final sosio bab 7
DESCRIPTION
Tugas sosiologiTRANSCRIPT
PERILAKU MENYIMPANG
Fenomena perilaku menyimpang dalam kehidupan masyarakat sangat menarik untuk
dibicarakan. Sisi yang menarik bukan saja karena pemberitaan tentang berbagai perilaku manusia
yang ganjil itu dapat mendongkrak oplah media massa dan rating dari suatu mata acara di stasiun
televise, tetapi juga karena tindakan-tindakan tersebut dianggap dapat mengganggu ketertiban
masyarakat. Perilaku menyimpang kemudian menyiaratkan kesan, meskipun tidak ada
masyarakat yang seluruh warganya dapat mentaati dengan patuh seluruh aturan norma sosial
yang berlaku tetapi apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang, maka hal itu
dianggap telah mencoreng aib diri sendiri, keluarga maupun komunitas besarnya.
Kajian tentang perilaku menyimpang dipelajari oleh sosiologi karena berkaitan dengan
pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan nilai-nilai cultural yang telah ditegakkan oleh
masyarakat. Selain itu, melalui teori dan hasil-hasil penelitian yang dikembangkannya, sosiologi
membantu masyarakat untuk dapat menggali akar-akar penyebab terjadinya tindakan
menyimpang. Upaya untuk menghentikan atau paling tidak menahan bertambahnya
penyimpangn perilaku dapat dipelajari pula melalui kajian tentang lembaga kontrol sosial dan
efektivitasnya dalam mencegah terjadimya tindakan tersebut.
A. Apa itu Perilaku Menyimpang?
Perilaku menyimpang adalah perilaku dari para warga masyarakat yang dianggap tidak
sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau norma-norma sosial yang berlaku. Secara sederhana
kita memang dapat mengatakan, bahwa seseorang berperilaku menyimpang apabila menurut
anggapan sebagaian besar masyarakat (minimal di suatu kelompok atau komunitas tertentu)
perilaku atau tindakan tersebut diluar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai-nilai, atau norma
sosial yang berlaku. Tindakan menyimpang yang dilakukan oleh seseorang tidak selalu berupa
tindakan kejahatan besar, seperti merampok, korupsi, menganiaya, atau membunuh. Melainkan
bisa pula berupa tindakan pelanggara kecil, seperti berkelahi dengan teman, berludah
sembarangan, makan dengan tangan kiri, dan lain-lain.
B. Mengapa Perilaku Menyimpang Perlu Dipelajari
Tujuan mempelajari perilaku menyimpang bukan agar kita juga menjadi menyimpang,
melainkan untuk mengetahui apa yang menjadi penyebabnya dan bagaimana melakuakan
pencegahan terhadapnya. Perilaku menyimpang tidak dapat terlepas dari adanya pola-pola
interaksi sosial. Dalam berinteraksi dengan orang lain kita diatur oleh rambu-rambu tertib sosial.
Di dalam setiap kelompok masyarakat akan selalu disertai dengan sejumlah tata tertib dan aturan
yang diakui bersama kebenarannya. Tata tertib diperlukan agar tidak terjadi kesalah pahaman
dalam berinteraksi antar warga masyarakat. Oleh karena itu, orang-orang yang berperilaku
menyimpang, baik disengaja ataupun tidak, dapat dianggap telah mengabaikan tata tertib atau
aturan yang telah ditetapkan oleh masyarakat.
C. Ilmu yang Mempelajari Perilaku Menyimpang
Selain sosiologi disiplin ilmu yang mempelajari perilaku menyimpang, diantaranya
adalah psikologi. Bidang ilmu tersebut mempelajari tingkah laku atau perilaku seseorang
sebagaimana ia merespon pengaruh-pengaruh sosial yang ada di sekelilingnya. Antropologi juga
mempelajari perilaku menyimpang, karena orang-orang yang berperilaku menyimpang
cenderung mengabaikan nilai-nilai budaya kelompok atau masyarakat. Melalui nilai-nilai budaya
maka akan diketahui karekteristik, tata aturan dan kaidah-kaidah yang ada dalam kehidupan
suatu masyarakat.
Ilmu hukum dan kriminologi juga memiliki perhatian pada studi perilaku menyimpang.
Kedua ilmu itu berkepentingan dalam mempelajari sebab-sebab yang melatar belakangi
terjadinya penyimpangan perilaku atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para
penyimpang.
D. Perilaku yang Digolongkan Sebagai Menyimpang
Secara umum, yang digolongkan sebagi perilaku menyimpang, antara lain adalah:
1) Tindakan yang noncomform, yaitu tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang ada. Contohnya adalah seseorang yang memakai sandal butut ke
acara-acara formal.
2) Tindakan antisosial atau asosial. Tindakan yang melawan kebiasaan masyarakat atau
kepentingan umum. Di mana seseorang itu menarik diri dari pergaulan sampai dengan
penyimpangan seksual.
3) Tindakan-tindakan kriminal. Suatu tindakan yang secara nyata telah menyimpang dari
aturan-aturan hukum tertulis.
E. Relativitas Perilaku Menyimpang
Definisi tentang perilaku menyimpang tergantung dari nilai-nilai budaya dari suatu
masyarakat, dan masa, zaman, atau kurun waktu tertentu. Maka dari itu sifatnya relatif. Misalnya
Indonesia memanggil seseorang dengan menunjuk hidungnya dianggap tidak sopan, sedangkan
masyarakat di Cina menganggapnya sesuatu yang wajar. Hal lain yang membuat definisi
perilaku menyimpang itu relatif karena perilaku tersebut dianggap sudah menjadi bagian dari
gaya hidup, kebiasaan-kebiasaan, fashion atau mode yang dapat berubah dari zaman ke zaman.
Dulu seseorang yang belum menikah lewat dari usia 25 tahun merupakan aib bagi
keluarganya. Pada masa kini justru usia 25 tahun itu adalah usia yang produktif untuk
mengembangkan karir, melanjutkan studi, dan lain sebagainya.
F. Empat Definisi Tentang Perilaku Menyimpang
Menurut rumusan para ahli, definisi perilaku menyimpang berbeda-beda berdasarkan
empat sudut pandang:
1) Secara Statistikal
Segala perilaku yang bertolak dari suatu tindakan yang rata-rata orang jarang atau tidak
sering melakukannya. Definisi ini kemudian menimbulkan kebingungan karena jika
kelompok minoritas memiliki kebiasaan yang berbeda dengan kelompok mayoritas, maka
mereka dianggap sebagai orang-orang yang menyimpang. Padahal belum tentu adanya.
2) Secara Absolut atau Mutlak
Kelompok absolutis ini memiliki—sudah menetapkan secara tegas dan jelas—standar
atau ukuran dari suatu perilaku yang dianggap conform dan yang menyimpang, dan
anggota-anggotanya harus menyetujuinya. Ini pada umumnya terjadi di komunitas
pedesaan atau masyarakat yang masih menjunjung nilai-nilai tradisional.
3) Secara Reaktif
Perilaku menyimpang menurut kaum reaktivis bila berkenaan dengan dengan reaksi
masyarakat atau agen kontrol sosial terhadap tindakan yang dilakukan oleh seseorang.
Jika seseorang itu telah diberi cap atau tanda (labeling) dari masyarakat atau agen kontrol
sosial ini maka seseorang tersebut telah dikatakan menyimpang. Jadi apa yang dikatakan
menyimpang dan apa yang tidak, tergantung dari ketetapan-ketetapan (atau reaksi-reaksi)
dari anggota masyarakat terhadap suatu tindakan.
4) Secara Normatif
Suatu perilaku dikatakan menyimpang apabila tindakan atau perilaku tersebut
menyimpang dari norma-norma atau melanggar norma-norma sosial. Kaum reaktivis dan
kaum normatif sesungguhnya memiliki konsep yang sama, yaitu berlandaskan pada
norma yang ada. Karena dalam setiap norma, disediakan dasar atau landasan untuk
melakukan reaksi pada suatu penyimpangan.
G. Menjadi Menyimpang
Rangkaian pengalaman atau karier menyimpang seseorang dimulai dari penyimpangan-
penyimpangan kecil yang mungkin tidak disadarinya. Jenis penyimpangan macam itu disebut
primary deviance (penyimpangan primer). Penyimpangan jenis primer ini dialami oleh seseorang
yang tidak menyadari bahwa perilakunya dapat menjurus ke arah penyimpangan yang lebih
berat. Penyimpangan yang lebih berat akan terjadi apabila seseorang sudah sampai pada tahap
secondary deviance (penyimpangan sekunder). Yaitu, suatu tindakan menyimpang yang
berkembang ketika perilaku dari si penyimpang itu mendapat penguatan (reinforcement) melalui
keterlibatannya dengan orang atau kelompok yang juga menyimpang. Bentuk penyimpangan
sekunder itu juga berasal dari hasil penguatan penyimpangan primer.
Tindakan menyimpang baik primer ataupun sekunder, tidak terjadi begitu saja tetapi
berkembang melalui suatu periode waktu dan juga sebagai hasil dari serangkaian tahapan
interaksi yang melibatkan interpretasi tentang kesempatan untuk bertindak menyimpang. Karier
menyimpang juga didukung oleh pengendalian diri yang lemah serta kontrol masyarakat yang
longgar (permisif).
H. Subkultur Menyimpang
Penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok acap disebut dengan subkultur
menyimpang. Subkultur adalah sekumpulan norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, atau gaya
hidup yang berbeda dari kultur dominan. Asal mula terjadinya subkultural menyimpang karena
ada interaksi di antara sekelompok orang yang mendapatkan status atau cap menyimpang.
Dilema bagi orang-orang yang yang tergabung di dalam subkultural menyimpang adalah bahwa
mereka terlanjur dicap sebagai penyimpang dan dengan cap yang disandang mereka berusaha
menghindari hukuman masyarakat.
Para anggota dari subkultural menyimpang biasanya juga mengajarkan kepada anggota-
anggota barunya tentang berbagai keterampilan untuk melanggar hukum dan menghindari
kejaran agen-agen kontrol sosial. Mereka juga selalu mengindoktrinasi suatu keyakinan yang
berbeda dari keyakinan yang dianut mayoritas masyarakat kepada anggota yuniornya. Meskipun
subkultur yang menyimpang mengajarkan kepada para anggotanya untuk menjalankan
kehidupan yang menyimpang juga, tetapi tidak selamanya anggota-anggota dari kelompok yang
menyimpang itu benar-benar tersedia menjalani kehidupan yang menyimpang. Karena mereka
sebenarnya orang yang tidak memiliki loyalitas yang tinggi pada kelompok manapun.
Rendahnya loyaitas terhadap kelompok disebabkan oleh sifat kerjanya. Dengan demikian ia
harus bersikap wajar dan merasa dirinya dapat hidup dan berinteraksi dengan masyarakat biasa
I. Teori Perilaku Menyimpang Yang Berperspektif Sosiologis
Paling tidak ada 2 perspektif yang bisa digunakan untuk memahami sebab-sebab dan latar
belakang seseorang atau sekelompok orang berperilaku menyimpang. Yang pertama adalah
perspektif individualistic dan yang kedua adalah teori-teori sosiologi.
Teori individualistic berusaha mencari penjelasan tentang munculnya tindakan
menyimpang melalui kondisi yang secara unik memengaruhi individu. Teri-teori individualistic
sebagian besar didasarkan pada proses-proses yang bersifat individual dan mengabaikan proses
sosialisasi atau belajar tentang norma-norma sosial yang menyimpang. Perspektif ini juga
mengabaikan faktor-faktor kelompok atau budaya yang dapat melatarbelakangi tindakan
menyimpang pada seseorang. Rumpun teori-teori individualistic yaitu : (1) Penjelasan biologis;
(2) penjelasan psikiatri atau model medis; (3) penjelasan psikoanalisis; (4) penjelasan psikologis.
Berbeda halnya dengan teori individualistic, teori-teori yang berperspektif sosiologis
tentang penyimpangan berupaya menggali kondisi-kondisi sosial yang mendasari penyimpangan.
Secara umum ada dua tipe penjelasan dalam perspektif sosiologis tentang penyimpangan yaitu,
struktural dan prosesual. Pada penjelasan yang bersifat struktural ada sejumlah asumsi yang
mendasarinya. Pertama, penyimpangan dihubungkan dengan kondisi-kondisi struktural tertentu
dalam masyarakat. Kedua, menjelaskan penyimpangan sebagai suatu proses epidemiologi, yaitu
suatu kondisi dimana distribusi atau penyebaran penyimpanagn dapat terjadi dalam waktu dan
tempat tertentu, atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Ketiga, menjelaskan bentuk-
bentuk tertentu dari penyimpangan sebagai suatu fenomena yang terjadi di berbagai strata sosial,
baik di kelas bawah maupun kelas atas.
Sedangkan pada penjelasan yang bersifat prosesual, didasarkan pada: (1) gambaran
tentang proses individu sampai pada tindakan atau perilaku meyimpang; (2) penjelasan tentang
sebab-sebab terjadinya tindakan menyimpang yang spesifik; (3) penjelasan tentang bagaimana
orang-orang tertentu sampai melakukan tindakan menyimpang. Akan sangat bermanfaat apabila
kedua pendekatan tersebut dapat digunakan bersama untuk menjelaskan fenomena tentang
terjadinya penyimpangan.
Adapun teori-teori penyimpangan yang berperspektif sosiologis itu, antara lain Anomie,
Sosialisasi, Kontrol Sosial, Labeling, dan Konflik.
Teori Anomie
Teori Anomie berasumsi bahwa penyimpangan adalah akibat dari adanya berbagai
ketegangan dalam suatu struktur sosial sehingga ada individu-individu yang mengalami tekanan
dan akhirnya menyimpang. Pandangan tersebut dikemukakan oleh Robert Merton pada sekitar
tahun 1930-an, dimana konsep tersebut pernah digunakan oleh Emile Durkheim dalam
analisisnya mengenai suicide anomique. Munculnya keadaan anomie, oleh Merton (dalam
Clinard & Meier, 1989:81) diilustrasikan sebagai berikut :
Masyarakat industry modern, seperti Amerika Serikat, lebih mementingkan pencapaian
kesuksesan materi yang diwujudkan dalam bentuk kemakmuran atau kekayaan dan
pendidikan yang tinggi.
Apabila hal tersebut tercapai maka mereka dianggap sebagai orang yang telah mencapai
tujuan-tujuan status atau kultural (cultural goals) yang dicita-citakan oleh masyarakatnya.
Untuk mencapai tujuan status tersebut, ternyata mereka harus melalui akses atau cara
kelembagaan yang sah.
Namun ternyata, akses kelembagaan yang sah jumlahnya tidak dapat dinikmati oleh
seluruh lapisan masyarakat bawah.
Akibat dari situasi tersebut, kemudian muncul situasi anomie, yaitu tidak adanya titik
temu antara tujuan-tujuan status atau cultural dan cara-cara yang tersedia untuk mencapai
tujuan-tujuan status tersebut.
Dengan demikian anomie adalah suatu keadaan atau nama dari situasi dimana kondisi
sosial masyarakat lebih menekankan pentingnya tujuan-tujuan status, tetapi cara-cara
yang sah untuk mencapai tujuan tersebut jumlahnnya lebih sedikit.
Situasi anomie tersebut berdampak negatif pada sekelompok masyarakat, dimana untuk
mencapai tujuan statusnya mereka terpaksa untuk melakukannya melalui cara-cara yang tidak
sah, diantaranya melakukan tindakan kriminal atau kejahatan, misalnya menjadi pelajur,
pengguna obat-obatan, perampok, pecandu alkohol adalah akibat dari situasi anomie tersebut.
Fakta-fakta yang digunakan oleh Merton untuk mendukung teori anomienya diperoleh
dari angka-angka resmi tentang penyimpangan dan berbagai tindakan kriminalitas. Dimana dapat
diketahui bahwa tindakan menyimpang paling banyak dilakukan oleh masyarakat sosial bawah.
Dan salah satu bentuk adaptasi menurut Merton yang dapat dianggap menyimpang dalam situasi
anomie adalah inovasi. Jenis adaptasi ini banyak dilakukan oleh masyarakat kelas bawah dimana
akses untuk mencapai kesuksesan melalui cara-cara yang sah sangat terbatas bagi mereka.
Teori Belajar atau Teori Sosialisasi
Teori ini menyebutkan bahwa penyimpangan perilaku adalah hasil dari proses belajar. Salah
seorang ahli teori belajar yang banyak dikutip tulisannya adalah Edwin H. Sutherland (dalam
Atmasasmita 1992:13). Ia menamakan teorinya dengan Asosiasi Diferensial. Menurutnya,
penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas suatu sikap atau tindakan
yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang. Teori Asosiasi Diferensial dapat digunakan
untuk menganalisis:
Organisasi sosial atau subkultur (baik yang menyimpang atau tidak);
Penyimpangan perilaku di tingkat individual;
Perbedaan norma-norma yang menyimpang ataupun yang tidak. Terutama pada
kelompok atau asosiasi yang berbeda.
Di tingkat kelompok, perilaku menyimpang adalah suatu konsekuensi dari terjadinya
konflik normative. Artinya perbedaan peraturan sosial di berbagai kelompok social bisa
membingungkan individu yang masuk kedalam komunitas-komunitas tersebut. Situasi itu dapat
menimbulkan konflik normatif pada individu. Meskipun teori Sutherland ini secara spesifik
untuk meenganalisis kejahatan dan perilaku menyimpang yang mengarah pada tindak kejahatan,
tetapi teori ini dapat digunakan untuk menganalisis bentuk lain dari perilaku menyimpang,
seperti kecanduan obat-obatan, pelacuran, dan alkoholisme. Teori Asosiasi Diferensial memiliki
Sembilan proporsi, yaitu :
1. Perilaku menyimpang adalah hasil dari proses belajar atau apa yang dipelajari. Ini berarti
bahwa penyimpangan bukan diwariskan atau diturunkan, bukan juga hasil dari
intelegensi yang rendah atau kerusakan otak.
2. Perilaku menyimpang dipelajari oleh seseorang dalam interaksinya dengan orang lain dan
melibatkan proses komunikasi yang intens.
3. Bagian utama dari belajar tentang perilaku menyimpang terjadi di dalam kelompok-
kelompok personal yang intim dan akrab, sedangkan media massa, seperti TV atau Koran
hanya sebagai peran sekunder.
4. Hal yang dipelajari di dalam proses terbentuknya tindakan perilaku menyimpang adalah
teknis-teknis penyimpangan, dan petunjuk-petunjuk khusus tentang motif, dorongan,
rasionalisasi, dan sikap-sikap dari berperilaku menyimpang.
5. Petunjuk-petunjuk khusus tersebut dipelajari dari definisi-definisi tentang norma-norma
yang baik atau tidak baik.
6. Seseorang menjadi menyimpang karena ia menganggap lebih menguntungkan untuk
melanggar norma daripada tidak. Sebaliknya, seseorang tidak akan menyimpang karena
ia beranggapan bahwa lebih menguntungkan untuk tidak melakukan pelanggaran norma,
dan kemudian ia akan mendapat pujia, atau sanjungan.
7. Terbentuknya asosiasi diferensial itu bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas
dan intensitas.
8. Proses mempelajari penyimpangan perilaku melalui kelompok yang memiliki pola-pola
menyimpang atau sebaliknya, melibatkan semua mekanisme yang berlaku di dalam setiap
proses belajar
9. Meskipun perilaku menyimpang merupakan salah satu ekspresi dan kebutuhan serta nilai-
nilai masyarakat yang umum, tetapi penyimpangan perilaku tersebut tidak dapat
dijelaskan melalui kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut. Karena perilaku yang tidak
menyimpang juga sebagai ekspresi dari nilai-nilai dan kebutuhan yang sama.
Teori Labeling (Teori Pemberian Cap atau Teori Reaksi Masyarakat)
Teori labeling menjelaskan penyimpangan terutama ketika perilaku itu sudah sampai
pada tahap penyimpangan sekunder. Teori labeling juga menggunakan pendekatan
interaksionisme yang tertarik pada konsekuensi-konsekuensi dari interaksi antara si penyimpang
dan masyarakat biasa (konvensional). Lebih menekankan pada pentingnya definisi-definisi sosial
dan sanksi-sanksi sosial negatif yang dihubungkan dengan tekanan-tekanan individu untuk
masuk dalam tindakan yang lebih menyimpang.
Analisis pemberian cap dipusatkan pada reaksi orang lain. Yang memberi label pada
individu-individu atau tindakan yang menurut penilaian orang tersebut adalah negatif. Menurut
para ahli teori labeling, mendefinisikan penyimpangan merupakan hal yang relatif dan
membingungkan, karena tergantung reaksi orang lain. Menurut Becker, salah satu pencetus teori
labeling (dalam Clinard & Meier, 1989:92) mendefinisikan penyimpangan sebagai “suatu
konsekuensi dari penerapan aturan-aturan dan sanksi oleh orang lain kepada seorang pelanggar”.
Dengan demikian dapat ditetapkan penyimpangan adalah tindakan yang dilabelkan kepada
seseorang, atau pada siapa label secara khusus telah ditetapkan. Reaksi masyarakat sangatlah
penting, bukanlah pada kualitas tindakan itu sendiri.
Konsekuensi dari pemberian label, terutama oleh aparat negara (polisi, jaksa, hakim),
mungkin akan berakibat serius pada tindakan penyimpangan yang lebih lanjut. Ini yang
membedakan penyimpangan primer dan sekunder, di mana cap menyimpang menghasilkan suatu
peran sosial yang menyimpang juga. Cap yang melekat cenderung mengembangkan konsep diri
yang menyimpang (proses reorganisasi psikologis).
Teori Kontrol
Ide utama dari teori ini adalah bahwa penyimpangan merupakan hasil kekosongan kontrol
atau pengendalian sosial. Memiliki pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak
patuh pada hukum atau ada dorongan melanggar hukum. Salah satu ahli yang mengembangkan
teori ini adalah Hirschi (1969, dalam Atrmasasmita, 1992). Ia mengajukan beberaa proposisi
teoritisnya, yaitu:
Pengingkaran terhadap aturan-aturan sosial adalah akibat dari kegagalan mensosialisasi
individu untuk bertindak konform terhadap aturan.
Penyimpangan bahkan kriminal, merupakan bukti kegagalan kelompok-kelompok sosial
konvensional (keluarga, sekolah, dll.) untuk mengikat individu agar tetap konform.
Setiap individu seharusnya belajar untuk konform dan tidak melakukan tindakan
menyimpan atau krirminal.
Kontrol internal lebih berpengaruh daripada kontrol eksternal.
Menurut proposisi Hirschi, ada empat unsur utama dalam jontrlo sosial internal, yaitu:
Attachment atau kasih sayang, sumber kekuatan dari hasil sosialisasi dengan kelompok
primernya (misal: keluarga).
Commitment atau tanggung jawab, dapat memberikan kerangka kesadaran tentang masa
depan. Dengam komitmen, masa depan akan suram jika ia melakukan tindakan
menyimpang.
Involvement, artinya kesadaran tersebut akan mendorong keterlibatan di dalam ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan di masyarakat.
Believe atau kepercayaan, kesetiaan, dan kepatuhan pada norma-norma sosial atau aturan
masyarakat pada akhirnya akan tertanam kuat dan itu berarti aturan sosial telah self
enforcing dan eksistensinya semakin kokoh.
Teori Konflik
Menitikberatkan pada asal usul terciptanya suatu aturan atau tertib sosial. Lebih menekankan
sifat pluralistik dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di
antara berbagai kelompoknya. Karena kekuasaan yang dimiliki kelompok-kelompok elit, maka
kelompok tersebut memiliki kuasa membuat aturan, khususnya hukum yang dapat melayani
kepentingan-kepentingan mereka. Kelompok tersebut memiliki kepentingan yang bersaing dan
akan cenderung saling berkonflik. Berbagai varian dari teori konflik ini bermunculan dalam
khazanah studi penyimpangan. Beberapa di antaranya adalah:
a. Pemikiran Marx tentang Penyimpangan
Banyak dari pemikir-pemikir kontemporer, khususnya yang berbasis perspektif
konflik, mengambil dasar pemikirannya dari pada ahli teori sosiologi klasik, seperti Karl
Marx , Georg Simmel, dan yang lebih baru adalah Lewis Coser dan Ralf Dahrendorf.
Perspektif konflik klasik melihat terbentuknya masyarakat tidak didasarkan atas suatu
konsensus terhadap nilai-nilai, tetapi kelas-kelas sosial yang ada.
Mark melihat masyarakat dibentuk pertama kali dari dua kelompok dengan
bertentangan kepentingan ekonomi: Kelompok borjuis dan proletariat. Kelompok borjuis
adalah kelas penguasa atau pemegan peraturan- mereka, memiliki pengaruh besar pada
lembaga-lembaga ekonomi dan politik masyarakat.
Negara dalam pemikiran ini bukanlah pihak yang netral. Peran negara terutama
adalah untuk melayani dan melindungi orang-orang yang membuat peraturan serta
menghindarkan dari ancaman-ancaman orang atau kelompok lain.
Mark meramalkan bahwa kapitalisme akan mengembangbiakkan hukum-hukum
krimal, karena hukum tersebut dibutuhkan sebagai mekanisme untuk memelihara tatanan
yang telah mapan. Pertama, hukum dapat mendefinisikan tingkah laku tertentu sebagai
ilegal, khususnya tingkah laku yang mungkin merupakan suatu ancaman atau perlawanan
dari kepentingan-kepentingan para pembuat peraturan. Kedua, hukum mengesahkan ikut
campurnya aparat kontrol sosial (seperti pihak kepolisian, pengadilan, dan sistem penjara
atau lembaga pemasyarakatan).
b. Teori-teori Konflik Masa Kini
Para penulis pendekatan konflik pada masa kini melihat perilaku krimal sebagai
suatu refleksi dari kekuasaan yang memiliki perbedaan dalam mendefinisikan kejahatan
atau penyimpangan. Karena kelompok elite dan kelompok yang tidak memiliki
kekuasaan memiliki kepentingan yang berbeda , apa pun keuntungan dari kelompok elite
akan bekerja melawan kepentingan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan.
Karena para elite juga mengontrol pembuatan aturan-aturan hukum seperti juga
proses penguatan hukum, maka asal- usul dan isi dari hukum-hukum kriminal juga
mewakili kepentingan mereka .
Teori-teori konflik kontemporer sering kali juga menganggap kejahatan sebagai
suatu tindakan rasional (Tylor, Walton dan Young, 1973:221). Karena kelas bawah
sering kali ditandai dengan rendahnya komitmen pada tertib sosial yang dominan, maka
sering kali penjelasan yang dikemukakan oleh para ahli konflik berpihak pada kelompok-
kelompok yang tertindas.
Teori-teori konflik menganggap kejahatan sebagai suatu ciri-ciri yang tidak
dapat diubah dari masyarakat kapitalis . Amerika serikat adalah suatu dari masyarakat
kapitalis tingkat tinggi atau lanjut negara di dunia saat ini. Karena negara diatur untuk
kepentingan kapitalisme, maka hukum pun diatur untuk melayani kepengtingan dari
kelas ekonomi dominan, kelas penguasa kapitalis.