iv hasil dan pembahasan -...
TRANSCRIPT
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Mekanisasi Pemerahan di Wilayah Kerja KPSBU
Koperasi Peternak Susu Bandung Utara atau disingkat KPSBU, berdiri pada
tanggal 8 agustus 1971 dengan Hak Badan Hukum no.4891/A/BH/KWK-10/12.
Wilayah kerja KPSBU ini tidak hanya terdiri dari daerah Bandung bagian utara saja
atau daerah Kabupaten Bandung, terutama di Kecamatan Lembang, melainkan
peternak di daerah Kabupaten Subang dan wilayah percobaan peternakan sapi perah
di daerah Kabupaten Karawang.
Keanggotaan KPSBU terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan
data yang diperoleh, keanggotaan KPSBU meningkat sebanyak 99 orang dari tahun
sebelumnya yaitu 7091 orang menjadi 7190 orang. Pada tahun 2015 terjadi
peningkatan sebesar 1,39 persen dari tahun 2014. Keanggotaan KPSBU dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Keanggotaan KPSBU Jawa Barat, Tahun 2014-2015
Tahun Jumlah Anggota keseluruhan Anggota penyetor susu
2014 7.091 4.206 2015 7.190 4.340
Sumber: RAT KPSBU 2016
Mekanisasi merupakan penggantian dan penggunaan tenaga mesin dan
sarana-sarana teknik lainnya untuk menggantikan tenaga manusia dan hewan
(Departemen Pendidikan Nasional,2007). Dalam konteks pemerahan, mekanisasi
pemerahan dapat diartikan sebagai penggantian tenaga pemerahan manusia dengan
36
mesin. Mekanisasi pemerahan merupakan suatu bentuk inovasi. Mekanisasi
pemerahan bukanlah sesuatu yang baru di dunia peternakan. Hal tersebut
dikarenakan mekanisasi pemerahan atau dalam bahasa sehari-hari penggunan
mesin perah, sudah ada sejak 1980. Mekanisasi pemerahan di wilayah kerja
KPSBU dapat dikategorikan sebagai sebuah inovasi. Kebaruan inovasi juga tidak
berarti harus baru, inovasi yang sudah ada sebelumnya tetapi belum diterapkan dan
dikembangkan oleh individu atau kelompok tersebut dapat dikatakan inovasi yang
baru (Hanafi,1986). Jika sesuatu dipandang baru bagi seseorang, maka hal itu
merupakan inovasi (Nasution, 2004). Menurut Mosher (1978) cara baru dalam
mengerjakan sesuatu juga dapat disebut dengan inovasi.
Mekanisasi pemerahan pertama kali diperkenalkan oleh KPSBU pada
tahun 2013. Namun dalam perkembanganya hingga tahun 2015 setelah
diperkenalkannya mekanisasi pemerahan dalam RAT, belum menunjukan
perkembangan yang berarti. Sehingga pada tahun berikutnya yaitu tahun 2016
dicanangkanlah program mekanisasi pemerahan dengan jalan memfasilitasi
peternak anggotanya memperoleh mesin perah, dimana peternak dapat mengangsur
pembayarannya setiap bulanya melalui pemotongan pendapatan susu. Target
KPSBU ditahun 2016 adalah adanya pertambahan sebanyak 30 orang anggota
KPSBU yang menerapkan mekanisasi pemerahan. Angka peternak yang
menerapkan mekanisasi pemerahan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 menunjukan angka mekanisasi pemerahan di wilayah kerja KPSBU
masih tergolong sangat rendah karena jumlahnya kurang dari 1% dari jumlah
seluruh anggota peternak penyetor susu KPSBU. Hampir seluruh peternak anggota
KPSBU masih menggunakan teknik pemerahan manual karena sebuah perubahan
tentunya membutuhkan waktu.
37
Tabel 3. Angka Mekanisasi Pemerahan di Wilayah Kerja KPSBU
No Anggota Penyetor Susu Jumlah ...Orang... ...%... 1 Tidak Menerapkan Mekanisasi pemerahan 4.319 99,71 2 Menerapkan 21 0,29
Jumlah 4.340 100 Sumber: Data KPSBU 2016
Hasil wawancara dengan peternak responden pada Lampiran 4 menunjukan
bahwa, salah satu pertimbangan peternak memutuskan untuk mengadopsi inovasi
tersebut karena jumlah kepemilikan sapi perah tidak sebanding dengan tenaga kerja
yang dimiliki, sulitnya mendapatkan tenaga kerja merupakan salah satu alasan
peternak beralih dari pemerahan manual ke mekansisi pemerahan. Selain itu faktor
usia juga menjadi latar belakang penerapan mekanisasi pemerahan. Peternak di usia
diatas 50 tahun cenderung tidak memiliki tenaga yang cukup untuk memerah sapi.
Namun ada beberapa peternak memutuskan untuk menerapkan mekanisasi
pemerahan karena ingin memajukan usahanya agar bisa tetap eksis dan tidak
tergerus perkembangan zaman yang syarat akan teknologi.
Mesin yang dianjurkan oleh KPSBU adalah mesin perah portable dengan
pertimbangan harga yang relatif murah, mudah dipindah-pindahkan, dan
perawatannya yang relatif sederhana. Hasil survei pada peternak yang menerapkan
mekanisasi pemerahan di wilayah kerja KPSBU juga menunjukan tidak ada
peternak yang menggunakan mesin perah selain sistem portabel yang dianjurkan
oleh KPSBU.
Mesin perah portabel merupakan mesin perah yang dapat dengan mudah
dipindah-pindahkan ke tempat lain dan sangat ideal digunakan untuk usaha kecil
(hingga 20 ekor). Sistem penampungan atau milk barn system merupakan sistem
38
dengan instalasi mesin berada langsung di kandang pemeliharan dan tidak dapat
dipindahkan, yang cocok digunakan untuk 20 sampai 100 ekor. Sedangkan sistem
bangsal merupakan sistem pemerahan dengan menggunakan mesin yang digunakan
untuk usahaternak sapi perah dengan skala usaha besar (lebih dari 100 ekor) dimana
sapi digiring menuju ruang pemerahan secara beriringan (Patil, 2007).
4.2. Teknik Pemerahan dalam Mekanisasi
Tujuan dari pemerahan adalah untuk mendapatkan jumlah susu maksimal
dari ambingnya, apabila pemerahan tidak sempurna sapi induk cenderung untuk
menjadi kering terlalu cepat dan produksi total cenderung menjadi kering terlalu
cepat dan produksi total menjadi menurun (Williamson dan Payne, 1993).
Terdapat dua teknik dalam pemerahan, yaitu teknik pemerahan manual dan
teknik pemerahan mesin. Pemerahan manual merupakan pemerahan yang
dilakukan menggunakan tangan dan tanpa bantuan mesin. Pada permulaan
pemerahan dengan tangan dilakukan dengan cara memberikan tekanan yang ringan
kemudian setelah susu keluardengan lancar maka pemerahan dengan berangsur-
angsur dapat dipercepat temponya. Pemerahan yang baik dilakukan dengan cara
yang benar dan alat yang bersih. Tahapan-tahapan pemerahan harus dilakukan
dengan benar agar sapi tetap sehat dan terhindar dari penyakit yang dapat
menurunkan produksinya (Sudono, 2003).
Peternak KPSBU yang menerapkan mekanisasi pemerahan dapat
dikategorikan sebagai pengguna mesin perah dengan sistem bucket. Secara umum
seluruh peternak menggunakan sistem tersebut namun ada beberapa yang
memodifikasi mesin tersebut menjadi sistem pipa (milking pipeline). Mesin perah
dengan sistem pipa yang ada di wilayah kerja KPSBU merupakan hasil modifikasi
39
mesin perah portabel. Bagian mesin perah yaitu pompa vakum diinstal secara
permanen dan tidak dapat dipindahkan. Udara untuk menyedot susu dialirkan
melalui pipa gangway sehingga peternak hanya tinggal memindahkan milk claw
dan bucket saja. Sehingga sistem tersebut digolongkan sebagai sistem semi pipa
(semi milking pipeline). Sistem Semi milking pipeline lebih dikenal dengan sistem
liner di wilayah KPSBU. Semua tipe atau jenis mesin perah baik yang dapat
dipindahkan maupun yang tidak dapat dipindahkan atau permanen memiliki
beberapa komponen dasar dengan fungsi yang sama. Komponen tersebut yaitu
pompa vakum, pulsator, milk claw, karet penyedot puting (teat cup), penampung
susu (Andrew, 2007)
Tidak ada perbedaan signifikan dalam mekanisasi pemerahan. Syarief dan
Sumoprastowo (1985) berpendapat bahwa, terdapat tiga tahap pemerahan yaitu pra
pemerahan, pelaksanaan pemerahan dan pasca pemerahan. Hal yang perlu
dilakukan untuk pemerahan seperti tahap pra pemerahan dan tahap pasca
pemerahan tetap masih dilakukan. Tahap pra pemerahan dilakukan untuk
merangsang ambing ternak yang berguna untuk pengeluaran air susu. Tahap pasca
pemerahan dilkukan untuk menghindari masuknya kontaminan yang dapat
menyebabkan penyakit mastitis melalui puting sapi yang terbuka setelah
pemerahan. Sesuai dengan pendapat Syarief dan Sumoprastowo (1985), tahap
pasca pemerahan sangat penting dilakukan untuk mencegah masuknya kontaminan
melalui lubang puting susu yang terbuka akibat dari proses pemerahan. Pada tahap
ini bagian puting dicelupkan dalam larutan disinfektan untuk menghindari
terjadinya mastitis.
Perbedaan pemerahan dengan mesin perah dan cara manual adalah pada
tahap mengeluarkan air susu dari ambing. Peternak yang menerapkan mekanisasi
40
pemerahan menggunakan mesin perah untuk mengeluarkan air susu sedangkan
peternak yang tidak menerapkan mekanisasi pemerahan menggunakan tangan
untuk mengeluarkan susu dari ambing. Sebelum memasangkan milk claw ke
ambing, peternak juga tetap melakukan stripping atau pengeluaran sedikit susu
untuk melihat kondisi susu. Sapi yang terkena mastistis sebaiknya tidak diperah
menggunakan mesin perah untuk menghindari penularan penyakit, atau dapat
diperah meggunakan mesin namun pada giliran terakhir.
Peternak yang menerapkan mekanisasi pemerahan dapat mengefisiensikan
waktu pemerahan daripada peternak yang belum menerapkan mekanisasi
pemerahan. Peternak yang menerapkan mekanisasi pemerahan dapat memerah 2
ekor sapi secara bersamaaan dan hanya dalam waktu 7 menit. Sedangkan peternak
yang belum menerapkan mekanisasi pemerahan dalam waktu kurang lebih 7 menit
hanya mampu memerah satu sapi. Hal itu menunjukan bahwa peternak yang
menerapkan mekanisasi pemerahan mimiliki waktu pemerahan yang lebih cepat
dan efisien dibanding dengan peternak yang tidak. Sesuai dengan pendapat Firman
(2010), bahwa pemerahan menggunakan mesin perah efisien dalam hal waktu.
Selain itu Patil (2008), juga berpendapat sama bahwa dengan menggunakan mesin
perah, pemerahan dapat dilakukan tiga hingga empat kali lebih cepat dari
pemerahan tangan.
Mekanisasi pemerahan juga dapat mengurangi biaya tenaga kerja. Dari
semula satu tenaga kerja idealnya dapat memerah 5 sampai 7 ekor sehingga untuk
kepemilikan ternak di atas 10 ekor membutuhkan dua pekerja, maka dengan
mekanisasi pemerahan satu orang tenaga kerja dapat memerah lebih banyak ternak
hingga 20 ekor atau bahkan lebih. Sesuai dengan pendapat Patil (2008),
keuntungan dari penggunaan mesin perah adalah menghemat biaya tenaga kerja,
41
mengurangi ketergantungan terhadap pekerja yang terampil, memungkinkan
menambah populasi ternak yang lebih besar.
Pemerahan dengan menggunakan mesin perah tidak lagi menggunakan
vaselin sehingga susu yang dihasilkan lebih aman (tidak terkontaminasi zat kimia).
Selain itu, susu tidak terkontaminasi dengan lingkungan seperti masuknya debu
atau kotoran maupun bulu ternak. Hal tersebut menunjukan bahwa susu yang
dihasilkan oleh peternak yang menerapkan mekanisasi pemerahan jauh lebih baik
kualitasnya dibandingkan dengan susu hasi pemerahan peternak yang tidak
menerapkan mekanisasi pemerahan. Sesuai dengan pendapat Patil (2008) bahwa
penggunaan mesin perah akan menyebabkan peningkatan kualitas susu,
mengurangi stres sepanjang laktasi dengan menciptakan lingkungan pemerahan
yang baik.
4.3 Identitas Responden
Responden dalam penelitian ini yaitu sebanyak 21 orang peternak anggota
KPSBU yang menerapkan mekanisasi pemerahan. Identitas responden dalam hal
ini merupakan gambaran keadaan peternak terdiri dari: umur responden,
pengalaman beternak, dan pendidikan responden.
4.3.1 Umur Responden
Umur responden merupakan lama responden hidup hingga penelitian
dilakukan. Umur merupakan salah satu aspek yang dapat menggambarkan diri
seseorang berkaitan dengan cara sesorang menerima sesuau yang baru (inovasi).
Umur peternak akan mempengaruhi proses adopsi suatu inovasi baru. Biasanya
42
umur peternak yang lebih muda akan lebih responsive dalam menerima stimulus
dibandingkan dengan umur yang lebih tua.
Tabel 4. Umur Responden Peternak Sapi Perah yang Menerapkan Mekanisasi Pemerahan di Wilayah Kerja KPSBU
No Golongan Umur Jumlah
....Tahun.... ....Orang.... ....%.... 1 Innovator <25 0 0 2 Early Adopter 25- 40 1 4,76 3 Early Majority 41- 50 9 42,86 4 Late Majority 51- 60 6 28,57 5 Laggard >60 5 23,81
Jumlah 21 100
Umur responden digolongkan menjadi tiga yaitu, umur belum produktif 0
sampai 14 tahun, umur produktif yaitu 15-64 tahun dan umur tidak produktif, yaitu
lebih dari 64 tahun (Badan Pusat Statistik, 2014). Kategori umur responden dapat
dilihat pada Tabel 4.
Responden sebagian besar tergabung dalam usia produktif. Seseorang
dengan umur yang produktif biasanya memiliki semangat untuk mengetahui
sesuatu yang baru. Responden dalam penelitian ini dapat digolongkan sebagai early
majority hingga late majority. Adopter digolongkan menjadi 5 golongan
berdasarkan kecepatan adopsi. Golongan tersebut yaitu innovator (<25tahun), early
adopter (25-40 tahun), early majority (>40tahun), late majority (>50tahun), dan
laggard (>60 tahun) (Ibrahim,dkk., 2003).
Sebanyak peternak responden 23,81 persen merupakan golongan laggard,
lebih banyak daripada golongan innovator atau early adopter. Golongan laggard
43
merupakan golongan yang tidak dapat menerima adanya inovasi. Pendapat tersebut
tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, bahwa golongan umur kurang dari 25
tahun merupakan golongan innovator atau pencipta hal baru atau yang paling cepat
menerima inovasi. Peternak dalam wilayah Kerja KPSBU yang menerapkan
mekanisasi pemerahan tidak ada yang usianya dibawah 25 tahun. Pada golongan
umur 25-40 tahun yang digolongkan early adopter hanya terdapat satu orang.
Berdasarkan kondisi di wilayah penelitian, justru peternak yang digolongkan dalam
late majority merupakan orang yang pertama menerapkan mekanisasi pemerahan.
Penerapan mekanisasi pemerahan di wilayah kerja KPSBU Lembang ditandai
dengan tahun pemakaian atau introduksi mesin perah ke dalam usahanya yang
dapat dilihat pada Lampiran 1.
4.3.2 Pengalaman Beternak
Pengalaman beternak menggambarkan lamanya seseorang dalam
mengusahakan ternak sapi perah. Petani yang sudah lama berusahatani akan lebih
mudah menerapkan inovasi dari pada petani pemula. Petani yang sudah lama
berusahatani akan lebih mudah menerapkan teknologi daripada petani pemula. Hal
ini dikarenakan pengalaman yang dimiliki lebih banyak, sehingga dapat membuat
perbandingan dalam mengambil keputusan. Pengalaman berternak responden
penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 5.
Tabel 5. Pengalaman Beternak Peternak Sapi Perah yang Menerapkan Mekanisasi Pemerahan di Wilayah Kerja KPSBU
No Lama Beternak Jumlah
....Tahun.... ....Orang.... ....%.... 1 <5 4 19,05
44
2 6-10 4 19,05 3 >10 13 61,90
Jumlah 21 100
Berdasarkan Tabel 5, menunjukan bahwa mayoritas responden memiliki
kategori pengalaman yang tinggi (lebih dari 10 tahun). Responden yang memiliki
pengalaman rendah (kurang dari 5 tahun) dan sedang (6 sampai 10 tahun) memiliki
jumlah sama. Pengalaman yang tinggi merupakan indikator kematangan peternak
dalam mengelola usahanya. Pengalaman beternak yang lebih lama membuat
seseorang lebih terampil dalam mengambil keputusan terhadap datangnya inovasi
(Soeharjo dan Patong, 1973).
Lama beternak untuk setiap orang berbeda-beda, oleh karena itu lamanya
beternak dapat dijadikan bahan pertimbangan agar tidak melakukan kesalahan yang
sama sehingga dapat melakukan hal-hal yang baik untuk waktu-waktu berikutnya.
Responden yang memiliki pengalaman beternak yang lebih lama akan memiliki
keterampilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan peternak yang belum memiliki
banyak pengalaman. Responden yang beternak lebih lama cenderung akan
meningkatkan produktivitasnya melalui sumberdaya yang ada dalam hal ini
berhubungan dengan mekanisasi pemerahan.
4.3.3 Pendidikan Responden
Tinggi rendahnya pendidikan petani akan menanamkan sikap menuju
penggunaan praktek pertanian yang lebih modern. Peternak yang memiliki
pendidikan tinggi akan lebih cepat menerima inovasi. Sebaliknya peternak dengan
45
pendidikan rendah akan lebih lamban dalam penerimaan inovasi. Tingkat
pendidikan responden rata-rata dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 menunjukan bahwa sebagian besar pendidikan formal responden
adalah lulusan SD. Tingkat pendidikan formal responden tergolong masih rendah,
karena sebagian bersar peternak hanya berpendidikan SD. Responden dengan
pendidikan lebih tinggi cenderung lebih mudah dalam mengadopsi inovasi. Sesuai
dengan pendapat Ibrahim, dkk. (2003) mengenai tingkat pendidikan petani, dimana
mereka yang berpendidikan tinggi relative lebih cepat dalam melaksanakan adopsi
inovasi.
Pendidikan formal memberikan pengaruh kepada individu untuk
menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen dalam kebiasaan
tingkah lakunya, pikiran dan sikapnya (Hasibuan, 2008). Peternak yang
berpendidikan SD cenderung kurang memperhatikan tata laksana pemeliharaan
sapi perah yang baik dan benar dan lebih mimilih menggunakan cara-cara praktis
dalam beternak.
Tabel 6. Tingkat Pendidikan Peternak Sapi Perah yang Menerapkan Mekanisasi Pemerahan di Wilayah Kerja KPSBU
No Tingkat Pendidikan Jumlah
....Orang... ....%.... 1 SD 9 42,86 2 SMP 2 9,52 3 SMA 5 23,81 4 Sarjana 5 23,81
Total 21 100
46
Perawatan mesin perah sendiri yang merupakan hal pokok dari mekanisasi
pemerahan cenderung tidak begitu diperhatikan. Mereka yang berpendedikan SD
cenderung merawat mesin perah seadanya, tidak seperti peternak yang memiliki
jenjang di atasnya mereka cenderung lebih teliti dan memiliki perlakuan khusus
untuk merawat mesin perahnya seperti, penggunaan berbagai cairan khusus untuk
setiap bagian mesin, teknik membersihkan, dan dalam penyimpanannya. Mesin
perah milik peternak dari jenjang pendidikan diatas SD lebih terawat dibandingkan
dengan milik peternak yang berjenjang pendidikan SD. Tingkat Pendidikan
responden dapat dilihat di Lampiran 1.
4.4 Keadaan Umum Usaha Responden
Ternak sapi yang dipelihara oleh responden dalam penelitian ini adalah sapi
perah jenis Friesian Holstein (FH). Menurut Suryadi (1989) dibedakan menjadi (a)
skala usaha dengan jumlah kepemilikan ternak betina produktif sebanyak 1-3 ekor,
(b) skala usaha dengan jumlah kepemilikan ternak betina produktif sebanyak 4-6
ekor, dan (c) skala usaha dengan jumlah kepemilikan ternak betina produktif
sebanyak lebih dari tujuh ekor. Kepemilikan ternak responden yang menerapkan
mekanisasi pemerahan sebagian besar diatas tujuh ekor sapi induk. Banyaknya
jumlah kepemilikan sapi perah produktif responden penelitian dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7. Skala Kepemilikan Induk Sapi Produktif Perah Peternak Anggota KPSBU yang Menerapkan Mekanisasi Pemerahan.
No Jumlah Induk Produktif Kepemilikian
....ekor.... ....orang.... ....%....
47
1 1-3 0 0 2 4-6 2 9,52 3 > 7 19 90,48
Jumlah 21 100
Tabel 7 menunjukan bahwa sebgaian besar atau 90,48 persen responden
dalam penelitian ini memiliki skala kepemilikan lebih dari 7 ekor induk produktif.
Hanya terdapat dua orang peternak yang memiliki skala usaha kurang dari tujuh
ekor induk produktif. Tidak ada peternak responden yang memiliki induk produktif
kurang dari tiga ekor. Kepemilikan induk produktif terkecil adalah sebanyak lima
ekor, sedangkan kepemilikan terbesar adalah sebanyak 45 ekor. Usahaternak sapi
perah yang dijalankan peternak anggota KPSBU yang menerapkan mekanisasi
pemerahan sebagian dapat dikategorikan sebagai usaha pokok, karena seluruh
kehidupannya bergantung pada hasil beternak dan sebagian usaha campuran.
4.5 Biaya Produksi
Biaya adalah nilai dari semua pengorbanan ekonomis yang diperlukan, yang
tidak dapat dihindarkan, dapat diperkirakan, dan dapat diukur untuk menghasilkan
suatu produk (Cyrilla dan Ismail, 1988). Biaya produksi merupakan seluruh biaya
yang digunakan dalam suatau usaha untuk menghasilkan suatu produk. Semua
pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor
produksi dan bahan bahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang
barang yang diproduksi suatu perusahaan adalah biaya produksi (Sukirno, 2012).
48
Tabel 8. Struktur Biaya Usahaternak Sapi Perah Peternak Anggota KPSBU yang Menerapkan Mekanisasi Pemerahan
No Komponen Biaya Rata-rata ....Rp.... ....%....
1
Biaya Tetap a. Lahan 2.049.587 1,20 b. Bangunan 4.773.524 2,80 c. Bibit 24.095.238 14,15 d. Peralatan 600.469 0,35 e. Mesin dan Kendaraan 6.574.287 3,87
Jumlah 1 38.093.105 22,37
2
Biaya Variabel a. Tenaga Kerja 28.314.286 16,63 b. Pakan 92.883.852 54,56 c. Keswan 1.735.833 1.02 d. Teknis 9.230.470 5.42
Jumlah 2 132.164.440 77,63 Total 1+2 170.257.546 100
Komponen biaya produksi usahaternak sapi perah adalah biaya tetap dan
biaya variabel. Biaya tetap terdiri dari penyusutan kandang, penyusutan peralatan
tahan lama, penyusutan ternak dan lahan tempat pengelolaan ternak yang dianggap
sebagai biaya yang diperhitungkan sebagai sewa lahan. Biaya variabel terdiri dari
biaya pakan, obat-obatan, penyusutan peralatan tidak tahan lama dan biaya untuk
transportasi untuk membeli pakan atau memasarkan susu, air dan listrik. Biaya
produksi dihitung dalam satu tahun . Biaya produksi dapat ditekan apabila
penggunaan input produksi yang lebih murah atau dengan input produksi yang lebih
mahal namun umur ekonomisnya lama. Biaya produksi dan presentase biaya
produksi dapat dilihat pada Tabel 8.
49
Tabel 8 menunjukan rata- rata biaya produksi usahaternak sapi perah yang
menerapkan mekanisasi pemerahan di wilayah kerja KPSBU. Biaya produksi
terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap memiliki persentase sebesar
22,37persen dari biaya produksi dengan nilai sejumlah Rp 38.093.105 per tahun,
sedangkan biaya variabel memilliki persentase lebih besar dari biaya tetap yaitu
sbesar 77,63 persen dengan nilai Rp 132.164.440 per tahun. Semakin besar skala
kepemilikan ternak, maka akan semakin besar pula biaya produksi yang harus
dikeluarkan.
4.5.1 Biaya Tetap
Biaya tetap pada usahaternak sapi perah yang menerapkan mekanisasi
pemerahan dihitung berdasarkan beban biaya penyusutan yang harus ditanggung
peternak setiap tahunya. Biaya tetap terdiri dari biaya lahan, biaya penyusutan
kandang dan bangunan pendukung, perlatan, mesin dan kendaraan. Biaya tetap
besaranya tidak akan berubah dan tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya aktifitas
produksi yang berjalan. Biaya tetap umumnya didefinisikan sebagai biaya yang
relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh
banyak atau sedikit. Biaya tetap dapat pula dikatakan sebagai investasi, karena
biaya yang dikeluarkan hanya sekali atau seumur ekonomis barang (jangka
panjang) (Soekartawi, 1995). Investasi adalah modal yang dikeluarkan untuk usaha
sapi perahmeliputi biaya pembelian ternak, biaya pembuatan kandang, dan biaya
peralatan (Soekartawi, 1986).
4.5.1.1 Biaya Bibit
50
Biaya bibit merupakan biaya yang digunakan untuk membeli ternak bibit
yang digunakan untuk menjalankan usaha. Bibit yang diunakan oleh peternak
responden adalah sapi FH dengan ciri ciri berwarna putih dan terdapat bercak hitam
hitam di tubuhnya, sesaui dengan pendapat Sudono,dkk. (1995), bahwa bulu sapi
FH murni pada umumnya berwarna hitam dengan belang putih, kadang-kadang
merah dengan belang putih dan batas-batas warna yang jelas, kepala berbentuk
panjang, lebar, dan lurus, serta tanduk relatif pendek dan melengkung ke arah
depan.
Peternak memebeli bibit pada awal usahanya dan diperoleh baik dari sekitar
wilayah usaha maupun didatangkan dari luar kota namun masih dalam wilayah
Negara Indonesia. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2008), bibit sapi perah
Indonesia adalah bibit sapi tipe perah yang lahir dan beradaptasi di Indonesia dan
mempunyai ciri serta kemampuan produksi sesuai persyaratan tertentu sebagai bibit
yang bertujuan untuk produksi susu dan menghasilkan anak.
Bibit ternak yang digunakan oleh responden beragam tergantung keputusan
yang diambil individu. Ada peternak yang menggunakan dara bunting, ada pula
peternak yang langsung menggunakan ternak laktsasi dan ada pula peternak yang
menggunakan dara sebagai bibit. Harga bibit bervariasi tergantung dari tingkat
produksi dan dilihat dari keturunannya. Bibit yang berasal dari induk dengan
produksi rata-rata tinggi cenderung lebih mahal dibandingkan dengan yang
produksi rata-rata susu yang dihasilkan rendah. Bibit ternak yang baik dengan
produksi tinggi cenderung lebih menuntungkan. Rata- rata peternak mengawali
usaha dengan hanya menggunakan satu induk, namun lama kelamaan terus
berkembang sehingga jumlahnya sampai saat ini menjadi lebih banyak daripada
jumlah ternak awal usaha.
51
4.5.1.2 Biaya Lahan
Biaya lahan peternak sapi perah yang menerapkan mekanisasi pemerahan
dihitung berdasarkan biaya sewa ataupun biaya pajak yang dibebankan kepada
peternak, karena rata-rata kepemilikan lahan peternak adalah turun temurun
sehingga peternak tidak mengeluarkan biaya pembelian lahan. Untuk itu, biaya
lahan tidak dihitung berdasarkan biaya penyusutan, karena nilai lahan tidak
mengalami penyusutan justru nilainya akan semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Lahan yang dimaksud adalah lahan yang digunakan untuk kebun rumput dan lahan
yang digunakan untuk kandang atau bangunan pendukung lainnya. Lahan rumput
untuk ternak rata-rata disewa dari lahan milik perhutani dimana peternak
melakukan sharing rumput dengan peternak lain pada lahan tersebut. Namun
adapula yang tidak menyewa, karena memiliki lahan rumput sendiri.
4.5.1.3 Biaya Bangunan
Biaya Bangunan terdiri dari biaya kandang dan bangunan pendukung
kandang seperti gudang pakan, gudang peralatan atau mesin, tempat istirahat atau
bangunan pendukung lainya. Biaya bangunan dihitung dari biaya penyusutan. biaya
penyusutan merupakan biaya yang harus ditanggung peternak setiap tahunya,
karena berkurangnya umur pakai. Biaya penyusutan dihitung dari pembagian biaya
pembelian dengan umur ekonomis benda, biaya tersebut yang harus ditanggung
peternak setiap tahunya dan digunakan untuk mengetahui Break Even Point. Biaya
yang terdiri dari biaya bangunan sebesar 2,82 persen atau sebesar 4.773.524
Rp/tahun. Jumlah tersebut merupakan jumlah keseluruhan biaya penyusutan
bangunan peternak yang menerapkan mekanisasi pemerahan.
Besar kecilnya biaya bangunan tergantung dari luas kandang, tingkat
kekokohan dan bahan yang digunakan. Semakin baik bahan yang digunakan untuk
52
membangun kandang dan bangunan pendukung lain, semakin tinggi pula biaya
yang dikeluarkan. Penentuan umur ekonomis ditaksir berdasarkan kondisi kandang
dan bahan yang digunakan sehingga dapat diketahui tingkat ketahanan bangunan.
Terdapat peternak yang kontruksi kandangnya terbuat dari kayu dan terdapat pula
peternak yang kandangnya sangat kokoh terbuat dari besi yang kemudian dicor. Hal
tersebut membuat umur ekonomis kandang responden berbeda-beda serta biaya
pembangunan yang berbeda-beda pula.
Manajemen kandang memiliki fungsi yang penting untuk menjaga ternak
berada dalam kondisi nyaman agar mampu berproduksi secara maksimal. Dengan
kondisi kandang yang nyaman maka produktivitas akan tinggi, dan produktifitas
tinggi akan menguntungkan. Ginting dan Sitepu (1989) menyatakan kandang
memiliki fungsi untuk menjaga ternak berada dalam kondisi nyamanagar mampu
berproduksi secara maksimal. Selanjutnya, Sudono (2003) juga menyatakan bahwa
kandang sapi perah yang baik adalah kandang yang sesuai dan memenuhi
persyaratan kebutuhan dan kesehatan sapi perah. Persyaratan umum kandang untuk
sapi perah yaitu sirkulasi udara cukup dan mendapat sinar matahari sehingga
kandang tidak lembab (kelembaban ideal 60%-70%), lantai kandang selalu kering,
tempat pakan yang lebar dan tempat air dibuat agar air selalu tersedia sepanjang
hari.
4.5.1.4 Biaya Peralatan
Biaya peralatan dihitung berdasarkan biaya penyusutan. Biaya peralatan
peternak yang menerapkan mekanisasi pemerahan adalah sebesar 600.469
Rp/tahun/unit usaha.
53
Peralatan yang digunakan untuk kegiatan usaha sapi perah antara lain
cangkul, sekop, ember plastik, selang, drum plastik,sapu lidi, lap, sikat, milk can,
ember stainless, arit, gerobak, dan lain lain yang digunakan peternak sehari hari.
Peralatan cangkul, sekop, ember plastik, selang, drum plastik,sapu lidi, lap, dan
sikat berfungsi sebagai alat pembersih kandang. Sedangkan Milk can dan ember
stainless sebagai alat pemerahan. Alat seperti arit dan gerobak digunakan sebagai
alat pemotong dan pengangkut rumput. Sesuai Peraturan Menteri Pertanian No
55/Permentan/OT.140/10/2006 tentang pedoman pembibitan sapi perah yang baik,
peralatan dalam usahaternak sapi perah meliputi tempat pakan dan tempat minum,
alat pemotong dan pengangkut rumput, alat pembersih kandang dan pembuatan
kompos, peralatan kesehatan hewan, peralatan pemerahan dan pengolahan susu,
peralatan sanitasi kebersihan dan peralatan pengolahan limbah (Departemen
Pertanian, 2006).
Peralatan pemerahan susu (ember stainless, milk can) setelah dipakai
dibersihkan, selanjutnya dibilas dengan air bersih atau dapat menggunakan deterjen
(sabun bubuk) dan dibilas dengan air hangat untuk melarutkan lemak susu yang
masih melekat. Setelah peralatan dicuci bersih kemudian peralatan tersebut harus
dikeringkan dan diletakan dalam posisi terbalik seperti pada Lampiran 18.
4.5.1.5 Biaya Mesin dan Kendaraan
Biaya mesin dan kendaraan memiliki persentase sebesar 3,87 persen. Biaya
mesin dan kendaraan memiliki persentase paling besar dalam biaya tetap karena
peternak yang menerapkan mekanisasi pemerahan rata-rata adalah peternak maju
dan memiliki skala usaha yang tinggi sehingga membutuhkan bantuan berbagai
mesin dan kendaran untuk menjalankan usahanya. Mesin yang dimaksud seperti
54
mesin perah, chopper, genset, pompa air, sedangkan kendaraan yang dimaksud
seperti motor, motor roda tiga, dan mobil pickup yang membutuhkan biaya yang
tingi dalam pengintroduksiannya. Namun kepemilikannya sangat beragam, ada
peternak yang tidak memiliki mesin seperti genset, chopper, mobil pickup, karena
harganya relative mahal. Penggunaan mesin perah membutuhkan investasi yang
tinggi (Patil 2008).
Seluruh peternak responden menggunakan mesin perah dalam usahanya,
namun ada peternak yang memilik dua mesin perah sekaligus. Rata- rata biaya yang
digunakan untuk mengintroduksi mesin perah adalah sebesar Rp
15.875.000.00/unit. Biaya mesin perah dapat dicicil melalui KPSBU, besar kecil
dan jangka waktu cicilan disesuaikan dengan kesepakatan antara peternak dan
KPSBU.
4.5.2 Biaya Variabel
Biaya variabel memiliki persentase sebesar 78.10 persen dari total biaya
produksi atau sebesar Rp 132.164.440/tahun. Biaya variabel adalah biaya yang
jumlah totalnya berubah–ubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan
(Widjaja, 1999). Besarnya biaya variabel dipengaruhi oleh besarnya volume
produksi, semakin besar volume produksi semakin besar pula biaya yang
dikeluarkan, seperti pada Lampiran 10. Pakan, pupuk, bibit, dan obat–obatan, bahan
bakar, dan kesehatan ternak termasuk kedalam biaya tidak tetap (Kay Dan Edward,
1994).
4.5.2.1 Biaya Tenaga Kerja
55
Biaya tenaga kerja memiliki persentase sebesar 16,63 persen atau sekitar
1/5 dari total biaya variabel. Hal itu sejalan dengan penelitian Morrison (1959)
bahwa, upah tenaga kerja 1/5 dan dari keseluruhan biaya variable.
Biaya tenaga kerja rata-rata yang dikeluarkan peternak yang menerapkan
mekanisasi pemerahan per tahun adalah sebesar 28.314.286 Rp/tahun/unit usaha.
Tidak seluruh peternak yang menerapkan mekanisasi pemerahan menggunakan
bantuan tenaga kerja luar keluarga. Peternak yang tidak memiliki tenaga kerja luar
keluarga adalah peternak yang memliki skala kepemilikan kecil. Tenaga kerja luar
keluarga yang digunakan oleh peternak yang menerapkan mekanisasi pemerahan
dapat dikurangi, sehingga rata – rata peternak hanya memiliki dua tenaga kerja
yaitu, satu tenaga kerja untuk memerah susu dan satu tenaga kerja untuk mencari
rumput, sehingga persentase biayanya, kurang dari 20 persen dari biaya variabel.
Sesuai dengan pendapat Patil (2008) bahwa penggunaan mesin perah dapat
menghemat biaya tenaga kerja, mengurangi ketergantungan terhadap pekerja yang
terampil. Sejalan dengan hal itu, Firman (2010) juga berpendapat bahwa pemerahan
menggunakan mesin perah lebih menguntungkan, karena tidak membutuhkan
banyak tenaga kerja.
Tenaga kerja keluarga biasanya terdiri dari suami, istri, dan anak. Peternak
yang tidak menggunakan tenaga kerja luar keluarga juga memiliki pertimbangan
lain seperti, tidak dapat mempercayakan ternaknya kepada orang lain, karena sering
kali terjangkit mastitis akibat pekerja yang kurang bersih dan kurang cakap dalam
tata laksana pemeliharaan. Adapun peternak yang memiliki tenaga kerja lebih dari
dua, namun kepemilikan ternak sedikit, memiliki tujuan lain yaitu turut membantu
perekonomian warga disekitar wilayah usahanya dengan membuka lapangan
pekerjaan.
56
4.5.2.2 Biaya Pakan
Biaya pakan memiliki persentase sebesar 54,56 persen atau sebesar Rp
92.883.852/tahun. Biaya pakan mempunyai peresentase terbesar dari seluruh biaya
produksi yaitu sebesar 60-80 persen. Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian
Morrison (1959) bahwa biaya pakan dapat mencapai 2/3 dari total biaya variabel.
Setiap peternak memiliki formulasi pakan masing-masing (Aritonang,
2010). Adapun pakan yang digunakan oleh peternak sapi perah yang menerapkan
mekanisasi pemerahan adalah rumput segar, jerami, ampas tahu, ampas singkong,
dan bahan pakan lain. Bahan- bahan tersebut tidak seluruhnya digunakan, akan
tetapi sesuai dengan keputusan peternak.
Harga konsentrat seluruh peternak sama, karena diperoleh dari KPSBU.
Sedangkan harga makanan penguat lain seperti onggok, ampas tahu, ampas
singkong harganya bervariasi tergantung dimana tempat pembelianya. Peternak
yang membeli ampas tahu di bandar, maka harganya lebih mahal dibandingkan
peternak yang mengambil langsung dari pabrik tahu.
Frekuensi pemberian hijauan segar dan hijauan kering pada peternakan sapi
perah yang menerapkan mekanisasi pemerahan diberikan tiga kali sehari yaitu pada
saat sebelum pemerahan, siang hari, dan sore hari setelah pemerahan selesai.
Sedangkan pemerian konsentrat berbeda-beda antar petenak yang menerapkan
mekanisasi pemerahan. Pemberian konsentrat dua sampai tiga kali sehari
tergantung keputusan peternak dalam menjalankan usahanya. Sudono (1999)
menjelaskan bahwa pemberian makanan yang banyak pada sapi yang kondisinya
jelek pada waktu sapi itu sedang dikeringkan dapat meningkatkan susu sebesar 10-
30 persen
57
4.5.2.3 Biaya Kesehatan Hewan
Biaya kesehatan hewan yang didalamnya termasuk biaya obat – obatan dan
treatment kesehatan yang dilakukan sebesar 1,02 persen. Obat-obatan dan
treatment kesehatan seperti biaya IB, biaya suntik, vitamin dan lain-lain disediakan
oleh koperasi sebagai bentuk pelayanan kepada anggota. Jika peternak
membutuhkan bantuan tenaga kesehatan, maka peternak hanya tinggal melapor ke
KPSBU dan petugas kesehatan hewan akan datang memberi treatment kesehatan
yang dibutuhkan dan peternak tidak perlu membayar. Biaya obat dan treatment
kesehatan tidak dibayar secara langsung oleh peternak melainkan dipotong dari
penerimaan susu. Besar kecilnya pemotongan tergantung dari banyaknya treatment
kesehatan yang dialakukan dan kebutuhan obat – obatan yang berbeda beda tiap
usahaternaknya.
Kesahatan ternak merupakan salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan suatu usaha, maka dari itu perlu diperhatikan. Apabila ternak sakit,
maka suatu usahaternak tidak akan mampu memproduksi produk dengan kualitas
yang baik. Keseluruhan faktor-faktor yang menjadi perhatian untuk memacu
produksi susu tersebut tidak terlepas dari aspek-aspek yang perlu dicermati di
dalam pemeliharaan sapi perah adalah diantaranya penyediaan bibit unggul,
pemberian pakan (konsentrat dan hijauan), perkandangan, penanganan penyakit,
perkawinan, pemerahan, penanganan pasca panen (pemerahan), penanganan
limbah, pemasaran, dan distribusi (Sudono, 2003).
4.5.2.4 Biaya Teknis
Biaya teknis terdiri dari biaya Bahan Bakar Minyak (BBM), air, listrik dan
sebagainya yang mendukung jalanya usahaternak. Biaya teknis sebanyak 5,42
58
persen dari total biaya variable atau sebesar Rp 9.230.470/tahun. Peternak di
wilayah kerja KPSBU Lembang rata–rata tidak mengeluarkan biaya untuk
kebutuhan air karena dekat dengan sumber mata air, untuk usahaternak yang jauh
dari sumber mata air peternak yang menerapkan mekansisasi pemerahan rata- rata
memiliki pompa air sehingga hanya tinggal membayar listrik saja untuk memenuhi
kebutuhan airnya. Peternak yang menerapkan mekanisasi pemerahan akan lebih
banyak membutuhkan air terutama untuk membersihkan peralatan mesin perah.
Sesuai dengan pendapat Patil (2008) bahwa penggunaan mesin perah menyebabkan
kebutuhan air yang lebih besar untuk membersihkan peralatan, sebab kelalaian
dalam mengikuti prosedur pembersihan yang ketat akan menyebabkan kontaminasi
yang lebih buruk dan angka kejadian mastitis yang lebih tinggi. Biaya listrik selain
untuk kebutuhan penyediaan air juga untuk penerangan, dan yang paling utama
adalah menghidupkan mesin perah.
Biaya listrik peternak yang menerapkan mekanisasi pemerahan cenderung
meningkat mengingat daya yang dibutuhkan untuk menghidupkan mesin perah
cukup besar. Sesuai dengan pendapat Patil (2008) bahwa kekurangan penggunaan
mesin perah aliran listrik harus dan biaya listrik besar.
4.6 Penerimaan
Penerimaan yang diperoleh peternak anggota KPSBU yang menerapkan
mekanisasi pemerahan sangat ditentukan oleh dua komponen utama yaitu jumlah
output yang dihasilkan dan harga output satuan. Output usahaternak sapi perah
terdiri dari susu, ternak, dan limbah. Susu merupakan output utama hasil produksi
yang sangat mempengaruhi besaran penerimaan yang diperoleh peternak. Hasil
penelitian yang dilakukan dari 21 orang peternak yan menerapkan mekanisasi
59
pemerahan tidak menjual limbah ternak, sehingga peneriman yang diperoleh
berasal dari susu dan penjualan ternak.
Harga susu yang ditetapkan oleh KPSBU adalah sebesar Rp 4700/liter,
selain itu apabila kualitas susu yang disetorkan oleh peternak dalam kondisi baik
dan memenuhi standar, maka akan mendapatkan bonus TS dan TPC. Apabila susu
yang disetorkan tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan KPSBU maka
peternak juga dikenakan denda berupa penguran harga susu. Oleh karena itu harga
susu tiap peternak dapat berbeda-beda sesuai dengan kualitas susu yang disetorkan.
Produksi susu rata-rata yang dihasilkan peternak yang menerapkan
mekanisasi pemerahan periode Februari 2016 hingga Januari 2017 adalah sebesar
48.882,71 liter/tahun. Rata – rata produksi per laktasi adalah sebesar 3.019 liter per
ekor per laktasi. Jumlah tersebut dihitung dari pembagian antara jumlah total
keseluruhan produksi susu responden dengan total keseluruhan induk produktif
responden. Produksi susu per ekor per hari sebanyak 10 liter, didapat dari hasil bagi
antara jumlah produksi perlaktasi dan rata-rata panjang laktasi 305 hari. Sesuai
dengan pendapat Chalid (2004), produksi susu yang dihasilkan oleh sapi perah FH
di Indonesia ternyata lebih rendah, berkisar antara 3000 sampai 4000 liter per ekor
per laktasi dan produksi rata-rata sapi perah di Indonesia per hari hanya mencapai
10,7 liter per ekor. Penerimaan usahaternak sapi perah yang menerapkan
mekanisasi pemerahan dapat dilihat Lampiran 13.
Produksi susu sapi perah di pengaruhi oleh pakan yang diberikan, semakin
bagus kualitas pakan, maka akan semakin baik pula produksi susu yang dihasilkan.
Sesuai dengan pendapat Ako (2013), bahwa umumnya variasi dalam produksi susu
di beberapa peternakan sapi perah disebabkan oleh perbedaan dalam makanan dan
tata laksananya.
60
Penerimaan susu yang diperoleh peternak sapi perah yang menerapkan
mekanisasi pemerahan adalah hasil perkalian dari produksi susu yang dihasilkan
dengan harga satuan per liter susu. Total produksi susu dari peternak sapi perah
yang menerapkan mekanisasi pemerahan menghasilkan penerimaan sebesar Rp
225.643.114 /tahun.
Tabel 9. Persentase Peneriman Total Peternak Sapi Perah anggota KPSBU yang Menerapkan Mekanisasi Pemerahan.
No Penerimaan Jumlah
....Rp.... ....%.... 1 Penjualan Ternak 86.242.857 27,6 2 Penjualan Susu 225.643.114 72,4
Total 311.885.971 100
Tabel 9 menunjukan peneriman yang diperoleh peternak yang menerapkan
mekanisasi pemerahan adalah sebesar Rp 311.885.971/tahun dengan persentase
sama yaitu 72,4 persen dari penjualan susu dan 27,6 persen dari penjualan ternak.
Sesuai dengan pernyatan Londa (2010) bahwa sumber penerimaan terbesar dalam
usahaternak sapi perah adalah penjualan susu. Sehingga dalam hal ini penjualan
ternak dikategorikan sebagai hasil sampingan.
4.7 Pendapatan
Pendapatan atau Keuntungan merupakan selisih positif antara hasil yang
diterima dengan biaya yang dipergunakan untuk menghasilkan output. Berikut
adalah rincian rata-rata keuntungan yang ditcrima oleh peternak anggota KPSBU
yang menerapkan mekanisasi pemerahan dapat dilihat di Tabel 10.
61
Berdasarkan Tabel 10, terlihat adanya selisih positif antara penerimaan
sebesar Rp 311.885.971/tahun dengan biaya produksi yang dikeluarkan sebesar Rp
170.257.546/tahun. Usahaternak sapi perah yang menerapkan mekanisasi
pemerahan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 141.628.425 /tahun dalam satu
tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa usaha tersebut tidak mengalami kerugian
atau dalam keadaan untung karena biaya yang dikeluarkan lebih kecil dari pada
penerimaan atau bernilai positif. Sejumlah uang yang diperoleh setelah semua biaya
variabel dan biaya tetap tertutupi. Hasil pengurangan positif berarti untung, hasil
pengurangan negatif berarti rugi (Rasyaf, 2003).
Tabel 10. Pendapatan Peternak Anggota KPSBU yang Menerapkan Mekanisasi Pemerahan
No Komponen Jumlah Total Rata-rata/unit usaha
....Rp.... 1 Penerimaan total 6.549.605.389 311.885.971 2 Biaya produksi 3.553.887.793 170.257.546
Pendapatan (1-2) 2.995.717.596 141.628.425
Perhitungan pendapatan tidak terlepas dari modal yang dikeluarkan untuk
menjalankan suatu usaha karena modal yangdikeluarkan dalam bentuk investasi
akan mempengaruhi skala usaha yang berdampaklangsung pada pendapatan.
Perhitungan pendapatan peternak yang menerapkan mekanisasi pemerah dihitung
dalam jangka waktu satu tahun. Soeharjo dan Patong (1973), menyebutkan bahwa
dalam analisis pendapatan diperlukan dua keterangan pokok yaitu keadaan
penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan. Kadarsan
(1995) juga menerangkan bahwa, pendapatan adalah selisih antara penerimaan total
62
perusahaan dengan pengeluaran. Untuk menganalisis pendapatan diperlukan dua
keterangan pokok, yaitu keadaan pengeluaran dan penerimaan dalam jangka waktu
tertentu.
4.8 Break Even Point
Break Even Point atau titik impas merupakan keadaan dimana besarnya
penerimaan sama dengan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan output.
Perhitungan Break Even Point dihitung berdasarkan produksi susu dinyatakan
dalam satuan liter dan berdasarkan harga dinyatakan dalam satuan Rp/unit. Hasil
perhitungan titik impas produk susu. Hasil perhitungan Break Even Point rata-rata
peternak yang menerapkan mekansisasi pemerahan dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Break Even Point yang Dicapai Peternak Anggota KPSBU yang Menerapkan Mekanisasi Pemerahan
Komponen BEP Aktual
Volume produksi (liter/tahun) 27.241,77 47.882,71 Nilai penjualan (Rp/tahun) 129.037.098.00 225.643.114
Tabel 11 menunjukan bahwa rata-rata volume produksi susu aktual
responden melebihi volume produksi hasil perhitungan titik impas, artinya bahwa
dengan volume produksi yang dihasilkan lebih besar dari volume produksi
perhitungan Break Even Point dan dari segi jumlah penjualan dalam rupiah yang
dicapai lebih tinggi dibandingan dengan jumlah penjualan susu hasil perhitungan.
Oleh karena itu dapat dikatan bahwa rata-rata usahaternak sapi perah angggota
63
KPSBU Lembang yang menerapkan mekanisasi pemerahan telah mencapai kondisi
Break Even Point.
Penetuan Break Even Point juga dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan grafik. Penentuan Break Even Point melalui pendekatan grafik dapat
dilihat pada Ilustrasi 4. Berdasarkan Ilustrasi 4. Break Even Point merupakan
pertemuan antara garis biaya produksi (TC) dan garis penerimaan (TR) sehingga
membentuk titik. Pada titik tersebut usaha ternak sapi perah yang menerapkan
mekanisasi pemerahan dalam keadaan tisak untuk dan tidak rugi karena jumlah
pengeluaran sama dengan penerimaan. Sesuai dengan pendapat Munawir (2002),
titik Break Even Point atau titik impas pokok dapat diartikan sebagai suatu keadaan
dimana dalam operasinya perusahaan tidak memperoleh laba dan tidak menderita
rugi (total penghasilan sama dengan total biaya).
Perpotongan garis TC dan TR berada pada titik yang ekuivalen dengan
kuantitas unit susu sebesar 27.241,77 liter/tahun dan dalam jumlah rupiah sebesar
Rp 129.037.098/tahun. Gambaran Ilustrasi 4 diperoleh melalui perhitungan
persamaan linear. Untuk menetapkan persamaan linear, dilakukan analisis regresi
seperti pada Lampiran 15.
64
Ilustrasi 4. Grafik Break Even Point Peternak Anggota KPSBU yang Menerapkan
Mekanisasi Pemerahan
Titik impas volume produksi yang dapat dicapai oleh peternak sapi perah di
Jawa Barat sebesar 12.151 liter susu per tahun. Guna mencapai kondisi titik impas
harga susu, maka jumlah sapi laktasi minimal yang harus dimiliki peternak dalam
satu tahun adalah 3,2 ekor (Priyanti,dkk., 2009). Hal itu menunjukan bahwa adanya
mekanisasi pemerahan menyebabkan meningkatnya kondisi titik impas atau BEP
usahaternak sapi perah.
Break Even Point juga dapat ditetapkan berdasarkan nilai rupiah. Untuk
mencapai BEP, maka peternak yang menerapkan mekanisasi pemerahan harus
memperoleh penerimaan sebesar Rp 129.037.098/tahun. Jumlah tersebut diperoleh
dari hasi perkalian antara BEP unit dan harga satuan unit hasil regresi pada
Lampiran 15.
-
100,000,000.00
200,000,000.00
300,000,000.00
400,000,000.00
500,000,000.00
600,000,000.00
0 27241.77 54483.54 81725.31 108967.08 136208.85
Kurva Analisisis BEP
TFC TC TR
65
Tabel 12. Jumlah Peternak yang Telah Mencapai Kondisi BEP
No Komponen Orang % 1 Telah Mencapai BEP 17 80,95 2 Belum Mencapai BEP 4 19,05 Jumlah 21 100
Tabel 12 menunjukan terdapat beberapa peternak yang belum mencapai
kondisi Break Even Point. Untuk memperoleh keuntungan, peternak sapi perah
yang menerapkan mekanisasi pemerahan harus berproduksi diatas Break Even
Point. Sesuai dengan pendapat Ustomo (2016), bahwa untuk mencapai keuntungan
maka harga jual produk harus diatas nilai titik impas. Selain itu, peternak yang
menerapkan mekanisasi pemerahan harus memiliki lebih dari atau sama dengan 7
ekor ternak laktasi agar dapat memperoleh keuntungan.