virus hepatitis c
DESCRIPTION
sdfghjkjuytertyu7890TRANSCRIPT
VIRUS HEPATITIS C
ANDERSEN*
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No. 6 Kebon Jeruk, Jakarta 11510
*Email : [email protected]
PENDAHULUAN 1
Sebelum ditemukannya virus hepatitis C (VHC), dunia medis mengenal 2 jenis virus
sebagai penyebab hepatitis, yaitu : virus hepatitis A (VHA) dan virus hepatitis B (VHB). Namun
demikian, terdapat juga peradangan hati yang tidak disebabkan oleh kedua virus ini dan tidak
dapat di kenal pada saat itu sehingga dinamakan hepatitis Non-A, Non-B (hepatitis NANB).
Hepatitis NANB mempunyai sifat yang menyerupai hepatitis B yaitu didapatkan
umumnya pasca transfuse darah. Diketahui bahwa penyakit hepatitis tersebut dapat timbul
dengan menyuntikkan serum dari pasien pada hewan percobaan (simpanse) sehingga diduga
keras penyebabnya adalah satu jenis virus. Pencarian penyebab hepatitis itu kemudian dilakukan
oleh banyak Institute sampai kemudian Choo dan kawan-kawan dengan cara amplifikasi dan
identitifikasi genetic berhasil mendapatkan virus penyebab hepatitis yang baru ini. Virus baru ini
kemudian dinamakan virus hepatitis C (VHC).
Penemuan VHC didapatkan dengan melakukan identifikasi virus ini, hal yang biasanya
terbalik dalam mengidentifikasi mikroorganisme dimana identifikasi gen baru dilakukan setelah
mikroorganisme ditemukan secara fisis seperti dalam bentuk partikel-pertikel virus. Choo dan
kawan-kawan berhasil mendapatkan sequence gen VHC dan mengembangkan teknik deteksi
virus ini untuk pertama kalinya dengan metode EIA menggunakan antigen yang didapat dari
virus ini. Dalam penelitian lebih lanjut ternyata hepatitis NANB sebagia besar (> 80%)
disebabkan oleh VHC. Hal ini kemudian menyebabkan banyak penelitian mengenai virus ini dan
hepatitis yang ditimbulkannya.
Infeksi VHC merupakan masalah yang besar karena pada sebagian besar kasus menjadi
hepatitis kronik yang dapat membawa pasien pada sirosis hati dan kanker hati. Di Negara maju,
infeksi VHC merupakan salah satu indikasi utama transplantasi hati. Maka dari itu untuk dapat
memahami penyakit ini dibuatlah makalah mengenai virus hepatitis C ini.
PEMERIKSAAN
A. ANAMNESIS 2
1. Identitas: nama, umur, jenis kelamin, dokter yang merujuk, pemberi informasi (misalnya
pasien, keluarga,dll).
2. Keluhan utama: pernyataan dalam bahasa pasien tentang permasalahan yang sedang
dihadapinya.
3. Riwayat penyakit sekarang (RPS): jelaskan penyakitnya berdasarkan kualitas, kuantitas,
latar belakang, lokasi anatomi dan penyebarannya, waktu termasuk kapan penyakitnya
dirasakan, faktor-faktor apa yang membuat penyakitnya membaik, memburuk, tetap,
apakah keluhan konstan, intermitten harus dalam susunan yang kronologis, termasuk test
diagnostik yang dilakukan sebelum kunjungan pasien. Catat riwayat yang berkaitan
termasuk pengobatan sebelumnya faktor resiko dan hasil pemeriksaan yang negatif.
Riwayat keluarga dan psykososial yang berkaitan dengan keluhan utama. Masalah lain
yang signifikan harus dicantumkan juga dalam riwayat penyakit sekarang dalam bagian
yang berbeda.
4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): pengobatan yang dijalani sekarang, operasi, rawat inap
di rumah sakit, trauma dan riwayat penyakit yang dulu.
5. Riwayat Keluarga: umur, status anggota keluarga (hidup, mati) dan masalah kesehatan
pada anggota keluarga (tanya apakah ada yang menderita hepatitis, kanker hati, ),
penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan.
B. PEMERIKSAAN FISIK 2,3
Pemeriksaan pada hepatitis umumnya dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi.
a. Inspeksi : melihat apakah kulit pasien dan mata (sclera) pasien menguning, apakah
terdapat vena superficial yang melebar, caput medusa, spider nevi yang biasanya muncul
di daerah dada dan bahu, apakah ada kemerahan di telapak tangan (Palmaris eritema)
yang disebabkan oleh ekspansi di pembuluh darah superficialis, pembengkakan pada
kaki, dan apakah perutnya membesar oleh karena adanya cairan.
b. Palpasi : merasakan suhu tubuh pasien dan mengukurnya apakah pasien mengalami
demam, merasakan bagian kanan atas perut pasien untuk melihat apakah hati atau limpa
yang ,membesar, konsistensi hepar, permukaan, tepi, dan tanda nyeri tekan, melakukan
Murphy sign, merasa kelenjar di leher, bawah lengan, dan di pangkal paha untuk melihat
apakah terdapat pembengkakan karena 10-20% terjadi pembengkakan kelenjar getah
bening.
c. Perkusi : menentukan batas paru hati dan peranjakan hati.
d. Auskultasi : pasien diperiksa pada posisi terlentang. Jika pasien dengan pelebaran vena
superficial atau caput medusa, maka dilakukan auskultasi pada daerah abdomen pasien
untuk mendeteksi dengung atau bising vena abdomen. Jika terdapat pembesaran hepar,
auskultasi kuadran kanan atas untuk mendeteksi bruit dari arteri hepatic. Dan auskultasi
daerah kuadran kanan atas untuk mendeteksi friction rub hati atau bunyi gesekan hati
yang terdengar seperti kita menggosokkan jari kita di dekat telinga. Ketiga bunyi tersebut
digunakan untuk mengetahui kemungkinan dan membantu diagnostic hipertensi portal,
sirosis hati, hepatitis alkoholik, kanker primer atau metastasis.
C. PEMERIKSAAN LABORATORIUM 4,5
Beberapa tes laboratorium ( darah ) dipakai terkait hepatitis C (HCV). Tes ini termasuk
tes fungsi hati, viral load HCV, tes genotipe, tes genetik IL28B, dan tes pembekuan darah.
Tes Fungsi Hati
Tes laboratorium yang di sebut “ tes fungsi hati” tidak mengukur bagaimana hati
berfungsi. Sebaliknya, tes tersebut mengukur tingkat enzim yang ditemukan di jantung, hati, dan
otot. Enzim adalah protein yang terkait dengan reaksi kimia dalam organisme hidup. Lihat
Lembaran Informasi (LI) 135 untuk informasi lebih lanjut mengenai tes fungsi hati. Tingkat
enzim yang tinggi dapat menunjukkan kerusakan pada hati yang disebabkan oleh obat, asupan
alkohol yang berat, hepatitis virus, asap beracun atau penggunaan narkoba. Hasil tes enzim hati
dapat sulit ditafsirkan. Orang dengan kerusakan hati yang berat kadang kala memiliki tingkat
enzim hati yang normal. Pola yang berbeda dari enzim ini ialah ketika ada yang tinggi dan yang
lain tetap normal, adalah bagian dari informasi yang dipakai oleh dokter memakai untuk
memantau kesehatan hati.
Tes fungsi hati termasuk :
Albumin adalah protein yang paling umum dalam darah. Hal ini penting untuk pengalihan
cairan tubuh secara benar. Albumin membantu memindahkan molekul kecil di seluruh tubuh.
Karena albumin dibuat oleh hati, penurunannya mungkin merupakan tanda penyakit hati,
penyakit ginjal, atau gizi buruk.
ALT (alanin aminotransferase, dulu dikenal sebagai SGPT) dipakai bersamaan dengan AST
untuk memantau kesehatan hati. Kadang kala ALT dipakai untuk melihat apakah pengobatan
berhasil memperbaiki fungsi hati.
AST (aspartat aminotransferase, dulu dikenal sebagai SGOT) biasanya dipakai dengan ALT
untuk memantau kesehatan hati.
Bilirubin adalah cairan berwarna kuning yang dihasilkan ketika sel darah merah menjadi
rusak. Tingkat bilirubin yang tinggi dapat menyebabkan ikterus (penyakit kuning), yang
menyebabkan bagian putih mata dan kadang kala kulit menjadi berwarna kuning. Tingginya
tingkat bilirubin dapat menandakan penyakit hati, tapi mungkin juga tidak penting jika
disebabkan oleh obat antirertroviral (ARV) indinavir atau atazanavir.
Fosfatase alkalin. Sel hati yang rusak mengeluarkan jumlah fosfatase alkali yang meningkat
ke aliran darah. Tingkat yang tinggi juga bisa menandakan penyakit tulang.
Feritin adalah protein yang mengikat pada zat besi. Tingkat feritin atau zat besi dalam darah
yang tinggi dapat menandai pengumpulan zat besi (hemokromatosis) atau penyakit hati lain.
GGT (gamma glutamil transpeptidase). Hasil tes ini dapat menunjukkan apakah hasil tes
abnormal yang lain disebabkan oleh masalah hati atau masalah tulang. Bila AST dan ALT
tidak meningkat, tes GGT mungkin dilakukan untuk membantu menentukan apakah sumber
fosfatase alkali tinggi adalah kelainan tulang atau penyakit hati. Tingkat GGT meningkat
dengan konsumsi alcohol yang berat.
LDH (laktik dehidrogenase) adalah enzim ditemukan dalam banyak jaringan tubuh.
Peningkatan tingkat LDH biasanya menunjukkan beberapa jenis kerusakan jaringan. Tes
ALT, AST, dan fosfatase alkali membantu menentukan organ yang mana terlibat.
Tes Viral Load
Tes viral load HCV menghitung berapa banyak bibit virus hepatitis C (HCV) dalam darah.
Tes ini mirip dengan tes viral load HIV tetapi ada beberapa perbedaan penting:
Viral load HCV diukur dalam satuan internasional per mililiter (IU/mL). Satu IU adalah
sekitar tiga tiruan (copy) HCV.
Viral load HCV jauh lebih tinggi dibandingkan viral load HIV. Viral load HCV dapat
mencapai beberapa juta IU. Viral load HCV di bawah 400.000 sampai 600.000 IU dianggap
rendah.
Viral load HIV dipakai untuk meramalkan perkembangan penyakit. Namun, hal ini tidak
dibenarkan untuk viral load HCV. Viral load HCV yang tinggi tidak menunjukkan bahwa
penyakit berkembang lebih cepat. Namun, viral load HCV dapat meramalkan tanggapan
terhadap pengobatan HCV: semakin rendah viral load, semakin mungkin pengobatan HCV
akan berhasil.
Viral load dipakai untuk menentukan apakah pengobatan HCV berhasil, dan seberapa cepat
viral load menjadi tidak terdeteksi. Bila viral load menjadi tidak terdeteksi selama
pengobatan HCV dan tetap begitu selama enam bulan setelah pengobatan selesai, hal ini di
sebut sebagai sustained virologic response atau SVR. Bila kita mencapai SVR, umumnya
hasil ini tetap dialami selama sepuluh tahun atau lebih, dan dianggap penyembuhan.
Tes Genotipe HCV
Ada lebih dari enam tipe HCV, yang diidentifikasi oleh nomo r. Ada juga subtipe, yang
diidentifikasi oleh huruf. Contohnya , ada genot ipe 1a dan 1b. Genotipe HCV ditentukan
dengan menganalisis contoh darah untuk mengetahui kode genetik virus. Tipe HCV yang paling
umum di Amerika Utara adalah genotype 1, jauh lebih lazim daripada genotipe 2 dan 3.
Tampaknya keadaan genotipe juga mirip di Indonesia. Genotipe dan subtipe HCV memberikan
informasi yang penting pada dokter untuk memilih pengobatan. Misalnya, genotype 2 dan 3
paling mudah diobati dengan interferon.
Tes Genetik IL28B
Para peneliti baru-baru ini menemukan hubungan antara kode genetik pasien dan
tanggapannya terhadap pengobatan yang baku. Kode genetik dari sekelompok besar pasien
dengan HCV genotipe 1 dianalisis. Pasien dengan jenis gen IL28B yang tertentu lebih dari dua
kali lebih mungkin menanggapi pengobatan HCV baku dengan interferon dan ribavirin secara
baik. Tes IL28B mungkin akan menjadi alat penting untuk memandu pengobatan HCV.
Tes Pembekuan Darah
Beberapa tes mungkin akan dipakai jika kita akan melakukan biopsi hati. Dengan biopsi,
ada risiko perdarahan. Tes pembekuan darah mengukur seberapa cepat darah membentuk
pembekuan, yang menghentikan perdarahan. Nilai abnormal pada tes ini mungkin menandakan
penyakit hati lanjut.
o PT/INR (Prothrombin Time dan International Normalized Ratio) adalah tes pembekuan
darah yang paling umum. Contoh kecil darah dites di laboratoriumuntuk menentukan
dibutuhkan berapa lama untuk membentuk pembekuan.
o Hitung Trombosit (Platelet Count) menunjukkan jumlah trombosit dalam darah. Orang
dengan penyakit hati lanjut mungkin memiliki lebih sedikit trombosit dan mungkin lebih
cenderung berdarah setelah biopsi hati.
Uji Serologi
Bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap VHC. Untuk menunjukkan adanya
infeksi yang terjadi baik pada waktu yang lampau maupun padasaat sekarang yaitu dengan
menentukan antibodi terhadap VHC, dengan cara enzymeimuno-assay (EIA) dan sebagai tes
konfirmasi dipakai cara recombinant immunoblot assay (RIBA).
Setelah terpapart VHC terdapat periode yang belum terjadi reaksi serologi yang disebut sebagai
window period.
1. Enzymeimuno-assay (EIA), antigen yang digunakan untuk deteksi dengan cara ini adalah
antigen C-100 dan beberapa antigen non-struktural (NS 3,4 dan 5) sehingga tes ini
menggunakan poliantigen dari VHC. Antibody terhadap VHC dapat dideteksi pada
minggu ke 4-10 dengan sensitivitas 99% dan spesifitas lebih dari 90%. Negative palsu
dapat terjadi pada pasien dengan HIV, gagal ginjal, atau pada krioglobulinemia.
2. recombinant immunoblot assay (RIBA), dulu digunakan untuk tes konfirmasi
pada pasien dengan anti-HCV positif dengan EIA.
Uji Molekuler
Bertujuan untuk mendeteksi adanya genom RNA VHC. Amplifikasi sekuens (deretan) asam nukleotida
VHC dengan cara PCR (polymerase chain reaction), merupakan cara untuk mendeteksi adanya
virus. PCR dapat mendeteksi adanya RNA VHC pada 1 – 3 minggu setelah inokulasi ,
merupakan cara terbaik untuk diagnosis infeksi VHC. Pemeriksaan HCV RNA PCR terdiri dari
pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif. PCR kualitatif dapat mengetahui keberadaan virus
hepatitis C dalam darah (viremia). Sedangkan PCR kuantitatif dapat mengetahui jumlah virus
dalam darah, sehingga dapat menentukan apakah perlu diberikan pengobatan dengan antivirus
atau tidak. Namun, jumlah virus dalam darah (viral load) tidak berhubungan dengan beratnya
penyakit.
Radiografi
Hanya dengan penggunaan X-Ray dapat menemukan pembesaran liver dengan
menempatkan X-Ray tepat diatas bagian abdominal
WORKING DIAGNOSIS 6,7
Diketahui sekitar 75 persen orang yang terinfeksi hepatitis C tidak memiliki gejala saat
pertama kali didiagnosis, dan 25 persen sisanya mengeluh kelelahan, kehilangan nafsu makan,
nyeri otot atau demam. Sedangkan kondisi kulit dan mata yang menguning jarang terjadi pada
tahap awal infeksi.
Infeksi hepatitis C akan menjadi kronik pada 70-90% kasus dan sering kali tidak
menimbulkan gejala apapun walaupun proses kerusakan hari berjalan terus. Hilangnya VHC
setelah terjadi kerusakan hati berjalan terus. Hilangnya VHC setelah terjadi hepatitis kronik
sangat jarang terjadi. Diperlukan waktu 20-30 tahun untuk terjadinya sirosis hati yang akan
terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C kronik.
Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada pemeriksaan fisis
maupun laboratorium kecuali bila sudah terjadi sirosis hati. Pada pasien dimana ALT selalu
normalm 18-20% sudah terdapat kerusakan sel hati yang bermakna, sedangkan diantara pasien
dengan peningkatan ALT, hampir semuanya sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai
berat.
Biasanya diagnosis awal dari hepatitis C diketahui melalui pemeriksaan darah yang
menunjukkan adanya peningkatan kadar enzim di hati, tanda kerusakan hati yang menjadi
petunjuk pertama kemungkinan adanya infeksi. Namun manifestasi klinis hepatitis C yang
tidak spesifik dan sering kali asimtomatik, mengakibatkan infeksi VHC sulit untuk
dideteksi, apalagi untuk membedakan hepatitis tipe lainnya. Maka diperlukan diagnosis hepatitis
C dengan bantuan pemeriksaan biokimia dan serologi.
Diagnosis hepatitis C berdasarkan pemeriksaan laboratorium yaitu Anti HCV dengan
metode enzyme immunoassay (EIA) untuk mendeteksi antibodi terhadap hepatitis C. Sedangkan
untuk konfirmasi diagnosis dilakukan pemeriksaan HCV RNA dengan metode PCR.
DIAGNOSIS DIFFERENTIAL 8,9
Hepatitis A
Penularan : rute orofekal; makanan, air, susu dan kerang yang tercemar; pusatperawatan harian dalam
keadaan terjangkit wabah.
Inkubasi : 2-6 minggu
Kronis : tidak ada
Diagnosis : hepatitis akut = 1gM anti-HAV (+); pernah terpajan = anti-HAV(+), 1gM anti HAV-
Hepatitis B
Penularan : perkutaneus, seksual, perinatal
Inkubasi : 2-6 bulan
Sindrom ekstrahepatik : poliartritis nodosa, glomerulonefritis membranosa
Kronisitas : < 10%
Serologi :HbsAg : muncul sebelum gejala; digunakan untuk skrining pendonor darahHbeAg :
bukti replikasi virus dan ↑infektivitas.
IgM anti-HBc : Antibodi yang pertama kali muncul : menunjukkan infeksi akut
IgG anti-HBc : menunjukkan infeksi HBV sebelumnya (HbsAg-) atau infeksi HBV yang sedang
berlangsung (HbsAG +)
Anti-HBe : menunjukkan penghentian replikasi virus, infektivitas ↓
Anti-HBs : menunjukkan resolusi penyakit akut dan kekebalan (petanda tunggal setelah vaksinasi)
HBV DNA : muncul dalam serum yang berhubungan dengan replikasi virusaktif di dalam hepar
Diagnosis
Diagnosis HBsAg Anti-HBs Anti-HBc
Hepatitis akut + - IgM
Riwayat pajanan - + IgG
Hepatitis kronis + +/- IgG
Imunisasi - + -
Penatalaksanaan untuk penyakit kronis (HbsAg (+), HBV DNA (+), ALT) IFN-α-2b atau
lamuvidine hilangnya petanda replikasi virus dan normalisasi uji fungsi hepar pada 20
40%.Transplantasi hepar : 80-100% reinfeksi dan hasilnya sering buruk kecuali bila diberikan
HBIG atau lamuvidine.
Hepatitis D
Penularan : perkutaneus atau seksual
Patogenesis : memerlukan fungsi pembantu infeksi HBV untuk menimbulkan baik infeksi spontan maupun
superimposisi
Perjalanan penyakit : hepatitis yang lebih berat, perubahan ke arah sirosisyang lebih cepat
Diagnosis : anti-HDV
Hepatitis E
Penularan : oro-fekal; wisatawan ke Pakistan, India, Asia Tenggara, Afrika,dan Meksiko.
Perjalanan penyakit : hepatitis akut dengan mortalitas yang meningkat (10-20%) selama kehamilan.
Diagnosis : IgM anti-HEV (melalui CDC)
Hepatitis G
Family flavivirus
Penularan : hubungan seksual dan darah
Peerjalanan penyakit : belum jelas hubungannya dengan penyakit hati tetapi dapat menyebabkan
infeksi kronik puluhan tahun, 60-70% sembuh sendiri dengan antibody (+)
Diduga mempengaruhi replikasi HIV
Hepatitis Alkoholik
Kadar aminotransferase biasanya < 300-500 dengan rasio AST : ALT > 2 : 1,sebagian karena adanya defisiensi
B6 yang terjadi bersamaan.
Pengobatan : diindikasikan jika fungsi diskriminan > 32 atau ensefalopati (tanpa GIB
atau infeksi) Fungsi diskriminan = [4,6 x (PT-kontrol)] + bilirubin total (mg/dl) Prednison 40 mg
per oral 4 kali sehari selama 1 bulan
Hepatotoksisitas Asetaminofen
Patofisiologi : metabolisme normal melalui glukuronidasi dan sulfas → metabolit nontoksis;Over
dosis → hidroksilasi N oleh sitokrom P450 → senyawa reaktif elektrofilik yang disimpan oleh
glutation sampai jenuh → hepatotoksisitas.
Pengobatan : N-asetilsestein : diberikan sampai 36 jam setelah konsumsi obatjika kadar
asetaminofen sudah ↓ (sehingga kadar puncak tidak diketahui). Regimen : dosis pembebanan 140
mg/kg setiap 4 jam sebanyak 17 kali dosis tambahan
ETIOLOGI 10
VHC merupakan virus RNA yang digolongkan dalam flavivirus bersama-sama dengan
virus hepatitis G, yellow fever, dan dengue. Virus ini umumnya masuk ke dalam darah melalui
transfusi atau kegiatan-kegiatan yang memungkinkan virus ini langsung terpapar dengan
sirkulaasi darah. Virus VHC yang ada dialam darah ini kemudian akan menyerang sel-sel hati
dan mungkin juga sel limfosit B melalui reseptor yang mungkin sekali serupa dengan CD81 yang
terdapat di sel-sel hati maupun limfosit sel B atau reseptor LDL (LDLR).
Setelah menempel pada sel hati, virus melakukan penetrasi kemudian ketika berada di
dalam sitoplasma VHC akan melepaskan selubung virusnya dan RNA virus siap untuk
melakukan translasi protein dan kemudian replikasi RNA. Struktur gen VHC adalah sebuah
RNA rantai tunggal, positif sepanjang kira-kira 10.000 pasang basa deengan daerah open reading
form (ORF) diapit oleh susunan nukleotida yang tidak ditranslasikan (untranslated region atau
UTR) pada masing-masing ujung 5’ dan 3’. Kedua ujung gen VHC tidak ditranslasikan ini
diketahui sangat terjaga (conservede) sehingga saat ini dipakai untuk identifikasi adanya infeksi
VHC, terutama pada ujung 5’. Regio ini juga sedang diteliti untuk digunakan dalam terapi
hepatitis C karena berperan dalam replikasi virus.
Translasi protein VHC dilakukan oleh ribosom sel hati yang akan mulai membaca RNA
VHC dari satu bagian spesifik (internal ribosom entry site atau IRES) yang terdapat di regio 5’
UTR.
Daerah ORF akan menghasilkan satu poliprotein yang terdiri dari 3011 asam amino.
Asam-asam amino yang dihasilkan ORF ini akan diproses oleh peptidase sel hati untuk protein-
protein struktural VHC (dari core dan envelope) dan protease-protease dikode oleh VHC untuk
protein-protein regulator dari regio nonstruktural (NS region). Sampai saat ini telah dikenal 3
macam protein struktural (core, E1 dan E2) maupun 7 protein non-struktural (atau protein
regulator) yaitu: NS2, NS3, p7, NS4a, NS5a, dan NS5b.
Protein core dalam proses pengemasan virus setelah keluar dari sel akan membungkus
RNA VHC rantai tunggal yang positif di retikulum endoplasma. Protein ini juga ditemukan
dalam nukleus sel hati dan mungkin bertanggung jawab dalam timbulnya kerusakan sel hati atau
dalam fungsi penekanan imunoregulasi dan apoptosis sel hati yang terinfeksi VHC.
Dua bagian dari regio E2 dikenal sebagai hypervariable region (HVR1 dan HVR2) karena
susunan nukleotidanya sangat bervariasi dan merupakan hasil interaksi antara regio E2 juga
mentranslasikan CD81 yang juga berperan sebagai reseptor virus untuk infeksi ke dalam sel.
Antibodi terhadap protein E2 ini dapat protektif pada percobaan dengan simpanse. Regio E2 ini
memuat sequence yang identik dengan tempat fosforilasi protein kinase interferon (PKR) yang
mungkin berperan dalam kerentanan VHC terhadap terapi interferon.
Regio NS2, NS3 dan NS4a menghasilkan protease, NS3 menghasiilkan helikase dan NS5b
menghasilkan RNA-dependent RNA polymerase. Di antara regio NS2 dam E terdapat regio yang
menghasilkan protein p7 yang diduga berfungsi sebagai saluran (chanel) ion di membran selular.
Bagian dari regio NS5A juga ditengarai mempunyai hubungan dengan keberhasilan terapi
dengan interferon sehingga disebut sebagai interferon sensitivity determining region (ISDR)
walaupun hal ini masih kontroversial.
VHC bereplikasi melalui RNA-dependent RNA polymerase yang akan menghasilkan
saluran RNA virus tanpa mekanisme proof-reading (mekanisme yang akan menghancurkan
salinan nukleotida yang tidak persis sama dengan aslinya). Keadaan ini mengakibatkan
timbulnya banyak salinan-salinan RNA VHC yang sedikit berbeda namun masih berhubungan
satu sama lain pada seorang pasien yang disebut sebagai quasispecies. Perbedaan nukleotida
diantara quasispecies tidak lebih dari 10% namun menimbulkan masalah pada pengenalan sistem
imunologik pasien terhadap virus ini karena perbedaan struktur antigen yang diekspresikan oleh
VHC.
Kecepatan replikasi VHC sangat besar, melebihi HIV maupun VHB. Data yang ada
menunjukkan replikasi VHC terjadi dalam sitoplasma sel hati dengan membuat salinan RnA
negatif sementara yang dilakukan oleh RNA-dependent RNA polymerase, protein yang dikode
oleh regio NS5b pada gen VHC. Melalui salinan RNA negatif ini dibuat salinan-salinan RNA
positif. Untuk kegiatan replikasi ini, VHC memerlukan semua aktivitas enzim-enzimnya, gen p7
dan susunan ujung 3’ yang tepat. Untai ganda RNA ini akan diurai oleh helikase VHC (hasil
translasi NS3) dan dalam proses pengeluaran virus dari sel, rantai RNA positif tunggal yang
dimasukkan dalam protein C (core) dan E (envelope).
Susunan gen-gen yang berbeda pada regio 5’ UTR, core maupun NS5b diketahui dapat
menggolongkan VHC dalam beberapa genotipe dan subtipe. Genotipe dipisahkan oleh perbedaan
susunan gen lebih kurang 30% sedangkan subtipe dipisahkan oleh perbedaan susunan gen 30%
sedangkan subtipe dipisahkan oleh perbedaan susunan gen <10. Saat ini telah diidentifikasikan 6
genotipe yang berbeda dengan subtipe yang banyak dan setiap saat bertambah terus. Di
Indonesia, Amerika serikat dan Eropa barat terbanyak adalah genotipe 1a dan 1b. Lebih dari 60%
diantara genotipe yang berhasil diidentifikasikan pada beberapa hasil penelitiaan di Indonesia
merupakan genotipe 1a dan 1b.
Genotipe 1 mempunyai kecepatan replikasi lebih besar daripada genotipe lainnya sehingga
umumnya kandungan virus pada seorang pasien lebih besar. Genotipe ini diketahui pula
mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan pasien dengan genotipe lain. Genotipe 1 dan 4
memerlukan terapi yang lebih lama dibandingkan dengan genotipe 2 dan 3. Variasi di regio
NS5a mungkin berperan dalam menentukan keberhasilan terapi dengan interferon tetapi hal ini
masih menjadi kontroversial.
EPIDEMIOLOGI 11,12
Infeksi VHC didapatkan diseluruh dunia. Dilaporkan lebih kurang 170 juta orang
diseluruh dunia terinfeksi virus ini. Prevalensi VHC di dunia berbeda-beda. Di Indonesia belum
ada data resmi mengenai infeksi VHC tetapi dari laporan pada lembaga transfuse darah
didapatkan lebih kurang 2% positif terinfeksi oleh VHC. Pada studi populasi umum di Jakarta
prevalensi VHC lebih kurang 4%. Infeksi VHC juga didapatkan secara sporadic atau tidak
diketahui asal infeksinya. Hal ini dihubungkan dengan social ekonomi rendah, pendidikan
kurang, dan perilaku seksual yang berisiko tinggi. Infeksi dari ibu ke anak juga dilaporkan
namun sangat jarang terjadi, biasanya dihubungkan dengan ibu yang menderita HIV karena
jumlah VHC dikalangan ibu yang menderita HIV biasanya tinggi. Dilaporkan pula tejadinya
infeksi VHC pada tindakan-tindakan medis seperti endoskopi, perawatan gigi, dialysis, maupun
operasi. VHC dapat bertransmisi malalu luka tusukan jarum namun diketahui risikonya relative
lebih kecil daripada VHB.
Umumnya genotype yang didapatkan di Indonesia adalah genotype 1 (lebih kurang 60-
70%) diikuti oleh genotype 2 dan genotype 3. Prevalensi yang tinggi didapatkan pada beberapa
kelompok pasien seperti pengguna narkotika suntik (>80%) dan pasien hemodialisis (70%).
VHC didapatkan pada saliva pasien tetapi infeksi VHC melalui saliva dan kontak-kontak lain
dalam rumah tangga diketahui sangat tidak efisien untuk tejadinya infeksi dan transmisi VHC
sehingga amat jarang ditemukan adanya transmisi VHC melalui hubungan dalam rumah tangga.
KELOMPOK RESIKO TINGGI 11,12
Angka kejadian HCV akan lebih tinggi pada kelompok resiko tinggi.Berdasarlaporan
hasil penelitian, diperoleh dara mereka yang dapatdigolongkan kelompok resiko tinggi ialah :
1. Penerima tranfusi darah atau produk darah (resipen).
2. Yang sering menggunakan obat-obat intravena (intravena drug users/ab-users).
3. Tenaga medis/paramedis yang sering kontak dengan darah atau komponen darah.
4. Menerima perawatan hemodialisis untuk jangka waktu yang panjang
5. Dilahirkan untuk wanita dengan infeksi hepatitis C
6. Menerima transfusi darah atau transplantasi organ
PATOFISIOLOGI 13
Kerusakan sel hati akibat VHC atau partikel virus secara langsung masih belum jelas
mekanismenya. Namun beberapa bukti menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang
menyebabkan kerusakan sel-sel hati. Protein core misalnya diduga dapat menimbulkan reaksi
perlepasan radikal oksigen dari mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui pula mampu
berinteraksi pada mekanisme signalling dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan
regulasi imunologik dan apoptosis. Adanya bukti-bukti ini menyebabkan kontroversi apakah
VHC bersifat sitotoksik atau tidak.
Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya eliminasi
menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang relatif lemah masih
mampu mengakibatkan terjadinya kerusakkan sel-sel hati dan melibatkan virus maupun menekan
evolusi genetik VHC sehingga kerusakan sel hati berjalan terus menerus. Kemampuan CTL
tersebut dihubungkan dengan aktivitas limfosit sel T-helper (Th) spesifik VHC. Adanya
pergeseran dominasi aktivasi Th1 menjadi Th2 berakibat pada reaksi toleransi dan melemahnya
respons CTL.
Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflmasi seperti TNF-α, TGF-
β1, akan menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivasi sel-sel
stelata di ruang disse hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya dalam keadaan “tenang” (quiscent)
kemudian berproliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan
matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam menghasilkan sitokin-sitokin
pro-inflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi
tidak berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati yang ada semakin
sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati.
GEJALA KLINIS 13,14
Umumnya infeksi akut HCV tidak memberi gejala atau hanya bergejala minimal. Hanya
20-30% kasus yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7 – 8 minggu (berkisar 2 – 26
minggu) setelah terjadinya paparan.
Tanda dan gejala :
Malaise.
Jaundice (kulit atau mata menjadi kuning), jarang terjadi.
Fatigue (lelah).
Loss of appetite (anorexia/hilang selera makan).
Nausea and vomiting (mual dan muntah).
Low-grade fever (demam rendah).
Pale or clay colored stools (pucat).
Dark urine (urine menjadi gelap).
Hepatitis C Akut
M a s a i n k u b a s i V H C s e k i t a r 7 m i n g g u ( 3 – 2 0 m i n g g u ) . M a n i f e s t a s i
y a n g tidak spesifik menyebabkan diagnostik VHC akut sulit ditegakkan tanpa pemeriksaan
serologis. 4 – 12% dengan gejala klinis beerupa malaise, nausea, nyeri perut kwadran kanan atas
yang diikuti dengan urin berwarna tua dan ikterus. Gambaran histopatologi VHC akut yaitu
adanya pembengkakan atau nekrosis sel hati, infiltrasi sel mononuklear atau terjadinya
kolestasis.Setelah beberapa minggu kadar serum alanin amino transferase (ALT) meningkat
diikuti dengan timbulnya gejala klinis. Hampir semua pasien (lebih dari 80%) terjadi
peningkatan sementara ALT dengan puncaknya lebih besar dari 10 kalin o r m a l , t e t a p i
h a n y a 1 / 3 n y a y a n g t e r d a p a t g e j a l a k l i n i s a t a u i k t e r u s , s e d a n g k a n sisanya
tanpa ikterus dan gejala subklinis. Lamanya sakit berlangsung 2-12 minggu,bila sembuh maka
RNA VHC tidak ditemukan lagi dalam beberapa minggu dan nilaiALT akan kembali normal.
Hepatitis C akut menurut waktu timbulnya gejala klinis, RNA VHC, nilai ALT dan anti VHC
Sumber : http://www.scribd.com/doc/51290434/Virus-Hepatitis-C-HCV
Hepatitis C Kronis
Manifestasi klinis hepatitis C kronis tidak spesifik dan sering bersifat asimtomatik,
sehingga sering tidak terdeteksi. Gejala klinis yang paling sering ditemukan adalah rasa lelah.
Gejala klinis seperti anoreksia, nausea, nyeri perut daerah kuadran atas kanan, urine warna tua
dan gatal-gatal juga dapat ditemukant erutama pada kasus-kasus yang berat. Manifestasi klinis
fase akut akan menghilang, tetapi kadar ALT tetap tinggiatau berfluktuasi dan RNA VHC masih
dapat ditemukan. Sedangkan anti VHC yangpositif dapat terjadi baik pada infeksi akut maupun
kronis. Telah dilaporkan adanya anti VHC yang persisten selama lebih dari 10 tahun, setelah
RNA VHC tidak ditemukan lagi dalam serum penderita.
Hepatitis C kronis, waktu ditemukan RNA VHC,Anti-VHC dan nilai ALT
Sumber : http://www.scribd.com/doc/51290434/Virus-Hepatitis-C-HCV
P a d a h e p a t i t i s C k r o n i s t e r d a p a t 3 b e n t u k k e l a i n a n h i s t o p a t o l o g i s
y a i t u , hepatitis kronis aktif, hepatitis kronis persisten dan hepatitis kronis lobuler.
Ditemukannya nekrosis piecemeal dan nekrosis lobuler merupakan faktor
prediksiprogresifitas dan derajat beratnya penyakit.
Hepatitis Fulminan
Hepatitis C akut dapat berlanjut menjadi hepatitis fulminan walaupun sangat jarang.
Terjadinya hepatitis fulminan karena respons CD4 + CTL terhadap hepatosit yang terinfeksi
VHC menyebabkan lisis hepatosit dan pengeluaran enzim transaminase yang masif
PENATALAKSANAAN 15
a. Medikamentosa
Alpha Interferon
Terapi untuk hepatitis C kronis telah berkembang terus sejak interferon alpha pertama kali
disetujui untuk digunakan dalam penyakit ini lebih dari 15 tahun yang lalu. Pada saat ini, rejimen
yang optimal tampaknya menjadi 24 - atau 48 minggu saja dari kombinasi pegylated interferon
alfa dan ribavirin.
Alpha interferon adalah protein host yang dibuat sebagai respons terhadap infeksi virus dan
memiliki aktivitas antivirus alami. Bentuk rekombinan alfa interferon telah diproduksi, dan
beberapa formulasi (alfa-2a, alfa-2b, interferon konsensus) yang tersedia sebagai terapi untuk
hepatitis C. Bentuk-bentuk standar interferon, bagaimanapun, sekarang digantikan oleh
pegylated interferon (peginterferon) .
Peginterferon adalah alpha interferon yang telah dimodifikasi secara kimiawi dengan
penambahan molekul inert besar polietilen glikol. Pegilasi perubahan penyerapan, distribusi, dan
ekskresi interferon, memperpanjang waktu paruhnya. Peginterferon dapat diberikan sekali
seminggu dan menyediakan tingkat yang lebih konstan interferon dalam darah, sedangkan
interferon harus diberikan beberapa kali seminggu dan memberikan tingkat intermiten dan
berfluktuasi. Selain itu, peginterferon lebih aktif daripada interferon standar dalam HCV
menghambat dan hasil yang lebih tinggi tingkat tanggapan yang bertahan dengan efek samping
yang serupa. Karena kemudahan administrasi dan kemanjuran yang lebih baik, peginterferon
telah menggantikan interferon standar baik sebagai monoterapi dan sebagai terapi kombinasi
untuk hepatitis C.
Ribavirin
Ribavirin adalah agen antivirus oral yang memiliki aktivitas terhadap berbagai virus. Dengan
sendirinya, ribavirin memiliki dampak kecil pada HCV, tetapi menambahkan ke interferon
meningkatkan tingkat respon ditopang oleh 2 - untuk 3-kali lipat. Untuk alasan ini, terapi
kombinasi sekarang direkomendasikan untuk hepatitis C, dan interferon monoterapi hanya
diterapkan jika ada alasan tertentu untuk tidak menggunakan ribavirin.
Kombinasi Terapi
Terapi kombinasi mengarah ke perbaikan cepat kadar ALT serum dan hilangnya RNA HCV
yang terdeteksi pada sampai dengan 70 persen pasien. Namun, perbaikan jangka panjang pada
hepatitis C terjadi hanya jika RNA HCV menghilang selama terapi dan tetap tidak terdeteksi
setelah terapi dihentikan. Di antara pasien yang menjadi RNA HCV negatif selama pengobatan,
beberapa akan kambuh ketika terapi dihentikan. Tingkat relaps lebih rendah pada pasien yang
diobati dengan terapi kombinasi dibandingkan dengan monoterapi. Jadi, kursus 48 minggu terapi
kombinasi menggunakan peginterferon dan ribavirin menghasilkan tingkat tanggapan yang
bertahan sekitar 55 persen. Sebuah kursus serupa monoterapi peginterferon menghasilkan tingkat
tanggapan yang bertahan hanya 35 persen. Sebuah respon dianggap "berkelanjutan" jika RNA
HCV tidak terdeteksi selama tetap 6 bulan atau lebih setelah menghentikan terapi.
Dosis
Dua bentuk peginterferon telah dikembangkan dan dipelajari dalam uji klinis besar:
peginterferon alfa-2a (Pegasys: Hoffman La Roche, Nutley, NJ) dan peginterferon alfa-2b
(PegIntron: Schering-Plough Corporation, Kenilworth, NJ). Kedua produk yang kira-kira setara
dalam keberhasilan dan keamanan, tetapi memiliki rejimen dosis yang berbeda.
Peginterferon alfa-2a diberikan subkutan dengan dosis tetap 180 mikrogram (mcg) per
minggu.
Peginterferon alfa-2b diberikan subkutan mingguan dengan dosis berdasarkan berat
badan dari 1,5 mcg per kilogram (kg) per minggu (dengan demikian dalam kisaran 75
sampai 150 mcg per minggu).
Ribavirin adalah obat oral, diberikan dua kali sehari dalam kapsul 200-mg untuk dosis total
harian berdasarkan berat badan. Dosis standar ribavirin adalah 1.000 mg untuk pasien yang
beratnya kurang dari 75 kg (165 pon) dan 1.200 mg untuk mereka yang berbobot lebih dari 75
kg. Dalam situasi tertentu, dosis 800 mg (400 mg dua kali sehari)
Efek Samping Pengobatan
Efek samping yang umum dari alfa interferon dan peginterferon (terjadi di lebih dari 10 persen
pasien) termasuk
kelelahan
nyeri otot
sakit kepala
mual dan muntah
iritasi kulit di tempat injeksi
demam
berat badan
sifat lekas marah
depresi
tulang ringan penekanan sumsum
rambut rontok (reversibel)
Ribavirin juga menyebabkan efek samping, dan kombinasi pada umumnya kurang baik
ditoleransi daripada monoterapi peginterferon. Efek samping yang paling umum ribavirin yang
anemia
kelelahan dan lekas marah
gatal
ruam kulit
hidung tersumbat, sinusitis, dan batuk
Efek samping jarang interferon alpha, peginterferon, dan terapi kombinasi (terjadi dalam waktu
kurang dari 2 persen pasien) termasuk
Penyakit autoimun (terutama penyakit tiroid)
parah infeksi bakteri
ditandai trombositopenia
ditandai neutropenia
kejang
depresi dan bunuh diri atau usaha
retinopati (microhemorrhages)
gangguan pendengaran dan tinnitus
b. Non medikamentosa
Pasien dengan hepatitis C kronis harus diberi rekomendasi standar mengenai gaya hidup sehat
dan diet. Mempertahankan berat badan yang normal mungkin sangat menguntungkan baik dalam
mencegah perkembangan hepatitis C dan meningkatkan kemungkinan respon terhadap terapi
antivirus. Penggunaan alkohol harus berkecil hati terutama pada pasien dengan riwayat
ketergantungan atau penyalahgunaan. Sementara penggunaan alkohol sederhana tidak mungkin
merugikan pada pasien dengan ringan sampai sedang hepatitis C, pantang harus
direkomendasikan selama terapi antiviral dan untuk pasien dengan sirosis. Pasien dengan
hepatitis C kronis harus ditawarkan vaksinasi terhadap hepatitis A dan B dan skrining antibodi
terhadap hepatitis A virus dan virus hepatitis B sebelum vaksinasi sering tepat. Akhirnya, pasien
dengan hepatitis C harus memperingatkan terhadap penggunaan semua resep lain tetapi yang
paling penting dan over-the-counter obat. Perhatian terutama harus diberikan pada penggunaan
obat herbal yang sering diiklankan sebagai membantu hati, sebagaimana mereka kadang-kadang
dapat menyebabkan kerusakan yang cukup besar. Akhirnya, pasien dengan sirosis karena
hepatitis C harus menjalani skrining dan surveilans untuk varises esofagus dan karsinoma
hepatoseluler.
KOMPLIKASI 16
Infeksi hepatitis c yang terus selama bertahun-tahun dapat menimbulkan komplikasi yang
signifikan, seperti :
1. Parut pada jaringan hati (sirosis)
Setelah 20 sampai 30 tahun infeksi hepatitis C, sirosis dapat terjadi. Sirosis adalah keadaan hati
yang sudah mengalami fibrosis dan pemebntuka jaringan parut yang difus di hati. Jaringan hati
normal digantikan oleh nodus nodus fibrosa yang keras serta pita-pita fibrosa yang mengerut dan
mengelilingi hepatosit. Arsitektur dan fungsi hati normal terganggu.
http://www.mayoclinic.com/images/image_popup/r7_normcirrhosis.jpg
Sebuah hati yang normal (kiri) tidak menunjukkan tanda-tanda jaringan parut. Pada sirosis
(kanan), jaringan parut menggantikan jaringan hati normal.
Sirosis hati terjadi sebagai respon terhadap cedera sel hati yang berulang dan reaksi peradangan
yang ditimbulkannya. Penyebab sirosis antara lain adalah infeksi misalnya hepatitis, obstruksi
saluran empedum yang menyebabkan penimbunanan empedu di kanalikulusa dan pecahnya
kanalikulus dan cedera hepatosit akibat toksin.
Angiotensin II (AII) dijumpai berperan pada pembentukan sirosis. Meski dalam keadaan normal
terlibat dalam perbaikan jaringan hati, dalam beberap kondisi, AII merangsang peradangan dan
pembentukan kolagen.
2. Kanker hati
Kanker hati biasanya ditemui pada pasien yang pernah mengidap hepatitis B dan hepatitis C atau
penyakit hati kronis. Kanker hati primer merupakan kanker hati yang berasal dari hepatosit
(karsinoma hepatoseluler) atau dari duktus empedu (kolangiokarsinoma). Semua jenis kanker
hati memiliki prognosis yang sangat buruk, sehingga sering kali dihubungkan dengan
kekambuhan kanker intrahepatik. Angka bertahan hidup lebih dari 5 tahun pada orang yang
menderita kanker hati adalah kurang dari 5%.
http://www.mayoclinic.com/images/image_popup/mcdc7_liver_cancer.jpg
Kanker hati dimulai di sel-sel hati. Bentuk paling umum dari kanker hati dimulai di sel yang
disebut hepatosit dan disebut karsinoma hepatoseluler.
3. Gagal Hati
Gagal hati merupakan hasil akhir akibat dari semua penyakit hati yang parah dan ganas. Gagal
hati dapat terjadi setelah infeksi HCV stadium rendag menahun atau dapat terjadi tiba-tiba
disertai awitan HBV fulminan. Gagal hati akut juga dapat terjadi setelah overdosis obat-obat
tertentu. Gagal hati adalah suatu sindrom kompleks yang ditandai oleh gangguan pada banyak
organ dan fungsi tubuh, dua keadaan yang terkait dengan gagal hati adalah ensefalopati hepatika
dan sindrom hepatorenal.
4. Ensefalopati Hepatik
Suati syndrome neuropsikiatri yang didapatkan pada penderita penyakit hati menahun, mulai
dari gangguan ritme tidur, perubahan kepribadian, gelisah sampai ke pre koma dan koma.
Pada umumnya enselopati Hepatik pada sirosis hati disebabkan adanya factor
pencetus, antara lain : infeksi, perdarahan gastro intestinal, obat-obat yang Hepatotoxic.
5. Sindrom Hepatorenal
Sindrom hepatorenal merupakan timbulnya gagal ginjal yang berkaitan dengan penyakit hati
stadium lanjut. Penyebab terjadi sindrom hepatorenal yang tersering adalah karena pendarah
varises yang cukup banyak sehingga terjadi kolaps vaskular dan syok. Syok mengakibatkan
terjadinya penurunan aliran darah hinjal yang dapat merusak ginjal secara ireversibel. Penurunan
aliran darah ke ginjal secara ireversibel. Penurunan aliran darah ke ginjal juga dapat terjadi
akibat vasokonstriksi perifer yang timbul karena response terhadap asites dan penimbunan cairan
intestisium, akhirnya, terjadi penimbunan berbagai toksin yang secara spesifik merusak ginjal
karena hati yang sakit tidak dapat melakukan biotransformasi atau detoksifikasi secara adekuat.
6. Varises Esofagus
Terjadi karena hipertensi portal, bila sudah pecah terjadi perdarahan yang menyebabkan
kematian.
Sumber: http://1.bp.blogspot.com/_oIJP\/62v9BUa9WYY/s200/ans7_esphogeal_varices.jpg
7. Komplikasi yang tidak melibatkan hati berkembang dalam 1 sampai 2 persen orang dengan
hepatitis C; yang paling umum adalah cryoglobulinemia, yang ditandai dengan
ruam kulit, seperti purpura, vaskulitis, atau urtikaria
sendi dan nyeri otot
penyakit ginjal
neuropati
cryoglobulins, faktor rheumatoid, dan rendah-melengkapi kadar dalam serum
8. Komplikasi lain dari hepatitis C kronis
glomerulonefritis
porfiria cutanea tarda
PREVENTIF 17
Prosedur lingkungan yang sederhana dapat membatasi resiko infeksi pada pekerja
kesehatan, petugas laboratorium, dan lain-lain. Dengan pendekatan ini, semua darah dan cairan
tubuh serta bahan-bahan yang terkontaminasi oleh mereka diperlakukan seolah-olah
infeksius oleh HCV, dan patogen yang berasal dari darah lainnya. Banyak metode
yang disarankan untuk mencegah kontak dengan sampel- sampel diatas, antara lain :
• Pemakaian sarung tangan ketika menangani semua bahan yang berpotensi
infeksi,
• P a k a i a n p e l i n d u n g s e b a i k n y a d i p a k a i d a n d i l e p a s s e b e l u m
m e n i n g g a l k a n tempat kerja,
• Masker dan pelindung mata harus digunakan untuk melindungi dari percikan droplet
bahan infeksius beresiko
• Hanya memakai jarum sekali pakai
• Jarum-jarum sebaiknya dibuang langsung kedalam wadah khusus dan ditutupkembali
• Permukaan tubuh pekerja sebaiknya didekontaminasi menggunakan larutan
pemutih.
• Petugas laboratorium sebaiknya tidak menyedot pipet dengan mulut
• Makan, minum dan merokok ditempat kerja
• Benda dan alat dari logam dapt didesinfeksi dengan autoklaf atau melalui
paparan terhadap gas ethylene oksida.
• Skrining HCV terhadap donor darah
• Hindari NAPZA
• Jangan bergantian menggunakan alat cukur, jarum suntik, jarum tato, jarum tindik, dan
sikat yang sama
• Gunakan kondom
PROGNOSIS 18
Prognosis tergantung pada lamanya infeksi, luasnya kerusakan hati/kegagalan
hepatoseluler, dan timbulnya komplikasi lain. Tetapi umum nya Hepatitis C memiliki prognosis
yang buruk daripada hepatitis B, karena cronic carrier VHC > VHB.
KESIMPULAN
Hepaitis C merupakan penyakit dengan manifestasi klinis sangat bervariasi
dan tidak spesifik, cenderung menyebabkan hepatitis kronis, sirosis, gagal hati
dan karsinoma hepatoseluler (KHS). 85% hepaitits C akut akan menjadi kronis.Virus
Hepatitis C (VHC) dapat ditularkan melalui beberapa cara antara lain melalui
parenteral, kontak personal (intra familial), transmisi seksual dan transmisi
perinatal (vertikal). Penularan secara parenteral , kecuali melalui transfusi, dapat
t e r j a d i m e l a l u i j a r u m s u n t i k p a d a p e n g g u n a o b a t - o b a t a n d a n p e t u g a s
k e s e h a t a n Penularan secara parenteral merupakan penularan yang utama, 80%
pasien dengan hepatitis kronis pasca transfusi penyebabnya adalah hepatitis C.Bila ada ko-
infeksi dengan VHB atau VHA, gejala hepatitis C menjadi lebih berat , maka
dianjurkan pemberian vaksinasi hepatit is A dan hepatits B pada pasien-pasien
dengan infeksi VHC.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Bambang S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4; jilid 3. Jakarta:
InternaPublishing. 2009. Hal 662
2. Freidman LS, Isselbacher KJ, Indigestion. Dalam: Harrison's Principles of Internal
Medicine. Hamburg: Mc. Graw - Hill Book Company. 2000. Hal 171-73.
3. Kathleen Romito, Physical examination for hepatitis C virus (HCV) infection, 24
february 2011, diunduh dari:
https://myhealth.alberta.ca/health/pages/conditions.aspx?hwid=hw144092&, 17 Juni
2011
4. Suryaatmadja M. Pendidikan berkisanambungan patologi klinik. Jakarta: departemen
patologi klinik, FKUI. 2006. Hal 245-251
5. Yayasan spiritia, tes laboratorium hepatitis C, 1 Maret 2011, diunduh dari :
http://www.spiritia.or.id/li/pdf/LI671.pdf, 17 Juni 2011
6. Kresno SB. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2001. Hal 365-66
7. Sudoyo AW, Bambang S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4; jilid 3. Jakarta:
InternaPublishing. 2009. Hal 665
8. Tjarta A, Himawan S, kurniawan AN. Buku saku dasaar patologi penyakit. Edisi 5.
Jakarta: EGC. 1999. Hal 511-23
9. Adnan, hepatitis, 25 Mei 2011, diunduh dari :
http://www.scribd.com/doc/33496085/Hepatitis, 17 Juni 2011
10. Kresno SB. Imunologi diagnosis dan prosedur laboratorium edisi keempat. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2007. 360-9
11. Sudoyo AW, Bambang S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4; jilid 3. Jakarta:
InternaPublishing. 2009. Hal 665-66
12. Indah amisani, hepatitis virus C (VHC), 22 Maret 2011, diunduh dari :
http://www.scribd.com/doc/51290434/Virus-Hepatitis-C-HCV, 17 Juni 2011
13. Robbins, Cotrans, Kumar. Buku saku dasar patologi penyakit edisi ke 5. Jakarta: EGC.
2001.511-23
14. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3, Jilid 2. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapius FKUI. 2000. Hal 513-15
15. Goreng MW, Shiffman ML, Reddy KR, et al. Peginterferon alfa-2a plus ribavirin untuk
infeksi hepatitis C kronis New England Journal of Medicine 2002;.. 347:972-982.
16. Mayo clinic staff, hepatitis C, 24 Mei 2011, diunduh dari :
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://
www.mayoclinic.com/health/hepatitis-c/DS00097/DSECTION%3Dcomplications, 17
Juni 2011
17. Thomas DL, et al. Alam sejarah Klinik Penyakit hepatitis C dalam hati.Jakarta:
EGC.2005. Hal 383
18. Arthur Schoenstadt, hepatitis C prognosis, 9 July 2006, diunduh dari :
http://hepatitis-c.emedtv.com/hepatitis-c/hepatitis-c-prognosis, 18 Juni 2011