dry drowningnya fix

32
DRY DROWNING I. PENDAHULUAN Drowning atau tenggelam telah menjadi penyebab kematian lebih dari satu setengah juta manusia di seluruh dunia. Jumlah yang besar ini bahkan mungkin tidak sesuai dengan jumlah sebenarnya karena banyak kasus yang diketahui tidak dilaporkan. Pada negara yang sangat berkembang, insidens tertinggi dari terjadinya tenggelam adalah anak anak dengan usia lebih muda dari 5 tahun dan sesesorang berumur 15 sampai 24 tahun. Pada beberapa negara, tenggelam menjadi penyebab nomor satu atau kedua dari kematian pada kelompok umur tersebut. Laporan dari seluruh dunia telah mendukung tenggelam sebagai penyebab terbanyak serangan jantung pada anak-anak dan remaja. 1 Berdasarkan data dari WHO, tenggelam adalah penyebab ke-3 terbanyak yang menyebabkan kematian yang tidak disengaja dan sekitar 7 % dari jumlah cedera yang berkaitan dengan kematian. Pada tahun 2004, 1

Upload: dwimentari1

Post on 13-Dec-2015

43 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

jdh

TRANSCRIPT

DRY DROWNING

I. PENDAHULUAN

Drowning atau tenggelam telah menjadi penyebab kematian lebih dari satu

setengah juta manusia di seluruh dunia. Jumlah yang besar ini bahkan mungkin

tidak sesuai dengan jumlah sebenarnya karena banyak kasus yang diketahui tidak

dilaporkan. Pada negara yang sangat berkembang, insidens tertinggi dari

terjadinya tenggelam adalah anak anak dengan usia lebih muda dari 5 tahun dan

sesesorang berumur 15 sampai 24 tahun. Pada beberapa negara, tenggelam

menjadi penyebab nomor satu atau kedua dari kematian pada kelompok umur

tersebut. Laporan dari seluruh dunia telah mendukung tenggelam sebagai

penyebab terbanyak serangan jantung pada anak-anak dan remaja.1

Berdasarkan data dari WHO, tenggelam adalah penyebab ke-3 terbanyak

yang menyebabkan kematian yang tidak disengaja dan sekitar 7 % dari jumlah

cedera yang berkaitan dengan kematian. Pada tahun 2004, diperkirakan 388.000

orang meninggal akibat tenggelam, sehingga menyebabkan tenggelam sebagai

masalah mayor dalam dunia kesehatan. Negara- negara yang memiliki

penghasilan rendah dan menengah mencapai persentase 96 % dari seluruh

kematian yang tidak disengaja diakibatkan oleh tenggelam. Lebih dari 60 % kasus

tenggelam terjadi di regional WHO Pasifik bagian barat dan regional WHO Asia

Tenggara. 2

Dari tahun 2005 sampai 2009 di Amerika Serikat terdata rata – rata jumlah

yang menjadi korban dari tenggelam yang berakibat fatal adalah 3.880 orang dan

1

diperkirakan sejumlah 5.789 orang dirawat di unit gawat darurat untuk kasus

tenggelam yang tidak berakibat fatal. Rasio kematian yang diakibatkan oleh

tenggelam pada laki – laki ( 2.07 per 100.000 populasi) empat kali lebih besar

dibandingkan pada perempuan (0.54 per 100.000 populasi).3

Pada tahun 2005, 30% dari anak usia 1-14 tahun yang meninggal di USA

disebabkan karena tenggelam. Angka kesakitan dry drowning pada usia 1-14

tahun yaitu 12-27%. Anak laki-laki usia pra-sekolah memiliki risiko tinggi

mengalami dry drowning. Dari survey yang dilakukan pada 9.420 Taman Kanak –

kanak di Carolina Selatan didapatkan hasil 10% dari anak usia kurang dari 5

tahun memiliki pengalaman mendapatkan penanganan khusus akibat dry

drowning. 4

II. DEFINISI

Definisi Drowning atau tenggelam sangat bervariasi. Menurut kamus

kedokteran Dorland definisi drowning atau tenggelam adalah suatu kondisi

kesulitan bernafas dan dapat berakibat kematian atau kematian yang diakibatkan

paru – paru terisi oleh air, cairan atau zat lain sehingga menyebabkan pertukaran

oksigen menjadi tidak mungkin.5 Sebelumnya drowning didefinisikan sebagai

kematian yang disebabkan oleh asfiksia akibat aspirasi cairan ke dalam saluran

pernapasan atau akibat dari terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke dalam

cairan dimana tenggelam tidak terbatas di dalam air seperti sungai, danau, atau

kolam renang tetapi mungkin juga terbenam dalam kubangan atau selokan dengan

hanya muka yang berada di bawah permukaan air. 1, 4

2

Pada World Congress on Drowning tahun 2002 di Amsterdam,

sekelompok ahli mengusulkan konsensus baru untuk mendefiniskan tenggelam

untuk mengurangi kebingungan dari berbagai istilah dan definisi yang ada lebih

dari 20 dan semuanya merujuk pada kata ini dalam berbagai literatur. Tenggelam,

yang  dahulu dianggap sebagai kematian yang secara langsung disebabkan oleh

asfiksia ( asphyxial death ), kini diketahui terdiri dari serangkaian gangguan

fisiologis dan biokimiawi  yang seluruhnya memiliki peranan penting terhadap

akibat fatal dari tenggelam. Adanya mekanisme kematian yang berbeda-beda pada

tenggelam akan memberikan warna yang berbeda-beda pada pemeriksaan

korban.1, 4

Drowning adalah proses yang menyebabkan gangguan respirasi primer

akibat dari terjadinya submersion atau imersion dalam medium cairan. Secara

implisit disebutkan dalam definisi ini bahwa terdapat liquid-air interface yang

menutupi jalur masuknya pernafasan korban, sehingga mencegah korban

menghirup oksigen. Korban tersebut bisa hidup atau mati setelah proses ini, tetapi

apapun akibatnya, korban tersebut telah termasuk dalam kecelakaan tenggelam.

Tenggelam biasanya terjadi secara cepat dan senyap. Gambaran klasik dari korban

tenggelam seperti gasping dan thrashing pada air jarang dilaporkan. Skenario

yang lebih buruk seperti ditemukannya seseorang yang mengambang di atas air

atau tiba – tiba menghilang dibawah permukaan lebih sering dilaporkan.1,4

Proses tenggelam dimulai ketika jalur nafas korban terletak dibawah

permukaan cairan, biasanya air, dimana secara bersamaan korban secara volunteer

menahan nafasnya. Menahan nafas selalu diikuti dengan periode involunter dari

3

laringospasm yang diakibatakan oleh adanya cairan pada oropharynx atau larynx.

Ketika periode ini yaitu terjadinya menahan nafas dan laringospasme, korban

menjadi tidak dapat menghirup gas. Proses ini menghasilkan oksigen yang

semakin berkurang dan karbon dioksida yang tidak dapat tereliminasi. Korban

kemudian menjadi dalam kondisi hypercarbic, hypoxemic, dan asidosis. Ketika

proses ini berlangsung korban akan secara berfrekuensi menelan banyak air.

Pergerakan respirasi korban dapat menjadi sangat aktif, tetapi tidak terdapat

pertukaran udara karena obstruksi setinggi laring. Sebagaimana tekanan oksigen

arteri jatuh lebih jauh, laryngospasm mulai menghilang, dan korban secara aktif

menghirup cairan. Jumlah cairan yang dihirup bervariasi dari korban ke korban.

Perubahan terjadi pada paru-paru, cairan tubuh, tekanan gas dan darah,

keseimbangan asam-basa, dan konsentrasi elektrolit, yang bergantung pada

komposisi dan volume cairan yang diaspirasi dan lama terjadinya submersion.

Surfactant washout, hipertensi pulmonal, dan shunting juga berkontribusi pada

perkembangan menuju hypoxemia. 1

Kekacauan tambahan fisiologis, seperti respon syok akibat dingin, bisa

terjadi pada korban yang mengalami imersion pada air yang dingin. Air yang

bersuhu 10 derajat celcius atau lebih dingin dapat menghasilkan efek pada

kardiovaskular, termasuk di dalamnya tekanan darah yang meningkat dan

takiaritmia ektopik. Respon ini juga dapat menimbulkan refleks gasp yang diikuti

dengan hiperventilasi, yang mana dapat terjadi ketika korban berada di bawah air.1

 Beberapa orang yang tenggelam bisa dipertimbangkan menjadi korban

dari dry drowning. Pada kondisi ini paru-paru tidak menjadi berat, membesar atau

4

tampak edema sebagai ciri khusus paru – paru yang tenggelam. Lebih jauh lagi,

hipoksia serebral yang fatal disebabkan oleh spasme laring. Dry drowning terjadi

sekitar 10 -15 % dari semua peristiwa tenggelam. Secara teori yang terjadi adalah

sejumlah kecil air masuk ke laring atau teakea, sehingga spasme laring tiba-tiba

terjadi dan dimediasi oleh refleks vagal. Mukosa yang tebal, berbusa dan berbuih

dapat ditemukan dan dapat menjadi sumbatan fisik yang aktual pada kondisi ini.

Sehingga air tidak akan pernah masuk ke dalam paru – paru. Sumbatan fisik dan

spasme laring tersebut tidak dapat ditemukan pada saat autopsi, karena kematian

menyebabkan relaksasi otot – otot tubuh. 6

Berikut ini beberapa istilah yang sering digunakan berkaitan dengan drowning: 7

II.1 Wet Drowning

Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernafasan setelah korban

tenggelam.

II.2 Dry Drowning

Pada keadaan ini cairan tidak masuk ke dalam saluran pernafasan, akibat

spasme laring.

II.3 Secondary Drowning

Terjadi gejala beberapa hari setelah korban tenggelam ( dan diangkat dari

dalam air) dan korban meninggal akibat komplikasi.

II.4 Immersion Syndrome

Korban tiba – tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat

refleks vagal. Alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus.

5

III. FAKTOR RESIKO

III.1 Umur

Umur merupakan salah satu faktor resiko terbesar dari tenggelam.

Hubungan ini selalu berkaitan dengan kecerobahan dalam pengawasan.

Secara umum, anak – anak berumur di bawah 5 tahun memiliki peringkat

tertinggi kematian yang disebabkan oleh tenggelam. Tetapi Kanada dan

New Zealand sebagai pengecualian dimana orang dewasa laki – lebih sering

menjadi korban tenggelam. 2

Di Australia tenggelam adalah penyebab terbanyak dari cedera

berakibat kematian yang tidak disengaja pada anak – anak usia 1 – 3 tahun.

Di Bangladesh jumlah tengggelam mencapai persentase hingga 20 % dari

total seluruh kematian pada anak – anak dengan usia 1 – 14 tahun. Di

Amerika tenggelam adalah penyebab kedua dari cedera yang berakibat

kematian yang tidak disengaja pada anak – anak berusia 1 – 14 tahun. 2

III.2 Jenis Kelamin

Laki – laki yang mengalami tenggelam memiliki resiko dua kali lebih

besar berakibat kematian dibandingkan perempuan. Selain itu laki – laki

juga lebih sering dirawat di rumah sakit daripada perempuan yang

diakibatkan oleh tenggelam yang tidak fatal. Penelitian menunjukkan bahwa

jumlah kejadian tenggelam pada laki – laki lebih tinggi dibandingkan

perempuan disebabkan oleh paparan terhadap air yang lebih sering, dan

memiliki kebiasaan yang beresiko seperti berenang sendirian, minum

6

alkohol sebelum berenang sendirian atau menggunakan perahu kecil untuk

pergi ke suatu tempat. 2

III.3 Akses dengan Air

Akses yang meningkat dengan air adalah faktor resiko lain dari

tenggelam. Individual dengan pekerjaan seperti pemancing ikan komersil

atau yang memancing ikan untuk mencari nafkah dan menggunakan perahu

kecil pada negara dengan penghasilan yang rendah lebih beresiko untuk

tenggelam. Anak – anak yang tinggal dekat dengan sumber air yang terbuka,

seperti parit, saluran irigasi, laut ataupun kolam renang khususnya juga

dalam kondisi yang beresiko untuk terjadinya tenggelam. 2

III.4 Faktor Resiko Lain

Pada banyak negara dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah,

menjadi bagian dari kelompok etnis yang minoritas, kurangnya pendidikan,

dan populasi yang tinggal di daerah terpencil bisa berkaitan dengan

terjadinya tenggelam. Balita yang ditinggalkan tanpa pengawasan atau

sendiri dengan anak lain dalam sebuah bak kamar mandi juga beresiko.

Transportasi dengan jalur perairan yang tidak aman dan terlalu padat yang

perlengkapan alat apungnya masih kurang, penggunaan alkohol, kondisi

medis tertentu seperti epilepsi, banjir dan bencana seperti tsunami juga

menjadi faktor resiko bagi tenggelamnya seseorang. 2

7

IV. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Secara fisiologis pada korban tenggelam, masuknya air pada jalan nafas

(epiglotis) akan menyebabkan reaksi pertahanan pada sebagian besar korban

dengan cara menahan nafas dan meminum air tersebut. Hal tersebut berlangsung

beberapa saat sehingga air mengisi saluran cerna terlebih dahulu. Pada saat proses

menahan nafas (breath holding position) tersebut, kadar CO2 dalam darah akan

meningkat dan kadar O2 darah akan menurun hingga mencapai break point akibat

tingginya kadar CO2 dalam darah sehingga merangsang reflex untuk bernafas.

Jika hal tersebut terjadi maka air akan masuk ke paru-paru dan terjadilah keadaan

“wet drowning”.8,10 Lamanya breath holding position berbeda pada setiap orang,

umumnya selama + 1,5 menit pada orang dewasa terlatih, + 1 menit pada orang

dewasa tak terlatih, dan 10-20 detik pada anak-anak.8

Pada saat fase breath holding position terjadi, maka secara alamiah akan

terjadi mammalian diving reflex yaitu suatu refleks yang terjadi pada saat

mammalia terbenam di dalam air dimana refleks ini bertujuan untuk

mempertahankan fase breath holding position dengan mengurangi aktivitas tubuh

untuk menurunkan kebutuhan O2 dan energi. Pada saat terjadi mammalian diving

reflex, maka secara langsung terjadi 3 efek pada tubuh, yaitu:10

1. Bradikardi dengan menurunkan 50% dari laju jantung.

2. Vasokonstriksi perifer untuk meningkatkan aliran darah pada organ

vital.

3. Blood shifting ke thoraks untuk mencegah kolapsnya vaskuler paru-paru

akibat tekanan tinggi pada saat berada di dalam air.

8

Adapun fase ini dapat dipercepat pada korban yang sedang panik dan

banyak bergerak pada saat fase ini.10

Berbeda dengan mekanisme diatas, “dry drowning” terjadi tanpa disertai

proses fisiologis di atas sehingga masuknya air ke paru-paru tidak terjadi atau

hanya dalam jumlah kecil. Secara umum, “dry drowning” dapat disebabkan oleh:

IV.I Laringospasme

Pada korban-korban tertentu baik sadar maupun tidak sadar,

masuknya air ke jalan nafas (epiglotis) dapat langsung menimbulkan refleks

berupa laringospasme. Laringospasme ini menyebabkan sumbatan jalan

nafas sehingga sedikit bahkan tidak ada udara dan cairan yang masuk ke

paru-paru sehingga tidak terjadi pertukaran gas di paru-paru dan dapat

menyebabkan gagal nafas. Jika laringospasme ini bertahan sampai terjadi

cardiac arrest karena tidak adanya perfusi dan oksigenasi pada jantung

maka terjadilah “dry drowning” yang menyebabkan kematian. Kematian

pada “dry drowning” terjadi akibat tidak adanya perfusi ke organ vital

terutama otak. Namun, jika laringospasme tidak bertahan sampai cardiac

arrest maka akan terjadi relaksasi otot-otot laring dimana hal ini terjadi pada

beberapa korban akibat tidak sadarnya korban dalam waktu yang lama

sehingga air dapat masuk ke paru-paru dan korban tersebut meninggal

karena “wet drowning”.9

IV.II Refleks vagal

Selain akibat laringospasme, “dry drowning” juga dapat disebabkan

oleh cardiac arrest secara langsung. Akibat lamanya seseorang di dalam air

9

sehingga tidak terjadi proses respirasi maka, terjadilah apneu. Apneu yang

lama dapat menstimulasi chemoreceptor carotid-body yang berada disekitar

arteri karotis untuk menginhibisi vagus sehingga terjadi refleks vagal dan

berakhir dengan cardiac arrest yang menyebabkan kematian akibat tidak

adanya perfusi ke organ vital terutama otak.8

IV.III Obstruksi jalan nafas

“Dry drowning” dapat pula terjadi akibat obstruksi jalan nafas karena

benda asing pada perairan ataupun akibat lendir tebal yang bercampur

dengan buih dan busa. Korban tidak meninggal karena masuknya air ke

paru-paru tetapi karena ada benda asing pada perairan misalnya berupa

tumbuh-tumbuhan perairan yang menyumbat jalan nafas. Selain itu, adanya

lendir pada jalan nafas korban dapat juga menyebabkan proses penyumbatan

tersebut sehingga tidak cukup suplai oksigen ke paru-paru untuk pertukaran

gas sehingga terjadilah gagal nafas yang berakhir dengan kematian.8

V. PEMERIKSAAN

V.I Pemeriksaan Post Mortem

Penentuan diagnosis pada kasus tenggelam merupakan salah satu hal

yang paling susah dalam kedokteran forensik. Pemeriksaan saat autopsi

tidak ada yang patognomonis untuk dry drowning. Kematian korban yang

ditemukan dalam air tidak selalu berhubungan dengan kasus tenggelam.

Selain itu, mayat yang ditemukan seringkali sudah dalam keadaan

membusuk.6,11

10

Penentuan diagnosis tenggelam perlu memperhatikan informasi

mengenai kejadian-kejadian sebelum terjadinya kematian, riwayat penyakit

sebelumnya, pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, serta pemeriksaaan

penunjang (histologi, biokimia, analisis toksikologi, dan tes diatom).11

V.I.I Pemeriksaan Luar

Pada pemeriksaan luar dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:

a. Keadaan umum

Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran pasir, lumpur, dan

benda-benda asing lain yang terdapat dalam air jika seluruh tubuh

terbenam dalam air.10

b. Posisi tubuh

Ketika seseorang tenggelam, badannya berada dalam air dengan posisi

kepala di bagian bawah, gluteus di bagian atas, dan ekstremitas

terjungtai ke bawah. Tubuh mayat tidak akan terlalu cepat berubah dari

posisi ini kecuali jika terdapat aliran arus yang kuat. Pada air yang

dangkal, wajah atau ekstremitas dapat menonjol ke arah luar. Hal ini

sering menyebabkan luka postmortem.6,12 Pada air yang dalam, tubuh

mayat tetap berada di bawah permukaan air sampai terjadi proses

dekomposisi dan terbentuk gas yang akan mendorong tubuh mayat ke

arah atas. Pada air yang dingin, proses dekomposisi akan dihambat

sehingga menyebabkan tubuh mayat berada dalam waktu yang lebih

lama di dalam air. Bergantung pada lamanya tubuh mayat di dalam air,

11

maka dapat ditemukan tanda-tanda aktivitas hewan seperti ikan, udang,

dan penyu.6

Gambar 1. Posisi tubuh korban yang ditemukan tenggelam di mana wajah

mengahadap ke arah bawah serta kepala dan ekstremitas terjungtai ke bawah.

(Dikutip dari kepustakaan 12)

c. Busa pada hidung dan mulut

Salah satu tanda tenggelam yaitu ditemukannya banyak busa pada

hidung dan mulut korban tenggelam. Busa ini juga dapat ditemukan

pada saluran napas atas dan bawah.11 Masuknya air ke dalam saluran

napas memicu pembentukan mukus. Hal ini merupakan salah satu

tanda intravital. Mukus ini kemudian bercampur dengan air, dan

bahkan dengan surfaktan dari paru-paru membentuk busa.10

12

Gambar 2. Busa berwarna putih pada hidung dan mulut.

(Dikutip dari kepustakaan 12)

d. Maserasi kulit

13

Gambar 3. Gambaran “washer woman” hand akibat immersion yang

berkepanjangan di dalam air.

(Dikutip dari kepustakaan 6)

Pada kulit dapat ditemukan maserasi yang terlihat setelah interval

waktu tertentu tergantung pada suhu air. Kulit menjadi keriput, pucat,

dan basah menyerupai “washer woman’s skin”. Perubahan mulai

terlihat pada ujung kuku, bagian palmar dan dorsal tangan, kemudian

telapak kaki, siku dan lutut.11 Pada air yang hangat maserasi terjadi

dalam beberapa menit sementara pada air dingin terjadi setelah 4-5

jam.12 Jika kulit terus-menerus terpapar dengan air, maka selanjutnya

lapisan keratin pada tangan dan kaki terlepas meninggalkan bentuk

“glove and stoking fashion”.11

e. Cutis anserina

Yaitu spasme muskulus erektor pada folikel rambut akibat rigor

mortis, biasanya terlihat pada ekstremitas.8 Adanya tanda ini tidak

dapat membedakan apakah seseorang masih hidup atau telah mati

pada saat tubuhnya masuk ke air.6

Gambar 4. Cutis anserina.

14

(Dikutip dari kepustakaan 8)

f. Cadaveric spasme

Yaitu merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu korban

berusaha menyelamatkan diri dengan memegang apa saja seperti

rumput atau benda-benda lain dalam air. 6

g. Luka-luka pada tubuh korban

Luka-luka lecet pada siku, jari tangan, lutut dan kaki akibat gesekan

pada benda-benda di dalam air. Dapat pula terjadi luka post mortem

akibat benda-benda atau binatang di dalam air.12,13

Gambar 5. Luka post mortem akibat gigitan hewan di dalam air.

(Dikutip dari kepustakaan 12)

Selain itu dapat ditemukan tanda-tanda yang berhubungan dengan

asfiksia dan tidak ada yang berkaitan khusus dengan kasus tenggelam.

Tanda-tanda tenggelam bergantung pada penundaan recovery dari tubuh

korban dan proses dekomposisi yang dapat mengubah tanda-tanda

tenggelam.11

15

V.I.II Pemeriksaan Dalam

Pada dry drowning terjadi spasme laring yang dipicu oleh vagal

refleks yang kemudian memicu pembentukan lendir tebal, berbusa, dan

berbuih (plug). Plug ini menghambat air memasuki paru-paru. Namun

demikian hipotesis belum dapat dibuktikan karena terjadi relaksasi otot

akibat kematian.10

Pemeriksaan organ untuk kasus dry drowning yang paling penting

yaitu pemeriksaan sistem pernapasan, terutama paru-paru. Pemeriksaan

organ lainnya biasanya tidak patognomonis.14 Pada pemeriksaan dalam

dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:

a. Keadaan Paru

Dry drowning juga sering dikatakan atypical drowning karena pada

pemeriksaan autopsi tidak terlihat gambaran tipikal kasus tenggelam.

Paru tampak normal, tidak terlihat gambaran emphysema aquosum

(paru-paru membesar dan terisi dengan cairan) seperti yang ditemukan

pada kasus wet drowning. Pada paru ditemukan tidak ada air atau

hanya ada sedikit air. Berat paru juga biasanya normal yaitu berkisar

antara 350-550 gram.6,14

b. Tulang Temporal

Perdarahan biasanya terjadi pada bagian Petrous dan Mastoid dari

tulang temporal, biasanya terjadi bilateral. Secara mikroskopis,

perdarahan ini terlokalisasi pada mukosa bagian tengah atau pada sel

mastoid dan berhubungan dengan edema submukosa serta kongesti

16

vascular. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu barotrauma,

penetrasi cairan ke telinga bagian tengah melalui tuba Eustachius, serta

peningkatan tekanan vena dan kapiler akibat penutupan glottis.13

c. Sinus-Sinus

Sinus-sinus pada tubuh yaitu sinus frontalis, maksilaris, ethmoidalis,

dan sphenoidalis merupakan ruangan berisi udara yang berhubungan

dengan rongga hidung. Adanya cairan dalam sinus dipertimbangkan

sebagai salah satu tanda keadaan tubuh yang menetap dalam air. Tanda

ini tidak spesifik untuk kasus tenggelam.12,13

Gambar 6. Didapat cairan yang ditemukan pada sinus sphenoidalis korban

tenggelam.

(Dikutip dari kepustakaan 12)

d. Saluran pencernaan

Dapat ditemukan cairan yang memiliki komposisi yang sama dengan

cairan tempat korban tenggelam, lumpur, alga, rumput laut, dan

kerang.6

17

V.II Pemeriksaan Penunjang

Pada dry drowning dapat dilakukan tes diatom di mana prinsip mendasar

bagi tes ini adalah terdapatnya diatom dalam air atau cairan dimana terjadinya

tenggelam dan inhalasi cairan ini mengakibatkan penetrasi diatom tersebut ke

dalam sistem alveolar dan ke sistem sirkulasi yang akhirnya akan terdeposit di

otak, ginjal dan organ-organ lain. Jika korban sudah meninggal sebelum

tenggelam, maka transportasi diatom ke organ-organ dalam tubuh akan terhalang

karena ketiadaan sirkulasi dan sampel air di paru-paru.9

Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru mayat segar. Bila mayat

telah membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari jaringan ginjal, otot skelet

atau sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati dan limpa kurang

bermakna sebab dapat berasal dari penyerapan abnormal dari saluran pencernaan

terhadap air minum atau makanan.7

Pada pemeriksaan destruksi (digesti asam) pada paru, ambil jaringan

perifer paru sebanyak 100 gram, masukkan ke dalam labu Kjeldahl dan

tambahkan asam sulfat pekat sampai jaringan paru terendam. Diamkan lebih

kurang setengah hari agar jaringan hancur. Kemudian dipanaskan dalam lemari

asam sambil diteteskan asam nitrat pekat sampai terbentuk cairan yang jernih, lalu

didinginkan dan cairan diputar dalam centrifuge.7

Sedimen yang terjadi ditambah dengan akuades, diputar kembali dalam

centrifuge dan akhirnya dilihat dengan mikroskop. Pemeriksaan diatom positif

bila pada jaringan paru ditemukan diatom yang cukup banyak, 4-5/LPB atau 10-

20 per satu sediaan; atau pada sumsum tulang cukup ditemukan hanya satu.7

18

Pada pemeriksaan getah paru, permukaan paru disiram dengan air bersih,

iris bagian perifer, ambil sedikit cairan perasan dari jaringan perifer paru, taruh

pada gelas obyek, tutup dengan kaca penutup dan dilihat dengan menggunakan

mikroskop. Selain diatom, dapat pula terlihat ganggang atau tumbuhan jenis

lainnya.7

VI KESIMPULAN

Pada pemeriksaan korban tenggelam, tanda-tanda asfiksia yang tipikal bisa

ditemukan pada kasus dry drowning. Namun, pada kasus dry drowning, paru-

paru korban relatif lebih kering, lebih ringan dan tidak edematous. Bisa juga

ditemukan mukus yang tebal dan busa yang menjadi penyumbat pada area laryng

yang mencetuskan laryngospasme dimana air atau cairan tidak dapat memasuki

paru-paru. Oleh sebab itu, kebanyakan korban kasus dry drowning mengalami

hipoksia serebral yang fatal. Namun, laryngospasme tidak dapat dibuktikan pada

autopsi karena pada keadaan mati akan mencetuskan relaksasi pada otot-otot

tubuh.6

Meskipun patomekanisme dry drowning merupakan suatu

pembahasanyang sangat menarik dan terdapat 10-15% kasusnya ditemukan dari

seluruh kasus tenggelam, dry drowning hanyalah merupakan sebuah hipotesis dan

belum pernah dibuktikan.6

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Idris A.H, Berg R.A, Berg.J, Bossaert.L, et al. Recommended Guidelines for

Uniform Reporting of Data From Drowning : The “Utstein Style”. Dallas:

American Heart Association ; 2003. p.2565-7

2. WHO. Drowning. [Online] 2012 [cited 2013 February 12]. Available at:

http://www.who.int/

3. Krug E, Howland J, Hingson R. Drowning. [Online] 2012 [cited 2013

February 12] Available from: http://www.cdc.gov/

4. Shepherd, Suzanne Moore. Drowning. [Online] 2013 [cited 2012 Februari 10].

Available at: http://emedicine.medscape.com/article/772753  

5. M. Douglas. Dorland’s Illustrated Medical 31ST Dictionary. Philadelphia:

Saunders Elsevier; 2007. p.575

6. D. Vincent, D. Dominick. Death by Drowning. In: Forensic Pathology Second

Edition. Florida: CRC Press; 2001. p.416-25.

20

7. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im W, et al. Tenggelam

(Drowning). Dalam: Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran

Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;1997. p.64-69.

8. Skhrum MJ, Ramsay DA. Forensic Pathology of Trauma. New Jersey:

Humana Press; 2007. p.24.260-2.

9. Kumar Ajay, Kadian Anita, Bamrah Tanu. Various Parameter of Drowning

Case. J Am Sci; 2012. p.754-7.

10.Chidananda PS. An Autopsy Study of Cases of Death Due To Drowning With

Special References To Middle Ear Hemorrhage and Spleen Findings

Conducted At Bangalore Medical College and Research Institute, Bangalore.

Bangalore; 2008. p.42,36-51.

11.Farrugia A, Ludes B. Diagnostic of Drowning Medicine. In Vieria DN:

Forensic Medicine from Old Problems to New Challenges. Croatia: Intech;

2011. p.53-60.

12.Bell, MD. Drowning. In Dolinak D, Matshes EW, Lew EO: Forensic

Pathology Principles and Practice. London: Elsevier Academic Press; 2005.

p. 227-37.

13.Lunetta P, Modell JH. Macroscopical, Microscopical, and Laboratory

Findings in Drowning Victims. In Tsokos M: Forensic Pathology Reviews. 3rd

Ed. New Jersey: Humana Press; 2005. p.12-22. 43-50.

14.Payne JJ, Busuttil A, Smock W. Forensic Medicine Clinical and Pathological

Aspects. London: Greenwich Medical Media; 2003. p. 249-52

21