case hernia anestesi

58
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt atas segala limpahan rahmat serta karuniaNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Anestesi Spinal pada Pasien Hernia Inguinalis Lateralis Sinistra dengan Hipertensi”. Dalam menyelesaikan laporan kasus ini, kami mendapat bantuan dan bimbingan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. dr. Guntur, Sp.An dan sebagai pembimbing yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan menjalani Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soeselo, Slawi. 2. Staf dan paramedis yang bertugas di Kamar Operasi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soeselo Slawi, khususnya kepada seluruh penata anestesi yang telah membantu selama kami menjalankan kepaniteraan. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap laporan khusus ini dapat memberikan manfaat yaitu menambah ilmu pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk mahasiswa kedokteran dan masyarakat pada umumnya. 1

Upload: evy-liesniawati

Post on 22-Dec-2015

25 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

case hernia anestesi

TRANSCRIPT

Page 1: Case Hernia Anestesi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt atas segala limpahan

rahmat serta karuniaNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus

dengan judul “Anestesi Spinal pada Pasien Hernia Inguinalis Lateralis Sinistra dengan

Hipertensi”. Dalam menyelesaikan laporan kasus ini, kami mendapat bantuan dan

bimbingan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. Guntur, Sp.An dan sebagai pembimbing yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan menjalani

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah dr.

Soeselo, Slawi.

2. Staf dan paramedis yang bertugas di Kamar Operasi Rumah Sakit Umum

Daerah dr. Soeselo Slawi, khususnya kepada seluruh penata anestesi yang

telah membantu selama kami menjalankan kepaniteraan.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak

kekurangan, oleh karena kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis

berharap laporan khusus ini dapat memberikan manfaat yaitu menambah ilmu

pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk mahasiswa kedokteran dan

masyarakat pada umumnya.

Slawi, November 2014

Penulis

1

Page 2: Case Hernia Anestesi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB I LAPORAN KASUS 3

IDENTITAS PASIEN 3

ANAMNESIS 3

PEMERIKSAAN FISIK 4

PEMERIKSAAN PENUNJANG 5

PENATALAKSANAAN 6

BAB II ANALISA KASUS 9

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 12

DAFTAR PUSTAKA 40

2

Page 3: Case Hernia Anestesi

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

RUMAH SAKIT UMUM DR. SOESELO SLAWI

---------------------------------------------------------------------------------------

IDENTITAS PASIEN

Nama : Taharjo

Umur : 69 Tahun

Alamat : Jatinegara

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Perkawinan : Menikah

Pekerjaan : Wiraswasta.

Agama : Islam

No.CM : 171099

I. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Benjolan pada lipatan paha kiri sejak 3 hari yang lalu.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang pada sabtu tanggal 4 oktober 2014 ke Poli Bedah Rumah Sakit

Umum Daerah dr. Soeselo Slawi dengan benjolan pada lipat paha kiri sejak 3 hari

yang lalu. Benjolan telah dirasakan oleh pasien sejak 15 tahun yang lalu. Mula – mula

benjolan hanya sebesar bola pingpong dengan konsistensi lunak dan dapat

digerakkan. Pasien mengaku pada saat itu benjolan tidak terasa sakit dan masih dapat

dimasukkan. Benjolan akan muncul saat pasien sedang mengangkat barang – barang

berat atau batuk lama namun saat berbaring benjolan tidak dirasakan lagi. Benjolan

lama kelamaan dirasakan pasien membesar dan mulai terasa sakit. Pasien

mengeluhkan terasa sakit saat pasien batuk dan mengejan. Pasien menyangkal adanya

demam dan mual muntah. Buang air kecil dan buang air besar lancar. Pasien

menyangkal ada batuk lama sebelumnya.

3

Page 4: Case Hernia Anestesi

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengaku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Pasien memiliki

riwayat dispepsia. Hipertensi tidak terkontrol . Diabetes Mellitus disangkal. Pasien

menyangkal pernah operasi sebelumnya.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama. Riwayat kencing manis,

hipertensi dan keganasan dalam keluarga disangkal.

5. Riwayat Kebiasaan

Pasien merokok sejak masih muda selama 33 tahun dan pasien mampu

menghabiskan 2 bungkus rokok sehari. duduk di sekolah menengah pertama.

II. PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS

Keadaan Umum

Kesan sakit : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda Vital

Tekanan Darah : 160/100mmHg

Nadi : 96x/menit, reguler

Suhu : 36C

Pernapasan : 20x/menit

Kepala : bentuk normochepali, rambut hitam, distribusi merata dan

tidak mudah dicabut

Wajah : Simetris, Pucat (-), Sianosis(-) dan Ikterik (-)

Mata : Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-

Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret -/-, hiperemis

mukosa -/-

Telinga : tidak ada kelainan

Mulut : sianosis (-), lidah tidak kotor

Leher : KGB serta kelenjar tyroid tidak teraba membesar.

Thoraks : Paru : suara nafas vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-

4

Page 5: Case Hernia Anestesi

Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Ekstremitas : Simetris, tidak sianosis, pitting oedem -/-, akral hangat.

Abdomen

Inspeksi : Simetris, perut buncit, efloresensi (-), spider nevi (-).

Auskultasi : Bising usus normal.

Palpasi : supel, defans muscular (-), smiling umbilicus (-), dilatasi

pembuluh darah(-)

Perkusi : Timpani.

STATUS LOKALIS

Regio Genitalia

Inspeksi : tampak ada benjolan pada paha sinistra, ukuran sebesar buah

salak , bentuk benjolan lonjung.

Palpasi : konsistensi benjolan lunak, permukaan benjolan rata, benjolan

tidak dapat ditekan masuk ke arah perut, benjolan dapat digerakkan, nyeri tekan

(-), teraba hangat

Auskultasi : bising usus (+).

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. LABORATORIUM

Hematologi

Leukosit 9.2 103/uL

Eritrosit 3.8 106/uL

Hemoglobin 11.7 %

Hematokrit 33

APTT 27.0 detik

PT 13.3 detik

Golongan darah A

Rhesus factor Positif

Gula darah sewaktu 103

Ureum 47.5

Kreatinin 0.86

5

Page 6: Case Hernia Anestesi

Albumin 3.05

SGOT 13

SGPT 6

IV. ASSESSMENT

Tn. Sohidin, 43 tahun dengan diagnosis Hernia Inguinalis Lateralis Reponible

Sinistra , dengan vital sign tekanan darah 160/100 mmHg dan yang lain dalam

batas normal. Laboratorium: leukosit 10.4 103/uL, Eritrosit 5.6 106/uL, Hb

16.2 %, APTT test 28.8 detik dan PT test 11.1, gula darah sewaktu 103,

ureum 47.5, kreatinin 0.86 SGPT 6 dan SGOT 13. Radiologi tidak ada

kelainan. Status ASA II dengan riwayat hipertensi (+) tidak terkontrol. Akan

dilakukan spinal anestesi.

V PENATALAKSANAAN

1. Persiapan operasi

a. Persetujuan operasi tertulis (informed consent) ( + )

b. Puasa 6-8 jam (+)

c. Oksigenasi 3 L/ menit

d. Pemasangan IV line memakai abocath nomor 20 dan tranfusi set

dengan Ringer laktat

e. Pemasangan kateter urin dan disambungkan dengan urine bag

2. Jenis anestesi : Anestesi regional

3. Teknik anestesi : Spinal anestesi, L3-L4, LCS (+)

4. Premedikasi : Ondancetron 4 mg/2 ml, fortanest 40 mg

5. Induksi : Bupivacaine HCl 5mg/ml; 3ml

6. Maintenance : Oksigen 3L/menit

7. Monitoring : Tanda vital selama operasi berlangsung setiap 5 menit,

cairan,

6

Page 7: Case Hernia Anestesi

dan perdarahan

8. Pengawasan pasca anestesi di ruang pulih sadar

MONITORING

JAM TD HR SpO2 Keterangan

09.00 180/95 mmHg 100 x/menit 100 % Ondancentron 4 mg

09.05 160/80 mmHg 90x/menit 100% Bupivacaine HCl 5mg/ml à3 ml

Mulai operasi

09.10 140/85 mmHg 86 x/menit 99% Mulai operasi

09.15 136/80 mmHg 96 x/menit 99 %

09.20 125/62 mmHg 104 x/menit 100 % RL 500cc

09.25 120/57 mmHg 104 x/menit 99 %

09.30 115/56 mmHg 100 x/menit 99 %

09.35 113/63 mmHg 104 x/menit 99%

09.40 118/71 mmHg 100 x/menit 99% • RL 500 cc

09.45 125/68 mmHg 100 x/menit 100%

09.50 130/72 mmHg 104 x/menit 100% Ketorolac 30 mg

09.55 136/80 mmHg 104x/menit 99% Operasi Selesai

10.00 138/80 mmHg 104x/menit 100% • RR

• Nilai Aldrete’s score

10.05 • Pasien dipindahkan ke

bangsal

10.10 • BU (+)

POST OPERASI: TD : 138/80 mmHg

7

Page 8: Case Hernia Anestesi

N : 100 x/menit

RR : 20 x/menit

Aldrete’s score: 9

Instruksi post operasi :

• Infus RL 20 tpm

• Medikamentosa:

- Injeksi Ceftriaxon 1x2gr

- Injeksi Ketorolac 3x30 mg

- Injeksi Ranitidin 2x50 mg

- Awasi TV 24 jam

Bila sadar penuh, mual muntah (-), pusing (-), BU (+) à diet biasa bertahap

BAB II

ANALISIS KASUS

8

Page 9: Case Hernia Anestesi

Berdasarkan anamnesis dan riwayat pasien, maka pasien dapat

diklasifikasikan dengan ASA II, yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan dan

tidak ada keterbatasan fungsi. Persiapan yang dilakukan sebelum operasi yaitu

memastikan pasien dalam keadaan sehat, memasang infus, dan dalam keadaan puasa

selama 6-8 jam sebelum operasi. Menjelang operasi pasien dalam keadaan tampak

sakit sedang dan kesadaran compos mentis. Jenis anestesi yang akan dilakukan adalah

regional anestesi dengan teknik spinal anestesi subarachnoid block sit position. Blok

subarachnoid adalah blok regional yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat

anestetik local ke dalam ruang sub arachnoid pada celah interspinosum L3-L4 atau

melalui tindakan pungsi lumbal.

Indikasi dilakukannya anestesi spinal sub arachnoid adalah untuk pembedahan

daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah yaitu daerah abdominal dan

inguinal,daerah anorektal dan genitalia eksterna serta daerah ekstremitas inferior.

Adapun beberapa kontra indikasi pada penggunaan teknik anestesi spinal sub

arachnoid yang terbagi menjadi kontra indikasi absolut dan relative. Kontra indikasi

absolut meliputi pasien yang menolak, infeksi di daerah lumbal, syok hipovolemia,

koagulopati atau mendapat terapi koagulan, tekanan intracranial tinggi, fasilitas

resusitasi minim, kurang pengalaman atau tanpa pendampingan dari konsultan

anesthesia. Sedangkan untuk kontra indikasi relative yaitu infeksi sistemik (sepsis,

bakteriemi), kelainan neurologis, kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung dan

nyeri punggung kronis.

Dari anamnesis didapatkan pasien pria usia 43 tahun dengan benjolan pada

lipatan paha kiri membesar dan nyeri, diagnosis preoperative pasien adalah hernia

inguinalis lateralis sinistra. Pasien direncanakan untuk operasi herniotomy.

Sebelum operasi dimulai, pasien dipersiapkan terlebih dahulu dengan

memastikan infus berjalan lancar agar obat-obatan yang diberikan melalui jalur

intravena dapat bekerja secara efektif, lalu memasang alat-alat yang berhubungan

dengan tanda vital yaitu tensimeter dan saturasi O2 agar dapat dimonitor selama

operasi berlangsung, karena obat anestesi dapat memengaruhi tekanan darah dan

suplai oksigen pasien. Setelah itu dipastikan bahwa pasien dalam keadaan tenang dan

kooperatif.

Kemudian dilakukan anestesi terhadap pasien menggunakan obat Bupivacaine

5mg/ml, yaitu anestesi local yang bekerja memblok konduksi impuls saraf dengan

meningkatkan ambang eksitasi listrik pada saraf, dengan memperlambat penyebaran

9

Page 10: Case Hernia Anestesi

impuls, juga mengurangi laju kenaikan potensial aksi. Bupivacaine mengikat bagian

saluran intraseluler natrium dan memblok masuknya natrium ke dalam sel saraf

sehingga mencegah depolarisasi, dengan sifat reversible. Bupivacaine memiliki onset

cepat dan masa kerja panjang. Kadar puncak bupivacaine dalam darah tercapai dalam

30-45 menit setelah injeksi, dan mengalami penurunan kadar sampai tidak bermakna

dalam waktu 3-6 jam. Indikasi bupivacain spinal adalah untuk anesthesia local atau

regional, dengan dosis 5ml untuk blok saraf perifer, 10-20ml untuk blok epidural dan

15-30ml untuk blok kaudal.

Pasien diberikan obat premedikasi yaitu Ondansetron 4 mg secara bolus IV,

agar dapat mengurangi rangsang muntah pada pasien akibat obat-obat anestesi lainnya

yang akan diberikan. Ondansetron adalah suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3

selektif. Serotonin 5-hydroxytriptamine merupakan zat yang akan dilepaskan jika

terdapat toksin dalam saluran cerna, berikatan dengan reseptornya dan akan

merangsang saraf vagus menyampaikan rangsangan ke CTZ (chemoreceptor trigger

zone) dan pusat muntah, sehingga terjadi mual & muntah.

Setelah operasi selesai, pasien diberikan Ketorolac 30 mg secara bolus IV

untuk mengurangi rasa sakit pasca operasi. Pasien dipindahkan ke recovery room

untuk dilakukan pemantauan sebelum dibawa kembali ke ruangan.

Terapi Cairan Intra-Operatif

Kebutuhan cairan

Jumlah kebutuhan cairan pemeliharaan dewasa = 1,5 – 2 ml/kg BB

Maka pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan pemeliharaan adalah

2x 68 kg = 136 cc

Kebutuhan Cairan Operasi (O):

Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang peritoneum, ruang

ketiga, atau luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung pada besar kecilnya

pembedahan, 6-8 ml/kg untuk operasi besar, 4-6 ml/kg untuk operasi sedang,

dan 2-4 ml/kg untuk operasi kecil.

Pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan operasinya adalah sebagian

berikut:

Operasi sedang x berat badan = 6 ml x 68 kg = 408 cc

10

Page 11: Case Hernia Anestesi

Kebutuhan Cairan Puasa (P)

Lama puasa x kebutuhan cairan basal

= 8 jam x 138 cc = 1.104 cc

Pemberian cairan jam pertama:

Kebutuhan cairan + kebutuhan cairan operasi + 50% kebutuhan cairan puasa

= 138 cc + 408 cc + 552 cc = 1.098 cc

Cairan pengganti darah

Estimated Blood Volume (EBV) dewasa = 70cc/kgBB.

EBV pada pasien 70x68 = 4760. Jumlah perdarahan selama operasi

berlangsung = 100cc

Presentase perdarahan yang terjadi selama operasi = 2,1%

Selama puasa dan operasi pasien telah diberikan cairan RL 500cc sebanyak 3

kali maka total terapi cairan yang paisen dapat adalah 1500 cc, maka terapi

cairan pasien terpenuhi.

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

ANESTESI PADA HIPERTENSI

11

Page 12: Case Hernia Anestesi

Diagnosis dan Klasifikasi Hipertensi

Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya

peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan

berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal yang

diijinkan adalah sebagai berikut :

Dewasa 140/90 mmHg

Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg

Anak usia prasekolah 85/55 mmHg

Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg

M e n u r u t T h e J o i n t N a t i o n a l C o m m i t t e e 7 ( J N C 7 ) o n

p r e v e n t i o n , d e t e c t i o n , evaluation, and treatment of high blood

pressure tahun 2003, klasifikasi hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi

derajat 1 dan 2 (lihat tabel 1)

Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7.

K la s i f i ka s i d i a t a s un tuk dewasa 18 t ahun ke a t a s . Has i l

pengukuran TD dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan

waktu pengukuran, emosi, a k t i v i t a s , o b a t y a n g s e d a n g

d i k o n s u m s i d a n t e k n i k p e n g u k u r a n T D . K r i t e r i a ditetapkan

12

Page 13: Case Hernia Anestesi

setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya

riwayat peningkatan TD darah sebelumnya. Penderita dengan klasifikasi

prehipertensi mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi

hipertensi. Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali

berkembang menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari

nilai itu.

Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau

tekanan  darah diastolik > 90 mmHg .1 Hipertensi yang sudah ada dapat menyebabkan

berbagai tanggapan kardiovaskular yang berpotensi meningkatkan resiko

pembedahan, termasuk disfungsi diastolik dari hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi

sistolik menyebabkan gagal jantung kongestif, kerusakan ginjal, dan otak dan

penyakit occlusive koroner. Tingkat risiko tergantung pada tingkat keparahan

hipertensi.2 Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan

menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup empat hal dasar yang harus dicari,

yaitu jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya, penilaian

ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi, penilaian yang

akurat tentang status volume cairan tubuh penderita dan penentuan kelayakan

penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan

yang memerlukan teknik hipotensi.3 Selama operasi, pasien dengan dan tanpa

hipertensi memiliki kemungkinan untuk terjadinya peningkatan tekanan darah dan

tachycardia selama induksi anestesi. Prediktor umum hipertensi perioperatif adalah

memiliki riwayat hipertensi sebelumnya, terutama tekanan darah diastolik lebih besar

dari 110 mm Hg. Sedangkan prinsip umum dalam pemberian anestesi pada pasien

hipertensi adalah menjaga stabilitas kardiovaskular selama anestesi dan periode

perioperatif. Pasien dengan hipertensi memiliki resiko perubahan tekanan darah lebih

besar daripada populasi normal dan telah terbukti bahwa ketidakstabilan tekanan

darah dapat dikaitkan dengan morbiditas kardiovaskular dan peningkatan  kematian

pasca operasi, terutama pada pasien dengan hipertensi berat yang  tidak terkontrol.

Pasien yang memiliki hipertensi, membutuhkan tekanan darah yang lebih tinggi untuk

perfusi organ yang memadai daripada pasien dengan normotensi (terutama  pada

orang tua).  Menghindari hipotensi (dan normotension pada pasien yang biasanya

memiliki angka tekanan darah yang tinggi dalam kesehariannya), dapat mencegah

13

Page 14: Case Hernia Anestesi

komplikasi akibat perfusi yang kurang, terutama untuk mengontrol hemodinamik.

Hipertensi pasca operasi yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 190 mm

Hg dan / atau diastolik 100 mm Hg di dua pembacaan berturut-turut setelah operasi,

mungkin memiliki gejala sisa yang secara signifikan merugikan pada kedua jantung

dan noncardiac pasien. Hipertensi, dan krisis hipertensi, sangat umum  pada periode

pascaoperasi awal dan terkait dengan tonus simpatik yang meningkat dan resistensi

pembuluh darah. Hipertensi pascaoperasi sering dimulai sekitar 10-20 menit setelah

operasi dan dapat berlangsung sampai 4 jam. Jika tidak diobati, pasien akan

meningkatkan risiko untuk pendarahan, peristiwa serebrovaskular, dan infark

miokard.4

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa

sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya

penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD

110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia

atau operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan

tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring

dengan pe r t ambahan umur , d imana pe rubahan i n i l eb ih d i anggap

s ebaga i pe rubahan f i s i o log ik d iband ingkan pa to log ik . Namun

bebe rapa ah l i menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar

risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler  d iband ingkan

h ipe r t ens i d i a s to l i k . Pendapa t i n i muncu l ka r ena da r i ha s i l s t ud i

m e n u n j u k k a n b a h w a t e r a p i y a n g d i l a k u k a n p a d a

h i p e r t e n s i s i s t o l i k d a p a t menurunkan r i s i ko t e r j ad inya

s t roke dan MCI pada popu l a s i yang be rumur t ua . D a l a m b a n y a k

u j i k l i n i k , t e r a p i a n t i h i p e r t e n s i p a d a p e n d e r i t a h i p e r t e n s i

a k a n menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai

20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%.

Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi

khususnya p a d a p a s i e n d e n g a n k a s u s h i p e r t e n s i y a n g r i n g a n

s a m p a i s e d a n g . N a m u n pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk

menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai

efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit

hipertensinya itu sendiri.

14

Page 15: Case Hernia Anestesi

Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya

kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan

sebelum operasi. The American Hea r t Assoc i a t i on / Amer i can Co l l ege

o f Ca rd io logy (AHA/ACC) menge lua rkan acuan bahwa TD sistole

180 mmHg dan/atau TD diastole 110 mmHg sebaiknya dikontrol s ebe lum

d i l akukan ope ra s i , t e rkecua l i ope ra s i be r s i f a t u rgens i . Pada

keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam

beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi

yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung

mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Pasien

hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik

akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol

dengan baik.

Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah

sama pen t i ngnya dengan pengon t ro l an h ipe r t ens i pada pe r i ode

p r eope ra t i f . Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan

autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini

akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD

diturunkan secara tiba-tiba. Terapi  j a n g k a p a n j a n g d e n g a n o b a t

a n t i h i p e r t e n s i a k a n m e n g g e s e r k e m b a l i k u r v a a u t r e g u l a s i

k e k i r i k e m b a l i k e n o r m a l .

A n e s t e s i a a m a n j i k a d i p e r t a h a n k a n d e n g a n b e r b a g a i

t e k n i k t a p i d e n g a n memperha t i kan ke s t ab i l an hemod inamik

yang k i t a i ng inkan . A n e s t e s i a r e g i o n a l d a p a t dipergunakan

sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anesthesia regional

sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada

pa s i en dengan keadaan h ipovo l emia .

Hipertensi Intraoperatif

Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga

pada periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif

yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan

15

Page 16: Case Hernia Anestesi

antihipertensi secara parenteral, namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa

diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea

harus disingkirkan terlebih dahulu.

Manajemen Post Operatif

Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien

yang mende r i t a h ipe r t ens i e s ens i a l . H ipe r t ens i dapa t

men ingka tkan kebu tuhan oks igen mioka rd s eh ingga be rpo t ens i

menyebabkan i skemia mioka rd , d i s r i tm ia  jantung dan CHF.

Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan u l ang l uka

ope ra s i ak iba t t e r j ad inya d i s rups i va sku l e r dan dapa t

be rkons t r i bus i m e n y e b a b k a n h e m a t o m a p a d a d a e r a h l u k a

o p e r a s i s e h i n g g a m e n g h a m b a t penyembuhan luka operasi.

Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping

secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan

baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, ove r l oad

ca i r an a t au d i s t ens i da r i kandung kemih . Sebe lum d ipu tu skan

un tuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut

harus d iko reks i du lu .

Nye r i me rupakan s a l ah s a tu f ak to r yang pa l i ng be rkons t r i bus i

menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri

sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infuse

kon t i nyu . Apab i l a h ipe r t ens i mas ih ada mesk ipun nye r i sudah

t e r a t a s i , maka i n t e rvens i s eca r a f a rmako log i ha rus s ege ra

d i l akukan dan pe r l u d i i nga t bahwa meskipun pasca operasi TD

kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat

hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan.

Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara

parenteral misalnya dengan beta blocker yang terutama digunakan untuk

menga t a s i h ipe r t ens i dan t ak ika rd i a yang t e r j ad i . Apab i l a

penyebabnya ka rena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan

apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-

inhibitor. Pasien dengan iskemia m i o k a r d y a n g a k t i f s e c a r a

l a n g s u n g m a u p u n t i d a k l a n g s u n g d a p a t d i b e r i k a n nitrogliserin

16

Page 17: Case Hernia Anestesi

dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi

beratsebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita

sudah bias m a k a n d a n m i n u m s e c a r a o r a l s e b a i k n y a

a n t i h i p e r t e n s i s e c a r a o r a l s e g e r a dimulai.

SPINAL ANASTESI

Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang

subarackhnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal

ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai

analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.

Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kulis à

subkutis à Lig. Supraspinosum à Lig. Interspinosum à Lig. Flavum à ruang

epidural à durameter à ruang subarachnoid.

Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinal,

dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa

berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena itu,

anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-

L3 atau L3-L4 atau L4-L5.5

17

Page 18: Case Hernia Anestesi

Figure 43-1 Spinal cord anatomy. Notice the termination of the spinal cord (i.e.,

conus medullaris) at L1–2 and the

termination of the dural sac at S2 (see Plate 6 in the color atlas of this volume)

Farmakologi

Obat Anestesia Lokal Yang Digunakan

Obat anestesia lokal yang disuntikkan ke dalam ruangan subarakhnoid akan

mengalami pengenceran oleh cairan serebrospinal, menyebar baik ke kranial maupun

ke kaudal dan kontak dengan radiks medula spinalis yang belum mempunyai

selubung myelin. Obat anestesia lokal tidak boleh mengandung bahan (material) yang

mempunyai efek iritasi pada radiks dan medula spinalis. Obat yang dipakai untuk

anestesia spinal adalah obat yang khusus.

Penggunaan obat-obatan anestesia lokal yang umum dipakai dalam anestesia

spinal harus diikuti dengan pertimbangan-pertimbangan seperti distribusi dari obat

dalam cairan serebrospinalis (level dari anestesia), ambilan obat oleh elemen-elemen

saraf pada ruang subarakhnoid (tipe dari saraf yang terblok), dan eliminasi obat dari

18

Page 19: Case Hernia Anestesi

ruangan subarakhnoid (duration of action).6 Terdapat beberapa macam obat anestesia

lokal yang sering dipakai pada anestesia spinal seperti prokain, lidokain (Xylocaine),

tetrakain (Pantocaine), bupivakain (Marcaine atau Sensorcaine), dan dibukain

(Cinchorcaine).6 Prokain dan lidokain bersifat short-intermediate acting, sedangkan

tetrakain, bupivakain dan dibukain mempunyai sifat intermediate-long duration.6

Prokain. Menghasilkan anestesia spinal dengan onset efek sekitar 3 sampai 5 menit

dengan durasi antara 50-60 menit.7 Di Amerika Serikat, prokain untuk anestesia spinal

terdapat dalam sediaan ampul sebanyak 2 ml larutan 10%. Jika dilarutkan dengan

cairan serebrospinal dalam jumlah yang sama menghasilkan larutan prokain 5% yang

mempunyai berat hampir sama dengan cairan serebrospinal dan jika dicampur dengan

glukosa 10% dalam jumlah yang sama akan menghasilkan larutan yang lebih berat

dari cairan serebrospinal. Larutan prokain 2,5% dalam air lebih banyak digunakan

sebagai diagnostik dibandingkan dengan anestesia spinal untuk operasi. Dosis yang

disarankan berkisar antara 50-100 mg untuk operasi daerah perineum dan ekstremitas

inferior dan 150-200 mg untuk operasi abdomen bagian atas.

Lidokain. Juga mempunyai onset anestesia spinal dalam 3 sampai 5 menit dengan

durasi yang lebih lama dari prokain yaitu 60-90 menit.7 Lidokain yang dipakai untuk

anestesia spinal adalah larutan 5% dalam glukosa 7,5%. Dosis yang biasa digunakan

adalah 25-50 mg untuk operasi perineum dan saddle block anesthesia dan 75-100 mg

untuk operasi abdomen bagian atas.

Tetrakain. Obat ini mempunyai onset anestesia dalam 3 sampai 6 menit dengan

durasi yang lebih lama dibandingkan dengan prokain dan lidokain (210-240 menit).7

Tetrakain tersedia dalam bentuk ampul berisi kristal 20 mg dan dalam ampul sebesar

2 ml larutan 1% dalam air. Larutan 1%, jika dicampur dengan glukosa 10% dalam

jumlah yang sama (tetrakain 0,5% dalam 5% glukosa) digunakan secara luas untuk

anestesia spinal dimana mempunyai berat yang lebih besar daripada cairan

serebrospinal. Dosis yang digunakan berkisar antara 5 mg untuk operasi daerah

perineum dan ekstremitas inferior dan 15 mg untuk operasi abdomen bagian atas.

Bupivakain. Obat ini menghasilkan onset anestesia spinal dalam waktu 5 sampai 8

menit. Durasi anestesia yang dihasilkan sama dengan tetrakain. Di Australia dan

kebanyakan negara eropa, larutan 0,5% hipobarik atau hiperbarik telah digunakan

sebagai anestesia spinal. Dosis yang direkomendasikan berkisar antara 8-10 mg untuk

19

Page 20: Case Hernia Anestesi

operasi perineum dan ekstremitas inferior dan 15-20 mg untuk operasi abdomen

bagian atas.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel 2.2 di bawah tentang dosis obat

anestesia lokal yang digunakan untuk mencapai ketinggian blok yang diinginkan.

Tabel 2.2 Obat-obatan Untuk Anestesia Spinal

Obat dan

Konsentrasinya

Dosis (mg) Durasi (menit)

L4 T10 T4 Plain Dengan 0,2 mg

Epinefrin

Prokain (5%)

Lidokain (5%)

Tetrakain (0,5%)

Bupivakain (0,75%)

Dibukain (0,5%)

50-75

25-50

4-6

4-8

4-6

100-150

50-75

6-10

8-12

6-8

150-200

75-100

12-16

14-20

10-15

40-55

60-70

60-90

90-110

150-180

60-75

60-70

120-180

90-110

180-240

Distribusi Obat

Distribusi dari obat anestesia lokal dalam ruangan subarakhnoid mempengaruhi

luasnya blokade saraf yang terjadi pada anestesia spinal.7 Diperhitungkan agar jangka

waktu kerja obat anestesia lokal yang dipakai lebih lama dari waktu yang diperlukan

untuk operasi dan level anestesia yang meliputi seluruh lapangan operasi.

Suatu keadaan yang ekstrim, distribusi larutan anestesia lokal yang

disuntikkan pada celah L3-L4 kemungkinan hanya terbatas sampai akar-akar saraf

sakral atau sacral roots saja.7 Keadaan ekstrim yang lain, larutan anestesia lokal akan

menyebar menghasilkan blokade saraf sakral, lumbar, torakal, bahkan sampai

servikal, walaupun disuntikkan pada tempat yang sama yaitu pada celah L3-L4.

Konsentrasi obat anestesia lokal dalam cairan serebrospinal tidak ditentukan oleh

jarak dari tempat suntikan dilakukan, tetapi ditentukan oleh jarak epicenter yang

mempunyai konsentrasi yang terbanyak. Obat anestesia spinal yang disuntikkan pada

20

Page 21: Case Hernia Anestesi

celah L3-L4 mempunyai episenter di area sakral, pada tempat suntikkan, atau pada

puncak torakal tergantung sejauh mana obat anestesia lokal menyebar di ruangan

subarakhnoid setelah disuntikkan.

Sedikitnya terdapat 23 faktor telah diketahui ikut terlibat dalam menentukan

dimana dan sejauh mana obat anestesia lokal menyebar dalam cairan serebrospinal

seperti dapat dilihat pada tabel 2.3.7 Jika semua faktor yang mempengaruhi distribusi

obat anestesia lokal dalam keadaan konstan, faktor yang tidak mempunyai efek yang

signifikan dalam distribusi termasuk diantaranya tinggi penderita, komposisi dan

sirkulasi dari cairan serebrospinal, konsentrasi obat anestesia lokal dalam larutan yang

disuntikkan. Difusi dari obat anestesia lokal dalam cairan serebrospinal tidak

tergantung dari berat jenis obat, penambahan vasokontriksi, dan sirkulasi cairan

serebrospinal.

Tabel 2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyebaran Obat Anestesia Lokal

Dalam Cairan Serebrospinal

Karakteristik Pasien

o Umur

o Tinggi

o Berat

o Jenis Kelamin

o Tekanan intraabdominal

o Konfigurasi anatomi kolumna vertebralis

o Posisi

Tempat injeksi

Arah dari bevel jarum

Kecepatan injeksi

Difusi

Karakteristik cairan serebrospinal

Karakteristik larutan anestesia

21

Page 22: Case Hernia Anestesi

o Densitas

o Gravitasi spesifik

o Barisitas

Larutan hipobarik, isobarik, atau hiperbarik

Jumlah anestesia

Konsentrasi anestesia

Volume yang diinjeksikan

Penggunaan vasokontriktor

Faktor yang penting yang mempengaruhi penyebaran dari obat anestesia lokal

dalam cairan serebrospinal dan faktor yang sering dimanipulasi untuk memperoleh

ketinggian level anestesia spinal yang dinginkan adalah berat jenis obat anestesia

lokal yang disuntikkan, dosis dan volume obat anestesia, posisi penderita selama dan

sesudah disuntikkan obat.6,7 Berat jenis adalah faktor penting yang mempengaruhi

penyebaran obat anestesia setelah disuntikkan ke dalam cairan serebrospinal. Jika

berat jenis dari larutan sama dengan 1,0 ini disebut sebagai isobarik. Bila lebih besar

dari 1,0 disebut hiperbarik, sedangkan jika kurang dari 1,0 disebut hipobarik.

Larutan Hiperbarik. Dibuat dengan mencampurkan obat anestesia lokal dengan

dekstrose atau glukosa menjadi larutan 5% atau 8%.6,7 Distribusi dari larutan

hiperbarik dipengaruhi oleh posisi penderita selama disuntikkan obat anestesia lokal

dan 20 sampai 30 menit setelah obat disuntikkan. Setelah itu, distribusi tidak

dipengaruihi lagi secara signifikan. Pada posisi berbaring atau supine position,

kelengkungan vertebra mempengaruhi penyebaran dari obat anestesia lokal, oleh

karena itu larutan hiperbarik yang disuntikkan pada puncak kelengkungan lumbal

akan mengalir ke kaudal sampai kelengkungan sakral dan yang lebih penting ke arah

kranial sampai titik terendah dari kelengkungan torakal. Penyuntikkan larutan

hiperbarik pada penderita dengan posisi duduk menyebabkan pengumpulan atau

pooling obat di daerah lumbosakral menghasilkan “saddle block” yang biasa

dilakukan pada operasi di daerah perineal dan perianal pada posisi litotomi.6

Larutan Isobarik. Keuntungan klinik yang penting dalam penggunaan larutan yang

isobarik adalah posisi penderita selama dan setelah disuntikkan obat anestesia lokal

tidak berpengaruh terhadap distribusi anestesia karena itu tidak berpengaruh terhadap

22

Page 23: Case Hernia Anestesi

ketinggian blok yang tercapai.6,7 Penyuntikkan obat anestesia dapat dilakukan pada

sembarang posisi dan penderita dapat ditempatkan pada meja operasi tanpa

mempengaruhi level anestesia. Larutan isobarik berguna jika level anestesia yang

diperlukan hanya sampai T10 atau dibawahnya. Untuk menghasilkan level anestesia

pada pertengahan torakal atau lebih tinggi diperlukan dosis dan volume obat anestesia

yang besar, namun hal ini jarang dilakukan.

Larutan Hipobarik. Dibuat dengan mencampurkan obat anestesia lokal dengan air

terdestilasi.6,7 Ideal digunakan pada prosedur operasi dengan posisi kepala penderita

dibawah (prone jackknife) atau pada posisi lateral dimana sisi operasi nondependen.

Dapat disuntikkan pada posisi yang diinginkan pada saat operasi sehingga

meminimalkan perubahan posisi setelah induksi anestesia spinal. Larutan hipobarik

biasa digunakan pada operasi perineal dan rektal yang dilakukan pada posisi prone

jackknife. Larutan hipobarik juga penting untuk anestesia unilateral rendah, terutama

pada opreasi ekstremitas bawah. Larutan ini tidak direkomendasikan untuk prosedur

intraabdominal. Posisi kepala lebih diatas atau head up position yang dilakukan untuk

memperoleh ketinggian level anestesia yang cukup dapat berbahaya jika terjadi

denervasi simpatis yang luas.7

Penyerapan Obat Anestesia Lokal

Penyerapan atau uptake obat anestesia lokal ke dalam jaringan saraf dalam ruangan

subarakhnoid selama anestesia spinal bergantung pada 4 faktor yaitu konsentrasi

anestesia lokal dalam cairan serebrospinal, area permukaan saraf yang terpapar cairan

serebrospinal, kandungan lemak jaringan saraf, dan aliran darah yang menuju jaringan

saraf.7

Penyerapan obat anestesia lokal akan lebih besar apabila konsentrasi obat

anestesia lokal pada cairan serebrospinalis juga lebih besar.7 Proses penyerapan

anestesia lokal di cairan serebrospinalis terjadi seiring dengan jalannya akar saraf

berawal dari medula spinalis yang kemudian melewati ruang subarakhnoid menuju

tempat keluarnya melewati duramater. Medula spinalis juga menyerap obat anestesia

lokal melalui 2 proses salah satunya adalah proses difusi dari anestesia lokal melewati

gradien konsentrasi dari cairan serebrospinalis melalui piamater menuju ke tabung

saraf. Hal ini merupakan proses yang berjalan lambat melibatkan hanya bagian

superfisial dari tabung saraf, dan proses yang lainnya melibatkan perpanjangan dari

23

Page 24: Case Hernia Anestesi

ruang subarakhnoid yang dikenal dengan nama ruangan Virchow-Robin, yang

kemudian diikuti oleh penetrasi ke dalam pembuluh darah di piamater menuju medula

spinalis. Melalui ruangan Virchow-Robin anestesia lokal pada cairan serebrospinalis

dapat mencapai struktur yang lebih dalam dari tabung saraf. Jika jalan ini hanya

merupakan satu-satunya faktor yang menentukan konsentrasi obat anestesia lokal

pada jaringan maka konsentrasinya pada medula spinalis mungkin akan lebih rendah

daripada yang ditemukan pada akar saraf. Tetapi kenyataannya, konsentrasi obat

anestesia lokal ditemukan lebih besar pada medula spinalis. Hal ini karena peranan

dari kandungan lemak yang menentukan penyerapan dari obat anestesia lokal.

Sejak diketahui bahwa obat anestesia lokal lebih larut dalam lemak daripada

dalam air, maka jaringan yang memiliki selubung myelin yang sangat tebal dalam

ruangan subarakhnoid yang mengandung lemak yang sangat besar diharapkan

memiliki konsentrasi obat anestesia lokal yang lebih besar.

Penyerapan obat anestesia lokal oleh jaringan saraf dan pembuluh darah dalam

ruang subarakhnoid menyebabkan berkurangnya konsentrasi obat anestesia lokal

dalam cairan serebrospinalis. Distribusi, penyerapan dan eliminasi obat anestesia

lokal menyebabkan penurunan konsentrasi obat anestesia lokal sampai pada titik

tertentu dalam cairan serebrospinalis dimana larutan yang tersisa sebelumnya

hiperbarik mendekati isobarik. Jika titik tersebut tercapai (sekitar 30-35 menit dengan

lidokain), perubahan dari posisi pasien yang diberikan larutan hiperbarik tidak lagi

mempengaruhi konsentrasinya dalam cairan serebrospinalis. Level dari anestesia

menjadi terfiksasi dan perubahan dari posisi pasien tidak akan merubah level

anestesia.

Eliminasi Obat Anestesia Lokal

Laju eliminasi obat anestesia lokal menentukan durasi anestesia spinal.

Eliminasi tidak termasuk proses metabolisme obat anestesia lokal dalam ruang

subarakhnoid. Eliminasi dimulai oleh absorbsi pembuluh darah dan dicerminkan oleh

level sistemik dalam darah dari obat anestesia lokal yang disuntikkan secara

intratekal.

Eliminasi melalui absorbsi oleh pembuluh darah terjadi dalam 2 area yaitu

ruang epidural dan ruang subarakhnoid. Karena perfusi vaskular dari tabung saraf

24

Page 25: Case Hernia Anestesi

bervariasi di masing-masing area, maka laju eliminasi dan konsentrasinya juga

bervariasi. Laju eliminasinya dalam ruang subarakhnoid tergantung dari permukaan

absorbsi vaskular pada area yang terpapar.

Larutan yang mengandung lemak juga mempengaruhi eliminasi obat anestesia

lokal. Kandungan lemak dari obat anestesia lokal berhubungan secara langsung

dengan durasi kerjanya. Makin ketat ikatannya dengan lemak, makin susah untuk

diabsorbsi oleh vaskular sehingga makin lama dipindahkan dari tempat kerjanya.

Penurunan aliran darah dalam medula spinalis juga mengurangi laju eliminasi obat

anestesia lokal sehingga memperpanjang durasi kerjanya. Penggunaan vasokontriksi

seperi epinefrin dan fenilefrin juga menyebabkan penurunan laju eliminasi obat

anestesia lokal sebagai akibat dari vasokontriksi pembuluh darah intratekal.

Respon Fisiologis Pada Anestesia Spinal

Penyuntikkan obat anestesia lokal ke dalam ruangan subarakhnoid menghasilkan

respon fisiologis yang penting dan luas.7 Respon fisiologis yang terjadi kadang

dibingungkan dengan komplikasi dari teknik anestesia spinal. Pemahaman terhadap

etiologi dari efek fisiologis yang terjadi menjadi kunci dalam manajemen pasien

selama anestesia spinal dan mengerti indikasi dan kontraindikasi dari anestesia spinal.

Efek Pada Kardiovaskular. Salah satu respon fisiologis yang penting terjadi pada

anestesia spinal adalah pada sistem kardiovaskular.7 Efek yang terjadi sama dengan

pada penggunaan kombinasi obat α-1 dan β-adrenergic blockers, dimana nadi dan

tekanan darah menjadi turun sehingga terjadilah hipotensi dan bradikardi. Hal ini

karena blok simpatis yang terjadi pada anestesia spinal.6,7 Level blok simpatis

mempengaruhi respon kardiovaskular pada anestesia spinal, dimana semakin tinggi

blok saraf yang terjadi semakin besar pengaruhnya terhadap parameter

kardiovaskular.7

Hipotensi yang terjadi berhubungan dengan penurunan cardiac output (CO)

dan systemic vascular resistance (SVR). Blok simpatis menyebabkan vasodilatasi

baik pada arteri maupun vena, namun karena jumlah darah pada vena lebih besar

(kurang lebih 75% dari total volume darah) dan otot dinding pembuluh darahnya lebih

tipis dibandingkan dengan arteri, efek venodilatasi yang terjadi lebih dominan.7

Akibat dari venodilatasi terjadi redistribusi darah ke splanknik dan ekstremitas

25

Page 26: Case Hernia Anestesi

inferior yang menyebabkan venous return atau aliran darah balik vena menuju jantung

berkurang sehingga CO menurun.7,8 Pada pasien muda yang sehat, SVR hanya

menurun 15-18%, walaupun terjadi blok simpatis yang signifikan.8

Bradikardi yang terjadi selama anestesia spinal terutama pada blok tinggi

disebabkan oleh blokade pada cardioaccelerator fibers yang terdapat dari T1 sampai

T4.7,8 Bradikardi juga terjadi sebagai respon terhadap penurunan tekanan pada atrium

kanan akibat pengisian atrium yang berkurang menyebabkan penurunan peregangan

pada reseptor kronotropik yang terdapat pada atrium kanan dan vena-vena besar.

Efek Pada Respirasi. Perubahan variabel pulmonal pada pasien sehat selama

anestesia spinal mempunyai konsekuensi klinis yang kecil. Volume tidal tidak

berubah selama anestesia spinal tinggi, dan kapasitas vital hanya berkurang sedikit

dari 4,05 menjadi 3,73 liter.8 Penurunan kapasitas vital lebih disebabkan oleh

penurunan expiratory reserve volume (ERV) akibat dari paralisis otot-otot abdomen

yang penting pada ekspirasi paksa diabandingkan dengan penurunan fungsi saraf

frenikus atau diafragma. Henti nafas yang terjadi pada anestesia spinal tidak

berhubungan dengan disfungsi saraf frenikus atau diafragma, namun disebabkan oleh

hipoperfusi pada pusat pernafasan di medula oblongata. Hal yang mendukung

pernyataan tersebut adalah kembalinya pernafasan pasien apneu setelah mendapatkan

resusitasi yang cukup baik secara farmakologi ataupun dengan pemberian cairan

untuk meningkatkan cardiac output dan tekanan darah.

Hal yang penting diperhatikan dalam hubungannya dengan terjadinya paralisis

otot pernafasan pada anestesia spinal adalah otot-otot ekspiratori, karena jika terjadi

paralisis pada otot-otot tersebut, kemampuan batuk dan pembersihan sekresi bronkus

menjadi terganggu.8

Efek Pada Gastrointestinal. Organ lain yang dipengaruhi selama anestesia spinal

adalah traktus gastrointestinal. Mual dan muntah terjadi pada 20% pasien yang

mendapatkan anestesia spinal dan hal ini berhubungan dengan terjadinya

hiperperistaltik gastrointestinal akibat dari aktivitas parasimpatis (vagus) dan relaksasi

dari spinkter yang terdapat pada traktus gastrointestinal.7 Atropin efektif mengurangi

mual dan muntah pada anestesia subarakhnoid yang tinggi (sampai T5). Dilain pihak,

kombinasi dari usus yang berkontraksi dan relaksasi dari otot-otot abdominal

26

Page 27: Case Hernia Anestesi

memberi keuntungan karena hal ini menyebabkan terciptanya kondisi yang bagus

untuk operasi.8

Efek Pada Fungsi Ginjal. Aliran darah ginjal seperti halnya aliran darah serebral

dipelihara oleh mekanisme autoregulasi dalam hubungannya dengan tekanan perfusi

arteri.7 Jika tidak terjadi hipotensi yang parah, aliran darah ginjal dan produksi urin

tidak berpengaruh selama anestesia spinal. Jika anestesia spinal menyebabkan

terjadinya penurunan tekanan perfusi arteri samapi dibawah 50 mmHg, akan terjadi

penurunan aliran darah ginjal dan produksi urin secara bertahap.7 Walaupun begitu,

jika tekanan darah sudah kembali normal, maka fungsi ginjal juga akan kembali

normal.

Efek pada Termoregulator. Hipotermia perioperatif yang terjadi pada anestesia

spinal memiliki pendekatan yang sama dengan yang terjadi pada anestesia umum.8

Tiga mekanisme dasar yang menyebabkan terjadinya hipotermia selama anestesia

spinal antara lain redistribusi dari pusat panas ke perifer akibat dari vasodilatasi oleh

blok simpatis, hilangnya termoregulasi yang berhubungan dengan penurunan ambang

vasokontriksi dan menggigil dibawah level yang terblok, dan peningkatan hilangnya

panas dari vasodilatasi yang terjadi dibawah level yang terblok.8

Strategi untuk meminimalkan hilangnya panas adalah dengan memonitor suhu

tubuh pasien, memberikan cairan intravena yang hangat, menutupi kulit yang terpapar

udara dingin, dan membatasi ketinggian blok dari anestesia spinal.8,9

Teknik Anestesia Spinal

Untuk memudahkan dalam melakukan anestesia spinal, teknik anestesia spinal dapat

dibagi menjadi 4 tahapan yang dikenal dengan 4P, yaitu persiapan, posisi, proyeksi,

dan terakhir adalah punksi.9

Persiapan. Persiapan alat-alat dan obat-obatan adalah penting dalam melakukan

penyuntikkan ke dalam ruangan subarakhnoid. Saat memilih obat untuk anestesia

spinal, durasi harus diperhatikan, tidak hanya untuk prosedur operasi tetapi juga

variabel pasien.9 Dalam memilih peralatan untuk anestesia spinal harus diperhatikan

apakah memilih yang sekali pakai atau yang dapat dipakai berulang-ulang.

Kebanyakan anestesiologis memilih yang sekali pakai karena lebih banyak

memberikan keuntungan pada pasien terutama dalam hal pencegahan infeksi.9

27

Page 28: Case Hernia Anestesi

Jarum spinal secara umum dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu yang

memotong dan memisahkan serat duramater. Pada gambar 2.3 dibawah dapat dilihat

macam-macam jarum spinal yang dipakai pada anestesia spinal. The Qiuncke-

Babcock yang merupakan jarum spinal standar yang mempunyai ujung yang tajam

dengan pemotong bevel medium sampai dengan panjang. Penggunaan jarum spinal

yang kecil dapat mengurangi insiden nyeri kepala pasca punksi.7,9 Namun penggunaan

jarum spinal yang lebih besar meningkatkan kepekaan terhadap jarum yang

disuntikkan. Punksi yang berulang-ulang juga meningkatkan insiden nyeri kepala

pasca punksi.6,7,9 Berdasarkan ukuran jarum spinal yang digunakan, perhatian harus

ditujukan pada serat duramater yang melintang secara longitudinal sehingga tidak

menyebabkan terpotongnya serat tersebut. Diperhatikan arah bevel jarum diatur

sedemikian rupa sehingga pararel terhadap serat duramater.7,9

Gambar 2.3

Penggunaan jarum penuntun atau introducers telah berkembang untuk

memfasilitasi penyuntikkan jarum spinal yang ukurannya kecil dan susah diarahkan,

dan untuk mencegah kontak jarum spinal dengan kulit sehingga mengurangi

kontaminasi epidermis dan bakteri ke dalam ruangan subarakhnoid. Sebagai alternatif,

dapat digunakan jarum ukuran 18, 25, dan 26 untuk membantu dalam menyuntikkan

jarum spinal.7

28

Page 29: Case Hernia Anestesi

Posisi. Keuntungan dari anestesia spinal adalah kemampuan dalam mengatur

penyebaran obat anestesia lokal dengan memanipulasi berat jenis dari larutan

anestesia yang digunakan dan mengatur posisi pasien. Posisi sering tidak diperhatikan

dalam melakukan anestesia spinal yang disebabkan oleh 2 hal yaitu asisten tidak

mengetahui posisi yang rasional untuk pasien dan yang kedua pasien yang kurang

kooperatif akibat pemakaian sedasi. Tiga metode posisi pasien pada anestesia spinal

dapat dibagai 3 termasuk diantaranya lateral dekubitus, duduk, telungkup seperti

dapat dilihat pada gambar 2.4.6,7,9

Lateral dekubitus merupakan posisi yang populer pada anestesia spinal.6,9

Pasien harus diletakkan pada tepi meja operasi dekat dengan anestesiologis. Kolumna

vertebralis dilengkungan untuk memperlebar celah interlaminar dengan menekuk

pangkal paha sehingga lutut dekat dengan dada dan meletakkan dagu pasien dekat

dengan dadanya. Kepala harus disangga dengan bantal. Asisten harus berada di depan

pasien untuk membantu mempertahankan posisinya.

Gambar2.4

29

Page 30: Case Hernia Anestesi

Gambar 2.5

30

Page 31: Case Hernia Anestesi

Posisi duduk lebih jarang dilakukan dibandingkan dengan lateral dekubitus.

Dikerjakan pada operasi di daerah perineal dan operasi urologik, atau pada pasein

gemuk dimana identifikasi anatomi garis tengah punggung sulit dilakukan pada posisi

lateral.6,9 Seorang asiten harus berdiri depan pasien untuk mempertahankan posisi

pasien tetap fleksi pada leher dan punggungnya. Jika alasan melakukan anestesia

spinal pada posisi duduk untuk memperoleh blok sensori yang rendah, pasien harus

dibiarkan duduk selama kurang lebih 5 menit setelah disuntikkan obat. Sedangkan

jika alasannya karena pasien gemuk, secepatnya pasien dibaringkan dan meja

dimanipulasi dengan tepat.9

Posisi telungkup dipilih jika pasien tetap akan diposisikan seperti itu selama

prosedur operasi. Ini sering dilakukan pada teknik hipobarik untuk operasi daerah

rektal, perineal, dan kolumna vertebralis bawah.7,9 Pasien diletakkan di meja operasi

dengan abdomen dibawah dan untuk memudahkan teknik punksi, kelengkungan dari

lumbal dikurangi dengan memfleksikan meja operasi atau meletakkan bantal di bawah

perut pasien.6,7,9

Proyeksi dan Punksi. Setelah peralatan, obat-obatan dan posisi pasien sudah diatur

sedemikian rupa, punksi dengan jarum spinal baik dengan pendekatan midline atau

paramedian dapat dilakukan.

31

Page 32: Case Hernia Anestesi

Secara tradisional, pendekatan midline merupakan pendekatan yang paling

populer. Pendekatan ini memerlukan kemampuan pasien dan asisten untuk

meminimalkan lordosis dari lumbal sehingga memudahkan akses ke dalam ruangan

subarakhnoid, biasanya melalui L2-3, L3-4, atau kadang pada L4-5. Jika

menggunakan jarum penuntun, jarum disuntikkan secara hati-hati sampai

ligamentum interspinosus. Jika tidak menggunakan jarum penuntun, kulit dan

jaringan disekitarnya difiksasi dengan memberikan tanda pada tulang dengan

menggunakan jari kedua atau ketiga tangan kiri. Jarum spinal lalu disuntikkan dengan

arah bevel jarum ke lateral sehingga tidak memotong serat-serat duramater. Setelah

jarum masuk ke dalam kulit dan jaringan subkutan, arah jarum diubah menjadi 100-

1050 ke arah kranial dengan tetap mempertahankan posisi jarum di midline. Terdapat

perubahan resistensi pada saat jarum memasuki ligamentum flavum,duramater dan

ruangan subarakhnoid. Mandrin atau stylet pada jarum spinal dilepas dan perhatikan

aliran cairan serebrospinal. Jika tidak keluar cairan serebrospinal, jarum diputar

sebesar 900 sampai tampak aliran cairan serebrospinal keluar dari lubang jarum.

Injeksikan obat anestesia lokal ke dalam ruangan subarakhnoid melalui jarum spinal

tadi secara perlahan-lahan sambil melakukan aspirasi untuk memastikan jarum masih

berada di ruangan subarakhnoid. Kemudian posisikan pasien pada posisi yang sesuai

dan fungsi kardiovaskular dan respirasi segera dimonitoring.

Pendekatan paramedian atau lateral biasa dilakukan jika ditemukan

perubahan-perubahan degeneratif pada struktur interspinosus seperti pada orang tua

dan jika posisi yang ideal untuk pasien tidak dapat dilakukan, serta mengurangi nyeri

seperti pada fraktur dan dislokasi dari hip dan ekstremitas inferior.8,9 Pendekatan

Taylor merupakan pendekatan paramedian spesial untuk memasukkan jarum ke celah

L5 yang merupakan celah interlaminal yang terbesar. Ini biasa dikerjakan untuk

prosedur operasi urologik, serta operasi di daerah pelvis

Indikasi dan Kontraindikasi Anestesia Spinal

Indikasi dilakukannya anestesia spinal antara lain:7,10,11

32

Page 33: Case Hernia Anestesi

Pasien dengan lambung yang penuh; muntah dan terjadinya aspirasi sering

terjadi pada pasien yang menggunakan anestesia regional khususnya pada

pasien dengan sedasi tetapi hal ini akan dapat dikurangi pada anestesia spinal

Pasien dengan kelainan anatomi pada saluran pernafasan sehingga

menyulitkan dalam melakukan intubasi.

Operasi-operasi di bawah umbilikus seperti hernia, operasi obstetrik-

ginekologik, urologik, dan operasi di daerah perineum dan genetalia. Operasi

di ekstremitas inferior dapat dikerjakan anestesia spinal, kecuali amputasi,

walaupun tidak sakit, hal ini akan menjadi pengalaman yang tidak

menyenangkan pada pasien yang masih sadar.

Pada pasien-pasien tua dengan penyakit sistemik seperti penyakit pernafasan

kronik, penyakit hepar, penyakit ginjal, dan gangguan endokrin seperti

diabetes.

Pada pasien-pasien yang kooperatif.

Sedangkan kontraindikasi dilakukan anestesia spinal dapat dibagi menjadi 2

yaitu kontraindikasi absolut dan kontraindikasi relatif.7,10,11

1. Kontraindikasi Absolut

Infeksi didaerah tempat injeksi obat anestesia.

Penyakit kulit pada tempat injeksi (psoriasis)

Sepsis atau bakteriemia

Syok atau hipovolemia berat.

Penyakit pada medula spinalis; hal ini kontraindikasi menurut hipotesis

karena saraf atau medula spinalis akan mudah mengalami toksikasi akibat

obat anestesia lokal tersebut. walaupun sampai sekarang belum ada data yang

mendukung kearah itu.

Peningkatan tekanan intra kranial yang tinggi; merupakan kontraindikasi

karena ditakutkan akan terjadi herniasi dari medula oblongata yang disana

terdapat pusat dari pengaturan respirasi dan kardiovaskuler.

Gangguan dari proses pembekuan darah.

Pasien menolak.

Ketrampilan yang kurang untuk melakukan punksi spinal, tanpa didampingi

konsultan anestesi.

Pada operasi yang tidak dapat diperkirakan lamanya dari operasi

2. Kontraindikasi Relatif

33

Page 34: Case Hernia Anestesi

Operasi besar diatas umbilikus

Adanya kelainan dari tulang belakang seperti arthritis berat, kyphoskoliosis,

dan adanya fusi dari tulang belakang yang berat.

Menderita sakit kepala yang kronik

Adanya pendarahan dalam likuor; setelah 5 –10 ml likuor diaspirasi belum

jernih.

Adanya ganguan proses pembekuan darah yang masih ringan, misal pada

penggunaan heparin dengan dosis yang minimal.

Gagal melakukan punksi setelah dicoba pada keempat kuadran.

Penyakit jantung seperti ganguan pada miokardiak, katup, atau iskemik,

adalah merupakan kontra indikasi mayor jika spinal blok dilakukan diatas atau

mencapai T6

Komplikasi Anestesia Spinal

Komplikasi saat melakukan punksi spinal seperti kegagalan dalam mencapai ruang

subarakhnoid sehingga perlu melakukan tindakan berulang jarang menyebabkan

komplikasi yang serius.

Hipotensi. Merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi dan bersifat akut

yang disebabkan oleh venous pooling akibat blokade simpatis pada anestesia spinal.6,7

Penurunan tekanan darah yang terjadi tergantung pada ketinggian blokade simpatis,

volume intravaskular pasien, dan keadaan kardiovaskularnya.6 Penurunan tekanan

darah dapat dikurangi dengan memberikan preload cairan sedikitnya 500 cc larutan

kristaloid. Jika terjadi penurunan tekanan darah yang tiba-tiba dan drastis dapat

diberikan vasopresor yang bersifat sementara sampai penggantian cairan dilakukan.

Efedrin 5-10 mg intravena merupakan obat pilihan karena tidak hanya bersifat

vasokontriksi, tetapi juga dapat meningkatkan cardiac output.6,7

Elevasi ekstremitas inferior akan mengembalikan pooling yang terjadi, namun

merendahkan kepala selama anestesia spinal dengan larutan hiperbarik dapat

menyebabkan terjadinya ketinggian blok yang tidak kita harapkan.

Bradikardi. Walaupun tanpa adanya hipotensi atau hipoksia, bradikardi dapat

muncul secara independen selama anestesia spinal.6 Level anestesia spinal yang

mencapai T2 dan serat kardioaselerator terblok, aktivitas vagus tidak ada yang

menghambat. Bradikardi mungkin berhubungan dengan stimulus seperti tarikan

34

Page 35: Case Hernia Anestesi

peritoneum, penurunan venous return, atau oleh sebab yang tidak diketahui

(unexplained).6 Penggunaan atropin 0,4-0,6 mg dapat dilakukan jika terjadi penurunan

nadi sampai di bawah 60 kali permenit untuk mencegah kejadian asistol atau henti

jantung.

Blok Spinal Total. Istilah ini digunakan untuk menggambakan anestesia spinal yang

naik sampai diatas regio servikal. Hal ini disebabkan oleh pergerakan pasien yang

tidak diantisipasi, posisi pasien yang tidak tepat, dan dosis yang tidak tepat. Tanda-

tandanya adalah hilangnya kesadaran, bradikardi, hipotensi, dan henti nafas.

Walaupun terjadi paralisis saraf frenikus, kejadian henti nafas biasanya berhubungan

dengan hipoperfusi dari pusat nafas di medula oblongata.6,7,10

Pengobatan terhadap blok spinal total adalah bersifat simtomatik. Ventilasi

secepatnya diberikan dan penggunaan endotrakelal tube dan ventilasi mekanik

mungkin diperlukan. Atropin, efedrin, dan cairan segera diberikan untuk

meningkatkan cardiac output. Sekuele dapat dicegah jika ventilasi dan perfusi segera

diberikan dan terpelihara dengan baik.

Nausea. Sering terjadi pada anestesia spinal tinggi yang merupakan efek samping

yang ringan. Hipotensi, bradikardi, atau hipoksia harus dieksklusi sebagai

penyebabnya. Ketidakseimbangan antara simpatis dan parasimpatis pada traktus

gastrointestinal disebut sebagai penyebabnya. Pencegahan dapat diberikan antiemetik

seperti 0,625 droperidol atau 10 mg metoclopramide.

Sakit Kepala (Headache) Postspinal. Sakit kepala post operasi pada pasien yang

mendapat spinal anestesia spinal sering dikeluhkan. Insidennya bervariasi dari tahun

ke tahun sekitar 0.2% sampai 24%.7 Kejadiannya lebih sering pada wanita muda dan

pada kasus–kasus obstetrik. Disebutkan juga bahwa ukuran dari jarum spinal yang

dipakai terutama pada penggunaan jarum yang besar sering menyebabkan hal ini.

Gambaran klinik, dari anamnesis nyeri terjadi setelah dilakukan anestesia

spinal akan sangat menolong dalam mendignosa pasien postspinal headache. Nyeri

terjadi biasanya dalam beberapa jam setelah dilakukan punksi atau hari pertama atau

kedua setelah dilakukannya punksi. Nyeri dirasakan di frontal dan osipital sering juga

sampai ke leher dan pundak. Beratnya nyeri yang dirasakan dari sedang sampai tidak

dapat diterangkan oleh pasien, nyeri akan memberat jika berubah posisi misalnya dari

posisi duduk ke berdiri, atau pasien batuk batuk, dan tegang tetapi nyeri akan

dirasakan berkurang bahkan menghilang jika berbaring. Gejala lain yang menyertai

35

Page 36: Case Hernia Anestesi

seperti perasaan mual sampai muntah–muntah, berkurangnya nafsu makan fotofobia,

tinitus, dan depresi.

Pada kasus yang berat bisa terjadi diplopia dan paralisis dari beberapa saraf

kranialis. Terapi mulai dari terapi konservatif karena terkadang bisa hilang dengan

sendirinya dan juga dianjurkan untuk istirahat total di tempat tidur sekitar 24- 48 jam.

Selain itu pemberian analgetik juga dianjurkan tapi tidak mengatasi penyebab dari

nyeri tersebut. konsep yang masih populer tentang patofisiologi dari hal ini adalah

karena hilang atau menurunnya cairan serebrospinalis melalui tempat punksi dan

berhubungan dengan penurunan tekanan intrakranial. Sehingga terapi secara langsung

dengan memasukkan saline dalam jumlah yang banyak ke ruang epidural, atau dengan

membuat pasien overhidrasi baik melalui oral atau intravena, pemberian obat yang

merangsang produksi tekanan intrakranial, dan antidiuretik.

Pada tahun 1970 DiGiovanni melaporkan 50 pasien yang diberikan injeksi

darah autologus setelah mendapat anestesi spinal. Meskipun ditakuti bisa

menimbulkan infeksi dan kelainan neurologi tapi terapi ini menjadi sangat penting

karena hasilnya cepat dan mudah dilakukan. Teknik dari autologus blood patch ini

mudah dilakukan. tekniknya dengan memasukan jarum needle ke ruang epidural,

kemudian dilanjukan dengan injeksi 5 sampai 10 mg darah yang diambil secara

aseptik dari pasien. darah dapat diambil melalui vena cubiti. setelah injeksi pasien

harus tidur terlentang kurang lebih 30 sampai 60 menit. Keberhasilan dari teknik ini

dikatakan 89% sampai 95%.

Nyeri pinggang (backache). Hal ini sering dikeluhkan oleh pasien–pasien post

operasi yang dilakukan anestesia spinal. Dari literatur angka insiden nyeri pinggang

sekitar 2% sampai 25%.7,8,10 Meskipun jarang tapi mungkin juga diakibatkan oleh

jarum yang dipakai yang melukai jaringan intervertebralis sehingga menimbulkan

nyeri setelah anestesi.6,7,8 Selain itu karena terjadinya pendataran dari tulang belakang

saat tindakan operasi pada posisi terlentang terutama pada pasien dengan lordosis

lumbal menyebabkan terjadinya relaksasi dari otot dan ligamen pada tulang belakang.

Gesekan dari ligamen, kapsul, dan otot menimbulkan nyeri, yang normalnya

berfungsi sebagai pelindung dan membatasi pergerakan antar ruas tulang belakang.

Neuropati. Kerusakan saraf akibat obat anestesia lokal sendiri jarang terjadi.

Walaupun lidokain 5% secara laboratorium bersifat toksik, namun karena terjadi

pengenceran dengan cairan serebrospinal, efek toksiknya dapat dihindari.6 Walaupun

36

Page 37: Case Hernia Anestesi

dilaporkan pernah terjadi iritasi saraf yang terjadi sementara, namun komplikasi yang

seriun jarang terjadi.

Kerusakan saraf dapat terjadi akibat langsung dari jarum spinal yang melukai

akar saraf dan biasanya ini berhubungan dengan parestesia berat yang terjadi selama

dilakukan anestesia spinal.

Kehilangan Pendengaran. Mekanisme terjadinya belum diketahui secara pasti,

namun diperkirakan terjadi karena penurunan tekanan intrakranial di ruangan

subarakhnoid setelah anestesia spinal yang menyebabkan tarikan pada saraf-saraf

intrakranial. Derajat kehilangan pendengaran adalah ringan sampai sedang, namun

pernah dilaporkan kehilangan pendengaran derajat berat akibat anestesia spinal.6

Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah infeksi (meningitis) akibat teknik

anestesia spinal yang tidak mengindahkan prosedur sepsis dan asepsis. Sindroma

kauda ekuina yang meliputi gangguan fungsi buli-buli, gangguan fungsi rektum, dan

gangguan fungsi ekstremitas atas.

DAFTAR PUSTAKA

37

Page 38: Case Hernia Anestesi

1. Hypertension management. 2009. Available at:

http://www.surgicalcriticalcare.net/Guidelines/Hypertension

%20management%202009.pdf

2.   Kaplan MN., Perioperative management of hypertension.

http://www.uptodate.com

3. Wiryana M., 2008. Manajemen perioperatif pada hipertensi.

http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/6_manajemen%20perioperatif%20pd

%20hipertensi.pdf

4.   Mayell AC. 2006. Hypertension in anaesthesia.

http://www.frca.co.uk/article.aspx?articleid=100656

5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua.

Jakarta: Bagian anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: 2010.

6. Brown DL & Wedel DJ. Spinal, Epidural and caudal anesthesia. in: Miller RD.

Editor. Anesthesia. Fourt edition. California, Churchill Livingstone New York,

1990 vol. 2. p. 1505 - 1530

7. Bridenbaugh PO, Greene NM. Spinal (Subarachnoid), Neural blockade. in:

Causins MJ & Bridenbaugh PO, editor. Neural blockade in clinical anesthesia and

management of pain. second edition. Washington, J.B lipincott company; 1988. p.

213 – 248.

8. Cadwel C, Nielson CH, Balth T, Taylor P, Helton B, Butler P. Comparison Of

high dose epineprine and phenilephrine in spinal anesthesia with tetracain.

Anesthesiology 62: 804, 1985.

9. Brown DL & Wedel DJ. Spinal, Epidural and caudal anesthesia. in: Miller RD.

Editor. Anesthesia. Third edition. California, Churchill Livingstone New York,

1990 vol. 2. p. 1377 – 1400.

10. Spencer SL. Local Anesthetics: Clinical Aspects. in: Benzon, Raja, Molloy, Liu,

Fishman. Esentials of Pain Medicine and Regional anesthesia. second edition.

Philadelphia , 2005 p. 559 – 596.

11. Casey WF. Spinal Anaesthesia - a Practical Guide. 2000, Desember 05; Available

at. : http://www.manbit.com/oa/f16-1.htm Accssed november24, 2005

38