Ganden dan sebagai pengingat bagi kami untuk meneruskan perjuangan yang

Gambar 1. Mbak Yuni (Istri Alm. Mas Ganden) menerima HANTARU Award 2015 Kategori Masyarakat yang

diserahkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Ferry Mursidan Baldan

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Page 31: Kabar jkpp 20

telah beliau awali, yang mendorong kami melakukan ini. Terbukti perjuangan beliau selama ini mendapat apresiasi yang luar biasa. Rasa bangga kami dapatkan karena pernah berinteraksi dengan beliau. Rasa bangga yang memberi semangat untuk terus memperjuangkan kedaulatan rakyat atas ruang.

Terima kasih untuk kawan-kawan Eksekutif Nasional WALHI yang pertama berinisiatif mengusulkan nama Alm. Mas Ganden untuk mendapat Anugerah HANTARU Award 2015. Semoga beliau tenang disana karena banyak yang meneruskan perjuanganya dalam mewujudkan kedaulatan atas ruang bagi masyarakat.

Gambar 2. Penganugrahan diberikan secara simbolis pada malam puncak acara Pekan Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional, 15 November 2015 di

Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN

KABAR JKPP

31KABARJKPP

30

Berjalan seiringnya waktu, metodologi pemetaan terus berkembang termasuk posisi JKPP yang berubah dari “sekedar tukang ukur–ukur” menjadi pendamping yang komitmen tinggi bagi masyarakat lokal dan sebagai kekuatan penekan yang didengarkan bagi para pembuat kebijakan dan pemodal. Secara internal JKPP kemudian berubah menjadi “Rumah” bersama untuk dijalankan dan dikembangkannya strategi–strategi gerakan pemetaan partisipatif untuk mencapai kedaulatan rakyat atas tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi.

Apa yang dijelaskan diatas merupakan resume singkat dari apa yang diupayakan oleh Mas Ganden semenjak beliau di LATIN dan kemudian menjabat sebagai Koordinator Nasional JKPP periode pertama dan kedua. Beliau merupakan sosok yang tidak saja memperjuangkan kedaulatan hak atas ruang bagi masyarakat adat/lokal melalui pemetaan partisipatif, pengorganisasian masyarakat, menciptakan kader-kader fasilitator pemetaan partisipatif, namun juga sebagai kawan diskusi yang sangat sabar bagi para fasilitator pemetaan partisipatif. Selain itu, beliau juga pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah Advokasi Tata Ruang (SATAR) yang sudah diselenggarakan dalam 2 angkatan oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif. Semasa itu juga beliau menulis beberapa karya (buku, manual pemetaan partisipatif) sebagai salah satu sumbangsihnya kepada gerakan sosial serta khususnya pemetaan partisipatif.

Berdasar pada apa yang telah dilakukan oleh Alm Mas Ganden, kawan–kawan Walhi Eknas mengajak untuk menominasikan Mas Ganden sebagai kandidat penerima HANTARU Award 2015 yang diinisiasi oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang 2015 untuk kategori masyarakat. Karena beliau dianggap layak untuk mendapatkan penghargaan tersebut. Oleh

karenanya, JKPP bersama Walhi Eknas mengajukan nama Alm Mas Ganden. Selanjutnya, kabar baik diterima dari panitia jika Alm. Mas Ganden terpilih menjadi salah satu penerima HANTARU Award 2015 oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN.

Penganugrahan diberikan secara simbolis pada malam puncak acara Pekan Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional, tepatnya 15 November 2015 di Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN. Mbak Yuni (Istri Alm. Mas Ganden) bersama putera dan puteri beliau hadir pada malam puncak untuk menerima HANTARU Award 2015 Kategori Masyarakat yang diserahkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Ferry Mursidan Baldan. Rasa haru dan bangga bercampur ketika menyaksikan penyerahan HANTARU Award 2015 kepada Mbak Yuni di panggung berlatar foto-foto Alm. Mas Ganden.

Selamat Mas Ganden. Walau kita tahu jika masih ada, tentu beliau akan berkata, “Menye-menye” soal insiasi nominasi beliau, karena beliau yang sederhana dan membumi tidak pernah sekalipun mau menerima penghargaan. Namun rasa hormat dan cinta kami kepada Mas Ganden dan sebagai pengingat bagi kami untuk meneruskan perjuangan yang

Gambar 1. Mbak Yuni (Istri Alm. Mas Ganden) menerima HANTARU Award 2015 Kategori Masyarakat yang

diserahkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Ferry Mursidan Baldan

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

Page 32: Kabar jkpp 20

Sekilas sejarah konik tanah antara petani Desa Sumberurip Kecamatan Doko Kabupaten Blitar dengan pihak perusahaan perkebunan swasta PT. Sari Bumi Kawi yang terletak di sebelah selatan kaki gunung Kawi. PT. Sari Bumi Kawi sendiri dalam sejarahnya merupakan bekas hak Erpacht Verponding No. 236 luas 63,1395 Ha, No. 327 seluas 4,3100 Ha, No. 232 seluas 629,5420 Ha, No. 311 seluas 34,1058 Ha, dan No. 71 seluas 204,9731 Ha, yang dulu dikenal dengan nama perkebunan “Koelon Bambang” dengan pemegang Hak Atas nama N.V. Cultuur Maatsehappy Ardirejo te Soerabaya.

Tahun 1949 masyarakat telah memiliki rumah tinggal dalam pemukiman dan diakui dalam administrasi pemerintahan dengan nama Desa Bangunsari. Namun pasca peristiwa G.30.S/PKI tahun 1965, masyarakat desa Bangunsari hanya diperbolehkan menggarap lahan tanpa hak untuk memilikinya. Sedangkan dilain pihak Hak Guna Usaha yang diberikan kepada perusahaan perkebunan PT. Sari Bumi Kawi dengan SK Menteri Dalam Negeri tanggal 20 Oktober 1973 nomor: SK.77/HGU/DA/1973. Selanjutnya Desa Bangunsari dihapus dari administrasi pemerintahan, dengan begitu masyarakat yang berada di Dusun Kulon Bambang menjadi warga perkebunan (ikut administrasi perkebunan).

Studi Kasus Desa Sumber Urip, Kabupaten Blitar

Pemetaan Partisipatif Sebagai Jalan Penyelesaian Konflik

KABAR PETA kAMPUNG

Sofyan Ubaidi Anom, SIPAnggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Jawa Timur

Selama menjadi bagian administrasi perkebunan, masyarakat seolah memiliki negara dalam negara yakni perkebunan, dan disebut sebagai orang Persil, yang merupakan kelas rendah dalam stratikasi sosial dikalangan masyarakat Jawa, kelas buruh perkebunan yang dikenal masyarakat akan obyek tindakan kriminalisasi yang tak lepas dari jerat kemiskinan akut. Dalam administrasi perkebunan tersebut, masyarakat Kulon Bambang ikut di dalam bagian pemerintahan Desa Sumberurip. Sebuah desa yang secara geogras terletak disebelah selatan bekas Desa Bangunsari dan tidak termasuk dalam wilayah perkebunan. Wilayah Desa Sumberurip terbagi menjadi dua bagian, yakni antara masyarakat yang berada di dalam area perkebunan dan masyarakat yang berada di luar area perkebunan.

Era reformasi telah merubah segalanya. Keterbukaan dalam mengeluarkan pendapat dan tata pemerintah yang belum stabil di tahun 1997-1998, menjadi momentum bagi masyarakat Kulon Bambang untuk berjuang menjadi petani penuh, sebagaimana pendahulunya dengan merebut kembali tanah yang dikelola oleh perusahaan perkebunan PT. Sari Bumi Kawi. Masyarakat Kulon Bambang mengorganisir diri dalam kelompok perjuangan yang bernama PAWARTAKU (Paguyuban Warga Tani Kulon Bambang) yang berinduk pada organisasi petani tingkat kabupaten yaitu PPAB (Paguyuban Petani Aryo Blitar) anggota organisasi KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), kemudian melakukan pendudukan atas lahan yang dulu pernah dikuasai yakni bekas Dusun Bangunsari. Perjuangan untuk menduduki lahan pun berhasil meskipun pengesahan (sertikasi) belum didapatkan oleh masyarakat. Sejak reklaiming yang dilakukan pada tahun 2001, baru pada januari 2012 mendapat kejelasan legalitas aset yang berupa sertikat tanah hak milik. Dengan dijadikannya lahan seluas ± 284 hektar sebagai Tanah Objek Landreform

(TOL) yang tersebar di empat titik lokasi bekas Desa Bangunsari yakni Dusun Telogo Rejo, Telogo Sari, Bambang, dan Kampung Anyar.

Masyarakat petani Kulon Bambang yang tergabung dalam organisasi tani PAWARTAKU tidak saja melakukan reklaming dan mengelola lahan konik tetapi juga melakukan aksi – aksi penolakan perpanjangan Hak Guna Usaha yang diajukan oleh pihak perusahaan perkebunan kepada BPN Kanwil Jawa Timur. Dengan dasar bahwa tanah tersebut pernah dijadikan obyek landreform melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 26 Mei 1964 No.SK.49/Ka/64 dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 32 tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak baru Atas Tanah Asal Konversi Hak Barat khususnya Pasal 4 yang berbunyi “ Tanah-tanah hak guna usaha asal konversi hak barat yang sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut Tata guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat diperuntukan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya”.

Untuk meyakinkan pihak BPN Kanwil Jawa Timur bahwa lahan konik telah dikuasai oleh PAWARTAKU, maka masyarakat petani Kulon Bambang menunjukkan lokasi dan luasan lahan yang dikuasai berupa peta partisipatif, guna memastikan batas wilayah kelola lahan yang dikuasai dan luas garapan masing-masing rumah tangga petani anggota PAWARTAKU yang akan di negosiasikan pada multi pihak. Adapun untuk mencukupi kebutuhan peta partisipatif, organisasi PAWARTAKU melaksnakan pelatihan dan praktek Pemetaan Partisipatif pada tanggal 3 sampai dengan 5 April 2011, dan melibatkan peserta terdiri 27 pemuda tani PAWARTAKU, selain sebagai tim Pemetaan Partisipatif organisasi juga mempunyai tujuan pengkaderan

KABAR JKPP

33KABARJKPP

32

Pemetaan Partisipatif yang telah dilakukan oleh organisasi PAWARTAKU dalam upaya negosiasi-negosiasi pada multi stake holder telah mengalami keberhasilan, karena dengan peta hasil Pemetaan Partisipatif yang telah dilakukan, masyarakat mampu menjelaskan melalui presentasi-presentasi secara terperinci tentang perencanaan dan pemanfatan lahan konik yang telah dikuasai

Page 33: Kabar jkpp 20

Sekilas sejarah konik tanah antara petani Desa Sumberurip Kecamatan Doko Kabupaten Blitar dengan pihak perusahaan perkebunan swasta PT. Sari Bumi Kawi yang terletak di sebelah selatan kaki gunung Kawi. PT. Sari Bumi Kawi sendiri dalam sejarahnya merupakan bekas hak Erpacht Verponding No. 236 luas 63,1395 Ha, No. 327 seluas 4,3100 Ha, No. 232 seluas 629,5420 Ha, No. 311 seluas 34,1058 Ha, dan No. 71 seluas 204,9731 Ha, yang dulu dikenal dengan nama perkebunan “Koelon Bambang” dengan pemegang Hak Atas nama N.V. Cultuur Maatsehappy Ardirejo te Soerabaya.

Tahun 1949 masyarakat telah memiliki rumah tinggal dalam pemukiman dan diakui dalam administrasi pemerintahan dengan nama Desa Bangunsari. Namun pasca peristiwa G.30.S/PKI tahun 1965, masyarakat desa Bangunsari hanya diperbolehkan menggarap lahan tanpa hak untuk memilikinya. Sedangkan dilain pihak Hak Guna Usaha yang diberikan kepada perusahaan perkebunan PT. Sari Bumi Kawi dengan SK Menteri Dalam Negeri tanggal 20 Oktober 1973 nomor: SK.77/HGU/DA/1973. Selanjutnya Desa Bangunsari dihapus dari administrasi pemerintahan, dengan begitu masyarakat yang berada di Dusun Kulon Bambang menjadi warga perkebunan (ikut administrasi perkebunan).

Studi Kasus Desa Sumber Urip, Kabupaten Blitar

Pemetaan Partisipatif Sebagai Jalan Penyelesaian Konflik

KABAR PETA kAMPUNG

Sofyan Ubaidi Anom, SIPAnggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Jawa Timur

Selama menjadi bagian administrasi perkebunan, masyarakat seolah memiliki negara dalam negara yakni perkebunan, dan disebut sebagai orang Persil, yang merupakan kelas rendah dalam stratikasi sosial dikalangan masyarakat Jawa, kelas buruh perkebunan yang dikenal masyarakat akan obyek tindakan kriminalisasi yang tak lepas dari jerat kemiskinan akut. Dalam administrasi perkebunan tersebut, masyarakat Kulon Bambang ikut di dalam bagian pemerintahan Desa Sumberurip. Sebuah desa yang secara geogras terletak disebelah selatan bekas Desa Bangunsari dan tidak termasuk dalam wilayah perkebunan. Wilayah Desa Sumberurip terbagi menjadi dua bagian, yakni antara masyarakat yang berada di dalam area perkebunan dan masyarakat yang berada di luar area perkebunan.

Era reformasi telah merubah segalanya. Keterbukaan dalam mengeluarkan pendapat dan tata pemerintah yang belum stabil di tahun 1997-1998, menjadi momentum bagi masyarakat Kulon Bambang untuk berjuang menjadi petani penuh, sebagaimana pendahulunya dengan merebut kembali tanah yang dikelola oleh perusahaan perkebunan PT. Sari Bumi Kawi. Masyarakat Kulon Bambang mengorganisir diri dalam kelompok perjuangan yang bernama PAWARTAKU (Paguyuban Warga Tani Kulon Bambang) yang berinduk pada organisasi petani tingkat kabupaten yaitu PPAB (Paguyuban Petani Aryo Blitar) anggota organisasi KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), kemudian melakukan pendudukan atas lahan yang dulu pernah dikuasai yakni bekas Dusun Bangunsari. Perjuangan untuk menduduki lahan pun berhasil meskipun pengesahan (sertikasi) belum didapatkan oleh masyarakat. Sejak reklaiming yang dilakukan pada tahun 2001, baru pada januari 2012 mendapat kejelasan legalitas aset yang berupa sertikat tanah hak milik. Dengan dijadikannya lahan seluas ± 284 hektar sebagai Tanah Objek Landreform

(TOL) yang tersebar di empat titik lokasi bekas Desa Bangunsari yakni Dusun Telogo Rejo, Telogo Sari, Bambang, dan Kampung Anyar.

Masyarakat petani Kulon Bambang yang tergabung dalam organisasi tani PAWARTAKU tidak saja melakukan reklaming dan mengelola lahan konik tetapi juga melakukan aksi – aksi penolakan perpanjangan Hak Guna Usaha yang diajukan oleh pihak perusahaan perkebunan kepada BPN Kanwil Jawa Timur. Dengan dasar bahwa tanah tersebut pernah dijadikan obyek landreform melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 26 Mei 1964 No.SK.49/Ka/64 dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 32 tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak baru Atas Tanah Asal Konversi Hak Barat khususnya Pasal 4 yang berbunyi “ Tanah-tanah hak guna usaha asal konversi hak barat yang sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut Tata guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat diperuntukan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya”.

Untuk meyakinkan pihak BPN Kanwil Jawa Timur bahwa lahan konik telah dikuasai oleh PAWARTAKU, maka masyarakat petani Kulon Bambang menunjukkan lokasi dan luasan lahan yang dikuasai berupa peta partisipatif, guna memastikan batas wilayah kelola lahan yang dikuasai dan luas garapan masing-masing rumah tangga petani anggota PAWARTAKU yang akan di negosiasikan pada multi pihak. Adapun untuk mencukupi kebutuhan peta partisipatif, organisasi PAWARTAKU melaksnakan pelatihan dan praktek Pemetaan Partisipatif pada tanggal 3 sampai dengan 5 April 2011, dan melibatkan peserta terdiri 27 pemuda tani PAWARTAKU, selain sebagai tim Pemetaan Partisipatif organisasi juga mempunyai tujuan pengkaderan

KABAR JKPP

33KABARJKPP

32

Pemetaan Partisipatif yang telah dilakukan oleh organisasi PAWARTAKU dalam upaya negosiasi-negosiasi pada multi stake holder telah mengalami keberhasilan, karena dengan peta hasil Pemetaan Partisipatif yang telah dilakukan, masyarakat mampu menjelaskan melalui presentasi-presentasi secara terperinci tentang perencanaan dan pemanfatan lahan konik yang telah dikuasai

Page 34: Kabar jkpp 20

terhadap pemuda taninya. Peta partisipatif yang telah dibuat oleh tim pemetaan dapat diselesaikan dalam kurun waktu satu setengah bulan, lahan yang dipetakan meliputi batas luar lahan yang dikuasai, meliputi kawasan pemukiman dengan rincian setiap rumah tangga petani mendapatakan tanah seluas 700 meter persegi, dan untuk luasan lahan garap disesuaikan dengan kapasitas struktur kepengurusan didalam organisasi serta tingkat keaktifan anggota dalam organisasi tani PAWARTAKU, masing-masing luasannya antara 3000 meter persegi sampai dengan 15.000 meter persegi.

Keberhasilan organisasi PAWARTAKU dalam upaya negosiasi kepada berbagai pihak terkait mendapatkan respon positif dari BPN Kanwil Jawa Timur, hal ini tidak lepas dari hasil proses Pemetaan Partisipatif yang terkordinasi dengan baik yang menghasilkan peta manual dengan menggunakan alat GPS (Global Positioning Sistem). Peta hasil dari Pemetaan Partisipatif yang memuat berbagai informasi didalamnya, diketahui bahwa tanah yang dikuasai dan dikelola petani sejak tahun 2001 adalah seluas ± 284 hektar dari total luas sertikat Hak Guna Usaha perusahaan perkebunan seluas ± 955 hektar. Metode Pemetaan Partisipatif dengan melibatkan peran semua anggota organisasi ini secara legitimasi diakui dan dijadikan sebagai pedoman oleh pihak terkait. Agar mendapatkan dukungan dari berbagai pihak tersebut, organisasi PAWARTAKU melakukan negosiasi-negosiasi kepada pemerintahan daerah yakni Pemda Kabupaten Blitar dan DPRD II Kabupaten Blitar, dengan cara mempresentasikan hasil pemetaan partisipatif. Berbagai upaya negoisasi dan presentasi yang dilakukan yang telah dilakukan berhasil meraih dukungan dari DPRD II Kabupaten Blitar dalam bentuk rekomendasi hasil pansus yang berpihak pada petani.

BPN Kanwil Jawa Timur menjadikan pedoman peta manual tersebut sebagai alat untuk mekanisme penyelesaian konik lahan antara organisasi PAWARTAKU dengan pihak perusahaan perkebunan PT. Sari Bumi Kawi, selanjutnya tanah Hak Guna Usaha perkebunan yang dikuasai dan dikelola oleh petani dilepaskan melalui BPN dan merealisasikan redistribusi lahan kepada petani penggarap di Kulon Bambang melalui skema program Land Consolidation (LC). Selain itu, BPN Kanwil Jawa Timur merealisasikan redistribusi lahan melalui skema Land Consolidation (LC), dengan menyerahkan sertikat hak milik secara langsung kepada masyarakat petani penggarap di lapangan dusun Bambang, disaksikan oleh Bupati dan Ketua DPRD II Kabupaten Blitar pada tanggal 4 April 2012. Dasar luasan yang tertera dalam sertikat hak milik yang diserahkan oleh BPN merujuk pada data pemohon yang disusun oleh pengurus organisasi yang terdiri dari 351 KK rumah tangga petani, meski didalam sertikat hak milik tersebut dituliskan catatan kaki yang berisi bahwa “sertikat ini tidak boleh dipindah tangankan tanpa seizin BPN selama 10 tahun”, hal ini bertujuan agar petani penggarap penerima sertikat hak milik untuk menjaga aset lahannya. Atas inisiatif organisasi pula, dari total luas lahan ± 284 hektar dibagi ke dalam berbagai pemanfaatan tanah sesuai dengan perencanaan tata ruang, meliputi 35 hektar untuk lahan kolektif, 25 hektar untuk pemukiman, jalan, sungai, fasilitas soial dan fasilitas umum. Dan sisanya digunakan untuk lahan garap masyarakat.

Pemetaan Partisipatif partisipatif yang telah dilakukan oleh organisasi PAWARTAKU dalam upaya negosiasi-negosiasi pada multi stake holder telah mengalami keberhasilan, karena dengan peta hasil Pemetaan Partisipatif yang telah dilakukan, masyarakat mampu menjelaskan melalui presentasi-presentasi secara

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

terperinci tentang perencanaan dan pemanfatan lahan konik yang telah dikuasai. Dengan alasan-alasan yang rasional misalkan tentang potret ketimpangan struktur penguasaan lahan di areal perkebunan swasta, yang di sekitarnya terdapat masayarakat petani miskin yang tidak mempunyai lahan garap, mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan realisasikan.

Sampai saat ini memasuki tahun ke lima masyarakat petani Kulon Bambang telah menikmati hasil perjuangan merebut tanahnya kembali dan memiliki sertikat hak milik, solidiatas petani anggota organisasi PAWARTAKU semakin tinggi, kenyataan tersebut dapat dilihat dari konsistensi dalam mewujudkan perencanaan penataan ruang

dan wilayah yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip musyawarah dan gotong royong, yang didasarkan pada peta perencaan tata guna lahan yang telah dibuat secara partisipatif sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan didirikan rumah-rumah petani diatas lahan sesuai dengan obyek sertikat hak miliknya dengan melalui skema Land Consolidation oleh BPN. Lahan-lahan garapan yang di kelola petani sudah mulai bisa dipanen dari berbagai macam tanaman hortikultura diantaranya cengkeh, kopi, pisang, ketela pohon dan buah-buahan. Fasilitas sosial dan fasilitas umum sudah mulai dibangun, dan untuk menjawab kebutuhan modal tata produksi pertanian yang selama ini membelit petani, organisasi tani PAWARTAKU membentuk kredit usaha bersama yakni Credit Union (CU)

KABAR JKPP

35KABARJKPP

34

Page 35: Kabar jkpp 20

terhadap pemuda taninya. Peta partisipatif yang telah dibuat oleh tim pemetaan dapat diselesaikan dalam kurun waktu satu setengah bulan, lahan yang dipetakan meliputi batas luar lahan yang dikuasai, meliputi kawasan pemukiman dengan rincian setiap rumah tangga petani mendapatakan tanah seluas 700 meter persegi, dan untuk luasan lahan garap disesuaikan dengan kapasitas struktur kepengurusan didalam organisasi serta tingkat keaktifan anggota dalam organisasi tani PAWARTAKU, masing-masing luasannya antara 3000 meter persegi sampai dengan 15.000 meter persegi.

Keberhasilan organisasi PAWARTAKU dalam upaya negosiasi kepada berbagai pihak terkait mendapatkan respon positif dari BPN Kanwil Jawa Timur, hal ini tidak lepas dari hasil proses Pemetaan Partisipatif yang terkordinasi dengan baik yang menghasilkan peta manual dengan menggunakan alat GPS (Global Positioning Sistem). Peta hasil dari Pemetaan Partisipatif yang memuat berbagai informasi didalamnya, diketahui bahwa tanah yang dikuasai dan dikelola petani sejak tahun 2001 adalah seluas ± 284 hektar dari total luas sertikat Hak Guna Usaha perusahaan perkebunan seluas ± 955 hektar. Metode Pemetaan Partisipatif dengan melibatkan peran semua anggota organisasi ini secara legitimasi diakui dan dijadikan sebagai pedoman oleh pihak terkait. Agar mendapatkan dukungan dari berbagai pihak tersebut, organisasi PAWARTAKU melakukan negosiasi-negosiasi kepada pemerintahan daerah yakni Pemda Kabupaten Blitar dan DPRD II Kabupaten Blitar, dengan cara mempresentasikan hasil pemetaan partisipatif. Berbagai upaya negoisasi dan presentasi yang dilakukan yang telah dilakukan berhasil meraih dukungan dari DPRD II Kabupaten Blitar dalam bentuk rekomendasi hasil pansus yang berpihak pada petani.

BPN Kanwil Jawa Timur menjadikan pedoman peta manual tersebut sebagai alat untuk mekanisme penyelesaian konik lahan antara organisasi PAWARTAKU dengan pihak perusahaan perkebunan PT. Sari Bumi Kawi, selanjutnya tanah Hak Guna Usaha perkebunan yang dikuasai dan dikelola oleh petani dilepaskan melalui BPN dan merealisasikan redistribusi lahan kepada petani penggarap di Kulon Bambang melalui skema program Land Consolidation (LC). Selain itu, BPN Kanwil Jawa Timur merealisasikan redistribusi lahan melalui skema Land Consolidation (LC), dengan menyerahkan sertikat hak milik secara langsung kepada masyarakat petani penggarap di lapangan dusun Bambang, disaksikan oleh Bupati dan Ketua DPRD II Kabupaten Blitar pada tanggal 4 April 2012. Dasar luasan yang tertera dalam sertikat hak milik yang diserahkan oleh BPN merujuk pada data pemohon yang disusun oleh pengurus organisasi yang terdiri dari 351 KK rumah tangga petani, meski didalam sertikat hak milik tersebut dituliskan catatan kaki yang berisi bahwa “sertikat ini tidak boleh dipindah tangankan tanpa seizin BPN selama 10 tahun”, hal ini bertujuan agar petani penggarap penerima sertikat hak milik untuk menjaga aset lahannya. Atas inisiatif organisasi pula, dari total luas lahan ± 284 hektar dibagi ke dalam berbagai pemanfaatan tanah sesuai dengan perencanaan tata ruang, meliputi 35 hektar untuk lahan kolektif, 25 hektar untuk pemukiman, jalan, sungai, fasilitas soial dan fasilitas umum. Dan sisanya digunakan untuk lahan garap masyarakat.

Pemetaan Partisipatif partisipatif yang telah dilakukan oleh organisasi PAWARTAKU dalam upaya negosiasi-negosiasi pada multi stake holder telah mengalami keberhasilan, karena dengan peta hasil Pemetaan Partisipatif yang telah dilakukan, masyarakat mampu menjelaskan melalui presentasi-presentasi secara

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

terperinci tentang perencanaan dan pemanfatan lahan konik yang telah dikuasai. Dengan alasan-alasan yang rasional misalkan tentang potret ketimpangan struktur penguasaan lahan di areal perkebunan swasta, yang di sekitarnya terdapat masayarakat petani miskin yang tidak mempunyai lahan garap, mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan realisasikan.

Sampai saat ini memasuki tahun ke lima masyarakat petani Kulon Bambang telah menikmati hasil perjuangan merebut tanahnya kembali dan memiliki sertikat hak milik, solidiatas petani anggota organisasi PAWARTAKU semakin tinggi, kenyataan tersebut dapat dilihat dari konsistensi dalam mewujudkan perencanaan penataan ruang

dan wilayah yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip musyawarah dan gotong royong, yang didasarkan pada peta perencaan tata guna lahan yang telah dibuat secara partisipatif sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan didirikan rumah-rumah petani diatas lahan sesuai dengan obyek sertikat hak miliknya dengan melalui skema Land Consolidation oleh BPN. Lahan-lahan garapan yang di kelola petani sudah mulai bisa dipanen dari berbagai macam tanaman hortikultura diantaranya cengkeh, kopi, pisang, ketela pohon dan buah-buahan. Fasilitas sosial dan fasilitas umum sudah mulai dibangun, dan untuk menjawab kebutuhan modal tata produksi pertanian yang selama ini membelit petani, organisasi tani PAWARTAKU membentuk kredit usaha bersama yakni Credit Union (CU)

KABAR JKPP

35KABARJKPP

34

Page 36: Kabar jkpp 20

Kabupaten Malinau merupakan wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur yang saat ini masuk menjadi bagian wilayah Kalimantan Utara dengan luas wilayah mencapai 4 juta ha. Malinau berbatasan dengan Kabupaten Nunukan disebelah Utara, pada bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Tana Tidung dan Bulungan, bagian Selatan dengan Kabupaten Kutai Barat, bagian barat dengan Negara Malaysia Timur-Serawak. Kabupaten Malinau berada di jantung Kalimantan. Kabupaten ini memiliki luasan hutan lebih dari 90% dari total wilayahnya dan mewakili areal hutan dipterokarpa yang paling luas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 25 % wilayahnya telah ditetapkan sebagai Taman Nasional. Wilayah Malinau dihuni oleh 40.000 penduduk yang sebagiannya melakukan praktek perladangan berpindah (swidden agriculture), berburu dan mengumpulkan hasil hutan selain kayu.

Kabupaten Malinau dianggap sebagai salah satu Kabupaten yang cukup progresif dalam upaya pengakuan masyarakat adat beserta wilayahnya. Setidaknya ada tiga kebijakan daerah dan satu peraturan Bupati yang mengatur soal pegakuan dan perlindungan masyarakat adat, yaitu diantaranya Peraturan Daerah No 10 Tahun 2012, Peraturan Dearah No 16 Tahun 2013, Peraturan Daerah No 17 Tahun 2013. Mandat dari Perda No 10 tersebut mengharusnya lahirnya peraturan bupati, saat ini sudah ada satu peraturan Bupati Malinau No.201 Tahun 2014 tentang Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat. Badan ini merupakan Badan yang dibentuk untuk menjalankan urusan adat secara independen. Sesuai dengan isi dari Perbub No.201 Tahun 2014 tentang BPUMA pada Bab III pasal 6 tentang Fungsi, bahwa BPUMA mempunyai fungsi memastikan berlangsungnya pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah Malinau Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarkat Adat di Kabupaten Malinau.

Pemetaan Wilayah Adat Apau Kayan Malinau

KABAR PETA kAMPUNG

Rahmat SulaimanKepala Divisi Organisasi & Jaringan

Sekretariat Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Dalam rangka mendorong pengakuan yang lebih operasional dan cepat dari peraturan yang ada. JKPP bersama dengan Epistema serta Samdhana berinisiasi mendorong percepatan pemetaan partisipatif wilayah masyarakat adat bersama masyarakat adat Apau Kayan. Apau Kayan dipilih mengingat sebelumnya sudah ada inisiasi pemetaan yang dilakukan oleh WWF termasuk persiapan sosial masyarakat yang sudah cukup baik karena menjadi salah satu site FoMMA (Forum Masyarakat Adat Malinau). Wilayah masyarakat hukum adat Apau Kayan terletak di Kabupaten Malinau yang tersebar di empat kecamatan, yaitu: Kecamatan Kayan Hulu, Kecamatan Kayan Hilir, Kecamatan Kayan Selatan, dan Kecamatan Sungai Boh. Untuk di Kecamatan Kayan Hulu sendiri, masyarakat Apau Kayan tersebar di lima desa yaitu, Desa Long Nawang, Desa Nawang Baru, Desa Long Temuyat, Desa Long Betaoh dan Desa Long Payau.

Suku Kenyah merupakan etnis dari masyarakat hukum adat Apau Kayan di Kecamatan Kayan Hulu. Menurut sejarah orang tua dulu, Suku Kenyah di Apau Kayan berasal dari Vietnam yang bermigrasi menuju Sungai Baran di Serawak dan daerah Sungai Iwan di Kalimantan Timur. Dari situ mereka sebagian masuk daerah Sungai Pujungan, sebagian pindah kedaerah Sungai Baram dan sebagian pindah lagi ke dataran tinggi Apau Kayan setelah daerah tersebut ditinggalkan oleh suku-suku Kayan.

Mengingat waktu yang singkat dan cakupan wilayah Apau Kayan yang cukup luas, JKPP bersama masyarakat bersepakat menggunakan metodologi pemetaan partsipatif sekala luas yang diperkuat dengan survei lapangan. Sebagai catatan penting, BIG belum memiliki peta dasar wilayah Apau Kayan hanya Jantop TNI AD yang memiliki peta dasar di lokasi ini. Pemetaan partisipatif diawali dengan pelatihan yang mencakup

KABAR JKPP

37KABARJKPP

36

Upaya mendorong pengakuan wilayah adat di Malinau, pasca keluarnya peraturan Bupati terkait dengan BPUMA (Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat).Peta yang telah dihasilkan menjadi salah satu dokumen penting.

Page 37: Kabar jkpp 20

Kabupaten Malinau merupakan wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur yang saat ini masuk menjadi bagian wilayah Kalimantan Utara dengan luas wilayah mencapai 4 juta ha. Malinau berbatasan dengan Kabupaten Nunukan disebelah Utara, pada bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Tana Tidung dan Bulungan, bagian Selatan dengan Kabupaten Kutai Barat, bagian barat dengan Negara Malaysia Timur-Serawak. Kabupaten Malinau berada di jantung Kalimantan. Kabupaten ini memiliki luasan hutan lebih dari 90% dari total wilayahnya dan mewakili areal hutan dipterokarpa yang paling luas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 25 % wilayahnya telah ditetapkan sebagai Taman Nasional. Wilayah Malinau dihuni oleh 40.000 penduduk yang sebagiannya melakukan praktek perladangan berpindah (swidden agriculture), berburu dan mengumpulkan hasil hutan selain kayu.

Kabupaten Malinau dianggap sebagai salah satu Kabupaten yang cukup progresif dalam upaya pengakuan masyarakat adat beserta wilayahnya. Setidaknya ada tiga kebijakan daerah dan satu peraturan Bupati yang mengatur soal pegakuan dan perlindungan masyarakat adat, yaitu diantaranya Peraturan Daerah No 10 Tahun 2012, Peraturan Dearah No 16 Tahun 2013, Peraturan Daerah No 17 Tahun 2013. Mandat dari Perda No 10 tersebut mengharusnya lahirnya peraturan bupati, saat ini sudah ada satu peraturan Bupati Malinau No.201 Tahun 2014 tentang Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat. Badan ini merupakan Badan yang dibentuk untuk menjalankan urusan adat secara independen. Sesuai dengan isi dari Perbub No.201 Tahun 2014 tentang BPUMA pada Bab III pasal 6 tentang Fungsi, bahwa BPUMA mempunyai fungsi memastikan berlangsungnya pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah Malinau Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarkat Adat di Kabupaten Malinau.

Pemetaan Wilayah Adat Apau Kayan Malinau

KABAR PETA kAMPUNG

Rahmat SulaimanKepala Divisi Organisasi & Jaringan

Sekretariat Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Dalam rangka mendorong pengakuan yang lebih operasional dan cepat dari peraturan yang ada. JKPP bersama dengan Epistema serta Samdhana berinisiasi mendorong percepatan pemetaan partisipatif wilayah masyarakat adat bersama masyarakat adat Apau Kayan. Apau Kayan dipilih mengingat sebelumnya sudah ada inisiasi pemetaan yang dilakukan oleh WWF termasuk persiapan sosial masyarakat yang sudah cukup baik karena menjadi salah satu site FoMMA (Forum Masyarakat Adat Malinau). Wilayah masyarakat hukum adat Apau Kayan terletak di Kabupaten Malinau yang tersebar di empat kecamatan, yaitu: Kecamatan Kayan Hulu, Kecamatan Kayan Hilir, Kecamatan Kayan Selatan, dan Kecamatan Sungai Boh. Untuk di Kecamatan Kayan Hulu sendiri, masyarakat Apau Kayan tersebar di lima desa yaitu, Desa Long Nawang, Desa Nawang Baru, Desa Long Temuyat, Desa Long Betaoh dan Desa Long Payau.

Suku Kenyah merupakan etnis dari masyarakat hukum adat Apau Kayan di Kecamatan Kayan Hulu. Menurut sejarah orang tua dulu, Suku Kenyah di Apau Kayan berasal dari Vietnam yang bermigrasi menuju Sungai Baran di Serawak dan daerah Sungai Iwan di Kalimantan Timur. Dari situ mereka sebagian masuk daerah Sungai Pujungan, sebagian pindah kedaerah Sungai Baram dan sebagian pindah lagi ke dataran tinggi Apau Kayan setelah daerah tersebut ditinggalkan oleh suku-suku Kayan.

Mengingat waktu yang singkat dan cakupan wilayah Apau Kayan yang cukup luas, JKPP bersama masyarakat bersepakat menggunakan metodologi pemetaan partsipatif sekala luas yang diperkuat dengan survei lapangan. Sebagai catatan penting, BIG belum memiliki peta dasar wilayah Apau Kayan hanya Jantop TNI AD yang memiliki peta dasar di lokasi ini. Pemetaan partisipatif diawali dengan pelatihan yang mencakup

KABAR JKPP

37KABARJKPP

36

Upaya mendorong pengakuan wilayah adat di Malinau, pasca keluarnya peraturan Bupati terkait dengan BPUMA (Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat).Peta yang telah dihasilkan menjadi salah satu dokumen penting.

Page 38: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

39

pelatihan metodologi pemetaaan sekala luas, pelatihan penggunaan alat (GPS) dan pelatihan pendokumentasian prol MHA dan data sosial. Antusias masyarakat Apau Kayan cukup tinggi, hal ini terlihat dari keterlibatan masyakat di lima desa (Long Nawang, Nawang Baru, Long Temuyat, Long Betaoh dan Long Payau) yang secara aktif terlibat dalam memberikan informasi ruang mereka. Masyarakat mengidentikasi pola ruangnya, khususnya terkait dengan pengelolaan sumberdaya dan penggunaan lahan. Setiap masyarakat adat Apau Kayan mempunyai hak yang sama dalam hal pembukaan hutan. Biasanya mereka

membuka hutan secara bersama-sama atau satu kelompok yang masih satu keluarga. Hutan yang sudah pernah dibuka oleh seorang yang terlebih dahulu akan meninggalkan tanda. Pada pohon besar biasanya mereka membuat tanda yang menyerupai mata, sehingga bagi siapa saja yang melihat tanda tersebut, maka secara otomatis sudah tidak boleh ada yang berhak menggarap kembali di lahan tersebut. Masyarakat adat Apau Kayan mengenal istilah tana ulen; ”Tana' artinya tanah, ulen artinya menyimpan. Tana ulen bisa berarti hutan primer/hutan rimba yang dilarang atau tidak boleh dipakai ladang atau tidak boleh dikebuni. Tana ulen merupakan bagian wilayah yang pengelolaanya dibawah aturan

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

adat. Sementara Jekau Umaq adalah tanah kas desa atau bisa memiliki arti sebagai tanah kita bersama dalam satu umaq panjang atau dalam 1 RT. Mereka memiliki satu paparan hutan yang disebut umahap yang dikerjakan bersama-sama. Hutan belukar juga bisa disebut Jekau Umaq. Jekau umaq merupakan model tanah ulayat yang dimiliki secara bersama. Tanah ulen tidak sama dengan tana ulayat. Tana ulen punya keistimewaan.

Setelah draft peta dan data sosial telah selesai dibuat, hasilnya dikomunikasikan kembali ke masing-masing desa dan desa tetangga. Peta yang dihasilkan memang masih syarat dengan konik tumpang tindih batas antar desa dan perlu klarikasi dari desa-desa tetangga yang berbatasan. Pasca verikasi yang dilakukan dilevel desa, verkasi peta dan data kembali dilakukan dengan menghadirkan para pihak, baik di masing–masing desa khususnya Kepala Adat hingga pihak pemerintahan. Peta dan data yang telah dihasilkan kembali diperlihatkan secara bersama, workshop ini langsung dipimpin oleh perangkat adat besar Apau Kayan . Perbedaan batas desa yang menyebabkan konik di Kayan Hulu bisa diselesaikan melalui rembuk bersama, proses seperti ini yang penting dilalui untuk

membuat satu kesepakatan. Sayangnya, masyarakat yang hadir hanya dari Kecamatan Kayan Hulu dan desa-desa di Kecamatan Kayan Selatan dan Kayan Hilir yang berbatasan langsung. Sementara untuk desa yang berbatas dengan Kecamatan Kayan Selatan belum menemukan titik temu karena mereka tidak hadir dalam workshop hasil. Permasalahan mengenai batas tersebut sebelumnya telah ada upaya penyelesaian bahkan sudah ada kesepakata antar mereka dan beberapa bukti dokumen tetapi hal tersebut belum cukup membuat kesepakatan bulat diantaranya. Tetapi melalui workshop hasil ini, para pemangku adat besar Apau Kayan bersepakat akan tetap memegang kesepakatan yang telah dibangun pada tahun 2010 silam sehingga menyatakan bahwa peta partsipatif masyarakat adat Apau Kayan telah nal berdasarkan kesepakatan adat dan semua harus menghormati bersama.

Peta yang telah dihasilkan menjadi salah satu dokumen penting dalam upaya mendorong pengakuan wilayah adat di Malinau, pasca keluarnya peraturan Bupati terkait degan BPUMA. Pekerjaan selanjutnya adalah mendorong terbentuknya BPUMA secara operasional sehingga peta yang telah dihasilkan di beberapa wilayah di Malinau bisa segera mendapatkan pengakuan.

KABARJKPP

38

Page 39: Kabar jkpp 20

KABAR JKPP

39

pelatihan metodologi pemetaaan sekala luas, pelatihan penggunaan alat (GPS) dan pelatihan pendokumentasian prol MHA dan data sosial. Antusias masyarakat Apau Kayan cukup tinggi, hal ini terlihat dari keterlibatan masyakat di lima desa (Long Nawang, Nawang Baru, Long Temuyat, Long Betaoh dan Long Payau) yang secara aktif terlibat dalam memberikan informasi ruang mereka. Masyarakat mengidentikasi pola ruangnya, khususnya terkait dengan pengelolaan sumberdaya dan penggunaan lahan. Setiap masyarakat adat Apau Kayan mempunyai hak yang sama dalam hal pembukaan hutan. Biasanya mereka

membuka hutan secara bersama-sama atau satu kelompok yang masih satu keluarga. Hutan yang sudah pernah dibuka oleh seorang yang terlebih dahulu akan meninggalkan tanda. Pada pohon besar biasanya mereka membuat tanda yang menyerupai mata, sehingga bagi siapa saja yang melihat tanda tersebut, maka secara otomatis sudah tidak boleh ada yang berhak menggarap kembali di lahan tersebut. Masyarakat adat Apau Kayan mengenal istilah tana ulen; ”Tana' artinya tanah, ulen artinya menyimpan. Tana ulen bisa berarti hutan primer/hutan rimba yang dilarang atau tidak boleh dipakai ladang atau tidak boleh dikebuni. Tana ulen merupakan bagian wilayah yang pengelolaanya dibawah aturan

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

adat. Sementara Jekau Umaq adalah tanah kas desa atau bisa memiliki arti sebagai tanah kita bersama dalam satu umaq panjang atau dalam 1 RT. Mereka memiliki satu paparan hutan yang disebut umahap yang dikerjakan bersama-sama. Hutan belukar juga bisa disebut Jekau Umaq. Jekau umaq merupakan model tanah ulayat yang dimiliki secara bersama. Tanah ulen tidak sama dengan tana ulayat. Tana ulen punya keistimewaan.

Setelah draft peta dan data sosial telah selesai dibuat, hasilnya dikomunikasikan kembali ke masing-masing desa dan desa tetangga. Peta yang dihasilkan memang masih syarat dengan konik tumpang tindih batas antar desa dan perlu klarikasi dari desa-desa tetangga yang berbatasan. Pasca verikasi yang dilakukan dilevel desa, verkasi peta dan data kembali dilakukan dengan menghadirkan para pihak, baik di masing–masing desa khususnya Kepala Adat hingga pihak pemerintahan. Peta dan data yang telah dihasilkan kembali diperlihatkan secara bersama, workshop ini langsung dipimpin oleh perangkat adat besar Apau Kayan . Perbedaan batas desa yang menyebabkan konik di Kayan Hulu bisa diselesaikan melalui rembuk bersama, proses seperti ini yang penting dilalui untuk

membuat satu kesepakatan. Sayangnya, masyarakat yang hadir hanya dari Kecamatan Kayan Hulu dan desa-desa di Kecamatan Kayan Selatan dan Kayan Hilir yang berbatasan langsung. Sementara untuk desa yang berbatas dengan Kecamatan Kayan Selatan belum menemukan titik temu karena mereka tidak hadir dalam workshop hasil. Permasalahan mengenai batas tersebut sebelumnya telah ada upaya penyelesaian bahkan sudah ada kesepakata antar mereka dan beberapa bukti dokumen tetapi hal tersebut belum cukup membuat kesepakatan bulat diantaranya. Tetapi melalui workshop hasil ini, para pemangku adat besar Apau Kayan bersepakat akan tetap memegang kesepakatan yang telah dibangun pada tahun 2010 silam sehingga menyatakan bahwa peta partsipatif masyarakat adat Apau Kayan telah nal berdasarkan kesepakatan adat dan semua harus menghormati bersama.

Peta yang telah dihasilkan menjadi salah satu dokumen penting dalam upaya mendorong pengakuan wilayah adat di Malinau, pasca keluarnya peraturan Bupati terkait degan BPUMA. Pekerjaan selanjutnya adalah mendorong terbentuknya BPUMA secara operasional sehingga peta yang telah dihasilkan di beberapa wilayah di Malinau bisa segera mendapatkan pengakuan.

KABARJKPP

38

Page 40: Kabar jkpp 20

Pelatihan Wahana Tanpa Awak (WTA)

Dengan adanya pelatihan WTA ini diharapkan dapat membangun inisiatif dan rencana dalam pengembangan metodelogi pemetaan partisipatif melalui pendekatan teknologi drone, serta dapat meningkatkan kapasitas penggiat pemetaan partisipatif dalam dalam uji coba dan praktek pengoperasian maupun maintenace drone dalam mengembangkan metodelogi pemetaan partisipatif. Uji coba pengembangan metodelogi pemetaan partisipatif melalui pendekatan teknologi drone diharapkan mampu melihat dan mengetahui apakah drone ini cocok/layak untuk digunakan dalam kegiatan pemetaan partisipatif.

Pada bulan Oktober lalu JKPP, AMAN, FWI, RMI, dan PUTER, bekerja sama dalam pelatihan wahana Tanpa Awak (WTA) atau yang sering disebut “Drone” yang didampingi oleh Perkumpulan SAMPAN Kalimantan. Berangkat dari lahirnya penggunaan pesawat udara tanpa awak diruang terbuka yang sedang marak di indonesia, JKPP ini ingin mencoba melakukan pengembangan metode pemetaan partisipatif menggunakan pendekatan teknologi drone.

Drone adalah jenis pesawat nir awak atau pesawat tanpa awak. Pesawat ini dikenal juga dengan istilah Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Pesawat ini tak memerlukan seorang penerbang untuk memandu pesawat karena dapat di kendalikan dari jarak jauh, drone juga menggunakan hukum aerodinamika. Sekarang ini drone semakin banyak digunakan dalam berbagai keperluan, seperti sosial kemanusiaan, kesehatan, pertanian, laporan cuaca, mendeteksi badai, memperkirakan dan mempelajari cuaca. Selain itu, saat ini drone sudah dipakai oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat ataupun Organisasi Masyarakat untuk pemetaan tiga dimensi survei lapangan permukaan dan kemudian dibuat dalam bentuk peta