anestesi case

30
CASE REPORT Anestesi General Pada Pasien Anak Dengan Operasi Mastoidektomi Disusun oleh : Guruh Perkasa 1102008111 Maiova Nur Annisa 1102008290 1

Upload: guruh

Post on 12-Sep-2015

247 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

medis anestesi

TRANSCRIPT

CASE REPORTAnestesi General Pada Pasien Anak Dengan Operasi Mastoidektomi

Disusun oleh :Guruh Perkasa 1102008111Maiova Nur Annisa1102008290

RSUD GUNUNG JATICIREBON 2013

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama pasien : An. Deandi Pendidikan: SD (sedang di jalani)Umur: 9 Tahun Jenis kelamin : Laki-lakiAlamat: IndramayuAgama: IslamNomor RM: 76457Tanggal masuk RS: 14 Januari 2013Tanggal operasi: 17 Januari 2013

B. ANAMNESIS1. Keluhan utama : keluar cairan dari telinga kanan bewarna kekuningan dan merah

2. Riwayat Penyakit Sekarang :Pasien datang dengan keluhan telinga kanan keluar cairan berwarna kekuningan dan merah sejak 1 minggu yang lalu, awalnya cairan yang keluar berwarna bening namun, 3 hari SMRS warna cairan yang keluar berubah menjadi kekuningan dan merah. Keluhan ini juga di sertai dengan pendengaran yang berkurang yang di rasakan kurang lebih 3 bulan yang lalu setelah terjatuh di sekolah. 3. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat operasi/anastesi sebelumnya : disangkal Riwayat darah tinggi: disangkal. Riwayat asma/penyakit paru: disangkal. Riwayat penyakit jantung: disangkal. Riwayat alergi obat: disangkal Riwyat minum alkohol : disangkal Riwayat merokok : disangkal Riwayat trauma: diakui

4. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat darah tinggi: disangkal. Riwayat penyakit kencing manis: disangkal. Riwayat asma/alergi: disangkal Riwayat penyakit jantung: disangkal

4

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis

Keadaan umum: Baik, GCS 15, ABC : clear Kesadaran: compos mentis. Tanda vital: TD 120/70 mmHg Nadi 80 x/ menit Respirasi 20x/ menit Suhu 36,70C. Berat badan: 37 kg. Tinggi badan: 145 cm Mata: Konjungtivaanemis(-/-), sklera ikterik (-/-) Hidung: Nafas cuping hidung (-/-) Mulut: Mallampati I, leher pendek (-), leher kaku (-), sianosis (-) Telinga : AD : serosa (+), serumen (-), membrane thympahi (perforasi) AS : serosa (-), serumen (-), membrane thympahi (utuh) Leher: Pembesaran kelenjar limfe (-), pembesaran kelenjar tiroid (-) Thorak: Bentuk normal, simetris, cor dan pulmo dalam batas normal. Abdomen: Peristaltik (+) Bising usus N, supel, hepar dan lien tidak teraba Ekstremitas: Akral hangat (+), edema (-).

D. HASIL LABORATORIUM

Pemeriksaan tanggal 14 Januari 2013

PemeriksaanHasilSatuanNilai normal

Hb12,2gr/dl11,0 18,8

Hematokrit32,4%35- 55

Leukosit5,2103 uL4,0 11,0

Trombosit

294103 uL150 400

SGOT27UI0 25

SGPT13UI0 29

Ureum16,8Mg/dl15 45

Creatinin0,62

Mg/dl0,6 -1,1

E. DIAGNOSA Diagnosis pre-operasi : Mastoiditis + Fistul AD Diagnosis post-operasi : Mastoiditis + Fistul AD Klasifikasi status operasi: ASA I

F. PENATALAKSANAANTerapi Operatif: Radikal Mastoidektomi + Repair AD

G. TINDAKAN ANESTESI

Persiapan anastesi Pasien sebelumnya sudah puasa selama 7 jam (sejak pukul 02.00) Jam 09:00 WIB dilakukan kembali pemeriksaan identitas pasien, persetujuan operasi, lembar konsultasi anastesi, obat-obatan dan alat-alat yang diperlukan. Jam 09:15 WIB dilakukan pemeriksaan tanda vital Infus terpasang pada lengan kiri bawah. Jenis anastesi : general anastesi Premedikasi Jam 09:38 WIB pasien berbaring dengan posisi terlentang diruang operasi Pengukuran tekanan darah terpasang dilengan kiri pasien dan pengukur SpO2 terbasang di ibu jari tangan pasien. Jam 09.45 diberi obat premedikasi berupa diazepam 5 mg.Diazepam merupakan golongan benzodiazepine yang merupakan hipnotik sedatif. Pemberian dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis premedikasi dewasa 10 mg intramuscular atau 5-10 mg oral (0,2-0,5 mg/kgBB) dengan dosis maksimal 15 mg. dosis sedasi pada analgesi regional 5-10 mg (0,04-0,2 mg/kgBB) intravena. Dosis induksi 0,2-1 mg/kgBB intravena.

Induksi Induksi dimulai jam 09:50 WIB Induksi dilakukan dengan pemberian Safol (Propofol) 100 mg intravena, dan Atracurium 25 mg digabung dengan Petidin 25 mgPropofol dikemas dalam cairan berwarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg). Suntikan intravena dapat menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg.Atracurium merupakan pelumpuh otot sintetik dengan masa kerja sedang. Obat ini menghambat transmisi neuromuskuler sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Kegunaannya dalam pembedahan adalah sebagai adjuvant dalam anesthesia untuk mendapatkan relaksasi otot rangka terutama pada dinding abdomen sehingga manipulasi bedah lebih mudah dilakukan. Dengan demikian anestesi dapat dilakukan dengan anesthesia yang lebih dangkal. Hal tersebut menguntungkan karena resiko depresi napas dan kardiovaskuler akibat anesthesia dikurangi. Selain itu pemulihan pasca anestesi dipersingkat. Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB.Petidin (meperidin, damerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-metil-fenilpiperidin-4- karboksilat. Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas, dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi lebih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. Pada pasien ini di berikan petidin secara intravena, dosis petidin intravena adalah 0,2 0,5 mg/kgBB. Setelah pasien sudah tertidur diberikan oksigen melalui sungkup selama 3-5 menit. Selanjutnya dilakukan pemasangan ETT No. 7 melalui orotrakheal dengan menggunakan laringoskop dan mandrin. Masukkan udara agar balon mengembang Sambungkan selang oksigen dengan ETT dan memasukan guedel. Menilai apakah apakah posisi ETT benar dengar mendengarkan suara nafas menggunakan stetoskop, pada daerah apeks (ka/ki), basal (ka/ki) dan epigastrium. ETT dan pipa difiksasi dengan plester.

Maintenance Selama maintenance diberikan O2 3 liter/menit N2O 2 liter/menitN2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai 240oC. N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini di kemas dalam bentuk cair dalam silinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan psi atau 50 atm. Pemberian anesthesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesiknya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anesthesia inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasikan dengan salah satu cairan anestetik lain seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anesthesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi; berikan O2 100% selama 5-10 menit. Isofluran 2 vol %Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau subanastetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial ini dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesia teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. Isofluran dengan konsentrasi > 1 % terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan kurang responsif jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.

Resusitasi cairan peri-operatif : Kebutuhan cairan basal (rutin, rumatan) ialah : 4 ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg pertama 2 ml/kgBB/jam tambahan untuk berat badan 10kg kedua 1 ml/kgBB/jam tambahan untuk sisa berat badan. Pasien dengan berat badan 50 kg(4 x 10) + (2 x 10) + (1 x 30) = 40 + 20 + 30 = 90 ml/jam Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang peritonium, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan.Untuk bedah sedang 4-6 ml/kgPasien dengan berat badan 50 kg = 6 x 50 = 300 ml Perdarahan peri-operatif < 10 %, tidak perlu dilakukan transfusi. 1 labu RL Operasi berjalan 2 jam20 menit

MonitoringTanda vital dan SpO2 setiap 15 menit, kedalaman anestesi, cairan dan perdarahan.

Tabel Hasil monitoring tanda vital selama operasi

Pukul (WIB)Tekanan Darah (mmHg)SpO2Nadi (x/menit)Keterangan

09.45210/ 11010096Premedikasi : diazepam 5 mg

09.50184/10510085Pethidin 25 mg + tramus 25 mg

10.05140/8010077Recofol 100 mg

10.15120/8010070Mulai operasi

10.3094/6110060

10.45135/8210064

11.00135/8210072

11.15110/6010090

11.30110/5810090

11.4598/6510066

12.00105/7010062Ketorolac 30 mg + ondansentron 4 mg

12.15110/7510068Akhir operasi + akhir anestesi

c. Post-operatif Operasi berakhir pukul 12.15 WIB 15 menit post-operatif pasien diberikan injeksi ketorolac 30 mg dan ondansentron 4 mg intravena. Selesai operasi pasien dipindahkan ke ruang recovery, dipantau tekanan darah, nadi serta skor aldrete. Kesadaran : somnolen, TD: 110/80 mmHg, N : 76 x/menit Pasien dipindahkan ke bangsal dengan skor aldrete 9.

Gambar aldrete score pada pasien diatas ketika di recovery room

TINJAUAN PUSTAKA

Proses MenuaMenua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat betahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural yang disebut penyakit degeneratif (hipertensi, aterosklerosis, DM, dan kanker). Perubahan fisiologis penuaan dapat mempengaruhi hasil operasi tetapi penyakit penyerta lebih berperan sebagai faktor risiko. Secara umum pada usila terjadi penurunan cairan tubuh total dan lean body mass dan juga menurunnya respons regulasi termal, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat dan juga mudah terjadi hipotermia.1

Perubahan FisiologisSistem KardiovaskularKemampuan cadangan kardiovaskular menurun, sejalan dengan pertambahan usia di atas 40 tahun. Penurunan kemampuan cadangan ini sering baru diketahui pada saat terjadi stres anestesia dan pembedahan. Akibat proses penuaan pada sistem kardiovaskular, yang tersering adalah hipertensi. Pada pasien manula hipertensi harus diturunkan secara perlahanlahan sampai tekanan darah 140/90 mmHg. Pada manula, tekanan sistolik sama pentingnya dengan tekanan diastolik. Tahanan pembuluh darah perifr biasanya meningkat akibat penebalan serat elastis dan peningkatan kolagen serta kalsium di arteri-arteri besar. Kedua hal tersebut sering menurunkan isi cairan intra-vaskuler. Waktu sirkulasi memanjang dari aktivitas baroreseptor menurun. Terjadi penurunan respon terhadap rangsangan simpatis, dan kemampuan adaptasi serta autoregulasi menurun. Perubahan pembuluh darah seperti di atas juga terjadi pada pembuluh koroner dengan derajat yang bervariasi, disertai penebalan dinding ventrikel. sistem konduksi jantung juga dipengaruhi oleh proses penuaan, perubahan-perubahan segmen ST dan gelombang T serta fibrilasi atrium. Semua hal di atas mengakibatkan penurunan kemampuan respon sistem kardiovaskuler dalam menghadapi stres. Pemulihan anestesi juga memanjang.2Sistem PernafasanPada paru dan sistem pernafasan elastisitas jaringan paru berkurang, kontraktilitas dinding dada menurun, meningkatnya ketidakserasian antara ventilasi dan perfusi, sehingga mengganggu mekanisme ventilasi, dengan akibat menurunnya kapasitas vital dan cadangan paru, meningkatnya pernafasan diafragma, jalan nafas menyempit dan terjadilah hipoksemia. Menurunnya respons terhadap hiperkapnia, sehingga dapat terjadi gagal nafas. Proteksi jalan nafas yaitu batuk, pembersihan mucociliary berkurang, refleks laring dan faring juga menurun sehingga berisiko terjadi infeksi dan kemungkinan aspirasi isi lambung lebih besar.2

Sistem GinjalPada ginjal jumlah nefron berkurang, sehingga laju filtrasi glomerulus (LFG) menurun, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat. Respons terhadap kekurangan Na menurun, sehingga berisiko terjadi dehidrasi. Kemampuan mengeluarkan garam dan air berkurang, dapat terjadi overload cairan dan juga menyebabkan kadar hiponatremia. Produksi kreatinin menurun karena berkurangnya massa otot, sehingga meskipun kreatinin serum normal, tetapi LFG telah menurun. Perubahan-perubahan di atas menurunkan kemampuan cadangan ginjal, sehingga manula tidak dapat mentoleransi. kekurangan cairan dan kelebihan beban zat terlarut. Pasien-pasien ini lebih mudah mengalami peningkatan kadar kalium dalam darahnya, apalagi bila diberikan larutan garam kalium secara intra vena. Kemampuan untuk mengekskresi obat menurun dan pasien manula ini lebih mudah jatuh ke dalam asidosis metabolik. Kemungkinan trerjadi gagal ginjal juga meningkat.2,3

Sistem Hati dan Lambung UsusPasien manula mungkin sekali lebih mudah mengalami cedera hati akibat obat-obat, hipoksia dan transfusi darah. Terjadi pemanjangan waktu paruh obat-obat yang diekskresi melalui hati. Akibat menurunnya fungsi persarafan sistem gastrointestinal, sfingter gastroesofageal tidak begitu baik lagi, disamping waktu pengosongan lambung yang memanjang sehingga mudah terjadi regurgitasi.3

Sistem Saraf PusatPada sistem saraf pusat, terjadi perubahan-perubahan fungsi kognitif, sensoris, motoris, dan otonom. Kecepatan konduksi saraf sensoris berangsur menurun. Perfusi otak dan konsumsi oksigen otak menurun. Berat otak menurun karena berkurangnya jumlah sel neuron, terutama di korteks otak maupun otak kecil. Berat otak pada orang dewasa muda rata-rata 1400 g, akan menurun menjadi 1150 g pada usia 80 tahun. Dikatakan, terdapat korelasi positif antara berat otak dan harapan hidup. Terdapat juga penurunan fungsi neurotransmiter. Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan manula lebih mudah dipengaruhi oleh efek samping obat terhadap sistem saraf. Dengan demikian konsentrasi alveolar minimum dari anestetika menurun dengan bertambahnya usia.2,3

Evaluasi Preoperatif Terdapat dua prinsip yang harus diingat pada saat melakukan evaluasi pre-operatif pasien geriatri. Pertama, pasien harus selalu dianggap mempunyai risiko tinggi menderita penyakit yang berhubungan dengan penuaan. Penyakit-penyakit biasa pada pasien dengan usia lanjut mempunyai pengaruh yang besar terhadap penanganan anestesi dan memerlukan perawatan khusus serta diagnosis. Penyakit kardiovaskuler dan diabetes umumnya sering ditemukan pada populasi ini. Komplikasi pulmoner mempunyai insidens sebesar 5,5% dan merupakan penyebab morbiditas ketiga tertinggi pada pasien usia lanjut yang akan menjalani pembedahan non cardiac. Diagnosis pulmoner dan optimisasi tidak dapat diperkirakan secara pre operatif. Kedua, harus dilakukan pemeriksaan derajat fungsional sistem organ yang spesifik dan pasien secara keseluruhan sebelum pembedahan. Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik, riwayat, pemeriksaan fisik, dan determinasi kapasitas fungsional harus dilakukan untuk mengevaluasi fisiologis pasien. Pemeriksaan laboratorium harus disesuaikan dengan riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan prosedur pembedahan yang akan dilakukan, dan bukan hanya berdasarkan atas usia pasien saja. Penelitian prospektif abnormalitas laboratorium pada pasien lanjut usia tidak dapat menunjukkan nilai laboratorium spesifik sebagai prediksi hasil selanjutnya. Hanya status fisik ASA dan risiko pembedahan yang mempunyai hasil prediksi bermakna. Walaupun sering ditemukan abnormalitas pada elektrokardiogram, tetapi pemeriksaan EKG ini juga tidak mampu untuk memprediksi komplikasi postoperatif jantung. Pada pasien usia lanjut yang menggunakan terapi -blocker jangka panjang, tampaknya -blocker long-acting akan lebih efektif dibandingkan dengan -blocker short-acting dalam mengurangi resiko infark miokard perioperatif. Protokol yang menyertakan pemberian -blocker pada pagi hari sebelum operasi dilakukan dan diteruskan selama operasi berhubungan dengan peningkatan insidens stroke dan semua penyebab mortalitas.4

Penanganan Anestesi Farmakologi Klinis Faktor-faktor yang mempengaruhi respons farmakologi pasien berusia lanjut akan diterangkan secara mendalam dan termasuk perubahan pada (1) ikatan protein plasma, (2) tubuh, (3) metabolisme obat, dan (4) farmakodinamik. Protein pengikat plasma yang utama untuk obat-obat yang bersifat asam adalah albumin dan untuk obat-obat dasar adalah 1-acid glikoprotein. Kadar sirkulasi albumin akan menurun sejalan dengan usia, sedangkan kadar 1-acid glikoprotein meningkat. Dampak gangguan protein pengikat plasma terhadap efek obat tergantung pada protein tempat obat itu terikat, dan menyebabkan perubahan fraksi obat yang tidak terikat. Hubungan ini kompleks, dan umumnya perubahan kadar protein pengikat plasma bukanlah faktor predominan yang menentukan bagaimana farmakokinetik akan mengalami perubahan sesuai dengan usia. Perubahan komposisi tubuh terlihat dengan adanya penurunan massa tubuh, peningkatan lemak tubuh, dan penurunan air tubuh total. Penurunan air tubuh total dapat menyebabkan mengecilnya kompartemen pusat dan peningkatan konsentrasi serum setelah pemberian obat secara bolus. Selanjutnya, peningkatan lemak tubuh dapat menyebabkan membesarnya volume distribusi, dengan potensial memanjangnya efek klinis obat yang diberikan. Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, gangguan hepar dan klirens ginjal dapat terjadi sesuai dengan penambahan usia. Tergantung pada jalur degradasi, penurunan reversi hepar dan ginjal dapat mempengaruhi profil farmakokinetik obat. Respons klinis terhadap obat anestesi pada pasien usia lanjut mungkin disebabkan karena adanya gangguan sensitivitas pada target organ (farmakodinamik). Bentuk sediaan obat yang diberikan dan gangguan jumlah reseptor atau sensitivitas menentukan pengaruh gangguan farmakodinamik efek anestesi pada pasien usia lanjut. Umumnya, pasien berusia lanjut akan lebih sensitif terhadap obat anestesi. Jumlah obat yang diperlukan lebih sedikit dan efek obat yang diberikan bisa lebih lama. Pertubasi hemodinamik yang tidak diinginkan juga lebih sering terjadi dan dengan magnitude yang lebih besar. Respons hemodinamik terhadap anestesi intravena bisa menjadi berat karena adanya interaksi dengan jantung dan vaskuler yang telah mengalami penuaan. Kompensasi yang diharapkan sering tidak terjadi karena perubahan fisiologis berhubungan dengan proses penuaan normal dan penyakit yang berhubungan dengan usia. Apapun penyebab efek farmakologik yang terganggu, pasien berusia lanjut biasanya memerlukan penurunan dosis pengobatan yang secukupnya.4

Farmakologi Klinis Obat-obat Anestesi Spesifik Anestesi Inhalasi Konsentrasi alveolar minimum (The minimum alveolar concentration = MAC) mengalami penurunan kurang lebih 6% per dekade pada mayoritas anestesi inhalasi. Pola yang serupa terlihat juga pada MAC-awake. Mekanisme kerja anestesi inhalasi berhubungan dengan gangguan pada aktivitas kanal ion neuronal terhadap nikotinik, asetilkolin, GABAA dan reseptor glutamat. Mungkin adanya gangguan karena penuaan pada kanal ion, aktivitas sinaptik, atau sensitivitas reseptor ikut bertanggung jawab terhadap perubahan farmakodinamik tersebut.4

Anestesi intravena dan benzodiazepine Tidak ada perubahan sensitivitas otak terhadap tiopental yang berhubungan dengan usia. Namun, dosis tiopental yang diperlukan untuk mencapai anestesia menurun sejalan dengan pertambahan usia. Penurunan dosis tiopental sehubungan dengan usia disebabkan karena penurunan volume distribusi inisial obat tersebut. Penurunan volume distribusi inisial terjadi pada kadar obat dalam serum yang lebih tinggi setelah pemberian tiopental dalam dosis tertentu pada pasien berusia lanjut. Sama seperti pada kasus etomidate, perubahan farmakokinetik sesuai usia (disebabkan karena penurunan klirens dan volume distribusi inisial), bukan gangguan responsif otak yang terganggu, bertanggung jawab terhadap penurunan dosis etomidate yang diperlukan pada pasien berusia lanjut. Otak menjadi lebih sensitif terhadap efek propofol, pada usia lanjut. Selain itu, klirens propofol juga mengalami penurunan. Efek penambahan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas terhadap propofol sebesar 30-50% pada pasien dengan usia lanjut. Dosis yang diperlukan midazolam untuk menghasilkan efek sedasi selama endoskopi gastrointestinal atas mengalami penurunan sebesar 75% pada pasien berusia lanjut. Perubahan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak dan penurunan klirens obat.4

OpiatUsia merupakan prediktor penting perlu tidaknya penggunaan morfin post operatif, pasien berusia lanjut hanya memerlukan sedikit obat untuk menghilangkan rasa nyeri. Morfin dan metabolitnya morphine-6-elucuronide mempunyai sifat analgetik. Klirens morfin akan menurun pada pasien berusia lanjut. Morphine-6-glueuronide tergantung pada eksresi renal. Pasien dengan insufisiensi ginjal mungkin menderita gangguan eliminasi morfin glucuronides, dan hal ini bertanggung jawab terhadap peningkatan analgesia dari dosis morfin yang diberikan pada pasien berusia lanjut. Shafer melakukan tinjauan komperehensif terhadap farmakologi sufentanil, alfentanil, dan fentanil pada pasien berusia lanjut. Sufentanil, alfentanil, dan fentanil kurang lebih dua kali lebih poten pada pasien berusia lanjut. Penemuan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak terhadap opioid sejalan dengan usia, bukan karena gangguan farmakokinetik. Penambahan usia berhubungan dengan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik dari remifentanil. Pada usia lanjut terjadi peningkatan sensitivitas otak terhadap remifentanil. Remifentanil kurang lebih dua kali lebih poten pada pasien usia lanjut, dan dosis yang diperlukan adalah satu setengah kali bolus. Akibat volume kompartemen pusat, VI, dan penurunan klirens pada usia lanjut, maka diperlukan kurang lebih sepertiga jumlah infus. 4

Pelumpuh OtotUmumnya, usia tidak mempengaruhi farmakodinamik pelumpuh otot. Durasi kerja mungkin akan memanjang, bila obat tersebut tergantung pada metabolisme ginjal atau hati. Diperkirakan terjadi penurunan pancuronium pada pasien berusia lanjut, karena ketergantungan pancuronium terhadap eksresi ginjal. Perubahan klirens pancuronium pada usia lanjut masih kontroversial. Atracurium bergantung pada sebagian kecil metabolisme hati dan ekskresi, dan waktu paruh eliminasinya akan memanjang pada pasien usia lanjut. Tidak terjadi perubahan klirens dengan bertambahnya usia, yang menunjukkan adanya jalur eliminasi alternatif (hidrolisis eter dan eliminasi Hoffmann) penting pada pasien berusia lanjut. Klirens vecuronium plasma lebih rendah pada pasien berusia lanjut. Durasi memanjang yang berhubungan dengan usia terhadap kerja vecuronium menggambarkan penurunan reversi ginjal atau hepar. 4

Anestesia neuraksial dan blok saraf perifer Persentase obat anestesia tidak berdampak terhadap durasi blokade motorik dengan pemberian anestesi bupivacaine akhir. Waktu onset akan menurun, bagaimanapun juga penyebaran anestesi akan lebih baik dengan pemberian cairan bupivacaine hiperbarik. Dampak usia terhadap durasi anestesia epidural tidak terlihat pada pemberian bupivacaine 5%. Waktu onset akan memendek, dan kedalaman blok anestesia akan bertambah besar. Terlihat klirens plasma lokal anestesi yang menurun pada pasien berusia lanjut. Hal ini dapat menjadi faktor yang mengurangi penambahan dosis dan jumlah infus selama pemberian dosis berulang dan teknik infus berkesinambungan. 4

Teknik Anestesi Keuntungan Obat-Obat Spesifik pada pasien lanjut usia Data menunjukkan bahwa penyakit penyerta preoperatif merupakan determinan yang lebih besar terhadap komplikasi post operatif dibandingkan dengan penatalaksanaan anestesi. Beberapa pendapat menitikberatkan pada penatalaksanaan farmakologi dan fisiologi terhadap usia lanjut. Mungkin terdapat peranan anestesi yang bekerja singkat untuk pasien berusia lanjut. Metode titrasi opioid mungkin lebih baik menggunakan opioid dngan kerja singkat seperti remifentanil. Dengan menambahkan dosis bolus dan infus, variabilitas farmakokinetik remifentanil akan lebih rendah bila dibandingkan dengan opioid intravena lainnya. Sama halnya dengan pilihan menggunakan pelumpuh otot dengan kerja yang lebih singkat. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan insidens komplikasi pulmoner dan blok residual postoperatif pada pasien yang diberikan pancuronium bila dibandingkan dengan atracurium atau vecuronium. Penggunaan sugammadex sebagai obat reversal untuk rocuronium akan meningkatkan penggunaan pelumpuh otot pada pasien berusia lanjut. Bila dibandingkan dengan anestesi inhalasi, tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada pemulihan profil fungsi kognitif. Desflurane berhubungan dengan emergensi paling cepat. Belum jelas hal apa yang mendukung penanganan fisiologis optimal sehingga memberikan hasil pembedahan terbaik. Apakah itu tekanan darah optimal selama pembedahan? Hal ini telah dipertanyakan selama tindakan bypass cardiopulmoer, dimana pertanyaan dititikberatkan pada tekanan berapakah tekanan perfusi yang paling baik. Menurut penelitian, pasien dengan usia lanjut dapat menerima anestesia hipotensif dengan aman (tekanan darah arteri rata-rata adalah 45-55 mmHg) selama pembedahan ortopedik tanpa terjadi peningkatan risiko. Penggunaan kateter arteri pulmonal pada pasien berisiko tinggi juga dipertanyakan karena banyak penelitian randomissasi prospektif yang menganalisis mortalitas selama perawatan dan tidak didapatkannya keuntungan dari terapi dengan memasukkan kateter arteri pada pasien usia lanjut berisiko tinggi yang memerlukan perawatan ICU. 4 Anestesi regional berbanding anestesi umum Mayoritas bukti menunjukkan sedikit perbedaan hasil antara anestesi regional dan anestesi umum pada pasien berusia lanjut. Hasil ini telah dilaporkan pada berbagai jenis pembedahan, termasuk prosedur pembedahan vaskuler mayor dan ortopedik. Penggunaan anestesi regional tampaknya tidak menurunkan insidens disfungsi kognitif postopertaif bila dibandingkan dengan anestesi umum. Efek spesifik anestesi regional memberikan beberapa keuntungan. Pertama, anestesi regional mempengaruhi sistemkoagulasi dengan cara mencegah inhibisi fibrinolisis post operatif. Thrombosis vena dalam atau emboli paru dapat terjadi pada 2,5% pasien setelah menjalani beberapa prosedur berisiko tinggi. Pada revaskularisasi ekstremitas bawah, anestesi regional berhubungan dengan penurunan insidens thrombosis graft bila dibandingkan dengan anestesi umum. Kedua, efek hemodinamik anestesi regional mungkin berhubungan dengan lebih sedikitnya jumlah darah yang hilang pada pembedahan pelvis dan ekstremitas bawah. Ketiga, anestesi regional tidak memerlukan instrumen alat bantu nafas dan pasien dapat mempertahankan jalan nafas dan fungsi parunya sendiri. Data menunjukkan bahwa pasien berusia lanjut lebih rentan terhadap episode hipoksia selama dalam ruang pemulihan. Pasien dengan anestesi regional mempunyai risiko hipoksemia yang lebih rendah. Komplikasi paru yang terjadi pada anestesi regional juga lebih sedikit. 4

Pertimbangan postoperatif

Masalah-masalah umum pada unit perawatan post anestesiPenanganan masalah paru pre dan post operatif merupakan hal yang penting. Pada pasien bedah umum berusia 65 tahun ke atas, insidens morbiditas post operatif adalah 17% atelektasis, 12% bronkitis akut, 10% pneumonia, 6% gagal jantung atau infark miokard (atau keduanya), 7% delirium, dan 1% tanda-tanda neurologis fokal baru. Pada prosedur dengan risiko yang lebih tinggi, seperti bedah vaskuler, insidens komplikasi pulmoner postoperatif adalah sebesar 15,2%. Berbagai prediktor komplikasi pulmoner post operatif pada pembedahan non jantung elektif telah berhasil diidentifikasi, dan risiko yang ada mengindikasikan terjadinya perkembangan pneumonia post-operatif. Pasien berusia lanjut mempunyai risiko yang lebih tinggi mengalami aspirasi sekunder terhadap penurunan progresif pada diskriminasi sensorik laringofaringeal yang terjadi dengan penambahan usia. Selain itu disfungsi proses menelan juga merupakan predisposisi aspirasi pada pasien berusia lanjut. Setelah operasi jantung, disfungsi menelan terjadi pada 4% pasien dan lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut. Disfungsi menelan setelah pembedahan jantung berhubungan erat dengan penggunaan echocardiography transesofageal intraoperatif dan menyebabkan 90% aspirasi pulmoner dan pneumonia. 4

Penanganan Nyeri Akut Post Operatif Penelitian klinis dan eksperimen mendukung adanya penurunan persepsi sakit sejalan dengan bertambahnya usia. Tetapi, tetap belum jelas apakah perubahan yang terjadi disebabkaan karena proses penuaan atau akibat dari efek penuaan lainnya, seperti adanya penyakit comorbid (penyerta). Masalah yang lebih besar terjadi pada pasien dengan gangguan kognitif. Bukti-bukti menunjukkan evaluasi nyeri, terutama pada individu dengan gangguan kognitif, sulit dilakukan. Prinsip dasar dari evaluasi nyeri pada pasien berusia lanjut sama dengan pada kelompok usia lainnya. Skala nyeri verbal merupakan metode yang lebih baik dibandingkan dengan metode non verbal pada pasien usia lanjut. Penuaan mengganggu fungsi organ dan farmakokinetik. Kombinasi pemeriksaan nyeri dan dosis obat merupakan tantangan dalam penanganan nyeri postoperatif pada pasien berusia lanjut. Beberapa prinsip umum harus diingat saat menangani pasien usia lanjut yang rentan. Pertama, penting untuk mencoba membandingkan berbagai jenis analgetik, seperti analgetik yang diberikan intravena, dan blok saraf regional, untuk meningkatkan analgesia dan menurunkan toksisitas narkotik. Prinsip ini terutama pada pasien berusia lanjut yang rentan, dengan toleransi yang buruk terhadap narkotik sistemik. Kedua, penggunaan analgetik dengan daerah kerja spesifik akan sangat membantu, seperti pada ekstremitas atas untuk blok saraf lokal. Ketiga, bila mungkin harus digunakan obat anti inflamasi untuk memisahkan narkotik, analgetik, dan menurunkan mediator inflamasi. Kecuali terdapat kontra indikasi, atau kecenderungan terjadi hemostasis atau ulserasi peptikum, maka obat anti inflamasi non steroid harus diberikan. Penanganan nyeri post operatif dengan opioid dapat digunakan setelah dosisnya disesuaikan dengan usia. 4

Disfungsi kognitif postoperatifPerubahan jangka pendek dalam kinerja tes kognitif selama hari pertama sampai beberapa minggu setelah operasi telah dicatat dengan baik dan biasanya mencakup beberapa kognitif seperti, perhatian, memori, dan kecepatan psikomotorik. Penurunan kognitif awal setelah pembedahan sebagian besar akan membaik dalam waktu 3 bulan. Pembedahan jantung berhubungan dnegan 36% insidens terjadinya penurunan kognitif dalam waktu 6 minggu setelah operasi. Insidens disfungsi kognitif setelah pembedahan non-jantung pada pasien dengan usia lebih dari 65 tahun adalah 26% pada minggu pertama dan 10% pada bulan ketiga. Risiko-risiko terjadinya penurunan kognitif postoperatif adalah usia, tingkat pendidikan yang rendah, gangguan kognitif preoperatif, depresi, dan prosedur pembedahan. Disfungsi kognitif jangka pendek setelah pembedahan dapat disebabkan karena berbagai etiologi, termasuk mikroemboli (terutama pada pembedahan jantung), hipoperfusi, respons inflamasi sistemik (bypass kardiopulmoner), anestesia, depresi, dan faktor-faktor genetik (alel E4). Ada tidaknya kontribusi anestesi terhadap disfungsi kognitif postoperatif jangka panjang masih kontroversi dan memerlukan penelitian yang intensif. Pada prosedur non-cardiac, anestesia mempunyai pengaruh yang paling ringan terhadap terjadinya penurunan kognitif jangka panjang, walaupun efek ini mungkin akan meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Penurunan kognitif post-operatif setelah pembedahan non-cardiac akan kembali normal pada kebanyakan kasus, tetapi bisa juga menetap pada kurang lebih 1% pasien. 4

Hasil Perawatan Intensif Sejumlah penelitian telah meneliti hasil jangka panjang setelah perawatan kritis pada pasien berusia lanjut. Pasien yang mampu bertahan setelah keluar dari ICU tampaknya berhubungan erat dengan tingkat keparahan penyakit saat masuk, sedangkan usia dan status fungsional prehospital berhubungan erat dengan tingkat survival jangka panjang.

Walaupun jenis perawatan peri-operatif ideal pada pasien berusia lanjut belum diketahui, penelitian penelitian yang telah dilakukan menyarankan adanya tim multidisiplin termasuk geriatrician yang akan mempengaruhi hasil terapi. Diperlukan penelitian lebih lanjut dan cakupan yang lebih luas tentang masalah perioperatif. Tantangan pada masa depan adalah mengatur perawatan perioperatif pasien berusia lanjut dengan penyakit penyertanya dan besarnya risiko dengan biaya yang sesuai. 4

KESIMPULAN

Dalam menatalaksana anestesia untuk manula harus diingat perubahan fisiologis yang terjadi secara normal, serta perubahan respon terhadap obat. Dengan demikian batas keamanan (margin of error) lebih sempit daripada orang yang lebih muda. Disamping itu harus diingat kemungkinan penyakit yang diderita oleh manula serta obat-obat yang dipakai para anestesia, yang dapat berinteraksi dengan anestetika.

DAFTAR PUSTAKA

1. Darmojo B. Geriatri Ed. 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009. Hal 3-4; 56-66.2. Allison B., Forest Sheppard. Geriatric Anesthesia. In : World Journal of Anesthesiology. USA: Departemen of Anesthesiology National Naval Medical Centre; 2009;4:323-336.3. Shafer SL. The Pharmacology of Anesthetic Drugs In Elderly Patient. Journal of Anesthesiology. England: Departemen of Anesthesiology; 2000;18:1-29.4. Miller R. Millers Anesthesia 2 Ed. 7. 71:2261-73