kabar bahari

38
EDISI JANUARI-FEBRUARI 2013 RUBRIK KEMUDI RUBRIK TOKOH EDO KONDOLOGIT TEMU AKBAR NELAYAN INDONESIA DAN PERTEMUAN NASIONAL KIARA 2013 AGENDA kEGIATAN FUNGSI MANGROVE RUBRIK PERNAK-PERNIK RESEP NASI GORENG IKAN ASIN RUBRIK DAPUR

Upload: kiara

Post on 12-Apr-2017

277 views

Category:

News & Politics


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kabar bahari

EDISI JANUARI-FEBRUARI 2013

RUBRIK KEMUDI

RUBRIK TOKOH EDO KONDOLOGIT

TEMU AKBAR NELAYAN INDONESIA DAN PERTEMUAN NASIONAL KIARA 2013AGENDA kEGIATAN

FUNGSI MANGROVERUBRIK PERNAK-PERNIK

RESEP NASI GORENG IKAN ASINRUBRIK DAPUR

Page 2: Kabar bahari

Pertama, pentingnya Negara mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan sumber daya ikan tanpa hutang, dengan tetap memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan pangan nasional secara berdikari.

Kedua, pentingnya Negara memberikan dan memastikan terpenuhinya hak-hak nelayan sebagai warga Negara maupun hak-hak istimewa mereka sebagai nelayan tradisional, serta memberikan perlindungan maksimal atas wilayan perairan tradisionalnya.

Ketiga, pentingnya Negara memahami kegiatan perikanan sebagai sumber pangan, pengembangan budaya nasional, dan sumber ekonomi kerakyatan.

Keempat, pentingnya Negara memahami kegiatan perikanan secara utuh, dengan memaknai keterlibatan perempuan nelayan di dalam kegiatan perikanan sebagai subjek yang teramat penting.

W: www.kiara.or.id | E: [email protected]: Kiara | T: @sahabatkiara

Page 3: Kabar bahari

PENGANTAR REDAKSI

D A F T A R I S I

REDAKSIKABAR BAHARI adalah Buletin dua bulanan terbitan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) yang mengangkat dinamika isu kenelayanan dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.

DEWAN REDAKSI

Pemimpin Redaksi:Abdul Halim

Redaktur Pelaksana:Selamet Daroyni

Sidang Redaksi:Mida SaragihSusan HerawatiAhmad Marthin Hadiwinata

Desain:Abizar Ismail

Foto Cover :Des Syafrizal/Oxfam.

Alamat Redaksi:Jl Lengkeng Blok J Nomor 5Perumahan Kalibata IndahJakarta 12750Telp./Faks:+62 21 798 9543Email:[email protected]

MEMPERBAIKI MANGROVE KITA

Pembaca yang budiman, buletin dwi bulanan KABAR BAHARI kembali menyapa Anda. Untuk edisi perdana di tahun 2013 ini, Redaksi mengulas pentingnya mangrove dalam kehidupan kita.

Keberadaan ekosistem mangrove di daerah pesisir kian terancam. Selain beralih fungsi menjadi tambak, hutan mangrove juga kian dilirik untuk kebun kelapa sawit dan bahkan reklamasi pantai yang merampas hak warga negara. Akibatnya, terjadi abrasi dan intrusi air laut serta turunnya tangkapan nelayan. Upaya nelayan tradisional merehabilitasi hutan mangrove, di antaranya di Langkat dan Serdang Bedagai, Sumatera Utara, patut diacungi jempol, meski rintangannya amat berat.

Asia tercatat sebagai kawasan pemilik hutan mangrove terluas, utamanya di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Lebih dari 50 spesies endemik mangrove, di antaranya Aegiceras floridum, Camptostemon philippinensis, Heritiera globosa, tumbuh di sepanjang garis pantainya (FAO, 2005). Seperti apa situsi mangrove di Indonesia? Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memperkirakan luasan hutan mangrove di Indonesia menyusut drastis akibat laju konversi sejak tahun 1980an hingga saat ini: dari 4,25 juta ha pada 1982 menjadi kurang dari 1,9 juta ha tahun ini. Kementerian Kehutanan mencatat, ada 7.758.410,59 hektar hutan mangrove di Indonesia. Namun, hampir 70 persen rusak.

Mendapati kondisi ini, kelestarian hutan mangrove sudah semestinya menjadi tanggung jawab bersama. Anda bisa bayangkan, betapa meruginya bangsa Indonesia kehilangan spesies endemik mangrove yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lainnya.

Edisi perdana ini juga mengangkat pentingnya pengakuan dan perlindungan Negara terhadap perempuan yang bergerak di sektor perikanan, baik tangkap maupun budidaya. Cobalah simak upaya Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung di Desa Sei Nagalawan, Serdang Bedagai. Dalam edisi ini pula, Redaksi menyediakan ruang konsultasi hukum kelautan dan perikanan. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

Redaksi

AGENDA: Temu Akbar Nelayan & Pertemuan Nasional KIARA 2013

RUBRIK HUKUM: Konsultasi Hukum Nelayan dan Perikanan

RUBRIK PERNAK-PERNIK: Fungsi Mangrove

RUBRIK DAPUR: Nasi Goreng Ikan Asin

RUBRIK JELAJAH: Keberpihakan Terhadap Perempuan Nelayan

RUBRIK TOKOH: Edo Kondologit & Pak Sangkot

RUBRIK KEBIJAKAN: Pantai Publik, Hak Asasi Setiap Warga

RUBRIK SETARA: Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung 20

23

26

3132

2

1

7

14 & 22

16

RUBRIK KEMUDI: Pentingnya Melestarikan Magrove

Page 4: Kabar bahari

LestarilahMangroveku..

RUBRIK KEMUDI

foto: Des Syafrizal/Oxfam.

2

Page 5: Kabar bahari

PENTINGNYAMELESTARIKANMANGROVEPENGANTARIndonesia merupakan negara kelautan terbesar yang memiliki hamparan hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove di dunia mencapai luas sekitar 16.530.000 ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha, dan Amerika 5.831.000 ha (FAO 1994).

Merujuk pada The World's Mangroves 1980-2005 (FAO 2007), walaupun dari segi luasan kawasan, mangrove Indonesia merupakan yang terluas di dunia, yakni sebesar 49%, namun kondisinya semakin menurun baik dari segi kualitas dan kuantitas dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia seluas 4,25 juta ha, sedangkan pada 2009 diperkirakan menjadi kurang dari 1,9 juta ha (KIARA, 2010). Setali tiga uang, dalam Status Lingkungan Hidup Indonesia 2009 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa, “Hutan mangrove di Sumatera Utara seluas 306.154.20 ha. Dari luasan itu, 9.86% berada dalam kondisi rusak”.

Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove berakibat pada minimnya daya dukung ekosistem pesisir bagi kelangsungan hidup spesies pesisir dan biota laut lainnya, serta kelangsungan hidup masyarakat pesisir, seperti abrasi yang meningkat, penurunan tangkapan perikanan, intrusi air laut yang semakin merambah daratan, meluasnya penyakit malaria, dan sebagainya. Di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, luasan mangrove menurun sebesar 59.68%

dari 103,425 ha di tahun 1977 menjadi 41,700 ha di tahun 2006 (Onrizal 2006). Senada dengan itu, data KNTI regio Sumatera (2010) menyebutkan bahwa hutan mangrove di pesisir Kabupaten Langkat seluas 35.000 ha. Dari luasan itu, kini yang tersisa dalam kondisi baik hanya 10.000 ha. Penurunan kuantitas dan kualitas ini disebabkan oleh perluasan tambak udang dan perkebunan sawit di wilayah pesisir. Akibatnya, selain merusak ekosistem pesisir, juga berdampak terhadap penurunan pendapatan nelayan tradisional.

Oleh karena itu, penelitian tentang sawit dan kerusakan mangrove di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara ini menjadi sangat penting untuk dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar dan pertimbangan utama untuk kegiatan (i) rehabilitasi mangrove yang sudah rusak, (ii) pengelolaan mangrove untuk masa kini dan masa mendatang, dan (iii) memperkaya data dan informasi perihal keterkaitan mangrove dengan kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan petambak tradisional.

KONVERSI MANGROVEKawasan mangrove atau hutan bakau amatlah penting artinya bagi masyarakat pesisir, tak terkecuali masyarakat pesisir Pantai Timur Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Di Langkat, kawasan hutan mangrove seluas 35.000 hektar membentang sepanjang 110 kilometer berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Aceh Timur, Nanggroe Aceh Darussalam. Pada perkembangannya, hanya tersisa 10.000 hektar yang berada dalam kondisi baik.

Berkurangnya luasan hutan mangrove menjadi keprihatinan masyarakat pesisir Langkat. Tak hanya mempengaruhi pendapatan nelayan, melainkan juga menjadikan mereka kian rentan terhadap bencana. Dari segi pendapatan, misalnya, nelayan harus pergi lebih jauh dari kuala

3

Page 6: Kabar bahari

menuju laut untuk menangkap ikan. Padahal, modal melaut yang dimiliki tak seberapa. Kerusakan ekosistem mangrove telah berlangsung sejak 1980-1998 sesaat setelah pemerintah melaksanakan perluasan tambak udang. Akibat persebaran penyakit, kualitas udang budidaya tak lagi baik dan berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan pesisir. Untuk mengatasi persoalan ini, Menteri Kehutanan Republik Indonesia mengeluarkan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Tanaman Bakau kepada PT Sari Bumi Bakau seluas ±20100 ha dengan surat bernomor 936/kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999. Terbitnya HPH ini sontak diwarnai penolakan oleh masyarakat pesisir Langkat hingga dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.388/MENHUT-II/2006 pada tanggal 12 Juli 2006 tentang pencabutan Hak Pengusahaan Hutan PT. Sari Bumi Bakau.

Meski telah dicabut, konversi hutan mangrove secara besar-besaran terus terjadi di kawasan Hutan Produksi Tetap dan Terbatas. Berlangsungnya praktek ini dilandasi oleh Surat Keputusan Menhut Nomor 44/MENHUT-II/2005 tanggal 16 Februari 2005 Jo. Nomor 201/Menhut-II/2006 pada tanggal 5 Juni 2006. Akibatnya, penolakan masyarakat terus berlangsung.

Penolakan masyarakat disebabkan oleh konversi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit. Praktek konversi ini berlangsung hampir di seluruh kecamatan pesisir Langkat, di antaranya: Secanggang, Tanjung Pura, Gebang, Babalan, Sei Lepan, Brandan Barat, Pangkalan Susu, Besitang, dan Pematang Jaya.

Melihat fakta di lapangan, perusahaan yang diduga melakukan praktek konversi hutan

mangrove adalah PT Sari Bumi Bakau (SBB), PT. Pelita Nusantara Sejahtera (PNS), PT. Marihot, PT. Buana, PT C.P, serta oknum wakil rakyat partai pemenang Pemilu 2009 lalu. Atas kondisi di atas, KNTI menilai bahwa program rehabilitasi hutan dan lahan

yang telah berlangsung sejak 2006-2008 tak berhasil menyelamatkan ekosistem mangrove karena di saat yang sama, prakter konversi berlangsung secara besar-besaran.

Laju konversi mangrove menimbulkan permasalahan baru bagi nelayan dan masyarakat pesisir Langkat, Sumatera Utara. Di antara persoalan tersebut adalah: (1) abrasi pantai akibat konversi ekosistem mangrove di Kecamatan Pesisit dan Pulau Kecil, Kabupaten Langkat; (2) hilangnya sebagian tempat mencari nafkah masyarakat di Desa Perlis, Desa Kelanta, Desa Lubuk

Penelusuran KNTI region Sumatera diperoleh rincian konversi hutan mangrove

Tabel I. Luas Kerusakan Hutan Mangrove di Kabupaten Langkat

4

Page 7: Kabar bahari

Kasih, dan Pangkalan Batu; (3) kian tingginya biaya melaut yang mesti ditanggung oleh nelayan tradisional karena wilayah tangkapan ikan semakin jauh; (4) kian besarnya potensi konflik horisontal antarnelayan; (5) hilangnya kesempatan memanfaatkan lahan darat untuk pertanian; (6) hilangnya air bawah tanah akibat intrusi air laut sebagai sumber air bersih bagi 180 ribu masyarakat Teluk Haru, Langkat; dan (7) membesarnya potensi rob akibat hilangnya ekosistem mangrove.

HILANGNYA MANGROVEDalam dua dekade sepertiga hutan bakau (mangrove) dunia hancur. The Royal Society-sebuah akademi sains di Inggris menyebutkan bahwa kerusakan tersebut disebabkan oleh aktivitas manusia, khususnya perluasan tambak. Di Indonesia persebaran mangrove berkategori rusak berat berdampak pada menurunnya daya dukung lingkungan hidup dan kualitas hidup masyarakat pesisir.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memperkirakan luasan hutan mangrove di Indonesia menyusut dengan sangat drastis dari 4,25 juta ha pada 1982 menjadi kurang dari 1,9 juta ha tahun ini. Rusaknya hutan pencegah banjir tersebut berakibat pada terputusnya rantai penghidupan dan obat-obatan masyarakat pesisir. Selain itu, musnahnya produktivitas perikanan dan hilangnya habitat pesisir lainnya serta kian meningkatkan kerentanan masyarakat pesisir atas badai dan gelombang tinggi.

Penghargaan atas pelayanan ekosistem hilang. Pemerintah-khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan-memandang alam semata sebagai komoditas eksploitatif demi keuntungan segelintir orang dan memberikan kerusakan bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat pesisir. Kerusakan mangrove menjadi potret tiadanya penghargaan pemerintah atas pelayanan ekosistem.

Dalam studinya The Royal Society memaparkan bahwa kerusakan mangrove akibat perluasan tambak tak sebanding dengan kesejahteraan masyarakat pesisir. Di Thailand, misalnya, tiap hektare luas tambak hanya memberikan keuntungan sebesar US$9,632. Keuntungan ini hanya dimiliki oleh segelintir orang. Sebaliknya, pemerintah Thailand harus menanggung biaya polusi sebesar US$1,000, biaya hilangnya fungsi-fungsi ekologis sebesar US$12,392, dan pemerintah harus memberi subsidi kepada masyarakat korban senilai US$8,412. Tak hanya itu, tetapi pemerintah juga harus mengalokasikan dana tambahan sebesar US$9,318 untuk merehabilitasi mangrove.

Pengalaman Thailand hendaknya memberikan panduan bagi pemerintah kita untuk tak sembarang menelurkan kebijakan terkait dengan eksploitasi ekosistem penting dan genting seperti ekosistem mangrove. Terlebih, menyangkut hajat hidup banyak orang. Kami mencatat bahwa ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove di Indonesia. Pertama, konversi untuk ekspansi industri pertambakan, seperti yang terjadi di Provinsi Lampung.

Kedua, konversi hutan mangrove untuk kegiatan reklamasi kota-kota pantai, seperti yang terjadi di Teluk Jakarta, Padang (Sumbar), Makassar, dan Manado (Sulut). Ketiga, terkait pencemaran lingkungan. Saat ini perluasan kebun kelapa sawit turut memperparah kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia.

Hasil pemantauan KIARA di Kab. Langkat Sumut, misalnya, didapati fakta konversi ekosistem mangrove menjadi perkebunan sawit dilakukan hingga jarak kurang dari 5 meter dari arah garis pantai. Hal ini jelas tidak berkesesuaian dengan upaya perlindungan ekosistem pesisir di Indonesia. Jika hal ini terus dibiarkan, bencana ekologis bakal lebih

5

Page 8: Kabar bahari

masif terjadi di Kepulauan Indonesia. Penutup: Mangrove dan Ruang Hidup NelayanIndonesia memiliki seperlima dari mangrove di dunia dan sedang mengalami proses pengrusakan secara masif oleh industri budidaya, seperti tambak udang, yang mengakibatkan nelayan setempat kehilangan pekerjaan. Baru-baru ini, sebuah studi mengenai ancaman terhadap ekosistem mangrove menemukan bahwa mereka menyediakan jasa ekosistem senilai US$ 1,6 miliar setiap tahunnya dan mendukung mata pencaharian masyarakat pesisir di seluruh dunia, termasuk perlindungan garis pantai dari badai. Sayangnya, sebelas dari 70 spesies mangrove terancam punah, seperti terdaftar dalam Red List of Threatened Species IUCN (The Guardian, 2010).

Ancaman terhadap keberlanjutan sumber daya perikanan lainnya adalah rusaknya ekosistem pesisir, termasuk hutan mangrove, yang diperburuk dengan dampak perubahan iklim. Efeknya meningkatkan suhu air laut dan mempercepat proses pengasaman laut yang berujung pada berubahnya kondisi ekosistem perairan. Perubahan iklim juga mengubah distribusi produktivitas ikan dan spesies laut dan air tawar. Hal ini berdampak pada keberlanjutan perikanan dan budidaya. Terlebih bagi masyarakat pesisir yang mata pencahariannya bergantung pada perikanan.

Ironisnya, wilayah pesisir dan daerah penangkapan ikan kini diperlakukan semata-mata sebagai komoditas. Tak bisa dibayangkan, Jepang menguasai industri kerang mutiara; Thailand dan Taiwan sudah dan sedang berencana melakukan ekspansi industri perikanan tangkap dan budidaya; sejumlah pengusaha Eropa menguasai industri pariwisata bahari; demikian halnya Amerika Serikat, Jerman, dan Australia yang belakangan menggalakkan industri konservasi laut di perairan Indonesia.

Seluruhnya dilakukan dengan mengkapling dan mempersempit wilayah tangkap nelayan tradisional Indonesia.

Pada akhirnya, keberadaan hutan mangrove sebagai kawasan sabuk hijau (green belt) perlu dilindungi dengan aturan yang tegas dan tidak tumpang tindih, termasuk meminimalisir aktivitas pembukaan tambak udang, perkebunan sawit, dan kawasan wisata di kawasan hutan mangrove.***(Abdul Halim & Tajruddin Hasibuan)

Sumber Kepustakaan: 1. The World’s Mangroves 1980-2005 (FAO 2007)2. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2009 (Kementerian Lingkungan Hidup)

6

Page 9: Kabar bahari

PENTINGNYA KEBERPIHAKAN TERHADAP PEREMPUAN NELAYAN

NELAYAN dalam kategori sosial sebagai masyarakat miskin tidak kunjung berkurang secara kuantitas. Minimnya dukungan pemerintah dalam penegakan HAM nelayan, dan tingginya tantangan hidup di laut, dan kehancuran ekosistem merupakan penyebab utama. Dalam situasi serba sulit itu, tidak sedikit perempuan yang aktif dan lantas sukses dalam pengelolaan sumber daya alam perikanan. Pun begitu, sedikit sekali penghargaan dan perlindungan yang diterima mereka. Itu bisa kita temukan buktinya di lapangan.

Semisal di bibir Pantai Pangandaran, Ciamis, Provinsi Jawa Barat, tiap hari setidaknya dua

ratus lebih nelayan menjaring ikan. Mereka didominasi oleh kaum perempuan. Sejak dini hari nan dingin, mereka mengais rezeki, menangkap ikan dengan alat tangkap jaring arad. Kegiatan menarik jaring dilakukan berulang-ulang dan menghabiskan waktu 8 hingga 10 jam per hari. Profesi ini tidak mudah. Kulit habis tergores dan luka kalau tak terbiasa mengerjakannya. Tangan, pinggang, segenap tenaga dikerahkan untuk menarik jaring yang panjangnya bisa mencapai 400 s.d 500 meter. Itu pun belum tentu hasil yang diperoleh mencukupi. Pendapatan per orang per hari biasanya antara Rp. 5.000 sampai Rp 15.000. Kalau sedang beruntung bisa membawa pulang Rp 50.000. Kadang tak ada sama sekali. Mereka mengatakan bahwa akan tetap bersyukur karena yakin rezeki di tangan Tuhan YME.

Nelayan jaring arad tergolong nelayan kategori ekonomi skala kecil, karena profesi ini dikerjakan secara berkelompok (bahkan kekeluargaan), tidak memerlukan modal besar dan hasilnya pun hanya cukup untuk

RUBRIK JELAJAH 7

Page 10: Kabar bahari

memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena situasi cuaca tak menentu, hasil tangkapan suami tak pasti sehingga ekonomi keluarga bisa bangkrut sewaktu-waktu. Perempuan akhirnya melakoni profesi nelayan jaring arad.

Di Marunda Kepu, Jakarta utara, ada Kelompok Mekar Sari yang fokus pada pembuatan terasi dari udang rebon dan pembuatan ikan asin, selain itu juga aktif melakuan advokasi tolak reklamasi bersama FKNJ (Forum Komunikasi Nelayan Jakarta) dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Tak hanya sampai di situ, Kelompok Mekar Sari melalui Bu Habibah mendirikan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).

Para perempuan nelayan anggota Kelompok Mina Arta Karya di Mangkang Wetan, Semarang, Jawa Tengah fokus pada produksi kerupuk udang. Hancurnya tambak akibat abrasi dan banjir tidak menghentikan upaya kelompok ini untuk menanami pesisirnya dengan bakau.

Ke arah selatan ada Kampung Laut, Pulau Nusakambangan, di mana Kelompok Mutiara mengembangkan pembibitan, penanaman, pengolahan, serta penjualan bibit bakau hingga keluar Pulau Nusakambangan. Bahkan mereka mengolah bakau menjadi permen dan kerupuk.

Masih di Jawa Tengah, di Kabupaten Kendal, Kelompok Lestari dan Wilujeng melakukan pendampingan bagi perempuan pedagang dan pengolah ikan. Sementara di Kampung Morodemak, Kabupaten Demak, hadirnya Kelompok Puspita Bahari telah membantu perekonomian nelayan. Anggotanya aktif mengembangkan beragam produk berbahan baku ikan, yang merupakan hasil tangkapan nelayan, mulai dari: abon, kerupuk udang dan bandeng presto. Berkat upaya penghijauan berbasis kelompok yang digagas Puspita Bahari, saat ini luas bakau di Morodemak mencapai 10% dari luas desa. Selain itu, mereka mengolah sampah plastik bekas kemasan jajanan menjadi bantal hias.

8

Page 11: Kabar bahari

Perempuan nelayan yang hidup di daerah yang stok ikannya terancam harus benar-benar mampu mengatasi kekurangan pendapatan. Kajian KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) di Marunda Kepu, Jakarta Utara menemukan perempuan nelayan bekerja antara 16 sampai 17 jam per hari saat kondisi ekstrim hadir. Kondisi ekstrim ini bersumber dari pencemaran limbah lebih dari 250 industri yang beroperasi di sekitar Teluk Jakarta, plus limpahan limbah dari 13 sungai. Teluk Jakarta bisa dikatakan sebagai tong sampah. Walaupun banyak warga yang bergantung pada perairan semi terbuka ini, namun sedikit sekali upaya penanggulangan pencemaran oleh pemerintah. Juga, nyaris tak ada perlakuan tegas pemerintah terhadap industri pencemar. Faktor lainnya adalah cuaca ekstrem. Sekarang masa paceklik bertambah panjang dan minimnya hasil tangkapan membuat keluarga nelayan harus bisa bertahan lebih kuat. Kaum perempuan yang bekerja

maksimal untuk menopang hidup keluarga bukan lagi soal pilihan, melainkan keharusan. Ada uang, bisa makan dan sebaliknya. Cerita menjual sendok makan sampai kepingan genteng adalah rangkaian cerita sewaktu paceklik itu tiba. Ada juga yang menjadi pedagang ikan di pasar dan keliling kampung, ada yang jadi nelayan, jadi pengusaha ikan kering dan ikan asap, jadi pemulung dan mendaur ulang sampah menjadi barang bermanfaat. Ada yang beralih menjadi Tenaga Kerja Wanita, atau menjadi buruh pabrik. Sekali lagi, mereka tetap pahlawan bagi keluarganya.

AKAR MASALAH Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sejak 2003 telah memetakan faktor peminggiran terhadap perempuan nelayan. Selain kurangnya informasi terkait kebijakan perlindungan dan pemberdayaan, kelompok-kelompok perempuan nelayan dilemahkan peran-peran aktifnya dalam melestarikan lingkungan dan menjaga perekonomian rakyat. Di antaranya melalui

9

Page 12: Kabar bahari

unsur pembangunan, seperti alih fungsi kawasan melalui pertambangan, reklamasi, pengkaplingan untuk kawasan wisata, ekspansi sawit di pesisir dan sejumlah pulau kecil, serta pencemaran. Berdasarkan catatan KIARA, dalam dua tahun terakhir (2010-2011), terjadi 68 konflik kelautan dan perikanan. Angka konflik ini meningkat tajam dibandingkan tahun lalu, yakni 28 konflik (2010). Dari 68 konflik tersebut, 20 di antaranya adalah kasus masih berlanjut dan belum menemukan solusi.

Konflik-konflik di kelautan tentu mempengaruhi kualitas hidup nelayan serta masyarakat yang tergantung pada sektor ini, baik langsung dan tidak langsung. Kerusakan yang diakibatkan konflik-konflik itu sangat parah mulai dari meluasnya wilayah abrasi dan daerah banjir rob, degradasi stok ikan hingga polusi air dan udara. Ini merupakan gambaran nyata di mana sektor perikanan dikalahkan oleh kepentingan komersil semata.

Selain kondisi obyektif tersebut, menurut Solidaritas Perempuan (2012), terdapat beberapa sumber ketidakadilan terhadap perempuan, di antaranya:

1. Stereotifikasi/ stigmatisasi dan pelabelan negatif yang merupakan himpunan pandangan-pandangan, anggapan, atau kepercayaan negatif terhadap salah satu jenis kelamin. Pandangan-pandangan stigmatik dan negatif sifatnya merendahkan dan dampaknya merugikan.

2. Subordinasi. Posisi sosial asismetris karena adanya pihak yang superior di satu sisi dan inferior di sisi lain. Subordinasi ini merupakan kelanjutan dari pandangan yang stereotipi. Subordinasi melandasi pola relasi atau pola hubungan sosial yang hirarkhis di mana salah satu pihak memandang dirinya lebih dari mereka yang direndahkan.

3. Marginalisasi atau peminggiran. Proses penyingkiran kepentingan, hak-hak, kebutuhan, serta aspirasi berdasarkan jenis kelamin yang berlangsung secara sistematis dalam memperoleh manfaat dari kesejahteraan hidup dan pembangunan. Sebagaimana stereotipi, marginalisasi dapat terjadi secara sengaja atau ‘dianggap’ sebagai sesuatu yang wajar.

4. Beban ganda. Beban kerja berlipat-ganda memaksakan dan membiarkan salah satu jenis kelamin menanggung beban aktifitas berlebihan.

5. Dominasi. Dominasi merupakan kekuatan yang dimiliki dan dilakukan oleh individu atau seseorang atau kelompok tertentu untuk menundukkan, menguasai atau melemahkan individu atau kelompok lain. Dominasi membuat individu atau kelompok lain menjadi tersub-ordinasi dan kemudian termarjinalisasi, sehingga kepentingan mereka menjadi tidak bisa terungkap maupun menjadi perhatian dan menjadi keputusan. Tanda-tanda foto: Des Syafrizal/Oxfam.

10

Page 13: Kabar bahari

dominasi adalah: a) tidak membiarkan orang lain bicara; b) tidak mau mendengar dan mengabaikan pendapat orang lain; c) menguasai percakapan/ diskusi; d) campur tangan terus-menerus terhadap keputusan yang telah disepakati; dan e) memanipulasi pendapatnya sebagai pendapat orang banyak.

6. Diskriminasi. Pembedaan perlakuan, pengucilan dan pembatasan yang hadir atas dasar jenis kelamin, ras, kelas, agama, kepercayaan, ideologi, pilihan politik, pilihan seksual, cacat, penyakit, dan lainnya, yang mempunyai pengaruh atau mengurangi dan menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang apa pun lainnya.

7. Kekerasan merupakan tindakan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman dan takut, karena terluka secara fisik dan psikologis.

Kondisi obyektif kehancuran pesisir dan laut kita menambah beban persoalan yang ada sebelumnya di kalangan masyarakat, yakni ketidakadilan terhadap perempuan. Sehingga, selain harus bekerja keras menyelamatkan situasi, perempuan nelayan juga harus bisa meyakinkan diri dan kelompok mereka untuk bisa menyetarakan posisi antara perempuan dan laki-laki.

FONDASI KEADILAN Salah satu fondasi Keadilan Perikanan yang menjadi visi misi KIARA adalah, “Agar negara memahami kegiatan perikanan secara utuh, dengan memaknai keterlibatan perempuan nelayan di dalam kegiatan perikanan sebagai subyek yang teramat penting.”

KIARA meyakini kaum perempuan harus berjuang dan harus bisa menjadi penggerak

perubahan. Kaum perempuan juga harus bersatu padu untuk mendapatkan peran yang setara dengan laki-laki. Kaum perempuan harus mendapatkan hak-hak dasarnya seperti pendidikan, akses terhadap informasi, akses kesehatan, lapangan pekerjaan, taraf hidup yang lebih baik dan sebagainya. Tanpa adanya upaya yang satu padu, boleh jadi kesetaraan dan pemenuhan hak-hak dasar hanya akan menjadi impian belaka.

Upaya untuk meraih cita-cita itu mulai didiskusikan pada pertemuan nelayan bertemakan “Penguatan Kapasitas Perempuan Nelayan” yang diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Perkumpulan Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) Buton bekerjasama dengan Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS). Para nelayan yang bertemu di Pulau Liwuto, Bau-Bau, Propinsi Sulawesi Tenggara, 20–25 November 2010 memutuskan lahirnya ikatan persaudaraan antar perempuan nelayan yakni Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Berdirinya PPNI juga dibicarakan lebih lanjut dalam Temu Akbar Nelayan yang berlangsung pada 2011 dan 2012. Mereka yang ikut dalam pertemuan itu di antaranya kelompok perempuan nelayan yang berasal dari Serdang Bedagai, Sumatera Utara; Marunda, Jakarta Utara; Bau-bau, Sulawesi Tengggara; Semarang dan Demak, Jawa Tengah; Manado, Sulawesi Utara; dan Lamalera, NTT.

Melalui pembelajaran di lapangan, KIARA percaya hanya dengan gerakan perempuan nelayan yang terdidik dan terorganisir, akselerasi perwujudan kesejahteraan keluarga nelayan dapat tercapai. Termasuk untuk urusan pengelolaan sumberdaya perikanan yang adil dan lestari.

Perempuan di wilayah pesisir dan mereka yang bergerak di sektor kenelayanan

11

Page 14: Kabar bahari

CAPAIAN PASCA PEMBENTUKAN PPNI

Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) berdiri pada 2010, atas inisiatif organisasi nelayan dan sejumlah lembaga yang memberi perhatian kepada nelayan tradisional, di antaranya Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) dan Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS).

Pada pertemuan 6-8 Februari 2012 di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, PPNI merumuskan misi sebagai berikut: 1) Perempuan nelayan agar terlibat di dalam pembuatan kebijakan; 2) Perempuan nelayan mampu mendorong peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat; dan 3) Perempuan nelayan memastikan hadirnya kesetaraan gender di kampung-kampung nelayan. PPNI memiliki visi sebagai wadah penguatan gerakan perempuan nelayan di tingkat nasional.

Sejak pendirian PPNI, terdapat dua prestasi yang membanggakan, yakni: 1) Penerimaan penghargaan KUSALA SWADAYA 2011 oleh Kelompok Perempuan Nelayan Puspita Bahari pada Oktober 2011; dan 2) kelompok nelayan aktif melakukan rehabilitasi bakau, sebagaimana dilakoni oleh sejumlah kelompok nelayan: KNTI di Kabupaten Langkat, Sumut; Kelompok Perempuan Muara Tanjung, Serdang Bedagai, Sumatera Utara; Kelompok Persatuan Nelayan Lestari, Kendal, Jateng; Kelompok Mutiara di Pulau Nusakambangan.

penegakan hak-hak mereka sebagai nelayan dan warga negara Indonesia. Pemberdayaan ini guna mendobrak keberlanjutan situasi, di mana peran perempuan nelayan dalam kegiatan perikanan belum diakui.

Dalam upaya ke arah itu, pemerintah harus merubah perlakuan atas perempuan nelayan dalam pembangunan, bukan sebagai buruh atau pun individu tanpa jaminan akses dan kontrol atas sumberdaya pesisir dan laut. Peran penting para perempuan nelayan tidaklah dengan serta merta begitu saja dapat meningkatkan pendapatan dan kualitas kesejahteraan, karena mereka patut dibekali dengan kebijakan yang berpihak, penguatan organisasi dan penguasaan ketrampilan yang memadai.

Di atas itu semua, pembenahan tata kebijakan harus berkeadilan gender.

sadar betul kalau mereka harus bahu-membahu menghadapi kerentanan dalam berbagai aspek, melalui pembentukan organisasi nelayan di tingkat kampung dan mengembangkan beragam inisiatif baik. Selain ada yang berperan dalam produksi, pengolahan hingga distribusi hasil tangkapan nelayan, peran perempuan nelayan menjadi pendiri dan pengajar di PAUD (pendidikan anak usia dini) bermunculan. Demikian halnya peran mereka dalam perlindungan alam ada melalui penanaman bakau. Tak hanya itu, mereka kini hadir menjadi bagian dari gerakan keadilan perikanan. Ini semua merupakan bukti bahwa pelibatan perempuan harus diletakkan pada posisi yang strategis.

Merespon hal tersebut, inisiatif yang seharusnya dibangun sejak awal oleh Negara adalah pemberdayaan perempuan nelayan. Memberikan perlindungan kebijakan atas

12

Page 15: Kabar bahari

Ini merupakan prasyarat mutlak guna membenahi membenahi kegiatan perikanan nasional. ***(Mida Saragih)

Referensi: 1) Kunjungan lapangan di Pantai Pangandaran,

Ciamis, Jawa Barat (Mei 2012). 2) Hasil diskusi dengan nelayan nelayan di

Semarang (Desember 2012); nelayan di Morodemak, Jawa Tengah (2012); dan Nelayan Marunda Kepu, Jakarta Utara (2012).

3) Dokumen Hasil Pertemuan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) di Pulau Liwuto, Sulawesi Tenggara (2010).

4) Puspa, Dewi. 2012. “Kepemimpinan Perempuan Bagian dari Perubahan Perempuan,” ini merupakan dokumen presentasi yang disampaikan pada Pertemuan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) di Demak, Jawa Tengah pada 13 Februari 2012.

5) Liputan Live 365 Metro TV terkait Teluk Jakarta per 9 Februari 2013.

6) Saragih, Mida dan Dedy Ramanta (2009) “Pembangunan untuk Siapa: Dampak Proyek Reklamasi terhadap Perempuan Fisher dan Anak di Pantai Utara Jakarta, Indonesia” Jakarta: KIARA

7) Kertas Kebijakan KIARA (2012), “Laporan KIARA 2011: Konflik Kelautan dan Perikanan”

13

Page 16: Kabar bahari

Umumnya orang memanggil Sangkot, namun nama lengkapnya adalah Tajruddin Hasibuan. Lelaki kelahiran Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat, ini adalah Presidium KNTI wilayah Sumatera. Ia aktif terlibat dalam kegiatan nelayan tradisional di Sumatera.

Banyak kegiatan yang sudah dikerjakan bersama, salah satunya adalah advokasi terhadap isu perbatasan. Di tahun 2009, marak terjadi penangkapan nelayan tradisional di perbatasan Indonesia-Malaysia oleh Polisi Laut Malaysia. Hingga tahun 2012 setidaknya ada 27 kasus dan sekitar 137 orang yang pernah ditahan.

Pada tanggal 9 Juli 2010, KIARA dan KNTI Region Sumatera Utara melakukan pembebasan terhadap 6 nelayan tradisional Indonesia asal Kelurahan Brandan Timur dan Kelurahan Sei Billah. Mereka adalah Zulham (40), Ismail (27), Amat (24), Hamid (50), Syahrial (42), dan Mahmud (42) yang ditahan di Balai Polis Kuah, Langkawi, Malaysia. Dalam kasus ini, Sangkot berpandangan bahwa nelayan tradisional Indonesia tidak mendapatkan perlindungan hukum dari Negara.

Di sisi lain, bersama- sama dengan nelayan, Sangkot juga melakukan serangkaian kegiatan advokasi terhadap kerusakan ekosistem mangrove di pesisir. Sejak tahun 2006, kawasan hutan mangrove telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa

sawit seluas 16.446 ha. Perubahan fungsi kawasan ini dilakukan oleh tiga perusahaan perkebunan sawit, yakni UD Harapan Sawita seluas 1.000 ha, KUD Murni seluas 385 ha, dan PT Pelita Nusantara Sejahtera seluas 2.600 ha.

Akibat dari konversi hutan mangrove secara masif tersebut, masyarakat yang berada di Desa Perlis, Kelantan, Lubuk Kasih, Lubuk Kertang, Alur Dua, Kelurahan Brandan Barat, dan Kelurahan Sei Bilah, serta menggantungkan mata pencahariannya terhadap kelestarian hutan mangrove dirugikan. Saat tak bisa melaut, biasanya mereka cukup mencari udang atau ikan di rerimbunan mangrove.

Melihat kondisi lingkungan hidup dan ekonomi di wilayah pesisir yang kian memburuk, Sangkot bersama dengan nelayan tradisional yang tergabung di dalam KNTI

MelindungiNelayandan Mangrove

RUBRIK TOKOH 14

Page 17: Kabar bahari

(Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) bekerjasama dengan KIARA melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 1.200 ha. Selain menanam mangrove, mereka juga melakukan pembibitan. Inisiatif kolektif ini juga didukung oleh Bupati Langkat, H. Ngogesa Sitepu, SH.

Di awal tahun 2013, Sangkot bersama-sama dengan nelayan Langkat juga melakukan kampanye penolakan penggunaan trawl (pukat grandong) di Perairan Kabupaten Langkat. Menurutnya, pengunaan trawl telah berdampak pada rusaknya ekosistem laut dan hilangnya mata pencaharian nelayan tradisonal. Apa yang dilakukan oleh nelayan tradisional adalah upaya melaksanakan mandat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Ditambah lagi, Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl juga masih berlaku. Pada perkembangannya, Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan juga menegaskan, “Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia”. Penegasan UU ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2011 tentang Jalur, Penempatan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Perikanan Indonesia.

Hanya saja, lamban dan lemahnya penegakan hukum di lapangan menjadi persoalan dan memicu konflik sosial yang berujung pada kriminalisasi. Pada tanggal 23 Januari 2013,

23 orang nelayan tradisional justru ditangkap oleh Aparat Kepolisian Resort Langkat. Meskipun pada akhirnya para nelayan telah ditangguhkan penahanannya, namun terdapat dugaan kuat penangkapan tersebut salah sasaran dan tidak sesuai dengan ketentuan.

Meski dihadapkan pada resiko besar, Sangkot bersama nelayan tradisional Langkat telah berkomitmen untuk terus melakukan kampanye dan pendampingan hukum terhadap rekan-rekan yang masih dikriminalisasi. Apalagi perjuangannya mendapatkan dukungan dari masyarakat Indonesia (setidaknya) melalui petisi online yang dipersiapkan bersama dengan KIARA dan Kontras (Medan dan Jakarta).Perjuangan nelayan dalam segala arah memang acap kali menemui rintangan. Namun semangat juang harus disebarkan dari satu nelayan ke nelayan lainnya.

“Sangkot bersama dengan nelayan tradisional yang tergabung di dalam KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) bekerjasama dengan KIARA melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 1.200 ha. Selain menanam mangrove, mereka juga melakukan pembibitan. Inisiatif kolektif ini juga didukung oleh Bupati Langkat”.

Hal ini menjadi penyemangat di tengah permasalahan yang dari hari ke hari kian pelik. Sangkot mengajak masyarakat nelayan Indonesia untuk membangun kesadaran akan pentingnya peranan nelayan tradisional bagi bangsa Indonesia. Nelayan tradisional adalah orang-orang terdepan yang menjaga perbatasan Indonesia, olehnya jangan pernah menyerah. Teruslah melakukan perubahan, penguatan organisasi nelayan, dan konsolidasi gerakan. Perlu diingat, perubahan tidak akan hadir secara tiba-tiba, tetapi perubahan adalah tentang apa yang harus kita perjuangkan terus-menerus secara kolektif. *** (Susan Herawati)

15

Page 18: Kabar bahari

PANTAI PUBLIK, HAK ASASI SETIAP WARGAUntuk pertama kalinya dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, tiga orang warga negaranya menggugat pemerintah dan perusahaan karena kasus komersialisasi pantai publik. Tepatnya pada tanggal 21 Mei 2012, 3 (tiga) warga Jakarta bernama Ahmad Taufik, Abdul Malik Damrah, dan Bina Bektiati mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dasar gugatan yang mereka ajukan adalah menikmati pantai publik secara gratis merupakan hak asasi setiap warga. Kenyataannya, untuk masuk ke kawasan rekreasi Pantai Ancol warga harus membayar Rp15.000/orang. Dengan fakta ini, maka Pemerintah DKI Jakarta bersama dengan PT Pembangunan Jaya Ancol serta PT Taman Impian Jaya Ancol telah melakukan pelanggaran kewajiban hukum. Bergulirnya kasus ini mendapatkan tanggapan beragam dari warga. Sebagian besar warga mendukung inisiatif dan menginginkan pantai publik menjadi gratis. Ada juga sebagian warga yang masih apatis, bahkan ada sebagian kecil yang lebih pro terhadap kegiatan komersialisasi pantai publik.

Di sebagian negara yang telah memiliki kepedulian terhadap hak asasi manusia, pemerintahnya melarang praktek perusahaan yang mengenakan biaya bagi warga yang ingin mengakses pantai sebagai ruang rekreasional. Dengan alasan pantai dan laut itu adalah anugerah alamiah kepada manusia sehingga tidak boleh dibatasi aksesnya.

Pantai publik menjadi

kebutuhan dan dambaan semua

warga negara. Saat pantai publik

dikomersilkan, harusnya Negara

hadir untuk menegakkan

konstitusi sehingga

terpenuhi hak asasi warganya.

RUBRIK KEBIJAKAN 16

Page 19: Kabar bahari

PANTAI PUBLIK, HAK ASASI SETIAP WARGABerkebalikan dengan itu, perlakukan Pemerintah Indonesia kepada warga negaranya masih sangat diskriminatif. Alih-alih mengabulkan permintaan warganya dengan memberikan akses gratis kepada warganya. Justru sebaliknya melalui PT. Pembangunan Jaya Ancol dkk, 3 (tiga) orang warga negara Indonesia yang ingin menegakkan keadilan justru digugat balik dengan alasan telah melakukan pencemaran nama baik (perusahaan dan Pemprov DKI Jakarta).

Lebih mengkhawatirkan lagi, sejak munculnya tren pembangunan kota-kota pesisir di Indonesia dengan cara perluasan lahan (reklamasi) ke wilayah pantai yang dimulai sejak tahun 2000-an, sebagian besar kota-kota tersebut mengabaikan hak-hak warga dan nelayan tradisional setempat. Mereka yang seyogyanya menjadikan

pesisir dan laut sebagai ruang gerak dan ruang hidupnya justru semakin disingkirkan. Argumentasi yang menyatakan bahwa pembayaran masuk pantai publik tersebut merupakan ongkos untuk kebersihan dan perawatan taman merupakan alasan yang mengada-ada. Tiap tahunnya, anggaran belanja pemerintah (provinsi mapun kabupaten/kota) telah mengalokasikan dana kebersihan, perawatan taman, dan ruang-ruang publik, termasuk pantai.

Lagi pula, apabila ada kegiatan usaha rekreasi (fasilitas bermain dan lain-lain) yang berada di pantai publik bukan berarti pihak pengelola usaha rekreasi diperbolehkan untuk menarik ongkos dari warga. Malahan merekalah

yang semestinya menanggung biaya kebersihan dan perawatan pantai publik bersama dengan pemerintah daerah. Sebaliknya, akibat dari pengusahaan ruang pantai publik tersebut oleh pemerintah dan pengelola, warga justru dikebiri dan tanpa memperoleh ganti untung.

HAKIKAT RUANG PUBLIKPantai publik merupakan satu bagian

dari keseluruhan ruang publik yang

17

Page 20: Kabar bahari

secara hakiki memiliki pengertian yang sangat mengikat. Ruang publik merupakan tempat di mana setiap orang memiliki hak untuk memasukinya tanpa harus membayar uang masuk atau uang lainnya. Ruang publik dapat berupa jalan (termasuk pedestrian), taman, dan sebagainya. Hal ini berarti bahwa ruang terbuka hijau publik, seperti pantai, jalan dan taman serta ruang terbuka non-hijau publik, seperti pedestrian dapat dikategorikan dan difungsikan sebagai ruang publik.

Berdasarkan fungsinya, ruang publik merupakan tempat bertemu, berinteraksi dan silaturahmi antarwarga serta sebagai tempat rekreasi dengan bentuk kegiatan yang khusus, seperti bermain, berolahraga dan bersantai. Sebagai sarana rekreasi, ruang publik merupakan tempat untuk melakukan aktivitas rekreasi bagi pelakunya. Rekreasi merupakan salah satu yang dibutuhkan manusia, dengan rekreasi diharapkan pelaku dapat mengembalikan individu seutuhnya, baik jiwa maupun rohaninya.

Secara operasional, bisa dikatakan bahwa suatu ruang dikatakan sebagai ruang publik apabila memenuhi minimal 2 kriteria: pertama, dapat diakses tanpa terkecuali. Dimaksudkan bahwa ruang publik seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh seluruh warga kota yang membutuhkan. Dengan demikian, beberapa fenomena, seperti penguasaan pribadi wilayah pantai oleh sekelompok pengusaha rekreasi pantai, hotel, pemanfaatan badan jalan untuk parkir kendaraan, serta pedestrian untuk pedagang kaki lima telah menghalangi warga kota untuk memanfaatkan ruang publik tersebut.

Kedua, universalitas atau bisa dimaknai sebagai penyediaan ruang publik seyogyanya dapat mempertimbangkan berbagai kelas dan status masyarakat yang mencerminkan pemenuhan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, baik kelas atas sampai bawah,

normal dan difabel, anak-anak hingga dewasa, serta pria dan wanita. Lebih jauh, ruang publik merupakan sarana menguatkan relasi sosial masyarakat yang karakternya dapat dilihat, seperti mengizinkan berbagai kumpulan/grup penduduk berada di dalamnya, serta menghargai kelas-kelas masyarakat, perbedaan etnis, jender, dan perbedaan umur. Walaupun secara umum ruang ini bisa diakses semua manusia, namun harus tetap mengikuti norma agar tidak merugikan kepentingan umum di dalamnya.

MANDAT KONSTITUSI: PANTAI PUBLIK GRATIS Saat ini, Negara belum memberikan keluasaan bagi warganya untuk mengakses pantai publik. Hal ini merupakan sinyal betapa Negara telah gagal menjalankan amanat konstitusi. Padahal sangat jelas dalam Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa Ruang publik dapat berupa Ruang Terbuka Hijau Publik atau Ruang Terbuka Non Hijau Publik yang secara institusional harus disediakan oleh pemerintah di dalam peruntukan lahan perkotaan di Indonesia.

Lebih dari itu, pada tanggal 16 Juni 2011 Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan perkara uji materi terhadap UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diajukan oleh 27 orang nelayan tradisional dan 9 organisasi masyarakat sipil bahwa terdapat 4 (empat) hak konstitusional masyarakat nelayan tradisional dan adat, yang tidak boleh dirampas atau ditukar-gulingkan, yakni (1) hak untuk melintas/mengakses laut; (2) hak memanfaatkan sumber daya laut; (3) hak untuk mengelola sumber daya laut sesuai dengan kearifan lokal dan tradisi bahari yang telah dijalani secara turun-temurun; dan (4) hak mendapatkan lingkungan hidup dan perairan yang bersih dan sehat. Mengacu pada putusan tersebut semestinya kegiatan pengusahaan pesisir

18

Page 21: Kabar bahari

dan laut oleh individu maupun lembaga swasta dalam bentuk apapun merupakan perbuatan melawan hukum.

Untuk itu, upaya-upaya yang dilakukan oleh warga negara guna mendapatkan haknya untuk mengakses pantai publik perlu didukung. Karena hak untuk mendapatkan ruang publik merupakan hak asasi setiap orang dan tidak bisa diwakilkan kepada siapapun. Demikian juga inisiatif yang dilakukan oleh 3 (tiga) orang warga Jakarta yang menggugat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, PT Pembangunan Jaya Ancol, dan PT. Impian Jaya Ancol harus didukung sepenuhnya.

Pada perkembangannya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menolak gugatan ‘masuk Pantai Ancol gratis’. Majelis hakim juga menolak gugatan balik pengelola Ancol kepada warga sebesar Rp 1,5 miliar. Majelis hakim menilai tidak ada aturan hukum yang dilanggar oleh para tergugat. “Gugatan terhadap penggugat, majelis menyatakan ditolak,” kata ketua majelis Dwi Sigiarto saat membacakan putusan di PN Jakpus, Jalan Gadjah Mada, Jakarta, Selasa (26/2/2013).

Menurut Dwi, bukti yang diajukan penggugat juga tidak cukup. Dwi menambahkan menimbang dari keterangan saksi dan ahli tidak ada satupun aturan yang dilanggar oleh Tergugat dan majelis menilai masalah ini masih terlalu umum.

Atas putusan ini, kuasa hukum penggugat, Fahmi Syakir merasa kecewa. Dia dan timnya akan mempelajari putusan untuk kemungkinan mengajukan banding. “Kemungkinan banding. Kami sangat kecewa harusnya hak masyarakat bisa diberikan tapi ternyata masih tertunda ini semua demi masyarakat,” tutur Fahmi usai persidangan.

Penting dicatat, mengakses pantai publik adalah hak asasi dan harus terus diperjuangkan. Pengelolaan pantai di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus mengutamakan partisipasi aktif warga negara, bukan kepentingan segelintir orang.*** (Selamet Daroyni)

19

Page 22: Kabar bahari

Nama saya Jumiati (31), ketua dari Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung yang terletak di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Sebagai seorang ibu rumah tangga dengan 2 (dua) putri dari suami (Sutrisno) yang berprofesi sebagai nelayan dan pengurus organisasi nelayan, saya mengawali tekad untuk lebih memahami dunia nelayan.

Berdiri sejak tahun 2005, kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung bergerak untuk memberdayakan perempuan nelayan di Desa Sei Nagalawan, satu-satunya desa pesisir di Kecamatan Perbaungan. Sudah lebih dari 7 tahun Muara Tanjung bergiat untuk memajukan dan menyejahterakan perempuan nelayan. Upaya yang ditempuh selama ini adalah dengan memperbanyak kegiatan yang ditujukan untuk memberikan pengetahuan tambahan sekaligus keterampilan ekonomis agar dapat menambah pendapatan keluarga.

BERMULA SIMPAN-PINJAMTepatnya pada tahun 2007, kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung membentuk koperasi simpan-pinjam atau dalam istilah kelompok seringkali disebut dengan Credit Union (CU) Muara Tanjung. Nyatanya, pola simpan-pinjam ini menjadi solusi yang amat membantu anggota kelompok untuk terbebas dari tengkulak. Hal ini dikarenakan mereka dapat meminjam dan menabung dengan mudah tanpa jaminan dan

dapat diangsur sesuai kesepakatan antara pengurus kelompok dengan peminjam. Tidak hanya itu, Credit Union yang dikelola oleh kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung juga memberikan sisa hasil usaha (SHU) tiap tahunnya kepada anggota sesuai dengan transaksi yang dilakukan.

Melihat manfaat yang dirasakan oleh perempuan-perempuan nelayan Desa Sei Nagalawan, layanan CU Muara Tanjung diperluas. Tidak hanya perempuan, melainkan juga nelayan yang notabene suami dari anggota kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung. Dengan layanan CU Muara Tanjung, nelayan yang membutuhkan modal untuk perbaikan perahu, mesin, dan alat tangkap lainnya tidak mengalami kesulitan. Apalagi sampai harus terbelit hutang ke tengkulak.

Tiap bulannya, CU Muara Tanjung mampu memutar dana sebesar Rp500.000 – Rp1.000.000 untuk membantu kebutuhan anggotanya. Meski demikian, manfaatnya sangat dirasakan oleh sekitar 30an anggota kelompok. Seperti dituturkan oleh Nurlia (30), “Semenjak adanya CU Muara Tanjung, perempuan nelayan di Desa Sei Nagalawan merasakan banyak manfaat. Kami mendapatkan pengetahuan dan keterampilan ekonomis yang banyak membantu kehidupan keluarga”.

Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung, Sei Nagalawan:

Perempuan-Perempuan

Indonesia harus bergerak maju

RUBRIK SETARA

foto: Des Syafrizal/Oxfam.

20

Page 23: Kabar bahari

Untuk menumbuhkan rasa memiliki, sistem pembayaran pinjaman dan penarikan simpanan wajib maupun sukarela dilakukan secara kolektif oleh anggota secara bergiliran tiap harinya. Tak mengherankan, jika seluruh anggota kelompok merasa ikut memiliki dan terlibat dalam pengelolaan CU Muara Tanjung.

Seiring perkembangannya, kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung juga memiliki sawah seluas 3 rante (1 ha = 25 rante) yang dikelola secara kolektif oleh anggota dan hasilnya dibagi rata. Tidak hanya itu, kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung juga melakukan pengolahan hasil tangkapan ikan menjadi kerupuk ikan, abon ikan, dan bahkan kerupuk jeruju (hasil olahan daun mangrove).

TANTANGAN SEBAGAI PELUANGDiversifikasi unit usaha ekonomi yang dikembangkan oleh kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung terus bertambah. Bersama dengan Sarekat Nelayan Sumatera Utara (SNSU), perempuan nelayan dan nelayan bahu-membahu mengelola ekosistem hutan mangrove untuk dijadikan sebagai kawasan belajar dan wisata. Inisiatif ini berjalan tanpa dukungan investasi pribadi, baik dari Kabupaten Serdang Bedagai maupun di luar kabupaten. Harapannya, pengelolaan hutan mangrove ini memberikan manfaat ekonomis (peningkatan penghasilan keluarga nelayan) dan keuntungan ekologis (terhindar dari abrasi, dan seterusnya). Tiap akhir pekan, seluruh anggota kelompok berjibaku menanam, membersihkan, dan merawat hutan

mangrove. Selain itu, juga menyelenggarakan pendidikan kepemimpinan dan gender, serta manajemen keuangan keluarga nelayan.

Berbekal dari beragam pendidikan itulah, kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung ikut terlibat dalam diskusi mengenai perda pelarangan pukat harimau (trawl) di Sumatera Utara. Bahkan kami tidak segan-segan melibatkan diri dalam aksi massa di kantor DPRD Kabupaten Serdang Bedagai untuk mendesak disahkannya perda tersebut dan turut membantu terpenuhinya hak-hak perempuan nelayan yang suaminya menjadi korban tabrak kapal pukat harimau di laut.

Apa yang dikerjakan oleh kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung menuai buahnya. Mereka sering kali diundang aktif dalam berbagai pameran oleh instansi pemerintah, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan; Dinas Kehutanan dan Perkebunan; Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Koperasi Kabupaten Serdang Bedagai. Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai mengatakan, “Upaya yang dilakukan oleh kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung dengan berbagai produk olahannya, seperti kerupuk ikan, abon ikan, dan kerupuk jeruju, mampu menjadi contoh pengembangan produk makanan dan minuman olahan bagi masyarakat Serdang Bedagai, khususnya kerupuk jeruju yang berbahan dasar daun mangrove”. Siapa yang menanam, maka ia akan memanennya.*** (Jumiati & Susan Herawati)

Page 24: Kabar bahari

BiodataNama : Edo Kondologit

Lahir : Sorong, Indonesia. 5 Agustus 1967

Penyanyi asal Papua Edo Kondologit prihatin melihat keadaan laut Indonesia yang kini sudah banyak berubah dibandingkan dahulu. Laut tercemar, gizi buruk, dan banyak pemegang modal yang menguasai sumber daya laut.

Keprihatinan Edo Kondologit berdasarkan pengamatannya pada sejumlah fakta bahwa Negara yang mempunyai banyak sumber daya perikanan yang sangat luar biasa seperti Indonesia tapi nelayan Indonesia masih banyak yang hidup di garis kemiskinan. Hal tersebut membuat Indonesia seperti terasing di tanah dan lautnya sendiri.“Apa negara kita masih pantas disebut sebagai negara maritim? Melihat kompleksnya permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir dalam segala hal, misalnya kemiskinan yang masih dialami sampai saat ini,” ujar artis kelahiran Sorong, Papua ini. Dia berharap kekaguman dan kebanggaan kita atas kekayaan Indonesia tidak akan luntur dengan permasalahan yang sudah

campur aduk. Segala unsur yang terlibat dalam kemajuan perairan, perikanan dan kelautan Indonesia harus mau saling bahu membahu. Terpenting adalah menegakkan konstitusi di tanah dan laut Indonesia, serta terus menyuarakan keadilan bagi nelayan Indonesia.

Perlu digarisbawahi pentingnya menumbuhkan pemimpin baru yang mencintai laut Indonesia. Pemimpin yang bisa menjamin perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Kita yang sudah tua, pikiran, dan hati nurani sudah lelah mengalami problematika bangsa. Kaum muda harus memulai perubahan dan membenahi sehingga bisa membawa hal positif untuk Negara kita,”tutup Edo.*** (Susan Herawati);

Jalesveva Jayamahe!

RUBRIK TOKOH 22

Page 25: Kabar bahari

TEMU AKBAR NELAYAN INDONESIA DAN PERTEMUAN NASIONAL KIARA 2013

Untuk kali kedua, nelayan tradisional Indonesia menggelar Temu Akbar Nelayan Indonesia. Kegiatan yang mengusung tema “Tegakkan Konstitusi, Sejahterakan Nelayan!” ini digelar di Jakarta pada tanggal 15-17 Januari 2013 dan melibatkan 200 perwakilan nelayan dari 20 Kabupaten/Kota di Indonesia. Ajang konsolidasi strategis nelayan ini juga diikuti oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi, politisi, birokrat, mahasiswa, dan media massa. Temu Akbar Nelayan Indonesia diawali dengan sedekah laut yang dilaksanakan di Sekretariat KIARA. Pada hari kedua, bertempat di Gedung Joeang 45, agenda dimulai dengan Orasi Kebangsaan “Tegakkan Konstitusi, Sejahterakan Nelayan” oleh Prof. Dr. Sri Edi Swasono (Guru Besar FE UI) dilanjutkan dengan testimoni nelayan dan perempuan nelayan, baik perikanan tangkap maupun budidaya.

Sesi selanjutnya Dialog Nasional bersama Bapak Ir. H. Pramono Anung Wibowo, MM. (Wakil Ketua DPR RI), Bapak Ir. E. Herman Khoirun, M.Si. (Wakil Ketua Komisi 4 DPR

RI), Ibu Dr. Ir. Sulikanti Agusni, M.Sc (Deputi Bidang PUG Bidang Ekonomi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Bapak M. Riza Damanik (Sekretaris Jenderal KIARA) dengan pemandu acara Bapak Agus Haryadi (Penyiar TVRI). Selanjutnya diadakan diskusi pendalaman melalui 4 kelompok (perikanan tangkap, perikanan budidaya, garam, dan perempuan) yang dibagi dan diakhiri dengan diskusi penyusunan Deklarasi Kemandirian dan Kedaulatan Nelayan yang berjudul “Negara Berdaulat, Nelayan Sejahtera”.

Di hari ketiga, agenda kunjungan ke lembaga negara (eksekutif dan legislatif) sempat mengalami hambatan akibat hujan sejak malam hari yang berdampak banjir besar di tanggal 17 Januari 2013. Agenda kunjungan ke Istana Negara untuk menyerahkan dokumen deklarasi nelayan tidak dapat dilakukan akibat banjir yang menggenangi kawasan sekitarnya, sehingga peserta bersepakat membatalkan kunjungan tersebut.

Menjelang siang hari, jalanan kota Jakarta mulai bisa dilalui. Dari 4 instansi terkait yang bersedia menerima dan berdialoh dengan peserta Temu Akbar Nelayan Indonesia, Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan membatalkan pertemuan karena akses dan kantor terimbas banjir.

Atas kondisi itulah, nelayan dan perempuan nelayan hanya bisa mendatangi Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Komisi IV DPR RI. Dari rangkaian kegiatan Temu Akbar Nelayan Indonesia 2013, telah menghasilkan banyak hal antara lain: pertama, terhimpun pemikiran lintas profesi berupa masukan terhadap Negara guna menegakkan konstitusi untuk menyejahterakan nelayan. Kedua, terhimpun resolusi penegakan konstitusi yang bernas

AGENDA KEGIATAN 23

Page 26: Kabar bahari

dan mampu dioperasionalisasikan dalam rangka keluar dari krisis multidimensi yang dialami oleh nelayan tradisional Indonesia; dan ketiga, telah terjadi dialog konstruktif, baik dengan eksekutif maupun legislatif, guna mempercepat proses penegakan konstitusi dan penyejahteraan nelayan tradisional Indonesia.

Malam penutupan kegiatan Temu Akbar Nelayan Indonesia 2013, para peserta dihibur dengan pagelaran malam seni bahari berupa musik dan pentas teater berjudul “Samudera Masih Biru” yang dilakonkan oleh KafHa Universitas Paramadina. Dalam malam penutupan ini, KIARA juga memberikan Penghargaan Keadilan Perikanan kepada 4 orang anak bangsa yang berjasa atas dedikasinya memperjuangkan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang adil. Penghargaan ini di berikan kepada Bapak Dr. Alan Koropitan (akademisi), Ibu Habibah (perempuan nelayan), Bapak Rustam (nelayan) dan Bapak Ngogesa Sitepu SH (Bupati Langkat). Sedangkan Pertemuan Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) ke-5 yang dihadiri oleh anggotanya diselenggarakan pada tanggal 18 Januari 2013 di Sekretariat Nasional KIARA. Pertemuan tersebut menghasilkan prioritas program KIARA dalam 2 tahun ke depan. Adapun pengurus yang terpilih untuk periode 2013-2015 adalah sebagai berikut: Arman Manila, M. Riza Damanik, Dr. Rignolda Jamaludin, Ida Ronauli, dan Muhammad Yamin (Dewan Presidium KIARA), serta Abdul Halim sebagai Sekretaris Jenderal KIARA periode 2013-2015.

Kami, perwakilan nelayan dan perempuan nelayan dari 13 propinsi telah berkumpul di Jakarta sejak 15–17 Januari 2013, mendiskusikan nasib sedikitnya 60 juta rakyat Indonesia yang menggantungkan hidup secara langsung dan tidak langsung dari sektor kelautan dan perikanan.

Kami menjadi saksi bagaimana saudara-saudara kami meninggal dan kapalnya tengelam di tengah laut karena cuaca buruk, juga mengalami kriminalisasi oleh perusahaan dan aparat. Garam-garam menumpuk di gudang, karena pemerintah lebih suka mengimpor dibanding membeli garam hasil keringat petani dengan harga layak. Ibu-ibu nelayan terjerat utang karena penghasilan keluarga nelayan menurun dari waktu ke waktu.

Kami menghadapi tantangan pencurian ikan, impor ikan dan garam, nelayan-nelayan asing, tingginya harga bahan bakar, minimnya akes permodalan, pencemaran laut dan cuaca ekstrim saat melaut. Namun tantangan paling berat justru saat berhadapan dengan produk-produk kebijakan Negara yang tidak berpihak dan memiskinkan nelayan. Mulai dari konversi hutan bakau dan reklamasi kawasan pesisir, maraknya industri pariwisata yang menggusur pemukiman dan wilayah tangkap, penggunaan alat produksi yang merusak dan maraknya pertambangan yang merusak ekosistem laut, yang membuat hasil tangkapan berkurang drastis.

Kami tak hanya bertanggung jawab

Deklarasi Kemandirian dan Kedaulatan

Nelayan

24

Page 27: Kabar bahari

memenuhi kebutuhan keluarga, kami juga mengemban tugas Negara menyediakan sumber protein dan pemenuhan kedaulatan pangan bangsa. Kami juga tampil di depan menjadi pelindung tanah air, saat berhadapan dengan para pencuri ikan asing dan kejahatan lintas negara (transnational crime).

Kami telah membuktikan bahwa tantangan-tantangan di atas tak membuat kami diam. Kami akan terus berkarya, menggunakan kearifan lokal, memulihkan ekosistem laut dan pesisir yang telah rusak, mengembangkan ekonomi alternatif, membangun organisasi di kampung dan menguatkan solidaritas antar nelayan.

Kami percaya, tantangan di atas tak hanya tanggung jawab nelayan dan perempuan nelayan. Pengurus Negara harus mengambil peran dan tanggung jawab lebih besar memastikan tegaknya Konstitusi yang memandatkan perlindungan serta memastikan kesejahteraan nelayan dan perempuan nelayan. Salah satunya dengan memastikan adanya instrumen politik untuk perlindungan nelayan.

NEGARA BERDAULAT,NELAYAN SEJAHTERA

25

Oleh karena itu, Kami - nelayan dan perempuan nelayan Indonesia:

1. Bertekad melestarikan sumber daya kelautan Indonesia untuk generasi hari ini dan masa depan.

2. Berperan aktif menjaga kedaulatan Negara dari perampokan ikan dan kejahatan lintas negara

3. Aktif mendorong Negara menegakkan Konstitusi guna memastikan kemandirian bangsa, kedulatan pangan, dan pemenuhan hak-hak konstitusi nelayan.

4. Menyerukan kepada seluruh nelayan Indonesia menggunakan hak politiknya secara sungguh-sungguh guna memastikan para pimpinan di tingkat daerah, propinsi hingga nasional menjadikan perlindungan nelayan sebagai agenda utama.

Temu Akbar Nelayan Indonesia, Gedung Joeang ‘45Jakarta 15 – 17 Januari 2013

Page 28: Kabar bahari

KONSULTASI HUKUM

KELAUTAN DAN

PERIKANANDipandu oleh:

Ahmad Marthin Hadiwinata, SH (Divisi Advokasi Hukum

dan Kebijakan)PERIZINAN MENANGKAP IKAN BAGI NELAYAN TRADISIONAL

Pertanyaan Apakah setiap nelayan kecil atau nelayan tradisional diwajibkan untuk memiliki izin agar bisa melakukan kegiatan usaha tangkap?

JawabDalam UU Perikanan yang bersumber dari UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan) kedudukan nelayan kecil mendapatkan kekhususan mengenai perizinan. UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengubah aspek perizinan untuk lebih berpihak kepada nelayan tradisional. Berdasarkan UU Perikanan yang diatur dalam membagi nelayan menjadi dua yaitu Nelayan dan Nelayan Kecil.

Pasal 1 angka 10 dan angka 11 UU UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan:

10. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.

RUBRIK HUKUM

Redaksi Kabar Bahari membuka forum diskusi dan tanya jawab tentang hukum kelautan dan perikanan. Pertanyaan atau topik diskusi dapat disampaikan ke alamat Redaksi Kabar Bahari, Jl. Lengkeng Blok J No. 5, Perumahan Kalibata Indah, Jakarta 12750, atau email [email protected]

Foto: http://3.bp.blogspot.com/-6RtMkt49gxM/UKqt9H7FQ2I/AAAAAAAAAAc/eTpy1Gioq1k/s1600/hammer1.jpg

26

Page 29: Kabar bahari

11. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT).

Lingkup perizinan dalam Usaha Perikanan Tangkap meliputi:

1. Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut. Pasal 1 angka 16 UU No. 45 Tahun 2009

2. Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP. Pasal 1 angka 17 UU No. 45 Tahun 2009

3. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan, yang selanjutnya disebut SIKPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan pengangkutan ikan. Pasal 1 angka 18 UU No. 45 Tahun 2009

Nelayan tradisional tidak diwajibkan untuk memiliki SIUP, SIPI dan SIKPI berdasarkan UU Perikanan. Dihapuskannya kewajiban untuk memiliki perizinan-perizinan tersebut diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004, Pasal 27 ayat (5) UU No. 45 Tahun 2009 dan Pasal 28 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009.

Pasal 26 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004(2) Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya ikan kecil.

Pasal 27 ayat (5) UU No. 45 Tahun 2009 (5) Kewajiban memiliki SIPI sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi

nelayan kecil.

Pasal 28 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009(4) Kewajiban memiliki SIKPI sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa SIKPI asli sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil.

Nelayan tradisional juga dibebaskan dari adanya pungutan perikanan yaitu pungutan yang dibebankan kepada setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pungutan perikanan dipergunakan untuk pembangunan perikanan serta kegiatan pelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 48 ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009

foto: http://3.bp.blogspot.com/-2oOn6f8GSKk/T0oqI-p7YZI/AAAAAAAAAhQ/T_L7BuqDtWc/s1600/Timbangan+keadilan.jpg

27

Page 30: Kabar bahari

Pasal 48 ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009(2) Pungutan perikanan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil.

Kekhususan nelayan tradisional adalah memiliki kebebasan untuk bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pembebasan untuk menangkap ikan kepada nelayan tradisional diatur dalam Pasal 61 UU No. 31 Tahun 2004

Pasal 61 UU No. 31 Tahun 2004(1) Nelayan kecil bebas menangkap ikan di

seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

Kewajiban Nelayan tradisional hanyalah mendaftarkan diri, usaha dan egiatannya kepada instansi perikanan setempat tanpa dikenakan biaya. Pendaftaran tersebut dilakukan untuk keperluan pencatatan statistik serta pemberdayaan nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil.Pasal 61 ayat (5) UU No. 31 Tahun 2004(5) Nelayan kecil dan pembudi daya ikan

kecil harus mendaftarkan diri, usaha, dan kegiatannya kepada instansi perikanan setempat, tanpa dikenakan biaya, yang dilakukan untuk keperluan statistik serta pemberdayaan nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil.

Aturan teknis mengenai pembebasan perizinan tersebut diperjelas dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 30 tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Nelayan kecil dibebaskan untuk tidak memiliki SIPI dan SIKPI tetapi diwajibkan dengan adanya Bukti Pencatatan Kapal yang berlaku selama satu tahun.

Pasal 12 ayat (2) Permen KP Usaha Perikanan Tangkap(2) Kewajiban memiliki SIPI dan SIKPI

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b dan huruf c, dikecualikan bagi nelayan kecil dan kewajiban tersebut diganti dengan Bukti Pencatatan Kapal.

Pasal 13 ayat (2) Permen KP Usaha Perikanan Tangkap(2) SIPI, SIKPI, dan Bukti Pencatatan Kapal

berlaku selama 1 (satu) tahun.

Kewenangan penerbitan Bukti Pencatatan Kapal untuk nelayan kecil terletak pada Bupati/Walikota. Persyaratan untuk mendapatkan Bukti Pencatatan Kapal diajukan kepada kepala dinas perikanan atau kelautan tingkat kabupaten/kota dengan melampirkan persyaratan-persayaratan. kepala dinas wajib mengeluarkan Bukti Pencatatan Kapal 2 (dua) hari kerja setelah menerima berkas-berkas pengajuan Bukti Pencatatan Kapal. Keseluruhan proses permohonan Bukti Pencatatan Kapal tidak dipungut biaya.

Persyaratan-persyaratan Bukti Pencatatan Kapal antara lain:a. fotokopi KTP nelayan tradisional dengan

menunjukkan aslinya; b. spesifikasi teknis alat penangkapan ikan; c. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan:

1) kapal yang digunakan hanya 1 (satu) unit dengan ukuran paling besar 5 (lima) GT yang dibuktikan dengan surat tukang atau surat galangan; dan

2) kesanggupan untuk melaporkan hasil tangkapan ikan.

Pasal 14 ayat (4) huruf b Permen KP Usaha Perikanan Tangkap(4) Bupati/walikota sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) berwenang menerbitkan: b. Bukti Pencatatan Kapal untuk

nelayan kecil yang menggunakan 1 (satu) kapal berukuran paling besar 5 (lima) GT untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Pasal 29 Permen KP Usaha Perikanan Tangkap(1) Nelayan kecil untuk memiliki Bukti

Pencatatan Kapal harus mengajukan permohonan kepada kepala dinas kabupaten/kota dengan melampirkan persyaratan:

28

Page 31: Kabar bahari

a. fotokopi KTP dengan menunjukkan aslinya;

b. spesifikasi teknis alat penangkapan ikan; dan

c. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan: 1) kapal yang digunakan hanya 1

(satu) unit dengan ukuran paling besar 5 (lima) GT yang dibuktikan dengan surat tukang atau surat galangan; dan

2) kesanggupan untuk melaporkan hasil tangkapan ikan.

(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala dinas kabupaten/kota paling lama 2 (dua) hari kerja menerbitkan Bukti Pencatatan Kapal.

(3) Penerbitan Bukti Pencatatan Kapal tidak dipungut biaya.

(4) Bentuk dan format Bukti Pencatatan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sebagaimana tercantum dalam Lampiran XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Referensi:- Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan- Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang

Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No, 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia

29

Page 32: Kabar bahari

“Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memperkirakan luasan hutan mangrove di Indonesia menyusut dengan sangat drastis dari 4,25 juta ha pada 1982 menjadi kurang dari 1,9 juta ha tahun ini. Rusaknya hutan pencegah banjir tersebut berakibat pada terputusnya rantai penghidupan dan obat-obatan masyarakat pesisir. Selain itu, musnahnya produktivitas perikanan dan hilangnya habitat pesisir lainnya serta kian meningkatkan kerentanan masyarakat pesisir atas badai dan gelombang tinggi”

foto: Des Syafrizal/Oxfam.

30

Page 33: Kabar bahari

Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daearah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: 1) tidak terpengaruh iklim; 2) dipengaruhi pasang surut; 3) tanah tergenang air laut; 4) tanah rendah pantai; 5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; 6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari api-api (Avicenia sp.), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), nipah (Nypa sp.) dll.

Hutan mangrove dibedakan dengan hutan pantai dan hutan rawa. Hutan pantai adalah hutan yang tumbuh di sepanjang pantai, tanahnya kering, tidak pernah mengalami genangan air laut ataupun air tawar. Ekosistem hutan pantai dapat terdapat di sepanjang pantai yang curam di atas garis pasang air laut. Kawasan ekosistem hutan pantai ini tanahnya berpasir dan mungkin berbatu-batu. Sedangkan hutan rawa adalah hutan yang tumbuh dalam kawasan yang selalu tergenang air tawar. Oleh karena itu, hutan rawa terdapat di daerah yang landai, biasanya terletak di belakang hutan payau

FUNGSI MANGROVE

1. Melindungi pantai dari abrasi gelombang laut

2. Mencegah terjadinya intrusi air laut3. Sumber nutrisi dan habitat bagi

biota laut4. Habitat satwa liar5. Tempat berbiaknya berbagai biota

laut (nursery ground)6. Penahan angin laut 7. Penyerap limbah8. Bahan baku makanan, obat-

obatan, alcohol, kosmetik,

penyamak kulit, zar warna dan lain-lain.

9. Tempat pembesaran atau mencari makan (feeding ground) dari berbagai ikan atau hewan air lainnya seperti kepiting, moluska dan invertebrata.

10. Tempat berlindung dan berbiak berbagai jenis burung seperti Kuntul (Egretta sp), Pecuk (palacrocorax sp), Belibis (Dendrocygna cineres).

FUNGSI HUTAN MANGROVE

RUBRIK PERNAK-PERNIK 31

Page 34: Kabar bahari

ResepNASI GORENGIKAN ASIN

RUBRIK DAPUR 32

foto: http://farm2.static.flickr.com/1439/1087211489_d0fcbdb30b.jpg

Page 35: Kabar bahari

Bahan yang Dibutuhkan:• 250 gr nasi putih (2 piring)• 100 gr ikan jambal roti, potong dadu, kemudian goreng• 5 butir bawang merah, iris halus• 1 batang daun bawang, iris halus• 3 buah cabai hijau, iris serong• 2 cabai merah, iris serong• 2 butir telur, kocok lepas• 1 papan petai, iris panjang• 1 sdm kecap ikan• 1/4 sdt merica bubuk• garam secukupnya• 2 sdm minyak untuk menumis

Cara Memasak:1. Panaskan minyak, kemudian tumis bawang merah

sampai harum2. Masukkan daun bawang, cabai hijau, dan cabai merah,

aduk rata.3. Sisihkan tumisan cabai.4. Pecahkan telur dalam wajan dan buat orak – arik, Lalu

masak bersama tumisan cabai,5. Masukkan petai dan nasi6. Tambahkan kecap ikan, merica bubuk, dan garam, aduk

rata ( cicipi jika perlu )7. Masukkan ikan asin, dan masak sampai matang8. Angkat dan sajikan.

Tentunya akan lebih enak jika disajikan dengan kerupuk.

33

Page 36: Kabar bahari

t

Nasi Goreng Ikan Asin akan lebih enakjika disajikan dengan Kerupuk Jeruju dari daun mangrove hasil kerja Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung, Desa Sei Nagalawan,

Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara

(Hubungi: Ibu Jumiati di +62 812 6367 6561)

KerupukJeruju

Page 37: Kabar bahari

GALERI KIARAPaket buku

“Menghidupkan Konstitusi Kepulauan”

@Rp100.000Buku

“Indonesia Dijajah Jepang”

@Rp40.000

Untuk Pemesanan hubungi:[email protected]

Page 38: Kabar bahari