Download - Dry Drowningnya FIX
DRY DROWNING
I. PENDAHULUAN
Drowning atau tenggelam telah menjadi penyebab kematian lebih dari satu
setengah juta manusia di seluruh dunia. Jumlah yang besar ini bahkan mungkin
tidak sesuai dengan jumlah sebenarnya karena banyak kasus yang diketahui tidak
dilaporkan. Pada negara yang sangat berkembang, insidens tertinggi dari
terjadinya tenggelam adalah anak anak dengan usia lebih muda dari 5 tahun dan
sesesorang berumur 15 sampai 24 tahun. Pada beberapa negara, tenggelam
menjadi penyebab nomor satu atau kedua dari kematian pada kelompok umur
tersebut. Laporan dari seluruh dunia telah mendukung tenggelam sebagai
penyebab terbanyak serangan jantung pada anak-anak dan remaja.1
Berdasarkan data dari WHO, tenggelam adalah penyebab ke-3 terbanyak
yang menyebabkan kematian yang tidak disengaja dan sekitar 7 % dari jumlah
cedera yang berkaitan dengan kematian. Pada tahun 2004, diperkirakan 388.000
orang meninggal akibat tenggelam, sehingga menyebabkan tenggelam sebagai
masalah mayor dalam dunia kesehatan. Negara- negara yang memiliki
penghasilan rendah dan menengah mencapai persentase 96 % dari seluruh
kematian yang tidak disengaja diakibatkan oleh tenggelam. Lebih dari 60 % kasus
tenggelam terjadi di regional WHO Pasifik bagian barat dan regional WHO Asia
Tenggara. 2
Dari tahun 2005 sampai 2009 di Amerika Serikat terdata rata – rata jumlah
yang menjadi korban dari tenggelam yang berakibat fatal adalah 3.880 orang dan
1
diperkirakan sejumlah 5.789 orang dirawat di unit gawat darurat untuk kasus
tenggelam yang tidak berakibat fatal. Rasio kematian yang diakibatkan oleh
tenggelam pada laki – laki ( 2.07 per 100.000 populasi) empat kali lebih besar
dibandingkan pada perempuan (0.54 per 100.000 populasi).3
Pada tahun 2005, 30% dari anak usia 1-14 tahun yang meninggal di USA
disebabkan karena tenggelam. Angka kesakitan dry drowning pada usia 1-14
tahun yaitu 12-27%. Anak laki-laki usia pra-sekolah memiliki risiko tinggi
mengalami dry drowning. Dari survey yang dilakukan pada 9.420 Taman Kanak –
kanak di Carolina Selatan didapatkan hasil 10% dari anak usia kurang dari 5
tahun memiliki pengalaman mendapatkan penanganan khusus akibat dry
drowning. 4
II. DEFINISI
Definisi Drowning atau tenggelam sangat bervariasi. Menurut kamus
kedokteran Dorland definisi drowning atau tenggelam adalah suatu kondisi
kesulitan bernafas dan dapat berakibat kematian atau kematian yang diakibatkan
paru – paru terisi oleh air, cairan atau zat lain sehingga menyebabkan pertukaran
oksigen menjadi tidak mungkin.5 Sebelumnya drowning didefinisikan sebagai
kematian yang disebabkan oleh asfiksia akibat aspirasi cairan ke dalam saluran
pernapasan atau akibat dari terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke dalam
cairan dimana tenggelam tidak terbatas di dalam air seperti sungai, danau, atau
kolam renang tetapi mungkin juga terbenam dalam kubangan atau selokan dengan
hanya muka yang berada di bawah permukaan air. 1, 4
2
Pada World Congress on Drowning tahun 2002 di Amsterdam,
sekelompok ahli mengusulkan konsensus baru untuk mendefiniskan tenggelam
untuk mengurangi kebingungan dari berbagai istilah dan definisi yang ada lebih
dari 20 dan semuanya merujuk pada kata ini dalam berbagai literatur. Tenggelam,
yang dahulu dianggap sebagai kematian yang secara langsung disebabkan oleh
asfiksia ( asphyxial death ), kini diketahui terdiri dari serangkaian gangguan
fisiologis dan biokimiawi yang seluruhnya memiliki peranan penting terhadap
akibat fatal dari tenggelam. Adanya mekanisme kematian yang berbeda-beda pada
tenggelam akan memberikan warna yang berbeda-beda pada pemeriksaan
korban.1, 4
Drowning adalah proses yang menyebabkan gangguan respirasi primer
akibat dari terjadinya submersion atau imersion dalam medium cairan. Secara
implisit disebutkan dalam definisi ini bahwa terdapat liquid-air interface yang
menutupi jalur masuknya pernafasan korban, sehingga mencegah korban
menghirup oksigen. Korban tersebut bisa hidup atau mati setelah proses ini, tetapi
apapun akibatnya, korban tersebut telah termasuk dalam kecelakaan tenggelam.
Tenggelam biasanya terjadi secara cepat dan senyap. Gambaran klasik dari korban
tenggelam seperti gasping dan thrashing pada air jarang dilaporkan. Skenario
yang lebih buruk seperti ditemukannya seseorang yang mengambang di atas air
atau tiba – tiba menghilang dibawah permukaan lebih sering dilaporkan.1,4
Proses tenggelam dimulai ketika jalur nafas korban terletak dibawah
permukaan cairan, biasanya air, dimana secara bersamaan korban secara volunteer
menahan nafasnya. Menahan nafas selalu diikuti dengan periode involunter dari
3
laringospasm yang diakibatakan oleh adanya cairan pada oropharynx atau larynx.
Ketika periode ini yaitu terjadinya menahan nafas dan laringospasme, korban
menjadi tidak dapat menghirup gas. Proses ini menghasilkan oksigen yang
semakin berkurang dan karbon dioksida yang tidak dapat tereliminasi. Korban
kemudian menjadi dalam kondisi hypercarbic, hypoxemic, dan asidosis. Ketika
proses ini berlangsung korban akan secara berfrekuensi menelan banyak air.
Pergerakan respirasi korban dapat menjadi sangat aktif, tetapi tidak terdapat
pertukaran udara karena obstruksi setinggi laring. Sebagaimana tekanan oksigen
arteri jatuh lebih jauh, laryngospasm mulai menghilang, dan korban secara aktif
menghirup cairan. Jumlah cairan yang dihirup bervariasi dari korban ke korban.
Perubahan terjadi pada paru-paru, cairan tubuh, tekanan gas dan darah,
keseimbangan asam-basa, dan konsentrasi elektrolit, yang bergantung pada
komposisi dan volume cairan yang diaspirasi dan lama terjadinya submersion.
Surfactant washout, hipertensi pulmonal, dan shunting juga berkontribusi pada
perkembangan menuju hypoxemia. 1
Kekacauan tambahan fisiologis, seperti respon syok akibat dingin, bisa
terjadi pada korban yang mengalami imersion pada air yang dingin. Air yang
bersuhu 10 derajat celcius atau lebih dingin dapat menghasilkan efek pada
kardiovaskular, termasuk di dalamnya tekanan darah yang meningkat dan
takiaritmia ektopik. Respon ini juga dapat menimbulkan refleks gasp yang diikuti
dengan hiperventilasi, yang mana dapat terjadi ketika korban berada di bawah air.1
Beberapa orang yang tenggelam bisa dipertimbangkan menjadi korban
dari dry drowning. Pada kondisi ini paru-paru tidak menjadi berat, membesar atau
4
tampak edema sebagai ciri khusus paru – paru yang tenggelam. Lebih jauh lagi,
hipoksia serebral yang fatal disebabkan oleh spasme laring. Dry drowning terjadi
sekitar 10 -15 % dari semua peristiwa tenggelam. Secara teori yang terjadi adalah
sejumlah kecil air masuk ke laring atau teakea, sehingga spasme laring tiba-tiba
terjadi dan dimediasi oleh refleks vagal. Mukosa yang tebal, berbusa dan berbuih
dapat ditemukan dan dapat menjadi sumbatan fisik yang aktual pada kondisi ini.
Sehingga air tidak akan pernah masuk ke dalam paru – paru. Sumbatan fisik dan
spasme laring tersebut tidak dapat ditemukan pada saat autopsi, karena kematian
menyebabkan relaksasi otot – otot tubuh. 6
Berikut ini beberapa istilah yang sering digunakan berkaitan dengan drowning: 7
II.1 Wet Drowning
Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernafasan setelah korban
tenggelam.
II.2 Dry Drowning
Pada keadaan ini cairan tidak masuk ke dalam saluran pernafasan, akibat
spasme laring.
II.3 Secondary Drowning
Terjadi gejala beberapa hari setelah korban tenggelam ( dan diangkat dari
dalam air) dan korban meninggal akibat komplikasi.
II.4 Immersion Syndrome
Korban tiba – tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat
refleks vagal. Alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus.
5
III. FAKTOR RESIKO
III.1 Umur
Umur merupakan salah satu faktor resiko terbesar dari tenggelam.
Hubungan ini selalu berkaitan dengan kecerobahan dalam pengawasan.
Secara umum, anak – anak berumur di bawah 5 tahun memiliki peringkat
tertinggi kematian yang disebabkan oleh tenggelam. Tetapi Kanada dan
New Zealand sebagai pengecualian dimana orang dewasa laki – lebih sering
menjadi korban tenggelam. 2
Di Australia tenggelam adalah penyebab terbanyak dari cedera
berakibat kematian yang tidak disengaja pada anak – anak usia 1 – 3 tahun.
Di Bangladesh jumlah tengggelam mencapai persentase hingga 20 % dari
total seluruh kematian pada anak – anak dengan usia 1 – 14 tahun. Di
Amerika tenggelam adalah penyebab kedua dari cedera yang berakibat
kematian yang tidak disengaja pada anak – anak berusia 1 – 14 tahun. 2
III.2 Jenis Kelamin
Laki – laki yang mengalami tenggelam memiliki resiko dua kali lebih
besar berakibat kematian dibandingkan perempuan. Selain itu laki – laki
juga lebih sering dirawat di rumah sakit daripada perempuan yang
diakibatkan oleh tenggelam yang tidak fatal. Penelitian menunjukkan bahwa
jumlah kejadian tenggelam pada laki – laki lebih tinggi dibandingkan
perempuan disebabkan oleh paparan terhadap air yang lebih sering, dan
memiliki kebiasaan yang beresiko seperti berenang sendirian, minum
6
alkohol sebelum berenang sendirian atau menggunakan perahu kecil untuk
pergi ke suatu tempat. 2
III.3 Akses dengan Air
Akses yang meningkat dengan air adalah faktor resiko lain dari
tenggelam. Individual dengan pekerjaan seperti pemancing ikan komersil
atau yang memancing ikan untuk mencari nafkah dan menggunakan perahu
kecil pada negara dengan penghasilan yang rendah lebih beresiko untuk
tenggelam. Anak – anak yang tinggal dekat dengan sumber air yang terbuka,
seperti parit, saluran irigasi, laut ataupun kolam renang khususnya juga
dalam kondisi yang beresiko untuk terjadinya tenggelam. 2
III.4 Faktor Resiko Lain
Pada banyak negara dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah,
menjadi bagian dari kelompok etnis yang minoritas, kurangnya pendidikan,
dan populasi yang tinggal di daerah terpencil bisa berkaitan dengan
terjadinya tenggelam. Balita yang ditinggalkan tanpa pengawasan atau
sendiri dengan anak lain dalam sebuah bak kamar mandi juga beresiko.
Transportasi dengan jalur perairan yang tidak aman dan terlalu padat yang
perlengkapan alat apungnya masih kurang, penggunaan alkohol, kondisi
medis tertentu seperti epilepsi, banjir dan bencana seperti tsunami juga
menjadi faktor resiko bagi tenggelamnya seseorang. 2
7
IV. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Secara fisiologis pada korban tenggelam, masuknya air pada jalan nafas
(epiglotis) akan menyebabkan reaksi pertahanan pada sebagian besar korban
dengan cara menahan nafas dan meminum air tersebut. Hal tersebut berlangsung
beberapa saat sehingga air mengisi saluran cerna terlebih dahulu. Pada saat proses
menahan nafas (breath holding position) tersebut, kadar CO2 dalam darah akan
meningkat dan kadar O2 darah akan menurun hingga mencapai break point akibat
tingginya kadar CO2 dalam darah sehingga merangsang reflex untuk bernafas.
Jika hal tersebut terjadi maka air akan masuk ke paru-paru dan terjadilah keadaan
“wet drowning”.8,10 Lamanya breath holding position berbeda pada setiap orang,
umumnya selama + 1,5 menit pada orang dewasa terlatih, + 1 menit pada orang
dewasa tak terlatih, dan 10-20 detik pada anak-anak.8
Pada saat fase breath holding position terjadi, maka secara alamiah akan
terjadi mammalian diving reflex yaitu suatu refleks yang terjadi pada saat
mammalia terbenam di dalam air dimana refleks ini bertujuan untuk
mempertahankan fase breath holding position dengan mengurangi aktivitas tubuh
untuk menurunkan kebutuhan O2 dan energi. Pada saat terjadi mammalian diving
reflex, maka secara langsung terjadi 3 efek pada tubuh, yaitu:10
1. Bradikardi dengan menurunkan 50% dari laju jantung.
2. Vasokonstriksi perifer untuk meningkatkan aliran darah pada organ
vital.
3. Blood shifting ke thoraks untuk mencegah kolapsnya vaskuler paru-paru
akibat tekanan tinggi pada saat berada di dalam air.
8
Adapun fase ini dapat dipercepat pada korban yang sedang panik dan
banyak bergerak pada saat fase ini.10
Berbeda dengan mekanisme diatas, “dry drowning” terjadi tanpa disertai
proses fisiologis di atas sehingga masuknya air ke paru-paru tidak terjadi atau
hanya dalam jumlah kecil. Secara umum, “dry drowning” dapat disebabkan oleh:
IV.I Laringospasme
Pada korban-korban tertentu baik sadar maupun tidak sadar,
masuknya air ke jalan nafas (epiglotis) dapat langsung menimbulkan refleks
berupa laringospasme. Laringospasme ini menyebabkan sumbatan jalan
nafas sehingga sedikit bahkan tidak ada udara dan cairan yang masuk ke
paru-paru sehingga tidak terjadi pertukaran gas di paru-paru dan dapat
menyebabkan gagal nafas. Jika laringospasme ini bertahan sampai terjadi
cardiac arrest karena tidak adanya perfusi dan oksigenasi pada jantung
maka terjadilah “dry drowning” yang menyebabkan kematian. Kematian
pada “dry drowning” terjadi akibat tidak adanya perfusi ke organ vital
terutama otak. Namun, jika laringospasme tidak bertahan sampai cardiac
arrest maka akan terjadi relaksasi otot-otot laring dimana hal ini terjadi pada
beberapa korban akibat tidak sadarnya korban dalam waktu yang lama
sehingga air dapat masuk ke paru-paru dan korban tersebut meninggal
karena “wet drowning”.9
IV.II Refleks vagal
Selain akibat laringospasme, “dry drowning” juga dapat disebabkan
oleh cardiac arrest secara langsung. Akibat lamanya seseorang di dalam air
9
sehingga tidak terjadi proses respirasi maka, terjadilah apneu. Apneu yang
lama dapat menstimulasi chemoreceptor carotid-body yang berada disekitar
arteri karotis untuk menginhibisi vagus sehingga terjadi refleks vagal dan
berakhir dengan cardiac arrest yang menyebabkan kematian akibat tidak
adanya perfusi ke organ vital terutama otak.8
IV.III Obstruksi jalan nafas
“Dry drowning” dapat pula terjadi akibat obstruksi jalan nafas karena
benda asing pada perairan ataupun akibat lendir tebal yang bercampur
dengan buih dan busa. Korban tidak meninggal karena masuknya air ke
paru-paru tetapi karena ada benda asing pada perairan misalnya berupa
tumbuh-tumbuhan perairan yang menyumbat jalan nafas. Selain itu, adanya
lendir pada jalan nafas korban dapat juga menyebabkan proses penyumbatan
tersebut sehingga tidak cukup suplai oksigen ke paru-paru untuk pertukaran
gas sehingga terjadilah gagal nafas yang berakhir dengan kematian.8
V. PEMERIKSAAN
V.I Pemeriksaan Post Mortem
Penentuan diagnosis pada kasus tenggelam merupakan salah satu hal
yang paling susah dalam kedokteran forensik. Pemeriksaan saat autopsi
tidak ada yang patognomonis untuk dry drowning. Kematian korban yang
ditemukan dalam air tidak selalu berhubungan dengan kasus tenggelam.
Selain itu, mayat yang ditemukan seringkali sudah dalam keadaan
membusuk.6,11
10
Penentuan diagnosis tenggelam perlu memperhatikan informasi
mengenai kejadian-kejadian sebelum terjadinya kematian, riwayat penyakit
sebelumnya, pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, serta pemeriksaaan
penunjang (histologi, biokimia, analisis toksikologi, dan tes diatom).11
V.I.I Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Keadaan umum
Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran pasir, lumpur, dan
benda-benda asing lain yang terdapat dalam air jika seluruh tubuh
terbenam dalam air.10
b. Posisi tubuh
Ketika seseorang tenggelam, badannya berada dalam air dengan posisi
kepala di bagian bawah, gluteus di bagian atas, dan ekstremitas
terjungtai ke bawah. Tubuh mayat tidak akan terlalu cepat berubah dari
posisi ini kecuali jika terdapat aliran arus yang kuat. Pada air yang
dangkal, wajah atau ekstremitas dapat menonjol ke arah luar. Hal ini
sering menyebabkan luka postmortem.6,12 Pada air yang dalam, tubuh
mayat tetap berada di bawah permukaan air sampai terjadi proses
dekomposisi dan terbentuk gas yang akan mendorong tubuh mayat ke
arah atas. Pada air yang dingin, proses dekomposisi akan dihambat
sehingga menyebabkan tubuh mayat berada dalam waktu yang lebih
lama di dalam air. Bergantung pada lamanya tubuh mayat di dalam air,
11
maka dapat ditemukan tanda-tanda aktivitas hewan seperti ikan, udang,
dan penyu.6
Gambar 1. Posisi tubuh korban yang ditemukan tenggelam di mana wajah
mengahadap ke arah bawah serta kepala dan ekstremitas terjungtai ke bawah.
(Dikutip dari kepustakaan 12)
c. Busa pada hidung dan mulut
Salah satu tanda tenggelam yaitu ditemukannya banyak busa pada
hidung dan mulut korban tenggelam. Busa ini juga dapat ditemukan
pada saluran napas atas dan bawah.11 Masuknya air ke dalam saluran
napas memicu pembentukan mukus. Hal ini merupakan salah satu
tanda intravital. Mukus ini kemudian bercampur dengan air, dan
bahkan dengan surfaktan dari paru-paru membentuk busa.10
12
Gambar 2. Busa berwarna putih pada hidung dan mulut.
(Dikutip dari kepustakaan 12)
d. Maserasi kulit
13
Gambar 3. Gambaran “washer woman” hand akibat immersion yang
berkepanjangan di dalam air.
(Dikutip dari kepustakaan 6)
Pada kulit dapat ditemukan maserasi yang terlihat setelah interval
waktu tertentu tergantung pada suhu air. Kulit menjadi keriput, pucat,
dan basah menyerupai “washer woman’s skin”. Perubahan mulai
terlihat pada ujung kuku, bagian palmar dan dorsal tangan, kemudian
telapak kaki, siku dan lutut.11 Pada air yang hangat maserasi terjadi
dalam beberapa menit sementara pada air dingin terjadi setelah 4-5
jam.12 Jika kulit terus-menerus terpapar dengan air, maka selanjutnya
lapisan keratin pada tangan dan kaki terlepas meninggalkan bentuk
“glove and stoking fashion”.11
e. Cutis anserina
Yaitu spasme muskulus erektor pada folikel rambut akibat rigor
mortis, biasanya terlihat pada ekstremitas.8 Adanya tanda ini tidak
dapat membedakan apakah seseorang masih hidup atau telah mati
pada saat tubuhnya masuk ke air.6
Gambar 4. Cutis anserina.
14
(Dikutip dari kepustakaan 8)
f. Cadaveric spasme
Yaitu merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu korban
berusaha menyelamatkan diri dengan memegang apa saja seperti
rumput atau benda-benda lain dalam air. 6
g. Luka-luka pada tubuh korban
Luka-luka lecet pada siku, jari tangan, lutut dan kaki akibat gesekan
pada benda-benda di dalam air. Dapat pula terjadi luka post mortem
akibat benda-benda atau binatang di dalam air.12,13
Gambar 5. Luka post mortem akibat gigitan hewan di dalam air.
(Dikutip dari kepustakaan 12)
Selain itu dapat ditemukan tanda-tanda yang berhubungan dengan
asfiksia dan tidak ada yang berkaitan khusus dengan kasus tenggelam.
Tanda-tanda tenggelam bergantung pada penundaan recovery dari tubuh
korban dan proses dekomposisi yang dapat mengubah tanda-tanda
tenggelam.11
15
V.I.II Pemeriksaan Dalam
Pada dry drowning terjadi spasme laring yang dipicu oleh vagal
refleks yang kemudian memicu pembentukan lendir tebal, berbusa, dan
berbuih (plug). Plug ini menghambat air memasuki paru-paru. Namun
demikian hipotesis belum dapat dibuktikan karena terjadi relaksasi otot
akibat kematian.10
Pemeriksaan organ untuk kasus dry drowning yang paling penting
yaitu pemeriksaan sistem pernapasan, terutama paru-paru. Pemeriksaan
organ lainnya biasanya tidak patognomonis.14 Pada pemeriksaan dalam
dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Keadaan Paru
Dry drowning juga sering dikatakan atypical drowning karena pada
pemeriksaan autopsi tidak terlihat gambaran tipikal kasus tenggelam.
Paru tampak normal, tidak terlihat gambaran emphysema aquosum
(paru-paru membesar dan terisi dengan cairan) seperti yang ditemukan
pada kasus wet drowning. Pada paru ditemukan tidak ada air atau
hanya ada sedikit air. Berat paru juga biasanya normal yaitu berkisar
antara 350-550 gram.6,14
b. Tulang Temporal
Perdarahan biasanya terjadi pada bagian Petrous dan Mastoid dari
tulang temporal, biasanya terjadi bilateral. Secara mikroskopis,
perdarahan ini terlokalisasi pada mukosa bagian tengah atau pada sel
mastoid dan berhubungan dengan edema submukosa serta kongesti
16
vascular. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu barotrauma,
penetrasi cairan ke telinga bagian tengah melalui tuba Eustachius, serta
peningkatan tekanan vena dan kapiler akibat penutupan glottis.13
c. Sinus-Sinus
Sinus-sinus pada tubuh yaitu sinus frontalis, maksilaris, ethmoidalis,
dan sphenoidalis merupakan ruangan berisi udara yang berhubungan
dengan rongga hidung. Adanya cairan dalam sinus dipertimbangkan
sebagai salah satu tanda keadaan tubuh yang menetap dalam air. Tanda
ini tidak spesifik untuk kasus tenggelam.12,13
Gambar 6. Didapat cairan yang ditemukan pada sinus sphenoidalis korban
tenggelam.
(Dikutip dari kepustakaan 12)
d. Saluran pencernaan
Dapat ditemukan cairan yang memiliki komposisi yang sama dengan
cairan tempat korban tenggelam, lumpur, alga, rumput laut, dan
kerang.6
17
V.II Pemeriksaan Penunjang
Pada dry drowning dapat dilakukan tes diatom di mana prinsip mendasar
bagi tes ini adalah terdapatnya diatom dalam air atau cairan dimana terjadinya
tenggelam dan inhalasi cairan ini mengakibatkan penetrasi diatom tersebut ke
dalam sistem alveolar dan ke sistem sirkulasi yang akhirnya akan terdeposit di
otak, ginjal dan organ-organ lain. Jika korban sudah meninggal sebelum
tenggelam, maka transportasi diatom ke organ-organ dalam tubuh akan terhalang
karena ketiadaan sirkulasi dan sampel air di paru-paru.9
Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru mayat segar. Bila mayat
telah membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari jaringan ginjal, otot skelet
atau sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati dan limpa kurang
bermakna sebab dapat berasal dari penyerapan abnormal dari saluran pencernaan
terhadap air minum atau makanan.7
Pada pemeriksaan destruksi (digesti asam) pada paru, ambil jaringan
perifer paru sebanyak 100 gram, masukkan ke dalam labu Kjeldahl dan
tambahkan asam sulfat pekat sampai jaringan paru terendam. Diamkan lebih
kurang setengah hari agar jaringan hancur. Kemudian dipanaskan dalam lemari
asam sambil diteteskan asam nitrat pekat sampai terbentuk cairan yang jernih, lalu
didinginkan dan cairan diputar dalam centrifuge.7
Sedimen yang terjadi ditambah dengan akuades, diputar kembali dalam
centrifuge dan akhirnya dilihat dengan mikroskop. Pemeriksaan diatom positif
bila pada jaringan paru ditemukan diatom yang cukup banyak, 4-5/LPB atau 10-
20 per satu sediaan; atau pada sumsum tulang cukup ditemukan hanya satu.7
18
Pada pemeriksaan getah paru, permukaan paru disiram dengan air bersih,
iris bagian perifer, ambil sedikit cairan perasan dari jaringan perifer paru, taruh
pada gelas obyek, tutup dengan kaca penutup dan dilihat dengan menggunakan
mikroskop. Selain diatom, dapat pula terlihat ganggang atau tumbuhan jenis
lainnya.7
VI KESIMPULAN
Pada pemeriksaan korban tenggelam, tanda-tanda asfiksia yang tipikal bisa
ditemukan pada kasus dry drowning. Namun, pada kasus dry drowning, paru-
paru korban relatif lebih kering, lebih ringan dan tidak edematous. Bisa juga
ditemukan mukus yang tebal dan busa yang menjadi penyumbat pada area laryng
yang mencetuskan laryngospasme dimana air atau cairan tidak dapat memasuki
paru-paru. Oleh sebab itu, kebanyakan korban kasus dry drowning mengalami
hipoksia serebral yang fatal. Namun, laryngospasme tidak dapat dibuktikan pada
autopsi karena pada keadaan mati akan mencetuskan relaksasi pada otot-otot
tubuh.6
Meskipun patomekanisme dry drowning merupakan suatu
pembahasanyang sangat menarik dan terdapat 10-15% kasusnya ditemukan dari
seluruh kasus tenggelam, dry drowning hanyalah merupakan sebuah hipotesis dan
belum pernah dibuktikan.6
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Idris A.H, Berg R.A, Berg.J, Bossaert.L, et al. Recommended Guidelines for
Uniform Reporting of Data From Drowning : The “Utstein Style”. Dallas:
American Heart Association ; 2003. p.2565-7
2. WHO. Drowning. [Online] 2012 [cited 2013 February 12]. Available at:
http://www.who.int/
3. Krug E, Howland J, Hingson R. Drowning. [Online] 2012 [cited 2013
February 12] Available from: http://www.cdc.gov/
4. Shepherd, Suzanne Moore. Drowning. [Online] 2013 [cited 2012 Februari 10].
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/772753
5. M. Douglas. Dorland’s Illustrated Medical 31ST Dictionary. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2007. p.575
6. D. Vincent, D. Dominick. Death by Drowning. In: Forensic Pathology Second
Edition. Florida: CRC Press; 2001. p.416-25.
20
7. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im W, et al. Tenggelam
(Drowning). Dalam: Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;1997. p.64-69.
8. Skhrum MJ, Ramsay DA. Forensic Pathology of Trauma. New Jersey:
Humana Press; 2007. p.24.260-2.
9. Kumar Ajay, Kadian Anita, Bamrah Tanu. Various Parameter of Drowning
Case. J Am Sci; 2012. p.754-7.
10.Chidananda PS. An Autopsy Study of Cases of Death Due To Drowning With
Special References To Middle Ear Hemorrhage and Spleen Findings
Conducted At Bangalore Medical College and Research Institute, Bangalore.
Bangalore; 2008. p.42,36-51.
11.Farrugia A, Ludes B. Diagnostic of Drowning Medicine. In Vieria DN:
Forensic Medicine from Old Problems to New Challenges. Croatia: Intech;
2011. p.53-60.
12.Bell, MD. Drowning. In Dolinak D, Matshes EW, Lew EO: Forensic
Pathology Principles and Practice. London: Elsevier Academic Press; 2005.
p. 227-37.
13.Lunetta P, Modell JH. Macroscopical, Microscopical, and Laboratory
Findings in Drowning Victims. In Tsokos M: Forensic Pathology Reviews. 3rd
Ed. New Jersey: Humana Press; 2005. p.12-22. 43-50.
14.Payne JJ, Busuttil A, Smock W. Forensic Medicine Clinical and Pathological
Aspects. London: Greenwich Medical Media; 2003. p. 249-52
21