case report anestesi sinusitis
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab
utamanya ialah salesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Sinusitis dapat menjadi berbahaya
karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial, serta menyebabkan
peningkatan serangan assma yang sulit diobati. Sinus yang paling sering terkena
ialah sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus
sphenoid lebih jarang lagi (Mangunkusumo,E et al, 2007).
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas
maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus. Alergi hidung kronik, benda asing
dan deviasi septum nasi merupakan faktor predisposisi lokal yang paling sering
ditemukan. Deformitas rahang-wajah, terutama palatoskisis, dapat menimbulkan
masalah pada anak. Anak-anak ini cenderung menderita infeksi nasofaring atau
sinus kronik dengan angka insidens yang lebih tinggi. Sedangkan gangguan geligi
bertanggung jawab atas sekitar 10% infeksi sinus maksilaris akut (Higler, 1997).
1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. G
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 43 tahun
Alamat : Sragen
Agama : Islam
No RM : 227xxx
Tanggal masuk RS : 21 Juli 2012
Tanggal Operasi : 24 Juli 2012 Jam : 12.40 WIB
II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama:
Hidung buntet dan pilek
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sering pusing dan sakit
disekitar hidung bagian kiri dirasakan sudah ± 2 bulan dan keluhan
semakin memberat sejak ± 3 hari yang lalu, Batuk (+), Pilek (+), sesak
nafas (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat Penyakit Serupa : tidak didapatkan informasi
2. Riwayat DM : tidak didapatkan informasi
3. Riwayat PJK : tidak didapatkan informasi
4. Riwayat Asma : tidak didapatkan informasi
5. Riwayat Alergi : tidak didapatkan informasi
D. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat Hipertensi : tidak didapatkan informasi
2. Riwayat DM : tidak didapatkan informasi
2
E. Anamnesis Sistem
1. Sistem serebrospinal : Dbn
2. Sistem respirasi : batuk (+), pilek (+)
3. Sistem kardiovaskuler : Dbn
4. Sistem digestivus : Dbn
5. Sistem urogenital : Dbn
6. Sistem muskuloskeletal : Dbn
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status General
Keadaan Umum : Baik
Gizi : Cukup
Kesadaran : Compos mentis
BB : 55 kg
B. Vital Sign
TD : 100/70 mmHg
RR : 20x/menit
Nadi : 80x/menit
Suhu : 36,5°C
C. Alergi : ( - )
D. Kepala
Palpebra : Tidak didapatkan informasi
Konjungtiva : Tidak didapatkan informasi
Sklera : Tidak didapatkan informasi
Pupil : Tidak didapatkan infprmasi
Refleks cahaya : Tidak didapatkan informasi
Pandangan kabur : Tidak didapatkan informasi
Diplopia : Tidak didapatkan informasi
Hidung : Tidak didapatkan informasi
Mulut : Tidak didapatkan informasi
Mallampati : Tidak didapatkan informasi
3
E. Leher : tidak didapatkan informasi
F. Thoraks
Paru : Tidak didapatkan informasi
Jantung : Tidak didapatkan informasi
G. Abdomen : Tidak didapatkan informasi
H. Ekstremitas
Tungkai simetris (+)
Akral hangat
Oedem
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Darah (21 Juli 2012)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
Lekosit 5.46 4.0-12.0 /µL
Eritrosit 4.65 4.5-5.9 jt/ul
Hemoglobin 12.8 14.0-18.0 g/dL
Hematokrit 37.2 40-52 %
Trombosit 256 150-400 10^3/µL
Netrofil 71,1 50-70 %
limfosit 16,7 25-40 %
monosit 6.2 2-8 %
eosinofil 4.9 2-4 %
basofil 0.5 0-1 %
Golongan Darah dan rhesus
Golongan Darah B
Rhesus Positif
Kimia Darah
SGOT 10 < 35 u/L
SGPT 5 < 41 u/L
ureum 26.5 10-50 mg/dL
Kreatinin 1,37 0.9-1.3 mg/dL
4
- -
- -
GDS 112.2 70-115 mg/dL
B. Pemeriksaan Rontgen
Didapatkan Perselubungan dengan air fluid level di sinus maxillaris
sinistra menyongkong sinusitis maxillaris sinistra
Septum nasi lurus
Conchae normal
V. DIAGNOSA KERJA
Sinusitis Maxilaris sinistra
VI. Kesimpulan
Berdasarkan status fisik, diklarifikasikan dalam ASA II (pasien dengan
penyakit sistemik ringan sampai sedang). ACC operasi dengan general
anastesi
VII. PENATALAKSANAAN
Terapi operatif : Caldwell- Luc (CWL) sinistra dengan general anestesi
pada pasien ASA II.
VIII. TINDAKAN ANESTESI PADA PERI-OPERASI
Macam : Caldwell- Luc (CWL) sinistra
Jenis AN : GeneralAnestesi
Teknik AN : Semi Closed
Induksi : Propofol 100 mg dan Notrixum 25 mg
Anestesi mulai : 12:35 WIB Anastesi selesai : 13.10 WIB
Operasi mulai : 12:40 WIB Operasi selesai : 13:10 WIB
A. Pre-operatif
Pasien puasa > 6 jam pre-operatif.
Infus RL 20 tpm
Keadaan umum dan vital sign baik (TD=100/70 mmHg, N=80/’,
RR=20/’, S=36,50C)
B. Intra operatif
5
Pasien masuk ke ruang OK diposisikan di atas meja operasi
pasang alat monitoring monitor tensi Heart Rate, SpO2, untuk
monitoring ulang vital sign pasien.
(TD : 100/70 mmHg, N : 80x/menit, Saturasi O2 98%)
Pasien diminta untuk tetap berbaring dimeja operasi kemudian diberi
injeksi obat co induksi Ketorolac Trometamol 30 mg IV untuk
memberi efek analgetik. Induksi anestesi dilakukan dengan injeksi
Propofol 20 mg IV secara perlahan agar mengurangi rasa nyeri
terbakar propofol ditambahkan dengan Lidocain 1 mg IV .Sungkup
muka ditempatkan pada muka dan oksigen 2 lt/menit, kalau perlu
nafas dibantu dengan menekan balon nafas (below) secara periodik
untuk mengatasi timbulnya apnue setelah induksi Fentanhyl dan untuk
memberikan efek hiperventilasi pada paru. Setelah reflek bulu mata
menghilang, berikan obat pelumpuh otot Atracurium besylate 10 mg.
Setelah itu pasien diintubasi dengan Endotrakeal Tube (ET),
kemudian balon pipa ET dikembangkan sampai tidak ada kebocoran
pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon nafas. Yakinkan
bahwa pipa ET benar-benar didalam trakea dan tidak masuk terlalu
dalam di salah satu bronkus atau esofagus, kemudian difiksasi. Periksa
dengan stetoskop dan dengarkan bising nafas yang harus sama di paru
kiri dan kanan, dinding dada juga harus bergerak sama (simetris) pada
setiap inspirasi buatan. Kemudian pipa ET dihubungkan dengan
konektor kepada sirkuit nafas alat anestesi. Selanjutnya dilakukan
tahap pemeliharaan anestesi (maintenance) dengan N2O dibuka 2
liter/menit dan O2 2 liter/menit (50% : 50%), kemudian Isoflurane
1,5-2 vol % dibuka. Nafas pasien dikendalikan dengan menekan
balon nafas (12-16 x/menit) setelah ada tanda-tanda nafas spontan
kemudian dicoba membantu nafas sedikit-sedikit sampai pernafasan
normal kuat kembali. Nafas dapat dibiarkan spontan kalau usaha nafas
ternyata cukup kuat, ini dapat dilihat dari besarnya kembang kempis
balon nafas. Kedalaman anestesi dipertahankan dengan kombinasi
6
N2O dan O2 masing-masing 2 lt/menit (50% : 50%), serta isoflurane
1,5-2 vol%. Ketika operasi menjelang selesai (±10 menit), N2O mulai
diturunkan volumenya dan O2 dinaikkan volumenya, serta dosis
Isoflurane juga perlahan dikurangi hingga akhirnya 0 vol%.
Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan nadi
senantiasa dikontrol setiap 5 menit, sebagai berikut :
Kemudian didukung dengan pemberian Ringer Laktat sebanyak 3 colf yang
diberikan selama operasi berlangsung. Pada menit ke-25 pasien diberikan
ondansetron 8 mg untuk mencegah terjadinya mual dan tramadol hidroklorida 50
mg.
C. Post operatif
Operasi berakhir pukul 13:10 WIB.
Selesai operasi pasien belum sadar kemudian pasien dipindahkan
ke Ruang Pemulihan (Recovery Room), pasien segera diberi
bantuan oksigenasi melalui Canul O2 2 lt/menit, melanjutkan
pemberian cairan, dan diobservasi terus dipantau setiap 15 menit
dinilai pernafasan, tekanan darah, dan nadi. Saturasi O2 : 98 % , TD
: mmHg, N : x/menit
Instruksi Post Operasi :
7
Menit ke- Sistole Diastole Pulse Sp O2
5 137 90 104
10 135 89 101
15 104 80 87
20 112 83 92
25 148 95 115
30 141 93 107
Bila muntah, pasien diberi Ondansetron 8 mg iv. Bila kesakitan ,
pasien diberi Torasic 30 mg iv dan Simatral 100 mg drip
Monitoring keadaan umum pasien dengan Aldrette score:
o Kesadaran: dapat dibangunkan tapi cepat tidur = 1
o Warna: merah muda = 2
o Aktivitas: 4 ekstremitas bergerak = 2
o Respirasi: Dapat napas dalam/batuk = 2
o Kardiovaskular: TD deviasi 20 % dari normal = 2
o Total aldrete score = 9
Keterangan: Jika Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa ada nilai 0 atau
Aldrette Score > 9, maka pasien dapat dipindahkan ke bangsal.
8
BAB III
PEMBAHASAN
Sinus maksila disebut juga antrum high more, merupakan sinus yang paling sering
terinfeksi, oleh karena merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostium
lebih tinggi dari dasar, dasar sinus maksila adalah dasar gigi (prosesus alveolaris)
sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksilaris, ostium sinus
maksila terletak di meatus media disekitar hiatus semilunaris yang sempit
sehingga mudah tersumbat.
Menurut Adam’s berdasarkan perjalanan penyakitnya terbagi atas:
• Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai 4 minggu
• Sinusitis subakut, bila infeksi berlangsung dari 4 minggu – 3 bulan
• Sinusitis kronik, bila infeksi berlangsung lebih dari 3 bulan
Pada sinusitis akut, perubahan patologik membrana mukosa berupa infiltrat
polimorfonuklear, kongesti vaskular dan deskuamasi epitel permukaan, yang
semuanya reversibel. Gambaran patologik sinusitis kronik adalah kompleks dan
irreversibel. Mukosa umumnya menebal, membentuk lipatan-lipatan atau
pseudopolip. Epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi, regenerasi,
metaplasia. Pembentukan mikroabses, dan jaringan granulasi bersama-sama
dengan pembentukan jaringan parut. Etiologi dan faktor predisposisi sinusitis
kronik cukup beragam. Pada era pra-antibiotik sinusitis hiperplastik kronik timbul
akibat sinusitis akut yang berulang dengan penyembuhan yang tidak lengkap.
Kegagalan mengobati sinusitis akut atau berulang secara adekuat akan
menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya
9
terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus, dan oleh karena itu menciptakan
predisposisi infeksi. Sumbatan drainase dapat pula ditimbulkan oleh perubahan
struktur ostium sinus, atau oleh lesi dalam rongga hidung misalnya, hipertrofi
adenoid, tumor hidung dan nasofaring, dan suatu deviasi septum nasi. Akan tetapi
faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada
rinitis alergika, polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat total ostium
nasi.
Pengobatan harus berupa terapi infeksi dan faktor-faktor penyebab infeksi secara
bersamaan. Disamping terapi obat-obatan yang memadai dengan antibiotik dan
dekongestan, juga perlu diperhatikan predisposisi kelainan obstruktif ddan tiap
alergi yang mungkin ada. Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris
kronik adalah membuat suatu lubang draenase yang memadai. Suatu prosedur
yang radikal dinamakan menurut dua ahli bedah yang mempopulerkannya yaitu
operasi Caldwell-Luc. Prosedur bedah ini, epitel rongga sinus maksilaris diangkat
seluruhnya dan pada akhir prosedur dilakukan antrostomi untuk drainase.
Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara
menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih
kembali atau reversibel. Anestesi umum meliputi: menghilangkan nyeri, tidak
sadar, amnesia, reversibel, dapat diprediksi, sinonim dengan narkose. Macam
Teknik Pemberiaan Obat Anestesi Umum ada 2 jenis yaitu : inhalasi (Anestesi
dengan menggunakan gas atau cairan anestesi yang mudah menguap sebagai zat
anestetika melalui udara pernafasan) dan parenteral (Anestesi umum yang
diberikan secara parenteral baik intravena maupun intamuskular). Teknik anestesi
umum meliputi sungkup muka, nafas spontan, intubasi endotrakea dengan nafas
spontan, dan intubasi dengan nafas kendali.
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi. Anestesi
intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk rumatan anesetesi.
Tambahan anestesi regional atau untuk membentu prosedur diagnostik misalnya
thiopental, ketamin, dan propofol. Untuk anestesi intravena total biasanya
10
menggunakan propofol. Pada kasus ini, digunakan propofol sebagai induksi
anestesi.
Pada kasus ini sebelum diberikan obat induksi anestesi, pasien terlebih
dahulu di berikan obat co induksi yang bertujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan, dan pulih dari anestesi.
Obat co induksi pada pasien ini menggunakan Ketorolac Trometamol 30
mg IV. Ketorolac Trometamol adalah suatu OAINS yang menunjukkan efek
analgesik yang petensial namun efek anti inflamasinya sedang. Dapat diberikan
secara IM atau IV. Obat ini sangat berguna untuk mencegah nyeri pasca bedah ,
baik sebgai obat tunggal atau diberikan bersama opioid. ketorolac 30 mg IM
memberikan efek analgesi yang setara dengan morfin 10 mg dan atau meperindin
100 mg. Keuntungan terapi ketorolac untuk terapi analagesi yaitu tidak
menimbulkan depresi ventilasi atau depresi kardiovaskuler. Metabolisme sebagian
besar di hepar melalui proses hidroksilasi dan konjugasi.
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tak sadar, sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi dan pembedahan.
Induksi anestesi pada pasien dilakukan dengan pemberian Propofol 20 mg yang
di tambah dengan Lidokain 1 mg. Di berikan pula Atracurium Besylate 30 mg
sebagai pelumpuh otot sintetik dengan masa kerja pendek. Propofol adalah obat
hipnotik intravena diisopropilfenol yang menimbulkan induksi anenstesi yang
cukup dengan aktivitas eksitasi yang maksimal. Dan menginduksi secara cepat.
Suntikan intravena sering menyebabkan rasa nyeri karena itu diberikan pula
lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg/jam.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Pada pemberian propofol akan
timbul apneu sehingga perlu di atasi dengan pemasangan sungkup muka untuk
membentu pernafasan pasien.
Manajemen jalan napas adalah perlindungan jalan napas pada pasien tanpa
refleks perlindungan melalui intubasi endotrakeal, alat bantu jalan napas
supraglotis, dan trakeotomi/koniotomi. Dalam kasus ini yang dijadikan pilihan
adalah intubasi endotrakeal, indikasi penggunaan intubasi endotrakeal adalah
pasien yang tidak puasa dan tidak memiliki risiko aspirasi, operasi di daerah
11
abdomen dan toraks, operasi pada posisi tengkurap. Intubasi oral pada kasus ini
adalah pada pria yaitu dengan tuba endotrakeal berukuran 7,0; kedalaman masuk
sekitar 22 cm sampai barisan gigi. relaksasi otot diperlukan sehingga keluhan
pasca-operasi lebih sedikit (Wrobel, 2010).
Untuk fase rumatan di gunakan O2 2L/min+N2O 2L/min+Isofluran
1,5%. O2 diberikan untuk mencukupi oksigenase jaringan. N2O bersifat anaestesi
lemah tetapi efek analgesiknya kuat, harus diberikan bersamaan dengan O2
minimal 2,5%. Pada anestesi inhalasi biasanya dikombinasikan dengan anestesi
inhalasi lain seperti halotan atau isofluran.
Obat anastesi yang digunakan adalah Ondansetron 4mg/2 ml dan
Ketorolac Trometamol 30 mg/ml dimasukan secara injeksi intravena pada pukul
14.35. Ondansetron diindikasikan untuk mual dan muntah yang diinduksi obat
kemoterapi dan radioterapi sitotoksik, dosis untuk dewasa pencegahan mual dan
muntah pasca operasi 4 mg 1 jam sebelum anastesi, selanjutnya 4 mg tiap 8 jam
sampai dengan 16 jam (Wai Fun, 2011).
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti milieu interior
dalam batas-batas fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau koloid
(plasma ekspander) secara intravena. pembedahan dengan anastesia memerlukan
puasa sebelum dan sesudah pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan
untuk mengganti deficit cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan,
mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi
dan mengganti cairan pindah ke ruang ketiga (ke rongga peritoneum, ke luar
tubuh) (Latief, 2002).
Resusitasi cairan pasien Tn. AB dengan berat badan 55 kg dengan
operasi sedang
Maintenence : 2 cc x 55 kg = 0 cc/jam
Stress Opreasi : 6 cc x 55 kg = 0 cc/jam
Pengganti Puasa : 6 jam x 100 = 600 cc/jam
Pemberian :
Jam I :1/2 PP + SO + M
1/2 600 + 420 + 140
12
860 cc/jam
Jam II/III : 1/4 PP + SP + M
1/4 600 + 420 + 140
: 710 cc/jam
Pada pasien tidak diberikan cairan pengganti puasa karena selama puasa
pasien mendapat pasokan makanan secara intra vena (infus) ketika masuk ke
kamar operasi.
Berdasarkan jenisnya cairan intravena yang digunakan dalam kasus ini
adalah cairan kristaloid yaitu Lactate Ringers yang tujuan terapinya adalah
sebagai cairan pengganti (replacement) dan bersifat isotonis (Soenarjo, 2010).
13
BAB IV
KESIMPULAN
Pada kasus ini, pasien terdiagnosa sinusitis maxillaris sinistra acute.
Dilakukan operasi CWL menggunakan anestesi umum (General Anestesi) dengan
intubasi endotracheal tube ukuran 7.0 dengan obat-obatan anestesi intravena
maupun inhalasi yang sesuai. Dalam operasi CWL ini menggunakan General
Anestesi dikarenakan General Anestesi menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh
secara sentral dan juga memblock nervus vagus (saraf simpatis). Koinduksi yang
diberikan pada pasien ini adalah Ketorolac Trometamol 30 mg IV. Ketorolac
Trometamol adalah suatu OAINS yang menunjukkan efek analgesik yang
petensial namun efek anti inflamasinya sedang. ketorolac 30 mg IM memberikan
efek analgesi yang setara dengan morfin 10 mg dan atau meperindin 100 mg.
Keuntungan terapi ketorolac untuk terapi analagesi yaitu tidak menimbulkan
depresi ventilasi atau depresi kardiovaskuler. General Anestesi diinduksi dengan
Propofol 20 mg + Lidocain 1 mg, propofol merupakan obat hipnotik intravena
diisopropilfenol yang menimbulkan induksi anenstesi yang cukup dengan
aktivitas eksitasi yang maksimal. dan muscle relaxan Notrixum 30 mg intravena
yanug merupakan relaksan otot non depolarisasi, kemudian diberi rumatan
anestesi dengan N2O, O2, dan Isofluran. Obat-obat yang diberikan selama anestesi
berlangsung ondansetron 8 mg untuk mencegah terjadinya mual dan tramadol
hidroklorida 50 mg.
14
DAFTAR PUSTAKA
15