hepatitis virus pada anak 2

46
BAB I PENDAHULUAN Dengan makin meningkatnya derajat kesehatan di Indonesia maka perhatian terhadap penyakit infeksi tidak hanya dipusatkan kepada penyakit-penyakit infeksi yang menimbulkan angka kematian bayi yang tinggi misalnya gastroenteritis serta infeksi saluran nafas. Hepatitis Virus yang merupakan penyakit yang tidak banyak menimbulkan kematian bayi makin mendapat perhatian, apalagi karena infeksi oleh beberapa jenis Hepatitis Virus ternyata dapat mengurang angka harapan hidup dan dapat pula mengurangi kualitas hidup serta produktivitas. Namun perhatian tersebut relatif lambat dibandingkan dengan negara-negara maju sebab dalam menghadapi hepatitis Virus kita banyak menemui kesulitan diagnostik, karena untuk menegakkan diagnosis hepatitis Virus diperlukan pemeriksaan laboratorium yang relatif mahal, dan belum menjangkau daerah- daerahjerifer. Sampai saat ini publikasi tentang hepatitis virus di Indonesia masih sangat terbatas, dan kebanyakan berasal dari data-data rumah sakit. Penyakit hepatitis virus yang telah dikenal sejak zaman Hipokrates sampai saat ini masih terus berkembang, dengan kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan dengan ditemukannya reagen-reagen baru untuk mendeteksi jenis virus hepatisis maka seperti yang kita ketahui sekarang bahwa jenis virus hepatitis sudah jauh berkembang yang semula kita kenal hepatitis seperti alphabet dari A sampai G, dengan ditemukan varian-varian baru dari tranfusion transmitted virus, tidak mustahil jenis virus hepatitis akan terus bertambah. 1

Upload: adesambora

Post on 01-Dec-2015

65 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2 Hepatitis Virus Pada Anak 2

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Dengan makin meningkatnya derajat kesehatan di Indonesia maka

perhatian terhadap penyakit infeksi tidak hanya dipusatkan kepada penyakit-

penyakit infeksi yang menimbulkan angka kematian bayi yang tinggi misalnya

gastroenteritis serta infeksi saluran nafas. Hepatitis Virus yang merupakan

penyakit yang tidak banyak menimbulkan kematian bayi makin mendapat

perhatian, apalagi karena infeksi oleh beberapa jenis Hepatitis Virus ternyata dapat

mengurang angka harapan hidup dan dapat pula mengurangi kualitas hidup serta

produktivitas. Namun perhatian tersebut relatif lambat dibandingkan dengan

negara-negara maju sebab dalam menghadapi hepatitis Virus kita banyak menemui

kesulitan diagnostik, karena untuk menegakkan diagnosis hepatitis Virus

diperlukan pemeriksaan laboratorium yang relatif mahal, dan belum menjangkau

daerah-daerahjerifer.

Sampai saat ini publikasi tentang hepatitis virus di Indonesia masih

sangat terbatas, dan kebanyakan berasal dari data-data rumah sakit.

Penyakit hepatitis virus yang telah dikenal sejak zaman Hipokrates

sampai saat ini masih terus berkembang, dengan kemajuan teknologi dalam

bidang kesehatan dengan ditemukannya reagen-reagen baru untuk mendeteksi jenis

virus hepatisis maka seperti yang kita ketahui sekarang bahwa jenis virus hepatitis

sudah jauh berkembang yang semula kita kenal hepatitis seperti alphabet dari A

sampai G, dengan ditemukan varian-varian baru dari tranfusion transmitted virus,

tidak mustahil jenis virus hepatitis akan terus bertambah.

Hepatitis virus merupakan permasalahan besar di Indonesia, terutama

hepatitis virus A, B, dan C. ketiga hepatitis virus ini potensial untuk menimbulkan

dampak rnorbiditas, mortalitas, serta dampak psiko-sosial-ekonomi.

1

Hepatitis virus A (HVA) pada dasarnya merupakan suatu self limiting

disease tetapi dapat menimbulkan berbagai dampak epidemiologis dan klinis. Di

Indonesia, infeksi banyak mengenai anak berusia kurang dari 5 tahun. Anak-

anak ini lah yang merupakan reservoir infeksi bagi anak besar dan orang dewasa

di sekitarnya dengan resiko morbiditas dan resiko mortalitas yang lebih berat.

Indonesia juga merupakan daerah endemis hepatitis virus B (VHB).

Infeksi VHB pada awal kehidupan, terkait resiko kronisitas sampai dengan

90%. Imunisasi universal terhadap bayi baru lahir terbukti berhasil

menurunkan prevelens HVB dan KHS. Sedangkan terapi antivirus selum

menunjukkan hasil yang memuaskan.

Hepatitis virus C (HVC) juga menimbulkan banyak permasalahan

karena sampai dengan 85% akan berlanjut menjadi kronis dengan berbagai

komplikasinya. Akibat tingginya laju mutasi virus, sampai saat ini, belum

tersedia vaksin hepatitis C. di lain pihak, keberhasilan terapi anti virus

terhadap HVC lebih rendah dibandingkan keberhasilannya pada HVB.

Oieh karena itu, prinsip umum tatalksana hepatitis virus adalah (1)

diagnosis dini, (2), terapi suportif dan pemantauan, (3) deteksi dini komplikasi

fulminan atau kronisitas, (4) mencegah penyebaran, serta (5) memberikan

terapi antivirus terhadap anak dengan hepatitis kronik (sesuai indikasi).

2

BAB II

DEFINISI DAN ETIOLOGI

2.1 DEFINISI

Hepatitis virus dapat didefinisikan sebagai suatu infeksi sistemik yang

menimbulkan peradangan dan nekrosis sel hati; yang mengakibatkan terjadinya

serangkaian kelainan klinik, biokimiawi, imunoserologik dan morfologik. Sebagi

penyebabnya saat ini diketahui ada 5 jenis virus hepatotropik, masing-masing

dengan ciri imunoserologik khusus dan sifat epidemiologik yang khas. Kelima

jenis virus hepatitis tersebut adalah :

1. Hepatitis virus A (HAV)

2. Hepatitis virus B (HBV)

3. Hepatitis C (HCV; d/h "posttransfuision/parenteral" Non A Non B hepatitis)

4. Hepatitis D (HDV)

5. Hepatitis E (HEV: d/h "epidemic/enteral/enterically-transmitted" Non A Non

B hepatitis)

Identifikasi serologic yang spesifik telah dikenal untuk hepatitis A,

hepatitis B dan hepatitis D, dan sejak beberapa waktu yang lalu juga tersedia

pemeriksaan serologic yang spesifik untuk hepatitis C (Chiron/Ortho, Chiron

Abbott, USA), sedangkan untuk identifikasi hepatitis S masih sedang dikembangkan.

Sejak ditemukannya HBsAg (d/h: Australia antigen) oleh Blumberg dkk

tahun 1965. terungkap berbagai peristiwa penting yang berkaitan dengan infeksi

virus hepatitis B (HBV).

Namun semula dari apa yang sekarang kita kenal sebagai "hepatitis B

surface antigen" (HBsAg), ialah "Australia antigen", seperti yang tercantum dalam

deretan kronologi mengenai peristiwa-peristiwa penting hepatitis B, di atas.

3

Antigen ini untuk pertama kali ditemukan dalam darah yang diperoleh dari

seorang pribumi Australia untuk kepentingan eksperimental. Demikian asal mula

Australia antigen, yang saat ini belum diketahui maknanya, ataupun kaitannya

dengan hepatitis B.

Penemuan di atas telah diakui sebagai kejadian bersejarah, karena sejak

saat itu berlangsung kemajuan yang amat pesat dalam hal pengertian kita tentang

hepatitis B. Identifikasi virus HB struktur, mekanisme replikasi, seroepidemologi

serta kejadian-kejadian dibidang biologi molekuler, sampai keberhasilan

produksi vaksin untuk pencegahan terhadap hepatitis B. hanya dalam jangka

waktu kl. 15 tahun sejak ditemukan Australia antigen, sudah dapat tersedia

vaksin hepatitis B, yang mungkin juga merupakan vaksin pencegah kanker hati

yang pertama.

A. Hepatitis A (HAV) adalah virus yang mengandung RNA dan termasuk

keluarga picarnovirus, infeksi biasa ditularkan melalui fecal-oral dan

kontaminasi pada minuman dan makanan dapat menimbulkan ledakan

wabah(l). Masa yang paling infektif adalah selama 2 mtnggu sebelum timbul

gejala periode viremia yang pendek, penyakit ini dapat ditularkan melalui

produk darah.

B. Hepatitis B (HVB) adalah virus yang mengandung DNA kompleks dan

termasuk dalam keluarga hepadnavirus. Tubuh virus yang komplit atau

partikel Dane, terdiri dari sebuah protein selubung luar virus (yang

mengandung antigen permukaan hepatitis B atau HBsAg) yang membungkus

nucleocapsid viral (yang mengandung antigen inti hepatitis B atau

HBcAg).Antigen permukaan hepatitis B terdeteksi dalam serum hampir

semua kasus infeksi HBV akut dan kronis. HBcAg tidak beredar bebas di

sirkulasi darah namun dapat dideteksi dalam sel hati bila di sana terdapat

replikasi virus yang aktif). Antigen hapitis Be (HBcAg) rupanya adalah

komponen HBcAg, antigen hepatitis Be itu biasanya dapat

4

dideteksi dalam serum bila terdapat replikasi virus secara aktif. Antibodi-antibodi

yang beredar dalam darah terhadap berbagai jenis virus terbentuk sebagai tanggapan

terhadap infeksi dan antibody-antibodi ini dapat dengan mudah terdeteksi dengan

menggunakan radio immunoassay atau enzym immunoassay yang tersedia di

pasaran. Antibodi terhadap antigen permukaan hepatitis B (anti HBs) dapat dideteksi

dalam dua fraksi : anti-HBclgM dan anti-HBc total. Anti-HBclgM biasanya muncul

pada infeksi akut namun kadang-kadang dapat dideteksi selama masa replikasi

viral yang hebat pada penyakit khronis. Anti HBc total meliputi fraksi IgM dan IgG

dan positif pada penyakit akut (karena adanya IgM) dan khronis (terutama oleh

fraksi IgG). Infeksi dengan HBV biasanya menyebar melalui penularan parenteral

baik yang nyata (misalnya saliva, semen), yang dapat pula menularkan infeksi

HBsAg jarang terdapat pada feces dan urine. Para pasien dengan infeksi HBV

hendaknya menghindari kontak yang intim (menggunakan pisau cukur bersama,

sikat gigi, dsb) dengan anggota rumah tangga yang lain karena pasien-pasien itu

infeksius hingga terjadi serokonversi(1) atau hingga anggota rumah tangga yang lain

telah divaksinasi komplit.

C. Hepatitis C (HCV) mempunyai masa inkubasi yang dapat berlangsung hanya

selama 2 minggu, namun biasanya 6 minggu hingga 6 bulan. Satu-satunya

pemeriksaan serologic yang tersedia kini adalah antibody hepatitis C (HCVAb)

Adanya HCVAb menunjukkan infeksi khronis dengan HCV, dan antibodik tidak

memberikan kekebalan. HCVAb dan bisa memerlukan waktu hingga 12 bulan untuk

menjadi positif setelah infeksi akut. Antibodi tersebut bisa positif pada 60-80% dari

para pasien dengan infeksi khronis(2). Sistem pengujian untuk konfirmasi dan deteksi

antigen/antibody tambahan sedang diteliti. Rute penularan utama yang telah

diketahui adalah melalui darah (misalnya tranfusi, penggunaan obat-obat intravena),

namun hingga 60% dari para pasien tidak mempunyai riwayat kontak.

5

Data tentang penularan secara seksual saling bertentangan namun ada petunjuk

bahwa HCV dapat ditularkan secara seksual meskipun dengan frekuensi yang

jauh lebih rendah daripada HBV(3). Penularan perinatal belum pernah dapat

ditunjukkan secara jelas, meskipun HCV Ab (suatu antibody IgG) dapat

menembus placenta. Karena itu pedoman-pedoman isolasi bersifat

kontroversial; sekurang-kurang darah dan cairan tubuh supaya dianggap

infeksius.

D. Hepatitis D (dulu virus Delta) adalah virus tak sempurna yang mengandung

RNA. Agar infeksi dan replikasi virus ini dapat terjadi, diperlukan kehadiran

HBV(I). Kehadiran HBV merupakan prasyarat bagi infeksi virus hepatitis D. Jadi

infeksi delta hanya dapat terjadi apabila seorang pembawa HBsAg kemudian

terpapar pada virus delta atau bila seseorang terinfeksi secara simultan oleh

HBV dan virus hepatitis D. infeksi hepatitis D tersebar luas di seluruh dunia,

namun demikian infeksi ini bersifat endemic di daerah seluruh laut tengah dan

di daerah-daerah tertentu di Timur Tengah dan Amerika Selatan. Di luar daerah

endemic, infeksi terjadi paling sering pada para pecandu obat bius dan pada

orang-orang yang mendapatkan tranfusi darah beruiang-ulang. Penyakit bentuk

fulminal lebih sering dijumpai pada HDV dan penyakit khronis berjangkit pada

kebanyakan pasien.(1) HDV akut didiagnosis dari adanya HDV Ag dan anti HDV

IgM dalam serum.

E. Hepatitis E (HEV) mempunyai masa inkubasi 3-6 minggu. Penularan sangat

mirip HAV-HEV telah diperkirakan ikut terlibat dalam epidemi di daerah-daerah

tertentu seperti misalnya India, Asia Tenggara, Afrika dan Meksiko. Di Amerika

Serikat kasus-kasus yang pernah dilaporkan hanya terbatas pada orang-orang

yang pernah berkunjung ke daerah endemic. Metoda-metoda uji diagnostik

sedang diteliti. Pada wanita hamil HEV mempunyai angka fatalitas yang tinggi.

6

F. Non A, Non B (NANB) merupakan kategori pengecualian bagi virus

hepatotrophic yang menunjukkan hasil pemeriksaan serologic negatif untuk

jenis-jenis virus hepatotrophiv lainnya. Dahulu HVV termasuk dalam golongan

ini dalam proporsi yang bermakna. NANB berjangkit secara sporadic setelah

pemaparan melalui darah. Rekomendasi-rekomendasi untuk mencegah penularan

dan untuk isolasi mirip dengan rekomendasi-rekomendasi untuk HCV.

2.2. GAMBARAN KLINIK HEPATITIS VIRUS

Gambaran klinik hepatitis virus akut yang disebabkan oleh virus hepatotrop

seringkali hampir sama karena sukar sekali dibedakan. Yang bisa membedakan

hanyalah gambaran minor gejala klikin masa inkubasi dan riwayat epidemiolgiknya.

Diagnosis pastinya memerlukan pemeriksaan serologic.

Rasa lemah dan capai bisa menetap untuk beberapa hari dan kumat ringan

dengan kenaikan transsaminase serum atau bilirubin pada 1 - 5 % penderita.

Kadang-kadang kekambuhan disebabkan karena bekerja atau terlalu banyak olah raga.

Pada permulaan masa konvalesen keinginan bekerja kadang-kadang masih kurang dan

sering juga terjadi depresi.

2.2.1. Tanda fisik

Tanda-tanda fisik biasanya sedikit. Pada pemeriksaan fisik yang tampak

adalah ikterus, sakit dihati, hepatomegali, splenomegali (5 - 10%) dan pada beberapa

penderita ada limphadenopati. Pada kasus yang ringan ikterus hanya mengenai sclera.

Ikterus biasanya berkurang dalam waktu beberapa hari sampai 2 minggu tetapi bisa

menetap untuk 6 minggu. Hati biasanya tidak terlalu membesar, tetapi pada

kebanyakan penderita hati sering terasa sakit. Sering teraba limfa, permukaan rata

dan tidak sakit. Pada hepatitis fulminan keluhan dan tanda-tanda akan lebih berat.

Mungkin juga terdapat goresan kulit. Pada hepatitis B akut anak bisa ditemukan

popular erythematosa pada

7

lengan, kaki dan muka. Pada kebanyakan anak muda dan dewasa tanda ikterik, tidak

disertai dengan gejala hanyalah ada rasa sedikit capai. Pada penderita-penderita ini

tidak ditemukan kelainan fisik hanya didapat kenaikan amino transferase serum dan

antibody sero conversion yang positif. Pada hepatitis B akut tanpa komplikasi tidak

ditemukan tanda-tanda hipertensi portal seperti asites, pelebaran vena abdomen,

perdarahan varises usophagus, ginekomasti, erytema palmaris dan udema perifir.

2.2.2. Hepatitis Fulminan

Hepatitis virus fulminan, akibat nekrosis sel-sel hepar yang banyak

menyebabkan ensefalopati hepatic, ikterus berat asites dan udema dan biasanya disertai

perdarahan akibat dari kaogulopati.

Timbul gangguan kesadaran yang merupakan gabungan dari koma

hepatikum, hipoglikemia dan udema serebri. Bisa timbul gangguan fungsi ginjal

yang disebut sindroma hepatorenal. Penangangan komplikasi ini seperti ini

penanganan gagal hati pada penyakit hati kronik. Tetapi pada hepatitis fulminal

hepar bisa kembalinormal apabila hepatitis fulminan bisa diatasi. Paling baik cara

mengatasinya adalah dengan transplantasi. Apabila penderita sampai pada koma

stadium IV, maka kemungkinan sembuhnya 20% atau kurang jika tanpa transplantasi.

2.2.3. Gejala Phase preikterik

- Badan terasa tidak enak, capai, lesu, kurang tenaga, lemah

- Tidak ada nafsu makan, mual, muntah, yang kadang-kadang karena makanan

yang berlemak.

- Tidak enak merokok

- Abdomen kanan atas nyeri

- Diare atau sembelit

- Nyeri menyeluruh (terutama pada otot)

8

- Demam (sering pada hepatitis S)

- Sakit kepala diatas mata (sering pada hepatitis A)

Ikterus

Gejala-gejala tersebut bisa diikuti oleh warna urine yang gelap dan kuning.

Beberapa penderita ada yang menjadi kuning tanpa didahului oleh keluhan-keluhan,

Ciri khas ialah begitu tampak kuning beberapa keluhan menghilang. Warna kuning

menjadi bertambah dalam waktu 5-10 hari dan nafsu makan menjadi hilang dan rasa

menjadi makin capai. Berat badan menurun hepatitis C akut umumnya kurang berat

dibandingkan hepatitis A atau B. kebanyakan penderita tidak tampak kuning.

Penyembuhan

Mual hilang dan nafsu makan kembali lagi. Bila ikterus bertambah lama dan

bertambah kuning biasanya timbul gatal pada kulit.

9

BAB III

EPIDEMIOLOGI

3.1. VIRUS HEPATITIS A

Di Negara-negara yang telah maju secara kontras terlihat bahwa

insidens infeksi virus hepatitis A telah menurun dalam beberapa tahun akhir-

akhir ini dan telah beralih kepada usia yang lebih tua. Hal ini disebabkan

perbaikan kondisi sosial dan ekonomi yang diikuti dengan perbaikan hygiene

dan sanitasi.

Dari data yang dikemukakan oleh para ahli kondisi hidup di bawah

standard dan keadaan hygiene dan sanitasi yang buruk lebih dari 75% anak-

anak di berbagai benua seperti Asia, Afrika, India dan beberapa negara

Mediterania dan Amerika Slatan sudah memiliki antibody HAV pada usia 5

tahun seperti yang dikemukakan oleh Pagan & William pada tahun 1987.

Menurut Prince tahun 1985 sebagian besar infeksi VHA didapat pada usia

awal kehidupan dan kebanyakan bersifat asimptomatik atau sekurangnya

bersifat anikterik.

Di Indonesia hepatitis A merupakan masalah kesehatan seperti pada

negara berkembang umumnya, dimana masa krisis yang berkepanjangan

menyebabkan sebagian besar rakyat Indonesia kondisi hidupnya di bawah

standar, begitu pula hygiene dan sanitasi untuk daerah padat masih buruk,

Pada kenyataannya di Irian Jaya dilaporkan Sanjaya, tahun 1980 anak-

anak kurang dari 5 tahun hampir semua sudah terinfeksi hepatitis A tanpa

disadari, gejala keluhan tidak nyata yaitu dengan ditemukannya hasil

pemeriksaan anti HAV positif.

Akbar, tahun 1994 melaporkan bahwa hubungan status sosial dan

ekonomi rendah terlihat nyata pada kelompok dengan anti HAV positif 34,8%

dan pada kelompok dengan anti HAV negatif 15,1%.

Gambaran sero epidemilologi hepatitis A di beberapa tempat di

Indonesia memperlihatkan variasi gambaran endemisitas yang tinggi sampai

menengah.

Hasil penelitian lain, yaitu di RSAB Harapan Kita, dan Lab Klinik

Swasta di Jakarta, tampak bahwa strata kelompok umur pada anak dan dewasa

10

muda adalah kelompok yang masih rentan terhadap infeksi hepatitis A, makin

bertambah usia makin tinggi kemungkinan memiliki antibody alamiah, setelah

terinfeksi dengan bergejala maupun asimptomatik, tentu hal ini tidak merata

karena setiap daerah akan mempunyai angka yang berbeda tergantung pada

kondisi sosial dan ekonomi dan lingkungan setempat.

Gambaran sero-epidemiologi juga diturunkan dari ibu kepada anak

seperti yang diiaporkan oleh R. Vranchx & ali Syahbana pada tahun 1987 -

1988 pada neonatus dan anak-anak di Indonesia yaitu pengamatan pada 150

bayi saat lahir yang kemudian diikuti usia 1,2,12, 14,24,26,48,60 dan 62 bulan,

hasil pengamatan adalah saat bayi lahir 96,8% anti-HAV positif, usia 1 tahun

anti HAV menghilang, usia 2 tahun timbul kembali 4,7% usia 3 tahun 11

Agustus,4%, usia 4 tahun 28,3% dan usia 5 tahun 36,4% ini menunjukkan

antibody HAV positif karena infeksi alamiah (natural antibody).

Di Indonesia hasil pengamatan terakhir tercatat tahun 1998 (Januari)

diiaporkan terjadi KLB hepatitis di Kabupaten Bogor dengan jumlah kasus 74

orang (AR = 1,4%) dan golongan umur terbanyak 19-25 tahun (AR = 3,4%)

dan terjadi hampir seluruh kasus pada mahasiswa IPB (laporan FETP, 1998),

yang diperkirakan penularannya pada makanan di waning yang tercemar.

3.2. VIRUS HEPATITIS B

Di dunia saat ini diperkirakan terdapat 350 juta orang pengidap virus

hepatitis B, dimana hampir 78% diantaranya tinggal di Asia Tenggara.

Angka prevelensi hepatitis B di Indonesia dengan geografis yang

sangat luas, dengan perilaku dan budaya yang beraneka ragam dn termasuk ke

dalam pola prevelensi sedang dan tinggi dengan rata-rata 9,4% (rintangan,

2,5%-36,16%). Makin kedaerah timur makin meningkat.

Suparyatmo melaporkan pada tahun 1993 telah meneliti prevalensi

HBsAg dan HBeAg pada 9875 wanita hamil dan melaporkan dengan hasil sbb :

HBsAg positif 3,6% (rintangan 2,1% - 5,2%) dan dari HBsAg positif

dilanjutkan dengan pemeriksaan HBeAg positif 45,7% (rintangan 18,2% -

66,6%).

11

3.3. HEPATITIS C

Di Indonesia hepatitis C ditemukan sangat bervariasi mengingat

geografis yang luas, selain itu juga terdapat variasi dari hasil beberapa peneliti

sehubungan dengan kelompok yang diteliti yang berlainan.

Hasil penelitian pendahuluan anti-HCV pada donor darah di beberapa

tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensinya adalah diantara 3,1% -

4%.

Sulaiman (1993) melaporkan hasil pemeriksaan anti-HCV pada donor

darah di 24 PUTD Palang Merah Indonesia prevalensi berkisar diantara 0,5% -

3,37%.

Hasil survey di RSCM dan sebuah Rumah Sakit Swasta di Jakarta

pada 84% penggunaan Narkoba dengan cara menyuntik (IVDU) ditemukan

positif pengidap Hepatitis C sebesar 84%. Dimana ditemukan 75,3%

penggunaan alat suntik bergantian.

Faktor resiko dan insidens infeksi VHC pada anak masih belum jelas.

Pada populasi anak, prevalens VHC pada anak sehat berkisar dari 0% di

Jepang, sampai 14% di Cameroon.

Transufi berulang darah atau produk darah merupakan faktor resiko

tinggi hepatitis virus C. Sejumlah 85-90% hepatitis pasca transfusi disebabkan

oleh VHC. Prevalens infeksi VHC pada multitransfusi kira-kira 59-80%,

sedangkan pada hemofdia lebih tinggi lagi, yaitu 83%-100%. Prevalens anti

VHC pada talesemia di beberapa negara bervariasi antara 30%-60%.

Timan dkk, pada tahun 1993 telah meneliti angka kejadian infeksi

VHC pada 31 penderita talasemia di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM

dengan hasil 67,7%. Prevalens anti VHC pada kelompok multitransfusi lain

seperti hemodialisis pada gagal ginjal kronik adalah sekitar 3-5% di Australia

dan New Zealand, dan 30-40% di Jepang, Taiwan, Saudi Arabia dan Turki.

Sebelum diiakukan uji tapis terhadap daerah donor, anti VHC terdapat

pada 80-90% pasien hepatitis pasca transufi. Perjalanan hepatitis C yang

cenderung menjadi sirosis dan KHS membuat uji tapis darah donor sangat

12

berarti karena dapat menurunkan kejadian hepatitis C 50-80%. Sejumlah 85%

pasien dengan infeksi VHC akut akan mengalami infeksi kronis.

Penelitian hepatitis C di Indonesia baru dimulai sejak tahun 1990

melalui pemeriksaan anti VHC generasi pertama (C 100-NS4). Anti VHC

ditemukan pada 2,5-4,1 donor darah. Pada hepatitis akut, prevalens hepatitis C

berkisar antara 9,5-15,5%. Rendahnya kejadian hepatitis C ini mungkin

disebabkan pengambilan serum yang diiakukan pada awal minggu terjadinya

infeksi sedangkan pada hepatitis kronis, anti VHC ditemukan pada 30,8-73,9%

kasus dengan sirosis hati dan 21,1-7% kasus karsinoma hepatoseluler.

13

BAB IV

MANIFESTASI KLINIS

4.1. GEJALA KLINIS

Umumnya pada bayi dan anak kecil asimtomatik. Sedangkan pada

anak besar dan remaja dapat terjadi gejala prodromal infeksi viral sistematik

seperti anoreksia, nausea, vomiting fotigue, malaise, atralgia, mialgia, nyeir

kepala, fotofobia, faringitis, batuk, dan koriza dapat mendahului timbulnya

ikterus selama 1-2 minggu. Apabila hepar sudah membesar pasien dapat

mengeluh nyeri perut kanan atas (perut "begah").

Demam, dengan suhu sekitar 38°C-39°C lebih sering ditemukan pada

hepatitis A. Kadang-kadang dapat mencapai 40°C. Urin berwarna gelap

(seperti air the) dan feses berwarna tanah (clay-colored). Dengan timbulnya

gejala kuning/ikterus maka biasanya gejala prodromal menghilang.

Hepotomegali dapat disertai nyeri tekan. Splenomegali dapat ditemukan pada

10-20% pasien.

4.1.1. Hepatitis A

Pada hepatitis A di bedakan menjadi 4 stadium yaitu masa inkubasi,

pra-ikterik (prodromal), ikterik, dan fase penyembahan. Masa inkubasi

berlangsung selama 18-50 hari, dengan rata-rata kurang lebih 28 hari. Masa

prodromal terjadi selama 4 hari sampai 1 minggu atau lebih.

Pada prodromal, gejalanya adalah fatigue, malaise, nafsu makan

berkurang, mual, muntah, rasa tidak nyaman didaerah kanan atas, demam

(biasanya <39°C), merasa dingin, sakit kepala, gejala seperti flu, nasal

discharge, sakit tenggorok, dan batuk. Gejala yang jarang penurunan badan

ringan, artralgia, atau mononeuritis cranial atau ferifer. Tanda yang ditemukan

biasanya hepatomegali ringan yang nyeri tekan (70%), manifestasi ekstrahepatik

lain pada kulit, sendi, atau splenomegali (5-20%).

Fase ikterik dimulai dengan urin yang berwarna kuning tua, seperti teh,

atau gelap, diikuti oleh feses yang berwarna seperti dempul (clay-coloured

faeces) kemudian warna sclera dan kulit perlahan-lahan menjadi kuning.

Gejala anoreksia, lesu, lelah, mual, dan muntah bertambah berat untuk

14

sementara waktu. Dengan bertambah berat ikterus gejala tersebut berkurang

dan timbul pruritus bersamaan dengan timbulnya ikterus atau hanya beberapa

hari sesudahnya.

Penyakit ini bisanya sembuh sendiri. Ikterik menghilang dan warna

feses kembali normal dalam 4 minggu setelah onset. Komplikasi yang sering

terjadi pada sebagian kecil pasien adalah hepatitis yang sangat berat atau

fulminan (<1%), kolestasis yang memanjang (prolonged acute cholestasis),

4.1.2. Hepatitis B

Masa inkubasinya 6-8 minggu. Lamanya masa inkubasi ini tergantung

dari faktor pejamu. Gejala infeksi VHB akut sangat jarang ditemukan pada

masa anak, hanya terjadi pada 5% bayi, dan 5-15% anak berusia 1-5 tahun.

Sedangkan pada anak yang lebih besar dan dewasa 33-50%. Pada kasus yang

simtornatik akut, umumnya ditemukan malaise, anoreksia, rasa tidak enak di

perut yang biasanya mendahului timbulnya ikterus, dan timbulnya dalam

beberapa minggu sampai bulan setelah terpapar virus. HbsAf mulai terdeteksi

dalam fase ini. Pada pemeriksaan fisik, umumnya hanya ditemukan

hepatomegali. Gejala artralgia dan kemerahan pada kulit yang kadang-kadang

timbul, dipikirkan behubungan dengan pembentukan kompleks HbsAg-anti

HBs. Hal diatas timbul sebelum terjadi peningkatan kadar SGPT dan manifestasi

lain yang menunjukkan keterlibatan hati.

4.1.3. Hepatitis C

Gejala yang timbul dapat berat atau asimtomatik dan tidak terduga.

Infeksi C akut cenderung menjadi hepatitis kronis. Hepatitis C kronis dapat

ringan, asimtomatik selama berpuluh-puluh tahun dan tidak progresif, sehingga

dapat tidak terdeteksi kecuali dilakukan pemeriksaan penyaring terhadap

hepatitis C. dapat pula terjadi infeksi persisten seumur hidup yang menjadi

hepatitis kronis aktif, sirosis, hipertensi porta, dan karsinoma hepatoseluler.

Masa inkubasi hepatitis C sekitar 7 minggu (3-20 minggu). Manifestasi

klinisnya tidak berbeda dari infeksi hepatitis virus, biasanya subklinis. Hanya

25% pasien yang mengalami ikterik. Gejala pertama kali mungkin timbul

Relaps dan manifestasi ekstrahepatik seperti viskulitis kutaneus dan arthritis.

15

berpuluh-puluh tahun kemudian dengan sekuele seperti sirosis atau karsinoma

hepatoseluler. Bila penyakit ini timbul, ansetnya perlahan (insidious) dengan

gejala yang tidak spesifik atau tanpa gejala. Malaise, anoreksta, mual, dan

kadang-kadang nyeri di kuadran kanan atas perut dapat terjadi. Ikterik dapat

berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan. Dapat pula timbul pruritas,

steatore, dan penurunan berat badan ringan (2-5kg).tanda fisik hepatitis C akut

juga tidak jelas. Hanya pada sebagian kecil pasien dapat ditemukan

hepatomegali dan splenomegali.

Pada pasien hepatitis C kronis yang sistomatik, fatigue merupakan

keluhan yang paling sering. Banyak pasien yang tidak memiliki riwayat

hepatitis akut atau ikterus. Hasil pemeriksaan fisik biasanya ringan dan

bervariasi, terapi mungkin tidak ditemukan kelainan. Pada keadaan yang berat,

dapat ditemukan spider angiomata dan hepatosplenomegali. Kurang lebih 20%

paien hepatitis C kronis akan menjadi sirosis dalam 10 tahun.

4.2. DIAGNOSA BANDING

Diagnosa bandingnya adalah infeksi virus: mononucleosis infeksiosa,

sitomegavirus, herpes simpleks, coxsackie virus, dan toksoplasmosis, drug-

indeced hepatitis; hepatitis aktif kronis; hepatitis alkoholik; kolesistitis akut;

kolestasis; gagal jantung kanan dengan longest! hepar; kanker metastasis; dan

penyakit hati genetik/metabolic (penyakit Wilson, defisiensi alfa-1 antitripsin).

4.3. KOMPLIKASI

Dapat terjadi komplikasi ringan, misalnya kolestasis berkepanjangan,

relapsing hepatitis, atau hepatitis kronis persisten dengan gejala asimtomatik

dan AST fluktuatif. Komplikasi berat yang dapat terjadi adalah hepatitis kronis

aktif, sironis hati, hepatitis fulminan atau karsinoma hepatoselular. Selain itu,

dapat pula terjadi anemia aplatik, glomerulonefritis, mecrotizing vasculitis,

atau mixed cryoglobulinemia.

4.4. PROGNOSIS

Dengan berkembangnya alternatif pengobatan maka diharapkan

prognosis hepatitis menjadi lebih baik. Hepatitis A biasanya mempunyai

16

prognosis baik kecuali yang fulminan, sedangkan hepatitis B prognosisnya

semakin buruk bila infeksi terjadi semakin dini.

4.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Terdapat dua pemeriksaan penting untuk mendiagnosis hepatitis, yaitu

tes awal untuk mengkonfirmasi adanya peradangan akut pada hati dan tes yang

bertujuan untuk mengetahui etiologi dari peradangan akut tersebut.

Diagnosis hepatitis bisanya ditegakkan dengan pemeriksaan tes fungsi

hati, khususnya alanin amino transferase (ALT=SGPT), aspartat amino

transferase (AST^SGOT). Bila perlu ditambah dengan pemeriksaan bilirubin.

Alkali fosfatase kurang bermakna karena kadarnya meningkat pada anak yang

sedang mengalami pertumbuhan.

Kadar trasaminase (SGOT/SGPT) mulai meningkat pada masa

prodromal dan mencapai puncak pada saat timbulnya ikterus. Peninggian

kadar SGOT dan SGPT yang menunjukkan adanya kerusakan sel-sel hati

adalah 50-2.000 lU/ml. Terjadi peningkatan bilirubon total serum (berkisar

antara 5-20 mg/dL). Tinja akolis mungkin dijumpai sebelum timbul ikterus.

Penurunan aktivitas transaminase diikuti penurunan kadar bilirubin. Bilirubinuria

dapat negatif sebelum bilirubin darah normal. Kadar alkali fosfatase mungkin

hanya sedikit meningkat. Gamma GT dapat meningkat pada hepatitis dengan

kolestasis.

Jenis virus penyebab hepatitis akut didiagnosis dengan petanda virus

yaitu IgM anti HAV, IgmM anti HBc dan dapat dilengkapi dengan HbsAg.

Bila terdapat riwayat transfusi darah, pemakaian obat-obatan narkoba, atau ada

resiko infeksi vertikal dapat dilakukan pemeriksaan anti-HCV. IgM anti-HDV

diperiksa pada kasus hepatitis B kronik.

17

BABV

PENATALAKSANAAN

5.1.HEPATITIS A

5.1.1. Upaya Preventif umum

Kebijakan ini mencakup upaya perbaikan hygiene-sanitasi yang

tampak sederhana, tetapi sering terlupakan. Namun demikian, upaya ini

memberikan dampak epidemiologis yang positif karena terbukti sangat efektif

dalam memotong rantai penularan.

1. Perbaikan hygiene makanan-minuman. Bertitik tolak dari sifat virus yang

tahan panas. Upaya ini mencakup memasak air dan makanan sampai

mendidih selama minimal 10 menit, mencuci dan mengupas kulit makanan

terutama yang tidak dimasak, serta meminum air dalam kemasan

(kaleng/botol) bila kualitas air minum non kemasan tidak meyakinkan.

2. Perbaikan hygiene-sanitasi lingkungan-pribadi. Berlandaskan pada peran

transmisi fekal-oral HVA. Faktor hygiene-sanitasi lingkungan yang

berperan adalah perumahan, kepadatan, kualitas air minum, sistem limbah

tinja, dan semua aspek hygiene lingkungan secara keseluruhan. Mencuci

tangan dengan bersih (sesudah defekasi, sebelum makan, sesudah

memegang popok-celana), sangat berperan dalam mencegah transmisi

VHA.

3. Isoiasi pasien. Mengacu pada peran transmisi kontrak era antar individu.

Pasien diisolasi segera setelah dinyatakan terinfeksi HVA. Anak dilarang

datang ke sekolah atau ke tempat penitipan anak, sampai dengan dua

minggu sesudah timbul gejala. Namun demikian, upaya ini sering tidak

banyak menolong karena virus sudah menyebar jauh sebelum yang

bersangkutan jatuh sakit.

18

5.1.2. Upaya Preventif Khusus

Upaya preventif khusus terhadap HVA mencakup upaya

imuniksasi pasien dan aktif. Kebijakan preventif ini dipengaruhi oleh faktor

umur anak, tingkat sosial ekonomi yang bersangkutan, dan angka prevalensi

setempat.

Imunisasi pasif. Normal human immune globulin (NHIG) diberikan

pada keadaan pra dan pasca paparan (pre-post exposure). Pada kondisi

pra-pasca paparan tersebut NHIG dapat diberikan dengan atau tanpa vaksin

HVA. Baik pada pra-maupun pasca paparan, kadar tertinggi antibody akan

dicapai dalam waktu 48 - 72 jam sesudah pemberian NHIG.

Upaya profilaksis pasca paparan adalah upaya preventif (NHIG +/-

vaksin HVA), terhadap individu kontak serumah, kontak seksual, staf

institusi penitipan anak, pada epidemi.

Mekanisme kerja NHIG. Mekanisme netralisasi virus pada pemberian

HBIg disebabkan beberapa faktor berikut. Pertama, neutralizing antibody akan

mencegah perlekatan virus (attachment) di reseptor spesifik di

permukaan hepatosit. Kedua, kompelsk NHIG dengan virus akan

menyebabkan agregasi virus dan berkurangnya derajat infektivitas virus.

Ketiga, antibody yang berkaitan dengan kapasid akan mencegah proses

pelepasan (uncoating) selubung virus, yang merupakan tahap awal proses

invasi dan replikasi virus, satu atau lebih dari mekanisme tersebut akan

berperan terhadap efektivitas NHIG dalam mencegah infeksi HVA pada

kondisi pra paparan.

Pada pasca paparan, mekanisme kerja NHIG tidak begitu jelas,

meskipun tidak senantiasa berhasil mencegah infeksi, NHIG terbukti

efektif dalam memo-difikasi penyakit sehingga menjadi lebih

ringah/asimtomatis. Diperkirakan, NHIG akan mencegah viremia sekunder

dan mengurangi kemungkinan infeksi hati sekunder. NHIG hanya efektif

bila diberikan dalam waktu < 2 minggu setelah terpapar. Sesudah 2 minggu,

efektivitas NHIG akan sangat berkurang karena sudah terjadi viremia.

19

5.1.3. Imunisasi Aktif

Vaksin HVA yang saat ini beredar di Indonesia adalah vaksin

inaktivasi dengan nama dagang Havrix.

Tujuan imunisasi aktif. Upaya ini bertujuan melindungi anak terhadap infeksi

HVA dan terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi HVA (fulminant,

relapsing, prolong hepatitis) dan komplikasi gastro-intestinal yang berat. Upaya

ini juga berdampak positif terhadap lingkungan akibat berkurangnya

kemungkinan penyebaran infeksi terhadap penyebaran infeksi terhadap anak

besar, orang dewasa, serta populasi yang rentan HVA.

Pada penderita penyakit hati kronik (PHK) imunisasi hepatitis A

memberikan proteksi terhadap timbulnya hepatitis yang berat atau fulminan.

Sasaran imunisasi adalah kelompok resiko tinggi dan anak merupakan prioritas

utama. Pejbabaran berdasarkan prioritas seperti di bawah ini.

1. Sasaran utama kelompok resiko tinggi adalah anak dan idealnya diberikan

pada usia > 2 tahun. Bagi yang belum pernah memperoleh imunisasi diusia

tersebut dapat diberikan pada usia pra sekolah atau pada usia pra pubertas.

2. Sasaran kedua adalah kelompok resiko tinggi selain anak termasuk

penderita penyakit hati kronik (PHK)

3. Saran lainnya adalah kelompok rentan yaitu kelompok sosial ekonomi

tinggi dengan tingkat seroprevalens HVA yang rendah.

20

5.1.4. Upaya Kuratif

Upaya kuratif adalah upaya tatalaksana setelah yang bersangkutan

dinyatakan terkena HVA. Tujuan utamanya adalah memantau perjalanan

penyakit dan mengantisipasi timbulnya komplikasi. Berikut ini adalah panduan

tatalaksana kuratif terhadap penderita infeksi HVA

1 . Tidak ada terapi medikamentosa khusus bagi mereka yang terinfeksi

HVA

2. Pemeriksaan kadar SGOT-SGPT dan bilirubin terkonyugasi

untuk memantau aktivitas penyakit dan kemungkinan

timbulnya hepatitis fulminan. Pemeriksaan diulang pada

minggu ke-2 untuk melihat proses penyembuhan dan kembali

diulang pada bulan ke-3 untuk kemungkinan prolong atau

relapsing hepatitis

3. Pembatasan aktifitas fisik terutama yang bersifat kompetitif

selama kadar SGOT-SGPT masih > 3 kali batas atas nilai

normal.

4. Rawat inap hanya untuk kondisi tertentu. Pertama, dehidrasi berat

akibat gastro-enteritis hebat dengan kesulietan masukan pre-oral

Kedua, kadar SGOT-SGPT > 10 kali batas atas nilai normal

untuk mengantisipasi kemungkinan nekrosis sel hati yang

massif. Ketiga, perubahan perilaku atau penurunan kesadaran

akibat ensefalopati hepatitis fulminan. Keempat pada prolong

atau relapsing hepatitis, untuk elaborasi faktor penyertaan

lainnya.

5. Terapi suportif. Cairan intravena diberikan bila pasien dalam

keadaan dehidrasi berat atau muntah-muntah hebat dengan

masukan peroral yang sulit. Tidak ada upaya dietetic khusus.

Bila pasien mual, diberikan diet rendah lemak.

21

5.2. HEPATITIS B

Di Indonesia dan negara endemis HVB lainnya, transmisi infeksi

HVB pada usia dini menimbulkan dampai epidemiologis yang besar terhadap

rantai penularan HVB. Tujuan utama tatalaksana HVB adalah memotong jalur

transmisi pada usia dini karena hepatitis B kronik yang ditemukan pada masa

dewasa, umumnya berawal dari infeksi dini masa bayi.

5.2.1. Upaya Preventif

Titik berat upaya preventif adalah memotong rantai transmisi HVB

pada usia dini. Upaya ini dibahas berdasarkan dua pola transmisi HVB yaitu

transmisi vertikal dan transmisi horizontal, baik secara umum maupun khusus.

5.2.2. Upaya Preventif umum terhadap transmisi horizontal

Mekanisme kerja transmisi horizontal tidak begitu jelas, tetapi

tampaknya melibatkan kontrak fisik erat dimana HVB masuk melalui

permukaan mukosa atau kulit. Infeksi pada anak-anak tersebut merefleksikan

peran faktor kepadatan pada transmisi HVB. Berikut ini adalah beberapa upaya

preventif umum transmisi HVB.

1. Uji tapis donor darah dengan uji diagnostik yang sensitif.

2. Sterilisasi instrumen secara adekuat.

3. Tenaga medis senantiasa mempergunakan sarung tangan.

4. Mencegah kontak mikrolesi seperti yang dapat terjadi melalui

pemakaian sikat gigi dan sisir, atau gigitan anak pengidap HVB.

5.2.3. Upaya preventif umum terhadap transmisi vertikal

Kemungkinan terbesar preventif terjadi pada saat kelahiran pervaginam

akibat robekan plasenta dan kontaminasi darah ibu terhadap luka/mikrolesi

bayi. Idealnya, semua ibu hamil menjalani uji tapis HVB karena akan sangat

menentukan proses pengambilan keputusan dalam tatalaksana selanjutnya.

1. Skrining ibu hamil. Pemeriksaan dilakukan pada awal dan pada

trimester ketiga kehamilan, terutama pada ibu yang beresiko terinfeksi

HVB

22

2. Ibu ditangani secara multidisipliner yaitu oleh dokter ahli kandungan

dan ahli penyakit dalam.

Hepatitis Virus pada Anak3. Segera setelah bayi lahir diberikan

imunisasi hepatitis B.

4. Tidak ada indikasi kontra untuk menyusui.

5.2.4. Upaya Preventif Khusus

Upaya preventif khusus terhadap HVB dibahas dari 3 sudut pandang

yaitu upaya imunisasi aktif dengan vaksin hepatitis B rekombinan, imunisasi

pasir dengan Bhlg, serta penanganan terhadap bayi terlahir dari ibu pengidap

HVB.

5.2.5. Imunisasi Aktif

Vaksin hepatitis B rekombinan. Vaksin dibuat dengan mengekspresikan

antigen HBs pada sel ragi (saccharomyces cervisae atau Hansenula

polymorpha). Sel ragi akan memproduksi HBsAg yang identik dengan BhsAg

plasma pengidap HVB. Imunogenisitasnya sesuai dengan imunogenisitas

vaksin plasma.

Imunisasi HVB dengan vaksin yang mengandung HBsAg berdasarkan

pada peran genom HBs dalam menimbulkan prespons imun protektif terhadap

infeksi.

Tujuan imunisasi aktif HVB adalah memotong jalur transmisi HVB

melalui program imunisasi HVB terhadap bayi baru lahir dan kelompok resiko

tinggi tertular HVB. Imunisasi ini juga menurunkan resiko KHS akibat HVB.

Sasaran dan strategi imunisasi aktif HVB. Prioritas utama imunisasi

aktif HVB adalah bayi baru lahir secara universal kepada semua bayi, segera

setelah lahir, terintegrasi dengan program imunisasi lainnya. Selain memotong

transmisi dini HVB keuntungan lain adalah memperoleh imunisasi pada masa

bayi, harus diimunisasi secapatnya, paling lambat saat berusia 11 Agustus - 12

tahun.

23

5.2.6. Imunisasi Pasif

Imunisasi pasif HVB adalah pemberian hepatitis B immune globulin

(HBIg) untuk proteksi cepat, jangka pendek. HBIg dibuat dari kumpulan

plasma donor yang mengandung nati - HBs liter tinggi serta bebas HIV dan

anti-HVC.

HBIg terindikasi pada keadaan paparan akut HVB dan harus diberikan segera

setelah seseoerang terpajang HVB. Paparan akut HVB yang dimaksud adalah

kontrak dengan darah yang maengandung HBsAG, baik melalui mekanisme

inokulasi, tertelan, atau terciprat ke mukosa atau ke mata. HBIg ibu

ditentukan berdasarkan status HBsAg ibu, sedangkan status HBeAg ibu

bukan merupakan faktor pertimbangan mutlak

24

5.2.7. Tatalaksana Umum

HVB akut Prinsip talaksana adalah suportif dan pemantauan perjalanan

penyakit. Pada awal periode simtomatik, dianjurkan tirah baring. Rawat inap

pada keadaan gastroenteritis dehidrasi, kesulitan masukan peroral, titer SGOT-

SGPT > 10 kali nilai batas atas normal, atau bila terdapat kecurigaan terhadap

hepatitis fulminan seperti koagulopati, ensefalopati. Untuk memastikan klirens

HbsAg, dilakukan pemantauan fungsi hati dan serologi HVB 6 bulan kemudian.

Bila pada saat itu HBsAg masih positif, anak dinyatakan sebagai pengidap HVB.

HVB kronik. Orang tua harus memiliki pemahaman mengenai penyakit

anak, serta resiko sirosik dan KHS yang ditimbulkannya. Di lain pihak, orang tua

harus sepenuhnya menyadari kebutuhan anak untuk tumbuh dan berkembang

sesuai dengan anak normal lainnya, berdasarkan pola hidup sehat serta aktivitas

fisik yang normal. Termasuk dalam pola hidup sehat ini adalah upaya imunisasi

rutin sesuai program imunisasi anak, termasuk imunisasi HVA. Hal lain yang

perlu ditekankan adalah pentingnya pemantauan perjalanan penyakit secara

berkala.

Dilakukan pemeriksaan tambahan HBeAg, IgG anti HBc, SFOT/PT,

USG hati. Pemantauan berkala seperti di bawah ini:

1. Setiap 6 bulan dilakukan pemeriksaan HBsAG, HBeAg, SGOT-SGPT,

USG hati.

2. Pemeriksaan HBVDNA tidak rutin, tetapi ideal bila dilakukan setiap 1-2

tahun. Bila terindikasi terapi anti virus, pemeriksaan ini merupakan

keharusan untuk memprediksi keberhasilan terapi dan untuk memantau

respons terapi.

3. Bila selama pemantauan, BhsAg tetap positif tetapi SGOT/PT senantiasa

dalam batas normal, anak dipantau secara berkala seperti pada butir I.

4. Bila BhsAg tetap positif dan SGOT/PT meningkat lebih dari 1,5 kali batas

atas normal pada > 3 kali pemeriksaan berturut-turut dengan

25

5.2.7. Terapi Anti Virus

Tujuan. Dasar mekanisme kerja obat antivirus pada HVB krinik dan

HVC adalah anti replikasi virus, imunomodulator, dan anti proliferasi.

Oleh karena itu, tujuan terapi anti virus adalah sebagai berikut:

1. Menekan replikasi virus sehingga mengurangi resiko transmisi HVB

2. Normalisasi aminotransferase dan perbaikan histologis hati

3. Mengurangi derajat infektivitas virus

4. Menghilangkan atau mengurangi gejala

5. Mencegah progresivitas, menurunkan insidens KHS memperbaiki

Indikasi pembedahan . Terdapat dua populasi penderita HVB yaitu pengidap

sehat dan HVB kronik. Pengidap sehat tidak menunjukkan gejala klinis dan

biokimiawi. Pada HVB kronik, terjadi peningkatan SGOT-SGPT yang

merupakan petunjuk respons imun pejamu yang lebih aktif. Populasi HVB

kronik inilah yang terindikasi terapi antivirus.

Keberhasilan terapi. Pada terapi antivirus kombinasi (interferon &

lamivudine), hanya 24-40% saja yang menunjukkan respons jangka panjang.

HBsAg dan HBVDNA akan kembali muncul setelah terapi dihentikan.

Kegagalan ini diperkirakan karena ketidak mampuan obat antivirus untuk

menghambat produk ekspresi_gensetelah DNA virus berintegrasi dengan DNA

pejamu. Selain itu, munculnya mutan sebagai mekanisme untuk

mempertahankan viremia, dapat mengubah perjalanan penyakit dan respons

terhadap antivirus.

Faktor prediksi keberhasilan terapi. Mengingat tingkat keberhasilan terapi

yang sangat rendah, berbagai efek samping dapat yang ditimbulkannya serta

harganya yang tinggi, diperlukan parameter penentuan kandidat terapi dan

prediksi keberhasilan terapi. Hasil prediksi tersebut akan sangat menentukan

arah kebijakan selanjutnya. Berikut ini adalah beberapa faktor predictor

keberhasilan terapi.

1. SGOT/PT meningkat > 1,5 kali normal, kadar HBVDNA serum rendah

2. Adanya riwayat hepatitis akut

3. lama sakit yang relatif pendek

4. Gambaran patologi sesuai hepatitis kronik aktif, tidak sirotik

5. Anti-HIV dan HDV (-)

6. Jenis kelamin perempuan, terinfeksi pada masa dewasa.

26

5.3. HEPATITIS C

Insiden dan faktor resiko HVC pada anak masih belum jelas. Sulit

menentukan insidens HVC pada anak karena umumnya asimtomatik.

Kelompok resiko tinggi HVC adalah anak dengan transiusi darah

berulang terutama dengan transfusi faktor koagulasi serta anak dengan

hemodialisis. Sedangkan resiko transmisi vertikal HVC tidak sebesar

resiko pada HVB.

5.3.1. Upaya Preventif

Kebijakan preventif memegang peranan penting dalam tatalaksana

HVC. Konsep utama upaya ini adalah mencegah transmisi HVC melalui

upaya (1) skrining kelompok resiko tinggi, serta (2) identifikasi kasus

HVC pada individu dengan kondisi klinis tertentu.

5.3.2. Upaya preventif Umum

Mengingat kesamaan pola transmisi HVC dengan HVB maka pada

dasarnya upaya preventif umum HVC sesuai dengan upaya preventif

umum HVB. Mengingat belum tersedianya vaksin HVC sebagai bentuk

preventif spesifik, maka upaya preventif dititik beratkan pada uji tapis

(skrining) donor darah dan kelompok resiko tinggi tertular HVC yang

sesuai dengan kelompok resiko tinggi tertular HVB.

27

5.3.3. Upaya Preventif Kfiusus

Pemeriksaan anti-HVC. Selama vaksin HVC belum tersedia, upaya

preventif difokuskan pada identifikasi kasus pengidap HVC. Pemeriksaan anti-

HVC terindikasi pada kelompok di bawah ini:

1. Bayi dari ibu pengidap HVC

2. Pasien dengan gejala hepatitis, pasien dengan hepatitis kronis, sirosis, dan

KHS, pasien dengan peningkatan SGOT-SGPT yang tidak diketahui

penyebabnya.

3. Pasien transfusi darah berulang, plasmaferesis, hemodialisis, koagulopati.

4. Kontak seks - pengidap HVC, pasangan seks berganti, prostitusi,

homoseksual,

5. Pengguna obat intrvena

6. Resipien transplantasi organ

7. Tenaga medis

5.3.4. Vaksin HVC

Sampai saat ini belum ditemukan vaksin terhadap HVC. HVC tidak

menimbulkan imunitas protektif terhadap infeksi berulang baik infeksi ulang

dengan strain homolog maupun heterolog. Hal ini terbukti karena sebagian

penderita HVC mengalami beberapa episode hepatitis akut, suatu keadaan yang

meresahkan dipandang dari sisi pembuatan vaksin yang efektif. Selain itu,

tingkat kronisitas HVC yang tinggi mencerminkan kemampuanvirus untuk

mempertahankan viermia melalui mekanisme pembentukan mutan yang berhasil

lolos dari sistem imun pejamu. Tingginya laju mutasi virus juga merupakan

faktor penyebab sulitnya pembuatan vaksin HVC.

5.3.5. Upaya Kuratif umum dan Khusus

Upaya kuratif terhadap upaya tatalaksana terhadap anak dengan HVC

(+). Kebijakan umum mencakup upaya suportif, pola asuh hidup sehat, serta

pemantauan perjalanan penyakit. Kebijakan khusus adalah mengenai terapi

antivirus, khsusunya mengenai penentuan kandidat terapi dan faktor prediksi

keberhasilan terapi antivirus.

28

5.3.6. Upaya Kuratif Umum

HVC akut. Tidak mudah untuk mendeteksi HVC akut berdasarkan

pemeriksaan serologi anti -HVC karena pada dua pertiga kasus, anti-HVC baru

dapat dideteksi pada minggu ke-12. Bila anti-HVC negatir pada saat sakit < 12

minggu, pemeriksaan ini harus diulang. Dilain pihak, sebagian penderita 12

minggu, pemeriksaan ini harus diulang. Di lain pihak, sebagian penderita HVC

akut bersifat asimtomatik, terutama mereka yang ternyata akan mengalami

penyembahan. Sampai saat ini belum ada parameter imunodiagnostik

kesembuahn atau kekebalan.

HVC kronik. Upaya umum terhadap anak pengidap HVC kurang lebih

sama dengan upaya terhadap anak pengidap HVB. Anak tidak perlu memperoleh

perlakuan istimewa dan ditekankan pentingnya pola hidup sehat. Anak juga

harus memperoleh imunisasi secara lengkap termasuk imunisasi hepatitis A dan

B.

Pemantauan terhadap perjalanan penyakit perlu dilakukan secara berkala.

Berdasarkan patogenseis HVC dalam kaitannya dengan kejadian KHS dan

belum/tidak ditemukannya kejadian KHS pada anak akibat HVC, maka

pemeriksaan cc-feto protein pada anak dianggap tidak beralasan. Berikut ini adalah

upaya pemantauan terhadap anak pengidap HVC:

1. Pemeriksaan anti-HVC ulangan 6 bulan kemudian. Bila masih positif,

dilakukan pemeriksaan SGOTYPT, USG hati, HCVRNA (idealnya)

autoantibodi karena virus hepatitis C potensial untuk menimbulkan

kejadian autoimun.

2. Anti-HVC dan SGOT/PT diulang setiap 6 bulan. USG hati dilakukan 1

tahun sekali. Pemerisaan HCVRNA hanya diulang bila terindikasi terapi

antivirus.

29

BAB VI

KESIMPULAN

1. Indonesia adalah daerah endemis hepatitis virus A, B dan C dengan segala

permasalahan medis dan psiko-sosial yang dapat ditimbulkannya.

2. Upaya pencegahan memegang peran utama dalam tatalaksana ketiganya.

3. Pada HVA, upaya preventif umum mencakup perbaikan hygiene-sanitasi

pribadi dan lingkungan.

4. Pada HVB, upaya preventif umum mencakup skrining donor darah, ibu

hamil, kelompok resiko tinggi tertular HVB; perhatian terhadap kontak

erat dengan pengidap ; sterilisasi alat kedokteran. Upaya preventif khusus •

mencakup imunisasi pasif dan aktif berdasarkan status HBsAg ibu

5. Pada HVC upaya preventif umum memegang peran terpenting yaitu

skrining donor darah, kelompok resiko tinggi, ibu hamil, dan penderita

penyakit hati kronik yang belum diketahui penyebabnya. Belum ada

vaksin terhadap HVC.

6. Anak pengidap HVB dan HVC krinik perlu dipantau secara berkala untuk

mengetahui perjalanan penyakit dan deteksi dini komplikasi. Pemeriksaan

penunjang yang perlu dipantau adalah, uji fungsi hati, serologi HVB dan

HVC, a-feto protein (pada HVB), USG hati, autoantobodi (Pada HVC).

Pemeriksaan HBVDNA dan HCVRNA, atas indikasi.

7. Upaya kuratif pada HVB dan HVC adalah pemberian terapi antivirus

dengan tujuan menghentikan proses replikasi virus dan meningkatkan

respons imun pejamu. Penentuan kandidat terapi pada anak merupakan

masalah pelik karena umumnya anak asimtomatik dengan respons imun

yang tidak efektif, Dilain pihak keberhasilan terapi masih sangat rendah.

30

31

32