kabar jkpp 19

28
7 Agustus 2015 KABAR JKPP Menuju Tegaknya Kedaulatan Rakyat Atas Ruang 1 9 Mencari Posisi Peta Partisipatif Dalam JIGN Di Daerah

Upload: jaringan-kerja-pemetaan-partisipatif

Post on 14-Feb-2017

12 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

7

Agustus 2015

KABARJKPP

Menuju  Tegaknya    Kedaulatan  Rakyat    Atas  Ruang 19

Mencari Posisi Peta Partisipatif Dalam JIGN Di Daerah

K A B A R J K P P 1 9

" KABAR JKPP 192

REDAKSI KABAR JKPPPemimpin Umum: Deny Rahadian Pemimpin Redaksi: Dewi Puspitasari Soetedjo, Redaktur: Ade Ikhzan Redaktur Pracetak: Amier Hamzah Siregar Reporter & Kontributor: Imam Hanafi, Diarman, Aku Sulu Samuel Sausabu, Hajaruddin, Kisran, Nia Ramdhaniaty, Dyantoro Sirkulasi & Distribusi: Diana Sefiani, Yowanda

Alamat Redaksi : Jaringan Kerja Pemetaan PartisipatifJl. Cimanuk Blok B7 No 6, Komp. Bogor Baru, Bogor 16152 INDONESIATelp. 62 – 251 8379143 Fax. 62 – 251 8314210Email: [email protected] Website : www.jkpp.org

KABAR REDAKSISalam kedaulatan rakyat atas ruang, Para pembaca yang budiman, kali ini KABAR JKPP kembali hadir di tangan para pembaca.

KABAR JKPP 19 ini menyajikan tulisan utama tentang “Mencari Posisi Peta Partisipatif Dalam JIGN di Daerah”, Imam Hanafi menyorot tentang Kebijakan Satu Peta yang sudah diluncurkan sejak pemerintahan SBY hingga saat ini implementasinya masih setengah hati. Salah satu upaya advokasi yang dilakukan adalah mengintegrasikan Peta Partisipatif ke dalam Kebijakan Satu Peta tersebut melalui dorongan dari tingkat daerah. Perpres no 27 tahun 2014 telah mengatur tentang Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN), dimana Pemda sebagai salah satu Simpul JIGN.

Selain itu kami juga menyajikan beberapa pengalaman belajar kawan-kawan Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) dalam penggunaan peta partisipatif sebagai alat perencanaan, dasar bagi pengakuan wilayah adat dan upaya integrasi peta partisipatif dalam kebijakan RTRW di daerah. Juga beberapa informasi terkini tentang SLPP.

Akhirnya, kami selalu membuka kritik, saran dan terutama tulisan baik ide, analisis maupun pengalaman belajar dari para pembaca untuk memperkaya media ini. Selamat Membaca!

Redaktur

Yang Dapat Kami KABARI

Mencari Posisi Peta Partisipatif Dalam JIGN Di Daerah - Imam Hanafi

Menggali Inspirasi, Meminang Permaisuri - Aku Sulu Samuel Sau Sabu

Peran Pemetaan Partisipatif dalam Menjaga Wewengkon - Nia Ramdhaniaty

Model SLUP Kecamatan Rampi, Menuju Pembangunan Yang Partisipatif Untuk Kesejahteraan Masyarakat dan Resolusi Konflik - Hajaruddin Anshar

Krisis Ekologi dan Sosial di Sulawesi Tenggara - Kisran Fadhil

Dari Pemetaan Partisipatif Menuju Inisiasi Tata Ruang Kawasan Perdesaan - S. Diyantoro

Terbit atas dukungan :

S E Q U O I A C L U B

KABAR JKPP 19 " 3

Kebijakan satu peta (onemap policy) Indonesia mulai dimunculkan pada akhir tahun  2010 pada masa pemerintahan SBY. Tujuannya adalah untuk mewujudkan informasi geospasial Indonesia yang akurat, terpadu, sistematik dan berkelanjutan.

Produk kebijakan satu peta ini diharapkan bisa menjadi referensi informasi geospasial terintegrasi yang diacu banyak pihak sebagai landasan dalam pengaturan dan pengambilan keputusan penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan ruang.

Landasan pelaksanaan dan keterlaksanaan kebijakan satu peta, termuat dalam Undang-undang No.4 Tahun 2011 tentang Informasi

Geospasial (IG). Undang-undang IG ini menetapkan Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai pelaksana penyelenggaraan Infomasi Geospasial Dasar (IGD) serta instansi pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang, sebagai pelaksana Informasi Geospasial Thematik (IGT). Secara kelembagaan, BIG ditetapkan berdasarkan Perpres Nomor 94 Tahun 2011

tentang Badan Informasi Geospasial, sebagai pengganti Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) dengan tugas yang lebih luas.

Mencari Posisi Peta Partisipatif Dalam JIGN di Daerah

Amanat UU NO 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial termuat dalam tujuan IG yaitu 1). Menjamin ketersediaan dan akses IG yang dapat dipertanggung jawabkan 2). Mewujudkan kebergunaan dan keberhasilgunaan IG melalui kerjasama, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi 3).mendorong penggunaan IG dalam pemerintahan dan kehidupan masyarakat 4). Referensi tunggal dalam padunya IG di Indonesia

Imam HanafiKepala Divisi AdvokasiSekretariat Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

S E Q U O I A C L U B

" Nullam arcu leo, facilisis ut4

BIG sebagai pelaksana dan penangungjawab IG sekaligus merupakan penanggung jawab pelaksanaan kebijakan satu peta, telah menyelenggarakan Rapat Koordinasi Nasional Informasi Geospasial pada 28 Februari 2012 serta Rakornas Infrastruktur Informasi Geospasial (IIG) pada desember 2012 di Jakarta yang melahirkan roadmap pembangunan infrastruktur Informasi Geospasial (2013-2017).

Penyelenggaraan IIG disandarkan pada pilar-pilar utama IIG yang terdiri dari kebijakan (perundang-undangan), kelembagaan (governance, institutional arrangement), data utama dan metadata, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sumberdaya manusia). Dalam roadmap IIG ini juga memasukkan pemetaan partisipatif sebagai salah satu metodologi dan produk peta yang diakomodir dalam roadmap IIG sebagai bagian dalam kebijakan satu peta. Mekanisme yang dikembangkan dalam konteks onemap adalah berbagi pakai data. Data-data diserap dari semua kementerian dan lembaga; dihimpun, diverifikasi dan dipadukan sesuai standard BIG, disimpan dalam satu data base yang selanjutnya akan menjadi satu referensi bagi semua pihak yang ditampilkan melalui geoportal BIG untuk diserap dan dipakai oleh semua pihak.

Standarisasi, legalitas dan formalisasi PPKendati dalam UU IG no 4 tahun 2011 menyebutkan beberapa pihak yang boleh membuat peta (Informasi Geospasial), namun konsep satu data dan penyatuan data resmi geospasial harus melalui kementerian dan

lembaga pemerintah, yang selanjutnya bertindak sebagai wali data. Sementara sampai saat ini, peta partisipatif yang dibuat oleh masyarakat dan CSO pendukungnya masih menjadi data “indikatif” yang mungkin bisa diadopsi oleh pemerintah jika memenuhi kualifikasi tematik, teknis dan metodologis.

Untuk bisa masuk kedalam kebijakan satu peta, metodologi pemetaan partisipatif memerlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi, diantaranya standarisasi metode pemetaan partisipatif, adanya kebijakan payung sebagai landasan legal metode pemetaan partisipatif, serta adanya kejelasan wali data bagi data pemetaan partisipatif.  Peta partisipatif merupakan data primer yang diproduksi oleh masyarakat menggunakan metode pemetaan partisipatif yang selama ini belum difasilitasi atau dibuat oleh instansi pemerintah maupun pemerintah daerah. Sampai saat ini metode ini hanya berkembang dan banyak digunakan oleh masyarakat dan CSO pendukungnya.

 

 

Peta partisipatif merupakan data primer yang diproduksi oleh masyarakat menggunakan metode pemetaan partisipatif yang selama ini belum difasilitasi atau

dibuat oleh instansi pemerintah maupun pemerintah daerah.

S E Q U O I A C L U B

Nullam arcu leo, facilisis ut " 5

Dalam beberapa hal, penggunaan metode pemetaan partisipatif dalam penyediaan data, pemuktahiran data dan data perencanaan desa/wilayah adat, telah dikomunikasikan dan dikerjasamakan dengan pemerintah daerah. Di beberapa tempat, metode pemetaan partisipatif telah digunakan dalam pengajuan akses kelola masyarakat di dalam kawasan hutan, seperti penentuan ajuan wilayah Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD) serta penyediaan data peta sebagai alat bukti pendukung dalam proses pengadilan sengketa pertanahan.

Namun demikian, dalam konteks penegasan hak dan pemantapan status kawasan, penggunaan metodologi pemetaan partisipatif masih banyak keraguan dan pertanyaan terkait keabsahan, kualitas, standar dan pengakuan terhadap data hasil pemetaan partisipatif khususnya oleh pemerintah. Sehingga terkadang ada keraguan dari pemerintah daerah untuk menggunakan dan mengadopsi data hasil pemetaan partisipatif ini.

Untuk menjawab hal tersebut, metode pemetaan partisipatif membutuhkan jaminan keabsahan terhadap hasil dan metode, agar bisa digunakan

oleh semua pihak tanpa keraguan. Beberapa kendala yang menjadi batu sandungan bagi keabsahan dan legalitas metode pemetaan partisipatif bisa dilihat dari sisi kendala metodologi, kendala teknis penyelenggaraan dan kendala birokratis.

Tantangan lain diluar ketiga kendala diatas bagi peta partisipatif adalah, belum jelasnya kebijakan, mekanisme dan institusi yang bertanggung jawab untuk mengintegrasikan data dan peta dalam kebijakan satu peta. Mengingat, proses integrasi data dan peta bukan hanya sebatas menghimpun dan mengumpulkan banyak gambar peta dari banyak institusi dan diakses melalui satu lembaga. Melainkan lebih penting lagi adalah adanya proses identifikasi, klarifikasi dan verifikasi antar satu data peta dengan data peta yang lain yang saling tumpang tindih.

 

  

Tantangan lain diluar ketiga kendala diatas bagi peta partisipatif adalah, belum jelasnya kebijakan, mekanisme dan institusi yang bertanggung jawab untuk mengintegrasikan data dan peta dalam kebijakan satu peta.

S E Q U O I A C L U B

" Nullam arcu leo, facilisis ut6

Khususnya soal menempatkan data masyarakat sebagai salah satu landasan utama, mengingat konflik ruang yang terjadi dibanyak sektor hampir semuanya melibatkan masyarakat.

Landasan legal dan wali data bagi metode pemetaan partisipatifPerpres no 27 tahun 2014 telah mengatur tentang Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN) yang menggantikan peraturan presiden no 85 tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN). JIGN ada suatu sistem penyelenggaraan dan pengelolaan Informasi Geospasial (IG) secara bersama,

tertib, terukur, terintegrasi dan berkesinambungan serta berdayaguna. Hal ini untuk menghindari adanya kekeliruan, kesalahan dan tumpang tindih informasi yang berakibat pada ketidakpastian hukum, inefisiensi anggaran pembangunan, dan inefektivitas informasi sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan mutu data spasial nasional.

Sejauh ini, upaya membangun kesepahaman dan pengakuan terhadap peta dan metodologi pemetaan partisipatif telah dilakukan melalui Inisiatif membangun ruang dialogis terhadap pihak Kementerian Lingkugan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria Tata Ruang & Kepala BPN, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial, serta Badan Perencanaan Nasional.

Output data dan penggunaan peta partisipatif dalam upaya resolusi konflik, memperjelas batas desa, wilayah kelola masyarakat dan perencanaan tata ruang masyarakat, mulai mendapat respon positif. Meskipun butuh waktu panjang dan diskusi intensif dan lebih mendalam untuk menemukan konteks dan strategi adopsi serta proses integrasinya. Harapannya, upaya bersinergi dengan

pemerintah ini, tidak terjebak pada persoalan formalitas birokrasi yang cenderung menghambat, baik teknis maupun substansi.

Kedepan, terkait partisipasi masyarakat dalam penyediaan data Informasi Geospasial serta peran serta masyarakat dalam perencanaan tata ruang, diharapkan pemerintah dapat lebih ”legowo” untuk membuka ruang seluas-luasnya dan lebih fleksibel dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam penegasan hak sampai ke tingkat daerah. Hal ini dimungkinkan jika pemerintah, dengan kebijakannya bisa lebih mendorong dan mengakomodir peran serta masyarakat sebagai subyek prioritas dalam arah pembangunan kedepan. (IH) 

 

Harapannya, upaya bersinergi dengan pemerintah ini, tidak terjebak pada persoalan formalitas birokrasi yang cenderung menghambat, baik teknis maupun substansi.

K A B A R U T A M A

Nullam arcu leo, facilisis ut " 7

Pengalaman Mendorong HKm Sebagai Salah Satu Solusi Konflik dan Menjamin Keberlanjutan Sumber Daya Hutan di Egon Ilin Medo dan Wukuh Leworo

Aku Sulu Samuel Sau SabuKoordinator Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) NTT

Kebanyakan suku-suku di Indonesia menganut sistem perkawinan patrilineal, dimana untuk dapat melangsungkan suatu perkawianan, pihak mempelai laki-laki wajib memenuhi syarat-syarat perkawinan berupa  mas kawin atau di komunitas Nusa Tenggara Timur pada umumnya dan Kabupaten Sikka pada khususnya mengenalnya dengan nama Belis. Ketentuan belis sebagai syarat sebuah perkawinan berbeda-beda antara suatu komunitas dengan komunitas lainnya. Ada yang dianggap berat ada yang dianggap ringan. Berat dan ringan tergantung nilai belis, di Kabupaten Sikka misalnya pokok belis terdiri  dari sejumlah uang, emas, gading, dan kuda. Akumulasi  seluruhnya bisa ditaksirkan dengan uang maka jumlahnya bisa sampai ratusan juta. Setidaknya kami menggunakan

terminologi yang sama dengan Belis dalam upaya meminang pemerintah agar bisa mengakses hutan dalam kerangka HKm. Walaupun banyak perdebatan soal terkait hal ini, sama halnya dengan kenyataan mengapa harus mengontrak ditanah milik sendiri. Tetapi lagi – lagi, Simpul NTT membaca ini sebagai strategi yang sedang dimainkan pihak laki-laki agar bisa mendapatkan seorang anak perempuan sebagai calon mepelai yang bakal menjadi permaisuri bagi anak laki-laki dan ibu bagi generasi atau anak-anak yang akan dilahirkan. Inilah yang dimaksudkan dengan sebuah perjuangan dengan menggunakan berbagai strategi untuk  mencapai kemenangan.

Menggali InspirasiMeminang Permaisuri

“Tana Amin Moret Amin – Tanah kami hidup kami, Tanah adalah Ibu bagi kami, Ibu yang mengandung, melahirkan,

membesarkan serta memberikan kehidupan”.

S E Q U O I A C L U B

" Nullam arcu leo, facilisis ut8

Pada tahun 1990, Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka  menetapkan tata batas kawasan hutan lindung Egon Ilin Medo RTK 107 seluas 19.456,80 Ha dengan sepihak tanpa ada surat keputusan penetapan secara formal. Hanya kawasan Wukoh Lewoloro RTK 126 dengan luas 3.200 Ha yang memiliki SK penetapan yaitu SK. 124/Kpts-II/1990 tanggal 23 Maret 1990. Akibat klaim kawasan hutan lindung ini, sebagian besar wilayah kelola masyarakat masuk dalam kawasan hutan lindung.

Paska penunjukan sepihak dari pemerintah daerah, masyarakat tidak lagi bisa mengakses secara leluasa sumber daya hutan seperti sebelumnya. Akibatnya, agar dapat bertahan hidup masyarakat memilih menjadi penambang galian C disekitar daerah aliran sungai, menebang dan menjual hasil hutan berupa kayu bangunan dan menjadi buruh bangunan di daerah lain. Daerah aliran sungai pun mengalami kerusakan karena penambangan, erosi dan longsor tak terelakan. Efek lain, beberapa masyarakat yang merasa kecewa dengan pemerintah daerah tetap melakukan kegiatan dalam kawasan hutan dengan terus memperluas wilayah tanpa batas dan kontrol, beberapa menyebabkan kerusakan hutan.

Beberapa upaya telah dilakukan dalam mengatasi masalah ini, diantaranya program studi banding dan lokakarya yang dilakukan oleh pemerintah daerah, tetapi tetap tidak menemukan solusi yang terbaik. Masyarakat

menjalani perjuangannya sendiri – sendiri sesuai dengan kemampuanya, hingga pada tahun 2000 masyarakat mulai mengorganisir perjuangannya. Namun perjuangan panjang yang ditempuh belum juga membuahkan hasil. Hingga pada akhirnya SLPP masuk pada bulan Desember 2006 dan menemani perjuangan masyarakat melalui pemetaan partisipatif dan perencanaan ruang untuk pengelolaan sumber daya alam hutan

berdasarkan konsep hutan kemasyarakatan (HKm). Konsep yang ditawarkan merupakan strategi

penyelesaian konflik keruangan antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini sebagai sebuah tawaran dari melihat sejarah konflik yang cukup panjang.

Melalui pemetaan partisipatif semua potensi sumber daya alam dapat teridentifikasi dari aspek keselamatan maupun ancamannya. Pemetaan partisipatif dapat memberikan informasi detil tentang situasi dan kondisi sumber daya alam sebenarnya kepada masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan dan pihak lain yang berkepentingan dengan pengelolaan sumber daya alam.

Pada tahun 1990, Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka  menetapkan tata batas kawasan hutan lindung Egon Ilin Medo RTK 107 seluas 19.456,80 Ha dengan sepihak tanpa ada surat keputusan penetapan secara formal.

S E Q U O I A C L U B

Nullam arcu leo, facilisis ut " 9

Pemetaan partisipatif telah memberikan gambaran nyata bagi masyarakat untuk melihat betapa menurunnya kualitas sumber daya alam hutan.

Pemetaan partisipatif di kawasan hutan Egon Ilin Medo dan Wuko Lewoloro dilakukan melalui beberapa tahap yaitu; dari sosialisasi ide dan gagasan pemetaan partisipatif itu sendiri, menginisiasi pelatihan pemetaan partisipatif bersama masyarakat, survei indentifikasi potensi sumber daya alam oleh masyarakat, penggambaran peta, perencanaan kampung berbasis peta.

Hasil pemetaan partisipatif kemudian dipakai sebagai alat perencanaan tata ruang wilayah atau pengelolaan ruang serta alat perencanaan pembangunan pada umumnya.

Proses yang terpenting kemudian adalah negosiasi dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  Kabupaten Sikka. Negosiasi dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  Kabupaten Sikka.

Peta hasil perencanaan kampung khususnya tentang pengelolaan kawasan disampaikan melalui tatap muka dengan DPRD Kabupaten Sikka untuk mendapat perhatian dan dukungan kepada masyarakat agar merancang

kebijakan daerah yang memberikan perlindungan dan kenyamanan kelola masyarakat dalam kawasan hutan lindung.

Selanjutnya peta-peta perencanaan pengelolaan dari masing-masing wilayah dipresentasikan di depan Dinas Kehutanan Kabupaten Sikka dan menyerahkannya sebagai dokumen bersama untuk menjadi acuan pengelolaan kawasan

hutan. Dialog dengan dinas kehutanan tersebut merupakan momentum rekonsiliasi masyarakat dengan Dinas Kehutanan selaku pihak yang paling bertanggung jawab atas kebijakan kehutanan. SLPP NTT bersama kelompok masyarakat juga telah menyerahkan dokumen Usulan IUPHKm Kepada Bupati melalui Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sikka.

Melalui kebijakan HKm, Dinas Kehutanan Kabupaten Sikka dan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan menyepakati untuk membuka akses pengelolaan hutan lindung melalui pola pengembangan HKm dengan

mensinergikan  kearifan lokal masyarakat. Adapun pengembangan hutan kemasyarakat bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat pemegang ijin usaha pengelolaan hutan kemasyarakatan serta kelestarian hutan itu

sendiri. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 37/Menhut-II/2007.

Pemetaan partisipatif telah memberikan gambaran nyata bagi masyarakat untuk melihat betapa menurunnya kualitas sumber daya alam hutan.

S E Q U O I A C L U B

" Nullam arcu leo, facilisis ut10

Peta-peta yang dihasilkan melalui pemetaan partisipatif telah dipakai sebagai acuan penetapan wilayah-wilayah sasaran penyelenggaraan hutan kemasyarakatan (HKm). Selanjutnya peta partisipatif yang difasilitasi melalui kerja sama SLPP-NTT telah disepakati untuk dipakai sebagai salah satu syarat dokumen usulan ke Bupati Sikka untuk mendapatkan Ijin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm).

Selain itu, peta perencanaan ruang menjadi media dalam menata ulang sistem tenurial masyarakat. Karena melalui pemetaan partisipatif dapat diketahui bahwa kesepakatan-kesepakatan adat berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam hutan sering kali terlupa bahkan  tidak lagi ditegakkan.

Dalam proses pemetaan seorang tokoh adat di Desa Kloangpopot menyatakan bahwa

“kami masuk garap dalam kawasan hutan karena kami tidak tahu resikonya, hari ini melalui pemetaan partisipatif baru kami tahu bahwa kami telah melakukan kesalahan dan kami merasa berdosa

terhadap alam dan leluhur kami” (Tokoh Adat Desa Kloangpopot).

Dan ada juga Tokoh masyarakat Egon yang menyatakan : 

“Mulai saat ini kami harus menanam hutan di mata air kalau perlu buat dengan sumpah adat agar yang tidak tanam hutan dapat sangsi dari leluhur berupa sakit, penyakit dan kematian” (Tokoh masyarakat Egon)

Hingga sampai dengan tulisan ini dibuat sudah ada 18 desa dari 30 desa yang telah mendapatkan IUPHKm Bupati Sikka.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil pemetaan partisipatif telah menjadi media penyelesaian konflik penetapan tata batas hutan lindung serta menjadi alat perencanaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan menggunakan pola HKm. Selain itu, peta partisipatif menjadi bagian kesepakatan dalam negosiasi belis antara pemerintah daerah dan masyarakat.  Salam Berdaulat atas Ruang. (SSS)

S E Q U O I A C L U B

Nullam arcu leo, facilisis ut " 11

Istilah wewengkon dikenal komunitas Kasepuhan Banten Kidul sebagai bentuk penegasan batas wilayah adat yang menunjukkan ruang kelola dan ruang hidup masyarakat Kasepuhan, baik dalam fungsi sosial, ekonomi, maupun ekologi. Penegasan itu diwujudkan dalam bentuk tata ruang wewengkon, yakni Leuweung Leuwueng Kolot/Tutupan, Leuweung Titipan, dan Leuweung Bukaan/Sampalan yang dilengkapi dengan aturan adat serta kelembagaan adat yang mengaturnya.

 Namun wewengkon sebagai titipan nenek moyang yang dikelola secara turun temurun itu pun diakui sebagai kawasan hutan negara dengan fungsi produksi sejak tahun 1978 (Perum Perhutani) dan fungsi konservasi sejak tahun 1992 serta perluasan

wilayah konservasi di tahun 2003. Terjadi klaim antar para pihak, yang kemudian membawa dampak pada sengketa batas antara masyarakat Kasepuhan dan Kementrian Kehutanan. RMI (2014) mencatat terdapat 34 konflik, dan 90% nya berkonflik dengan kawasan hutan negara dibawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Perum Perhutani.

 Sengketa batas serta ketidakpastian hak atas tanah dan sumberdaya alam ini lah yang menghantarkan masyarakat Kasepuhan berinsiasi untuk melakukan pemetaan partisipatif dalam upaya mempertegas batas wewengkon adat Kasepuhan serta memperjuangkan hak-hak sebagai masyarakat hukum adat.

Peran Pemetaan Partisipatif Dalam Menjaga Wewengkon

Menuju Lahirnya PERDA Kasepuhan di Kabupaten Lebak, Banten

Nia RamdhaniatyDirektur Rimbawan Muda Indonesia (RMI)

S E Q U O I A C L U B

" Nullam arcu leo, facilisis ut12

Peta sebagai “amunisi” penegasan HAK atas Wilayah

Ketidakjelasan batas menjadi sumber konflik tenurial di Indonesia dan bahkan di negara lainnya. Peta memberikan bukti data konkrit yang dituangkan secara visual terkait HAK atas

teritori masyarakat adat. Seperti yang dijelaskan di dalam UU No. 41/1999 serta Permenag 5/1999, bahwa wilayah adat menjadi salah satu syarat pembuktian sebagai masyarakat hukum adat yang kemudian diakui keberadaannya melalui Peraturan Daerah (PERDA). Namun

bagi masyarakat Kasepuhan, penegasan batas ini bukan sekedar coretan batas wilayah adat, namun terkait juga unsur penegasan dalam konteks jaminan keamanan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk keberlangsung penghidupan incu putu (pengikut/warga Kasepuhan) nya kelak.

Seperti yang terjadi di Kasepuhan Karang yang secara administratif masuk kedalam Desa Jagaraksa. Dengan adanya peta partisipatif yang dimiliki saat ini, secara perlahan mampu mengembalikan “kebanggaan” warga Karang yang terekslusi atas pengelolaan sumberdaya

alamnya maupun atas kepercayaan mereka. Rasa bangga ini pernah pudar akibat wilayah adat mereka dinyatakan masuk ke dalam kawasan TNGHS TAHUN 2003 dan mendapatkan serangan Ormas Front Pembela Islam (FPI) di tahun 2009 yang menganggap Kasepuhan Karang memiliki aliran

kepercayaannya sendiri dan menyalahi ajaran Islam. Warga kasepuhan kemudian mengambil langkah untuk memetakan wilayah adat dan desa administrasi nya pada tahun 2014-2015 sebagai bentuk penegasan batas dan hak atas wewengkonnya.

Hingga tahun 2014, seluas 18.055,263 Ha wewengkon Kasepuhan sudah terpetakan di Kabupaten Lebak, diantaranya di Kasepuhan Citorek, Cibedug, Karang, Cirompang, dan

Cisitu yang menjadi korban atas ketidakpastian hak atas tanah dan sumberdaya alamnya.

Hal serupa juga dialami oleh Kasepuhan Pasir Eurih, Sindang Agung, Cibarani, Ciptagelar, Cisungsang, dan kasepuhan lainnya yang saat ini tengah berproses memetakan wilayah adatnya.

“Proses pemetaan ini adalah awal dari perjuangan menuju pengakuan hak kami selaku masyarakat adat” (Jaro Wahid, Kasepuhan Karang, 2014)

S E Q U O I A C L U B

Nullam arcu leo, facilisis ut " 13

Peta sebagai alat perencanaan tata ruang adat/desa

Konsep tata ruang adat bagi Kasepuhan bukanlah hal yang baru. Secara ekologis, Kasepuhan meyakini Leuweung Tutupan/Kolot/Paniisan/Geledegan merupakan areal yang difungsikan untuk menjaga keberlangsung mata air. Sedangkan Leuweung Titipan merupakan areal yang menjadi kawasan yang menjadi titipan karuhun, seperti situs, tugu, makam, mata air serta ada beberapa meyakini bahwa titipan karuhun ini atas “ijin karuhun” suatu saat bisa dibuka untuk dimanfaatkan oleh incu putu nya kelak. Sedangkan areal yang difungsikan untuk kebutuhan produksi masy.arakat disebut dengan Leuweung Bukaan/Sampalan.

Konsep ini lah yang kemudian dituangkan ke dalam peta untuk menjadi bahan perencanaan bersama atas pembangunan yang terjadi di wilayah adat. Sepanjang pengakuan keberadaan masyarakat Kasepuhan belum diakui oleh pemerintah, maka menjadi tantangan besar bagi Lembaga adat Kasepuhan untuk mensinkronkan konsep pembangunan wilayah adat dengan konsep pembangunan desa administratif sebagai unit pemerintahan terkecil negara. Namun, mengingat staf yang duduk di pemeritahan desa merupakan incu putu dari Kasepuhan, maka setiap proses pembangunan yang akan berjalan di wilayah adat harus mendapatkan “restu” dari

Kelembagaan Kasepuhan.  Alhasil peta wewengkon pun seringkali menjadi acuan dalam proses perencanaan pembangunan desa.

Peta sebagai alat negosiasi pencapaian pengakuan dan perlindungan KasepuhanMengacu pada Gambar 1, terlihat bahwa posisi wewengkon di lima Kasepuhan tersebut hampir seluruhnya tumpang tindih dengan kawasan penunjukkan TNGHS yang keberadaannya

dilegitimasi melalui SK Menhut No. 175/Kpts-II/2003 seluas 113.357 Ha. Tanah yang dikelola sejak lama oleh warga Kasepuhan secara turun temurun ini harus dihadapkan pada status yang lain, yaitu hutan negara di atas tanah negara! Ini menunjukkan bahwa masyarakat Kasepuhan belum berdaya di atas wewengkon (wilayah adat) nya sendiri.

Peraturan Daerah (PERDA) yang seharusnya mengakui keberadaan Kasepuhan sebagai masyarakat hukum adat belum tersedia, baik di Kabupaten Lebak, Sukabumi maupun Bogor. Sebagai informasi bahwa Kabupaten Lebak menjadi pelopor dalam pengakuan Ulayat Masyarakat Baduy dalam bentuk Peraturan Daerah, No. 32 tahun 2001. Oleh karena nya bukan hal yang mustahil jika pengakuan Kasepuhan pun disahkan dalam bentuk PERDA di Kabupaten Lebak.

 

S E Q U O I A C L U B

" Nullam arcu leo, facilisis ut14

Perjuangan Kasepuhan adalah perjuangan membuktikan bahwa Kasepuhan merupakan masyarakat hukum adat yang juga harus memiliki pengakuan dan perlindungan atas wilayah adat, keberadaan masyarakat beserta sumber penghidupan lainnya.

Pengakuan keberadaan Kasepuhan saat ini tertuang di dalam SK Bupati Lebak No. 430/Kep.298/Disdikbud-/2013 tentang Pengakuan Keberdaan Masyarakat Adat di Wilayah

Kesatuan Adat Banten Kidul. Namun, karena mandat peraturan perundang-undangan adalah PERDA, maka awal tahun 2015 warga Kasepuhan mendapatkan jawaban dari Pemerintah Kabupaten Lebak, bahwa PERDA Kasepuhan masuk menjadi Program Legislasi Daerah tahun 2015. 

Secara prinsip PERDA yang dihasilkan harus memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi warga Kasepuhan yang pola penyebaran berdasarkan geneologis. Oleh karena itu salah satu substansi pokok dari PERDA tersebut yang perlu diperhatikan diantaranya adalah : a) pengakuan seluruh masyarakat kasepuhan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat; b) mengakui hak tradisional dan hak lainnya dari Masyarakat Kasepuhan sebagai warga negara; c) pengaturan pelaksanaan pemetaan wilayah adat yang kemudian peta wilayah adat ditetapkan dengan SK Bupati; d) pembentukan tim pemetaan wilayah adat; e) menjadikan masyarakat Kasepuhan sebagai unit dalam pembangunan daerah; dan lain-lain.  Baca lebih lanjut Policy Brief Vol. 01/2014 yang diterbitkan oleh Epistema, RMI, JKPP dan HuMa.

Peta partisipatif yang saat ini sudah ada maupun yang sedang dalam tahap proses

penatabatasan menjadi seharusnya dokumen penting bagi terwujudkannya prinsip PERDA pengakuan masyarakat hukum adat, yaitu kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Kasepuhan. 

Namun faktanya peta partisipatif yang dihasilkan pun belum sanggup meyakinkan para pengambil kebijakan di daerah untuk diakui, karena belum ada legitimasi hukum positif yang mengakui itu. Peta partisipatif

Kasepuhan harus diakui secara sah, jika negara akan mengakui keberadaan Kasepuhan dan masyarakat hukum adat lainnya! (NR)

Sumber Bacaan:

Hanafi, I., Nia Ramdhaniaty dan Budi Nurjaman. Nyoreang Alam Ka Tukang, Nyawang Anu Bakal Datang. Penelurusan Pergulatan di Kawasan Halimun, Jabar-Banten. 2004. Publikasi RMI

Polycy Brief Vol. 01/2014. Menantikan Hadirnya Peraturan Daerah tentang Masyarakat Kasepuhan. Epistema, RMI, HuMa dan JKPP. 2014.

Policy Brief Bol. 02/2014. Perda Masyarakat Kasepuhan: Solusi Konflik Tenurial Kehutanan di Lebak. Epistema dan RMI. 2014.

Peta partisipatif Kasepuhan harus diakui secara sah, jika negara akan mengakui keberadaan Kasepuhan dan masyarakat hukum adat lainnya!

S E Q U O I A C L U B

KABAR JKPP 19 " 15

Model SLUP Kecamatan RampiMenuju Pembangunan yang Partisipatif untuk Kesejahteraan Masyarakat dan Resolusi Konflik

Hajaruddin AnsharPengurus Perkumpulan Wallacea Palopo

Idealnya masyarakat bukan hanya sebagai obyek dari perencaanaan pembanguan, semestinya masyarakat memiliki ruang yang cukup luas untuk terlibat dalam pembangunan. Selama ini, model perencanaan pembangunan yang teknokratis memandang masyarakat sebagai objek semata, menghilangkan ruang partisipasi masyarakat yang pada akhirnya menyebabkan konflik dan menghambat pembangunan itu sendiri. 

Dalam upaya menjembatani berjalannya proses pembangunan serta mendorong keterlibatan masyarakat yang aktif dalam perencanaan, metode Sustainable Land Use Planning (SLUP) atau perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan menjadi salah satu pilihan. SLUP mengedepankan peran penting masyarakat sebagai subyek

dan sekaligus obyek pembangunan. SLUP menegaskan perencanaan wilayah berdasarkan sistem kelola komunitas yang ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan fungsi layanan alam. 

Khusus di Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan, sejak 2014 sampai 2015 Pemerintah Kabupaten Luwu Utara bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Tokalekaju, dan Perkumpulan Wallacea  menginisiasi  Sustainable Land Use Planning (SLUP) atau Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan yang bertujuan untuk mewujudkan penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif, khususnya bagi penyusunan tata ruang secara partisipatif di Luwu Utara.  

S E Q U O I A C L U B

" KABAR JKPP 1916

Belajar dari pengalaman

Kecamatan Rampi merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Daerah ini  memilki topografi berbukit-bukit dan berada pada 1.600 mdp.

Secara adminstrasi, Kecamatan Rampi terdiri dari 6 desa yaitu (1) Sulaku, (2) Leboni, (3) Onondowa, (4) Dodolo, (5) Rampi, (6) Tedeboe. Rampi berada di Pegunungan Tokalekaju, pegunungan hutan purba yang masih tersisa di Sulawesi, berjarak sekitar 84 km dari Ibu Kota Luwu Utara.

Wilayah ini juga dikenal sebagai jantung Sulawesi. Rampi merupakan salah satu kecamatan yang dapat dikatakan wilayah terpencil dan masih terisiolir. Perjalanan menuju Rampi dapat ditempuh dengan pesawat kecil atau perjalanan darat dengan medan sulit selama 2 hari.

Sementara Rampi dalam arahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu Utara Kecamatan Rampi masuk dalam klaim kawasan hutan lindung dan kawasan budidaya. Dalam peta RTRW kawasan strategis Kabupaten Luwu Utara tahun 2009 – 2029, Kecamatan Rampi masuk dalam potensi pertambangan bersama dengan Kecamatan Seko dan Limbong.

Sementara itu, Kecamatan Rampi juga masuk dalam wilayah yang rawan bencana,

khususnya masuk dalam kategori rawan banjir, erosi dan sedimentasi. Didalam perda RTRW tertulis rencana perluasan kebun sawit hingga 23.388,13 Ha, dimana Rampi masuk didalamnya.

Analisis SLUP menghasilkan ketidaksesuaian perencanaan yang dibuat oleh masyarakat  dengan RTRWK. Kesesuaian kawasan budidaya dalam perencanaan masyarakat dengan RTRWK Luwu Utara sebesar 20 % atau sekitar 4.598,6 Ha. Kategori sesuai dengan izin pemerintah sebanyak 35.5 %, wilayah ini mencakup area hutan produksi, sementara ketidaksesuaian kawasan budidaya masyarakat sebanyak 45.42 % yaitu wilayah budidaya yang masuk dalam hutan lindung dan kawasan potensi pertambangan dalam RTRWK.

Sebaliknya wilayah lindung dalam peta perencanaan masyarakat Rampi yang dialokasikan sebagai kawasan budidaya dalam RTRWK seluas 52.62 % atau 61.409 Ha, sementara kawasan lindung masyarakat Rampi yang sesuai dengan lindung dalam RTWRK hanya sebanyak 47.38 % yaitu seluas 55,289.54 Ha.

Sinergitas komunitas dan Pemerintah

SLUP mensyaratkan kerja sinergi dengan pemerintah, karena dokumen yang dihasilkan oleh masyarakat diharapkan menjadi dokumen rujukan dalam RTRWK.

Perjalanan menuju Rampi dapat ditempuh dengan pesawat kecil atau perjalanan darat dengan medan sulit selama 2 hari.

S E Q U O I A C L U B

KABAR JKPP 19 " 17

Memastikan bagaimana pemerintah mengakomodir perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan komunitas dikerjakan dengan pelibatan pemerintah (Pemerintah Desa, Kecamatan hingga pemerintah Kabupaten) bersama dengan masyarakat. Inisiasi SLUP dengan berpegang peta perencanaan dilakukan tahap demi tahapan secara partisipatif seperti alur berikut ini.Perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan di Kecamatan Rampi menjadikan masyarakat memahami apa saja kebutuhan mereka.  

Masyarakat menuangkan perencanaan partisipatif dalam peta dengan mendiskusikan tidak saja soal kebutuhan saat ini melainkan kebutuhan masyarakat dimasa depan. Kesadaran masyarakat dalam mengenal wilayah kelolanya sendiri diharapkan mampu menumbuhkan rasa pemilikan serta memahami bagaimana merespon kemungkinan perkembangan kehidupan pada masa yang akan datang, misalnya dalam melihat perkembangan penduduk sehingga dibutuhkan perencaana soal perluasan tempat pemukiman, lahan pertanian, perkebunan dan kebutuhan

lainnya. Peta ini yang didorong menjadi rujukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan pembangunan.

Pengetahuan lokal mengenai penggunaan lahan yang tertuang dalam perencanaan berangkat dari pengalaman mereka yang telah lama berinteraksi dengan alam. Pengetahuan ini menjadi bagian penting dalam menentukan lokasi sawah, kebun, pemukiman dan lain-lain.

Proses SLUP mendokumentasikan pengetahuan masyarakat sebagai modal utama dalam perencanaan penggunaan lahan yang paritsipatif. Seperti contohnya penentuan lokasi persawahan diketahui dengan jenis dari ciri tanah yang berwarna kehitaman, dataran serta memilih lahan dekat dengan sumber pengairan.

Perkebunan dlihat dari jenis tanah yang berwarna kehitaman dan berada pada bukit juga dataran. Kolam ditentukan dari jenis tanah yang berlumpur dan berpasir, sementara pemukiman ditentukan karena posisi

pemukiman yang datar, termasuk pertimbangan lembah yang luas dan jauh dari ancaman longsor.

Masyarakat menuangkan perencanaan partisipatif dalam peta dengan mendiskusikan tidak saja soal kebutuhan saat ini melainkan kebutuhan masyarakat dimasa depan.

S E Q U O I A C L U B

" KABAR JKPP 1918

Kesesuaian Perencanaan Lahan Berdasarkan Pengetahuan Lokal yang ada di Masyarakat Rampi, seperti yang diperlihatkan dalam tabel dibawah ini :

NO Penggunaan Lahan Kesesuaian Lahan Keterangan

Cocok Tidak Cocok

1 Pertanian/pesawahan

tanah berwarna hitam atau kehitaman

tanah padat

tanah yang ditumbuhi alang-alang masih bisa dipakai untuk pesawahan

jenis tanah dengan lumpur yang agak putih atau kekuningan

tanaman padi hanya bertahan selama 3 kali panen atau selama 3 tahun

lembab dan berlumpur letak sawah sebaiknya berada di daerah yang lebih rendah dari air

2 Perkebunan tanah berwarna hitam atau kehitaman

tanah berpasir lokasinya di perbukitan/dataran tinggikadang ditemukan juga di wilayah dataran/tanah rata

tanah merah tanah berwarna merah tidak begitu baik tetapi jenis tanah ini masih cocok untuk tanaman cengkeh. Hanya saja tidak ada tanaman cengkeh di Rampi

Kolam kolam ikan yang bagus dengan tanah berpasir

tanah yang mengandung unsur besi

kadang di pesawahan

ciri lumpur merah jika lahan tersebut difungsikan sebagai kolam ikan maka ikan di kolam tersebut akan susah untuk tumbuh besar

Pemukiman penempatan pemukiman mengikuti pemukiman sebelumnya

daerah yang memang tidak pernah dijadikan pemukiman sejak dulu

wilayah lembah yang luas dan tidak rawan longsor

rawan longsor

Sumber : Diolah dari hasil wawancara masyarakat Rampi

Pengetahuan lokal mengenai penggunaan lahan yang tertuang dalam perencanaan berangkat dari pengalaman mereka yang telah lama berinteraksi dengan alam. Pengetahuan ini menjadi bagian penting dalam menentukan lokasi sawah, kebun, pemukiman dan lain-lain. Proses SLUP mendokumentasikan pengetahuan masyarakat sebagai modal utama dalam perencanaan penggunaan lahan yang paritsipatif.

Seperti contohnya penentuan lokasi persawahan diketahui dengan jenis dari ciri tanah yang berwarna kehitaman, dataran serta memilih lahan dekat dengan sumber pengairan.  Perkebunan dlihat dari jenis tanah yang berwarna kehitaman dan berada pada bukit juga dataran. Kolam ditentukan dari jenis tanah yang berlumpur dan berpasir, sementara pemukiman ditentukan karena posisi pemukiman yang datar, termasuk pertimbanganlembah yang luas dan jauh dari ancaman longsor.

S E Q U O I A C L U B

KABAR JKPP 19 " 19

Saat ini, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara sedang menyiapkan pengajuan pelepasan kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lahan (APL) seluas 9.419,15 Ha. Hasil tumpang susun pengusulan perubahan kawasan hutan dengan SK No. 8410 dengan  peta penggunaan lahan masyarakat Rampi ditemukan kesesuaian pengusulan seluas 5.536,61 Ha sementara ketidaksesuaian ditemukan pada wilayah hutan primer masyarakat atau yang disebut dengan wana

seluas 2140,69 Ha. Oleh karenanya peta SLUP berfungsi mengkoreksi pengajuan pelepasan hutan menjadi APL. Dokumen SLUP telah diserahkan kepada Dinas Kehutanan Luwu Utara sebagai rujukan dalam pelepasan kawasan hutan oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan masyarakat untuk menghindari konflik dimasa mendatang (HA)

Sustainable Land Use Planning (SLUP, merupakan perencanaan penggunaan lahan dengan mengedepankan proses partisipatif, menggunakan metode pemetaan partisipatif dan perencanaan tata guna lahan yang lebih detil. Proses SLUP menekankan lima (5) dimensi yaitu, aspek sosial, budaya, lingkungan, ekonomi dan pemerintahan. JKPP bersama SLPP dalam proses ini berlaku sebagai fasilitator yang mendampingi proses perencanaan dan membangun kesepakatan, capaian serta hasil. Tahapan dalam proses SLUP ini diawali dengan membangun kesepakatan di level desa, kecamatan hingga kabupaten. Proses selanjutnya berupa pengumpulan dan pengolahan data serta analisa sehingga menghasilkan dokumen SLUP. Dokumen ini yang menjadi bahan diskusi dan acuan dalam proses integrasi dalam RTRWK

S E Q U O I A C L U B

" KABAR JKPP 1920

Krisis Ekologi dan Sosial Di Sulawesi TenggaraKerusakan Lingkungan dan Penyingkiran Masyarakat di Bumi Anoa

Kisran FadhilEksekutif Daerah WALHI Sulawesi Tenggara

Banyak kasus krisis ekologi dan upaya penyingkiran petani dari  tanahnya diakibatkan oleh  regulasi pemerintah daerah yang memberikan porsi lebih besar untuk investasi skala besar. Regulasi ini secara terstruktur dilakukan melalui pengalokasian ruang yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRWK/P).

Kemudian, masyarakat mengalami proses - proses penyingkiran secara masif karena kerusakan ekologis sebagai dampak dari industri ekstraktif. Seperti tercemarnya laut dan sungai sehingga tidak bisa lagi menghasilkan tangkapan yang baik serta terganggunya sawah pertanian masyarakat karena krisis air serta bencana banjir. Belum lagi efek penurunan kesehatan dan kerusakan tubuh manusia karena terinfeksi udara yang telah tercemar oleh perusahan tambang.

Sengaja datang atau hanya kebetulan lewat, Bumi Anoa sebagai julukan Sulawesi Tenggara merupakanwilayah dengan basis keanekaragaman hayati terbesar ketiga di Indonesia dengan jenis flora dan fauna endemik (data IUNCH, 2001). Kini kekayaan sumberdaya alam yang mestinya dimanfaatkan secara arif dan bijaksana di Sulawesi Tenggara dihadapkan pada malapetaka yang mesti ditanggung oleh generasi yang akan datang.

Penghancuran sistematis pranata sosial-budaya sangat nampak terjadi dibeberapa wilayah sumberdaya alam yang padat. Sebut saja Kolaka dan Konawe Utara, kedua daerah ini merupakan pusaka satu-satunya Kebudayaan Tolaki, melalui tanah dan hamparan benda alam kini tak satupun menjadi warisan leluhur.

S E Q U O I A C L U B

KABAR JKPP 19 " 21

Kondisi ini muncul karena banyaknya persoalan yang bermula dari hulu yaitu ketika liberalisasi perizinan pertambangan dikeluarkan dengan semena-mena, tidak transparan, dan mengabaikan daya dukung lingkungan melalui sistem terstruktur dalam kebijakan ruang. Hal ini yang melahirkan beragam persoalan misalnya konflik tenurial, perambahan hutan, konflik sosial dan degradasi lingkungan.

Dalam dokumen Rencana Pembengunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulawesi Tenggara, pada bagian analisa tentang isu strategis, selalu dikatakan bahwa permasalahan pokok adalah bagaimana mengembangkan potensi sumberdaya alam yang tersedia baik di darat maupun di laut. Melalui upaya peningkatan nilai tambah sumberdaya alam dengan mengembangkan

kawasan  strategis  sebagai pusat  pertumbuhan baru.

Dasar tersebut yang melandasi perumusan kebijakan daerah, rencana dan program di dalam RPJMD Sulawesi Tenggara periode 2008 – 2013 dan periode 2013 – 2018. Dengan target pertumbuhan ekonomi pada kedua periode tersebut berkisar antara 8% - 10% per tahunnya.

Dalam grafik berikuth ini menunjukan bahwa alokasi ruang bagi tambang menjadi prioritas dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi

Sulawesi Tenggara. Yang menjadi pertanyaan kemudian apakah pilihan tambang menjadi jalan yang tepat bagi kesejahteraan daerah, masyarakat serta keberlanjutan lingkungan?

Gambar Alokasi Izin di Sulawesi Tenggara (RPJMD 2013 – 2018)

Dalam dokumen RTRWP Sultra kawasan dengan status APL disebutkan diperuntukan untuk pemukiman dan perkebunan. Dalam kenyataannya sebagian besar lokasi tambang, lokasi perkebunan skala besar dan lokasi transmigrasi masuk dalam kawasan hutan dan suaka alam yang telah diturunkan statusnya menjadi APL.  

Untuk periode 2013 – 2018 diprediksi akan terjadi perubahan luasan kawasan yang lebih besar berdasarkan perkiraan perluasan wilayah  investasi untuk pertambangan dan perkebunan, termasuk juga penerimaan transmigrasi.

Yang menjadi pertanyaan kemudian apakah pilihan tambang menjadi jalan yang tepat bagi kesejahteraan daerah, masyarakat serta keberlanjutan lingkungan?

S E Q U O I A C L U B

" KABAR JKPP 1922

Seperti yang terjadi di Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka dan Kecamatan Molawe Kabupaten Konawe. Tercatat perusahaan tambang yang beroperasi di kecamatan ini adalah produksi PT. DRI, PT. SSB, PT. Akar Mas, PT. Wijaya Nikel, PT. Antam Tbk dan masih terdapat sejumlah aktivitas Pemegang IUP dan JO ikutannya.  Tambang telah merusak panen padi dan mencemari laut mereka. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu ketua kelompok nelayan Desa Hakatutobu menceritakan bahwa tambang telah menyebabkan pendapatan dari laut menurun.

Sebelum ada tambang  penghasilan nelayan di desanya berkisar 2 juta sampai 10 juta/Kepala Keluarga/bulan (untuk budidaya teripang, rumput laut dan hasil tangkapan ikan). Hal ini diperkuat dengan salah satu nelayan yang menceritakan bahwa sebelum ada banjir karena tambang, kami biasa panen

500 kg sampai 1 ton, sekarang dengan adanya banjir, kami tidak dapat mengambil air aliran Kali Pesouha karena airnya keruh kemerah-merahan, sementara udang sangat sensitif terhadap air yang tidak steril. Sedangkan untuk persawahan kami selain karena langganan banjir juga karena akibat hama tikus dan babi, hal ini diakibatkan  karena hutan tidak ada lagi sehingga hama-hama tersebut masuk di perkampungan. Masyarakat Pomalaa bisa memanen padi

hingga 40 – 70 sebelum ada tambang tetapi saat ini hanya sekitar 15 karung saja, itupun kami harus mengalami gagal panen pada tahun 2009 dan 2010. Akibatnya banyak petani yang tidak lagi mau menanam padi yang pada akhirnya banyak yang jadi pengangguran di desa. Perusahaan tambang yang membawa banjir  ke desa kami, karena pohon sudah habis digunduli. Hal serupa juga terjadi di Desa Tapunggaeya daerah Konawe utara, sejak ada aktivitas tambang, desa menjadi rawan longsor, dan setiap kali hujan pasti banjir karena banyak tutupan anak kali yang

tersumbat oleh materil. Air banjir langsung menjulur ke laut, hal ini yang menyebabkan laut berubah menjadi merah.

S E Q U O I A C L U B

KABAR JKPP 19 " 23

Belum lagi debu menjadi pemandangan sehari-hari yang dirasakan warga dan yang paling memprihatinkan adalah terganggunya para murid (SD dan SMP) yang sedang belajar di sekolah karena terus mendengar bising dari lalu lalang truk perusahaan tambang. Sempat para guru melakukan demo di kantor DPRD Konawe Utara, namun hasilnya hasilnya PT. Sriwijaya hanya memberikan “ganti rugi” atas kebisingan. Perusahaan memberikan insentif kepada guru, bantuan gorden jendela sekolah dan

pakaian sekolah untuk siswa. Padahal masyarakat dan guru meminta untuk menghentikan aktivitas disekitar sekolah, selain karena gangguan kendaraan juga ada faktor debu. Bahkan perusahaan pernah ingin merelokasi SD dan SMP ke tempat lain.

Berkurangnya luasan kawasan tutupan hutan serta dampak dari perubahan iklim di Sulawesi Tenggara pada gilirannya tentu berakibat pada meningkatnya resiko bencana. Dalam kurun waktu tahun 2009 - 2012 telah terjadi bencana banjir di Sulawesi Tenggara sebanyak 87 kasus. Untuk tahun 2013 saja telah terjadi sebanyak 15 kasus banjir, dengan rincian; 2 kali banjir di Kendari, 8 kali banjir Kolaka Utara, 3 kali banjir Kolaka, 1 kali banjir Muna dan 1 kali banjir Buton. (Sumber BPS Tahun 2014).

Upaya Revisi RTRWP

Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara (RTRWP Sultra) telah disahkan oleh DPRD Sultra pada Tahun 2014, melalui Perda No. 2 Tahun 2014 tentang RTRWP Sulawesi Tenggara. Oleh karenanya mendorong revisi RTRWP tersebut menjadi agenda utama. Kalangan Organisasi Masyarakat Sipil mempersoalkan tentang usulan revisi untuk substansi kehutanan

yang terkait dengan penurunan status sebagian kawasan hutan menjadi Areal Peruntukan Lain dalam draft usulan revisi dengan luasan yang sangat besar.  Disebutkan dalam dokumen RTRWP Sultra kawasan dengan status APL diperuntukan untuk pemukiman dan perkebunan. Dalam kenyataannya sebagian besar lokasi tambang,

lokasi perkebunan skala besar dan lokasi transmigrasi masuk dalam kawasan hutan dan suaka alam yang telah diturunkan statusnya menjadi APL. Dalam perjalanan proses revisi RTRWP Sultra banyak ditentang oleh berbagai elemen masyarakat sipil maupun kalangan pemerintah sendiri khususnyadari balai taman nasional.

Gerakan penolakan revisi rencana tata ruang tersebut karena disinyalir ada kepentingan/agenda besar dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk memuluskan jalan bagi masuknya investasi perkebunan skala besar dan pertambangan di Sultra.

Namun demikian perjuangan akan terus dilakukan agar kerusakan lingkungan dan penyingkiran petani bisa terhenti. (KFM)

S E Q U O I A C L U B

" KABAR JKPP 1924

Dari Pemetaan Partisipatif Menuju Inisiasi Tata Ruang Kawasan

S. DyantoroSLPP Wonosobo

Wonosobo terletak diantara gunung besar yaitu Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Dieng dan merupakan daerah tangkapan air. Sumber mata air terbesar yang mengaliri sungai di Jawa Tengah berasal dari kawasan dataran tinggi Dieng. Pertama adalah Sungai Serayu yang melintasi 5 kabupaten (Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap). Sementara Sungai Bogowonto mata airnya di lereng Gunung Sumbing yang melewati 3 kabupaten (Kabupaten Wonosobo, Kulonprogo dan Purworejo).

Wonosobo memiliki kawasan hutan dengan luas 39.726,3 Ha.  Luas hutan tersebut terdiri dari hutan negara seluas 20.254,3 Ha, meliputi luas hutan produksi 13.675,2 Ha, hutan lindung 6.537, 1 Ha, hutan wisata 34,9 Ha dan hutan suaka alam 7,1 Ha serta hutan

rakyat seluas 19.472 Ha. Sedangkan Hutan Rakyat pada tahun 2000-2001 pernah mendapat juara ke-2 tingkat Nasional.

Pemerintah Wonosobo merupakan salah satu pemerintah daerah yang mendukung hadirnya Undang – Undang Desa No 6 Tahun 2014.

Bupati Wonosobo telah menyelenggarakan sosialisasi paska Undang-Undang Desa disahkan mengenai pentingnya untuk segera mewujudkan peraturan tersebut. Dalam sosialisasi tersebut mensyaratkan adanya PR besar yang bernama Peta Desa. Peluang ini disambut oleh Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Wonosobo untuk menyiapkan peta administrasi desa dan inisiasi tata ruang desa yang akan didorong nantinya menjadi peraturan desa.

S E Q U O I A C L U B

KABAR JKPP 19 " 25

UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa membawa paradigma baru dalam tata kelola desa dalam peyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Desa merupakan pemerintahan terbawah yang

berhubungan secara langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu desa haruslah menjadi bagian terdepan dalam gerakan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Salah satu tema strategis dalam konstruksi UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa ini adalah perencanaan pembangunan desa dan kawasan perdesaan.

Undang-undang desa yang telah bergulir dari sejak tahun lalu, membutuhkan sebuah terobosan untuk mempersiapkan prasyarat penting di tingkat desa baik dalam implementasi desa dinas maupun desa adat. Salah satu prasyarat tersebut adanya peta desa secara administratif.

Kondisinya hari ini, peta administrasi desa di Indonesia baru ada sekitar 19 %, ini dikuatkan dengan pernyataan Badan Informasi Geospasial (BIG). Hal ini menjadikan peran Pemetaan Partisipatif sangat menentukan dan penting, beberapa kebijakan turunan dari

undang-undang desa membutuhkan dua peta pokok yakni peta tata ruang desa dan peta administrasi desa.

Kemandirian desa terkait dengan prakarsa dan kewenangan desa untuk mengambil keputusan tentang kepentingan masyarakat setempat.

Pencapaian tertinggi desa mandiri apabila desa mampu menyediakan sumber kehidupan dan penghidupan bagi masyarakatnya, menyediakan lapangan

pekerjaan serta pendapatan masyarakat dan pendapatan desa.

Oleh sebab itu di masa depan, desa dapat melakukan perubahan wajah desa dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya guna serta pemberdayaan di wilayahnya.

Peluang Undang – Undang Desa menjadi bagian penting dalam upaya mendorong Pemerintah Kabupaten Wonosobo untuk bisa mengakomodir Pemetaan Partisipatif. Tentunya untuk  perluasan pengakuan terhadap peta partisipatif yang telah dibuat oleh kawan-kawan di beberapa desa sebelum ada Undang – Undang Desa. Oleh karena itu desa haruslah menjadi bagian

terdepan dalam gerakan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

S E Q U O I A C L U B

" KABAR JKPP 1926

Selain itu, penting dalam mengintegrasikan peta pemetaan partisipatif dengan kebijakan pemerintah daerah, mendorong wali data peta partisipatif kepada pemerintah daerah menjadi bagian advokasi pengakuan tersebut.  Beberapa kali diskusi dengan Bappeda Wonosobo, mereka merespon baik dan siap untuk menjadi wali data sekaligus hasil-hasil pemetaan partisipatif akan didorong untuk dibuatkan semacam SK Bupati (terutama Peta Tata ruang Desa dan Peta Administrasi Desa).

Hasil komunikasi dan advokasi selama ini menghasilkan kesepakatan bersama antara SLPP Wonosobo dengan Pemerintah Daerah Wonosobo dalam inisiasi pelaksanaan pemetaan partisipatif dan inisiasi dokumen tata ruang desa. 

Pemetaan partisipatif akan dilakukan di 23 desa yang meliputi 9 kecamatan yaitu Kecamatan Wadaslintang, Sapuran, Mojotengah, Watumalang, Kejajar, Kaliwiro, Selomerto, Kepil dan Wonosobo. Proses pemetaan dan penyusunan tata ruang desa yang sedang dilakukan pada tahap awal ini mencakup di 3 desa di Kecamatan Wadaslintang yaitu, Lancar, Plunjaran dan 3 desa di Banyumudal, Ngadikerso, Talun Ombo, dan Kumejing. 

Pendanaan akan didukung oleh pemerintah daerah dan SLPP Wonobo akan membantu menjadi bagian tim sebagai sharing kontribusi. Keterlibatan pemerintah daerah yaitu Bapeda serta Bapermasdes hingga tingkatan teknis. Bappeda pun telah menyatakan siap menjadi wali data dari peta yang akan dihasilkan.

Tata ruang desa yang sedang dalam proses saat ini akan berusaha mengakomodir seluruh komunitas di desa dan bersama-sama menyusun langkah-langkah strategis, dari pembangunan fisik maupun manusianya. Musrenbangdes akan menjadi sarana demokratis di tingkat desa untuk

mengembangkan seluruh potensi desa menuju desa yang mandiri. Seluruh proses pembangunan setiap penggunaan tanah akan menjadi rencana detail dari desa tersebut. Sehingga hal ini akan memberikan terobosan baru dari pembangunan dan perencanaan desa yang berbasis pada data spasial.

Peta administratif desa saat ini di wilayah Wonosobo belum ada, sehingga SLPP Wonosobo juga berinisiasi untuk membuat Peta tata batas desa yang sesuai dengan Permendagri No 27 tahun 2006. Upaya ini juga sebagai upaya untuk mendorong pemerintah kabupaten untuk bisa mengakui keberadaan dari Peta Partisipatif yang telah lama dirumuskan oleh JKPP.  

S E Q U O I A C L U B

KABAR JKPP 19 " 27

Karena peta yang telah dibuat harus bisa mendapat pengakuan atau legalisasi dari pemerintah, baik dari pemerintah desa sampai ke pemerintah pusat.

Proses penyelenggaraan Pemetaan Partisipatif ini juga mendapat respon baik dari BIG, dimana BIG sebagai supervisor dari pembuatan peta ini. Hasil dari pengawasan BIG di lapangan terkait dengan PP yang dilakukan oleh kawan-kawan SLPP Wonosobo yakni walaupun saat ini masih butuh beberapa penyelarasan tentang teknis pemetaan, secara umum yang dilakukan oleh kawan-kawan sudah benar hanya terkendala oleh alat. BIG menawarkan untuk mengikuti pelatihan tata ruang yang diselenggarakan oleh BIG sebagai upaya penyelarasan tersebut.

SLPP Wonosobo mencoba menjalankan SOP yang telah dibuat dan disepakati seluruh anggota JKPP, sehingga wasit dari kegiatan ini adalah SOP. Dua proses Peta diatas nantinya akan dikembangkan menjadi peta-peta tematik sesuai dengan kebutuhan dari desa, misal : peta potensi desa, peta kemiskinan, dll.

Metodologi Pemetaan Partisipatif yang sudah dirumuskan harus mampu menjawab kebutuhan dari masyarakat lokal sebagai upaya pengakuan terhadap kedaulatan atas ruang rakyat. Kawan-kawan SLPP yang sudah banyak berkembang diseluruh negeri harus mampu mengembangkan inisiasi dan terobosan baru untuk mengembangkan Pemetaan Partisipatif.

Upaya yang dilakukan oleh kawan-kawan SLPP Wonosobo hanya sebagian kecil sekali perjuangan dalam mengambil peluang dari kebijakan pemerintah.  Pengembangan dari peta adminitratif desa dan peta tata ruang desa bisa digunakan untuk langkah awal advokasi ditingkatan lokal. Berbagai refleksi (kendala & kelemahan) dari proses pemetaan partisiapatif  bisa menjadi pembelajaran berharga untuk penyempurnaan. (Dyan)

Proses penyelenggaraan Pemetaan Partisipatif ini juga mendapat respon baik dari BIG, dimana BIG sebagai supervisor dari pembuatan peta ini.

KABAR SIMPUL

Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif Sulawesi Utara

Seperti halnya permasalahan di wilayah lain di Indonesia, teman – teman aktivis Sulawesi Utara menghadapi konflik ruang yang melibatkan sektor perkebunan, tambang serta kehutanan.  Sementara konflik penguasaan sumber daya alam di Sulawesi Utara tidak saja terjadi pada wilayah daratan tetapi juga pesisir dan laut. Sulawesi Utara terkenal dengan lautnya yang luas dan indah. Pemerintah Sulawesi Utara melakukan reklamasi pantai yang berdampak pada tersingkirnya nelayan karena tempat

pelabuhan nelayan dan mencari ikan yang ada di sekitar pantai kini menjadi hilang. Bahkan pemerintah telah memindahkan rumah – rumah nelayan dengan mekanisme tukar guling. Kondisi ini diperburuk dengan kondisi lokasi rumah baru yang tidak strategis seperti lokasi lama. Rumah baru ini jauh dari lokasi penangkapan ikan, tidak seperti dahulu yang cukup hanya disekitar pantai. Hal ini memaksa nelayan untuk mencari ikan di tengah lautan yang secara operasional membutuhkan biaya yang lebih besar.

K A B A R G E O S P A S I A L

" KABAR JKPP 1928

Pendapatan nelayan pun menurun drastis, bahkan banyak diantaranya tidak berprofesi lagi sebagai nelayan karena tidak sanggup menanggung biaya operasional yang terlalu tinggi.

Selama ini pemetaan partisipatif belum menjadi bagian dari kerja – kerja advokasi ruang khususnya bagi para penggiat aktivis di Sulawesi Utara. Peta komunitas yang bisa menunjukan klaim wilayah kelolanya belum digunakan sebagai dokumen yang kuat dalam proses negosiasi, perencanaan wilayah dan penyelesaian konflik. Hingga pada bulan November 2014, beberapa aktivis yang tergabung dalam beberapa lembaga yaitu Walhi Sulut, LP2S Manado, AMAN Sulut, LBH Sulut, Telapak Sulut, Swara Parangpuan Sulut, Jaringan

Kampung DAS Tondano, KSM Arakan-Wawontulap, KPA Rajawali Tomohon, KPPLH Wori, Yayasan ASPISIA, Yayasan Bumi Tangguh, Yayasan Rumah Ganeca Sulut, KPA Green Eksplorer Lahendong, Komunitas Bambu Kota Tomohon, KEKER Sulut, Komunitas Adat Tanjung Merah, dan Perkumpulan Peduli Lipu Bolaang Mongondow Utara. Mereka berdiskusi dan bersepakat untuk membentuk Simpul Layanan Pemetaan Partsipatif (SLPP) untuk

mendukung kerja advokasi kedepannya. Forum juga menyepakati Walhi Sulawesi Utara yang akan menjadi host SLPP.

Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif Sulawesi Barat

Sulawesi Barat merupakan propinsi pemekaran dari Sulawesi Selatan pada tahun 2004. Hampir 10 tahun pemekaran tersebut, tetapi nyatanya secara administrasi proses penataan batas wilayah belum juga selesai. Selain itu, jauh lebih penting adalah soal belum adanya RTRWK Propinsi Sulawesi Barat. Dokumen RTRWK yang ada masih mengacu pada dokumen Propinsi Sulawesi Selatan, hal ini menimbulkan banyak gap antara rencana yang disusun oleh pemerintah dengan

kondisi di lapang yang bertolak belakang dengan kebutuhan masyarakat. Ditambah lagi soal pernyataan pemerintah daerah yang menyebutkan bahwa propinsi Sulawesi Barat tidak mengakui adanya masyarakat adat di wilayahnya. Sementara pemerintah daerah terus memberikan izin konsensi kepada perusahaan sawit. Berdasar pada kondisi tersebut, Walhi Sulbar,

Lembaga Perang, perwakilan mahasiswa dan SLPP Makasar menginisiasi pembentukan SLPP di Sulawesi Barat. Peta pemetaan partisipatif dianggap menjadi salah satu jalan dalam upaya menunjukan penguasaan wilayah kelola oleh masyarakat, membenahi permasalahan batas wilayah serta menunjukan eksistensi masyarakat adat di Sulawesi Barat yang secara turun menurun sudah hidup di wilayah tersebut.