case report anestesi

35
BAB I LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. Hosiyah Umur : 45 tahun Alamat : Agama : Islam Suku : Jawa Status : Menikah Tinggi Badan : ± 55 kg Berat Badan : 157 cm Golongan Darah : O Tanggal Masuk : 12 April 2015 II. ANAMNESIS KELUHAN UTAMA : Terdapat benjolan dileher sebelah kiri KELUHAN TAMBAHAN : - Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan dileher sebelah kiri sejak 8 bulan yang lalu. Awalnya benjolannya kecil namun sejak 1 bulan terakhir bertambah besar kira- kira sekarang besarnya 8 cm x 8 cm. Benjolannya bulat, keras dan nyeri saat ditekan. 1

Upload: thy02

Post on 18-Dec-2015

57 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

DATA ANESTESI

TRANSCRIPT

User

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama

: Ny. Hosiyah

Umur

: 45 tahun

Alamat

: Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Status

: Menikah

Tinggi Badan

: 55 kg

Berat Badan

: 157 cm

Golongan Darah: O

Tanggal Masuk: 12 April 2015

II. ANAMNESIS

KELUHAN UTAMA : Terdapat benjolan dileher sebelah kiri

KELUHAN TAMBAHAN: -

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan dileher sebelah kiri sejak 8 bulan yang lalu. Awalnya benjolannya kecil namun sejak 1 bulan terakhir bertambah besar kira- kira sekarang besarnya 8 cm x 8 cm. Benjolannya bulat, keras dan nyeri saat ditekan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak ada riwayat diabetes, hipertensi dan jantung

Riwayat Alergi

Disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK

Tekanan darah

: 113/70 mmhg

Frekuensi nadi

: 88 x/menit

Frekuensi nafas: 22x/menit

Suhu

: 36, 8 C

Sirkulasi

: Konjungtiva anemis +/+, BJ I & II reguler, murmur (-) gallop (-), EKG sinus ritme, Foto Thorax terdapat aortosklerotic disease

Respirasi

: BND vesikuler Rhonki -/- Wheezing -/-, Airway Clear, Mallampati II, Gigi tidak ada (ompong)Saraf

: Kesadaran kompos mentis, GCS E4M6V5, pupil isokor

3mm/3mm, Refleks cahaya +/+

GIT

: dalam batas normal

Renal

: CVA -/-

Status Lokalis

: Regio colli sinistra benjolan 8 cm x 8 cm konsistensi keras nyeri tekan (+) warna sama dengan warna kulit

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hb

: 10,0 g/dl

Leukosit

: 8,998 ribu/ul

Hematokrit

: 29,8 %

Trombosit

: 546 ribu/ul

Masa perdarahan : 4 Menit

Masa pembekuan: 14 Menit

SGOT

: 28 U/L

SGPT

: 28 U/L

Ureum

: 35 mg/dl

Creatinin

: 1 mg/dl

Natrium

: 140,31 mmol/L

Kalium

: 4,15 mmol/L

Clorida

: 105,16 mmol/L

GDS

: 110 mg/dl

T3 total

: 1,26 ng/ml

T4 total

: 10,22 ng/ml

TSHs

: 0,0014 IU/mL

V. ASA : 2

VI. PENATALAKSANAAN

Rawat inap

Observasi Tekanan Darah, Frekuensi Nadi, dan Frekuensi Nafas

Periksa H2TL

Rencana lobektomi sinistra

Pasang face mask O2: 6 lpm

IVFD : RL I kolf

MM : Kalfoxime 1 g

Transamin 1 amp

VII. Persiapan Pre-operasi

Surat persetujuan operasi dan anestesi

O2 5 3 lpm

N2O 3 lpm

Isofluranse 0,3 vol%

IVFD 1 line (total cairan masuk 250 mL)

Premedikasi:

Miloz 2,5 mg

Fentanyl 75 mcg

VIII. Di kamar operasi

Scope

: Stetoskop, Laringoskop

Tubes

: ETT (cuffed) size 7 kink, fix di tepi bibirAirway

:Oropharyngeal airway

Tape

: Plester untuk fiksasi

Introducer

: Untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan

Connector

: Penyambung antara ETT dan alat anestesi

Suction

: Memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction

IX. Medikasi

A. Propofol 100mg

B. Farelax 30mg

C. Granon 1mg

D. Asam tranexamat 500mg

E. Fentanyl 150mcg

X. Langkah Tindakan Anestesi

Persiapan:

A. Menyiapkan meja operasi dan akseeorisnya

B. Menyiapkan mesin dan alat anestesi

C. Menyiapkan komponen STATICS

D. Menyiapkan obat-obat anesthesia yang diperlukan

E. Menyiapkan obat-obat resusitasi; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat, dll

F. Menyiapkan tiang infus, plester, dll

G. Memasang monitor, saturasi O2, tekanan darah dan EKG

XI. Monitoring cairan yang masuk dan keluar

a. Cairan Masuk

i. Pre operasi

: RL 250 ml

ii. Durante Operasi: RL 1750 ml

b. Cairan Keluar

i. Pre operasi

: 250 ml

ii. Durante operasi:

1. Perdarahan: Suction 200 ml + kasa besar 50 ml + kasa kecil 40 ml

2. Urin

: 300 ml

XII. Pemeriksaan Fisik Post Operasi

B1: Airway paten (ekstubasi), napas spontan, RR 16 x/menit, Rh (-), Wh (-)

B2: Akral hangat, kering, kemerahan; nadi 88 x/menit, reguler, kuat angkat; TD 110/70 mmHg; CRT< 2; S1S2 single regular, murmur (-)

B3: kontak (+), compos mentis

B4: terpasang kateter 16 fr, urin (+) 100cc warna kuning jernih

B5: BU (+), luka operasi bersih

B6: mobilitas (+), mampu menggerakkan kedua ekstremitas atas, sedangkan ekstremitas bawah masih belum bisa digerakkan , edema (-), sianosis (-), anemis(-), ikterik (-), CRT 3 kali usaha intubasi atau usaha intubasi yang terakhir > 10 menit.D.Penatalaksanaan Intubasi Jalan Napas SulitPersiapan yang adekuat untuk menangani pasien dengan jalan nafas yang sulit membutuhkan pengetahuan dan juga perlengkapan yang tepat. Pengetahuan yang dibutuhkan untuk penanganan pasien ini adalah pengetahuan lanjutan yang sama untuk penatalaksanaan semua pasien, kecuali adanya beberapa tambahan tertentu. ASA sudah menetukan beberapa tambahan secara algoritma untuk penatalaksanaan jalan nafas sulit. Algoritma tersebut adalah Algoritma ASA

1. Menentukan gejala dan manifestasi klinik dari penatalaksanaan masalah dasarnya :

a. Kesulitan dengan kerjasama dan persetujuan pasien

b. Ventilasi masker sulit

c. Kesulitan menempatkan SGA

d. Laringoskopi sulit

e. Akses jalan nafas pembedahan sulit

2. Secara aktif mencari kesempatan untuk menangani kasus-kasus penatalaksanaan jalan nafas sulit.

3. Mempertimbangkan kegunaan dan hal-hal dasar yang mungkin dilakukan sebagai pilihan penatalaksanaan :

A. Intubasi sadar versus intubasi setelah induksi pada GA.

B. Pendekatan tehnik intubasi non invasif versus pendekatan tehnik intubasi invasif.

C. Laringoskopi yang dibantu video sebagai pendekatan awal intubasi

D. Pemeliharaan ventilasi spontan versus ablasi ventilasi spontan.

4. Membuat strategi utama dan alternatifnya.

Algoritme ASA bertindak sebagai model pendekatan terhadap kesulitan jalan nafas bagi perawat anestesi, dokter gawat darurat dan tenaga diluar rumah sakit, juga ahli anestesi. Walaupu algoritme banyak menjelaskan tentang algoritme. Satu pernyataan pada dokumen ini mensimpulkan kesulitan menulis dan merekomendasikan manajemen pada kesulitan jalan nafas: Kesulitan jalan nafas mewakili interaksi yang kompleks antara factor pasien, keadaan klinis dan ketrampilan personel.

Jalan masuk algoritma dimulai dengan evaluasi jalan nafas. Walaupun terdapat beberapa pertentangan seperti metode dan indeks nilai yang dievaluasi, klinisi harus menggunakan seluruh data yang ada dan pengalaman klinis sendiri untuk mencapai penilaian umum sebagai kesulitan jalan nafas pasien dalam hal laringoskopi dan intubasi, tehnik ventilasi supraglotik, resiko aspirasi atau toleransi apnu.

Evaluasi ini harus mengarahkan klinisi untuk memasuki algoritme ASA pada satu dari dua poin dasar : A-awake intubation, atau B- usaha intubasi setelah induksi anestesi umum. Hal ini menyoroti penamaan yang salah tidak hanya untuk kesulitan jalan nafas, tapi relevan terhadap seluruh keadaan dimana jalan nafas ditangani. Kotak B menggambarkan pendekatan yang diambil pada kebanyakan intubasi trakea ( dan dapat diterapkan untuk masker wajah-dan SGA-pasien).

Keputusan untuk memasuki algoritme via kotak A atau B merupakan suatu premanajemen. Kotak A dipilih bila kesulitan jalan nafas diantisipasi, sedangkan kotak B untuk situasi dimana kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. Keputusan ini dapat disaring pada penekanan perkembangan SGA. Takenaka, mempertanyakan kebutuhan untuk memasuki kotak ASA DAA saat SGA dipertimbangkan berguna walaupun kesulitan jalan nafas pada intubasi laringoskopi trakea sudah diantisipasi. Ini sudah lebih jauh digambarkan ke dalam jalur keputusan reoperatif oleh Rosenblatt. Pilihan yang ditekankan dari panduan praktis ASA, sangat tergantung pada ketrampilan dan pengalaman klinisi. Rincian ASA dapat disimpulkan di sini:

1. Apakah dibutuhkan pengendalian jalan nafas? Tidak masalah seberapa rutin sedasi atau anestesi umum mempunyai potensi mengakibatkan pasien apnu, sebaiknya selalu dipertimbangkan secara serius dan alternatifnya harus dipertimbangkan.

2. Akankah laringoskopi langsung akan sulit? Jika terdapat indikasi dimana laringoskopi langsung akan sulit (berdasarkan pemeriksaan fisik dan riwayat), klinisi dapat melakukan dengan dengan teknik lain (induksi, laringoskopi langsung, LMA, dll)bila sesuai klinis. Ini adalah esensi dari kotak B ASA-DAA.

3. Dapatkah ventilasi SGA digunakan? Jika klinisi merasa bahwa terdapat suatu alasan fisik bahwa ventilasi SGA (dengan facemask, LMA, atau alat yang lain) akan sulit, suatu titik tidak dapat diintubasi/tidak dapat diventilasi) (CNI/CNV) telah dicapai. Karena ini merupakan algoritme preoperative, kotak A ASA-DAA dipilih

4. Apakah terdapat resiko aspirasi? Seperti dibicarakan di awal, pasien dengan resiko aspirasi bukan kandidat untuk pengunaan SGA elektif. Suatu titik waktu tidak dapat diintubasi/seharusnya tidak diventilasi telah dicapai dan kotak ASA-DAA dipilih.

5. Akankah pasien mentoleransi suatu periode apnu? Pertanyaan 3 dari daftar ini sulit dijawab dan sangat sangat tergantung pada ketrampilan dan pengalaman klinisi. Bila intubasi gagal, dan ventilasi tidak adequate, kemampuan pasien untuk mempertahankan saturasi oksigen akan ditentukan kemampuannya untuk mentoleransi periode apnu. Faktor seperti usia, obesitas, status pulmo, komsumsi oksigen abnormal ( mis, demam), dan pilihan obat induksi akan mempengaruhi ini.

Pengecualian nya yaitu pasien yang tidak dapat bekerjasama karena retardasi mental, intoksikasi, kecemasan, penurunan derajat kesadaran, atau usia. Pasien ini mungkin masih memasuki kotak A, tetapi intubasi awake mungkin membutuhkan modifikasi teknik yang mempertahankan ventilasi spontan (cth, induksi inhalasi)

Pada kebanyakan keadaan, intubasi awake berhasil jika pendekatan dengan perhatian dan kesabaran. Jika intubasi awake gagal, klinisi memiliki sejumlah pilihan. Pertama, dapat dipertimbangkan pembatalan pembedahan. Pada situasi ini. Peralatan atau personil khusus dapat dikumpulkan untuk kembali ke ruang operasi. Jika pembatalan tidak dipilih, dapat dipertimbangkan teknik anestesi regional, atau, jika situasi membutuhkan, jalan nafas bedah (mis, trakeostomi) dapat diilih.

Keputusan untuk melanjutkan dengan anestesi regional karena jalan nafas telah dinilai atau terbukti sulit untuk ditangani harus dipertimbangkan dalam hal resiko dan benefit. ASA-DAA benar-benar berguna pada jalan nafas sulit yang tidak diantisipasi (kotak B, tidak dapat diintubasi dengan laringoskopi langsung setelah induksi anestesi). Jika obat induksi (dengan atau tanpa pelemas otot) telah diberikan dan jalan nafas tidak dapat dikendalikan, keputusan manajemen vital harus dibuat secara cepat. Secara tipikal, klinisi telah mencoba laringoskopi langsung dan intubasi setelah anestesi ventilasi mask yang berhasil atau gagal (kecuali induksi cepat sedang dilakukan). Bahkan jika saturasi oksigen pasien tetap adequate dengan usaha ini, jumlah usaha laringoskopi sebaiknya dibatasi hingga tiga kali. Seperti didiskusikan di awal, trauma jaringan lunak dapat terjadi akibat laringoskopi multipel, yang memperburuk keadaan. Pertama, ventilasi mask sebaiknya dilakukan. Jika facemask adekuat, jalur nonemergensi ASA-DAA dimasuki. Klinisi kemudian dapat berubah teknik ke yang paling nyaman dan/atau cocok untuk melakukan intubasi jika dibutuhkan. Ini dapat termasuk, tapi tidak dibatasi, oral blind atau intubasi nasal; intubasi yang difasilitasi dengan bronkoskop fiberoptik, LMA, LMA-Fastrach, bougie, lighted stylet, atau retrograde wire; atau jalan nafas bedah. (Paling luas diterapkan pada prosedur ini, juga teknik baru, didiskusikan di skenario klinis pada bagian selanjutnya bab ini). Jika ventilasi masker gagal, algoritma menyarankan ventilasi supraglotis melalui LMA. Jika berhasil, jalur nonemergensi ASA-DAA telah dimasuki lagi dan teknik alternative intubasi trakea dapat digunakan, jika dibutuhkan (mis, mungkin ventilasi LMA adekuat untuk situasi klinis).

Bila ventilasi LMA gagal mempertahankan pasien, jalur emergensi dimasuki. ASA-DAA menyarankan penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube, rigid bronkoskopi, oksigenasi transtrakeal, atau jalan nafas bedah.

Pada suatu waktu, keputusan untuk membangunkan pasien sebaiknya dipertimbangkan berdasarkan adekuasi ventilasi, resiko aspirasi, dan resiko memelakukan percobaan intubasi atau prosedur pembedahan.

Pemposisian LMA kedalam algoritme (pada publikasi ulang tahun 2003) berdasar pada lebih dari 12 tahun penggunaan klinis di Amerika (dan lebih dari 20 tahun pengalaman di seluruh dunia). Relatif sedikit kasus kegagalan LMA dalam menghadapi situasiCNI/CNV telah dilaporkan. Tiga kategori berperan pada kegagalan ini: sudut oral-faring akut, sumbatan pada level hipofaring, sumbatan di bawah liptan fokal. Sebaliknya banyak kasus penyelamatan dengan LMA pada jala nafas gagal telah dilaporkan. Walau studi control jarang, Parmer mencatat bahwa seluruh kasus CNI/CNV (dengan pengecualian sumbatan subglotis iatrogenic) terjadi pada periode 2 tahun pada satu rumah sakit diselamatkan dengan LMA.

E.P Prediksi, Preparasi. Dan Practice.

Secara sederhana, penatalaksanaan pasien dengan kesulitan jalan nafas dapat diatasi dengan tiga P yaitu :

Prediksi.

Preparasi.

Practice.

E.1 Prediksi

Mengetahui kondisi pasien dengan resiko anatomi jalan nafas sulit akan membuat dokter anestesi dapat mempertimbangkan berbagai pilihan cara penatalaksanaan jalan nafas beserta dengan persiapan-persiapannya. Hal ini penting karena pada beberapa tehnik yang dilakukan akan sulit dilakukan jika terjadi perdarahan pada jalan nafas, dan beberapa pasien bahkan menjadi apneu yang kemudian berpotensi menjadi hipoksia saat dilakukan induksi anestesi. Beberapa cara umum yang dapat dipakai untuk memprediksi adanya intubasi sulit atau tidak yaitu dengan pemeriksaan fisik. Yang utama adalah mengevaluasi tes prediksi karena dibutuhkan beberapa klarifikasi.

Cara pemeriksaan prediksi yang pertama adalah tes malampati. Tes ini mengevaluasi apa yang terlihat pada saat pasien membuka mulut dilihat apakah uvula dan faring posterior tampak. Ada beberapa cara dalam melaksanakan tes malampati yaitu dengan duduk atau terlentang dan dengan atau tanpa fonasi. Pada jurnal-jurnal akhir-akhir ini tes malampati akan lebih sensitif jika dilakukan tanpa fonasi baik terlentang atau duduk. Semakin tinggi hasil tes malampati maka semakin sulit dilakukan intubasi.

Gambar 2 Diagram Tes MalampatiKesulitan intubasi dikatakan dapat terjadi bila seorang dokter anestesi tidak dapat memasukan endotracheal tube pada waktu dan cara yang tepat. Dapat dikatakan bahwa dibutuhkan lebih dari satu kali percobaan untuk melakukan intubasi. Bagaimanapun juga sulit intubasi dapat dihubungkan dengan derajat terlihat atau tidaknya penglihatan dari laringoskop.

Gambar 3 Diagram LaryngoskopDikatakan sulit intubasi apabila pada penglihatan terlihat derajat III atau IV.

Derajat I : Pita suara terlihat.

Derajat II : Hanya sebagian pita suara terlihat.

Derajat III : Hanya epiglottis yang terlihat.

Derajat IV : Epiglottis tidak terlihat samasekali.

Pada penelitian sebelumnya sudah ada perbandingan macam-macam tes untuk memprediksi cara-cara terbaik untuk menetukan intubasi sulit. Ada berbagai faktor yang harus dievaluasi dalam memeriksa pasien untuk dilakukannya intubasi endotracheal.Riwayat Pasien: Kebanyakan pasien tidak mengetahui riwayat intubasi sebelumnya jika pada pasien tersebut saat dilakukan intubasi sebelumnya tidak memiliki kesulitan intubasi. Tetapi bagaimanapun juga pasien yang memiliki riwayat intubasi yang sulit yang sudah diketahui oleh pasien tersebut kemungkinan besar akan mengalami intubasi sulit terus.

Kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan intubasi sulit adalah: Sindrome congenital, termasuk Sindrom Down, Goldenhar, Treacher Collins, Pierre Robin dan Mucopolysacharidoses, dll.

Penyakit Tulang, termasuk Rheumatoid Arthritis, Ankylosing Spondylitis, Fiksasi atau Fraktur Mandibula, Ankylosis sendi Temporomandibular.

Kelainan Jaringan Lunak, termasuk Obesitas, Tumor, Hemangioma, Abses, Infeksi Jalan Nafas seperti Epiglotitis, Perdarahan.

Trauma pada wajah dan leher, luka bakar, perubahan-perubahan post operasi termasuk bekas luka, perubahan akibat radiasi.

Bentuk gigi: Gigi Insisivus depan yang menonjol dapat mempersulit melihat laring selama dilakukannya intubasi, perhatian khusus diberikan pada pasien yang memiliki gigi yang terbelah yang dapat memuat bilah laringoskop.

Pergerakan sendi temporomandibular: Dapat dinilai dari bukaan mulut yang kemudian ditentukan dengan mengukur jarak interincisor dan kemampuan untuk prognasi. Jarak Interincisor paling tidak harus muat untuk dilewati bilah standar laringoskop.

Derajat Orofaringeal: lebih umum disebut sebagai derajat Mallampati; Dilakukan evaluasi dengan membuka mulut agar terlihat faring. Penilaian dari derajat 3-4 adalah merupakan kemungkinan besar akan terjadi intubasi sulit (Gambar 15).

Lebar palatum: Pasien dengan palatum yang panjang dan dangkal memiliki anatomi jalan nafas yang sulit.

Jarak thyromental: adalah jarak dari sumbu anterior mandibula sampai dengan puncak kartilago thyroid. Semakin pendek maka anterior laring akan semakin terlihat.

Luas ruang mandibula: adalah faktor yang penting untuk dievaluasi, selama intubasi lidah dan jaringan lunak lain didasar mulut akan terdorong ke anterior ke ruang mandibula dan menyebabkan akan terlihatnya laring. Pasien dengan ruang mandibula yang kecil seperti pada pasien obesitas atau pasien dengan infeksi akan mempersulit untuk terlihatnya laring selama intubasi.

Lemak tubuh juga harus dievaluasi terutama lemak pada daerah leher yang tebal dan luas serta kelainan anatomi lain yang membuat pergerakan kepala menjadi terbatas seperti tumpukan lemak diantara scapula.

Pergerakan leher dinilai berdasarkan pergerakan fleksi dan ekstensinya. Pergerakan kepala pada persendian atlantooccipital dinilai juga. Pergerakan yang terbatas pada sendi ini akan membuat laring terlihat ke anterior.

Penilaian tes-tes tersebut telah dilakukan di semua literatur. Semakin banyak faktor yang dinilai, maka semakin akurat hasil prediksi untuk penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas sulit. Semakin banyak hasil prediksi negatif dari pemeriksaan tersebut maka kemungkinan adanya kesulitan anatomi jalan nafas akan semakin tinggi. Jika semua faktor penilaian anatomi jalan nafas adalah normal maka tingkat kesulitan untuk intubasi akan semakin rendah.E.2 Preparasi

Untuk menghadapi pasien intubasi jalan napas yang sulit harus mempersiapkan beberapa alat untuk menunjang keberhasilan dari intubasi. Alat yang disiapkan hampir sama dengan intubasi normal dengan tambahan beberapa alat sebagai berikut.a. Specialized forcep

Gambar 4 Specialized Forcep untuk IntubasiMerupakan forcep yang khusus digunakan untuk membantu pemasangan retrograde intubation. Bisa juga dipakai untuk meretraksi lidah pada saat pemasangan intubasi fiberoptic.b. Airway Exchange Catheter

Gambar 5 Airway Exchange CatheterKateter ini membantu proses oksigenasi dan membantu memantau jumlah karbon dioksida selama pemasangan endotracheal tube. Dapat digunakan bersama dengan Jet Ventilation untuk meningkatkan oksigenasi selama pemasangan endotracheal tube.c. Fiberoptic Laryngoscope

Fiberoptic Bronchoscopic Intubation (FBI) menggunakan bronchoscopes flexible untuk intubasi. Banyak perusahaan sudah membuat scopes untuk intubasi dengan bentuk lebih panjang dan lebih kecil diameternya dari ukuran standard diagnostic bronchoscopes. Keuntungan dari FBI termasuk: Endotracheal tube masuk ke trakea dengan penglihatan langsung melalui scope, Tidak terbatas pada ukuran besar pasien karena scope-nya memiliki berbagai macam ukuran, Untuk kepentingan terapi seperti penempatan bronchial blockers dan double lumen endotracheal tube, Selain itu dapat digunakan juga untuk mengangkat sekret dari bronkus.

Gambar 6 Fiberoptik Laryngoscope dengan Macintosh Blade dan Fiberoptik untuk bronchoskopi

d. Laryngeal Mask Airway

Gambar 7 Bagian-bagian LMALMA dapat membantu mengubah kondisi pasien yang tidak bisa diventilasi menjadi bisa diventilasi. LMA menjadi salah satu cara intubasi aman pada jalan nafas alternatif pasien sadar atau juga dengan trakeostomi. Bagaimanapun juga bila ventilasi sudah dapat diyakinkan maka tehnik jalan nafas yang lain dapat dilakukan dengan aman. The Intubating Laryngeal Mask Airway (ILMA) adalah salah satu perlengkapan untuk penatalaksanaan pasien dengan anatomi jalan nafas sulit. Penempatan endotracheal tube dapat dilakukan dengan baik pada hampir semua pasien dengan alat ini, bahkan pada percobaan intubasi pertama. Penggunaan ILMA harus dipertimbangkan pada penanganan awal pasien dengan anatomi jalan nafas sulit yang tidak diduga karena dapat membantu mengendalikan jalan nafas pasien. Jika ILMA tidak tersedia, maka LMA masih dapat digunakan untuk membantu intubasi pasien, sebagai blind intubasi atau dengan airway exchange catheters atau dengan fiberoptic bronchoscopes.9

e. Cook Retrograde Intubation Kit

Gambar 8 Isi dari Cook Retrograde Intubation KitMerupakan paket alat untuk melaksanakan intubasi retrograde. Diesdiakan mulai dari jarum, guide wire, sampai stylet khusus untuk mencegah jarum tertinggal pada trachea.

E. 3Praktek

Teknik-teknik Intubasi Jalan Napas Sulit

a. Pemasangan Fiber Optic Intubation

Gambar 9 Skema Fiberoptic IntubationTeropong atau scope diletakan ditengah diantara kedua tangan agar pergerakan dari teropong dapat sesuai kearah yang kita gerakan. Memasukan scope ke faring diusahakan agar posisinya tetap di garis tengah. Struktur pada jalan nafas atas harus dikenali; maju 8-10 cm. ujung scope digerakan ke atas/anterior kemudian diflexikan untuk melihat laring, kemudian scope diputar ke distal dan diposisikan di tengah didepan pita suara. Untuk melewati pita suara ujung dari scope dikembalikan ke posisi semula agar dapat masuk ke trakea. Kemudian posisikan scope diatas karina tanpa menyentuhnya karena dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk. Masukanendotracheal tube ke dalam trakea dengan tampilan gambar di scope tetap pada karina. Jangan memaksakan/memasukan endotracheal tube dengan kekerasan karena dapat menyebabkan kerusakan pada jalan nafas ataupu pada scope.b. Pemasangan Laryngeal Mask Airway Menurut Brain

Gambar 10 Skema Pemasangan Laryngeal Mask Airway Menurut Brain1. Kaf harus dikempeskan maksimal dan benar sebelum dipasang. Pengempisan harus bebas dari lipatan dan sisi kaf sejajar dengan sisi lingkar kaf.

2. Oleskan jeli pada sisi belakang LMA sebelum dipasang. Hal ini untuk menjaga agar ujung kaf tidak menekuk pada saat kontak dengan palatum. Pemberian jeli pada sisi depan akan dapat mengakibatkan sumbatan atau aspirasi, karena itu tidak dianjurkan.

3. Sebelum pemasangan, posisi pasien dalam keadaan air sniffing dengan cara menekan kepala dari belakang dengan menggunakan tangan yang tidak dominan. Buka mulut dengan cara menekan mandibula kebawah atau dengan jari ketiga tangan yang dominan.

4. LMA dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk pada perbatasan antara pipa dan kaf.

5. Ujung LMA dimasukkan pada sisi dalam gigi atas, menyusur palatum dan dengan bantuan jari telunjuk LMA dimasukkan lebih dalam dengan menyusuri palatum.

6. LMA dimasukkan sedalam-dalamnya sampai rongga hipofaring. Tahanan akan terasa bila sudah sampai hipofaring.

7. Pipa LMA dipegang dengan tangan yang tidak dominan untuk mempertahankan posisi, dan jari telunjuk kita keluarkan dari mulut penderita. Bila sudah berpengalaman, hanya dengan jari telunjuk, LMA dapat langsung menempati posisinya.

8. Kaf dikembangkan sesuai posisinya.

9. LMA dihubungkan dengan alat pernafasan dan dilakukan pernafasan bantu. Bila ventilasi tidak adekuat, LMA dilepas dan dilakukan pemasangan kembali.

10. Pasang bite block untuk melindungi pipa LMA dari gigitan, setelah itu lakukan fiksasi

c. Intubasi Retrograde

Gambar 11 Skema Tata Cara Retrograde IntubationJalan masuk dari endotracheal tube dapat dibantu oleh guide wire melalui insisi membrane krikotiroid menuju jalan nafas atas dengan cara retrograde. Tehnik ini dapat dipergunakan dengan menggunakan alat Bantu yang sudah disediakan dalam kotak perlengkapan yang tersedia (Cook Retrograde Kit). Dengan latihan, tehnik ini dapat dilakukan dengan jangka waktu yang tidak lama.Intubasi Kawat Retrograde (Retrograde Wire Intubation / RWI) meliputi penarikan antegrade atau membimbing ETT kedalam trachea menggunakan kawat atau kateter yang sudah dimasukkan ke trachea melewati lubang kecil perkutan melalui membran cricothyroid atau membran cricotracheal dan secara buta dimasukkan retrograde ke dalam Larynx, hypopharynx, pharynx dan keluar dari mulut atau hidung. Intubasi retrograde pertama kali dilakukan pada 1960 oleh Butler dan Cirillo, dengan penempatan kateter uretra berwarna merah melalui trakeostomi sebelumnya, naik melalui laring dan keluar melalui mulut.

Intubasi retrograde dari jalan nafas dilakukan pada pasien pada posisi duduk dengan penempatan perkutan dari kateter no.18 melalu cricothyroid menggunakan larutan saline dengan 10 ml syringe untuk mendeteksi udara yang berhubungan dengan jalan masuk tracheal. (setelah anestesi lokal inisial infiltrasi pada kulit diatas membrane). Jarumnya diposisikan diatas membran mid-cricothyroid dengan sudur 45odari dada. Setelah dilakukan aspirasi udara bebas, lapisan Teflon dari kateter dimasukkan kedalam trachea. Kawat pembimbing radiology dengan diameter 0,035 inchi dan panjang 110 inchi dimasukkan melalui kateter sampai ujung proksimalnya muncul dari mulut. ETT 7,0 ditempatkan pada kawat dan dibimbing ke dalam trachea. Kawatnya di keluarkan dengan mendorongnya ke lubang kecil perkutan dan menariknya dariujung proksimal saluran trachea. Auskultasi suara nafas pada lapang paru sejalan dengan adanya tekanan positif dari ventilasi bantuan.

d. Ventilasi Transtracheal Jet

Dalam hubungannya dengan jalan nafas yang potensial, jet ventilation masuk kedalam trakea dengan menembus membran krikotiroid yang kemudian akan memberikan ventilasi yang adekuat pada pasien yang tidak mungkin untuk dilakukannya intubasi. Jet ventilation membutuhkan sumber gas dengan tekanan yang tinggi agar dapat berfungsi efektif, seperti flush gas dari mesin anestesi atau dari katup sumber gas oksigen yang terdapat di dinding. Transtrcheal Jet Ventilation dapat menjadi penyelamat hidup namun harus dilihat juga sebagai salah satu jembatan untuk melakukan penatalaksanaan jalan nafas alternative. Ada beberapa resiko terhadap tehnik ini yaitu diantaranya adalah barotrauma dan emfisema subkutis.

Gambar 12 Skema Trans Tracheal JetKateter intravena 12,14 atau 16 dengan syringe 5 ml atau lebih, kosong atau terisi sebagian (anestesi saline atau lokal), harus digunakan untuk memasuki jalan napas. Pasien dalam posisi supinasi, dengan kepala pada midline atau ekstensi terhadap leher dan thorak (jika tidak kontraindikasi oleh situasi klinis). Setelah persiapan aseptik, anestesi lokal disuntikkan diatas membran krikotiroid (jika pasien sadar dan waktu memungkinkan). Tangan kanan klinisi berada pada sisi kanan pasien, menghadap kearah kepala. Klinisi dapat menggunakan tangan non dominan untuk menstabilkan laring. Jarum kateter dimasukkan pada sudut tepat di kauda ketiga membran. Sejak saat punksi kulit aspirasi syringe harus konstan. Aspirasi yang bebas dari udara menunjukkan telah memasuki trakhea. Jarum kateter harus dilepaskan, dan hanya kateter yang memasuki jalan napas. Walaupun teknik ini telah dijelaskan dengan angiokateter, peralatan yang terbuat dari material kink-resistant dan dengan asesori port telah ada.

e. Trakeostomi

Gambar 13 Skema TracheostomiPada beberapa pasien trakeostomi harus dilakukan sebagai jalan nafas alternatif, kadang juga dilakukan pada pasien yang sadar. Pendekatan pembedahan ini merupakan salah satu cara agar pasien dapat diventilasi.F. Intubasi Pada Kasus Khusus Cedera Cervical

Gambar 14 Skema Intubasi pada Pasien dengan Cedera CervikalIntubasi Pada cedera leher dilakukan dengan cara satu orang menahan kepala dengan kuat pada backboard, biarkan collar cervical tidak termanipulasi. Pastikan bahwa baik kepala maupun leher tidak bergerak saat dilakukan laryngoskop dan intubasi. Orang kedua memberikan tekanan pada tulang rawan cricoid dan orang ketiga melakukan laryngoskopi dan intubasi.

Trakeomalasia

Trakeomalasia merupakan keadaan kelemahan trakea yang disebabkan karena atropidan atau berkurangnya serat elastis longitudinal pars membranasea, atau akibat gangguan integritas kartilago sehingga jalan napas menjadi lemah dan mudah kolaps, terutama saat terjadi peningkatan aliran udara, misalnya saat batuk,menangis, atau menyusui.

Trakeomalasia merupakan gangguan keutuhan struktur dari trakea yangmengakibatkan obstruksi dari aliran udara. Penurunan rigiditas dan elastisitas dari cincin trakea yang rusak yang disebabkan oleh kolaps nya segmen yang melemah semala ekshalasi. Pembesaran dari memberan trakea saat terjadi trakeomegali atau emfisema jugamenyebabkan obstruksi pada fungsi pernafasan.

Trakeomalasia diklasifikasikan menjadi 7 tipe berdasar sistem klasifikasi kolapsnya jalan nafas utama, gambaran histologi dan gambaran pada endoskopi. a.Tipe 1 ; kongenital atau kelainan trakeal intrinsik menunjukkan trakea kolapsakibat abnormalitas trakea kongenital, bukan akibat kompresi jalan napas dari luar trakea contoh nya ; fistula trakeoesofagus atau atresia esofagus. b.Tipe 2 ; defek ektrinsik yang menyebabkan trakea kolaps =ontohnya ;kompresi dari cincin vaskular, hygroma kistik atau tumor, akibat anomali pembuluh darah, pembesaran timus, gondok yang mengakibatkan penekanantrakea. c.Tipe 3; didapat acquired akibat proses iritasi atau inflamasi.contohnya;intubasi yang lama, infeksi kronis trakea, relaps polykondritis kelainan bawaan, yang berhubungan dengan trakeomalasia adalah fistulatrakeoesophageal. Penyebab dari trakeomalasia juga termasuk trauma terutama cidera pasca intubasi, kompresi eksternal kronis, empisema, dan polikondritis berulang. kelenturan patologis dari kartilago trakea terbagi menjadi dua, sementara dalam kasus trauma atau kompresi, kelemahan hanya terbatas pada kerusakan segmental saja.DAFTAR PUSTAKA

1. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Bb2-Respirasi.pdf diakses pada tanggal 28 juli 20142. Sofyan Ferryan,Embriologi, anatomi danFisiologi laringhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28894/1/embriologi%20dan%20anatomi%20laring.pdf diakses pada tanggal 23 juli 20143. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40128/4/Chapter%20II.pdf diakses pada tanggal 24 juli 20144. www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FKS1KEDOKTERAN/.../bab%20II.pdf diakses pada tanggal 24 juli 20145. Buttler KH et al. 2003. Management of the difficult airway: alternative airway techniques and adjuncts. Emergency Medicine Clinic of North America 21 (2003) 2592896. Yoyagi GS et al. 1995. Evaluating the difficult airway. An epidemiological study. PubMedDec;61(12):483-97. Dobson M.B . 1994. Penuntun Praktis Anastesi. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran 8. American Society of Anesthesiologists. 2013. Practice Guidelines for Management of the Difficult Airway : An Updated Report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway. Anesthesiology 2013; 118:251-70.

9. Latief Said, Suryadi A. Kartini, Dachlan M R. 2001 Petunuk Praktis Anastesiologi edisi ke 2. Jakarta . Bagian Anastesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 42-43.25