case hernia anestesi
DESCRIPTION
case hernia anestesiTRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt atas segala limpahan
rahmat serta karuniaNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul “Anestesi Spinal pada Pasien Hernia Inguinalis Lateralis Sinistra dengan
Hipertensi”. Dalam menyelesaikan laporan kasus ini, kami mendapat bantuan dan
bimbingan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Guntur, Sp.An dan sebagai pembimbing yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan menjalani
Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Soeselo, Slawi.
2. Staf dan paramedis yang bertugas di Kamar Operasi Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Soeselo Slawi, khususnya kepada seluruh penata anestesi yang
telah membantu selama kami menjalankan kepaniteraan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak
kekurangan, oleh karena kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis
berharap laporan khusus ini dapat memberikan manfaat yaitu menambah ilmu
pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk mahasiswa kedokteran dan
masyarakat pada umumnya.
Slawi, November 2014
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I LAPORAN KASUS 3
IDENTITAS PASIEN 3
ANAMNESIS 3
PEMERIKSAAN FISIK 4
PEMERIKSAAN PENUNJANG 5
PENATALAKSANAAN 6
BAB II ANALISA KASUS 9
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 12
DAFTAR PUSTAKA 40
2
LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM DR. SOESELO SLAWI
---------------------------------------------------------------------------------------
IDENTITAS PASIEN
Nama : Taharjo
Umur : 69 Tahun
Alamat : Jatinegara
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta.
Agama : Islam
No.CM : 171099
I. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Benjolan pada lipatan paha kiri sejak 3 hari yang lalu.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang pada sabtu tanggal 4 oktober 2014 ke Poli Bedah Rumah Sakit
Umum Daerah dr. Soeselo Slawi dengan benjolan pada lipat paha kiri sejak 3 hari
yang lalu. Benjolan telah dirasakan oleh pasien sejak 15 tahun yang lalu. Mula – mula
benjolan hanya sebesar bola pingpong dengan konsistensi lunak dan dapat
digerakkan. Pasien mengaku pada saat itu benjolan tidak terasa sakit dan masih dapat
dimasukkan. Benjolan akan muncul saat pasien sedang mengangkat barang – barang
berat atau batuk lama namun saat berbaring benjolan tidak dirasakan lagi. Benjolan
lama kelamaan dirasakan pasien membesar dan mulai terasa sakit. Pasien
mengeluhkan terasa sakit saat pasien batuk dan mengejan. Pasien menyangkal adanya
demam dan mual muntah. Buang air kecil dan buang air besar lancar. Pasien
menyangkal ada batuk lama sebelumnya.
3
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Pasien memiliki
riwayat dispepsia. Hipertensi tidak terkontrol . Diabetes Mellitus disangkal. Pasien
menyangkal pernah operasi sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama. Riwayat kencing manis,
hipertensi dan keganasan dalam keluarga disangkal.
5. Riwayat Kebiasaan
Pasien merokok sejak masih muda selama 33 tahun dan pasien mampu
menghabiskan 2 bungkus rokok sehari. duduk di sekolah menengah pertama.
II. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 160/100mmHg
Nadi : 96x/menit, reguler
Suhu : 36C
Pernapasan : 20x/menit
Kepala : bentuk normochepali, rambut hitam, distribusi merata dan
tidak mudah dicabut
Wajah : Simetris, Pucat (-), Sianosis(-) dan Ikterik (-)
Mata : Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret -/-, hiperemis
mukosa -/-
Telinga : tidak ada kelainan
Mulut : sianosis (-), lidah tidak kotor
Leher : KGB serta kelenjar tyroid tidak teraba membesar.
Thoraks : Paru : suara nafas vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
4
Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Ekstremitas : Simetris, tidak sianosis, pitting oedem -/-, akral hangat.
Abdomen
Inspeksi : Simetris, perut buncit, efloresensi (-), spider nevi (-).
Auskultasi : Bising usus normal.
Palpasi : supel, defans muscular (-), smiling umbilicus (-), dilatasi
pembuluh darah(-)
Perkusi : Timpani.
STATUS LOKALIS
Regio Genitalia
Inspeksi : tampak ada benjolan pada paha sinistra, ukuran sebesar buah
salak , bentuk benjolan lonjung.
Palpasi : konsistensi benjolan lunak, permukaan benjolan rata, benjolan
tidak dapat ditekan masuk ke arah perut, benjolan dapat digerakkan, nyeri tekan
(-), teraba hangat
Auskultasi : bising usus (+).
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. LABORATORIUM
Hematologi
Leukosit 9.2 103/uL
Eritrosit 3.8 106/uL
Hemoglobin 11.7 %
Hematokrit 33
APTT 27.0 detik
PT 13.3 detik
Golongan darah A
Rhesus factor Positif
Gula darah sewaktu 103
Ureum 47.5
Kreatinin 0.86
5
Albumin 3.05
SGOT 13
SGPT 6
IV. ASSESSMENT
Tn. Sohidin, 43 tahun dengan diagnosis Hernia Inguinalis Lateralis Reponible
Sinistra , dengan vital sign tekanan darah 160/100 mmHg dan yang lain dalam
batas normal. Laboratorium: leukosit 10.4 103/uL, Eritrosit 5.6 106/uL, Hb
16.2 %, APTT test 28.8 detik dan PT test 11.1, gula darah sewaktu 103,
ureum 47.5, kreatinin 0.86 SGPT 6 dan SGOT 13. Radiologi tidak ada
kelainan. Status ASA II dengan riwayat hipertensi (+) tidak terkontrol. Akan
dilakukan spinal anestesi.
V PENATALAKSANAAN
1. Persiapan operasi
a. Persetujuan operasi tertulis (informed consent) ( + )
b. Puasa 6-8 jam (+)
c. Oksigenasi 3 L/ menit
d. Pemasangan IV line memakai abocath nomor 20 dan tranfusi set
dengan Ringer laktat
e. Pemasangan kateter urin dan disambungkan dengan urine bag
2. Jenis anestesi : Anestesi regional
3. Teknik anestesi : Spinal anestesi, L3-L4, LCS (+)
4. Premedikasi : Ondancetron 4 mg/2 ml, fortanest 40 mg
5. Induksi : Bupivacaine HCl 5mg/ml; 3ml
6. Maintenance : Oksigen 3L/menit
7. Monitoring : Tanda vital selama operasi berlangsung setiap 5 menit,
cairan,
6
dan perdarahan
8. Pengawasan pasca anestesi di ruang pulih sadar
MONITORING
JAM TD HR SpO2 Keterangan
09.00 180/95 mmHg 100 x/menit 100 % Ondancentron 4 mg
09.05 160/80 mmHg 90x/menit 100% Bupivacaine HCl 5mg/ml à3 ml
Mulai operasi
09.10 140/85 mmHg 86 x/menit 99% Mulai operasi
09.15 136/80 mmHg 96 x/menit 99 %
09.20 125/62 mmHg 104 x/menit 100 % RL 500cc
09.25 120/57 mmHg 104 x/menit 99 %
09.30 115/56 mmHg 100 x/menit 99 %
09.35 113/63 mmHg 104 x/menit 99%
09.40 118/71 mmHg 100 x/menit 99% • RL 500 cc
09.45 125/68 mmHg 100 x/menit 100%
09.50 130/72 mmHg 104 x/menit 100% Ketorolac 30 mg
09.55 136/80 mmHg 104x/menit 99% Operasi Selesai
10.00 138/80 mmHg 104x/menit 100% • RR
• Nilai Aldrete’s score
10.05 • Pasien dipindahkan ke
bangsal
10.10 • BU (+)
POST OPERASI: TD : 138/80 mmHg
7
N : 100 x/menit
RR : 20 x/menit
Aldrete’s score: 9
Instruksi post operasi :
• Infus RL 20 tpm
• Medikamentosa:
- Injeksi Ceftriaxon 1x2gr
- Injeksi Ketorolac 3x30 mg
- Injeksi Ranitidin 2x50 mg
- Awasi TV 24 jam
Bila sadar penuh, mual muntah (-), pusing (-), BU (+) à diet biasa bertahap
BAB II
ANALISIS KASUS
8
Berdasarkan anamnesis dan riwayat pasien, maka pasien dapat
diklasifikasikan dengan ASA II, yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan dan
tidak ada keterbatasan fungsi. Persiapan yang dilakukan sebelum operasi yaitu
memastikan pasien dalam keadaan sehat, memasang infus, dan dalam keadaan puasa
selama 6-8 jam sebelum operasi. Menjelang operasi pasien dalam keadaan tampak
sakit sedang dan kesadaran compos mentis. Jenis anestesi yang akan dilakukan adalah
regional anestesi dengan teknik spinal anestesi subarachnoid block sit position. Blok
subarachnoid adalah blok regional yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat
anestetik local ke dalam ruang sub arachnoid pada celah interspinosum L3-L4 atau
melalui tindakan pungsi lumbal.
Indikasi dilakukannya anestesi spinal sub arachnoid adalah untuk pembedahan
daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah yaitu daerah abdominal dan
inguinal,daerah anorektal dan genitalia eksterna serta daerah ekstremitas inferior.
Adapun beberapa kontra indikasi pada penggunaan teknik anestesi spinal sub
arachnoid yang terbagi menjadi kontra indikasi absolut dan relative. Kontra indikasi
absolut meliputi pasien yang menolak, infeksi di daerah lumbal, syok hipovolemia,
koagulopati atau mendapat terapi koagulan, tekanan intracranial tinggi, fasilitas
resusitasi minim, kurang pengalaman atau tanpa pendampingan dari konsultan
anesthesia. Sedangkan untuk kontra indikasi relative yaitu infeksi sistemik (sepsis,
bakteriemi), kelainan neurologis, kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung dan
nyeri punggung kronis.
Dari anamnesis didapatkan pasien pria usia 43 tahun dengan benjolan pada
lipatan paha kiri membesar dan nyeri, diagnosis preoperative pasien adalah hernia
inguinalis lateralis sinistra. Pasien direncanakan untuk operasi herniotomy.
Sebelum operasi dimulai, pasien dipersiapkan terlebih dahulu dengan
memastikan infus berjalan lancar agar obat-obatan yang diberikan melalui jalur
intravena dapat bekerja secara efektif, lalu memasang alat-alat yang berhubungan
dengan tanda vital yaitu tensimeter dan saturasi O2 agar dapat dimonitor selama
operasi berlangsung, karena obat anestesi dapat memengaruhi tekanan darah dan
suplai oksigen pasien. Setelah itu dipastikan bahwa pasien dalam keadaan tenang dan
kooperatif.
Kemudian dilakukan anestesi terhadap pasien menggunakan obat Bupivacaine
5mg/ml, yaitu anestesi local yang bekerja memblok konduksi impuls saraf dengan
meningkatkan ambang eksitasi listrik pada saraf, dengan memperlambat penyebaran
9
impuls, juga mengurangi laju kenaikan potensial aksi. Bupivacaine mengikat bagian
saluran intraseluler natrium dan memblok masuknya natrium ke dalam sel saraf
sehingga mencegah depolarisasi, dengan sifat reversible. Bupivacaine memiliki onset
cepat dan masa kerja panjang. Kadar puncak bupivacaine dalam darah tercapai dalam
30-45 menit setelah injeksi, dan mengalami penurunan kadar sampai tidak bermakna
dalam waktu 3-6 jam. Indikasi bupivacain spinal adalah untuk anesthesia local atau
regional, dengan dosis 5ml untuk blok saraf perifer, 10-20ml untuk blok epidural dan
15-30ml untuk blok kaudal.
Pasien diberikan obat premedikasi yaitu Ondansetron 4 mg secara bolus IV,
agar dapat mengurangi rangsang muntah pada pasien akibat obat-obat anestesi lainnya
yang akan diberikan. Ondansetron adalah suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3
selektif. Serotonin 5-hydroxytriptamine merupakan zat yang akan dilepaskan jika
terdapat toksin dalam saluran cerna, berikatan dengan reseptornya dan akan
merangsang saraf vagus menyampaikan rangsangan ke CTZ (chemoreceptor trigger
zone) dan pusat muntah, sehingga terjadi mual & muntah.
Setelah operasi selesai, pasien diberikan Ketorolac 30 mg secara bolus IV
untuk mengurangi rasa sakit pasca operasi. Pasien dipindahkan ke recovery room
untuk dilakukan pemantauan sebelum dibawa kembali ke ruangan.
Terapi Cairan Intra-Operatif
Kebutuhan cairan
Jumlah kebutuhan cairan pemeliharaan dewasa = 1,5 – 2 ml/kg BB
Maka pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan pemeliharaan adalah
2x 68 kg = 136 cc
Kebutuhan Cairan Operasi (O):
Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang peritoneum, ruang
ketiga, atau luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung pada besar kecilnya
pembedahan, 6-8 ml/kg untuk operasi besar, 4-6 ml/kg untuk operasi sedang,
dan 2-4 ml/kg untuk operasi kecil.
Pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan operasinya adalah sebagian
berikut:
Operasi sedang x berat badan = 6 ml x 68 kg = 408 cc
10
Kebutuhan Cairan Puasa (P)
Lama puasa x kebutuhan cairan basal
= 8 jam x 138 cc = 1.104 cc
Pemberian cairan jam pertama:
Kebutuhan cairan + kebutuhan cairan operasi + 50% kebutuhan cairan puasa
= 138 cc + 408 cc + 552 cc = 1.098 cc
Cairan pengganti darah
Estimated Blood Volume (EBV) dewasa = 70cc/kgBB.
EBV pada pasien 70x68 = 4760. Jumlah perdarahan selama operasi
berlangsung = 100cc
Presentase perdarahan yang terjadi selama operasi = 2,1%
Selama puasa dan operasi pasien telah diberikan cairan RL 500cc sebanyak 3
kali maka total terapi cairan yang paisen dapat adalah 1500 cc, maka terapi
cairan pasien terpenuhi.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
ANESTESI PADA HIPERTENSI
11
Diagnosis dan Klasifikasi Hipertensi
Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya
peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan
berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal yang
diijinkan adalah sebagai berikut :
Dewasa 140/90 mmHg
Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg
Anak usia prasekolah 85/55 mmHg
Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg
M e n u r u t T h e J o i n t N a t i o n a l C o m m i t t e e 7 ( J N C 7 ) o n
p r e v e n t i o n , d e t e c t i o n , evaluation, and treatment of high blood
pressure tahun 2003, klasifikasi hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi
derajat 1 dan 2 (lihat tabel 1)
Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7.
K la s i f i ka s i d i a t a s un tuk dewasa 18 t ahun ke a t a s . Has i l
pengukuran TD dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan
waktu pengukuran, emosi, a k t i v i t a s , o b a t y a n g s e d a n g
d i k o n s u m s i d a n t e k n i k p e n g u k u r a n T D . K r i t e r i a ditetapkan
12
setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya
riwayat peningkatan TD darah sebelumnya. Penderita dengan klasifikasi
prehipertensi mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi
hipertensi. Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali
berkembang menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari
nilai itu.
Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau
tekanan darah diastolik > 90 mmHg .1 Hipertensi yang sudah ada dapat menyebabkan
berbagai tanggapan kardiovaskular yang berpotensi meningkatkan resiko
pembedahan, termasuk disfungsi diastolik dari hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi
sistolik menyebabkan gagal jantung kongestif, kerusakan ginjal, dan otak dan
penyakit occlusive koroner. Tingkat risiko tergantung pada tingkat keparahan
hipertensi.2 Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan
menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup empat hal dasar yang harus dicari,
yaitu jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya, penilaian
ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi, penilaian yang
akurat tentang status volume cairan tubuh penderita dan penentuan kelayakan
penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan
yang memerlukan teknik hipotensi.3 Selama operasi, pasien dengan dan tanpa
hipertensi memiliki kemungkinan untuk terjadinya peningkatan tekanan darah dan
tachycardia selama induksi anestesi. Prediktor umum hipertensi perioperatif adalah
memiliki riwayat hipertensi sebelumnya, terutama tekanan darah diastolik lebih besar
dari 110 mm Hg. Sedangkan prinsip umum dalam pemberian anestesi pada pasien
hipertensi adalah menjaga stabilitas kardiovaskular selama anestesi dan periode
perioperatif. Pasien dengan hipertensi memiliki resiko perubahan tekanan darah lebih
besar daripada populasi normal dan telah terbukti bahwa ketidakstabilan tekanan
darah dapat dikaitkan dengan morbiditas kardiovaskular dan peningkatan kematian
pasca operasi, terutama pada pasien dengan hipertensi berat yang tidak terkontrol.
Pasien yang memiliki hipertensi, membutuhkan tekanan darah yang lebih tinggi untuk
perfusi organ yang memadai daripada pasien dengan normotensi (terutama pada
orang tua). Menghindari hipotensi (dan normotension pada pasien yang biasanya
memiliki angka tekanan darah yang tinggi dalam kesehariannya), dapat mencegah
13
komplikasi akibat perfusi yang kurang, terutama untuk mengontrol hemodinamik.
Hipertensi pasca operasi yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 190 mm
Hg dan / atau diastolik 100 mm Hg di dua pembacaan berturut-turut setelah operasi,
mungkin memiliki gejala sisa yang secara signifikan merugikan pada kedua jantung
dan noncardiac pasien. Hipertensi, dan krisis hipertensi, sangat umum pada periode
pascaoperasi awal dan terkait dengan tonus simpatik yang meningkat dan resistensi
pembuluh darah. Hipertensi pascaoperasi sering dimulai sekitar 10-20 menit setelah
operasi dan dapat berlangsung sampai 4 jam. Jika tidak diobati, pasien akan
meningkatkan risiko untuk pendarahan, peristiwa serebrovaskular, dan infark
miokard.4
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa
sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya
penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD
110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia
atau operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan
tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring
dengan pe r t ambahan umur , d imana pe rubahan i n i l eb ih d i anggap
s ebaga i pe rubahan f i s i o log ik d iband ingkan pa to log ik . Namun
bebe rapa ah l i menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar
risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler d iband ingkan
h ipe r t ens i d i a s to l i k . Pendapa t i n i muncu l ka r ena da r i ha s i l s t ud i
m e n u n j u k k a n b a h w a t e r a p i y a n g d i l a k u k a n p a d a
h i p e r t e n s i s i s t o l i k d a p a t menurunkan r i s i ko t e r j ad inya
s t roke dan MCI pada popu l a s i yang be rumur t ua . D a l a m b a n y a k
u j i k l i n i k , t e r a p i a n t i h i p e r t e n s i p a d a p e n d e r i t a h i p e r t e n s i
a k a n menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai
20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%.
Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi
khususnya p a d a p a s i e n d e n g a n k a s u s h i p e r t e n s i y a n g r i n g a n
s a m p a i s e d a n g . N a m u n pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk
menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai
efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit
hipertensinya itu sendiri.
14
Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya
kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan
sebelum operasi. The American Hea r t Assoc i a t i on / Amer i can Co l l ege
o f Ca rd io logy (AHA/ACC) menge lua rkan acuan bahwa TD sistole
180 mmHg dan/atau TD diastole 110 mmHg sebaiknya dikontrol s ebe lum
d i l akukan ope ra s i , t e rkecua l i ope ra s i be r s i f a t u rgens i . Pada
keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam
beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi
yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung
mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Pasien
hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik
akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol
dengan baik.
Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah
sama pen t i ngnya dengan pengon t ro l an h ipe r t ens i pada pe r i ode
p r eope ra t i f . Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan
autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini
akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD
diturunkan secara tiba-tiba. Terapi j a n g k a p a n j a n g d e n g a n o b a t
a n t i h i p e r t e n s i a k a n m e n g g e s e r k e m b a l i k u r v a a u t r e g u l a s i
k e k i r i k e m b a l i k e n o r m a l .
A n e s t e s i a a m a n j i k a d i p e r t a h a n k a n d e n g a n b e r b a g a i
t e k n i k t a p i d e n g a n memperha t i kan ke s t ab i l an hemod inamik
yang k i t a i ng inkan . A n e s t e s i a r e g i o n a l d a p a t dipergunakan
sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anesthesia regional
sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada
pa s i en dengan keadaan h ipovo l emia .
Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga
pada periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif
yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan
15
antihipertensi secara parenteral, namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa
diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea
harus disingkirkan terlebih dahulu.
Manajemen Post Operatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien
yang mende r i t a h ipe r t ens i e s ens i a l . H ipe r t ens i dapa t
men ingka tkan kebu tuhan oks igen mioka rd s eh ingga be rpo t ens i
menyebabkan i skemia mioka rd , d i s r i tm ia jantung dan CHF.
Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan u l ang l uka
ope ra s i ak iba t t e r j ad inya d i s rups i va sku l e r dan dapa t
be rkons t r i bus i m e n y e b a b k a n h e m a t o m a p a d a d a e r a h l u k a
o p e r a s i s e h i n g g a m e n g h a m b a t penyembuhan luka operasi.
Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping
secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan
baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, ove r l oad
ca i r an a t au d i s t ens i da r i kandung kemih . Sebe lum d ipu tu skan
un tuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut
harus d iko reks i du lu .
Nye r i me rupakan s a l ah s a tu f ak to r yang pa l i ng be rkons t r i bus i
menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri
sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infuse
kon t i nyu . Apab i l a h ipe r t ens i mas ih ada mesk ipun nye r i sudah
t e r a t a s i , maka i n t e rvens i s eca r a f a rmako log i ha rus s ege ra
d i l akukan dan pe r l u d i i nga t bahwa meskipun pasca operasi TD
kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat
hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan.
Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara
parenteral misalnya dengan beta blocker yang terutama digunakan untuk
menga t a s i h ipe r t ens i dan t ak ika rd i a yang t e r j ad i . Apab i l a
penyebabnya ka rena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan
apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-
inhibitor. Pasien dengan iskemia m i o k a r d y a n g a k t i f s e c a r a
l a n g s u n g m a u p u n t i d a k l a n g s u n g d a p a t d i b e r i k a n nitrogliserin
16
dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi
beratsebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita
sudah bias m a k a n d a n m i n u m s e c a r a o r a l s e b a i k n y a
a n t i h i p e r t e n s i s e c a r a o r a l s e g e r a dimulai.
SPINAL ANASTESI
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarackhnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal
ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kulis à
subkutis à Lig. Supraspinosum à Lig. Interspinosum à Lig. Flavum à ruang
epidural à durameter à ruang subarachnoid.
Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinal,
dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa
berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena itu,
anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-
L3 atau L3-L4 atau L4-L5.5
17
Figure 43-1 Spinal cord anatomy. Notice the termination of the spinal cord (i.e.,
conus medullaris) at L1–2 and the
termination of the dural sac at S2 (see Plate 6 in the color atlas of this volume)
Farmakologi
Obat Anestesia Lokal Yang Digunakan
Obat anestesia lokal yang disuntikkan ke dalam ruangan subarakhnoid akan
mengalami pengenceran oleh cairan serebrospinal, menyebar baik ke kranial maupun
ke kaudal dan kontak dengan radiks medula spinalis yang belum mempunyai
selubung myelin. Obat anestesia lokal tidak boleh mengandung bahan (material) yang
mempunyai efek iritasi pada radiks dan medula spinalis. Obat yang dipakai untuk
anestesia spinal adalah obat yang khusus.
Penggunaan obat-obatan anestesia lokal yang umum dipakai dalam anestesia
spinal harus diikuti dengan pertimbangan-pertimbangan seperti distribusi dari obat
dalam cairan serebrospinalis (level dari anestesia), ambilan obat oleh elemen-elemen
saraf pada ruang subarakhnoid (tipe dari saraf yang terblok), dan eliminasi obat dari
18
ruangan subarakhnoid (duration of action).6 Terdapat beberapa macam obat anestesia
lokal yang sering dipakai pada anestesia spinal seperti prokain, lidokain (Xylocaine),
tetrakain (Pantocaine), bupivakain (Marcaine atau Sensorcaine), dan dibukain
(Cinchorcaine).6 Prokain dan lidokain bersifat short-intermediate acting, sedangkan
tetrakain, bupivakain dan dibukain mempunyai sifat intermediate-long duration.6
Prokain. Menghasilkan anestesia spinal dengan onset efek sekitar 3 sampai 5 menit
dengan durasi antara 50-60 menit.7 Di Amerika Serikat, prokain untuk anestesia spinal
terdapat dalam sediaan ampul sebanyak 2 ml larutan 10%. Jika dilarutkan dengan
cairan serebrospinal dalam jumlah yang sama menghasilkan larutan prokain 5% yang
mempunyai berat hampir sama dengan cairan serebrospinal dan jika dicampur dengan
glukosa 10% dalam jumlah yang sama akan menghasilkan larutan yang lebih berat
dari cairan serebrospinal. Larutan prokain 2,5% dalam air lebih banyak digunakan
sebagai diagnostik dibandingkan dengan anestesia spinal untuk operasi. Dosis yang
disarankan berkisar antara 50-100 mg untuk operasi daerah perineum dan ekstremitas
inferior dan 150-200 mg untuk operasi abdomen bagian atas.
Lidokain. Juga mempunyai onset anestesia spinal dalam 3 sampai 5 menit dengan
durasi yang lebih lama dari prokain yaitu 60-90 menit.7 Lidokain yang dipakai untuk
anestesia spinal adalah larutan 5% dalam glukosa 7,5%. Dosis yang biasa digunakan
adalah 25-50 mg untuk operasi perineum dan saddle block anesthesia dan 75-100 mg
untuk operasi abdomen bagian atas.
Tetrakain. Obat ini mempunyai onset anestesia dalam 3 sampai 6 menit dengan
durasi yang lebih lama dibandingkan dengan prokain dan lidokain (210-240 menit).7
Tetrakain tersedia dalam bentuk ampul berisi kristal 20 mg dan dalam ampul sebesar
2 ml larutan 1% dalam air. Larutan 1%, jika dicampur dengan glukosa 10% dalam
jumlah yang sama (tetrakain 0,5% dalam 5% glukosa) digunakan secara luas untuk
anestesia spinal dimana mempunyai berat yang lebih besar daripada cairan
serebrospinal. Dosis yang digunakan berkisar antara 5 mg untuk operasi daerah
perineum dan ekstremitas inferior dan 15 mg untuk operasi abdomen bagian atas.
Bupivakain. Obat ini menghasilkan onset anestesia spinal dalam waktu 5 sampai 8
menit. Durasi anestesia yang dihasilkan sama dengan tetrakain. Di Australia dan
kebanyakan negara eropa, larutan 0,5% hipobarik atau hiperbarik telah digunakan
sebagai anestesia spinal. Dosis yang direkomendasikan berkisar antara 8-10 mg untuk
19
operasi perineum dan ekstremitas inferior dan 15-20 mg untuk operasi abdomen
bagian atas.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel 2.2 di bawah tentang dosis obat
anestesia lokal yang digunakan untuk mencapai ketinggian blok yang diinginkan.
Tabel 2.2 Obat-obatan Untuk Anestesia Spinal
Obat dan
Konsentrasinya
Dosis (mg) Durasi (menit)
L4 T10 T4 Plain Dengan 0,2 mg
Epinefrin
Prokain (5%)
Lidokain (5%)
Tetrakain (0,5%)
Bupivakain (0,75%)
Dibukain (0,5%)
50-75
25-50
4-6
4-8
4-6
100-150
50-75
6-10
8-12
6-8
150-200
75-100
12-16
14-20
10-15
40-55
60-70
60-90
90-110
150-180
60-75
60-70
120-180
90-110
180-240
Distribusi Obat
Distribusi dari obat anestesia lokal dalam ruangan subarakhnoid mempengaruhi
luasnya blokade saraf yang terjadi pada anestesia spinal.7 Diperhitungkan agar jangka
waktu kerja obat anestesia lokal yang dipakai lebih lama dari waktu yang diperlukan
untuk operasi dan level anestesia yang meliputi seluruh lapangan operasi.
Suatu keadaan yang ekstrim, distribusi larutan anestesia lokal yang
disuntikkan pada celah L3-L4 kemungkinan hanya terbatas sampai akar-akar saraf
sakral atau sacral roots saja.7 Keadaan ekstrim yang lain, larutan anestesia lokal akan
menyebar menghasilkan blokade saraf sakral, lumbar, torakal, bahkan sampai
servikal, walaupun disuntikkan pada tempat yang sama yaitu pada celah L3-L4.
Konsentrasi obat anestesia lokal dalam cairan serebrospinal tidak ditentukan oleh
jarak dari tempat suntikan dilakukan, tetapi ditentukan oleh jarak epicenter yang
mempunyai konsentrasi yang terbanyak. Obat anestesia spinal yang disuntikkan pada
20
celah L3-L4 mempunyai episenter di area sakral, pada tempat suntikkan, atau pada
puncak torakal tergantung sejauh mana obat anestesia lokal menyebar di ruangan
subarakhnoid setelah disuntikkan.
Sedikitnya terdapat 23 faktor telah diketahui ikut terlibat dalam menentukan
dimana dan sejauh mana obat anestesia lokal menyebar dalam cairan serebrospinal
seperti dapat dilihat pada tabel 2.3.7 Jika semua faktor yang mempengaruhi distribusi
obat anestesia lokal dalam keadaan konstan, faktor yang tidak mempunyai efek yang
signifikan dalam distribusi termasuk diantaranya tinggi penderita, komposisi dan
sirkulasi dari cairan serebrospinal, konsentrasi obat anestesia lokal dalam larutan yang
disuntikkan. Difusi dari obat anestesia lokal dalam cairan serebrospinal tidak
tergantung dari berat jenis obat, penambahan vasokontriksi, dan sirkulasi cairan
serebrospinal.
Tabel 2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyebaran Obat Anestesia Lokal
Dalam Cairan Serebrospinal
Karakteristik Pasien
o Umur
o Tinggi
o Berat
o Jenis Kelamin
o Tekanan intraabdominal
o Konfigurasi anatomi kolumna vertebralis
o Posisi
Tempat injeksi
Arah dari bevel jarum
Kecepatan injeksi
Difusi
Karakteristik cairan serebrospinal
Karakteristik larutan anestesia
21
o Densitas
o Gravitasi spesifik
o Barisitas
Larutan hipobarik, isobarik, atau hiperbarik
Jumlah anestesia
Konsentrasi anestesia
Volume yang diinjeksikan
Penggunaan vasokontriktor
Faktor yang penting yang mempengaruhi penyebaran dari obat anestesia lokal
dalam cairan serebrospinal dan faktor yang sering dimanipulasi untuk memperoleh
ketinggian level anestesia spinal yang dinginkan adalah berat jenis obat anestesia
lokal yang disuntikkan, dosis dan volume obat anestesia, posisi penderita selama dan
sesudah disuntikkan obat.6,7 Berat jenis adalah faktor penting yang mempengaruhi
penyebaran obat anestesia setelah disuntikkan ke dalam cairan serebrospinal. Jika
berat jenis dari larutan sama dengan 1,0 ini disebut sebagai isobarik. Bila lebih besar
dari 1,0 disebut hiperbarik, sedangkan jika kurang dari 1,0 disebut hipobarik.
Larutan Hiperbarik. Dibuat dengan mencampurkan obat anestesia lokal dengan
dekstrose atau glukosa menjadi larutan 5% atau 8%.6,7 Distribusi dari larutan
hiperbarik dipengaruhi oleh posisi penderita selama disuntikkan obat anestesia lokal
dan 20 sampai 30 menit setelah obat disuntikkan. Setelah itu, distribusi tidak
dipengaruihi lagi secara signifikan. Pada posisi berbaring atau supine position,
kelengkungan vertebra mempengaruhi penyebaran dari obat anestesia lokal, oleh
karena itu larutan hiperbarik yang disuntikkan pada puncak kelengkungan lumbal
akan mengalir ke kaudal sampai kelengkungan sakral dan yang lebih penting ke arah
kranial sampai titik terendah dari kelengkungan torakal. Penyuntikkan larutan
hiperbarik pada penderita dengan posisi duduk menyebabkan pengumpulan atau
pooling obat di daerah lumbosakral menghasilkan “saddle block” yang biasa
dilakukan pada operasi di daerah perineal dan perianal pada posisi litotomi.6
Larutan Isobarik. Keuntungan klinik yang penting dalam penggunaan larutan yang
isobarik adalah posisi penderita selama dan setelah disuntikkan obat anestesia lokal
tidak berpengaruh terhadap distribusi anestesia karena itu tidak berpengaruh terhadap
22
ketinggian blok yang tercapai.6,7 Penyuntikkan obat anestesia dapat dilakukan pada
sembarang posisi dan penderita dapat ditempatkan pada meja operasi tanpa
mempengaruhi level anestesia. Larutan isobarik berguna jika level anestesia yang
diperlukan hanya sampai T10 atau dibawahnya. Untuk menghasilkan level anestesia
pada pertengahan torakal atau lebih tinggi diperlukan dosis dan volume obat anestesia
yang besar, namun hal ini jarang dilakukan.
Larutan Hipobarik. Dibuat dengan mencampurkan obat anestesia lokal dengan air
terdestilasi.6,7 Ideal digunakan pada prosedur operasi dengan posisi kepala penderita
dibawah (prone jackknife) atau pada posisi lateral dimana sisi operasi nondependen.
Dapat disuntikkan pada posisi yang diinginkan pada saat operasi sehingga
meminimalkan perubahan posisi setelah induksi anestesia spinal. Larutan hipobarik
biasa digunakan pada operasi perineal dan rektal yang dilakukan pada posisi prone
jackknife. Larutan hipobarik juga penting untuk anestesia unilateral rendah, terutama
pada opreasi ekstremitas bawah. Larutan ini tidak direkomendasikan untuk prosedur
intraabdominal. Posisi kepala lebih diatas atau head up position yang dilakukan untuk
memperoleh ketinggian level anestesia yang cukup dapat berbahaya jika terjadi
denervasi simpatis yang luas.7
Penyerapan Obat Anestesia Lokal
Penyerapan atau uptake obat anestesia lokal ke dalam jaringan saraf dalam ruangan
subarakhnoid selama anestesia spinal bergantung pada 4 faktor yaitu konsentrasi
anestesia lokal dalam cairan serebrospinal, area permukaan saraf yang terpapar cairan
serebrospinal, kandungan lemak jaringan saraf, dan aliran darah yang menuju jaringan
saraf.7
Penyerapan obat anestesia lokal akan lebih besar apabila konsentrasi obat
anestesia lokal pada cairan serebrospinalis juga lebih besar.7 Proses penyerapan
anestesia lokal di cairan serebrospinalis terjadi seiring dengan jalannya akar saraf
berawal dari medula spinalis yang kemudian melewati ruang subarakhnoid menuju
tempat keluarnya melewati duramater. Medula spinalis juga menyerap obat anestesia
lokal melalui 2 proses salah satunya adalah proses difusi dari anestesia lokal melewati
gradien konsentrasi dari cairan serebrospinalis melalui piamater menuju ke tabung
saraf. Hal ini merupakan proses yang berjalan lambat melibatkan hanya bagian
superfisial dari tabung saraf, dan proses yang lainnya melibatkan perpanjangan dari
23
ruang subarakhnoid yang dikenal dengan nama ruangan Virchow-Robin, yang
kemudian diikuti oleh penetrasi ke dalam pembuluh darah di piamater menuju medula
spinalis. Melalui ruangan Virchow-Robin anestesia lokal pada cairan serebrospinalis
dapat mencapai struktur yang lebih dalam dari tabung saraf. Jika jalan ini hanya
merupakan satu-satunya faktor yang menentukan konsentrasi obat anestesia lokal
pada jaringan maka konsentrasinya pada medula spinalis mungkin akan lebih rendah
daripada yang ditemukan pada akar saraf. Tetapi kenyataannya, konsentrasi obat
anestesia lokal ditemukan lebih besar pada medula spinalis. Hal ini karena peranan
dari kandungan lemak yang menentukan penyerapan dari obat anestesia lokal.
Sejak diketahui bahwa obat anestesia lokal lebih larut dalam lemak daripada
dalam air, maka jaringan yang memiliki selubung myelin yang sangat tebal dalam
ruangan subarakhnoid yang mengandung lemak yang sangat besar diharapkan
memiliki konsentrasi obat anestesia lokal yang lebih besar.
Penyerapan obat anestesia lokal oleh jaringan saraf dan pembuluh darah dalam
ruang subarakhnoid menyebabkan berkurangnya konsentrasi obat anestesia lokal
dalam cairan serebrospinalis. Distribusi, penyerapan dan eliminasi obat anestesia
lokal menyebabkan penurunan konsentrasi obat anestesia lokal sampai pada titik
tertentu dalam cairan serebrospinalis dimana larutan yang tersisa sebelumnya
hiperbarik mendekati isobarik. Jika titik tersebut tercapai (sekitar 30-35 menit dengan
lidokain), perubahan dari posisi pasien yang diberikan larutan hiperbarik tidak lagi
mempengaruhi konsentrasinya dalam cairan serebrospinalis. Level dari anestesia
menjadi terfiksasi dan perubahan dari posisi pasien tidak akan merubah level
anestesia.
Eliminasi Obat Anestesia Lokal
Laju eliminasi obat anestesia lokal menentukan durasi anestesia spinal.
Eliminasi tidak termasuk proses metabolisme obat anestesia lokal dalam ruang
subarakhnoid. Eliminasi dimulai oleh absorbsi pembuluh darah dan dicerminkan oleh
level sistemik dalam darah dari obat anestesia lokal yang disuntikkan secara
intratekal.
Eliminasi melalui absorbsi oleh pembuluh darah terjadi dalam 2 area yaitu
ruang epidural dan ruang subarakhnoid. Karena perfusi vaskular dari tabung saraf
24
bervariasi di masing-masing area, maka laju eliminasi dan konsentrasinya juga
bervariasi. Laju eliminasinya dalam ruang subarakhnoid tergantung dari permukaan
absorbsi vaskular pada area yang terpapar.
Larutan yang mengandung lemak juga mempengaruhi eliminasi obat anestesia
lokal. Kandungan lemak dari obat anestesia lokal berhubungan secara langsung
dengan durasi kerjanya. Makin ketat ikatannya dengan lemak, makin susah untuk
diabsorbsi oleh vaskular sehingga makin lama dipindahkan dari tempat kerjanya.
Penurunan aliran darah dalam medula spinalis juga mengurangi laju eliminasi obat
anestesia lokal sehingga memperpanjang durasi kerjanya. Penggunaan vasokontriksi
seperi epinefrin dan fenilefrin juga menyebabkan penurunan laju eliminasi obat
anestesia lokal sebagai akibat dari vasokontriksi pembuluh darah intratekal.
Respon Fisiologis Pada Anestesia Spinal
Penyuntikkan obat anestesia lokal ke dalam ruangan subarakhnoid menghasilkan
respon fisiologis yang penting dan luas.7 Respon fisiologis yang terjadi kadang
dibingungkan dengan komplikasi dari teknik anestesia spinal. Pemahaman terhadap
etiologi dari efek fisiologis yang terjadi menjadi kunci dalam manajemen pasien
selama anestesia spinal dan mengerti indikasi dan kontraindikasi dari anestesia spinal.
Efek Pada Kardiovaskular. Salah satu respon fisiologis yang penting terjadi pada
anestesia spinal adalah pada sistem kardiovaskular.7 Efek yang terjadi sama dengan
pada penggunaan kombinasi obat α-1 dan β-adrenergic blockers, dimana nadi dan
tekanan darah menjadi turun sehingga terjadilah hipotensi dan bradikardi. Hal ini
karena blok simpatis yang terjadi pada anestesia spinal.6,7 Level blok simpatis
mempengaruhi respon kardiovaskular pada anestesia spinal, dimana semakin tinggi
blok saraf yang terjadi semakin besar pengaruhnya terhadap parameter
kardiovaskular.7
Hipotensi yang terjadi berhubungan dengan penurunan cardiac output (CO)
dan systemic vascular resistance (SVR). Blok simpatis menyebabkan vasodilatasi
baik pada arteri maupun vena, namun karena jumlah darah pada vena lebih besar
(kurang lebih 75% dari total volume darah) dan otot dinding pembuluh darahnya lebih
tipis dibandingkan dengan arteri, efek venodilatasi yang terjadi lebih dominan.7
Akibat dari venodilatasi terjadi redistribusi darah ke splanknik dan ekstremitas
25
inferior yang menyebabkan venous return atau aliran darah balik vena menuju jantung
berkurang sehingga CO menurun.7,8 Pada pasien muda yang sehat, SVR hanya
menurun 15-18%, walaupun terjadi blok simpatis yang signifikan.8
Bradikardi yang terjadi selama anestesia spinal terutama pada blok tinggi
disebabkan oleh blokade pada cardioaccelerator fibers yang terdapat dari T1 sampai
T4.7,8 Bradikardi juga terjadi sebagai respon terhadap penurunan tekanan pada atrium
kanan akibat pengisian atrium yang berkurang menyebabkan penurunan peregangan
pada reseptor kronotropik yang terdapat pada atrium kanan dan vena-vena besar.
Efek Pada Respirasi. Perubahan variabel pulmonal pada pasien sehat selama
anestesia spinal mempunyai konsekuensi klinis yang kecil. Volume tidal tidak
berubah selama anestesia spinal tinggi, dan kapasitas vital hanya berkurang sedikit
dari 4,05 menjadi 3,73 liter.8 Penurunan kapasitas vital lebih disebabkan oleh
penurunan expiratory reserve volume (ERV) akibat dari paralisis otot-otot abdomen
yang penting pada ekspirasi paksa diabandingkan dengan penurunan fungsi saraf
frenikus atau diafragma. Henti nafas yang terjadi pada anestesia spinal tidak
berhubungan dengan disfungsi saraf frenikus atau diafragma, namun disebabkan oleh
hipoperfusi pada pusat pernafasan di medula oblongata. Hal yang mendukung
pernyataan tersebut adalah kembalinya pernafasan pasien apneu setelah mendapatkan
resusitasi yang cukup baik secara farmakologi ataupun dengan pemberian cairan
untuk meningkatkan cardiac output dan tekanan darah.
Hal yang penting diperhatikan dalam hubungannya dengan terjadinya paralisis
otot pernafasan pada anestesia spinal adalah otot-otot ekspiratori, karena jika terjadi
paralisis pada otot-otot tersebut, kemampuan batuk dan pembersihan sekresi bronkus
menjadi terganggu.8
Efek Pada Gastrointestinal. Organ lain yang dipengaruhi selama anestesia spinal
adalah traktus gastrointestinal. Mual dan muntah terjadi pada 20% pasien yang
mendapatkan anestesia spinal dan hal ini berhubungan dengan terjadinya
hiperperistaltik gastrointestinal akibat dari aktivitas parasimpatis (vagus) dan relaksasi
dari spinkter yang terdapat pada traktus gastrointestinal.7 Atropin efektif mengurangi
mual dan muntah pada anestesia subarakhnoid yang tinggi (sampai T5). Dilain pihak,
kombinasi dari usus yang berkontraksi dan relaksasi dari otot-otot abdominal
26
memberi keuntungan karena hal ini menyebabkan terciptanya kondisi yang bagus
untuk operasi.8
Efek Pada Fungsi Ginjal. Aliran darah ginjal seperti halnya aliran darah serebral
dipelihara oleh mekanisme autoregulasi dalam hubungannya dengan tekanan perfusi
arteri.7 Jika tidak terjadi hipotensi yang parah, aliran darah ginjal dan produksi urin
tidak berpengaruh selama anestesia spinal. Jika anestesia spinal menyebabkan
terjadinya penurunan tekanan perfusi arteri samapi dibawah 50 mmHg, akan terjadi
penurunan aliran darah ginjal dan produksi urin secara bertahap.7 Walaupun begitu,
jika tekanan darah sudah kembali normal, maka fungsi ginjal juga akan kembali
normal.
Efek pada Termoregulator. Hipotermia perioperatif yang terjadi pada anestesia
spinal memiliki pendekatan yang sama dengan yang terjadi pada anestesia umum.8
Tiga mekanisme dasar yang menyebabkan terjadinya hipotermia selama anestesia
spinal antara lain redistribusi dari pusat panas ke perifer akibat dari vasodilatasi oleh
blok simpatis, hilangnya termoregulasi yang berhubungan dengan penurunan ambang
vasokontriksi dan menggigil dibawah level yang terblok, dan peningkatan hilangnya
panas dari vasodilatasi yang terjadi dibawah level yang terblok.8
Strategi untuk meminimalkan hilangnya panas adalah dengan memonitor suhu
tubuh pasien, memberikan cairan intravena yang hangat, menutupi kulit yang terpapar
udara dingin, dan membatasi ketinggian blok dari anestesia spinal.8,9
Teknik Anestesia Spinal
Untuk memudahkan dalam melakukan anestesia spinal, teknik anestesia spinal dapat
dibagi menjadi 4 tahapan yang dikenal dengan 4P, yaitu persiapan, posisi, proyeksi,
dan terakhir adalah punksi.9
Persiapan. Persiapan alat-alat dan obat-obatan adalah penting dalam melakukan
penyuntikkan ke dalam ruangan subarakhnoid. Saat memilih obat untuk anestesia
spinal, durasi harus diperhatikan, tidak hanya untuk prosedur operasi tetapi juga
variabel pasien.9 Dalam memilih peralatan untuk anestesia spinal harus diperhatikan
apakah memilih yang sekali pakai atau yang dapat dipakai berulang-ulang.
Kebanyakan anestesiologis memilih yang sekali pakai karena lebih banyak
memberikan keuntungan pada pasien terutama dalam hal pencegahan infeksi.9
27
Jarum spinal secara umum dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu yang
memotong dan memisahkan serat duramater. Pada gambar 2.3 dibawah dapat dilihat
macam-macam jarum spinal yang dipakai pada anestesia spinal. The Qiuncke-
Babcock yang merupakan jarum spinal standar yang mempunyai ujung yang tajam
dengan pemotong bevel medium sampai dengan panjang. Penggunaan jarum spinal
yang kecil dapat mengurangi insiden nyeri kepala pasca punksi.7,9 Namun penggunaan
jarum spinal yang lebih besar meningkatkan kepekaan terhadap jarum yang
disuntikkan. Punksi yang berulang-ulang juga meningkatkan insiden nyeri kepala
pasca punksi.6,7,9 Berdasarkan ukuran jarum spinal yang digunakan, perhatian harus
ditujukan pada serat duramater yang melintang secara longitudinal sehingga tidak
menyebabkan terpotongnya serat tersebut. Diperhatikan arah bevel jarum diatur
sedemikian rupa sehingga pararel terhadap serat duramater.7,9
Gambar 2.3
Penggunaan jarum penuntun atau introducers telah berkembang untuk
memfasilitasi penyuntikkan jarum spinal yang ukurannya kecil dan susah diarahkan,
dan untuk mencegah kontak jarum spinal dengan kulit sehingga mengurangi
kontaminasi epidermis dan bakteri ke dalam ruangan subarakhnoid. Sebagai alternatif,
dapat digunakan jarum ukuran 18, 25, dan 26 untuk membantu dalam menyuntikkan
jarum spinal.7
28
Posisi. Keuntungan dari anestesia spinal adalah kemampuan dalam mengatur
penyebaran obat anestesia lokal dengan memanipulasi berat jenis dari larutan
anestesia yang digunakan dan mengatur posisi pasien. Posisi sering tidak diperhatikan
dalam melakukan anestesia spinal yang disebabkan oleh 2 hal yaitu asisten tidak
mengetahui posisi yang rasional untuk pasien dan yang kedua pasien yang kurang
kooperatif akibat pemakaian sedasi. Tiga metode posisi pasien pada anestesia spinal
dapat dibagai 3 termasuk diantaranya lateral dekubitus, duduk, telungkup seperti
dapat dilihat pada gambar 2.4.6,7,9
Lateral dekubitus merupakan posisi yang populer pada anestesia spinal.6,9
Pasien harus diletakkan pada tepi meja operasi dekat dengan anestesiologis. Kolumna
vertebralis dilengkungan untuk memperlebar celah interlaminar dengan menekuk
pangkal paha sehingga lutut dekat dengan dada dan meletakkan dagu pasien dekat
dengan dadanya. Kepala harus disangga dengan bantal. Asisten harus berada di depan
pasien untuk membantu mempertahankan posisinya.
Gambar2.4
29
Gambar 2.5
30
Posisi duduk lebih jarang dilakukan dibandingkan dengan lateral dekubitus.
Dikerjakan pada operasi di daerah perineal dan operasi urologik, atau pada pasein
gemuk dimana identifikasi anatomi garis tengah punggung sulit dilakukan pada posisi
lateral.6,9 Seorang asiten harus berdiri depan pasien untuk mempertahankan posisi
pasien tetap fleksi pada leher dan punggungnya. Jika alasan melakukan anestesia
spinal pada posisi duduk untuk memperoleh blok sensori yang rendah, pasien harus
dibiarkan duduk selama kurang lebih 5 menit setelah disuntikkan obat. Sedangkan
jika alasannya karena pasien gemuk, secepatnya pasien dibaringkan dan meja
dimanipulasi dengan tepat.9
Posisi telungkup dipilih jika pasien tetap akan diposisikan seperti itu selama
prosedur operasi. Ini sering dilakukan pada teknik hipobarik untuk operasi daerah
rektal, perineal, dan kolumna vertebralis bawah.7,9 Pasien diletakkan di meja operasi
dengan abdomen dibawah dan untuk memudahkan teknik punksi, kelengkungan dari
lumbal dikurangi dengan memfleksikan meja operasi atau meletakkan bantal di bawah
perut pasien.6,7,9
Proyeksi dan Punksi. Setelah peralatan, obat-obatan dan posisi pasien sudah diatur
sedemikian rupa, punksi dengan jarum spinal baik dengan pendekatan midline atau
paramedian dapat dilakukan.
31
Secara tradisional, pendekatan midline merupakan pendekatan yang paling
populer. Pendekatan ini memerlukan kemampuan pasien dan asisten untuk
meminimalkan lordosis dari lumbal sehingga memudahkan akses ke dalam ruangan
subarakhnoid, biasanya melalui L2-3, L3-4, atau kadang pada L4-5. Jika
menggunakan jarum penuntun, jarum disuntikkan secara hati-hati sampai
ligamentum interspinosus. Jika tidak menggunakan jarum penuntun, kulit dan
jaringan disekitarnya difiksasi dengan memberikan tanda pada tulang dengan
menggunakan jari kedua atau ketiga tangan kiri. Jarum spinal lalu disuntikkan dengan
arah bevel jarum ke lateral sehingga tidak memotong serat-serat duramater. Setelah
jarum masuk ke dalam kulit dan jaringan subkutan, arah jarum diubah menjadi 100-
1050 ke arah kranial dengan tetap mempertahankan posisi jarum di midline. Terdapat
perubahan resistensi pada saat jarum memasuki ligamentum flavum,duramater dan
ruangan subarakhnoid. Mandrin atau stylet pada jarum spinal dilepas dan perhatikan
aliran cairan serebrospinal. Jika tidak keluar cairan serebrospinal, jarum diputar
sebesar 900 sampai tampak aliran cairan serebrospinal keluar dari lubang jarum.
Injeksikan obat anestesia lokal ke dalam ruangan subarakhnoid melalui jarum spinal
tadi secara perlahan-lahan sambil melakukan aspirasi untuk memastikan jarum masih
berada di ruangan subarakhnoid. Kemudian posisikan pasien pada posisi yang sesuai
dan fungsi kardiovaskular dan respirasi segera dimonitoring.
Pendekatan paramedian atau lateral biasa dilakukan jika ditemukan
perubahan-perubahan degeneratif pada struktur interspinosus seperti pada orang tua
dan jika posisi yang ideal untuk pasien tidak dapat dilakukan, serta mengurangi nyeri
seperti pada fraktur dan dislokasi dari hip dan ekstremitas inferior.8,9 Pendekatan
Taylor merupakan pendekatan paramedian spesial untuk memasukkan jarum ke celah
L5 yang merupakan celah interlaminal yang terbesar. Ini biasa dikerjakan untuk
prosedur operasi urologik, serta operasi di daerah pelvis
Indikasi dan Kontraindikasi Anestesia Spinal
Indikasi dilakukannya anestesia spinal antara lain:7,10,11
32
Pasien dengan lambung yang penuh; muntah dan terjadinya aspirasi sering
terjadi pada pasien yang menggunakan anestesia regional khususnya pada
pasien dengan sedasi tetapi hal ini akan dapat dikurangi pada anestesia spinal
Pasien dengan kelainan anatomi pada saluran pernafasan sehingga
menyulitkan dalam melakukan intubasi.
Operasi-operasi di bawah umbilikus seperti hernia, operasi obstetrik-
ginekologik, urologik, dan operasi di daerah perineum dan genetalia. Operasi
di ekstremitas inferior dapat dikerjakan anestesia spinal, kecuali amputasi,
walaupun tidak sakit, hal ini akan menjadi pengalaman yang tidak
menyenangkan pada pasien yang masih sadar.
Pada pasien-pasien tua dengan penyakit sistemik seperti penyakit pernafasan
kronik, penyakit hepar, penyakit ginjal, dan gangguan endokrin seperti
diabetes.
Pada pasien-pasien yang kooperatif.
Sedangkan kontraindikasi dilakukan anestesia spinal dapat dibagi menjadi 2
yaitu kontraindikasi absolut dan kontraindikasi relatif.7,10,11
1. Kontraindikasi Absolut
Infeksi didaerah tempat injeksi obat anestesia.
Penyakit kulit pada tempat injeksi (psoriasis)
Sepsis atau bakteriemia
Syok atau hipovolemia berat.
Penyakit pada medula spinalis; hal ini kontraindikasi menurut hipotesis
karena saraf atau medula spinalis akan mudah mengalami toksikasi akibat
obat anestesia lokal tersebut. walaupun sampai sekarang belum ada data yang
mendukung kearah itu.
Peningkatan tekanan intra kranial yang tinggi; merupakan kontraindikasi
karena ditakutkan akan terjadi herniasi dari medula oblongata yang disana
terdapat pusat dari pengaturan respirasi dan kardiovaskuler.
Gangguan dari proses pembekuan darah.
Pasien menolak.
Ketrampilan yang kurang untuk melakukan punksi spinal, tanpa didampingi
konsultan anestesi.
Pada operasi yang tidak dapat diperkirakan lamanya dari operasi
2. Kontraindikasi Relatif
33
Operasi besar diatas umbilikus
Adanya kelainan dari tulang belakang seperti arthritis berat, kyphoskoliosis,
dan adanya fusi dari tulang belakang yang berat.
Menderita sakit kepala yang kronik
Adanya pendarahan dalam likuor; setelah 5 –10 ml likuor diaspirasi belum
jernih.
Adanya ganguan proses pembekuan darah yang masih ringan, misal pada
penggunaan heparin dengan dosis yang minimal.
Gagal melakukan punksi setelah dicoba pada keempat kuadran.
Penyakit jantung seperti ganguan pada miokardiak, katup, atau iskemik,
adalah merupakan kontra indikasi mayor jika spinal blok dilakukan diatas atau
mencapai T6
Komplikasi Anestesia Spinal
Komplikasi saat melakukan punksi spinal seperti kegagalan dalam mencapai ruang
subarakhnoid sehingga perlu melakukan tindakan berulang jarang menyebabkan
komplikasi yang serius.
Hipotensi. Merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi dan bersifat akut
yang disebabkan oleh venous pooling akibat blokade simpatis pada anestesia spinal.6,7
Penurunan tekanan darah yang terjadi tergantung pada ketinggian blokade simpatis,
volume intravaskular pasien, dan keadaan kardiovaskularnya.6 Penurunan tekanan
darah dapat dikurangi dengan memberikan preload cairan sedikitnya 500 cc larutan
kristaloid. Jika terjadi penurunan tekanan darah yang tiba-tiba dan drastis dapat
diberikan vasopresor yang bersifat sementara sampai penggantian cairan dilakukan.
Efedrin 5-10 mg intravena merupakan obat pilihan karena tidak hanya bersifat
vasokontriksi, tetapi juga dapat meningkatkan cardiac output.6,7
Elevasi ekstremitas inferior akan mengembalikan pooling yang terjadi, namun
merendahkan kepala selama anestesia spinal dengan larutan hiperbarik dapat
menyebabkan terjadinya ketinggian blok yang tidak kita harapkan.
Bradikardi. Walaupun tanpa adanya hipotensi atau hipoksia, bradikardi dapat
muncul secara independen selama anestesia spinal.6 Level anestesia spinal yang
mencapai T2 dan serat kardioaselerator terblok, aktivitas vagus tidak ada yang
menghambat. Bradikardi mungkin berhubungan dengan stimulus seperti tarikan
34
peritoneum, penurunan venous return, atau oleh sebab yang tidak diketahui
(unexplained).6 Penggunaan atropin 0,4-0,6 mg dapat dilakukan jika terjadi penurunan
nadi sampai di bawah 60 kali permenit untuk mencegah kejadian asistol atau henti
jantung.
Blok Spinal Total. Istilah ini digunakan untuk menggambakan anestesia spinal yang
naik sampai diatas regio servikal. Hal ini disebabkan oleh pergerakan pasien yang
tidak diantisipasi, posisi pasien yang tidak tepat, dan dosis yang tidak tepat. Tanda-
tandanya adalah hilangnya kesadaran, bradikardi, hipotensi, dan henti nafas.
Walaupun terjadi paralisis saraf frenikus, kejadian henti nafas biasanya berhubungan
dengan hipoperfusi dari pusat nafas di medula oblongata.6,7,10
Pengobatan terhadap blok spinal total adalah bersifat simtomatik. Ventilasi
secepatnya diberikan dan penggunaan endotrakelal tube dan ventilasi mekanik
mungkin diperlukan. Atropin, efedrin, dan cairan segera diberikan untuk
meningkatkan cardiac output. Sekuele dapat dicegah jika ventilasi dan perfusi segera
diberikan dan terpelihara dengan baik.
Nausea. Sering terjadi pada anestesia spinal tinggi yang merupakan efek samping
yang ringan. Hipotensi, bradikardi, atau hipoksia harus dieksklusi sebagai
penyebabnya. Ketidakseimbangan antara simpatis dan parasimpatis pada traktus
gastrointestinal disebut sebagai penyebabnya. Pencegahan dapat diberikan antiemetik
seperti 0,625 droperidol atau 10 mg metoclopramide.
Sakit Kepala (Headache) Postspinal. Sakit kepala post operasi pada pasien yang
mendapat spinal anestesia spinal sering dikeluhkan. Insidennya bervariasi dari tahun
ke tahun sekitar 0.2% sampai 24%.7 Kejadiannya lebih sering pada wanita muda dan
pada kasus–kasus obstetrik. Disebutkan juga bahwa ukuran dari jarum spinal yang
dipakai terutama pada penggunaan jarum yang besar sering menyebabkan hal ini.
Gambaran klinik, dari anamnesis nyeri terjadi setelah dilakukan anestesia
spinal akan sangat menolong dalam mendignosa pasien postspinal headache. Nyeri
terjadi biasanya dalam beberapa jam setelah dilakukan punksi atau hari pertama atau
kedua setelah dilakukannya punksi. Nyeri dirasakan di frontal dan osipital sering juga
sampai ke leher dan pundak. Beratnya nyeri yang dirasakan dari sedang sampai tidak
dapat diterangkan oleh pasien, nyeri akan memberat jika berubah posisi misalnya dari
posisi duduk ke berdiri, atau pasien batuk batuk, dan tegang tetapi nyeri akan
dirasakan berkurang bahkan menghilang jika berbaring. Gejala lain yang menyertai
35
seperti perasaan mual sampai muntah–muntah, berkurangnya nafsu makan fotofobia,
tinitus, dan depresi.
Pada kasus yang berat bisa terjadi diplopia dan paralisis dari beberapa saraf
kranialis. Terapi mulai dari terapi konservatif karena terkadang bisa hilang dengan
sendirinya dan juga dianjurkan untuk istirahat total di tempat tidur sekitar 24- 48 jam.
Selain itu pemberian analgetik juga dianjurkan tapi tidak mengatasi penyebab dari
nyeri tersebut. konsep yang masih populer tentang patofisiologi dari hal ini adalah
karena hilang atau menurunnya cairan serebrospinalis melalui tempat punksi dan
berhubungan dengan penurunan tekanan intrakranial. Sehingga terapi secara langsung
dengan memasukkan saline dalam jumlah yang banyak ke ruang epidural, atau dengan
membuat pasien overhidrasi baik melalui oral atau intravena, pemberian obat yang
merangsang produksi tekanan intrakranial, dan antidiuretik.
Pada tahun 1970 DiGiovanni melaporkan 50 pasien yang diberikan injeksi
darah autologus setelah mendapat anestesi spinal. Meskipun ditakuti bisa
menimbulkan infeksi dan kelainan neurologi tapi terapi ini menjadi sangat penting
karena hasilnya cepat dan mudah dilakukan. Teknik dari autologus blood patch ini
mudah dilakukan. tekniknya dengan memasukan jarum needle ke ruang epidural,
kemudian dilanjukan dengan injeksi 5 sampai 10 mg darah yang diambil secara
aseptik dari pasien. darah dapat diambil melalui vena cubiti. setelah injeksi pasien
harus tidur terlentang kurang lebih 30 sampai 60 menit. Keberhasilan dari teknik ini
dikatakan 89% sampai 95%.
Nyeri pinggang (backache). Hal ini sering dikeluhkan oleh pasien–pasien post
operasi yang dilakukan anestesia spinal. Dari literatur angka insiden nyeri pinggang
sekitar 2% sampai 25%.7,8,10 Meskipun jarang tapi mungkin juga diakibatkan oleh
jarum yang dipakai yang melukai jaringan intervertebralis sehingga menimbulkan
nyeri setelah anestesi.6,7,8 Selain itu karena terjadinya pendataran dari tulang belakang
saat tindakan operasi pada posisi terlentang terutama pada pasien dengan lordosis
lumbal menyebabkan terjadinya relaksasi dari otot dan ligamen pada tulang belakang.
Gesekan dari ligamen, kapsul, dan otot menimbulkan nyeri, yang normalnya
berfungsi sebagai pelindung dan membatasi pergerakan antar ruas tulang belakang.
Neuropati. Kerusakan saraf akibat obat anestesia lokal sendiri jarang terjadi.
Walaupun lidokain 5% secara laboratorium bersifat toksik, namun karena terjadi
pengenceran dengan cairan serebrospinal, efek toksiknya dapat dihindari.6 Walaupun
36
dilaporkan pernah terjadi iritasi saraf yang terjadi sementara, namun komplikasi yang
seriun jarang terjadi.
Kerusakan saraf dapat terjadi akibat langsung dari jarum spinal yang melukai
akar saraf dan biasanya ini berhubungan dengan parestesia berat yang terjadi selama
dilakukan anestesia spinal.
Kehilangan Pendengaran. Mekanisme terjadinya belum diketahui secara pasti,
namun diperkirakan terjadi karena penurunan tekanan intrakranial di ruangan
subarakhnoid setelah anestesia spinal yang menyebabkan tarikan pada saraf-saraf
intrakranial. Derajat kehilangan pendengaran adalah ringan sampai sedang, namun
pernah dilaporkan kehilangan pendengaran derajat berat akibat anestesia spinal.6
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah infeksi (meningitis) akibat teknik
anestesia spinal yang tidak mengindahkan prosedur sepsis dan asepsis. Sindroma
kauda ekuina yang meliputi gangguan fungsi buli-buli, gangguan fungsi rektum, dan
gangguan fungsi ekstremitas atas.
DAFTAR PUSTAKA
37
1. Hypertension management. 2009. Available at:
http://www.surgicalcriticalcare.net/Guidelines/Hypertension
%20management%202009.pdf
2. Kaplan MN., Perioperative management of hypertension.
http://www.uptodate.com
3. Wiryana M., 2008. Manajemen perioperatif pada hipertensi.
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/6_manajemen%20perioperatif%20pd
%20hipertensi.pdf
4. Mayell AC. 2006. Hypertension in anaesthesia.
http://www.frca.co.uk/article.aspx?articleid=100656
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua.
Jakarta: Bagian anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: 2010.
6. Brown DL & Wedel DJ. Spinal, Epidural and caudal anesthesia. in: Miller RD.
Editor. Anesthesia. Fourt edition. California, Churchill Livingstone New York,
1990 vol. 2. p. 1505 - 1530
7. Bridenbaugh PO, Greene NM. Spinal (Subarachnoid), Neural blockade. in:
Causins MJ & Bridenbaugh PO, editor. Neural blockade in clinical anesthesia and
management of pain. second edition. Washington, J.B lipincott company; 1988. p.
213 – 248.
8. Cadwel C, Nielson CH, Balth T, Taylor P, Helton B, Butler P. Comparison Of
high dose epineprine and phenilephrine in spinal anesthesia with tetracain.
Anesthesiology 62: 804, 1985.
9. Brown DL & Wedel DJ. Spinal, Epidural and caudal anesthesia. in: Miller RD.
Editor. Anesthesia. Third edition. California, Churchill Livingstone New York,
1990 vol. 2. p. 1377 – 1400.
10. Spencer SL. Local Anesthetics: Clinical Aspects. in: Benzon, Raja, Molloy, Liu,
Fishman. Esentials of Pain Medicine and Regional anesthesia. second edition.
Philadelphia , 2005 p. 559 – 596.
11. Casey WF. Spinal Anaesthesia - a Practical Guide. 2000, Desember 05; Available
at. : http://www.manbit.com/oa/f16-1.htm Accssed november24, 2005
38