case anestesi

22

Click here to load reader

Upload: tedi-t-effendi

Post on 30-Oct-2014

147 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Case Anestesi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena berkat dan rahmat-Nya kami dapat

menyelesaikan case yang berjudul “Anestesi Intravena”. Case ini dibuat untuk memenuhi salah

satu tugas dalam menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Anestesiologi di RSUD Karawang

periode 12 November – 15 Desember 2012. Bahan-bahan yang kami gunakan dalam case ini

didapat melalui pencarian pustaka dan internet.

Kami tak lupa mengucapkan terima kasih kepada : dr. H. Sabur Nugraha, Sp. An dan dr.

Ucu Nurhadiat, Sp. An sebagai pembimbing dalam penulisan case ini. Kami juga mengucapkan

terima kasih kepada keluarga dan teman-teman yang selalu member dukungannya.

Kami sangat menyadari bahwa referat yang saya susun ini sangatlah jauh dari sempurna.

Oleh karena itu, saran dan masukan sangatlah diharapkan. Semoga referat yang telah kami susun

ini dapat berguna bagi kita semua.

Karawang, November 2012

Penyusun

Page 2: Case Anestesi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Anestesi Intravena

Anestesi intravena (Tiva) merupakan teknik anastesi umum dengan hanya menggunakan

obat-obat anastesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA digunakan untuk ketiga trias

anastesi yaitu hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot.. Kebanyakan obat-obat anastesi intravena

hanya mencakup 2 komponen anastesi, akan tetapi ketamin mempunyai ketiga trias anastesi

sehingga ketamin dianggap juga sebagai agent anastesi yang lengkap.

Kelebihan TIVA adalah :

1. Dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi dalam dosis yang lebih akurat

dalam pemakaiannya.

2. Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien

3. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat serta mesin anestesi khusus.

Indikasi Pemberian TIVA

TIVA dalam prakteknya sehari-hari digunakan sebagai :

1. Obat induksi anastesi umum

2. Obat tunggal untuk anastesi pembedahan singkat

3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat

4. Obat tambahan anastesi regional

5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP

Cara pemberian TIVA :

1. Suntikan tunggal, untuk operasi singkat

Contoh : cabut gigi

2. Suntikan berulang sesuai dengan kebutuhan

Contoh : kuretase

3. Diteteskan lewat infuse dengan tujuan menambah kekuatan anestesi

Page 3: Case Anestesi

Jenis-jenis Anastesi Intravena

1. GOLONGAN BARBITURAT

Pentothal/ Thiopenthal Sodium/ Penthio Barbital/ Thiopenton

Obat ini tersedia dalam bentuk serbuk higroskopis, bersifat basa, berbau belerang,

larut dalam air dan alcohol. Penggunaannya sebagai obat induksi, suplementasi dari

anastesi regional, antikonvulsan, pengurangan dari peningkatan TIK, proteksi

serebral. Metabolismenya di hepar dan di ekskresi lewat ginjal.

Onset : 20-30 detik

Durasi : 20-30 menit

Dosis :

Induksi iv : 305 mg/Kg BB, anak 5-6 mg/Kg BB, bayi 7-8 mg/kg BB

Suplementasi anastesi : iv 0,5-1 mg/kg BB

Induksi rectal : 25 mg/ kg BB

Antikonvulsan : iv 1-4 mg/kg BB

Efek samping obat :

Sistem kardiovaskuler

- Depresi otot jantung

- Vasodilatasi perifer

- Turunnya curah jantung

Sistem pernapasan, menyebabkan depresi saluran pernapasan konsentrasi

otak mencapai puncak apnea

Dapat menembus barier plasenta dan sedikit terdapat dalam ASI

Sedikit mengurangi aliran darah ke hepar

Meningkatkan sekresi ADH (efek hilang setelah pemberian dihentikan)

Pemulihan kesadaran pada orang tua lebih lama dibandingkan pada dewasa

muda

Menyebabkan mual, muntah, dan salivasi

Menyebabkan trombophlebitis, nekrosis, dan gangren

Kontraindikasi :

Alergi barbiturat

Status ashmatikus

Page 4: Case Anestesi

Porphyria

Pericarditis constriktiva

Tidak adanya vena yang digunakan untuk menyuntik

Syok

Anak usia < 4 th (depresi saluran pernapasan)

2. GOLONGAN BENZODIAZEPIN

Obat ini dapat dipakai sebagai trasqualiser, hipnotik, maupun sedative. Selain itu obat

ini mempunyai efek antikonvulsi dan efek amnesia.

Obat-obat pada golongan ini sering digunakan sebagai :

a. Obat induksi

b. Hipnotik pada balance anastesi

c. Untuk tindakan kardioversi

d. Antikonvulsi

e. Sebagai sedasi pada anastesi regional, local atau tindakan diagnostic

f. Mengurangi halusinasi pada pemakaian ketamin

g. Untuk premedikasi

a. Diazepam

Karena tidak larut air, maka obat ini dilarutkan dalam pelarut organic (propilen

glikol dan sodium benzoate). Karena itu obat ini bersifat asam dan menimbulkan

rasa sakit ketika disuntikan, trombhosis, phlebitis apabila disuntikan pada vena

kecil. Obat ini dimetabolisme di hepar dan diekskresikan melalui ginjal.

Obat ini dapat menurunkan tekanan darah arteri. Karena itu, obat ini digunakan

untuk induksi dan supplement pada pasien dengan gangguan jantung berat.

Diazepam biasanya digunakan sebagai obat premedikasi, amnesia, sedative, obat

induksi, relaksan otot rangka, antikonvulsan, pengobatan penarikan alcohol akut

dan serangan panic.

Awitan aksi : iv < 2 menit, rectal < 10 menit,

oral 15 menit-1 jam

Lama aksi : iv 15 menit- 1 jam, PO 2-6 jam

Page 5: Case Anestesi

Dosis :

Premedikasi : iv/im/po/rectal 2-10 mg

Sedasi : 0,04-0,2 mg/kg BB

Induksi : iv 0,3-0,6 mg/kg

Antikonvulsan : iv 0,05-0,2 mg/kg BB setiap 5-10 menit dosis maksimal 30

mg, PO/rectal 2-10 mg 2-4 kali sehari

Efek samping obat :

Menyebabkan bradikardi dan hipotensi

Depresi pernapasan

Mengantuk, ataksia, kebingungan, depresi,

Inkontinensia

Ruam kulit

DVT, phlebitis pada tempat suntikan

b. Midazolam

Obat ini mempunyai efek ansiolitik, sedative, anti konvulsif, dan anteretrogad

amnesia. Durasi kerjanya lebih pendek dan kekuatannya 1,5-3x diazepam.

Obat ini menembus plasenta, akan tetapi tidak didapatkan nilai APGAR kurang

dari 7 pada neonatus.

Dosis :

Premedikasi : im 2,5-10 mg, Po 20-40 mg

Sedasi : iv 0,5-5 mg

Induksi : iv 50-350 µg/kg

Efek samping obat :

Takikardi, episode vasovagal, komplek ventrikuler premature, hipotensi

Bronkospasme, laringospasme, apnea, hipoventilasi

Euphoria, agitasi, hiperaktivitas

Salvasi, muntah, rasa asam

Ruam, pruritus, hangat atau dingin pada tempat suntikan

Page 6: Case Anestesi

3. PROPOFOL

Merupakan cairan emulsi isotonic yang berwarna putih. Emulsi ini terdiri dari

gliserol, phospatid dari telur, sodium hidroksida, minyak kedelai dan air. Obat ini

sangat larut dalam lemak sehingga dapat dengan mudah menembus blood brain barier

dan didistribusikan di otak. Propofol dimetabolisme di hepar dan ekskresikan lewat

ginjal.

Penggunaanya untuk obat induksi, pemeliharaan anastesi, pengobatan mual muntah

dari kemoterapi

Dosis :

Sedasi : bolus, iv, 5-50 mg

Induksi : iv 2-2,5 mg/kg

Pemeliharaan : bolus iv 25-50 mg, infuse 100-200 µg/kg/menit, antiemetic iv

10 mg

Pada ibu hamil, propofol dapat menembus plasenta dan menyebabakan depresi janin.

Pada sistem kardiovaskuler, obat ini dapat menurunkan tekanan darah dan sedikit

menurunkan nadi. Obat ini tidak memiliki efek vagolitik, sehingga pemberiannya bisa

menyebabkan asystole. Oleh karena itu, sebelum diberikan propofol seharusnya

pasien diberikan obat-obatan antikolinergik. Pada pasien epilepsi, obat ini dapat

menyebabkan kejang.

4. KETAMIN

Obat ini mempunyai efek trias anastesi sekaligus. Pemberiannya menyebabkan pasien

mengalami katalepsi, analgesic kuat, dan amnesia, akan tetapi efek sedasinya ringan.

Pemberian ketamin dapat menyebakan mimpi buruk.

Dosis

Sedasi dan analgesia : iv 0,5-1 mg/kg BB, im/rectal 2,5-5 mg/kg BB, Po 5-6

mg/kg BB

Induksi : iv 1-2,5 mg/kg BB, im/ rectal 5-10 mg/kg BB

Ketamin meningkatkan aliran darah ke otak, kerana itu pemberian ketamin berbahaya

bagi orang-orang dengan tekanan intracranial yang tinggi. Pada kardiovaskuler,

Page 7: Case Anestesi

ketamin meningkatkan tekanan darah, laju jantung dan curah jantung. Dosis tinggi

menyebabkan depresi napas.

Kontraindikasi :

Hipertensi tak terkontrol

Hipertroid

Eklampsia/ pre eklampsia

Gagal jantung

Unstable angina

Infark miokard

Aneurisma intracranial, thoraks dan abdomen

TIK tinggi

Perdarahan intraserebral

TIO tinggi

Trauma mata terbuka

5. OPIOID

Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dalam dosis

tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskulet, sehingga banyak digunakan untuk

induks pada pasien jantung.

a. Morfin

Penggunaanya untuk premedikasi, analgesic, anastesi, pengobatan nyeri yang

berjaitan dengan iskemia miokard, dan dipsnea yang berkaitan dengan kegagalan

ventrikel kiri dan edema paru.

Dosis :

Analgesic : iv 2,5-15 mg, im 2,5-20 mg, Po 10-30 mg, rectal 10-20 mg

setiap 4 jam

Induksi : iv 1 mg/kg

Awitan aksi : iv < 1 menit, im 1-5 menit

Lama aksi : 2-7 jam

Efek samping obat :

Hipotensi, hipertensi, bradikardia, aritmia

Page 8: Case Anestesi

Bronkospasme, laringospasme

Penglihatan kabur, sinkop, euphoria, disforia

Retensi urin, spasme ureter

Spasme traktus biliaris, konstipasi, anoreksia, mual, muntah, penundaan

pengosongan lambung

Miosis

b. Petidin

Penggunaannya untuk nyeri sedang sampai berat, sebagai suplemen sedasi

sebelum pembedahan, nyeri pada infark miokardium walaupun tidak seefektif

morfin sulfat, untuk menghilangkan ansietas pada pasien dengan dispnea karena

acute pulmonary edema dan acute left ventricular failure.

Dosis

Oral/ IM,/SK :

Dewasa :

Dosis lazim 50–150 mg setiap 3-4 jam jika perlu,

Injeksi intravena lambat : dewasa 15–35 mg/jam.

Anak-anak oral/IM/SK : 1.1–1.8 mg/kg setiap 3–4 jam jika perlu.

Untuk sebelum pembedahan : dosis dewasa 50 – 100 mg IM/SK

Petidin dimetabolisme terutama di hati

Kontraindikasi

Pasien yang menggunakan trisiklik antidepresan dan MAOi. 14 hari

sebelumnya (menyebabkan koma, depresi pernapasan yang parah,

sianosis, hipotensi, hipereksitabilitas, hipertensi, sakit kepala, kejang)

Hipersensitivitas.

Pasien dengan gagal ginjal lanjut

Efek samping obat

Depresi pernapasan,

Sistem saraf : sakit kepala, gangguan penglihatan, vertigo, depresi, rasa

mengantuk, koma, eforia, disforia, lemah, agitasi, ketegangan, kejang,

Pencernaan : mual, muntah, konstipasi,

Page 9: Case Anestesi

Kardiovaskular : aritmia, hipotensi postural,

Reproduksi, ekskresi & endokrin : retensi urin, oliguria.

Efek kolinergik : bradikardia, mulut kering, palpitasi, takikardia, tremor

otot, pergerakan yg tidak terkoordinasi, delirium atau disorintasi,

halusinasi.

Lain-lain : berkeringat, muka merah, pruritus, urtikaria, ruam kulit

Peringatan !!!

Hati-hati pada pasien dengan disfungsi hati & ginjal krn akan memperlama

kerja & efek kumulasi opiod, pasien usia lanjut, pada depresi sistem saraf

pusat yg parah, anoreksia, hiperkapnia, depresi pernapasan, aritmia, kejang,

cedera kepala, tumor otak, asma bronchial

c. Fentanil

Digunakan sebagai analgesic dan anastesia

Dosis :

Analgesik : iv/im 25-100 µg

Induksi : iv 5-40 µg/ kg BB

Suplemen anastesi : iv 2-20 µg/kg BB

Anastetik tunggal : iv 50-150 µg/ kg BB

Awitan aksi : iv dalam 30 detik, im < 8 menit

Lama aksi : iv 30-60 menit, im 1-2 jam

Efek samping obat :

Bradikardi, hipotensi

Depresi saluran pernapasan, apnea

Pusing, penglihatan kabur, kejang

Mual, muntah, pengosongan lambung terlambat

Miosis

Perdarahan Pasca Persalinan

Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan atau hilangnya darah 500 cc atau lebih yang

terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadisebelum, selama, atau sesudah lahirnya

plasenta.

Page 10: Case Anestesi

  Definisi lain menyebutkan Perdarahan Pasca Persalinan adalah perdarahan 500 cc atau

lebih yang terjadi setelah plasenta lahir. Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :

a. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage)yang terjadi dalam 24 jam

setelah anak lahir. 

b. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage)yang terjadi antara 24 jam

dan 6 minggu setelah anak lahir.

Etiologi

Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan hemorrhage postpartum, faktor-faktor

yang menyebabkan hemorrhage postpartum adalahatonia uteri, perlukaan jalan lahir, retensio

plasenta, sisa plasenta, kelainan pembekuan darah.

1. Tone Dimished : Atonia uteri

Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi dan mengecil

sesudah janin keluar dari rahim. Perdarahan postpartum secara fisiologis di kontrol oleh

kontraksi serat-serat myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang

mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi ketika myometrium

tidak dapat berkontraksi. Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek

pada palpusi. Atonia uteri juga dapattimbul karena salah penanganan kala III persalinan,

dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta,

sedang sebenarnya bukan terlepas dari uterus. Atonia uteri merupakan penyebabutama

perdarahan postpartum. Disamping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum

memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang.

Perdarahan yang banyak bisa menyebabkan “ Sindroma Sheehan “ sebagai akibat nekrosis

pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufiensi bagian tersebut dengan gejala :

astenia, hipotensi, dengan anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia,

penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan

ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan fungsi laktasi.

Beberapa hal yang dapat mencetuskan terjadinya atonia meliputi :

1. Manipulasi uterus yang berlebihan,

2. General anestesi (pada persalinan dengan operasi ),

Page 11: Case Anestesi

3. Uterus yang teregang berlebihan :

- Kehamilan kembar 

- Fetal macrosomia ( berat janin antara 4500 – 5000 gram )

-  Polyhydramnion

4. Kehamilan lewat waktu,Portus lama

5. Grande multipara ( fibrosis otot-otot uterus ),

6. Anestesi yang dalam

7. Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia ),

8. Plasenta previa,

9. Solutio plasenta

2. Tissue

a. Retensio plasenta

b. Sisa plasenta

c. Plasenta acreta dan variasinya.

Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal itu dinamakan retensio

plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena : plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta

sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan.Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi

perarahan, tapi apabila terlepas sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi

untuk mengeluarkannya.

Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena :

- kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasenta adhesiva )

- Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis komalismenembus desidva

sampai miometrium – sampai dibawah peritoneum (plasenta akreta – perkreta)

Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar disebabkan

oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III.

Sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi

keluarnya plasenta ( inkarserasio plasenta ). Sisa plasenta yang tertinggal merupakan

penyebab 20-25 % dari kasus perdarahan postpartum. Penemuan Ultrasonografi adanya

masa uterus yang echogenic mendukung diagnosa retensio sisa plasenta. Hal ini bisa

Page 12: Case Anestesi

digunakan jika perdarahan beberapa jam setelah persalinan ataupun pada late postpartum

hemorraghe. Apabila didapatkan cavum uteri kosong tidak perlu dilakukan dilatasi dan

curettage.

3. Trauma

Sekitar 20% kasus hemorraghe postpartum disebabkan oleh trauma jalan lahir 

a. Ruptur uterus

b. Inversi uterus

c. Perlukaan jalan lahir 

d. Vaginal hematom

Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa menyebabkan antara lain grande

multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan persalinan dengan induksi

oxytosin. Ruptur uterus sering terjadi akibat jaringan parut section secarea sebelumnya. Laserasi

dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan biasanya terjadi karena persalinan secara

operasi ataupun persalinan pervaginam dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan vacuum

atau forcep, walau begitu laserasi bisa terjadi pada sembarang persalinan. Laserasi pembuluh

darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan menyebabkan hematom, perdarahan akan

tersamarkan dan dapat menjadi berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan

bisa menyebabkan terjadinya syok. Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan

jika mengenaiartery atau vena yang besar, jika episitomi luas, jika ada penundaan antara

episitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan antara persalinan dan perbaikan episitomi.

Perdarahan yang terus terjadi ( terutama merah menyala ) dan kontraksi uterus baik akan

mengarah pada perdarahan dari laserasi ataupun episitomi. Ketika laserasi cervix atau vagina

diketahui sebagai penyebab perdarahan maka repair adalah solusi terbaik. Pada inversion uteri

bagian atas uterus memasuki kovum uteri, sehingga tundus uteri sebelah dalam menonjol

kedalam kavum uteri. Peristiwa ini terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta

keluar.Inversio uteri dapat dibagi :

- Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dariruang tersebut.

- Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina.

- Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak diluar vagina.

Page 13: Case Anestesi

Tindakan yang dapat menyebabkan inversion uteri ialah perasat crede padakorpus uteri

yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta yang belum lepas dari

dinding uterus.Pada penderita dengan syok perdarahan dan fundus uteri tidak ditemukan pada

tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai.Pemeriksaan dalam dapat

menunjukkan tumor yang lunak diatas servix uteriatau dalam vagina. Kelainan tersebut dapat

menyebabkan keadaan gawat dengan angka kematian tinggi ( 15 – 70 % ). Reposisi secepat

mungkinmemberi harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita.

4. Thrombin : Kelainan pembekuan darahGejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa

penyakit keturunanataupun didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa :

- Hipofibrinogenemia,

- Trombocitopeni,

- Idiopathic thrombocytopenic purpura,

- HELLP syndrome ( hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count ),

- Disseminated Intravaskuler Coagulation

Penatalaksanaan

Secara garis besar, penanganan di lakukan tergantung darietiologinya. Penanganan pada

postpartum hemoragik antara lain :

1. Hentikan perdarahan

2. Cegah/ atasi syok 

3. Ganti darah yang hilang : diberi infus cairan (larutan garam fisiologis,plasma

ekspander, Dextran-L, dan sebagainya), transfusi darah, kalau perlu oksigen.

Retensio Plasenta/Sisa Plasenta

1. Retensio plasenta tanpa perdarahan masih dapat menunggu. Sementara itu kandung

kemih dikosongkan, masase uterus dansuntikan oksitosin (i.v. atau i.m. atau melalui

infus) dan bolehdicoba perasat Crede secara lege artis. Jika tidak berhasil,dilakukan

plasenta manuel.

Page 14: Case Anestesi

2. Setelah plasenta manuel, diberi suntikan ergometrin 3 hari berturut-turut. Jika ada

keraguan jaringan plasenta yang tertinggal, makapada hari ke-4 dilakukan kerokan

kuretase dengan kuret tumpulukuran besar didahului suntikan/infus oksitosin.

3. Plasenta kaptiva atau inkarserata diberi suntikan oksitosin intraserviks untuk menambah

pembukaan serviks dan diberianastesi umum untuk melahirkan plasenta dengan memakai

alatcunam ovum atau cara manuel.

4. Plasenta manuel segera dilakukan jika :

a. Perdarahan kala III lebih dari 200 ml

b. Penderita dalam narkosa

c. Riwayat PPH habitualis

d. Plasenta akreta, inkreta dan perkreta ditolong dengan histerektomi

e. Sisa plasenta dikeluarkan dengan kerokan

f. Penderita diberikan uterotonika, analgetika, m roboransia dan antibiotik.

Page 15: Case Anestesi

BAB IV

KESIMPULAN

Anestesi intravena adalah teknik anestesi dimana obat-obat anestesi diberikan melalui jalur

intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot. Setelah

masuk ke dalam pembuluh darah vena,obat-obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh

melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju ke target organ masing-masing dan akhirnya

diekskresikan, sesuai dengan farmakokinetiknya masing-masing.

Page 16: Case Anestesi

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR . Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta : Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2009; 2 : 105-119

2. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD. Obstetri

Williams. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006 : edisi 21 : vol 1