kabar jkpp 21

40
Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang KABAR JKPP 21 Oktober 2016 “Masa Depan Peta Partisipatif Di Antara Program Prioritas Presiden”

Upload: jaringan-kerja-pemetaan-partisipatif

Post on 14-Feb-2017

18 views

Category:

Government & Nonprofit


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kabar jkpp 21

Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang

KABARJKPP

21Oktober 2016

“Masa Depan Peta Partisipatif Di Antara Program Prioritas Presiden”

Page 2: Kabar jkpp 21

REDAKSI KABAR JKPPPenanggung Jawab: Deny Rahadian; Pemimpin Redaksi: Dewi Sutejo; Redaktur: Ade Ikhzan; Redaktur Pracetak: Amir Hamzah Siregar; Reporter & Kontributor: Imam Hanafi, Sandoro Purba, Fahmi, Kurniawan Nomeanto, Edy Subahani, Sofyan Ubaidi Anom, Iwan Nurdin, Siti Zulaika ; Sirkulasi & Distribusi: Diana Sefiani, Yowanda

Alamat Redaksi :Jaringan Kerja Pemetaan PartisipatifJl. Cimanuk Blok B7 No.6, Komp. Bogor Baru, Bogor 16152 INDONESIATelp & Fax. +62 251 8379143 Email: [email protected] ; Website: www.jkpp.org

KABAR REDAKSI

Terbit atas Dukungan

K A B A R J K P P 2 1

Yang Dapat Kami Kabari

“Kabar Utama

Integrasi hasil pemetaan partisipatif dalam pokja IGT: “Masyarakat Melek Peta. Pemerintah Melek Konflik” - Imam Hanafi

Kebijakan Satu Peta dalam Kebijakan dan Implementasi “Wawancara dengan Abetnego Tarigan di Kantor Staf Presiden”

Partisipasi Masyarakat dan Kebijakan Nasional Tata Ruang : Menakar Kepentingan Para Pemangku Kepentingan – Sandoro Purba

MUKIM, Benteng Keselamatan Sumber Daya Alam di Aceh – Fahmi

Menjaga Mata Air Untuk Menghapus Air MataPemetaaan Mata Air dan Area Konservasi di Kawasan Utara Lombok Tengah – Kurniawan Nomeanto

Kabar Simpul

Perencanaan Tata Guna Lahan dan Pengelolaan Gambut Berbasis Masyarakat di Desa Henda Kecamatan Jabiren Raya Kabupaten Pulang Pisau – Edy Subahani

Pemetaan Partisipatif dan Reforma AgrariaCerita Redistribusi Tanah Badega - Garut - Sofyan Ubaidi Anom

Kabar Peta Kampung

Penyiapan kapasitas SLPP Sulteng melalui In House Training GIS-Siti Zulaika

Kabar Ukur - ukur

4

““““

“““

1017

24

28

32

36

39

K A B A R J K P P 2 1

Salam Kedaulatan Atas Ruang,

Para Pembaca Yang Budiman, kali ini KABAR

JKPP kembali hadir di tangan para pembaca.

KABAR 21 kali ini menyajikan tema “Masa

Depan Peta Partisipatif Di Antara

Program Prioritas Presiden”. Hal ini

berkenaan dengan beberapa tulisan yang

memberikan catatan kritis terhadap kebijakan

pemerintah terkait ruang kelola masyarakat baik

di tingkat nasional maupun daerah. Selain tetap

menyajikan beberapa potret terkait perjuangan

merebut ruang melalui pemetaan partisipatif di

tingkat lokal.

Diantaranya, Imam Hanafi masih

memberikan catatan khusus terkait enam tahun

usia berjalannya kebijakan satu peta, termasuk

didalamnya mengupas inisiasi pembentukan

POKJA IGT dalam percepatan kebijakan satu

peta - “Kebijakan satu peta masih berkutat

dalam pembenahan struktural dan koordinasi

yang kesemuanya masih meletakkan ekonomi

dan investasi sebagai tolak ukur utama”.

Abetnego Tarigan, Tenaga Ahli Utama

Kedeputian Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-

isu Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategis”,

memberikan catatannya terkait peran dan posisi

KSP dalam upaya mempercepat implementasi

kebijakan satu peta. Sementara Sekjen KPA, Iwan

Nurdin memberikan catatan terhadap rancangan

program Reforma Agraria ala Pemerintah dengan

memotret program redistribusi tanah di Badega,

termasuk didalamnya posisi dan peran pemetaan

partisipatif dalam RA. Sandoro Purba staf

advokasi JKPP mengulas mengenai posisi

masyarakat dalam kebijakan nasional tata ruang

dari perspektif hukum dan politik ruang. SLPP

Aceh berkontribusi dalam memberikan catatan

kritis terhadap posisi mukin dalam kebijakan

ruang Aceh yang diatur melalui Undang Undang

Pemerintahan Aceh (UUPA) No 11 Tahun 2006.

SLPP NTB menceritakan perjuanganya dalam

mempertahankan mata air yang terancam oleh

komersialisasi air oleh pemerintah di Kawasan

Utara Lombok Tengah. SLPP Kalteng mengulas

upaya menata ruang melalui perencanaan tata

guna lahan dalam kawasan gambut di Kecamatan

Jabiren Raya, Pulang Pisau.

Akhirnya, kami selalu membuka kritik, saran dan

terutama tulisan baik ide, analisis maupun

pengalaman belajar dari para pembaca untuk

memperkaya media ini. Selamat Membaca!

Terima kasih

Redaktur

Page 3: Kabar jkpp 21

REDAKSI KABAR JKPPPenanggung Jawab: Deny Rahadian; Pemimpin Redaksi: Dewi Sutejo; Redaktur: Ade Ikhzan; Redaktur Pracetak: Amir Hamzah Siregar; Reporter & Kontributor: Imam Hanafi, Sandoro Purba, Fahmi, Kurniawan Nomeanto, Edy Subahani, Sofyan Ubaidi Anom, Iwan Nurdin, Siti Zulaika ; Sirkulasi & Distribusi: Diana Sefiani, Yowanda

Alamat Redaksi :Jaringan Kerja Pemetaan PartisipatifJl. Cimanuk Blok B7 No.6, Komp. Bogor Baru, Bogor 16152 INDONESIATelp & Fax. +62 251 8379143 Email: [email protected] ; Website: www.jkpp.org

KABAR REDAKSI

Terbit atas Dukungan

K A B A R J K P P 2 1

Yang Dapat Kami Kabari

“Kabar Utama

Integrasi hasil pemetaan partisipatif dalam pokja IGT: “Masyarakat Melek Peta. Pemerintah Melek Konflik” - Imam Hanafi

Kebijakan Satu Peta dalam Kebijakan dan Implementasi “Wawancara dengan Abetnego Tarigan di Kantor Staf Presiden”

Partisipasi Masyarakat dan Kebijakan Nasional Tata Ruang : Menakar Kepentingan Para Pemangku Kepentingan – Sandoro Purba

MUKIM, Benteng Keselamatan Sumber Daya Alam di Aceh – Fahmi

Menjaga Mata Air Untuk Menghapus Air MataPemetaaan Mata Air dan Area Konservasi di Kawasan Utara Lombok Tengah – Kurniawan Nomeanto

Kabar Simpul

Perencanaan Tata Guna Lahan dan Pengelolaan Gambut Berbasis Masyarakat di Desa Henda Kecamatan Jabiren Raya Kabupaten Pulang Pisau – Edy Subahani

Pemetaan Partisipatif dan Reforma AgrariaCerita Redistribusi Tanah Badega - Garut - Sofyan Ubaidi Anom

Kabar Peta Kampung

Penyiapan kapasitas SLPP Sulteng melalui In House Training GIS-Siti Zulaika

Kabar Ukur - ukur

4

““““

“““

1017

24

28

32

36

39

K A B A R J K P P 2 1

Salam Kedaulatan Atas Ruang,

Para Pembaca Yang Budiman, kali ini KABAR

JKPP kembali hadir di tangan para pembaca.

KABAR 21 kali ini menyajikan tema “Masa

Depan Peta Partisipatif Di Antara

Program Prioritas Presiden”. Hal ini

berkenaan dengan beberapa tulisan yang

memberikan catatan kritis terhadap kebijakan

pemerintah terkait ruang kelola masyarakat baik

di tingkat nasional maupun daerah. Selain tetap

menyajikan beberapa potret terkait perjuangan

merebut ruang melalui pemetaan partisipatif di

tingkat lokal.

Diantaranya, Imam Hanafi masih

memberikan catatan khusus terkait enam tahun

usia berjalannya kebijakan satu peta, termasuk

didalamnya mengupas inisiasi pembentukan

POKJA IGT dalam percepatan kebijakan satu

peta - “Kebijakan satu peta masih berkutat

dalam pembenahan struktural dan koordinasi

yang kesemuanya masih meletakkan ekonomi

dan investasi sebagai tolak ukur utama”.

Abetnego Tarigan, Tenaga Ahli Utama

Kedeputian Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-

isu Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategis”,

memberikan catatannya terkait peran dan posisi

KSP dalam upaya mempercepat implementasi

kebijakan satu peta. Sementara Sekjen KPA, Iwan

Nurdin memberikan catatan terhadap rancangan

program Reforma Agraria ala Pemerintah dengan

memotret program redistribusi tanah di Badega,

termasuk didalamnya posisi dan peran pemetaan

partisipatif dalam RA. Sandoro Purba staf

advokasi JKPP mengulas mengenai posisi

masyarakat dalam kebijakan nasional tata ruang

dari perspektif hukum dan politik ruang. SLPP

Aceh berkontribusi dalam memberikan catatan

kritis terhadap posisi mukin dalam kebijakan

ruang Aceh yang diatur melalui Undang Undang

Pemerintahan Aceh (UUPA) No 11 Tahun 2006.

SLPP NTB menceritakan perjuanganya dalam

mempertahankan mata air yang terancam oleh

komersialisasi air oleh pemerintah di Kawasan

Utara Lombok Tengah. SLPP Kalteng mengulas

upaya menata ruang melalui perencanaan tata

guna lahan dalam kawasan gambut di Kecamatan

Jabiren Raya, Pulang Pisau.

Akhirnya, kami selalu membuka kritik, saran dan

terutama tulisan baik ide, analisis maupun

pengalaman belajar dari para pembaca untuk

memperkaya media ini. Selamat Membaca!

Terima kasih

Redaktur

Page 4: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

4

Kendati apapun yang dilakukan masyarakat

dengan pemetaan partisipatif ini bukanlah

dalam rangka merampas atau meniadakan

tanah Negara, melainkan upaya pembuktian

dan menginformasikan tentang kesalahan

dalam penentuan status penguasaan dan

fungsi ruang serta ketidakjelasan tata batas

oleh pemerintah. Realitasnya, apa yang

dilakukan masyarakat ini masih terhambat

dengan hal-hal teknis seperti tidak

tersedianya walidata, standar teknis

pemetaan, metodologi, anggaran dan pola

perencanaan pembangunan yang top down.

Tanpa mempertimbangkan substansi

partisipasi, resolusi konflik dan kejelasan

status penguasaan dan pengelolaan ruang

kedepan. Padahal apa yang dilakukan oleh

pihak pemeta yang lain, baik swasta

maupun pemerintah sekalipun, tidak

lebih baik dari apa yang dilakukan

masyarakat. Faktanya, sampai saat ini

banyak desa-desa yang belum memiliki

peta desa (hanya 29% peta desa yang

definitif dari seluruh total desa dan

kelurahan di Indonesia), kawasan hutan

masih tumpang tindih penguasaan dan belum

semua dikukuhkan, pemerintah bahkan tidak

memiliki peta status penguasaan ruang oleh

masyarakat yang terverifikasi dengan baik.

Peta partisipatif yang berhasil

dikonsolidasikan oleh JKPP hingga 2016,

menunjukan tumpang tindih yang tinggi

antara wilayah kelola rakyat dengan klaim

kawasan hutan negara serta perizinan (lihat

grafik 1 dan 2). Dari peta partisipatif sebesar

kurang lebih 10 juta Ha, 37 % tumpang tindih

dengan hutan produksi, hutan lindung

sebesar 19 % dan hutan konservasi 18 %,

sementara APL mencapai 23 %. Luasan

terbesar tumpang tindih peta partisipatif

dengan perizinan yaitu dengan sektor

tambang yang mencapai 19 %.

Percepatan implementasi kebijakan

satu peta

Diawal tahun 2016, pemerintah kembali

meletakkan perhatiannya pada implementasi

kebijakan satu peta (onemap policy). Ini

ditandai dengan ditetapkannya Perpres No. 9

Tahun 2016 tentang percepatan implementasi

kebijakan satu peta pada bulan Februari 2016.

Perpres ini secara teknis memandatkan

pelaksanaan dan percepatan kebijakan satu

peta kepada tim percepatan Kebijakan Satu

Peta (Tim KSP). Tim percepatan kebijakan

satu peta ini diketuai oleh Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam

melaksanakan tugasnya, tim percepatan KSP

KABAR JKPP

5

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

Kilasan Curhat

Tahun ini adalah ulang tahun kebijakan

satu peta yang ke-6 sejak diluncurkan di

akhir tahun 2010 yang lalu. Sejauh ini,

kebijakan satu peta masih berkutat dalam

pembenahan struktural dan koordinasi yang

kesemuanya masih meletakkan ekonomi dan

investasi sebagai tolak ukur utama.

Koordinasi dan sinergi antar kementerian

lebih bernuansa pada kompromi politik

untuk sekedar memuluskan proyek-proyek

investasi dan kepentingan sektoral. Dengan

kata lain, belum membawa perubahan bagi

perbaikan situasi penguasaan dan

pengelolaan ruang di Indonesia khususnya

bagi penyelesaian konflik ruang dan lahan

serta bagi penegasan status penguasaan

ruang masyarakat. Posisi masyarakat

semakin rentan ditengah kuatnya tekanan

stabilitas pembangunan, pengembangan

ekonomi dan kesejahteraan sosial yang terus

diwarnai dengan ancaman konflik dan

kriminalisasi.

Setidaknya, inisiatif masyarakat untuk

menyudahi konflik ruang dan memperbaiki

pola pemanfaatan dan penentuan fungsi

ruang kedepan dengan menggunakan peta

partisipatif telah diinisiasi sejak tahun 90an.

Inisiatif yang dilakukan masyarakat dengan

menyediakan data dan bukti kesejarahan

status penguasaan ruang dan lahan melalui

pemetaan partisipatif, sebagai alat

penyelesaian konflik ruang dan lahan, belum

menemukan sambutan yang memadai.

“Masyarakat Melek Peta. Pemerintah Melek Konflik”Integrasi hasil pemetaan partisipatif dalam POKJA IGT :

Imam HanafiKepala Divisi Advokasi

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Grafik 1. Tumpang Tindih Peta Partisipatif dengan Kawasan Hutan dan APL

Grafik 2. Tumpang Tindih Peta Partisipatif dengan Izin

Page 5: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

4

Kendati apapun yang dilakukan masyarakat

dengan pemetaan partisipatif ini bukanlah

dalam rangka merampas atau meniadakan

tanah Negara, melainkan upaya pembuktian

dan menginformasikan tentang kesalahan

dalam penentuan status penguasaan dan

fungsi ruang serta ketidakjelasan tata batas

oleh pemerintah. Realitasnya, apa yang

dilakukan masyarakat ini masih terhambat

dengan hal-hal teknis seperti tidak

tersedianya walidata, standar teknis

pemetaan, metodologi, anggaran dan pola

perencanaan pembangunan yang top down.

Tanpa mempertimbangkan substansi

partisipasi, resolusi konflik dan kejelasan

status penguasaan dan pengelolaan ruang

kedepan. Padahal apa yang dilakukan oleh

pihak pemeta yang lain, baik swasta

maupun pemerintah sekalipun, tidak

lebih baik dari apa yang dilakukan

masyarakat. Faktanya, sampai saat ini

banyak desa-desa yang belum memiliki

peta desa (hanya 29% peta desa yang

definitif dari seluruh total desa dan

kelurahan di Indonesia), kawasan hutan

masih tumpang tindih penguasaan dan belum

semua dikukuhkan, pemerintah bahkan tidak

memiliki peta status penguasaan ruang oleh

masyarakat yang terverifikasi dengan baik.

Peta partisipatif yang berhasil

dikonsolidasikan oleh JKPP hingga 2016,

menunjukan tumpang tindih yang tinggi

antara wilayah kelola rakyat dengan klaim

kawasan hutan negara serta perizinan (lihat

grafik 1 dan 2). Dari peta partisipatif sebesar

kurang lebih 10 juta Ha, 37 % tumpang tindih

dengan hutan produksi, hutan lindung

sebesar 19 % dan hutan konservasi 18 %,

sementara APL mencapai 23 %. Luasan

terbesar tumpang tindih peta partisipatif

dengan perizinan yaitu dengan sektor

tambang yang mencapai 19 %.

Percepatan implementasi kebijakan

satu peta

Diawal tahun 2016, pemerintah kembali

meletakkan perhatiannya pada implementasi

kebijakan satu peta (onemap policy). Ini

ditandai dengan ditetapkannya Perpres No. 9

Tahun 2016 tentang percepatan implementasi

kebijakan satu peta pada bulan Februari 2016.

Perpres ini secara teknis memandatkan

pelaksanaan dan percepatan kebijakan satu

peta kepada tim percepatan Kebijakan Satu

Peta (Tim KSP). Tim percepatan kebijakan

satu peta ini diketuai oleh Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam

melaksanakan tugasnya, tim percepatan KSP

KABAR JKPP

5

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

Kilasan Curhat

Tahun ini adalah ulang tahun kebijakan

satu peta yang ke-6 sejak diluncurkan di

akhir tahun 2010 yang lalu. Sejauh ini,

kebijakan satu peta masih berkutat dalam

pembenahan struktural dan koordinasi yang

kesemuanya masih meletakkan ekonomi dan

investasi sebagai tolak ukur utama.

Koordinasi dan sinergi antar kementerian

lebih bernuansa pada kompromi politik

untuk sekedar memuluskan proyek-proyek

investasi dan kepentingan sektoral. Dengan

kata lain, belum membawa perubahan bagi

perbaikan situasi penguasaan dan

pengelolaan ruang di Indonesia khususnya

bagi penyelesaian konflik ruang dan lahan

serta bagi penegasan status penguasaan

ruang masyarakat. Posisi masyarakat

semakin rentan ditengah kuatnya tekanan

stabilitas pembangunan, pengembangan

ekonomi dan kesejahteraan sosial yang terus

diwarnai dengan ancaman konflik dan

kriminalisasi.

Setidaknya, inisiatif masyarakat untuk

menyudahi konflik ruang dan memperbaiki

pola pemanfaatan dan penentuan fungsi

ruang kedepan dengan menggunakan peta

partisipatif telah diinisiasi sejak tahun 90an.

Inisiatif yang dilakukan masyarakat dengan

menyediakan data dan bukti kesejarahan

status penguasaan ruang dan lahan melalui

pemetaan partisipatif, sebagai alat

penyelesaian konflik ruang dan lahan, belum

menemukan sambutan yang memadai.

“Masyarakat Melek Peta. Pemerintah Melek Konflik”Integrasi hasil pemetaan partisipatif dalam POKJA IGT :

Imam HanafiKepala Divisi Advokasi

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Grafik 1. Tumpang Tindih Peta Partisipatif dengan Kawasan Hutan dan APL

Grafik 2. Tumpang Tindih Peta Partisipatif dengan Izin

Page 6: Kabar jkpp 21

KABAR JKPP

7KABARJKPP

6

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

dibantu oleh tim pelaksana Kebijakan Satu

Peta yang diketuai oleh Kepala badan Badan

Informasi Geospasial. Percepatan

pelaksanaan KSP terdiri dari 4 (empat)

kegiatan umum yang berkaitan dengan data

Informasi Geospasial Thematik (IGT) dan

data Informasi Geospasial Dasar (IGD), yang

terdiri atas: 1) Kompilasi data IGT yang

dimiliki oleh kementerian/lembaga,

Kelompok Kerja Nasional IGT, dan/atau

pemerintah daerah untuk seluruh wilayah

Indonesia; 2) Integrasi data IGT melalui

proses koreksi dan verifikasi IGT terhadap

IGD; 3) Sinkronisasi dan penyelarasan antar

data IGT yang terintegrasi; dan 4)

Penyusunan rekomendasi dan fasilitasi

penyelesaian permasalahan IGT termasuk

penyediaan alokasi anggaran dalam rangka

penyelesaian permasalahan tersebut.

Menindaklanjuti kebijakan diatas, pada

tanggal 24 Maret 2016, kepala Badan

Informasi Geospasial (BIG) mengeluarkan

Surat Keputusan No. 13 tahun 2016 tentang

Kelompok Kerja Nasional Informasi

Gesospasial Thematik. Kelompok kerja

nasional ini bertugas untuk a) Membahas

kebijakan teknis penyelenggaraan Informasi

Geospasial Thematik dalam bentuk Norma,

Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK)

Informasi Geospasial Thematik b)

Mensinkronkan perencanaan

penyelenggaraan Informasi Geospasial

Thematik antar pemangku kepentingan dan

c) Mengintegrasikan Informasi Geospasial

Thematik antar pemangku kepentingan

untuk menjadi satu peta. Terdapat 14

kelompok kerja tematik dalam surat

keputusan kepala badan ini, merupakan

kelompok kerja yang melaksanakan tugas

sesuai dengan tugas kelompok kerja IGT

tertentu. Termasuk dalam salah satu pokja

tematik ini yaitu Kelompok Kerja IGT

Masyarakat dan Hukum Adat.

Keberadaan Kelompok Kerja IGT

Masyarakat dan Hukum Adat tidak dapat

dipungkiri adalah merupakan peluang bagi

masyarakat dan NGO pendukungnya untuk

bersama-sama mendorong proses

pengakuan, penyelesaian konflik ruang dan

lahan serta mengintegrasikan data hasil

pemetaan kedalam kebijakan satu peta.

Namun, keberadaan POKJA IGT tetap harus

dikawal secara ketat agar upaya penyelesaian

konflik dan tumpang tindih, baik status

lahan maupun fungsi ruang bisa terwujud.

Oleh karenanya beberapa catatan tentang

kondisi yang diharapkan dalam proses

berjalannya implementasi kebijakan satu

peta, diantaranya :

1. Kesamaan persepsi tentang kebijakan

satu peta.

Kesamaan persepsi menentukan sejauh

mana capaian dan target implementasi

kebijakan dapat diwujudkan. Sejauh ini,

persepsi tentang kebijakan satu peta,

masih meletakkan porsi terbesarnya pada

koreksi peta dasar yang netral, bukan pada

peta tematik yang yang lebih politis dan

sarat kepentingan, dimana konflik tenurial

dimulai. Satu referensi (one reference)

dalam pilar kebijakan satu peta harus

dimaknai dan dilihat dari sisi tematik

status penguasaan ruang dan fungsi ruang

yang terverifikasi dan teregistrasi dengan

baik dan bebas konflik, sebagai dasar

bersama dalam menentukan kebijakan dan

pengambilan keputusan.

2. Adanya kebijakan.

Kebijakan yang memandatkan tentang

pentingnya satu peta sudah tersedia,

melalui UU No. 4/2011 tentang Informasi

Geospasial yang juga dilengkapi dengan

Perpres No. 27 tahun 2014 tentang

Jaringan Informasi Geospasial Nasional.

Kemudian diperkuat dengan

dikeluarkannya

Perpres No. 9

Tahun 2016.

3. Adanya wadah

struktural

(sistem/meka

nisme/NSPK

dan walidata).

Walidata bagi

data Informasi

Geospasial

Tematik sudah

ditetapkan melalui keputusan Kepala

Badan Informasi Geospasial No. 54 tahun

2015 tentang Walidata Informasi

Geospasial Tematik. Namun demikian,

secara operasional, kebijakan ini belum

sepenuhnya berjalan, karena secara

struktural, sistem dan mekanisme

pengambilan data, verifikasi data, verifikasi

lapang dan penyerahan data belum jelas.

Dengan kata lain Norma, Standar,

Prosedur, dan Kriteria dari wali data

bersangkutan, khusunya bagi status

penguasaan tanah, kawasan perdesaan dan

wilayah adat belum dibuat, terutama

ditingkat propinsi dan kabupaten. Hal ini

perlu diperjelas agar bisa berkait langsung

dengan Jaringan Informasi Geospasial

Daerah.

4. Adanya data dasar yang sama.

Salah satu prinsip dasar kebijakan satu peta

adalah penggunaan data dasar (peta dasar)

yang sama sebagai acuan pembuatan IGT

dengan sekala 1:50.000 atau lebih besar.

Sementara ketersediaan data dasar ini

sampai saat ini masih dalam proses

penyiapan, baik

penyediaan

maupun updating

datanya. Karena

beberapa peta

dasar yang

sekarang ada

masih merupakan

produk

fotogrametri

tahun 1981-1982

dan hasil cek

lapang tahun

1989. Dibeberapa tempat seperti di

Merauke (tahun 2013) baru tersedia peta

dengan skala 1:250.000 dari semua peta

dasar yang tersedia, hampir seluruhnya

menyatakan bahwa semua batas

administrasi yang ada tidak bisa dijadikan

sebagai acuan (referensi).

5. Ketersediaan data IGT tiap pemangku

kepentingan.

Terkait ketersediaan data IGT semua

sektor/kelompok hampir sudah tersedia

semua, kecuali peta batas desa yang baru

29% dan peta kawasan hutan yang masih

tumpang tindih. Sedangkan peta status

penguasaan ruang masyarakat dan peta

wilayah masyarakat hukum adat yang

masih dalam proses pembuatan. Terkait hal

ini perlu dipertimbangkan proses updating

Page 7: Kabar jkpp 21

KABAR JKPP

7KABARJKPP

6

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

dibantu oleh tim pelaksana Kebijakan Satu

Peta yang diketuai oleh Kepala badan Badan

Informasi Geospasial. Percepatan

pelaksanaan KSP terdiri dari 4 (empat)

kegiatan umum yang berkaitan dengan data

Informasi Geospasial Thematik (IGT) dan

data Informasi Geospasial Dasar (IGD), yang

terdiri atas: 1) Kompilasi data IGT yang

dimiliki oleh kementerian/lembaga,

Kelompok Kerja Nasional IGT, dan/atau

pemerintah daerah untuk seluruh wilayah

Indonesia; 2) Integrasi data IGT melalui

proses koreksi dan verifikasi IGT terhadap

IGD; 3) Sinkronisasi dan penyelarasan antar

data IGT yang terintegrasi; dan 4)

Penyusunan rekomendasi dan fasilitasi

penyelesaian permasalahan IGT termasuk

penyediaan alokasi anggaran dalam rangka

penyelesaian permasalahan tersebut.

Menindaklanjuti kebijakan diatas, pada

tanggal 24 Maret 2016, kepala Badan

Informasi Geospasial (BIG) mengeluarkan

Surat Keputusan No. 13 tahun 2016 tentang

Kelompok Kerja Nasional Informasi

Gesospasial Thematik. Kelompok kerja

nasional ini bertugas untuk a) Membahas

kebijakan teknis penyelenggaraan Informasi

Geospasial Thematik dalam bentuk Norma,

Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK)

Informasi Geospasial Thematik b)

Mensinkronkan perencanaan

penyelenggaraan Informasi Geospasial

Thematik antar pemangku kepentingan dan

c) Mengintegrasikan Informasi Geospasial

Thematik antar pemangku kepentingan

untuk menjadi satu peta. Terdapat 14

kelompok kerja tematik dalam surat

keputusan kepala badan ini, merupakan

kelompok kerja yang melaksanakan tugas

sesuai dengan tugas kelompok kerja IGT

tertentu. Termasuk dalam salah satu pokja

tematik ini yaitu Kelompok Kerja IGT

Masyarakat dan Hukum Adat.

Keberadaan Kelompok Kerja IGT

Masyarakat dan Hukum Adat tidak dapat

dipungkiri adalah merupakan peluang bagi

masyarakat dan NGO pendukungnya untuk

bersama-sama mendorong proses

pengakuan, penyelesaian konflik ruang dan

lahan serta mengintegrasikan data hasil

pemetaan kedalam kebijakan satu peta.

Namun, keberadaan POKJA IGT tetap harus

dikawal secara ketat agar upaya penyelesaian

konflik dan tumpang tindih, baik status

lahan maupun fungsi ruang bisa terwujud.

Oleh karenanya beberapa catatan tentang

kondisi yang diharapkan dalam proses

berjalannya implementasi kebijakan satu

peta, diantaranya :

1. Kesamaan persepsi tentang kebijakan

satu peta.

Kesamaan persepsi menentukan sejauh

mana capaian dan target implementasi

kebijakan dapat diwujudkan. Sejauh ini,

persepsi tentang kebijakan satu peta,

masih meletakkan porsi terbesarnya pada

koreksi peta dasar yang netral, bukan pada

peta tematik yang yang lebih politis dan

sarat kepentingan, dimana konflik tenurial

dimulai. Satu referensi (one reference)

dalam pilar kebijakan satu peta harus

dimaknai dan dilihat dari sisi tematik

status penguasaan ruang dan fungsi ruang

yang terverifikasi dan teregistrasi dengan

baik dan bebas konflik, sebagai dasar

bersama dalam menentukan kebijakan dan

pengambilan keputusan.

2. Adanya kebijakan.

Kebijakan yang memandatkan tentang

pentingnya satu peta sudah tersedia,

melalui UU No. 4/2011 tentang Informasi

Geospasial yang juga dilengkapi dengan

Perpres No. 27 tahun 2014 tentang

Jaringan Informasi Geospasial Nasional.

Kemudian diperkuat dengan

dikeluarkannya

Perpres No. 9

Tahun 2016.

3. Adanya wadah

struktural

(sistem/meka

nisme/NSPK

dan walidata).

Walidata bagi

data Informasi

Geospasial

Tematik sudah

ditetapkan melalui keputusan Kepala

Badan Informasi Geospasial No. 54 tahun

2015 tentang Walidata Informasi

Geospasial Tematik. Namun demikian,

secara operasional, kebijakan ini belum

sepenuhnya berjalan, karena secara

struktural, sistem dan mekanisme

pengambilan data, verifikasi data, verifikasi

lapang dan penyerahan data belum jelas.

Dengan kata lain Norma, Standar,

Prosedur, dan Kriteria dari wali data

bersangkutan, khusunya bagi status

penguasaan tanah, kawasan perdesaan dan

wilayah adat belum dibuat, terutama

ditingkat propinsi dan kabupaten. Hal ini

perlu diperjelas agar bisa berkait langsung

dengan Jaringan Informasi Geospasial

Daerah.

4. Adanya data dasar yang sama.

Salah satu prinsip dasar kebijakan satu peta

adalah penggunaan data dasar (peta dasar)

yang sama sebagai acuan pembuatan IGT

dengan sekala 1:50.000 atau lebih besar.

Sementara ketersediaan data dasar ini

sampai saat ini masih dalam proses

penyiapan, baik

penyediaan

maupun updating

datanya. Karena

beberapa peta

dasar yang

sekarang ada

masih merupakan

produk

fotogrametri

tahun 1981-1982

dan hasil cek

lapang tahun

1989. Dibeberapa tempat seperti di

Merauke (tahun 2013) baru tersedia peta

dengan skala 1:250.000 dari semua peta

dasar yang tersedia, hampir seluruhnya

menyatakan bahwa semua batas

administrasi yang ada tidak bisa dijadikan

sebagai acuan (referensi).

5. Ketersediaan data IGT tiap pemangku

kepentingan.

Terkait ketersediaan data IGT semua

sektor/kelompok hampir sudah tersedia

semua, kecuali peta batas desa yang baru

29% dan peta kawasan hutan yang masih

tumpang tindih. Sedangkan peta status

penguasaan ruang masyarakat dan peta

wilayah masyarakat hukum adat yang

masih dalam proses pembuatan. Terkait hal

ini perlu dipertimbangkan proses updating

Page 8: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

8 KABAR JKPP

9

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

data dan penambahan data baru yang

sedang dalam proses pembuatan.

Dalam konteks data masyarakat, secara

internal perlu melakukan konsolidasi data,

perbaikan dan standarisasi format data,

layout dan skala, hal ini untuk

mempermudah dalam proses verifikasi

dan integrasi peta-peta masyarakat.

6. Sinkronisasi data peta/kartometrik.

Terkait hal ini, khususnya bagi peta

masyarakat (lokal/masyarakat hukum

adat), berdasarkan pada standar yang

dibuat oleh Badan Informasi Geospasial

(BIG) masih dianggap sebagai peta

indikatif, tidak standard dan bukan peta

formal. Sehingga, dalam rangka

mewujudkan produk satu peta yang sesuai

seperti yang diharapkan dan mencapai

tujuan yang diinginkan, maka perlu ada

proses mendefinitifkan peta indikatif

masyarakat, menstandarkan peta

masyarakat dan menjadikan/adopsi peta

masyarakat menjadi peta formal oleh

pemerintah.Termasuk didalam prosesnya

menyesuaikan definisi, atribut data, sistem

koordinat, skala dan lain-lain. Untuk

proses ini, penting bagi pemerintah untuk

membangun struktur/wadah sebagai

tempat verifikasi data peta yang dibuat

masyarakat.

Kendatipun dalam undang-undang IG No.

4 tahun 2011 telah menyebutkan peran

orang per orang dalam penyediaan data

IG, namun belum ada aturan/pedoman

teknis dari pemerintah yang mengatur

tentang tata cara penyediaan data IG oleh

individu, masyarakat dan kelompok

masyarakat. Harapannya, metode yang

dibuat pemerintah tidak mengurangi

semangat partisipasi masyarakat dalam

pengayaan data dan hanya terjebak pada

hal teknis kartografi semata. Selama ini

kelompok masyarakat sipil menggunakan

metode pemetaan partisipatif dalam proses

penyediaan data dan informasi

geospasialnya.

7. Verifikasi lapang dan penyelesaian

permasalahan.

Dengan asumsi proses sinkronisasi data

bisa berjalan baik dan selesai, maka

tahapan berikut yang tidak kalah

pentingnya adalah proses verifikasi lapang,

baik status dan fungsi ruang dan lahan.

Seperti kita ketahui, bahwa kondisi di

lapang ini bentuk sebenarnya dari proses

satu peta. Selesainya permasalahan,

konflik lahan dan tumpang tindih fungsi

ruang adalah substansi, konteks dan

persoalan krusial yang wajib mendapat

perhatian lebih dari semua pihak.Dengan

mengacu pada data IGT masing-masing

pihak yang telah di sinkronisasi secara

kartometrik, selanjutnya semua pihak

bersama-sama melakukan verifikasi lapang

(ground check), pembuktian, perubahan

batas, dan membangun kesepakatan ulang

yang dituangkan dalam satu surat berita

acara dan dokumen hasil verifikasi.

8. Penetapan.

Untuk memperkuat hasil verifikasi lapang

dan kesepakatan, akan lebih baik lagi jika

ditunjang dengan proses penetapan status

dan fungsi ruang sebagai jaminan

keamanan bersama kedepan. Dengan

demikian semua pihak akan bekerja sama

untuk saling menjaga kesepakatan dan

melestarikan fungsi ruang yang disepakati

serta membangun kerjasama, insentif dan

disinsentif antar pihak dan masyarakat.

9. Integrasi data.

Hal terakhir yang tidak kalah pentingnya

adalah, adanya jaminan keberlanjutan

kesepakatan dan fungsi ruang melalui

proses integrasi data, peta dan dokumen

kesepakatan menjadi satu peta dasar dana

peta RTRW sebagai peta acuan bersama

semua pihak dalam pengambilan

keputusan dan perencanaan kedepan.

10. Pengelolaan, penyimpanan, akses dan

penggunaan data.

Sebagai salah satu bentuk keberlanjutan

sistem, sosialisasi dan pemanfaatan data,

maka data yang telah melalui serangkaian

proses olah data selanjunya dihimpun

dalam satu database dengan aturan main

menyesuaikan dengan norma, standar,

prosedur dan kriteria penyimpanan,

pengelolaan dan penggunaan data dari

masing-masing walidata dan

penyelenggara IGT.

Dengan demikian, mewujudkan kebijakan

satu peta tidak sesederhana hanya sebatas

mengumpulkan data tematik, menyimpan

dan mencantumkan dalam geoportal.

Melainkan banyak proses dan memerlukan

keterlibatan banyak pihak untuk

mewujudkannya. Dalam satu wilayah

masyarakat, peta partisipatif dapat terdiri

dari informasi, batas wilayah adat, data

kearifan tradisional dalam pemanfaatan dan

penggunaan lahan, data batas desa, data tata

guna lahan, data rencana pemanfaatan ruang,

wilayah kelola perairan dan pesisir, toponimi

lokal, data sosial ekonomi dan lain-lain.

Dengan demikian, terkait walidata dan proses

adopsi, sinkronisasi dan integrasi peta

masyarakat tidak cukup hanya dilakukan

pada satu sektor atau satu kementerian,

melainkan bisa diintegrasikan pada sektor

lain.

Koordinasi, keterbukaan, kepercayaan dan

komitmen yang kuat sangat dibutuhkan

untuk mendukung implementasinya sampai

ketingkat desa. Dukungan pemerintah dan

masyarakat menjadi kunci penting terhadap

keberhasilan proses ini. Diharapkan

kontestan kebijakan satu peta bukan semata

mengakomodir peta formal pemerintah,

melainkan juga pelibatan peran masyarakat

dalam pengayaan data dan informasi

spasialnya. Kemudian dikelola sebagai satu

database dalam satu geoportal yang mudah

akses dan dijadikan sebagai satu standar dan

satu acuan bersama dalam semua

pengambilan keputusan. Sebagaimana empat

pilar one map yang digadang-gadang sejak

awal, yaitu one reference (satu referensi), one

standard (satu standar), one database (satu

data base), dan one geoportal (satu

geoportal). Jika tidak, maka satu peta hanya

akan menjadi satu gambar tanpa manfaat

yang bisa menjamin keamanan, ketenangan

dan kenyamanan semua pihak dalam

pengelolaan dan pemanfaatan ruang.

Besar harapan masyarakat terhadap isu

kebijakan satu peta ini akan menjadi pintu

penyelesaian bagi semrawutnya konflik

penguasaan ruang di Indonesia.

9,011,144.911

Page 9: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

8 KABAR JKPP

9

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

data dan penambahan data baru yang

sedang dalam proses pembuatan.

Dalam konteks data masyarakat, secara

internal perlu melakukan konsolidasi data,

perbaikan dan standarisasi format data,

layout dan skala, hal ini untuk

mempermudah dalam proses verifikasi

dan integrasi peta-peta masyarakat.

6. Sinkronisasi data peta/kartometrik.

Terkait hal ini, khususnya bagi peta

masyarakat (lokal/masyarakat hukum

adat), berdasarkan pada standar yang

dibuat oleh Badan Informasi Geospasial

(BIG) masih dianggap sebagai peta

indikatif, tidak standard dan bukan peta

formal. Sehingga, dalam rangka

mewujudkan produk satu peta yang sesuai

seperti yang diharapkan dan mencapai

tujuan yang diinginkan, maka perlu ada

proses mendefinitifkan peta indikatif

masyarakat, menstandarkan peta

masyarakat dan menjadikan/adopsi peta

masyarakat menjadi peta formal oleh

pemerintah.Termasuk didalam prosesnya

menyesuaikan definisi, atribut data, sistem

koordinat, skala dan lain-lain. Untuk

proses ini, penting bagi pemerintah untuk

membangun struktur/wadah sebagai

tempat verifikasi data peta yang dibuat

masyarakat.

Kendatipun dalam undang-undang IG No.

4 tahun 2011 telah menyebutkan peran

orang per orang dalam penyediaan data

IG, namun belum ada aturan/pedoman

teknis dari pemerintah yang mengatur

tentang tata cara penyediaan data IG oleh

individu, masyarakat dan kelompok

masyarakat. Harapannya, metode yang

dibuat pemerintah tidak mengurangi

semangat partisipasi masyarakat dalam

pengayaan data dan hanya terjebak pada

hal teknis kartografi semata. Selama ini

kelompok masyarakat sipil menggunakan

metode pemetaan partisipatif dalam proses

penyediaan data dan informasi

geospasialnya.

7. Verifikasi lapang dan penyelesaian

permasalahan.

Dengan asumsi proses sinkronisasi data

bisa berjalan baik dan selesai, maka

tahapan berikut yang tidak kalah

pentingnya adalah proses verifikasi lapang,

baik status dan fungsi ruang dan lahan.

Seperti kita ketahui, bahwa kondisi di

lapang ini bentuk sebenarnya dari proses

satu peta. Selesainya permasalahan,

konflik lahan dan tumpang tindih fungsi

ruang adalah substansi, konteks dan

persoalan krusial yang wajib mendapat

perhatian lebih dari semua pihak.Dengan

mengacu pada data IGT masing-masing

pihak yang telah di sinkronisasi secara

kartometrik, selanjutnya semua pihak

bersama-sama melakukan verifikasi lapang

(ground check), pembuktian, perubahan

batas, dan membangun kesepakatan ulang

yang dituangkan dalam satu surat berita

acara dan dokumen hasil verifikasi.

8. Penetapan.

Untuk memperkuat hasil verifikasi lapang

dan kesepakatan, akan lebih baik lagi jika

ditunjang dengan proses penetapan status

dan fungsi ruang sebagai jaminan

keamanan bersama kedepan. Dengan

demikian semua pihak akan bekerja sama

untuk saling menjaga kesepakatan dan

melestarikan fungsi ruang yang disepakati

serta membangun kerjasama, insentif dan

disinsentif antar pihak dan masyarakat.

9. Integrasi data.

Hal terakhir yang tidak kalah pentingnya

adalah, adanya jaminan keberlanjutan

kesepakatan dan fungsi ruang melalui

proses integrasi data, peta dan dokumen

kesepakatan menjadi satu peta dasar dana

peta RTRW sebagai peta acuan bersama

semua pihak dalam pengambilan

keputusan dan perencanaan kedepan.

10. Pengelolaan, penyimpanan, akses dan

penggunaan data.

Sebagai salah satu bentuk keberlanjutan

sistem, sosialisasi dan pemanfaatan data,

maka data yang telah melalui serangkaian

proses olah data selanjunya dihimpun

dalam satu database dengan aturan main

menyesuaikan dengan norma, standar,

prosedur dan kriteria penyimpanan,

pengelolaan dan penggunaan data dari

masing-masing walidata dan

penyelenggara IGT.

Dengan demikian, mewujudkan kebijakan

satu peta tidak sesederhana hanya sebatas

mengumpulkan data tematik, menyimpan

dan mencantumkan dalam geoportal.

Melainkan banyak proses dan memerlukan

keterlibatan banyak pihak untuk

mewujudkannya. Dalam satu wilayah

masyarakat, peta partisipatif dapat terdiri

dari informasi, batas wilayah adat, data

kearifan tradisional dalam pemanfaatan dan

penggunaan lahan, data batas desa, data tata

guna lahan, data rencana pemanfaatan ruang,

wilayah kelola perairan dan pesisir, toponimi

lokal, data sosial ekonomi dan lain-lain.

Dengan demikian, terkait walidata dan proses

adopsi, sinkronisasi dan integrasi peta

masyarakat tidak cukup hanya dilakukan

pada satu sektor atau satu kementerian,

melainkan bisa diintegrasikan pada sektor

lain.

Koordinasi, keterbukaan, kepercayaan dan

komitmen yang kuat sangat dibutuhkan

untuk mendukung implementasinya sampai

ketingkat desa. Dukungan pemerintah dan

masyarakat menjadi kunci penting terhadap

keberhasilan proses ini. Diharapkan

kontestan kebijakan satu peta bukan semata

mengakomodir peta formal pemerintah,

melainkan juga pelibatan peran masyarakat

dalam pengayaan data dan informasi

spasialnya. Kemudian dikelola sebagai satu

database dalam satu geoportal yang mudah

akses dan dijadikan sebagai satu standar dan

satu acuan bersama dalam semua

pengambilan keputusan. Sebagaimana empat

pilar one map yang digadang-gadang sejak

awal, yaitu one reference (satu referensi), one

standard (satu standar), one database (satu

data base), dan one geoportal (satu

geoportal). Jika tidak, maka satu peta hanya

akan menjadi satu gambar tanpa manfaat

yang bisa menjamin keamanan, ketenangan

dan kenyamanan semua pihak dalam

pengelolaan dan pemanfaatan ruang.

Besar harapan masyarakat terhadap isu

kebijakan satu peta ini akan menjadi pintu

penyelesaian bagi semrawutnya konflik

penguasaan ruang di Indonesia.

9,011,144.911

Page 10: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

10 KABAR JKPP

11

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

Pasca diundangkannya Perpres No. 9

Tahun 2016 Tentang Percepatan

Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada

Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000 pada

tanggal 4 Februari 2016, beberapa target

telah ditetapkan serta pelaksanaannya telah

ditindaklanjuti oleh Badan Informasi

Geospatial melalui beberapa kebijakan.

Keputusan BIG No. 13 Tahun 2016 tentang

Kelompok Kerja Nasional Geospasial

Tematik pada tanggal 24 Maret 2016.

Dimana lembaga ini melibatkan hampir

seluruh Kementerian/Lembaga yang

memiliki kewenangan dalam pemetaan dan

penataan ruang serta instansi pendidikan

dan organisasi masyarakat sipil.

Dimana sebelumnya, telah ada Keputusan

BIG No. 54 Tahun 2015 tentang Walidata

Informasi Geospasial Tematik. Hal ini semua

merupakan aturan turunan dari UU No. 4

Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.

Melalui undang-undang inilah semangat

untuk membangun suatu sistem informasi

geospasial yang penyelenggaraannya

dilaksanakan dengan tertib, terpadu,

berhasil guna dan berdaya guna untuk

menjamin keakuratan, kemutakhiran dan

kepastian hukum penyelenggaraan informasi

geospasial.

Dalam pemerintahan Presiden Joko

Widodo, sebuah Lembaga dibentuk untuk

membantu Presiden dalam menjalankan

program-program prioritasnya. Kantor Staf

Presiden adalah sebuah Lembaga yang

berperan untuk mengakselerasi program-

program prioritas Presiden. Pada hari Senin

3 Oktober 2016, Tim dari Kabar JKPP

mewawancarai Abetnego Tarigan, selaku

salah satu Tenaga Ahli Utama Kedeputian

Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu

Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategis.

Berikut adalah petikan wawancara:

Bagaimana Kantor Staf Presiden

melihat Kebijakan Satu Peta dalam

penyelesaian Isu Sosial Budaya dan

Ekologis?

Kita dapat melihat latar belakang dalam

pengambilan kebijakan prioritas Presiden

belakangan ini. Presiden awal tahun

mengeluarkan Perpres terkait dengan

Badan Restorasi Gambut. Terdapat lebih

kurang dua juta hektar kawasan-kawasan

gambut yang perlu direstorasi. Selain itu,

lokasi yang akan direstorasi ini

diperkirakan berada di kawasan yang

Kebijakan Satu peta dalam Kebijakan dan Implementasi

berizin. Bagaimana restorasi bisa berjalan

kalau problem perizinannya itu tidak

dibereskan. Selain itu, akan berkonsekuensi

juga pada penegakan hukum. Apakah

wilayah-wilayah yang dipetakan itu

memang diakui atau tidak oleh otoritas atau

lembaga yang mengeluarkan izin itu atau

jangan-jangan berbeda. Kita bisa lihat

melalui proses-proses pemetaan bagaimana

tumpang tindih itu menciptakan hambatan-

hambatan. Jadi, harus dibenahi terlebih

dahulu perizinannya baru bisa direstorasi.

Karena kalau tidak akan menciptakan

problem hukum baru. Ini satu contoh

bagaimana kami melihat pentingnya

Kebijakan Satu Peta.

Kemudian, Peta yang ada dan dimiliki

masing-masing institusi ini semestinya

sudah pada tingkat disinkronkan, yaitu

dengan skala 1:50.000. Terkait hal itu,

concern Presiden berikutnya, adalah

kebakaran hutan dan lahan. Meskipun

restorasi gambut berkaitan dengan

kebakaran hutan dan lahan, tetapi terdapat

perhatian khusus pada aspek-aspek

penegakan hukum. Hal ini berkaitan dengan

peta-peta yang ada, misalnya argumentasi

dari pihak kepolisian bahwa sulit dilakukan

penindakan, tuntutan, dll sehingga harus di

SP3 (diterbitkan Surat Perintah Penghentian

Penyidikan, red). Hal itu desebabkan karena

peta-petanya tidak jelas tentang siapa

pemilikannya. Bisa saja secara de facto ada

orang lain yang menguasai, tapi secara de

jurenya ada badan hukum lain yang

memiliki.

Secara konkrit untuk isu konflik dan

penegakan hukum bagaimana

kedudukan Kebijakan Satu Peta ini?

Ketika proses Kebijakan Satu Peta itu

tidak didorong lebih cepat, kita akan lebih

sulit berbicara soal-soal penegakan hukum

terkait dengan pelanggaran hukum di

kawasan yang memang secara luasan cukup

luas. Kemudian juga diantara kawasan itu

ada dibebani hak atau perizinan, sementara

sisi lainnya, ada kemungkinan data dan

informasinya salah. Terkait dengan

kebakaran hutan dan lahan sebagai kasus

yang menarik perhatian internasional,

permasalahannya adalah bahwa ada

banyak izin yang levelnya di tingkat daerah

dan belum sampai ke pusat tapi sudah

beroperasi. Sementara akses Pemerintah

Pusat terhadap izin-izin yang dikeluarkan

Pemerintah Daerah itu tidak otomatis

(diketahui oleh Pemerintah Pusat, red). Itu

terjadi karena sifatnya laporan, artinya

kalau belum dilaporkan (Pemerintah

Daerah, red) berarti belum ada catatannya

di Pusat. Tetapi secara de facto ada izin dan

ada prakteknya. Contoh kasus misalnya,

perkebunan kelapa sawit yang belum punya

HGU dalam prakteknya sudah operasi atau

tidak? Banyak yang sudah beroperasi.

Dalam konteks logika hukumnya, harusnya

punya HGU dulu baru beroperasi. Karena

disitulah Negara dalam hal ini Pemerintah

punya hak pungutan terhadap pajak bumi

dan bangunan dan lain sebagainya.

Informasi-informasi ini kan belum ada di

Pusat. Jadi, dalam konteks Kebijakan Satu

Peta, ketika suatu daerah memproses

perizinan maka seharusnya informasi itu

sudah harus masuk kedalam sistem di Pusat.

Page 11: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

10 KABAR JKPP

11

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

Pasca diundangkannya Perpres No. 9

Tahun 2016 Tentang Percepatan

Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada

Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000 pada

tanggal 4 Februari 2016, beberapa target

telah ditetapkan serta pelaksanaannya telah

ditindaklanjuti oleh Badan Informasi

Geospatial melalui beberapa kebijakan.

Keputusan BIG No. 13 Tahun 2016 tentang

Kelompok Kerja Nasional Geospasial

Tematik pada tanggal 24 Maret 2016.

Dimana lembaga ini melibatkan hampir

seluruh Kementerian/Lembaga yang

memiliki kewenangan dalam pemetaan dan

penataan ruang serta instansi pendidikan

dan organisasi masyarakat sipil.

Dimana sebelumnya, telah ada Keputusan

BIG No. 54 Tahun 2015 tentang Walidata

Informasi Geospasial Tematik. Hal ini semua

merupakan aturan turunan dari UU No. 4

Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.

Melalui undang-undang inilah semangat

untuk membangun suatu sistem informasi

geospasial yang penyelenggaraannya

dilaksanakan dengan tertib, terpadu,

berhasil guna dan berdaya guna untuk

menjamin keakuratan, kemutakhiran dan

kepastian hukum penyelenggaraan informasi

geospasial.

Dalam pemerintahan Presiden Joko

Widodo, sebuah Lembaga dibentuk untuk

membantu Presiden dalam menjalankan

program-program prioritasnya. Kantor Staf

Presiden adalah sebuah Lembaga yang

berperan untuk mengakselerasi program-

program prioritas Presiden. Pada hari Senin

3 Oktober 2016, Tim dari Kabar JKPP

mewawancarai Abetnego Tarigan, selaku

salah satu Tenaga Ahli Utama Kedeputian

Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu

Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategis.

Berikut adalah petikan wawancara:

Bagaimana Kantor Staf Presiden

melihat Kebijakan Satu Peta dalam

penyelesaian Isu Sosial Budaya dan

Ekologis?

Kita dapat melihat latar belakang dalam

pengambilan kebijakan prioritas Presiden

belakangan ini. Presiden awal tahun

mengeluarkan Perpres terkait dengan

Badan Restorasi Gambut. Terdapat lebih

kurang dua juta hektar kawasan-kawasan

gambut yang perlu direstorasi. Selain itu,

lokasi yang akan direstorasi ini

diperkirakan berada di kawasan yang

Kebijakan Satu peta dalam Kebijakan dan Implementasi

berizin. Bagaimana restorasi bisa berjalan

kalau problem perizinannya itu tidak

dibereskan. Selain itu, akan berkonsekuensi

juga pada penegakan hukum. Apakah

wilayah-wilayah yang dipetakan itu

memang diakui atau tidak oleh otoritas atau

lembaga yang mengeluarkan izin itu atau

jangan-jangan berbeda. Kita bisa lihat

melalui proses-proses pemetaan bagaimana

tumpang tindih itu menciptakan hambatan-

hambatan. Jadi, harus dibenahi terlebih

dahulu perizinannya baru bisa direstorasi.

Karena kalau tidak akan menciptakan

problem hukum baru. Ini satu contoh

bagaimana kami melihat pentingnya

Kebijakan Satu Peta.

Kemudian, Peta yang ada dan dimiliki

masing-masing institusi ini semestinya

sudah pada tingkat disinkronkan, yaitu

dengan skala 1:50.000. Terkait hal itu,

concern Presiden berikutnya, adalah

kebakaran hutan dan lahan. Meskipun

restorasi gambut berkaitan dengan

kebakaran hutan dan lahan, tetapi terdapat

perhatian khusus pada aspek-aspek

penegakan hukum. Hal ini berkaitan dengan

peta-peta yang ada, misalnya argumentasi

dari pihak kepolisian bahwa sulit dilakukan

penindakan, tuntutan, dll sehingga harus di

SP3 (diterbitkan Surat Perintah Penghentian

Penyidikan, red). Hal itu desebabkan karena

peta-petanya tidak jelas tentang siapa

pemilikannya. Bisa saja secara de facto ada

orang lain yang menguasai, tapi secara de

jurenya ada badan hukum lain yang

memiliki.

Secara konkrit untuk isu konflik dan

penegakan hukum bagaimana

kedudukan Kebijakan Satu Peta ini?

Ketika proses Kebijakan Satu Peta itu

tidak didorong lebih cepat, kita akan lebih

sulit berbicara soal-soal penegakan hukum

terkait dengan pelanggaran hukum di

kawasan yang memang secara luasan cukup

luas. Kemudian juga diantara kawasan itu

ada dibebani hak atau perizinan, sementara

sisi lainnya, ada kemungkinan data dan

informasinya salah. Terkait dengan

kebakaran hutan dan lahan sebagai kasus

yang menarik perhatian internasional,

permasalahannya adalah bahwa ada

banyak izin yang levelnya di tingkat daerah

dan belum sampai ke pusat tapi sudah

beroperasi. Sementara akses Pemerintah

Pusat terhadap izin-izin yang dikeluarkan

Pemerintah Daerah itu tidak otomatis

(diketahui oleh Pemerintah Pusat, red). Itu

terjadi karena sifatnya laporan, artinya

kalau belum dilaporkan (Pemerintah

Daerah, red) berarti belum ada catatannya

di Pusat. Tetapi secara de facto ada izin dan

ada prakteknya. Contoh kasus misalnya,

perkebunan kelapa sawit yang belum punya

HGU dalam prakteknya sudah operasi atau

tidak? Banyak yang sudah beroperasi.

Dalam konteks logika hukumnya, harusnya

punya HGU dulu baru beroperasi. Karena

disitulah Negara dalam hal ini Pemerintah

punya hak pungutan terhadap pajak bumi

dan bangunan dan lain sebagainya.

Informasi-informasi ini kan belum ada di

Pusat. Jadi, dalam konteks Kebijakan Satu

Peta, ketika suatu daerah memproses

perizinan maka seharusnya informasi itu

sudah harus masuk kedalam sistem di Pusat.

Page 12: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

12KABAR JKPP

13

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

Dengan hal ini, kita bisa melihat subjek-

subjek hukum yang bermasalah terutama

antara masyarakat dengan aparat negara

atau dengan swasta, termasuk mengetahui

lebih lengkap terkait persoalan administrasi

pemerintahannya. Oleh karenanya, kami

melihat bahwa Kebijakan Satu Peta itu

menjadi sangat strategis.

Kantor Staf Presiden dalam

mengimplementasikan tugasnya

adalah dalam kerangka visi dan misi

Kepresidenan, sebenarnya apa

prioritas Presiden saat ini?

Kami banyak bekerja di inisiatif open

government dan one data. Di Kantor Staf

Presiden sendiri, program-program

Prioritas Pemerintah dilihat dari dua

prioritas ini. Kami sebenarnya terbuka

ketika ada kebutuhan dari lintas

kementerian dan lembaga yang memang

membutuhkan fasilitasi proses dari Kantor

Staf Presiden. Pertama ada keuntungannya,

karena proses komunikasi dengan Presiden

bisa lebih cepat terutama kalau ada

hambatan dan kendala yang dihadapi oleh

Kementerian/Lembaga. Paling pokok

sebenarnya, karena memang tugasnya

(Kantor Staf Presiden, red) dalam banyak

kesempatan menyiapkan bahan-bahan

yang menjadi pertimbangan-pertimbangan

Presiden, maka kami adalah back office-nya

Presiden.

Lalu, bisakah kita menempatkan

Kebijakan Satu Peta ini dalam

Prioritas Presiden saat ini?

Jadi, Kebijakan Satu Peta itu bisa

membantu untuk memperjelas target-target

yang disiapkan oleh pemerintah. Misalnya

soal target pemerintah dengan segala

kritiknya, soal perhutanan sosial ada 12,7

juta Ha. Lalu, target pemerintah terkait

reforma agraria ada 9 juta Ha. Lalu, lahan

yang 12,7 Ha dan 9 juta Ha ini mau

didudukan dimana? Dalam konteks

Kebijakan Satu Peta ini, jangan dilihat

bahwa peta ini hanya dibutuhkan oleh

institusi yang hanya berkaitan dengan

spasial atau keruangan. Karena ketika

berbicara soal pembangunan maka yang

harus kita lihat bukan hanya akses

ruangnya saja tapi ruangnya mau diisi

seperti apa. Misalnya, kita bicara tentang

perhutanan sosial tidak cukup dengan

memberikan legalisasi penguasaan atau

pengelolaan yang dilakukan oleh

masyarakat. Akan tetapi, bagaimana

penguasaan dan pengelolaan itu juga bisa

berjalan. Seperti Menteri Koperasi dan

UKM misalnya, bukanlah kementerian yang

mengurusi keruangan tetapi perlu tahu

berapa luas dan dimana saja petani-petani

atau pekebun-pekebun atau masyarakat

yang mengelola hutan yang memang perlu

didukung. Hal ini penting untuk penguatan

secara kelembagaan ekonomi mereka untuk

usaha kecil, menengah dan koperasi. Itulah

tuntutan yang ada dan karena itulah tugas

kami untuk mengawal bagaimana ini bisa

terimplementasi.

Dalam konteks Kebijakan Satu Peta

yang sudah bergulir sejak berdirinya

BIG dan dibentuknya Pokja IGT,

Bagaimana Kantor Staf Presiden

memonitor dan membantu kinerja BIG

dan Pokja ini?

Peran kantor Kantor Staf Presiden ini

yang paling utama itu kan 'debottlenecking'.

Jadi, sumbat-sumbat botolnya (sumbatan

kebijakan, red) itu ada dimana, maka akan

diupayakan perbaikannya. Dalam hal

Kebijakan Satu Peta tentu yang

mengurusinya adalah kementerian/lembaga

teknis. Kantor Staf Presiden secara fungsi

memang tidak mengambil alih suatu

pekerjaan dari kementerian/lembaga teknis.

Terkecuali, dari kewenangan

kementerian/lembaga teknis hendak

didorong suatu proses perubahan, dan

dalam proses itu Kantor Staf Presiden dapat

berperan untuk mempersiapkan rumusan

dokumen kebijakannya. Dalam pengalaman

di Kantor Staf Presiden, ketika tim kerja

Reforma Agraria bekerja, maka sisi

teknisnya, seperti menyelenggarakan

workshop, diskusi dan lain sebagainya tetap

dipegang oleh Kementerian terkait. Kantor

Staf Presiden menyiapkan rumusan

arahannya. Jadi, Kantor Staf Presiden tidak

akan masuk ke soal-soal teknis itu.

Sudah sampai dimana proses

sinkronisasi dan integrasi Peta

Partisipatif dalam masing-masing

Pokja IGT?

Dalam Kebijakan Satu Peta ini, proses

yang terus didorong tidak semata-mata

memang karena kepentingan masyarakat

yang terkait konflik dan lain sebagainya.

Tidak melihat hanya sebatas itu. Tapi ada

hal-hal lain yang menurut kami itu harus

dibereskan berkaitan dengan permasalahan

yang terjadi dikarenakan oleh persoalan-

persoalan dalam pemetaan di Indonesia.

Secara khusus, dalam berhubungan dengan

Kementerian/Lembaga tetap dalam koridor

hubungan antar lembagaan negara dengan

tingkat kebutuhan yang lebih jelas.

Misalnya, Kantor Staf Presiden

memfasilitasi proses antar kementerian.

Kemudian juga, bagaimana mendapat

dukungan politik yang lebih luas. Karena ini

kantornya Presiden, maka termasuk juga

bagaimana mengakselerasi komunikasi-

komunikasi terkait dengan program

prioritas Presiden.

Memang tantangannya, dalam

pemerintahan itu cenderung sukses tercapai

kalau program itu ada di dalam satu

kementerian. Kemudian eskalasinya

semakin berat ketika suatu program itu

lintas kementerian. Semakin berat lagi,

kalau programnya lintas menko

(Kementerian Koordinasi, red). Semakin

repot lagi, kalau program itu lintas menko

dan melibatkan pemerintahan daerah.

Kebijakan satu peta ini kan tidak langsung

Page 13: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

12KABAR JKPP

13

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

Dengan hal ini, kita bisa melihat subjek-

subjek hukum yang bermasalah terutama

antara masyarakat dengan aparat negara

atau dengan swasta, termasuk mengetahui

lebih lengkap terkait persoalan administrasi

pemerintahannya. Oleh karenanya, kami

melihat bahwa Kebijakan Satu Peta itu

menjadi sangat strategis.

Kantor Staf Presiden dalam

mengimplementasikan tugasnya

adalah dalam kerangka visi dan misi

Kepresidenan, sebenarnya apa

prioritas Presiden saat ini?

Kami banyak bekerja di inisiatif open

government dan one data. Di Kantor Staf

Presiden sendiri, program-program

Prioritas Pemerintah dilihat dari dua

prioritas ini. Kami sebenarnya terbuka

ketika ada kebutuhan dari lintas

kementerian dan lembaga yang memang

membutuhkan fasilitasi proses dari Kantor

Staf Presiden. Pertama ada keuntungannya,

karena proses komunikasi dengan Presiden

bisa lebih cepat terutama kalau ada

hambatan dan kendala yang dihadapi oleh

Kementerian/Lembaga. Paling pokok

sebenarnya, karena memang tugasnya

(Kantor Staf Presiden, red) dalam banyak

kesempatan menyiapkan bahan-bahan

yang menjadi pertimbangan-pertimbangan

Presiden, maka kami adalah back office-nya

Presiden.

Lalu, bisakah kita menempatkan

Kebijakan Satu Peta ini dalam

Prioritas Presiden saat ini?

Jadi, Kebijakan Satu Peta itu bisa

membantu untuk memperjelas target-target

yang disiapkan oleh pemerintah. Misalnya

soal target pemerintah dengan segala

kritiknya, soal perhutanan sosial ada 12,7

juta Ha. Lalu, target pemerintah terkait

reforma agraria ada 9 juta Ha. Lalu, lahan

yang 12,7 Ha dan 9 juta Ha ini mau

didudukan dimana? Dalam konteks

Kebijakan Satu Peta ini, jangan dilihat

bahwa peta ini hanya dibutuhkan oleh

institusi yang hanya berkaitan dengan

spasial atau keruangan. Karena ketika

berbicara soal pembangunan maka yang

harus kita lihat bukan hanya akses

ruangnya saja tapi ruangnya mau diisi

seperti apa. Misalnya, kita bicara tentang

perhutanan sosial tidak cukup dengan

memberikan legalisasi penguasaan atau

pengelolaan yang dilakukan oleh

masyarakat. Akan tetapi, bagaimana

penguasaan dan pengelolaan itu juga bisa

berjalan. Seperti Menteri Koperasi dan

UKM misalnya, bukanlah kementerian yang

mengurusi keruangan tetapi perlu tahu

berapa luas dan dimana saja petani-petani

atau pekebun-pekebun atau masyarakat

yang mengelola hutan yang memang perlu

didukung. Hal ini penting untuk penguatan

secara kelembagaan ekonomi mereka untuk

usaha kecil, menengah dan koperasi. Itulah

tuntutan yang ada dan karena itulah tugas

kami untuk mengawal bagaimana ini bisa

terimplementasi.

Dalam konteks Kebijakan Satu Peta

yang sudah bergulir sejak berdirinya

BIG dan dibentuknya Pokja IGT,

Bagaimana Kantor Staf Presiden

memonitor dan membantu kinerja BIG

dan Pokja ini?

Peran kantor Kantor Staf Presiden ini

yang paling utama itu kan 'debottlenecking'.

Jadi, sumbat-sumbat botolnya (sumbatan

kebijakan, red) itu ada dimana, maka akan

diupayakan perbaikannya. Dalam hal

Kebijakan Satu Peta tentu yang

mengurusinya adalah kementerian/lembaga

teknis. Kantor Staf Presiden secara fungsi

memang tidak mengambil alih suatu

pekerjaan dari kementerian/lembaga teknis.

Terkecuali, dari kewenangan

kementerian/lembaga teknis hendak

didorong suatu proses perubahan, dan

dalam proses itu Kantor Staf Presiden dapat

berperan untuk mempersiapkan rumusan

dokumen kebijakannya. Dalam pengalaman

di Kantor Staf Presiden, ketika tim kerja

Reforma Agraria bekerja, maka sisi

teknisnya, seperti menyelenggarakan

workshop, diskusi dan lain sebagainya tetap

dipegang oleh Kementerian terkait. Kantor

Staf Presiden menyiapkan rumusan

arahannya. Jadi, Kantor Staf Presiden tidak

akan masuk ke soal-soal teknis itu.

Sudah sampai dimana proses

sinkronisasi dan integrasi Peta

Partisipatif dalam masing-masing

Pokja IGT?

Dalam Kebijakan Satu Peta ini, proses

yang terus didorong tidak semata-mata

memang karena kepentingan masyarakat

yang terkait konflik dan lain sebagainya.

Tidak melihat hanya sebatas itu. Tapi ada

hal-hal lain yang menurut kami itu harus

dibereskan berkaitan dengan permasalahan

yang terjadi dikarenakan oleh persoalan-

persoalan dalam pemetaan di Indonesia.

Secara khusus, dalam berhubungan dengan

Kementerian/Lembaga tetap dalam koridor

hubungan antar lembagaan negara dengan

tingkat kebutuhan yang lebih jelas.

Misalnya, Kantor Staf Presiden

memfasilitasi proses antar kementerian.

Kemudian juga, bagaimana mendapat

dukungan politik yang lebih luas. Karena ini

kantornya Presiden, maka termasuk juga

bagaimana mengakselerasi komunikasi-

komunikasi terkait dengan program

prioritas Presiden.

Memang tantangannya, dalam

pemerintahan itu cenderung sukses tercapai

kalau program itu ada di dalam satu

kementerian. Kemudian eskalasinya

semakin berat ketika suatu program itu

lintas kementerian. Semakin berat lagi,

kalau programnya lintas menko

(Kementerian Koordinasi, red). Semakin

repot lagi, kalau program itu lintas menko

dan melibatkan pemerintahan daerah.

Kebijakan satu peta ini kan tidak langsung

Page 14: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

14 KABAR JKPP

15

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

dikendalikan oleh Kantor Staf Presiden.

Kebijakan Satu Peta itu, kebutuhannya itu

ada. Kemudian ditinjau dari concernnya

Presiden dengan berbagai kementerian

yang menjalankan mandat undang-undang

yang ada, maka tantangan sebenarnya

adalah menjalankan rencana kerja

pemerintah sesuai RKP tahunan yang

diturunkan dari RPJMN. Kementerian

menjalankan mandatnya sesuai undang-

undang terkait tupoksinya kan gak salah.

Kebijakan Satu Peta ini kalau sesuai

undang-undang dan Perpres yang berlaku

berada pada ranahnya BIG. Lalu, dalam

RKP setiap Kementerian/Lembaga,

bagaimana Kebijakan Satu Peta ini menjadi

prioritas di dalam konteks kerja lintas

kementerian? Hal itu menjadi satu

pertanyaan politis sebenarnya. Pertama

sekali, Kantor Staf Presiden biasanya

bergerak ketika sudah muncul keluhan-

keluhan terhadap proses pelaksanaannya.

Kedua, ketika Kantor Staf Presiden

menemukan kelambtan-kelambatan di

dalam proses yang berjalan untuk

menjawab kebutuhan-kebutuhan terhadap

implementasi program atau arahan yang

dari Presiden.

Bagaimana kebijakan teknis

pendukung tersedia yang menjamin

adanya proses implementsi Kebijakan

Satu Peta itu?

Sekarang itu fase konsolidasi data peta di

tingkat pemerintah. Selain itu, terkait

pemetaan masyarakat sipil memang ada

rencana untuk bagaimana mengakuisisi

soal peta-peta yang dihasilkan oleh

organisasi masyarakat sipil itu. Tetapi

pekerjaan rumah yang pertamanya itu

konsolidasi di tingkat pemerintahan yang

belum selesai.

Sebenarnya Kantor Staf Presiden sudah

memberikan concern soal ini. Kalau kita

bicara ruang hari ini, maka yang banyak

dibicarakan itu adalah Reforma Agraria

dan Perhutan Sosial. Kedua hal itu sudah

dibahas dalam rapat terbatas kabinet.

Rapat terbatas kabinetnya sudah ada, ada

persoalan terkait kebutuhan-kebutuhan

data dan kami sendiri butuh untuk

mendapatkan data itu secara terbuka.

Untuk reforma agraria, pemenuhannya

akan diperoleh sebagian dari 0,4 juta Ha

dari HGU terlantar. Lalu, Presiden akan

bertanya: “Berada dimana saja lahan itu?”

Kemudian, sebagian lagi dari pelepasan

kawasan hutan 4,1 juta Ha. Pertanyaanya:

“Dimana saja itu?”

Ada juga persoalan terkait transmigran

yang belum jelas aspek legalnya. Walaupun

transmigrasi itu program lama pemerintah,

tapi ternyata banyak sekali masalah dari

aspek legal dan alokasi lahan yang berbeda

di lapang. Kami melihat memang penting

bagi kementerian untuk secara transparan

membuka data itu. Kemudian, peta-peta

yang dikeluarkan oleh kementerian itu

bukanlah peta- peta final maka disebut peta

indikatif. Tujuannya sebenarnya agar bisa

diverifikasi. Dua agenda besar ini tidak

akan jalan kalau petanya tidak transparan.

Apa yang dibutuhkan untuk

memperkecil kesenjangan antara

kebijakan dan implementasi

Kebijakan Satu Peta ini?

Pertama, keseluruhan proses-proses ini

akan terus diikuti oleh Kantor Staf Presiden

dengan keterlibatan di dalam Kebijakan

Satu Peta ini. Kedua, setiap concern yang

dihadapi sudah dikomunikasikan dengan

kementerian terkait. Akan tetapi, situasinya

saat ini terjadi pemotongan anggaran.

Kedepannya, diperlukan strategi komunikasi

yang baik terutama oleh BIG yang menjadi

tumpuan dalam pelaksanaan Kebijakan

Satu Peta ini. Terutama dalam komunikasi

dengan publik agar segala sesuatunya bisa

terlaksana. Kemudian proses-proses

konsolidasi dan akuisisi peta dari

kementerian itu harus bisa dipercepat.

Mengenai keterlibatan CSO (Organisasi

Masyarakat Sipil, red), juga sebaiknya

memang diatur. Karena tidak mungkin

pemerintah berlama-lama mengatakan

akan terus melakukan konsolidasi dan

akuisisi dilevel kementerian dan lembaga.

Karena disisi lain peran serta dan

partisipasi masyarakatnya juga memang

dibutuhkan untuk Kebijakan Satu Peta ini.

Karena, itu (Kebijakan Satu Peta, red) tidak

dirancang untuk menjawab kebutuhan

pemerintahan saja tetapi untuk menjawab

kebutuhan nasional. Ketika kita bicara

kebutuhan nasional, maka semua elemen

stakeholder yang ada memiliki kepentingan

atas output atau capaian-capaian dari

Kebijakan Satu Peta ini.

Jadi, kembali lagi, kalau tentang keluhan

secara formal itu kepada kami belum ada.

Karena dalam Kebijakan Satu Peta saat ini

sedang pada fase yang difokuskan pada

internal Kementerian/Lembaga. Nantinya,

BIG memang memerlukan strategi

komunikasi yang mumpuni, baik terhadap

Kementerian/ Lembaga maupun kepada

masyarakat sipil.

Apa kira-kira kebutuhan mendesak

dari Kebutuhan Satu Peta ini ke

depannya dalam skala prioritas

Presiden?

Kantor Staf Presiden memiliki Situation

Room, yang menjadi media dalam

merumuskan berbagai macam masukan dan

juga memang dirancang untuk kebutuhan

Presiden. Segala sesuatu yang terkait

dengan peta memang menjadi sangat

dibutuhkan. Presiden sedang concern

dengan karhutla (Kebakaran Hutan dan

Lahan. Red), juga soal konflik. Kedua hal itu

harus didudukan dalam suatu ruang.

Penting untuk tahu ruangnya ada dimana.

Jadi, bukan lagi soal data berapa jumlah

konfliknya yang kita butuh. Akan tetapi,

dimana titik api itu berada, dimana titik

kebakaran itu ada dan dimana konflik

dengan masyarakat itu berada. Itu harus

dimasukan dalam ruang yang tepat.

Dari segi kelembagaan, apakah ada

hambatan bagi BIG menjalankan

tugasnya?

Saat ini, belum ada evaluasi secara

khusus terkait dengan kebijakan satu peta

ini. Tetapi, BIG dalam menjalankan mandat

ini bersama-sama kementerian lain juga

dalam struktur, kedudukan dan

kewenangan yang masing-masing

dimilikinya. Hal ini disadari sehingga Tim

Percepatan Kebijakan Satu Peta ini dipimpin

oleh Kemenko Perekonomian. Kendala-

Page 15: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

14 KABAR JKPP

15

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

dikendalikan oleh Kantor Staf Presiden.

Kebijakan Satu Peta itu, kebutuhannya itu

ada. Kemudian ditinjau dari concernnya

Presiden dengan berbagai kementerian

yang menjalankan mandat undang-undang

yang ada, maka tantangan sebenarnya

adalah menjalankan rencana kerja

pemerintah sesuai RKP tahunan yang

diturunkan dari RPJMN. Kementerian

menjalankan mandatnya sesuai undang-

undang terkait tupoksinya kan gak salah.

Kebijakan Satu Peta ini kalau sesuai

undang-undang dan Perpres yang berlaku

berada pada ranahnya BIG. Lalu, dalam

RKP setiap Kementerian/Lembaga,

bagaimana Kebijakan Satu Peta ini menjadi

prioritas di dalam konteks kerja lintas

kementerian? Hal itu menjadi satu

pertanyaan politis sebenarnya. Pertama

sekali, Kantor Staf Presiden biasanya

bergerak ketika sudah muncul keluhan-

keluhan terhadap proses pelaksanaannya.

Kedua, ketika Kantor Staf Presiden

menemukan kelambtan-kelambatan di

dalam proses yang berjalan untuk

menjawab kebutuhan-kebutuhan terhadap

implementasi program atau arahan yang

dari Presiden.

Bagaimana kebijakan teknis

pendukung tersedia yang menjamin

adanya proses implementsi Kebijakan

Satu Peta itu?

Sekarang itu fase konsolidasi data peta di

tingkat pemerintah. Selain itu, terkait

pemetaan masyarakat sipil memang ada

rencana untuk bagaimana mengakuisisi

soal peta-peta yang dihasilkan oleh

organisasi masyarakat sipil itu. Tetapi

pekerjaan rumah yang pertamanya itu

konsolidasi di tingkat pemerintahan yang

belum selesai.

Sebenarnya Kantor Staf Presiden sudah

memberikan concern soal ini. Kalau kita

bicara ruang hari ini, maka yang banyak

dibicarakan itu adalah Reforma Agraria

dan Perhutan Sosial. Kedua hal itu sudah

dibahas dalam rapat terbatas kabinet.

Rapat terbatas kabinetnya sudah ada, ada

persoalan terkait kebutuhan-kebutuhan

data dan kami sendiri butuh untuk

mendapatkan data itu secara terbuka.

Untuk reforma agraria, pemenuhannya

akan diperoleh sebagian dari 0,4 juta Ha

dari HGU terlantar. Lalu, Presiden akan

bertanya: “Berada dimana saja lahan itu?”

Kemudian, sebagian lagi dari pelepasan

kawasan hutan 4,1 juta Ha. Pertanyaanya:

“Dimana saja itu?”

Ada juga persoalan terkait transmigran

yang belum jelas aspek legalnya. Walaupun

transmigrasi itu program lama pemerintah,

tapi ternyata banyak sekali masalah dari

aspek legal dan alokasi lahan yang berbeda

di lapang. Kami melihat memang penting

bagi kementerian untuk secara transparan

membuka data itu. Kemudian, peta-peta

yang dikeluarkan oleh kementerian itu

bukanlah peta- peta final maka disebut peta

indikatif. Tujuannya sebenarnya agar bisa

diverifikasi. Dua agenda besar ini tidak

akan jalan kalau petanya tidak transparan.

Apa yang dibutuhkan untuk

memperkecil kesenjangan antara

kebijakan dan implementasi

Kebijakan Satu Peta ini?

Pertama, keseluruhan proses-proses ini

akan terus diikuti oleh Kantor Staf Presiden

dengan keterlibatan di dalam Kebijakan

Satu Peta ini. Kedua, setiap concern yang

dihadapi sudah dikomunikasikan dengan

kementerian terkait. Akan tetapi, situasinya

saat ini terjadi pemotongan anggaran.

Kedepannya, diperlukan strategi komunikasi

yang baik terutama oleh BIG yang menjadi

tumpuan dalam pelaksanaan Kebijakan

Satu Peta ini. Terutama dalam komunikasi

dengan publik agar segala sesuatunya bisa

terlaksana. Kemudian proses-proses

konsolidasi dan akuisisi peta dari

kementerian itu harus bisa dipercepat.

Mengenai keterlibatan CSO (Organisasi

Masyarakat Sipil, red), juga sebaiknya

memang diatur. Karena tidak mungkin

pemerintah berlama-lama mengatakan

akan terus melakukan konsolidasi dan

akuisisi dilevel kementerian dan lembaga.

Karena disisi lain peran serta dan

partisipasi masyarakatnya juga memang

dibutuhkan untuk Kebijakan Satu Peta ini.

Karena, itu (Kebijakan Satu Peta, red) tidak

dirancang untuk menjawab kebutuhan

pemerintahan saja tetapi untuk menjawab

kebutuhan nasional. Ketika kita bicara

kebutuhan nasional, maka semua elemen

stakeholder yang ada memiliki kepentingan

atas output atau capaian-capaian dari

Kebijakan Satu Peta ini.

Jadi, kembali lagi, kalau tentang keluhan

secara formal itu kepada kami belum ada.

Karena dalam Kebijakan Satu Peta saat ini

sedang pada fase yang difokuskan pada

internal Kementerian/Lembaga. Nantinya,

BIG memang memerlukan strategi

komunikasi yang mumpuni, baik terhadap

Kementerian/ Lembaga maupun kepada

masyarakat sipil.

Apa kira-kira kebutuhan mendesak

dari Kebutuhan Satu Peta ini ke

depannya dalam skala prioritas

Presiden?

Kantor Staf Presiden memiliki Situation

Room, yang menjadi media dalam

merumuskan berbagai macam masukan dan

juga memang dirancang untuk kebutuhan

Presiden. Segala sesuatu yang terkait

dengan peta memang menjadi sangat

dibutuhkan. Presiden sedang concern

dengan karhutla (Kebakaran Hutan dan

Lahan. Red), juga soal konflik. Kedua hal itu

harus didudukan dalam suatu ruang.

Penting untuk tahu ruangnya ada dimana.

Jadi, bukan lagi soal data berapa jumlah

konfliknya yang kita butuh. Akan tetapi,

dimana titik api itu berada, dimana titik

kebakaran itu ada dan dimana konflik

dengan masyarakat itu berada. Itu harus

dimasukan dalam ruang yang tepat.

Dari segi kelembagaan, apakah ada

hambatan bagi BIG menjalankan

tugasnya?

Saat ini, belum ada evaluasi secara

khusus terkait dengan kebijakan satu peta

ini. Tetapi, BIG dalam menjalankan mandat

ini bersama-sama kementerian lain juga

dalam struktur, kedudukan dan

kewenangan yang masing-masing

dimilikinya. Hal ini disadari sehingga Tim

Percepatan Kebijakan Satu Peta ini dipimpin

oleh Kemenko Perekonomian. Kendala-

Page 16: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

16 KABAR JKPP

17

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

kendala yang dihadapi ini, secara prinsip

itu jelas tapi secara proses kadang agak

lambat. Saya memeriksa hasil pertemuan

terkait Kebijakan Satu Peta ini, salah satu

kendala yang ditemukan bahwa data yang

dimiliki pemerintah belum standar satu

dengan yang lain. Selain soal kualitas data

yang belum terstandar, masalah kedua

adalah belum tersedianya semua data yang

dibutuhkan. Misalnya peta desa, banyak

desa yang belum ada petanya, banyak peta-

peta itu belum tersedia dengan cukup baik.

Selain itu, catatan dari pertemuan terakhir

di Kantor Staf Presiden adalah terkait

dengan pengetahuan publik. Sampai

sekarang, belum ada strategi komunikasi

yang komprehensif dari Kebijakan Satu

Peta. Bagaimana berkomunikasi tentang

perkembangan yang ada belum dijalankan,

karena saat ini Kementerian/Lembaga

masih sangat berkonsentrasi pada proses

collecting dan konsolidasi ditingkat

kementerian lembaga.

Dalam konteks ini, sebenarnya menjadi

tantangan, juga sekaligus menjadi

rekomendasi. Pertama, BIG harus mampu

membawa proses ini secara transparan.

Artinya, kendala-kendala yang dihadapi

BIG tidak mungkin cukup hanya diketahui

oleh BIG saja atau institusi atau kelompok-

kelompok yang concern saja terhadap

Kebijakan Satu Peta ini saja. Kedua,

Kebijakan Satu Peta ini belum dipahami

secara baik oleh kementerian dan lembaga,

bahwa ada objektif besar yang akan dicapai

dengan Kebijakan Satu Peta ini. Ketiga,

penanganan conflik of interest yang terjadi

di Kementerian/Lembaga harus dicarikan

jalan keluar. Dalam mengatasi tiga hal ini,

BIG harus bisa memainkan peran aktif.

Karena kalau dari pengamatan kita secara

cepat, BIG ini merupakan satu institusi

teknis yang scientific-based yang juga perlu

memahami komunikasi, baik lintas

kementerian/lembaga maupun komunikasi

publik. Selain itu juga harus sadar dengan

persoalan-persoalan politis yang terjadi

dibalik kemacetan yang ada saat ini.

Selain masalah sinkronisasi data

spasial untuk menuju kebijakan satu

peta ini, bagaimana implementasi

kedepannya?

Kalau dari akuisisi sudah beres, perlu

dipersiapkan kebijakan lainnya yang

dibutuhkan. Karena ketika suatu kebijakan

dikatakan final, maka akan berlaku secara

nasional. Kita memerlukan sistem

administrasi yang tepat dan harus

diputuskan oleh Pemerintah. Untuk urusan

teknis terkait, misalnya urusan hutan adat

ada di KLHK, kemudian kalau tanah-tanah

adat di luar kawasan hutan itu tanggung

jawabnya ATR. Dalam konteks Masyarakat

Adat secara keseluruhan disebut wilayah

adat. Jadi, hutan adat dan tanah-tanah

adat mereka ini dalam praktek

berpemerintahan akhirnya terbagi dua dan

menempuh jalan sendiri-sendiri. Skema-

skema yang dibuat pemerintah tentu juga

akan mempengaruhi masyarakat dalam

melihat wilayah adatnya karena di

dalamnya akan ada hutan adatnya dan ada

tanah adatnya. Dibalik dua proses yang

harus dilalui oleh Masyarakat Adat saat ini

harus dibangun suatu sistem administrasi

nantinya yang juga berkaitan dengan

kebijakan tentang standar pemetaan itu

sendiri.

Kapan Kebijakan Satu Peta ini akan

menjadi bagian dari evaluasi Presiden?

Evaluasi satu tahun itu sangat

memungkin terjadi karena kan Perpresnya

sudah dikeluarkan tahun ini (2016). Kantor

Staf Presiden tentu akan terus mengikuti

proses ini, menemukan sumbatan di tingkat

Kementerian dan mendorong perbaikan,

selanjutnya mendorong peran serta

masyarakat menjadi penting untuk

ditindaklanjuti. Secara umum, yang harus

dipikirkan sebenarnya didalam konteks

kebijakan satu peta ini adalah: (i) soal

kesenjangan-kesenjangan regulasi; (ii) soal

standar-standar yang harus dipenuhi; (iii)

mekanisme partisipasinya seperti apa (iv)

mekanisme publik yang lebih luasnya harus

dibangun dan disusun; (v) mekanisme

keluhan (komplain) untuk ruang-ruang

ketidakcocokan atau ketidaksesuaian di

antara para pihak misalnya masyarakat

merasa tidak puas atau kelompok-kelompok

lain merasa tidak puas.

Selain itu, karena Kebijakan Satu Peta

memang lintas kementerian, walaupun

makin berat tapi dalam konsolidasi mau

tidak mau Kementerian/Lembaga harus

kerja sama.

Partisipasi Masyarakat dan Kebijakan Nasional Tata Ruang: Menakar Kepentingan Para Pemangku

Kepentingan

Sandoro Purba S.H.Spatial LAW Division

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Gagasan Atas Ruang

Hubungan Manusia dengan ruang, serta

pemaknaan keruangan melalui penguasaan

dan pemanfaatan kiranya akan tetap

menjadi sebuah pertaruangan ide antara

identitas-identitas yang ada. Penguasaan

ruang di Indonesia sangat erat dipengaruhi

oleh pemberlakuan hukum kerajaan Belanda

dimasa lalu melalui prinsip konkordansi.

Peradaban manusia telah mengalami pahit

getir perubahan penguasaan ruang.

Setidaknya, dari zaman penaklukan antar

suku sampai pada era kolonial berlangsung.

Dalam konteks Indonesia, sebelum merdeka

dan menjadi sebuah Negara yang berdiri

sendiri, setidaknya Indonesia mengalami

pemberlakuan hukum dari penjajahnya

melalui prinsip konkordansi. Dimana,

hukum Kerajaan Belanda diberlakukan di

Hindia Belanda ketika itu. Hal ini

berimplikasi pada konsep ruang, aturan

mengenai penataan ruang itu sendiri serta

hak tenurial (konsep kepemilikan atas benda

dan sumber penghidupan) yang ada di

masyarakat.

K A B A R U T A M A

Page 17: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

16 KABAR JKPP

17

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

kendala yang dihadapi ini, secara prinsip

itu jelas tapi secara proses kadang agak

lambat. Saya memeriksa hasil pertemuan

terkait Kebijakan Satu Peta ini, salah satu

kendala yang ditemukan bahwa data yang

dimiliki pemerintah belum standar satu

dengan yang lain. Selain soal kualitas data

yang belum terstandar, masalah kedua

adalah belum tersedianya semua data yang

dibutuhkan. Misalnya peta desa, banyak

desa yang belum ada petanya, banyak peta-

peta itu belum tersedia dengan cukup baik.

Selain itu, catatan dari pertemuan terakhir

di Kantor Staf Presiden adalah terkait

dengan pengetahuan publik. Sampai

sekarang, belum ada strategi komunikasi

yang komprehensif dari Kebijakan Satu

Peta. Bagaimana berkomunikasi tentang

perkembangan yang ada belum dijalankan,

karena saat ini Kementerian/Lembaga

masih sangat berkonsentrasi pada proses

collecting dan konsolidasi ditingkat

kementerian lembaga.

Dalam konteks ini, sebenarnya menjadi

tantangan, juga sekaligus menjadi

rekomendasi. Pertama, BIG harus mampu

membawa proses ini secara transparan.

Artinya, kendala-kendala yang dihadapi

BIG tidak mungkin cukup hanya diketahui

oleh BIG saja atau institusi atau kelompok-

kelompok yang concern saja terhadap

Kebijakan Satu Peta ini saja. Kedua,

Kebijakan Satu Peta ini belum dipahami

secara baik oleh kementerian dan lembaga,

bahwa ada objektif besar yang akan dicapai

dengan Kebijakan Satu Peta ini. Ketiga,

penanganan conflik of interest yang terjadi

di Kementerian/Lembaga harus dicarikan

jalan keluar. Dalam mengatasi tiga hal ini,

BIG harus bisa memainkan peran aktif.

Karena kalau dari pengamatan kita secara

cepat, BIG ini merupakan satu institusi

teknis yang scientific-based yang juga perlu

memahami komunikasi, baik lintas

kementerian/lembaga maupun komunikasi

publik. Selain itu juga harus sadar dengan

persoalan-persoalan politis yang terjadi

dibalik kemacetan yang ada saat ini.

Selain masalah sinkronisasi data

spasial untuk menuju kebijakan satu

peta ini, bagaimana implementasi

kedepannya?

Kalau dari akuisisi sudah beres, perlu

dipersiapkan kebijakan lainnya yang

dibutuhkan. Karena ketika suatu kebijakan

dikatakan final, maka akan berlaku secara

nasional. Kita memerlukan sistem

administrasi yang tepat dan harus

diputuskan oleh Pemerintah. Untuk urusan

teknis terkait, misalnya urusan hutan adat

ada di KLHK, kemudian kalau tanah-tanah

adat di luar kawasan hutan itu tanggung

jawabnya ATR. Dalam konteks Masyarakat

Adat secara keseluruhan disebut wilayah

adat. Jadi, hutan adat dan tanah-tanah

adat mereka ini dalam praktek

berpemerintahan akhirnya terbagi dua dan

menempuh jalan sendiri-sendiri. Skema-

skema yang dibuat pemerintah tentu juga

akan mempengaruhi masyarakat dalam

melihat wilayah adatnya karena di

dalamnya akan ada hutan adatnya dan ada

tanah adatnya. Dibalik dua proses yang

harus dilalui oleh Masyarakat Adat saat ini

harus dibangun suatu sistem administrasi

nantinya yang juga berkaitan dengan

kebijakan tentang standar pemetaan itu

sendiri.

Kapan Kebijakan Satu Peta ini akan

menjadi bagian dari evaluasi Presiden?

Evaluasi satu tahun itu sangat

memungkin terjadi karena kan Perpresnya

sudah dikeluarkan tahun ini (2016). Kantor

Staf Presiden tentu akan terus mengikuti

proses ini, menemukan sumbatan di tingkat

Kementerian dan mendorong perbaikan,

selanjutnya mendorong peran serta

masyarakat menjadi penting untuk

ditindaklanjuti. Secara umum, yang harus

dipikirkan sebenarnya didalam konteks

kebijakan satu peta ini adalah: (i) soal

kesenjangan-kesenjangan regulasi; (ii) soal

standar-standar yang harus dipenuhi; (iii)

mekanisme partisipasinya seperti apa (iv)

mekanisme publik yang lebih luasnya harus

dibangun dan disusun; (v) mekanisme

keluhan (komplain) untuk ruang-ruang

ketidakcocokan atau ketidaksesuaian di

antara para pihak misalnya masyarakat

merasa tidak puas atau kelompok-kelompok

lain merasa tidak puas.

Selain itu, karena Kebijakan Satu Peta

memang lintas kementerian, walaupun

makin berat tapi dalam konsolidasi mau

tidak mau Kementerian/Lembaga harus

kerja sama.

Partisipasi Masyarakat dan Kebijakan Nasional Tata Ruang: Menakar Kepentingan Para Pemangku

Kepentingan

Sandoro Purba S.H.Spatial LAW Division

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Gagasan Atas Ruang

Hubungan Manusia dengan ruang, serta

pemaknaan keruangan melalui penguasaan

dan pemanfaatan kiranya akan tetap

menjadi sebuah pertaruangan ide antara

identitas-identitas yang ada. Penguasaan

ruang di Indonesia sangat erat dipengaruhi

oleh pemberlakuan hukum kerajaan Belanda

dimasa lalu melalui prinsip konkordansi.

Peradaban manusia telah mengalami pahit

getir perubahan penguasaan ruang.

Setidaknya, dari zaman penaklukan antar

suku sampai pada era kolonial berlangsung.

Dalam konteks Indonesia, sebelum merdeka

dan menjadi sebuah Negara yang berdiri

sendiri, setidaknya Indonesia mengalami

pemberlakuan hukum dari penjajahnya

melalui prinsip konkordansi. Dimana,

hukum Kerajaan Belanda diberlakukan di

Hindia Belanda ketika itu. Hal ini

berimplikasi pada konsep ruang, aturan

mengenai penataan ruang itu sendiri serta

hak tenurial (konsep kepemilikan atas benda

dan sumber penghidupan) yang ada di

masyarakat.

K A B A R U T A M A

Page 18: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

18KABAR JKPP

19

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

Salah satu contoh yang bisa diangkat

adalah unit sosial Nagari dan Negeri. Franz

dan Keebet mengemukakan adanya

persaingan antara dua entitas yaitu lembaga

adat dan lembaga pemerintah dalam

pemanfaatan ruang dengan mengambil

contoh Nagari di Sumatera Barat dan

Negeri di Maluku. Gagasan atas ruang

dibentuk oleh hak ekonomi dan hak politik.

Kondisi sosio politiklah yang membentuk

bagaimana pengaturan ruang dan

bagaimana pemanfaatannya. Sehingga,

dalam perkembangan Nagari dan Negeri

adalah buah pertemuan struktur lokal

dengan pemerintahan Hindia Belanda pada

masa penaklukan Kerajaan Belanda (dengan

didahului VOC sebelumnya) dan kemudian

di masa pemerintahan Republik Indonesia

dengan struktur pemerintahan yang

sentralistik. Persaingan hadir dan saling

mencari celah antara lembaga

tradisional—yang memiliki dimensi politik

dan berkuasa membentuk konstruksi atas

ruang—dan lembaga pemerintahan yang

diseragamkan yaitu Desa—yang beroleh

legitimasi dari Negara tampil di lapangan

juga dapat mengkonstruksi ruang (Benda-

Beckmann & Benda-Beckmann, 2009).

Penyeragaman struktur kelembagaan

komunitas yang multi kultural menjadi desa

menjadi masa awal penaklukan unit-unit

sosial kampung yang otonom yang dilakukan

oleh Negara. Yando Zakaria menguraikan

perubahan ini dalam bukunya Abih Tandeh,

dimana penyeragaman Desa untuk seluruh

wilayah Indonesia menjadi awal penaklukan

dari unit-unit khas yang tadinya otonom

(atau diharapkan menjadi otonom setelah

masa penjajahan terdahulu) menjadi

berpusat segala-galanya pada negara—yang

oleh Soetadio Wignosoebroto disebut

Etatisasi.

Bentuk kelembagaan adat/lokal yang

dimiliki komunitas pada era kolonial dan

setelah lahirnya Indonesia, tetap pada posisi

saling beradu dan berusaha sedapat

mungkin mempertahankan kedudukannya

atas ruang.

Etatisasi

Etatisasi, sebuah ungkapan yang mewakili

kondisi ketika segala-galanya musti berpusat

pada negara. Dan hal yang paling utama

yang dijadikan landasannya adalah hukum.

Etatisasi hukum dilakukan dengan

memberlakukan unifikasi hukum. Sebuah

upaya untuk menyeragamkan hukum yang

berlaku tanpa memberikan perhatian pada

pelbagai hukum yang hidup dalam suasana

multikultural. Sebagaimana fungsi wilayah

juga menjadi urusan negara yang ditetapkan

kebanyakan tanpa melihat fakta sosial.

Dimana, pemusatan kegiatan menjadi salah

satu unsur paling kerap dilakukan sehingga

orang menumpuk pada suatu wilayah

meninggalkan kawasan perdesaan.

Terkadang (atau bahkan lebih sering) nilai

ekonomi yang lebih besar menjadi acuan

utama tanpa memperhatikan keadaan sosial

budaya dan kepedulian lingkungan hidup.

Salah satu bentuk unifikasi hukum yang

dapat kita temui adalah pemberlakuan

Bugerlijk Wetbook (BW) dari Belanda—yang

saat ini diterjemahkan menjadi Kitab

Undang-undang Hukum Perdata

(KUHPerdata). Melalui KUHPerdata, aturan

kepemilikan tanah cenderung diseragamkan

oleh Negara. Hak kebendaan diterjemahkan

dalam hukum kebendaan (properti: berkaitan

kepemilikan) bukan menurut apa yang

dipahami oleh masyarakat secara nyata di

lapangan. Secara sadar atau tidak sadar,

hukum kepemilikan benda yang diterapkan

dengan KUHPerdata akan memperpanjang

lagi masa-masa domain verklaaring.

Dimana, sepanjang seseorang tidak bisa

membuktikan kepemilikannya atas suatu

tanah, maka tanah itu adalah milik Negara.

Banyak hak kebendaan yang secara lokal

berlaku dalam masyarakat tidak ada

padanannya dalam KUHPerdata. Karena itu 1

UUPA ada untuk mengoreksi itu untuk

menegaskan bentuk-bentuk penguasaan

masyarakat atas sumber daya agraria dan

hubungan-hubungan hukum yang boleh

mereka lakukan. Sejauh ini belum ada

pengaturan itu dengan kata lain belum

diperinci lagi. Sehingga, Tanah Ulayat dan

Hak Komunal lain serupa itu masih sulit 2

diimplementasikan . Akhirnya, di

lapangan masyarakat berupaya

menyesuaikan diri dengan

keberlakuan KUHPerdata ini, yaitu

mencoba memperoleh bukti tertulis

atas penguasaanya atas tanah. Tetapi

tidak semua bisa diakomodir dengan sistem

pencatatan Negara terutama untuk dapat

dibuatkan akta otentiknya di lapangan oleh

PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), yang

berwenang untuk itu. Seperti kepemilikan

seseorang di Kalimantan salah satunya

adalah tembawang, maka tidak mungkin

akan dicatatkan dalam administrasi

pertanahan negara. Belakangan ini,

masyarakat menggunakan mekanisme baru

dengan menumpang pada tingkat

pemerintahan yang paling rendah yang

diakomodir dengan Surat Keterangan Tanah

Adat (SKTA). Meskipun tidak sekuat Hak

Milik yang diterbitkan oleh Negara, tetapi

bisa memberikan perlindungan dalam tingkat

lokal.

Pencatatan oleh Negara dengan sistem

yang ada sekarang adalah melalui pencatatan

dalam buku tanah yang sejauh ini baru

sebatas Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha

(HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak

Pakai (HP). Selain jenis hak-hak yang sejauh

ini diakui negara, maka jenis hak yang diakui

masyarakat di lapangan tentu akan

diabaikan. Kecuali, Menteri Agraria dan Tata

Ruang No. 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Penetapan Hak Komunal Atas Tanah

Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat

Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu dapat

berlaku nantinya dengan efektif dan efisien.

Di luar itu, maka bisa jadi domain

verklaaring tetap berlaku. Sehingga, kalau

pengakuan pada bentuk-bentuk penguasaan

Masyarakat Adat atau Masyarakat Lokal baik

komunal maupun individu belum diakui,

maka akan lebih banyak HGU dan HGB yang

akan terbit karena prosedur dan aturannya

jauh lebih mudah dan jelas.

1Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, (LN Tahun 1960 No. 104, TLN No. 2043)

2Sekalipun ada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat

Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, hal ini belum memadai. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 10 Tahun 2016 ini mengganti Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 9 Tahun 2015 dengan judul yang sama. Dimana aturan terdahulu adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Sejauh ini, dua aturan lama minim implementasi dan bisa dibilang tida berdaya guna dilapangan.

Perlu diteliti lebih lanjut apakah peraturan baru ini bisa memberikan jawaban atas pengakuan bentuk bentuk penguasaan komunal yang ada di dalam masyarakat.

Page 19: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

18KABAR JKPP

19

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

Salah satu contoh yang bisa diangkat

adalah unit sosial Nagari dan Negeri. Franz

dan Keebet mengemukakan adanya

persaingan antara dua entitas yaitu lembaga

adat dan lembaga pemerintah dalam

pemanfaatan ruang dengan mengambil

contoh Nagari di Sumatera Barat dan

Negeri di Maluku. Gagasan atas ruang

dibentuk oleh hak ekonomi dan hak politik.

Kondisi sosio politiklah yang membentuk

bagaimana pengaturan ruang dan

bagaimana pemanfaatannya. Sehingga,

dalam perkembangan Nagari dan Negeri

adalah buah pertemuan struktur lokal

dengan pemerintahan Hindia Belanda pada

masa penaklukan Kerajaan Belanda (dengan

didahului VOC sebelumnya) dan kemudian

di masa pemerintahan Republik Indonesia

dengan struktur pemerintahan yang

sentralistik. Persaingan hadir dan saling

mencari celah antara lembaga

tradisional—yang memiliki dimensi politik

dan berkuasa membentuk konstruksi atas

ruang—dan lembaga pemerintahan yang

diseragamkan yaitu Desa—yang beroleh

legitimasi dari Negara tampil di lapangan

juga dapat mengkonstruksi ruang (Benda-

Beckmann & Benda-Beckmann, 2009).

Penyeragaman struktur kelembagaan

komunitas yang multi kultural menjadi desa

menjadi masa awal penaklukan unit-unit

sosial kampung yang otonom yang dilakukan

oleh Negara. Yando Zakaria menguraikan

perubahan ini dalam bukunya Abih Tandeh,

dimana penyeragaman Desa untuk seluruh

wilayah Indonesia menjadi awal penaklukan

dari unit-unit khas yang tadinya otonom

(atau diharapkan menjadi otonom setelah

masa penjajahan terdahulu) menjadi

berpusat segala-galanya pada negara—yang

oleh Soetadio Wignosoebroto disebut

Etatisasi.

Bentuk kelembagaan adat/lokal yang

dimiliki komunitas pada era kolonial dan

setelah lahirnya Indonesia, tetap pada posisi

saling beradu dan berusaha sedapat

mungkin mempertahankan kedudukannya

atas ruang.

Etatisasi

Etatisasi, sebuah ungkapan yang mewakili

kondisi ketika segala-galanya musti berpusat

pada negara. Dan hal yang paling utama

yang dijadikan landasannya adalah hukum.

Etatisasi hukum dilakukan dengan

memberlakukan unifikasi hukum. Sebuah

upaya untuk menyeragamkan hukum yang

berlaku tanpa memberikan perhatian pada

pelbagai hukum yang hidup dalam suasana

multikultural. Sebagaimana fungsi wilayah

juga menjadi urusan negara yang ditetapkan

kebanyakan tanpa melihat fakta sosial.

Dimana, pemusatan kegiatan menjadi salah

satu unsur paling kerap dilakukan sehingga

orang menumpuk pada suatu wilayah

meninggalkan kawasan perdesaan.

Terkadang (atau bahkan lebih sering) nilai

ekonomi yang lebih besar menjadi acuan

utama tanpa memperhatikan keadaan sosial

budaya dan kepedulian lingkungan hidup.

Salah satu bentuk unifikasi hukum yang

dapat kita temui adalah pemberlakuan

Bugerlijk Wetbook (BW) dari Belanda—yang

saat ini diterjemahkan menjadi Kitab

Undang-undang Hukum Perdata

(KUHPerdata). Melalui KUHPerdata, aturan

kepemilikan tanah cenderung diseragamkan

oleh Negara. Hak kebendaan diterjemahkan

dalam hukum kebendaan (properti: berkaitan

kepemilikan) bukan menurut apa yang

dipahami oleh masyarakat secara nyata di

lapangan. Secara sadar atau tidak sadar,

hukum kepemilikan benda yang diterapkan

dengan KUHPerdata akan memperpanjang

lagi masa-masa domain verklaaring.

Dimana, sepanjang seseorang tidak bisa

membuktikan kepemilikannya atas suatu

tanah, maka tanah itu adalah milik Negara.

Banyak hak kebendaan yang secara lokal

berlaku dalam masyarakat tidak ada

padanannya dalam KUHPerdata. Karena itu 1

UUPA ada untuk mengoreksi itu untuk

menegaskan bentuk-bentuk penguasaan

masyarakat atas sumber daya agraria dan

hubungan-hubungan hukum yang boleh

mereka lakukan. Sejauh ini belum ada

pengaturan itu dengan kata lain belum

diperinci lagi. Sehingga, Tanah Ulayat dan

Hak Komunal lain serupa itu masih sulit 2

diimplementasikan . Akhirnya, di

lapangan masyarakat berupaya

menyesuaikan diri dengan

keberlakuan KUHPerdata ini, yaitu

mencoba memperoleh bukti tertulis

atas penguasaanya atas tanah. Tetapi

tidak semua bisa diakomodir dengan sistem

pencatatan Negara terutama untuk dapat

dibuatkan akta otentiknya di lapangan oleh

PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), yang

berwenang untuk itu. Seperti kepemilikan

seseorang di Kalimantan salah satunya

adalah tembawang, maka tidak mungkin

akan dicatatkan dalam administrasi

pertanahan negara. Belakangan ini,

masyarakat menggunakan mekanisme baru

dengan menumpang pada tingkat

pemerintahan yang paling rendah yang

diakomodir dengan Surat Keterangan Tanah

Adat (SKTA). Meskipun tidak sekuat Hak

Milik yang diterbitkan oleh Negara, tetapi

bisa memberikan perlindungan dalam tingkat

lokal.

Pencatatan oleh Negara dengan sistem

yang ada sekarang adalah melalui pencatatan

dalam buku tanah yang sejauh ini baru

sebatas Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha

(HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak

Pakai (HP). Selain jenis hak-hak yang sejauh

ini diakui negara, maka jenis hak yang diakui

masyarakat di lapangan tentu akan

diabaikan. Kecuali, Menteri Agraria dan Tata

Ruang No. 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara

Penetapan Hak Komunal Atas Tanah

Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat

Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu dapat

berlaku nantinya dengan efektif dan efisien.

Di luar itu, maka bisa jadi domain

verklaaring tetap berlaku. Sehingga, kalau

pengakuan pada bentuk-bentuk penguasaan

Masyarakat Adat atau Masyarakat Lokal baik

komunal maupun individu belum diakui,

maka akan lebih banyak HGU dan HGB yang

akan terbit karena prosedur dan aturannya

jauh lebih mudah dan jelas.

1Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, (LN Tahun 1960 No. 104, TLN No. 2043)

2Sekalipun ada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat

Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, hal ini belum memadai. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 10 Tahun 2016 ini mengganti Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 9 Tahun 2015 dengan judul yang sama. Dimana aturan terdahulu adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Sejauh ini, dua aturan lama minim implementasi dan bisa dibilang tida berdaya guna dilapangan.

Perlu diteliti lebih lanjut apakah peraturan baru ini bisa memberikan jawaban atas pengakuan bentuk bentuk penguasaan komunal yang ada di dalam masyarakat.

Page 20: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

20KABAR JKPP

21

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

Negara bekerja dalam penguasaan

ruang ini secara politis baik melalui

penulisan sejarah dan kebijakan

lembaga/badan negara. Dalam aspek

sejarah, Max Lane pernah mencatat

penulisan sejarah yang tunggal oleh militer

sebagaimana dilakukan Nugroho

Notosusanto. Selain hal-hal terkait

penjajahan yang dialami Indonesia sebelum

merdeka, para pelajar (genarasi muda

Indonesia) “diharapkan dapat memahami

bahwa kesatuan politik dan teritorilah yang

membawa Indonesia ke gerbang

kemerdekaan” (Lane, 2014, p. 178). Maka,

segala tindakan yang 'dianggap mengutak-

atik' teritori akan diperhadapkan pada

tuduhan makar atau mengganggu keutuhan

negara. Selain itu, penegasan sejarah

pemberontakan oleh Partai Komunis

Indonesia, yang diidentikkan dengan

“pendudukan-pendudukan lahan oleh

petani” adalah salah satu bentuk

menghancurkan Negara Kesatuan Republik

Indonesia” (Lane, 2014, p. 179).

Pemikiran-pemikiran yang menyudutkan

masyarakat seperti diatas tentu harus sudah

ditinggalkan. Kenyataannya ketimpangan

penguasaan lahan itu terjadi di lapangan.

Konflik bermunculan terutama karena

masyarakat ingin mempertahankan ruang

hidupnya. Jangan sampai, lembaga Negara

hadir hanya sebagai alat perpanjangan

tangan dari Negara dalam menguasai ruang.

David Harvey (Harvey, 2001),

mencontohkan Royal Geography Society

(lembaga di Inggris yang mengurusi soal

pemetaan), yang merupakan lembaga teknik

dan sekaligus dengan para mekanik yang

bekerja untuk mempertahankan imperium

Inggris. Meskipun demikian, Pemerintah

Indonesia mulai menunjukkan kesadaran

untuk menata Indonesia lebih baik melalui

Badan Informasi Geospasial untuk

mengurusi penyatuan seluruh peta dasar di 3

Indonesia . Dimana, kewenangan penataan

ruang di Indonesia saat ini cukup kompleks.

Perlu dicatat, selain BIG, terdapat 69 pejabat

setingkat eselon tiga yang tersebar pada 13

Kementerian/Lembaga, memiliki

kewenangan dalam penataan ruang.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan

Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan yang menjadi kementerian

dengan kewenangan penataan ruang yang 4

paling luas .

Proses penataan ruang dengan

mekanisme yang masih sangat sentralistik

ini perlu dipikirkan kembali untuk konteks

Indonesia khususnya. Penataan Ruang tidak

luput dari dimensi sosial politik yang kuat di

dalamnya. Untuk mengeliminir pengabaian

unsur lokalitas dalam penataan ruang yang

selama ini dipraktikkan oleh Pemerintah,

maka ke depannya pelibatan Masyarakat

Adat dan Masyarakat Lokal di komunitasnya

masing-masing menjadi penting dilakukan

Pemerintah. Bagaimana pun juga

Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal

memiliki pranata dalam penataan ruang dan

hal itu bisa membantu Pemerintah dalam

3 Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214 Jo. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2011 Tentang Badan Informasi Geospasial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 144.

4 Keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Kelompok Kerja Nasional Informasi Geospasial Tematik.

mengelola penataan ruang yang baik.

Terlebih pengetahuan mengenai penataan

ruang khususnya terkait pemetaan sudah

semakin banyak dapat diakses publik dan

peralatan untuk itu cukup tersedia.

Pemetaan Partisipatif: Suara Ekspresi

Lokal atas Ruang

Pemetaan pada akhirnya bukan sekadar

untuk mengambil titik dari sebuah kondisi

geografis dan memindahkannya ke dalam

sebuah bidang datar atau peta kartografis.

Akan tetapi, pemetaan (dan semua proses di

dalamnya) merupakan sebuah dialog antar

identitas yang berbeda. Dimana, masing-

masing identitas dengan kepentingannya

akan dibicarakan dan disepakati. Pemetaan

Partisipatif akhirnya hadir dalam kancah

penyelesaan konflik di Indonesia setidaknya

sejak tahun 1996 (JKPP), yang ditandai

dengan lahirnya Jaringan Kerja Pemetaan

Partisipatif (JKPP). Salah satu prinsip

penting dalam Pemetaan Partisipatif adalah

Prinsip Kesatuan yaitu:

“Hasil pemetaan partisipatif

merupakan satu kesatuan

yang terdiri dari peta batas

wilayah kelola atau wilayah

adat, penggunaan lahan,

dokumentasi sosial budaya,

dan berita acara kesepakatan

tata batas.”

Proses Pemetaan Partisipatif yang utuh

dilakukan oleh komunitas baik Masyarakat

Adat ataupun Masyarakat Lokal merupakan

sebuah konsep penataan ruang, mulai dari

perencanaan, pemanfaaatan dan

pengendalian pemanfaatan di dalam internal

komunitas tersebut. Proses Pemetaan

Partisipatif yang utuh ini mempersyaratkan

sebuah pengambilan data yang paling tidak

sama dengan data yang dibutuhkan dalam

suatu penataan ruang yang diatur oleh

negara. Selama ini, peta dasar yang

dipergunakan dalam rangkaian Pemetaan

Partisipatif berasal dari lembaga negara yang

berkompeten untuk mengeluarkannya.

(Purba, 2016)

Sejatinya JKPP bukan sekadar 'tukang

peta' tetapi sekelompok orang yang ingin

menyelesaikan konflik ruang. Dalam upaya

penyelesaian konflik ini, peta adalah salah

satu alat atau metode yang dipakai. Pemetaan

Partisipatif menyediakan ruang dialog

menuju sebuah kesepakatan. Sebuah dialog

yang melibatkan banyak orang--banyak

identitas dan kepentingan--akan memberikan

peluang untuk transparan. Pertemuan

tertutup dan informasi terbatas tentu akan

lebih rawan konflik di belakangan hari. Oleh

karena itu, dengan perencanaan yang

transparan dan demokratis akan mereduksi

hegemoni atas ruang. Terutama negara yang

sedang terjebak dalam ideologi pembangunan

dan senantiasa mengintervensi penguasaan

ruang dari masyarakat (Zakaria, Merebut

Negara:, 2004, p. 30).

Selama ini produk Pemetaan Partisipatif

yang dihasilkan oleh JKPP dan Simpul

Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) serta

lembaga lainnya yang aktif dalam pemetaan

partisipatif masih diposisikan sebagai Peta

Indikatif. Selanjutnya, langkah yang terus

digeluti adalah menjadikan produk pemetaan

partisipatif sebagai bentuk peta yang definitif.

Page 21: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

20KABAR JKPP

21

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

Negara bekerja dalam penguasaan

ruang ini secara politis baik melalui

penulisan sejarah dan kebijakan

lembaga/badan negara. Dalam aspek

sejarah, Max Lane pernah mencatat

penulisan sejarah yang tunggal oleh militer

sebagaimana dilakukan Nugroho

Notosusanto. Selain hal-hal terkait

penjajahan yang dialami Indonesia sebelum

merdeka, para pelajar (genarasi muda

Indonesia) “diharapkan dapat memahami

bahwa kesatuan politik dan teritorilah yang

membawa Indonesia ke gerbang

kemerdekaan” (Lane, 2014, p. 178). Maka,

segala tindakan yang 'dianggap mengutak-

atik' teritori akan diperhadapkan pada

tuduhan makar atau mengganggu keutuhan

negara. Selain itu, penegasan sejarah

pemberontakan oleh Partai Komunis

Indonesia, yang diidentikkan dengan

“pendudukan-pendudukan lahan oleh

petani” adalah salah satu bentuk

menghancurkan Negara Kesatuan Republik

Indonesia” (Lane, 2014, p. 179).

Pemikiran-pemikiran yang menyudutkan

masyarakat seperti diatas tentu harus sudah

ditinggalkan. Kenyataannya ketimpangan

penguasaan lahan itu terjadi di lapangan.

Konflik bermunculan terutama karena

masyarakat ingin mempertahankan ruang

hidupnya. Jangan sampai, lembaga Negara

hadir hanya sebagai alat perpanjangan

tangan dari Negara dalam menguasai ruang.

David Harvey (Harvey, 2001),

mencontohkan Royal Geography Society

(lembaga di Inggris yang mengurusi soal

pemetaan), yang merupakan lembaga teknik

dan sekaligus dengan para mekanik yang

bekerja untuk mempertahankan imperium

Inggris. Meskipun demikian, Pemerintah

Indonesia mulai menunjukkan kesadaran

untuk menata Indonesia lebih baik melalui

Badan Informasi Geospasial untuk

mengurusi penyatuan seluruh peta dasar di 3

Indonesia . Dimana, kewenangan penataan

ruang di Indonesia saat ini cukup kompleks.

Perlu dicatat, selain BIG, terdapat 69 pejabat

setingkat eselon tiga yang tersebar pada 13

Kementerian/Lembaga, memiliki

kewenangan dalam penataan ruang.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan

Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan yang menjadi kementerian

dengan kewenangan penataan ruang yang 4

paling luas .

Proses penataan ruang dengan

mekanisme yang masih sangat sentralistik

ini perlu dipikirkan kembali untuk konteks

Indonesia khususnya. Penataan Ruang tidak

luput dari dimensi sosial politik yang kuat di

dalamnya. Untuk mengeliminir pengabaian

unsur lokalitas dalam penataan ruang yang

selama ini dipraktikkan oleh Pemerintah,

maka ke depannya pelibatan Masyarakat

Adat dan Masyarakat Lokal di komunitasnya

masing-masing menjadi penting dilakukan

Pemerintah. Bagaimana pun juga

Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal

memiliki pranata dalam penataan ruang dan

hal itu bisa membantu Pemerintah dalam

3 Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214 Jo. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2011 Tentang Badan Informasi Geospasial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 144.

4 Keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Kelompok Kerja Nasional Informasi Geospasial Tematik.

mengelola penataan ruang yang baik.

Terlebih pengetahuan mengenai penataan

ruang khususnya terkait pemetaan sudah

semakin banyak dapat diakses publik dan

peralatan untuk itu cukup tersedia.

Pemetaan Partisipatif: Suara Ekspresi

Lokal atas Ruang

Pemetaan pada akhirnya bukan sekadar

untuk mengambil titik dari sebuah kondisi

geografis dan memindahkannya ke dalam

sebuah bidang datar atau peta kartografis.

Akan tetapi, pemetaan (dan semua proses di

dalamnya) merupakan sebuah dialog antar

identitas yang berbeda. Dimana, masing-

masing identitas dengan kepentingannya

akan dibicarakan dan disepakati. Pemetaan

Partisipatif akhirnya hadir dalam kancah

penyelesaan konflik di Indonesia setidaknya

sejak tahun 1996 (JKPP), yang ditandai

dengan lahirnya Jaringan Kerja Pemetaan

Partisipatif (JKPP). Salah satu prinsip

penting dalam Pemetaan Partisipatif adalah

Prinsip Kesatuan yaitu:

“Hasil pemetaan partisipatif

merupakan satu kesatuan

yang terdiri dari peta batas

wilayah kelola atau wilayah

adat, penggunaan lahan,

dokumentasi sosial budaya,

dan berita acara kesepakatan

tata batas.”

Proses Pemetaan Partisipatif yang utuh

dilakukan oleh komunitas baik Masyarakat

Adat ataupun Masyarakat Lokal merupakan

sebuah konsep penataan ruang, mulai dari

perencanaan, pemanfaaatan dan

pengendalian pemanfaatan di dalam internal

komunitas tersebut. Proses Pemetaan

Partisipatif yang utuh ini mempersyaratkan

sebuah pengambilan data yang paling tidak

sama dengan data yang dibutuhkan dalam

suatu penataan ruang yang diatur oleh

negara. Selama ini, peta dasar yang

dipergunakan dalam rangkaian Pemetaan

Partisipatif berasal dari lembaga negara yang

berkompeten untuk mengeluarkannya.

(Purba, 2016)

Sejatinya JKPP bukan sekadar 'tukang

peta' tetapi sekelompok orang yang ingin

menyelesaikan konflik ruang. Dalam upaya

penyelesaian konflik ini, peta adalah salah

satu alat atau metode yang dipakai. Pemetaan

Partisipatif menyediakan ruang dialog

menuju sebuah kesepakatan. Sebuah dialog

yang melibatkan banyak orang--banyak

identitas dan kepentingan--akan memberikan

peluang untuk transparan. Pertemuan

tertutup dan informasi terbatas tentu akan

lebih rawan konflik di belakangan hari. Oleh

karena itu, dengan perencanaan yang

transparan dan demokratis akan mereduksi

hegemoni atas ruang. Terutama negara yang

sedang terjebak dalam ideologi pembangunan

dan senantiasa mengintervensi penguasaan

ruang dari masyarakat (Zakaria, Merebut

Negara:, 2004, p. 30).

Selama ini produk Pemetaan Partisipatif

yang dihasilkan oleh JKPP dan Simpul

Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) serta

lembaga lainnya yang aktif dalam pemetaan

partisipatif masih diposisikan sebagai Peta

Indikatif. Selanjutnya, langkah yang terus

digeluti adalah menjadikan produk pemetaan

partisipatif sebagai bentuk peta yang definitif.

Page 22: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

22 KABAR JKPP

23

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

Peta yang definitif bukan semata resmi

dalam produk hukum negara, tetapi negara

musti menghormatinya dengan tidak

menerbitkan perizinan di atasnya atau

menerbitkan produk hukum yang

mengabaikan kedaulatan ruang dari

Masyarakat Adat atau Masyarakat Lokal itu.

Saat ini, Masyarakat Adat dan Masyarakat

Lokal sebagai warga negara harus

menghadapi setidaknya tiga rezim penataan

ruang. Rezim penataan ruang yang ada saat

ini di Indonesia mencakup penataan ruang di 5 6Daratan , Pesisir dan Pulau Pulau Kecil ,

7serta Laut . Selain itu, Indonesia juga

mengenal Badan Koordinasi Penataan Tata 8Ruang Nasional (BKPRN) . BKPRN menjadi

wadah koordinasi antar lembaga Negara

dalam penataan ruang. Hal ini sendiri

menunjukkan betapa rumit dan berlapisnya

penataan ruang di Indonesia.

Kerumitan dan hierarki penataan ruang

itulah yang harus diubah dengan Pemetaan

Partisipatif. Para penggiat Pemetaan

Partisipatif akan berdiri berhadap-hadapan

atau duduk dalam satu meja bersama

pemangku kepentingan lainnya dalam proses

penataan ruang ini. Hasil pekerjaan

Pemetaan Partisipatif paling tidak telah

mengubah cara pandang pemerintah. Dalam

isu kawasan hutan, yang rawan dengan

konflik, ada wacana Peta Indikatif Arahan 9Perhutanan Sosial (PIAPS) . Meskipun

belum menghasilkan kebijakan yang

defenitif, tapi hal ini memberi gambaran

kepada Pemerintah bahwa masyarakat bisa

menunjukkan peta wilayahnya. Hal ini bisa

membantu Pemerintah untuk mengetahui

dimana saja konflik itu terjadi. Terlebih,

Pemerintah tidak harus memulai dari nol

lagi dalam upaya menyelesaikan konflik

tersebut.

Sementara itu, beberapa Masyarakat Adat

telah mengajukan permohonan status Hutan

Adat dengan menyertakan peta Hutan Adat

mereka yang dibuat melalui proses pemetaan

partisipatif. Pemerintah tentu akan terbantu

dengan adanya peta dari proses pemetaan 10

partisipatif . Selanjutnya Pemerintah tinggal

melakukan validasi dan verfikasi terhadap

peta-peta ini. Akan lebih mudah lagi jika

Pemetaan Partisipatif ini terintegrasi dengan

sistem Negara melalui pelibatan dan

partisipasi aktif masyarakat dalam penataan

ruang nantinya.

Di sisi lain, dengan adanya Pemetaan Partisipatif telah juga dapat berkontribusi pada diskusi

seputar Informasi Geospasial Tematik (IGT). Dengan kekayaan data yang dihasilkan dari pemetaan

partisipatif selama ini bisa memperkaya Informasi Geospasial Dasar (IGD). Dengan berkontribusi

pada IGD, Pemetaan Partisipatif dapat menambah banyak sekali data sosial ekonomi budaya bukan

sekadar objek yang dapat dilihat saja. Dan apabila ada kesediaan BIG untuk mem-verifikasi produk

dari Pemetaan Partisipatif tentu bisa dinaikkan menjadi IGT—setingkat di atas IGD dan memiliki 11kekuatan hukum dengan legitimasi Pemerintah . Atau setidaknya, BIG dapat membuka ruang

diskusi kembali dengan para penggiat Pemetaan Partisipatif dalam mengakomodirnya dalam

standar BIG. Sehingga, akan memudahkan pekerjaan di lapangan nantinya antara masyarakat dan 12

Pemerintah dengan dasar standar yang telah sama. Selain itu, diskusi mengenai Walidata , yaitu

pihak yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan IGT tertentu, juga menjadi penting. Sebab

siapa yang memegang data tentu akan memiliki kuasa yang lebih dalam mengambil kebijakan.

Kesimpulan

Memposisikan identitas-identitas yang ada dalam kondisi yang setara dan saling menghormati dan

menujunjung kedaulatan masing-masing adalah sebuah tantangan yang ada kedepannya. Sebab

dengan cara itulah, dialog yang setara yang menghormati kedaulatan rakyat atas ruang dapat

direalisasikan. Selain itu, Pemetaan Partisipatif harus mendobrak penataan ruang yang terpusat

pada negara. Para pemangku kepentingan dalam proses penataan ruang juga sedemikian banyak

dan hal ini harus disadari oleh aktor yang bekerja dalam Pemetaan Partisipatif. Sejatinya,

tantangan dari proses Pemetaan Partisipatif adalah pemusatan perencanaan tata ruang. Sudah

semestinyalah harus ada kesempatan yang sama untuk setiap warga Negara dalam penataan ruang

melalui pemetaan partisipatif. Sesungguhnya tidak akan ada masalah terkait legitimasi penataan

ruang sepanjang ada penghormatan atas hak masing-masing pemangku kepentingan, tanpa adanya

unsur paksaan dan dibuat dalam suatu proses yang setara.

5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725).

6 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 48; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4739).

7Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603.

8Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1989 Keputusan . Nama lembaga ini selanjutnya dirubah menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional melalui

Presiden Nomor 75 Tahun 1993 Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2000, yang kemudian ditetapkan kembali dengan .

9Ada sejumlah rapat yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan yang melibatkan banyak lembaga swadaya atau ornop dengan mendiskusikan Peta Partisipatif yang dilakukan Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal di Kawasan Hutan yang dikukuhkan negara. 10

http://brwa.or.id/articles/read/260, diakses pada 8 Agustus 2016.

Bibliography

Benda-Beckman, F. v., Benda-Beckman, K. v., & Griffiths, A. (2009). Spatializing Law: an anthropological of law in society. Burlington: Ashgate.

Benda-Beckmann, F. v., & Benda-Beckmann, K. (2009). Contested Spaces of Authority in Indonesia. In F. v. Benda-Beckmann, K. v. Benda-

Beckmann, & A. Griffiths, Spatializing law : an anthropological geography of law in (pp. 115-135). Burlington: Ashgate.

Harvey, D. (2001). Space of Capital: towards a critical geography. New York: Routledge.

JKPP. (n.d.). Profil JKPP. Retrieved Agustus Rabu, 2016, from http://www.jkpp.org/?page_id=8

Lane, M. (2014). Unfinished Nation: Ingatan Revolusi, Aksi Massa dan sejarah Indonesia. Yogyakarta: Djaman Baroe.

Purba, S. (2016, Juli Senin). palos Sandoro Purba. Retrieved Agustus Rabu, 2016, from https://sandopalos.blogspot.co.id/2016/07/partisipasi-

masyarakat-dalam-penataan.html

Simarmata, R. (2002). “Pengertian Dasar dan Teknik Perancangan Perundang-undangan: Resiko Tradisi Hukum Tertulis. Jakarta: HuMa.

Zakaria, R. Y. (2000). Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru. Jakarta: Elsam.

Zakaria, R. Y. (2004). Merebut Negara:. Yogyakarta: LAPERA bekerjasama dengan KARSA.

11Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214.

12Keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial No. 54 Tahun 2015 tentang Wali Data Informasi Geospasial Tematik.

Page 23: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

22 KABAR JKPP

23

K A B A R U T A M AK A B A R U T A M A

Peta yang definitif bukan semata resmi

dalam produk hukum negara, tetapi negara

musti menghormatinya dengan tidak

menerbitkan perizinan di atasnya atau

menerbitkan produk hukum yang

mengabaikan kedaulatan ruang dari

Masyarakat Adat atau Masyarakat Lokal itu.

Saat ini, Masyarakat Adat dan Masyarakat

Lokal sebagai warga negara harus

menghadapi setidaknya tiga rezim penataan

ruang. Rezim penataan ruang yang ada saat

ini di Indonesia mencakup penataan ruang di 5 6Daratan , Pesisir dan Pulau Pulau Kecil ,

7serta Laut . Selain itu, Indonesia juga

mengenal Badan Koordinasi Penataan Tata 8Ruang Nasional (BKPRN) . BKPRN menjadi

wadah koordinasi antar lembaga Negara

dalam penataan ruang. Hal ini sendiri

menunjukkan betapa rumit dan berlapisnya

penataan ruang di Indonesia.

Kerumitan dan hierarki penataan ruang

itulah yang harus diubah dengan Pemetaan

Partisipatif. Para penggiat Pemetaan

Partisipatif akan berdiri berhadap-hadapan

atau duduk dalam satu meja bersama

pemangku kepentingan lainnya dalam proses

penataan ruang ini. Hasil pekerjaan

Pemetaan Partisipatif paling tidak telah

mengubah cara pandang pemerintah. Dalam

isu kawasan hutan, yang rawan dengan

konflik, ada wacana Peta Indikatif Arahan 9Perhutanan Sosial (PIAPS) . Meskipun

belum menghasilkan kebijakan yang

defenitif, tapi hal ini memberi gambaran

kepada Pemerintah bahwa masyarakat bisa

menunjukkan peta wilayahnya. Hal ini bisa

membantu Pemerintah untuk mengetahui

dimana saja konflik itu terjadi. Terlebih,

Pemerintah tidak harus memulai dari nol

lagi dalam upaya menyelesaikan konflik

tersebut.

Sementara itu, beberapa Masyarakat Adat

telah mengajukan permohonan status Hutan

Adat dengan menyertakan peta Hutan Adat

mereka yang dibuat melalui proses pemetaan

partisipatif. Pemerintah tentu akan terbantu

dengan adanya peta dari proses pemetaan 10

partisipatif . Selanjutnya Pemerintah tinggal

melakukan validasi dan verfikasi terhadap

peta-peta ini. Akan lebih mudah lagi jika

Pemetaan Partisipatif ini terintegrasi dengan

sistem Negara melalui pelibatan dan

partisipasi aktif masyarakat dalam penataan

ruang nantinya.

Di sisi lain, dengan adanya Pemetaan Partisipatif telah juga dapat berkontribusi pada diskusi

seputar Informasi Geospasial Tematik (IGT). Dengan kekayaan data yang dihasilkan dari pemetaan

partisipatif selama ini bisa memperkaya Informasi Geospasial Dasar (IGD). Dengan berkontribusi

pada IGD, Pemetaan Partisipatif dapat menambah banyak sekali data sosial ekonomi budaya bukan

sekadar objek yang dapat dilihat saja. Dan apabila ada kesediaan BIG untuk mem-verifikasi produk

dari Pemetaan Partisipatif tentu bisa dinaikkan menjadi IGT—setingkat di atas IGD dan memiliki 11kekuatan hukum dengan legitimasi Pemerintah . Atau setidaknya, BIG dapat membuka ruang

diskusi kembali dengan para penggiat Pemetaan Partisipatif dalam mengakomodirnya dalam

standar BIG. Sehingga, akan memudahkan pekerjaan di lapangan nantinya antara masyarakat dan 12

Pemerintah dengan dasar standar yang telah sama. Selain itu, diskusi mengenai Walidata , yaitu

pihak yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan IGT tertentu, juga menjadi penting. Sebab

siapa yang memegang data tentu akan memiliki kuasa yang lebih dalam mengambil kebijakan.

Kesimpulan

Memposisikan identitas-identitas yang ada dalam kondisi yang setara dan saling menghormati dan

menujunjung kedaulatan masing-masing adalah sebuah tantangan yang ada kedepannya. Sebab

dengan cara itulah, dialog yang setara yang menghormati kedaulatan rakyat atas ruang dapat

direalisasikan. Selain itu, Pemetaan Partisipatif harus mendobrak penataan ruang yang terpusat

pada negara. Para pemangku kepentingan dalam proses penataan ruang juga sedemikian banyak

dan hal ini harus disadari oleh aktor yang bekerja dalam Pemetaan Partisipatif. Sejatinya,

tantangan dari proses Pemetaan Partisipatif adalah pemusatan perencanaan tata ruang. Sudah

semestinyalah harus ada kesempatan yang sama untuk setiap warga Negara dalam penataan ruang

melalui pemetaan partisipatif. Sesungguhnya tidak akan ada masalah terkait legitimasi penataan

ruang sepanjang ada penghormatan atas hak masing-masing pemangku kepentingan, tanpa adanya

unsur paksaan dan dibuat dalam suatu proses yang setara.

5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725).

6 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 48; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4739).

7Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603.

8Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1989 Keputusan . Nama lembaga ini selanjutnya dirubah menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional melalui

Presiden Nomor 75 Tahun 1993 Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2000, yang kemudian ditetapkan kembali dengan .

9Ada sejumlah rapat yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan yang melibatkan banyak lembaga swadaya atau ornop dengan mendiskusikan Peta Partisipatif yang dilakukan Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal di Kawasan Hutan yang dikukuhkan negara. 10

http://brwa.or.id/articles/read/260, diakses pada 8 Agustus 2016.

Bibliography

Benda-Beckman, F. v., Benda-Beckman, K. v., & Griffiths, A. (2009). Spatializing Law: an anthropological of law in society. Burlington: Ashgate.

Benda-Beckmann, F. v., & Benda-Beckmann, K. (2009). Contested Spaces of Authority in Indonesia. In F. v. Benda-Beckmann, K. v. Benda-

Beckmann, & A. Griffiths, Spatializing law : an anthropological geography of law in (pp. 115-135). Burlington: Ashgate.

Harvey, D. (2001). Space of Capital: towards a critical geography. New York: Routledge.

JKPP. (n.d.). Profil JKPP. Retrieved Agustus Rabu, 2016, from http://www.jkpp.org/?page_id=8

Lane, M. (2014). Unfinished Nation: Ingatan Revolusi, Aksi Massa dan sejarah Indonesia. Yogyakarta: Djaman Baroe.

Purba, S. (2016, Juli Senin). palos Sandoro Purba. Retrieved Agustus Rabu, 2016, from https://sandopalos.blogspot.co.id/2016/07/partisipasi-

masyarakat-dalam-penataan.html

Simarmata, R. (2002). “Pengertian Dasar dan Teknik Perancangan Perundang-undangan: Resiko Tradisi Hukum Tertulis. Jakarta: HuMa.

Zakaria, R. Y. (2000). Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru. Jakarta: Elsam.

Zakaria, R. Y. (2004). Merebut Negara:. Yogyakarta: LAPERA bekerjasama dengan KARSA.

11Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214.

12Keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial No. 54 Tahun 2015 tentang Wali Data Informasi Geospasial Tematik.

Page 24: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

24 KABAR JKPP

25

Dalam pengelolaan sumber daya alam di

Indonesia, pembangunan lebih diarahkan

pada investasi berbasis lahan yang pada

akhirnya menyebabkan konflik

berkepanjangan antara masyarakat dengan

investor, juga antara masyarakat dengan

pemerintah. Konflik akibat pencaplokan

tanah telah menyebabkan masyarakat

terlempar dari tanahnya. Dalam konteks

Aceh, momentum penandatanganan damai

pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki,

paska konflik panjang antara Gerakan Aceh

Merdeka (GAM) dengan Pemerintah

Indonesia adalah momentum penting bagi

masyarakat dan pemerintah. Kesepakatan

damai di Aceh tidak hanya memberikan

suasana damai untuk menjalankan roda

kehidupan. Namun, telah membuka peluang

besar bagi Aceh untuk mengatur wilayahnya

(daerahnya) secara berdaulat baik secara

pemerintahan maupun dalam pengelolaan

sumber daya alam. Selain itu, Aceh

berkesempatan untuk mengimplementasikan

hukum adat dalam setiap sisi kehidupannya.

Termasuk juga memperoleh hak adat atas

sumber daya alam dengan menjalankan

aturan hukum adat dan juga menjalankan

fungsi lembaga adat, yaitu mukim dan

gampong sebagai lembaga pemerintahan

sekaligus sebagai lembaga adat. Hal ini telah

diakui oleh Negara melalui Undang –

Undang Pemerintahan Aceh ( UUPA ) No. 11

Tahun 2006. Undang Undang tersebut

mengakui kewenangan lembaga adat dan hak

adat atas sumber daya alam. Penjabaran dari

UU tersebut, saat ini propinsi dan kabupaten

MUKIM, Benteng Keselamatan SDA di AcehFahmi

KoordinatorSimpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Aceh

di Aceh telah mengeluarkan produk hukum

qanun (peraturan daerah) yang mengatur

tentang pemerintahan mukim dan gampong

serta lembaga adat. Hal ini, telah

mempermudah mukim dan gampong untuk

menjalankan fungsinya sebagai pemerintahan

maupun sebagai lembaga adat.

Mukim adalah salah satu bentuk

pemerintahan yang terdapat di Aceh. Saat ini,

keberadaan mukim telah diakui melalui

Undang Undang Nomor 11 tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh. Sebelumnya,

Undang Undang Otonomi khusus Aceh

Nomor 18 tahun 2001 juga telah memberi

pengakuan terhadap keberadaan mukim

sebagai sebuah unit pemerintahan. Unit

pemerintahan terkecil di Aceh disebut

gampong. Persekutuan dari beberapa

gampong disebut Mukim. Gampong

dipresentasikan oleh Keuchik sebagai

pimpinan adat yang memiliki kewenangan

untuk mempertahankan kedaulatannya

terhadap kepemilikan atas lingkungan dan

sumber daya alam, hak atas pemanfaatan

sumber daya alam, hak untuk ikut dalam

pengaturan lingkungan dan

menyelenggarakan sejenis peradilan untuk

menyelesaikan sengketa-sengketa yang

terjadi. Gampong dan Mukim menurut

hukum adat merupakan badan hukum,

sebagai pendukung hak dan kewajiban

warganya. Mukim dan Gampong memiliki

harta atau kekayaan tersendiri, baik berupa

bangunan, tanah, perairan maupun

lingkungan alamnya.

Mukim adalah konsepsi ideologis yang

telah terbukti mampu mengharmonikan

sistem kehidupan di Aceh. Selain itu,

memberi jaminan terhadap kepastian hak

atas kepemilikan pribadi maupun komunal.

Karena, mukim mengedepankan prinsip-

prinsip keadilan, kedamaian, kesejahteraan,

dan berorientasi pada keberlanjutan.

Meskipun mukim-gampong sebagai struktur

pemerintahan sekaligus sebagai lembaga adat

formal di Aceh telah diakui dalam berbagai

regulasi, mulai dari tingkat Undang-Undang

hingga ke Peraturan Daerah (Qanun) baik di

tingkat propinsi maupun kabupaten. Namun,

secara implementasi atau pun prakteknya,

keberadaan mukim dan gampong belum

menjadi arus utama (mainstream) dalam

setiap kebijakan daerah. Hal ini terlihat dari

tidak adanya wilayah mukim termaktub

dalam kebijakan tata ruang propinsi maupun

kabupaten. Padahal, mengintegrasikan

wilayah mukim dalam kebijakan tata ruang

adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh

pemerintah sebagai konsekuensi dari

pengakuan mukim dalam Undang-Undang

Pemerintahan Aceh (UUPA) yang diikuti

dengan lahirnya qanun-qanun tentang

pemerintahan mukim maupun lembaga adat.

Ironisnya lagi, mukim sebagai pemangku

kepentingan dalam kebijakan-kebijakan

strategis yang berkaitan dengan wilayah dan

juga pengelolaan sumber daya alam tidak

diajak untuk ikut serta. Bahkan, sangat

sedikit mukim yang memiliki informasi yang

cukup tentang arah penataan ruang.

Memastikan Pembangunan Berbasis

Mukim dan Gampong

Mukim yang merupakan suatu kesatuan

masyarakat dalam wilayah Aceh yang

terbentuk melalui persekutuan beberapa

gampong dengan batas wilayah tertentu dan

K A B A R S I M P U L K A B A R S I M P U L

Page 25: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

24 KABAR JKPP

25

Dalam pengelolaan sumber daya alam di

Indonesia, pembangunan lebih diarahkan

pada investasi berbasis lahan yang pada

akhirnya menyebabkan konflik

berkepanjangan antara masyarakat dengan

investor, juga antara masyarakat dengan

pemerintah. Konflik akibat pencaplokan

tanah telah menyebabkan masyarakat

terlempar dari tanahnya. Dalam konteks

Aceh, momentum penandatanganan damai

pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki,

paska konflik panjang antara Gerakan Aceh

Merdeka (GAM) dengan Pemerintah

Indonesia adalah momentum penting bagi

masyarakat dan pemerintah. Kesepakatan

damai di Aceh tidak hanya memberikan

suasana damai untuk menjalankan roda

kehidupan. Namun, telah membuka peluang

besar bagi Aceh untuk mengatur wilayahnya

(daerahnya) secara berdaulat baik secara

pemerintahan maupun dalam pengelolaan

sumber daya alam. Selain itu, Aceh

berkesempatan untuk mengimplementasikan

hukum adat dalam setiap sisi kehidupannya.

Termasuk juga memperoleh hak adat atas

sumber daya alam dengan menjalankan

aturan hukum adat dan juga menjalankan

fungsi lembaga adat, yaitu mukim dan

gampong sebagai lembaga pemerintahan

sekaligus sebagai lembaga adat. Hal ini telah

diakui oleh Negara melalui Undang –

Undang Pemerintahan Aceh ( UUPA ) No. 11

Tahun 2006. Undang Undang tersebut

mengakui kewenangan lembaga adat dan hak

adat atas sumber daya alam. Penjabaran dari

UU tersebut, saat ini propinsi dan kabupaten

MUKIM, Benteng Keselamatan SDA di AcehFahmi

KoordinatorSimpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Aceh

di Aceh telah mengeluarkan produk hukum

qanun (peraturan daerah) yang mengatur

tentang pemerintahan mukim dan gampong

serta lembaga adat. Hal ini, telah

mempermudah mukim dan gampong untuk

menjalankan fungsinya sebagai pemerintahan

maupun sebagai lembaga adat.

Mukim adalah salah satu bentuk

pemerintahan yang terdapat di Aceh. Saat ini,

keberadaan mukim telah diakui melalui

Undang Undang Nomor 11 tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh. Sebelumnya,

Undang Undang Otonomi khusus Aceh

Nomor 18 tahun 2001 juga telah memberi

pengakuan terhadap keberadaan mukim

sebagai sebuah unit pemerintahan. Unit

pemerintahan terkecil di Aceh disebut

gampong. Persekutuan dari beberapa

gampong disebut Mukim. Gampong

dipresentasikan oleh Keuchik sebagai

pimpinan adat yang memiliki kewenangan

untuk mempertahankan kedaulatannya

terhadap kepemilikan atas lingkungan dan

sumber daya alam, hak atas pemanfaatan

sumber daya alam, hak untuk ikut dalam

pengaturan lingkungan dan

menyelenggarakan sejenis peradilan untuk

menyelesaikan sengketa-sengketa yang

terjadi. Gampong dan Mukim menurut

hukum adat merupakan badan hukum,

sebagai pendukung hak dan kewajiban

warganya. Mukim dan Gampong memiliki

harta atau kekayaan tersendiri, baik berupa

bangunan, tanah, perairan maupun

lingkungan alamnya.

Mukim adalah konsepsi ideologis yang

telah terbukti mampu mengharmonikan

sistem kehidupan di Aceh. Selain itu,

memberi jaminan terhadap kepastian hak

atas kepemilikan pribadi maupun komunal.

Karena, mukim mengedepankan prinsip-

prinsip keadilan, kedamaian, kesejahteraan,

dan berorientasi pada keberlanjutan.

Meskipun mukim-gampong sebagai struktur

pemerintahan sekaligus sebagai lembaga adat

formal di Aceh telah diakui dalam berbagai

regulasi, mulai dari tingkat Undang-Undang

hingga ke Peraturan Daerah (Qanun) baik di

tingkat propinsi maupun kabupaten. Namun,

secara implementasi atau pun prakteknya,

keberadaan mukim dan gampong belum

menjadi arus utama (mainstream) dalam

setiap kebijakan daerah. Hal ini terlihat dari

tidak adanya wilayah mukim termaktub

dalam kebijakan tata ruang propinsi maupun

kabupaten. Padahal, mengintegrasikan

wilayah mukim dalam kebijakan tata ruang

adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh

pemerintah sebagai konsekuensi dari

pengakuan mukim dalam Undang-Undang

Pemerintahan Aceh (UUPA) yang diikuti

dengan lahirnya qanun-qanun tentang

pemerintahan mukim maupun lembaga adat.

Ironisnya lagi, mukim sebagai pemangku

kepentingan dalam kebijakan-kebijakan

strategis yang berkaitan dengan wilayah dan

juga pengelolaan sumber daya alam tidak

diajak untuk ikut serta. Bahkan, sangat

sedikit mukim yang memiliki informasi yang

cukup tentang arah penataan ruang.

Memastikan Pembangunan Berbasis

Mukim dan Gampong

Mukim yang merupakan suatu kesatuan

masyarakat dalam wilayah Aceh yang

terbentuk melalui persekutuan beberapa

gampong dengan batas wilayah tertentu dan

K A B A R S I M P U L K A B A R S I M P U L

Page 26: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

26 KABAR JKPP

27

K A B A R S I M P U L K A B A R S I M P U L

harta kekayaan sendiri. Mukim bukan hanya

sebagai identitas komunal masyarakat adat di

Aceh, tetapi juga sebagai bagian dari struktur

pemerintahan sekaligus sebagai pengelola

wilayah dan pengatur kehidupan sosial

kemasyarakatan. Mukim mempunyai

kewenangan mengurus harta kekayaan dan

sumber pendapatan mukim.

Salah satu bentuk komitmen mukim dan

gampong dalam merespon UUPA untuk

proses percepatan implementasinya yaitu

dengan mendorong partisipasi dan

keterlibatan nyata dari mukim dalam

penataan ruang, pemerintahan dan

pengelolaan sumber daya alam. Mukim se-

Aceh Besar yang terhimpun dalam wadah

Majlis Duek Pakat Mukim Aceh Besar

(MDPM-AB) menilai dalam proses

penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah

Aceh (RTRWA), pemerintahan Aceh tidak

melibatkan mukim sebagai salah satu

pemangku kepentingan.“ Selain tidak

dilibatkan, informasi yang berkaitan

dengan dokumen tersebut pun tidak sampai

kepada mukim. Padahal kebijakan RTRWA

itu pada pelaksanaannya akan

menggunakan wilayah dan ruang kelola

mukim. Bukankah RTRWA merupakan

kebijakan penting daerah yang harus

diketahui masyarakat ?”

MDPM-AB

menyadari bahwa

RTRWA merupakan

kerangka acuan bagi

pembangunan dan

berbagai aktivitas

pemanfaatan ruang

di Aceh untuk masa

waktu 20 tahun

kedepan. RTRW

Aceh harus dapat

mensejahterakan,

menyelamatkan

sumber

penghidupan,

keseimbangan alam,

dan harmonisasi sosial.

RTRW Aceh harus lebih berpihak kepada

kepentingan masyarakat daripada

kepentingan segelintir orang. Pemerintah

Aceh harus benar-benar mempertimbangkan

hal-hal penting seperti pelibatan mukim

dalam penyusunan aturan dan memasukkan

wilayah kelola mukim sebelum RTRWA

disahkan. Oleh karenanya, MDPM-AB

berupaya untuk memastikan integrasi mukim

dalam UUPA. Beberapa hal yang harus

dipastikan dalam implementasi UUPA adalah

sebagai berikut :

Pertama, keberadaan mukim yang sudah

diakui di Aceh harus dipertegas wilayah

kedudukannya dalam RTRWA. Penegasan

wilayah administratif mukim harus

tergambar dalam wilayah setiap Rencana

Tata Ruang Kabupaten/Kota.

Kedua, RTRWA harus menegaskan

pengakuan keberadaan Wilayah Kelola

Mukim di daratan maupun di perairan,

seperti : perkampungan (hunian), blang

(sawah), uteun (hutan), paya (rawa),

lampoh/seunebok (kebun rakyat), padang

meurabee (kawasan padang penggembalaan),

peukan (pasar), bineh pasi (pantai), batang

air (krueng/sungai, alur, tuwie, lubuk),

danau, laut, dan kawasan mukim lainnya

yang menjadi ulayat mukim setempat. Ulayat

mukim dimaksud juga merupakan

penjabaran dari Qanun No.4 tahun 2003

tentang Pemerintahan Mukim pasal 18 yang

ditegaskan Qanun Aceh Besar No.8 tahun

2009 Pasal 28 bahwa Harta kekayaan

Mukim. Selanjutnya, RTRWA wajib

memberikan perlindungan atas Wilayah

Kelola Mukim tersebut dari kegiatan

pembangunan dan proyek-proyek ekploitatif

yang merusak dan mengancam sumber-

sumber penghidupan masyarakat dan

berpotensi menimbulkan bencana.

Ketiga, RTRWA harus memberi

pengakuan terhadap Hak Kelola Mukim atas

wilayahnya, meliputi : (a) hak kepemilikan,

(b) hak akses dan pemanfataan, (c) hak

pengaturan/pengelolaan. Mukim berdasarkan

hak asal usul dan hukum formal memiliki

kewenangan untuk mengurus harta kekayaan

dan sumber-sumber pendapatan mukim yang

secara kewilayahan ada pada wilayah kelola

mukim. Pengelolaan wilayah mukim diatur

dengan aturan adat mukim setempat dibawah

koordinasi Imeum Mukim ; hak buya lam

krueng, hak rimung bak bineh rimba. Hak

kelola mukim kawasan hutan adalah sejauh si

uro jak wo. Dalam pelaksanaan teknisnya

pada setiap kawasan kelola mukim dilakukan

oleh lembaga adat di mukim setempat.

Kawasan Peukan atau Pasar Rakyat dalam

wilayah mukim dikelola oleh haria peukan.

Kawasan laot dikelola oleh Panglima Laot.

Masyarakat mukim harus diberi akses dan

ruang pemanfaatan sebesar-besarnya atas

Wilayah Mukim, dan

Keempat, dalam semua proses penataan

ruang Aceh (perencanaan, pelaksaaan dan

pemantauan) Pemerintah Aceh harus

melibatkan mukim. Pemerintahan Mukim

harus mendapat informasi yang lengkap atas

dokumen RTRWA. Selain itu masyarakat

mukim harus diberi kewenangan untuk

menyatakan boleh atau tidak atas

penggunaan wilayah kelola mukim oleh pihak

luar mukim.

Kelima, Pengakuan terhadap aturan-

aturan adat dalam pengelolaan sumber daya

alam yang diinisiatif oleh mukim melalui

musyawarah yang melibatkan setiap

masyarakat dalam wilayah mukim. Sebagai

pemerintahan, mukim dan gampong tentu

saja memiliki kewenangan dalam membuat

aturan-aturan.

Keenam, Pemerintah Daerah menerbitkan

aturan-aturan atau keputusan-keputusan

yang mendukung terhadap implementasi

sistem pemerintahan mukim dan gampong.

Dan juga aturan-aturan yang menjamin

keselamatan sumber penghidupan

masyarakat yang meliputi kawasan hutan,

kebun, laut, padang pengembalaan, batang

air, sungai, pasar rakyat, dan hak-hak ulayat

lainnya.

Peta Struktur Ruang dan Pola Pemanfaatan Ruang Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tahun 2014-2019

Page 27: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

26 KABAR JKPP

27

K A B A R S I M P U L K A B A R S I M P U L

harta kekayaan sendiri. Mukim bukan hanya

sebagai identitas komunal masyarakat adat di

Aceh, tetapi juga sebagai bagian dari struktur

pemerintahan sekaligus sebagai pengelola

wilayah dan pengatur kehidupan sosial

kemasyarakatan. Mukim mempunyai

kewenangan mengurus harta kekayaan dan

sumber pendapatan mukim.

Salah satu bentuk komitmen mukim dan

gampong dalam merespon UUPA untuk

proses percepatan implementasinya yaitu

dengan mendorong partisipasi dan

keterlibatan nyata dari mukim dalam

penataan ruang, pemerintahan dan

pengelolaan sumber daya alam. Mukim se-

Aceh Besar yang terhimpun dalam wadah

Majlis Duek Pakat Mukim Aceh Besar

(MDPM-AB) menilai dalam proses

penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah

Aceh (RTRWA), pemerintahan Aceh tidak

melibatkan mukim sebagai salah satu

pemangku kepentingan.“ Selain tidak

dilibatkan, informasi yang berkaitan

dengan dokumen tersebut pun tidak sampai

kepada mukim. Padahal kebijakan RTRWA

itu pada pelaksanaannya akan

menggunakan wilayah dan ruang kelola

mukim. Bukankah RTRWA merupakan

kebijakan penting daerah yang harus

diketahui masyarakat ?”

MDPM-AB

menyadari bahwa

RTRWA merupakan

kerangka acuan bagi

pembangunan dan

berbagai aktivitas

pemanfaatan ruang

di Aceh untuk masa

waktu 20 tahun

kedepan. RTRW

Aceh harus dapat

mensejahterakan,

menyelamatkan

sumber

penghidupan,

keseimbangan alam,

dan harmonisasi sosial.

RTRW Aceh harus lebih berpihak kepada

kepentingan masyarakat daripada

kepentingan segelintir orang. Pemerintah

Aceh harus benar-benar mempertimbangkan

hal-hal penting seperti pelibatan mukim

dalam penyusunan aturan dan memasukkan

wilayah kelola mukim sebelum RTRWA

disahkan. Oleh karenanya, MDPM-AB

berupaya untuk memastikan integrasi mukim

dalam UUPA. Beberapa hal yang harus

dipastikan dalam implementasi UUPA adalah

sebagai berikut :

Pertama, keberadaan mukim yang sudah

diakui di Aceh harus dipertegas wilayah

kedudukannya dalam RTRWA. Penegasan

wilayah administratif mukim harus

tergambar dalam wilayah setiap Rencana

Tata Ruang Kabupaten/Kota.

Kedua, RTRWA harus menegaskan

pengakuan keberadaan Wilayah Kelola

Mukim di daratan maupun di perairan,

seperti : perkampungan (hunian), blang

(sawah), uteun (hutan), paya (rawa),

lampoh/seunebok (kebun rakyat), padang

meurabee (kawasan padang penggembalaan),

peukan (pasar), bineh pasi (pantai), batang

air (krueng/sungai, alur, tuwie, lubuk),

danau, laut, dan kawasan mukim lainnya

yang menjadi ulayat mukim setempat. Ulayat

mukim dimaksud juga merupakan

penjabaran dari Qanun No.4 tahun 2003

tentang Pemerintahan Mukim pasal 18 yang

ditegaskan Qanun Aceh Besar No.8 tahun

2009 Pasal 28 bahwa Harta kekayaan

Mukim. Selanjutnya, RTRWA wajib

memberikan perlindungan atas Wilayah

Kelola Mukim tersebut dari kegiatan

pembangunan dan proyek-proyek ekploitatif

yang merusak dan mengancam sumber-

sumber penghidupan masyarakat dan

berpotensi menimbulkan bencana.

Ketiga, RTRWA harus memberi

pengakuan terhadap Hak Kelola Mukim atas

wilayahnya, meliputi : (a) hak kepemilikan,

(b) hak akses dan pemanfataan, (c) hak

pengaturan/pengelolaan. Mukim berdasarkan

hak asal usul dan hukum formal memiliki

kewenangan untuk mengurus harta kekayaan

dan sumber-sumber pendapatan mukim yang

secara kewilayahan ada pada wilayah kelola

mukim. Pengelolaan wilayah mukim diatur

dengan aturan adat mukim setempat dibawah

koordinasi Imeum Mukim ; hak buya lam

krueng, hak rimung bak bineh rimba. Hak

kelola mukim kawasan hutan adalah sejauh si

uro jak wo. Dalam pelaksanaan teknisnya

pada setiap kawasan kelola mukim dilakukan

oleh lembaga adat di mukim setempat.

Kawasan Peukan atau Pasar Rakyat dalam

wilayah mukim dikelola oleh haria peukan.

Kawasan laot dikelola oleh Panglima Laot.

Masyarakat mukim harus diberi akses dan

ruang pemanfaatan sebesar-besarnya atas

Wilayah Mukim, dan

Keempat, dalam semua proses penataan

ruang Aceh (perencanaan, pelaksaaan dan

pemantauan) Pemerintah Aceh harus

melibatkan mukim. Pemerintahan Mukim

harus mendapat informasi yang lengkap atas

dokumen RTRWA. Selain itu masyarakat

mukim harus diberi kewenangan untuk

menyatakan boleh atau tidak atas

penggunaan wilayah kelola mukim oleh pihak

luar mukim.

Kelima, Pengakuan terhadap aturan-

aturan adat dalam pengelolaan sumber daya

alam yang diinisiatif oleh mukim melalui

musyawarah yang melibatkan setiap

masyarakat dalam wilayah mukim. Sebagai

pemerintahan, mukim dan gampong tentu

saja memiliki kewenangan dalam membuat

aturan-aturan.

Keenam, Pemerintah Daerah menerbitkan

aturan-aturan atau keputusan-keputusan

yang mendukung terhadap implementasi

sistem pemerintahan mukim dan gampong.

Dan juga aturan-aturan yang menjamin

keselamatan sumber penghidupan

masyarakat yang meliputi kawasan hutan,

kebun, laut, padang pengembalaan, batang

air, sungai, pasar rakyat, dan hak-hak ulayat

lainnya.

Peta Struktur Ruang dan Pola Pemanfaatan Ruang Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tahun 2014-2019

Page 28: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

28KABAR JKPP

29

K A B A R S I M P U L K A B A R S I M P U L

Lombok Tengah adalah salah satu

kabupaten yang ada di Provinsi Nusa

Tenggara Barat. Selanjutnya dalam Rencana

Tata Ruang Wilayah Lombok Tengah dibagi

menjadi 3 (tiga) kawasan yaitu Kawasan

Selatan (Empak Bau), Kawasan Tengah

(Tunjung Tilah) dan Kawasan Utara (Aik

Meneng).

Kawasan Utara atau Aik Meneng adalah

kawasan yang berbatasan langsung dengan

Gunung Rinjani (3.726 Mdpl). Kawasan ini

kemudian menjadi jantung penghidupan

bagi Kabupaten Lombok Tengah, karena

memiliki hutan yang menjadi sumber mata

air yang mengalir ke bagian Tengah dan

Selatan. Tetapi ketidakjelasan pengelolaan

SDA dan tidak dilibatkanya masyarakat

dalam pengurusan pengelolaan kawasan oleh

Pemerintah Daerah telah menyebabkan

rentetan masalah di tingkat tapak.

Kekayaan sumber daya air yang terdapat

dikawasan Aik Meneng lebih banyak

dinikmati oleh sebagian kecil orang saja dan

ironisnya orang di luar kawasan. Hal ini

dikarenakan beroperasinya perusahaan air

minum swasta yang menyedot air dan

menyebabkan pasokan air bagi masyarakat

sekitar berkurang secara drastis.

Berdasarkan hasil wawancara (testimoni)

dengan warga dan aparat desa di Kawasan

Utara Lombok Tengah (Kaula), menyatakan

bahwa air pada masa dulu sekitar tahun 90

an masih sangat bagus. Panen padi mina

(Padma) di areal kelompok Tani Adil

Makmur, bagian Timur-Laut (Tenggara)

Pemetaaan Mata Air dan Area Konservasi di Kawasan Utara Lombok Tengah

MENJAGA MATA AIR UNTUK MENGHAPUS AIR MATAPemetaaan Mata Air dan Area Konservasi di Kawasan Utara Lombok Tengah

MENJAGA MATA AIR UNTUK MENGHAPUS AIR MATA

Kurniawan NomeantoKoordinator

Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) NTB

Desa Selebung masih sangat bagus. Air yang

mengaliri padi mina didapatkan dari saluran

sub DAS Gedeh. Kemudian saat era

reformasi, dengan seketika terjadi

pembukaan hutan secara besar-besaran,

bahkan dihampir seluruh dataran Lombok.

Begitu pula yang terjadi di Desa Kawasan

Utara Lombok Tengah (Kaula), sejak tahun

2000 hutan dibuka secara besar-besaran

yang kemudian berujung pada lahirnya HKm

pertama di Indonesia. Pasca kejadian

tersebut, masyarakat mulai merasakan

berkurangnya air.

Gde Bongoh, yang

merupakan anak

sungai (8 km) dari

DAS Dodokan (Aik

Buka). Saat ini sangat

tidak dimungkinkan

lagi berbudidaya

Padma, karena ketersediaan air sudah tidak

mencukupi. Masyarakat bergantung pasokan 1

air baku dari Lokok Pelebur, tetapi

distribusinya dirasakan belum sesuai

kebutuhan. Hal ini menyebabkan banyak

petani Padma yang beralih untuk berkebun

saja.

Hal serupa yang dirasakan di Taman

Wisata Aiq Bukaq yang di dalamnya terdapat

kolam renang dengan air bersumber dari

mata air di situ, dengan ukuran 15 X 25 X 2,5 3

m . Jika ingin mengisi kolam renang yang

ada, pada tahun 90an akhir hanya

dibutuhkan waktu 3-5 jam, sementara saat

ini membutuhkan waktu sekitar 3 hari. Mata

air yang sebanyak 7 titik yang terdapat di

Desa Stiling telah mati. Illegal loging dan

pengelolaan HKm yang tidak sesuai, serta

pola distribusi yang belum berkelanjutan dan

adil menyebabkan penyusutan.

Jika terus dibiarkan, masyarakat hanya

akan menjadi penonton ruangnya terus

tergerus. Hal ini berpotensi menyulut konflik

baik secara horizontal maupun vertikal. Pada

situasi ini, peran Simpul Layanan Pemetaan

Partisipatif (SLPP) NTB, berharap dapat

mendorong lahirnya sebuah peta mata air

dan area konservasi yang dibuat secara

partisipaif dan selanjutnya dapat menjadi

acuan semua pihak (Pemerintah Desa,

Kabupaten, Provinsi dan Pemerintah Pusat),

dalam melaksanakan pembangunan,

mengelola dan memanfaatkan serta

memelihara sumber daya alam yang ada,

terutama sumber daya Air.

Karena harus disadari, bahwa sebagus

apapun konsep dan partisipasi yang

dibangun, tanpa kebijakan lokal dan pusat

yang memberikan ruang kondusif agar

terjadinya integrasi dan kolaborasi yang lebih

pro rakyat, sulit rasanya sebuah program

apalagi proyek bisa berhasil secara

berkelanjutan. Untuk itu, kerja-kerja

kolaboratif yang lebih nyata, dengan pola

perencananaan yang lebih partisipatif,

diharapkan dapat sedikit menjawab

persoalan rakyat.

Pemetaan Mata air di Kawasan Kaula yang

diinisiasi oleh SLPP bertujuan untuk

memetakan mata air dan area konservasi

termasuk melihat kondisi masyarakat desa

yang memiliki sumber mata air, dokumen ini

Warga Desa Teratak,

“sekitar 20 tahun yang lalu

kita masih bisa mancing di

telabah (saluran air) depan

rumah, namun sekarang

cari cacing saja sulit”

1 air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan/atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum.

Page 29: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

28KABAR JKPP

29

K A B A R S I M P U L K A B A R S I M P U L

Lombok Tengah adalah salah satu

kabupaten yang ada di Provinsi Nusa

Tenggara Barat. Selanjutnya dalam Rencana

Tata Ruang Wilayah Lombok Tengah dibagi

menjadi 3 (tiga) kawasan yaitu Kawasan

Selatan (Empak Bau), Kawasan Tengah

(Tunjung Tilah) dan Kawasan Utara (Aik

Meneng).

Kawasan Utara atau Aik Meneng adalah

kawasan yang berbatasan langsung dengan

Gunung Rinjani (3.726 Mdpl). Kawasan ini

kemudian menjadi jantung penghidupan

bagi Kabupaten Lombok Tengah, karena

memiliki hutan yang menjadi sumber mata

air yang mengalir ke bagian Tengah dan

Selatan. Tetapi ketidakjelasan pengelolaan

SDA dan tidak dilibatkanya masyarakat

dalam pengurusan pengelolaan kawasan oleh

Pemerintah Daerah telah menyebabkan

rentetan masalah di tingkat tapak.

Kekayaan sumber daya air yang terdapat

dikawasan Aik Meneng lebih banyak

dinikmati oleh sebagian kecil orang saja dan

ironisnya orang di luar kawasan. Hal ini

dikarenakan beroperasinya perusahaan air

minum swasta yang menyedot air dan

menyebabkan pasokan air bagi masyarakat

sekitar berkurang secara drastis.

Berdasarkan hasil wawancara (testimoni)

dengan warga dan aparat desa di Kawasan

Utara Lombok Tengah (Kaula), menyatakan

bahwa air pada masa dulu sekitar tahun 90

an masih sangat bagus. Panen padi mina

(Padma) di areal kelompok Tani Adil

Makmur, bagian Timur-Laut (Tenggara)

Pemetaaan Mata Air dan Area Konservasi di Kawasan Utara Lombok Tengah

MENJAGA MATA AIR UNTUK MENGHAPUS AIR MATAPemetaaan Mata Air dan Area Konservasi di Kawasan Utara Lombok Tengah

MENJAGA MATA AIR UNTUK MENGHAPUS AIR MATA

Kurniawan NomeantoKoordinator

Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) NTB

Desa Selebung masih sangat bagus. Air yang

mengaliri padi mina didapatkan dari saluran

sub DAS Gedeh. Kemudian saat era

reformasi, dengan seketika terjadi

pembukaan hutan secara besar-besaran,

bahkan dihampir seluruh dataran Lombok.

Begitu pula yang terjadi di Desa Kawasan

Utara Lombok Tengah (Kaula), sejak tahun

2000 hutan dibuka secara besar-besaran

yang kemudian berujung pada lahirnya HKm

pertama di Indonesia. Pasca kejadian

tersebut, masyarakat mulai merasakan

berkurangnya air.

Gde Bongoh, yang

merupakan anak

sungai (8 km) dari

DAS Dodokan (Aik

Buka). Saat ini sangat

tidak dimungkinkan

lagi berbudidaya

Padma, karena ketersediaan air sudah tidak

mencukupi. Masyarakat bergantung pasokan 1

air baku dari Lokok Pelebur, tetapi

distribusinya dirasakan belum sesuai

kebutuhan. Hal ini menyebabkan banyak

petani Padma yang beralih untuk berkebun

saja.

Hal serupa yang dirasakan di Taman

Wisata Aiq Bukaq yang di dalamnya terdapat

kolam renang dengan air bersumber dari

mata air di situ, dengan ukuran 15 X 25 X 2,5 3

m . Jika ingin mengisi kolam renang yang

ada, pada tahun 90an akhir hanya

dibutuhkan waktu 3-5 jam, sementara saat

ini membutuhkan waktu sekitar 3 hari. Mata

air yang sebanyak 7 titik yang terdapat di

Desa Stiling telah mati. Illegal loging dan

pengelolaan HKm yang tidak sesuai, serta

pola distribusi yang belum berkelanjutan dan

adil menyebabkan penyusutan.

Jika terus dibiarkan, masyarakat hanya

akan menjadi penonton ruangnya terus

tergerus. Hal ini berpotensi menyulut konflik

baik secara horizontal maupun vertikal. Pada

situasi ini, peran Simpul Layanan Pemetaan

Partisipatif (SLPP) NTB, berharap dapat

mendorong lahirnya sebuah peta mata air

dan area konservasi yang dibuat secara

partisipaif dan selanjutnya dapat menjadi

acuan semua pihak (Pemerintah Desa,

Kabupaten, Provinsi dan Pemerintah Pusat),

dalam melaksanakan pembangunan,

mengelola dan memanfaatkan serta

memelihara sumber daya alam yang ada,

terutama sumber daya Air.

Karena harus disadari, bahwa sebagus

apapun konsep dan partisipasi yang

dibangun, tanpa kebijakan lokal dan pusat

yang memberikan ruang kondusif agar

terjadinya integrasi dan kolaborasi yang lebih

pro rakyat, sulit rasanya sebuah program

apalagi proyek bisa berhasil secara

berkelanjutan. Untuk itu, kerja-kerja

kolaboratif yang lebih nyata, dengan pola

perencananaan yang lebih partisipatif,

diharapkan dapat sedikit menjawab

persoalan rakyat.

Pemetaan Mata air di Kawasan Kaula yang

diinisiasi oleh SLPP bertujuan untuk

memetakan mata air dan area konservasi

termasuk melihat kondisi masyarakat desa

yang memiliki sumber mata air, dokumen ini

Warga Desa Teratak,

“sekitar 20 tahun yang lalu

kita masih bisa mancing di

telabah (saluran air) depan

rumah, namun sekarang

cari cacing saja sulit”

1 air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah dan/atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum.

Page 30: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

30 KABAR JKPP

31

K A B A R S I M P U L K A B A R S I M P U L

diharapkan dapat

menjadi acuan semua

pihak dalam melakukan

perencanaan

pembangunan di

Kabupaten Lombok

Tengah. Pemetaan mata

air ini dilakukan di 6

desa kawasan Utara

Lombok Tengah

(KAULA) yaitu Desa

Aik Berik, Setiling, Aik

Buka, Aik Bual, Karang

Sidemen, dan Lantan.

Sebelum kegiatan

pemetaan dimulai,

SLPP-NTB melakukan

persiapan sosial dengan

membuat pertemuan

kecil dengan

pemerintah desa dan

beberapa tokoh di 6

desa yang akan

dipetakan, pertemuan

ini selain untuk

bersosialisasi juga

untuk mengidentifikasi

para pihak dan

mendapatkan data awal

kondisi sosial budaya

masyarakat setempat.

Setelah persiapan

sosial telah dilaksanakan di semua desa,

tahapan selanjutnya adalah melaksanakan

pertemuan/workshop untuk menentukan tim

kerja dan waktu pemetaan. Setelah tim

terbentuk dan menyepakati waktu pemetaan

sudah disepakati, maka tahapan selanjutnya

adalah survey lapangan sesuai dengan jadwal

yang ada.

Setelah semua data hasil survey lapangan

terkumpul, tim GIS melakukan pengolahan

data menjadi peta digital.

Setelah seluruh data terkompilasi kedalam

peta, tahapan terakhirnya adalah sosialisasi

hasil kegiatan melalui seminar untuk

mendapatkan masukan sekaligus untuk

pengintegrasian peta dan penyerahan peta

kepada Pemerintah Desa dan Pemerintah

Kabupaten.

Dari hasil pemetaan partisipatif, terdapat

sekitar 90 mata air di 5 Desa Kecamatan

Batukliang Utara dan 1 Desa Kecamatan

Kopang (36 titik mata air berada di kawasan

hutan, 47 titik di lahan hak milik, 7 titik di

lahan milik pemerintah daerah).

Berdasarkan hasil pemetaan diatas, ada

beberapa pointer yang menjadi rekomendasi

penyelamatan, pemeliharaan dan

pengelolaan sumber mata air jangka pendek,

jangka menengah dan jangka panjang,

sebagai berikut:

1. Perencanaan dan pelaksanaan

konservasi area sumber mata air harus

dilakukan secara partisipatif

2. Secara bertahap, harus ada upaya

pembebasan lahan sekitar sumber mata

air yang lokasinya dilahan hak milik

3. Aplikasi dan replikasi Awiq-awiq atau

Perdes serta Puberkades sebagai

resolusi konflik pemanfaatan SD-Air di

satu dan dan antar desa

4. Pemberdayaan masyarakat dan

peningkatan kapasitas kelompok-

kelompok masyarakat sekitar mata air.

5. Kampanye penyadaran lingkungan yang

lebih masif.

6. Optimalisasi peran aparat penegak

hukum dengan melibatkan kelompok

masyarakat Penjaga Hutan (LANG-

LANG)

7. Paska pemetaan, harus disusun rencana

aksi pemeliharaan dan penyelamatan

SD-Air dari tingkat SKPD, Lembaga

sampai Pemerintah Desa serta

Masyarakat umum.

TANTANGAN DAN HAMBATAN

Kegiatan pemetaan ini secara efektif

dimulai sejak akhir bulan April tahun 2015.

Secara keseluruhan berjalan lancar walaupun

terdapat beberapa hambatan dalam proses

pelaksanaannya. Tim pemetaan sangat

terbantu oleh semangat dari masyarakat dan

Pemerintah desa setempat, hanya pada bulan

Juli sampai dengan awal bulan Agustus 2015,

kegiatan harus ditunda karena pada bulan

tersebut masyarakat Lombok Tengah

khususnya warga di 6 desa lokasi pemetaan

yang 99 % beragama muslim, harus

menjalankan ibadah puasa selama 1 bulan

penuh. Secara kultur dan kebiasaan

masyarakat, pada bulan tersebut masyarakat

cenderung tidak mau beraktifitas, terutama

aktifitas pada siang hari. Selain itu, medan

atau lokasi mata air yang sangat jauh dan

sulit, juga menjadikan kegiatan pemetaan ini

membutuhkan waktu yang cukup lama.

Hasil pemetaan ini diharapkan dapat

menjadi acuan seluruh stakeholder dalam

melaksanakan Pembangun Di Kabupaten

Lombok Tengah. Selanjutnya seluruh

dokumen hasil pemetaan ini diserahkan

kepada Pemerintah Daerah Kabupaten

Lombok Tengah melalui Kantor Lingkungan

Hidup sebagai laporan kegiatan dan

Pemerintah 6 Desa yang dipetakan sebagai

dokumen dan data desa. (SLPP NTB)

Peta Pemanfaatan Mata Air di Kawasan Batukliang Utara Lombok Tengah - Nusa Tenggara Barat

Page 31: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

30 KABAR JKPP

31

K A B A R S I M P U L K A B A R S I M P U L

diharapkan dapat

menjadi acuan semua

pihak dalam melakukan

perencanaan

pembangunan di

Kabupaten Lombok

Tengah. Pemetaan mata

air ini dilakukan di 6

desa kawasan Utara

Lombok Tengah

(KAULA) yaitu Desa

Aik Berik, Setiling, Aik

Buka, Aik Bual, Karang

Sidemen, dan Lantan.

Sebelum kegiatan

pemetaan dimulai,

SLPP-NTB melakukan

persiapan sosial dengan

membuat pertemuan

kecil dengan

pemerintah desa dan

beberapa tokoh di 6

desa yang akan

dipetakan, pertemuan

ini selain untuk

bersosialisasi juga

untuk mengidentifikasi

para pihak dan

mendapatkan data awal

kondisi sosial budaya

masyarakat setempat.

Setelah persiapan

sosial telah dilaksanakan di semua desa,

tahapan selanjutnya adalah melaksanakan

pertemuan/workshop untuk menentukan tim

kerja dan waktu pemetaan. Setelah tim

terbentuk dan menyepakati waktu pemetaan

sudah disepakati, maka tahapan selanjutnya

adalah survey lapangan sesuai dengan jadwal

yang ada.

Setelah semua data hasil survey lapangan

terkumpul, tim GIS melakukan pengolahan

data menjadi peta digital.

Setelah seluruh data terkompilasi kedalam

peta, tahapan terakhirnya adalah sosialisasi

hasil kegiatan melalui seminar untuk

mendapatkan masukan sekaligus untuk

pengintegrasian peta dan penyerahan peta

kepada Pemerintah Desa dan Pemerintah

Kabupaten.

Dari hasil pemetaan partisipatif, terdapat

sekitar 90 mata air di 5 Desa Kecamatan

Batukliang Utara dan 1 Desa Kecamatan

Kopang (36 titik mata air berada di kawasan

hutan, 47 titik di lahan hak milik, 7 titik di

lahan milik pemerintah daerah).

Berdasarkan hasil pemetaan diatas, ada

beberapa pointer yang menjadi rekomendasi

penyelamatan, pemeliharaan dan

pengelolaan sumber mata air jangka pendek,

jangka menengah dan jangka panjang,

sebagai berikut:

1. Perencanaan dan pelaksanaan

konservasi area sumber mata air harus

dilakukan secara partisipatif

2. Secara bertahap, harus ada upaya

pembebasan lahan sekitar sumber mata

air yang lokasinya dilahan hak milik

3. Aplikasi dan replikasi Awiq-awiq atau

Perdes serta Puberkades sebagai

resolusi konflik pemanfaatan SD-Air di

satu dan dan antar desa

4. Pemberdayaan masyarakat dan

peningkatan kapasitas kelompok-

kelompok masyarakat sekitar mata air.

5. Kampanye penyadaran lingkungan yang

lebih masif.

6. Optimalisasi peran aparat penegak

hukum dengan melibatkan kelompok

masyarakat Penjaga Hutan (LANG-

LANG)

7. Paska pemetaan, harus disusun rencana

aksi pemeliharaan dan penyelamatan

SD-Air dari tingkat SKPD, Lembaga

sampai Pemerintah Desa serta

Masyarakat umum.

TANTANGAN DAN HAMBATAN

Kegiatan pemetaan ini secara efektif

dimulai sejak akhir bulan April tahun 2015.

Secara keseluruhan berjalan lancar walaupun

terdapat beberapa hambatan dalam proses

pelaksanaannya. Tim pemetaan sangat

terbantu oleh semangat dari masyarakat dan

Pemerintah desa setempat, hanya pada bulan

Juli sampai dengan awal bulan Agustus 2015,

kegiatan harus ditunda karena pada bulan

tersebut masyarakat Lombok Tengah

khususnya warga di 6 desa lokasi pemetaan

yang 99 % beragama muslim, harus

menjalankan ibadah puasa selama 1 bulan

penuh. Secara kultur dan kebiasaan

masyarakat, pada bulan tersebut masyarakat

cenderung tidak mau beraktifitas, terutama

aktifitas pada siang hari. Selain itu, medan

atau lokasi mata air yang sangat jauh dan

sulit, juga menjadikan kegiatan pemetaan ini

membutuhkan waktu yang cukup lama.

Hasil pemetaan ini diharapkan dapat

menjadi acuan seluruh stakeholder dalam

melaksanakan Pembangun Di Kabupaten

Lombok Tengah. Selanjutnya seluruh

dokumen hasil pemetaan ini diserahkan

kepada Pemerintah Daerah Kabupaten

Lombok Tengah melalui Kantor Lingkungan

Hidup sebagai laporan kegiatan dan

Pemerintah 6 Desa yang dipetakan sebagai

dokumen dan data desa. (SLPP NTB)

Peta Pemanfaatan Mata Air di Kawasan Batukliang Utara Lombok Tengah - Nusa Tenggara Barat

Page 32: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

32

bertujuan untuk mengubah hutan dan rawa

gambut menjadi persawahan guna

mempertahankan swasembada pangan.

Proyek yang tidak didahului dengan

perencanaan yang baik sesuai dengan

kesesuaian ekologis dan kearifan lokal

masyarakat ditambah lagi dengan krisis

moneter pada tahun 1997-1998, berimplikasi

proyek PLG terhenti. Selanjutnya diterbitkan

Keputusan Presiden No. 80 Tahun 1999

tentang Pedoman Umum Perencanaan dan

Pengelolaan Pengembangan Lahan Gambut

di Kalimantan Tengah untuk pemulihan

kondisi kawasan yang sudah dibuka. Pada

tahun 2007, pemerintah kemudian

mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2

Tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi

dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan

Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.

Inpres itu meliputi tiga program utama, yaitu

konservasi, budidaya, dan pemberdayaan

masyarakat lokal dan transmigrasi. Dalam

masterplan kawasan seluas 1.462.295 hektar

itu terdiri atas empat zonasi, yaitu zona

kawasan lindung 773.500 hektar, zona

kawasan penyangga budidaya terbatas

353.500 hektar, zona kawasan budidaya

295.500 hektar, dan zona pesisir 40.000

hektar. Jangka waktu Inpres itu berakhir

pada 2011, namun dokumen

masterplan eks PLG yang dibuat

juga belum digunakan secara

sepenuhnya oleh para pihak.

Inisiatif masyarakat dalam

mengelola dan merencanakan

lahan eks PLG di Desa Henda

Di luar hiruk pikuk kebijakan

pengelolaan lahan gambut rezim

lama yang menyisakan dampak negatif

tersebut, tidak menyurutkan upaya

masyarakat untuk menjaga dan memulihkan

hutan dan lahan gambut. Upaya tersebut

diawali dengan membuat pemetaan

partisipatif yang kemudian dilanjutkan

dengan perencanaan tata guna lahan

partisipatif. Salah satunya yang dilakukan di

Desa Henda, Desa Henda Kecamatan Jabiren

Raya Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan

Tengah menginisiasi perencanaan tata guna

lahan partisipasi. Luas Desa Henda ini yaitu 28.547, 32 Km dan didiami oleh 184 KK

dengan mayoritas penduduknya bersuku

Dayak Ngaju. Dayak Ngaju Desa Henda

tinggal di pinggiran Sungai Kahayan dengan

mata pencaharian sebagai petani karet dan

dan buah serta nelayan tangkap. Masyarakat

Ngaju sejak dahulu memiliki pengetahuan

lokal dalam pengelolaan sumber daya alam

termasuk dalamnya hutan dan lahan gambut.

Bagi masyarakat Desa Henda, pemetaan

ruang desa memudahkan pengaturan dan

perencanaan pembanguan Desa Henda.

Selain itu, pemetaan partisipatif dapat

menyelesaikan tata batas desa. Berdasarkan

hasil diskusi perencanaan Desa Henda,

mereka akan mengusulkan Hutan Desa yang

KABAR JKPP

33

Pembukaan hutan

dan kanalisasi lahan

gambut

Sejak dibukanya Proyek

Pembangunan Gambut 1

Juta hektar di Kalimanatan

Tengah di Kapuas, Barito

Selatan dan Kota Palangka

Raya pada tahun 1996,

rentetan bencana

kebakaran terus terjadi di

beberapa wilayah kelola

masyarakat yang mendiami

bantaran Sungai Kahayan,

Kapuas dan Sungai Barito.

Dampak langsung terhadap

kegiatan PLG ini adalah

hancurnya wilayah kelola

masyarakat seperti kebun

karet, kebun rotan, kebun buah, saka (anak

sungai), handel dan beje (kolam ikan) karena

tergusur oleh alat berat saat membuat kanal-

kanal pengairan. Secara tidak langsung

kanal-kanal tersebut mengeringkan

permukaan air di rawa gambut serta

mengeringkan tanah gambut yang

mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan

pada tahun 1997 dan tahun 1998. Kebakaran

hutan dan lahan masyarakat pada areal eks

PLG ini terus berlanjut pada saat musim

kemarau pada tahun 2003, 2008 dan tahun

2015.

Proyek PLG merupakan Keputusan

Presiden Nomor 82 Tahun 1995 tentang

Pengembangan Lahan Gambut untuk

Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan

Tengah, di kabupaten Kapuas, Barito Selatan

dan Kota Palangka Raya. PLG ini awalnya

Perencanaan Tata Guna Lahan dan Pengelolaan Gambut Berbasis Masyarakat Di Desa Henda, Kecamatan Jabiren Raya,Kabupaten Pulang Pisau

Edy Subahani

K A B A R P E T A K A M P U N GK A B A R P E T A K A M P U N G

Peta Perencanaan Penggunaan Lahan Desa Henda

Page 33: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

32

bertujuan untuk mengubah hutan dan rawa

gambut menjadi persawahan guna

mempertahankan swasembada pangan.

Proyek yang tidak didahului dengan

perencanaan yang baik sesuai dengan

kesesuaian ekologis dan kearifan lokal

masyarakat ditambah lagi dengan krisis

moneter pada tahun 1997-1998, berimplikasi

proyek PLG terhenti. Selanjutnya diterbitkan

Keputusan Presiden No. 80 Tahun 1999

tentang Pedoman Umum Perencanaan dan

Pengelolaan Pengembangan Lahan Gambut

di Kalimantan Tengah untuk pemulihan

kondisi kawasan yang sudah dibuka. Pada

tahun 2007, pemerintah kemudian

mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2

Tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi

dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan

Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.

Inpres itu meliputi tiga program utama, yaitu

konservasi, budidaya, dan pemberdayaan

masyarakat lokal dan transmigrasi. Dalam

masterplan kawasan seluas 1.462.295 hektar

itu terdiri atas empat zonasi, yaitu zona

kawasan lindung 773.500 hektar, zona

kawasan penyangga budidaya terbatas

353.500 hektar, zona kawasan budidaya

295.500 hektar, dan zona pesisir 40.000

hektar. Jangka waktu Inpres itu berakhir

pada 2011, namun dokumen

masterplan eks PLG yang dibuat

juga belum digunakan secara

sepenuhnya oleh para pihak.

Inisiatif masyarakat dalam

mengelola dan merencanakan

lahan eks PLG di Desa Henda

Di luar hiruk pikuk kebijakan

pengelolaan lahan gambut rezim

lama yang menyisakan dampak negatif

tersebut, tidak menyurutkan upaya

masyarakat untuk menjaga dan memulihkan

hutan dan lahan gambut. Upaya tersebut

diawali dengan membuat pemetaan

partisipatif yang kemudian dilanjutkan

dengan perencanaan tata guna lahan

partisipatif. Salah satunya yang dilakukan di

Desa Henda, Desa Henda Kecamatan Jabiren

Raya Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan

Tengah menginisiasi perencanaan tata guna

lahan partisipasi. Luas Desa Henda ini yaitu 28.547, 32 Km dan didiami oleh 184 KK

dengan mayoritas penduduknya bersuku

Dayak Ngaju. Dayak Ngaju Desa Henda

tinggal di pinggiran Sungai Kahayan dengan

mata pencaharian sebagai petani karet dan

dan buah serta nelayan tangkap. Masyarakat

Ngaju sejak dahulu memiliki pengetahuan

lokal dalam pengelolaan sumber daya alam

termasuk dalamnya hutan dan lahan gambut.

Bagi masyarakat Desa Henda, pemetaan

ruang desa memudahkan pengaturan dan

perencanaan pembanguan Desa Henda.

Selain itu, pemetaan partisipatif dapat

menyelesaikan tata batas desa. Berdasarkan

hasil diskusi perencanaan Desa Henda,

mereka akan mengusulkan Hutan Desa yang

KABAR JKPP

33

Pembukaan hutan

dan kanalisasi lahan

gambut

Sejak dibukanya Proyek

Pembangunan Gambut 1

Juta hektar di Kalimanatan

Tengah di Kapuas, Barito

Selatan dan Kota Palangka

Raya pada tahun 1996,

rentetan bencana

kebakaran terus terjadi di

beberapa wilayah kelola

masyarakat yang mendiami

bantaran Sungai Kahayan,

Kapuas dan Sungai Barito.

Dampak langsung terhadap

kegiatan PLG ini adalah

hancurnya wilayah kelola

masyarakat seperti kebun

karet, kebun rotan, kebun buah, saka (anak

sungai), handel dan beje (kolam ikan) karena

tergusur oleh alat berat saat membuat kanal-

kanal pengairan. Secara tidak langsung

kanal-kanal tersebut mengeringkan

permukaan air di rawa gambut serta

mengeringkan tanah gambut yang

mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan

pada tahun 1997 dan tahun 1998. Kebakaran

hutan dan lahan masyarakat pada areal eks

PLG ini terus berlanjut pada saat musim

kemarau pada tahun 2003, 2008 dan tahun

2015.

Proyek PLG merupakan Keputusan

Presiden Nomor 82 Tahun 1995 tentang

Pengembangan Lahan Gambut untuk

Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan

Tengah, di kabupaten Kapuas, Barito Selatan

dan Kota Palangka Raya. PLG ini awalnya

Perencanaan Tata Guna Lahan dan Pengelolaan Gambut Berbasis Masyarakat Di Desa Henda, Kecamatan Jabiren Raya,Kabupaten Pulang Pisau

Edy Subahani

K A B A R P E T A K A M P U N GK A B A R P E T A K A M P U N G

Peta Perencanaan Penggunaan Lahan Desa Henda

Page 34: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

34 KABAR JKPP

35

K A B A R P E T A K A M P U N G

lahan pertanian dan permukiman

10. Sungei ; Sungai atau anak sungai,

Tempat mencari ikan dan prasarana

transportasi tradisonal masyarakat.

11. Petak Uwap ; Terdapat akar-akaran

dan tumbuhan yang berada di atas

sahep (Vegetasi yang dominan

kelakai, gerigit, sapahiring, pawah,

purun, dan galam), berupa gambut

tempat ikan dan ular sawah

(panganen), depung, kura-kura

(kelep).

12. Petak Mahang ; Tanah subur, Daerah

potensial untuk bertani/berkebun

Kesepakatan tata guna lahan tersebut

menjadi referensi semua pihak dalam

melakukan pengelolaan sumber daya serta

pembangunan desa. Dalam pengelolan lahan

gambut, handel dan tabat memiliki peranan

penting. Secara prinsip handel merupakan

sebuah konsep lokal yang dilakukan oleh

masyarakat sekitar dalam memanfaatkan

gambut sebagai wilayah pertanian kolektif

untuk pemenuhan sumber pangan dan

produksi secara berkelanjutan dan sebagai

jalur transportasi menuju lokasi ke ladang

dan kebun dan untuk mencari ikan. Handil

merupakan bentuk pengelolaan kawasan

yang awalnya adalah sebuah anak sungai

kecil (saka) yang dijadikan parit memanjang

hingga 3-4 kilometer. Sisi kiri dan kanan

handel dijadikan masyarakat tempat untuk

lokasi ladang, kebun karet, dan kebun buah.

Handel diperkirakan sudah ada sejak tahun

1900-an.

Tabat adalah sebuah

konstruksi bendungan

dengan membuat jajaran

kayu yang dipasang

melintang pada saluran

atau kanal atau serupa

bendungan yang berfungsi

untuk mengurangi arus air.

Bahan kayu yang dibuat

untuk tabat ini

menggunakan kayu yag

mudah didapat disekitar

lahan di desa yaitu jenis

kayu galam atau

belangeran (Shorea

belangeran). Pada bagian

tengah tabat dibuat

spillway atau tumpahan air

yang berfungsi untuk arus air dan sebagai

lalu lintas warga yang melalui saluran atau

handel. Tinggi spillway dari permukaan

tanah antara 30-40 cm. Dalam membangun

tabat ini juga perlu memperhatikan laju arus

air dan kedalaman saluran atau handel.

berada sebelah barat desa yang merupakan

lahan gambut yang rentan terbakar.

Semenjak dibukanya eks PLG pada tahun

1997 di Desa Henda sudah hampir 4-5 kali

terjadi kebakaran hutan. Hal ini berdasarkan

penuturan Kepala Desa Henda Bapak Teguh

pada saat FGD verifikasi peta PLUP pada

tanggal 21 Juli 2016, “Semenjak

dibukanya PLG pada tahun 1997,

setiap kemarau panjang wilayah desa

Henda selalu terbakar dan merembet

ke kebun milik warga. Sangat percuma

kami setiap tahun menanam karet dan

buah apabila selalu terbakar”. Bapak

Teguh berharap dengan adanya pemetaan

perencanaan di desa dengan memasukan

rencana sumur bor dan tabat, dan wilayah

desa Henda akan terhindar dari kebakaran.

Bantuan pemerintah dalam hal ini sangat

penting untuk melakukan pembasahan

lahan-lahan gambut dan rentan terbakar di

wilayah Desa Henda.

Melalui pemetaan dan perencanaan

partisipatif, masyarakat menyepakati

pembagian lahan sebagai berikut :

1. Bahu ; Bekas ladang yang kemudian

ditanam dengan tanaman keras, mis.

rotan, karet, atau buah-buahan lokal

(rambutan, cempedak, paken, durian,

dll), lokasi ladang/pertanian

Holtikultura.

2. Bahu Himba adalah Hutan bekas

garapan, umumnya ditanam dengan

jenis: rotan, rumbia, karet, dan jenis

lain yang bernilai ekonomis tinggi.

3. Kabun Bua adalah Kebun buah-

buahan dan bernilai ekonomis.

4. Saka adalah Anak sungai, tempat

masyarakat desa menangkap ikan

sungai, Anak sungai yang terbentuk

secara alami dengan jarak tidak

panjang.

5. Handel ; Sungai buatan atau terusan,

Akses transportasi air ke tempat

bertani dan berkebun

6. Baruh/Ruak ; Kolam ikan

alamiTempat ikan

berkembang biak

7. Petak Sahep ; Gambut

tipis, sedang dan tebal,

Habitat binatang langka

(trenggiling/ahem)

8. Petak Galam ; Tanah

kritis bekas terbakar, air

masam dan ditumbuhi

galam (galam bernilai

jual tinggi atau

ekonomis), Habitat ikan

khas (papuyu galam),

Petak galam adalah tanah campuran

gambut dan pematang

9. Petak Katam/Rawa ; Daerah pasang

surut dan ditandai dengan binatang

kepiting kecil/Katam dan berada di

pinggir sungai besar (Kahayan dan

Kapuas), bisa dimanfaatkan untuk

K A B A R P E T A K A M P U N G

Page 35: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

34 KABAR JKPP

35

K A B A R P E T A K A M P U N G

lahan pertanian dan permukiman

10. Sungei ; Sungai atau anak sungai,

Tempat mencari ikan dan prasarana

transportasi tradisonal masyarakat.

11. Petak Uwap ; Terdapat akar-akaran

dan tumbuhan yang berada di atas

sahep (Vegetasi yang dominan

kelakai, gerigit, sapahiring, pawah,

purun, dan galam), berupa gambut

tempat ikan dan ular sawah

(panganen), depung, kura-kura

(kelep).

12. Petak Mahang ; Tanah subur, Daerah

potensial untuk bertani/berkebun

Kesepakatan tata guna lahan tersebut

menjadi referensi semua pihak dalam

melakukan pengelolaan sumber daya serta

pembangunan desa. Dalam pengelolan lahan

gambut, handel dan tabat memiliki peranan

penting. Secara prinsip handel merupakan

sebuah konsep lokal yang dilakukan oleh

masyarakat sekitar dalam memanfaatkan

gambut sebagai wilayah pertanian kolektif

untuk pemenuhan sumber pangan dan

produksi secara berkelanjutan dan sebagai

jalur transportasi menuju lokasi ke ladang

dan kebun dan untuk mencari ikan. Handil

merupakan bentuk pengelolaan kawasan

yang awalnya adalah sebuah anak sungai

kecil (saka) yang dijadikan parit memanjang

hingga 3-4 kilometer. Sisi kiri dan kanan

handel dijadikan masyarakat tempat untuk

lokasi ladang, kebun karet, dan kebun buah.

Handel diperkirakan sudah ada sejak tahun

1900-an.

Tabat adalah sebuah

konstruksi bendungan

dengan membuat jajaran

kayu yang dipasang

melintang pada saluran

atau kanal atau serupa

bendungan yang berfungsi

untuk mengurangi arus air.

Bahan kayu yang dibuat

untuk tabat ini

menggunakan kayu yag

mudah didapat disekitar

lahan di desa yaitu jenis

kayu galam atau

belangeran (Shorea

belangeran). Pada bagian

tengah tabat dibuat

spillway atau tumpahan air

yang berfungsi untuk arus air dan sebagai

lalu lintas warga yang melalui saluran atau

handel. Tinggi spillway dari permukaan

tanah antara 30-40 cm. Dalam membangun

tabat ini juga perlu memperhatikan laju arus

air dan kedalaman saluran atau handel.

berada sebelah barat desa yang merupakan

lahan gambut yang rentan terbakar.

Semenjak dibukanya eks PLG pada tahun

1997 di Desa Henda sudah hampir 4-5 kali

terjadi kebakaran hutan. Hal ini berdasarkan

penuturan Kepala Desa Henda Bapak Teguh

pada saat FGD verifikasi peta PLUP pada

tanggal 21 Juli 2016, “Semenjak

dibukanya PLG pada tahun 1997,

setiap kemarau panjang wilayah desa

Henda selalu terbakar dan merembet

ke kebun milik warga. Sangat percuma

kami setiap tahun menanam karet dan

buah apabila selalu terbakar”. Bapak

Teguh berharap dengan adanya pemetaan

perencanaan di desa dengan memasukan

rencana sumur bor dan tabat, dan wilayah

desa Henda akan terhindar dari kebakaran.

Bantuan pemerintah dalam hal ini sangat

penting untuk melakukan pembasahan

lahan-lahan gambut dan rentan terbakar di

wilayah Desa Henda.

Melalui pemetaan dan perencanaan

partisipatif, masyarakat menyepakati

pembagian lahan sebagai berikut :

1. Bahu ; Bekas ladang yang kemudian

ditanam dengan tanaman keras, mis.

rotan, karet, atau buah-buahan lokal

(rambutan, cempedak, paken, durian,

dll), lokasi ladang/pertanian

Holtikultura.

2. Bahu Himba adalah Hutan bekas

garapan, umumnya ditanam dengan

jenis: rotan, rumbia, karet, dan jenis

lain yang bernilai ekonomis tinggi.

3. Kabun Bua adalah Kebun buah-

buahan dan bernilai ekonomis.

4. Saka adalah Anak sungai, tempat

masyarakat desa menangkap ikan

sungai, Anak sungai yang terbentuk

secara alami dengan jarak tidak

panjang.

5. Handel ; Sungai buatan atau terusan,

Akses transportasi air ke tempat

bertani dan berkebun

6. Baruh/Ruak ; Kolam ikan

alamiTempat ikan

berkembang biak

7. Petak Sahep ; Gambut

tipis, sedang dan tebal,

Habitat binatang langka

(trenggiling/ahem)

8. Petak Galam ; Tanah

kritis bekas terbakar, air

masam dan ditumbuhi

galam (galam bernilai

jual tinggi atau

ekonomis), Habitat ikan

khas (papuyu galam),

Petak galam adalah tanah campuran

gambut dan pematang

9. Petak Katam/Rawa ; Daerah pasang

surut dan ditandai dengan binatang

kepiting kecil/Katam dan berada di

pinggir sungai besar (Kahayan dan

Kapuas), bisa dimanfaatkan untuk

K A B A R P E T A K A M P U N G

Page 36: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

36

Menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria

(KPA), Saudara Iwan Nurdin, yang ditemui oleh tim Kabar JKPP

dalam wawancara terkait dengan redistribusi lahan Badega,

menyatakan beberapa poin penting dan concern KPA diantaranya :

“Badega itu adalah tanah yang telah lama dinanti-nanti masyarakat

untuk diredistribusikan kepada rakyat”. Badega merupakan salah

satu konflik tanah yang melegenda karena sudah mulai sejak tahun

1980an, yang saat itu sempat mendorong protes mahasiswa

Bandung dengan melakukan long march Bandung – Garut. Long

march dilakukan dalam rangka mendukung 13 tokoh Petani yang dipenjarakan karena dituduh

melakukan penyerebotan tanah perkebunan tanpa ijin dan memaksa pemerintah saat itu untuk

menyelesaikan konflik. Sejak saat itu, HGU PT. SAM itu tidak pernah bisa terbit tetapi juga tidak

pernah diredistribusikan secara legal kepada masyarakat, tetapi masyarakat terus mengelola

lahannya.

Khususnya di Badega redistribusi lahan yang dilakukan memang program yang ditunggu oleh

masyarakat Badega, tapi pertanyaan selanjutnya apakah sudah cukup? redistribusi tanah Badega

itu seharusnya menjadi jalan bagi redistribusi yang lebih luas bagi tanah sengketa lainnya di

Indonesia. Catatan kritis bagi redistribusi lahan di Badega, secara luasan masih belum proporsional

bagi RT petani. Satu RT petani hanya mendapatkan sekitar ¼ Ha saja, sementara untuk skala

ekonomi seharusnya 1.5 hingga 2 Ha. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah harus mendorong

objek-objek reforma agraria yang lebih luas sehingga redistribusi tanah itu bisa sesuai dengan

kebutuhan dalam upaya penyelesaian konflik dan peningkatan kesejahteraan petani. Selain itu,

redistribusi lahan juga harus disertai dengan program pendukung pertanian bagi petani.

RA seperti apa yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah?

RA yang harus dijalankan pemerintah itu sebenarnya sudah tertuang di Undang-Undang Pokok

Agraria dan di TAP MPR No.9 Tahun 2001, oleh karenanya mandat KPA jelas yaitu sesuai dengan

amanat konstitusi Undang-Undang Pokok Agraria dan TAP MPR No.9 Tahun 2001 tentang

Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Reforma Agraria harus bisa menjawab

1) mengakhiri ketimpangan, kepemilikan, pengusahaan dan penguasaan sumber-sumber agraria

KABAR JKPP

37

K A B A R P E T A K A M P U N GK A B A R P E T A K A M P U N G

Sejarah panjang mengiringi konflik dan

sengketa tanah eks Hak Guna Usaha (HGU)

perkebunan teh antara petani Badega dengan

PT. Surya Andaka Mustika (SAM) seluas

422,3065 hektar di Kecamatan Cikajang dan

Kecamatan Banjarwangi Kabupaten Garut.

Sejak diberikannya izin HGU kepada PT

SAM pada tahun 1986, petani Badega

menerima intimidasi, kekerasan bahkan

kriminalisasi oleh aparat yang menyebabkan

13 tokoh petani Badega dipenjara karena

dituduh melakukan penyerebotan tanah

perkebunan tanpa ijin.

Selama kurang lebih 33 tahun petani

Badega menguasai lahan perkebunan secara

sporadik yang kemudian pada akhirnya

mendapatkan jawaban kepastian hak atas

tanah dari Pemerintah di era Jokowi.

Tepatnya pada bulan Januari 2016 melalui

Surat Kementerian ATR terkait Penetapan

No. 319/020/I/2016 yang menyatakan

bahwa tanah eks HGU PT. SAM di

Kabupaten Garut menjadi tanah negara,

yang kemudian ditindaklanjuti dengan

rencana redistribusi tanah untuk petani

Badega.

Menindaklanjuti surat penetapan yang

dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan

Tata Ruang, pada awal bulan Februari 2016

dilakukan pertemuan di Kantor Pertanahan

(KANTAH) Kabupaten Garut yang dihadiri

oleh Dirjen Penataan Agraria, Kepala

KANTAH Kabupaten Garut, perwakilan KPA

dan perwakilan beberapa petani Badega

untuk menyusun rencana kegiatan

redistribusi tanah eks HGU PT. SAM kepada

petani. Hasilnya disepakati untuk

membentuk kepanitiaan redistribusi tanah

yang terdiri dari perwakilan petani dan

berbagai multi pihak di Kabupaten Garut

dengan target waktu efektif bekerja selama 2

bulan. Berangkat dari kesepakatan tersebut,

konsolidasi tanah yang sudah dikuasai dan

dikelola oleh petani Badega diserahkan

sepenuhnya kepada para petani dengan

membentuk panitia yang bertugas

melakukan pendataan objek dan subjek

calon penerima manfaat redistribusi tanah di

lapangan, yang kemudian disepakati

dilakukan melalui pemetaan partisipatif.

Cerita Redistribusi Tanah Badega - GarutPemetaan Partisipatif dan Reforma Agraria

Sofyan Ubaidi AnomAnggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Jawa Timur

Menagih Janji RA Jokowi.

Page 37: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

36

Menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria

(KPA), Saudara Iwan Nurdin, yang ditemui oleh tim Kabar JKPP

dalam wawancara terkait dengan redistribusi lahan Badega,

menyatakan beberapa poin penting dan concern KPA diantaranya :

“Badega itu adalah tanah yang telah lama dinanti-nanti masyarakat

untuk diredistribusikan kepada rakyat”. Badega merupakan salah

satu konflik tanah yang melegenda karena sudah mulai sejak tahun

1980an, yang saat itu sempat mendorong protes mahasiswa

Bandung dengan melakukan long march Bandung – Garut. Long

march dilakukan dalam rangka mendukung 13 tokoh Petani yang dipenjarakan karena dituduh

melakukan penyerebotan tanah perkebunan tanpa ijin dan memaksa pemerintah saat itu untuk

menyelesaikan konflik. Sejak saat itu, HGU PT. SAM itu tidak pernah bisa terbit tetapi juga tidak

pernah diredistribusikan secara legal kepada masyarakat, tetapi masyarakat terus mengelola

lahannya.

Khususnya di Badega redistribusi lahan yang dilakukan memang program yang ditunggu oleh

masyarakat Badega, tapi pertanyaan selanjutnya apakah sudah cukup? redistribusi tanah Badega

itu seharusnya menjadi jalan bagi redistribusi yang lebih luas bagi tanah sengketa lainnya di

Indonesia. Catatan kritis bagi redistribusi lahan di Badega, secara luasan masih belum proporsional

bagi RT petani. Satu RT petani hanya mendapatkan sekitar ¼ Ha saja, sementara untuk skala

ekonomi seharusnya 1.5 hingga 2 Ha. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah harus mendorong

objek-objek reforma agraria yang lebih luas sehingga redistribusi tanah itu bisa sesuai dengan

kebutuhan dalam upaya penyelesaian konflik dan peningkatan kesejahteraan petani. Selain itu,

redistribusi lahan juga harus disertai dengan program pendukung pertanian bagi petani.

RA seperti apa yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah?

RA yang harus dijalankan pemerintah itu sebenarnya sudah tertuang di Undang-Undang Pokok

Agraria dan di TAP MPR No.9 Tahun 2001, oleh karenanya mandat KPA jelas yaitu sesuai dengan

amanat konstitusi Undang-Undang Pokok Agraria dan TAP MPR No.9 Tahun 2001 tentang

Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Reforma Agraria harus bisa menjawab

1) mengakhiri ketimpangan, kepemilikan, pengusahaan dan penguasaan sumber-sumber agraria

KABAR JKPP

37

K A B A R P E T A K A M P U N GK A B A R P E T A K A M P U N G

Sejarah panjang mengiringi konflik dan

sengketa tanah eks Hak Guna Usaha (HGU)

perkebunan teh antara petani Badega dengan

PT. Surya Andaka Mustika (SAM) seluas

422,3065 hektar di Kecamatan Cikajang dan

Kecamatan Banjarwangi Kabupaten Garut.

Sejak diberikannya izin HGU kepada PT

SAM pada tahun 1986, petani Badega

menerima intimidasi, kekerasan bahkan

kriminalisasi oleh aparat yang menyebabkan

13 tokoh petani Badega dipenjara karena

dituduh melakukan penyerebotan tanah

perkebunan tanpa ijin.

Selama kurang lebih 33 tahun petani

Badega menguasai lahan perkebunan secara

sporadik yang kemudian pada akhirnya

mendapatkan jawaban kepastian hak atas

tanah dari Pemerintah di era Jokowi.

Tepatnya pada bulan Januari 2016 melalui

Surat Kementerian ATR terkait Penetapan

No. 319/020/I/2016 yang menyatakan

bahwa tanah eks HGU PT. SAM di

Kabupaten Garut menjadi tanah negara,

yang kemudian ditindaklanjuti dengan

rencana redistribusi tanah untuk petani

Badega.

Menindaklanjuti surat penetapan yang

dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan

Tata Ruang, pada awal bulan Februari 2016

dilakukan pertemuan di Kantor Pertanahan

(KANTAH) Kabupaten Garut yang dihadiri

oleh Dirjen Penataan Agraria, Kepala

KANTAH Kabupaten Garut, perwakilan KPA

dan perwakilan beberapa petani Badega

untuk menyusun rencana kegiatan

redistribusi tanah eks HGU PT. SAM kepada

petani. Hasilnya disepakati untuk

membentuk kepanitiaan redistribusi tanah

yang terdiri dari perwakilan petani dan

berbagai multi pihak di Kabupaten Garut

dengan target waktu efektif bekerja selama 2

bulan. Berangkat dari kesepakatan tersebut,

konsolidasi tanah yang sudah dikuasai dan

dikelola oleh petani Badega diserahkan

sepenuhnya kepada para petani dengan

membentuk panitia yang bertugas

melakukan pendataan objek dan subjek

calon penerima manfaat redistribusi tanah di

lapangan, yang kemudian disepakati

dilakukan melalui pemetaan partisipatif.

Cerita Redistribusi Tanah Badega - GarutPemetaan Partisipatif dan Reforma Agraria

Sofyan Ubaidi AnomAnggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Jawa Timur

Menagih Janji RA Jokowi.

Page 38: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

38 KABAR JKPP

39

K A B A R P E T A K A M P U N GK A B A R P E T A K A M P U N G

khususnya tanah; 2) menyelesaikan beragam konflik agrarian; 3) RA harus menumbuhkan

produktivitas ekonomi masyarakat hingga muncul kesejahteraan yang berkelanjutan, dalam

memastikan tujuan tersebut tercapai maka reforma agraria itu harus dijalankan oleh sebuah

badan yang sifatnya langsung bertanggung jawab kepada presiden. Program utama dari

reforma agraria yaitu memotong kelebihan tanah yang dikuasai oleh para

pengusaha skala besar, tuan tanah sekala besar dan seterusnya, lalu memperluas

kepemlikan yang dimiliki oleh petani gurem dan membuat rakyat tidak bertanah

punya tanah-tanah pertanian yang produktif.

Apa strategi kedepan yang dilakukan oleh KPA dalam memastikan RA berjalan dan

mendorong pemerintah menyelesaikan konflik agraria di Indonesia?

Strategi pertama dilakukan dengan memperkuat organisasi-organisasi rakyat, organisasi-

organisasi yang mendukung gerakan agar memahami dan terus memperjuangkan reforma

agraria. Strategi yang kedua yaitu dengan membuat peluang-peluang kebijakan yang pro atau

mendukung reforma agraria dan mencegah kebijkan-kebijakan yang kontra dengan reforma

agraria. Oleh karenanya penting memperluas kampanye dan gagasan reforma agraria kepada

jaringan yang lebih luas. KPA akan terus mendorong dibentuknya badan pelaksana reforma

agraria langsung dibawah presiden yang mampu mengorganiskan kelembagan-kelembagaan dan

mempunyai wewenang penuh menjalankan reforma agraria.

Dan terkait pemetaan partisipatif, pemetaan partisisipatif merupakan gerakan yang

mengembalikan kedaulatan masyarakat atas tanah dan fungsi-fungsi atas tanah tersebut dalam

perspektif keadilan ruang. Sehingga pemetaan partisipatif menjadi bagian penting dari gerakan

reforma agraria untuk memastikan proses tata kuasa, tata guna dan tata kelola sesuai prinsip-

prinsip RA. Peta menjadi penting dalam memastikan dan membuktikan wilayah kelola petani.

Harapan terbesar saya bagi Presiden Jokowi adalah menepati janji untuk menjalankan

nawacitanya.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang

memberikan kebijakan keleluasaan untuk

melakukan Pemetaan Partisipatif dalam

kerangka upaya penyelesaian konflik tanah

Badega. Redistribusi tanah mensyaratkan

prinsip clean and clear agar tidak

menimbulkan konflik kembali, dan pemetaan

partisipatif merupakan alat untuk

memastikan clean and clear tersebut.

Pada akhir bulan Februari sampai dengan

akhir bulan Maret 2016 tim dari petani

Badega dengan melibatkan perwakilan

KANTAH Kabupaten Garut mulai bekerja di

lapangan dengan melakukan Pemetaan

Partisipatif. Pemetaan Partisipatif yang

dilakukan untuk memastikan tata guna lahan

yang sudah dikelola oleh Petani selama 33

tahun terdistribusi secara adil sesuai dengan

kondisi sosial dan kesesuaian lahannya.

Dari hasil Pemetaan Partisipatif yang telah

dilakukan oleh tim dari petani Badega dan

perwakilan KANTAH Kabupaten Garut,

diketahui luas total tanah eks HGU PT. SAM

adalah ±470 hektar, dari luasan total tersebut

tanah yang diredistribusi untuk petani

Badega seluas ±385 hektar yang dibagikan

kepada ±900 rumah tangga

Petani dalam bentuk Sertifikat

Hak Milik sebanyak 1.245

bidang, tanah yang akan

diperbarui ijin HGU untuk PT.

SAM seluas ±38,36 hektar,

untuk tanah kolektif atas

nama hak pakai Pemda

Kabupaten Garut seluas

±12,30 hektar untuk kebun

pembibitan dan percontohan

tanaman kopi, tanah kolektif

atas nama hak pakai

Kementerian Agraria dan Tata

Ruang seluas ±24,50 hektar untuk

pangangonan, serta tanah untuk jalan poros

desa sepanjang ±3 KM dengan luas ±10

hektar. Adapun luasan tanah yang

diredistribusi kepada petani Badega berupa

Sertifikat Hak Milik untuk masing-masing 2rumah tangga petani seluas ±3000 M sampai

2dengan ±15.000 M yang digunakan untuk

pemukiman dan lahan pertanian.

Dokumentasi KPA di Badega

K A B A R U K U R - u K U R

Penyiapan kapasitas SLPP Sulteng melalui In House

Training GISIn House Traning GIS Dasar

Bagi Fasilitator Pemetaan Sulawesi

Tengah

Rabu, 1 April 2016 bertempat di Kantor

YMP (Yayasan Merah Putih) Palu, Sulawesi

Tengah terselenggara In House Training GIS

dasar bagi para fasilitator pemetaan

partisipatif dan kader penggiat pemetaan

partisipatif muda, yang diinisiasi oleh SLPP

Sulteng dan Seknas JKPP.

Peningkatan kapasitas teknis bagi

partisipan SLPP Sulteng merupakan salah

satu mandat untuk mendukung agenda

perluasan wilayah kelola masyarakat dan

percepatan pengakuan wilayah adat. Oleh

karenanya, berdasarkan jajak kebutuhan

partisipan SLPP Sulteng dipandang perlu

untuk melakukan pelatihan teknis terkait

Sistem Informasi Geografis (GIS). Pelatihan

Page 39: Kabar jkpp 21

KABARJKPP

38 KABAR JKPP

39

K A B A R P E T A K A M P U N GK A B A R P E T A K A M P U N G

khususnya tanah; 2) menyelesaikan beragam konflik agrarian; 3) RA harus menumbuhkan

produktivitas ekonomi masyarakat hingga muncul kesejahteraan yang berkelanjutan, dalam

memastikan tujuan tersebut tercapai maka reforma agraria itu harus dijalankan oleh sebuah

badan yang sifatnya langsung bertanggung jawab kepada presiden. Program utama dari

reforma agraria yaitu memotong kelebihan tanah yang dikuasai oleh para

pengusaha skala besar, tuan tanah sekala besar dan seterusnya, lalu memperluas

kepemlikan yang dimiliki oleh petani gurem dan membuat rakyat tidak bertanah

punya tanah-tanah pertanian yang produktif.

Apa strategi kedepan yang dilakukan oleh KPA dalam memastikan RA berjalan dan

mendorong pemerintah menyelesaikan konflik agraria di Indonesia?

Strategi pertama dilakukan dengan memperkuat organisasi-organisasi rakyat, organisasi-

organisasi yang mendukung gerakan agar memahami dan terus memperjuangkan reforma

agraria. Strategi yang kedua yaitu dengan membuat peluang-peluang kebijakan yang pro atau

mendukung reforma agraria dan mencegah kebijkan-kebijakan yang kontra dengan reforma

agraria. Oleh karenanya penting memperluas kampanye dan gagasan reforma agraria kepada

jaringan yang lebih luas. KPA akan terus mendorong dibentuknya badan pelaksana reforma

agraria langsung dibawah presiden yang mampu mengorganiskan kelembagan-kelembagaan dan

mempunyai wewenang penuh menjalankan reforma agraria.

Dan terkait pemetaan partisipatif, pemetaan partisisipatif merupakan gerakan yang

mengembalikan kedaulatan masyarakat atas tanah dan fungsi-fungsi atas tanah tersebut dalam

perspektif keadilan ruang. Sehingga pemetaan partisipatif menjadi bagian penting dari gerakan

reforma agraria untuk memastikan proses tata kuasa, tata guna dan tata kelola sesuai prinsip-

prinsip RA. Peta menjadi penting dalam memastikan dan membuktikan wilayah kelola petani.

Harapan terbesar saya bagi Presiden Jokowi adalah menepati janji untuk menjalankan

nawacitanya.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang

memberikan kebijakan keleluasaan untuk

melakukan Pemetaan Partisipatif dalam

kerangka upaya penyelesaian konflik tanah

Badega. Redistribusi tanah mensyaratkan

prinsip clean and clear agar tidak

menimbulkan konflik kembali, dan pemetaan

partisipatif merupakan alat untuk

memastikan clean and clear tersebut.

Pada akhir bulan Februari sampai dengan

akhir bulan Maret 2016 tim dari petani

Badega dengan melibatkan perwakilan

KANTAH Kabupaten Garut mulai bekerja di

lapangan dengan melakukan Pemetaan

Partisipatif. Pemetaan Partisipatif yang

dilakukan untuk memastikan tata guna lahan

yang sudah dikelola oleh Petani selama 33

tahun terdistribusi secara adil sesuai dengan

kondisi sosial dan kesesuaian lahannya.

Dari hasil Pemetaan Partisipatif yang telah

dilakukan oleh tim dari petani Badega dan

perwakilan KANTAH Kabupaten Garut,

diketahui luas total tanah eks HGU PT. SAM

adalah ±470 hektar, dari luasan total tersebut

tanah yang diredistribusi untuk petani

Badega seluas ±385 hektar yang dibagikan

kepada ±900 rumah tangga

Petani dalam bentuk Sertifikat

Hak Milik sebanyak 1.245

bidang, tanah yang akan

diperbarui ijin HGU untuk PT.

SAM seluas ±38,36 hektar,

untuk tanah kolektif atas

nama hak pakai Pemda

Kabupaten Garut seluas

±12,30 hektar untuk kebun

pembibitan dan percontohan

tanaman kopi, tanah kolektif

atas nama hak pakai

Kementerian Agraria dan Tata

Ruang seluas ±24,50 hektar untuk

pangangonan, serta tanah untuk jalan poros

desa sepanjang ±3 KM dengan luas ±10

hektar. Adapun luasan tanah yang

diredistribusi kepada petani Badega berupa

Sertifikat Hak Milik untuk masing-masing 2rumah tangga petani seluas ±3000 M sampai

2dengan ±15.000 M yang digunakan untuk

pemukiman dan lahan pertanian.

Dokumentasi KPA di Badega

K A B A R U K U R - u K U R

Penyiapan kapasitas SLPP Sulteng melalui In House

Training GISIn House Traning GIS Dasar

Bagi Fasilitator Pemetaan Sulawesi

Tengah

Rabu, 1 April 2016 bertempat di Kantor

YMP (Yayasan Merah Putih) Palu, Sulawesi

Tengah terselenggara In House Training GIS

dasar bagi para fasilitator pemetaan

partisipatif dan kader penggiat pemetaan

partisipatif muda, yang diinisiasi oleh SLPP

Sulteng dan Seknas JKPP.

Peningkatan kapasitas teknis bagi

partisipan SLPP Sulteng merupakan salah

satu mandat untuk mendukung agenda

perluasan wilayah kelola masyarakat dan

percepatan pengakuan wilayah adat. Oleh

karenanya, berdasarkan jajak kebutuhan

partisipan SLPP Sulteng dipandang perlu

untuk melakukan pelatihan teknis terkait

Sistem Informasi Geografis (GIS). Pelatihan

Page 40: Kabar jkpp 21

KABAR JKPP

41

K A B A R P E T A K A M P U N G

ini dikemas dalam bentuk in house training,

lokasi pelatihan yang bergantian diantara

lembaga peserta. Peserta dalam In House

Training terdiri dari perwakilan dari YMP

(Yayasan Merah Putih), YPR, Yayasan

Bonebula Donggala, WALHI Sulteng, Mapala

Lalimpala Universitas Tadulako, Siti Zulaika

REMAPPALA, ROA, YTM.

In house training yang dilaksanakan

selama lima hari fokus pada Sistem

Informasi Geografis (SIG) atau

Geographic Information System (GIS)

tingkat dasar diantaranya Pengenalan,

instalasi dan penggunaan software GIS

dengan subsistem gis seperti memasukkan,

menyimpan, memanggil kembali, mengolah

menganalisis dan menghasilkan data

bereferensi geografi atau data

geospatial, untuk mendukung kerja-

kerja pemetaan sebagai bahan untuk

pengambilan keputusan, perencanaan

dan pengolahan penggunaan lahan,

sumber daya alam dan lainnya.

Selain meningkatkan kapasitas

para penggiat muda pemetaan

partisipatif, in house training yang

dilaksanakan bertujuan untuk

membuka jejaring yang lebih luas

khususnya bagi generasi muda

penggiat pemetaan partisipatif.

Hal ini menjadi penting bagi

sebuah gerakan dalam

memastikan konsolidasi yang kuat

diantara penggiat.

Para peserta bersepakat untuk

melanjutkan forum belajar kepada

jaringan SLPP yang lebih luas,

khususnya untuk menyebarluaskan metode

pemetaan partisipatif dan analisis spasial

GIS. Hari terakhir para peserta belajar

menyepakati rencana belajar selanjutnya,

dengan lokasi bergilir diantara lembaga.

Harapan kedepan agar peserta bisa terus

belajar GIS dan mengembangkan

kapasitasnya sehingga bermanfaat dan

membagi ilmunya. Pesan khusus dari

Koordinator SLPP Sulteng jika peserta sudah

mahir dalam menggunakan GIS, ilmunya

jangan dimanfaatkan untuk kepentingan

korporasi yang destruktif dan melanggar

HAM, tapi harus dimanfaatkan untuk

kebutuhan rakyat.

Dokumentasi SLPP Sulteng