budaya bahari dan penanggulangan kemiskinan

Upload: tirana-novitri

Post on 16-Oct-2015

112 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BUDAYA BAHARI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN

OLEH :KELOMPOK 61. MUHAMMAD MUBARAK CHADYKA PUTRAB111130712. MARDHATILLAH RUSTAMB111130723. PUSPIKASARIB111130504. ANDI LASINRANG UMARB111130585. NUR LIA HALIMB111130656. ANDI ISTIQAMAHB11113075

MKU WSBM- BFAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS HASANUDDIN2013

iiBudaya Bahari dan Penanggulangan Kemiskinan

KATA PENGANTARHanya atas izin Allah SWT semata karya tulis ini dapat kami selesaikan, untuk itu puji syukur kami panjatkan atas semua anugerah, lindungan, dan bimbingan-Nya, karena hanya Dia yang pantas menerima puja dan puji. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. beserta keluarganya, dam umatnya.Karya tulis ini berjudul Budaya Bahari dan Penanggulangan Kemiskinan. Tujuan penulisan karya tulis ini untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Wawasan Sosial Budaya Maritim.Kepada semua pihak yang telah ikut mewarnai perjalanan pemikiran dan keilmuan kami dihanturkan terima kasih, dan semoga Allah SWT memberikan kemuliahan dan keberkahan di dunia dan di akhirat. AminKami menyadari, materi dalam karya tulis ini tentu masih jauh dari sempurna, untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan. Semoga karya tulis ini bermanfaat. Amin. Makassar, 07 November 2013 Kelompok 6

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDULKATA PENGANTARiiDAFTAR ISIiiiBAB I PENDAHULUAN1A. Latar Belakang Permasalahan 1B. Perumusan Masalah1C. Tujuan Penulisan2D. Metode Penulisan2E. Manfaat Penulisan2F. Sistematika Penulisan2BAB II PEMBAHASAN4A. Kondisi Budaya Bahari di Indonesia4B. PermasalahanKemiskinan Masyarakat Indonesia 10C. Penanggulangan Kemiskinan Masyarakat Indonesia13BAB III PENUTUP18A. Simpulan 18B. Saran18DAFTAR PUSTAKA20

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahSejarah kejayaan nusantara tidak bisa dilepaskan dari sejarah budaya bahari, karena sejak abad ke-5 jauh sebelum kedatangan orang-orang eropa di perairan nusantara, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut internasional dan tampil sebagai penjelajah samudra. Indonesia adalah negara dengan pantai terpanjang ke dua di dunia. Lebih dari itu, Indonesia terletak pada posisi yang sangat strategis, yaitu pada persilangan dua benua dan dua samudera serta memiliki kekayaan bahari yang begitu melimpah.Akan tetapi, budaya bahari bangsa Indonesia masih memprihatinkan. Budaya bahari bangsa Indonesia belum tumbuh kembali, bukan saja di tengah masyarakat, tetapi juga pada tataran pembuat kebijaksanaan. Sehingga, Indonesia belum mampu memanfaatkan kelautan sebagai sumber kesejahteraannnya. Sungguh sangat disayangkan dengan kekayaan tersebut seharusnya masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang kaya. Namun pada kenyataanya masih banyak masyarakat Indonesia yang barada dibawah garis kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen % di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Hal ini sungguh sangat disayangkan karena bagaimana bisa negara dengan kekayaan laut yang sangat melimpah dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, tapi masyarakatnya masih banyak yang berada dibawah garis kemiskinan, sebenaranya apa masalah yang menyebabkan hal tersebut? Kami akan membahas secara mendalam tentang hal tersebut.B. Perumusan MasalahBerdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka rumusan masalahnya adalah:1.Bagaimana kondisi budaya bahari di Indonesia?2.Bagaimana permasalahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia sebagai suatu negara berbudaya bahari?3.Bagaimana cara menanggulangi masalah kemiskinan masyarakat Indonesia sebagai negara berbudaya bahari?

C. Tujuan PenulisanTujuan penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :1. Mengetahui kondisi budaya bahari di Indonesia2. Mengetahui permasalahan kemiskinan masyarakat di Indonesia sebagai suatu negara berbudaya bahari.3. Mengetahui cara menanggulangi kemiskinan masyarakat di Indonesia sebagai negera berbudaya bahari.D. Metode PenulisanKami menggunakan metode studi pustaka dalam penulisan karya tulis ini.

E. Manfaat PenulisanManfaat penulisan karya tulis ini adalah agar masyarakat mengetahui kondisi kemiskinan yang melanda negera budaya bahari dalam hal ini Indonesia dan dapat mencari solusi menanggulanginya. Diharapkan pembaca dapat membantu pemerintah agar kemiskinan yang melanda negeri bahari ini dapat segera teratasi.F. Sistematika PenulisanKarya tulis ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:BAB I PENDAHULUANPada bab ini penulis menjelaskan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II PEMBAHASANPada bab ini penulis menjelaskan tentang kondisi budaya bahari di Indonesia, hal yang menyebabkan kemiskinan masyarakat Indonesia sebagai negara berbudaya bahari, dan penanggulangan masalah kemiskinan tersebut.BAB III PENUTUPPada bab ini penulis menjelaskan tentang simpulan dan saran.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Kondisi Budaya Bahari di IndonesiaApa yang dimaksud dengan Budaya Bahari Nusantara pada dasarnya selalu diciptakan dalam konteks yang disebut oleh Jenifer L. Gaynor sebagai imajanasi politik pada periode waktu tertentu, yaitu bagaimana rezim tertentu memandang Nusantara sebagai kepulauan, ataukah sebagai bagian dari kesatuan teritorial Indonesia? Konsepsi tentang laut sebagi ruang dengan fungsi tertentu sangat terikat erat dengan imajinasi tersebut. Ketika laut merupakan laut bebas berarti ia adalah common property atau milik bersama yang membebaskan setiap orang untuk memanfaatkannya sebagai keterampilan individu dapat berkembang, dan dengan demikian budaya bahari pun bisa mencapai puncaknya. Sebaliknya ketika laut mulai diteritorialisasikan oleh negara, maka ruang gerak individu pun menjadi terbatas. Perdebatan tentang laut bebas dan laut terbatas ini merupakan perdebatan yang tidak pernah selesai, dan ini selalu terefleksi dalam konflik-konflik kenelayanan yang terjadi dalam paling tidak satu decade terakhir. Upaya pemerintah untuk menghidupkan kembali Budaya Bahari Nusantara atau lebih tepatnya mengembalikan kejayaan Nusantara pada prinsipnya memerlukan prasyarat menemukan titik temu dari perdebatan antara dua perspektif tentang laut diatas, agar tidak satu pihak bisa mengakomodasi kebebasan para pelaut dalam mengembangkan keterampilannya dan di lain pihak bisa memenuhi kebutuhan negara untuk menjaga kedaulatan wilayahnya.[[footnoteRef:1]] [1: [] Thung Ju Lan, Kebudayaan Dalam Perspektif Bahari Nusantara: Mendefinisikan Kembali Budaya Bahari Untuk Indonesia Hari ini, (Jakarta:In Berita Iptek, 2007), hlm. 21.]

Kebudayaan bahari terdiri dari bagian/ unsur-unsurnya saling terkait membentuk satu kesatuan menyeluruh (holistic). Unsur-unsur tersebut berupa sistem-sistem ideasional/ kognitif/ mental (gagasan, pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma, moral, emosi, dan perasaan kolektif, refleksi/intropeksi diri, intuisi), bahasa, kelompok/organisasi sosial, ekonomi teknologi, seni dan realigi berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa laut. Setiap unsur kebudayaan maritim tersebut mengandung dan dapat dianalisis dalam tiga wujud kebudayaan, yakni sistem budaya, sistem sosial, dan budaya materialnya.[[footnoteRef:2]] Jadi, untuk mengkaji dan membangun budaya bahari nusantara maka harus dipahami dan dilihat dalam konteks keseluruhannya, bukan secara parsial atau sering disebut berpikir holistik. [2: []Tim Penulis WSBM, Wawasan Sosial Budaya Maritim (WSBM), (Makassar: UPT MKU, 2011), hlm 104. ]

Secara geografis, Indonesia, sebagai negara bahari (archipelagic state), mempunyai luas wilayah yang membentang mulai dari 95 sampai dengan 141 BT dan diantara 60 LU sampai 110 LS. Sedangkan luas wilayah perairan laut Indonesia tercatat mencapai kurang lebih 7,9 juta km2 (termasuk ZEE). Kalau dihitung, panjang pantai yang mengelilingi seluruh Kepualaun Nusantara tercatat kurang lebih 81.000 km, serta jumlah penduduk yang tinggal di kawasan pesisir terdapat lebih dari 40 juta orang.[[footnoteRef:3]] (144 juta masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir, dan memanfaatkan kekayaan laut yang melimpah) dalam sebuah majalah Berita Indonesia terbitan tahun 2007. [3: [] Djoko Pramono, Budaya Bahari. (Jakarta: Gramedi Pustaka Utama, 2005), hlm 1.]

Sejarah menunjukkan bahwa pada masa lalu, Indonesia memiliki pengaruh yang sangat dominan di wilayah Asia Tenggara, terutama karena adanya kekuatan maritim besar di bawah Kerajaan Sriwijaya dan kemudian Majapahit. Selain itu, banyak bukti prasejarah di pulau Muna, Seram dan Arguni yang diperkirakan merupakan hasil budaya manusia sekitar tahun 10.000 sebelum masehi! Bukti sejarah tersebut berupa gua yang dipenuhi lukisan perahu layar. Ada pula peninggalan sejarah sebelum masehi berupa bekas kerajaan Marina yang didirikan perantau dari Nusantara yang ditemukan di wilayah Madagaskar. Tentu pengaruh dan kekuasaan tersebut dapat diperoleh bangsa Indonesia waktu itu karena kemampuan membangun kapal dan armada yang layak laut, bahkan mampu berlayar sampai lebih dari 4.000 mil.[[footnoteRef:4]] [4: []Rosihan Arsyad, Membangun Budaya Bahari dan Kepentingan Bangsa Indonesia di Laut Pada Masa Kini . (Paper presented at Konferensi Internasional - ICSSIS FIB UI, Jakarta, 2010), 195. ]

Selain Sriwijaya dan bahkan sebelum Majapahit, Kerajaan Singosari juga memiliki armada lau yang kuat dan mengadakan hubungan dagang secara intensif dengan wilayah sekitarnya. Kita mengetahui strategi besar Majapahit mempersatukan wilayah Indonesia melalui Sumpah Amukti Palapa dari Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan Majapahit telah banyak mengilhami pengembangan dan perkembangan nilai-nilai luhur kebudayaan Bangsa Indonesia sebagai manifestasi sebuah bangsa bahari yang besar. Sayangnya, setelah mencapai kejayaan budaya bahari Indonesia terus mengalami kemunduran, terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan kolonial Belanda ke Indonesi. Perjanjian Gayanti pada tahun 1755 antara Belanda dengan Raja Surakarta dan Jogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda. Sejak itu, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia, dan pergeseran nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan.[[footnoteRef:5]] [5: []Djoko Pramono, Op. Cit, hlm 7.]

Tragedi Giyanti menjadi awal dari proses disorientasi karakter budaya bangsa Indonesia dari bahari dengan dukungan agraris menjadi bangsa agraris saja. Proses ini sangat dinantikan dan diharapkan oleh VOC/Belanda, karena dengan demikian bangsa Indonesia yang sebelumnya menguasai lautan dan perdagangan internasional dan mendapatkan keuntungan darinya, secara sistemik memiliki kesadaran baru bahwa ia bukan bangsa dengan karakter budaya bahari dan agraris tetapi bangsa yang hanya berkarakter budaya agraris.Kesadaran baru ini dipupuk terus hingga kini secara komprehensif melalui berbagai jalur pendekatan di bidang ekososbudhankam yang digelar, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintah Indonesia sesudah 1945, dan juga oleh masyarakat. Internalisasi yang dilakukan secara masif, terorganisir, terus menerus dan dalam periode waktu yang lama, walaupun itu sebuah kesalahan atau kebohongan, sebagaimana diyakini oleh Joseph Goebbels , akan menjadi sebuah kebenaran yang diyakini oleh seluruh masyarakat.Secara ringkas Roadmap Indonesia sebagai Negara Kepulauan dapat dilihat dari perkembangannya sebagai berikut:[[footnoteRef:6]] [6: []Majalah Berita Indonesia, Menuju Kejayaan Bangsa Bahari, (Jumat 23 November 2007). Page 1 of 8. ]

Tahun 1939, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ketentuan TZMKO (Territoriale Zee en Maritiem Kringen Ordonantie), yang menetapkan wilayah laut Indonesia hanya 3 mil dari garis batas pantai di setiap pulau. 13 Desember 1957, dicetuskan Deklarasi Djuanda oleh Perdana Menteri Ir H Djuanda, yang menetapkan wilayah laut Indonesia 30 mil dari garis batas pantai di setiap pulau, hingga menempatkan Indonesia sebagai Negara Kepulauan terbesar kedua di dunia. Tahun 1960, keluar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Tahun 1961, keluar Undang-Undang No. 19/1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 mengenai Hukum Laut. Tahun 1982, PBB menyepakati Konvensi PBB Tentang Hukum Laut (UNCLOS). Tahun 1983, keluar Undang-Undang No. 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 18 Desember 1996, Menristek BJ Habibie di Makassar membacakan pidato Presiden RI yang dikenal dengan konsepsi pembangunan Benua Maritim Indonesia. Tahun 1996, keluar Keppres No. 77/1996 tentang Dewan Kelautan Nasional. Tahun 1998, Presiden BJ Habibie mendeklarasikan visi pembangunan kelautan Indonesia dalam Deklarasi Bunaken. 26 Oktober 1999, Presiden KH Abdurrahman Wajid mendirikan Departemen Eksplorasi Laut, dipimpin untuk pertama kali oleh Sarwono Kusumaatmadja. 13 Desember 1999, Presiden KH Abdurrahman Wahid mencanangkan 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Desember 1999, Departemen Eksplorasi Laut berubah nama menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan. Tahun 1999, keluar Keppres No. 161/1999 tentang Dewan Maritim Indonesia. Tahun 2001 awal, Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan berubah nama menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan. 11 Desember 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keppres No. 126/2001, yang menetapkan 13 Desember sebagai Hari Nusantara dan meresmikannya sebagai perayaan nasional. Tahun 2004, keluar Undang-Undang No. 31/2004 tentang Perikanan. Tahun 2006, keluar Undang-Undang No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Tahun 2006, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17/2006, sebuah deregulasi yang meningkatkan iklim usaha dan investasi di bidang kelautan dan perikanan yang lebih berpihak kepada industri dalam negeri. 5 Februari 2007, keluar Undang-Undang No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, yang memuat misi Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang Maju, Mandiri, Adil dan Makmur. 21 September 2007, keluar Keppres No. 21/2007 tentang Dewan Kelautan Indonesia. 4 Oktober 2007, diresmikan pembentukan Peradilan Perikanan. Tahun 2007, keluar Undang-Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 26 Oktober 2007, Indonesia memperingati Sewindu Departemen Kelautan dan Perikanan, berlangsung di STP Jakarta dengan mengambil tema, Sewindu DKP Bersama Anak Bangsa Membangun Negeri. 13 Desember 2007, Indonesia memperingati Hari Nusantara 2007 dan Tahun Emas Deklarasi Djuanda.Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) ketika masih bernama Dewan Maritim Indonesia (DMI), melalui majalah internal Maritim Indonesia edisi Juli 2007 menyebutkan, laut Indonesia menyimpan potensi kekayaan yang dapat dieks-ploitasi senilai 156.578.651. 400 dollar AS per tahun. Jika dirupiahkan dengan kurs Rp 9.300 per 1 dollar AS, angka itu setara dengan Rp 1.456 triliun.[[footnoteRef:7]] [7: []Ibid.]

Jika dianalogikan secara sederhana, jumlah potensi laut yang Rp 1.456 triliun lebih itu hampir dua kali lipat APBN tahunan Indonesia. Hal itu berarti, dengan mengeksploitasi potensi laut saja Indonesia sanggup menjalankan roda pemerintahan dengan kemampuan anggaran yang dua kali lipat kekuatannya.Walaupun demikian, kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional dinilai masih rendah. Pada tahun 1998 sektor kelautan hanya menyumbang 20,06 persen ter-hadap PDB, itupun sebagian besarnya atau 49,78 persen disumbangkan oleh subsektor pertambangan minyak dan gas bumi di laut. Ini menunjukkan bahwa kekayaan laut Indonesia yang sangat besar itu masih disia-siakan potensinya. Berbeda dengan negara kepulauan lain seperti RRC, AS, dan Norwegia, yang sudah memanfaatkan laut sedemikian rupa hingga memberikan kontribusi di atas 30 persen terhadap PDRB nasional mereka.Demikianlah, kebaharian bangsa Indonesia yang sangat menguntungkan dipandang dari berbagai aspek kehidupan sebagai sebuah bangsa dan sudah berumur ribuan tahun, menjadi terpuruk. Kini bangsa Indonesia menjadi penonton dari berbagai keuntungan yang lewat di depan mata dan dinikmati bangsa-bangsa lain dari kekayaan budaya bahari yang seharusnya dimiliki dan dikuasai bangsa Indonesia. Hal ini terjadi semata karena bangsa ini percaya bahwa dirinya adalah bangsa berkarakter budaya agraris dan bukan bangsa bahari.Celakanya, para elit pemimpin bangsa sendirilah yang memimpin pengingkaran dan penipuan jatidiri ini dengan segala sepakterjang kebijakan yang diambilnya. Sebagai contoh terbaru dari pengingkaran ini adalah rencana pembelian kapal selam yang tadinya dari Rusia tipe Kilo, kemudian dibatalkan dan diganti dengan pembelian dari Korea Selatan dengan tipe kecil Chongbogo.

B. Permasalahan Kemiskinan di Indonesia sebagai Negara Berbudaya BahariSebagai suatu negara dengan kekuatan ekonomi yang terus berkembang, kelanjutan kemajuan Indonesia akan makin bergantung pada perdagangan dan angkutan laut dan ketersediaan energi, serta pada eksploitasi sumberdaya laut dan bawah laut serta membangun industri maritim yang tangguh. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa Indonesia memiliki kepentingan nasional di laut yang sangat besar. Sebagai hal yang mendasari kepentingan Indonesia di laut, Indonesia harus memiliki kemerdekaan atau kebebasan menggunakan laut wilayahnya untuk memperjuangkan tujuan nasionalnya, serta mempunyai strategi untuk menjaga kepentingan maritimnya dalam segala situasi.[[footnoteRef:8]] [8: []Rosihan Arsyad, Op. Cit. 197.]

Akan tetapi, dalam tataran strategi operasional, budaya bahari bangsa Indonesia masih memprihatinkan, apalagi bila kita sependapat bahwa budaya adalah semua hasil olah pikir, sikap dan perilaku masyarakat yang diyakini dan dikembangkan bersama untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi, mengembangkan kehidupan yang lebih layak, dan beradaptasi terhadap situasi lingkungan hidup. Budaya bahari bangsa Indonesia belum tumbuh kembali, bukan saja di tengah masyarakat tetapi juga pada tataran pembuat kebijaksanaan sehingga Indonesia belum mampu memanfaatkan kelautan sebagai sumber kesejahteraannya.[[footnoteRef:9]] [9: []Ibid, 196.]

Apabila mengkaji profil dari masyarakat, maka kemiskinan sebenarnya bukan masalah kesejahteraan, melainkan mengandung berbagai isian. Pertama, masalah kemiskinan adalah masalah kerentanan. Kedua, masalah tertutupnya akses ke berbagai peluang sumber daya produktif, termasuk modal, sumberdaya alam, bahkan kesempatan kerja. Ketiga, kemiskinan adalah maslah ketidakpercayaan, perasaan impotensi emosional dan sosial dalam mengahadapi kekuasaan dalam hal-hal yang menyangkut pembuatan keputusan yang berhubungan dengan dirinya. Keempat, kemiskinan juga berarti rendahnya ketahanan fisik dan intelektual karena keterbatasan kandungan konsumsi fisik dan non-fisik. Kelima, kemiskinan berbentuk ketergantungan, baik secara fisik, sosial, maupun ekonomi pada pihak lain. Keenam, kemiskinan berarti adanya sebuah sistem nilai kemiskinan yang diwariskan dari suatu generasi- kemudian disebut kemiskinan cultural.[[footnoteRef:10]] [10: []Gunawan Sumodiningrat- Riant Nugroho D., Membangun Indonesia Emas (Jakarta: Elax Media Komputindo, 2005). hlm. 78.]

Belenggu kemiskinan dan keterbelakangan hingga kini belum beranjak dari kehidupan masyarakat pesisir. Ketidakpastian penghidupan membuat sebagian dari masyarakat pesisis yang berprofesi sebagai nelayan kecil beralih profesi ke sektor informal. Diantara kategori pekerjaan terkait dengan kemiskinan, nelayan sering disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the poor).Pokok Masalah[[footnoteRef:11]] [11: []Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2005) ]

Terdapat 5 (lima) masalah pokok terkait penyebab kemiskinan masyarakat pesisir khususnya nelayan, diantaranya:1.Kondisi Alam. Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya.2.Tingkat pendidikan nelayan. Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah.3. Pola kehidupan nelayan. Pola hidup konsumtif menjadi masalah laten pada masyarakat nelayan, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder.4. Pemasaran hasil tangkapan. Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga di bawah harga pasar.5.Program pemerintah yang belum memihak nelayan, kebijakan pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin, banyak kebijakan terkait penanggulangan kemiskinan bersifat top down dan selalu menjadikan masyarakat sebagai objek, bukan subjek. Kebijakan yang pro nelayan mutlak diperlukan, yakni sebuah kebijakan sosial yang akan mensejahterakan masyarakat dan kehidupan nelayan.Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait dengan tiga dimensi yaitu :- Dimensi EkonomiKurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang, baik secara financial ataupun segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.- Dimensi Sosial dan BudayaKekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.- Dimensi Sosial dan PolitikRendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem sosial politik.Kemiskinan Pada Nelayan[[footnoteRef:12]] [12: []Kusnadi, Akar Kemiskinan Nelayan, (Yogyakarta: LKiS, 2003) ]

Kusnadi, (2003) mengidentifikasi sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan pada masyarakat nelayan:a) Belum adanya kebijakan dan aplikasi pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terintegrasi atau terpadu di antara para pelaku pembangunan.b) Mendorong pemda merumuskan blue print kebijakan pembangunaan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan secara terpadu dan berkesinambungan.c) Masalah isolasi geografis desa nelayan, sehingga menyulitkan keluar masuk barang, jasa, kapital, dan manusia. Berimplikasi melambatkan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat nelayan.dKeterbatasan modal usaha atau investasi sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya.e) Adanya relasi sosial ekonomi eksploitatif dengan pemilik perahu dan pedagang perantara (tengkulak) dalam kehidupan masyarakat nelayan.f) Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, berdampak sulitnya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas hidup.g) Kesejahteraan sosial nelayan yang rendah sehingga mempengaruhi mobilitas sosial mereka.Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya.Bagian ini akan menyoroti pembagian kemiskinan secara generik permasalahan dan menemukan alternatif kebijakan yang paling mungkin dalam kondisi objektif yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.C. Penanggulangan Masalah Kemiskinan di Indonesia sebagai Negara Berbudaya BahariIndonesia seharusnya tidak terlena dengan hanya bangga memiliki kekayaan laut yang melimpah namun tidak mengelolanya dengan maksimal demi kemakmuran bangsa. Yang pertama memulai perubahan tentu para insan ke-lautan dan perikanan sendiri, terutama mereka yang kini tergabung dalam Departemen Kelautan Perikanan Republik Indonesia. Namun sayangnya, DKP hanya dimodali anggaran selama tahun 2007 sebesar Rp 3,31 triliun ditambah ABT Rp 50 miliar untuk membangun 144 juta masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir, dan memanfaatkan kekayaan laut yang melimpah.[[footnoteRef:13]] [13: []Rosihan Arsyad, Op. Cit. 196.]

Kami mengutip sebagian hasil wawancara Majalah Berita Indonesia dalam rperingatan Sewindu DKP, Hari Nusantara 2007, dan Tahun Emas Deklarasi Djuanda, Sekjen DKP Prof. Ir. Widi Agoes Pratikto, M.Sc., Ph.D. Berikut petikan berbagai pemikiran besarnya tentang pembangunan kelautan Indonesia, disampaikan kepada Haposan Tampubolon dan Nur Azizah, berlangsung di Gedung DKP Kamis (15/11).[[footnoteRef:14]] [14: [}Majalah Berita Indonesia, Op. Cit. hlm. page 8 of 8.]

Kita seringkali mendengar pernyataan potensi kelautan kita begitu besar, tapi tak terkelola dengan baik. Bagaimana Anda melihatnya?Kekayaan kita, pertama, letak strategis antara dua benua dan dua samudera pasti menjadi persilangan atau lalu lalang sistem transportasi. Kita tahu, 95 persen muatan dibawa kapal laut sehingga pasti melalui kita. Tapi apakah kita mempergunakan kestrategisan dengan baik, seperti membangun sistem pelabuhan yang bagus, aman, sesuai kriteria ISPS Code atau standar-standar pelabuhan.Kedua, Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan kita negara kepulauan, juga Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, bahwa pembangunan jangka panjang harus berbasis pulau kecil. Ini juga belum mendapatkan perhatian dalam pembangunan.Kita punya 17 ribu lebih pulau tapi aksesibilitas belum dibangun. Kita punya pabrik kapal punya pabrik pesawat terbang tapi didesain bukan untuk memfasilitasi pulau-pulau kecil.Pertumbuhan kembali IPTN atau PT DI bisa melihat perspektif DKP, supaya membuat pesawat-pesawat kecil yang bisa mendarat di landasan pendek untuk masuk ke pulau-pulau kecil, sehingga pergerakan manusia sangat aktif. Kita juga memiliki sarana telekomunikasi tapi belum menjangkau pulau-pulau kecil. Poin-poin itu yang akan menjadikan pergerakan ekonomi kita ke sana.Kita mempunyai sumber daya yang tidak bisa diperbaharui dan yang bisa diperbarui. Kita punya ikan, keindahan di bawah laut, tapi penggunaannya belum maksimal. Bisa jadi itu terkait dengan koordinasi pengelolaan di laut, dan koordinasi pengelolaan keamanan, sehingga masih banyak IUU Fishing dan illegal logging. Badan koordinasi belum jalan sebagaimana mestinya.Kita memiliki hal lain yang berkaitan dengan obat-obatan. Banyak sponge (bunga karang) dari jenis-jenis tertentu yang dikembangkan di laut. Juga air mineral bawah laut. Sekarang produksi minyak dan gas 65-70 persen di laut.Jadi kita merefleksikan apa yang kita miliki luar biasa, tapi belum mempersiapkan kendaraan untuk membangun dan menjadikan income generating di laut. Ke depan, Presiden hingga Bappenas harus mendorong alokasi anggaran untuk sektor kelautan yang harus lebih besar.Mungkin, ketersediaan sumber daya manusia kelautan belum memadai?Ada beberapa proses yang harus dilalui. Kita tidak bisa menunggu sampai SDM cukup. Diknas sudah melakukan program-program penyiapan pengelolaan kelautan tahun 1980-an. Di tahun 1985 ada program marine scientist dan marine technology.Ada enam perguruan tinggi yang mengembangkan marine scientist: Unri, IPB, Undip, Unsrat, Unpatti, dan Unhas. Marine scientist terjemahan umumnya ilmu kelautan.Perikanan sudah mulai tahun 1960-an. Sejak itu sudah ada perikanan yang menjadi cikal bakal marine scientist. Marine technology dilakukan ITB dan ITS.Marine technology bicara piping system di bawah laut, offshore, sea protection, coastal engineering.Pertumbuhan kekuatan SDM memang belum cukup. Tapi tidak mesti dicukupkan dulu baru anggaran pembangunan dikucurkan. Harus paralel. Kita harus berterimakasih sudah banyak perguruan tinggi yang membuka bidang-bidang perikanan, marine scientist dan marine technology di berbagai daerah, meski pertumbuhannya lebih banyak ke arah marine scientist.Kita juga punya Program Mitra Bahari di 33 provinsi, kerjasama antara perguruan tinggi, Diknas, dan DKP. Sambil menunggu SDM yang kompetitif kita sudah bisa mempergunakan SDM yang tertarik pada masalah-masalah kelautan. Program Mitra Bahari merupakan salah satu cara solusi kekurangan sumber daya manusia.Kegagalan penanganan kemiskinan nelayan ini selama ini, disamping kurangnya keterpaduan, juga terdapatnya berbagai kelemahan dalam perencanaan. Untuk itu dalam proses perencanaan harus unsur-unsur sebagai berikut :[[footnoteRef:15]] [15: []Rahmatullah Elmusri, Menanggulangi Kemiskinan Nelayan,( http://rahmatullah.net/2010/05/menanggulangi-masalah-kemiskinan.html. diakses 6 november 2013)]

Berdasarkan uraian pokok masalah diatas, maka rekomendasi yang harus dilakukan dalam menanggulangi kemiskinan nelayan adalah:1.Peningkatan kualitas pendidikan masyarakat nelayan. Dalam hal ini konteksnya adalah nelayan sebagai kepala rumah tangga, dan nelayan sebagai seperangkat keluarga. Nelayan yang buta huruf minimal bisa membaca atau lulus dalam paket A atau B. Anak nelayan diharapkan mampu menyelesaikan pendidikan tingkat menengah. Sehingga kedepan akses perkembangan tekhnologi kebaharian, peningkatan ekonomi lebih mudah dilakukan.2. Perlunya merubah pola kehidupan nelayan. Hal ini terkait dengan pola pikir dan kebiasaan. Pola hidup konsumtif harus dirubah agar nelayan tidak terpuruk ekonominya saat paceklik. Selain itu membiasakan budaya menabung supaya tidak terjerat rentenir. Selain itu perlu membangun diverifikasi mata pekerjaan khusus dipersiapkan menghadapi masa paceklik, seperti pengolahan ikan menjadi makanan, pengelolaan wialyah pantai dengan pariwisata dan bentuk penguatan ekonomi lain, sehingga bisa meningkatkan harga jual ikan, selain hanya mengandalakan ikan mentah.3.Peningkatan kualitas perlengkapan nelayan dan fasilitas pemasaran. Perlunya dukungan kelengkapan tekhnologi perahu maupun alat tangkap, agar kemampuan nelayan Indonesia bisa sepadan dengan nelayan bangsa lain. Begitupula fasilitas pengolahan dan penjualan ikan, sehingga harga jual ikan bisa ditingkatkan.4.Perlunya sebuah kebijakan sosial dari pemerintah yang berisikan program yang memihak nelayan, Kebijakan pemerintah terkait penanggulangan kemiskinan harus bersifat bottom up sesuai dengan kondisi, karakteristik dan kebutuhan masyarakat nelayan. Kebijakan yang lahir berdasarkan partisipasi atau keterlibatan masyarakat nelayan, bukan lagi menjadikan nelayan sebagai objek program, melainkan sebagai subjek. Selain itu penguatan dalam hal hukum terkait zona tangkap, penguatan armada patroli laut, dan pengaturan alat tangkap yang tidak mengeksploitasi kekayaan laut dan ramah lingkungan.Selanjutnya melalui konsep yang dikemukakan ini akan dapat dirumuskan berbagai strategi pengentasan kemiskinan seperti: perluasan kesempatan kerja, pemberdayaan kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, perlindungan sosial, dan penataan kemitraan global.

BAB IIIPENUTUPA. SimpulanBerdasarkan pembahasan bab II penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:1. Kebaharian bangsa Indonesia yang sangat menguntungkan dipandang dari berbagai aspek kehidupan sebagai sebuah bangsa dan sudah berumur ribuan tahun, menjadi terpuruk. Kini bangsa Indonesia menjadi penonton dari berbagai keuntungan yang lewat di depan mata dan dinikmati bangsa-bangsa lain dari kekayaan budaya bahari yang seharusnya dimiliki dan dikuasai bangsa Indonesia. 2. Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, infrastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagai salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir. 3. Penanggulangan masalah kemiskinan diwujudkan melalui konsep yang dikemukakan kemudian dirumuskan dengan berbagai strategi pengentasan kemiskinan seperti: perluasan kesempatan kerja, pemberdayaan kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, perlindungan sosial, dan penataan kemitraan global.B. SaranAdapun saran yang dapat kami sampaikan adalah:1. Pemerintah sebaiknya menjalankan program terpadu secara serius dan bertanggung jawab agar dapat segera mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia utamanya terhadap masyarakat pesisir.2. Sebagai warga negara Indonesia yang baik, mari kita bahu-membahu mendukung program pemerintah dengan sungguh-sungguh demi masa depan bangsa dan negara Indonesia terbebas dari kemiskinan utamanya masyarakat daerah pesisir. 3. Marilah kita tingkatkan kepedulian dan kepekaan sosial untuk membantu saudara kita yang masih mengalami kemiskinan utamanya pada daerah pesisir.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Rosihan. Membangun Budaya Bahari dan Kepentingan Bangsa Indonesia di Laut Pada Masa Kini . Paper presented at Konferensi Internasional - ICSSIS FIB UI, Jakarta, 2010.Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. Lan, Thung Ju. 2007. Kebudayaan Dalam Perspektif Bahari Nusantara: Mendefinisikan Kembali Budaya Bahari Untuk Indonesia Hari ini. Jakarta :In Berita Iptek.Majalah Berita Indonesia, Menuju Kejayaan Bangsa Bahari, Jumat 23 November 2007. Pramono, Djoko. 2005. Budaya Bahari. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Elmusri, Rahmatullah. (2010). http://rahmatullah.net/2010/05/menanggulangi-masalah-kemiskinan.html. 7 november 2013.Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.Sumodiningrat, Gunawan- D., Riant Nugroho. 2005. Membangun Indonesia Emas.Jakarta: Elax Media Komputindo.Tim Pengajar WSBM. 2011. Wawasan Sosial Budaya Maritim (WSBM). Makassar: UPT MKU.

1Budaya Bahari dan Penanggulangan Kemiskinan