hiperemesis gravidarum
DESCRIPTION
obgynTRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
G3P2A0, Usia 33 Tahun, Usia Kehamilan 12 Minggu 5 Hari, Janin Tunggal
Hidup Intrauterine dengan Hiperemesis Gravidarum
Disusun oleh:
Tia nuryani G1A211065
Azizah Asih F. G1A211066
Ai Nurfaiziyah G1A211067
Rima Arini Purba G1A211068
Pembimbing:
dr. Adityono, Sp.OG
SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
PENDIDIKAN PROFESI
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2012
LEMBAR PENGESAHAN
PPRESENTASI KASUS
G3P2A0, Usia 33 Tahun, Usia Kehamilan 12 Minggu 5 Hari, Janin Tunggal
Hidup Intrauterine dengan Hiperemesis Gravidarum
Disusun Oleh:
Tia nuryani G1A211065
Azizah Asih R. G1A211066
Ai Nurfaiziyah G1A211067
Rima Arini Purba G1A211068
Untuk memenuhi salah satu persyaratan mengikuti
tugas stase Ilmu Kebidanan dan Kandungan
RS Margono Soekarjo
Purwokerto
Disetujui dan disahkan
Pada tanggal Februari 2012
Pembimbing,
dr. Adityono, Sp.OG
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mual dan muntah merupakan hal yang umum dalam kehamilan. Sekitar
50%-90% kehamilan disertai dengan mual dan muntah yang dikenal sebagai
emesis gravidarum (Niebyl, 2010). Wanita yang mengalami emesis gravidarum
atau morning sickness 2% mengalami mual di pagi hari dan 80% mual sepanjang
hari. Kondisi ini biasanya ringan, dapat hilang sendiri dan puncak keluhan pada
sekitar 9 minggu kehamilan. Usia kehamilan 20 minggu biasanya gejala berhenti
namun pada 13% kehamilan, mual dan muntah dapat bertahan hingga 20 minggu
kehamilan (Mylonas, 2007, Sheehan, 2007).
Sejumlah kecil wanita hamil mengalami mual dan muntah berat yang
disebut hiperemesis gravidarum. Hiperemesis gravidarum ditandai oleh muntah
berat yang menyebabkan penderita kekurangan cairan, gangguan keseimbangan
elektrolit dan asam basa, defisiensi nutrisi dan penurunan berat badan. Insidensi
hiperemesis gravidarum bervariasi antara 0,3 – 1,5% kelahiran hidup. Etiologi
hiperemesis gravidarum sendiri masih belum jelas, namun insiden menigkat pada
kondisi yang berhubungan denghan konsentrasi HCG dan estrogen yang tinggi.
Insiden hiperemesis gravidarum sendiri yaitu 3,5 per 1000 kelahiran (Sheehan,
2007, Sonsukare, 2008).
Wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum memuntahkan makanan dan
minuman yang dikonsumsi sehingga berat badannya turun, turgor kulit dan
diuresis berkurang. Dapat pula terjadi alkalosis hipokalemia, ketosis, asetonuria
ptyalism dan timbul asetonuria apabila tidak tertangani. Keadaan demikian
membutuhkan perawatan di rumah sakit. Sekitar 5% dari ibu hamil membutuhkan
penanganan untuk penggantian cairan dan kroeksi ketidaksembangan elektrolot.
Prognosis pada pasien hiperemesis gravidarum pada umumnya baik, tetapi tetap
memberikan efek buruk pada pertumbuhan janin. Gejala yang timbul pada pasien
mual dan muntah serta penurunan nafsu makan membuat asupan nutrisi ibu
semakin berkurang. Suplai nutrisi pada janin tidak adekuat sehingga dapat
menghambat pertumbuhan janin jika hal ini tidak segera ditangani (Sacramento,
2008). Hal inilah yang menjadi alasan penulis mengajukan kasus gravidarum
sebagai laporan presentasi kasus kali ini.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. TS
Usia : 33 tahun
Agama : Islam
Suku/bangsa : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl Arcawinangun 2/6 Purwokerto, Banyumas
Nomor CM : 883017
Tanggal/Jam Masuk : 29 Desember 2011/ Pukul 18.00 WIB
B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Mual dan muntah
2. Keluhan tambahan
Nafsu makan menurun, badan terasa lemas
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke RSMS melalui VK IGD tanggal 29 Desember 2011
pukul 07.00 WIB. Pasien datang dengan keluhan mual dan muntah.
Keluhan dirasa sejak 1 minggu yang lalu, namun terasa memburuk sejak 2
hari yang lalu (27 Desember 2011). Sejak tanggal 27 Desember 2011,
pasien muntah lebih dari 5 kali sehari setiap harinya, hampir setiap
makanan dimuntahkan, mulut dan lidah terasa kering, nafsu makan
menurun dan badan terasa lemas. Terkadang terdapat nyeri pada lapang
perut, hilang timbul dan terasa melilit. Pasien belum menimbang berat
badannya sehingga tidak mengetahui apakah terjadi penurunan berat badan
atau tidak. Hari pertama haid terakhir pasien adalah 1 Oktober 2011. Hari
perkiraan lahir yaitu 8 Juli 2012. Usia kehamilan pasien 12 minggu 5 hari.
4. Riwayat penyakit dahulu
- Penyakit Jantung : disangkal
- Penyakit Paru : disangkal
- Penyakit Kencing Manis : disangkal
- Penyakit Ginjal : disangkal
- Penyakit Hipertensi : disangkal
- Riwayat Alergi : disangkal
- Riwayat Dispepsia : disangkal
5. Riwayat penyakit keluarga
- Penyakit Jantung : disangkal
- Penyakit Paru : disangkal
- Penyakit Kencing Manis : disangkal
- Penyakit Ginjal : disangkal
- Penyakit Hipertensi : disangkal
- Riwayat Alergi : disangkal
6. Riwayat Obstetrik
G3P2A0 : An. I : laki – laki /10th/bidan/2600gr
An. II : perempuan /4,5th/SC atas indikasi kista/RS/2400gr
An. III : hamil ini
7. Riwayat Menstruasi
- Lama haid : 6 – 7 hari
- Siklus haid : teratur
- Dismenorrhoe : tidak ada
- Jumlah darah haid : normal (sehari ganti pembalut 3-4 kali)
8. Riwayat Antenatal Care
Teratur di bidan
9. Riwayat Pernikahan
Menikah 1 kali selama 12 tahun
10. Riwayat KB
Menggunakan KB suntik selama 2 tahun dan penggunaan terakhir yaitu 4
bulan yang lalu
11. Riwayat Ginekologi
Riwayat Operasi : sectio secaria dengan pengangkatan kista 4,5 tahun
yang lalu
Riwayat Kuret : tidak ada
Riwayat Keputihan : tidak ada
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 kali/ menit, isi dan tegangan cukup
Respirasi Rate : 20 kali/ menit, regular
Suhu : 37,0 ºC
Kulit : Warna sawo matang, tidak tampak pucat
Kepala : Mesosefal
Mata : Konjungtiva palpebra mata kanan dan kiri tidak anemis,
tidak ada skela ikterik pada mata kanan dan kiri, mata
sedikit cekung.
Telinga : Pendengaran baik, tidak ada ottorhea, tidak ada nyeri
tekan mastoid
Hidung : Tidak ada deviasi septum, tidak keluar sekret
Mulut : Tidak ada gusi berdarah, mukosa bibir tidak pucat dan
tidak sianosis
Tenggorokan : Tidak ada pembesaran tonsil, faring tidak hiperemis
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan limfonodi, tidak
teraba massa
Thorax
Mammae : Puting susu normal, tidak ada nanah, tidak teraba
massa,tidak terdapat luka
Paru
Inspeksi : Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris (tidak ada
gerakan nafas yang tertinggal), tidak ada retraksi spatium
intercostalis.
Palpasi : Gerakan dada simetris, vocal fremitus kanan sama dengan
kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar nafas vesikuler, tidak terdapat ronkhi basah
kasar di parahiler dan ronkhi basah halus di basal pada
kedua lapang paru, tidak ditemukan wheezing.
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada
sebelah kiri atas.
Palpasi : Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 2 jari
medial LMC sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, tidak ditemukan murmur, tidak ditemukan
gallop.
Abdomen
Inspeksi : Datar
Perkusi : Timpani
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, Nyeri tekan (+) pada regio
epigastrium, Tinggi Fundus Uteri (TFU) 2 jari bawah
pusat, ballotement (+).
Auskultasi : Bising usus normal (2 kali dalam 10 detik)
Pemeriksaan
Anggota Gerak
Ekstremitas
superior
Ekstremitas inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Kuku kuning
(ikterik)
- - - -
Reflek fisiologis
Bicep
Patela
+
+
+
+
+
+
+
+
Sensoris S>I;
D=S
S>I;
D=S
S>I;
D=S
S>I;
D=S
Pemeriksaan Genitalia Eksterna
Inspeksi : Leukorrhea (-), perdarahan per vaginam (-)
D. Diagnosa
G3P2A0, usia 33 tahun, usia kehamilan 12 minggu 5 hari, janin tunggal hidup
intrauterine dengan hiperemesis gravidarum.
E. Plan
1. Perbaiki keadaan umum pasien
IVFD RL:D5% = 2:1 20 tpm
Primperan 1 amp 1 gr iv
2. Pemeriksaan Darah Lengkap
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 29 Desember 2011 :
Pemeriksaan Nilai Satuan Rujukan
Hb 12.6 g/dL 12 – 16
Leukosit 9.080 /uL 4800-10800
Hematokrit 37 ↓ % 37-47
Eritrosit 4,3 ↓ 10^6/uL 4,2-5,4
Trombosit 317.000 /uL 150.000-450.000
MCV 84,9 fL 79,0-99,0
MCH 29,2 Pg 27,0-31,0
MCHC 34,4 % 33,0-37,0
RDW 11,8 % 11,5-14,5
MPV 9,1 fL 7,2-11,1
Hitung Jenis
Basofil 0,0 % 0,0-1,0
Eosinofil 0,0 ↓ % 2,0-4,0
Batang 0.00 ↓ % 2,00-5,00
Segmen 78,0 ↑ % 40.0-70.0
Limfosit 15,7 ↓ % 25.0-40.0
Monosit 6,3 % 2.0-8.0
3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Berikut hasil USG, 29 Desember 2011 :
Janin tunggal hidup intra uterin, umur kehamilan menurut biometri 8
minggu 2 hari, HR 194 bpm regular, plasenta pada dinding anterior,
parametrium tak tampak kelainan, tidak tampak tumor ginekologik dan
cairan bebas
4. Rawat inap
F. Sikap
Tanggal 29 Desember 2011
Dokter konsulen mengintsruksikan agar pasien rawat inap di bangsal
Flamboyant, terapi konservatif sampai keadaan umum membaik. Pasien
dimpatkan di ruangan yang hanya berisi 2 pasien. Dilakukan monitoring
mengenai keadaan umum, his, perdarahan pervaginam (PPV), mual dan
muntah.
G. Catatan Perkembangan Pasien di Bangsal
Hari / tanggal
S O A P
Kamis, 29 Desember 2011
MualDemamSetiap makan dimuntahkan
Keadaan Umum/kesadaran: Sedang/Compos Mentis
TD : 110/70 mmHgN : 80x/menitRR : 20x/menitS : 37,9oC
St. Generalis :Mata : Ca -/- Si -/-Thorax :
Paru : SD vesikuler Rbk -/- , Rbh -/-, Wh -/-
Cor : S1>S2 reguler, M (-), G (-)
St. Lokalis Abdomen:Inspeksi : Datar,
perut tampak
G3P2A0
33tahun UK 12+5minggu dengan hiperemesis gravidarum H+1 perawatan
Neurobion Primperan IVFD RL/D5% 2:1
tegangAuskultasi : BU (+) NPerkusi : PekakPalpasi : TFU 4
jari dibawah pusat
St. Genetalia externa:PPV (-)
St. Vegetatif: BAB (+), BAK (+), Flatus (+)
Jumat, 30 Desember 2011
mual, muntah berkurang, tidak nafsu makan
Keadaan Umum/kesadaran: Sedang/Compos Mentis
TD : 120/80 mmHgN : 100x/menitRR : 24x/menitS : 36,9oC
St. Generalis :Mata : Ca -/- Si -/-Thorax :
Paru : SD vesikuler Rbk -/- , Rbh -/-, Wh -/-
Cor : S1>S2 reguler, M (-), G (-)
St. Lokalis Abdomen:Inspeksi : Datar,
perut tampak tegang
Auskultasi : BU (+) NPerkusi : PekakPalpasi : TFU 4
jari dibawah pusat
St. Genetalia externa:PPV (-)
St. Vegetatif: BAB (+), BAK (+), Flatus (+)
G3P2A0
33tahun UK 12+6minggu dengan hiperemesis gravidarum H+2 perawatan
Neurobion Primperan IVFD RL/D5%
Sabtu, 31 Desember
MualMuntah
Keadaan Umum/kesadaran:
G3P2A0 33tahun UK
Neurobion Primperan
2011 Lemas Sedang/Compos MentisTD : 100/60 mmHgN : 80x/menitRR : 20x/menitS : 37,8oC
St. Generalis :Mata : Ca -/- Si -/-Thorax :
Paru : SD vesikuler Rbk -/- , Rbh -/-, Wh -/-
Cor : S1>S2 reguler, M (-), G (-)
St. Lokalis Abdomen:Inspeksi : Datar,
perut tampak tegang
Auskultasi : BU (+) NPerkusi : PekakPalpasi : TFU 4
jari dibawah pusat
St. Genetalia externa:PPV (-)
St. Vegetatif: BAB (+), BAK (+), Flatus (+)
13 minggu dengan hiperemesis gravidarum H+3 perawatan
IVFD RL/D5%
Senin,2 Januari 2012
Tidak ada keluhan
Keadaan Umum/kesadaran: Baik /Compos Mentis
TD : 110/70 mmHgN : 80x/menitRR : 16x/menitS : 36,5oC
St. Generalis :Mata : Ca -/- Si -/-Thorax :
Paru : SD vesikuler Rbk -/- , Rbh -/-, Wh -/-
Cor : S1>S2 reguler, M (-), G (-)
St. Lokalis Abdomen:
G3P2A0 33th UK 13+2 minggu dengan hiperemesis gravidarum H+5 perawatan
Pasien boleh pulang
Inspeksi : Datar, perut tampak tegang
Auskultasi : BU (+) NPerkusi : PekakPalpasi : TFU 4
jari dibawah pusat
St. Genetalia externa:PPV (-)
St. Vegetatif: BAB (+), BAK (+), Flatus (+)
BAB III
PERMASALAHAN
A. Permasalahan Pertama
Hiperemesis gravidarum
Pasien ini didiagnosis sebagai hiperemesis gravidarum atas dasar
yang pertama adalah pasien wanita hamil dengan usia kehamilan 12 minggu
6 hari. Kedua adalah keluhan utama pasien yaitu mual dan muntah yang
memburuk sejak 2 hari yang lalu. Nafsu makan menurun, makanan yang
dimakan segera dimuntahkan merupakan akibat mual sehingga badan terasa
lemas. Terkadang terdapat nyeri pada lapang perut, hilang timbul dan terasa
melilit.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak
sakit sedang, lemah, kesadaran kompos mentis. Tanda-tanda vital dalam
batas normal, yaitu tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80 x/menit, respirasi
20 x/menit, suhu 37,00C. Terdapat tanda-tanda dehidrasi ringan pada
pemeriksaan fisik yaitu : terus merasa haus (+), mulut dan lidah terasa
kering, badan lemas, mata terlihat sedikit cekung. Berdasarkan kesadaran
pasien kompos mentis dan terdapat tanda-tanda dehidrasi ringan sehingga
pasien termasuk dalam hiperemesis gravidarum derajat 1.
B. Permasalahan Kedua
Faktor psikologis pasien
Kehamilan ini merupakan kehamilan ketiga pasien. Jarak kehamilan ini
dengan kehamilan kedua yaitu 4,5 tahun. Pada anamnesis didapatkan
bahwa pasien merasa tidak siap menghadapi kehamilan ini. Hal ini
disebakan karena pasien masih trauma dengan sectio secaria yang
dilakukan pada kehamilan kedua atas indikasi kista yang menutupi jalan -
lahir. Pasien takut bahwa kehamilan ini akan berpengaruh kurang baik
pada rahim dan dirinya dan pasien belum siap menghadapi kehamilan ini.
C. Permasalahan Ketiga
1. Rawat inap dan penatalaksanaan
Pasien datang ke RSMS melalui VK IGD tanggal 29 Desember 2011
dengan keluhan mual dan muntah. Keluhan dirasa sejak 1 minggu yang
lalu dan memburuk sejak 2 hari yang lalu yaitu muntah lebih dari 5 kali
sehari. Hampir setiap makanan yang dikonsumsi dimuntahkan, nafsu
makan menurun, mulut dan lidah kering dan badan terasa lemas. Adapun
nyeri pada lapang perut. Instruksi yang diberikan setelah pemeriksaan
yaitu rawat inap di RSMS Purwokerto. Pasien menjalani rawat inap
selama 5 hari di bangsal Flamboyan yaitu sejak hari kamis 29 Desember
2011 hingga Senin 2 Januari 2012.
Selama menjalani rawat inap, monitoring pasien dilakukan mengenai
keadaan umum, his, perdarahan pervaginam (PPV), mual dan muntah.
Terapi yang diberikan yaitu rehidrasi cairan berupa cairan parenteral;
medikamentosa berupa roborantia dan antiemetic. Cairan parenteral yaitu
cairan infuse kristaloid RL berseling D5% dengan perbandingan 2 :1
kecepatan 20tpm. Roborrantia yang diberikan yaitu Neurobion, suplemen
berisi vitamin B kompleks yang terdiri dari vitamin B1, B6 dan B12.
Antiemetic yang diberikan yaitu Primperan yang mengandung
metoklopramid hidroklorida, suatu antiemetic jenis dopamine (D2)
receptor antagonist. Kedua jenis obat tersebut berfungsi mengurangi
mual dan muntah, serta neurobion mengoreksi defisit vitamin B agar
mencegah komplikasi lebih lanjut.
2. Nutrisi pasien
Terapi nutrisi pasien meliputi nutrisi dan rehidrasi parenteral. Nutrisi
pasien meliputi jatah makan sehari 3 kali yang terdiri dari nasi, sayur, jus
dan buah setiap porsinya. Aturan makan yang dianjurkan yaitu hindari
makanan berlemak dan berminyak, serta konsumsi makanan dengan pola
sedikit tapi sering.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Review Kronologi Kasus
Pasien datang ke VK IGD RSMS tanggal 29 Desember 2011 dengan
keluhan mual dan muntah. Mual dan muntah dirasakan sejak 1 minggu lalu.
Awalnya pasien hanya mual dan muntah sesekali dan nafsu makan masih
cukup baik. Namun sejak 2 hari yang lalu, pasien muntah lebih dari 5 kali
sehari setiap harinya, hampir setiap makanan dimuntahkan, nafsu makan
menurun, mulut dan lidah kering serta badan terasa lemas. Nyeri perut juga
dirasakan pasien, hilang timbul dan terasa melilit. Pasien belum menimbang
berat badannya sehingga tidak mengetahui apakah terjadi penurunan berat
badan atau tidak. Usia kehamilan pasien 12 minggu 6 hari. Ini merupakan
kehamilan ketiga dengan riwayat persalinan sectio secaria pada kehamilan
kedua atas indikasi kista.
Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
sedang, lemah dan kesadaran kompos mentis. Terdapat tanda-tanda dehidrasi
ringan yaitu terus merasa haus (+), mulut dan lidah terasa kering, badan
lemas, mata terlihat sedikit cekung.
Pasien menjalani rawat inap selama 5 hari di bangsal Flamboyant RSMS.
Keadaan pasien membaik setelah mendapat terapi hidrasi intravena,
neurobion sebagai roborrantia dan metoklopramid sebagai antiemetik. Pada
pemeriksaan didapatkan keadaan umum pasien tampak sedang, lemah,
kesadaran kompos mentis.
B. Pembahasan Permasalahan Pertama
Hiperemesis gravidarum
a. Definisi
Pasien ini didiagnosis sebagai hiperemesis gravidarum atas dasar
yang pertama adalah pasien wanita hamil dengan usia kehamilan 12
minggu 5 hari. Kedua adalah keluhan utama pasien yaitu mual dan
muntah yang memburuk sejak 2 hari yang lalu. Adapun nyeri pada
lapang perut, hilang timbul dan terasa melilit.
Ada beberapa variasi dalam literatur mengenai definisi yang tepat
dari hiperemesis gravidarum. Hal ini sering didefinisikan sebagai mual
dan muntah keras selama kehamilan cukup parah dan memerlukan rawat
inap. Selain itu, kondisi muncul selama trimester pertama dan tidak
berhubungan dengan kondisi medis lainnya, seperti kolestasis, hepatitis,
preeklampsia, sindrom virus, atau influenza (Sacramento, 2008).
Definisi paling umum yang dapat diterima adalah bahwa hiperemesis
gravidarum adalah bentuk mual dan muntah yang parah dengan
penurunan berat badan lebih dari 5% dari berat badan sebelum hamil,
dehidrasi, asidosis karena kelaparan, alkalosis karena kehilangan asam
klorida, hipokalemia, ketosis, acetonuria, dan ptyalism (air
liurberlebihan) (Sacramento, 2008).
Dalam kebanyakan kasus, onset gejala adalah antara 4 dan 10
minggu kehamilan dan gejala biasanya mereda pada 20 minggu
kehamilan. Secara klinis, praktisi biasanya mengobati mual dan muntah
pada awal kehamilan, terlepas dari apakah pasien cocok untuk semua
kriteria diagnosis hiperemesis gravidarum (Verberg, 2005).
Hiperemesis gravidarum(HG) adalah kondisi yang menyebabkan
mual dan muntah pada awal kehamilan sering mengakibatkan masuk
rumah sakit. Insiden HG adalah sekitar0,5% dari kelahiran hidup,
dikatakan lebih tinggi pada kehamilan ganda,mola hidatidosa dan kondisi
lain yang berhubungan dengan meningkatnya hormon kehamilan.
(Jueckstock,2010)
b. Faktor resiko
Faktor resiko yang terdapat pada pasien ini adalah kondisi psikologis
dan usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Beberapa peneliti telah
menemukan bahwa faktor-faktor berikut meningkatkan resiko untuk
hiperemesis gravidarum, yaitu: (Deshayne, 2006; MacGibbon, 2010)
1. Kehamilan kembar,
2. Nullipara,
3. Usia ibu hamil yang masih muda
4. Obesitas,
5. Gangguan metabolik,
6. Riwayat HG di kehamilan sebelumnya,
7. Kelainan trofoblas (contoh: kehamilan mola),
8. Psikologis (misalnya, gangguan makan seperti anoreksia nervosa
atau bulimia).
9. Kelainan janin
c. Derajat hiperemesis gravidarum
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang didapatkan bahwa pasien menderita Hiperemesis Gravidarum
derajat 1. Hiperemesis gravidarum sendiri terbagi atas beberapa derajat
sesuai dengan tanda dan gejala yang dialaminya, yaitu :
a) Tingkat 1
Muntah terus menerus (muntah> 3-4 kali/hari, dan mencegah dari
masuknya makanan atau minuman selama 24 jam) yang
menyebabkan ibu menjadi lemah, tidak ada nafsu makan, berat
badan turun (2-3kg dalam 1-2 minggu), nyeri ulu hati, nadi
meningkat sampai 100x permenit, tekanan darah sistolik menurun,
tekanan kulit menurun, lidah mengering dan mata cekung (Rudis,
2011, Wiknjosastro, 2006).
b) Tingkat 2
Penderita tampak lebih lemah dan tidak peduli pada sekitarnya,
turgor kulit lebih mengurang, lidang mengering dan nampak kotor,
nadi kecil dan cepat, suhu kadang-kadang naik dan mata sedikit
kuning. Berat badan turun dan mata menjadi cekung, tekanan darah
turun,pengentalan darah, urin berkurang, dan sulit BAB. Aseton
dapat tercium dalam hawa pernapasan, karena mempunyai aroma
yang khas dan dapat pula ditemuykan dalam kencing (Rudis, 2011,
Wiknjosastro, 2006).
c) Tingkat 3
Keadan umum lebih parah, muntah berhenti, kesadaran menurun
sampai koma, nadi kecil dan cepat,suhu meningkat, dan tekanan
darah turun. Komplikasi fatal terjadi pada susunan saraf yang
dikenal sebagai Ensefalopati Wernicke, dengana gejala: nistagmus,
diplopia, dan perubahan mental. Keadaan ini akibat kekurangan zat
makanan termasuk vitamin B kompleks.Jika sampai ditemukan
kuning berarti sudah ada gangguan hati (Rudis, 2011, Wiknjosastro,
2006).
d. Penegakan diagnosis
Diagnosis HG biasanya tidak sukar. Harus ditentukan adanya
kehamilan muda dan muntah yang terus menerus, sehingga mempengaruhi
keadaan umum. Namun demikian harus dipikirkan kehamilan muda
dengan penyakit pielonefritis, hepatitis, ulkus ventrikuli, dan tumor serebri
yang dapat pula memberikan gejala muntah. HG yang terus menerus dapat
menyebabkan kekurangan makanan yang dapat mempengaruhi
perkembangan janin, sehingga pengobatan perlu segera diberikan
(Wiknjosastro, 2005).
Beberapa hal di bawah ini harus dipenuhi untuk dapat menegakkan
diagnosis HG, yaitu muntah terus-menerus tanpa penyebab lain, tidak
mampu mengkonsumsi makanan apapun, adanya gangguan metabolik
(ketonuria berat), penurunan berat badan, dan keadaan umum yang
memburuk (Buhling & David, 2008).
e. Patogenesis dan Patofisiologi
1. Fisiologi Muntah
Mual merupakan perasaan tidak nyaman subjektif di balik
kerongkongan yang merupakan sinyal terhadap muntah. Sementara
muntah merupakan eliminasi paksa isi perut melalui mulut yang dibantu
oleh otot perut dan pembukaan sfingter lambung (Shelke et al., 2004).
Muntah dengan tanda awal berupa mual terutama merupakan
refleks perlindungan. Pusat muntah terletak di medula oblongata,
melalui kemoreseptor pada area postrema di bawah ventrikel keempat
(zona pencetus kemoreseptor/ CTZ) (Silbernagl & Lang, 2007). Area
ini tidak dilindungi oleh sawar darah otak, sehingga dapat dipengaruhi
oleh bahan-bahan perangsang muntah melalui cairan serebrospinal
maupun melalui darah (Shelke et al., 2004). CTZ diaktivasi oleh agonis
dopamin seperti apomorfin, oleh banyak obat atau toksin, seperti
digitalis glikosida, nikotin, enterotoksin stafilokokus serta hipoksia,
uremia, dan diabetes melitus. Sel-sel CTZ juga mengandung reseptor
neurotransmitter seperti epinefrin, serotonin, GABA, serta substansi P.
Akan tetapi pusat muntah dapat juga diaktivasi tanpa perantara CTZ
seperti pada perangsangan nonfisiologis di organ keseimbangan (motion
sickness) dan penyakit vestibular seperti Meniere (Silbernagl & Lang,
2007).
Pusat muntah dapat diaktifkan melalui saluran pencernaan melalui
aferen n. vagus pada beberapa kondisi di bawah ini (Silbernagl & Lang,
2007):
a. Peregangan lambung yang berlebihan atau kerusakan mukosa
lambung misalnya akibat alkohol
b. Pengosongan lambung yang terlambat misalnya akibat makanan
yang sukar dicerna serta akibat penghambatan saluran keluar
lambung misalnya pada stenosis pilorus, atau tumor, atau pada
penghambatan pada usus seperti atresia atau ileus.
c. Distensi berlebihan atau inflamasi peritoneum, saluran empedu,
pankreas, dan usus.
Pusat muntah dapat diaktivasi juga oleh serabut aferen visera dari
jantung, misalnya pada iskemia koroner. Muntah dapat juga dipicu
dengan sengaja dengan meletakkan satu jari di kerongkongan (saraf
aferen dari sensor raba di faring). Selain itu, muntah dapat diakibatkan
karena pajanan terhadap radiasi (radioterapi) dan peningkatan tekanan
intrakranial (Silbernagl & Lang, 2007).
Muntah dapat disebabkan oleh rangsangan terhadap satu atau lebih
dari 4 lokasi seperti nampak pada gambar 1, yaitu: saluran pencernaan,
organ vestibular, CTZ, dan korteks dan thalamus. Ketika reseptor
teraktivasi, impuls ditransmisikan baik oleh aferen n. vagus maupun
saraf simpatis ke pusat muntah bilateral di medulla, yang terletak di
dekat traktus solitarius setingkat mukleus motorik dorsalis vagus
menuju pusat muntah melalui saraf kranialis IX (glosofaringeus) dan X
(vagus). Reseptor-reseptor yang sudah diketahui diantaranya adalah H1
histamine, M1 acetylcholine, 5-HT3 serotonine, DA2 dopamine, NK1
neurokinin, substansi P, dan mu/ kappa opioid. Transmisi mediator
Pusat Muntah[H1, M1, NK1, 5-HT3]
Saluran Pencernaan[5-HT3]
Korteks Thalamus
[Kecemasan, Nyeri]
OrganVestibular
[H2, M2]
CH
EM
OR
ES
EP
TO
R T
RIG
GE
R Z
ON
E (
CT
Z)
[mu,
kap
pa, D
A2,
NK
1]
pada korteks serebri dan thalamus belum diketahui dengan pasti, namun
diduga CB1 cortical cannabinoid (Becker, 2010; Guyton & Hall, 2007).
Gambar 2. 1. Rangsangan Pusat Muntah (Becker, 2010).
Impuls motorik ditransmisikan dari pusat muntah melalui saraf
kranialis V, VII, IX, X, dan XII ke saluran pencernaan bagian atas dan
melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot abdomen. Sebelum muntah
terjadi, terdapat periode antiperistaltis yang menyebabkan kontraksi
terjadi ke atas bukan ke bawah. Kemudian saat saluran pencernaan
bafian atas terutama duodenum menjadi sangat meregang, peregangan
ini menjadi faktor pencetus muntah yang sebenarnya. Pada saat muntah,
kontraksi intrinsik kuat terjadi baik pada duodenum maupun pada
lambung, bersama dengan relaksasi sebagian sfingter esofagus bagian
bawah, sehingga membuat muntahan mulai bergerak ke dalam
esofagus. Dari sini, kerja muntah spesifik yang melibatkan otot-otot
abdomen mengambil alih dan mendorong muntahan ke luar (Guyton &
Hall, 2007).
Sekali pusat muntah telah cukup dirangsang dan timbul muntah,
yang terjadi adalah bernafas dalam, naiknya tulang lidah dan laring
untuk menarik sfingter esofagus bagian dalam supaya terbuka,
penutupan glotis, dan pengangkatan palatum mole untuk menutupi
nares posterior. Kemudian datang kontraksi yang kuar ke bawah
diafragma bersama dengan rangsangan kontraksi semua otot dinding
abdomen. Keadaan ini memeras perut diantara diafragma dan otot-otot
abdomen, membentuk suatu tekanan intragastrik. Akhirnya sfingter
esofagus bagian bawah berelaksasi secara lengkap membuat
pengeluaran isi lambung ke atas memalui esofagus (Guyton & Hall,
2007).
2. Patogenesis Hiperemesis Gravidarum
Sampai saat ini, penjelasan penyebab HG yang paling banyak
diterima berbagai kalangan adalah “teori hormon”. Banyak penelitian
yang menunjukkan hubungan antara peningkatan hCG dengan muntah
patologis pada kehamilan. Berbagai penyebab fisik lain juga
dikemukakan dalam berbagai diskusi namun belum terdapat penelitian
yang memuaskan. HG lebih sering terjadi pada usia kehamilan muda
ketika plasenta dan korpus luteum bersama-sama memproduksi hormon
seperti progesteron dan hCG (Verberg et al., 2005). HG diyakini juga
Hipotesis I: faktor endokrin
Hipotesis II: faktor non endokrin
Hipotalamus/ korteks adrenal
Kortisol/ ACTH
Overaktif HPA aksis
Kelenjar Tiroid
TSH/ Tiroksin
Tirotoksikosis pada kehamilan
Overaktif sistem imun
Penyebab-penyebab Imunologis
Corpus luteum hCG
Infeksi H. pyloriPenyebab-
penyebab infeksi
Plasenta Estrogen/ Progesteron
Perubahan GIT GIT Penyebab anatomik
Defisiensi Vitamin
Penyebab-penyebab saraf
Defisiensi Vitamin
Penyebab Psikologis
sebagai penyakit kompleks hasil interaksi berbagai faktor baik itu
biologis, psikologis, maupun sosial-kultural (Pirimoglu et al., 2010).
Terdapat etiologi lain seperti imunologis dan infeksi bakteri serta
kelainan anatomis (Verberg et al., 2005). Buhling & David (2006)
membagi patogenesis HG menjadi 2 hipotesis, hipotesis I dengan
penyebab endokrin, dan hipotesis II dengan penyebab non-endokrin.
Gambar 2.2. Patogenesis Hiperemesis Gravidarum (Buhling & David,
2006).
a. Hipotesis Endokrin
Hormon-hormon endokrin meliputi hCG, TSH/ tiroksin, estrogen/
progesteron, kortisol/ ACTH, prolaktin, dan leptin.
1) Human Chorionic Gonadotropin (hCG)
hCG sering disebut sebagai penyebab paling mungkin dari
HG. Berbagai penelitian menunjukkan kadar hCG diketahui
lebih tinggi pada kehamilan kembar, mola hidatidosa, kehamilan
dengan janin perempuan, dan kehamilan dengan down
syndrome. Mekanisme hCG menyebabkan HG belum diketahui
dengan jelas, namun diyakini kadar hCG yang tinggi
menstimulasi pengeluaran enzim saluran pencernaan atas dan
merangsang peningkatan fungsi tiroid karena strukturnya yang
mirip dengan Thyroid Stimulating Hormone (TSH).
Berbagai penelitian lain pada pasien dengan HG
menunjukkan bahwa bukan semata-mata tingginya kadar hCG
yang menyebabkan HG, namun HG disebabkan oleh isoform
spesifik hCG seperti hCG dengan rantai asialo-carbohydrate.
Berbagai pola isoform hCG yang berbeda-beda pada pasien
dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan jangka panjang atau
faktor genetik (Verberg et al., 2005).
Terdapat 4 varian hCG, masing-masing diproduksi oleh jenis
sel yang berbeda. Semua varian hCG tersebut memiliki subunit
amino yang sama yaitu subunit-β hCG. Keempat varian tersebut
adalah hCG yang diproduksi oleh vili sel-sel sinsitiotrofoblas,
hCG-hiperglikosilat yang diproduksi oleh sel-sel sitotrofoblas,
subunit β-bebas yang diproduksi oleh sel-sel kanker non-
trofoblas, dan hCG hipofisis yang diproduksi oleh sel-sel
gonadotropin pada hipofisis anterior. hCG dan hCG-
hiperglikosilat disekresikan oleh blastokista untuk
mempersiapkan implantasi pada endometrium. hCG-
hiperglikosilat kemudian memicu diferensiasi sel-sel
sitotrofiblas menjadi sinsitiotrofoblas. Sinsitiotrofoblas
kemudian memproduksi hCG dan bersama-sama dengan LH
memicu produksi progesteron oleh korpus luteum sampai
plasenta dapat membuat cukup progesteron sendiri. Selain
produksi progesteron, hCG memiliki berbagai fungsi lain yang
diketahui dari terdapatnya reseptor hCG pada berbagai organ
baik itu fetal maupun maternal. Diantara lokasi reseptor hCG
tersebut adalah pada otak ibu, yaitu pada hipokampus,
hipotalamus, dan batang otak, yang diyakini menjadi penyebab
terjadinya HG (Cole, 2010).
Penelitian sampai saat ini menunjukkan hubungan antara HG
dengan kadar hCG, namun mekanisme patogenesisnya belum
diketahui dengan pasti. Hal ini diantaranya dikarenakan kondisi
dengan kadar hCG tinggi seperti pada choriocarcinoma atau
pada pemberian HCG selama fase luteal untuk memicu maturasi
oosit tidak menimbulkan gejala mual-muntah seperti pada HG.
Selain itu terdapat banyak pasien yang memiliki kadar HCG
tinggi namun tidak menderita HG, sebaliknya terdapat pasien
yang terus mengalami HG bahkan setelah melewati trimester
pertama dimana kadar HCG sudah turun (Verberg et al., 2005).
2) TSH/ Tiroksin
Kelenjar tiroid terstimulasi selama awal kehamilan secara
fisiologis. Terkadang kadar hormon tiroid menyimpang dari
nilai normal, menyebabkan kondisi gestational transient
thyrotoxicosis (GTT). GTT terdapat pada dua pertiga wanita
dengan HG. Estrogen menyebabkan produksi thyroid-binding
globulin meningkat dan metabolisme T4 menurun, menyebabkan
penurunan sementara kadar T4 bebas (Verberg et al., 2005).
Peningkatan kadar hCG menyebabkan peningkatan stimulasi
kelenjar tiroid, begitu pula dengan hipersensitifitas reseptor
hormon tiroid terhadap hCG, atau produksi salah satu jenis hCG
yang lebih kuat merangsang kelenjar tiroid. Saat kadar hCG
mencapai puncak saat kehamilan normal, kadar TSH serum
menurun sementara triiodotironin bebas dan T4 bebas meningkat
menunjukkan peran hCG dalam stimulasi hormon tersebut.
Hipersensitifitas reseptor TSH didapatkan pada keluarga dengan
riwayat GTT dan HG. Anggota keluarga dengan riwayat HG
berulang diketahui memiliki mutasi pada domain ekstraseluler
reseptor TSH yang menyebabkan reserptor tersebut responsif
terhadap hCG. Pasien HG dengan hipertiroid memiliki kadar
elektrolit abnormal, peningkatan kadar enzim hati, dan gejala
muntah yang lebih parah (Verberg et al., 2005).
Hipertiroidisme juga dapat dikaitkan dengan HG. Sementara
T3 dan T4 berada di kisaran normal, ekspresi thyroid stimulating
hormone (TSH) mengalami penurunan. GTT mungkin berlaku
sampai minggu ke-18 kehamilan dan tidak memerlukan
pengobatan. Kondisi untuk diagnosis THHG adalah (Mylonas,
2007):
a) Berdasarkan hasil serologi patologis yang diambil selama
HG
b) Tidak ada hipertiroidisme sebelumnya pada kehamilan
c) Tidak ada tanda-tanda klinis hipertiroidisme
d) Antibodi negatif.
Banyak bukti ilmiah yang mendukung hubungan antara kadar
hCG dengan GTT, namun perannya dalam HG masih belum
jelas. Kondisi lain hipertiroid seperti penyakit Grave tidak
menunjukkan gejala mual-muntah seperti pada HG, prevalensi
hipertiroid cukup tinggi namun tidak hanya terdapat pada pasien
HG, serta banyak pasien HG yang tidak menderita hipertiroid
(Verberg et al., 2005).
3) Estrogen/ Progesteron
Prevalensi HG lebih tinggi pada pasien dengan kadar
estrogen tinggi, seperti pada indeks masa tubuh (IMT) ibu hamil
yang tinggi, kehamilan pertama, dan fetus dengan undescended
testis. Didapatkan juga insidensi karsinoma testis pada pria
dengan riwayat HG saat kehamilannya. Pada pengobatan dengan
estrogen sering didapatkan efek samping berupa mual, hal ini
mendukung hipotesis bahwa estrogen mungkin merupakan
penyebab HG (Verberg et al., 2005).
Kadar estrogen tinggi memperlambat pengosongan lambung
dan menurunkan waktu transit usus halus, serta meningkatkan
akumulasi cairan (Verberg et al., 2005). Meskipun demikian,
belum terdapat penjelasan pasti mengenai hubungan langsung
estrogen dengan HG, mengingat HG lebih sering terjadi pada
TM pertama sementara kadar estrogen terus meningkat seiring
bertambahnya usia kehamilan, begitu pula dengan kehamilan
yang diinduksi controlled ovarian stimulation (COS) dimana
kadar estrogen sangat tinggi, tidak menyebabkan insidensi HG
meningkat (Verberg et al., 2005).
Diantara berbagai hormon pada kehamilan, pasien dengan
HG memiliki kadar progesteron yang abnormal. Sebagian besar
memiliki kadar progesteron yang lebih rendah, sebagian yang
lainnya memiliki kadar progesteron yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol. Namun demikian, tidak
didapatkan korelasi yang jelas antara HG dengan kadar
progesteron, mengingat tidak terdapat perbaikan kondisi pasien
HG yang mendapatkan pengobatan dengan progesteron.
Kehamilan dengan peningkatan kadar progesteron iatrogenik
seperti kehamilan dengan korpus luteum multipel karena COS,
atau kehamilan dengan pemberian progesteron untuk
mendorong fase luteal tidak menunjukkan kejadian HG,
mengindikasikan bahwa kadar progesteron tinggi (endogen
maupun eksogen) saja tidak menyebabkan HG (Verberg et al.,
2005).
4) Kortisol/ ACTH
Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa insufisiensi
korteks adrenal berhubungan dengan HG. Dapat dikarenakan
insufisiensi produksi ACTH maupun karena ketidakmampuan
aksis hipotalamus-hipofisi-adrenal untuk merespon peningkatan
kebutuhan produk adrenal pada kehamilan awal. Pasien dengan
HG memiliki kadar kortisol serum lebih rendah daripada ibu
hamil tanpa HG (Verberg et al., 2005).
b. Hipotesis Non-Endokrin
Faktor-faktor non-endokrin berupa penyebab imunologis,
infeksi gastrointestinal, kelainan anatomik saluran, dan kelainan
saraf.
1) Imunologis
Selama kehamilan, terdapat perubahan sistem imun humoral
dan selular untuk melindungi janin dan desidua dari kerusakan
karena sistem imun ibu. HG diperkirakan disebabkan oleh
sistem imun yang mengalami overeaktif. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa pasien dengan HG memiliki kadar IL-6,
TNF-α, T-helper 2, IgG, IgM, C3, C4, limfosit, sel NK, 5’-
nucleotidase, dan atau adenosine deaminase yang lebih tinggi.
Namun belum dapat disimpulkan dari berbagai penelitian
tersebut apakah aktivasi sistem imun yang terjadi merupakan
penyebab atau merupakan reaksi terhadap HG (Verberg et al.,
2005).
2) Infeksi Saluran Gastrointestinal
Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa pasien HG
positif terinfeksi H. Pylori 95% dibandingkan dengan kontrol
sebanyak 50%. Infeksi tersebut dapat disebabkan karena
perubahan pH lambung atau perubahan sistem imun terkait
kehamilan. Peningkatan hormon steroid pada wanita hamil
menyebabkan akumulasi cairan pada lambung dan
mengakibatkan penurunan pH lambung sehingga pasien lebih
suseptibel terhadap infeksi H. Pylori. Perubahan sistem imun
humoral dan seluler selama kehamilan juga meningkatkan
suseptibilitas terhadap infeksi.
Meskipun diyakini bahwa infeksi H. Pylori lebih sering
terjadi pada pasien HG, banyak wanita hamil yang terinfeksi H.
Pylori tidak menunjukkan gejala-gejala HG. Begitu pula
hubungannya dengan hormon steroid, jika infeksi tersebut
berhubungan dengan peningkatan hormon steroid, seharusnya
gejala memberat pada akhir kehamilan saat imunitas pasien
lebih teraktivasi. Hipotesis yang lebih diterima adalah kerusakan
saluran gastrointestinal atas akibat muntah yang terus- menerus
meningkatkan suseptibilitas pasien terhadap infeksi H. Pylori
(Verberg et al., 2005).
Studi lain menemukan genom H. pylori dalam air liur 61,8%
dari pasien dengan HG (21 dari 34 pasien), dibandingkan
dengan 27,6% dari wanita hamil tanpa gejala. Hubungan ini
tampaknya dikonfirmasi oleh fakta bahwa dalam dua studi
observasional dengan total lima pasien, tidak ada perbaikan
dalam gejala terjadi setelah perawatan obat standar, sedangkan
pengobatan antibiotik untuk H. pylori menghasilkan perbaikan
gejala yang jelas (Mylonas, 2007).
3) Kelainan Anatomis
Verberg et al. (2005) mengemukakan bahwa terdapat
kelainan anatomis pada penderita HG. Diantaranya adalah
terdapatnya perubahan bentuk pada korteks adrenal pada pasien
HG seperti pada penderita penyakit Addison, selain itu
ditemukan pula bahwa secara statistik HG terjadi pada penderita
dengan corpus luteum dari ovarium sebelah kanan.
4) Kelainan Saraf
Mual diyakini sebagai hasil dari penolakan terhadap
kehamilan seorang wannita yang belum siap menjadi seorang
ibu karena imaturitas kepribadian, masih banyak tergantung
kepada orangtua, ketakutan, dan tekanan karena kehamilan.
Pendapat lain menyatakan bahwa HG merupakan kelainan
seksual yang berasal dari ketidaksukaan terhadap jenis kelamin.
HG juga dijelaskan sebagai gejala histeria konversi, neurosis,
atau depresi, dan HG dapat berasal dari stress psikososial,
kemiskinan, dan konflik pernikahan.
Berbagai hipotesis biologis HG belum dapat memberikan
penjelasan yang memuaskan, faktor psikologis diyakini
memiliki peranan yang dominan dalam patofisiologis HG.
Insidensi HG didapatkan lebih rendah saat masa perang,
perawatan di RS menjauhkan lingkungan pasien dari pasangan
atau keluarga menurunkan keluhan muntah, serta terdapat
perbedaan insidensi HG antar etnis. Namun ada peneliti lain
yang menyatakan bahwa gejala-gejala psikologis pasien HG
merupakan hasil dari stress dan beban fisik HG bukan
merupakan penyebab (Verberg et al., 2005).
Beberapa postulat penyebab psikologis dapat dibagi menjadi
4 kategori sebagai berikut (Cole, 2010):
a) HG merupakan ekspresi berbagai konflik, seperti penolakan
terhadap kehamilan, konflik perasaan yang bertentangan
akan menjadi ibu, kepribadian kekanak-kanakan, terlalu
bergantung terhadap ibu, atau ketakutan akan kehamilan
b) HG merupakan sebuah ekspresi dari kelainan seksual
c) HG merupakan gejala konversi, sebuah ekspresi histeria,
neurosis, atau depresi
d) HG merupakan akibat dari stress psikososial, pengalaman
terhadap kekerasan, atau konflik dalam hubungan dengan
pasangan.
Dalam studi yang paling terkenal, indeks psikologis medis
Cornell diukur pada 44 pasien hamil dengan, dan 49 wanita
hamil tanpa HG. Tes Minnesota Multiphasic Personality
Psychology Inventory (MMPI) diberikan hanya pada wanita
hamil dengan HG (Mylonas, 2007; Sheehan, 2007). Kedua studi
dengan skor pertanyaan yang berbeda menunjukkan bahwa
pasien dengan HG memiliki ikatan yang berlebihan dengan ibu
mereka dan lebih sering bersifat histeris dan kepribadian
kekanak-kanakan. HG lebih sering terjadi pada gangguan
kepribadian dan gangguan depresif, tetapi hubungannya belum
dipelajari sampai batas yang cukup (Mylonas, 2007).
3. Patofisiologi Gejala
Hiperemesis gravidarum ini dapat mengakibatkan cadangan
karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi. Karena
oksidasi lemak yang tak sempurna, terjadilah ketosis dengan
tertimbunnya asam aseton asetik, asam hidroksi butirik dan aseton
dalam darah. Kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan cairan
karena muntah menyebabkan dehidrasi, sehingga cairan ekstraseluler
dan plasma berkurang. Natrium dan khlorida darah turun, demikian
pula khlorida air kemih. Pada pasien ini terdapat penurunan kadar
kalium dalam darah. Selain itu dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan asam basa, berupa alkalosis metabolik akibat hilangnya
asam karena muntah-muntah berlebihan ataupun asidosis metabolik
akibat peningkatan asam (ketosis). Selain itu juga terjadi dehidrasi yang
menyebabkan:
a. Penurunan saliva, yang berakibat mulut dan faring kering
b. Peningkatan osmolaritas darah, yang akan merangsang
osmoreseptor di hipothalamus
c. Penurunan volume darah yang berakibat penurunan tekanan darah,
sehingga renin akan meningkat, begitu juga angiotensin II.
Ketiga hal tersebut akan merangsang pusat rasa haus di
hipothalamus, yang seharusnya akan meningkatkan intake cairan,
namun karena terdapat mual dan muntah yang tidak bisa ditoleransi
akibatnya cairan juga tidak dapat masuk per oral, sehingga cairan tubuh
tidak mencapai kadar normal dan dehidrasi tetap terjadi (Ogunyemi,
2007).
Karena muntah terus terjadi dan tidak ada makanan yang dapat
masuk, cadangan karbohidrat pun sangat bekurang, sehingga untuk
memenuhi kebutuhan respirasi sel dan menghasilkan ATP dipakai jalur
pemecahan lemak (katabolisme lipid/lipolisis) secara berlebihan, bukan
memakai jalur glikolisis. Asam lemak dikatabolisis. Asam lemak
dikatabolisme di mitokondria melalui proses yang dinamakan beta
oxidation, yang akhirnya membentuk acetyl coA. Acetyl coA akan
masuk ke dalam siklus krebs. Hepatosit akan mengambil dua molekul
acetyl coA dan terkondensasi, dan aseton (keton bodies). Proses
tersebut dinamakan ketogenesis. Keton-keton tersebut akan mudah
berdifusi ke membran plasma, meninggalkan hepatosit untuk kemudian
masuk ke dalam aliran darah. Akibatnya terjadi ketosis dalam darah,
yang kemudian dikeluarkan melalui urine, sehingga pada hiperemesis
gravidarum lanjut didapatkan keton pada urine (Ronardy, 2006).
Selain itu dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi, sehingga aliran
darah ke jaringan berkurang. Sehingga jumlah zat makanan dan oksigen
ke jaringan berkurang dan tertimbunnya zat metabolik yang toksik.
Kekurangan kalium sebagai akibat dari muntah dan bertambahnya
ekskresi lewat ginjal, menambah frekuensi muntah-muntah yang lebih
banyak, dapat merusak hati, dan terjadilah lingkaran setan yang sulit
dipatahkan.
C. Pembahasan Permasalahan Kedua
Psikologis pasien
Penyebab hiperemesis gravidarum selama trimester pertama umumnya
adalah gangguan psikosomatik, yang dapat dijelaskan dengan takut menjadi
orang tua. Wanita hamil dengan stress dan ketegangan emosional sering
memiliki kondisi ini. Permasalahan psikologis pasien ini yaitu ketidaksiapan
pasien menghadapi kehamilan ini dan trauma persalinan sebelumnya. Mual
dan muntah yang dialami seorang wanita hamil dianggap mewakili berbagai
konflik psikologis. Ketidakmatangan psikoseksual, pertentangan di keluarga,
kesulitan sosio-ekonomi, konflik rumah tangga, ketakutan akan persalinan
ataupun kehamilan yang tidak diinginkan dapat menyebabkan konflik mental
terhadap keengganan menjadi hamil atau sebagai pelarian kesukaran hidup.
Namun menurut penelitian, faktor neurogenik juga berperan, terbukti dengan
membaiknya klinis pasien bila jauh dengan rumah (di rumah sakit). Ada juga
yang menyatakan bahwa efek psikologis (frustrasi, depresi, terisolasi, dan
lain-lain) adalah akibat dari hiperemesis gravidarum dan bukan penyebabnya
(Ronardy, 2006).
Tenaga kesehatan perlu meyakinkan penderita bahwa penyakit ini dapat
disembuhkan. Menghilangkan rasa takut karena kehamilan, mengurangi
pekerjaan serta menghilangkan masalah dan konflik yang menjadi latar
belakang masalah ini (psikosomatis). Adapun pendapat bahwa muntah
merupakan respon bawah sadar terhadap kehamilan yang tidak diharapkan.
Pengaruh psikologi apapun harus diselesaikan dan dilakukan konseling jika
dibutukan (Jueckstock et al. 2010; Mylonas. 2007).
D. Pembahasan Permasalahan Ketiga
1. Rawat inap dan penatalaksanaan
Penatalaksanaan hiperemesis gravidarum sangat beragam tergantung
dari beratnya gejala yang terjadi. Tatalaksana dini memberikan prognosis
baik pada pasien. Ketika mengobati ibu dengan HG, pencegahan serta
koreksi defisiensi nutrisi adalah prioritas utama agar ibu dan bayi tetap
dalam keadaan sehat. Perubahan pola makan dan gaya hidup umumnya
cukup untuk mengatasi gejala awal HG dan meningkatkan kualitas hidup.
Indikasi pasien dapat dirawat inap adalah mual muntah berlebih
disertai gangguan elektrolit dan cairan. Pada rawat inap, penderita
sebaiknya disendirikan (isolasi) dalam kamar yang tenang, tetapi cerah
dan peredaran udara baik. Mencatat cairan yang keluar dan masuk. Hanya
dokter dan perawat yang boleh masuk ke dalam kamar penderita, sampai
muntah berhenti dan penderita mau makan. Tidak diberikan
makanan/minum selama 24 jam. Kadang – kadang dengan isolasi saja
gejala – gejala akan berkurang atau hilang tanpa pengobatan (MacGibon,
2010). Terapi yang diberikan pada ibu yang mengalami HG adalah :
1. Rehidrasi oral maupun parenteral
Pada kasus hiperemesis gravidarum dengan muntah yang sering
hingga menyebabkan dehidrasi dan turunnya berat badan, harus segera
mendapat terapi cairan. Langkah utama dalam terapi hiperemesis
gravidarum adalah rehidrasi oral yang cukup untuk menghindari
dehidrasi. Dehidrasi akan memperburuk rasa mual. Resusitasi cairan
merupakan prioritas utama, untuk mencegah mekanisme kompensasi
yaitu vasokntriksi dan gangguan perfusi uterus. Selama terjadi
gangguan hemodinamik, uterus termasuk organ non vital sehingga
pasokan darah berkurang.
Pada kasus hiperemesis gravidarum, jenis dehidrasi yang terjadi
adalah dehidrasi karena kehilangan cairan (pure dehidration), maka
tindakan yang dilakukan yaitu mengganti cairan tubuh yang hilang ke
volume normal, osmolaritas yang efektif dan komposisi cairan yang
tepat untuk keseimbangan asam basa. Pemberian cairan untuk
dehidrasi harus memperhitungkan secara cermat berdasarkan berapa
jumlah cairan yang diperlukan, defisit natrium, defisit kalium, dan ada
tidaknya asidosis. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk
menghitung jumlah cairan rehidrasi awalan :
1. Berdasarkan klinis dehidrasi, bila ada rasa haus dan tidak ada
tanda klinis dehidrasi maka kehilangan cairan kira – kira 2%. Jika
berat badan 50kg maka defisit air sekitar 1000ml. Bila terdapat
rasa haus dan oliguria, mulut kering diperkirakan defisit 6% atau
3000 ml. Bila ada tanda – tanda diatas ditambah perubahan
mental maka defisit sekitar 7 – 14% atau sekitar 3,5 – 7 liter.
2. Jika pasien ditimbang maka kehilangan berat badan 4 kg pada
fase akut sama dengan defisit 4 liter
Rencana rehidrasi sebaiknya dikaitkan dengan jumlah cairan
yang dibutuhkan selama 24 jam berikutnya, yaitu menjumlahkan
defisit cairan dengan 2000 ml. Bila pasien dapat menelan, air
diberikan peroral. Bila kesulitan maka rehidrasi diberikan perinfus.
Jenis cairan yang diberikan hingga kini masih diperdebatkan apakah
menggunakan kristaloid atau koloid. Umumnya kehilangan cairan
diganti dengan cairan isotonik (RL, normal saline). Bila menggunakan
normal saline jangan diberikan dalam jumlah banyak karena dapat
menyebabkan delusional acidosis atau hyperchloremic acidosis. Bila
diperlukan dapat ditambahkan ion kalium.
Resusitasi dikatakan adekuat bila terdapat parameter seperti
tekanan darah arteri rata – rata 70 – 80 mmHg, denyut jantung <
100x/menit, ekstremitas hangat dengan pengisian kapiler baik,
susunan saraf pusat baik, produksi urin 0,5 – 1 ml/kgBB/jam dan tidak
ada asidosis berlanjut. Setelah tercapai rehidrasi, pemberian cairan
harus terus diberikan dalam bentuk rumatan, contoh cairan yang
sering dipakai adalan Kaen Mg. Setelah tercapai rehidrasi, pasien
dengan hiperemesis gravidarum secara bertahap dapat mulai
diberikan makanan dan minuman dengan jumlah sedikit namun sering
2. Terapi nutrisi
3. Perubahan gaya hidup dan psikologi
a. Mencatat hal – hal yang dapat memicu mual dan muntah seperti
makanan, aroma khas, aktivitas. Menghindari pemicu – pemicu
tersebut
b. Menghindari tempat bersuhu panas dan ventilasi buruk. Suasana
panas dapat memperburuk mual. Pastikan ruangan memiliki
sirkulasi udara yang baik dan terkena sinar matahari.
c. Duduk sejenak setelah makan dan untuk mengurangi refluks
lambung
d. Menghindari tekanan psikologis (Ogunyemi dan Chelmow,
2011).
4. Farmakologis
a. Obat – obatan pada penderita hiperemesis gravidarum diberikan
jika : Penggunaan obat pada ibu hamil harus berdasar prinsip the
risk versus the benefits. Mempertimbangkan besarnya resiko
obat terhadap ibu dan janin dibandingkan dengan resiko
dehidrasi malnutrisi pada ibu dan janin. Manfaat harus lebih
besar , resiko penggunaan obat lebih kecil daripada resiko
malnutrisi penurunan berat janin serta apabila gejala tidak
berkurang dengan pengelolaan non medikamentosa.
b. Antihistamin :
Antihistamin yang digunakan adalah Antagonis reseptor H1.
Suatu penelitian randomized control trial menunjukkan bahwa
antihistamin berguna mengurangi mual muntah pada kehamilan.
Kombinasi antihistamin dengan Pyridoxine efektif sebagai
profilaksis pada wanita hamil dengan riwayat HG pada
kehamilan sebelumnya. Bendectin merupakan obat kombinasi
yang berisi vitamin B6 (pyridoxine) dan antihisamin,
doxylamine. Tahun 1983 Bendectin ditarik dari pasaran karena
banyaknya isu meningkatkan resiko deformitas pada bayi.
Namun isu teratogenik tersebut belum terbukti secara ilmiah.
Kini banyak praktisi kesehatan menggunakan pyridoxine dan
antihistamine sebagai dua obat sekaligus yang diberikan pada
penderita Hiperemesis Gravidarum. Kombinasi ini merupakan
lini pertama terapi wanita hamil di UK. Antihistamin yang
digunakan yaitu Promethazine, Meclizine, Cyclizine.
Promethazine diberikan 12,5mg peroral atau rectal setiap 4 jam.
(Ogunyemi dan Chelmow, 2011, Sheehan, 2007)
c. Vitamin :
1. Pyridoxine (Vitamin B6)
Dosis efektif Pyridoxine yaitu 30 – 75 mg/hari, dengan efek
samping yang dapat ditoleransi tubuh. Pyridoxine diberikan
3 kali sehari 10 – 25mg dimulai dengan dosis rendah.
Pyridoxine dapat mengurangi mual muntah dan terbukti
lebih efektif daripada placebo. Dosis dapat dinaikkan hingga
200 mg tanpa efek samping (Jueckstock et al. 2010).
2. Thiamine (vitamin B1)
Thiamine, dikenal juga dengan B1 atau aneurin, sangat
penting dalam metabolisme karbohidrat. Peran utama tiamin
adalah sebagai bagian dari koenzim dalam dekarboksilasi
oksidatif asam alfa-keto. Gejala defisiensi akan muncul
secara spontan berupa beri-beri pada manusia. Penyakit
tersebut ditandai dengan penimbunan asam piruvat dan
asam laktat, terutama dalam darah dan otak serta kerusakan
dari sistem kardiovaskuler, syaraf dan alat pencernaan.
Defisiensi thiamine ini menimbulkan rangkaian proses dan
gejala yang disebut Encephalopathy Wernick (Chiossi et al,
2006, Zempleni, et al,2007).
Defisiensi tiamin ini akan menyebabkan gangguan saraf
pusat, antara lain memori berkurang atau hilang, nistagmus,
optalmoplegia, dan ataksia. Gangguan juga terjadi pada
saraf tepi, berupa neuropati perifer. Gangguan yang lain
berupa kelemahan simetrik (badan sangat lemah),
kehilangan fungsi sensorik, motorik dan reflek kaki. Timbul
beri-beri jantung, dengan gejala jantung membesar, aritma,
hipertensi, odema, dan kegagalan jantung (Zempleni, et
al,2007).
Pasien dengan kecurigaan ensefalopati Wernicke,
direkomendasikan pemberian 100mg thiamin intravena atau
intramuscular selama 5 hari berturut – turut. Pemberian
glukosa tanpa thiamin dapat memicu atau memperburuk
sindrom ini, sehingga thiamin harus diberikan sebelum
glukosa. Thiamin diberikan secara parenteral karena
penyerapan thiamin pada gastrointestinal tidak menentu
pada pasien beralkohol dan kurang gizi. Pemberian oral
harian 100mg thiamin harus dilanjutkan setelah pengobatan
parenteral dan setelah keluar dari rumah sakit sampai pasien
tidak lagi dianggap beresiko. Magnesium dan vitamin
lainnya juga dikoreksi bersama dengan defisit gizi lainnya.
Normal asupan tiamin untuk orang dewasa adalah antara 1,0
– 1,5 mg/hari. Jika makanan terlalu banyak mengandung
karbohidrat, maka dibutuhkan lebih banyak tiamin. Tanda-
tanda defisiensi tiamin antara lain menurunnya nafsu makan,
depresi mental (Peripheral neurophaty) dan lemah. Pada
defisiensi kronis, maka muncul gejala kelainan neurologist,
seperti kebingungan (mental), dan kehilangan koordinasi
mata (Ogunyemi dan Chelmow,2011, Zempleni, et al,2007).
3. Cyanokobalamin ( vitamin B12)
Pada gastritis kronik, gastric atrophy dapat menyebabkan
malabsorbsi vitamin B12 yang berujung pada defisiensi
vitamin B12. Gejala klasik defisiensi B12 berupa anemia
megaloblastik hanya terjadi pada defisiensi vitamin B12
yang berat, tetapi manifestasi neuropsikiatrik dan
abnormalitas metabolisme dapat terjadi sebelum konsentrasi
B12 dalam serum mencapai kadar defisiensi vitamin B12.
Cut off point vitamin B12 yaitu <221 pmol/L pada
defisiensi ringan dan <148 pmol/L pada defisiensi berat.
Pada wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum, resiko
infeksi Helicobacter pylori meningkat, intake vitamin B12
inadekuat. Patogen H. pylori pada lambung dapat
menginisiasi destruksi autoimun pada mukosa lambung
sehingga menyebabkan malabsorbsi vitamin B12. Pada
penderita hiperemesis gravidarum vitamin B12 dapat
diberikan dengan dosis 12,5 mg 3-4 kali sehari (Zempleni, et
al,2007).
d. Antiemetik untuk mengatasi mual dan muntah menggunakan :
1. serotonin agonis
Jika terdapat bebeapa pemicu emesis, medikasi harus
dipusatkan pada pusat muntah di otak (serotonin antagonists
merupakan terapi yang paling efektif). Serotonin agonis
merupakan antagonis 5-HT3 receptors yang sangat selektif
bekerja di vagus, CTZ (chemotrigger zone) and
gut. Seorotnin agonist merupakan obat kelas B. Serotonin
antagnists (ondansetron, dolasetron, granisetron) merupakan
dose-dependent drugs. Semakin tinggi dosis, semakin tinggi
pula manfaat dan efek sampingnya. Penurunan dosis
bertingkat serta frekuensi, penting dilakukan untuk
mencegah relaps. Ondansetron 4-8mg peroral atau intravena
setiap 8 jam , diberikan pada HG yang sulit disembuhkan
Respon individual dapat bervariasi. Penatalaksanaan harus
dipusatkan pada pemicu mual dan muntah. Jika penderita
muntah terus menerus, dosis oral tidak akan efektif. Maka
terapi diberikan dengan beberapa dosis intravena diikuti
dosis oral . Efek samping yang mungkin terjadi adalah nyeri
kepala, abnormalitas fungsi hati, konstipasi, diare
(American Pregnancy Association,2006, Ogunyemi dan
Chelmow,2011)
2. dopamine (D2) receptor antagonist
metoklopramid bekerja dengan memblok reseptor dopamin
pada chemoreseptor trigger zone (CTZ), meningkatkan
peristaltik dan mempercepat pengosongan lambung.
Metoklopramida dapat meningkatkan motilitas dan tonus
pada kontraksi lambung (terutama pada bagian antrum),
merelaksasi sfingter pilorus dan bulbus duodenum, serta
meningkatkan paristaltik dari duodenum dan jejunum
sehingga dapat mempercepat pengosongan lambung dan
usus. Metoklopramid merupakan first-line pharmacologic
treatment untuk hiperemesis gravidarum dan telah terbukti
efektif. Terdapat dalam bentuk injeksi, oral, dan
suppositoria. Efek sampingnya berupa sindrom
ekstrapiramidal dan tardive dyskinesia Sediaan injeksi yaitu
5mg/ml. Sediaan oral yaitu 10 mg 3 – 4 kali sehari.
Merupakan obat dengan kategori A pada kehamilan.
(MacGibbon, 2010, Ogunyemi dan Chelmow, 2011,
Sheehan, 2007).
e. Obat yang bekerja pada saluran pencernaan.
Obat – obatan ini bertujuan untuk mengurangi produksi
asam lambung dan mengatasi refluks (isi lambung yang kembali
menuju esophagus) : Ranitidine, Famotidine, Lansoprazole.
Infeksi H pylori terjadi pada 90% penderita hiperemesis
gravidarum dan dapat memperburuk mual dan muntah pada
kehamilan dengan pembentukan ulkus peptikum. Terapi yang
dapat diberikan yaitu sesuai dengan guideline pada penderita
tidak hamil yaitu triple therapy. triple therapy yaitu PPI(proton
pump inhibitor) dan dua dari tiga antibiotic berikut clarithromycin,
amoksisilin atau metronidazol selama 7-10 hari. Triple therapy
sebagai terapi standar lini pertama karena memiliki tolerabilitas tinggi
dan mudah dalam pemberiannya. Kesukesan eradikasi H.pylori
dengan terapi ini bervariasi antara 70%-95% (Ghany,2005,
Ogunyemi dan Chelmow,2011)
f. Kortikosteroid
Kortikosteroiod diberikan pada hiperemesis gravidarum berat
yang kurang berespon baik terhadap terapi antiemetic. Efek
samping yang mungkin terjadi adalah penurunan berat badan,
mual dan muntah. Steroid digunakan untuk hiperemesis
gravidarum yang sulit disembuhkan. Penggunaan steroid jangka
panjang dan dosis tinggi pada trimester pertama dicurigai dapat
mempengaruhi perkembangan otak janin. Wanita dengan
hipotiroid berespon lebih aktif terhadap kortikosterod. Penderita
dengan DM tipe 1 akan mengalami 40% peningkatan insulin jika
steroid diawali dengan dosis tinggi. Kortikosteroid dapat
melewati plasenta. Komplikasi seperti penurunan berat badan,
peningkatan resiko preeklamsi dan peningkatan resiko bibir
sumbing telah dilaporkan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan the Collaborative Perinatal Project pada 50,282
pasangan ibu dan anak, 34 ibu terpapar cortisone pada trimester I
dan tidak terbukti adanya hubungan antara defek congenital
dengan pemakaian cortisone. Methylprednisolone dalam
kehamilan masuk dalam obat kategori C. Prednisone dalam
kategori B dan cortisone dalam kategori D. Metilprednisolon
diberikan 16mg peroral setiap 8 jam selama 3 hari dengan tapering
sampai dosis efektif terendah. Metilprednisolon dikabatkan
meningkatkan resiko bibir sumbing pada 10 minggu pertama
kehamilan (Mac Gibbon, 2010, Ogunyemi dan Chelmow, 2011).
Food abstinence
Fluid substition
Dimenhydrinate
MidazolamMetoclopramid
eH2 bloker/PPI
Psychosomatic counseling
Dietary infusion medication Psychosomatic care
Parenteral nutrition Fluid balance Other disease
Symptoms
Recovery Aggravation Recovery aggravation
Laboratory controlsWeight controlsmonitoring
aggravation
MedicationPsychosomatic care
Ambulatory setting hospitalisation
Nausea and vomitting during pregnancy
Differential diagnosis
Food poisoning Iron substitution Emesis gravidarum hiperemesis gravidarum Drug intoxication preeclamsia
Dietary advice lifestyle advise
2. Terapi nutrisi
Pada kasus hiperemesis gravidarum jalur nutrisi tergantung pada
derajat muntah, berat ringannya deplesi nutrisi dan penerimaan
penderita terhadap rencana pemberian makanan. Pada prinsipnya, bila
memungkinkan saluran cerna harus digunakan. Bila dicoba peroral
menemui hambatan dicoba untuk menggunakan nasogastric tube
(NGT). Penggunaan saluran cerna banyak keuntungan yaitu dapat
mengabsorbsi lebih banyak nutrient daripada parenteral, adanya
mekanisme defensif untuk menaggulangi infeksi dan toksin.
a. Nutrisi enteral dan parenteral
Gambar 2.3. manajemen penatalaksanaan hiperemesis gravidarum (Mylonas et al 2007)
Jika terjadi dehidrasi atau penderita tidak dapat mentoleransi terapi
oral, maka terapi cairan dan nutrisi enteral atau parenteral dapat
diberikan. Nutrisi enteral dan parenteral diberikan pada penderita
hiperemesis gravidarum yang berada dalam derajat muntah yang
hebat, terus mengalami penurunan berat badan atau gagal dengan
terapi konservatif dan biasanya gejala – gejala tersebut dapat
ditemukan pada penderita prolonged hyperemesis gravidarum.
1. Terapi nutrisi parenteral
NPT mensuplai nutrisi ibu sehari hari, menggunakan sebuah
kateter yang disebut PICC (peripherally inserted central catheter)
line yang dipasang di vena perifer pada tangan, bahu atau leher
(vena sentral pada arteri carotis). Kateter dimasukkan hingga
mencapai vena cava superior. Jalur ini memungkinkan masuknya
nutrisi yang terkonsentrasi tanpa merusak pembuluh darah.
Nutrisi vena sentral (NVS) dianggap lebih baik karena
volume darah pada vena sentral secara cepat mendilusi cairan
nutrien yang hipertonik sehingga dapat mencegah flebitis dan
trombosis. Selain itu NVS dapat menyalurkan nutrisi dalam
jumlah yang adekuat. Nutrisi vena perifer tidak dapat
memberikan kapasitas yang sama. Namun nutrisi parenteral yang
menggunakan vena perifer dapat pula menimbulkan sepsis dan
komplikasi metabolik. Selain itu tidak digunakannya saluran
cerna untuk waktu lama dapat menimbulkan atrofi mukosa dan
sepsis enterogenik. Sehingga nutrisi parenteral digunakan sebagai
jalan terakhir pemberian makan.
NPT tidak dapat memberi nutrisi yang lengkap dan harus
mengevaluasi kalori yang dibutuhkan seperti kadar vitamin dan
mineral berdasar usia gestasinya. Pemberian NPT memiliki resiko
yang cukup besar karena ia memotong jalur mekanisme regulasi
dan proteksi dan komplikasi pemasangaan yang menggunakan
kateter vena sentral. Komplikasi dapat terjadi pada sebagian
penerima terapi NPT, antara lain yang dapat terjadi antara lain
komplikasi metabolic, infeksi, pancreatitis, hiperkalemi dan syok
septic gram negative. NPT harus diberikan pada wanita yang
tidak berespon baik pada terapi medis dan beresiko kekurangan
gizi.
Table 1.1. Komplikasi NPTKomplikasi metabolic
Hiperglikemi Merupakan komplikasi paling sering, terkait dengan kecepatan infuse dekstrose, konsenttrasi, stress. Dapat menyebabkan hipertrigliseridemia yang dapat menyebabkan pancreatitis. Pemantauan ketat sangat penting selama kehamilan terutama jika menggunakan terapi glukokortikoid
Hipoglikemi Sering terjadi pada pemberhientian TPN tiba – tiba tanpa tapering, terutama pada dekstrose dosis tinggi
Defisiensi asam lemak
Merupakan akibat dari pemberian nutrisi parenteral tanpa administrasi lemak intravena. Dapat terjadi dalam 2 minggu. Replacement sangat penting selama kehamilan
Ketidakseimbangan Elektrolit
Kurang bahkan kelebihan suplai elektrolit melalui TPN
Ketidakseimbangan cairan
Deficit atau overload cairan ( terutama penting diperhatikan pada pasien dengan gangguan ginjal selama kehamilan untuk mempertahankan aliran rahim)
Ketidakseimbangan asam basa
Larutan nutrisi harus memperhatikan status asam basa pasien seperti asam asetat, klorida
Komplikasi hepar Karena administrasi karbohidrat yang berlebihan Refeeding syndrome Metabolism cascade berupa
Hypophosphatemia, hipokalemia, hypomagnesemia, gangguan cairan tubuh, avitaminosis hingga gagal jantung kongestif.
Komplikasi mekanikKateter Pneumothorax, kerusakan pembuluh darah, thrombosis,
oklusi, kerusakan kateter, infeksiInfeksi Demam, nyeri, eritemaEmboli udara Udara masuk ke dalam kateterAlat Terkadang penyaluran kateter menuju vena cava,gagal.Sepsis Bila kekebalan tubuh menurun
2. Terapi nutrisi enteral
Merupakan alternative TPN. Nutrisi dapat diberikan melalui
a. Nasogastric – mengembalikan nutrisi melalui tube yang
dipasang menghubungkan hidung dan lambung.
b. Percutaneous endoscopic gastrostomy – memperbaiki nutrisi
melalui tube yang dipasang melalui abdomen menuju
lambung, kadang – kadang sebuah tube ditambahkan menuju
jejunum (percutaneous endoscopic jejunostomy). Pada PEG,
membutuhkan tindakan pembedahan untuk menanamkan
tabung melalui abdomen menuju lambung.. (Ogunyemi dan
Chelmow, 2011, Sheehan, 2007).
Resiko yang paling sering adalah kesalahan penempatan
tabung, aspirasi pulmo dan toleransi yang buruk. Beberapa wanita
dengan HG mengalami keterlambatan pengosongan lambung,
reflek muntah yang sangat sensitive sehingga membuat HG
menjadi beresiko. Kebanyakan penderita lebih nyaman dengan
terapi parenteral daripada enteral (Anonym, 2010)
Komplikasi terapi nutrisi enteral antara lain :
1. Ketidakseimbangan elektrolit karena ketidakseimbangan
cairan, gangguan ginjal, diare, Refeeding syndrome.
2. Hiperglikemi
3. Dehidrasi
4. Penyumbatan tabung dan malposisi tabung
5. Aspirasi
6. Mual dan muntah
7. Diare dan konstipasi
8. Refeeding syndrome
b. Nutrisi oral
Penderita hiperemesis gravidarum mengalami kehilangan
cairan dan nutrisi sebagai akibat muntah berlebih. Selera makan
penderita juga hilang karena perut terasa tidak nyaman dan mual.
Ibu hamil membutuhkan nutrisi yang adekuat untuk memenuhi
kebutuhan ibu dan janin. Maka pada penderita hiperemesis
gravidarum perlu mendapat perhatian tersendiri mengenai pola
makan dan nutrisi. Nutrisi peroral diberikan pada hiperemesis
derajat 1 dan terkadang 2, dengan mempertimbangkan kesuksesan
asupan oral. Jika gagal, maka berlanjut ke terapi parenteral.
a. Nutrisi oral dapat diberikan pada pasien secara perlahan-lahan,
dimulai dengan makanan cair, kemudian meningkat menjadi
makanan padat dalam porsi kecil yang kaya karbohidrat.
b. Mengubah pola makan menjadi lebih sering dengan porsi kecil.
Pola ini bertujuan menghindari lambung yang kosong.
Konsumsi cemilan seperti biskuit, roti panggang atau sereal
sebelum bangun tidur atau ketika mual
c. Menganjurkan untuk makan cemilan seperti roti kering, biskuit
dan teh hangat
d. Minum yang banyak diantara makan, tetapi tidak banyak
minum saat makan. Minum +- 30 menit sebelum atau setelah
makan.
e. mengonsumsi makanan berprotein dan makanan rendah lemak.
Protein bersifat eupeptic dan dapat mengurangi mual. Eupeptic
yaitu zat dapat tercerna dengan baik. Contoh makanan
berprotein yaitu almond, tofu, ikan, kacang rebus, buah dan jus
segar, makanan berkuah, dan sebagainya
f. menghindari makanan pedas atau berminyak ketika mual
g. menghindari makanan beraroma tajam (Jueckstock et al,2010 ,
Mac Gibbon 2010)
Gambar 2.4. terapi nutrisi oral, enteral dan parenteral
2. Komplikasi
Meskipun komplikasi tergantung dari respon individual terhadap
biokimia, derajat penyakit dan intervensi medis yang diberikan, namun
HG berpotensi terjadi komplikasi. Dengan terapi dini yang agresif maka
dapat mencegah komplikasi lebih lanjut. Diantara komplikasi yang
disebabkan oleh HG diantaranya adalah penurunan berat badan lebih dari
5% dari berat badan sebelum hamil, dehidrasi, asidosis karena kelaparan,
alkalosis karena kehilangan asam klorida, hipokalemia, ketosis,
asetonuria, dan ptyalism (air liur berlebihan) (Sacramento, 2008).
Komplikasi jangka panjang biasanya muncul karena terapi inadekuat
di stadium awal penyakit. Diantara beberapa komplikasi tersebut adalah
(Hill & Yost, 2002):
1. Gagal ginjal akut, suatu kondisi dimana hilangnya kemampuan ginjal
secara tiba-tiba untuk mengekskresi cairan, memekatkan urin, dan
menjaga elektrolit. Gejala khas diantaranya adalah penurunan
diuresis, retensi cairan, perubahan status mental atau mood,
peningkatan tekanan darah, telinga berdenging, nafas bau, fatigue,
mual, dan muntah. Wanita dengan HG berat berisiko mengalami
gagal ginjal akut karena depresi volume intravaskuler yang berat.
2. Atrofi jaringan otot karena jarang digunakan dan kekurangan protein.
Tirah baring yang lama menyebabkan perubahan di otot dan tulang,
terutama ekstremitas bawah. Berdasarkan suatu penelitian ditemukan
penurunan massa otot yang dramatis pada minggu 4-6 tirah baring,
diikuti 40% penurunan kemampuan otot. Massa dan kekuatan otot
dapat kembali dengan latihan selama beberapa minggu kemudian.
Meski demikian, penurunan densitas mineral tulang spina lumbal
yang signifikan, femoral neck dan calcaneus dapat tidak kembali
sepenuhnya bahkan setelah 6 bulan latihan.
3. Koagulopati, suatu defek pada mekanisme pembekuan darah. Gejala
dan tanda khas terdiri dari perdarahan masif, perdarahan hingga
sendi, perdarahan mensturasi abnormal, dan defisiensi vitamin K.
Koagulopati harus diiawasi pada penderita HG dengan perdarahan.
Pemberian profilaksis vitamin K harus diberikan pada HG berat atau
memanjang.
4. Deconditioning, yaitu suatu kondisi penurunan respon otot jantung
yang kadang-kadang terjadi setelah periode panjang dari kehilangan
berat badan. Ditandai oleh penurunan tekanan darah dan
penumpukan darah di tungkai pada kondisi normal. Gejala dan tanda
khas yaitu fatigue, lemas, sesak, dan nyeri dada. Terjadinya fatigue
berhubungan dengan penurunan suplai darah ke otot, sel darah
merah, kapilarisasi, dan enzim oksidatif.
5. Disfungsi traktus digestivus diantaranya berupa penundaan
pengosongan lambung, konstipasi, ulkus gaster, dan
ketidakseimbangan pH dan flora normal. Konstipasi disebabkan
karena mobilitas dan motilitas lambung yang rendah, medikasi, dan
diet rendah serat. Ketika sekresi asam lambung tidak sesuai, maka
resiko infeksi oleh flora normal meningkat. Flora normal antara lain
Candida sp., Helicobacter pylori, bakteri yang dapat menyebabkan
ulkus gaster dan kanker lambung. Lebih lanjut, asam yang rendah
atau hipoklohidria menyebabkan pernurunan denaturasi protein, dan
absorbsi yang buruk terhadap asam amino.
6. Esophageal damage, suatu kondisi dimana esofagus mengalami
perlukaan dikarenakan mual dan muntah / refluk. Perlukaan dapat
berupa esofagitis (inflamasi esofagus), perdarahan, ruptur Mallory-
Weiss, laserasi membran mukosa esofagus yang terhubung dengan
lambung (gastroesofageal junction). Diantara tanda dan gejala
khasnya yaitu hematemesis, melena, syncope, serta nyeri
tenggorokan.
7. Ikterik disebabkan bilirubin yang terlalu banyak dalam darah,
menandakan kerusakan pada hepar, atau ketidakmampuan bilirubin
keluar dari hepar melalui traktus bilier menuju empedu.
8. Central Pontine Myelinolysis adalah demielinisasi simetris non
inflamasi yang terjadi di sentral basis pons. penyebab CPM yang
sering ditemukan adalah kenaikan kadar natrium yang cepat pada
koreksi hiponatremia. Tampilan klinis CPM sangat bervariasi. CPM
mempunyai perjalanan klinis yang bifasik, awalnya menunjukkan
gejala ensefalopati atau kejang akibat hiponatremia, kemudian terjadi
perbaikan akibat koreksi natrium, beberapa hari kemudian kondisi
memburuk kembali. Gambaran khas pada pemeriksaan fisik
neurologis adalah penurunan kesadaran (delirium), kelumpuhan
gerak mata horisontal, dan kuadriplegia.
9. Ensefalopati Wernick adalah sindrom akut neuroipsikiatri akibat dari
defisiensi vitamin B1 (thiamin). Thiamin dalam bentuk biologis
aktif, yaitu thiamin pirofosfat merupakan koenzim penting dalam
jalur biokimia otak. Sindrom ini ditandai dengan nystagmus dan
ophtalmoplegia, perubahan mental status dan ketidakseimbangan saat
berjalan. Pada imaging dapat menggunakan computerized
tomography (CT) scan atau Magnetic resonance imaging (MRI).
Pada CT scan menunjukan kelainan simetris kepadatan rendah dalam
diencephalon, otak tengah dan daerah periventrikular yang
meningkat setelah injeksi kontras. MRI lebih sensitive dalam
mendeteksi lesi diencephalik akut dan periventrikular. Ensefalopati
sulit dikonfirmasi dan diobati, sebagian besar pasien berkembang
menjadi koma bahkan kematian. Maka terapi harus diberikan thiamin
intravena. Efek sampig anafilaksis dan bronkospasme sangat jarang
terjadi. (Charness,2009, Sechi, 2007).